Lega Sekaligus Luka Posted by Rien on 07 : 56 PM in Mr.R Apa yang membuat kabut sejak kemarin malam simpang siur menari-nari di luar kaca jendela mobil? Apa yang membuat udara menjadi begitu dingin seolah membeku bagai di kutub utara padahal dia hanya mengalami turunnya hujan? Lalu apa yang membuat badannya terasa ringan saat usai mengerjakan satu ujian berat selama dua setengah jam di ruang kelas bercahaya tak terang itu? Dia merasa lega, sekaligus luka Lega dengan beban akademis yang terangkat Namun luka karena dia tahu, mungkin dia tidak akan menjumpai pemandangan indah itu lagi Kabut pun semakin memapat, merangkap menjadi satu membentuk kesenduan yang sangat di hati sang kehilangan Paradigma yang seringkali berbicara, kini benar adanya Yang ditunggu pun tak kunjung datang ®®® Gadis itu berjalan tergesa menuju taman kampus itu. Hatinya berdegup kencang, dan pikirannya mulai membayangkan yang bukan-bukan. Seringkali dia menepis harapan itu, karena dia takut jatuh dan sakit. Sementara itu, di waktu yang sama, di tempat berbeda... Laki-laki itu sedang memetik gitarnya, memainkan sebuah nada dengan lirik yang sederhana, lirik dari lagu kesukaannya yang ingin dipersembahkannya kepada sang gadis, memainkan lagu dari Mew berjudul White Lips Kissed.
Laki-laki itu mengamati kamar kosannya yang berantakan, sambil terus memetik nada romantis itu dari gitar kesayangannya. Dia masih menimbang, masih memutuskan... bagaimana harus bersikap. Ini kali pertamanya, ini pengalaman pertamanya, dia masih merasa gugup. Masih ingin menjaga imagenya. Sementara dari ponselnya sudah datang beberapa telfon masuk, terutama dari teman-temannya yang ingin menanyakan kemajuan yang akan didapatkannya hari ini. Dan telfon yang dia takutkan.... Telfon itu... baru saja masuk, namun dia mendiamkan. Tidak mengangkatnya. Kini dia mengganti nada lagu itu, setelah memutuskan sesuatu. Memainkan lagu lain, dengan intro dan nada yang sendu. Dia, masih tak yakin dengan perasaannya ini. I’ll take a quiet life, a handshake of carbon monoxide No alarms and no surprises Silent, silent This is my final fit, my final bellyache with No alarms and no surprises
-Radiohead ( No Surprises)-
Gadis itu duduk di kursi taman, memandang simbol kebanggaan kampus yang berada di tengahtengah taman. Simbol makara dalam tubuh silvernya, yang angkuh berdiri di atas kolam yang didesain khusus
untuknya. Namun dia tidak bisa menikmati kecantikan makara itu saat ini. Dia sedari tadi sibuk menekannekan tombol ponselnya. Mengulangi mengontak orang yang ditunggunya. Dahinya penuh peluh. Hatinya ingin menangis. Namun yang ditunggunya, tak kunjung datang. Padahal.... sudah lelah dia mencintainya... Sudah banyak yang terjadi, bahkan di Paris sekalipun. ®®®
1st Feeling -2008Jantungku berdegup kencang, kala terbangun. Hari sudah menunjukkan pukul setengah 5 pagi, dan azan Shubuh mulai berkumandang dari kejauhan. Tapi aku tidak bisa menepis kekhawatiran yang bersemayam di hatiku saat ini. Aku serasa terpaku, terpana sambil memandang ke ranjang yang terbalut seprei berwarna merah marun favoritku itu. Peluh bercucuran dari dahiku, anehnya aku tidak sanggup menghapus, dan membiarkan peluh itu menetes dan membasahi piamaku. “Mimpi apaan tuh?” gumamku perlahan, masih merasa shock. Aku tidak mengerti dengan mimpi ini, sangat tidak mengerti. Terutama dengan ketidak wajaran bahwa laki-laki itu tiba-tiba saja hadir di mimpiku. Laki-laki yang juga teman seangkatanku di kampus jurusan Manajemen. Laki-laki yang tidak begitu aku kenal. Laki-laki itu bernama Ryan Aditya, orang yang dijuluki macan kampus di fakultas ekonomi tempat aku berkuliah saat ini. Laki-laki berwajah manis keturunan jawa sunda yang jenius dan selalu mampu mengambil hati dosen karena kejeniusannya membabat habis semua pelajaran dengan nilai A. Laki-laki yang terkenal cool, suka menolong, dan rendah hati yang ada di kampus itu. Laki-laki yang tidak pernah mengenal cinta dan pacaran selama dua puluh tiga tahun umurnya berjalan. Setidaknya itu yang aku dengar, dari
lingkungan anak kampus yang tidak berhenti bergosip apa saja. Dan yah… karena dia begitu terkenal. Kabarnya, semua wanita yang mendekatinya ditanggapinya dengan dingin, karena semuanya dia anggap teman. Ryan seolah tidak sekalipun tertarik untuk menjalin hubungan. Walaupun teman-temannya sudah menjodohkannya dengan beberapa kandidat, sayangnya dia sama sekali tidak tertarik. Aku sama sekali tidak mengenalnya, in person maksudnya. Karena aku merasa tidak pernah sekelas dengan pria ini. Tentu saja, lagi-lagi menurut gossip yang aku dengar jadwal dan penjurusan yang Ryan dan aku ambil berbeda. Terlebih, sewaktu awal masuk kampus ini Ryan tidak mendapatkan matrikulasi dari jurusan D3nya dahulu. Sementara aku, mendapat dua matrikulasi untuk mengambil penjurusan manajemen di kampus ekstensi Ekonomi UI Depok ini. Walaupun pada dasarnya Ryan dan aku juga berada dalam satu almamater diploma yang sama, di sekolah Tinggi Akutansi Negara, tapi penjurusan Ryan yang Accounting dan aku yang Actuary, rupanya lebih memiliki kecocokan di bidangnya saat memasuki ekstensi kampus Ekonomi UI ini. Tipe STAN yang diambil pun berbeda. Aku di STAN non kedinasan di Kebayoran Baru, dan Ryan di STAN kedinasan di Bintaro, tetap saja aku tidak akan pernah mengenal dia dikarenakan domisili kampus yang berbeda. Kecuali memang tak sengaja pernah bertemu sebelumnya saat wisuda STAN di Jakarta Convention Centre beberapa tahun yang lalu. Hal itu juga terjadi di kampus ini. Meskipun aku dengannya berada pada satu atap, namun jurusan
yang dia dan aku ambil, berbeda. Penjurusan Ryan adalah manajemen bisnis, dan aku mengambil manajemen Small Medium Enterprise, membuat jadwal bertemu di kelas yang sama antara aku dan Ryan semakin mustahil. Aku dengannya tidak saling mengenal, apalagi berinteraksi secara langsung satu sama lain. Terlebih, aku juga sudah punya kekasih. Surya Hardi namanya. Lebih mustahil lagi untukku menyimpan perasaan terhadap Ryan, apalagi sampai memimpikannya seperti malam ini. Hubungan aku dan Surya saat ini memang sedang tidak berjalan lancar, namun aku sama sekali tidak memikirkan Ryan, dalam otak maupun batinku. Sekali lagi, aku tidak mengenalnya. dan wajah ataupun kemampuan yang dimiliki Ryan sama sekali tidak menarik hatiku. Untukku, laki-laki yang terlalu jenius itu pasti nerd, aneh, dan tidak bijaksana. Walaupun banyak yang bilang dia rendah hati dan sebagainya, buatku laki-laki yang terlalu jenius tetaplah aneh. Entah kenapa, setelah mimpi itu. Pandanganku terhadapnya jadi berubah, tepatnya setelah selanjutnya dan hari-hari selanjutnya aku memperhatikannya. Dan ternyata, tidak hanya perubahan pandanganku terhadap Ryan yang hadir setelah datangnya mimpi itu. Tapi berbagai kejadian yang datang, secara perlahan namun pasti. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, setelah datangnya mimpi itu. Kejadian yang akan mengubah hidupku selamanya. ®®®
Esoknya, kampus FEUI... Ira terperangah mendengar cerita Rien. Setelah itu tertawa geli, masih tak percaya. “Gila nggak nyangka... loe jadi ikutan antri buat ngerebutin cinta si macan kampus itu!” komentarnya sambil terkekeh. Rien mengerutkan dahi dan menunjukkan ekspresi tidak suka pada Ira. “Kata siapa gue mau ikutan ngerebutin dia. Gue masih sayang sama Surya kok! Ngaco loe ra, gue kan masih punya cowok... masa loe lupa!” Ira terkekeh, “Iya neng. Sabar dong. Gue kan cuma becanda, kok loe jadi emosian gitu sih?” Rien terdiam sejenak, sebenarnya dia perlu wadah untuk mencurahkan isi hatinya tentang kelelahannya terhadap Surya. Sebenarnya sudah beberapa minggu belakangan konsistensinya untuk melepaskan Surya semakin kuat saja mendominasinya. “Sorry... gue bo‟ong deng. Sebenernya gue udah capek sama Surya, ra” ujar Rien mulai bersuara, berharap bisa melapangkan gundah hatinya walaupun sedikit dengan ritual curhat ini. Ira tidak mendengar Rien, dia sibuk memakan mie pangsitnya yang tinggal sedikit, hal itu juga dikarena suara Rien yang agak melemah kala mengatakan kalimat ini. Sementara kantin kampus semakin penuh saja hari ini, dan suara Rien teredam oleh hiruk pikuk suara-suara mahasiswa ekstensi yang siap menyambut aktivitas perkuliahan yang dimulai pukul tujuh malam hingga pukul sembilan malam itu. “Eh... liat Rien. Arah jam sebelas!” tiba-tiba Ira berteriak, yang spontan membuat Rien terkejut dan menolehkan wajahnya ke arah yang disebutkan Ira. Ryan, dan teman-temannya baru memasuki
kantin kampus. Laki-laki itu mencari-cari tempat duduk, memandang ke sekeliling kantin sebelum masuk ke dalam, dan mencari tempat kosong untuknya duduk. Rien terus menatapnya tanpa berkedip. Seketika, mimpi itu kembali berulang dalam pikirannya. Dan dia merasakan kupu-kupu yang datang di perutnya... menggelitiknya. Perasaannya cerah, jantungnya berdegup kencang... sama seperti yang selalu dirasakannya kala sedang jatuh cinta. Tiga, dua, satu... Rien menggunakan parameternya untuk menghitung gerak mata Ryan yang menelusuri kantin. Dan prediksinya tepat... Ryan kini memandang ke arahnya. Menatapnya.
1st Feeling Posted by Rien on 11 : 45 PM in Mister R Saya nggak sanggup melihat matanya. Saya juga tidak mengerti bagaimana bisa ‘rasa’ itu datang pada saya. Saya hanya mengenalnya selewat saja. Seorang pria dengan julukan macan kampus itu. Seorang pria dengan otak jenius itu. Yang secara tiba-tiba mengguncang batin saya saat itu. Hanya karena mimpi semalam. Rien gelagapan, dia langsung menunduk. Entah kenapa jantungnya berdegup tak karuan saat mata Ryan menatap matanya secara langsung. Tak sengaja lengannya menyenggol teh botol yang berdiri di sampingnya, menyebabkan isi teh botol yang tinggal separuh itu tumpah, untung botolnya tidak sampai
terjatuh. Ira melihat kejadian itu dengan heran, sambil membantu Rien mendirikan botol teh itu. “Loe kenapa sih?” tanya Ira, heran. Namun Rien tidak mendengar pertanyaan itu, kala dia menyadari bahwa Ryan masih menatap ke arahnya saat ini. Rien juga tidak menggubris lengan kaosnya yang basah akibat teh botol itu. Karena Ryan masih melihatnya. Perasaan gede rasanya membuncah, dan Rien langsung pasang gelagat yang terkenal dengan sebutan : jaga image. Entah kenapa, pada saat Rien sudah mulai memasang gaya yang biasanya selalu membuat para pria terpukau oleh kecantikannya itu, Ryan justru mengalihkan pandangannya ke arah lain, bersikap acuh dan kemudian bersama dengan teman-temannya masuk ke dalam kantin. Sayangnya, mereka mengambil sisi lain kantin, yang tentu saja jauh dari tempat Rien berada. Hingga waktu jeda hingga waktu mulainya perkuliahan, Rien tidak menemukan keberadaan Ryan di kantin itu. Rien langsung muram, “Pesona gue nggak mempan, ra” Ira tertawa, “Loe terlalu jaim, say” “Terlalu jaim gimana?” Rien mengambil teh botolnya yang kini tinggal seperempat dan menyeruputnya sampai habis, penuh emosi. Baru kali ini ada pria yang terang-terangan menolak pesonanya. “Buat dia, mungkin loe terlalu jaim. Tapi buat cowok-cowok lain, elo bidadari. Nah nih contohnya…. Yang lagi jalan ke sini nih” Denis Rivaldi. Laki-laki yang tidak henti berusaha mendekati Rien di kampus sejak semester awal hingga saat ini sudah memasuki semester akhir.
Denis, berjalan penuh gaya menuju Rien. “Rien, hai… pa kabar kamu? Tambah cantik aja hari ini” sapa Denis, penuh rayuan, penuh pujian yang justru malah memuakkan Rien. Denis menaruh lengannya di meja mendekatkan wajahnya ke wajah Rien, yang refleks menjauh dengan ekspresi geli dan muak. Rien tidak menjawab, saling memandang penuh arti dengan Ira. Dia benar-benar ingin sekali pergi dari tempat itu. Mengetahui sapaannya tidak disambut, Denis berpaling ke arah Ira. “Hai raa…” dia menyapa Ira, untuk sekedar distraksi, dan untuk menunjukkan pada Rien bahwa dia bisa membaur dengan kehidupan Rien. Ira sudah mengenal gelagat ini, dia tidak peduli dan menyibukkan diri dengan mie pangsitnya yang tinggal sedikit. Denis sebenarnya sudah tahu Rien mempunyai kekasih. Semua info tentang Rien didapatkannya dari facebook. Tapi dia tidak pernah menyerah, bahkan rela menjadi orang kedua bagi Rien. Setidaknya seperti yang dikatakannya pada Rien usai menyatakan cinta yang kesekian kalinya dan ditolak kesekian kaliannya oleh Rien sebulan yang lalu. Hampir tiap hari Denis menelfon Rien, dan skalanya lebih dari orang minum obat, lebih dari tiga kali sehari, demi untuk melepaskan rasa rindunya pada Rien. Namun sayangnya, Rien tidak pernah mengangkat. Nihil respon dari Rien untuk Denis. Bahkan Denis juga rela memilih dosen dan jurusan yang sama dengan Rien demi untuk bisa bersama-sama terus dengan Rien. Laki-laki ini akan mencari info sebanyak mungkin tentang kelas dan dosen yang diambil Rien pada saat pengisian IRS secara online.
Konyolnya lagi, Denis selalu meminta Rien untuk menjadi salah satu teman kelompok presentasi di setiap mata kuliah yang mengharuskan adanya presentasi dan tugas kelompok. Jika Rien menolak dan kelompok sudah dibentuk, Denis akan melobi satu orang anggota kelompok Rien untuk switch dengan kelompoknya, agar dia bisa satu kelompok dengan gadis itu. Di kampus, Denis Rivaldi sudah terkenal sekali sebagai laki-laki tampan, metroseksual, yang digilai para wanita, namun rela menjadi hamba bagi seorang Rien Mangkuharjo. Laki-laki ini begitu terangterangan mencintai Rien. Tidak sekali dua kali Rien dilabrak oleh wanita-wanita berbeda yang menyukai Denis, namun dalam dua bulan sekali selalu saja ada wanita yang mencegat dan memprotesnya ketika Rien sedang berada di kampus. Rien pernah dilabrak dengan cara halus ataupun secara langsung sampai diiringi makianmakian kasar dan bentakan-bentakan yang memekakkan telinga. Denis sepertinya punya banyak fans dari berbagai kampus di universitas itu. Setelah itu Rien akan gantian memarahi Denis habis-habisan, dan sehari sesudahnya aka nada kiriman parcel berisi makanan ataupun cokelat favorit Rien sebagai permohonan maaf. Selalu seperti itu, Denis selalu menyulitkannya. Tapi Denis tidak pernah ingin berhenti memperjuangkan cintanya, meskipun Rien sudah muak dengannya. Denis seolah terhipnotis oleh Rien, seolah diguna-gunai Rien. Guna-guna...salah satu hal yang sering membuat Rien merasa terfitnah. Banyak orang bilang, Denis diguna-guna oleh Rien, untuk mendompleng popularitasnya di kampus itu.
Padahal Rien sama sekali tidak peduli. Bahkan dia tidak mempedulikan untuk bersosialisasi di kampus ini. Dia sudah cukup puas hanya berteman dekat dengan Ira, dikarenakan waktu kuliah yang hanya malam hari, dan di pagi harinya dia hanya berada di rumah. Dia tidak peduli apakah dia popular atau anak kesayangan dosen di kampus ini, Rien sama sekali tidak peduli. Pagi hari adalah aktivitas bebas Rien, waktu untuk menulis novel-novelnya, waktu untuk mengupdate blognya, belajar untuk kuliah, atau mengikuti Karin mengikuti aktivitas bisnisnya sambil mengatur distribusi bisnis batik Laweyan milik keluarganya. Bisnis ini dirintis oleh nenek dari ibunya, dan saat ini tanggung jawab terbesar dan tampuk pimpinan tertinggi diduduki oleh ibunya Karin, sebagai pewaris satu-satunya bisnis batik Laweyan Mangkuharjo ini. Keluarganya memiliki butik batik yang berpusat di kampung halamannya di Solo, butik yang diberi nama sama dengan nama keluarga besarnya „Mangkuharjo‟ yang sudah berdiri dua puluh tahun yang lalu. Setidaknya itu aktivitas yang dilakukannya saat ini selain menjadi mahasiswa ekstensi. Kadang pun, jadwal ekstensi yang berbanding terbalik dengan jadwal perkuliahannya sewaktu Diploma dulu sering merusak ritual kesehariannya. Pada dasarnya Rien mempunyai segudang teman di tempat-tempat lain selain di kampus itu, namun anehnya, tetap saja… dia kembali mengalami hal yang sama. Bertemu dengan pria agresif yang mengganggu hidupnya. Dimanapun, di SMP, SMA,
D3, juga perkuliahan. Walaupun memang Rien akui, tidak ada yang seagresif Denis Rivaldi. Fokusnya di kampus ini hanya datang, duduk, dan pulang. Rien tidak tertarik untuk bersosialisasi di sini, bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa pintar namun egois, aneh, dengan skala persaingannya sangat tinggi. Satu-satunya orang yang paling sesuai dengannya hanyalah Ira. Selebihnya, mahasiswamahasiswa yang dinilainya jenius itu… hanya bisa memikirkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Rien sedikit alergi dengan orang-orang yang jenius. Termasuk di dalamnya Ryan. Tapi setelah mimpi itu… mimpi tentang Ryan, yang berulangkali kembali datang. Tiga kali berturutturut. Seolah menyembuhkan secara perlahan penyakit alerginya. Saat ini, Denis mengambil posisi duduk di samping Rien, masih menatap wajah Rien dengan penuh senyum. Sementara Ira, hanya tertawa geli tanpa suara melihat pemandangan yang ada di hadapannya ini. Walaupun seharusnya Ira sudah terbiasa, karena sudah hampir dua tahun, Denis melakukan hal yang sama terhadap Rien. Namun sampai saat ini pun, Ira tidak mampu menahan dirinya untuk tidak tertawa. Lucu dengan ekspresi wajah Rien yang sangat kontras dengan ekspresi wajah Denis. Rien geram dengan Ira, sedikit kesal sahabatnya itu sama sekali tidak membantu. Kemudian Rien mengambil tas kuliahnya, agar bisa cepat meninggalkan kantin itu dan tentunya menjauhi Denis. “Lho.. mau kemana kamu, Rien?” tanya Denis cemas, melihat Rien beranjak dan bersiap-siap pergi.
Rien mendelik pada Denis, “Heh! Suka-suka gue ya mau kemana kek. Hak asasi. Please deh nis… loe tahu kan gue udah punya cowok, gue sayang sama cowok gue. Jadi tolong… loe jauhin aja gue. Okay!” “Salah ya kalo setidaknya gue ingin menjalin pertemanan sama loe?” tanya Denis, yang masih duduk di bangku kantin itu, sementara Rien diikuti oleh Ira, sudah berdiri. Kesan yang terlihat, Denis benar-benar sedang meratapi dan mengemis cinta dari Rien dengan posisinya itu. Beberapa anak seangkatan yang ada di kantin dan yang duduk di posisi yang dekat dengan meja Rien menggelengkan kepala sambil membicarakan Denis dan Rien. “Salah nis… karena niat loe bukan hanya menjadikan gue teman” jawab Rien, sinis. “Karena loe nolak gue, Rien. Berkali-kali gue ditolak sama loe, gue nggak akan pernah nyerah. Masa jadi temen pun loe nggak mau, kalau memang loe nggak bisa jadiin gue pacar?” “Itu dia. Gue nggak suka orang yang nggak tulus sama gue, nis. Dan niat loe udah keliatan…. Sorry, gue nggak akan bisa jadi temen yang baik buat loe. Gue cari temen yang benar-benar tulus. Yang nggak mengharapkan pamrih dari gue. Loe mengharapkan hati gue kan, sorry…. Gue nggak bisa ngasih ke loe, nggak pernah akan bisa.” Saat ini Rien sudah benar-benar muak, oleh karenanya dia berkata dengan panjang dan tegas seperti itu kepada Denis. Semua uneg-uneg yang ingin dikeluarkan untuknya dikatakannya pada Denis saat ini. Sampai-sampai Ira pun terpana mendengarnya. Kalimat terakhir dari Rien sangat menohok Denis. Membuatnya seketika bungkam, dan
membiarkan Rien pergi meninggalkan kantin itu. Saat melangkah keluar kantin, tanpa sengaja Rien menubruk seseorang. Dia tidak lagi mengawasi jalan di depannya karena sedang diselimuti oleh emosi yang memuncak terhadap Denis. “Aduh” suara bariton itu menyadarkannya. Untung tidak ada benda yang terjatuh ketika insiden ini. Hanya saja laki-laki itu sampai oleng dengan tubrukan Rien. “Eh sorry….” sahut Rien, mengangkat wajahnya yang tadinya menunduk untuk mengetahui siapa korbannya barusan. Rupanya Ryan. Rupanya laki-laki itu yang baru saja ditubruk oleh Rien. Laki-laki yang sejak tadi membuat Rien mencari. “Eh sorry… yan” ucapnya, untuk pertama kalinya, dia memanggil Ryan dengan akrab. Entah kenapa ada hasrat yang tiba-tiba mendorong benaknya untuk lebih mengakrabi laki-laki di hadapannya ini. Rien memang sudah lama tahu sebutan kecil untuk memanggil laki-laki itu dari orang-orang yang pernah sekelas dengan Ryan. Tentunya juga, (lagi-lagi) dari anak-anak perempuan yang suka menggosipkannya dengan penuh semangat. His secret admirers. “Nggak papa” sahut Ryan, tersenyum. Namun suaranya pelan dan datar, kemudian menunduk, dan dengan cepat berjalan… mengambil arah yang berbeda dengan Rien. Padahal Rien masih ingin berlama-lama melihatnya, entah kenapa. Dia masih berdiri di sana, dan memandang kepergian Ryan, memandang punggungnya menghilang di kegelapan malam. Ira yang ada di belakang Rien hanya senyum-
senyum saja memandangi kejadian itu. Sementara Rien, merasakan lagi….hentakan di perut dan jantung hatinya. “Cuma mimpi ye?” celetuk Ira, sekaligus ingin menggoda Rien. Degupan di jantung Rien semakin cepat, wajahnya bersemu merah akibat celetukan yang menyadarkannya itu. Kemudian dengan perasaan tak karuan, Rien meninggalkan kantin itu. Diikuti oleh Ira, dan pandangan cemas Denis yang semakin menjadi kala melihat ekspresi jujur dari wajah Rien. Semburat merah itu, yang mencemaskannya. Rupanya ada saingan baru, Ryan Adit, pikirnya. ®®®