BEA KELUAR SAWIT : ANTARA KEPENTINGAN EKONOMI DAN NASIONALISME1 Oleh : Djaka Kusmartata2 dan Hari Poerna Setiawan3
A. Kebijakan Bea Keluar Kelapa Sawit Landasan kebijakan pemerintah mengendalikan ekspor minyak sawit dengan mengenakan pajak ekspor adalah menjaga stabilitas harga minyak goreng di pasaran domestik. Selain tingginya harga minyak goreng berdampak pada inflasi, pemerintah bermaksud menyediakan barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau. Dalam perkembangannya jenis minyak sawit yang dikenakan pajak ekspor makin bertambah karena inovasi produk dari pelaku usaha dan meluasnya jenis permintaan dari konsumen. Tujuan tidak lagi berhenti pada penciptaan stabilisasi harga minyak goreng tapi meluas pada pengembangan industri pengolahan minyak sawit. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat dinikmati ekonomi domestik. Kebijakan Bea Keluar untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya untuk hilirisasi industri sawit pertama kali dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan tersebut diundangkan pada tanggal 15 Agustus 2011 dan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan (14 September 2011). Peraturan Menteri Keuangan ini telah mengalami dua kali perubahan yakni dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2013 tanggal 16 Mei 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2013. Peraturan Menteri 1
Paper ini merupakan pengembangan dari bagian Laporan Kajian Efektivitas Hilirisasi Industri Melalui Pengenaan Bea Keluar, 2013. 2 Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai II, PKPN - Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu. 3 Kepala Subbidang Bea Keluar, PKPN - Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
Keuangan (PMK) mengenai tarif Bea Keluar ini tidak hanya berisi komoditi Minyak Sawit dan Produk Turunannya, namun meliputi barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar yakni Kulit Sapi dan Kambing; Biji Kakao, Produk Kayu; dan Bijih Mineral. Meski PMK 128/PMK.011/2011 telah diubah dua kali, namun tidak ada perubahan tarif Bea Keluar minyak sawit karena yang diubah dalam dua kali perubahan PMK tersebut adalah tarif Bea Keluar produk mineral. Tujuan analisis adalah mengetahui dampak kebijakan Bea Keluar CPO dan produk turunannya terhadap industri hilir kelapa sawit dan mengukur sejauh mana stake holder domestik mampu mendapatkan nilai tambah dari proses pengolahan produk sawit di dalam negeri.
B. Hilirisasi Industri Sawit Pasca Kebijakan Bea Keluar : Antara Kepentingan Ekonomi dan Nasionalisme Salah satu cara paling konkret untuk mengukur dampak beban Bea Keluar terhadap industri pengolahan sawit adalah membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan. Kebijakan tarif Bea Keluar versi hilirisasi mulai berlaku 14 September 2011 (PMK 128/PMK.011/2011). Kebijakan ini sudah ditunggu pelaku usaha seiring pernyataan pemerintah tentang hilirisasi industri sawit sehingga saat aturan ini berlaku respon pengusaha dan eksportir minyak sawit sangat cepat. Bulan pertama pasca kebijakan (Oktober 2011) aksi perusahaan sudah mulai berjalan. Untuk itu kondisi sebelum kebijakan dibatasi sebelum tahun 2012 jika data merupakan data tahunan, dan bulan September 2011 (data bulanan). Berdasarkan Tabel I, meski volume ekspor minyak sawit mentah dan produk olahan periode Januari-Oktober 2013 hanya 7,1 juta ton menurun dibanding JanuariOktober 2012 yang sebesar 17,1 juta ton akibat permintaan Eropa yang lesu, namun proporsi ekspor produk olahan tetap dominan dibanding minyak sawit mentah. Volume ekspor produk olahan tahun 2012 dan 2013 naik hingga dua kali lipat minyak sawit mentahnya. Indikator postif ini bermula sejak akhir tahun 2011. Dominasi ekspor bulan September 2011 mengalami pergeseran (shifting) dari CPO ke produk olahannya. Capaian ini sangat positif jika dipandang dari kacamata hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk di dalam negeri.
Tabel I. Volume Ekspor CPO dan Produk Turunan 2007-2013 16.0
(Juta Ton)
CPO 14.0
13.8
CPKO
12.0
Turunan CPO & CPKO
10.0
9.6 7.9
8.0 6.0
6.5
11.0 9.6
9.4 7.8
7.7
7.0
8.4 7.3
5.7
5.6 4.7
4.0 2.0
1.1
1.1
1.5
2.2 1.3
1.1
0.6
0.5
0.2
2012
Jan-Okt 2012
Jan-Okt 2013
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber : Pusat Data dan Informasi - Kementerian Perdagangan, diolah
Peningkatan volume ekspor bisa dipastikan berasal dari peningkatan produksi mengingat permintaan dalam negeri tidak mengalami kenaikan signifikan. Konsumsi domestik atas produk turunan CPO belum menunjukkan peningkatan karena rendahnya inovasi dan kreativitas pengembangan produk olahan pelaku domestik dibandingkan industri Eropa dan Amerika Serikat. Karena konsumsi domestik tak kunjung berubah sementara kebijakan pemerintah membuka lebar peluang bagi industri olahan, maka produk turunan kelapa sawit akhirnya lebih banyak dijual ke luar negeri. B.1.
Peningkatan Ekspor Produk Hilir Analisa diatas dikonfirmasi dengan data tentang kapasitas terpasang industri
pengolahan (refinery, oleochemical, dan biodiesel) kelapa sawit Indonesia. Utilisasi Industri refinery sampai dengan akhir tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 80% dari yang hanya sekitar 45% di tahun 2010. Dari angka besaran kapasitas tercatat penambahan kapasitas refinery, semula 21,5 juta ton/tahun tahun 2011 menjadi 25 juta ton/tahun pada bulan Mei tahun 2012, kemudian makin meningkat pada awal 2014 menjadi 45 juta ton/tahun (Tabel II). Industri ini adalah representasi industri minyak goreng. Kapasitas terpasang industri oleochemical juga menunjukkan kenaikan cukup signifikan baik fatty acid base maupun fatty alcohol base. Dimana akhir tahun 2011, fatty acid base tercatat 650 ribu ton/tahun naik menjadi 1.100 ribu
ton/tahun pada awal tahun 2014. Sedangkan fatty alcohol base naik dari 750 ribu ton/tahun akhir 2011 menjadi 1.100 ribu ton/tahun pada awal tahun 2014. Industri oleochemical belum berkembang di Indonesia sebelum 2011. Ini merupakan indikator penting untuk mencatat adanya peningkatan investasi baik penambahan kapasitas, perluasan area produksi ataupun pembangunan pabrik baru.
Tabel II. Perbandingan Kapasitas Terpasang 2011 dan Proyeksi 2014
Rafinasi/Fraksionasi
Akhir tahun 2011
Awal tahun 2014
21 juta ton/ tahun
45 juta ton/ tahun
650 ribu ton/ tahun 750 ribu ton/ tahun
1.100 ribu ton/ tahun 1.100 ribu ton/ tahun
3,6 juta ton/ tahun
3,8 juta ton/ tahun
Oleochemical : Fatty Acid Base Fatty Alcohol Base Methyl Ester : Biodiesel
Sumber : Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Desember 2013
Berikutnya adalah capaian industri biodiesel dari 3,6 juta ton tahun 2011 naik menjadi 3,8 juta ton tahun 2014. Peningkatan ini tergolong lambat dibanding produk turunan lainnya. Perkembangan industri biodiesel di dalam negeri sangat tergantung dari willingness pemerintah. Kenaikan pemakaian biodiesel tak secepat dugaan banyak pihak dan tak seramai yang publik bicarakan. Tabel III. Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit No
Nama Produk
Harga USD/ton
Nilai Tambah (CPO/CPKO)
1
Crude Palm Oil (CPO)
1.168
0 % (basis)
2
Crude Palm Kernel Oil (CPKO)
1.322
14%
3
Minyak Goreng Sawit (kemasan/curah)
1.575
35%
4
Margarine/Shortening
1.732
48%
5
Confectionaries
1.850
39%
6
Metil Ester
2.123
82%
7
Fatty Acids
2.820
141%
8
Fatty Alcohol
4.200
217%
9
Surfaktan
5.450
366%
10
Kosmetik
8.230
522%
**)
*)
*)
Sumber : Paper Prof. E. Gumbira Said “Peranan Hilirisasi Industri Kelapa Sawit bagi Perekonomian Indonesia”
Rantai produksi dari kelapa sawit menjadi CPO dan CPKO kemudian seterusnya produk turunannya menggambarkan tahapan nilai tambah yang makin besar. Tabel III adalah tabel peningkatan nilai tambah kelapa sawit dengan CPO sebagai basis ukuran awal. Minyak goreng memiliki kenaikan nilai tambah 35% dibanding CPO, sementara Methyl Ester atau biodiesel bernilai tambah 82%. Sebagian produk turunan Indonesia masih berkutat pada minyak goreng dan produk sejenis hasil refinery. Meski investasi di sektor oleochemical yakni fatty acids dan fatty alcohol mulai direalisasikan. Fatty acids dan fatty alcohol merupakan produk turunan kelapa sawit yang sangat tinggi nilai tambahnya. Nilai tambahnya mencapai 141% - 217% jika dibanding dengan CPO. B.2.
Multinational Company vs Domestic Company Masuknya pabrikan multinasional (multinational company - MNC) ibarat dua
sisi mata uang bagi industri hilir kelapa sawit Indonesia. Selain menguntungkan dari segi investasi, serapan tenaga kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi, juga berpotensi merugikan dengan terbukanya akses pengembangan dan penelitian (Research and Development – R&D) mereka terhadap obyek penelitian (kelapa sawit) di dalam negeri. Lembaga riset Indonesia masih sulit mengakses kerjasama R&D dengan pabrikan multinasional tersebut. Padahal R&D sangat penting sebagai strategi dalam memenangkan persaingan pasar. Dilema ini adalah satu bagian resiko yang harus ditanggung Indonesia karena akselerasi program hilirisasi industri kelapa sawit. Investasi tidak mengenal identitas negara. Dimana ada potensi keuntungan maksimal, maka investor akan masuk dan berusaha menguasai semua bidang untuk memaksimalkan keuntungan dan melanggengkannya. Industri hilir kelapa sawit di Indonesia menjanjikan keuntungan optimal karena ketersediaan bahan baku dan pasar yang luas. Dibandingkan dengan pabrikan multinasional, pabrikan sawit domestik masih ketinggalan dalam inovasi dan penciptaan varian produk baru kelapa sawit. Pertanyaannya kemudian apakah pabrikan domestik mampu bersaing? Mampukah pabrikan sawit domestik mendulang manfaat dengan kehadiran pabrikan asing? Tak mudah menjawabnya. Harapan yang muncul tentunya perusahaan domestik mampu bersaing dan berkompetisi dalam hal inovasi dan pengembangan produk kelapa sawit.
Gambar I. Negara Penghasil Inovasi Berbasis Paten Agroindustri Kelapa Sawit
United State of America
2% 1%
Netherlands
13%
United Kingdom
3%
Switzerland
3%
Germany
3% 3%
Japan
55%
4%
France Denmark
6%
European Patent Office
7%
Australia Others
Sumber : Negara-negara penghasil inovasi berbasis paten untuk agroindustri kelapa sawit (World Intellectual Property Organization-WIPO, 2011, Wibowo dan Gumbira-Sa’id, 2011)
Amerika Serikat menjadi negara penghasil inovasi terbesar untuk bidang industri kelapa sawit. Lima puluh lima persen inovasi agroindustri kelapa sawit berasal dari Amerika Serikat. Posisi kedua Belanda dengan 7% disusul Inggris dan Swis dengan inovasi 6% dan 4% dari total dunia. Indonesia dan Malaysia sebagai penguasa 80% pasokan minyak sawit mentah dunia tak masuk dalam jajaran inovator produk sawit. Indonesia masih pemain “kacangan” di industri hilir kelapa sawit. Ini adalah tantangan bagi Indonesia, dengan bahan baku melimpah tapi belum menjadi inovator atau kreator pengembangan produk hilir kelapa sawit. Perusahaan multinasional dengan kekuatan risetnya mampu berinovasi menciptakan produk olahan berbasis kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi. Hasil inovasi mereka telah dipatenkan di World Intellectual Property Right Organization (WIPO). Berdasarkan penelusuran data base “patentscope” tentang jumlah produk kelapa sawit (kata kunci palm oil) yang menjadi hak paten adalah sebanyak 7459 inovasi dengan pembagian negara sebagaimana Gambar I. Apabila dikaji berdasarkan pemohon aplikasi paten (pabrikan), sebagian besar inovasi agroindustri kelapa sawit dunia dikuasai oleh The Procter & Gamble Company (Amerika Serikat), yaitu sebesar 14,35% dari total paten produk sawit dunia. Posisi kedua menjadi milik Unilever dengan total 4%. Pemohon lainnya ratarata menghasilkan inovasi antara 0,20 – 1,50% dari total inovasi di dunia (Tabel IV).
Lima teratas pemegang paten kelapa sawit merupakan pabrikan multinasional, yang sudah lama mendominasi bisnis consumer goods global. Produk consumer goods tersebut adalah barang keperluan sehari-hari yang akrab dikonsumsi masyarakat Indonesia. Kebijakan pemerintah mendorong perkembangan industri hilir kelapa sawit merupakan peluang pabrikan domestik untuk membuat inovasi baru tentang produk kelapa sawit yang pada gilirannya diharapkan mampu bersaing dengan pabrikan multinasional. Tabel IV. Lima Belas Pemohon Paten Terbanyak Bidang Kelapa Sawit di Dunia No.
Pemohon paten
1
The Procter & Gamble Company
2
Total
% Dunia*
1070
14,35
Unilever Plc
210
2,82
3
Unilever N.V.
152
2,04
4
L'oreal
105
1,41
5
Dsm Ip Assets B.V.
95
1,27
6
Nestec S.A.
87
1,17
7
Colgate-Palmolive Company
59
0,79
8
Societe Des Produits Nestle S.A.
55
0,74
9
Cargill, Incorporated
49
0,66
10
The Lubrizol Corporation
47
0,63
11
Kimberly-Clark Worldwide, Inc.
44
0,59
12
Novozymes A/S
42
0,56
13
Dow Global Technologies Inc.
38
0,51
14
Archer-Daniels-Midland Company
37
0,50
15
Dow Corning Corporation
37
0,50
Keterangan: * Total Permohonan Paten Dunia = 7459. Diolah dari WIPO (2011) Sumber : Prof E. Gumbira Said,
B.3.
Posisi Indonesia di ASEAN Urusan inovasi produk kelapa sawit Indonesia jauh tertinggal di level global.
Bagaimana posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara? Berdasarkan data WIPO, ternyata negara-negara yang tergabung dalam ASEAN penghasil inovasi utama produk kelapa sawit adalah Malaysia dan Singapura. Malaysia dan Singapura masing-masing berkontribusi 1,06% dan 0,46% dari total inovasi kelapa sawit dunia. Namun untuk level ASEAN, Malaysia negara penghasil inovasi terbesar produk
kelapa sawit dengan 65,83% aplikasi paten dan Singapura 28,33%. Indonesia hanya menghasilkan paten produk berbasis sawit sebanyak 0,04% (dunia) dan 2,5% (ASEAN) (Tabel V). Tabel V. Jumlah Aplikasi Paten Kelapa Sawit Negara ASEAN No
Negara
Jumlah
% Dunia*
Asean
1
Malaysia
79
1,06
65,83
2
Singapore
34
0,46
28,33
3
Thailand
4
0,05
3,33
4
Indonesia
3
0,04
2,50
120
1,61
100,00
Total Permohonan Paten ASEAN
Keterangan: * Total Permohonan Paten Dunia sampai tahun 2011 = 7459 Sumber : WIPO, E. Gumbira Said, diolah
Hal ini menegaskan bahwa Indonesia baik level dunia maupun ASEAN belum menjadi inovator penting produk kelapa sawit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak punya peran. Apakah realisasi investasi besar-besaran pabrikan multinasional dan domestik membuat peran Indonesia sebagai inovator produk kelapa sawit berubah? Penting sekali bagi Indonesia punya peran dalam inovasi dan pengembangan produk baru berbasis kelapa sawit. Selain nilai tambah tinggi dan penerimaan royalty atas pemakaian produk, Indonesia membuka kesempatan bersaing dengan pabrikan multinasional di pasar domestik. B.4.
Program National Branding Minyak Goreng Kemasan Dibanding produk turunan yang lain, minyak goreng menjadi salah satu
produk favorit produsen. Selain menghasilkan profit menjanjikan, tingkat pengolahan minyak goreng tidak menuntut teknologi tinggi. Sebagai produsen utama CPO, Indonesia dibanding negara lain terlambat mengantisipasi peningkatan kualitas dan varisasi produk minyak goreng. Berdasarkan data GIMNI penggunaan CPO domestik sebagian besar untuk industri minyak goreng 37%, industri margarin 3%, industri sabun 3% dan industri oleokimia 5%. Sedangkan tujuan ekspor masih dominan di atas 50%. Jika menyimak besaran nilai tambah (Tabel III), dominasi penggunaan CPO untuk minyak goreng ini adalah kabar kurang menarik mengingat nilai tambah minyak goreng relatif kecil dibandingkan margarin, sabun dan produk oleokimia.
Tabel VI. Komposisi Penggunaan CPO di Indonesia No.
Jenis Penggunaan
Persentase (%)
1.
Ekspor
52
2.
Industri Minyak Goreng
37
3.
Industri Margarin
3
4.
Industri sabun
3
5.
Industri Oleokimia
5
Sumber : GIMNI, diolah
Pasca restrukturisasi tarif Bea Keluar versi hilirisasi tahun 2011, salah satu industri yang menunjukkan peningkatan kapasitas terbesar adalah industri minyak goreng. Demi mengejar keuntungan optimal, rupanya PMK 128/2011 direspon demikian cepat oleh pabrikan minyak goreng domestik maupun luar negeri. Hal ini dipicu antara lain meningkatnya konsumsi minyak goreng dunia untuk pengolahan makanan. Pabrikan minyak goreng domestik bahkan kewalahan memenuhi permintaan pasar internasional. Struktur tarif Bea Keluar (PMK 128/2011) mengakomodasi naiknya nilai tambah karena mengemas minyak goreng dengan membuat perbedaan tarif antara minyak goreng curah dan kemasan. Tarif Bea Keluar minyak goreng curah lebih tinggi 2% - 6% dibanding kemasan bermerek tergantung harga CPO yang berlaku. Dibanding produk hulunya yakni CPO, tarif Bea Keluar minyak goreng kemasan bermerek lebih rendah 7,5% - 12%. Selisih tarif ini layaknya insentif bagi industri minyak goreng kemasan di dalam negeri. Karena selisih tarif yang signifikan, pabrikan domestik segera menambah kapasitas produksi khususnya line produksi minyak goreng kemasan bermerek. Tujuan restrukturisasi tarif Bea Keluar diantaranya adalah menumbuhkan dan membangun merek minyak goreng nasional atau domestik di pasar internasional sambil berupaya keras berinovasi menambah produk hilir kelapa sawit bernilai tambah tinggi lainnya. Ini diharapkan memicu bangkitnya inovasi dalam penciptaan dan pengembangan merek minyak goreng nasional dan dipatenkan di lembaga internasional. Pada masa mendatang diharapkan Indonesia punya merek minyak goreng nasional yang beredar dan menjadi trend-setter produk minyak goreng internasional. Mari kita analisis progress pengembangan merek minyak goreng nasional tersebut (national branding). Jika ekspor minyak goreng kemasan bermerek tarif Bea Keluarnya lebih rendah dari minyak goreng curah, maka produsen minyak goreng kemasan berusaha mendapatkan merek berpaten dengan mendaftarkan mereknya ke Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian produsen mendapatkan tanda terima pendaftaran
merek sambil menunggu penelitian dan penelusuran tentang kesamaan dengan merek-merek yang sudah ada, untuk kemudian dinyatakan bahwa merek tersebut sah untuk dipatenkan. Atas tanda terima pendaftaran ini, Kementerian Perdagangan sudah bisa mencantumkan merek yang sedang dilakukan penelitian ini dalam daftar merek minyak goreng kemasan sebagai Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan mengenai Harga Patokan Ekspor (HPE) yang setiap bulan diterbitkan Menteri Perdagangan. Masalahnya waktu tunggu hingga merek disahkan atau ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM adalah dua tahun. Sepanjang belum keluar keputusan tentang pengakuan merek yang sah, merek yang didaftarkan dapat diterima sebagai merek dari produk minyak goreng kemasan. Jika tidak diterima sebagai merek yang sah, produsen dapat mengajukan kembali merek baru kepada Kementerian Hukum dan HAM. Jadi daftar merek dalam Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan tersebut belum tentu menjadi merek yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dari waktu ke waktu jumlah merek minyak goreng kemasan yang didaftarkan semakin banyak. Bertambahnya jumlah merek minyak goreng kemasan sesungguhnya disebabkan oleh beban Bea keluar yang berbeda. Inilah sejatinya pemicu munculnya merek-merek baru yang didaftarkan ke Kemenkum dan HAM, bukan karena munculnya inovasi baru atas produk minyak goreng.
Tabel VII. Perkembangan Jumlah Merek Minyak Goreng Kemasan Pasca Restrukturisasi Tarif Bea Keluar (PMK 128/2011) No
Periode HPE
Berat Kemasan Minyak Goreng
1
14-30 September 2011
0-20 Kg
270
2
1-31 Oktober 2011
0-20 Kg
382
3
1-31 Desember 2013
0-20 Kg dan 20-25 Kg
1499
4
1-30 September 2014
0-20 Kg dan 20-25 Kg
2200
Jumlah Merek
Sumber : Pemendag HPE September 2011, Oktober 2011, September 2014, Desember 2013
Perkembangan jumlah merek minyak goreng dapat dibagi dalam dua periode yakni permulaan kebijakan Bea Keluar versi hilirisasi dan tahun kedua pasca kebijakan. Tabel VII menunjukkan saat mulai berlakunya kebijakan yakni daftar merek minyak goreng kemasan periode 14-30 September 2011 untuk berat kemasan 0-20 kilogram jumlahnya baru 270 merek. Bulan berikutnya 1-31 Oktober 2011 jumlah kemasan minyak goreng bertambah menjadi 382 merek atau naik 41% dari periode sebelumnya. Setelah berjalan dua tahun jumlah merek berkembang makin
banyak. Mulai 1 Oktober 2013 volume minyak goreng kemasan dibedakan menjadi dua yakni berat 0-20 kilogram dan 20-25 kilogram karena adanya permintaan dari pasar internasional. Lonjakan jumlah merek ini ternyata terus berlangsung dimana pada periode 1-31 Desember 2013 menjadi 1499 merek. Periode HPE 1-30 September 2014 jumlah merek minyak goreng kemasan naik drastis hingga 2200 merek. Kenaikan jumlah merek minyak goreng kemasan setidaknya menyimpulkan dua hal yakni pertama, adanya peningkatan permintaan minyak goreng kemasan yang direspon dengan penambahan kapasitas produksi hingga mendekati optimal. Berdasarkan data dari GIMNI kapasitas terpasang industri minyak goreng domestik naik dari 45% tahun 2010 meningkat hingga mendekati 90% tahun 2013. Optimalisasi kapasitas terpasang merupakan indikasi positif bahwa industri minyak goreng kemasan menuju tahap efisiensi produksi dengan profit margin makin tinggi. Industri ini terus menambah line produksi dengan membuka pabrik baru ataupun menambah luasan areal produksi minyak goreng. Diperkirakan industri minyak goreng Indonesia makin berkembang bahkan mampu mengalahkan Malaysia dari sisi kapasitas produksi. Penambahan kapasitas produksi artinya penyerapan tenaga kerja meningkat, kebutuhan CPO untuk industri domestik makin besar yang pada gilirannya menopang pertumbuhan ekonomi domestik. Pembesaran industri minyak goreng menguntungkan bagi penciptaan nilai tambah di dalam negeri yang pada akhirnya potensi penerimaan pajak akan makin besar. Pendek kata capaian positif ini dipicu oleh perubahan struktur tarif Bea Keluar. Tantangannya adalah belum tampak adanya upaya keras dari pelaku usaha untuk berinovasi dan menciptakan produk baru yang makin ke hilir untuk mendapatkan nilai tambah lebih tinggi ekuivalen dengan profit margin makin optimal. Sebab ketika produsen Indonesia terjebak memaksimalkan kapasitas produksi minyak goreng, pabrikan multinasional terus menciptakan inovasi dan berkreasi menambah daftar produk-produk baru dan mematenkan produk tersebut. Tarif Bea Keluar ekspor minyak goreng kemasan bermerek yang lebih rendah, dimanfaatkan produsen domestik untuk menumpuk kapasitas pada produksi minyak goreng. Tarif Bea Keluar minyak goreng bermerek yang rendah dan aturan pendaftaran merek yang sangat longgar menyebabkan lonjakan jumlah merek mencapai lebih dari dua ribu persen, semata-mata karena produsen minyak goreng domestik ingin memaksimalkan profit. Kedua, upaya Indonesia mengangkat merek minyak goreng nasional ke pasar internasional (national branding) tampaknya masih menemui jalan berliku. Kenaikan kapasitas produksi yang diiringi lonjakan jumlah merek minyak goreng
ternyata tidak menumbuhkan merek nasional. Justru merek-merek dengan nama asing bertambah signifikan mencapai 70% dari seluruh merek minyak goreng dalam daftar Kementerian Perdagangan. Penciptaan national branding dalam atmosfir globalisasi punya dua dimensi yang bertolak belakang. Globalisasi telah mereduksi batasan negara dan wilayah sehingga produksi bisa dilakukan dimanapun sepanjang memenuhi batasan ongkos produksi pabrikan multinasional penguasa merek. Dengan pandangan ini merek nasional atau national branding hanya menjadi utopia semata karena pabrikan multinasional penguasa merek akan sekuat tenaga menancapkan dominasinya di pasar domestik. Pabrikan penguasa merek akan terus berinovasi agar produknya diterima konsumen domestik. Contoh dari gambaran ini adalah merek mobil Toyota di Indonesia. Pandangan kedua meyakini bahwa otoritas negara mempunyai kehendak agar pelaku usaha domestik dapat memproduksi serta menggunakan domain domestik untuk dipasarkan di pasar domestik maupun internasional. Hasil produk yang diciptakan diharapkan selalu merujuk pada negara tempat produk tersebut pertama kali diciptakan dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Merek mobil Toyota kembali dapat dijadikan contoh. Sejak merek Toyota diciptakan tahun 1930an dan didirikan pabriknya di Jepang, hingga saat ini pabrik dan produknya tersebar di seluruh dunia, Toyota tak pernah lepas national branding negara Jepang. Barangkali seperti inilah maksud national branding minyak goreng kemasan yang digagas oleh pemerintah Indonesia.
C. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Bea Keluar mampu mengubah komposisi produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia. Dominasi ekspor produk hulu secara bertahap digantikan produk hilir kelapa sawit sehingga nilai tambah pengolahan produk perlahan dapat dinikmati stake holder kelapa sawit domestik. Meskipun Indonesia menguasai produksi kelapa sawit dunia namun belum berperan penting dalam penciptaan inovasi dan kreasi produk baru di sektor industri kelapa sawit. Pemegang merek dan paten produk consumer goods yang bersumber dari bahan baku kelapa sawit masih didominasi negara maju dengan tangan-tangan multinasional company-nya. Untuk itu pemerintah perlu mempertimbangkan kembali struktur tarif Bea Keluar dengan skema baru. Struktur Bea Keluar nantinya didesain untuk memaksa agar produsen berinovasi dalam pengembangan dan penciptaan produk baru dari kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi dan tak merasa puas dengan berproduksi minyak goreng.
Pada saat yang sama aturan instansi teknis lainnya mesti disesuaikan agar merekmerek yang didaftarkan produsen bertumpu pada semangat penciptaan inovasi baru bukan semata-mata meraih keuntungan jangka pendek, sehingga pada gilirannya diharapkan kontribusi sektor industri berbasis kelapa sawit dapat mengerek devisa ekspor nasional, bahkan peningkatan ekonomi nasional secara menyeluruh.