Edisi Juni - Juli 2011
GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA
Pengantar Redaksi Struktur Bea Keluar p produk minyak y sawit y yangg berlaku sampai saat ini dirasakan pelaku industri Kelapa Sawit lebih banyak dampak negatifnya, seperti disintensif untuk melakukan efisiensi, menambah beban pengeluaran dan mengurangi daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Dampak negatif ini sudah sering disuarakan baik oleh GAPKI maupun oleh pelaku industri dan sudah diberikan saran perbaikan kepada pemerintah seperi disebutkan pada artikel utama di bawah, tetapi rupanya belum ada perbaikan struktur BK yang menguntungkan bagi pelaku industri. GAPKI tidak akan berhenti menyuarakan perbaikan tentang BK ini sampai dirasakan struktur BK ini adil bagi pelaku industri kelapa sawit. Pada Newsletter edisi ini juga dimuat penerapan Inpres No 10 Than 2011 tentang moratorium pembukaan lahan baru. Disamping itu juga disajikan aktivitas GAPKI dalam upaya untuk mengatasi persoalan‐persoalan tersebut.
LAPORAN UTAMA USULAN RESTRUKTURISASI BEA KELUAR MINYAK SAWIT Kementerian Perdagangan menetapkan Bea keluar (BK) atau pajak ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk Juli 2011 sebesar 20%. Ada kenaikan BK CPO dibandingkan bulan Juni 17,5%. Pada bulan Mei 2011 lalu BK CPO ditetapkan 17,5%, tercatat bulan sebelumnya pada April BK CPO sempat mencapai 22,5% dan bulan Maret menembus angka tertinggi 25%. Harga referensi CPO untuk Juli 2011 adalah US$ 1.168,38 dengan demikian tarif Bea Keluar (BK) untuk Juli menjadi 20% atau naik dari tarif BK Juni sebesar 17,5%, k D Dirjen P d Perdagangan L Luar N Negeri ungkap Kementerian Perdagangan Deddy Saleh, beberapa waktu lalu dalam interviewnya dengan media. Pemerintah selalu berpatokan hanya pada kenaikan harga sawit.
Kenaikan harga sawit dunia selalu diikuti d dengan l langkah k h pemerintah i t h menaikkan ikk BK CPO. Hal ini dirasa tidak adil, bukan dikarenakan menolak tapi lebih kepada struktur BK CPO yang progresif ini tidak kondusif," ungkap Sekjen Gapki Joko Supriono saat berbincang dengan okezone di Jakarta. Pasalnya, kenaikan harga sawit dunia yang seharusnya dapat dinikmati petani dan pengusaha sawit menjadi berkurang karena terpotong kenaikan BK. "Kenaikan harga sawit tidak akan diimbangi dengan peningkatan margin keuntungan karena BK pun selalu naik. Di tingkat petani yang memproduksi tandan buah segar (TBS) pun begitu," lanjutnya. Adapun beberapa kritik GAPKI sebelumnya terhadap Bea Keluar (BK) Minyak Sawit, Sawit diantaranya : 1. Meredistribusi pendapatan dari produsen CPO dan petani ke konsumen (industri pengolahan produk turunan CPO). 2. Memberi proteksi sementara atau subsidi terhadap industri pengolahan produk turunan CPO yang tidak berdaya saing. saing Selanjutnya, industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi/subsidi pemerintah sehingga akan sulit berkembang. 3. Berbagai pungutan berupa PBB, PPh Pasal 22, PPN, dan retribusi sudah menjadi beban produsen CPO dan petani sehingga BK akan menambah beban. beban 4. Indonesia negara pengekspor besar: BK progresif yang mempengaruhi harga minyak sawit dunia naik sehingga mengurangi daya saing minyak sawit Indonesia terhadap minyak nabati lain. 5. Dikenakannya BK dengan tarif progresif menjadi disinsentif bagi perkembangan industri kelapa sawit nasional, karena sekalipun harga CPO tinggi para pelaku industri kelapa sawit tidak termotivasi untuk meningkatkan efisiensinya. 1
LAPORAN Lanjutan… UTAMA (lanjutan) 4. Dengan prinsip, produsen (perusahaan dan petani) lebih layak mendapatkan bagian terbesar dari lonjakan harga CPO dibandingkan negara, maka BK Opsi 1 direkomendasikan sebagai BK hasil restrukturisasi. 5. Namun demikian, opsi lainnya (2 dan 3) dapat dijadikan alternatif opsi karena masih jauh lebih baik dibandingkan dengan skema BK lebih baik dibandingkan dengan skema BK yang berlaku saat ini.
6. BK ternyata menjadi salah satu penyebab sentimen negatif (spekulasi) ekspor dan berdampak pada “kelangkaan kelangkaan CPO CPO” di pasar domestik. 7. BK menjadi atas minyak sawit (CPO) pada akhirnya membebani petani kelapa sawit karena harga TBS mengikuti harga CPO sehingga pengenaan BK ke CPO sebagian dibebankan kepada petani. Berdasarkan hal tersebut GAPKI memberikan untuk tiga opsi Bea Keluar (BK) sebagai berikut : 1. Harga CPO mulai terkena BK di atas US$ 750 per ton dan harga di atas US$ 1.250 tarif BK konstan. BK yang berlaku saat ini berdampak negatif terhadap industri hulu kelapa sawit (CPO dan TBS). Oleh karena itu, BK yang berlaku saat ini harus direvisi sehingga skema BK bisa lebih adil, adil proporsional dan mencapai sasaran/tujuan kebijakan, yaitu stabilisasi harga minyak goreng dan mendorong pengembangan industri hilir. 2. BK Opsi 1 (BK CPO ad‐valorem 5%) menghasilkan dampak negatif terkecil bagi produsen, diikuti BK Opsi 2 (BK CPO naik 1,5% dari setiap kenaikan harga US$ 50 per ton dan kelipatannya) dan BK Opsi 3 (incremental 1,5%) 3. Sedangkan Untuk produk olahan CPO diussulkan tarif Bea Keluar (BK) 0% untuk insentif restrukturisasi
Fadhil Hasan dalam seminar “Prospek Industri Sawit Nasional” Dampak BK Terhadap Daya Saing CPO Indonesia,”, di Jakarta
Peraturan Bea Keluar (BK) yang seharusnya y lebih adil,, p proporsional, p , bukan memberatkan petani dan produsen sawit.
2
BERITA PUSAT & CABANG AGENDA KERJA PENGURUS PUSAT & CABANG Diskusi Publik membahas mengenai Kebijakan Bea Keluar Untuk Siapa? “Petani Dicekik Bea Keluar”
Diskusi Publik mengenai Kebijakan Bea Keluar
Berkaitan B k i d dengan permasalahan l h Bea B Keluar K l yang yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No 223/PMK011/2008 yang dirasa sangat memberatkan petani sawit, maka Majalah Agro Farm menyelenggarakan diskusi publik dengan mengangkat tema “Petani Dicekik Bea Keluar” di Bidakara Hotel, Bima 2 Room pada kamis, (28/07) yang lalu. Pada diskusi Publik tersebut hadir sebagai narasumber : (1) Asmar Arsyad Sekjen APKASINDO, (2) Dakhri Sanusi Sekjen ASKINDO, (3) Prof.Dr.Ir.Irwandi Jamaran Ketua Umum Dewan Kelapa Indonesia, (4) Dr .Ir. Agus Pakpahan Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia, (5) Erik Satrya wardhana Komisi VI DPR‐RI, dan (6) Fadli Zon Pengamat Politik Pertanian. Pertanian Pada diskusi ini menyebutkan bahwa dalam Peraturan Menteri Keuangan No 223/PMK011/2008 ini, penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar berlaku untuk rotan (15%‐20%), kulit (15‐25%) dan kayu (2%‐15%0 serta kelapa sawit, CPO dan produk turunannya (hingga 25%). Sedangkan dalam Permenkeu No.67/PMK011/2010 No 67/PMK011/2010 barang ekspor yang dikenakan BK dan tarif juga meliputi kako (5%‐15%), dan saat ini sedang digodog rencana penerapan BK untuk kelapa. Dari perspektif kepentingan petani, kebijakan BK itu distortif, terutama karena industri hilir saat ini hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja dan ptani tidak mempunyai akses. Sehingga penerapan pe e apa BK,, d disatu satu ssisi s menyebabkan e yebab a berkurangnya pendapatan petani dari penjualan yang berorientasi ekspor, disisi lain menyebabkan harga jual TBS didalam negeri menjadi tertekan.
Penerapan kebijakan BK juga berakibat pada menurunnya produksi. d k i Akibat Akib penerapan BK ini i i TBS sawit anjlok 15,3% pada Juni 2011. menurut studi ekonometrik setiap kenaikan 1% pajak ekspor akan menurunkan produksi TBS 0,14% (koran Tempo). Jika penurunan produksi ini terus berlangsung, ditambah dengan kebijakan moratorium lahan, serta kampanye negatif dari beberapa NGO terhadap sawit Indonesia yang tidak teratasi maka runtuhnya kejayaan sawit Indonesia tinggal menunggu waktunya saja. Indonesia saat ini menjadi produsen dan eksportir terbesar sawit dunia. Kebijakan yang diambil pemerintah di sektor sawit dapat mempengaruhi harga komoditas tersebut di dunia. Oleh karena itu, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan BK, baik terhadap sawit maupun kakao, dan tidak melanjutkan rencana penerapan BK terhadap kelapa. Hilirisasi memang segera harus dilakukan, tetapi diharapkan untuk tidak membebankan biayanya kepada petani, namun hilirisasi sebaiknya juga mampu memberikan manfaat langsung kepada petani, misalnya dengan memfasilitasi petani untuk bisa memiliki industri hilir, terutama melalui koperasi Pemerintah harus memeperkuat pola inti koperasi. plasma dalam industri sawit serta mengembangkannya sampai ke industri hilir.
Diskusi Publik mengenai Kebijakan Bea Keluar
2
BERITA PUSAT & CABANG INPRES NO. 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT
Letter of Intent RI‐Norwegia adalah kesepakatan bilateral yang menyatakan kesanggupan Indonesia untuk mengurangi emisi carbon (gas rumah kaca) dari deforestasi dan degradasi, sampai 26%, dan kesanggupan Norwegia untuk mengkompensasi pengurangan emisi i i itu it dengan d memberikan b ik hibah hib h 1 milyar USD. Implikasi langsung dari LoI itu adalah moratorium hutan Cakupan moratorium yang terlalu luas, bahkan menjangkau lahan di luar kawasan hutan. Berpotensi adanya konflik diantara beberapa UU yang menjadi dasar bagi kebijakan moratorium, terutama dalam kaitannya dengan perencanaan tata ruang (RTRWP), (RTRWP) yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Sesungguhnya rakyat Indonesia, terutama yang menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada alam (petani, nelayan dll) lebih membutuhkan program‐program adaptasi terhadap perubahan iklim, supaya bisa survive menghadapi berbagai akibat buruk dari perubahan iklim tersebut. tersebut Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan program adptasi ketimbang program mitigasi perubahan iklim. Kebijakan moratorium yang diterbitkan dalam bentuk Inpres dalam hal ini Inpres No.10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primerdan Lahan Gambut, masih belum dapat dikatakan solid. Hingga saat ini kritik oleh LSM terhadap produk hukum berupa Inpres ini masih bermunculan di media massa.
Masih ada potensi resiko dan ketidakpastian h k hukum d dan yang berdampak b d k negatif if terhadap h d iklim usaha dan investasi kelapa sawit di Indonesia. Penerima Inpres berperan penting dalam menjaga kepastian hukum yang diperlukan agar iklim usaha dan investasi kelapa sawit kondusif. Dengan tidak mencabut izin yang sudah terlanjur diberikan dan penundaan pemberian izin untuk yang baru, baru maka kebijakan moratorium hutan melalui Inpres ini pada dasarnya telah berorientasi pada kepentingan nasional, berada di dalam dan tunduk pada sistem hukum dan perundang‐undangan, sistem sosial dan sistem ekonomi Indonesia. Dengan kebijakan moratorium melalui Inpres tersebut, Indonesia bisa menyelamatkan hutannya hutannya. Pada saat yang sama, kelapa sawit Indonesia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan serta kekurangan lapangan pekerjaan. Kebijakan moratorium melalui Inpres ini diharapkan mampu memperbaiki ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada resiko dan ketidakpastian investasi dan usaha. usaha Harapan dunia usaha setelah moratorium berjalan 2 tahun (sesuai dengan yang tercantum dalam LoI), adalah kepastian usaha baru untuk memperoleh izin usaha baru. Sejalan dengan tuntutan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan, pelaku dunia usaha bidang kelapa sawit akan mendukung kebijakan pemerintah pe e ta menerapkan e e ap a sta standar da keberlanjutan ebe a juta seperti ISPO ataupun RSPO. GAPKI berketetapan untuk ikut mengawal implementasi dari Inpres ini. Pra Konvensi RSKKNI (Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia B d Badan P Penyuluhan l h d dan pengembangan b S b Sumber Daya Manusia Pertanian, menyelenggarakan acara Pra konvensi RSKKNI (Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang berlangsung pada tanggal 17‐29 Juli 2011 lalu, membahas untuk mendapatkan pengakuan dan legalitas dari stakeholder terkait sebelum ditetapkan sebagai SKKNI. Acara ini sukses berlangsung di Jl. Jl KH. KH Ahmad Dahlan Simpang Lima, Lima Semarang Jawa Tengah.
3
PENGELOLAAN INDUSTRI SAWIT
Pindah Cara Cabutan Pada Pembibitan Kelapa Sawit Luas sistem perakaran berpengaruh kepada k t h ketahanan t tanaman t h d terhadap k k i kekeringan (H j di (Harjadi dan Yahya, 1988). Dalam praktek di lapangan, ketersediaan tenaga penanam yang terbatas dan jauhnya lokasi kebun yang akan ditanami dapat menyebabkan penundaan tanam selama beberapa hari dan merupakan spek yang patut diperhitungkan serta diteliti tentang seberapa besar pengaruhnya terhadap keberhasilan hid hidup d dan pertumbuhan. t b h A bil tanam Apabila t pindah i d h dengan cara cabutan dan penundaan tanam dapat memberikan hasil yang baik dengan pertumbuhan yang dapat mengimbangi pertumbuhan bibit yang ditanam pindah dengan cara konvensional, maka terbuka kemungkinan untuk dapat diterapkan baik oleh perkebunan maupun petani. Untuk menghasilkan bibit yang baik sebagai bahan tanaman yang akan ditanam di lapangan, sistem pembibitan kelapa sawit telah mengalami kemajuan yang sangat berarti. Sistem pembibitan yang saat ini dilakukan yaitu sistem pembibitan dua tahap (pendahuluan dan utama) dan pembibitan tunggal (sejak awal menggunakan polibag besar dan tanpa tanaman pindah). pindah) Seiring dengan peningkatan kebutuhan bibit terutama bagi petani dengan luas kebun yang terbatas dan lokasi kebun yang jauh dari pembibitan mengakibatkan biaya dan tenaga untuk mengangkut bibit menjadi beban yang cukup berat bagi perkebunan maupun petani. Tanam pindah (transplanting) dari pembibitan pendahuluan ke pembibitan utama dengan cara cabutan dapat dilakukan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas. Tanam pindah dengan bibit cabutan mengakibatkan tanaman mengalami kerusakan akar atau pindah tanam tertunda yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhenti untuk sementara (Hartman dan Kester, 1986) dan pertumbuhan akan kembali normal ketika cekaman ((stress)) hilang. g Kerusakan akar mengakibatkan luas permukaan serap akar berkurang dan akhirnya mengakibatkan fungsi akar terganggu.
Oleh : Dosen Jurusan Budidaya Pertanian J y Faperta IPB. Alumnus Jurusan Budidaya Pertanian Faperta IPB.
4
DATA & AGENDA Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia P d k i Mi k K l S it I d i 2001 2010 Indonesia dan Malaysia menghasilkan 85 persen dari produksi global. Walaupun terdapat indikasi rendahnya produktivitas, Perkebunan Rakyat (PR) menyumbang cukup signifikan bagi produksi minyak kelapa sawit nasional dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 kontribusi Perkebunan Rakyat (PR) dalam 2010, produksi minyak kelapa sawit nasional sekitar 39% sebagai mana terlihat pada tabel produksi minyak kelapa sawit Indonesia di atas. Tahun
Produksi (ribu ton) PBN % PBS
PR
%
1980
1
0,14
499
69,21
221
1990
377
15,62
1.247
52,68
789
2000
1.906
27,22
1.461
20,87
3.634
2007
6.358
35,99
2.117
11,98
9.190
2008
7.105
37,01
2.295
11,95
9.800
2009
7.976
37,8
2.495
11,60
2010
8.579
39
2.306
11
11.04 0 11.01 5
% 30,6 5 32,7 0 51,9 1 52,0 2 51,0 4 51,3 2 50
Nasion al
721 2.413 7.001 17.66 5 19.20 0 21.51 1 21.90 0
Sumber : Kementerian Pertanian RI, Pusat Data Infosawit 2010
Produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat secara konsisten untuk memasok pasar‐pasar utama, termasuk Uni Eropa, Cina, Pakistan, dan India. Produksi minyak kelapa sawit Indonesia melampaui Malaysia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar sedunia, tepatnya pada tahun 2007 (Gambar 1).
Gambar 2. Data Produksi Sumber : Oil World, 2010
Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2010 melonjak melampaui produksi pada tahun 2009 yang mengindikasikan kuatnya permintaan dunia. p Produksi minyak sawit pada tahun 2011 diperkirakan melebihi 22 juta ton. Lebih dari 16 juta ton akan diekspor ke luar negeri yang mengindikasikan kuatnya permintaan dunia Investasi kelapa sawit diperkirakan masih diminati pengusaha karena tantangan dapat diatasi, peluang makin besar dan permintaan minyak nabati khususnya minyak sawit masih akan tinggi di masa mendatang.
Gambar 1. Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia
5
DATA & AGENDA
Di tengah t h berbagai b b i dispute di t tentang t t t t batas tata b t hutan dan review RTRWP, yang banyak diakibatkan oleh konflik horisontal dan vertikal di dalam tata hukum dan perundang‐undangan yang melandasinya, maka kebijakan moratorium yang tidak solid hanya akan memperluas ketidakpastian hukum dan menghancurkan iklim usaha dan investasi, baik di sektor kehutanan maupun sektor‐sektor lainnya yang terkait. Inpres NO. 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut tersebut tidak seluruhnya mengakomodir aspirasi industri sawit di Indonesia dimana usulan agar moratorium dibatasi untuk k kawasan k h hutan tertentu saja. j Untuk APL, hutan sekunder dan Lahan Gambut kurang dari 3 meter dari permukaan dibebaskan dari moratorium. Jika APL dimasukkan ke dalam moratorium maka degraded forest harus bisa digunakan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sehingga dalam hal ini moratorium tidak memberi d dampak k buruk b k bagi b i produksi d k i kelapa k l sawit it di Indonesia.
dan lemak d l k nabati, b ti tahun t h 2009/2010 menjadi j di 27,7% (2 kali lipat), jauh melebihi konsumsi minyak nabati lain.
Gamabar 4
AGENDA MENDATANG 7th INDONESIAN PALM OIL CONFERENCE AND 2012 PRICE OUTLOOK SUSTAINABLE PALM OIL: DRIVER of CHANGE
1-2 DECEMBER 2011 B li International Bali I t ti l Covention Center-Bali
Gambar 3
Produksi minyak sawit tertinggi diantara minyak nabati sejak tahun 2004. Pada tahun 2009/2010, area minyak i k sawit it hanya h 6% tetapi 6%, t t i produksi d k i mencapai 38% dari produksi minyak nabati. Konsumsi minyak sawit tahun 1990/91 sebesar 13,9% dari total konsumsi minyak
Penanggung Jawab
: Ketua Umum
Pemimpin Redaksi
: Bid. Komunikasi & Bid. Komunikasi & Publikasi GAPKI Pusat
Redaksi Pelaksana
: Direktur Eksekutif
Nara Sumber
Penerbit
: Sekretaris Umum, Sekretaris, Para Ketua Bidang, Para Ketua Pengurus Cabang, Direktur Eksekutif : GAPKI Pusat GAPKI Pusat
Telp
: 021‐57943871
Email
:
[email protected]
6
