LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI CARA PEMBERIAN OBAT
DISUSUN UNTUK MEMENUHI LAPORAN MATA KULIAH FARMAKOLOGI
Disusun oleh : Bella Sakti Oktora
(12010012)
Darma Wijaya
(120100
Fuji Rahayu
(12010030)
)
S-1 FARMASI REGULER DOSEN PENGAMPU Siti Mariam, M.Farm, Apt
PROGRAM STUDI STRATA 1 FARMASI REGULER SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI BOGOR OKTOBER 2014
I. Judul Praktikum Cara Pemberian Obat II. Tujuan Praktikum Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa: 1. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian. 2. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya. 3. Dapat menyatakan konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya. III. Dasar Teori Efek Farmakologi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain : rute pemberian obat, bentuk sediaan, faktor biologis (jenis kelamin, usia, berat badan, dll), toleransi atau riwayat kesehatan, dan spesies. a. Rute Pemberian Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian juga dapat dilakukan secara intravena, intramuskular, intra peritoneal, intra dermal, dan subkutan. Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja didalam tubuh. Durasi dapat diamati mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasian atau hewan percobaan. 1.
Oral
Rute pemberian oral memberikan efek sistemik dan dilakukan melalui mulut kemudian masuk saluran intestinal (lambung) dan penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus. Cara oral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Pemberian per oral akan memberikan onset paling lambat karena melalui saluran cerna dan perlu melalui proses metabolisme sehingga lambat diabsorbsi oleh tubuh. Selain itu, pemberian secara oral membutuhkan dosis yang paling besar diantara rute pemberiannya. Karena obat perlu melalui metabolisme di hati dan eliminasi. 2. Intravena (IV) Intravena (IV) dilakukan dengan penyuntikan melalui pembuluh darah balik (vena), memberikan efek sistematik. Melalui cara intravena ini, obat tidak mengalami absorpsi. Tetapi langsung masuk pada sirkulasi sistemik. Karena itulah kadar obat yang dibutuhkan lebih sedikit.
3. Intraperitonial (IP) Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati. Cara ini hanya dilakukan untuk pemberian obat untuk hewan uji, karena memiliki resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitonial akan memberikan efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh darah. Hewan uji dipegang pada punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan jarum membentuk sudut 10o menembus kulit dan otot masuk ke rongga peritoneal. 4. Intramuskular (IM) Suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Preparat yang larut dalam minyak diabsorbsi dengan lambat, sedangkan yang larut dalam air diabsorbsi dengan cepat. Penyuntikan dilakukan pada otot gluteus maximus atau bisep femoris. Pemberian obat seperti ini memungkinkan obat akan dilepaskan secara berkala dalam bentuk depot obat. Intramuskular memiliki onset lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi dalam tubuh. Dosis yang dibutuhkan untuk rute pemberian secara intramuskuler cenderung sangat sedikit. 5. Subkutan (SK) Pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, Penyuntikan dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah, rute pemberian ini memberikan efek sistemik. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat. b. Faktor Biologis Tetapi onset dan durasi dari suatu obat tidak hanya ditentukan dari rute pemberian. Jenis kelamin, berat badan, usia, dan spesies hewan percobaan yang digunakan juga berpengaruh pada kedua hal tersebut.Usia hewan memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Hewan yang berusia lebih muda tentu saja membutuhkan dosis yang lebih sedikit dibanding yang lebih tua. Berat badan juga merupakan suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat. Hewan yang bobotnya lebih besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis rata-rata untuk menghasilkan suatu efek tertentu. Begitupun sebaliknya. Berdasarkan jenis kelamin, betina lebih peka terhadap efek obat tertentu daripada jantan. c. Toleransi Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkat metabolismenya sendiri, misalnya barbiturat dan rifampisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus-menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang, tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responnya berkurang.
IV. Alat dan Bahan a. Alat 1. Jarum suntik 0,8 ml. 2. Sonde. 3. Kapas
b. bahan 1. 2. 3. 4.
mencit NaCl alkohol phenobarbital
V. Cara Kerja Rute Pemberian Obat 1) Oral 1. Mencit ditarik ujung ekornya dengan tangan kanan, diletakkan pada suatu kasa. 2. Telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk sedangkan ekornya masih dipegang dengan tangan kanan. Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga permukaan perut menghadap kita dan ekor dijepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kiri. 3. Mencit dipegang tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat suntik berisi obat, diselipkan dekat langit-langit mencit dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan didesak keluar dari alat suntik. 2) Subkutan 1. Kulit daerah tengkuk dicubit. 2. Obat disuntikkan ke kulit daerah tengkuk dengan sudut 45 derajat. 3) Intravena 1. Mencit diletakkan di kawat kasa. 2. Ekor mencit ditarik sehingga cakar mencit mencengkeram kawat kasa. 3. Disuntikkan pada ekor mencit. 4) Intraperitonial 1. Mencit dipegang sedemikian rupa sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kaki kepala. 2. Larutan obat disuntikkan pada abdomen bawah tikus sebelah garis midsagital. 5) Intramuscular 1. Larutan obat disuntikkan ke dalam sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain dari kaki belakang. 2. Harus selalu dicek apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan menarik kembali piston alat suntik.
VI. Hasil dan Pembahasan a. Hasil praktikum a. H Sistem Ulangan ke-1 a s i Suntik Tidur Bangun PO (2)l 10:15 10:44 1:02 IM (2)P ---e IV (3) 10:47 n IP (3)g 11:03 a SC (2)m 10:31
Ulangan ke-2
Ulangan ke-3
Suntik
Tidur
Bangun
10:03
10:39
15:15
20
1,45
Suntik
Tidur
Bangun
_________
20,5
1.45.34
10:54
11:14
10:50
10:57
11:25
10:52
11:00
11:20
11:40
13:20
10:47
11:40
13:02
-----
22,46
2.24.23
11:15
13:12
10:53
11:32
12:08
------------
Keterangan : Tosca data di berikan dengan perhitungan jam Ungu waktu diberikan dalam bentuk menit yang dimulai saat tidur (dengan stopwach)
Perhitungan Konsentrasi Obat Penyetaraan dengan suntikan
0,55 adalah volume obat yang di ambil suntikan untuk pengenceran. 0,44 adalah volume sebenarnya pada suntikan
0,14 gr bobot mencit 0,45ml adalah volume awal yang akan diencerkan 0,3 ml yang harus disuntikan pada mencit agar tidak over dosis
b. Pembahasan Cara pemberian obat merupakan salah satu penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu dan membandingkan respons sensitivitas obat terhadap beda perlakuan pemberian yang dilakukan.
Pada percobaan kali ini, dilakukan perbandingan pengaruh obat yang diberikan dengan beda perlakuan kepada mencit yaitu secara per-oral, intra muscular, intra vena, intra peritoneal dan subkutan, terhadap mula kerja obat dan lama kerja obatnya. Data hasil menunjukkan bahwa pemberian obat secara intra vena dapat menimbulkan tahap mula kerja (awal kerja obat) dan lama kerja obat lebih cepat, dibandingkan dengan pemberian obat dengan cara lain. Hal ini dapat dikarenakan pemberian secara intra-vena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila obat disuntikkan perlahan akan diencerkan oleh darah. Namun perlakuan pemberian intra-vena ini tidak dapat ditarik kembali setelah diinjeksikan dan efek toksiknya mudah terjadi karena kadar obat sudah langsung mencapai darah dan jaringan. Penyuntikan intra-vena harus perlahan sambil melihat respon penderita. Percobaan yang diberikan pada jalur per-oral rata-rata memerlukan waktu yang lama untuk medapatkan efek yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, obat terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya berlangsung secara difusi pasif sehingga absorpsi obat mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak (lipid soluble). Absorpsi obat pada usus halus selalu lebih cepat daripada lambung karena luas penampang permukaan epitel usus halus lebih besar daripada lambung. Selain itu, lambung dilapisi oleh lapisan mukus yang tebal dan tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat dan sebaliknya serta kurang tahannya obat terhadap asam lambung, dirusak oleh enzim pencernaan yang akhirnya mempengaruhi bioavailabilitas obat. Bioavailibilitas adalah jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh maupun aktif.(Ina 2003) Namun dari tabel dibawah didapatkan data peroral menduduki tempat ketiga dari 5 perlakuan yang berbeda dan dengan 2 ulangan, pada bagian awal kerja obat (sesi penyuntikan sampai tidur) Hal ini menunjukan beberapa kemungkinan bahwa: lambung mencit sedang kosong, obat yang diberikan tahan terhadap asam lambung atau aktivitas enzim pencernaan tidak mempengaruhi kerja obat, serta sedikitnya ulangan digunakan sebagai acuan pendekatan nilai dari ulangan satu keulangan lainnya. Dan pada bagian lama kerja obat PO menduduki peringkat pertama yang semakin memperkuat alasan(kemungkinan) hasil perbedaan dengan literatur. Pada pemberian obat secara intra-peritoneal, obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati. Di dalam rongga perut ini obat akan langsung diabsorpsi pada sirkulasi portal dan akan dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Namun karena pada mesentrium banyak
mengandung pembuluh darah, maka absorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan per-oral sehingga mula kerja obat pun menjadi lebih cepat(ina 2003). Namun sebaliknya data hasil praktikum yang diperoleh menunjukan hasil berkebalikan bahwa IP menempati peringkat empat untuk awal kerja obat (sesi penyuntikan sampai hewan tertidur) dari 5 (ip.im,iv,sc,po) perlakuan pemberian obat yang berbeda, dengan 3x ulangan, dan Hal yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil praktikum ini dengan literatur mungkin perlakuan para penguji kehewan ujinya(mencit) dosis yang masuk ke hewan uji. Dan pada sesi lama kerja obat IP menduduki peringkat 2. Pada suntikan intramuskular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang larut dalam air diserap cukup berat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan tidak teratur. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan. Pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Penyuntikan dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah, rute pemberian ini memberikan efek sistemik. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat. dan dari data yang diperoleh untuk awal kerja obat (sesi penyuntikan- tertidur) IM menempati peringkat ke dua setelah intra vena. Sedangkan dari data yang di peroleh dari lama kerja obat IM menduduki peringkat 3 dari yang terlama tidur. Keuntungan pemberian secara suntikan atau parenteral adalah timbulnya efek lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif atau keadaan muntahmuntah. Selain itu juga berguna pada saat keadaan darurat. Kerugian yang mungkin ditimbulkan adalah membutuhkan cara yang asepsis, menyebabkan rasa nyeri, bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan oleh penderita dan tidak ekonomis. Pemberian obat secara subkutan Penyuntikannya dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding kapiler untuk memasuki aliran darah, rute pemberian ini memberikan efek sistemik. Absorbsi dapat diatur dengan formulasi obat. (Rina 2000). Dari data hasil praktikum diperoleh hasil untuk awal kerja obat (sesi penyuntikan- tertidur) SC menempati peringkat ke lima yang menunjukan bahwa lamanya absopsi obat dengan perlakuan ini. Sedangkan dari data yang di peroleh dari lama kerja obat SC menduduki peringkat 4 dari yang terlama tidur.
Tabel b.1 awal kerja obat (menit) sistem 1
Ulangan 2
3
Rata-rata (menit)
Po
29
36
---
32,5
Im
20,5
20
---
20,25
Iv
7
8
7
7,334
ip
37
22,46
53
37,486
sc
44
39
---
41,5
Tabel b.2 lama kerja obat (menit) sistem 1
Ulangan 2
3
Rata-rata (menit)
Po
138
276
---
207
Im
105,34
105
---
105,17
Iv
10
28
20
22,667
ip
108
108
sc
117
56
144,23 120,0767 ---
86,5
VII. Kesimpulan Dari percobaan kali ini kami simpulkan bahwa Cara pemberian obat berpengaruh terhadap proses absorbsi obat oleh tubuh karena sangat menentukan efek biologis suatu obat termasuk cepat atau lambatnya awal kerja obat (onset of action) dan lama kerja obat (duration of action). Dan hasil yang di peroleh ialah: Awal kerja obat (tercepat- terlama untuk tidur) Iv > Im > Po > Ip > Sc Lama kerja obat (terlama- tercepat (bangun tidur)) Po > Ip > Im > Sc > Iv Kesalahan atau perbedaan dengan literatur mungkin dikarenakan beberapa faktor yang antara lain :bedanya jumlah ulangan disetiap perlakuan (ada yang 2x dan 3x) faktor psikis hewan uji (mencit), mekanisme injeksi yang kurang benar (human error/skill praktikan), tingkat resistensi hewan uji yang berbeda-beda dan faktor visiologis hewan uji (jenis kelamin). Yang seharusnya cepat memberi efek dan cepat hilang iv, yang terlama memberi efek dan lama hilangnya po.
Daftar Pustaka Andrajati, Retnosari. 2010. Penuntun Praktikum Farmakologi. Depok: Laboratorium Farmakologi dan Farmakokinetika Departemen Farmasi FMIPA-UI. Syarif, Amir, et al.. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.