ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328
LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS
I
jurnal Desember isi.indd 1
12/12/2014 3:53:01 PM
jurnal Desember isi.indd 2
12/12/2014 3:53:01 PM
ISSN 1978-6506
Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur:
1.
Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2.
Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)
Penyunting:
1.
Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
2.
Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
3.
Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)
4.
Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
5.
Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
Mitra Bestari:
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5.
Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)
6.
Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)
7.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
III
jurnal Desember isi.indd 3
12/12/2014 3:53:01 PM
8.
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)
9.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
10.
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)
11.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)
12.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
Sekretariat:
1.
Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2.
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
3.
Yuni Yulianita, S.S.
4.
Festy Rahma Hidayati, S.Sos.
5.
Andhika Reza Pratama, S.Kom.
6.
Eka Desmi Hayati, A.Md.
7.
Andry Kurniadi, A.Md.
dan Fotografer:
1.
Dinal Fedrian, S.IP.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Desain Grafis
Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail:
[email protected] Website: www.komisiyudisial.go.id
IV
jurnal Desember isi.indd 4
12/12/2014 3:53:02 PM
PENGANTAR
J
LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS
ika dimensi aksiologi hukum dipertanyakan, maka akan banyak jawaan berseliweran. Filsuf hukum dari Jerman bernama Gustav Radbruch (1878-1949), misalnya, meyakini tujuan hukum adalah keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit). yang sebenarnya berkonvergensi dengan keberlakuan filosofis (filosofische geltung), yuridis (juristische geltung), dan sosiologis (soziologische geltung). Tentu saja, versi populer tentang tujuan hukum dari Radbruch ini bukan satu-satunya. Orang dapat menyebut sekian banyak tujuan, seperti kedamaian, kesejahteraan sosial, kebebasan, kebenaran, dan seterusnya. Tema sentral yang diangkat dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini kebetulan mengambil tiga nilai dasar yang juga sangat dijunjung tinggi oleh hukum, yakni kebebasan (libertas), keadilan (justitia), dan kebenaran (veritas). Kebebasan atau kemerdekaan merupakan nilai dasar bagi lahirnya tanggung jawab. Dalam hukum, hanya mereka yang memiliki kebebasan menentukan sikap dan perilaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Itulah sebabnya, mereka yang berbuat karena keterpaksaan atau kondisi darurat tidak layak dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Dengan demikian, tidak boleh ada norma hukum yang memasung kebebasan karena kebebasan adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Keadilan adalah nilai dasar berikutnya yang sangat diidam-idamkan karena di sini hak-hak didistribusikan dan/ atau dikomunikasikan di antara para pemangku kepentingan. Sementara kebenaran adalah nilai dssar yang menuntut adanya justifikasi secara rasional, empiris, dan/atau pragmatis. Tulisan-tulisan dalam jurnal edisi kali ini menyentuh nilai libertas, justitia, dan veritas tadi. Ada tulisan yang mengangkat isu tentang kebebasan kekuasaan kehakiman dalam konteks rekrutmen hakim agung. Isu-isu tentang keadilan tercermin dari hampir semua ulasan artikel, misalnya dalam analisis tentang pidana mati. Sementara masalah kebenaran teraksentuasi antara lain dalam putusan-putusan terkait pengujian undangundang. Satu putusan dengan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, kali ini tampil dalam artikel berjudul “Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik.” Bagi pembaca yang jeli akan tahu bahwa putusan ini pernah diulas dalam Jurnal Yudisial edisi sebelumnya oleh penulis berbeda. Sekalipun objek putusannya sama, artikel kali ini berangkat dari optik kajian berlainan. Atas dasar itu, artikel ini memiliki orisinalitasnya sendiri, sehingga layak untuk dibaca kembali guna melengkapi ulasan putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT tersebut.
V
jurnal Desember isi.indd 5
12/12/2014 3:53:02 PM
Perdebatan nilai-nilai libertas, justitia, dan veritas menawarkan panorma yang sangat luas untuk dijadikan landasan analisis. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi para penulis yang meminati kajian putusan pengadilan atau lembaga adjudikasi lainnya untuk berpangku tangan membiarkan putusan-putusan ini tidak tersentuh ketajaman pena eksaminasi. Jurnal Yudisial adalah forum yang disediakan untuk itu dengan keyakinan bahwa putusan adalah mahkota para pengadil. Harapannya tentu saja, tulisan-tulisan tersebut juga ditulis dengan menjunjung kebebasan, keadilan, dan kebenaran. Selamat berkontribusi! Terima kasih Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
jurnal Desember isi.indd 6
12/12/2014 3:53:02 PM
DAFTAR ISI
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014
ISSN 1978-6505
DIMENSI AKSIOLOGIS DARI PUTUSAN KASUS “ST” ............. 213 - 235 Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 Nur Agus Susanto, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta PENAFSIRAN HAKIM TENTANG KONSTITUSIONALITAS DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PIDANA MATI .......................... Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 Budi Suhariyanto, Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta PASSING OFF DALAM PENDAFTARAN MEREK ....................... Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung KETIDAKCERMATAN DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN KASUS KAPAS TRANSGENIK ..................................... Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT Loura Hardjaloka, Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta PEMBATASAN DAN PENGUATAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PEMILIHAN HAKIM AGUNG ............................................. Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 Giri Ahmad Taufik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta MENYOAL KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPPU ............................................................................... Kajian terhadap Enam Putusan Mahkamah Konstitusi Zairin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
237 - 254
255 - 272
273 - 293
295 - 310
311 - 328
VII
jurnal Desember isi.indd 7
12/12/2014 3:53:02 PM
jurnal Desember isi.indd 8
12/12/2014 3:53:02 PM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.....................................................................
Vol. 7 No. 3 Desember 2014
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya. UDC 343.1
UDC 347.962.1; 342.7
Susanto NA (Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta)
Suhariyanto B (Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta)
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST”
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Pidana Mati
Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/ Pid.Sus/2012
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/ Pid.Sus/2011
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 213-235 Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/ Pid.Sus/2012 terhadap Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 untuk terdakwa ST menarik perhatian masyarakat. Permohonan PK untuk ST diajukan oleh istrinya selaku ahli waris. Permohonan ini dikabulkan dengan amar menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan karena itu melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan, berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi sebelumnya. Salah satu pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan tersebut adalah status
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 237-254 Norma pidana mati tersebar pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan tentang konstitusionalitas norma pidana mati dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUUV/2007. Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (meskipun masih terdapat disparitas tafsir terkait pertimbangan hal meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa). Namun terdapat satu putusan kasasi dengan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pidana mati. Berdasarkan hasil analisis, pada putusan tersebut diketahui terdapat penafsiran yang kurang proporsional (melampaui kewenangannya) dan kurang sistematis dalam membaca dan menafsirkan undang-undang sehingga dapat dikatakan untuk cenderung tidak sesuai dengan kaidah penafsiran hukum yang berlaku. Demi menjaga konsistensi penerapan dan penafsiran hukum dalam konteks mewujudkan kepastian dan keadilan hukum, serta sebagai bentuk akuntabilitas yudisial kepada masyarakat maka diperlukan pelurusan penafsiran yang sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi pada kamar pidana Mahkamah
FB sebagai ahli waris sah dari ST yang mendasarkan pada pandangan Yahya Harahap bahwa istri dapat menjadi ahli waris. Pandangan tersebut tidak dikutip secara lengkap. Putusan PK ini memicu sinisme terhadap putusan hakim yang bertujuan memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Tulisan ini berkesimpulan bahwa putusan ini tidak mampu menjawab tuntutan aksiologis yang sangat mendasar di dalam putusan hakim. (Nur Agus Susanto) Kata kunci: peninjauan kembali, kemanfaatan, kepastian hukum.
keadilan,
IX
jurnal Desember isi.indd 9
12/12/2014 3:53:02 PM
justru menitikberatkan pada popularitas merek milik penggugat. Seharusnya hakim mempertimbangkan aspek passing off, sehingga tidak merugikan penggugat (pemohon kasasi) sebagai pemegang hak merek terkenal. Penolakan tersebut berarti pembenaran terhadap tindakan passing off dalam pendaftaran maupun penegakan hukum merek dan cenderung tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek. Perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal seharusnya mendapat perhatian serius guna menumbuhkan iklim kondusif bagi investasi.
Agung guna menentukan kesepakatan tafsir. Hingga akhirnya tercipta harmonisasi penerapan dan penafsiran hukum yang berujung pada terbentuknya ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. (Budi Suhariyanto) Kata kunci: konstitusionalitas, hak asasi manusia, pidana mati.
UDC 347.78 Sari MYAR (Fakultas Hukum, Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung)
(Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) Kata kunci: passing off, merek terkenal, pendaftaran merek.
Passing Off dalam Pendaftaran Merek Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/ Pdt.Sus-HKI/2014
UDC 341.64
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 255-272
Hardjaloka L (Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta)
Passing off merupakan tindakan pendomplengan terhadap merek terkenal yang dapat merugikan pemegang hak merek. Tindakan tersebut dilakukan pelaku usaha tidak jujur yang seringkali terjadi dalam praktik perdagangan, oleh karena itu penegakan hukum merek harus mendapatkan perhatian serius. Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt. Sus-HKI/2014, mencerminkan ketidakadilan bagi pemegang hak merek terkenal karena menguatkan putusan pada tingkat judex facti dengan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst dan menganggap putusan sudah tepat sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Tergugat (termohon kasasi) sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC” mengandung persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek milik penggugat (pemohon kasasi) yang merupakan nama lembaga internasional didirikan tahun 1894 yang menangani penyelenggaraan Olimpiade. Merek tergugat telah terdaftar di lima negara, sehingga memenuhi persyaratan sebagai merek terkenal. Tindakan passing off tidak menjadi pertimbangan hakim dalam amar putusannya, namun
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT Jurnal Yudisial 2014 7(3), 273-293 Hakim di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara memiliki peran yang sangat sentral untuk menegakkan hukum dan keadilan. Agar itu bisa tercapai maka hakim tersebut harus memiliki kapasitas yang memadai dan harus selalu cermat ketika menangani sebuah perkara. Akan tetapi, hal tersebut tidak kita temukan di dalam penanganan kasus kapas transgenik oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada kasus itu majelis hakim tidak cermat dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya kapas transgenik sebagai produk GMos. Selain itu, hakim juga tidak cermat dalam melihat pelanggaran penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan
X
jurnal Desember isi.indd 10
12/12/2014 3:53:02 PM
hakim agung dalam posisi yang pasif, untuk menghindari intrusi kepentingan politik. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka diperlukan perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Komisi Yudisial untuk mengakomodir prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman utamanya dalam proses rekrutmen hakim agung sebagaimana terkandung di dalam UUD NRI 1945.
organisme transgenik. Ketidakcermatan tersebut terjadi karena hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/ Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard), kepada tergugat II intervensi I. (Loura Hardjaloka) Kata kunci: ketidakcermatan hakim, organisme transgenik, prinsip kehati-hatian, hak gugat.
(Giri Ahmad Taufik) Kata kunci: rekrutmen hakim agung, kekuasaan kehakiman, kepentingan politik.
UDC 347.962; 347.993 Taufik GA (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta)
UDC 347.993
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman dalam Pemilihan Hakim Agung
Harahap Z (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU-XI/2013
Menyoal Kewenangan Menguji Perppu
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 295-310
Kajian terhadap Konstitusi
Kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah dibanding kekuasaan pemerintahan lainnya yaitu eksekutif dan legislatif. Kekuasaan riil dari kekuasaan kehakiman hanya terletak pada kewibawaan pengadilan sebagai sebuah institusi. Salah satu yang dapat mewujudkan kewibawaan kekuasaan kehakiman adalah aktor pelaksana kekuasaan tersebut yaitu hakim yang memiliki kompetensi tinggi dan baik. Hubungan kausalitas antara kedua faktor tersebut membuat banyak pakar menyatakan keterkaitan yang kuat antara proses rekrutmen hakim terhadap masa depan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, terlebih lagi pada proses rekrutmen hakim agung di Mahkamah Agung. Proses rekrutmen hakim agung harus terjaga dari intervensi kepentingan politik. Hal ini merupakan rasio dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. Putusan tersebut telah mendudukkan peran DPR di pelaksanaan rekrutmen
Enam
Mahkamah
Konstitusi
Putusan
Mahkamah
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 311-328 Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur di dalam Pasal 24 C ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945. Seiring berjalannya waktu, ditemukan praktik bahwa MK telah melakukan pengujian konstitusionalitas peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa MK mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Bahkan hal tersebut juga tidak kita temukan di dalam UUD NRI 1945. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dari segi teori-teori hukum yang dapat menjelaskan MK dapat atau tidak dapat dibenarkan melakukan
XI
jurnal Desember isi.indd 11
12/12/2014 3:53:02 PM
pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Melalui penjelasan teori-teori hukum tersebut, akhirnya diketahui bahwa tidak benar jika menyatakan MK berwenang menguji Perppu hanya dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII UUD NRI 1945 tentang DPR. Selain itu, tidak benar juga jika materi muatan Perppu dinyatakan sebagai materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. (Zairin Harahap) Kata kunci: perppu, pengujian peraturan perundangundangan, kewenangan mahkamah konstitusi.
XII
jurnal Desember isi.indd 12
12/12/2014 3:53:02 PM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.....................................................................
Vol. 7 No. 3 Desember 2014
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge UDC 343.1
UDC 347.962.1; 342.7
Susanto NA (Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta)
Suhariyanto B (Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta)
The Axiological Dimension from the Case Decision of “ST”
The Interpretation of Judge on Constitutionality and Human Rights Violations Regarding to Capital Punishment
An Analysis Decisions of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2014 7(3), 213-235 The Decision of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 against the Decision of Cassation Number 434 K/Pid/2003 regarding the defendant ST has drawn public’s attention. The application for case review to the decision was filed by FB, the wife of ST. The request was granted by the panel of judges through verdict stating the act alleged to the defendant was proven, but did not constitute a criminal offense and therefore the defendant was released from all charges, which is astonishing. This actually means the decision has nullified the previous decision of cassation. One of the judges’ considerations in granting the request is that FB’s status as the legitimate heir of ST with regard to Yahya Harahap’s standpoint that wife can become the heir. However, this referral is not fully cited. This decision of judicial review has sparked various cynical views over the judges decision which is supposed to reflect justice, ensure legal certainty, and provide utility, as affirmed by Gustav Radbruch. To conclude, this decision has failed to bring about the fundamental axiological dimensions in a court decision. (Nur Agus Susanto) Keywords: case review request, justice, utility, legal certainty.
An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2014 7(3), 237-254 The norm pertaining to capital punishment has been dispersed on the laws and regulations in Indonesia. The Constitutional Court has also underscored the constitutionality of the capital punishment norm in the Decision Number 2/PUU-V/2007 and Number 3/PUU-V/2007. In general, the capital punishment is applied by the Supreme Court and the courts below it (although there are still disparities in the interpretation, in terms of considering the qualifications and alleviating the extraordinary crime). However there is also Cassation Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011, which in its legal considerations, concerned about the constitutionality and human rights violations in capital punishment. Based on the author’s analysis, there is a disproportionate interpretation (overreaching) and unsystematic, in reading and interpreting the law in the decision, even not in accordance to the rules of interpretation of the prevailing law. To keep the consistency in the application and interpretation of the law in the context of realizing the legal certainty and justice, as a form of judicial accountability to the public, straightening out the interpretation to conform with the prevailing law is crucial. It is crucial to unify and integrate the perception and interpretation in the criminal chamber of the Supreme
XIII
jurnal Desember isi.indd 13
12/12/2014 3:53:02 PM
Court. Thus, a harmonization of the interpretation and implementation of the law for the imposition of legal certainty and social justice can be achieved. (Budi Suhariyanto) Keywords: constitutionality, human rights, capital punishment.
a justification for the passing off in the trademark registration and this tends to harm the famous brand name holders as well as to create unconducive climate for investment in Indonesia. (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) Keywords: passing off, famous brand name, trademark registration.
UDC 347.78 Sari MYAR (Fakultas Hukum, Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung) Passing Off in Trademarks Registration An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2014 7(3), 255-272 Passing off in the Commercial Law is an act of rearguarding against the well-known trademarks that can be disadvantageous to the holders of trademark rights. This action is committed by the unfair businessmen, and often occurs in the decisions of the Commercial Law cases that should be seriously taken heed. The Supreme Court Decision Number 224 K/ Pdt.Sus-HKI/2014 reflects a sense of injustice to one of the holders of famous trademarks, as it has upheld the ruling on the level of judex facti by the Decision Number 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, and considered appropriate in line with Article 6 paragraph (1) letter b of Law Number 15 of 2001. The Defendants of Cassation as the holder of the rights for the brand “OLYMPIC” has the similarity in principle with the brand name of the Plaintiff, which is the name of the international institute, founded in 1894, which handles the Olympic Games. The Defendant has registered the trademarks/brands in five countries, and has met requirements to be a famous brand name. Passing off action is not taken into consideration by the judge in the decision, but rather the popularity of the brand of the Plaintiff. The judge should take into account the aspect of passing off so as not to disadvantage the plaintiff as the famous trademark’s holder. That refusal is
UDC 341.64 Hardjaloka L (Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta) Inaccurate Legal Consideration on the Case of Transgenic Cotton An Analysis of Decision Number 71/G.TUN/2001/ PTUN-JKT (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2014 7(3), 273-293 The role of judges in analyzing and deciding a case is of a great significance in the framework of law enforcement and justice. It means that judge must be highly qualified in handling a case. However, this is not reflected in the judge’s conduct when deciding the case of transgenic cotton in the Jakarta Administrative Court. In this case, the judges did not scrupulously analyze the defendant’s actions to issue the license regardless of the safety of transgenic cotton as a GMos product. In addition, the judges are also negligent in scrutinizing the violations of the precautionary principles and risk assessment in the release of genetically modified organisms. This happened because the judges did not discover any further information on the issuance of licenses of using of the genetically modified organisms by the defendant, occupying as Minister of Agriculture, through Decree Number 107/Kpts/KB.430/2/2001 on Limited Release of Transgenic Cotton Bt DP 5690B as Quality Seed Named NuCOTN 35B (Bollgard), to the defendant II intervention I. (Loura Hardjaloka) Keywords: negligent judges, genetically modified
XIV
jurnal Desember isi.indd 14
12/12/2014 3:53:03 PM
organisms, precautionary principle, the right to sue.
judicial power, political interest.
UDC 347.962; 347.993
UDC 347.993
Taufik GA (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta)
Harahap Z (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)
Restrictions and Reinforcement of Judicial Power in the Recruitment of the Supreme Court Judges
Questioning the Constitutional Review to the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu)
An Analysis of the Constitutional Court’s Number 27/PUU-XI/2013 (Org. Ind)
An Analysis of Six Decisions of the Constitutional Court (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 295-310
Jurnal Yudisial 2014 7(3), 311-328
Judicial power is the weakest power compared to the executive and legislative power. The actual supremacy of the judicial power lies merely on the authority of the court as an institution. This has caused the judicial honor and dignity is determined by the apparatus executing the judicial power, which is none other than the adept and qualified judges. The causality relationship makes many experts consider that there is a strong link between the process of recruitment of judges with the future independence of the judiciary, especially in the process of recruitment of supreme court judges. The process of recruitment of the supreme court judge must be kept from the intervention of political interests. This is the rationale of the Constitutional Court Decision Number 27/ PUU-XI/2013. The decision has put the House of Representatives in the process of recruitment of the supreme court judge in passive position, to avoid the intrusion of political interests. It is intended to
One of the authorities of the Constitutional Court, as stipulated on Article 24 C paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is to conduct a judicial review. However over time, it appears that the Constitutional Court has conducted a constitutional review to the Government Regulation in Lieu of Law (the Perppu). As the matter of fact, there is no regulation set the authority for the Constitutional Court, even not affirmed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. For that reason, it is necessary to grasp legal theories in the analysis to elucidate this issue: is the Constitutional Court allowed to review the Perppu? Through the elaboration of the legal theories, it can be deduced that it is invalid to confirm that the Constitutional Court has the authority to review the Perppu on the basis that it is stipulated in Chapter VII of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding the House of Representatives. More to the point, it is also could not be justified that the content of the Perppu is asserted as the content of the Law, not as the content of Government Regulation (PP) in order to implement the Law as referred to Article 5 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
provide full protection to the judicial independence. Post-issuance of this decision it is considered necessary to amend the Law on Supreme Court and the Law on Judicial Commission primarily to accommodate the principle of judicial independence in the process of recruitment of the supreme court judges as stipulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. (Giri Ahmad Taufik) Keywords: recruitment of supreme court judges,
(Zairin Harahap) Keywords: the government regulation in lieu of law (perppu), legislation review, constitutional court’s authority.
XV
jurnal Desember isi.indd 15
12/12/2014 3:53:03 PM
jurnal Desember isi.indd 16
12/12/2014 3:53:03 PM
DIMENSI AKSIOLOGIS DARI PUTUSAN KASUS “ST” Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012
THE AXIOLOGICAL DIMENSION FROM THE CASE DECISION OF “ST” An Analysis Decision of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 Nur Agus Susanto Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 7 November 2014; revisi: 21 November 2014; disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK
ABSTRACT
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/ Pid.Sus/2012 terhadap Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 untuk terdakwa ST menarik perhatian masyarakat. Permohonan PK untuk ST diajukan oleh istrinya selaku ahli waris. Permohonan ini dikabulkan dengan amar menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan karena itu melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan, berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi sebelumnya. Salah satu pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan tersebut adalah status FB sebagai ahli waris sah dari ST yang mendasarkan pada pandangan Yahya Harahap bahwa istri dapat menjadi ahli waris.
The Decision of Case Review Request Number 97 PK/ Pid.Sus/2012 against the Decision of Cassation Number 434 K/Pid/2003 regarding the defendant ST has drawn public’s attention. The application for case review to the decision was filed by FB, the wife of ST. The request was granted by the panel of judges through verdict stating the act alleged to the defendant was proven, but did not constitute a criminal offense and therefore the defendant was released from all charges, which is astonishing. This actually means the decision has nullified the previous decision of cassation. One of the judges’ considerations in granting the request is that FB’s status as the legitimate heir of ST with regard to Yahya Harahap’s standpoint that wife can become the heir. However, this referral is not fully cited. This decision of judicial review has sparked various cynical views over the judges decision which is supposed to reflect justice, ensure legal certainty, and provide utility, as affirmed by Gustav Radbruch. To conclude, this decision has failed to bring about the fundamental axiological dimensions in a court decision.
Pandangan tersebut tidak dikutip secara lengkap. Putusan PK ini memicu sinisme terhadap putusan hakim yang bertujuan memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Tulisan ini berkesimpulan bahwa putusan ini tidak mampu menjawab tuntutan aksiologis yang sangat mendasar di dalam putusan hakim. Kata kunci: peninjauan kembali, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.
Keywords: case review request, justice, utility, legal certainty.
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 213
| 213
12/12/2014 3:53:03 PM
I.
PENDAHULUAN
jempol” karena pengadilan dianggap paling pintar dalam memutarbalikkan keadilan. Keadaan itu Hakim yang konsisten dengan kefitrahan bahkan telah menjadi rahasia publik di negeri nurani dan nalar sehatnya, didukung dengan ini (Suparman, 2012: vii). Begitu pula nilaisistem kekuasaan kehakiman dan peradilan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dalam yang transparan, niscaya akan melahirkan putusan hakim dianggap sulit diimplementasikan sejumlah vonis yang adil dan indah. Di dalamnya dan seringkali terjadi perbedaan arah satu dengan bermuatan nafas dan ruh kebenaran, keadilan dan yang lain. kepekaan yang tajam terhadap sence of justice serta responsive terhadap derita ketidakadilan Keagungan putusan hakim tercermin rakyat (Muqoddas, 2006: v). Kondisi ideal dengan mengandung tiga unsur tujuan hukum tersebut tercermin pada putusan yang diucapkan milik Gustav Radbruch sehingga akan dalam ruang-ruang pengadilan sebagai lembaga menopang dimensi aksiologis. Dimensi ini akan yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran. memenuhi memenuhi ruang-ruang kebutuhan Sebaliknya, apabila cahaya itu memudar, peningkatan kualitas hidup manusia. Aksiologi maka dapat dipastikan putusan pengadilan yang merupakan salah satu cabang filsafat yang hanyalah lembaran kertas yang tak bermakna bermakna kontribusi ilmu pengetahuan guna tanpa memberikan keadilan, kemanfaatan, dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Melalui kepastian hukum sebagaimana diungkapkan dimensi aksiologi akan melipatgandakan makna Gustav Radbruch. esensi dari putusan hakim itu sendiri khususnya Pemenuhan tujuan hukum di atas menjadi “satu-satunya” pilihan hakim dalam memutuskan perkara yang terwujud dalam putusannya sebagai mahkota hakim. Frame Loppy mengemukakan bahwa putusan hakim itu mahkota, mencerminkan segalanya bagi hakim, tanggung jawabnya, kejujurannya, kearifannya, kecerdasannya, kreativitasnya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya, dan lain sebagainya (Asikin, 2011: 63). Jika mahkota hakim tidak mencerminkan tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch, maka mahkota tersebut telah kehilangan makna dan kedudukan yang terhormat. Pandangan masyarakat secara umum tentang hakim dan keadilan ibarat langit dan bumi. Putusan hakim hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Maka, tidak berlebihan sebagaimana pandangan Eman Suparman jika mengatakan keadilan hanyalah menjadi ungkapan yang merdu didengar saja, ternyata hanya “isapan 214 |
jurnal Desember isi.indd 214
keadilan dan kemanfaatan. Kegalauan Gustav Radbruch dan tereliminirnya dimensi aksiologis seakan-akan tergambar dalam Putusan PK Nomor 97 PK/ Pid.Sus/2012 terhadap kasus ST. Putusan ini melepaskan terpidana dalam jeratan hukum sungguh disayangkan hadir dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang berusaha mewujudkan cita-cita sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945. Putusan PK ini memikat untuk dianalisis yang tidak hanya karena adanya benturan terhadap teori milik Gustav Radbruch, namun juga mengejutkan masyarakat umum yang seakan-akan mimpi di siang bolong karena begitu banyak kejanggalankejanggalan yang memudarkan sosok hakim ideal di lembaga puncak keadilan, Mahkamah Agung. Kasus ini bermula saat ST menduduki jabatan sebagai Direktur Utama PT. BPUI, salah
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:03 PM
satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang saham mayoritasnya sebesar 82% dimiliki oleh Bank Indonesia, dianggap menyalahgunakan kewenangannya. ST sebagai pucuk pimpinan PT. BPUI memiliki kewajiban mengelola perusahaan secara tanggung jawab, iktikad baik, dan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential) dalam pengelolaan aset negara, namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan.
KAFL tersebut dengan mengabaikan prinsipprinsip umum kehati-hatian (prudential) dalam pemberian pinjaman/kredit atau investasi. Tindakan ST yang merugikan negara mendorong aparat penegak hukum mengambil langkah hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 25 November 2002 memutuskan ST lolos dari jeratan hukum. Majelis hakim pada tingkat pertama tersebut memutuskan perbuatan ST terbukti, namun bukanlah merupakan tindak pidana karena perbuatannya semata-mata Persoalan mulai muncul pada saat ST perbuatan hukum dalam lingkup perdata. dinilai tidak mengindahkan kewajibannya selama kurun waktu tahun 1995-2000 dengan Jaksa penuntut umum menilai putusan memberikan kemudahan pinjaman kepada Kredit tersebut telah mencederai keadilan sehingga Asia Finance Limited (KAFL), dan selanjutnya, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis KAFL memberikan dana pinjaman tersebut ke hakim kasasi mengabulkan permohonan jaksa dan pihak-pihak lain. Nilai total aliran dana PT. BPUI menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda kepada KAFL telah mengakibatkan kerugian Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) serta negara sebesar US$73.841.119,70 (tujuh puluh membayar uang pengganti Rp.369 miliar (tiga tiga juta delapan ratus empat puluh satu ribu ratus enam puluh sembilan miliar rupiah) yang seratus sembilan belas dan tujuh puluh sen Dollar dibacakan di bulan Desember 2004. Sayangnya, Amerika Serikat) dan Rp.116.391.349.560,- eksekusi terhadap putusan tersebut tidak berjalan (seratus enam belas miliar tiga ratus sembilan sesuai harapan karena ST kabur dan dinyatakan puluh satu juta tiga ratus empat puluh sembilan sebagai buronan dan masuk dalam daftar ribu lima ratus enam puluh rupiah). pencarian orang (DPO). Secara keseluruhan perbuatan ST merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, sebesar US$178.942.801,93 (seratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus empat puluh dua ribu delapan ratus satu dan sembilan puluh tiga sen Dollar Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas dan lima puluh enam sen rupiah).
Proses hukum terpidana ST, tidak berhenti di sini. Tahun 2012, FB, istri selaku ahli waris terpidana, kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) yang tercatat dalam Putusan Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terpidana untuk memohon peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung yang Dalam dakwaan jaksa, aliran dana PT. telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van BPUI sebagai BUMN, melalui atau kepada gewijsde). Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 215
| 215
12/12/2014 3:53:03 PM
Majelis hakim PK memutuskan berbeda dengan putusan kasasi. Putusan PK membatalkan Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 tanggal 03 Desember 2004 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1440/ Pid.B/2001/PN.Jak.Sel. tanggal 25 November 2002. Putusan peninjauan kembali dibacakan pada bulan 31 Juli 2013 memutuskan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Meski demikian, putusan PK tersebut tidak disetujui oleh seluruh anggota majelis. Salah satu Hakim Agung SM menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) yang intinya permohonan PK seharusnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.
intinya, SEMA tersebut melarang terpidana mengajukan PK dalam perkara pidana tanpa dihadiri terpidana sendiri atau ahli warisnya yang pada kasus ini keduanya tidak terpenuhi mengingat ST masih hidup dan buron (KHN, 2013).
Putusan majelis hakim PK inilah yang menimbulkan gejolak yang berkepanjangan di masyarakat umum termasuk Komisi Yudisial (KY). KY memutuskan untuk melakukan kajian mendalam dan pada akhirnya melakukan pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait. Setidaknya poin penting yang menjadi perhatian KY terhadap perkara ini adalah yang mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah istrinya sebagai ahli warisnya, padahal tidak ada keterangan yang menyatakan terpidana sudah meninggal dunia, karena terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003. Terhadap kelalaian ini, KY merekomendasikan sanksi kepada majelis hakim PK kecuali Hakim Agung SM sebagai hakim non palu selama enam bulan.
II.
Salah satu aspek yang kontroversi dalam putusan PK ini adalah perdebatan tentang siapa yang berhak mengajukan upaya hukum ini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 263 ayat (1) membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa PK kepada Mahkamah Agung, sementara status FB adalah sebagai istri dan ST belum meninggal dunia. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah sebagai berikut: apakah Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 telah memenuhi tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch? III. STUDI PUSTAKA
Dalam proses lahirnya putusan hakim, berlangsung apa yang disebut penalaran hukum. Kennet J. Vandevelde menekankan dua hal setiap kali orang berbicara tentang penalaran hukum atau berpikir sebagai ahli hukum. Menurutnya, The phrase to think like a lawyer encapsulates a way of thingking that is characterized by bith the goal pursued and method used.” Maria Farida Majelis hakim PK juga dinilai melanggar menyatakan bahwa persoalan pertama (goal SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan pursued) berdimensi aksiologis, sedangkan yang Permohonan PK dalam Perkara Pidana yang kedua (method used) berdimensi epistemologi memperkuat SEMA No. 6 Tahun 1988. Pada (Hidayat, 2013: 158). Dimensi aksiologis 216 |
jurnal Desember isi.indd 216
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:03 PM
mendorong putusan hakim memberikan manfaat yang sebenar-benarnya bagi ilmu pengetahuan dan manusia, sementara dimensi epistemologi akan fokus pada asal mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain (Fanani, 2010). Secara berurutan keadilan menempati posisi yang pertama, dan selanjutnya aspek jaminan kepastian dan kemanfaatan. Aksiologis menurut kamus filsafat, berasal Meskipun demikian, tujuan hukum milik Gustav dari bahasa Yunani “Axios” (layak, pantas) dan dianggap sebagai satu kesatuan yang saling “Logos” (ilmu). Secara sederhana aksiologi menopang satu dengan yang lain. merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai dan kegunaan dari ilmu pengetahuan. Dalam Keadilan secara umum diartikan sebagai kaitannya dengan putusan hakim, maka dimensi perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara aksiologis akan mewujudkan putusan hakim adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak yang memberikan kesempurnaan hidup manusia, dan berpihak kepada yang benar. Keadilan bukan sebaliknya memunculkan friksi-friksi yang menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi berujung pada hilangnya ruh tujuan hukum, dua prinsip, yaitu pertama tidak merugikan Salah satu teori yang mengungkapkan tentang tujuan hukum adalah milik Gustav Radbruch yang dalam bukunya Rechtsphilosphie mengungkapkan bahwa Nicht dargetan ist der unbedingte Vorrang der durch das positive Recht erfüllten Forderung der Rechtssicherheit vor den von ihm vielleicht unerfüllt gelassenen Forderungen der Gerechtigkeit und der Zweckmäßigkeit, (Radbruch, 1975: 177). Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pada tiap sistem hukum positif, seolah-olah kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemanfaatan.
seseorang, dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi, barulah itu dikatakan adil (Sanusi, 2011: 621). Kedua prinsip ibarat dua sisi keping mata uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena satu dengan yang lain memiliki keterikatan yang erat. Sebaliknya, jika kedua prinsip tersebut dimaknai terpisah akan menimbulkan perbedaan prinsipil. Keadilan harus menjamin tidak adanya kerugian salah satu pihak, dan juga memastikan setiap orang memperoleh sesuai dengan haknya.
Pandangan Aristoteles mengenai keadilan dalam Rhetorica yaitu ius sun cuique tribuere. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan. Keadilan bukan berarti Gustav Radbruch kemudian meralat bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang teorinya bahwa ketiga tujuan hukum sederajat. sama (Apeldoorn, 2008: 11), namun keadilan Perubahan pandangan itu dipengaruhi kenyataan memberikan seseorang sesuai dengan hak dan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah sejauhmana melaksanakan kewajibannya. kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Socrates menyatakan bahwa hakikat Dunia II -dengan jalan membuat hukum yang hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi mengesahkan praktik-praktik kekejaman perang melayani kebutuhan keadilan dan masyarakat.
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 217
| 217
12/12/2014 3:53:03 PM
Hukum menunjukkan pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama yaitu keadilan. Plato merancang suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yaitu partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya, ia mencanangkan suatu negara di mana keadilan dicapai secara sempurna (Wiko, 2009: 11).
hukum menjadi salah satu sisi dari keping mata uang yang sama, keduanya memiliki keterikatan yang erat dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dalam penegakan hukum dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat.
Van Apeldoorn menambahkan bahwa hukum adalah kekuasaan yang bercita-citakan keadilan. Dikatakan bercita-cita karena keadilan Berbicara tentang keadilan, Aristoteles yang sungguh-sungguh tidak dapat dicapai membedakan keadilan distributif (justitia dengan hukum: distributif) dan keadilan kumulatif (justitia 1. Karena hukum terpaksa mengorbankan commulatif). Keadilan distributif ialah suatu keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi keadilan yang memberikan kepada setiap orang hukum bersifat kompromi. didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, sedangkan 2. Karena manusia (hukum adalah buatan keadilan kumulatif adalah keadilan yang manusia) tak dikaruniai Tuhan mengetahui diterima oleh masing-masing anggota tanpa apa yang adil dan tidak adil dalam arti memperdulikan jasa masing-masing (Soeroso, mutlak. Pandangan kita apa yang adil, 2011: 63-64). Berbeda dengan Aristoteles, Franz apa yang menjadi bagian orang lain Magnis Suseno mengatakan bahwa keadilan dapat adalah ditentukan dengan sejarah, jadi dibagi menjadi dua yaitu keadilan individual berubah-ubah menurut tempat dan waktu dan keadilan sosial. Keadilan individual (Apeldoorn, 2008: 67-68). pelaksanaannya tergantung dari kehendak baik Dalam setiap sengketa, keadilan merupakan dan buruk masing-masing individu, sedangkan suatu nilai yang relatif dan subjektif. Bahkan keadilan sosial pelaksanaannya tergantung dari keadilan disebutkan secara jelas dengan istilah struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, rasa keadilan. Rasa keadilan dikatakan bersifat struktur-struktur mana terdapat dalam bidang relatif karena memang tidak ada tolok ukur yang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi bersifat absolut dan universal. Dikatakan subjektif (Widanti, 2005: 7). Pandangan Magnis Suseno karena rasa keadilan seseorang selalu berbeda di atas menegaskan bahwa keadilan individu dengan rasa keadilan orang lain karena setiap berbanding terbalik dengan keadilan sosial. orang memiliki rasa keadilan sendiri-sendiri yang Keadilan sosial membutuhkan pranata dan belum tentu sama dengan rasa keadilan orang lain kekuasaan dalam menegakkan hukum sehingga (Arto, 2011: 78). baru dapat terwujud kalau dalam masyarakat telah tercipta keadilan pada umumnya, di mana setiap Bisa jadi keadilan terwujud bagi seseorang orang memperoleh apa yang menjadi haknya. yang menang dalam sengketa di peradilan, dan sebaliknya ketidakadilan akan dirasakan bagi Aequum et bonum est lex legume, sesuatu mereka yang pada akhirnya kalah di dalam proses yang adil dan baik, adalah hukum dari segala peradilan. hukum (Ranuhandoko, 2006: 35). Keadilan dan 218 |
jurnal Desember isi.indd 218
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:03 PM
Peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembagalembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat. Hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan atau yang sering digunakan kata putusan hakim, oleh karena hakimlah yang memimpin sidang di pengadilan itu (Rahardjo, 2006: 182). Putusan tersebut adalah hukum bagi para pihak yang bersengketa agar menghormati dan menaati serta melaksanakannya meskipun terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dari kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu dengan yang lain. Sekarang ini kita melihat bahwa hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai Tujuan hukum kedua milik Gustav Radbruch karya, oleh Gustav Radbruch ketiganya-tiganya menekankan kepastian hukum. Kepastian dalam disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum. bahasa Inggris adalah certainty atau assurance, Ketiga nilai dasar adalah keadilan, kegunaan, dan (M. Echols & Shadily, 2007: 412). Sementara kepastian hukum (Rahardjo, 2006: 182). Bryan A Garner mendefinisikan assuranceis Keadilan tak pernah berlawanan asas something that gives confidence (Garner, dengan hukum, aequitas non facit jus, sed juri 2010: 135). Berdasarkan definisi di atas, maka auxuliatur (Ranuhandoko, 2006: 35). Salah kepastian dapat didefinisikan secara sederhana satu asas hukum adalah yang menjamin adanya sebagai segala sesuatu yang memberikan bukti kepastian kepada negara dan individu. Nullum kuat sehingga sulit terjadi perubahan, sementara Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (Tidak itu kepastian hukum diartikan sebagai jaminan ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban dahulu) (Moeljatno, 2002: 23). Azas hukum setiap warga negara melalui perangkat hukum. tersebut menjamin adanya keadilan dan kepastian Kepastian hukum akan menjamin seseorang seseorang. Ketentuan hukum harus hadir lebih melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan dahulu untuk menyatakan seseorang melakukan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada tindak pidana dan atau sebaliknya seseorang akan kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki dilepaskan dari jeratan hukum apabila tidak ada ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. ketentuan yang mengatur lebih dahulu. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Dalam proses di pengadilan, keadilan Radbruch mengemukakan kepastian sebagai dan kepastian hukum akan saling memperkuat salah satu tujuan dari hukum. putusan hakim, sehingga menghasilkan putusan Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan yang lebih bermartabat. Kepastian hukum tanpa erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian adanya keadilan akan terasa hambar, begitu juga hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif keadilan tanpa adanya kepastian hukum maka baik ketentuan maupun keputusan hakim. status hukum seseorang laksana buih di lautan.
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 219
| 219
12/12/2014 3:53:04 PM
Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh, bijaksana, dan objektif. Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutuskan perkara, tetapi sudah merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari (Wantu, 2012: 8). Putusan hakim akan selalu melahirkan kesebandingan hukum karena memutuskan satu perkara yang melibatkan kepentingan berbeda di antara dua pihak. Soerjono Dirdjosisworo mengemukakan bahwa betapapun kesebandingan hukum tidak dapat secara mutlak bebas tanpa pedoman yang pasti, sebab kalau hal ini terjadi berarti penerapan kebijaksanaan dan keadilan berjalan tanpa menunjukkan watak dari hukum yang di antaranya menghendaki adanya kepastian yaitu kepastian hukum (Dirdjosisworo, 2008: 135-136).
tatanan kehidupan masyarakat. Tersedianya hukum namun tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat secara luas, maka dapat dipastikan hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Kemanfaatan ini juga harus tercermin pada putusan hakim. Putusan hakim yang memiliki aspek manfaat tidak hanya terkait dunia peradilan semata, namun juga bermanfaat bagi masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan. Putusan hakim yang mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak. Hakim diharapkan dalam menerapkan undangundang maupun hukum yang ada didasarkan pada tujuan atau kemanfaatannya bagi yang berperkara dan masyarakat. Mengingat putusan hakim merupakan hukum, maka hakim harus memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitutio in integrum) (Wantu, 2012: 8). Dalam mewujudkan nilai-nilai kemanfaatan hakim dituntut tidak hanya semata-mata alasan yuridis semata. Apalagi dalam perkara pidana yang menjadi perhatian publik. Di sinilah kearifan hakim diuji untuk mempertimbangkan beragam aspek sebelum memutuskan sebuah perkara.
Tujuan hukum terakhir dari Gustav Radbruch adalah kemanfaatan hukum (zweckmaeszigkeit). Kemanfaatan berasal dari kata dasar manfaat yang bermakna guna, faedah, laba, dan untung (Poerwadarminta, 2006: 744). Hukum yang memiliki nilai manfaat Aspek manfaat ini terkait erat dengan akan memberikan kontribusi optimal dalam dimensi aksiologis. Secara historis, istilah yang 220 |
jurnal Desember isi.indd 220
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:04 PM
lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai (Wardi, 2013: 65). Nilai dasar dimensi aksiologi untuk mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan. Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahankemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta adalah penentuan isi dan nilainilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dan penyalahgunaan hak (Rondonuwu, 2014: 75).
IV. ANALISIS Dalam setiap perkara pidana, adanya putusan bebas selalu menjadi atensi yang kontroversial, apalagi bila putusan itu menjadi public issue (perhatian publik), karena setiap perkara yang mendekati pada urgensi masyarakat akan selalu ditemui political atmosphere (nuansa politik) yang justru menyeliputi perkara itu sendiri secara hukum (Adji & Adji, 2007: 113). Pandangan itu setidaknya tercermin pada Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tentang permohonan PK yang menjadi sorotan masyarakat luas karena melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Putusan PK tersebut menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terpidana ST tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, sehingga hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dipulihkan. Putusan tersebut yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 31 Juli 2013. Putusan PK mengejutkan masyarakat luas lantaran mematahkan Putusan Kasasi Nomor 434 K/ PID/2003 pada tanggal 3 Desember 2004. Adapun amar putusan kasasi menyatakan:
1. Dimensi aksiologis dapat dikatakan menjadi bagian teori tujuan hukum milik Gustav Radbruch. Sayangnya, teori seringkali berbeda dengan fakta yang terjadi. Teori yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch seringkali berbenturan sendiri 2. dengan fakta yang terjadi dalam penegakan hukum. Keadilan misalnya saja, belum tentu akan memberikan nilai manfaat bagi masyarakat, 3. begitu juga dengan kepastian hukum belum tentu menjamin nilai-nilai keadilan.
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 221
Menyatakan bahwa terdakwa ST tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi; Menghukum terdakwa ST oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun; Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; | 221
12/12/2014 3:53:04 PM
4.
Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
5.
Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$98,000,000.00 (sembilan puluh delapan juta Dollar Amerika Serikat) atau Rp.369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah);
6.
Menetapkan barang bukti barang bukti berupa No. 1 sampai dengan 412 digunakan untuk perkara lain, sedangkan No. 1, 2, 3, 4 dirampas untuk negara.
hakim PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Sekedar mengingatkan bahwa permohonan PK adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) baik di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, maupun putusan Mahkamah Agung. PK adalah hak setiap orang khususnya yang dirugikan dalam proses hukum. Andi Hamzah mengemukakan bahwa PK sebagai upaya hukum luar biasa, dan apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan PK itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, dan putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum menjadi pilihan majelis hakim PK dengan mengabulkan permohonan FB. Dasar pengajuan PK tertuang dalam KUHAP Pasal 263 ayat (2). Seseorang dapat mengajukan peninjauan kembali dengan alasan:
Putusan kasasi yang dipimpin Bagir Manan tersebut mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi yaitu jaksa penuntut umum a. pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa melakukan langkah kasasi dikarenakan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/ PN.Jak.Sel., tanggal 25 November 2002, juga melepaskan ST dari jeratan hukum.
Patut disayangkan putusan kasasi tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Hal itu disebabkan ST memilih meninggalkan negeri ini dibanding menjalankan putusan pengadilan. b. Status ST yang kabur selanjutnya termasuk dalam DPO hingga saat ini. Kontroversi putusan ini bermula pengajuan PK dilakukan oleh istri terpidana yang bernama FB. Permohonan FB dikabulkan oleh majelis 222 |
jurnal Desember isi.indd 222
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:04 PM
c.
Apabila putusan itu dengan jelas telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali memperlihatkan suatu kekhilafan hakim putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan atau suatu kekeliruan yang nyata. hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali Berdasarkan KUHAP di atas, pemohon kepada Mahkamah Agung.” mengambil poin b dan c di atas sebagai dasar untuk mengajukan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Dalil bahwa dalam putusan kasasi telah Permohonan tersebut juga diyakini majelis hakim memperoleh kekuatan hukum tetap, maka FB sehingga mengabulkan permohonan PK perkara (istri), yang disebut selaku ahli waris terpidana a quo. Pertanyaan selanjutnya dalam tulisan ini ST mengajukan permohonan PK. FB mendalilkan adalah apakah putusan PK tersebut memenuhi bahwa pengajuannya berdasarkan pada berbagai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, pertimbangan yaitu: dan kemanfaatan (gerechtikeit, rechtssicherheit, • Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP zweckmabigkeit) sebagaimana dimaksud oleh ditentukan pihak-pihak yang berhak Gustav Radbruch dalam rumusan masalah ini? mengajukan PK terhadap putusan Penulis berpandangan guna membedah pengadilan yang telah memperoleh putusan PK ini berdasarkan pandangan Gustav kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan Radbruch yang menggunakan tiga indikator yaitu, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pihak yang mengajukan PK, status dari terpidana adalah terpidana atau ahli warisnya; ST pada saat mengajukan PK, dan amar majelis • Bahwa pemohon PK adalah istri sah dari hakim yang memutuskan melepaskan terpidana terpidana ST yang hingga saat diajukannya dari segala tuntutan hukum. Tiga indikator permohonan tidak pernah melakukan tersebut digambarkan sebagai berikut: perceraian (vide Akta Perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember 1991); 1. Pihak yang Mengajukan PK • Bahwa KUHAP tidak memberikan Dalam penegakan hukum negara pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Indonesia membuka peluang seorang terpidana Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut; yang dihukum bersalah atau pihak lain yang Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku berkepentingan diberi kesempatan terakhir untuk • di Indonesia, selain anak yang sah sebagai menempuh upaya hukum luar biasa yang disebut ahli waris dari orang tuanya, istri juga PK. PK juga disebut sebagai “pintu terakhir” dari merupakan ahli waris dari suaminya; proses peradilan. PK merupakan salah satu upaya hukum • luar biasa yang dikenal dalam sistem peradilan Indonesia. Hal itu dikarenakan tidak semua proses hukum dapat bermuara pada PK. Dasar hukum PK tertera dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “terhadap putusan yang
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 223
Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang
| 223
12/12/2014 3:53:04 PM
mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan peninjauan kembali;
meninggal dunia sehingga FB berhak sebagai ahli warisnya. Terhadap pertimbangan hakim yang mengabulkan permohonan PK tersebut, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan • Bahwa menurut M. Yahya Harahap, S.H., menilai bahwa prosedur PK tidak benar karena antara lain menyatakan bahwa hak ahli waris diajukan oleh istri terpidana. Istri bukan termasuk untuk mengajukan peninjauan kembali. ahli waris karena terpidana belum meninggal. Majelis hakim PK berpandangan Keluarga dapat mengajukan PK jika terpidana alasan tersebut di atas dapat secara formil dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk diterima karena memenuhi KUHAP. Hakim PK, misalnya sakit. Selain itu, kata Bagir, status menimbang bahwa FB sebagai pihak yang sah buron juga dipertimbangkan. Arti buron adalah untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang bersangkutan melawan putusan hakim. tersebut. Dalam pertimbangannya, majelis Tindakan pemohon PK telah melecehkan hakim hakim berdasarkan pada pandangan M. Yahya (Hikmawati, 2013). Harahap, S.H., sebagaimana tertulis dalam Penulis sependapat dengan pandangan bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Bagir di atas. Alangkah arifnya apabila majelis Penerapan KUHAP,” disebutkan berdasarkan hakim PK lebih dahulu memperjelas status ST alasan pemohon: “bahwa hak ahli waris untuk sebelum menerima permohonan PK. Dengan mengajukan PK bukan merupakan hak substitusi kewenangannya hakim dapat meminta kepada yang diperoleh setelah terpidana meninggal pemohon membuktikan status dari ST lebih dunia. Hak tersebut adalah hak orisinil yang dahulu sebelum mengajukan PK. diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan terpidana. Hakim juga tidak boleh berkilah KUHAP Menurut pandangan penulis, pertimbangan majelis hakim di atas masih menjadi bahan perdebatan dari berbagai kalangan. Majelis hakim dinilai tidak mengutip dengan secara lengkap pendapat Yahya Harahap, sebagai berikut: “Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali, sekalipun terpidana masih hidup.” (Harahap, 2009: 617). Pertimbangan hakim tersebut menjadi kontroversi karena keberadaan FB sebagai pihak pemohon. Status tersebut masih menjadi perdebatan lantaran status ST belum jelas, sudah meninggal dunia, atau masih hidup. Dibutuhkan legalitas yang sah membuktikan ST telah 224 |
jurnal Desember isi.indd 224
belum menjelaskan arti status “ahli waris,” sehingga dapat menerima permohonan PK. Bagir Manan mengemukakan putusan hakim adalah hukum yang mengikat pihak-pihak yang berkepentingan. Bagir Manan mengatakan memutus menurut hukum merupakan tugas pertama dan terakhir seorang hakim. Hukum adalah pintu keluar setiap putusan hakim. Oleh karenanya hakim memiliki tiga fungsi yaitu menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing), penemu hukum, dan menciptakan hukum (Manan, 2007: 11-14). Dalam kerangka hakim sebagai pencipta hukum maka ia harus secara aktif untuk melihat secara utuh permohonan PK. Misalnya saja, hakim dapat mengadopsi pandangan masyarakat berdasarkan hukum waris Islam. Waris dan warisan adalah pihak dan objek setelah salah satu Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:04 PM
pihak dalam ikatan suami istri telah meninggal dunia. Merujuk dasar dalam hukum Islam tersebut maka status FB adalah sebagai istri bukan sebagai ahli warisnya. 2.
Status dari Terpidana ST pada Saat Mengajukan PK
namun lebih jauh menyangkut moral dan etika warga negara di mata hukum yang tidak bersedia tunduk pada hukum dalam putusan kasasi. Dibandingkan majelis hakim PK lainnya, penulis berpandangan bahwa alasan Hakim Agung SM yang mengatakan ironis apabila ahli waris terpidana menuntut haknya sementara kewajiban terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan, jauh lebih bisa diterima oleh nalar. Dengan status DPO maka status ST bukanlah terpidana yang menjalani hukuman sebagaimana diungkapkan Yahya Harahap di atas, melainkan terpidana yang menghindari putusan hukum.
Status ST pada saat FB mengajukan permohonan PK adalah seorang DPO. ST menghindarkan diri dari jeratan hukum putusan kasasi. Status ST yang dinilai tidak taat hukum menjadi sorotan masyarakat luas, dan menimbulkan kecurigaan yang mendalam mengapa permohonan PK tersebut diterima oleh Ketidakhadiran terpidana dalam PK Mahkamah Agung. Dari sudut pandangan Yahya Harahap di atas, terdapat penafsiran mendasar menjadi persoalan tersendiri. Mekanisme yang menegaskan terpidana yang masih hidup pengajuan peninjauan kembali dalam KUHAP dan sedang menjalani hukuman. Fakta yang Pasal 263 ayat (1), sangat terkait dengan ketentuan terjadi berbanding terbalik di mana ST tidak KUHAP Pasal 265 ayat (1), (2), dan (3), yang sedang menjalani hukuman dan tercatat sebagai menyatakan: DPO.
1.
Dalam kerangka ketaatan terhadap hukum, sosok ST bukanlah seseorang yang tunduk pada hukum dan putusan peradilan. Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 telah memutuskan yang bersangkutan bersalah, namun ia justru memilih kabur dan menjadi salah satu DPO. Dalam konsepsi negara Indonesia adalah negara hukum. Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat 2. (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” maka setiap warga negara wajib menaati hukum yang 3. berlaku. Ketidaktaatan hukum tersebut semestinya menjadi catatan tersendiri bagi majelis hakim bahwa permohonan PK dari terpidana DPO bukan hanya persoalan hukum formal semata, Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 225
Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera. Dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. | 225
12/12/2014 3:53:04 PM
Terhadap ketentuan di atas, Komisi Hukum Nasional berpandangan bahwa Pasal 263 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa terpidana atau ahli waris yang dapat mengajukan PK. Pada kasus ini, ST telah melalui putusan kasasi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, apabila mengikuti kaidah dari pasal tersebut dan dalam kaitannya dengan Pasal 265 ayat (2) dan ayat (3), maka seharusnya yang hadir adalah ST (KHN, 2013).
Menurut penulis, fakta di atas memperlihatkan adanya “iktikad kurang baik” majelis hakim tunduk pada SEMA tersebut. Apabila majelis hakim lebih berhati-hati dan tunduk pada ketentuan SEMA maka permintaan PK tidak diterima, sehingga hasil akhir putusan PK dapat dipastikan berbeda dengan putusan PK sekarang ini. Terlebih majelis hakim PK ini memiliki waktu yang cukup untuk menjalankan SEMA tersebut. Putusan PK tersebut tercatat pada tanggal 31 Juli 2013, sementara tanggal Tidak berlebihan keputusan menerima surat dalam SEMA No. 1 Tahun 2012 adalah 28 permohonan majelis PK menjadi pertanyaan Juni 2012. Ini artinya jangka waktu putusan PK berbagai pihak karena ST berstatus sebagai dan pemberlakuan SEMA terdapat selisih waktu DPO. Status ST justru melanggar Surat Edaran lebih dari satu tahun, sehingga majelis hakim Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 seharusnya mempertimbangkan keberadaan yang memperkuat SEMA No. 6 Tahun 1988 SEMA tersebut. tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Dalam SEMA tersebut Mahkamah Agung menegaskan 3. Lepas dari Segala Tuntutan Hukum permintaan PK hanya dapat diajukan oleh Putusan lepas dari segala tuntutan terpidana dan ahli warisnya. Permintaan PK hukum sebenarnya berhubungan dengan yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana masalah pertanggungjawaban pidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan (strafuitsluitingsgronden) baik karena seseorang tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak tidak dapat dipertanggungjawabkan atas dilanjutkan ke Mahkamah Agung. perbuatannya (ontoerekeningsvatbaar) maupun Terhadap pemberlakuan SEMA tersebut, SHD selaku Ketua Majelis Peninjauan Kembali berkilah bahwa pengajuan permohonan PK pada bulan Januari 2012, sedangkan SEMA tersebut berlaku per April 2012 (Hikmawati, 2013). Alasan Hakim Agung SHD benar adanya karena SEMA ini tertanggal pada 28 Juni 2012, dan tidak berlaku surut. Dalam situasi ini dibutuhkan kearifan majelis hakim agar tunduk pada SEMA walaupun terdapat klausul bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana atau ahli warisnya sebelum berlakunya SEMA, agar berkas perkaranya dilanjutkan ke Mahkamah Agung. 226 |
jurnal Desember isi.indd 226
karena perbuatan itu sendiri yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya (ontoerekenbaarheid). Suatu perbuatan dikatakan perbuatan tindak pidana, selain harus memenuhi unsur-unsur delik juga harus mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld). Jika suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukum karena adanya alasan pembenar atau kesalahan dalam diri si pelaku menjadi gugur karena ada alasan pemaaf, maka sesungguhnya perbuatan yang dilakukan bukanlah tindak pidana karena orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana (Witanto, 2011).
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:04 PM
Lepas dari hukum (ontslag van rechtsvervolging) tertuang dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP dinyatakan ”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Dalam praktik peradilan pidana sering kali terdapat putusan hakim yang terhadap terdakwa yang menyatakan lepas dari hukum karena perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana seperti berada ranah hukum perdata. Hakim pada saat menjatuhkan putusan ontslag van rechtsvervolging hendaknya benarbenar dengan pertimbangan yang matang dan didukung setidak-tidaknya dengan dua alat bukti yang sah. Keputusan mengambil putusan ini membutuhkan keyakinan hakim bahwa perbuatan terdakwa dengan adanya keadaankeadaan istimewa sehingga lepas dari segala tuntutan hukum. Lepas dari hukum ini menjadi amar dalam PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Menurut penulis, keadaan istimewa tersebut tidak terjadi dalam putusan PK tersebut. Putusan PK yang menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana ST tersebut “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi, dan dakwaan jaksa penuntut umum. Pertimbangan majelis hakim PK memutuskan putusan lepas dari segala tuntutan hukum antara lain: pertama, nilai uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat dihitung karena uang yang mengalir dari PT. BPUI
kepada KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd didasari hubungan perdata dalam bentuk pinjam meminjam uang, yang saat disidangkan oleh judex facti masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utangutang debitur serta langkah-langkah lainnya. Kedua, pembebanan uang pengganti sejumlah utang para debitur yakni US$98,000,000 dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah lima puluh enam sen), padahal menurut Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketiga, PT. BPUI sejak berdiri tahun 1973 sampai dengan tahun 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak terdakwa ditunjuk sebagai direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP, sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dollar akibat krisis moneter, kerugian tahun 1999, dan tahun 2000 juga disebabkan oleh krisis moneter. Keempat, meskipun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pertimbangan hakim di atas sebagai alasan pembenar bahwa tindakan terpidana ST akhirnya lepas dari segala tuntutan hukum tanpa perlu mempertanggungjawabkan kesalahan dalam pengelolaan perusahaan milik negara. Seharusnya majelis hakim harus membedah lebih
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 227
| 227
12/12/2014 3:53:05 PM
dalam unsur kerugian tersebut apakah terdapat dengan optimal tanpa ada intervensi dari pihak kesengajaan dan mengabaikan asas prudensial lain. dalam pemberian kredit kepada pihak lain. Andi Hamzah mengatakan salah satu upaya Terkait dengan kerugian akibat perbedaan hukum dalam ranah kekuasaan yudikatif adalah nilai kurs, majelis hakim seyogianya menghitung PK yang disebut sebagai upaya hukum luar biasa. kerugian akibat perbedaan nilai kurs lebih dahulu. Putusan PK dapat dikatakan sebagai pintu akhir Asumsi kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,- mencari keadilan karena tidak semua proses harus dihitung lebih dahulu nilai pinjaman awal, hukum dapat bermuara pada PK. Seseorang selanjutnya dilakukan penghitungan penurunan dapat mengajukan PK dengan syarat yang ketat nilai mata uang rupiah terhadap pinjaman. Jika sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Syarat hasil penghitungan adalah penurunan nilai akibat ketat itu mendorong seharusnya putusan PK kurs dengan nilai pinjaman yang sama, maka alasan adalah putusan ideal sehingga menjadi hukum lepas dari hukum dapat diterima. Sebaliknya, jika yang dapat diterima semua kalangan tanpa perhitungan nilai kerugian dengan penurunan nilai ada perdebatan maupun friksi dalam tatanan mata uang berbeda, maka terdapat unsur kerugian kehidupan negara hukum. Putusan hakim sebagai dan kesengajaan dari terpidana. hukum yang ideal inilah sejalan dengan harapan Gustav Radbruch, tentang tujuan hukum untuk menjamin kepastian, memberikan keadilan, dan 4. Putusan PK dan Gustav Radbruch kemanfaatan. Satjipto mengemukakan bahwa peradilan Putusan yang baik dan bijaksana dapat menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam dipastikan akan mengandung tiga tujuan hukum proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang di atas. Sebaliknya, putusan yang kurang baik terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, hanya akan cenderung mengedepankan satu kejaksaan, dan advokat. Hasil akhir dari proses tujuan hukum dibandingkan tujuan hukum yang peradilan tersebut berupa putusan pengadilan lain. Putusan yang kurang baik biasanya akan atau yang sering digunakan kata putusan hakim, mengundang polemik di masyarakat luas. oleh karena hakimlah yang memimpin sidang di Penulis berpendapat salah satu yang tidak pengadilan itu. Putusan hakim dianggap benar sejalan dengan tujuan hukum milik Gustav sepanjang belum ada putusan jenjang lebih tinggi Radbruch adalah Putusan PK Nomor 97 PK/Pid. yang membatalkannya. Sus/2012. Putusan ini mengundang perdebatan Keberadaan lembaga peradilan dalam panjang karena sulit diterima oleh masyarakat konsepsi negara hukum memiliki peran yang luas. Analisis untuk membedah putusan PK penting. Peran ini tidak bisa dilakukan oleh dengan menggunakan pandangan Gustav cabang kekuasaan yang lain karena memiliki Radbruch memakai tiga indikator yaitu, pihak keunikan tersendiri khususnya dalam bidang yang mengajukan PK, status dari terpidana ST penegakan hukum dan yudikatif. Independensi pada saat mengajukan PK, dan amar majelis dan imparsialitas pengadilan menjadi indikator hakim memutuskan melepaskan terpidana dari utama menjamin kekuasaan yudikatif berjalan segala tuntutan hukum. Tiga indikator tersebut 228 |
jurnal Desember isi.indd 228
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:05 PM
penting untuk menunjukkan ada dan tidak adanya pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian dari putusan menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi PK tersebut. ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat Pertama, dari aspek keadilan. Mengutip diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan pandangan keadilan dalam pandangan Aristoteles dari orang yang meninggal dunia kepada ahli dimaknai sebagai ius sun cuique tribuere, warisnya yang masih hidup. Sementara ahli keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan waris adalah pihak yang berhak mendapatkan penyamarataan sehingga keadilan bukan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih sama. Keadilan mengedepankan keseimbangan hidup. Ahli waris membutuhkan syarat kematian antara hak dan kewajiban. Dikatakan tidak adil dari salah satu pihak dan selanjutnya memperoleh apabila hak yang diperoleh lebih besar atau hak kebendaan. kecil dari kewajiban yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Dalam KUHAP dijabarkan bahwa Berpijak pada konsepsi hukum Islam pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana tersebut maka, syarat “ahli waris” ini FB, selaku dan ahli warisnya. Syarat ini mengisyaratkan pihak yang mengajukan PK Nomor 97 PK/Pid. tidak semua pihak dapat mengajukan PK. Sus/2012, tidak terpenuhi. Ini bermakna FB bukan Peluang itu diharapkan memberikan keadilan sebagai ahli waris, namun sebagai istri terpidana. dan menjamin kepastian hukum kepada terpidana Dengan demikian, adilkah permohonan PK ini dan ahli warisnya terhadap perkara yang sedang diterima? Menjawab pertanyaan tersebut, salah dihadapinya. satu hakim agung yang mengadili permohonan Secara normatif berdasarkan pandangan di atas dalam Putusan PK Nomor 97 PK/Pid. Sus/2012 pihak yang dapat mengajukan PK adalah ST dan ahli warisnya. Status ahli waris ini menjadi pertanyaan mendasar apakah ST telah meninggal dunia? Dalam kenyataannya ST dinyatakan sebagai DPO dan belum ada kepastian status meninggalnya mantan Dirut PT. BPUI tersebut. Selanjutnya, yang mengajukan PK adalah FB sebagai istri dari ST yang dalan status permohonannya tertulis sebagai ahli waris. Bolehkah FB sebagai ahli waris ST, sementara yang bersangkutan belum memiliki legalitas yang menyatakan sudah meninggal dunia? Apabila kita berkaca pada konsepsi hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
tersebut, Hakim Agung SM menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) yang intinya permohonan PK tidak dapat diterima. Hakim Agung SM beralasan bahwa: 1.
Bahwa permohonan peninjauan kembali diajukan oleh istri terpidana;
2.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, artinya ahli waris dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila terpidana sudah meninggal dunia;
3.
Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan terpidana sudah meninggal dunia, karena terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 229
| 229
12/12/2014 3:53:05 PM
diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi sehingga barang bukti dirampas untuk negara; 4.
Bahwa adalah ironis apabila ahli waris terpidana menuntut haknya sementara kewajiban terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan.
Penulis sependapat dengan pandangan Hakim Agung SM. Alasan SM untuk menolak permohonan PK lebih bisa diterima oleh persepsi historis, dan legalitik. Persepsi historis dimaksudkan bahwa ST adalah adanya putusan kasasi, sementara persepsi legalistik membutuhkan dasar legal formal apabila ST telah meninggal dunia. Putusan PK ini dirasakan jauh dari rasa keadilan karena keberadaan dan status terpidana ST yang masih belum jelas. Kepastian terpidana yang masih hidup dan sudah meninggal menjadi pertanyaan yang mendasar, namun yang pasti adalah ST tidak sedang menjalani hukuman dan tercatat salah satu DPO. Pandangan Yahya Harahap dalam bukunya yang memperbolehkan pengajuan PK adalah terpidana yang menjalani hukuman, sementara ST sendiri tidak menjalani hukum. ST tidak bersedia tunduk pada hukum dan putusan peradilan, dan memilih kabur dibandingkan menjalankan putusan kasasi, telah mengoyak rasa keadilan di mana seseorang yang tidak menghargai putusan kasasi, dan negara Indonesia sebagai negara hukum. Ini jelas bahwa pandangan Yahya Harahap secara utuh telah dikesampingkan oleh majelis hakim.
230 |
jurnal Desember isi.indd 230
Rasa keadilan juga patut dipertanyakan kepada majelis hakim PK dalam menjalankan SEMA No. 1 Tahun 2012 yang mulai berlaku pada tanggal 28 Juni 2012. Jangka waktu antara pembacaan putusan dan pemberlakuan SEMA dalam jangka waktu lebih dari satu tahun. SEMA menegaskan permintaan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya, oleh karena itu dengan status ST yang belum jelas, maka seyogianya majelis PK menyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan oleh Mahkamah Agung. Amar Putusan PK Nomor 97 PK/Pid. Sus/2012 yang melepaskan terpidana lepas dari segala tuntutan hukum, ontslag van rechtsvervolging, dinilai tidak dipertimbangkan dengan matang dan didukung setidak-tidaknya dengan dua alat bukti yang sah. Keputusan mengambil putusan ini seakan-akan memberikan keistimewaan terpidana sehingga lepas dari segala tuntutan hukum justru tidak memberikan keadilan, sehingga aequum et bonum est lex legume, sesuatu yang adil dan baik, adalah hukum dari segala hukum, seakan-akan sirna. Asas keadilan juga menjadi pertanyaan mendasar bahwa majelis hakim berpendapat alasan-alasan bahwa perbuatan terpidana lepas dari jeratan hukum di antaranya nilai kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat dihitung, kerugian karena adanya selisih kurs, nilai pembebanan uang pengganti sejumlah utang para debitur jauh dari ketentuan hukum yang berlaku, terdakwa pernah memberikan keuntungan dalam mengelola PT. BPUI, dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:05 PM
Atas rasa keadilan maka alasan di atas harus ditepiskan oleh majelis hakim karena ada faktor-faktor lain tidak kalah penting yaitu kehatihatian dalam pencarian kredit, dan sejauhmana dana kredit tersebut mengalir. Putusan PK ini dirasakan hambar lantaran majelis hakim tidak mengupas secara mendalam alasan di atas, misalnya saja,unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi. Sebaliknya, majelis hakim berpandangan karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Padahal hal tersebut dapat dikupas lebih mendalam oleh majelis hakim sejauhmana terpidana kurang berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada pihak kedua tanpa adanya jaminan sesuai dengan nilai kredit yang dicairkan.
Kepastian dibutuhkan untuk memberikan jaminan legalitas di mata hukum. Kepastian ini juga berlaku bagi ST dan keluarganya, termasuk FB. Putusan PK yang menyatakan bahwa melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum bermakna apa yang dilakukan oleh ST tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum karena bersifat keperdataan. Putusan tersebut memberikan kepastian tentang perbuatan yang dilakukan oleh ST. Putusan PK telah menegaskan perbuatan yang dilakukan ST hingga dampak dari kerugian keuangan negara telah dimaafkan, dan dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya dipulihkan. Ini berarti ST memperoleh kepastian tentang kasus posisinya dan kembali memperoleh haknya sebagaimana warga negara yang lain. Putusan lepas dari jeratan hukum dalam perkara pidana mengundang atensi dari masyarakat terlebih dalam perkara korupsi. Melihat atensi tersebut hakim memiliki kewajiban untuk berhatihati dan memiliki keyakinan bahwa perbuatan terdakwa dengan adanya keadaan-keadaan istimewa sehingga lepas dari segala tuntutan hukum terlebih perbuatan yang dilakukan ST terbukti.
Kedua, aspek kepastian hukum. Satjipto sebagaimana di atas mengungkapkan bahwa masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dari kepentingankepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu dengan yang lain. Merujuk pada pandangan Satjipto, maka dapat Dengan amar “terbukti” majelis hakim disimpulkan bahwa kepastian diperlukan oleh sudah menemukan adanya kesalahan yang masyarakat guna mewujudkan keadilan dalam dilakukan oleh ST. Namun, karena kesalahan proses penegakan hukum. berada di ranah keperdataan maka kesalahan Dalam koridor putusan PK ini, pihak-pihak tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman. Meskipun yang berperkara membutuhkan kepastian hukum mengundang hujatan publik, putusan PK ini apakah terpidana bersalah dan menjalankan dianggap benar sepanjang belum ada putusan PK hukuman atau tidak bersalah sehingga lepas kedua yang membatalkannya. Peluang pengajuan dari tuntutan hukum. Kedua kepastian tersebut PK kedua juga tidak mudah karena jaksa penuntut melahirkan konsekuensi yang berbeda apabila umum membutuhkan bukti lain yang lebih kuat diputuskan bersalah maka terpidana harus guna membuktikan kesalahan yang dilakukan menjalani hukuman, sementara jika diputuskan ST. Kepastian hukum merupakan sesuai yang tidak bersalah maka ia harus dibebaskan. bersifat normatif berdasarkan peraturan maupun Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 231
| 231
12/12/2014 3:53:05 PM
putusan hakim. Dengan adanya putusan PK tersebut maka status hukum ST sudah jelas, dan oleh karena itu setiap orang wajib menghormati dan menghargai putusan PK tersebut. Ketiga, aspek kemanfaatan. Aspek kemanfaatan ini tidak kalah penting dengan dua aspek lain yang disampaikan oleh Gustav Radbruch karena tidak hanya bermanfaat kepada individu pencari keadilan itu sendiri, namun juga memberikan efek kepada masyarakat secara luas. Putusan yang mengandung nilai kemanfaatan mempertimbangkan hasil akhirnya. Apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak? Atau sebaliknya, putusan hakim justru akan menciptakan situasi baru yang membawa ketidakstabilan hukum dan masyarakat itu sendiri? Pilihan itu yang hendak dijawab hakim sendiri dalam memutuskan perkara harus mencerminkan kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pandangan penulis, nilai kemanfaatan putusan PK jauh dari harapan. Sebab, kemanfaatan putusan ini hanya kepada pihak yang berperkara saja, sementara kemanfaatan kepada masyarakat tidak terlihat. Justru putusan ini menimbulkan gejolak di masyarakat yang tidak puas dengan keputusan majelis hakim. Menyadur pandangan Fence, dalam ruang lingkup yang kecil, kemanfaatan hukum (zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi perbuatan yang sama di kemudian hari. Dengan adanya sanksi bagi yang melanggar diharapkan akan muncul efek jera dan berhatihati agar tidak mengulang perbuatan yang sama. Dalam rangka memberikan efek jera tersebut maka putusan hakim harus memberikan manfaat
232 |
jurnal Desember isi.indd 232
bagi masyarakat. Sementara dalam lingkup yang lebih luas, kemanfaatan akan memelihara keseimbangan dalam masyarakat dan mendorong memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitutio in integrum). Harapan Fence akan sulit diwujudkan dalam kaitannya putusan PK di atas. Putusan PK justru akan mendorong lepas dari tuntutan hukum dalam peristiwa yang sama. Sikap ketidakhatihatian atau pruden sebagai pimpinan BUMN dalam mengelola aset negara akan berkurang dan senantiasa berujung pada berkurangnya nilai ekonomis perusahaan dan selalu menderita kerugian keuangan. Sanksi yang diharapkan akan memberikan efek jera justru hanya menjadi pemanis dinding tanpa memiliki dampak untuk mengubah perilaku seseorang. Putusan PK ini juga sulit mengembalikan kepercayaan kepada masyarakat untuk kembali pada tatanan semua, restitution in integrum. Putusan ini justru memperburuk tatanan sosial karena memiliki alasan pembenar untuk melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara di masa mendatang dengan dalil pembenar yang sejatinya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Menurut pandangan penulis, putusan PK ini hanya semata-mata mengedepankan alasan legal formal semata, namun mengesampingkan nilai kemanfaatan kepada masyarakat. Putusan hakim yang seharusnya memberikan menimbulkan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang tidak terwujud karena terpidana dinyatakan lepas dari jeratan hukum sama sekali. Pada akhirnya hukum yang seharusnya mendorong kemanfaatan dengan mengembalikan tatanan kehidupan masyarakat pada kondisi ideal justru mendorong terciptanya kondisi sebaliknya. Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:05 PM
Dimensi aksiologis yang berkolaborasi dengan kemanfaatan juga seakan-akan jauh panggang dari api. Nilai dasar dimensi aksiologi untuk mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan dan meningkatkan kualitas hidup manusia juga tidak tercermin dalam putusan ini. Sebaliknya, pilihan majelis hakim PK sejak awal sudah mempersempit ruang penalarannya pada pilihanpilihan normatif, sehingga putusan yang diambil juga cenderung normatif pula.
ahli warisnya. Majelis PK seharusnya menilai kejelasan status ST apakah sudah meninggal atau masih hidup, sehingga berdampak pada status FB sebagai ahli waris yang sah. Putusan ini tidak memberikan nilai keadilan karena membuka peluang terjadinya perselingkuhan hukum dengan argumentasi yang masih bisa diperdebatkan.
Kedua, status ST pada saat pengajuan PK. Rasa keadilan juga dirasakan jauh dari putusan PK ini karena keberadaan dan status terpidana pada saat mengajukan PK yang memilih melarikan diri. Status DPO seharusnya menjadi perhatian majelis V. SIMPULAN hakim untuk menilai lebih saksama permohonan Tulisan ini diharapkan akan mampu PK yang seharusnya tidak dapat diterima. menjawab rumusan masalah di atas yang Ketiga, lepas dari segala tuntutan hukum. mempertanyakan unsur tujuan hukum Putusan hakim seharusnya menimbulkan efek sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi di masa dalam Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. mendatang. Harapan itu tidak terjadi karena Penulis berkesimpulan bahwa putusan PK ini putusan dapat menjadi alasan pembenar perkara jauh dari nilai keadilan dan kemanfaatan, namun serupa di masa mendatang sehingga menjadi memberikan kepastian hukum terhadap ST dan yurisprudensi dalam kasus-kasus yang lain. keluarganya. Putusan PK ini juga seakan-akan Hakim memiliki kewajiban dalam membangun kontradiksi antara keadilan dan memutuskan perkara dengan mengedepankan kemanfaatan terhadap kepastian hukum. asas kemanfaatan. Namun hal itu tidak terlihat Kontradiksi di atas menunjukkan putusan dalam putusan PK ST yang memutuskan ini juga jauh dari dimensi aksiologis, kemanfaatan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum terhadap sebuah “nilai” yang lahir dalam sehingga dirasakan jauh dari nilai kemanfaatan keputusan hukum. Putusan ini tidak mendorong dan keadilan. Hakim dapat mengurai lebih dalam kemanfaatan nilai dalam rangka peningkatan peran ST mengucurkan kredit kepada pihak ketiga kualitas manusia dan mewujudkan keadilan, tanpa melalui proses due diligence sebagai prinsip sebaliknya cenderung normatif sehingga kehati-hatian dan good governance sebagaimana memberikan kepastian hukum semata. diatur dalam ketentuan yang berlaku saat itu. Kesimpulan penulis ini berdasarkan pada tiga indikator, pertama, pihak yang mengajukan PK. Status FB sebagai istri ST tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan PK karena KUHAP menegaskan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana dan Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 233
| 233
12/12/2014 3:53:05 PM
DAFTAR PUSTAKA
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.
Adji, Oemar Seno & Indriyanto Seno Adji. April 2007.
Komisi Hukum Nasional (KHN). 2013. “Kontroversi
Peradilan Bebas Contempt of Court. Cetakan
Putusan Peninjauan Kembali Sudjiono Timan.”
1. Jakarta: Diadit Media.
Akses pada tanggal 4 November 2014. http://
Apeldoorn, L.J. Van. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: Pradnya Paramita.
khn.hukumonline.com/khn/file/KLOB10. M. Echols, John & Hassan Shadily. 2007. Kamus Indonesia-Inggris.
Arto, A. Mukti. 2011. Redefinisi Fungsi Pengadilan sebagai Penegak Hukum dan Keadilan: Kajian
Edisi
Ketiga.
Cet.
Kesepuluh. Jakarta: PT Gramedia Jakarta. Manan, Bagir. 2007. Hakim sebagai Pembaharu
Penyelenggaraan
Hukum. Varia Peradilan, Tahun ke XXII No.
Peradilan Guna Membangun Paradigma Baru.
254 Januari 2007. Jakarta: IKAHI Mahkamah
Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Teoritis
dan
Pragmatis
Agung Republik Indonesia. Asikin.
2011.
Rekonstruksi
Teori
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan Pemerataan
Keadilan.Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dirdjosisworo, Soerjono. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
ketujuh. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Muqoddas, Busyro, 2006. Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial. Bunga Rampai Refleksi satu tahun Komisi Yudisial. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Fanani, Ahmad Zaenal. 2010. “Menomorsatukan
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa
Keadilan.”Artikel ini pernah dimuat di Rubrik
Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Opini Koran Nasional Banjarmasin Post tanggal 5 Mei 2010. Akses 4 November 2014. www.badilag.net. Garner, Bryan A. 2010. Black’s Law Dictionary. Eight edition. USA: Thomson West. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Hidayat, Arif. 2013. Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan. Jurnal Pandecta, Volume 8. Nomor 8. Semarang. Hikmawati, Puteri. 2013. Polemik Putusan Peninjauan Kembali Sudjiono Timan. Info Singkat, Vol. V, No. 17/I/P3DI/September/2013. Jakarta: Pusat Pengkajian, Majalah, Pengolahan Data dan
234 |
jurnal Desember isi.indd 234
Radbruch. Gustav. 1975. Rechtsphilosophie. Stuttgart: K.F. Koehler Verlag. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan keenam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Ranuhandoko,
I.P.M.2006.Terminologi
Hukum
Inggris-Indonesia.Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika. Rondonuwu, Diana E. 2014. Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum. Jurnal Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014. Sanusi, Arsyad. 2011. Keadilan Substantif dan Problem Atika Penegakannya. Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235
12/12/2014 3:53:05 PM
Soeroso, 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua belas. Jakarta: Sinar Grafika. Suparman, Eman. 2012. Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial. Bunga Rampai Dialektika Pembaharuan
Sistem
Hukum
Indonesia.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Wantu, Fence M. 2012. Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012.
Purwokerto:
Universitas
Jenderal
Sudirman. Wardi, Moh. 2013. Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya (Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis). Jurnal Tadris, Volume 8 Nomor 1 Juni. Pamekasan: STAIN. Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Gender. Cetakan 1, Juni. Jakarta: Kompas. Wiko, Garuda. 2009. Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan, Buku Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Witanto, D.Y. 2011. Memahami Perbedaan Antara Wanprestasi
dan
Delik
Penipuan
dalam
Hubungan Kontraktual. Varia Peradilan, Edisi XXVI No. 308 Juli. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto)
jurnal Desember isi.indd 235
| 235
12/12/2014 3:53:06 PM
jurnal Desember isi.indd 236
12/12/2014 3:53:06 PM
PENAFSIRAN HAKIM TENTANG KONSTITUSIONALITAS DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PIDANA MATI Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011
THE INTERPRETATION OF JUDGE ON CONSTITUTIONALITY AND HUMAN RIGHTS VIOLATIONS REGARDING TO CAPITAL PUNISHMENT An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat 10510 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 4 November 2014; revisi: 19 November 2014; disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK Norma pidana mati tersebar pada peraturan perundangundangan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan tentang konstitusionalitas norma pidana mati dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007. Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (meskipun masih terdapat disparitas tafsir terkait pertimbangan hal meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa). Namun terdapat satu putusan kasasi dengan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pidana mati. Berdasarkan hasil analisis, pada putusan tersebut diketahui terdapat penafsiran yang kurang proporsional (melampaui kewenangannya) dan kurang sistematis dalam membaca dan menafsirkan undang-undang sehingga dapat dikatakan untuk cenderung tidak sesuai dengan kaidah penafsiran hukum yang berlaku. Demi menjaga konsistensi penerapan dan penafsiran hukum dalam konteks mewujudkan kepastian dan keadilan hukum, serta sebagai bentuk akuntabilitas yudisial kepada masyarakat maka diperlukan pelurusan penafsiran yang sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi
pada kamar pidana Mahkamah Agung guna menentukan kesepakatan tafsir. Hingga akhirnya tercipta harmonisasi penerapan dan penafsiran hukum yang berujung pada terbentuknya ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Kata kunci: konstitusionalitas, hak asasi manusia, pidana mati. ABSTRACT The norm pertaining to capital punishment has been dispersed on the laws and regulations in Indonesia. The Constitutional Court has also underscored the constitutionality of the capital punishment norm in the Decision Number 2/PUU-V/2007 and Number 3/PUUV/2007. In general, the capital punishment is applied by the Supreme Court and the courts below it (although there are still disparities in the interpretation, in terms of considering the qualifications and alleviating the extraordinary crime). However there is also Cassation Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011, which in its legal considerations, concerned about the constitutionality and human rights violations in capital punishment. Based on the author’s analysis, there is a disproportionate interpretation (overreaching) and unsystematic, in reading and interpreting the law in the decision,
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 237
| 237
12/12/2014 3:53:06 PM
even not in accordance to the rules of interpretation of the prevailing law. To keep the consistency in the application and interpretation of the law in the context of realizing the legal certainty and justice, as a form of judicial accountability to the public, straightening out the interpretation to conform with the prevailing law is crucial. It is crucial to unify and integrate the
I.
perception and interpretation in the criminal chamber of the Supreme Court. Thus, a harmonization of the interpretation and implementation of the law for the imposition of legal certainty and social justice can be achieved. Keywords: constitutionality, human rights, capital punishment.
PENDAHULUAN
mengubah paradigma dan perilaku masyarakat pada umumnya melalui sistem kenegaraan yang Pidana mati sebagai bagian dari sanksi berlaku (Witanto, 2012: 220), khususnya dalam hukum (selain pidana penjara, pidana kurungan, hal mengakhiri polemik tentang pidana mati. dan pidana denda) pada asasnya dibentuk untuk melakukan upaya represif dan preventif Ditinjau dari optik aplikasi hukum, dalam melindungi kepentingan masyarakat dari putusan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan pelanggaran norma (Suhariyanto, 2012: 25). di bawahnya secara eksplisit maupun implisit Penerapan pidana mati disyaratkan sangat selektif pada umumnya mendalilkan pidana mati hanya untuk tindak pidana dalam kualifikasi adalah konstitusional dan tidak melanggar “extra ordinary crime” atau “kejahatan berat” norma hukum Hak Asasi Manusia (HAM) (Zulfa, 2011: 110). Selain itu pada diri pelaku nasional maupun internasional. Terdapat dipandang ada unsur/sifat-sifat kemutlakan Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang (absolut), yaitu sudah melakukan kejahatan yang menyatakan secara eksplisit dalam pertimbangan secara absolut sangat membahayakan/merugikan hukumnya bahwa: masyarakat dan si pelaku itu dianggap secara Mendasari Declaration of Human Rights absolut/mutlak sudah tidak dapat berubah/ article 3: “everyone has the right to life, diperbaiki (Arief, 2013: 239). liberty and security of person.” Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Ditinjau dari perspektif global masih Hukuman mati bertentangan dengan Pasal terdapat pandangan pro-kontra mengenai 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 eksistensi pidana mati dan eksekusinya (Arief, dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang 2013: 225). Di Indonesia, secara de jure maupun berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk de facto eksistensi pidana mati diatur dalam tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, undang-undang serta diaplikasikan oleh putusan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk pengadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui diakui sebagai pribadi dan persamaan Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/ di hadapan hukum, dan hak untuk tidak PUU-V/2007 pun telah menegaskan bahwa dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak pidana mati tidak bertentangan dengan Undangdapat dikurangi dalam keadaan dan oleh Undang Dasar NRI 1945 (konstitusional). siapa pun.” Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan Secara normatif, pidana mati memiliki landasan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai hukum yang kuat dan mengikat serta mampu tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh 238 |
jurnal Desember isi.indd 238
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:06 PM
siapa pun termasuk dalam hal ini oleh sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim pejabat yang berwenang sekalipun, tidak merumuskan ratio decidendi dalam putusannya terkecuali oleh putusan hakim/putusan (Asnawi, 2014: 8). Melalui ratio decidendi, pengadilan. dapat diketahui suatu keyakinan hukum dari Berdasarkan atas salah satu pertimbangan hakim. Dalam konteks inilah, aspek “keyakinan tersebut, majelis hakim (MIA, AY, dan MHNP) hakim” tidak boleh sekedar disinggung begitu membatalkan Putusan MA Nomor 455 K/Pid. saja, tetapi sebaiknya dilakukan eksplorasi lebih Sus/2007 yang telah menjatuhkan pidana mati jauh dan dibicarakan dengan serius (Rahardjo, terhadap terdakwa HG karena bersalah melakukan 2010: 199). tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut Penafsiran dari pertimbangan hukum memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I dan tersebut dapat dikatakan sebagai kontroversial. melakukan tindak pidana pencucian uang, Dikatakan kontroversial, karena putusan kemudian menghukum terdakwa oleh karena itu tersebut pertimbangan hukumnya cenderung dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tidak dapat “diterima” oleh kalangan luas hukum tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) yang telah disepakati selama ini (Sutiyoso, 2010: 63). Selain itu potensi perubahan tatanan bulan kurungan. sosial (dari masyarakat yang pro pidana mati Sebelumnya terdakwa HG di pengadilan berubah menjadi masyarakat yang anti pidana tingkat banding (Putusan Nomor 256/PID/2007/ mati) dapat terjadi, bilamana yang diputuskan PT.SBY) dihukum dengan pidana penjara selama tersebut turut melakukan penstrukturan kembali 18 (delapan belas) tahun, dan denda sebesar suatu masyarakat yang didasarkan atas tatanan Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), dan nilai-nilai tertentu untuk ditujukan kepada dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, masyarakat baru Indonesia (Rahardjo, 2009: maka diganti dengan hukuman kurungan selama 163). Oleh karenanya kontraversi dari penafsiran 6 (enam) bulan. Sedangkan pada pengadilan hakim yang demikian fundamental perlu segera tingkat pertama (Putusan Nomor 3412/ disikapi oleh MA. Dengan demikian pengkajian Pid.B/2006/PN.SBY) terdakwa HG dihukum penafsiran hakim tentang konstitusionalitas dan dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) pelanggaran HAM dalam norma pidana mati tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima cukup penting keberadaannya. ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan. II. RUMUSAN MASALAH Putusan hakim pada dasarnya tidak dapat diganggu-gugat (asas res yudikata), sebagai bentuk akuntabilitas yudisial maka pertimbangan hukum dari putusan tersebut terbuka untuk dikritisi. Dalam perspektif ilmiah, kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektualitas yang dimilikinya akan direfleksikan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diuraikan rumusan masalah yaitu bagaimanakah penerapan pidana mati dalam putusan MA dan peradilan di bawahnya serta bagaimanakah penafsiran hakim tentang konstitusionalitas dan potensi pelanggaran HAM dalam pidana mati?
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 239
| 239
12/12/2014 3:53:06 PM
III. STUDI PUSTAKA
Bagir Manan menjelaskan bahwa walaupun banyak sebab yang mendorong melakukan Pada dasarnya dalam suatu negara hukum penafsiran, ditambah pula asas kebebasan hakim, (rechtstaat) seperti negara Indonesia, hakim dalam tidak berarti hakim dapat melakukan penafsiran menegakkan hukum dan keadilan merupakan secara tanpa batas, setidaknya terdapat beberapa salah satu sendi dasar yang pokok dan utama batasan, di antaranya: (Mulyadi, 2012: 54). Mengingat keberadaan undang-undang tidak sempurna maka hakim 1. Dalam hal kata atau kata-kata dan harus menafsirkan dan atau menggali kandungan susunan kaidah sudah jelas, hakim norma yang terdapat di dalam undang-undang itu wajib menerapkan undang-undang (Pangaribuan, 2009: 188). Kekosongan hukum menurut bunyi dan susunan kaidah yang terjadi akibat tidak sempurnanya undangkecuali didapati hal-hal seperti undang tersebut akan dapat berubah menjadi inkonsistensi, pertentangan, atau kekacauan (Ansyahrul, 2011: 134). Dalam ketentuan tidak dapat menjangkau melakukan usaha pencapaian terhadap nilai-nilai peristiwa hukum yang sedang keadilan, hakim diberikan keleluasaan untuk diadili, atau dapat menimbulkan melakukan penafsiran-penafsiran, penemuanketidakadilan, bertentangan dengan penemuan hukum bahkan menurut aliran progresif tujuan hukum, atau bertentangan hakim dimungkinkan untuk melakukan penciptaan dengan ketertiban umum, hukum jika kenyataan telah mengharuskan itu bertentangan dengan keyakinan yang (Witanto & Kutawaringin, 2013: 26). Dalam hidup dalam masyarakat, kesusilaan, konteks yang demikian, muncul pemikiran yang atau kepentingan umum yang lebih berpendapat bahwa adil tidaknya suatu undangbesar; undang berada di pundak hakim (Kamil, 2012: 2. Wajib memperhatikan maksud dan 211). tujuan pembentuk undang-undang, Hakim bukan satu-satunya yang menafsirkan kecuali maksud dan tujuan sudah undang-undang, tetapi menurut Bagir Manan usang, terlalu sempit sehingga perlu harus diakui peranan hakim sangat penting. ada penafsiran yang lebih longgar; Mengapa? Pertama, hakim yang mewujudkan 3. Penafsiran semata-mata demi hukum (dalam arti) konkret. Melalui putusan memberi kepuasan kepada pencari hakim, ketentuan undang-undang (hukum) keadilan. Kepentingan masyarakat yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Kedua, diperhatikan sepanjang tidak hakim bukan hanya menyatakan (menetapkan) bertentangan dengan kepentingan hukum bagi yang berperkara (menciptakan pencari keadilan; hukum bagi pihak-pihak), tetapi dapat juga menciptakan hukum yang berlaku umum. Ketiga, 4. Penafsiran semata-mata dilakukan hakim menjamin aktualisasi hukum, termasuk dalam rangka aktualisasi penerapan mengarahkan perkembangan hukum (Idris et.al., undang-undang bukan untuk 2012: 84). mengubah undang-undang;
240 |
jurnal Desember isi.indd 240
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:06 PM
5.
6.
7.
Mengingat hakim hanya memutus menurut hukum, maka penafsiran harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum dan memperhatikan asas-asas hukum umum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab (Asshiddiqie, 2010: 92).
Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum yang akan diselesaikan dan tidak merugikan kepentingan pencari keadilan;
A.
Penafsiran harus bersifat progresif yaitu berorientasi ke masa depan (future oriented), tidak menarik mundur keadaan di masa lalu yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan perkembangan hukum (Idris et.al., 2012: 86-87).
IV. ANALISIS Penerapan Pidana Mati dalam Putusan Mahkamah Agung dan Peradilan di Bawahnya
Seiring dengan perkembangan pemikiran mengenai pro kontra eksistensi pidana mati di Indonesia, senyatanya putusan untuk menerapkan pidana mati oleh badan peradilan juga memiliki
dinamika dan menghasilkan disparitas paradigma yang fundamental sehingga juga mengalami pro dan kontra. Sebagaimana dijelaskan bahwa sesungguhnya pro dan kontra terkait penerapan pidana mati di negeri ini tidak saja dalam level diskursus wacana publik semata, namun sudah Salah satu alasan diperlukannya batasan beberapa kali konklusi diskursus tersebut diujikan penafsiran hakim ini adalah perlindungan terhadap dalam mekanisme judicial review di MK. HAM pencari keadilan khususnya terkait dengan Terdapat tiga perkara yang pernah masuk persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum di MK tentang perkara judicial review terkait dan peradilan serta terhindarkan dari perlakuan konstitusionalitas pidana mati di Indonesia, diskriminatif. Asshiddiqie menyatakan bahwa di antaranya Perkara Nomor 2/PUU-V/2007, setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum Perkara Nomor 3/PUU-VI/2007, dan Perkara kelahiran, memiliki hak dan kewajiban hakiki Nomor 15/PUU-X/2012. Salah satu konklusi dari sebagai manusia. Pembentukan negara dan Putusan MK Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor pemerintahan (pen: termasuk penegakan hukum 3/PUU-V/2007 memutuskan yaitu: dan peradilan), untuk alasan apapun, tidak boleh Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat disandang oleh setiap manusia. Setiap orang (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dalam di mana pun berada harus dijamin hak-hak UU Narkotika, sepanjang yang mengenai dasarnya. ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang di UUD NRI 1945, sehingga permohonan pengujian pasal-pasal a quo tidak beralasan mana pun berada, juga wajib menjunjung tinggi Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 241
| 241
12/12/2014 3:53:06 PM
dan oleh karena itu permohonan para pemohon harus ditolak. Putusan tersebut terkait dengan konstitusionalitas norma pidana mati dalam UU Narkotika, namun secara umum juga menyangkut eksistensi norma pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang notabene tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusional). Juga dalam ratio decidendinya MK menyatakan bahwa pidana mati tidak juga bertentangan dengan norma dan prinsip HAM nasional maupun internasional, salah satu pertimbangannya adalah:
pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud (to maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter the commission of such offences), sebagaimana telah diuraikan pada huruf (c) di atas.
Meskipun putusan dan pertimbangan hukumnya demikian, namun terdapat dissenting opinion dari empat orang hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/ PUU-V/2007. Ada yang tidak sependapat dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon Bahwa kejahatan-kejahatan sebagaimana warga negara asing, sementara yang lain berbeda diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, pendapat terkait pokok permohonan, sedangkan ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal yang lainnya lagi mempunyai pendapat berbeda 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) huruf a UU Narkotika adalah tergolong maupun pokok permohonannya. ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun Dapat dikatakan bahwa meskipun telah menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut merupa dalam putusan MK yang notabene dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi putusannya bersifat final dan mengikat, namun kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika suasana perdebatan pendapat dalam diskursus di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 pembuatan putusan tersebut yang mengemuka ICCPR. dalam sidang majelis mengindikasikan bahwa Bahwa, berdasarkan uraian pada huruf (a) polemik pro dan kontra tentang penerapan pidana sampai dengan (g) di atas, tidak terdapat mati di Indonesia masih dirasakan eksistensinya. kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian internasional Selain terdapat perkembangan yang yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana mati terhadap dinamis dan menghasilkan disparitas paradigma kejahatan-kejahatan yang diatur dalam yang fundamental (adanya dissenting opinion) Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf tentang penerapan pidana mati di MK, senyatanya a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) di MA juga mengalami dinamika. Secara umum huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika. putusan-putusan MA menerapkan pidana mati dan Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati menganggapnya masih relevan, tidak melanggar terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi HAM dan sesuai dengan peraturan perundangkeikutsertaan Indonesia dalam Konvensi undangan yang berlaku. Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi, Sebagaimana misalnya dalam putusanyang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan putusan di antaranya: Putusan Nomor 11 PK/ hukum dalam kaitan dengan tindak Pid/2002 (terpidana RA), Putusan Nomor 14 PK/ 242 |
jurnal Desember isi.indd 242
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:06 PM
Pid/2002 (terpidana MF), Putusan Nomor 53 PK/ Pid/2002 (terpidana T), Putusan Nomor 72 PK/ Pid/2002 (terpidana FT, DD, dan MR), Putusan Nomor 22 PK/Pid/2003 (terpidana J), Putusan Nomor 108 PK/Pid/2007 (terpidana I), Putusan Nomor 24 PK/Pid/2003 (terpidana S), Putusan Nomor 39 PK/Pid/2003 (terpidana APC), Putusan Nomor 38 PK/Pid.Sus/2011 (terpidana MS), Putusan Nomor 79 PK/Pid/2008 (terpidana MPS), Putusan Nomor 18 PK/Pid/2007 (terpidana HE), Putusan Nomor 1443 K/Pid.Sus/2009 (terdakwa SM), Putusan Nomor 554 K/Pid/2009 (terdakwa MDA), Putusan Nomor 558 K/Pid/2009 (terdakwa YM), Putusan Nomor 560 K/Pid/2009 (terdakwa MR), Putusan Nomor 1835 K/Pid/2010 (terdakwa HD), dan lain-lain. Pada beberapa putusan yang terkait dengan pidana mati, meskipun mendalilkan secara implisit bahwa pidana mati adalah berdasarkan undangundang dan tidak bertentangan dengan HAM, namun diterapkannya harus dengan persyaratan di antaranya adalah tidak adanya hal yang meringankan dari terdakwa. Dalam praktiknya terdapat beberapa variasi penafsiran tentang tidak perlu penerapan pidana mati jika terdapat hal meringankan. Sebagaimana misalnya dalam Putusan Nomor 536 K/Pid.Sus/2011 atas nama terdakwa SME. Pada putusan tersebut majelis hakim menyatakan salah satu pertimbangannya bahwa: Judex facti yang menjatuhkan hukuman mati atas terdakwa ternyata kurang memberikan pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan, judex facti menyatakan tidak ditemukan hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, padahal sesuai fakta persidangan telah ditemukan hal yang meringankan dalam diri terdakwa yaitu belum pernah dipidana/dihukum, dalam praktik peradilan Indonesia, apabila seorang terdakwa belum pernah dihukum, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu alasan
meringankan hukuman bagi terdakwa, dan apabila pada diri seseorang terdakwa terdapat satu hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati (Putusan Nomor 536 K/Pid.Sus/2011, Hal. 21). Terhadap penafsiran bahwa dengan adanya hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati ini, kaidah yang demikian secara normatif tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaannya sebagai sebuah yurisprudensi di kalangan hakim. Meskipun kaidah bahwa dengan adanya hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati ini telah diakui sebagai yurisprudensi, namun dalam hal penafsiran apa saja yang disebut sebagai hal yang meringankan dan relevan untuk dijadikan sebagai bahan argumentasi untuk tidak menjatuhkan hukuman mati ini masih kontraversi. Misalnya dalam sebuah putusan dinyatakan bahwa belum pernah dipidana/dihukum adalah hal yang meringankan dan relevan untuk dijadikan pertimbangan yang bersangkutan tidak boleh dikenakan hukuman mati. Pada putusan yang lain (khususnya kasus kejahatan yang luar biasa misalnya terorisme atau pembunuhan berencana yang sadis dan lainlain), menyatakan secara implisit bahwa belum pernah dipidana/dihukum bukanlah suatu hal yang meringankan dan relevan untuk digunakan sebagai alasan untuk tidak memberlakukan hukuman mati. Kontraversi tafsir terkait kualifikasi hal yang meringankan, selain fakta atau data bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum/ dipidana, mengemuka juga pertimbangan tentang sikap sopan dan berterus terang terdakwa dalam persidangan. Terdapat putusan yang menilai bahwa meskipun seorang terdakwa adalah residivis atau pernah dipidana/dihukum, namun
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 243
| 243
12/12/2014 3:53:06 PM
karena yang bersangkutan bersikap sopan dan berterus terang terdakwa dalam persidangan maka hal ini juga perlu dikualifikasi sebagai hal yang meringankan sehingga dengan demikian tidak boleh dijatuhkan hukuman mati. Hal ini mengemuka dalam Putusan Nomor 268 K/PID. SUS/2008, MA membatalkan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama diganti pidana penjara seumur hidup dengan salah satu pertimbangan hukumnya terkait hal yang meringankan berupa bersikap sopan dan berterus terang, dengan menyatakan:
dijadikan salah satu hal yang menyebabkan tidak dapat diterapkan pidana mati tersebut, berbeda dengan pertimbangan putusan MA lainnya yang menegaskan bahwa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan putusan pidana mati. Misalnya Putusan Nomor 2094 K/PID.SUS/2012 yang salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
Hal-hal yang meringankan terdakwa dalam putusan judex facti (pengadilan negeri) berupa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan tidaklah dapat digunakan, jika hal itu menghalangi judex facti Bahwa keberatan-keberatan tersebut untuk menjatuhkan putusan maksimum, dapat dibenarkan, oleh karena judex facti mengingat ada kepentingan negara dan salah menerapkan hukum, dalam hal ini bangsa yang lebih besar (Putusan Nomor telah melanggar Pasal 197 ayat (1) huruf 2094 K/PID.SUS/2012, Hal. 63). f KUHAP, yaitu dalam putusannya a quo, judex facti tidak memberikan pertimbangan yang cukup (onvoldoende gemotiveerd) Selain terdapat masalah disparitas tafsir dengan tidak mempertimbangkan keadaan tentang hal meringankan dan relevansinya yang meringankan pemidanaan, yang menurut pendapat Mahkamah Agung, hal- dengan penerapan pidana mati, terdapat putusan hal tersebut terdapat pada diri terdakwa, MA yang mensyaratkan hukuman mati dapat yaitu antara lain: dijatuhkan hanya pada kejahatan-kejahatan yang 1. bahwa dari berita acara persidangan luar biasa, efeknya luas dan membahayakan peradilan tingkat pertama ternyata masyarakat umum atau orang banyak. Jadi jika terdakwa telah mengakui terus terang atas kesalahannya dan bersikap sopan selama tidak memenuhi syarat tersebut maka pidana persidangan berlangsung; mati tidak perlu dijatuhkan meskipun secara normatif kejahatan tersebut diancam hukuman 2. bahwa terdakwa telah berusia lanjut. mati. Hal ini mengemuka dalam Putusan Nomor Menimbang, bahwa oleh karena putusan judex facti tersebut telah melanggar Pasal 85 K/MIL/2006, yang mempunyai salah satu 197 ayat (1) huruf f KUHAP, maka putusan pertimbangan yang menyatakan bahwa: Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 21 pidana mati terhadap November 2007 Nomor 378/PID/2007/ Penjatuhan terdakwa, atau terhadap para terdakwa, PT.DKI yang telah menguatkan Putusan harus dilakukan dengan sangat selektif, Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal di mana pidana mati dijatuhkan adalah 16 Agustus 2007 Nomor: 760/Pid.b/2007/ terutama terhadap para terdakwa dalam PN.JKT.BAR, berdasarkan Pasal 197 ayat kasus-kasus luar biasa, di mana kasus(2) KUHAP harus “dinyatakan batal demi kasus tersebut menimbulkan efek yang hukum” (Putusan Nomor 268 K/PID. luas, atau membahayakan atau merugikan SUS/2008, Hal. 57). bagi masyarakat umum atau bagi banyak orang, misalnya terhadap orang-orang yang Pertimbangan hukum yang terlibat dalam jaringan perdagangan atau mempertimbangkan perilaku terus terang dan peredaran gelap narkotika atau obat-obatan bersikap sopan sebagai hal meringankan dan terlarang dalam skala besar, atau terhadap 244 |
jurnal Desember isi.indd 244
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:07 PM
para pelaku terorisme, para koruptor, para pelaku illegal logging dalam gradasi berat/ besar, atau terhadap pelaku pembunuhan yang adalah penderita kelainan jiwa tertentu, yang selalu berniat membunuh orang lain, yang menurut pikirannya, bahwa korban tersebut adalah termasuk kategori yang harus dibunuh dan atau sebab-sebab lain, atau para pelaku lainnya yang umumnya berbahaya untuk masyarakat umum. Bahwa terdakwa tidak termasuk dalam golongan yang telah melakukan perbuatan yang sifatnya berskala besar, atau berefek luas terhadap masyarakat umum lainnya, karena perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa adalah karena didorong rasa ketidakadilan yang diterima oleh terdakwa dari putusan pengadilan agama tentang penentuan harta gono-gini yang digugat oleh terdakwa dari mantan istrinya/korban yang telah menggugat cerai terdakwa (Mahkamah Agung, 2012: 350). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain terhadap kasus-kasus luar biasa yang dikualifikasikan oleh penafsiran tersebut maka tidak tepat jika dijatuhkan pidana mati meskipun secara normatif dalam peraturan perundangundangan, tindak pidana tersebut ancaman hukumannya adalah pidana mati. Dalam konteks inilah terjadi penyempitan tafsir penerapan pidana mati, dari luasnya pengaturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kemudian disempitkan atau dikualifikasi ulang secara selektif oleh hakim. Pertimbangan hukum Perkara Nomor 85 K/MIL/2006 tersebut selanjutnya diikuti oleh putusan pengadilan lain. Salah satunya Putusan Nomor 124/PID.B/2013/PTR dengan menyatakan salah satu pertimbangannya yaitu:
umum (Putusan Nomor 124/PID.B/2013/ PTR, Hal. 20). Berdasarkan contoh penafsiran hakim terkait penerapan pidana mati khususnya yang merupa dalam disparitas tafsir mengenai kualifikasi dan syarat dapat tidaknya pidana mati dijatuhkan, sesungguhnya disparitas tafsir tersebut masih memiliki satu acuan dasar yang umum yaitu hukuman mati dapat diterapkan dan memiliki dasar dalam peraturan perundangundangan. Mengingat bahwa selain hal tersebut, terdapat disparitas tafsir yang kontroversial dan menimbulkan polemik yaitu terkait dengan argumentasi hukum beberapa putusan MA yang menafsirkan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan melanggar prinsip dan norma yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Disparitas tafsir yang kontroversi dan menghasilkan polemik inilah yang menarik untuk dikaji secara khusus dan terfokus, meskipun demikian bukan berarti tafsir tentang hal-hal lain yang kontraversi sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah kurang menarik. Akan tetapi yang dimaksudkan pula bahwa kajian lebih terfokus dan mendesak, nampaknya merupakan argumen yang tepat untuk memprioritaskan terlebih dahulu kajian tentang putusan yang lebih kontroversial.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada asasnya putusan MA kebanyakan berpendapat bahwa penerapan pidana mati adalah tidak melanggar HAM dan konstitusional (selain menetapkan persyaratan khusus yaitu Majelis hakim tingkat banding sependapat selektif hanya terhadap kejahatan luar biasa dan dengan pertimbangan putusan kasasi dalam perkara pidana militer Nomor 85K/ mempertimbangkan hal yang meringankan). MIL/2006 atas nama terdakwa MID yang Dalam salah satu putusan yaitu Putusan Nomor menyatakan bahwa pidana mati harus 39 PK/Pid.Sus/2011 atas nama terpidana HG diterapkan secara selektif dan hanya untuk kejahatan-kejahatan yang luar biasa berbeda dengan putusan-putusan MA pada yang menimbulkan efek yang luas atau umumnya yang pro atas pidana mati. Dalam salah membahayakan atau merugikan masyarakat Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 245
| 245
12/12/2014 3:53:07 PM
satu pertimbangan hukumnya pada perkara HG, majelis hakim peninjauan kembali menyatakan bahwa: Mendasari Declaration of Human Rights article 3: “everyone has the right to life, liberty and security of person.” Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan melanggar Pasal 4 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun.” Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan hakim/putusan pengadilan (Putusan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011, Hal. 53-54).
PT.SBY) dihukum dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun, dan denda sebesar Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan. Sedangkan pada pengadilan tingkat pertama (Putusan Nomor 3412/Pid.B/2006/ PN.SBY) terdakwa HG dihukum dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan.
Atas adanya putusan MA tersebut, yang berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM dan juga bertentangan dengan konstitusi yaitu UUD NRI 1945, tentu memberikan indikasi kuat bahwa di tingkat hakim agung masih terdapat perbedaan yang fundamental dalam pertimbangan hukum putusan-putusannya. Berdasarkan disparitas pertimbangan hukum yang demikian berbeda secara prinsipil maka semakin menandaskan bahwa pro dan kontra mengenai penerapan pidana mati tidak hanya menjadi polemik dalam diskursus publik saja akan tetapi juga di MA selaku lembaga tertinggi pengadilan Berdasarkan atas salah satu pertimbangan mengalami polemik yang serupa. tersebut, majelis hakim (MIA, AY, dan MHNP) membatalkan Putusan MA Nomor 455 K/Pid. Pada konteks inilah, pro dan kontra Sus/2007 yang telah menjatuhkan pidana mati penerapan pidana mati di Indonesia semakin terhadap terdakwa HG karena bersalah melakukan kontroversial, karena bisa jadi diikuti oleh para tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut hakim yang lain di bawah MA. Bilamana hal ini memproduksi dan/atau menggunakan dalam terjadi maka univikasi atau kesatuan hukum dalam proses produksi psikotropika golongan I dan putusan-putusan MA dan lembaga peradilan melakukan tindak pidana pencucian uang, di bawahnya tidak dapat terwujud sehingga kemudian menghukum dengan pidana penjara menyebabkan masyarakat semakin bingung selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar karena kepastian hukum tidak tercipta dan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terwujud dengan baik. Oleh karenanya menarik subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan. untuk dianalisis dan dibahas melalui teori dan Sebelumnya terdakwa HG di pengadilan tingkat banding (Putusan Nomor 256/PID/2007/
246 |
jurnal Desember isi.indd 246
metode penafsiran hukum yang mendasari adanya pertimbangan kontroversial dari kedua kasus tersebut khususnya yang terkait dengan legal Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:07 PM
reasoning inkonstitusionalitas norma pidana mati hidup dan kehidupannya), senyatanya secara dan perspektif HAM dalam penolakan penerapan eksplisit telah melampaui kewenangan dari pidana mati. majelis hakim peninjauan kembali khususnya yang terkait dengan pernyataan bahwa hukuman B. Penafsiran Hakim Tentang mati sangat bertentangan dengan Undang-Undang Konstitusionalitas Norma Pidana Mati Dasar NRI 1945, dianggap memiliki arti bahwa Hakim dalam menegakkan hukum dan pidana mati adalah inkonstitusional. Dengan keadilan telah dibekali dengan sebuah kebebasan pernyataan tersebut menimbulkan konsekuensi penafsiran dalam melakukan konstruksi kebenaran bahwa setiap peraturan perundang-undangan dan keyakinannya pada putusan yang dibuatnya yang mencantumkan hukuman mati sebagai sesuai dengan kaidah dasar dari ilmu hukum. bentuk pemidanaannya, secara implisit berarti Sangat dimungkinkan dalam kasus yang sejenis, pula inkonstitusional menurut ratio decidendi meskipun undang-undang yang mengaturnya tersebut. adalah sama, namun diputuskan secara berbeda sesuai dengan konteks pembuktian dan penafsiran hukum yang terbangun dalam keyakinan hakim. Kondisi yang demikian sekilas nampak terasa aneh, namun jika dicermati secara mendalam tentu pertimbangan yang dinilai menciptakan arus pemikiran baru dan kotroversial pada suatu waktu bisa dimungkinkan jadi dibenarkan dalam perkembangannya. Hal yang sangat penting adalah optik kaidah penafsiran atau metodologi yang digunakannya telah sesuai atau tidak dengan logika dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Jika keluar dari batasan penafsiran hukum yang demikian, maka bisa jadi terdapat kekeliruan atau kekhilafan dalam konstruksi pemikiran dari ratio decidendi hakim.
Secara formil, penilaian yang dilakukan oleh majelis hakim tersebut seolah telah mengambil kewenangan dari MK yang sejatinya berwenang untuk memutuskan apakah dalam perundangundangan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Pada dasarnya MK yang memiliki hak dan fungsi pemutus konstitusionalitas dari suatu norma undang-undang termasuk eksistensi norma pidana mati. Pada tahun 2007 melalui putusannya Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007, MK telah memutuskan bahwa eksistensi norma pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka secara normatif penerapan pidana mati memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat.
Apalagi akan kontroversial jika ratio decidendi dari putusan-putusan pengadilan tersebut saling kontradiktif secara prinsipil. Pada pertimbangan hukum dalam penolakan atas penerapan pidana mati dari Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang demikian singkat, salah satunya menyatakan bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar NRI 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
Oleh karenanya kemudian dapat dianggap bahwa majelis hakim peninjauan kembali telah melampaui kewenangannya dalam memutus konstitusionalitas norma pidana mati dan kurang mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah memutuskan konstitusionalitas norma pidana mati. dalam konteks inilah penafsiran hakim peninjauan kembali kurang proporsional karena melampaui kewenangan yaitu memutus konstitusionalitas
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 247
| 247
12/12/2014 3:53:07 PM
dari suatu norma undang-undang yang notabene hukum Bab XA UUD NRI 1945. Keberadaan telah dinyatakan konstitusional oleh lembaga “pengurangan” yang dimaksud dalam Pasal 28 A peradilan yang berwenang (MK). dan Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 akan berbeda dengan “pembatasan” yang dimaksud oleh Pasal Secara substantif, jika dipahami secara vis 28 J UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa: a vis diperhadapkan antara hukuman mati dengan 1. Setiap orang wajib menghormati hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Hak Asasi Manusia orang lain Pasal 28 A UUD NRI 1945 yang menyatakan: dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Selanjutnya hak untuk hidup ini ditegaskan kembali oleh Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 dengan rumusan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
2.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian muncul pemahaman bahwa hak untuk hidup ini adalah hak yang tak dapat dikurangi dan tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain, dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi dan oleh siapapun. Mungkin (dapat ditafsirkan) pandangan “tak dapat diurangi” yang demikianlah yang dikehendaki dari pernyataan pertimbangan hukum yang singkat dari majelis hakim peninjauan kembali.
Secara redaksional dapat dipahami bahwa Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan pengecualian terhadap Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, dengan demikian tak ada satu hak pun termasuk hak untuk hidup yang tidak mengenal pembatasan, dengan syarat pembatasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu terdapat perbedaan mendasar antara “pengurangan” dengan “pembatasan” HAM.
Berbeda halnya ketika ditinjau dari penafsiran sistematis, pandangan yang menghendaki hukuman mati dihadapkan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 saja, tanpa dihubungkan secara holistik dipahami sebagai satu kesatuan utuh dengan ketentuan Pasal 28 UUD NRI 1945 lainnya khususnya dengan Pasal 28 J UUD NRI 1945 adalah pandangan yang parsial dan kurang memperhatikan sistematika pengaturan Hak Asasi Manusia dalam payung
Jika pengurangan merupakan sebuah tindakan yang melanggar dan mencederai HAM, sementara pembatasan merupakan sebuah perlindungan atas kebebasan HAM yang berpotensi dilanggar oleh orang lain atau dengan kata lain adanya kewajiban untuk menjalankan hak dan kebebasannya secara tertib dan tidak menimbulkan konflik. Dalam konteks ini, peraturan perundang-undanganlah yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban HAM tersebut.
248 |
jurnal Desember isi.indd 248
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:07 PM
Dalam konteks ini hakim peninjauan kembali melakukan penafsiran kurang sistematis, tidak secara utuh menilai HAM dalam payung hukum Pasal 28 UUD NRI 1945. C.
pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Norma HAM Nasional dan Internasional Jika dipahami secara seksama dari optik dalam Penerapan Pidana Mati penafsiran sistematis yaitu menghubungkan antara satu pasal dengan pasal lain dalam Berdasarkan argumentasi hukumnya dengan undang-undang yang sama dan undang-undang alasan bahwa pidana mati bertentangan dengan yang satu dengan undang-undang yang lain, UUD NRI 1945, dalam Putusan MA Nomor 39 PK/ konstruksi daripada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal Pid.Sus/2011 juga mendasarkan argumentasinya 4 dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak bahwa hukuman mati bertentangan dengan Pasal Asasi Manusia tidak dapat dilepas-pisahkan 1 ayat (1) jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 dengan ketentuan-ketentuan pasal lainnya yang Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 mengatur tentang hal yang sama atau berkaitan ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak dalam undang-undang tersebut. Selain mengatur Asasi Manusia berbunyi: mengenai hak dasar manusia yang di antaranya Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak adalah hidup yang tidak dapat dikurangi dalam yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang kondisi apapun dan oleh siapapun, UU Nomor Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan juga mengatur mengenai adanya kewajiban dasar dilindungi oleh negara hukun, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan manusia dalam menghormati HAM dari orang lain serta perlindungan harkat dan martabat sehingga diatur pula pembatasan atas pelaksanaan manusia. masing-masing hak asasi manusia tersebut. Hal Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang ini sebagaimana diatur dalam Pasal 67, Pasal 69, dan Pasal 70 serta Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun Hak Asasi Manusia berbunyi: 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati Penegasan normatif dalam pasal-pasal yang nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang pribadi dan persamaan di hadapan hukum, Hak Asasi Manusia bahwa terdapat keseimbangan dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dalam pelaksanaan hak asasi manusia dengan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kewajiban dasar manusia sehingga meskipun keadaan apapun dan oleh siapapun. pada asasnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, namun juga bukan Adapun penjelasan dari Pasal 4 ini berbunyi berarti dapat dilaksanakan secara mutlak sehingga bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan menisbikan sebuah pembatasan yang notabene apapun” termasuk keadaan perang, sengketa berguna untuk mewujudkan proporsionalitas bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang kemanusiaan. dimaksud dengan “siapapun” adalah negara,
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 249
| 249
12/12/2014 3:53:07 PM
Konsepsi pembatasan dari keberadaan hak asasi manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sejalan dengan yang telah dijelaskan sebelumnya (ketika membahas keberadaan Pasal 28 J ayat (2) sebagai batas atau kunci dari pelaksanaan Pasal 28 A sampai dengan I dalam UUD NRI 1945) bahwa terdapat dua konsep yang berbeda yaitu antara “pengurangan” sebagaimana dimaksud (Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frase “tidak dapat dikurangi oleh dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” dan “pembatasan” sebagaimana dimaksud (Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frasa “setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang” atau sebagaimana dimaksud (Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frasa:
tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.” Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati yang ditentukan oleh hukum positif (ius constitutum) merupakan bagian penting dari representasi pembatasan dari adanya hak untuk hidup. Sementara itu jika ditinjau dari optik interpretasi antisipatif atau futuristis yang notabene mencari landasan pertimbangan hukum dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam RUU KUHP maka ius constituendum pun juga masih mengakomodir pidana mati dengan bentuk khusus dan tata cara yang selektif. Pasal 66 RUU KUHP, menyatakan bahwa “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.”
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Berdasarkan argumentasi hukumnya dengan alasan bahwa pidana mati bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 ini juga mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati bertentangan Jika dipahami secara holistik, konsepsi dengan 10 Declaration of Human Rights article hak hidup sebagai hak dasar manusia yang 3: “every one has the right of life, liberty and dimaksudkan oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 security of person, artinya: setiap orang berhak tentang Hak Asasi Manusia tidak menghalangi atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan penerapan pidana mati, sebagaimana diatur dalam sebagai individu.” penjelasan Pasal 9 ayat (1) bahwa: Atas argumentasi yang demikian singkat “setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan dapat dikatakan bahwa persepsi yang mengemuka meningkatkan taraf kehidupannya. Hak adalah pandangan yang kurang sistematis dan atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang baru lahir atau orang kontekstual jika penolakan terhadap pidana mati yang terpidana mati. Dalam hal atau dihubungkan dengan instrumen hukum hak asasi keadaan yang sangat luar biasa yaitu manusia internasional yang hanya didasarkan demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pada Declaration of Human Rights article 3 tanpa pengadilan dalam kasus pidana mati, maka memperhatikan konvensi-konvensi PBB lainnya 250 |
jurnal Desember isi.indd 250
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:07 PM
yang lebih baru misalnya Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights), sebagaimana kaidah asas perundang-undangan yaitu lex posteriori derogat legi priori.
Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat diputuskan sebagai keputusan akhir oleh pengadilan berkompeten. 3.
Apalagi ketentuan singkat dari Declaration of Human Rights article 3 tersebut belumlah lengkap dan merupakan deklarasi dasar mengenai hak hidup. Pengaturan yang demikian umum tersebut masih terlalu prematur jika ditafsirkan maksudnya adalah menentang atau 4. menghapuskan pidana mati. Oleh karena itu hal yang tepat adalah memperhatikan kehendak dari perumusnya melalui peraturan lanjutan yang menjelaskan secara rinci dan proporsional tentang hak hidup yang dimaksudkan dari Declaration of Human Rights article 3 tersebut. 5. Sebagaimana diketahui setelah adanya Declaration of Human Rights, pada tahun 1966 telah tersusun perjanjian internasional yang sebagian besar berasal dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yaitu Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, hak untuk hidup didefinisikan dan diperluas, dengan pembahasan pembatasan penggunaan hukuman mati: 1.
2.
6.
Apabila terjadi kejahatan genosida, diyakini bahwa tidak ada pasal yang mengesahkan adanya negara pihak dalam perjanjian untuk mengurangi kewajiban apapun pada ketentuan Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan permohonan pengganti hukuman amnesti, pembebasan atau hukuman pengganti atas hak mati dapat diputuskan pada tingkatan. Hukuman mati sebaiknya tidak dibebankan pada kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur 18 tahun dan wanita hamil. Pasal ini tidak mengandung satu poin yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara pihak.
Di Indonesia ketentuan ICCPR ini telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights. Dengan demikian ketentuan hukum HAM internasional Setiap mahluk hidup memiliki hak untuk tentang hak hidup yang didefinisikan dan hidup. Hak tersebut harus dilindungi oleh diperluas dalam Pasal 6 ICCPR ini berlaku secara hukum. Tidak seorang pun seharusnya sah dan mengikat di Indonesia yang berarti bahwa kehilangan hidup tersebut. hukuman mati tetap dapat diterapkan dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan. Pada negara yang masih memberlakukan hukuman mati, penerapan hukuman Sehingga hukuman mati tidak melanggar tersebut hanya pada untuk kejahatan serius atau bertentangan dengan ketentuan hukum berdasarkan hukum yang berlaku pada HAM nasional maupun internasional. Sependapat Komisi Kejahatan dan tidak bertentangan dengan hal tersebut, terdapat putusan-putusan MA dengan perjanjian dan Konvensi
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 251
| 251
12/12/2014 3:53:07 PM
yang dalam salah satu pertimbangan hukumnya meluruskan pendapat atau pertimbangan hukum dari putusan yang menolak penerapan pidana mati karena dianggap melanggar norma HAM nasional ataupun internasional. Misal di antaranya: 1.
Putusan Nomor 28 PK/Pid.Sus/2011:
Bahwa terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan judex juris Nomor 1782 K/Pid/2006 karena hal-hal yang relevan secara yuridis tidak dipertimbangkan dengan benar yaitu Universal Declaration of Human Rights, tidak bisa dipisahkan dengan konvensi-konvensi PBB lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain adalah ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang mensyaratkan penjatuhan 3. hukuman mati dengan sangat selektif jika negara tersebut memberlakukannya (Putusan Nomor 28 PK/Pid.Sus/2011, Hal. 133).
2.
Putusan Nomor 37 K/Pid.Sus/2011:
Bahwa walaupun Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan TAP MPR Nomor XVI I/MPR/1998 menyatakan, bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup, serta berdasarkan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik). Bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional
252 |
jurnal Desember isi.indd 252
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pada Bagian III Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan, setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, akan tetapi ayat (2) ICCPR menyatakan, di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut; Bahwa hingga saat ini penerapan pidana mati dalam hukum positif Indonesia masih tetap dipertahankan (Putusan Nomor 37 K/Pid.Sus/2011, Hal. 95-96). Putusan Nomor 731 K/Pid.Sus/2009: Bahwa adanya pro kontra tentang penerapan pidana mati tidak dapat dijadikan sebagai suatu kesalahan hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut, karena hukum positif kita masih mengatur adanya pidana mati dan di Indonesia termasuk salah satu negara yang mempertahankan adanya pidana mati (Putusan Nomor 731 K/Pid.Sus/2009, Hal. 43).
Berdasarkan pembahasan di atas, permasalahan disparitas penafsiran hakim dalam penerapan pidana mati telah menghadirkan polemik dan kontroversi di masyarakat yang jika tidak segera diatasi maka dikhawatirkan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Meskipun sebab utama disparitas tersebut berhubungan dengan kebebasan hakim yang tidak dapat diganggu-gugat keberadaannya, namun demi menjaga konsistensi penerapan hukum dalam
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:08 PM
DAFTAR PUSTAKA konteks mewujudkan kepastian hukum dan sebagai representasi akuntabilitas yudisial kepada Ansyahrul. 2011. Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi masyarakat diperlukan pelurusan penafsiran yang Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Acara. Jakarta: Mahkamah Agung. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi atau kesepakatan dalam kamar pidana guna Arief, Barda Nawawi. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cetakan Ketiga. Bandung: Citra Aditya menentukan kriteria dan persyaratan penerapan Bakti. pidana mati sehingga tercipta harmonisasi penerapan hukum dan kepastian hukum bagi Asnawi, M. Natsir. 2014. Hermeneutika Putusan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi Hakim: Pendekatan Multidisipliner dalam hakim pada peradilan di bawah MA. Memahami Putusan Peradilan Perdata. Yogyakarta: UII press.
V.
SIMPULAN
Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh MA dan peradilan di bawahnya, meskipun demikian masih terdapat disparitas tafsir terkait hal yang meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana mati. Namun terdapat salah satu Putusan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas (menilainya sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945 ) dan potensi pelanggaran HAM (melanggar Declaration of Human Rights article 3 dan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM) dalam penerapan pidana mati.
Asshiddiqie,
Jimly.
2010.
Konstitusi
&
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Idris, et.al. (Ed). 2012. Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H., M.H.). Bandung: Fikahati Aneska. Kamil, Ahmad. 2012. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media. Mahkamah
Agung.
2012.
Laporan
Tahunan
Mahkamah Agung RI Tahun 2011, Jakarta: Mahkamah Agung. Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia:
Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Berdasarkan hasil analisa, terdapat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan. penafsiran majelis hakim yang kurang Bandung: Citra Aditya Bakti. proporsional (melampaui kewenangannya dengan menilai konstitusionalitas norma yang notabene Pangaribuan, Luhut M.P. 2009. Lay Judges & Hakim kewenangan MK) dan kurang sistematis (dalam Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Fakultas membaca dan menafsirkan undang-undang HAM Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia & yang berlaku) sehingga kurang sesuai dengan Papas Sinar Sisanti. kaidah penafsiran hukum yang berlaku. Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial:
Suatu
Tinjauan
Pengalaman-Pengalaman
Teoritis di
serta
Indonesia.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto)
jurnal Desember isi.indd 253
| 253
12/12/2014 3:53:08 PM
_______________.
2010.
Penegakan
Hukum
Progresif. Jakarta: Kompas Suhariyanto, Budi. 2012. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Witanto, Darmoko Yuti & Arya Putra Negara Kutawaringin. 2013. Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana. Bandung. Alfabeta. Witanto, Darmoko Yuti. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Zulfa, Eva Achjani. 2011. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung.
254 |
jurnal Desember isi.indd 254
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254
12/12/2014 3:53:08 PM
PASSING OFF DALAM PENDAFTARAN MEREK Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014
PASSING OFF IN TRADEMARK REGISTRATION An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 Mieke Yustia Ayu Ratna Sari Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Jl. Gajahmada No. 34 Kotabaru Bandar Lampung 35121 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 10 November 2014; revisi: 20 November 2014; disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK Passing off merupakan tindakan pendomplengan terhadap merek terkenal yang dapat merugikan pemegang hak merek. Tindakan tersebut dilakukan pelaku usaha tidak jujur yang seringkali terjadi dalam praktik perdagangan, oleh karena itu penegakan hukum merek harus mendapatkan perhatian serius. Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014, mencerminkan ketidakadilan bagi pemegang hak merek terkenal karena menguatkan putusan pada tingkat judex facti dengan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga. Jkt.Pst dan menganggap putusan sudah tepat sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Tergugat (termohon kasasi) sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC” mengandung persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek milik penggugat (pemohon kasasi) yang merupakan nama lembaga internasional didirikan tahun 1894 yang menangani penyelenggaraan Olimpiade. Merek tergugat telah terdaftar di lima negara, sehingga memenuhi persyaratan sebagai merek terkenal. Tindakan passing off tidak menjadi pertimbangan hakim dalam amar putusannya, namun justru menitikberatkan pada popularitas merek milik penggugat. Seharusnya hakim mempertimbangkan aspek passing off, sehingga tidak merugikan penggugat (pemohon kasasi) sebagai pemegang hak merek terkenal. Penolakan tersebut berarti pembenaran terhadap tindakan passing off
dalam pendaftaran maupun penegakan hukum merek dan cenderung tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek. Perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal seharusnya mendapat perhatian serius guna menumbuhkan iklim kondusif bagi investasi. Kata kunci: passing off, merek terkenal, pendaftaran merek. ABSTRACT Passing off in the Commercial Law is an act of rearguarding against the well-known trademarks that can be disadvantageous to the holders of trademark rights. This action is committed by the unfair businessmen, and often occurs in the decisions of the Commercial Law cases that should be seriously taken heed. The Supreme Court Decision Number 224 K/Pdt. Sus-HKI/2014 reflects a sense of injustice to one of the holders of famous trademarks, as it has upheld the ruling on the level of judex facti by the Decision Number 71/ Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, and considered appropriate in line with Article 6 paragraph (1) letter b of Law Number 15 of 2001. The Defendants of Cassation as the holder of the rights for the brand “OLYMPIC” has the similarity in principle with the brand name of the Plaintiff, which is the name of the international institute, founded in 1894, which handles the Olympic
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 255
| 255
12/12/2014 3:53:08 PM
Games. The Defendant has registered the trademarks/ brands in five countries, and has met requirements to be a famous brand name. Passing off action is not taken into consideration by the judge in the decision, but rather the popularity of the brand of the Plaintiff. The judge should take into account the aspect of passing off so as not to disadvantage the plaintiff as the famous
I.
PENDAHULUAN
trademark’s holder. That refusal is a justification for the passing off in the trademark registration and this tends to harm the famous brand name holders as well as to create unconducive climate for investment in Indonesia. Keywords: passing off, famous brand name, trademark registration.
Persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi terhadap merek yang melekat pada produk yang sudah dikenal masyarakat dan memiliki reputasi tinggi. Produsen seringkali memanfaatkan merek terkenal (well-known marks) dengan membuat merek lain yang cenderung meniru dan menyerupai untuk mendompleng ketenaran merek. Perbuatan tersebut dilakukan agar produsen tidak mengeluarkan biaya ekstra bagi keperluan promosi produk. Tindakan passing off dilakukan secara melawan hukum dapat merugikan pihak pemegang merek asli.
Merek merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang dilindungi hukum. Dalam praktik perdagangan, merek digunakan sebagai media untuk memperkenalkan produknya kepada calon pembeli sehingga merek bernilai ekonomis. Selain itu, merek juga berfungsi sebagai daya pembeda terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Pentingnya fungsi merek sehingga ada anggapan jaminan kualitas barang identik dengan merek. Dari sudut pandang produsen, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya Kerugian berdampak langsung pada guna mencari dan meluaskan pasaran serta aset turunnya omzet, konsumen tertipu dengan merek perusahaan yang tak ternilai harganya. yang hampir serupa dengan merek asli sehingga mendapat barang dengan kualitas rendah. Oleh Bagi konsumen, merek digunakan untuk karena itu, produsen pemegang merek terkenal mengadakan pilihan barang yang akan dibeli pada umumnya melakukan berbagai cara untuk dan simbol harga diri. Sehingga ada merekmencegah orang atau perusahaan lain untuk merek yang sudah dikenal oleh masyarakat luas, menggunakan merek dalam produknya. Upaya menyebabkan pihak-pihak tertentu ingin ikut pemilik merek untuk mencegah pemakaian sukses tanpa perjuangan panjang, jalan yang merek oleh pihak lain merupakan hal yang sangat paling cepat adalah dengan cara meniru atau penting mengingat membangun reputasi merek mendompleng merek orang lain. Hal ini berakibat memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu merugikan pemilik merek yang sudah dikenal yang lama (Margono & Angkasa, 2002: 147). masyarakat luas. Bagi konsumen sebenarnya telah dikelabui oleh merek tiruan tersebut, yang Permasalahan dalam hukum merek jelas kualitas produk tidak sebagus merek yang seringkali terjadi di masyarakat dan sampai ke sudah dikenal. Apabila hal ini terjadi maka pengadilan, dalam Putusan Nomor 224 K/Pdt. persaingan tersebut merupakan persaingan tidak Sus-HKI/2014 Mahkamah Agung memutus sehat (Susilowati, 2010: 2). untuk menolak gugatan pemohon kasasi
256 |
jurnal Desember isi.indd 256
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:08 PM
dahulu penggugat dalam perkara sengketa merek. Hal ihwal perkara tersebut terjadi adanya pengajuan gugatan oleh penggugat yaitu Comite International Olympique yang merupakan lembaga internasional yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Swiss yang menangani penyelenggaraan Olimpiade (Olympic) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya penggugat menyatakan telah mendaftarkan merek dengan menggunakan kata “OLYMPIC” dan “OLYMPICS” dengan berbagai variasinya secara internasional di berbagai negara di dunia di antaranya Thailand, Jamaica, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Penggugat mengetahui dalam Daftar Umum Merek telah terdaftar merek “OLYMPIC” atas nama tergugat untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas 09, yaitu radio, televisi, tape deck, kaset recorder, rewinder, video player, VCD player, DVD player, loudspeaker, amplifier, microphone, video game. Penggugat sangat berkeberatan atas terdaftarnya merek milik tergugat yang merupakan nama lembaga internasional milik penggugat. Seharusnya merek atas nama tergugat (termohon kasasi) tidak dapat didaftar dalam Daftar Umum Merek sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf b UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Menurut penggugat pendaftaran merek atas nama tergugat dilandasi oleh iktikad tidak baik. Gugatan penggugat oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/ PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 16 Januari 2014 ditolak oleh hakim, terhadap putusan tersebut penggugat mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 5 Februari 2014. Dalam memori kasasi, pemohon kasasi (penggugat) sangat
berkeberatan dengan putusan hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemohon kasasi (penggugat) menyebutkan judex facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR yaitu hakim wajib mengadili segala bagian tuntutan, sedangkan petitum penggugat tentang merek “OLYMPIC” atas nama tergugat yang menyerupai lembaga internasional penggugat COMITE INTERNATIONAL OLYMPIQUE, judex facti tidak memberikan pertimbangan serta alasan hukumnya, justru mempertimbangkan keterkenalan merek milik penggugat. Kasus yang dipaparkan di atas dari sudut pandang penegakan hukum merek menjadi sangat menarik, karena poin utama adalah masalah passing off terhadap pendomplengan merek terkenal (well-known marks), terkait dengan kepentingan konsumen serta melibatkan orang asing sebagai penggugat. Dengan demikian hukum di Indonesia menjadi sorotan internasional terutama dalam hal perlindungan hukum merek. II.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan mendasar yang timbul dari Putusan Nomor 224K/Pdt.Sus-HKI/2014, dirumuskan sebagai berikut: apakah Putusan MA Nomor 224K/Pdt.Sus-HKI/2014 telah memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek terhadap tindakan passing off? III. STUDI PUSTAKA Perdagangan bebas yang berlaku di era global dewasa ini menyebabkan tidak ada batasan dalam hal perdagangan produk barang dan jasa, semua jenis produk asing dengan mudahnya masuk ke dalam suatu negara. Merek yang sudah dikenal oleh masyarakat dengan mudahnya
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 257
| 257
12/12/2014 3:53:08 PM
menembus perdagangan di pasar internasional, namun di sisi lain juga sangat rentan terhadap upaya pendomplengan merek. Menghadapi kondisi yang demikian diperlukan perangkat hukum khususnya melindungi merek untuk mengatasi persaingan usaha tidak sehat, sehingga menimbulkan rasa nyaman bagi pengusaha untuk berinvestasi di suatu negara. Merek memegang peran penting untuk memperkenalkan produk kepada konsumen. Merek adalah salah satu atribut yang penting dari sebuah produk yang penggunaannya pada saat ini sudah sangat meluas karena beberapa alasan, di mana memberikan merek pada suatu produk berarti memberikan nilai tambah produk tersebut. Merek merupakan atribut produk yang dianggap penting terutama dalam menumbuhkan persepsi yang positif dan konsumen akan percaya setelah menilai atribut yang dimiliki suatu merek. Persepsi positif dan kepercayaan konsumen terhadap suatu merek tersebut akan menciptakan citra merek, dan pada akhirnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat untuk membeli. Agar lebih dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian merek ini, maka ada beberapa pengertian menurut para ahli. Menurut Kotler (2000: 404):
merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 butir 1 menyebutkan pengertian tentang merek, yakni: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka-angka, susunan, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.” Fungsi merek pada prinsipnya sebagai pembeda, sebagai alat monopoli, sebagai alat kompetisi, bahkan dewasa ini fungsi merek mengalami perubahan yakni sebagai simbol “gengsi” bagi konsumen. Barang dengan merek terkenal biasanya diikuti dengan harga yang mahal dan itu bagi konsumen adalah “prestige.” Merek sendiri digunakan untuk beberapa tujuan yaitu sebagai identitas yang bermanfaat dalam diferensiasi atau membedakan produk suatu perusahaan dengan produk perusahaan saingannya. Memudahkan konsumen untuk mengenalinya saat berbelanja dan saat melakukan pembelian ulang, sebagai alat promosi, yaitu sebagai daya tarik produk, untuk membina citra yaitu dengan memberikan keyakinan, jaminan kualitas, serta membangun “image” tertentu kepada konsumen, serta untuk mengendalikan pasar.
“A brand is name, term, sign, simbol, or design, or combination of them, intended to identity the goods or service of one seller OK Saidin dalam bukunya mengutip or group of sellers and to differentiate them pendapat dari Suryatin (2007: 246) mengenai from these of competitors.” wujud atau bentuk merek yang dimaksud untuk Menurut Fandy Tjiptono (2001: 104) membedakan dari barang sejenis milik orang merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol lain, terdapat jenis-jenis merek antara lain: atau lambang, warna, gerak, atau kombinasi merek lukisan, merek kata, merek bentuk, merek atribut-atribut produk lainnya yang diharapkan bunyi-bunyian, dan merek judul. Jenis merek dapat memberikan identitas dan diferensiasi yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia terhadap produk pesaing. Menurut Muhammad menurut Suryatin adalah merek lukisan. Adapun Djumhana dan R. Djubaedillah (2003: 154), merek jenis lainnya, terutama merek kata dan
258 |
jurnal Desember isi.indd 258
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:08 PM
merek judul kurang tepat diterapkan di Indonesia karena dapat menyesatkan masyarakat.
nasional juga terikat pada peraturan internasional salah satunya adalah Konvensi Paris. Konvensi tersebut merupakan salah satu peraturan Arus globalisasi dan perdagangan bebas internasional tentang perlindungan kekayaan menuntut negara-negara mengakomodir tentang industri (Paris Convention for the Protection perlindungan kekayaan intelektual. Sejak of Industrial Property) ditandatangani di Paris, ditandatanganinya persetujuan umum tentang Perancis pada 20 Maret 1883. tarif dan perdagangan (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia Konvensi Paris merupakan perjanjian yang sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk paling banyak ditandatangani negara-negara melaksanakan persetujuan tersebut termasuk di dunia. Konvensi Paris membahas mengenai perdagangan barang-barang palsu (Agreement on perlindungan terhadap kekayaan industri untuk Trade Related Aspects of Intellectual Property kreasi intelektual dalam bentuk hak kekayaan Rights Including Trade in Counterfeit Goods/ industri yang dikenal sebagai penemuan (paten), TRIP’s) yang merupakan bagian dari Persetujuan merek dagang, dan desain industri. Konvensi ini Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia diratifikasi dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 (Agreement Establishing the World Trade tentang Perubahan atas Keppres No. 24 Tahun Organization) sebagaimana disahkan dengan 1979. Berdasarkan pada Konvensi Paris, secara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tradisional hak kekayaan intelektual dibagi atas: tanggal 2 November 1994. industrial property, meliputi paten, merek, dan Dasar hukum merek di Indonesia mengalami empat kali perubahan berawal dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan perubahan yang terakhir Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perubahan Undang-Undang Merek di Indonesia dari waktu ke waktu disesuaikan dengan konvensi internasional yang berhubungan dengan merek yaitu Trademark Law Treaty tahun 1995. Dalam perkembangannya Trademark Law Treaty dibumbui TRIP’s (Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan instrumen hukum internasional (Umar, 2005: 21). Dasar hukum yang melandasi perlindungan di bidang merek selain diatur dalam hukum
desain industri; serta copyright dan related right. Suatu merek diakui keberadaannya melalui permohonan pendaftaran dari pemilik merek melalui Kementerian Hukum dan HAM pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pendaftaran mutlak dilakukan agar didapat manfaat dari perlindungannya. Pendaftaran merek merupakan suatu cara pengamanan pemilik merek sekaligus perlindungan yang diberikan negara. Substansi pendaftaran berkenaan dengan tenggang waktu antara pelaksanaan pengajuan, penerimaan, dan pengumuman. Ketiga tahap ini dapat mempengaruhi sikap pihak ketiga atas terdaftarnya suatu merek. Dalam pendaftaran merek terbuka kemungkinan terjadi penolakan dan pembatalan merek Sistem hukum hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia menghendaki adanya pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 259
| 259
12/12/2014 3:53:08 PM
Pasal 3 Undang-Undang Merek yaitu merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar. Penekanan dalam pasal tersebut bahwa hak atas merek tercipta karena pendaftaran dan bukan karena pemakaian pertama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Merek sebelum UU No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek menimbulkan kepastian hukum terhadap objeknya, sehingga orang yang didaftarkan sebagai pemilik yang dapat memakai dan memberikan orang lain hak untuk memakai (lisensi).
ini adalah permintaan pendaftaran merek dapat diterima atau ditolak.
Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 memakai sistem konstitutif yakni suatu sistem di mana hak atas merek diberikan kepada pihak yang mengajukan pendaftaran mereknya. Oleh karena itu, hanya melalui pendaftaran hak atas merek dapat timbul dan memperoleh sertifikat sebagai bukti. Sistem ini disebut juga first to file. Konsep tersebut bertolak belakang dengan sistem deklaratif yang menekankan pemakaian pertama terhadap merek. Pihak yang dapat membuktikan Dalam mendaftarkan pada kantor merek sebagai pemakai pertama suatu merek maka harus disebutkan jenis barang yang dimintakan otomatis hak merek diberikan kepadanya. Konsep pendaftaran, apabila yang dimintakan deklaratif disebut juga sebagai first to use. pendaftarannya adalah merek dagang. Begitu pula Konsep first to file ini dipakai UU No. 19 terhadap permintaan pendaftaran barang atau jasa Tahun 1992, UU No. 14 Tahun 1997, dan UU No. harus menyebutkan jenis barang atau jasa yang 15 Tahun 2001, namun UU No. 21 Tahun 1961 dimintakan perlindungannya. Tanpa menyebutkan memakai konsep first to use. Peralihan konsep jenis barang atau jasa dalam pendaftaran, merek tersebut dilatarbelakangi bahwa konsep first to tidak dapat diterima oleh kantor merek. Merek use/deklaratif yang dianut UU No. 21 Tahun yang dimintakan pendaftaran tersebut harus 1961 menimbulkan ketidakpastian hukum dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang kesulitan dalam membuktikan pemilik pertama dan jasa (Wahyuni et.al., 2006: 133). yang sebenarnya. Kondisi demikian dapat dipakai Cara pendaftaran merek di Indonesia melalui oleh pihak-pihak yang beriktikad buruk untuk pemeriksaan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan melakukan pemalsuan dan pendomplengan merek Intelektual. Sebelum didaftarkan merek diperiksa terkenal. Akibatnya adalah persaingan usaha terlebih dahulu mengenai merek itu sendiri. tidak sehat dalam perdagangan dan menimbulkan Suatu permohonan pendaftaran merek akan kekacauan hukum bidang kekayaan intelektual. diterima pendaftarannya apabila telah memenuhi Meskipun pendaftaran merek bertujuan persyaratan baik yang bersifat formalitas maupun untuk mendapatkan perlindungan sehingga substansi sebagaimana ditentukan oleh Undangmenimbulkan kepastian hukum, namun Undang Merek yaitu mempunyai kriteria pendaftaran bukan semata-mata mengandung pembeda (Mamahit, 2013: 97). Pemeriksaan arti memberikan alat bukti yang kuat tetapi substantif dilakukan oleh pemeriksa merek juga dapat menciptakan hak kebendaan. Selama (trademark examiner) yang mempunyai keahlian pendaftaran belum terjadi maka hak tersebut dan kualifikasi sebagai pemeriksa merek. Hal ini hanya mempunyai arti terhadap pihak pribadi dan dilakukan untuk penyaringan (screening) terhadap pihak umum belum mengetahui. Pengetahuan merek yang akan didaftarkan. Hasil pemeriksaan 260 |
jurnal Desember isi.indd 260
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:09 PM
masyarakat baru terjadi pada saat hak tersebut didaftarkan (Saidin, 2007: 58).
passing off (pemboncengan merek) masuk dalam kriteria iktikad buruk pendaftar merek, sehingga terhadap permohonan yang mengandung indikasi passing off sudah semestinya untuk dibatalkan.
Perlindungan hukum terhadap merek dagang terdaftar mutlak diberikan oleh pemerintah kepada pemegang dan pemakai hak atas merek Undang-Undang Merek yang terdahulu untuk menjamin: hanya mengatur tentang penolakan pendaftaran apabila merek mempunyai persamaan pada 1. Kepastian berusaha bagi produsen, pokok atau keseluruhan terhadap barang sejenis, 2. Menarik investor bagi merek dagang asing, sedangkan dalam Undang-Undang Merek sedangkan perlindungan hukum bagi merek Tahun 2001 mengalami kemajuan tentang dagang lokal diharapkan pada suatu saat kriteria penolakan pendaftaran merek yakni dapat berkembang secara meluas di dunia mengakomodir tentang penolakan pendaftaran terhadap barang yang tidak sejenis sebagaimana internasional (Firmansyah, 2011: 38). diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Perlindungan Dengan adanya perlindungan hukum tersebut bersifat khusus dan luar biasa serta tersebut, dapat meningkatkan nilai investasi di menerobos dari ketentuan yang sudah ada demi Indonesia sehingga investor berlomba-lomba memberikan perlindungan hukum yang lebih menanamkan investasinya dan meningkatkan komprehensif kepada pemegang merek. pertumbuhan pada dunia usaha. Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun Pendaftaran merek memiliki tujuan tertentu 2001 mengatur tentang perlindungan terhadap di antaranya perlindungan pemilik merek, merek terkenal. Pasal 6 ayat (1) poin b menjelaskan perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat bahwa permohonan harus ditolak oleh Direktorat melalui pencegahan dan penanggulangan segala Jenderal apabila merek tersebut mempunyai bentuk persaingan curang. Pendaftaran merek persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut maka dengan merek yang sudah terkenal milik pihak dapat dicegah. Merujuk pada Pasal 4 UU No. 15 lain baik untuk barang dan jasa. Meskipun diatur Tahun 2001 bahwa “merek tidak dapat didaftar atas dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001 tentang dasar permohonan yang diajukan pemohon yang merek terkenal, namun tidak dijelaskan secara beriktikad tidak baik.” Dalam hal pendaftaran eksplisit tentang pengertiannya. merek, tidak dapat diterima permohonan merek Pengertian merek dijelaskan dalam Undangapabila dilatarbelakangi oleh iktikad buruk. Undang Nomor 14 Tahun 2007 menyebutkan Ruang lingkup iktikad buruk dalam bahwa kriteria merek terkenal adalah selain pendaftaran merek adalah adanya ketidakmemperhatikan pengetahuan masyarakat, juga jujuran dari pendaftar merek dengan melakukan didasarkan reputasi yang bersangkutan diperoleh pemboncengan, meniru, atau menjiplak merek dari promosi oleh pemiliknya disertai dengan yang sudah dikenal sehingga merugikan orang bukti pendaftaran merek di beberapa negara. lain, menciptakan kondisi persaingan curang, Selain dalam undang-undang, kriteria merek mengecoh, dan menyesatkan konsumen. Tindakan terkenal juga terdapat dalam Yurisprudensi
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 261
| 261
12/12/2014 3:53:09 PM
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 426 PK/Pdt/1994 tertanggal 3 November 1994 bahwa merek yang tidak mengenal batas dunia adalah merek yang telah menembus batas-batas nasional dan regional sehingga merek tersebut telah berwawasan globalisasi. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1486 K/Pdt/1994 tertanggal 28 November 1995 memberikan kriteria hukum tentang merek terkenal yakni suatu merek termasuk pengertian well-known mark apabila merek tersebut berada keluar dari batas-batas regional membuka sampai batasbatas transnasional, dan terbukti telah terdaftar di banyak negara di dunia. Berdasarkan reputasi dan kemasyhuran merek dapat dibagi menjadi tiga, yakni merek biasa, merek terkenal, dan merek termasyhur. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Erma Wahyuni dkk (2006: 135) mengatakan merek biasa adalah merek yang tergolong tidak memiliki reputasi tinggi. Konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah dan tidak mampu memberikan lapisan pasar dan pemakai. Merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek yang demikian memiliki kekuatan pancaran yang memukau serta menimbulkan keakraban pada konsumen. Merek termasyhur adalah terkenal di dunia sehingga digolongkan ke dalam “merek aristocrat dunia.” Dalam praktik sangat sulit membedakan antara merek terkenal dan merek termasyhur, karena tidak jelas batas dan ukuran. Sampai saat ini tidak ada definisi tentang merek terkenal yang disepakati dan diterima secara luas, baik dari aturan merek terdahulu dan sekarang maupun pendapat dari para ahli hukum.
sebagai akibat promosi merek dagang tersebut. Well-known mark masih merupakan topik yang terus diperbincangkan sebab sampai saat ini masih belum ada definisi tentang well-known mark tergantung kepada interpretasi negaranegara anggota. Namun telah ada panduan yang dikeluarkan oleh WIPO yang menyangkut faktorfaktor dalam mempertimbangkan apakah suatu merek terkenal atau tidak. Pihak yang berwenang harus mempertimbangkan antara lain hal-hal di bawah ini: a.
Tingkat pengetahuan atau pengakuan mengenai merek tersebut dalam sektor publik yang bersangkutan;
b.
Masa, jangkauan, dan daerah geografis dari penggunaan merek;
c.
Masa, jangkauan, dan daerah geografis dari promosi merek, termasuk pengiklanan dan publisitas serta presentasi pada pameran barang-barang atau jasa pada merek tersebut;
d.
Masa dan daerah geografis dari setiap pendaftaran dan setiap aplikasi pendaftaran sampai pada suatu tingkat sehingga merefleksikan penggunaan atau pengakuan merek;
e.
Catatan dari penegakan hukum yang berhasil atas hak yang melekat pada merek pada suatu tingkat di mana merek tersebut diakui sebagai merek terkenal oleh pejabat yang berwenang; dan
f.
Nilai yang berkaitan dengan merek tersebut (Purba, 2005: 71-75).
Kategori untuk menetapkan suatu merek Dalam pendaftaran merek seringkali well-known harus diperhitungkan pengetahuan merek terkenal di sekitar publik tertentu, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab termasuk pengetahuan di negara anggota melakukan tindakan passing off dilatarbelakangi 262 |
jurnal Desember isi.indd 262
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:09 PM
oleh beberapa faktor, di antaranya dengan mendaftarkan merek yang mendompleng merek orang lain (passing off) akan memperoleh keuntungan secara cepat, menghemat biaya iklan, serta menghemat biaya riset dan pengembangan. Dengan demikian maka harga jual produk, yang mereknya mendompleng milik orang lain, lebih murah, dan bisa memberikan potongan harga yang lebih besar kepada pedagang.
bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek. Goodwill diartikan sebagai “iktikad baik.” Goodwill juga diartikan suatu kebaikan yang bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi, dan keterkaitannya dengan dunia bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena Passing off dapat dikatakan sebagai meyakinkan pihak konsumen untuk membeli tindakan yang mencoba meraih keuntungan produknya (Kurniasih, 2008: 4). melalui jalan pintas dengan segala macam cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma Pada prinsipnya suatu tindakan dapat kesusilaan, maupun hukum (Djumhana & dikategorikan passing off, apabila memenuhi tiga Djubaedillah, 2003: 235). J. Thomas Mc. Carthy elemen. Elemen pertama adanya reputasi yang dan Perreault Cannon mendefinisikan passing off terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang di bidang merek sebagai: pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang 1. 2.
3.
4.
5.
baik di mata publik dan juga usahanya tersebut Suatu penambahan pengaturan merek cukup dikenal oleh umum. Keadaan demikian dagang, dimanfaatkan oleh pesaing pelaku usaha. Elemen Merupakan pelanggaran merek di mana kedua, adanya misrepresentasi dalam hal ini pelanggar dengan sengaja menyesatkan terkenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha, apabila ada pelaku usaha lain mendompleng atau menipu pembeli, merek yang sama maka publik mudah terkecoh Sekalipun pelanggaran merek tersebut tidak (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) ada bukti untuk menipu tetapi kemungkinan dalam memilih produk yang diinginkan. Elemen menyesatkan perlu dibuktikan, yang ketiga, terdapat kerugian yang timbul akibat Di negara-negara common law, pelanggaran tindakan pendomplengan atau pemboncengan tersebut sebagai perbuatan ilegal yang yang dilakukan oleh pengusaha dengan iktikad merupakan bagian dari hukum merek, yaitu tidak baik menggunakan merek yang mirip atau dengan memberikan penggambaran yang serupa dengan merek yang telah dikenal sehingga keliru pada masyarakat bahwa barang dan terjadi kekeliruan memilih produk oleh publik (publik misleading) (Hidayati, 2011: 179-180). jasa tergugat adalah kompetitor, biasanya Dengan menggunakan merek yang menyerupai (Mc. Carthy & Cannon, 2008: 309).
Passing off terkait erat dengan goodwill. Goodwill sering digunakan dalam arti yang
Passing off (pemboncengan merek) sering terjadi pada persamaan unsur, garis, warna, dan desain kemasan pada suatu produk, dan dalam hal ini segala macam perlindungan segala unsur, garis, warna, dan desain kemasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 263
| 263
12/12/2014 3:53:09 PM
Desain Industri. Kondisi di masyarakat banyak sekali produk yang beredar mempunyai tingkat kemiripan antara satu dengan lainnya dari segi desain kemasan. Namun, yang dilindungi dalam kerangka Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2011 adalah etiketnya semata, sehingga perbuatan pemboncengan reputasi terhadap desain kemasan tidak termasuk pelanggaran menurut Undang-Undang Merek. Hal tersebut menimbulkan permasalahan pada praktiknya, seharusnya perlindungan bukan hanya dari segi etiket merek, tetapi harus menjadi satu kesatuan dengan desain kemasan produk.
mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain.
Persamaan merek pada keseluruhan apabila mempunyai persamaan dalam hal asal, sifat, cara pembuatan, dan tujuan pemakaiannya. Persamaan pada pokoknya meliputi persamaan bentuk, persamaan cara penempatan, persamaan bentuk, dan cara penempatan serta persamaan bunyi ucapan (Sudarmanto, 2012: 85). Persamaan pada pokoknya dianggap terwujud apabila merek tersebut memiliki kemiripan merek orang lain. Kemiripan tersebut didasarkan pada kemiripan persamaan gambar, mirip atau hampir sama IV. ANALISIS susunan kata, warna atau bunyi, dan menyesatkan Dalam memori kasasinya pemohon masyarakat konsumen (Marwiyah, 2010: 46). kasasi (dahulu penggugat) sangat berkeberatan Kriteria persamaan merek tersebut sesuai dengan dengan putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta merek milik termohon kasasi dengan memakai Pusat karena judex facti sama sekali tidak merek “OLYMPIC” yang merupakan nama mempertimbangkan bahwa merek “OLYMPIC” lembaga internasional milik pemohon kasasi. atas nama termohon kasasi (dahulu tergugat) Dalam amar putusan majelis hakim menyerupai nama lembaga internasional milik pada Mahkamah Agung No. 224 K/Pdt.Suspemohon kasasi (dahulu penggugat) yaitu HKI/2014 yaitu menolak permohonan kasasi COMITE INTERNASIONAL OLYMPIQUE dari pemohon kasasi dengan mempertimbangkan (OLYMPIC dalam bahasa Inggris). Objek bahwa penggugat dalam persidangan ternyata pelanggaran atau passing off perkara adalah tidak dapat membuktikan dalilnya bahwa merek merek dagang yang dimiliki oleh pemegang dagang “THE OLYMPIC;” “OLYMPIC;” dan merek dari luar negeri. ”LOGO” adalah merek yang dikenal (terkenal) Menurut pertimbangan Mahkamah sebagai merek dagang milik penggugat karena Agung terhadap memori kasasi yang diajukan tidak satu pun dari bukti-bukti yang diajukan oleh oleh pemohon kasasi dan dihubungkan penggugat yang sah dan kuat menunjukkan adanya dengan pertimbangan judex facti dalam hal ini kegiatan promosi gencar dan besar-besaran oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta penggugat. Putusan hakim agung tersebut kurang Pusat, sudah tepat dan benar serta tidak salah mencerminkan kepastian hukum di mana hakim menerapkan hukum, dengan alasan telah sesuai tidak mempertimbangkan dasar yuridis selain dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. Pasal 6 ayat (1) huruf b, serta kurang memahami 15 Tahun 2001 yaitu permohonan pendaftaran makna, pengertian, dan ruang lingkup tentang merek wajib ditolak apabila merek didaftarkan merek terkenal (well-known marks). Putusan hakim tersebut secara tidak langsung memberi 264 |
jurnal Desember isi.indd 264
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:09 PM
perlindungan bagi pembajak/pendompleng merek terkenal dan tidak melindungi pemilik merek sebenarnya. Dalam perlindungan merek dikenal adanya teori pencemaran merek terkenal (dilution theory) (Marwiyah, 2010: 45). Teori tersebut tidak mensyaratkan adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam menilai sebuah pelanggaran merek terkenal. Perlindungan didasarkan pada nilai komersial atau nilai jual dari merek dengan cara melarang pemakaian yang dapat mencemarkan nilai eksklusif dari merek atau menodai daya tarik merek terkenal tersebut. Teori tersebut sesuai dengan kedudukan merek milik pemohon kasasi yang telah dicemarkan reputasinya oleh merek milik termohon kasasi.
b.
didaftarkan minimal di dua negara,
c.
memperhatikan pengetahuan masyarakat yang didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan karena promosi oleh pemiliknya,
d.
pemiliknya melakukan investasi di beberapa negara, terhadap merek tersebut telah lama dikenal,
e.
dipakai di Indonesia.
Pada prinsipnya untuk menilai keterkenalan suatu merek belum ada kualifikasi baku yang mengatur khusus tentang hal tersebut. Apabila muncul kasus yang mempermasalahkan tentang merek terkenal sepenuhnya diserahkan kepada hakim dalam menilai dan mempertimbangkan Selain mempermasalahkan tentang merek tersebut sebagai merek terkenal. keterkenalan merek milik pemohon kasasi, hakim Ditinjau dari segi hukum, suatu hasil karya hendaknya juga mempertimbangkan tindakan atau produk hanya akan mempunyai arti bagi passing off dari termohon kasasi. Passing off pemiliknya kalau tersedia sarana hukum untuk dilakukan dalam rangka memanfaatkan reputasi melindungi hasil karyanya terhadap perbuatanbaik merek milik orang lain yang sudah cukup perbuatan orang lain yang mencari keuntungan dikenal masyarakat, adanya misrepresentasi dari tidak sehat dalam perdagangan dengan cara konsumen sehingga mudah terkecoh dengan meniru hasil karya orang lain. Manakala adanya merek milik termohon kasasi, dan adanya perlindungan hukum bagi pemilik merek belum kerugian yang timbul akibat pebuatan passing terwujud, maka sulit untuk mengembangkan off misalnya dengan penurunan pendapat yang kegiatan perdagangan secara global dan diderita oleh pemohon kasasi yang disertai bukti penanaman modal, pada akhirnya memperburuk fisik yang diajukan ke pengadilan. iklim investasi dan tujuan pembangunan Merek milik penggugat (pemohon kasasi) nasional tidak tercapai. Dalam perkara merek masuk dalam klasifikasi merek terkenal. yang melibatkan merek asing konsekuensinya Memperhatikan dari berbagai dasar hukum baik sangat berat, dalam arti bahwa merek asing yang berlaku nasional maupun internasional dan tidak mendapatkan perlindungan hukum sebagai penjelasan dari para ahli hukum bahwa kriteria pemegang merek terkenal yang akhirnya bisa suatu merek adalah merek terkenal apabila: menurunkan tingkat kepercayaan publik asing terhadap penegakan hukum kekayaan intelektual a. merek tersebut telah beredar batas-batas di Indonesia. luar negara asal,
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 265
| 265
12/12/2014 3:53:09 PM
Merujuk pada tindakan tergugat (termohon kasasi) dalam mendaftarkan merek miliknya dilandasi oleh praktik peniruan merek dagang, dilakukan dalam kerangka persaingan tidak jujur berwujud upaya penggunaan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek milik tergugat (termohon kasasi) seakan-akan adalah produk terkenal tersebut. Hal demikian dapat menyesatkan masyarakat dan menimbulkan kerugian bagi produsen merek terkenal. Permohonan kasasi dari pemohon (dahulu penggugat) mendalilkan pada merek yang digunakan termohon kasasi (dahulu tergugat) mempunyai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya dengan merek dagangnya sehingga termohon kasasi tidak mempunyai iktikad baik dalam mendaftarkan merek miliknya. Selain itu, dalam permohonan kasasi dari pemohon juga mendalilkan tentang pemboncengan merek (passing off) milik pemohon kasasi sebagai pemakai dan pemilik merek pertama kalinya dalam merek dagangnya. Tindakan passing off yang dilakukan termohon kasasi bertujuan memperoleh keuntungan besar tanpa harus mempromosikan mereknya sendiri dan akan merugikan pemohon kasasi. Sehingga pemohon kasasi mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek atas nama termohon kasasi. Tindakan passing off sulit untuk dibuktikan, karena pemohon kasasi harus bisa menunjukkan reputasinya dari semua yang dimiliki, tentang hal yang tidak bisa didaftarkan, yang telah didaftarkan atau yang belum didaftarkan. Passing off harus ada goodwill (reputasi) yang melekat pada produk. Praktiknya passing off dilakukan terhadap produk yang belum terdaftar namun memiliki goodwill yang cukup melekat padanya. Pihak yang melakukan pendomplengan biasanya mengambil keuntungan ekonomis dengan persaingan curang. 266 |
jurnal Desember isi.indd 266
Dalam perkara merek “OLYMPIC,” pihak pemohon kasasi bahkan sudah mendaftarkan merek miliknya di Indonesia, seharusnya hakim bisa mempertimbangkan nama baik/goodwill yang dimiliki oleh pemohon kasasi. Persaingan merupakan bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Persaingan jujur atau persaingan sehat merupakan bentuk persaingan yang dibenarkan oleh hukum yang dapat mendatangkan keuntungan tanpa merugikan pesaingnya. Dalam persaingan yang sehat dapat meningkatkan mutu dan kualitas produk dan akan menguntungkan konsumen. Perbuatan passing off oleh termohon kasasi tidak dapat digolongkan persaingan sehat karena perbuatan tersebut merugikan konsumen juga kompetitornya. Persaingan semacam itu disebut sebagai persaingan curang dan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pada prinsipnya merek harus didaftarkan dengan iktikad baik. Artinya bahwa jika seseorang mengajukan merek yang disadari bahwa merek tersebut sudah menjadi milik orang lain atau serupa dengan merek milik orang lain maka merek tersebut tidak dapat didaftarkan. Merek milik pemohon kasasi telah dikenal sebelum termohon kasasi mendaftarkan mereknya, dan bahkan telah didaftar di lima negara, sehingga pengajuan merek dari termohon kasasi patut diduga mendompleng merek milik orang lain. Dengan demikian sepatutnya pemohon kasasi bisa membuktikan bahwa dirinya dan perusahaan miliknya sudah menggunakan merek tersebut dan pendaftaran merek milik pihak lain dapat dibatalkan. Perbuatan termohon kasasi mendaftarkan merek milik orang lain tidak sesuai dengan etika intelektual yang telah diatur dalam undang-undang, kecuali jika ia terlebih dahulu izin dengan pemegang merek asli sehingga Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:09 PM
pemakaian mereknya menggunakan hak lisensi. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung mempermasalahkan keterkenalan merek milik pemohon kasasi, menurut pendapat hakim c. tidak ada bukti bahwa pemohon kasasi melakukan promosi. Hakim dalam hal ini hanya memberi penafsiran sempit tentang pengertian merek terkenal dan spesifikasinya. Padahal, merek dianggap terkenal sekalipun belum digunakan d. dalam negara yang bersangkutan. Promosi secara besar-besaran bukan pertimbangan pokok terhadap keterkenalan merek. Pemohon kasasi tidak melakukan promosi besar-besaran, namun di sisi lain merek miliknya sudah terdaftar di lima negara dan sudah ada sejak puluhan tahun silam. Masyarakat sangat mengenal merek milik pemohon kasasi. Kehadiran merek milik e. termohon kasasi dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi pemohon kasasi. Untuk menetapkan suatu merek sebagai f. terkenal, pejabat yang berwenang (dalam hal ini hakim agung) harus memperhatikan semua keadaan (circumstances) yang dapat mendukung pengakuan suatu merek terkenal. Informasiinformasi tentang faktor-faktor yang dapat g. mendukung merek sebagai merek terkenal, termasuk dan tidak terbatas pada: a.
tingkat pengakuan, volume serta luasnya wilayah geografis penggunaan merek tersebut yang pada intinya didukung oleh banyaknya permohonan calon license, produsen, distributor, importir, penjual ritel, dan konsumen, hal mana merupakan bukti langsung adanya pengakuan dari pihak ketiga;
b.
tingkat dikenalnya atau pengakuan atas merek tersebut di sektor yang relevan dalam
masyarakat, termasuk volume penjualan dan penetrasi dalam pasar yang mendukung unsur ketenarannya; lama dan luas wilayah geografis promosi merek termasuk pengiklanan dan publikasi serta keikutsertaannya dalam eksebisi dan pameran, merek bisnis advertensi modern dapat terkenal dalam waktu singkat; luas wilayah geografis dari registrasi dan/atau aplikasi registrasi merek dapat mengindikasikan penggunaan dan pengakuan merek misalnya upaya pemilik merek untuk meregistrasi hak miliknya di berbagai negara adalah indikasi dari reputasi merek; Adanya tingkat pembeda yang nyata dari merek terkenal tersebut, terlihat dari sifat eksklusif dan kualitasnya barang dan merek; Luasnya keberhasilan penggunaan hak merek tersebut, khususnya luas pengakuan atas merek yang bersangkutan didukung oleh sirkulasi merek dalam jaringan bisnis yang luas; Tinggi nilai komersial merek tersebut (Komar, 2008: 455).
Hakim di pengadilan niaga dan hakim agung berpendapat bahwa merek terkenal harus memenuhi unsur terkenal dalam masyarakat Indonesia, merupakan suatu persyaratan sempit. Adakalanya suatu produk belum dikenal di Indonesia namun sudah dikenal di mancanegara, sehingga produsen mengimpor barang tersebut ke Indonesia dan mengusahakan pendaftarannya di Dirjen HKI. Langkah yang diambil pengusaha tersebut tepat dan merek miliknya masuk dalam
Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 267
| 267
12/12/2014 3:53:09 PM
klasifikasi terkenal meski baru masuk ke Indonesia. telah terkenal dan dimiliki oleh pihak ketiga. Hal ini tidak saja berlaku untuk merek termasyhur Meskipun dalam Undang-Undang Nomor atau “famous” tetapi juga bagi merek terkenal 15 Tahun 2001 telah mengatur tentang tolok (well-known) di suatu negara (Komar, 2008: ukur dalam menentukan merek terkenal, namun 454). Berdasarkan pada prinsip tersebut merek pengaturan mengenai hal tersebut masih akan yang didaftarkan oleh termohon kasasi yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah mirip dengan merek milik pemohon kasasi yang sampai sekarang belum ada. Sehingga dapat menyesatkan masyarakat/konsumen untuk belum bisa digunakan hakim untuk membuat memilih produk. keputusan tentang tindakan passing off. Kondisi demikian menimbulkan keanekaragaman dalam Seharusnya hakim di Pengadilan Niaga membuat tafsiran mengenai kriteria merek pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hakim terkenal, serta mengakibatkan inkonsistensi di Mahkamah Agung mempertimbangkan kriteria putusan hakim dalam menilai keterkenalan suatu tentang passing off. Perbuatan termohon kasasi merek. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam kasus tersebut di atas mengindikasikan hukum terutama kepada perusahaan-perusahaan tindakan passing off dari merek milik pemohon besar yang memiliki hak atas merek terkenal. kasasi. Passing off menyebabkan kebingungan Kondisi demikian bisa jadi dimanfaatkan bagi dalam menggunakan merek dengan menyerupai pihak yang mempunyai iktikad tidak baik merek terkenal pada barang dan atau jasa. melakukan tindakan passing off, dan justru hakim Kebingungan yang dimaksud di sini adalah memenangkan pemegang merek yang berasal kesalahan perkiraan masyarakat bahwa dari pendomplengan. asal barang dan atau jasa adalah sama atau Dalam kerangka pendaftaran merek sudah seyogianya terhadap merek yang mengandung unsur-unsur tertentu tidak dapat didaftarkan sebagaimana bunyi Pasal 5 Undang-Undang Merek. Unsur-unsur tertentu di sini dimaksudkan bahwa merek tersebut mempunyai kemiripan pada pokoknya sebagian atau keseluruhan dengan merek lain. Alasan demikian dapat diterima untuk memberikan perlindungan terhadap pemilik merek, perlindungan konsumen, dan perlindungan terhadap masyarakat dari upaya curang serta memberikan kepastian hukum khususnya di bidang kekayaan intelektual.
perkiraan masyarakat tentang adanya suatu kesamaan afiliasi bisnis atau hubungan kontrak terhadap barang dan atau jasa. Dalam rangka membuktikan adanya passing off yang terpenting adalah kemungkinan kebingungan masyarakat. Oleh karena itu pemohon kasasi harus dapat menunjukkan alat bukti yang mengarah pada kebingungan masyarakat. Kebingungan tersebut akan membawa masyarakat untuk menyimpulkan bahwa termohon kasasi berhubungan dengan pemohon kasasi, agen, cabang dari bisnis pemohon kasasi. Dalam hal ini pemohon kasasi dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan kasasi tersebut.
Pada prinsipnya, suatu merek yang Memperhatikan posisi kasus dan putusan didaftarkan tidak boleh mengakibatkan timbulnya majelis hakim Mahkamah Agung Nomor 224 kebingungan dan penyesatan (confusion/ K/Pdt.Sus-HKI/2014 serta dihubungkan dengan verwarring) dengan merek yang secara umum dasar hukum tentang merek baik nasional maupun 268 |
jurnal Desember isi.indd 268
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:10 PM
internasional, dapat menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum merek di Indonesia. Dikhawatirkan merek-merek terkenal milik asing tidak percaya dengan perlindungan hukum tentang kekayaan intelektual khususnya bidang merek di Indonesia, yang pada akhirnya menurunkan tingkat investasi di Indonesia. Putusan hakim agung tersebut menambah panjang daftar putusan yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal. Pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung dengan investasi asing, oleh karena itu diperlukan penegakan hukum di segala bidang. Khusus tentang kekayaan intelektual, Indonesia sangat terkenal sebagai negara dengan tingkat pembajakan tertinggi di dunia. Kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan tersendiri, oleh karena itu pemerintah senantiasa mengupayakan penegakan hukum di bidang kekayaan intelektual. Perbuatan passing off merupakan salah satu bentuk pembajakan, komitmen dari penegak hukum Indonesia sangat penting dalam rangka mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hukum pemilik merek terkenal. Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum sudah sepatutnya mempertimbangkan hal tersebut, tentunya tetap dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kepatutan.
prioritas). Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman ini menyebutkan bahwa merek terkenal adalah merek asing yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut mempunyai penafsiran yang luas untuk mendefinisikan suatu merek sebagai merek terkenal, yaitu tidak hanya berdasarkan pada keterkenalan merek di wilayah Indonesia semata.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris dengan Keppres No. 15 Tahun 1997, memperhatikan hal tersebut seharusnya hakim memeriksa perkara pembatalan merek harus mengindahkan Pasal 6 bis Konvensi Paris, yaitu negara anggota harus menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang pemakaian dari merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan atau kekacauan dari suatu merek yang dipandang di negara merek tersebut didaftar atau dipakai sebagai suatu merek terkenal dan merupakan merek orang lain untuk barang yang sama atau serupa. Ketentuan ini juga berlaku apabila bagian penting dari merek tersebut merupakan hasil gandaan dari merek terkenal atau hasil pemalsuan yang dapat menimbulkan kerancuan terhadap produk tersebut. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, produk dari termohon kasasi Hakim pada tingkat pertama di Pengadilan menimbulkan kekacauan atau kekeliruan merek Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan karena mereknya serupa dengan milik orang hakim di Mahkamah Agung dalam kasus ini lain, sehingga harus dibatalkan pendaftaran tidak mempertimbangkan Keputusan Menteri mereknya. Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 Tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai terkenal atau merek yang mirip dengan merek hakim dalam memeriksa perkara merek khususnya terkenal milik orang lain. Peraturan ini merupakan tentang passing off dan merek terkenal harusnya penetapan prinsip Pasal 4 ayat (1) Konvensi Uni tidak hanya berpedoman pada dasar hukum Paris mengenai Principle Right of Priority (hak undang-undang semata. Konvensi-konvensi Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 269
| 269
12/12/2014 3:53:10 PM
internasional yang telah diratifikasi dalam hukum Indonesia, seluruh peraturan perundangundangan, kebiasaan dalam masyarakat, yurisprudensi, pendapat ahli hukum seharusnya menjadi dasar yuridis hakim dalam memutuskan perkara, sehingga jangan sampai hakim salah dalam menerapkan hukum.
hukum dan pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Keadaan demikian akan menyebabkan ketidakpercayaan publik kepada lembaga peradilan. Putusan majelis hakim Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt. Sus-HKI/2014 menghalalkan merek palsu dari pemegang merek yang mendompleng popularitas merek asli dan menggilas merek orisinil yang Hakim harus merepresentasikan hukum sudah sah pendaftarannya. Hakim diharapkan dalam ranah empiris serta melihat perilaku manusia objektif dalam mempertimbangkan norma sebagai hukum. Dengan demikian setidaknya hukum yang ada dan fakta di persidangan secara pola berpikir dan konsep tentang hukum harus komprehensif sehingga dapat menghasilkan diubah tidak hanya sebagai peraturan tetapi juga putusan yang adil. perilaku, karena hukum muncul dalam bentuk perilaku. Kerangka berpikir hakim mengenai Bredemeir dalam Laporan Penelitian konsep keterkenalan merek harus diperluas, dalam Putusan Pengadilan Tinggi (KYRI, 2011: 3) arti merek terkenal tidak hanya terbatas terkenal mengatakan bahwa “pasaran untuk keadilan di Indonesia saja juga harus terkenal di negara- yang dihasilkan oleh hukum menjadi sangat tidak negara lain. Pada umumnya hakim berpedoman menggembirakan.” Kepercayaan masyarakat pada first to file, sehingga merek terkenal di luar terhadap pengadilan secara khusus hakim semakin negeri kalah dalam persidangan. menurun. Apapun yang dilakukan oleh pengadilan Hakim sebagai pembuat keputusan, memegang peran sentral dan merupakan ujung tombak peradilan, serta satu komponen terpenting dalam proses pembaruan hukum. Oleh karena itu, hendaknya hakim dalam menjalankan profesinya mengedepankan integritas moral dalam mewujudkan keadilan. Hakim yang menyidangkan perkara-perkara yang bersifat ad hoc (khususnya dalam hal ini perkara merek) dapat meningkatkan pemahamannya secara komprehensif tentang ruang lingkup kekayaan intelektual terutama hak merek. Penguasaan terhadap materi, baik dalam undang-undang maupun secara teoritis, akan memperkecil munculnya putusan yang kontroversi tentang pemegang hak merek terkenal.
sulit meyakinkan para pihak berselisih dan juga masyarakat, bahwa seluruh kepentingan mereka sesungguhnya telah dipertimbangkan dengan jujur dan penuh respek. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, dengan menghasilkan putusan yang progresif mengedepankan keadilan dan menegakkan norma hukum.
Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik putusan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Hukum ideal adalah cerminan dari hukum progresif, memuat kandungan moral yang sangat kuat. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Hukum selalu berada pada “law in the Putusan hakim yang dinilai kontroversi making,” peka terhadap perubahan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian di masyarakat, baik lokal, nasional maupun 270 |
jurnal Desember isi.indd 270
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:10 PM
global (Rahardjo, 2009: 18-19). Dalam rangka mewujudkan hukum progresif yang berkeadilan dan bermartabat, maka putusan hakim hendaknya keluar dari “tradisi konvensional” tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif namun merefleksikan konsep dasar “keadilan di atas peraturan.” Apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.SusHKI/2014, maka sangat jauh dari hukum yang dicita-citakan. Putusan tersebut merefleksikan hukum normatif, tanpa mempertimbangkan aspek lain selain dari keterkenalan produk, hal yang paling penting justru dikesampingkan yaitu masalah pendomplengan merek termohon kasasi serta iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek. V.
SIMPULAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/ Pdt.Sus-HKI/2014 menerapkan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam amar putusan menyatakan menolak gugatan pemohon kasasi, dengan pertimbangan bahwa pemohon kasasi tidak dapat membuktikan dalilnya sebagai merek terkenal dengan adanya kegiatan promosi gencar dan besar-besaran penggunaan merek tersebut.
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) namun tidak secara eksplisit. Meskipun kriteria khusus tentang merek terkenal belum ada, namun setidaknya dalam beberapa ketentuan tentang merek terkenal baik dalam peraturan hukum nasional maupun dalam konvensi internasional serta pendapat para ahli hukum sudah banyak yang membahas tentang merek terkenal. Merek milik pemohon kasasi sudah didaftarkan di lima negara, merek tersebut berasal dari nama lembaga internasional milik pemohon kasasi Comite Internasional Olympique yang didirikan sejak tahun 1894 sebagai penyelenggara Olimpiade. Seharusnya hakim mempertimbangkan kedua hal tersebut, karena merek milik pemohon kasasi sudah dapat dikualifikasi sebagai merek terkenal dan perbuatan termohon kasasi sebagai tindakan passing off. Sejak dilakukan pendaftaran sudah ada iktikad tidak baik untuk mendapatkan keuntungan dari pendomplengan merek milik pemohon kasasi. Putusan hakim mengakibatkan termohon kasasi tetap berhak sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC,” sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum merek.
Perlindungan hukum bagi pemilik merek belum tercermin dalam Putusan Nomor 224 K/ Pdt.Sus-HKI/2014. Perkara passing off antara Dalam hal ini hakim hanya menyoroti Comite Internasional Olympique sebagai pemilik perkara tersebut dari segi terkenal atau tidaknya resmi merek “OLYMPIC” justru dikalahkan suatu merek dan tidak mempertimbangkan dari merek yang sama milik termohon kasasi. perbuatan passing off/pendomplengan yang Perbuatan passing off oleh termohon kasasi dilakukan termohon kasasi. Putusan tersebut sangat nyata terlihat dari nama merek yang tidak mencerminkan perlindungan hukum bagi digunakan, yaitu membonceng ketenaran merek pemegang merek terkenal. Perlindungan hukum milik pemohon kasasi secara melawan hukum sangat penting dilakukan dalam rangka menekan yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik merek yang sesungguhnya terhadap reputasi kasus pelanggaran merek. perusahaan. Perangkat hukum yang tersedia Mengenai kriteria merek terkenal sudah masih memungkinkan untuk dilakukan berbagai diatur dalam Undang-Undang Merek khususnya interpretasi oleh hakim, pada akhirnya upaya Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)
jurnal Desember isi.indd 271
| 271
12/12/2014 3:53:10 PM
untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal belum dapat dilakukan secara maksimal.
Merek dalam Perdagangan Barang dan Jasa. Lex Privatum, Vol. 1/No. 3 Juli. Manado: Universitas Margono,
Suyud
Sam &
Ratulangi Amir
Manado.
Angkasa.
2002.
Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia. Marwiyah, Siti. 2010. Perlindungan Hukum Atas
DAFTAR PUSTAKA
Merek Terkenal. Jurnal Syariah dan Hukum
Djumhana, Muhammad & R. Djubaedillah. 2003. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Merek.
Yogyakarta:
Pustaka
Yustisia. Hidayati, Nur. 2011. Perlindungan Hukum Pada Merek yang Terdaftar. Ragam. Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 11/No. 3 Desember. Politeknik Negeri Semarang. Komar, Mieke. 2008. Bedah Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Refleksi Dinamika Hukum: Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI. Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2011. Penerapan dan Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim. Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Tinggi. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Jakarta: Prehallindo. Kurniasih, Dwi Agustine. 2008. Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi). Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6 Desember. Mamahit, Jisia. 2013. Perlindungan Hukum Atas
272 |
jurnal Desember isi.indd 272
Universitas Islam Negeri Malang. Mc. Carthy, J. Thomas & Pereault Cannon. 2008. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Salemba
Firmansyah, Hery. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap
De Jure, Vol. 2/No. 1 Juni. Jurnal Hukum
Empat. Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Saidin, OK. 2007. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: Rajagrafindo. Sudarmanto. 2012. KI dan HKI Serta Implementasinya Bagi Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Susilowati,
Etty.
2010.
Perlindungan
Hukum
Atas Merek. Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual.
Semarang:
Fakultas
Hukum
Universitas Diponegoro. Tjiptono, Fandy. 2001. Strategi Pemasaran. Edisi Kedua. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Andi Offset. Umar, Ahmad Zen. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIP’s. Bandung: Alumni. Wahyuni,
Erma,
Manajemen
et.al.
2006.
Hukum
Kebijakan
Merek.
dan
Yogyakarta:
Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI).
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272
12/12/2014 3:53:10 PM
KETIDAKCERMATAN DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN KASUS KAPAS TRANSGENIK Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT
INACCURATE LEGAL CONSIDERATION ON THE CASE OF TRANSGENIC COTTON An Analysis of Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT Loura Hardjaloka Kantor Hukum Bahar & Partners Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung Blok 6.2 Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950 E-mail:
[email protected]/
[email protected] Naskah diterima: 21 Juni 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014 ABSTRAK
ABSTRACT
Hakim di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara memiliki peran yang sangat sentral untuk menegakkan hukum dan keadilan. Agar itu bisa tercapai maka hakim tersebut harus memiliki kapasitas yang memadai dan harus selalu cermat ketika menangani sebuah perkara. Akan tetapi, hal tersebut tidak kita temukan di dalam penanganan kasus kapas transgenik oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada kasus itu majelis hakim tidak cermat dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya kapas transgenik sebagai produk GMos. Selain itu, hakim juga tidak cermat dalam melihat pelanggaran penerapan prinsip kehatihatian (precautionary principle) dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan organisme transgenik. Ketidakcermatan tersebut terjadi karena hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard), kepada tergugat II intervensi I.
The role of judges in analyzing and deciding a case is of a great significance in the framework of law enforcement and justice. It means that judge must be highly qualified in handling a case. However, this is not reflected in the judge’s conduct when deciding the case of transgenic cotton in the Jakarta Administrative Court. In this case, the judges did not scrupulously analyze the defendant’s actions to issue the license regardless of the safety of transgenic cotton as a GMos product. In addition, the judges are also negligent in scrutinizing the violations of the precautionary principles and risk assessment in the release of genetically modified organisms. This happened because the judges did not discover any further information on the issuance of licenses of using of the genetically modified organisms by the defendant, occupying as Minister of Agriculture, through Decree Number 107/Kpts/KB.430/2/2001 on Limited Release of Transgenic Cotton Bt DP 5690B as Quality Seed Named NuCOTN 35B (Bollgard), to the defendant II intervention I.
Kata kunci: ketidakcermatan hakim, transgenik, prinsip kehati-hatian, hak gugat.
Keywords: negligent judges, genetically modified organisms, precautionary principle, the right to sue.
organisme
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 273
| 273
12/12/2014 3:53:10 PM
I.
PENDAHULUAN
Pada tulisan ini, penulis mengangkat mengenai ketidakcermatan hakim mengenai kasus kapas transgenik yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT yang mana para penggugat antara lain: ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), KONPHALINDO (Yayasan Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia), Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, Yayasan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat melawan Menteri Pertanian RI sebagai tergugat dan PT. MK (tergugat II intervensi I) serta para petani dan PNS (para tergugat II intervensi II). Dalam kasus ini, ketidakcermatan hakim dalam menjatuhkan putusan terlihat saat hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/Kpts/ KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard) kepada tergugat II intervensi I. Padahal, dalam menjatuhkan putusan hakim memiliki peran penting untuk menelusuri alur penerbitan izin oleh tergugat yang mana sebenarnya tergugat menerbitkan izin tanpa mengetahui aman tidaknya produk organisme transgenik serta tanpa AMDAL terlebih dahulu.
unsur ketidakpastian ilmiah dan ancaman serius berupa risiko bagi lingkungan hidup yang tidak dapat diperkirakan. Ketidakcermatan hakim terhadap kedua hal tersebut ditambah lagi dengan pertimbangan hukumnya terkait terhadap hak gugat dari para penggugat. Berkenaan dengan hak gugat penggugat, hakim kurang tepat dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai ius standi dan persona standi in judicio dari organisasi lingkungan hidup sebagai penggugat. Berdasarkan penjabaran di atas, penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aman tidaknya produk GMOs, penerapan prinsip kehatihatian dan pengkajian risiko terhadap GMOs serta hak gugat terkait kasus lingkungan hidup sebagaimana akan menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini sebagai letak ketidakcermatan hakim dalam memutuskan kasus ini. Dalam gugatannya, para penggugat antara lain mendalilkan bahwa pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk transgenik, pengelolaan, dan pelestarian lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan konsumen dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan menurunnya partisipasi masyarakat dan kemampuan pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta daya dukung lingkungan.
Ketidakcermatan hakim atas hal tersebut Alasan pengajuan gugatan adalah sebagai juga menunjukkan bahwa hakim tidak cermat berikut: melihat bahwa tindakan yang dilakukan tergugat 1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) masih lebih mengarah ke prinsip pencegahan yang dikeluarkan tergugat bertentangan dan belum mencerminkan prinsip kehati-hatian. dengan ketentuan mengenai AMDAL Padahal, pada kasus kapas transgenik ini terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dan PP 274 |
jurnal Desember isi.indd 274
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:10 PM
Nomor 27 Tahun 1997. Pelepasan kapas transgenik ”Bollgard” tersebut termasuk 3. dalam ”usaha dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik” yang dapat menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup harus didahului dengan proses AMDAL akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Oleh karena itu, SK ini melanggar undang-undang. Selain itu terdapat perbedaan pendapat antara 4. lembaga pemerintah dan masyarakat mengenai perlu tidaknya pelepasan kapas transgenik yang mana menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-39/ MENLH/08/1996, bila ada keragu-raguan seharusnya meminta kepastian penetapan wajib AMDAL pada Menteri Negara Lingkungan Hidup secara tertulis, namun kenyataannya tergugat tidak melakukan hal tersebut. 2.
Tergugat setelah mempertimbangkan semua kepentingan seharusnya tidak sampai pada keputusan a quo (Pasal 53 ayat (2) huruf c UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur sewenangwenang (willekeur). Hal ini disebabkan SK tidak mempertimbangkan isi dari United Nations Convention on Biological Diversity yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1994 mengenai penerapan precautionary principle dan Cartagena Protocol on Biosafety terkait kegiatan/usaha yang berkaitan dengan produk transgenik dilakukan dengan cara yang aman bagi lingkungan maupun kegiatan manusia. SK ini dianggap menyimpang dari visi pemerintah Indonesia untuk mengadopsi precautionary principle dalam penanganan produk transgenik, oleh karenanya dianggap
mengandung unsur sewenang-wenang. Tergugat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain (Pasal 53 ayat (2) huruf b UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) karena pelepasan produk transgenik itu tidak mencerminkan prinsip kehati-hatian. Tergugat setelah mempertimbangkan semua kepentingan seharusnya tidak sampai pada keputusan a quo (Pasal 53 ayat (2) huruf c UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur sewenang-wenang (willekeur). SK tersebut dikeluarkan dengan tidak mempertimbangkan saran mengenai perlunya pelaksanaan AMDAL dari Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Convention on Biological Diversity, Cartagena Protocol on Biosafety, serta usulan dari DPRD Sulawesi Selatan sebagai wakil rakyat.
5.
Tindakan tergugat pada proses pembentukan surat keputusan a quo bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas fair play (kejujuran). Tergugat dianggap selalu menutup informasi yang sebenarnya mengenai pelepasan kapas transgenik dan uji keamanan hayati kapas transgenik Bt.
6.
SK tersebut dikeluarkan dengan tidak mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. MK sebagai pihak pengusul dalam pelepasan kapas Bt, yaitu tidak melakukan AMDAL.
Berdasarkan dalil gugatan para penggugat, dalam pertimbangan hakim, hakim menyatakan sebagai berikut:
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 275
| 275
12/12/2014 3:53:10 PM
1.
Objek gugatan: SK Nomor 107/Kpts/ KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard).
2.
Gugatan terdaftar tanggal 4 Mei 2001 yang berarti belum melebihi jangka waktu 90 hari masa tenggang.
f.
Perihal hak gugat LSM yang diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997.
3.
Terdapat putusan sela hakim yang mendudukkan PT. MK sebagai pihak tergugat II intervensi I serta S dkk sebagai para tergugat II intervensi II.
g.
Kewajiban memelihara lingkungan hidup yang diatur di dalam Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun 1997.
h.
Pendapat dari Mas Achmad Santosa dkk perihal perbedaan antara hak gugat organisasi lingkungan hidup.
dikatakan juga sebagai actio popularis yang sejalan dengan apa yang dikatakan Rene Van Acht perihal hak subjektif yang diberikan tiap orang atas lingkungan yang bersih.
DALAM EKSEPSI 1.
Menimbang tentang eksepsi kualitas mengajukan gugatan (ius standi): a.
b.
c.
d. e.
276 |
jurnal Desember isi.indd 276
Berdasarkan pertimbangan poin a-h, maka para penggugat dianggap memiliki persona standi in juditio.
Pasal 53 ayat (1) UU PTUN sesuai dengan asas point d’ interet point d’ action. 2. Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S.H., yang membagi kepentingan menjadi kepentingan umum dan kepentingan kolektif contohnya kepentingan organisasi lingkungan hidup dalam kasus ini. Indroharto, S.H. dalam bukunya yang berjudul Usaha Memahami UU PTUN memuat perihal kepentingan yang dijadikan dasar gugatan harus sesuai 3. dengan tujuan yang diperjuangkan sesuai yang tercantum di dalam AD/ ART. Menimbang kepada AD/ART para tergugat. Menurut Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S.H., bahwa legal standing
Eksepsi mengenai salah alamat dianggap keliru: a.
Perihal salah pihak diterbitkan SK yang menjadi objek gugatan memang diterbitkan oleh pejabat TUN yang berwenang dalam hal ini adalah para penggugat merujuk pada Pasal 1 butir 6 UU PTUN.
b.
Perihal ketentuan dalam Pasal 6 UU PTUN.
Perihal gugatan yang bersifat individual dan final merujuk pada Pasal 1 butir 3 UU PTUN. Hakim hanya mempertimbangkan sifat final dari SK yang artinya bisa langsung dilaksanakan begitu terbit.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari poin 1-3, maka eksepsi ditolak dalam pokok perkara. Perihal gugatan para penggugat agar SK Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:11 PM
dinyatakan batal disertai alasan dari penggugat.
h.
Jika ada keraguan, maka instansi tersebut wajib meminta kepastian AMDAL kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.
i.
Surat Menteri Lingkungan Hidup Nomor B.1882/MenLH/09/2000 bahwa diwajibkan AMDAL sama seperti pendapat saksi ahli penggugat.
j.
Diputuskan untuk dilakukan masa uji coba selama satu tahun bila memang berdampak negatif baru diwajibkan AMDAL. Jadi, SK yang menjadi objek gugatan tidak bertentangan dengan AMDAL.
DALAM POKOK PERKARA 1. 2.
PTUN hanya menilai keabsahan hukum dari KTUN. Perihal keharusan KTUN yang digugat apakah harus AMDAL atau tidak: a.
Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999: AMDAL adalah bagian dari proses perizinan usaha.
b.
Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999: Usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar.
c.
Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 27 3. Tahun 1999 perihal potensi dampak besar yang ditimbulkan, dikaji apakah SK tersebut bagian dari proses perizinan yang menimbulkan dampak besar atau tidak.
d.
SK berisi tindakan berdasarkan kewenangan. Jadi, SK merupakan norma hukum konkret dan individual.
e.
Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999 mengenai usaha wajib AMDAL ditetapkan oleh menteri, jadi tidak serta-merta usaha yang berdampak besar harus wajib AMDAL.
f.
g.
Pihak yang berwenang menetapkan adalah Menteri Lingkungan Hidup merujuk pada Pasal 1 butir 12 jo. Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999. Lampiran Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 39/ MenLH/08/1996.
II.
Perihal fakta tindakan tergugat: a.
Melakukan pengumuman kepada masyarakat sebelum KTUN in litis diterbitkan.
b.
Memenuhi ketentuan SKB Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura tanggal 29 September 1999.
c.
Memperhatikan Rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V).
d.
Pelaksanaan uji laboratorium dan uji daya hasil/uji adaptasi.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan mencermati pertimbangan hakim dan juga putusan hakim yang kurang cermat adalah sebagai berikut:
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 277
| 277
12/12/2014 3:53:11 PM
1.
2.
Bagaimanakah ketidakcermatan hakim dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya organisme transgenik (Genetically Modified Organisms)?
memunculkan perdebatan sejak awal, yang diawali pada tahun 1982 yang mana US Environmental Protection Agency (EPA) dan The Oak Ridge National Laboratory mengemukakan mengenai risiko dari transgenik. Hal tersebut juga dibahas dalam pertemuan para ahli ekologi dan Bagaimana ketidakcermatan hakim dalam biologi di The Cold Springs Harbor Laboratories melihat pelanggaran penerapan prinsip yang mendiskusikan mengenai risiko terhadap kehati-hatian (precautionary principle) lingkungan hidup pada tahun 1984. dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan organisme transgenik Perdebatan pertama pada tahun 1980(Genetically Modified Organisms) oleh an berfokus pada dua isu, yaitu apakah ada tergugat? risiko lingkungan potensial dari organisme
transgenik yang layak dinilai dan jika ada, Bagaimana kekeliruan serta ketidaktepatan seberapa umum atau spesifik (kasuistis) penilaian hakim terhadap hak gugat dalam tersebut seharusnya dilakukan. Sharples dan kasus pelepasan organisme transgenik Gillett menyimpulkan bahwa untuk setiap tipe (Genetically Modified Organisms)? organisme transgenik yang dipertimbangkan, ada risiko lingkungan potensial (Sharples, 1982: 43III. STUDI PUSTAKA 56). Seralini menyatakan bahwa setiap argumen yang diakui menunjukkan bahwa tidak ada risiko A. Produk GMOs lingkungan substantif dari organisme transgenik, Secara umum, pelepasan Genetically adalah cacat secara logika (Seralini et.al., 2012: Modified Organisms (GMOs) ke lingkungan 1823-1826). Oleh karena itu, pada pertengahan memang sulit untuk diprediksi mengenai 1980-an telah jelas bahwa terdapat risiko risiko dan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan potensial dari tanaman transgenik lingkungan. Sejak pertama kali penciptaannya yang membutuhkan penilaian. yakni pada awal tahun 1970-an hingga sekarang, Hasil penelitian juga mengimplikasikan GMOs telah memunculkan perdebatan mengenai risiko yang akan timbul daripadanya. Pada bahwa penilaian risiko seharusnya dilakukan awalnya memang penciptaan GMOs yang dengan landasan kasuistis (case-by-case basis). menghasilkan zat berupa toksin Bt ialah untuk National Research Council (NRC), komite mengatasi masalah penggunaan pestisida oleh ilmiah dari US National Academy of Sciences, petani terhadap tanaman yang diusahakannya menyimpulkan bahwa penilaian risiko yang sehingga hasil panen dapat meningkat. Dengan spesifik untuk per kasus perlu mempertimbangkan begitu, kebutuhan manusia yang populasinya sumber daya dan target lingkungan, karakteristik semakin bertambah banyak dapat terpenuhi (Lee, biologis dan ekologis dari organisme transgenik, dan skala serta frekuensi pengenalan lingkungan 2009: 27). (Khan, 2011: 199-213). Harapan dari ide ini adalah Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan organisme transgenik sudah siap diklasifikasikan sebelumnya, penciptaan GMOs ini sudah ke berbagai jumlah kecil kategori risiko yang 3.
278 |
jurnal Desember isi.indd 278
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:11 PM
mana setiap kategori memiliki asosiasi dengan praktik manajemen risiko yang tetap dan prespecified yang mampu mengurangi risiko level yang cocok (Seralini et.al., 2012: 1823-1826). Pada kenyataannya, klasifikasi organisme transgenik ke berbagai jumlah kecil kategori risiko tidak realistis sehingga menurut Ecological Society of America, penilaian risiko lingkungan dari tanaman transgenik tetap diperlukan dan harus dilakukan dengan landasan kasuistis (caseby-case basis). Implikasi-implikasi dari penciptaan GMOs yang menyebar pada suatu ekosistem yang pada dasarnya bukan habitatnya, secara tidak langsung dapat menyebabkan degradasi atas fungsi dan struktur ekosistem asli tersebut (Boskovic et.al., 2010: 95). Pelepasan produk GMOs juga dapat mengakibatkan timbulnya ledakan populasi spesies yang tidak diharapkan sebelumnya karena perkembangan signifikan dari spesies tersebut telah dikategorikan sebagai salah satu dari tiga masalah utama lingkungan, selain dari perubahan iklim global dan musnahnya habitat. Kandungan toksin Bt juga mempunyai implikasi terhadap ekosistem tanah dari tanaman transgenik itu ditanam, yakni berupa penurunan gas karbon dan nitrogen yang dapat merusak kesuburan tanah serta penurunan keanekaragaman hayati di bawah tanah. Selain itu, kandungan zat toksin Bt yang ada di GMOs pun secara cepat mengikat partikel-partikel dalam tanah dan menyebabkan ekosistem spesies non-target ikut rusak bahkan mati (Bahagiawati, 2001: 58-59). Sebelum tahun 1997, kebanyakan penelitian ditujukan pada risiko terhadap spesies yang bukan sasaran dan tidak ada efek apapun dari tanaman transgenik terhadap keanekaragaman hayati, hanya satu penelitian yang menunjukkan
kemungkinan bertahan dari suatu spesies yang bukan sasaran, yaitu Folsomia Candida yang diberi makan jagung dengan konsentrasi Bt yang tinggi (Herman, 2001: 1-13). Meskipun demikian, kebanyakan peneliti dan ilmuwan percaya bahwa spesies yang bukan sasaran tidak terkena risiko signifikan dari tanaman transgenik (OECD, 2013: 25). Kemudian, penelitian pun dilakukan kembali oleh Zwahlen pada 2003 terhadap cacing bumi/Lumbricus Terrestris L menunjukkan bahwa setelah 200 hari diberi makan jagung Bt, cacing bumi akan mengalami turun berat yang signifikan, dibandingkan dengan cacing bumi yang tidak diberi makan jagung Bt (Hilbeck et.al., 2011: 1200-1222). Penelitian yang dilakukan seputar penggunaan Bt atau tanaman transgenik pun banyak dilakukan, hingga sampai pada kesimpulan bahwa terdapat kebutuhan signifikan untuk mengembangkan dan meningkatkan metodologi pengkajian risiko yang telah ada untuk membuat lebih jelas pengkajian risiko potensial terhadap spesies yang bukan sasaran (Miao et.al., 2011: 743-748). Implikasi lain dari penciptaan GMOs adalah terjadinya perpindahan gen (hibridisasi). Perpindahan gen ini dapat terjadi, antara lain dari (Hilbeck et.al., 2011: 1223-1225): 1.
Penyebaran benih dan propagul;
2.
Transfer horizontal; dan
3.
Penyebaran serbuk sari (pollen dispersal).
Pada akhir tahun 1980-an dipercaya bahwa risiko perpindahan gen tidak akan signifikan terhadap tanaman transgenik namun, pada tahun 1997 disimpulkan dari berbagai penelitian bahwa perpindahan gen melalui penyebaran benih
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 279
| 279
12/12/2014 3:53:11 PM
dan serbuk sari dari tanaman signifikan secara evolusioner dan di mana-mana (ubiquitous and evolutionary significant) bagi populasi tanaman di seluruh dunia (Oliver et.al., 2013: 43).
melindungi lingkungan. Prinsip kehati-hatian ini mendapatkan definisinya pada tahun 1992 dalam Pasal 3 Deklarasi Rio 1992 yakni, “Dalam rangka untuk melindungi lingkungan, pendekatan kehatihatian harus diterapkan secara luas oleh negaranegara sesuai dengan kemampuan mereka. Di mana adanya ancaman atau kerugian yang tidak dapat dipulihkan, kurangnya kepastian bukti ilmiah yang memadai, tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan efektif untuk mencegah degradasi lingkungan.” Dari pengertian prinsip kehati-hatian, terdapat tiga elemen penting untuk penerapannya, yaitu ancaman kerusakan (threats of harm), ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty), dan tindakan pencegahan (precautionary action).
Intinya, pada tahun 1980-an pendapat yang berkembang adalah bahwa tidak ada bahaya atau risiko signifikan dari tanaman transgenik terhadap spesies yang bukan sasaran dan juga bagi organisme lainnya, namun pada akhir tahun 1990-an ditemukan bahwa terdapat risiko yang signifikan dari penggunaan tanaman transgenik pada organisme bawah tanah dan juga spesies yang bukan sasaran, seperti cacing bumi dan lain sebagainya (OECD, 2013: 26). Penelitian dan penilaian yang harus dilakukan tidaklah secara umum, melainkan harus berlandaskan pada setiap kasus (case-by-case basis) atau landasan Jadi, ukuran kapan harus diterapkan kasuistis karena pengaruh dari masing-masing prinsip kehati-hatian ini adalah apabila terdapat penggunaan tanaman transgenik berbeda-beda kombinasi antara ancaman kerusakan dengan (Koch, 2010: 855). ketidakpastian ilmiah (Cooney & Dickson, 2012: 45-46). Pada tahun 1996, Gray dan Bewers B. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary mengusulkan pendefinisian kembali terhadap Principle) dan Pengkajian Risiko (Risk prinsip kehati-hatian namun penerimaan atas Assesment) usulan tersebut akan mengakibatkan penggunaan 1. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary pendekatan berbasis risiko untuk perlindungan lingkungan daripada pendekatan kehati-hatian Principle) yang sesungguhnya (Gray & Bewers, 1996: Prinsip kehati-hatian merupakan “The 768-771). Masih ada kesenjangan besar dalam Golden Rule” yang dianut dalam hukum pemahaman terhadap wujud racun yang dihasilkan lingkungan. Prinsip ini pertama kali muncul ke lingkungan dan juga sifat racun yang bersifat di Jerman pada awal 1980-an, dalam konteks individu atau gabungan kimia yang dihasilkan ke perdebatan ekologi yang terjadi di sana. lingkungan. Penggunaan prinsip kehati-hatian sebagai Cara yang paling tepat untuk menentukan paradigma meningkat jumlahnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik nasional dampak terhadap ekosistem pun belum maupun internasional, untuk melindungi teridentifikasi. Asumsi toksikologi klasik yang lingkungan dari dampak antropogenik. Prinsip diterapkan juga tidak bisa lagi diterapkan secara kehati-hatian ini merupakan pendekatan yang universal. Akibatnya, timbullah ketidakpastian berfungsi untuk menangani permasalahan atas yang tidak terpecahkan. Dengan demikian, keterbatasan bukti ilmiah sebagai usaha dalam jelaslah bahwa aplikasi prinsip kehati-hatian 280 |
jurnal Desember isi.indd 280
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:11 PM
sebagai paradigma untuk sarana mengenali dan menghitung keterbatasan bukti ilmiah adalah pendekatan yang mampu menjamin perlindungan lingkungan pada level yang tinggi. Harremoes mengemukakan bahwa konsep prinsip kehati-hatian seharusnya tidak hanya mencakup masalah kimia tetapi sebaiknya hingga mencakup dampak fisik (Harremoes et.al., 2013: 58-60). Sering terjadi bahwa data-data yang ada tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengambil keputusan dikarenakan data-data tersebut masih dianggap kurang. Dengan prinsip kehati-hatian, diharapkan data-data yang belum lengkap masih dapat diperhitungkan khususnya dalam menangani kasus lingkungan, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan apabila diperlukan. Berdasarkan MINDNEC 1987, pada intinya menyatakan prinsip melindungi Laut Utara, yaitu dengan mengurangi emisi yang ada (pencemaran zat-zat beracun yang muncul) serta bertanggung jawab atas penggunaan teknologi (MINDNEC, 1987: 2). Konsep tersebut diterapkan terutama saat munculnya kerusakan dikarenakan zat-zat yang pada kenyataannya tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitas antara zat dengan kerusakan tersebut. Deklarasi MINDNEC tidak hanya mendefinisikannya akan tetapi memasukkan prinsip kehati-hatian ke dalam regulasi. Prinsip awal dirumuskan dan dimasukkan ke dalam peraturan sehingga memungkinkan peraturan menyelesaikan kasus yang masih belum memiliki hubungan kausal antara faktor yang dianggap penyebab dengan dampak yang muncul. Selain itu, ada juga ketentuan OSPAR yang cukup mempengaruhi ketentuan Laut Utara (OSPAR, 1992: 5). Kementerian menegaskan komitmen mereka untuk memasukkan prinsip
kehati-hatian ke dalam regulasi (penerapannya). Selain itu, mereka juga menyetujui untuk mengurangi input dari kandungan-kandungan berbahaya sekitar 50-70%. Deklarasi tersebut juga merekomendasikan agar prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dalam pengelolaan perikanan. Menurut Munthe, prinsip kehatihatian tidak boleh menjadi bagian dari ilmu pengetahuan karena definisi prinsip kehati-hatian sendiri tidak harus bergantung pada bukti ilmiah namun pendapat ini salah arah (Munthe, 2011: 205-210). Prinsip kehati-hatian harus dilihat bukan sebagai pengganti pendekatan ilmiah, tetapi lebih sebagai prinsip menyeluruh untuk menuntun pengambilan keputusan ketika tidak adanya kepastian analisis atau prediksi. Peran penelitian ilmiah dalam deteksi ancaman dini terhadap kesehatan manusia dan lingkungan secara eksplisit diakui dalam definisi inti prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, kemungkinan peran penelitian ilmiah akan meningkat, bukan menurun, melalui peraturan perundang-undangan prinsip kehati-hatian. Kurangnya hubungan kausal pasti sering dijadikan alasan untuk menunda keputusan regulasi sampai saat penelitian lebih lanjut tersedia. Penundaan tersebut berdasarkan asumsi bahwa: 1.
Pemahaman yang lebih besar dari sistem yang diteliti akan menghasilkan sesuatu yang lebih jelas sehingga risiko menjadi lebih jelas dan terukur akan tetapi yang terjadi pada faktanya sering sebaliknya.
2.
Risiko yang timbul dari tindakan pencegahan yang diambil sekarang lebih besar daripada risiko jika tidak mengambil tindakan sampai hasil penyelidikan lebih lanjut menjadi tersedia. Akan tetapi, dengan
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 281
| 281
12/12/2014 3:53:11 PM
keputusan untuk menunda tindakan berarti Risiko adalah kemungkinan timbulnya bahwa diterimanya segala akibat yang beberapa efek buruk dari bahaya lingkungan, dan mungkin terjadi. terdiri dari: 2.
Pengkajian Risiko (Risk Assesment)
Kerangka umum pengkajian risiko terdiri dari identifikasi bahaya dan kemungkinan dari bahaya itu sendiri. Keluaran dari kedua elemen ini kemudian digunakan untuk melakukan pengkajian risiko yang komprehensif sehingga agar risiko dapat ditanggulangi, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi dan menentukan kuantitasnya, apa yang muncul dan apa yang tidak muncul, setelah itu barulah diidentifikasi lebih rinci. Dua hal yang mendasar dan penting yang akan muncul adalah: a.
Pertama, apakah semua akibat yang mungkin akan muncul dapat diidentifikasi dan dimasukkan dalam pengkajian? Apakah faktor seperti kumulasi efek dari suatu bahan kimia dengan yang lain atau efek adiktif kimia yang lain? Jika tidak, berarti suatu risiko ditimbulkan dari aktivitas atau hal-hal lain yang belum diketahui.
b.
Kedua, dapatkah semua dampak yang telah diidentifikasi sepenuhnya dihitung? Terkait pengkajian risiko, setidaknya terdapat empat tahapan yaitu:
282 |
jurnal Desember isi.indd 282
a.
Identifikasi bahaya identification);
b.
Penilaian paparan assessment);
c.
Penilaian dampak assessment); dan
d.
Karakterisasi risiko characterization).
(hazard (exposure (effects (risk
a.
Kemungkinan lingkungan terkena bahaya (exposure assessment); dan
b.
Kemungkinan kondisional bahwa efek buruk akan timbul (effects assessment).
Identifikasi bahaya melingkupi identifikasi sebab yang mungkin dari efek buruk potensial, namun biasanya juga mencakup identifikasi konsekuensi buruk yang mungkin terjadi sebagai hasil dari identifikasi bahaya. Karakterisasi risiko menampilkan informasi untuk mengestimasi risiko yang akan muncul. Haritz menekankan bahwa para pembuat kebijakan hampir selalu diminta untuk bertindak dalam kondisi adanya beberapa ketidakpastian atau keraguan (Haritz, 2011: 123-124). Perihal ini, harus diakui bahwa meskipun penyelidikan ilmiah dan penafsiran adalah penyedia informasi, ketidakpastian akan selalu ada. Analisis ilmiah mungkin dapat menyediakan para pembuat kebijakan dengan informasi berharga yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya dan untuk memprioritaskan serta menuntun pengambilan keputusan, tetapi informasi tersebut tidak dapat menggantikan proses pengambilan keputusan itu sendiri (Haritz, 2011: 123-124). Kemudian menurut Renn, ukuran keputusan dan konsekuensi potensial menjadi salah satu pertimbangan penting juga ketika tiba pada keputusan kebijakan (Renn, 2011: 231-246). Selanjutnya, meskipun ilmu murni dan terapan memiliki peran penting dalam identifikasi masalah, gambaran sistem, dan dampak bahaya, mereka sendiri tidak bisa
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:11 PM
menyetir kebijakan, sehingga hal inilah yang menjadi dasar dan perlunya pendekatan alternatif, khususnya dalam kaitannya dengan masalah lingkungan global, secara luas dibahas oleh Renn, di bawah istilah ‘post-normal science.’ Pada pendekatan ini melekat keterlibatan ‘perluasan komunitas’ dalam evaluasi yang tidak hanya dari kualitas data ilmiah, tetapi juga penerapan data tersebut dan pertimbangan nilai yang terkait dalam perumusan kebijakan. Intinya, prinsip kehati-hatian tidak dapat dan tidak boleh dimasukkan di bawah mekanisme pengkajian risiko (Clayton, 2012: 635-636) melainkan pengkajian risiko tidak harus dilihat sebagai alat untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian.
perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.” Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UUPLH dapat diketahui bahwa masyarakat memiliki hak untuk menggugat dan melapor berdasarkan gugatan perwakilan (class action). Menurut Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Class action atau lebih dikenal dengan sebutan gugatan perwakilan kelompok merupakan jenis gugatan yang relatif baru dalam sistem C. Hak Gugat hukum Indonesia saat itu. Gugatan ini, selain 1. Hak Gugat Berdasarkan UU Nomor 23 diakui secara hukum dalam UU Nomor 23 Tahun Tahun 1997 (UUPLH) 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang juga diakui dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Pengelolaan Lingkungan Hidup, masalah tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 41 lingkungan hidup yang merugikan baik bagi Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor masyarakat maupun lingkungan hidup dapat 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam menjadi dasar dilayangkannya suatu gugatan perkembangannya, Mahkamah Agung mengatur kepada pihak yang terkait permasalahan gugatan ini dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 lingkungan hidup tersebut. Khususnya dalam tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Pasal 37 dan Pasal 38 UUPLH, sedikitnya terdapat Ad 2. Pemerintah tiga pihak yang memiliki hak tersebut, yaitu: Selain class action, pemerintah juga memiliki hak gugat dengan persyaratan tertentu, b. Pemerintah; seperti yang tercantum dalam Pasal 37 ayat (2) UUPLH bahwa, ”Jika diketahui bahwa masyarakat c. Organisasi Lingkungan Hidup. menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa Ad 1. Masyarakat sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok Pasal 37 ayat (1) UUPLH menyatakan masyarakat, maka instansi pemerintah yang bahwa,”Masyarakat berhak mengajukan gugatan bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup a.
Masyarakat;
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 283
| 283
12/12/2014 3:53:11 PM
dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.” Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) tersebut, maka pemerintah dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat dengan syarat, antara lain: a.
Masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut;
b.
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat.
Meskipun demikian, dalam pasal tersebut beserta dengan penjelasannya tidak ada keterangan tindakan apa saja yang dapat dilakukan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup tersebut.
a.
berbentuk badan hukum atau yayasan;
b.
dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Hal tersebut tidak banyak berubah dalam UUPPLH yang baru karena hanya persyaratan ketiga saja yang berubah, yaitu bahwa organisasi lingkungan hidup telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya dalam waktu paling singkat dua tahun.
Dalam Pasal 38 tersebut, jelas diuraikan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak Ad 3. Organisasi Lingkungan Hidup mengajukan gugatan untuk kepentingan Dalam Pasal 38 UUPLH, terdapat hak pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, gugatan dapat juga diajukan oleh gugat organisasi lingkungan hidup, yakni: organisasi lingkungan hidup yang meskipun 1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian jawab pengelolaan lingkungan hidup nyata (sebagai korban yang konkret atau sesuai dengan pola kemitraan, organisasi riil) melainkan hanya pihak yang mewakili lingkungan hidup berhak mengajukan kepentingan lingkungan hidup karena gugatan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup tidak dapat memperjuangkan fungsi lingkungan hidup. kepentingannya sendiri yang karenanya perlu 2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana ada pihak yang memperjuangkannya. Gugatan dimaksud pada ayat (1) terbatas pada yang dapat diajukan oleh organisasi lingkungan tuntutan untuk hak melakukan tindakan hidup tersebut tidak dapat berupa tuntutan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, membayar ganti rugi yang biasa dituntut oleh korban, melainkan hanya terbatas gugatan lain kecuali biaya atau pengeluaran riil. yang berdasarkan Penjelasan Pasal 38 ayat (2) 3. Organisasi lingkungan hidup berhak UUPLH yaitu: mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi a. memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan persyaratan: tindakan hukum tertentu yang berkaitan 284 |
jurnal Desember isi.indd 284
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:11 PM
dengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan dari gugatan yang hendak diajukan. hidup; b.
c.
menyatakan seseorang telah melakukan 2. Hak Gugat Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan Undang-undang tentang lingkungan hidup; yang paling baru, yakni UU Nomor 32 Tahun memerintahkan seseorang yang melakukan 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan usaha dan/atau kegiatan untuk membuat Lingkungan Hidup telah mengatur perihal hak gugat organisasi lingkungan hidup dalam Pasal 92: atau memperbaiki unit pengolah limbah. Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UUPLH
1.
tersebut di atas sebenarnya sangat membatasi organisasi lingkungan hidup yang membuat seakan-akan organisasi lingkungan hidup hanya dapat mengajukan gugatan dengan petitum seperti tersebut di atas. Selain itu, yang dimaksud 2. dengan biaya atau pengeluaran riil dalam Pasal 38 ayat (2) UUPLH adalah biaya yang nyatanyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup. 3. Kemudian, hanya organisasi lingkungan hidup yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH saja yang memiliki hak gugat untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain agar terdaftar sebagai suatu badan hukum atau yayasan serta mencantumkan tujuan didirikannya badan hukum atau yayasan tersebut ialah untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, organisasi tersebut pun harus memenuhi tujuan didirikannya tersebut dengan kegiatankegiatan terkait.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a.
berbentuk badan hukum;
b.
menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.
telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Adanya persyaratan ditujukan agar Dalam Pasal 93 UUPPLH yang baru telah kedudukan hukum organisasi lingkungan hidup yang telah diseleksi melalui persyaratan tersebut, mengatur perihal hak gugat organisasi lingkungan diakui memiliki ius standi untuk mengajukan hidup, antara lain: gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, 1. Setiap orang dapat mengajukan gugatan baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata terhadap keputusan tata usaha negara usaha negara sesuai dengan kompetensi absolut apabila: Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 285
| 285
12/12/2014 3:53:12 PM
a.
2.
badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL;
sendi Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan dimungkinkannya gugatan terhadap KTUN yang merugikan seputar permasalahan lingkungan.
b.
badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL, dan/atau;
A.
c.
badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/ atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Sebagaimana dipaparkan dalam studi pustaka, pada akhir tahun 1990-an ditemukan bahwa terdapat risiko yang signifikan dari penggunaan tanaman transgenik pada organisme bawah tanah dan juga spesies yang bukan sasaran, seperti cacing bumi dan lain sebagainya (OECD, 2013: 26). Dengan demikian, maka jika didasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan juga Pasal 15 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang berkaitan dengan kasus ini ialah bahwa kriteria usaha yang berdampak penting yang wajib AMDAL terdiri dari poin:
Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
IV. ANALISIS
Pengaturan secara khusus tentang gugatan administratif yang bisa dilakukan terkait seputar permasalahan lingkungan baru ditemukan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila dibandingkan dengan Pasal 39 UUPLH yang menyatakan bahwa tata cara pengajuan gugatan a. dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
Dengan adanya ketentuan baru perihal b. diperbolehkannya ada gugatan administratif seputar masalah lingkungan yang tata caranya mengikuti Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, bisa dikatakan merupakan suatu wujud c. perluasan objek gugatan yang tadinya hanya seputar masalah perdata dan tunduk pada tata cara Hukum Perdata namun sekarang bisa menyentuh sendi286 |
jurnal Desember isi.indd 286
Ketidakcermatan Hakim dalam Menganalisis Tindakan Tergugat yang Menerbitkan Izin Tanpa Memperhatikan Aman atau Tidaknya Kapas Transgenik Sebagai Produk GMOs
Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaaatannya; Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:12 PM
d.
Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
atau perizinan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL. Dalam hal ini, majelis hakim hanya melihat Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini saja tanpa Berdasarkan keempat poin ini, maka mencermati kembali adanya Pasal 15 UUPLH menurut UUPPLH usaha kapas transgenik serta Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 harus ditetapkan AMDAL. Dalam pertimbangan dan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 hakim mengenai aman tidaknya produk GMOs bahwa AMDAL merupakan syarat yang harus yang kemudian berkaitan erat dengan wajib dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan tidaknya disertai dokumen AMDAL disebutkan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh berdasarkan kajian terhadap AMDAL dalam pejabat yang berwenang. Penjelasan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999 bahwasanya AMDAL merupakan bagian Dalam hal ini, meskipun di dalam dari proses perizinan melakukan usaha dan/atau KEPMEN dikatakan bahwa kegiatan introduksi kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan tumbuh-tumbuhan tidak termasuk kegiatan yang penting terhadap lingkungan hidup. wajib AMDAL, peraturan tersebut tidak dapat Menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup ialah yang merupakan kategori usaha dan/atau kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempunyai potensi dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. Meskipun Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999, kegiatan seperti kasus a quo wajib AMDAL, namun berdasarkan peraturan kebijaksanaan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa kegiatan introduksi tumbuhtumbuhan, jenis hewan dan jasad renik tidak termsuk kegiatan wajib AMDAL (terdapat dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-39/MENLH/08/1996).
mengesampingkan PP Nomor 27 Tahun 1999. Hal ini disebabkan oleh hierarki perundangundangan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa PP lebih tinggi daripada KEPMEN, sehingga berlaku asas lex superior derogat lex inferiori dan dalam hal ini, transgenik (GMOs) termasuk ke dalam introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, sehingga dikategorikan sebagai kegiatan/usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting. Sehingga, tindakan tergugat untuk memberikan izin usaha tanpa AMDAL sangat menyalahi aturan dan majelis hakim tidak mencermatinya. B.
Ketidakcermatan Hakim dalam Melihat Pelanggaran Penerapan Prinsip KehatiHatian (Precautionary Principle) dan Pengkajian Risiko (Risk Assessment) dalam Pelepasan Organisme Transgenik
Berdasarkan ketentuan tersebutlah yang Sebagaimana telah dijabarkan dalam menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim yang mana dalam putusannya menyatakan studi pustaka, melihat signifikannya dampak bahwa kapas transgenik ini bukan merupakan yang ditimbulkan oleh kapas transgenik maka bagian dari proses untuk melakukan usaha dan/ tergugat harus memperhatikan prinsip kehati-
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 287
| 287
12/12/2014 3:53:12 PM
hatian dan melakukan pengkajian risiko sebelum memberikan izin dengan menerapkan wajib AMDAL terlebih dahulu untuk menghindari adanya kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi, pada kenyataannya, tergugat justru mengabaikan prinsip kehati-hatian dan pelaksanaan kajian risiko dengan memberikan izin tanpa mengetahui dampak kapas transgenik dan tanpa AMDAL.
atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan hidup sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUPLH dan Pasal 23 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf i UUPPLH. Selain itu, berdasarkan literatur Assessing Environmental Risks of Transgenic Plants, transgenik berisiko berdampak penting terhadap lingkungan yang dapat merusak ekosistem tanah dan membunuh makhluk lain yang bukan merupakan target dari Berdasarkan tindakan tergugat, jika biopestisida ini sehingga kegiatan introduksi dilakukan analisis terhadap pertimbangan hakim tanaman transgenik diwajibkan AMDAL untuk tentang kasus kapas transgenik yang menyatakan menghindari risiko tersebut. bahwa PTUN hanya sebatas menilai keabsahan hukum (aspek legalitas) dari suatu KTUN Selanjutnya, meskipun uji laboratorium, menurut penulis kurang tepat. Menurut Pasal 53 uji lapangan terbatas, dan uji multilokasi ayat (2) UU PTUN, KTUN dapat digugat dengan merupakan bentuk instrumen sukarela untuk alasan bertentang dengan undang-undang (dalam dilaksanakan namun tidak menghapuskan hal ini UU Nomor 23 Tahun 1997). kewajiban untuk melakukan AMDAL, sehingga baru akan mencerminkan prinsip kehati-hatian Dalam pertimbangan hakim terlihat bahwa dalam penerbitan SK ini, maka tetap harus hakim tidak mau melakukan penilaian terhadap dilakukannya AMDAL. Uji laboratorium, uji tahapan sebelum diterbitkannya SK Menteri lapangan terbatas, dan uji multilokasi mungkin Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 dapat dikatakan sebagai bagian dari pengkajian tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas risiko (risk assessment) namun berdasarkan jurnal Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul The Precautionary Principle: Protecting Against Dengan Nama NuCOTN 35B (BOLLGARD) Failures of Scienific Method and Risk Assesment, tertanggal 7 Februari 2001. Padahal seharusnya pengkajian risiko tidak selalu dilihat sebagai alat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian. Negara, hakim memosisikan diri sebagai pembuat keputusan, sehingga harus mempertimbangkan Kemudian, disebutkan juga bahwa pelepasan semua aspek, dorongan, latar belakang yang kapas transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas menyebabkan pejabat tata usaha negara Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard) menerbitkan suatu keputusan. Oleh karena di daerah Sulawesi Selatan dilakukan secara itu, alasan bahwa pemeriksaan proses sebelum terbatas untuk jangka waktu satu tahun. Dalam hal penerbitan SK adalah aspek kebijaksaan tidak dapat apabila dalam jangka waktu satu tahun ternyata diterima. Hakim wajib memeriksa proses yang berdampak terhadap lingkungan yang sifatnya melatarbelakangi keluarnya SK tersebut, dalam merugikan, maka dapat dilakukan peninjauan hal ini adalah diwajibkan dilakukannya AMDAL kembali dan baru diterbitkan AMDAL. Hal ini terkait izin pelepasan terbatas kapas transgenik. secara tidak langsung menunjukkan adanya Pelepasan kapas transgenik ini, merupakan pengakuan bahwa pelepasan kapas transgenik kegiatan yang termasuk dalam kategori usaha dan/ tersebut memang mempunyai dampak yang 288 |
jurnal Desember isi.indd 288
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:12 PM
merugikan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, dengan keluarnya SK berupa pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690B di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan, tergugat telah menerima risiko yang akan muncul di kemudian hari yang mana hal ini berarti sudah jelas prinsip kehati-hatian tidak diterapkan. Intinya, upayae. upaya yang dilakukan tergugat masih lebih mengarah ke prinsip pencegahan dan belum mencerminkan prinsip kehati-hatian. Padahal, pada kasus kapas transgenik ini terdapat unsur f. ketidakpastian ilmiah dan ancaman serius berupa risiko bagi lingkungan hidup yang tidak dapat diperkirakan.
kemasyarakatan (pencinta lingkungan hidup) dapat merasa berkepentingan karena keluarnya suatu KTUN yang dianggap bertentangan dengan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga organisasiorganisasi tersebut; Pendapat Mas Achmad Santosa bahwa class action berbeda dengan hak gugat Lembaga Swadaya masyarakat; Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga para penggugat yang sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH.
Pertimbangan hukum ini kurang tepat yang mana ius standi organisasi lingkungan hidup sebagai penggugat itu sendiri terdapat dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3) UUPLH serta Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, yang mana untuk Sehubungan dengan hak gugat dalam kasus kepentingan yang dilanggar dapat mengacu lingkungan hidup khususnya dalam pelepasan kepada Pasal 5 UUPLH yang sejalan dengan organisme transgenik, terdapat beberapa hal yang Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang saat itu telah menjadi pertimbangan hukum bagi majelis hakim diamandemen untuk kedua kalinya. Selain itu, untuk memutus atas ius standi/persona standi in terdapat kekurangan pertimbangan hukum, yaitu adanya kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi judicio adalah, yaitu: lingkungan hidup tersebut yang sesuai dengan a. Asas point d’interest point d’action Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga sehingga kepentingan para penggugat harus masing-masing organisasi yang mana tanpa diteliti lebih lanjut sebagai dasar utama kegiatan-kegiatan tersebut, organisasi-organisasi dalam mengajukan suatu gugatan; lingkungan hidup tidak berhak mengajukan gugatan. b. Pasal 6 dan Pasal 38 (1) UUPLH; C.
Kekeliruan Serta Ketidaktepatan Hakim dalam Hak Gugat terhadap Kasus Lingkungan Hidup, Utamanya Pelepasan Organisme Transgenik
c.
Pendapat dari Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S. H., bahwa setiap orang memiliki hak subjektif atas lingkungan hidup yang bersih yang sejalan sengan Pasal 38 ayat (1) UUPLH;
d.
Pendapat Indroharto, S. H., bahwa kepentingan organisasi-organisasi
Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut terdapat kekeliruan pencantuman kepentingan. Pertimbangan hukum atas eksepsi tersebut menjelaskan bahwa para penggugat memiliki persona standi in judicio dan karenanya dapat bertindak sebagai penggugat dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Akan tetapi, sebenarnya para penggugat yang notabene
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 289
| 289
12/12/2014 3:53:12 PM
adalah organisasi-organisasi lingkungan hidup, eksepsi tersebut, yaitu: mengatasnamakan kepentingan lingkungan a. Objek gugatan Keputusan Menteri Pertanian hidup sesuai dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (3) Nomor 107/KPTS KB.430/2/2001 UUPLH dan atas dasar itulah para penggugat diterbitkan oleh tergugat sebagai pejabat memiliki kedudukan hukum/legal standing dalam Pasal 1 butir 6 UU PTUN; untuk mengajukan gugatan, selain karena kepentingannya dilanggar. b. Gugatan para penggugat telah sesuai dengan Pasal 56 UU PTUN. Ius standi organisasi-organisasi lingkungan hidup ada karena pemenuhan syarat-syarat dalam Terdapat kekeliruan dalam pertimbangan Pasal 38 ayat (3) UUPLH sehingga memiliki hak tersebut, yaitu bahwa Pasal 56 UU PTUN gugat sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 adalah untuk hal yang lebih teknis bila surat ayat (1) UUPLH, sedangkan dalam sengketa Tata gugatan tidak salah alamat. Oleh karena itu, Usaha Negara, organisasi-organisasi lingkungan lebih tepat bila dasar dari penolakan eksepsi hidup juga harus memiliki ius standi atas tentang salah alamat adalah mengacu kepada kepentingan yang dilanggar, yaitu yang berkaitan Pasal 1 butir 5 UU PTUN, yaitu bahwa gugatan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah adalah permohonan yang berisi tuntutan kepada Tangga masing-masing organisasi tersebut yang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan juga harus memenuhi persyaratan dalam Pasal diajukan untuk mendapatkan putusan. Dalam 38 ayat (3) UUPLH tersebut. Oleh karena itu, ius penjelasannya, diterangkan bahwa gugatan ini standi organisasi-organisasi lingkungan hidup diperuntukkan bagi kasus tertentu yang mana sebagai para penggugat ini, terkait dalam dua KTUN mengakibatkan kerugian bagi seseorang undang-undang, yaitu UUPLH dan UU PTUN atau badan hukum perdata tertentu dan karenanya yang tidak dapat dipisah satu sama lain. memerlukan koreksi serta pelurusan dalam segi Berbeda halnya dengan organisasiorganisasi perlindungan konsumen yang mengacu kepada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mana kepentingannya dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN berbeda dengan organisasi-organisasi lingkungan hidup. Hal inilah yang menjadi salah satu kekurangan dalam pertimbangan hukum karena hanya organisasi-organisasi lingkungan hidup saja yang dicantumkan di dalamnya. Dengan demikian, eksepsi tergugat pada poin 2 dan tanggapan dalam eksepsi para tergugat II intervensi II pada poin 1, tidak terjawab dalam pertimbangan hukum ini. Pertimbangan hukum atas eksepsi kedua, yaitu surat gugatan salah alamat dan pihak, dipaparkan alasan penolakan 290 |
jurnal Desember isi.indd 290
penerapan hukumnya. Dengan demikian, hal ini terkait dengan Pasal 53 ayat (1) yang telah diuraikan sebelumnya sehingga penggunaan Pasal 56 UU PTUN tidak tepat untuk penolakan eksepsi kedua ini. Penolakan eksepsi ketiga, pertimbangan hukum hanya menguraikan permasalahan final saja namun untuk individual dan konkret hanya sekedar dicantumkan bersamaan dengan final yang mana pertimbangannya tentu berbeda segi. Pertimbangan hukum antara individual, konkret, dan final berbeda sehingga bila diuraikan, maka sebagai berikut: a.
Individual, yaitu SK ditujukan untuk seseorang atau sekelompok orang tertentu.
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:12 PM
Dalam hal kasus kapas transgenik, maka SK ini ditujukan kepada petani pekebun khusus di kabupaten tertentu di Sulawesi Selatan; b.
Konkret, yaitu jelas dan riil hal-hal yang diatur di dalamnya, seperti izin pelepasan kapas transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35 B (BOLLVGARD) yang diusulkan PT. MK;
c.
Final, yaitu SK ini sudah definitif dan dapat langsung menimbulkan akibat hukum, tanpa perlu menunggu SK lain untuk melaksanakannya.
ada risiko lingkungan dari organisme transgenik adalah cacat, dikarenakan untuk setiap tipe organisme transgenik pasti ada risiko lingkungan yang potensial, dengan demikian setiap pengkajian risiko harus dilakukan dengan case-by-case basis. Pengkajian risiko sendiri terdiri dari 4 langkah, yaitu hazard identification, expossure assessment, effect assessment, dan risk characterization. 2.
Dengan demikian, dalam pertimbangan hukum untuk penolakan eksepsi dari tergugat terdapat hal-hal yang kurang tepat atau bahkan keliru yang mana hal ini menunjukkan ketidakcermatan hakim dalam perkara ini. Meskipun demikian, penulis berpendapat sama dengan majelis hakim, yaitu bahwa eksepsi tergugat patut ditolak karena dalil-dalilnya tidak terbukti. V.
SIMPULAN
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa tanaman transgenik memiliki nilai keuntungan dan kerugian, yakni dapat menghasilkan biopestisida, sehingga 3. pengguna dapat mengurangi penggunaan pestisida dari bahan kimiawi, namun di sisi lain biopestisida kemungkinan dapat menimbukan dampak yang buruk, yakni selain dapat membunuh hama, ironisnya dapat membunuh hama non-target dan dapat merusak ekosistem tanah. Sehingga, semua argumen yang menyatakan tidak
Dalam kasus pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690b sebagai varietas unggul pada dasarnya tidak memenuhi prinsip kehati-hatian karena prinsip tersebut mengandung pendekatan bahwa selama terdapat ancaman serius yang irreversible, ada atau tidak adanya bukti ilmiah tidak menjadi alasan untuk menunda tindakan efektif untuk mencegah degradasi lingkungan. Sedangkan, dalam kasus ini sudah jelas ada ancaman risiko dari penggunaan kapas tersebut walaupun sebelumnya pada saat penelitian tidak ditemukan ancaman tersebut. Ancaman yang timbul dari penggunaan kapas adalah bersifat tidak terduga. Dengan demikian, perlu tindakan pencegahan berupa tidak dikeluarkannya SK (pada saat itu) apalagi pengeluaran SK tersebut tanpa disertai pengkajian risiko yang mencukupi. Sebenarnya para penggugat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu: kelompok organisasi lingkungan hidup dan kelompok organisasi perlindungan konsumen yang mana untuk legal standing keduanya mengacu pada UU PTUN, sedangkan khusus organisasi lingkungan hidup juga harus mengacu pada UU PPLH dan organisasi perlindungan konsumen mengacu pada
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 291
| 291
12/12/2014 3:53:12 PM
UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, dalam pertimbangan hukum, majelis hakim hanya mempertimbangkan legal standing dari organisasi lingkungan hidup 3. saja. Selain itu, banyak ketidakcermatan hakim dalam menangani perkara ini karena ketidakmengertian dan tidak mau melihat berbagai aspek yang terkait lebih lanjut mengenai kasus lingkungan khususnya terkait kapas transgenik.
adanya suatu kepemimpinan yang dapat mengimplementasikan peraturan tersebut sehingga dapat berfungsi dengan baik. Diharapkan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan untuk lebih memahami substansi dari jenis dan tingkatan peraturan perundang-undangan yang telah ada, agar tidak terjadi pertentangan pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang baru dengan peraturan perundang-undangan yang lama agar jika digunakan sebagai dasar hukum dalam persidangan, maka tidak terjadi pertentangan pengaturan. Selain itu, dibutuhkan juga kecermatan serta kemauan dari pihak hakim untuk melihat berbagai aspek yang terkait serta hal-hal baru yang belum diketahui atau dipahami oleh hakim dalam kasus yang sedang ia tangani sehingga dapat menangani kasus secara menyeluruh dan dapat memutuskan dengan benar kasus yang ditangani.
B.
Saran
1.
Dibutuhkan penelitian yang lebih banyak terkait dengan pengkajian risiko yang menitikberatkan pada data yang tidak lengkap. Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menekan pemrakarsa untuk lebih terbuka atas informasi yang berkaitan dengan dampak yang mungkin muncul. Dalam pengaturan tersebut lebih ditekankan unsur pencegahan sebagai penangkal ketidakpastian serta adanya sistem pemantauan yang memadai dari pemerintah di mana di dalamnya terdapat perangkat regulasi, metode pengawasan, dan adanya strategi manajemen dalam DAFTAR PUSTAKA menanggapi permasalahan-permasalahan Bahagiawati. 2001. “Manajemen Resistensi Serangga terkait lingkungan.
Hama pada Pertanaman Tanaman Transgenik
2.
Dibutuhkan sebuah penegakan peraturan Bt.” Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian, Vol. 4, Nomor 1, Hal. baru dan kerangka kepatuhan bagi seluruh 58-59. pihak yang terkait, meliputi masyarakat, pemerintah, dan LSM/organisasi terkait. Boskovic, Jelena V, et.al. 2010. “Assessing Ecological Dalam hal ini bisa dilakukan dengan Risks and Benefits of Genetically Modified memusatkan kewenangan atau otoritas Crops.” Journal of Agriculture Sciences, Vol. regulasi dalam satu badan. Dengan 55 Nomor 1, Hal. 95. pemusatan tersebut diharapkan dapat dilakukan koordinasi atas kegiatan-kegiatan Clayton, Susan D. 2012. Environmental and Conservation Psychology. United Kingdom: yang berkaitan dengan lingkungan dan Oxford University Press.
292 |
jurnal Desember isi.indd 292
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293
12/12/2014 3:53:12 PM
Cooney, Rosie & Barney Dickson. Ed. 2012. Biodiversity & The Precautionary Principle. United Kingdom: Earthscan Publications Ltd. Gray, J.S. & J.M. Bewers. 1996. Towards a Scientific Definition of The Precautionary Principle. Marine Pollution Bulletin, Vol. 32 Nomor 11, Hal. 768-771.
The Precautionary Principle’s Contributing to the Uncertainties Surrounding Climate Change Liability. Belanda: Kluwer Law International BV.
Wheat Expressing GNA”. Environmental Entomology, Vol. 40 Nomor 3, Hal. 743-748. MINDNEC. 1987. Ministerial Declaration of the Second International Conference on the 25 November 1987. Munthe, Christian. 2011. The Price of Precaution and The Ethics of Risk. New York: Springer. OECD. 2013. “Low Level Presence of Transgenic Plants
Harremoes, Poul, et.al. 2013. The Precautionary Principle in the 20th Century. United Kingdom: Earthscan Publications Ltd.
Serangga
Hama
In Seed and Grain Commodities: Environmental Risk/Safety Assessment, and Availability and Use of Information”. Akses 29 September 2014. http://www.oecd.org/officialdocuments/
Herman, Muhammad. 2001. “Perakitan Tanaman Melalui
Teknik
Rekayasa Genetik.” Buletin AgroBio, Vol. 5 Nomor 1, Hal. 1-13.
publicdisplaydocumentpdf/?cote=env/jm/ mono(2013)19&doclanguage=en. Oliver, Melvin J, et.al. 2013. Plant Gene Containment. United States: John Wiley & Sons, Inc.
Hilbeck, Angelika, et.al. 2011. “Environmental Risk Assessment of Genetically Modified Plants Concepts And Controversies.” Environmental Sciences Europe, Vol. 23 Nomor 3, Hal. 12001225.
OSPAR. 1992. Final Declaration on the Ministerial Meetings of the Oslo and Paris Commissions. Oslo and Paris Conventions for the Prevention of Marine Pollution, Paris, 21-22 September 1992.
Khan, Mohammad Sayyar. 2011. “Future Challenges. In Environmental Risk Assessment Transgenic Plants
Miao, Jin, et.al. 2011. “The Impact of Transgenic
Protection of the North Sea. London, UK, 24-
Haritz, Miriam. 2011. An Inconvenient Deliberation:
Tahan
Kingdom: Edward Elgar Publishing Limited.
with
Abiotic
Stress
Tolerance.”
Biotechnology and Molecular Biology Review, Vol. 6 Nomor 9, Hal. 199-213. Koch, Bernhard A. 2010. Damage Caused by Genetically Modified Organisms: Comparative Survey of Redress Options for Harm to Persons, Property or the Environment. Vienna: Austrian Academy Science, Institute for European Tort Law. Lee, Maria. 2009. EU Regulation of GMOs: Law and Decision Making for a New Technology. United
Renn, Ortwin. 2011. “Coping with Complexity, Uncertainty and Ambiguity in Risk Governance: A Synthesis.” Ambio, Vol. 40 Nomor 2, Hal. 231-246. Seralini, Gilles-Eric, et.al. 2012. “Impacts of Genetically Engineered Crops on Pesticide Use in the U.S. -- The First Sixteen Years.” Environmental Sciences Europe, Vol. 26 Nomor 2, Hal. 1823-1826. Sharples, FE. 1982. Spread of Organisms with Novel Genotypes: Thoughts from an Ecological Perspective. Technology Bulletin, Vol. 6 Nomor 1, Hal. 43-56.
Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka)
jurnal Desember isi.indd 293
| 293
12/12/2014 3:53:13 PM
jurnal Desember isi.indd 294
12/12/2014 3:53:13 PM
PEMBATASAN DAN PENGUATAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PEMILIHAN HAKIM AGUNG Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013
RESTRICTIONS AND REINFORCEMENT OF JUDICIAL POWER IN THE RECRUITMENT OF THE SUPREME COURT JUDGES An Analysis of the Constitutional Court’s Number 27/PUU-XI/2013 Giri Ahmad Taufik Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Puri Imperium Office Plaza UG: 11-12, Jl. Kuningan Madya Kav.5-6, Jakarta Selatan 12980 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 10 November 2014; revisi: 21 November 2014; disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK Kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah dibanding kekuasaan pemerintahan lainnya yaitu eksekutif dan legislatif. Kekuasaan riil dari kekuasaan kehakiman hanya terletak pada kewibawaan pengadilan sebagai sebuah institusi. Salah satu yang dapat mewujudkan kewibawaan kekuasaan kehakiman adalah aktor pelaksana kekuasaan tersebut yaitu hakim yang memiliki kompetensi tinggi dan baik. Hubungan kausalitas antara kedua faktor tersebut membuat banyak pakar menyatakan keterkaitan yang kuat antara proses rekrutmen hakim terhadap masa depan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, terlebih lagi pada proses rekrutmen hakim agung di Mahkamah Agung. Proses rekrutmen hakim agung harus terjaga dari intervensi kepentingan politik. Hal ini merupakan rasio dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU-XI/2013. Putusan tersebut telah mendudukkan peran DPR di pelaksanaan rekrutmen hakim agung dalam posisi yang pasif, untuk menghindari intrusi kepentingan politik. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka diperlukan perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-
Undang Komisi Yudisial untuk mengakomodir prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman utamanya dalam proses rekrutmen hakim agung sebagaimana terkandung di dalam UUD NRI 1945. Kata kunci: rekrutmen hakim agung, kekuasaan kehakiman, kepentingan politik. ABSTRACT Judicial power is the weakest power compared to the executive and legislative power. The actual supremacy of the judicial power lies merely on the authority of the court as an institution. This has caused the judicial honor and dignity is determined by the apparatus executing the judicial power, which is none other than the adept and qualified judges. The causality relationship makes many experts consider that there is a strong link between the process of recruitment of judges with the future independence of the judiciary, especially in the process of recruitment of supreme court judges. The process of recruitment of the supreme court judge must be kept from the intervention of political interests. This is the rationale of the Constitutional Court Decision Number 27/PUU-XI/2013. The decision has put the House of Representatives in the process of recruitment of the supreme court judge in passive position, to
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 295
| 295
12/12/2014 3:53:13 PM
avoid the intrusion of political interests. It is intended to provide full protection to the judicial independence. Post-issuance of this decision it is considered necessary to amend the Law on Supreme Court and the Law on Judicial Commission primarily to accommodate the
principle of judicial independence in the process of recruitment of the supreme court judges as stipulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
I.
cabang kekuasaan lainnya ataupun memiliki kekuatan yang dapat menahan dirinya dari serangan cabang kekuasaan lainnya (Hamilton, 1778). Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini pernah terbukti setidaknya pada masa rezim orde lama yang menundukkan kekuasaan kehakiman di dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat secara nyata dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:
PENDAHULUAN
Kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah. Keberlangsungan kekuasaan kehakiman sangat bergantung pada kekuasaan eksekutif dan legislatif. Alexander Hamilton, salah satu founding fathers Amerika, dalam Federalist Paper Number 78 menyatakan bahwa di antara ketiga cabang kekuasaan pemerintahan, kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling tidak berbahaya dan paling lemah. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak berbahaya dikarenakan kapasitasnya terbatas untuk melaksanakan fungsinya. Pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman sangatlah bergantung pada dukungan dari cabang kekuasaan pemerintahan lainnya. Dalam hal efektivitas penegakan hukum, misalnya cabang kekuasaan kehakiman sangat bergantung pada kekuasaan eksekutif. Pada sisi anggaran, kekuasaan kehakiman bergantung pada legislatif sebagai pemegang kekuasaan anggaran negara. Dalam bahasa yang lugas, Hamilton menyatakan bahwa:
Keywords: recruitment of supreme court judges, judicial power, political interest.
“demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”
Salah satu kekuatan yang dimiliki olehnya adalah adanya jaminan konstitusional bagi kemerdekaan dan pemisahan kekuasaan yudikatif dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif (Hamilton, 1778). Namun demikian, perlindungan konstitusional saja tidak memadai. Pada negara-negara berkembang, perlindungan konstitusional bagi kekuasaan kehakiman hanya memiliki nilai nominal bahkan di dalam negara “it may truly be said, the judiciary (pen), dengan karakteristik otoriter memiliki nilai to have neither Force nor Will”(Hamilton, semantik, yang hanya tercantum dalam konstitusi 1778). namun tidak tercermin di dalam kenyataannya. Hal tersebut mengandung beberapa Pada konteks inilah, maka peran untuk menjaga konsekuensi bahwa kekuasaan kehakiman tidak kekuasaan yudikatif bergantung pada integritas akan pernah mampu “menyerang” dengan sukses dari individu yang menjalankannya. Terkadang
296 |
jurnal Desember isi.indd 296
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:13 PM
kehancuran kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari pengaruh politik cabang kekuasaan lainnya, tidak berasal dari luar (eksternal), namun disebabkan dari dalam (internal).
namun juga berintegritas dan imparsial. Tulisan ini melakukan elaborasi terhadap kerangka konseptual proses seleksi hakim, pembacaan terhadap evolusi proses seleksi hakim agung dari masa ke masa dan analisis terhadap proses Beberapa faktor masuknya intrusi politik perekrutan hakim agung yang seharusnya ke dalam pengadilan adalah korupsi pengadilan berlaku pada saat ini, khususnya pasca Putusan dan/atau tidak kompetennya pengadilan dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat (Gloppen, 2011: 68). Sebagai contoh adalah wacana pembentukan Panitia Kerja (Panja) II. RUMUSAN MASALAH Putusan MA oleh Komisi III DPR Periode Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka 2009-2014, yang dilatarbelakangi banyaknya rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai inkonsistensi putusan-putusan pengadilan di berikut: Indonesia dan telah mencederai rasa keadilan masyarakat (detik.com, 2012). Oleh karenanya, a. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 menguatkan tantangan kemerdekaan kekuasaan kehakiman kemerdekaan kekuasaan kehakiman di pada sisi eksternal, adalah pada proses rekrutmen Indonesia? hakim, khususnya hakim agung. Posisi hakim agung sangatlah sentral bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini disebabkan, institusi Mahkamah Agung merupakan puncak dari seluruh proses peradilan di Indonesia. Pada masa orde baru, sebagai puncak dari proses peradilan, Mahkamah Agung menikmati otonomi di dalam mengelola aturan rumah tangganya sendiri, sedangkan pengadilan di bawahnya berada pada kekuasaan administratif dari Kementerian Kehakiman pada era itu (Firmansyah, 2012: 30-31). Pada konteks inilah menjamin proses rekrutmen yang baik, bersih dan steril dari kepentingan politik merupakan hal yang harus terefleksi di dalam sistem rekrutmen para hakim agung.
b.
Bagaimanakah peran DPR dalam proses seleksi hakim agung pasca keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut?
III. STUDI PUSTAKA
Perekrutan hakim (judicial appointment) merupakan salah satu topik penting dalam diskursus kemerdekaan kekuasaan kehakiman, selain adanya jaminan kepastian masa jabatan dan tidak dapatnya hakim dicopot dari jabatannya. Pada laporan ke-18 tahun 1979, Komisi Hukum Pemerintahan India menyebutkan bahwa penunjukan terhadap individu hakim yang bermasalah dapat menyebabkan buruknya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat. Tulisan ini mengelaborasi bagaimana Lebih lanjut, laporan tersebut mengelaborasi sebuah sistem rekrutmen hakim agung harus bahwa runtuhnya kepercayaan masyarakat dibuat sedemikian rupa dengan menerapkan terhadap institusi peradilan dapat membahayakan standar-standar tertentu, sehingga menghasilkan integritas seluruh sistem hukum/keadilan dari hakim-hakim agung yang tidak hanya berkualitas suatu negara, yang pada akhirnya menimbulkan
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 297
| 297
12/12/2014 3:53:13 PM
persoalan keutuhan masyarakat, di mana masyarakat akan mencari cara di luar cara-cara hukum untuk menyelesaikan persoalan yang ada (Law Commission of India, 1978: 5). Lebih lanjut, dalam analisisnya Prof. R. Daniel Kelemen, dalam salah satu tulisannya yang berjudul ”The Political Foundation of Judicial Indepedence in The European Union,” menyatakan bahwa terdapat lima mekanisme umum yang digunakan oleh cabang kekuasaan di luar yudikatif untuk mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan, yaitu: 1) perubahan pada undang-undang terkait dengan kelembagaan pengadilan (legislation override); 2) penghukuman melalui pencabutan dukungan sumber daya operasionalisasi pengadilan, salah satunya dengan menahan anggaran tertentu ataupun mengganggu pembayaran gaji dari para hakim (resource punishment); 3) pencabutan wewenang tertentu dari pengadilan (jurisdiction stripping); 4) mempengaruhi komposisi hakim di dalam institusi pengadilan, seperti memperbesar jumlah hakim di dalam pengadilan sehingga dapat memasukkan hakim-hakim yang dapat mencerminkan lebih baik kepentingan aktor politik (court packing); 5) menggunakan kewenangan untuk menunjuk hakim sehingga diisi oleh para hakim yang sesuai dengan kepentingan para aktor politik (judicial selection and reappointment) (Kelemen, 2001: 3-4).Uraian Kelemen tersebut setidaknya merefleksikan, lima dari dua mekanisme umum yang digunakan untuk mempengaruhi putusan pengadilan, setidaknya terkait dengan proses seleksi hakim yang akan menduduki posisi-posisi di dalam institusi peradilan.
(cooperative model), model representasi (representative model), dan pemilihan oleh publik (popular election). Model kerjasama mensyaratkan pada proses pemilihan/seleksi hakim harus melibatkan dua lembaga, dalam contoh klasik di Amerika Serikat, hakim agung ditunjuk oleh presiden untuk kemudian dikonfirmasi oleh senat. Pada model representasi, hakim dipilih berdasarkan keterwakilan institusi di mana penunjukannya merupakan kewenangan dari parlemen, di mana 1/3 institusi pengadilan dipilih oleh presiden, 1/3 oleh kongres, dan 1/3 oleh Mahkamah Agung itu sendiri. Terakhir, pemilihan oleh publik dilaksanakan jika publik telah mencapai tingkat pemahaman tertentu dan memiliki kapasitas untuk menilai kandidat hakim yang diajukan. Keseluruhan model pemilihan di atas, adalah untuk memastikan bahwa para hakim dalam bekerja terhindar dari tekanan politik jangka pendek dan kecenderungan politik ke arah satu kubu tertentu (Linan & Castagnola, 2011: 6). Seperti pengisian jabatan pada umumnya, menempatkan orang pada suatu posisi, setidaknya harus melihat kualifikasi orang yang dinominasikan sesuai dengan prinsip-prinsip kecakapan, kompetensi, dan integritas (merit based principle) dan menjamin proses seleksi yang terjadi harus didesain secara komprehensif dan transparan. Pada konteks seleksi hakim, proses seleksi yang komprehensif dan transparan tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin individu terbaik, namun juga untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman (Davis & Williams, 2003: 835).
Aspek pertama dari seleksi hakim adalah Menurut Anibal Perez-Linan dan Andrea menguji kapasitas orang tersebut dengan prinsipCastagnola, terdapat tiga model pengisian jabatan prinsip merit. Pendefinisian prinsip merit di hakim pada umumnya, yakni, model kerjasama dalam pengisian jabatan hakim tidak terlepas 298 |
jurnal Desember isi.indd 298
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:13 PM
dari definisi umum, terhadap prinsip tersebut. kandidat-kandidat yang ada. Proses seleksi Dalam ”The Oxford Dictionary,” konsep merit tersebut harus dilakukan secara transparan, didefinisikan sebagai: adil, dan profesional. Aspek kedua dari seleksi “quality of deserving well; excellence, hakim menjamin proses rekrutmen haruslah worth’, reflecting its derivation form the transparan, handal, dan terpercaya. Terkait Latin for price or value”(kualitas yang dengan mekanisme pengisian jabatan hakim ini, pantas, terbaik, berharga, merefleksikan kata asal dalam bahasa latin yang berarti beberapa isu di antaranya adalah bebasnya proses harga atau nilai). pengisian jabatan hakim dari intervensi politik. Salah satu pertanyaan terpenting dari proses Menurut George Turner sebagaimana ini adalah, apakah proses rekrutmen hakim dikutip oleh Rachel Davis dan George Williams, memerlukan campur tangan dari institusi politik untuk mengukur kepantasan seseorang di dalam seperti parlemen? Terhadap hal ini The Venice mengisi jabatan suatu hakim, kriteria umum Commission menyatakan sebagai berikut: yang biasa digunakan adalah (i) pengetahuan “the appointment of judges by the hukum dan pengalaman yang dimilikinya, (ii) parliament is a method for constituting kualitas profesionalitas dari orang tersebut, dan the judiciary which is highly democratic but [...] the balance might be titled much (iii) kualitas personal dari orang tersebut (Davis too far toward the legislative power. This & Williams, 2003: 831). Selain hal tersebut, is not without its risks from the point of terdapat pula kriteria keempat yang di dalam view of judicial independence, inter alia since judicial appointments may over time banyak negara sudah diadopsi sebagai standar be more likely than otherwise to become penilaian, yakni kebutuhan untuk merefleksikan a subject of party politics” (The Venice keberagaman di dalam kekuasaan kehakiman Commission, 2008: 6). (Davis & Williams, 2003: 831). (penujukan para hakim oleh parlemen adalah sebuah metode untuk membentuk Pada tahun 2008, European Commission cabang kekuasaan kehakiman adalah sangat for Democracy Through Law (The Venice demokratis namun [...] hal ini mungkin terlalu memberikan arah keseimbangan Commission), mengeluarkan dokumen terkait proses kepada kekuasaan legislatif. Hal dengan kekuasaan kehakiman (judiciary), ini bukan tanpa risiko dari sudut pandang kemerdekaan kekuasaan yudikatif, di komentar yang diberikan terkait dengan proses antaranya karena rekrutmen hakim dari rekrutmen hakim dijelaskan bahwa merit di waktu ke waktu berpotensi untuk menjadi dalam rekrutmen hakim merujuk pada kualifikasi, perebutan kekuasaan politik oleh para aktor politik). integritas, kemampuan, dan efisiensi (The Venice Commission, 2008: 3). Konsekuensi penerapan prinsip merit, menyatakan bahwa kandidat dengan nilai tertinggi merupakan kandidat yang seharusnya ditunjuk sebagai hakim terlepas dari pertimbangan lainnya (Malleson, 2006: 128129).
Lebih lanjut dalam laporannya tersebut, The Venice Commission mengungkapkan bahwa parlemen merupakan arena pertarungan politik dan proses perekrutan hakim yang melibatkan parlemen berpotensi untuk menjadi alat dalam negosiasi kepentingan politik. Untuk mengatasi Hal ini mengindikasikan diperlukannya hal tersebut, The Venice Commission menyatakan sistem perangkingan di dalam melakukan seleksi terdapat beberapa pendekatan terbaik di dalam
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 299
| 299
12/12/2014 3:53:13 PM
proses rekrutmen yang melibatkan parlemen, yakni dengan tidak memberikan kekuasaan pemutus final pada parlemen. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kekuasaan pemutus bagi para kandidat hakim kepada otoritas presiden, dengan pelaksanaan proses seleksi oleh satu otoritas independen untuk kemudian namanama kandidat terseleksi diserahkan kepada presiden untuk diputuskan. Namun demikian, salah satu rekomendasi terkuat dari proses rekrutmen yang disarankan adalah dengan memberikan kewenangan tersebut kepada sebuah badan yang mandiri dan objektif, dengan pemahaman bahwa seleksi yang dilakukan oleh badan ini hanya dapat ditolak dengan alasanalasan yang sangat kuat.
setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung dan pemerintah, untuk kemudian dipilih dan ditetapkan presiden selaku kepala negara. Secara konseptual dapat dilihat bahwa proses tersebut memberikan kewenangan yang besar pada kekuasaan eksekutif. Berhimpunnya peran kepala negara dengan kepala pemerintahan dalam figur presiden memberikan kekuasaan presiden sebagai orang yang harus didengarkan pertimbangannya dalam menyusun daftar yang akan ditetapkan oleh presiden selaku kepala negara. Sebastiaan Pompe dalam bukunya “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung,” mengatakan kuatnya peran eksekutif dalam mempengaruhi proses pemilihan hakim agung merupakan warisan sejarah. Pada era UndangUndang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, walaupun secara konseptual menunjukkan peran DPR yang sangat sentral, namun pada praktiknya peran DPR sangatlah tidak signifikan. Pompe beranalisis hal ini disebabkan oleh:
Lebih lanjut, The Venice Commission merekomendasikan bahwa pengaturan yang demikian harus diatur di dalam konstitusi negara tersebut. Mandat yang diberikan kepada otoritas independen dalam proses pemilihan tersebut harus diberikan porsi proses yang signifikan di dalam menentukan hakim terpilih. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar “...kuatnya pemerintah untuk berpegang teguh pada tradisi civil law abad yang harus diterapkan di dalam mekanisme dan kesembilan belas, pemerintah Indonesia berusaha mendepolitisasi rekrutmen dan proses rekrutmen hakim harus disterilkan dari bahkan menampilkan Mahkamah Agung proses politik (depolitisasi). dan pengadilan secara keseluruhan sebagai lembaga non-politis, dengan menekankan karakter birokratis Mahkamah Agung ...” IV. ANALISIS (Pompe, 2012: 504). Pada masa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, proses rekrutmen hakim agung merupakan kekuasaan bersama antara presiden dengan DPR, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 (UU MA). Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (2) UU MA mengatur, DPR memiliki kewenangan untuk mengusulkan daftar nama calon hakim agung 300 |
jurnal Desember isi.indd 300
Kuatnya peran eksekutif terus berlanjut sampai dengan era orde baru. Perdebatan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada DPR di dalam melakukan rekrutmen hakim agung, menguat di dalam perdebatan-perdebatan penyusunan RUU tentang Mahkamah Agung, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:13 PM
Agung. DPR menginginkan peran yang lebih besar, yakni dengan mengubah usulan nama calon hakim agung disusun oleh DPR. Hal ini bertolak belakang dengan usulan pemerintah yang menginginkan usulan nama disusun oleh pemerintah untuk dibahas oleh DPR. Penolakan ini menguat, bahkan salah satu fraksi di DPR menyatakan DPR tidak diposisikan sebagai kurir, yang hanya meneruskan daftar calon yang disusun oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman (Pompe, 2012: 504). Argumentasi pemerintah untuk memosisikan DPR sebagai kurir adalah untuk menekan upaya politisasi di dalam proses seleksi hakim agung. Namun demikian, pertarungan sebenarnya tidak hanya terkait peran kelembagaan eksekutif vis a vis legislatif, namun juga pada persoalan sistem rekrutmen terbuka dan tertutup. Banyak desakan dari kaum profesional non-hakim, untuk bisa masuk ke dalam institusi Mahkamah Agung. Usulan pemerintah dianggap memasung hak warga negara yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk menduduki posisi hakim agung. Pada akhirnya terjadi rumusan kompromistis antara Menteri Kehakiman dengan DPR, yang memberikan usulan tersebut kepada DPR, namun memberikan posisi juga bagi presiden sebagai pemerintah dan Mahkamah Agung di dalam usulan daftar calon tersebut (Pompe, 2012: 504). Pembaruan proses rekrutmen hakim agung dilakukan pasca runtuhnya rezim Soeharto. Salah satu agenda reformasi ialah untuk memberikan jaminan konstitusional di dalam UUD NRI 1945 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Beberapa isu mengemuka terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 1 Bab II butir c TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, menyebutkan situasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada masa Orde Baru, sebagai berikut: “Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradillan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.” Untuk mengatasi persoalan tersebut di atas, di dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tersebut menyebutkan kebijakan-kebijakan untuk merumuskan tuntutan reformasi hukum, sebagai berikut: 1.
Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Agenda yang harus dijalankan adalah: a.
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 301
Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh. | 301
12/12/2014 3:53:13 PM
b.
Meningkatkan dukungan perangkat, sarana, dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional.
c.
Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat.
d.
2.
a.
Penyatuan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung;
b.
Rekrutmen hakim agung;
Membentuk Undang-Undang c. Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang d. Pemberantasan Penanggulangan Krisis Subversi yang akan dicabut.
Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah: a.
dilihat kuatnya semangat untuk membangun kemandirian hakim, dengan memisahkannya dari eksekutif. Pada rapat-rapat yang dilakukan oleh PAH III dari Badan Pekerja MPR 1999, beberapa isu yang dirasa penting untuk diatur di dalam perubahan UUD NRI 1945, utamanya terkait dengan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
Pemisahan yang tegas antar fungsifungsi yudikatif dari eksekutif.
Kewenangan untuk melakukan judicial review; dan Pengawasan terhadap hakim (Wasito et.al., 2010: 602).
Pada isu rekrutmen hakim agung, Prof. Sri Soemantri pada rapat ke-7 PAH III BP MPR, menekankan arti penting dari pengisian jabatan hakim agung, mengingat kewenangan yang besar dari Mahkamah Agung. Pada rapat tersebut, Prof. Sri menitikberatkan arti penting dari proses rekrutmen hakim agung dengan menyatakan:
“Oleh karena itu (reformasi Mahkamah Agung-pen), yang penting bukan hanya memberikan kedudukan yang kuat, tapi menurut saya itu adalah rekrutmen. Bagaimana merekrut hakim agung, yang mempunyai integritas ....” (Wasito et.al., c. Menegakkan supremasi hukum dalam 2010: 602-603). kehidupan bermasyarakat, berbangsa, Pada kesempatan tersebut, Prof. Sri dan bernegara. melakukan kritik terhadap pola rekrutmen hakim d. Terbentuknya sikap dan perilaku agung pada saat itu, yang memberikan kewenangan anggota masyarakat termasuk besar bagi presiden, namun menghasilkan kualitas para penyelenggara negara yang hakim agung yang tidak memadai. Terhadap hal menghormati dan menjunjung tinggi ini beliau mengungkapkan: hukum yang berlaku. “Nah, di Indonesia itu sampai sekarang ini, hakim agung itu diajukan oleh Pada angka 2 huruf a di atas dapat Dewan Perwakilan Rakyat, yang tadinya b.
302 |
jurnal Desember isi.indd 302
Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu.
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:14 PM
untuk satu lowongan sekarang untuk tidak menyinggung perasaan presiden, diajukan dua orang calon. Ini artinya, memberikan kesempatan kepada presiden untuk, tentunya memilih calon yang kirakira sesuai dengan keinginan presiden itu sendiri” (Wasito et.al., 2010: 603).
demikian dimaksudkan untuk mengamankan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari tangan cabang kekuasaan lainnya. Pada konteks pengawasan, isu kemerdekaan kekuasaan kehakiman diusulkan oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, pada saat itu, memberikan pandangan:
Pernyataan Prof. Sri dapat diletakkan dalam konteks politisasi pemilihan hakim agung pada masa-masa orde baru. Kritik tersebut “...Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri. Kemudian yang mengawasi menyoroti besarnya kewenangan presiden untuk kinerja Mahkamah Agung itu kan ..... memilih hakim agung yang sesuai dengan selera sebenarnya terletak pada hakimnya ..... Oleh karena itu, perlu dibentuk dan dimuat politik dari presiden. Politisasi rekrutmen hakim dalam undang-undang dasar ini, kita bentuk agung, pada akhirnya menciptakan intervensi suatu dewan kehormatan hakim yang kita dari kekuasaan eksekutif, sehingga membuat bentuk dari unsur-unsur, baik di kalangan hakim, di kalangan ahli hukum maupun di terpuruknya kekuasaan kehakiman. kalangan orang-orang yang benar-benar mempunyai integritas yang tinggi” (Wasito Pada awalnya usulan rekrutmen et.al., 2010: 41). diserahkan kepada MPR, namun demikian hal ini dipertanyakan oleh Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, pada Rapat PAH I BP MPR ke-9, di mana beliau berpendapat:
Lebih lanjut, pada konteks rekrutmen hakim, isu kemerdekaan kekuasaan kehakiman dilontarkan oleh I Dewa Gede Palguna dari F-PDIP, di mana beliau menyatakan:
“Memang ada keinginan katanya ke MPR. Saya kira akan mengalami kesulitan nanti menghindarkan intervensi MPR kalau sampai mengangkat Mahkamah “...untuk kekuasaan eksekutif terhadap para hakim, Agung, menurut hemat saya” (Wasito et.al., kami mengusulkan suatu badan yang 2010: 605). mandiri yang kami sebut Komisi Yudisial.... sekarang kami mengusulkan untuk hakim Salah satu keberatan dari Prof. I Dewa agung diangkat oleh presiden, berdasarkan Gde adalah kekhawatiran bagi MPR untuk usul Komisi Yudisial Nasional” (Wasito et.al., 2010: 611). bisa memberikan penilaian terhadap calon hakim agung berdasarkan kriteria-kriteria yang Rumusan perdebatan tereksplisit di dalam independen dan transparan. Prof. I Dewa Gde perubahan UUD NRI 1945, disampaikan oleh menolak bentuk pengawasan terhadap hakim Agung Gunanjar Sudarsa (F-PG), sebagai agung, namun mendukung proses yang rigid untuk berikut: menghasilkan hakim agung yang berkualitas dan berintegritas (Wasito et.al., 2010: 606-607). “...satu menyangkut, itu bisa diukur daripada proses pengangkatannya, sehingga dalam Kewenangan rekrutmen ini kemudian mengerucut Pasal 24 B itu, kami menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan diberhentikan kepada sebuah lembaga independen, dalam hal dengan persetujuan DPR atas usul Komisi ini Komisi Yudisial (KY), yang tidak hanya Yudisial, nah sehingga kata-kata dengan diposisikan menjalankan fungsi pengawasan. persetujuan DPR. DPR tidak melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi melakukan Rasionalitas di balik pemberian wewenang yang proses seleksi, tapi DPR hanya memberikan Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 303
| 303
12/12/2014 3:53:14 PM
persetujuan, dia dapat menerima atau menolak sejumlah calon-calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial ... agar kekuasaan kehakiman tidak terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik” (Wasito et.al., 2010: 425).
pemberian kewenangan KY untuk melaksanakan rekrutmen hakim agung adalah melakukan sterilisasi kepentingan politik dalam pelaksanaan seleksi hakim agung, dan lebih utama lagi untuk menciptakan proses seleksi yang transparan, objektif, dan independen. Hal ini ditujukan Perdebatan-perdebatan yang terjadi tersebut untuk menghasilkan hakim agung yang memiliki mengerucut, sehingga menghasilkan rumusan kapasitas dan integritas yang tinggi. Pasal 24 B jo. Pasal 24 C ayat (3) UUD NRI 1945 pada perubahan III, 9 November 2001, yang Pada perkembangannya, hal ini memberikan kewenangan bagi Komisi Yudisial diterjemahkan berbeda di dalam pengaturan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, turunannya. Proses persetujuan yang diperlukan untuk kemudian mendapatkan persetujuan DPR. di dalam DPR, berubah menjadi pemilihan dengan Hal ini kemudian diturunkan secara operasional mewajibkan KY memberikan tiga nama untuk dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 satu posisi yang lowong, sebagaimana dinyatakan tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan 18 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Tahun 2009.
Proses yang demikian dirasakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini Pada uraian di atas, dapat disimpulkan kemudian menyebabkan beberapa akademisi bahwa proses pengangkatan hakim agung yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah digariskan di dalam UUD NRI 1945 adalah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan ketentuan tersebut. Pada pokoknya, para pemohon kehakiman. Lebih jauh lagi salah satu proses mendalilkan hal-hal sebagai berikut: yang perlu diperhatikan adalah mekanisme bagi 1. Bahwa Pasal 24 A ayat (3) UUD NRI 1945 perekrutan hakim agung haruslah transparan dan menyatakan bahwa: meminimalisasi unsur politikdi dalam rekrutmen “calon hakim agung diusulkan oleh Komisi hakim agung, sehingga menghasilkan hakimYudisial kepada Dewan Perwakilan hakim agung yang kompeten dan memiliki Rakyat untuk mendapatkan persetujuan integritas tinggi untuk menjalankan fungsi-fungsi dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim Mahkamah Agung sebagai kekuasaan tertinggi agung oleh presiden.” di dalam cabang kekuasaan kehakiman dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama, 2. Bahwa ketentuan tersebut memberikan peradilan militer, dan peradilan tata usaha persetujuan, namun di dalam ketentuan negara. undang-undang mekanisme yang digunakan Pada perjalanannya, pemberian kewenangan kepada KY untuk melaksanakan rekrutmen hakim agung mengalami dinamika. Tujuan utama dari
304 |
jurnal Desember isi.indd 304
adalah memilih dari sejumlah calon yang diajukan oleh KY, sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (4) UU KY dan Pasal 8 ayat (2), (3),dan (4) UU MA. Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:14 PM
3.
Perubahan konsep persetujuan menjadi pemilihan, telah menimbulkan beberapa persoalan di antaranya: a.
4.
5.
mengurusi persoalan teknis seperti menguji kapasitas, integritas, kesehatan, dan kelengkapan administrasi.
Merupakan penyimpangan serius terhadap ketentuan UUD NRI 1945;
Berdasarkan hal-hal tersebut, pemohon mengajukan beberapa tuntutan permohonan (petitum), untuk menyatakan kata dipilih dan b. Menimbulkan ketidakpastian terhadap pemilihan pada UU Nomor 3 Tahun 2009 para pemohon dan hak setiap warga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum negara Indonesia pada umumnya mengikat. Selain hal tersebut rumusan tiga yang berkeinginan mengabdi sebagai calon hakim agung kepada DPR untuk setiap hakim agung; dan satu lowongan pada UU Nomor 18 Tahun 2011 c. Berpotensi mengganggu indepedensi dinyatakan tidak mengikat. peradilan karena hakim agung dipilih Pada pemberian tanggapan, sisi pemerintah oleh DPR, di mana dengan mekanisme tidak terlalu banyak memberikan tanggapan pemilihan ini memungkinkan bagi berarti terhadap argumentasi dari para pemohon. DPR menolak calon-calon yang Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak diusulkan oleh KY atas alasan memiliki kepentingan yang berarti pada proses dianggap tidak memenuhi jumlah pemilihan hakim agung. Pemerintah hanya calon yang disyaratkan UU MA dan memberikan sanggahan dengan mengajukan KY. pembelaan sumir yang menyandarkan diri pada Bahwa keterlibatan DPR dalam konsep checks and balances, di dalam proses pengangkatan hakim agung hanya dalam yang digariskan oleh undang-undang tersebut. mewujudkan fungsi checks and balances Hal yang sama juga terlihat di dalam tanggapan antar cabang kekuasaan negara dalam oleh DPR. Elaborasi yang diberikan tidak secara pemerintahan demokrasi. Perubahan langsung ditujukan untuk melawan argumentasi konsep persetujuan menjadi pemilihan dari para pemohon, namun hanya mendalilkan berpotensi mempengaruhi independensi bahwa hak konstitusional pemohon tidaklah sistem peradilan, karena hakim agung dihilangkan. Kata persetujuan bersama di dalam rumusan UUD NRI 1945, mengimplikasikan dipilih oleh lembaga politik. adanya bentuk penilaian terhadap para calon Bahwa mengutip Jimly Asshiddiqie, hakim agung yang diserahkan oleh DPR, oleh bahwa persetujuan DPR hanya dimaknai karenanya dalam melakukan penilaian dan dalam konteks Right to Confirm. Dalam penimbangan perlu diajukan lebih dari satu hal ini, DPR hanya melakukan “political calon. election” yang mengedepankan ideologi Pada kedua argumen, baik pemerintah calon, karena di situ akan terlihat arah perjuangan seorang pemimpin politik, maupun DPR, dapat dilihat bahwa kedua bukan technical solution seperti yang argumentasi tidak menyentuh persoalan dilakukan panitia seleksi (pansel) yang mendasar, yakni, terkait dengan hubungan antara
Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 305
| 305
12/12/2014 3:53:14 PM
proses rekrutmen dengan independensi kekuasaan kehakiman. Padahal secara substansi, persoalan konstitusional utama dari rumusan pasal-pasal di dalam undang-undang terletak pada hal tersebut. Hal inilah kemudian yang dijadikan pertimbangan MK di dalam memutus permohonan tersebut. Pada pertimbangan hukumnya, MK pertama-tama menjelaskan peran dan tugas KY di dalam konteks kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dengan menyitir konsideran UU KY. Lebih lanjut, MK mencatat salah satu uraian yang disampaikan oleh Agun Gunanjar Sudarsa, yang menghubungkan proses rekrutmen ke dalam konteks penjagaan kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya, MK berkesimpulan bahwa permohonan pemohon dapat dikabulkan untuk seluruhnya. Pada analisis pertimbangan hakim tersebut, dapat dilihat sangat kuatnya keterhubungan antara proses pemilihan hakim agung dengan kemandirian kelembagaannya. Pertimbangan yang demikian sangat tepat baik dari sudut pandang teoritik maupun UUD NRI 1945. Seperti diuraikan di atas, pelibatan institusi demokratis dapat dikatakan sebagai bentuk pelibatan publik terhadap proses pemilihan pejabat pengadilan, namun demikian berpotensi untuk mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dikarenakan institusi tersebut juga merupakan institusi politik (The Venice Commission, 2008: 6). Hal ini bukanlah merupakan asumsi tanpa dasar, namun ditemukan secara nyata di dalam praktik. Salah satu studi yang dilakukan terhadap kekuasaan kehakiman di Amerika Serikat, menunjukkan adanya hubungan antara praktik rekrutmen hakim agung dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi signifikan antara pandangan politik para hakim paralel dengan presiden yang memilih mereka, apakah berlatar 306 |
jurnal Desember isi.indd 306
belakang republik atau demokrat. Salah satu kesimpulan yang diambil di dalam penelitian tersebut, dinyatakan bahwa: “we have found striking evidence of a relationship between the political party of the appointing president and judicial voting pattern. For the most important questions, Republican appointees differences from Democratic appointees” (Sunstein et.al., 2006:147). (kami telah menemukan bukti yang mengejutkan relasi antara partai politik dari presiden yang menunjuk dengan pola pengambilan keputusan pengadilan. Terkait dengan pertanyaan terpenting, kandidat hakim yang ditunjuk oleh kubu republik berbeda dengan kandidat yang ditunjuk oleh kubu demokrat). Lebih lanjut, hasil dari keputusan MK juga mengafirmasi niat dari para penyusun rumusan Pasal 24 A terkait dengan proses pemilihan hakim agung. Perdebatan dan uraian dari para penyusun dan para ahli yang diundang menginginkan proses pemilihan umum yang transparan, objektif, dan menghindari transaksi politik dalam penunjukan hakim agung. Pada prosesnya, keputusan MK ini memiliki implikasi terhadap proses persetujuan yang berada di DPR. Konsep pemilihan yang memberikan kekuasaan yang besar pada DPR telah dihilangkan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana proses seleksi hakim agung di dalam pelaksanaan ke depannya, untuk menjamin proses yang transparan, objektif, dan independen. Terdapat dua aspek untuk merumuskan jawaban terhadap pertanyaan ini. Pertama, dengan dihapuskannya konsep pemilihan menjadi persetujuan, hal ini menempatkan KY sebagai lembaga kunci di dalam keseluruhan proses pemilihan hakim agung. Kedua, pelibatan DPR sebagai institusi politik yang dipilih secara demokratis bukan berarti hilang. Rumusan Pasal Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:14 PM
24 UUD NRI 1945, mengamanatkan proses persetujuan DPR di dalam seleksi hakim agung.
Miranda Goeltom dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (Nursyamsi, 2012: 53-62).
Pada praktiknya, KY, baik pada tataran normatif maupun pelaksanaan telah menunjukkan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam mengelola proses seleksi hakim agung. Secara teoritik, sebagai sebuah institusi yang independen KY diharapkan mampu melaksanakan proses pemilihan berdasarkan merit based system. Namun demikian, pelibatan institusi DPR di dalam proses persetujuan masih menimbulkan ruang keraguan sejauh mana proses seleksi hakim agung dapat didepolitisasi, atau setidaknya menyisakan ruang yang sempit bagi proses transaksional di DPR. Tantangan di DPR tidak hanya kekhawatiran masuknya intrusi politik di dalam pengambilan keputusan terkait dengan seleksi jabatan, namun juga praktikpraktik suap yang terjadi di dalam proses seleksi jabatan yang melibatkan DPR. Hal ini dapat dilihat dalam catatan tahunan yang disusun oleh PSHK.
Pertanyaan sekarang apakah dengan adanya putusan MK tersebut dapat mengurangi praktikpraktik tersebut di atas. Jika dilihat, konsep persetujuan memiliki kemiripan di dalam proses konseptual dengan confirmation process oleh senat, sebagaimana digariskan di dalam konstitusi Amerika Serikat. Namun demikian, sebagaimana dijabarkan di dalam penelitian Cass R. Sunstein intrusi politik dalam pemilihan hakim agung tidaklah dapat dihindari. Perdebatan kontemporer terkait dengan hal proses konfirmasi oleh senat adalah apakah di dalam proses konfirmasi, senat memiliki peran yang aktif atau pasif. Konsekuensi dari jawaban terhadap pertanyaan tersebut, berimplikasi terhadap proses yang harus dilalui (Strauss & Sunstein, 1992: 1493).
Jika senat memiliki peran aktif, maka praktik seleksi yang dilakukan oleh senat menjadi aktif dengan melakukan serangkaian aktivitas untuk menilai pilihan nama yang disodorkan oleh Pada catatan tahunan kinerja DPR 2011, presiden. Jika jawabannya pasif, maka peran senat PSHK secara khusus menyoroti proses seleksi harus menahan diri hanya sebagai pemeriksa jabatan yang melibatkan DPR. Kritik terbesar ulang apakah para kandidat yang diajukan sudah dari catatan tersebut adalah ketidakmampuan sesuai dengan standar yang ditentukan baik dari DPR untuk mempertanggungjawabkan tolok sisi karakter ataupun kecakapan profesionalnya, ukur di dalam melakukan penilaian terhadap dalam bahasa yang lugas David A. Strauss dan kandidat pejabat publik yang diseleksi. Hal ini Cass R. Sunstein, dalam tulisannya menyatakan: menyebabkan DPR sebagai sebuah institusi tidak “under this approach, the senate could not dapat memberikan penilaian dengan prinsip appropriately consider a nominee’s basic commitments or views on controversial merit based system. Salah satu contoh adalah issues, unless those view were so extreme as saat pemilihan pimpinan KPK, di mana DPR to call into question the nominee’s character or competence” (Strauss & Sunstein, 1992: mengabaikan perangkingan yang dilakukan 1493). oleh tim pansel yang diisi oleh para pakar, tanpa memberikan penjelasan kekurangan metode (pada pendekatan ini (peran pasif), senat tidak dapat menanyakan dan dari tim pansel tersebut. Lebih lanjut, proses mempertimbangkan komitmen dasar atau transaksional dalam seleksi pejabat publik juga pandangan dari para kandidat terkait isu kontroversial, kecuali jika pandangan berpotensi pada pidana, seperti pada kasus Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 307
| 307
12/12/2014 3:53:14 PM
tersebut dianggap terlalu ekstrim sehingga harus dipertanyakan untuk menilai karakter dan kompetensi dari kandidat).
putaran terakhir, maka tidak ada pilihan bagi Lord Chancellor untuk menerima kandidat yang diajukan (House of Lords, 2012: 12-13).
Pada model proses seleksi di Inggris, perdebatan yang sama pun terjadi terkait dengan peran dari Lord Chancellor di dalam proses penunjukan hakim senior di dalam pengadilan. Sebelum diberlakukannya Constitutional Reform Act 2005 (CRA), proses pemilihan hakim agung Inggris memberikan peran yang dominan pada Lord Chancellor, namun demikian pasca diberlakukannya CRA tersebut, maka peran dominan beralih kepada Judicial Appointments Commission (JCA).
Pada konteks persetujuan dalam struktur rumusan UUD NRI 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka peran dari DPR dalam persetujuan haruslah bersifat pasif. Hal ini mengisyaratkan jika DPR tidak menemukan informasi material yang perlu diklarifikasi ataupun menolak pencalonan calon hakim agung, maka DPR tidak dapat menolak proses yang sudah dihasilkan oleh KY. Sehingga secara teknis, DPR tidak perlu melakukan proses fit and proper test kepada kandidat, yang perlu DPR lakukan hanya JCA merupakan lembaga independen yang melakukan pemeriksaan ulang (cross check) terdiri dari lima belas komisioner. Komisioner terhadap hasil yang disampaikan oleh KY. ditunjuk dari ragam latar belakang, di antaranya, Apabila DPR memaksakan untuk perwakilan masyarakat, anggota dari profesi mengadakan proses fit and proper test kembali, hukum, dan para hakim dari seluruh level maka metode dan tolok ukurnya harus pengadilan. Namun demikian, peran dari Lord menggunakan ukuran yang sama dengan yang Chancellor juga tidak dihilangkan sepenuhnya, dilakukan oleh KY di dalam menilai para kandidat di mana seperti halnya dalam UUD NRI 1945, hakim agung. Hasil dari fit and proper test ini Lord Chancellor memiliki wewenang untuk harus diumumkan secara terbuka kepada publik memberikan persetujuan atas hasil seleksi yang berikut pertimbangan-pertimbangannya. Dengan dilaksanakan oleh JCA (House of Lords, 2012: sistem pasif, maka diharapkan ruang gerak dari 8). transaksi politik sekaligus intrusi kepentingan
Jumlah hakim yang diajukan JCA kepada Lord Chancellor pun hanya terdiri dari satu kandidat untuk setiap lowongan. Pada CRA juga disebutkan, bahwa Lord Chancellor hanya dapat menolak hasil dari JCA, hanya jika beranggapan bahwa kandidat yang diajukan tidak cocok untuk mengisi jabatan tersebut. Lebih lanjut, dinyatakan secara tegas, bahwa dalam hal penolakan dilakukan Lord Chancellor harus menyediakan alasan yang diberikan secara tertulis atas penolakan tersebut. Nominasi dapat dilakukan sampai tiga kali putaran, dalam hal
308 |
jurnal Desember isi.indd 308
politik DPR dapat diminimalisasi. Sehingga, hakim agung yang dihasilkan dalam proses yang demikian merupakan hakim agung terbaik untuk menjalankan fungsi Mahkamah Agung yang merdeka. Lebih lanjut, pada proses mekanisme dapat ditentukan bahwa keputusan final dari proses seleksi hakim agung harus tetap berada di tangan Komisi Yudisial. Pengadopsian mekanisme hubungan antara JCA dengan Lord Chancellor dapat dipertimbangkan untuk diterapkan di dalam praktik di Indonesia. Namun demikian, untuk
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:14 PM
mengadopsi proses tersebut diperlukan perubahan UU MA dan UU KY untuk menegaskan prinsip dan mekanisme yang ada agar sesuai dengan UUD NRI 1945, sebagaimana ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013.
ulang terhadap kandidat hasil dari proses di KY, dengan cara melakukan fit and proper test, selama proses di KY dilaksanakan secara transparan, adil, akuntabel, dan profesional. Apabila DPR menginginkan proses penilaian ulang terhadap kompetensi dari kandidat, maka pelaksanaan tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan V. SIMPULAN standar proses dan kriteria penilaian yang sama Kemerdekaan cabang kekuasaan kehakiman yang digunakan oleh KY, proses dan hasil dari di Indonesia merupakan bagian terpenting dari penilaian tersebut diungkapkan secara terbuka di sistem ketatanegaraan yang digariskan di dalam hadapan publik. konstitusi Indonesia. Jaminan kemerdekaan Untuk memberikan jaminan dan peneguhan kekuasaan kehakiman tidak hanya terbatas pada pemberian jaminan kemerdekaan bagi hakim terhadap prinsip tersebut, maka diperlukan di dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk perubahan baik UU MA ataupun UU KY untuk memutuskan perkara hukum yang dibawa di mengakomodir proses pemilihan sebagaimana hadapannya, hanya berdasarkan pada fakta dan digambarkan pada paragraf dua dari kesimpulan hukum yang disajikan di dalam persidangan, tanpa ini. adanya campur tangan dari cabang kekuasaan lainnya. Pada konstitusi Indonesia, jaminan tersebut juga diperluas dengan mengatur sedemikian DAFTAR PUSTAKA rupa agar proses seleksi pengisian jabatan hakim agung, dilakukan secara profesional, independen, Davis, Rachel & George Williams. 2003. Reform of dan akuntabel, dengan mengamanatkan mandat the Judicial Appointments Process: Gender pengisian jabatan hakim agung dilaksanakan oleh and the Bench of the High Court of Australia. Melbourne Law Review, 27. sebuah komisi, dalam hal ini Komisi Yudisial. Prinsip inilah yang ditegaskan di dalam Putusan Detik.com. 2012. Komisi III DPR Klaim Bentuk Panja Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. Putusan MA Untuk Bela Rakyat Kecil. http:// Oleh karenanya, putusan MK tersebut telah finance.detik.com/read/2012/03/03/102543/18 meneguhkan jaminan kemerdekaan kekuasaan 56981/10/komisi-iii-dpr-klaim-bentuk-panjakehakiman di Indonesia terkait dengan proses putusan-ma-untuk-bela-rakyat-kecil pengisian jabatan hakim agung. Firmansyah, Rachmad Maulana, et.al. 2012. Kajian
Lebih lanjut, untuk menjalankan prinsip Lembaga Penegak Hukum di Indonesia. Jakarta: tersebut, maka dapat disimpulkan pula peran DPR Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia & haruslah bersifat pasif di dalam proses konfirmasi/ Konrad Adenauer Shiftung. persetujuan terkait dengan pengisian jabatan Gloppen, Siri. 2011. Court, Corruption, and Judicial hakim agung. Oleh karenanya, DPR perlu untuk Independence. Bergen: CMI Publication. menahan diri untuk tidak melakukan penilaian Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik)
jurnal Desember isi.indd 309
| 309
12/12/2014 3:53:14 PM
Hamilton, Alexander. 1778. The Federalist Paper Number
78: The
Judiciary
Department.
Independent Journal.
JD(2008)001. Wasito, Wiwik Budi, et.al. 2010. Buku VI: Kekuasaan Kehakiman Naskah Komprehensif Perubahan
House of Lords. 2012. Report Judicial Appointments.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Select Committee on the Constitution: 25th
Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses,
Report of Session2010-12 (HL Paper 272).
dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta:
Kelemen, R. Daniel. 2011. The Political Foundations
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
of Judicial Independence in the European Union. European Union Studie Association Biennal Convention. Law Commission of India. 1978. Eightieth Report on the Method of Appointment of Judges. D.O. N.O F.2(12)/77-L.C. Linan, Anibal Perez & Andrea Castagnola. 2011. Institutional Design and External Independence: Assessing Judicial Appointments in Latin America. The 2011 Meeting of The American Political Science Association. Malleson, Kate. 2006. Rethingking the Merit Principle in Judicial Selection. The University of Melbourne Journal of Law and Society, 33. Nursyamsi, Fajri. 2012. Catatan Kinerja DPR 2011 Legislasi: Aspirasi atau Transaksi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Pompe,
Sebastiaan. 2012.
Runtuhnya Institusi
Mahkamah Agung. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Strauss, David A & Cass R. Sunstein. 1992. The Senate, the Constitution, and the Confirmation Process. Yale Law Journal, 1491. Sunstein, Cass R, et.al. 2006. Are Judges Political? an Emperical Analysis of the Federal Judiciary. Washington DC: Brooking Institution Press. The Venice Commission (European Commission for
Democracy
Through
Law).
2008.
Draft Vadenmecum on the Judiciary, CDL-
310 |
jurnal Desember isi.indd 310
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310
12/12/2014 3:53:14 PM
MENYOAL KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPPU Kajian terhadap Enam Putusan Mahkamah Konstitusi
QUESTIONING THE CONSTITUTIONAL REVIEW TO THE GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW (PERPPU) An Analysis of Six Decisions of the Constitutional Court Zairin Harahap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta 55151 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 4 April 2014; revisi: 20 November 2014; disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK
ABSTRACT
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur di dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945. Seiring berjalannya waktu, ditemukan praktik bahwa MK telah melakukan pengujian konstitusionalitas peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa MK mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Bahkan hal tersebut juga tidak kita temukan di dalam UUD NRI 1945. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dari segi teori-teori hukum yang dapat menjelaskan MK dapat atau tidak dapat dibenarkan melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Melalui penjelasan teori-teori hukum tersebut, akhirnya diketahui bahwa tidak benar jika menyatakan MK berwenang menguji Perppu hanya dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII UUD NRI 1945 tentang DPR. Selain itu, tidak benar juga jika materi muatan Perppu dinyatakan sebagai materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945.
One of the authorities of the Constitutional Court, as stipulated on Article 24 C paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is to conduct a judicial review. However over time, it appears that the Constitutional Court has conducted a constitutional review to the Government Regulation in Lieu of Law (the Perppu). As the matter of fact, there is no regulation set the authority for the Constitutional Court, even not affirmed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. For that reason, it is necessary to grasp legal theories in the analysis to elucidate this issue: is the Constitutional Court allowed to review the Perppu? Through the elaboration of the legal theories, it can be deduced that it is invalid to confirm that the Constitutional Court has the authority to review the Perppu on the basis that it is stipulated in Chapter VII of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding the House of Representatives. More to the point, it is also could not be justified that the content of the Perppu is asserted as the content of the Law, not as the content of Government Regulation (PP) in order to implement the Law as referred to Article 5 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
Kata kunci: perppu, pengujian peraturan perundangundangan, kewenangan mahkamah konstitusi
Keywords: the government regulation in lieu of law (perppu), legislation review, constitutional court’s authority
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 311
| 311
12/12/2014 3:53:15 PM
I.
PENDAHULUAN
2.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undangsatu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang (UUMK 2014). Namun, UUMK 2014 perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagaimana tersebut telah dibatalkan oleh MK berdasarkan yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD Putusan Nomor 1/PUU-XI/2014 dan Nomor 2/ NRI 1945 (Asshiddiqie, 2006: 98-100). Dalam PUU-XI/2014. Oleh karena itu, UUMK 2014 pasal tersebut secara tegas disebutkan bahwa sudah tidak memiliki kekuatan mengikat secara kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah hukum, sehingga tidak dapat diberlakukan lagi. sebagai berikut: Dengan demikian, saat ini UU yang mengatur 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili tentang MK yang berlaku adalah UUMK 2003 pada tingkat pertama dan terakhir yang dan UUMK 2011. putusannya bersifat final untuk menguji Kewenangan MK sebagaimana yang diatur undang-undang terhadap Undang-Undang dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD Dasar, memutus sengketa kewenangan NRI 1945, selanjutnya dipertegas dan dijabarkan lembaga negara yang kewenangannya kembali dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Undang-Undang Dasar, UUMK 2003 adalah: memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pemilihan umum; pada tingkat pertama dan terakhir yang
Selanjutnya, dalam Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.” Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 tersebut telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2003), Undang2. Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2011), dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 312 |
jurnal Desember isi.indd 312
putusannya bersifat final untuk: a.
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.
Memutus pembubaran partai politik;
d.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:15 PM
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa salah satu kewenangan konstitusional dari MK adalah menguji UU yang diduga bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kewenangan MK sebagaimana yang dikemukakan di atas dipertegas kembali dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPUU), yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal suatu UndangUndang diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu 4/2009) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Berangkat dari uraian di atas, tulisan ini bermaksud melakukan pengkajian dan analisis terhadap putusan-putusan MK yang menyatakan MK mempunyai kewenangan melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Karena, baik UUD NRI 1945 maupun UU MK, dan UUPUU sebagaimana yang telah dikemukakan di atas secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan MK adalah menguji UU yang diduga bertentangan dengan UUD. II.
RUMUSAN MASALAH
Dalam UUD NRI 1945 secara tegas disebutkan bahwa salah satu kewenangan konstitusional MK adalah menguji UU terhadap UUD NRI 1945, sedangkan kewenangan untuk menguji Perppu merupakan kewenangan konstitusional DPR. Namun, dalam praktiknya, ada Perppu yang telah diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Sebagaimana diketahui putusan MK adalah bersifat final dan mengikat, sehingga setiap putusannya menjadi konstitusional, Dalam praktiknya, MK tidak hanya menguji meskipun bisa jadi ada “kekeliruan” atau bahkan konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI 1945 “kesalahan.” tetapi juga menguji konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Oleh karena itu, putusan MK telah tertutup sebagaimana terakhir menguji Perppu Nomor untuk dipersoalkan secara konstitusional, 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas namun secara akademik tetap terbuka untuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang dikaji, khususnya dari aspek keilmuan hukum Mahkamah Konstitusi (Perppu 1/2013) melalui (teori hukum). Pertanyaan mendasar yang dapat Putusan Nomor 90/PUU-XI/2013, Nomor 91/ diajukan adalah apakah berdasarkan teori hukum, PUU-XI/2013, Nomor 92/PUU-XI/2013, Nomor MK dapat dibenarkan untuk melakukan pengujian 93/PUU-XI/2013, dan Nomor 94/PUU-XI/2013. Perppu terhadap UUD NRI 1945? Sebelumnya MK juga pernah melakukan pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 313
| 313
12/12/2014 3:53:15 PM
III. STUDI PUSTAKA
undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan Putusan MK yang menyatakan mempunyai federatif (kekuasaan mengenai perang dan damai, kewenangan untuk melakukan pengujian membuat perserikatan dan aliansi serta segala konstitusionalitas Perppu terhadap UUD tindakan dengan semua orang dan badan-badan NRI 1945 sangat bersinggungan dengan teori di luar negeri). Mengenai kekuasaan yudikatif pembagian kekuasaan dan checks and balances, (kekuasaan untuk mengadili) oleh John Locke teori kewenangan, dan teori perundang-undangan. dimasukkan sebagai bagian dari kekuasaan Oleh karena itu, dalam studi pustaka ini akan eksekutif (Suny, 1982: 1-2). digunakan berbagai literatur yang membahas teori-teori tersebut. Teori John Locke tersebut, selanjutnya Menurut teori pembagian kekuasaan, dilakukannya pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara bertujuan untuk mencegah terjadinya kekuasaan absolut yang terpusat pada satu tangan (lembaga) dan/atau munculnya lembaga negara “super power” yang pada gilirannya akan merusak sendisendi demokrasi. Setiap lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diberikan kewenangan yang antara lain bertujuan untuk melakukan checks and balances di antara masing-masing. Oleh karena itu, apakah suatu lembaga negara berwenang untuk melakukan sesuatu dapat dikaji dari teori kewenangan, termasuk di dalamnya kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, teori perundangundangan pun cukup relevan digunakan untuk mengkaji putusan MK yang menyatakan berwenang untuk menguji konstitusionalitas Perppu terhadap UUD NRI 1945. 1.
Teori Pembagian Kekuasaan dan Checks and Balances
disempurnakan oleh Montesquieu (1748) yang membagi kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undangundang), eksekutif (kekuasaan menjalankan undang-undang), dan yudikatif (kekuasaan menegakkan hukum). Teori dari Montesquieu ini oleh Immanuel Kant disebut dengan trias politica (Mahmuzar, 2010: 18-19). Dengan demikian, Montesquieu tidak memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini karena sebagai seorang hakim Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif adalah berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya, kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif yang merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dimasukkan oleh Montesquieu ke dalam kekuasaan eksekutif (Suny, 1982: 2-3). Menurut Soehino, pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquieu tersebut adalah untuk menghilangkan kemungkinan munculnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa atau jelasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan yang absolutisme. Oleh karena itu, masing-masing kekuasaan dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri (Soehino, 2008: 117).
Menurut Ismail Suny adalah John Locke yang pertama kali membicarakan tentang teori pembagian kekuasaan (1690) yang terdiri dari Sir Ivor Jennings dalam menanggapi kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat teori trias politica dari Montesquieu tersebut 314 |
jurnal Desember isi.indd 314
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:15 PM
mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat berupa dalam arti materiil (pembagian kekuasaan dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahaan kekuasaan) dan dalam arti formal (pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan secara tegas). Oleh karena itu, menurut Ismail Suny, pemisahan kekuasaan dalam arti materiil sepantasnya disebut pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedang yang dalam arti formal sebaiknya disebut pembagian kekuasaan (division of powers), tetapi ada juga yang menyebutnya dengan istilah distribution of power (C, 2011: 73).
di mana di dalam hubungan antar lembaga negara itu terdapat saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan (Kusnardi & Saragih, 1986: 31). Teori checks and balances amat diperlukan dalam suatu sistem ketatanegaraan berhubung manusia penyelenggara negara bukanlah malaikat, meskipun bukan juga iblis. Tetapi, manusia punya kecenderungan memperluas dan memperpanjang kekuasaan yang ujung-ujungnya menjurus kepada penyalahgunaan kekuasaan dengan mengabaikan hak-hak rakyat. Untuk itulah diperlukan sistem saling mengawasi secara seimbang (checks and balances) sebagai counterpart dari sistem trias politica (Fuady, 2009: 124). Namun, menurut Saldi Isra, Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 Di Indonesia, menurut Ismail Suny baik telah merancukan prinsip pemisahan kekuasaan selama periode UUD NRI 1945, UUD 1949, (separation of powers) dengan prinsip checks UUDS 1950, dan kembali ke UUD NRI 1945 and balances, karena hal itu hanya berlaku bagi tidak terdapat atau tidak pernah dilaksanakan lembaga-lembaga negara yang utama (main state pemisahan kekuasaan dalam arti materiil atau organs, principal state organs) yang terdiri dari dengan kata lain di Indonesia terdapat pembagian MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, kekuasaan dengan tidak menekankan kepada MA, BPK, dan MK. Padahal berdasarkan pemisahannya (Suny, 1982: 43). Hal yang sama amandemen UUD NRI 1945 sudah tidak dikenal juga dikemukakan oleh Anwar C bahwa UUD lagi pembedaan lembaga-lembaga negara yang NRI 1945 mengikuti sistem pembagian kekuasaan didasarkan kepada pembagian hierarkis yang (distrubution of power) bukan pemisahan berupa lembaga tertinggi negara dan lembaga kekuasaan (separation of power). Alasannya tinggi negara (Isra, 2010: 305-306). Dengan adalah antara lain bahwa kekuasaan membentuk adanya putusan MK tersebut, maka lembaga undang-undang tidak hanya di tangan legislatif negara lainnya seperti KPK, KY, ORI, dan lain(DPR), tetapi juga ada di tangan eksekutif/ lain disebut sebagai supporting element atau state presiden (C, 2011: 75-76). auxiliary organ (lembaga pendukung). Meskipun ajaran trias politica sulit dilaksanakan secara murni, namun menurut Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih bahwa ajaran tersebut mengandung dua prinsip, yaitu: pertama, prinsip untuk mencegah agar kekuasaan jangan sampai berada di dalam satu tangan, karena dengan demikian akan timbul kekuasaan yang sewenangwenang; dan kedua, prinsip checks and balances
Di dalam perkembangannya, pembagian kekuasaan di suatu negara tidak hanya bertumpu pada tiga jenis kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu, seperti yang dikemukakan oleh van Vallenhoven yang kemudian diikuti oleh van Apeldoorn yang membaginya menjadi empat, yaitu: kekuasaan
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 315
| 315
12/12/2014 3:53:15 PM
perundang-undangan, kekuasaan peradilan atau kehakiman, kekuasaan kepolisian, dan kekuasaan pemerintahan (Soehino, 2008: 118). Bahkan, menurut Amir Mahmud (Mahfud MD, 2006: 96) bahwa poros-poros kekuasaan di Indonesia yang dirumuskan oleh para perumus UUD NRI 1945 ada lima yang sejajar, yaitu: legislatif (Presiden dan DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (MA), auditif (BPK), dan konsultatif (DPA). Sedangkan Padmo Wahjono (Azhary, 1995: 98) membaginya menjadi delapan, yaitu: legislatif (Presiden dan DPR), yudikatif (MA), kepenasihatan (DPA), peraturan keuangan (Presiden dan DPR), pemeriksaan keuangan negara (BPK), kepolisian, dan hubungan luar negeri (Presiden dan DPR). Namun, sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945, tampaknya pandangan tersebut sudah tidak sepenuhnya dapat diikuti, karena tidak lagi ada lembaga negara yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di samping itu, khusus yang terkait dengan kekuasaan yudikatif tidak lagi sepenuhnya dimonopoli oleh MA, tetapi juga dijalankan oleh MK sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Munculnya MK sebagai bagian dari lembaga yudikatif yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review UU terhadap UUD NRI 1945 menurut Saldi Isra dapat dikatakan sebagai sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga yudikatif, dengan kuatnya kepentingan politik di
316 |
jurnal Desember isi.indd 316
lembaga legislatif, sangat terbuka kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat (Isra, 2010: 298). 2.
Teori Peraturan Perundang-undangan dan Pengujiannya
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPUU) menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan PerundangUndangan terdiri atas: a.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan MPR;
c.
UU/Perppu;
d.
Peraturan Pemerintah (PP);
e.
Peraturan Presiden (Perpres);
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari teori jenjang norma hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya (Soeprapto, 1998: 25). Oleh karena itu, apabila dalam penerapan peraturan perundang-undangan terjadi pertentangan antara peraturan perundang-
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:15 PM
undangan yang hierarkinya lebih tinggi dengan bertentangan dengan Undang-Undang, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah lebih rendah, maka berlakulah asas lex superior Agung. derogat legi inferiori, artinya peraturan Menurut JimlyAsshiddiqie bahwa pengujian perundang-undangan yang hierarkinya lebih yang dilakukan oleh MA adalah pengujian tinggi mengesampingkan peraturan perundanglegalitas, sedangkan pengujian yang dilakukan undangan yang hierarkinya lebih rendah (Manan, oleh MK adalah pengujian konstitusionalitas 2004: 56). (Asshiddiqie, 2006: 6). Kewenangan MA Apabila terjadi pertentangan norma hukum untuk menguji peraturan perundang-undangan dari suatu peraturan perundang-undangan dengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 A ayat yang lainnya, maka untuk mengesampingkan (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 9 ayat (2) UU atau menyatakan tidak berlaku dan tidak Nomor 12 Tahun 2011 dikaitkan dengan hierarki memiliki kekuatan mengikat secara hukum peraturan perundang-undangan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang hierarkinya yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor lebih rendah harus dilakukan dengan pengujian 12 Tahun 2011, maka dapat diketahui bahwa (review). Di Indonesia pengujian terhadap kewenangan MA adalah untuk menguji legalitas peraturan perundang-undangan sebagian menjadi Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah, sedangkan wewenang MA dan sebagian lagi menjadi untuk menguji Perppu jelas MA tidak berwenang, wewenang MK. Dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD karena hierarki Perppu sama dengan UU. NRI 1945 disebutkan bahwa MA berwenang Sementara itu, kewenangan MK sebagaimana menguji peraturan perundang-undangan di yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI bawah undang-undang terhadap undang-undang. 1945 jo. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun Sedangkan kewenangan MK dalam menguji 2011 secara tegas disebutkan adalah menguji UU peraturan perundang-undangan sebagaimana terhadap UUD. Walaupun berdasarkan Pasal 7 yang disebutkan dalam Pasal 24 C ayat (1) ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan UUD NRI 1945 adalah bahwa MK berwenang bahwa UU memiliki hierarki yang sama dengan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Perppu, namun UU tidaklah sama dengan Perppu. putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Dengan demikian, baik Pasal 24 A ayat (1) UUD Undang terhadap UUD. Hal yang sama juga NRI 1945 maupun Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI disebutkan dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 1945 tidak mengatur tentang pengujian Perppu. 2011, yang berbunyi: Oleh karena itu adalah tepat dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD bahwa Perppu tidak bisa 1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga dimintakan uji materi kepada lembaga yudisial bertentangan dengan Undang-Undang sebab sebagai hukum darurat Perppu hanya Dasar Negara Republik Indonesia Tahun diuji melalui political review atau legislative 1945, pengujiannya dilakukan oleh review di DPR pada masa sidang berikut setelah Mahkamah Konstitusi; Perppu itu diundangkan (Mahfud MD, 2006: 2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang- 107). Pandangan Moh. Mahfud MD tersebut, undangan di bawah Undang-Undang diduga nampaknya sejalan dengan ketentuan Pasal 22
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 317
| 317
12/12/2014 3:53:15 PM
UUD NRI 1945 yang berbunyi: 1.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
2.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
3.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
3.
Teori Kewenangan
Dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban atau rechten en plichten (HR, 2011: 98-99). Wewenang sangat erat kaitannya dengan asas legalitas. Oleh karena itu, asas legalitas mencanangkan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan dapat memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan dari posisi hukum warga masyarakatnya (Indroharto, 1994: 83). Menurut Franz Magnis Suseno, legalitas adalah salah satu kemungkinan kriteria bagi keabsahan wewenang. Legalitas menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku (Suseno, 2001: 59).
(Belanda), dan salah satu komponen yang penting dalam wewenang adalah dasar hukum. Karena, wewenang itu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya (Winarno, 2009: 85-66). Dengan demikian, apabila suatu badan atau pejabat dalam mengeluarkan suatu keputusan atau putusan tidak dapat menunjukkan dasar hukumnya, maka keputusan atau putusannya adalah tidak sah. Karena, dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tanpa kewenangan yang oleh Paulus Effendi Lotulung disebut sebagai “tanpa kewenangan yang bersifat material,” artinya, materi (masalah) dari keputusan atau putusan yang dikeluarkan adalah merupakan wewenang dari badan atau pejabat lainnya (Lotulung, 1993: 7). Pada umumnya, ada dua cara pokok dari mana badan atau jabatan TUN itu memperoleh wewenang pemerintahan secara sah, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi (Indroharto, 1994: 91). Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk) dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru (Mulyosudarmo, 1997: 39), oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh original legislator dan delegated legislator. Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan TUN lainnya (Indroharto, 1994: 91). 4.
Perppu bukan UU
Paling tidak ada tiga hal mendasar yang membedakan Peraturan Pemerintah Pengganti Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Undang-Undang (Perppu) dan Undang-Undang Nur Basuki Winarno yang mengatakan bahwa (UU) sebagaimana yang dikemukakan pada tabel istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan di bawah ini: dengan “authority” (Inggris) dan “bevoegdheid” 318 |
jurnal Desember isi.indd 318
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:15 PM
No.
Aspek Perbedaan
UU
Perppu
1.
Wewenang pembentukan
Persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
Presiden
2.
Masa berlaku dan kekuatan hukum mengikatnya
Sejak mendapat persetujuan bersama sampai adanya pencabutan atau pembatalan oleh MK
Sejak dikeluarkan Presiden sampai adanya penolakan DPR. Oleh karena itu, masa berlaku dan kekuatan mengikatnya sangat singkat. Namun, Perppu dapat mempunyai masa berlaku yang sama dengan UU, apabila Perppu tersebut mendapat persetujuan dari DPR menjadi UU
3.
Alasan pembentukan
Tidak memerlukan syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa
Memerlukan syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa
Tabel 1. Perbedaan Perppu dan Undang-Undang
Perbedaan lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan yang menyangkut materi muatannya dan saat pengajuannya. Materi muatan Perppu hanya menyangkut hal-hal di bidang administrasi negara, tidak mengenai masalah-masalah ketatanegaraan atau menyangkut alat kelengkapan negara di luar administrasi negara (Manan, 2004: 49). Pandangan Bagir Manan tersebut penting untuk diperhatikan, karena apabila tidak ada pembatasan seperti itu, maka sangat potensial terjadi pereduksian kekuasaan DPR yang pada gilirannya memunculkan kediktatoran presiden. Sedangkan yang menyangkut saat pengajuannya, kekuasaan presiden untuk membuat dan mengajukan RUU dapat dilakukan setiap saat. Berbeda halnya dengan Perppu yang hanya dapat dibuat oleh presiden ketika DPR sedang tidak bersidang (reses).
yang memaksa. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan: “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Penggunaan nama sendiri sebagai Perppu adalah dimaksudkan untuk membedakannya dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang (Manan, 2003: 153). Namun, apabila dilihat dari hierarkinya, maka hierarki Perppu dan UU adalah sama, sebagaimana yang disebutkan secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UUPUU, yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan MPR;
Dari berbagai perbedaan yang disebutkan c. di atas, kiranya sangat tepat dan cukup beralasan pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan d. bahwa Perppu adalah Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan e.
UU/Perppu; Peraturan Pemerintah (PP); Peraturan Presiden (Perpres);
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 319
| 319
12/12/2014 3:53:16 PM
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
IV. ANALISIS
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pembahasan atau analisis yang dilakukan dalam tulisan (penelitian) ini pada dasarnya berangkat dari studi kasus (case study) terhadap putusan-putusan MK yang menguji konstitusionalitas Perppu. Dalam suatu studi kasus, maka pembahasan atau analisis difokuskan kepada alasan-alasan hukum atau pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MK untuk sampai kepada putusannya (ratio decidendi).
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPUU tersebut menyangkut jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, bukan hanya mengatur tentang jenis peraturan perundang-undangan saja atau mengatur hierarki peraturan perundang-undangan saja namun mengatur kedua-duanya yakni jenis dan hierarki. Artinya, apabila membicarakan jenis peraturan perundang-undangan, maka ada yang namanya UU dan ada yang namanya Perppu. Ditinjau dari aspek ini, jelas bahwa UU tidak sama dengan Perppu. Sedangkan, apabila ditinjau dari hierarkinya, maka Perppu dan UU memiliki hierarki yang sama. Meskipun UUPUU tidak menjelaskan mengapa menempatkan hierarki Perppu sama atau sederajat dengan UU namun secara teoritis dapat dijelaskan bahwa Perppu dikeluarkan bukanlah karena terjadinya kekosongan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada tidak tegas mengatur sebagaimana menurut A Hamid S Attamimi sebagai alasan munculnya peraturan kebijakan atau yang disebut dengan beleidsregel (Attamimi, 1993: 12). Tetapi, karena adanya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang ada dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan pemerintahan yang terjadi. Apabila Perppu hierarkinya tidak ditempatkan sejajar dengan UU, maka kekuatan mengikatnya adalah kurang kuat, sehingga apabila materi muatannya bertentangan dengan UU akan dapat menimbulkan persoalan hukum yang tidak kalah seriusnya atau setidak-tidaknya dapat menghambat pelaksanaan dari Perppu itu sendiri.
320 |
jurnal Desember isi.indd 320
Sejak dibentuknya MK, telah ada Perppu yang dilakukan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu: Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu Nomor 4 Tahun 2009); dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu Nomor 1 Tahun 2013). Pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009 diputuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, sedangkan untuk pengujian terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2013 diputuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 91/ PUU-XI/2013, Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 93/PUU-XI/2013, dan Putusan Nomor 94/PUU-XI/2013. Melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009. Begitu juga halnya dengan perkara permohonan pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2013 sebagaimana yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XI/2013, Nomor 92/PUU-XI/2013, Nomor 93/PUU-XI/2013,
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:16 PM
dan Nomor 94/PUU-XI/2013 dapat dikatakan sepenuhnya mengacu kepada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menyatakan MK berwenang untuk melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas Perppu.
Di samping itu, kewenangan MK untuk menguji UU (tanpa menyebut Perppu) sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah pada saat masih berlakunya Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang menyebutkan bahwa posisi (hierarki) Perppu Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 di bawah UU dan posisi (hierarki) Tap MPR di tidaklah diputuskan secara bulat oleh hakim atas UU adalah menunjukkan dengan seterangMK, namun terdapat alasan berbeda (concurring terangnya bahwa pembuat UUD, yakni MPR opinion) yang dikemukakan oleh hakim Moh. memang hanya menghendaki kewenangan MK Mahfud MD dan pendapat berbeda (dissenting untuk menguji UU terhadap UUD. Kewenangan opinion) yang dikemukakan oleh hakim MK yang tertera dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Mohammad Alim. NRI 1945 yang hanya sebatas menguji UU terhadap Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD UUD, apabila ditambah dengan menguji Perppu, menyatakan setuju MK melakukan pengujian menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, terhadap Perppu, karena perkembangan melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD. ketatanegaraan saat ini melihat perlunya Pendapat Hakim Konstitusi Moh. Mahfud penafsiran atas isi UUD NRI 1945 tidak hanya MD yang menyatakan bahwa keabsahan Perppu bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan yang tidak mendapat persetujuan DPR perlu tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada mendapat perhatian, karena UUD NRI 1945 tidak penafsiran sosiologis dan teleologis. Beberapa mengatur bagaimana mekanisme pencabutannya. hal yang dicontohkan adalah kemungkinan Artinya, apakah sebelum ada pencabutan, karena pembahasan Perppu di DPR berlarut-larut; tidak mendapat persetujuan DPR masih tetap kemungkinan Perppu tidak jelas keabsahannya, dapat diberlakukan. Pasal 22 ayat (3) UUD karena tidak nyata-nyata disetujui atau ditolak NRI 1945, menyebutkan: “Jika tidak mendapat oleh DPR; adanya polemik perlunya UU untuk persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah pencabutan Perppu yang tidak disetujui oleh DPR, itu harus dicabut.” Kata-kata “harus dicabut” sehingga selama UU-nya belum dikeluarkan dalam pasal a quo, menurut Philipus M Hadjon keabsahan Perppu menjadi tidak jelas; dan adalah mengandung pengertian “imperatif” yang kemungkinan DPR tidak dapat bersidang untuk absolut, sehingga harus ada produk hukum yang membahas Perppu, karena situasi tertentu. dikeluarkan untuk mencabut Perppu yang tidak Hakim Konstitusi Mohammad Alim menyatakan mendapatkan persetujuan oleh DPR tersebut. bahwa kewenangan presiden membentuk Perppu telah ada jauh sebelum dilakukannya perubahan Berdasarkan angka 158 Lampiran II terhadap UUD NRI 1945 yang memasukkan Pasal UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan “Peraturan perundang-undangan hanya dapat kewenangan kepada MK untuk menguji UU dicabut dengan peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Artinya, rumusan Pasal 22 ayat yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.” (1) UUD NRI 1945 tidak berubah dari rumusan Dengan demikian, Perppu hanya dapat dicabut aslinya. dengan Perppu atau UU. Mengeluarkan Perppu Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 321
| 321
12/12/2014 3:53:16 PM
untuk mencabut Perppu sudah jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Di samping itu, menurut Philipus M Hadjon, Perppu akan terus muncul dan kembali lagi ke DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 dan dengan demikian tidak akan tuntas. Oleh karena itu, Philipus M Hadjon berpendapat bahwa untuk mencabut Perppu lebih tepat dengan UU dan yang menyiapkan RUUnya adalah DPR (Hadjon, 1987: 32-33).
Meskipun penafsiran dan analogi tersebut belum pernah diterapkan, namun tidak dapat dijadikan dasar legitimasi MK untuk menguji Perppu terhadap UUD. Karena, Perppu yang ditolak atau tidak mendapat persetujuan dari DPR secara otomatis sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan oleh karena itu sudah tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum.
Keharusan pencabutan Perppu sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (3) dapat dikatakan hanya Apabila memperhatikan penjelasan Pasal bersifat formalitas belaka. Meskipun demikian, 22 UUD NRI 1945 sebelum perubahan tidak ada baiknya apabila kelak dilakukan kembali ada penjelasan yang menyebutkan jenis produk perubahan terhadap UUD NRI 1945, kiranya hukum yang dikeluarkan oleh DPR untuk ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945 tersebut perlu menyetujui atau menolak Perppu yang diajukan disempurnakan, khususnya yang terkait dengan oleh presiden. Penjelasan Pasal 22 UUD NRI jenis produk hukum yang dikeluarkan apabila 1945 hanya menekankan bahwa persetujuan DPR Perppu mendapat persetujuan atau penolakan dan dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan, karena mekanisme pembentukannya. Kecuali, penafsiran kekuatan hukum dari Perppu sama dengan UU. sistematis dan analogi yang dikemukakan di atas Oleh karena itu, berdasarkan penafsiran sistematik dapat diterima. dan analogi, apabila selama ini persetujuan DPR Mengingat, tulisan (penelitian) ini adalah terhadap Perppu langsung berwujud UU, maka merupakan studi kasus (case study), maka kajian seharusnya bentuk penolakan DPR terhadap yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis Perppu yang diajukan oleh presiden juga langsung terhadap alasan-alasan hukum atau pertimbangan berwujud UU. hukum yang digunakan oleh hakim MK untuk Dengan kata lain, apabila Perppu mendapat sampai kepada putusannya (ratio decidendi). persetujuan DPR, maka dikeluarkanlah UU tentang Persetujuan Perppu menjadi UU, 1. Putusan MK (ratio decidendi) ditinjau sedangkan apabila ditolak, maka yang dikeluarkan dari Teori Pembagian Kekuasaan dan adalah UU tentang Pencabutan Perppu. Dengan Teori Kewenangan demikian, DPR atau presiden tidak perlu Sebagaimana telah dibahas dalam mengajukan RUU tersendiri untuk pencabutan Perppu pasca penolakan yang dilakukan oleh kajian pustaka bahwa dalam teori pembagian DPR. Penafsiran sistematik dan analogi di atas, kekuasaan (distribution of power) diperlukan paling tidak dapat menjawab polemik di sekitar adanya pembagian kekuasaan adalah bertujuan keabsahan Perppu yang ditolak oleh DPR, namun untuk mencegah munculnya kekuasaan yang belum ada pencabutannya dan membuat UU yang absolut dan sewenang-wenang. Dengan adanya mencabut Perppu membutuhkan waktu yang lama pembagian kekuasaan di antara masing-masing kekuasaan, maka masing-masing kekuasaan dan mungkin berlarut-larut. 322 |
jurnal Desember isi.indd 322
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:16 PM
tersebut akan saling melakukan pengawasan, sehingga terwujudlah checks and balances. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan bahwa teori pembagian kekuasaan sangat erat kaitannya dengan teori kewenangan, karena pembagian kekuasaan pada dasarnya juga menyangkut pembagian kewenangan kepada masing-masing kekuasaan (lembaga negara). Berdasarkan teori kewenangan, legalitas wewenang suatu lembaga negara haruslah bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang diperoleh secara atribusi (wewenang asli) maupun secara derivatif (pelimpahan wewenang). Pertimbangan hukum dari hakim MK (ratio decidendi) yang dijadikan dasar pembenaran untuk mengatakan berwenang menguji konstitusional Perppu, antara lain adalah: 1) Sistematika UUD NRI 1945 menempatkan pengaturan Perppu dalam Bab VII tentang DPR, sehingga sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan undang-undang. Karena Perppu diatur dalam bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk undangundang, maka materi Perppu adalah materi yang menurut UUD NRI 1945 diatur dengan undangundang dan bukan materi yang melaksanakan undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 dan materi Perppu juga bukan materi UUD NRI 1945; dan 2) Perppu dikeluarkan karena terjadinya kekosongan hukum dalam rangka untuk mengatasi situasi dan kondisi yang bersifat mendesak secara cepat sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Pertimbangan hukum dari hakim MK sebagaimana yang dikemukakan di atas, kurang sejalan dengan pembagian kekuasaan
dan kewenangan yang dianut oleh UUD NRI 1945. Sejak awal berlakunya hingga dilakukan amandemen, UUD NRI 1945 telah secara tegas melakukan pembagian kekuasaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengujiannya. Kekuasaan untuk membentuk Perppu berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 ada di tangan presiden. Sedangkan kekuasaan untuk menentukan eksistensi dan keabsahan Perppu berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 ada di tangan DPR. Bahkan, penjelasan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebelum perubahan dengan tegas menyebutkan bahwa kewenangan tersebut merupakan bentuk pengawasan dari DPR. Sedangkan kekuasaan MK di bidang perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI 1945. Baik Pasal 22 UUD NRI 1945 maupun Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 tidak membicarakan atau mempersoalkan bahwa materi muatan dari Perppu adalah sama dengan UU dan/atau hierarki Perppu sama dengan UU. Oleh karena itu, materi muatan Perppu yang sama dengan UU atau hierarki Perppu yang sama dengan UU tidaklah cukup alasan untuk menyatakan bahwa MK berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 karena UUD NRI 1945 sudah secara tegas mengatur kekuasaan dan kewenangan dari masing-masing lembaga negara. Di samping itu, hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat saja berubah di kemudian hari dengan menempatkan kembali hierarki Perppu yang tidak sama dengan UU sebagaimana yang pernah dilakukan berdasarkan Tap MPR Nomor III/ MPR/2000.
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 323
| 323
12/12/2014 3:53:16 PM
Di samping itu, kekuasaan presiden membentuk Perppu telah ada sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI 1945. Bahkan, ketika dilakukan perubahan terhadap UUD NRI 1945 ternyata rumusan Pasal 22 UUD NRI 1945 tidak mengalami perubahan, artinya masih tetap sama dengan aslinya baik mengenai isi rumusan pasalnya maupun sistematika penempatannya, yakni masih tetap dalam Bab VII tentang DPR. Padahal pasca perubahan UUD NRI 1945, kekuasaan membentuk undangundang telah bergeser dari presiden ke DPR yang ditandai dengan perubahan rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh karena itu adalah tidak tepat menyatakan MK berwenang menguji Perppu dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII tentang DPR dan materi muatan Perppu adalah materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945.
dikatakan bahwa Perppu dikeluarkan karena terjadinya “kekosongan hukum.” 2.
Putusan MK (ratio decidendi) ditinjau dari Teori Perundang-undangan
Pertimbangan hukum hakim MK lainnya yang dijadikan dasar pembenaran kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusional Perppu yang sangat relevan untuk dianalisis dari teori perundang-undangan, antara lain adalah: 1) Hierarki Perppu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah sama dengan UU; 2) Materi muatan Perppu adalah materi muatan yang seharusnya diatur dalam wadah undang-undang, tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD NRI 1945 memberikan hak kepada presiden untuk menetapkan Perppu.
Apabila hak tersebut diberikan kepada Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 22 DPR, maka kebutuhan hukum secara cepat untuk ayat (1) UUD NRI 1945 sangat mudah dipahami mengatasi keadaan yang mendesak tidak dapat bahwa alasan presiden mengeluarkan Perppu terpenuhi. Hal itu disebabkan proses pengambilan adalah karena adanya “hal ihwal kegentingan yang keputusan di DPR ada di tangan anggota melalui memaksa” bukan karena sebab lainnya, termasuk rapat-rapat, sehingga memerlukan waktu yang bukan karena adanya “kekosongan hukum” untuk cukup lama; dan 3) Perppu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan mengatasi kegentingan yang memaksa itu. dapat menimbulkan: (a) status hukum baru; (b) Dalam praktik penyelenggaraan hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. pemerintahan sering sekali justru Perppu yang Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu dikeluarkan oleh presiden materi muatannya bertentangan dengan materi muatan suatu UU disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut yang masih berlaku. Salah satu contohnya adalah tergantung kepada persetujuan DPR untuk dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2013 menerima atau menolak norma hukum Perppu, yang materi muatannya banyak yang bertentangan namun demikian sebelum adanya pendapat DPR dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti 2011. Oleh karena itu adalah tidak tepat apabila undang-undang. Oleh karena dapat menimbulkan 324 |
jurnal Desember isi.indd 324
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:16 PM
norma hukum yang kekuatannya mengikat sama dengan undang-undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut MK dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD NRI 1945. Dengan demikian MK berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perppu tersebut telah menjadi undang-undang.
membawa pemikiran bahwa hierarki Perppu boleh jadi sesungguhnya lebih tepat ditempatkan hierarkinya lebih tinggi dari UU. Dengan kondisi hierarki yang lebih tinggi dari UU ini, maka masa berlakunya bersifat sementara dan harus segera mendapatkan respons dari DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3).
Oleh karena itu, pertimbangan hukum MK yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu, karena hierarki Perppu sama Pertimbangan hukum hakim MK dengan UU tidak memiliki landasan teori dan sebagaimana yang dikemukakan di atas kurang bersifat a-historis. Jika konstruksi berpikir sejalan dengan teori perundang-undangan yang digunakan oleh hakim MK adalah logika sebagaimana yang tergambar dalam berbagai hierarki peraturan perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan yang pernah bukan tidak mustahil di kemudian hari MK akan berlaku dan yang masih berlaku hingga saat menguji peraturan perundang-undangan lainnya ini. Sebagaimana diketahui bahwa pengaturan semisal Perpres dengan alasan UU menempatkan tentang hierarki peraturan perundang-undangan hierarki Perpres sama dengan UU. di Indonesia telah mengalami beberapa kali Sedangkan terkait dengan persoalan materi perubahan. Ketika berlakunya Tap MPRS Nomor muatan Perppu yang sama dengan UU telah XX/MPRS/1966 menempatkan hierarki Perppu mendapatkan legitimasinya sejak dikeluarkannya sama dengan UU. Namun, ketika berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian Tap MPR Nomor III/MPR/2000 menempatkan ditegaskan kembali dalam UU Nomor 12 Tahun hierarki Perppu berada satu tingkat di bawah 2011 yang mencabut UU Nomor 10 Tahun UU. Selanjutnya, ketika berlakunya UU Nomor 2004. Namun, peraturan perundang-undangan 10 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang lebih awal yang mengatur tentang hierarki menempatkan hierarki Perppu sejajar dengan peraturan perundang-undangan, yakni Tap MPRS UU, peraturan perundang-undangan yang Nomor XX/MPRS/1966 dan Tap MPR Nomor III/ mengatur tentang hierarki peraturan perundangMPR/2000 baik secara eksplisit maupun implisit undangan tersebut tidak menjelaskan alasan tidak pernah menyebutkan bahwa materi muatan mengapa menempatkan hierarki Perppu dalam Perppu sama dengan UU sebagaimana yang telah posisi seperti itu. dibahas dalam studi pustaka. Bahkan, UUD NRI Berangkat dari tinjauan historis 1945 sendiri pun tidak pernah menyebutkan tersebut, maka sangat terbuka peluang untuk bahwa materi muatan Perppu haruslah merupakan memperdebatkan dan selanjutnya menempatkan materi muatan UU. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI kembali posisi hierarki Perppu yang tidak sama 1945 baik secara eksplisit maupun implisit dengan UU. Adanya realitas bahwa materi memberikan kewenangan sepenuhnya kepada muatan Perppu yang dikeluarkan acapkali presiden untuk menentukan materi muatan dari bertentangan dengan UU yang berlaku dapat Perppu yang dikeluarkannya. Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 325
| 325
12/12/2014 3:53:16 PM
Bahkan, menurut Herman Sihombing, kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) adalah lebih genting dan amat terpaksa dibandingkan dengan keadaan bahaya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UUD NRI 1945. Oleh karena itu, menurut Herman Sihombing, kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan lebih dahulu (Sihombing, 1996: 2).
perundang-undangan yang menimbulkan akibat hukum bukanlah hanya Perppu semata. Tetapi, semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan. Perbedaan yang mendasar antara Perppu dengan jenis peraturan perundangundangan lainnya adalah masa berlaku Perppu yang sangat singkat.
Keberlanjutan pemberlakuan Perppu sangat tergantung dari “penilaian” yang dilakukan oleh DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 bukan oleh MK. Dalam Oleh karena itu, putusan MK yang UUD NRI 1945 tidak ada satu pasal atau ayat menyatakan berwenangan menguji Perppu pun yang memberikan kewenangan kepada terhadap UUD NRI 1945 yang didasarkan MK untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI karena materi muatan Perppu sama dengan UU 1945. Oleh karena itu, pertimbangan hukum MK sebagaimana yang disebutkan dalam UU Nomor mengatakan berwenang menguji Perppu, karena 10 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU Perppu telah dapat diberlakukan sebelum adanya Nomor 12 Tahun 2011 adalah inkonstitusional. pendapat DPR dan telah menimbulkan norma UUD NRI 1945 telah secara tegas menyebutkan hukum, sehingga nasibnya tidak dapat diserahkan bahwa kewenangan MK adalah menguji UU sepenuhnya kepada DPR dapat dikatakan bersifat terhadap UUD NRI 1945 bukan menguji “materi subjektif. muatan peraturan perundang-undangan yang Dikatakan demikian, karena ketika bertentangan dengan UUD.” suatu Perppu diuji di MK tidaklah membawa Selanjutnya, berdasarkan teori perundang- konsekuensi atau secara otomatis presiden harus undangan beberapa perbedaan yang mendasar menghentikan pelaksanaan Perppu atau Perppu antara norma hukum dengan norma-norma tidak boleh dilaksanakan sebelum adanya putusan lainnya (adat, agama, dan etika) adalah bahwa MK. Di samping itu, tidak ada jaminan bahwa norma hukum menimbulkan akibat hukum bagi putusan MK tentang pengujian Perppu akan lebih semua orang tanpa terkecuali (Asshiddiqie, 2006: cepat daripada persetujuan DPR. 5), dan penerapan sanksinya dapat dipaksakan Problem ketatanegaraan lainnya yang tak (Mertokusumo, 1999: 18). kalah rumitnya akan muncul adalah apabila kedua Norma hukum yang dimaksud adalah lembaga negara ini dalam waktu yang bersamaan peraturan perundang-undangan sebagaimana melakukan penilaian terhadap Perppu yang sama, dimaksud UU Nomor 12 Tahun 2011, bukan hukum namun putusannya berbeda. Keadaan ini sangat positif. Menurut Bagir Manan hukum positif tidak mungkin terjadi, karena tidak ada larangan bagi hanya peraturan perundang-undangan, tetapi DPR untuk menyidangkan Perppu yang diajukan termasuk di dalamnya yurisprudensi dan hukum oleh presiden, karena Perppu tersebut sedang adat (Manan, 2004: 3). Oleh karena itu, peraturan diuji di MK. Oleh karena itu, kewenangan MK
326 |
jurnal Desember isi.indd 326
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:16 PM
untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 dengan mempertimbangkan masa berlaku Perppu menjadi sangat prematur. yang bersifat sementara dan tidak adanya jaminan putusan MK akan lebih cepat dikeluarkan daripada Satu hal lagi yang menunjukkan kelemahan keputusan yang diambil oleh DPR. Mengingat, dari pertimbangan hukum hakim MK tersebut kewenangan MK dalam melakukan pengujian ditinjau dari teori perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan sangat tergantung bahwa pengujian Perppu oleh DPR merupakan dengan adanya permohonan yang diajukan oleh kewenangan konstitusional dari DPR secara orang atau badan hukum. Berbeda dengan DPR mandiri. Artinya, kekuasaan atau kewenangan yang dalam melakukan “pengujian” terhadap untuk melakukan pengujian tidak tergantung Perppu adalah bersifat mandiri tanpa perlu adanya pada kekuasaan lainnya. Sementara, kewenangan permohonan dari pihak manapun, karena sudah MK untuk menguji Perppu sangat tergantung menjadi kewenangan konstitusionalnya. kepada adanya orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan pengujian. Oleh Dengan demikian, putusan MK (ratio karena itu, meskipun secara substansi maupun decidendi) yang mengatakan berwenang untuk secara realitas pelaksanaan Perppu menimbulkan melakukan pengujian konstitusional Perppu kerugian dan inkonstitusional, namun apabila ditinjau dari teori pembagian kekuasaan, teori tidak ada yang mengajukan pengujian, maka MK kewenangan, dan teori perundang-undangan juga tidak mungkin dapat membatalkannya. mengandung berbagai kelemahan. V.
SIMPULAN
Pertimbangan hukum MK yang menyatakan berwenang untuk menguji Perppu adalah karena DAFTAR PUSTAKA Perppu telah menimbulkan norma hukum baru, hubungan hukum, dan akibat hukum tidaklah Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian cukup kuat untuk dijadikan dasar karena pada Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dasarnya semua peraturan perundang-undangan dan Kepaniteraan MKRI. yang dikeluarkan memiliki unsur-unsur tersebut. _______________. 2006. Perihal Undang-Undang.
Jakarta: Konpress. Di samping itu, pengujian yang dilakukan MK tidaklah serta merta menghentikan _______________. 2006. Perkembangan dan pelaksanaan Perppu dan pembahasannya di DPR. Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Bahkan, bukan tidak mungkin putusan yang Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan diambil oleh MK tidak sama dengan yang diambil MKRI. oleh DPR. Jika demikian halnya, maka keadaan ini akan memunculkan masalah ketatanegaraan Attamimi, A Hamid S. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan yang kompleks. (Hukum Tata Pengaturan). Pidato Purna
Oleh karena itu, sebaiknya MK tidak terlalu memaksakan diri untuk menguji Perppu, apalagi
Bakti Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI. Jakarta.
Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap)
jurnal Desember isi.indd 327
| 327
12/12/2014 3:53:17 PM
Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta: Universitas Indonesia.
Paradigma Kedaulatan dalam UUD NRI 1945 (Pasca Perubahan) Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara. Malang: Intrans Publishing. Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat). Bandung: PT Refika Aditama. Hadjon, Philipus M. 1987. Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisis Hukum dan Kenegaraan. Surabaya: PT Bina Ilmu. HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945. Cetakan Kelima. Jakarta: PT Gramedia. Lotulung, Paulus Effendi. 1993. Beberapa Sistem Hukum
Lembaga
Kepresidenan.
Yogyakarta: FH UII Press.
UUD NRI 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press. ___________. 2004. Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. Mulyosudarmo, Suwoto. 1997. Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sihombing, Herman. 1996. Hukum Tata Negara
Soehino. 2008. Ilmu Negara. Cetakan Kedelapan. Yogyakarta: Liberty. Soeprapto,
Maria
Terhadap
Pemerintah. Cetakan Kelima. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Mahfud MD, Moh. 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.
Farida
Indrati.
Perundang-undangan:
1998,
Ilmu
Dasar-Dasar
dan
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Suny, Ismail. 1982. Pembagian Kekuasaan Negara: Suatu
Kusnardi, Moh & R Bintan Saragih. 1986. Susunan
Segi
2003.
Darurat di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Indroharto. 1994. Usaha Memahami Undang-Undang
Kontrol
Bagir.
___________. 2004. DPR, DPD, dan MPR dalam
C, Anwar. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi:
Tentang
Manan,
Penyelidikan
Perbandingan
dalam
Hukum Tata Negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Politik: PrinsipPrinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno,
Nur
Basuki.
2009.
Penyalahgunaan
Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Negara. Yogyakarta: Laksbang Mediatama.
Mahmuzar. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia: Menurut UUD NRI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. Bandung: Nusa Media.
328 |
jurnal Desember isi.indd 328
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328
12/12/2014 3:53:17 PM
INDEKS VOLUME AKHIR TAHUN Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014 A Abdi, Mualimin 50, 107 Acquittal 1, 2 Agrarian Dispute 53 Al Araf, Muchamad Ali 68 Ali, Ahmad 33 Alkostar, Artidjo 33 Arief, Barda Nawawi 86 Asshiddiqie, Jimly 16, 51, 68, 86 Aziz, Machfud 51 B Bedner, Adriaan W 68 Binding Force 34 Bintari, Aninditya Eka 51 Black, Henry Cambell 86 Budiardjo, Miriam 86 Bzn, Ter Haar 33
53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 68, 71, 78, 94, 95, 101, 103 Halevy, Eva Etzioni 102 Hamzah, Andi 17, 51 Harahap, M. Yahya 17, 51 Hoebel, E. Adamson 68 Huda, Ni’matul 17, 102 Hukum Progresif 70, 74, 75, 76, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 104 Human Right 34, 53 Husodo, Siswono Yudo 86 I Ismujoko 41, 51 Isra, Saldi 52, 102 Isra, Saldi et.al 52
K Kasasi 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 43, 68 Keadilan Prosedural 18, 27, 28, 32 C Keadilan Substantif 18, 22, 23, 24, 28, 32, 57, Cassation 1, 2, 7 85 Chandranegara, Ibnu Sina 51 Constitutional Court 1, 2, 34, 39, 42, 70, 71, 88, Kelsen, Hans 17, 102 Kepastian Hukum 1, 3, 4, 6, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 89 21, 40, 41, 45, 48, 59, 72, 85, 101 Corruption 70, 71 Komisi Negara 88 Criminalization 53 Komisi Yudisial Republik Indonesia 33, 51, 108 D Konsorsium Pembaruan Agraria 60, 69 Darmodiharjo, Darji & Shidarta 33 Kriminalisasi 53, 55, 56, 57, 62, 63, 64, 66, 68, Daya Ikat 34, 37, 38 71 Kristiana, Yudi 86 E Kumoro, Endro 33 Eddyono, Luthfi Widagdo 51 Kurde, Nukthoh Arfawie 17 Ence, Irianto A Baso 16 Kurnia, Titon Slamet 17 F Kusuma, Mahmud 86 Fadel 40, 41, 51 L Faisal 75, 86 Land Dispute 19 Faqih, Mariyadi 51 Latif, Abdul 102 Fuady, Munir 16, 86 Legal Certainty 2 G Lembaga Negara 35, 43, 67, 88, 89, 90, 91, 93, Gaffar, Janedjri M 51 97, 98, 99, 100, 101 H Local Official 71 Hak Asasi 5, 6, 12, 34, 35, 41, 42, 46, 48, 50, 53, Luthan, Salman & Muhamad Syamsudin 33 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 68, 71, 78, M 94, 95, 101, 103 Magnar, Kuntara et.al 102 Hak Asasi Manusia 5, 6, 12, 35, 41, 42, 46, 48,
jurnal Desember isi.indd 329
12/12/2014 3:53:17 PM
Mahfud MD, Moh 52 Mahkamah Konstitusi 1, 2, 3, 12, 13, 14, 15, 16, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 34, 71, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 62, 63, 68, 70, 80, 83, 85, 86, 88, 89, 92, 94, 102, 104, 107 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 52 Manan, Bagir 17 Marbun, S.F 102 Marpaung, Leden 69, 87 Mertokusumo, Sudikno 33, 102 Mertokusumo, Sudikno & Mr. A. Pilto 102 Muhammad, H. Rusli 17 Muladi 60, 69
Soekanto, Soerjono 69 Soemantri, Sri 87 Soesilo, R 69 State Commission 89 State Institution 89 Subiyanto, Achmad Edi 52 Substantial Justice 19, 86 Sudarto 72, 87 Sudirman, Antonius 52 Suhariningsih 54, 69 Supriadi 54, 69 Susanto, Anthon F 87 Suteki 76, 77, 87 Sutikno 4, 17 Syamsudin 33, 102 Syamsudin, Muhamad 33
N Negara Hukum 1, 3, 4, 5, 6, 12, 16, 41, 48, 70, T Tahir, Heri 17 71, 74, 78, 81, 83, 90 Testimonium de Auditu 34, 35, 37, 41, 42, 48 Nugroho, Setio Sapto 52 Tindak Pidana Korupsi 70, 72, 74, 75, 76, 77, 79, Nurjaya, I Nyoman 69 80, 81, 82, 83, 85, 86 P U Umar, Sholehudin 33
Pejabat Daerah 70, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 85, 86 Peterson, Yan 87 Pompe, Sebastiaan 102 Pospisil, L 69 Prasetyo, Stanley Adi 69 Procedural Justice 18, 19 Progressive Law 71 Putusan Bebas 1, 2, 3, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16
W Wahjono, Padmo 17 Wignyosoebroto, Soetandyo 69 Wiradi, Gunawan 69
R Rahardjo, Satjipto 87 Ridwan 22, 33, 90, 102 Ridwan, HR 102 Rousseau, Jean Jacques 102 Rule of Law 1, 2, 5
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014
S Saleh, Moh 52 Santoso, Topo 87 Saptaningrum, Indraswaty D 102 Sengketa Agraria 53, 56, 57, 62, 65 Sengketa Tanah 18, 24, 30, 32, 60 Serikat Petani Indonesia 64, 65, 69 Shidarta 21, 22, 33 Siahaan, Maruarar 52 Sidharta, Bernard Arief 69 Simamora, Janpatar 17 Simarmata, Rikardo 69 Soedirdjo 7, 17
jurnal Desember isi.indd 330
Z Zoelva, Hamdan 52 Zohar, Danah, & Ian Marshall 87 Zuhro, Siti 69
A Abidin, A.Z. & Andi Hamzah 115 Abuse of Authority 103, 104 Agusmidah 118, 121, 134 Agusmidah, et.al 134 Ali, Achmad 115 Altman, Edward. I 171 Alwi, Hasan et.al 116 Anisah, Siti 170 Anonymous 154, 188, 194 APBN 197, 198, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212 Ardhiwisastra, Yudha Bhakti 116 Aristya, Sandra Dini F 194 Arminger, Josef 170
12/12/2014 3:53:17 PM
Armour, John & Douglas Cumming 170 Arrasjid, Chainur 170 Arto, A. Mukti 154 Asshiddiqie, Jimly 212 Athreya, Kartik, et.al 170 Ayotte, Kenneth & David A. Skeel Jr 170 Azizi, Wawan Nur 154 B Bal, Jay, et.al. 170 Bankrupt 158, 160 Bappenas 197, 201, 202, 208, 212, 217 Bastary, M. Luqmanul Hakim 155 Bintania, Aris 155 Brantingham, Patricia L 170 Bruckner, Matthew 170 Budgeting Function 197, 198 Budiardjo, Miriam 212 C Caprio Jr, Gerard & Daniela Klingebiel 171 Checks and Balances 197, 198, 199, 200, 202, 204, 205, 206, 209, 210, 211 Corruption 104, 106, 197 Creditor 158 D Damanik, Sehat 134 Daryono 174, 194 Debitor 157, 158, 159, 161, 162, 163, 166, 167, 168, 165, 169, 164, 170 Debtor 157, 158 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia 121, 134 Disparitas 173 Disparity 173 Dragu, Tiberiu et.al 212 E Equitable Remedy 160, 173, 174 F FGD 183, 185, 194 Fuady, Munir 155 Fungsi Anggaran XII, 197, 198, 199, 203, 204, 205, 206, 208, 209, 210, 211 G Garner, A Bryan 116, 171 Ginsburg, Tom 212 H Halim, A. Ridwan 194 Hamid, A.T 194
jurnal Desember isi.indd 331
Hamzah, Andi 116 Harahap, M. Yahya 94, 155 Hartanti, Evi 116 Hasim 141, 155 Heynes, Richard M 171 Hoff, Jerry & Gregory J. Churcil 171 I Insolvency 158, 160, 161 Insolvensi 157, 158, 159, 160, 161, 165, 166, 167, 169, 170 J Jackson, Thomas H 171 Juwono, Vishnu & Sebastian Eckardt 212 K Kementerian Keuangan 201, 212 Kepailitan 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 172, 216 Kepaniteraan Mahkamah Agung RI 174, 194 Komalasari, Dewi Yetty 171 Korupsi 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112, 114, 115, 198, 199, 200, 203 Kreditor 157, 158, 159, 161, 162, 163, 166, 167, 168, 165, 169, 164, 169 Krugman, Paul 171 L Lamintang, P.A.F 116 Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang 116 Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI 1994 194 Law Making Method 104 Levratto, Nadine 171 Loqman, Loebby 116 Lovells, Hogan 171 Lutz, Donald S 212 M Mahkamah Agung RI 114, 116, 174, 178, 187, 194 Ma, Jun & Yilin Hou 212 Makarao, Moh. Taufik 195 Marlina 110, 116 Martin, A., et.al 171 Martitah 123, 134 Masterman, Roger 212 Mertokusumo, Sudikno 116, 134, 195, 134, 195 Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo 116 Monetary Remedy 173, 174 Montesquieu 198, 199, 200, 212 Mujahidin, Ahmad 155
12/12/2014 3:53:18 PM
Muladi & Barda Nawawi Arief 116 Mulyadi, Lilik 116, 195 Myrdal, Gunnar 116 N Neils, Andrew 195 P Penemuan Hukum 103, 110, 113, 114, 117, 119, 123, 126, 179, 180, 193, 194 Penyalahgunaan Wewenang 103, 113, 114, 115, 199 Perceraian 137, 138, 139, 140, 141, 143, 144, 145, 148, 149, 151, 152, 153, 154 Perjanjian Kerja 117, 120, 121, 125, 126, 127, 128, 132 Perselisihan 127, 119, 132, 134, 138, 119, 128, 119, 120, 122, 123, 124, 125, X, 137, 140, 117, 140, 134, 140, 141, 143, 144, 145, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 154, 186, 199 Phipson, Sydney L 195 PHK 117, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 129, 131, 132, 133, 134 Pontier, J.A 116 Prasetya, Rudhi 171 Prinst, Darwan 195 Q Quinn, Michael 171 R Rahardjo, Satjipto 171 Rahman, A. Aisyah, et.al 171 Razak, Adilah Abd 171 Rechtsvinding 103, 104, 110, 113, 179 Roe, J. Mark & Frederick Tung 171 S Saksi 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 189, 190, 191, 208 Salam, Moch. Faisal 134 Saleh, Mohammad & Lilik Mulyadi 134 Sanusi, Ahmad 195 Sapardjaja, Komariah Emong 116 Schwartz, Alan 171 Sekjen DPR-RI 207, 208, 212 Sgard, Jerome 172 Sherlock, Stephen 212 Shubhan, M. Hadi 172 Sjahdeini, Sutan Remy 172 Skeel Jr., David A 172
jurnal Desember isi.indd 332
Soebekti 120, 121, 134 Soebekti, R & R. Tjitrosudibio 134 Soekanto, Soerjono 172 Soeriaatmadja, Arifin et.al 212 Soeroso, R 122, 134, 186, 187, 189, 195 Subekti 168, 172 Sudono 143, 155 Suharnoko 128, 135 Sukri, Muntasir 155 Sunarmi 158, 172 Susanto, Anthon F 116 Sutiyoso, Bambang 135 Suyanto, Siswo 212 Syahrizal, Darda & Rukiyah L 135 Syam, Marjohan 155 T Tenaga Kerja Asing 117, 118 the National Budget Plans 198 Turak, J. Alisha 172 U Ugo & Pujiyo 122, 135 V Van Apeldoorn, L.J 195 W Wattimena, Reza A.A 116 Wignjosoebroto, Soetandyo 172 Wijayanta, Tata, et.al 195 Wijayanta, Tata & Firmansyah, Herry 195 Wiyono 107, 108, 116 Wood, QC & R. Philip 171 Z Zulaika, Fuji Kadriah 172 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014 A Adji, Oemar Seno & Indriyanto Seno Adji 234 Ansyahrul 240, 253 Apeldoorn, L.J. Van 234 Arief, Barda Nawawi 253, 331, 332, 334 Arto, A. Mukti 234 Asikin 214, 234 Asnawi, M. Natsir 253 Asshiddiqie, Jimly 253, 328, 331, 332, 334 Attamimi, A Hamid S 328 Azhary 316, 328 B Bahagiawati 279, 293
12/12/2014 3:53:18 PM
Boskovic, Jelena V, et.al 293 C C, Anwar 328 Capital Punishment 237, 238 Case Review Request 213 Clayton, Susan D 293 Constitutional Court’s Authority 311 Constitutionality 237, 238 Constitutional Review 311 Cooney, Rosie & Barney Dickson 293 D Davis, Rachel & George Williams 309 Detik.com 309 Dirdjosisworo, Soerjono 234 Djumhana, Muhammad & R. Djubaedillah 272 F Famous Brand Name 256 Fanani, Ahmad Zaenal 234 Firmansyah, Hery 272 Firmansyah, Rachmad Maulana, et.al 309 Fuady, Munir 328, 331, 333, 334 G Garner, Bryan A 234 Genetically Modified Organisms 273 Gloppen, Siri 309 Gray, J.S. & J.M. Bewers 293 H Hadjon, Philipus M 328 Hak Asasi Manusia 237, 238, 246, 248, 249, 250, 252, 302 Hak Gugat 273, 274, 276, 278, 283, 284, 285, 289, 290 Hamilton, Alexander 309 Harahap, M. Yahya 234, 331, 333, 334 Haritz, Miriam 293 Harremoes, Poul, et.al 293 Herman, Muhammad 293 Hidayat, Arif 234 Hidayati, Nur 272 Hikmawati, Puteri 234 Hilbeck, Angelika, et.al 293 House of Lords 308, 309 HR, Ridwan 328 Human Rights 237, 238 I Idris, et.al 253 Indroharto 276, 289, 318, 328 Isra, Saldi 328, 331, 333, 334
jurnal Desember isi.indd 333
J Judicial Power 295, 296 Justice 213 K Kamil, Ahmad 253 Keadilan 213, 214, 215, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 237, 240, 241, 247, 269, 270, 271, 273, 297, 301 Kekuasaan Kehakiman 214, 295, 296, 297, 299, 301, 303, 304, 306, 309 Kelemen, R. Daniel 310 Kemanfaatan 213, 214, 217, 220, 223, 228, 229, 232, 233 Kepastian Hukum 213, 214, 217, 219, 220, 221, 223, 229, 231, 233, 237, 246, 252, 253, 260, 264, 268, 301 Kepentingan Politik 295, 299 Ketidakcermatan Hakim 273, 274, 278, 291, 292 Kewenangan Mahkamah Konstitusi 311 Khan, Mohammad Sayyar 293 Koch, Bernhard A 293 Komar, Mieke 272 Komisi Hukum Nasional (KHN) 234 Komisi Yudisial Republik Indonesia 213, 234, 235, 272, 331, 333, 335, 344 Konstitusionalitas 237, 239, 241, 242, 247, 253, 311, 313, 314, 317, 320, 321, 323 Kotler, Philip 272 Kurniasih, Dwi Agustine 272 Kusnardi, Moh & R Bintan Saragih 328 L Law Commission of India 298, 310 Lee, Maria 293 Legal Certainty 213, 238 Linan, Anibal Perez & Andrea Castagnola 310 Lotulung, Paulus Effendi 328 M Mahfud MD, Moh 328 Mahkamah Agung 214, 215, 216, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 230, 234, 235, 237, 238, 241, 244, 245, 253, 255, 262, 253, 256, 262, 264, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 283, 295, 297, 298, 300, 301, 302, 303, 304, 308, 310, 316, 317, 339 Mahmuzar 314, 328 Malleson, Kate 310 Mamahit, Jisia 272
12/12/2014 3:53:19 PM
Manan, Bagir 234, 328, 332, 333, 335 Margono, Suyud & Amir Angkasa 272 Marwiyah, Siti 272 Mc. Carthy, J. Thomas & Pereault, Cannon 272 M. Echols, John & Hassan Shadily 234 Merek Terkenal 255, 261, 262, 267, 268, 269 Mertokusumo, Sudikno 328, 332, 333, 335 Miao, Jin, et.al 293 MINDNEC 281, 293 Moeljatno 219, 234 Mulyadi, Lilik 253 Mulyosudarmo, Suwoto 328 Munthe, Christian 293 Muqoddas, Busyro 234 N Negligent Judges 273 Nursyamsi, Fajri 310 O OECD 279, 280, 286, 293 Oliver, Melvin J, et.al 293 Organisme Transgenik 273, 274, 278, 279, 289, 291 OSPAR 281, 293 P Pangaribuan, Luhut M.P 253 Passing Off 255, 256, 257, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 268, 269, 271 Pendaftaran Merek 255 Pengujian Peraturan Perundang-undangan 311, 327 Peninjauan Kembali 213, 215, 216, 222, 223, 224, 225, 229, 245, 247, 248, 268, 289 Perppu 311 Pidana Mati 237, 238, 244, 245, 246, 247, 251, 252, 253 Poerwadarminta, W.J.S 234 Political Interest 296 Pompe, Sebastiaan 310, 332, 333, 335 Precautionary Principle 273, 274, 275, 278 Prinsip Kehati-hatian 215, 233, 273, 274, 275, 278, 280, 281, 283, 288, 289, 291 Purba, Achmad Zen Umar 272 R Radbruch. Gustav 234 Rahardjo, Satjipto 234, 253, 272, 253, 272, 332, 333, 335, 234, 253, 272, 332, 333, 335, 234, 253, 272, 332, 333, 335, 234, 332, 333, 335 Ranuhandoko, I.P.M 234
jurnal Desember isi.indd 334
Recruitment of Supreme Court Judges 295, 296 Rekrutmen Hakim Agung 295, 300, 302, 303, 304 Renn, Ortwin 294 Rondonuwu, Diana E 234 S Saidin, OK 272 Sanusi, Arsyad 234 Seralini, Gilles-Eric, et.al 294 Sharples, FE 294 Sihombing, Herman 328 Soehino 314, 316, 328 Soeprapto, Maria Farida Indrati 328 Soeroso 218, 235 Strauss, David A & Cass R. Sunstein 310 Sudarmanto 264, 272 Suhariyanto, Budi 254 Sunstein, Cass R, et.al 310 Suny, Ismail 329 Suparman, Eman 235 Suseno, Franz Magnis 329 Susilowati, Etty 272 Sutiyoso, Bambang 254 T The Government Regulation in Lieu of Law 311 The Right to Sue 273 The Venice Commission (European Commission for Democracy Through Law) 310 Tjiptono, Fandy 272 Trademark Registration 256 U Umar, Ahmad Zen 272 Utility 213 W Wahyuni, Erma, et.al 272 Wantu, Fence M 235 Wardi, Moh 235 Wasito, Wiwik Budi, et.al 310 Widanti, Agnes 235 Wiko, Garuda 235 Winarno, Nur Basuki 329 Witanto, Darmoko Yuti 254 Witanto, Darmoko Yuti & Arya Putra Negara Kutawaringin 254 Witanto, D.Y 235 Z Zulfa, Eva Achjani 254
12/12/2014 3:53:19 PM
ISSN 1978-6506
Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Mohamad Nasir, S.H., M.H.
5.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.
jurnal Desember isi.indd 335
12/12/2014 3:53:19 PM
jurnal Desember isi.indd 336
12/12/2014 3:53:19 PM
BIODATA PENULIS Nur Agus Susanto, lahir di Demak pada tanggal 1 Agustus 1979. Menyelesaikan sarjana strata satu di Fakultas Hukum UMY pada tahun 2002 dengan predikat lulusan terbaik, dan melanjutkan pendidikan strata dua di Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta tahun 2006-2008 melalui Program Beasiswa Mahasiswa Unggulan Depdiknas. Pernah bergabung THE RIDEP INSTITUTE, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang penelitian keamanan, militer, dan perdamaian, sebagai associate researcher pada tahun 2002-2004. Selanjutnya, bekerja sebagai wartawan di tabloid dan harian KONTAN, kelompok Kompas Gramedia, sejak 2004-2009. Semasa bekerja sebagai jurnalis pernah mendapatkan penghargaan dari Bank Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia. Pengalaman organisasi tercatat pernah sebagai President Student English Activity UMY, Ketua Umum Senat Mahasiswa FH UMY, dan Ketua Penelitian Mahasiswa UMY. Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan magister hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti bidang hukum dan peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail
[email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekertariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, lahir di Sleman, Jawa Tengah,tanggal 13 Februari. Menyelesaikan studi pada program strata satu di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 2004 dengan konsentrasi Hukum Perdata. Selanjutnya pada tahun 2006 melanjutnya studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Dikti. Bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Lampung sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. Mengampu mata kuliah: Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Hukum HKI, Hukum Acara Perdata. Di Universitas Tulang Bawang Lampung pernah menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dan sekarang menjabat sebagai Kepala Program Studi Hukum pada Fakultas Hukum. Pada tahun 2013 sampai sekarang penulis juga menjadi Anggota Senat Universitas Tulang Bawang Lampung. Penulis aktif melakukan berbagai kegiatan penelitian baik dana internal UTB Lampung maupun dana eksternal dari DIKTI. Penelitian yang pernah dilakukan diantaranya Implementasi Perda No. 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung dalam Rangka Perlindungan Kain Tapis Sebagai Traditional Knowledge (Studi di Raswan Tapis) yang dilaksanakan pada tahun 2013 dana bersumber dari Hibah Internal UTB Lampung. Penelitian selanjutnya adalah Model Kebijakan Perlindungan Terhadap Komoditi Lada Hitam (black pepper) Sebagai Indikasi Geografis (Studi di Provinsi Lampung) pada tahun 2014 dana bersumber dari Hibah Desentralisasi DIKTI. Selain kegiatan penelitian, penulis juga aktif melakukan kegiatan pengabdian sesuai tridharma perguruan tinggi. Di samping itu, juga aktif mengikuti berbagai
jurnal Desember isi.indd 337
12/12/2014 3:53:19 PM
pelatihan, seminar, lokakarya, serta menulis artikel yang dimuat di beberapa jurnal nasional. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected]. Loura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, adalah Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai konsultan hukum bidang infrastruktur dan transportasi di Konsultan Hukum Bahar & Partners. Aktif sebagai penulis dalam artikel ilmiah, diantaranya adalah (1) E-Voting: Kebutuhan vs Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi (diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011); (2) Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi (diterbitkan di Jurnal Yudisial Volume 5 No. 2 Tahun 2012); dan (3) Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi (diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 2 Tahun 2012). Selain itu turut berperan dalam menulis artikel di Getting The Deal Through – Air Transport pada bagian Negara Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2014. Giri Ahmad Taufik, Sarjana Hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 2005 kemudian melanjutkan pendidikan program magister-nya di University of Melbourne pada tahun 2009 dan berhasil mendapatkan gelar Master of Law (LLM) pada tahun 2010. Pengalaman kerja meliputi, asisten pengajar FH Unpad pada bagian Hukum Tata Negara (2005-2008), saat ini bekerja sebagai Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Fokus topik-topik kajian ilmu hukum meliputi, Hak Asasi Manusia, Legislasi, dan Konstitusi Ekonomi. E-mail: giri.taufik@ pshk.or.id. Zairin Harahap adalah dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, dengan pangkat Lektor Kepala (IVB). Menyelesaikan S1 (SH) di FH UII dan S2 (M.Si) di UGM. Saat ini sedang menyelesaikan S3 (Doktor Ilmu Hukum) di FH UII. Telah menulis beberapa buku dan artikel di jurnal dan media massa. Menjadi narasumber dalam berbagai seminar, diskusi, dan bimbingan teknis, khususnya di bidang hukum administrasi, legal drafting, dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Di samping itu, juga sering diminta menjadi tenaga ahli dalam pembuatan naskah akademik dan draft rancangan produk hukum daerah. Pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi, Pembantu Dekan III, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum, dan Direktur LKBH FH UII.
jurnal Desember isi.indd 338
12/12/2014 3:53:19 PM
PEDOMAN PENULISAN Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial pada bulan April, Agustus, dan Desember. Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial. FORMAT NASKAH 1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris 2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. 3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA NASKAH Judul Naskah Judul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:
PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK Kajian Putusan Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg
IMPOSING PENAL SANCTIONS FOR CRIMES COMMITED BY KIDS An Analysis of Decision Number 50/Pid.B/2009/PN.Btg
jurnal Desember isi.indd 339
12/12/2014 3:53:20 PM
Nama dan Identitas Penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Nama penulis dilengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:
Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440, E-mail
[email protected].
Ilyasa Sitanggang & Ibrahim Pelupessy Fakultas Hukum Universitas Yudisial Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450 E-mail:
[email protected] &
[email protected]
Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah kata masing-masing antara 150 s.d. 200 dalam satu paragraf dengan jarak satu spasi. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). I.
PENDAHULUAN
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. Pertimbangan majelis terkait permasalahan yang akan disorot wajib dijadikan bagian dari latar belakang. Nama–nama para pihak dan majelis hakim yang dikutip dari putusan, ditulis dengan inisial. Pendahuluan harus memberi pengantar yang cukup bagi masalah yang akan dirumuskan. II.
RUMUSAN MASALAH
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan (maksimal tiga pertanyaan).
jurnal Desember isi.indd 340
12/12/2014 3:53:20 PM
III. STUDI PUSTAKA Subbab ini memuat tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. IV. ANALISIS Subbab ini memuat analisis yang harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. V.
SIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.
VI. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka harus terdiri dari referensi yang digunakan sebagai acuan naskah, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan berjumlah minimal 15 referensi. Untuk kemutakhiran, pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer (bukan mengutip dari sumber kedua). Pengacuan pustaka harus dari situs ilmiah yang kredibel dan bukan berasal dari blog pribadi. PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut: Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Abdi, Mualimin. 2012. “Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9 No. 4. Hlm. 535-546.
jurnal Desember isi.indd 341
12/12/2014 3:53:20 PM
Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010.
. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel. PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected] Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Ikhsan Azhar (085299618833); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.
jurnal Desember isi.indd 342
12/12/2014 3:53:20 PM