LAPORAN PENELITIAN
POLA PERILAKU DAN PENYAKIT TIDAK MENULAR PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI 37 KOTA WILAYAH PENGEMBANGAN PUSAT EKONOMI INDONESIA (DATA RISET KESEHATAN DASAR 2013)
Tim Peneliti
Rukmini Zainul Nantabah Niniek Lely Pratiwi
DIPA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Humaniora,Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Subrabaya
SUSUNAN TIM PENELITI No.
Nama
Kepakaran
Peran
I
dr. Rukmini, M. Kes
Manajemen dan Analisis Kebijakan
Peneliti Utama
2.
Zainul Nantabah
Staf Peneliti
Anggota
3.
DR. drg. Ninik Lely Pratiwi, M.Kes
Manajemen dan Analisis Kebijakan
Anggota
4.
Nila Sari Mukti
Sosial
Pembantu Administrasi
PERSETUJUAN ATASAN BERWENANG Keterangan Lembaga Pelaksana/Pengelola Penelitian A.Lenibaga Pelaksana Penelitian Nama Peneliti Utama Dr. Rukmini, M.Kes Nama Lembaga/Institusi Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Unit Organisasi Subbid. Analisis Kebijakan Kesehatan Alamat Jl. Indrapura No. 17 Surabaya TeIefon/Fax 03135528748
Pengaju Peneliti Utama
Dr. Rukmini, M.Kes NIP: 19740911 200212 2 008
Ketua PPI
Kepala Pusat
vi
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya laporan penelitian DIPA 2013 yang beijudul “ Pola Perilaku dan Penyakit Tidak Menular pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pusat Pengembangan Ekonomi Indonesia ”, yang menggunakan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Dalam laporan ini, memuat uraian analisis penderita Diabetes Mellitus di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia yang meliputi status sosial ekonomi, pola perilaku yaitu konsumsi (buah dan serat, makanan olahan tepung dan makanan berisiko), perilaku aktifitas fisik dan perilaku merokok. Demikian pula tentang upaya pengendalian penyakit yang dilakukan oleh penderita dan pola penyakit tidak menular penderita Diabetes Mellitus. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan laporan ini. Saran serta kritik membangun tentunya sangat kami harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga laporan analisis ini dapat bermanfaat pengelola program baik di Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, maupun Depkes RI untuk memberikan gambaran yang tepat dalam penelitian skala regional tentang penyakit Diabetes Mellitus terkait pola perilaku komsumsi dan pola penyakit tidak menular yang diderita, yang bermanfaat dalam rangka perencanaan dan pengambilan kebijakan selanjutnya, untuk menurunkan prevalensi Diabetes Mellitus di masyarakat melalui upaya pencegahan dan peningkatan pelayanan kesehatan.
Surabaya, 10 November 2014
Peneliti Utama
RINGKASAN EKSEKUTIF POLA PERILAKU DAN PENYAKIT TIDAK MENULAR PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI 37 KOTA WILAYAH PENGEMBANGAN PUSAT EKONOMI INDONESIA (DATA RISET KESEHATAN DASAR 2013) Pembangunan ekonomi berkontribusi dalam bidang kesehatan masyarakat, ditandai menurunnya angka kematian dan penyakit menular dan meningkatnya angka harapan hidup, tetapi disisi lain terjadi peningkatan kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM) berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup sejalan dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup (WHO report, 2010). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat. Hasil Riskesdas tahun 2007 menemukan, prevalensi Diabetes Melitus daerah urban di Indonesia sebesar 5,7% , dimana sebesar 1,2% penderita telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan, sedangkan sebesar 4,2% penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita DM dan baru diketahui melalui pemeriksaan darah yang dilaksanakan oleh Riskesdas. Penderita toleransi glukosa terganggu (TGT), dimana kadar glukosa darah sebesar 140 - 200 mg/dl setelah pembebanan glukosa 75 gram, sebesar 10,2%. Prevalensi total DM yaitu penderita DM yang sudah terdiagnosis dan belum terdiagnosis ( responden baru mengetahui dirinya DM saat pemeriksaan darah Riskesdas 2007), yang tertinggi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara (11,1%), Riau (10,4%) kemudian NAD (8,5%). Pada tahun 2013 dilakukan Riset Kesehatan Dasar yang mengumpulkan indikator serupa Riskesdas 2007. Data Riskesdas 2013 dapat digunakan untuk melihat perkembangan penyakit Diabetes Mellitus di Indonesia. Tujuan umum penelitian adalah mengetahui pola perilaku dan penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus (DM) penduduk di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Tujuan khusus penelitian adalah 1) Mengetahui prevalensi penyakit Diabetes Mellitus penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia; 2) Menggambarkan determinan status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal pada penderita Diabetes Mellitus penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia; 3) Menggambarkan pola perilaku (konsumsi, merokok, aktivitas fisik) pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia; 4) Menggambarkan upaya pengendalian Diabetes Mellitus dan pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Kajian ini merupakan analisis lanjut data sekunder Riskesdas 2013 di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Maluku). Waktu kajian selama 6 bulan pada tahun 2014. Populasi dan sampel, sesuai dengan sampel Riskesdas yaitu penduduk umur 15 tahun keatas yang didiagnosis menderita Diabetes Mellitus oleh dokter berdasarkan hasil wawancara. Hasil analisis menunjukkan, prevalensi penyakit Diabetes Mellitus berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, proporsinya berkisar 0,5% 5,3%, yang tertinggi di Kota Surabaya (5,3%), sebanyak 26 Kota, menunjukkan hasil cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka provinsi dan nasional (1,5%). Prevalensi DM berdasarkan hasil diagnosis dokter secara regional, proporsinya lebih tinggi di kota-kota regional Jawa (3,5%), Kalimantan (2,6%), Sulawesi (2,5%). Sumatera (2,3%), dibandingkan di Papua-Kepuiauan Maluku (1,8%) dan regional BaliNusa Tenggara (1,3%).
xi
Determinan status sosial ekonomi pada penderita Diabetes Meliitus berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar penderita berumur 45 tahun keatas, beijenis kelamin perempuan (50,6% - 88,9%), pendidikan tammat SMA/MA (24,1 -54,5%), tidak bekerja (52% - 77,8%), pekerjaan utama Wiraswasta (36,7% -70%), status ekonomi teratas (35,5% - 85%), status menikah (61,5% -100%) dan sebagai kepala RT (40% -83,3%). Berdasarkan lokasi tempat tinggal sebagian besar penderita DM berada di lokasi perkotaan (62,5%- 100%). Pola perilaku pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia sebagian besar belum berperilaku hidup sehat, yang ditunjukkan masih kurangnya konsumsi sayur dan buah (85% - 100%), frekuensi konsumsi makanan berisiko dan makanan olahan tepung yang masih sering yaitu makanan berisiko, 1 - 6 kali seminggu (44,4% - 76,9%) dan > 1 kali/hari berkisar 3,2% - 46,4%, makanan olahan tepung, 1 - 6 kali seminggu (43,8% - 77,8%) dan > 1 kali/hari berkisar 2,1% - 21,9% serta masih tingginya perilaku merokok setiap hari (4% - 50%). Perilaku aktifitas fisik, proporsinya sudah lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan yang tidak aktif (52,9% -92%). Perilaku konsumsi makanan buah dan sayur yang kurang, merupakan masalah sebagian besar penderita DM di semua wilayah, perilaku merokok lebih banyak di regional Papua - Kepulauan Maluku, perilaku makanan berisiko > 1 kali/hari, lebih tinggi di regional Kalimantan, Jawa dan Sulawesi, sedangkan perilaku konsumsi makanan olahan tepung > 1 kali/hari, lebih banyak di regional Bali-Nusa Tenggara dan Kalimantan. Upaya pengendalian DM pada penderita di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi di Indonesia, lebih banyak dilakukan dengan obat antidiabetik, (55,6% - 88,9%) dan diet (51,4% - 78%), sedangkan dengan olah raga masih kurang (16,7% - 60%), demikian pula dengan injeksi insulin (3% - 29,4%). Pengendalian DM dengan obat antidiabetik, baik secara tunggal maupun kombinasi, dimana lebih banyak dengan kombinasi dengan satu cara, proporsinya yaitu 10,7% - 50% dibandingkan dengan kombinasi dengan 2 cara yaitu 11,4% - 38,7% dan 3 cara yaitu 1,3% - 14,7%. Pengendalian DM yang hanya menggunakan obat antidiabetik berkisar 3,2% - 44,4% dan yang tidak melakukan pengendalian penyakitnya terdapat hampir disemua Kota, proporsi berkisar 3,2% -18,2%, Pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Meliitus sebagian besar menderita penyakit hipertensi, jantung koroner dan stroke. Proporsi penyakit tidak menular pada penderita DM yaitu Hipertensi sebesar 18,2% - 60,7 %, Jantung Koroner sebesar 1,4% - 14,3%, Stroke sebesar 1,8% - 13,6%, Gagal jantung sebesar 1,4% - 5%, Gagal ginjal sebesar 0,6% - 4,3% dan Batu ginjal 1,4% - 14,3%. Hasil analisis dapat disimpulkan, prevalensi penyakit Diabetes Meliitus berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, proporsinya berkisar 0,5% - 5,3%, yang tertinggi di Kota Surabaya. Sebagian besar penderita berumur 45 tahun keatas, berjenis kelamin perempuan, pendidikan tammat SMA/MA, tidak bekerja, pekerjaan utama Wiraswasta, status ekonomi teratas, status menikah dan sebagai kepala RT dan terutama berada di perkotaan. Pola perilaku pada penderita Diabetes Meliitus sebagian besar belum berperilaku hidup sehat, yang ditunjukkan masih kurangnya konsumsi sayur dan buah dan frekuensi konsumsi makanan berisiko dan makanan olahan tepung yang masih sering serta masih tingginya perilaku merokok setiap hari. Upaya pengendalian penyakit pada penderita DM. sudah sebagian besar melakukan pengendalian dengan obat antidiabetik. baik secara tunggal maupun kombinasi. Pola penyakit tidak menular pada penderita DM. sebagian besar menderita penyakit hipertensi, jantung koroner dan stroke.
Hasil menunjukkan masih tingginya kejadian komplikasi penyakit akibat Diabetes Meliitus, oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat melalui promosi kesehatan, sehingga tercipta upaya mandiri individu dan masyarakat, didukung oleh program pelayanan kesehatan sehingga bahaya komplikasi dapat dicegah sejak dini dan meningkatkan harapan hidup yang berkualitas. Upaya promosi kesehatan untuk penderita DM di wilayah pengembangan ekonomi Indonesia disesuaikan dengan permasalahan pola perilaku di wilayah tersebut.
ABSTRAK Latar Belakang. Pembangunan ekonomi berkontribusi dalam perubahan bidang kesehatan masyarakat, dibuktikan menurunnya angka kematian dan penyakit menular serta meningkatnya angka harapan hidup. Ironisnya, terjadi peningkatan kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM) yang berhubungan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup modem, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup. Data Riskesdas 2007, prevalensi Diabetes Meliitus daerah urban di Indonesia sebesar 5,7%. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui pola perilaku dan penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Meliitus (DM) penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Metode. Analisis lanjut data sekunder Riskesdas 2013 di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, selama 6 bulan pada tahun 2014. Populasi dan sampel adalah penduduk umur 15 tahun keatas yang didiagnosis DM oleh dokter berdasarkan hasil wawancara. Hasil. Prevalensi penyakit DM berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, proporsinya berkisar 0,5% - 5,3%, yang tertinggi di Kota Surabaya (5,3%), sebanyak 26 Kota, menunjukkan hasil cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka provinsi dan nasional (1,5%). Prevalensi DM berdasarkan hasil diagnosis dokter secara regional, proporsinya lebih tinggi di kota-kota regional Jawa (3,5%), Kalimantan (2,6%), Sulawesi (2,5%), Sumatera (2,3%), dibandingkan di Papua-Kepulauan Maluku (1,8%) dan regional Bali-Nusa Tenggara (1,3%). Pola perilaku konsumsi kurang sayur dan buah (85% - 100%), frekuensi konsumsi makanan berisiko 1 - 6 kali seminggu (44.4% - 76,9%) dan > 1 kali/hari (3,2% - 46,4%), sedangkan makanan olahan tepung 1 - 6 kali seminggu (43,8% - 77,8%) dan > 1 kali/hari (2,1% - 21,9%) serta perilaku merokok setiap hari (4% - 50%). Perilaku aktifitas fisik, proporsinya sudah lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan yang tidak aktif (52,9% -92%). Pengendalian DM lebih banyak dilakukan dengan obat antidiabetik, (55,6% - 88,9%) dan diet (51,4% 78%), sedangkan dengan olah raga masih kurang (16,7% - 60%) dan injeksi insulin (3% - 29,4%). Pengendalian DM dengan obat antidiabetik, lebih banyak dengan kombinasi 1 cara, proporsinya yaitu 10,7% - 50%. Proporsi penyakit tidak menular pada penderita DM yaitu Hipertensi sebesar 18,2% - 60,7 %, Jantung Koroner sebesar 1,4% - 14,3%, Stroke sebesar 0,8% - 13,6%, Gagal jantung sebesar 1,4% - 5%, Gagal ginjal sebesar 0,6% - 4,3% dan Batu ginjal 1,4% -14,3%. Kesimpulan, Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, cederung lebih tinggi di regional Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dibandingkan regional Bali- Nusa Tenggara dan Papua - Kepulauan Maluku. Pola perilaku pada penderita Diabetes Meliitus sebagian besar belum berperilaku hidup sehat, yang ditunjukkan masih kurangnya konsumsi sayur dan buah, masih seringnya konsumsi makanan berisiko dan olahan tepung serta perilaku merokok. Pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Meliitus sebagian besar menderita penyakit hipertensi, jantung koroner dan stroke. Saran : Perlu upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat melalui promosi kesehatan yang disesuaikan dengan permasalahan pola perilaku di wilayah tersebut, yang didukung ketersediaan pelayanan kesehatan. Kata Kunci. Diabetes Meliitus, prevalensi, perilaku konsumsi, aktifitas fisik, merokok, penyakit tidak menular.
xiv
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL .......................................................................................................... SUSUNAN TIM PENELITI ............................................................................................ LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN .............................................................................. KATA PENGANTAR .................................................................................................... RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................... ABSTRAK .................................................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................................. DAFTAR TABEL/GAMBAR/GRAFIK/PETA.................................................................... I PENDAHULUAN ................................................................................................ A. Latar Belakang............................................................................................. B. Rumusan Masalah Penelitian .................................................... ..................... II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................. IV METODA PENELITIAN ...................................................................................... 4. ] .Kerangka Teori Penelitian ............................................................................. 4.2. Kerangka Konsep Penelitian .......................................................................... 4.3. Tempat dan Waktu ....................................................................................... 4.4. Jenis dan Disain Penelitian............................................................................. 4.5. Populasi dan sampel ..................................................................................... 4.6. Variabel dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 4.7. Definisi Operasional ..................................................................................... 4.8. Manajemen dan analisis Data ......................................................................... V HASIL PENELITIAN .......................................................................................... VI PEMBAHASAN .................................................................................................. VII KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. VIII UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................. IX DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... X LAMPIRAN Permohonan Surat Pengantar Kepada Kepala Pusat humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Surat Pernyataan Pemanfaatan Data kepada badan Litbang Kemenkes RI Kuesioner Riskesdas 2013
i ii iii iv x xi xiv xv xvi 1 1 4 6 34 35 35 36 37 37 37 38 40 41 44 95 125 128 129
XV
DAFTAR TABEL/GAMBAR/LAMPIRAN Tabel Halaman DAFTARJudul ISI Tabel.2.1 Perbedaan Diabetes Meliitus Tipe 1 dan 2 (Depkes RI, 2005) 9 LEMBAR Tabel.2.2.JUDUL .................. Kriteria........................................................................................................... Pengendalian Diabetes Meliitus (Mansyur Arif, 2001) i 10 Tabel.2.3. Penyebab Utama Gagal Ginjal Koronik di Amerika Serikat, tahun 1995 -1999. 22 Tabel.5.1.
Prevalensi Diabetes Meliitus Penduduk Berdasarkan Diagnosis Dokter di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013,
45
Tabel.5.2.
Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Kelompok Umur di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
48
Tabel.5.3.
Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Status Pendidikan di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
50
Tabel.5.4.
Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Status Pekerjaan di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
52
Tabel.5.5.
Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Pekerjaan Utama di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Status Ekonomi (Indeks Kepemilikan) di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Status Kawin di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
54
Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Perilaku Konsumsi Sayur dan Buah Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Perilaku Konsumsi Makanan Berisiko pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
60
Tabel.5.11.
Perilaku Konsumsi Makanan Olahan Tepung pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
67
Tabel.5.12.
Perilaku Merokok Penderita Diabetes Meliitus Menurut Kebiasaan Merokok di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
69
Tabel.5.13.
Perilaku Merokok pada Penderita Diabetes Meliitus Menurut Jumlah Batang Rokok yang Dihisap di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Perilaku Aktifitas Fisik pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Upaya Pengendalian DM dengan Diet pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi
71
Tabel.5.6.
Tabel.5.7.
Tabel.5.8.
Tabel.5.9.
Tabel.5.10.
Tabel.5.14. Tabel.5.15.
56
58
63
65
73 75
Indonesia, Tahun 2013. Tabel.5.16.
Upaya Pengendalian DM dengan Olahraga pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
77
Tabel.5.17.
Upaya Pengendalian DM dengan Obat Antidiabetik pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
79
Tabel.5.18.
Upaya Pengendalian DM dengan Obat Antidiabetik dan Kombinasi lainnya pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
81
Tabel.5.19.
Upaya Pengendalian DM dengan Injeksi Insulin pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
83
Tabel.5.20.
Gangguan Mental Emosional pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
92
Tabel.5.21.
Indeks Massa Tubuh pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
94
No. Gambar
Judul
Halaman
Gambar.2.I.
Peijalanan Penyakit Pada Nefropati Diabetik (Sumber : Breyer JA, Am. J. Kydney Dis
23
1992; 20:533-47
Gambar.2.2.
Peta Koridor Ekonomi Indonesia (Sumber: MP3 El 2011-2025, Kementrian
28
Koordinator Bidang Perekonomian)
Gambai.4.1. Gambar.4.2. Gambar.5.1. Gambar.5.2 Gambar.5.3
Kerangka Teori Penelitian (Sumber ; Patoetiologi Diabetes Meliitus, Soparman 1987). Kerangka Konsep Penelitian. Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Prevalensi Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Proporsi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Jenis Kelamin di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, tahun 2013 Proporsi Diabetes Meliitus Penduduk Menurut Lokasi Tempat Tinggal di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
35 36 46 49 61
Gambar. 5.4
Proporsi Penyakit Hipertensi pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
85
Gambar.5.5
Proporsi Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
86
Gambar.5.6
Proporsi Penyakit Gagal Jantung pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
86
Gambar.5.7
Proporsi Penyakit Stroke pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Proporsi Penyakit Gagal Ginjal pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
87
Proporsi Penyakit Batu Ginjal pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Pola Penyakit Tidak Menular (Hipertensi, Jantung Koroner dan Stroke) pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
89
Gambar.5.8
Gambar.5.9
Gambar.5.10
88
90
xviii
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan ekonomi di Indonesia membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin tidak hanya dalam peningkatan pendapatan per kapita, namun juga dalam perbaikan berbagai indikator sosial dan ekonomi lainnya termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, inklusif dan berkelanjutan. Keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan Indonesia mempersiapkan diri lebih baik untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang lebih cerdas dan fokus, dengan tolok ukur dan pola manajemen yang jelas. Pengembangan Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dilakukan dengan pendekatan terobosan (breakthrough) dan bukan “Business As Usual”, yang dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan adanya masterplan ini, diharapkan Indonesia mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) (Kemenko Bid Perekonomian, 2011). Analisis membuktikan bahwa penanggulangan kemiskinan dan peningkatan status kesehatan memerlukan kerangka kebijakan makroekonomi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkeadilan. Kesehatan adalah merupakan inti atau pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan (Atmawikarta, Arum 2009). Pembangunan ekonomi yang sedang beijalan juga memiliki kontribusi dalam bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan perbaikan beberapa indikator kesehatan yaitu menurunnya angka kematian dan penyakit menular, yang diikuti meningkatnya angka harapan hidup. Tetapi di lain pihak, muncul berbagai masalah kesehatan masyarakat, berkaitan dengan urbanisasi, pencemaran, kepadatan penduduk, double bourden disease (meningkatnya penyakit tidak menular). Perbedaan percepatan pembangunan sosio ekonomi antar pulau dapat menyebabkan variabilitas derajat
1
kesehatan serta problematika antar pulau dan wilayah. Kesehatan berkaitan erat dengan sosio budaya masyarakat setempat, dan pada hakikatnya dengan beijalarmya pembangunan ekonomi di daerah di Indonesia, maka menciptakan perkotaan baru (Juanita, 2002). Masalah urban akan selalu dihubungkan dengan kepadatan penduduk beserta konsekuensi perubahan- perubahan kondisi lingkungan sosial seperti perilaku hidup tidak sehat. Mereka yang tinggal di daerah urban cenderung akan mengalami perubahan gaya hidup yaitu perubahan pola makan dengan mengkonsumsi makanan yang kaya lemak dan kaya energi dimana konsekuensinya akan mempengaruhi kadar kolesterol dan glukosa darah (WHO, 2003). Dalam pembangunan ekonomi dewasa ini, terjadi kecenderungan perubahan lingkungan strategis bidang kesehatan, antara lain: 1) Transisi epidemiologi, yaitu perubahan pola penyakit yang sebelumnya didominasi oleh penyakit menular (infeksi) menjadi penyakit tidak menular. Keadaan ini merupakan beban global masyarakat dunia, sehingga membutuhkan pula komitmen global dalam pengendalian penyakit tidak menular tersebut; 2) Transisi lingkungan, ditandai dengan banyaknya terjadi bencana alam, perubahan iklim global, berkurangnya lahan pangan karena terpakai untuk industrialisasi, pencemaran dan lain-lain; 3) Transisi demografis, ditandai dengan meningkatnya proporsi usia lanjut, masih tingginya kemiskinan, dan lain-lain; 4) Perubahan sosio-budaya, dengan perubahan gaya hidup (lifestyle) yang cenderung menjadi tidak sehat, laju modernisasi yang cepat, dan berkembangnya nilai-nilai baru; 5) Perubahan keadaan politik, dengan adanya reformasi dan desentralisasi di mana daerah mempunyai wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri; 6) Perubahan keadaan ekonomi, dengan adanya globalisasi dan pasar bebas; dan 7) Perubahan keadaan keamanan, dengan adanya berbagai macam konflik skala regional, terjadinya perang, dan terorisme termasuk bioterorisme (Rahajeng, Ekowaty, 2012). Pada saat yang sama Indonesia mengalami perubahan derajat kesehatan maupun pola penyakit. Di beberapa daerah yang tingkat kesehatannya lebih baik, penyakit menular sudah relatif berkurang, namun beralih ke penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, Diabetes Meliitus, penyakit kronik dan degeneratif lainnya. Pergeseran pola penyakit ini juga sebagai dampak menurunnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya usia harapan hidup, dan peningkatan berbagai upaya kesehatan.
2
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negaranegara menengah dan miskin. Lebih dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini (Pusdatin, 2012). Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modem, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup (WHO report, 2010). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun. Salah satu penyakit yang menjadi program pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kementerian Kesehatan yang utama adalah Diabetes Mellitus (DM). Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik kronis tidak menular, dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan. Kadar gula darah merupakan kadar glukosa daJam darah dengan nilai > 126 mg/dl dalam keadaan puasa dinyatakan kadar gula darah tinggi/kencing manis yang disebut Diabetes Mellitus. Kadar gula darah yang tinggi dan berlangsung lama dapat menimbulkan komplikasi yaitu kelainan mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati diabetik, jantung koroner dan kelainan makrovaskuler seperti stroke, jantung sistemik dan gangren. Komplikasi Diabetes Mellitus dapat mengenai berbagai organ tubuh dan jaringan diantaranya adalah kerusakan ginjal yang ditandai dengan albuminuria karena penurunan filtrasi glomerulus ginjal dan gangguan respon imunitas. Kondisi kadar gula darah melebihi normal memicu terjadinya peningkatan radikal bebas pada berbagai sel tubuh termasuk jumlah sel neutrofil (Mansyur, Arif, 2001). Berdasarkan penelitian epidemiologi, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita Diabetes Mellitus di atas umur 20 tahun beijumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun akan meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita Diabetes Mellitus terdapat di kawasan Asia
3
Tenggara termasuk Indonesia. Jumlah penderita Diabetes Meliitus menurut data WHO Indonesia menempati urutan ke - 4 terbesar di dunia (Badawi, 2009). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi Diabetes Meliitus daerah urban di Indonesia sebesar 5,7%, dimana sebesar 1,2% penderita telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan, sedangkan sebesar 4,2% penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita DM (berdasarkan pemeriksaan darah yang dilaksanakan oleh Riskesdas). Sedangkan untuk penderita toleransi glukosa terganggu (TGT), dimana kadar glukosa darah sebesar 140 - 200 mg/dl setelah pembebanan glukosa, sebesar 10,2%. Prevalensi DM yang tertinggi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara, Riau kemudian NAD. Total prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan pemeriksaan glukosa darah menurut Riskesdas 2007 di setiap regional adalah yang tertinggi di region Sumatera yaitu Riau (10,4%), region Jawa (Jawa Tengah 7,8%), region Kalimantan (Kalimantan Barat 11,1%), region Sulawesi (Gorontalo 7,7%), region Bali- NTB (NTB 4,1%) dan region Papua-Maluku (Maluku Utara 11,1%). Pada tahun 2013, dilakukan kembali Riset Kesehatan Dasar dengan keterwakilan data sampai tingkat Kabupaten/Kota seperti pada tahun 2007. Pada Riskesdas 2013 dikumpulkan indikator serupa yang pada intinya bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan beberapa indikator status kesehatan masyarakat Indonesia, serta perkembangan upaya pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun 2013. Dari sejumlah indikator yang dikumpulkan, penyakit tidak menular juga merupakan salah satu indikator kesehatan yang dikumpulkan. Oleh karena itu data Riskesdas 2013 ini, dapat digunakan untuk menentukan perkembangan upaya pembangunan khususnya di bidang kesehatan masyarakat.
1,
2. Perumusan Masalah Penelitian
a. Rumusan masalah penelitian Dari latar belakang yang dipaparkan diatas, maka masalah yang dapat diumuskan dari penyakit Diabetes Meliitus adalah : - Adanya peningkatan prevalensi penyakit tidak menular khususnya Diabetes Meliitus terutama di kota besar di wilayah pembangunan ekonomi Indonesia. - Adanya perubahan gaya hidup (lifestyle) dan peningkatan kejadian penyakit tidak menular berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup yang cenderung menjadi tidak sehat seiring perkembangan kehidupan modem, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup.
4
b. Pertanyaan penelitian Yang menjadi pertanyaan penelitian adalah 1. Berapa prevalensi penyakit Diabetes Meliitus berdasarkan diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia ? 2. Bagaimana keadaan status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal pada penderita Diabetes Meliitus penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia ? 3. Bagaimana pola perilaku (konsumsi, merokok, aktivitas fisik) pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia ? 4. Apakah upaya pengendalian Diabetes Meliitus dan pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Melitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia ?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Penyakit Diabetes Meliitus Diabetes Meliitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang dikenal sebagai non
communicable diseases mulai menonjol sebagai salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang termasuk di Indonesia. Diabetes Meliitus merupakan penyakit metabolik kronis tidak menular, dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan.
II.1.1. Epidemiologi
'International Diabetes Federation (IDF) berdasarkan data tahun 2014, memperkirakan penderita DM di dunia sebanyak 387 juta dengan prevalensi 8,3% dan pada tahun 2035 akan bertambah sebanyak 205 juta jiwa. Sebanyak 46,3% penderita DM belum terdiagnosis dan 1 dari 2 orang penderita DM tidak mengetahui bahwa mereka mengidap Diabetes serta 77% tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kematian akibat penyakit DM sebesar 4,9 juta jiwa per tahun dan 50% dari kematian tersebut terjadi pada umur dibawah 60 tahun serta diperkirakan menghabiskan 11% dari total pengeluaran kesehatan di seluruh dunia Gambaran prevalensi Diabetes Meliitus di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan beberapa negara lainnya. Data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2010, menujukkan Indonesia berada di peringkat sembilan dengan persentase sebesar 7%, sementara persentase terbanyak yaitu negara India (50,8 %), diikuti China (43,2 %), Amerika Serikat (26,8 %), Rusia (9,6 %), Brasil (7,6 %) dan Jerman sebesar (7,5 persen). Indonesia mengalami kenaikan angka penderita diabetes sebesar 71 persen. Indonesia diperkirakan di peringkat keenam negara-negara penderita diabetes di dunia pada tahun 2030.
II. 1.2. Definisi, Etiologi dan Etiopatologi Definisi Diabetes Meliitus adalah keadaan hiperglikemia kronis disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronis
6
pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dengan pemeriksaan mikroskop elektron (Mansjoer, Arif, 2001).
Etiologi Etiologi penyakit Diabetes Meliitus dibagi atas 2 yaitu 1, Diabetes Meliitus Tergantung Insulin (DMTI) atau Insulin Dependent Diabetes Meliitus (IDDM) atau Diabetes tipe 1. Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita DM, Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel P pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Cithomegally virus, Herpes, dan sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain Islet Cell Cytoplasmic Antibodies (ICCA), Islet cell
surface antibodies (ICSA ), dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (GAD). 2. Diabetes Meliitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau Diabetes tipe 2 Diabetes tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel P pulau Langerhans dan resistensi insulin. Resistensi insulin sel P pulau Langerhans adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel P tidak mampu mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi insulin relatif. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa maupun dengan bahan perangsang sekresi insulin lain, yang menunjukkan desensitisasi sel P pankreas terhadap glukosa.
Etiopatoiogi Etiopatologi terjadinya Diabetes Meliitus diperkirakan menjurus ke suatu sebab yang multifaktorial. Beberapa faktor yang mempunyai pengaruh dalam terjadinya Diabetes Meliitus yaitu 1. Faktor keturunan dikenal sebagai penyebab diabetes sejak masa sebelum masehi. 2. Virus dan beberapa bahan kimiawi 3. Faktor imunologis. Apabila seorang memiliki antigen histocompatibility (HL-A8 dan W-15) terserang virus tertentu, maka akan terjadi suatu reaksi imunologis yang menimbulkan kerusakan sel beta pankreas.
7
4. Perbedaan pola makan, menyebabkan jenis Diabetes Meliitus yang berbeda yaitu diabetes karena tinggi kalori (tinggi karbohidrat dan lemak, tetapi rendah protein) dan diabetes yang disebabkan kekurangan makanan.
II. 1.3. Gejala Klinis Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia (sering lapar),
polidipsi (sering haus), poliuri (sering buang air kecil) dan berat badan menurun. Dari sudut penderita DM sendiri, yang sering menyebabkan penderita datang berobat ke dokter adalah : 1. Kelainan kulit, seperti gatal-gatal dan bisul yang tidak sembuh- sembuh 2. Kelainan ginekologi, seperti keputihan dan pruritus vulva (gatal pada kemaluan) 3. Kesemutan, rasa baal 4. Kelemahan tubuh 5. Impotensi pada pria 6. Infeksi saluran kemih 7. Mata kabur
II.1.4. Diagnosis dan Klasifikasi Diagnosis Diagnosis DM berdasarkan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa > 126 mg/dl. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat dll.
Klasifikasi Klasifikasi etiologis DM berdasarkan American Diabetes Association (1997), sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah 1. Diabetes tipe I, terdiri dari autoimun dan idiopatik. 2. Diabetes tipe 2
8
3. Diabetes tipe lain, yaitu : a.
Defek genetik fungsi sel beta, seperti Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3 dan DNA mitokondria.
b. Defek genetik kerja insulin c.
Penyakit eksokrin pankreas, seperti pakreatitis, tumor, pankreatektomi dan pankreatopati fibrokalkulus.
d. Endokrinopati, seperti akromegali, Sindroma Cushing, feokromositoma dan hipertiroidisme. e.
Diabetes karena obat dan zat kimia, seperti vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon a, dan lain-lain.
f.
Infeksi, seperti rubela kongenital dan sitomegali virus.
g. Penyebab imunologi yang jarang, seperti antibodi antiinsulin. h. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM, seperti Sindrom Down, Sindrom Klinefelter dan Sindrom Turner. i.
Diabetes Melitus Gestasional (DMG). Perbedaan Diabetes Meliitus tipe 1 dan 2 diuraikan pada Tabel.2.1, berikut.
Tabel.2.1 Perbedaan Diabetes Meliitus Tipe 1 dan 2 (Depkes RI, 2005). Aspek Penilaian DM Tipe 1 Permulaan muncul
Kondisi Klinis saat Diagnosis Kadar Insulin Darah Berat Badan Penatalaksanaan
II.1.4.
Umumnya masa kanakkanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun Berat Rendah, tak ada Kurus Terapi insulin, diet dan olahraga
DM Tipe 2
Pada usia tua, umumnya > 40 tahun
Ringan Cukup Tinggi, Normal Gemuk atau Normal Diet, Olahraga dan Obat hipoglikemik Oral
Tata Laksana Pengobatan
Penatalaksanaan penyakit DM dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid dan insulin. Pengelolaan pasien dilaksanakan secara holistik dengan mengajarkan kegiatan mandiri, yang bertujuan: 1. Jangka pendek, untuk menghilangkan keluhan atau gejala DM. 2. Jangka panjang, untuk mencegah komplikasi. Adapun kriteria pengendalian Diabetes Meliitus disajikan pada Tabel.2.2 di bawah.
9
Tabel.2.2. Kriteria Pengendalian Diabetes Meliitus (Mansyui Arif, 2001). Kriteria Baik Sedang Glukosa darah plasma vena - Puasa - 2 jam post prandial Hb Alc (%) Kolesterol total (mg/dl) Kolestrol LDL (mg/dl) - Tanpa PJK - Dengan PJK Kolestrol HDL(mg/dl) Trigliserida - Tanpa PJK - Dengan PJK BMI/IMT - Perempuan - Laki-laki Tekanan darah (mmHg) Keterangan: Hb AJc LDL HDL PJK BMI/IMT
80-109 110-159
Buruk
110-139 160-199
>140 >200
4-6 <200
6 -8 200-239
>8 >240
<130 <100 >45
130- 159 100-129 35-45
> 160 > 130
<200 <150
200-249 150-199
>250 >200
18,5-23,9 20-24,9 < 140/90
23-25 25-27 140-160/90 -95
> 25 atau < 18,5 > 27 atau < 20 >160/95
<35
: Hemoglobin Alc : Low Density
Lypoprotein : Hight Density Lypoprotein : Penyakit Jantung Koroner : Body Mass /wfor/Indeks Massa Tubuh
Kerangka utama penatalaksanaan DM yaitu dengan perencanaan makan (diet), latihan asmani (olahraga), obat hipoglikemik, insulin dan penyuluhan (Mansyur Arif, 2001). 1. Perencanaan makan Standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60 70%), protein (10 -15%) dan lemak (20 -25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya. Jumlah kalori yang dibutuhkan secara kasar dibagi menjadi: a.
Pasien kurus = 2300 - 2500 kkal
b.
Pasien normal = 1700 — 2100 kkal
c.
Pasien gemuk = 1300 - 1500 kkal Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan sebaiknya juga diperhatikan. Masukan
kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber
10
protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Serat sangat penting bagi penderita diabetes terutama serat larut, diusahakan minimal 25 gram per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (Depkes RI, 2005).
2. Latihan jasmani Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya sesuai Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Trainning (CRIPE). Latihan dilakukan terus menerus tanpa henti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung. Sedapat mungkin mencapai zona sasaran latihan yaitu 75 - 85% denyut nadi maksimal. Denyut nadi maksimal (DNM) dapat dihitung dengan formula DNM = 220 - umur.
3. Obat hipoglikemik Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar gukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik baik oral maupun suntikan. Ada beberapa golongan obat hipoglikemik oral yaitu
a.
Sulfonilurea Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara, menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dan meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. Klorpropamid dan glibenklamid merupakan golongan sulfonilurea yang kurang dianjurkan pada keadaan insufiensi renal dan orang tua karena risiko hipoglikemia yang berkepanjangan. Untuk orang tua dianjurkan
11
preparat dengan waktu kerja pendek (tolbutamid dan glikuidon). Giikuidon juga diberikan pada pasien DM dengan gangguan fungsi hati atau ginjal ringan.
b.
Biguanid Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (Indeks Massa Tubuh/IMT > 30) sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan berat badan lebih (IMT 27 -30), dapat dikombinasi dengan obat golongan sulfonilurea.
c.
Inhibitor a glukosidase Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim a glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.
d.
Insulin sensitizing agent Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologik meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat hipoglikemik oral (Depkes RI, 2005), yaitu 1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap. 2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. 3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. 4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin. 4. Insulin Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-sel p Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
12
memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Depkes RI, 2005). Untuk penggunaan insulin, ada beberapa indikasi (Mansyur Arif, 2001) yaitu -
Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin endogen oleh sel-sel p kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada.
-
Penderita DM Tipe 2 yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis maksimal atau ada kontraindikasi dengan obat tersebut.
-
DM dengan berat badan menurun dengan cepat atau kurus.
-
Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar.
-
DM yang mengalami stres berat (infeksi sistemik, operasi berat dan lain-lain).
-
DM dengan kehamilan atau DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan. Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda
dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting), disebut juga insulin reguler. 2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting). 3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat. 4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin).
5. Penyuluhan Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pemah mendapat pendidikan mengenai diabetes, risiko untuk komplikasi mayor meningkat 4 kali lipat. Materi inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien diabetes (National Standard for diabetes self-management education. Diabetes Care 2005 dalam Depkes RI, 2005), yaitu -
Definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan
-
Terapi nutrisi
-
Aktivitas fisik
-
Penggunaan obat
13
-
Memonitor kadar gula sendiri
-
Mencegah, mendeteksi, dan mengobatikomplikasi-komplikasi akut dan kronis
-
Target untuk mencapai hidup sehat
-
Menyesuaikan sendiri perawatan dalamkehidupan sehari-hari (problem solving)
-
Penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari
Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahapan : Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien didiagnosa dengan DM sehingga dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan lain sebagainya. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus pada masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien (misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya mengatasi reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar (misalnya obat hipoglikemik oral, obat antidislipidemia, obat antihipertensi, aspirin) harus dijelaskan. Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep, meningkatkan dan menjaga motivasi, dan berupaya agar pasien dapat mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan keluarganya (Depkes RI, 2005), yaitu: 1. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga. 2. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan. 3. Agar penderita DM dapat berfungsi lebih produktif dan bermanfaat serta berperan optimal dalam masyarakat. 4. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun negara. Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus
14
mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya.
II.1.5. Komplikasi dan Penyakit yang Menyertai Komplikasi Diabetes Meliitus, terdiri dari 1. Komplikasi akut : koma hipogikemia, ketoasidosis dan koma hiperosmolar non ketotik. 2. Komplikasi kronis dapat mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi dan pembuluh darah otak. Penyulit vaskuler pada DM dapat dibedakan menjadi: 1. Makroangipati diabetik, jika mengenai pembuluh darah besar (arteri koroner, serebral dan kaki). 2. Mikroangiopati diabetik, bila mengenai pembuluh darah kecil atau kapiler seperti retinopati (retina mata), nefropati (ginjal), kapiler otak, tungkai bawah dan vasa nervosum. Adapun komplikasi kronis dan penyakit-penyakit yang dapat menyertai Diabetes Meliitus diuraikan di bawah ini.
II.1.5.1. Hi pertensi Pada orang dengan Diabetes Meliitus, hipertensi berhubungan dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin. Pada Diabetes Meliitus meningkatkan abnormalitas metabolik yang berhubungan dengan disfungsi endotelial. Pada sel endotelial normal mensintesis substansi bioaktif kuat yang disebut nitrit oksida (NO) yang mengatur fungsi pembuluh darah yaitu untuk mempertahankan homeostasis vaskuler, menjaga aliran darah yang adekuat, pengantaran zat nutrien, mencegah trombosis dan diapedesis leukosit. Pada Diabetes Meliitus terjadi gangguan metabolik seperti hiperglikemia, pembentukan asam lemak bebas berlebih, resistensi insulin menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel yang mempengaruhi sintesis dan degradasi NO. Produksi nitrit oksida dihambat lebih lanjut oleh resistensi insulin, yang menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari jaringan adipose. Asam lemak bebas, aktivasi protein kinase C, menghambat phosphatidylinositol-3 dan meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif. Semua mekanisme ini secara langsung mengurangi bioavailabilitas pembuluh darah yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi dan aterosklerosis (Creager MA, Luscher TF, 2003)
15
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia menyebabkan hipertensi, dimana hipertensi esensial yang tidak diobati memiliki kadar insulin puasa dan post prandial yang lebih tinggi dibandingkan subjek normotensif tidak bergantung dari massa tubuh. Hubungan antara insulin dan hipertensi tidak muncul pada hipertensi sekunder (McFarlane SI, 2001). Hipertensi pada pasien Diabetes, dapat berkembang menjadi gagal ginjal dan memerlukan kontrol agresif tekanan darah, yang secara signifikan dapat mengurangi progresifitas penyakit vaskuler. Kadar gula darah yang tinggi secara sekunder menyebabkan abnormalitas seperti glikosilasi lipoprotein, sehingga meningkatkan potensial aterogenik. Resistensi insulin merupakan abnormalitas primer yang menjadi faktor predisposisi utama perkembangan penyakit vaskuler (Clemons DR, 2005; Mayhan G W, 2001) Menurut Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (Perkeni, 2006), indikasi pengobatan hipertensi pada Diabetes Meliitus, bila tekanan darah sistolik >130 mmHg dan/atau diastolik >80 mmHg. Sasaran (target penurunan) tekanan darah adalah tekanan darah <130/80 mmHg. Apabila disertai proteinuria ≥ 1g/24 jam, maka target penurunan tekanan darah adalah < 125/75 mmHg. Pengelolaan hipertensi pada DM, meliputi 1.
Non-farmakologis, yaitu modifikasi gaya hidup, antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam.
2.
Farmakologis, yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi (OAH), yaitu -
Pengaruh OAH terhadap profil lipid
-
Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
-
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
-
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung.
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan adalah -
Penghambat ACE
-
Penyekat reseptor angiotensin II
-
Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
-
Diuretik dosis rendah
-
Penghambat reseptor alfa
-
Antagonis kalsium
16
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik antara 8089 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis. Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 atau tekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung. Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.
II.1.5.2. Jantung Koroner Penderita DM mempunyai faktor risiko kuat untuk perjalanan penyakit jantung koroner, dimana insidensnya 2-4 kali dibandingkan dengan non diabetes. Sebanyak 80% kematian pada pasien Diabetes diakibatkan oleh aterosklerosis dibandingkan sekitar 30% pada pasien non Diabetes (Clemons DR, 2005). Infark jantung juga dapat terjadi akibat kelainan makrovaskuler, DM merupakan salah satu faktor risikonya. Berbeda dengan biasanya, pada penderita DM, rasa nyeri dada sering tidak dijumpai (silent
infarction) akibat adanya neoropati. Adanya kelainan koroner (yang dinyatakan sebagai adanya kelainan elektrokardiogram) ditemukan pada 8,4% - 27,7% penderita DM. Angka persentase infark jantung akut pada penderita DM juga jarang tercatat, seperti gangguan sereborvaskuler, infark jantung akut biasanya dilaporkan sebagai penyebab kematian DM (Soeparman, 1994). Bentuk makroangiopati pada jantung dapat menyerang arteri kecil intramural dan arteriol (pembuluh darah koroner), sehingga menimbulkan penyakit jantung koroner yang kemungkinan berakibat timbulnya infark miokard. Bila bersamaan dengan neuropati, maka dapat terjadi silent infarktion, yang terjadi sekitr 40% pada kasus infark penderita DM (Supartondo ; Waspadji S dalam Suparman, 1994). Resistensi insulin merupakan prediktor Penyakit Jantung Koroner (PJK). Sindrom iskemik akut, penyakit arteri perifer dan komplikasi kardiovaskuler berat muncul lebih sering pada subjek dengan diabetes dibandingkan yang tanpa diabetes. Simptom khas jantung sering tersamarkan pada penderita diabetes. Hubungan positif antara hiperglikemia pada saat kejadian dan mortalitas dari infark miokard telah diteliti, meskipun mekanisme yang mendasari hubungan ini belum sepenuhnya dimengerti. Fakta menunjukkan, penggunaan insulin untuk menurunkan konsentrasi glukosa menurunkan mortalitas pada pasien diabetes yang mengalami infark miokard, terbukti bahwa hiperglikemia bukanlah keadaan sederhana dari respons terhadap stress yang diperantarai kortisol dan noradrenalin. Pada pasien infark miokard, kurangnya insulin berhubungan
17
dengan hiperglikemia dapat menyebabkan penurunan subtrat glikolitik untuk otot jantung dan asam lemak bebas yang berlebih. Perubahan ini dapat mengurangi kontraktilitas miokard terhadap kebutuhan oksigen, mengakibatkan kegagalan pompa dan menimbulkan aritmia. Pasien hiperglikemia pada infark miokard dengan atau tanpa diabetes merupakan faktor risiko yang potensial dan penting untuk prognosis yang buruk (Capes S, 2000). Stress hiperglikemik pada awal infark miokard akut menyebabkan peningkatan risiko mortalitas selama rawatan rumah sakit dan gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik pada pasien diabetes maupun pasien tanpa diabetes (Capes S, 2000). Mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hiperglikemia merupakan gambaran dari defisiensi relatif insulin, yang meningkatkan lipolisis dan sirkulasi asam lemak bebas berlebih. Efek ini dapat bertambah berat pada kondisi stress akut seperti infark miokard. 2. Hipergikemia akut menimbulkan diuresis osmotik. Deplesi volume yang terjadi dapat mengganggu mekanisme Frank Starling, yang merupakan mekanisme kompensasi penting respons ventrikel kiri dimana peningkatan volume diastolik akhir menyebabkan peningkatan stroke volume. 3. Stress hipergikemik dapat merupakan penanda dari kerusakan jantung yang lebih luas yang dapat
menyebabkan
peningkatan
stress
hormon
(menimbulkan
glikogenolisis
dan
hiperglikemia) dan dapat meningkatkan risiko gagal jantung kongestif dan mortalitas. 4. Pasien yang mengalami stress hipergikemik cenderung mengalami disglikemik pada keadaan tanpa stress (memiliki kosentrasi gula darah lebih tinggi dari kadar normal tetapi lebih rendah daripada ambang untuk diabetes). Pasien tersebut memiliki risiko lebih tinggi penyakit kardiovaskuler dibandingkan pasien dengan kadar gula normal, dan memiliki prognosis lebih buruk setelah infark miokard akut karena lebih beratnya penyakit jantung koroner yang mendasari.
II. 1.53. Stroke Penderita DM mempunyai kecenderungan lebih mudah mengalami serangan otak daripada non diabetes. Penderita DM dengan gangguan serebrovaskuler dapat memberikan gambaran kelumpuhan. Angka persentase untuk gangguan serebrovaskuler sangat jarang. Kebanyakan gangguan serebrovaskuler dilaporkan sebagai penyebab kematian, bukan sebagai persentase komplikasi Diabetes Meliitus.
18
Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologi berupa arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya hiperglikemia berat dan apabila melebihi ambang batas reabsorbsi oleh ginjal maka timbullah glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin ipoliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang (polifagia) mungkin akan timbul dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan cairan elektrolit. Ketika tubuh kehilangan cairan maka darah mengalami kepekatan yang membuat darah menggumpal (mengalami trombosis). Trombosis adalah proses kompleks yang berhubungan dengan proses terjadinya aterosklerosis yang selanjutnya dapat menghasilkan penyempitan pembuluh darah yang mengarah ke otak (Price dan Wilson, 2006). Manisfestasi penyulit vaskuler makroangiopati dan mikroangiopati pada otak biasanya terdapat dalam 2 bentuk (Soeparman, 1994) yaitu 1. Sindrom lobus frontalis, kelainannya dapat berupa daya ingat menurun dan berangsur-angsur akan menuju dimensia. Proses ini selain terutama akibat mikroangiopati, tetapi juga makroangiopati. 2. Trombosit serebral karena mudahnya trombosis mengalami agregasi sehingga terbentuklah mikrotrombus dan mengakibatkan stroke yaitu hemiparese yang kadang-kadang disertai gangguan bicara. Kedua bentuk kelainan diatas, dapat terjadi secara bersamaan ataupun sendiri - sendiri. Penyulit otak ini lebih mudah terjadi apabila terdapat pula hipertensi. Diabetes Meliitus merupakan faktor risiko independen terjadinya stroke iskemik, tetapi tidak terjadi peningkatan risiko stroke hemoragik pada penderita Diabetes Meliitus. Pada penderita DM terjadi perubahan fungsi sel endotel dan kegagalan relaksasi vaskular. Hiperglikemia mengaktifkan protein kinase C di endotel yang selanjutnya merangsang produksi prostaglandin vasokonstriktor dari endotel. Kadar endotelin (bersifat vasokonstriktor) dan angiotensin converting enzyme (ACE) yang berperan dalam pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) juga meningkat. Pada DM juga terjadi kegagalan peningkatan cerebral blood flow sebagai respons terhadap rangsangan vasodilator, yang disebabkan neuropati otonom diabetik dan atau kelainan endotel yang mengakibatkan menurunnya faktor vasodilator endotelial seperti nitric oxide. Hiperglikemia mengubah produksi matriks sel endotel, dan menyebabkan penebalan
19
membran basal. Kadar gula yang tinggi meningkatkan produksi kolagen IV endotel dan fibronektin serta meningkatkan aktivitas enzim yang terlibat dalam sintesis kolagen. Toksisitas glukosa juga memperlambat replikasi dan mempercepat kematian sel endotel. Kelainan metabolik lain yang dapat terjadi pada diabetes selain hiperglikemia adalah hipertrigliseridemia, peningkatan reaksi oksidasi dan glikosilasi, sehingga akan memperburuk kerusakan sel endotel (Hsueh WA, Anderson P W, 1992).
II.1.5.4. Gagal Jantung Gagal jantung telah menjadi permasalahan di bidang kesehatan pada tahun-tahun terakhir dan merupakan penyebab hospitalisasi pasien di atas 65 tahun. Diabetes Meliitus merupakan faktor risiko independen terhadap perkembangan gagal jantung. Beberapa penelitian menunjukkan risiko gagal jantung 2 kali lebih tinggi pada laki-laki dan 5 kali lebih tinggi pada wanita yang mengalami diabetes (Baliga, 2009). Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologik dimana jantung tidak dapat mempertahankan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Walaupun penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan faktor risiko paling umum berhubungan dengan gagal jantung, namun Diabetes Meliitus dan resistensi insulin juga merupakan faktor risiko yang independen dan kuat terhadap gagal jantung (McGuire KD, 2012). Beberapa mekanisme telah diketahui berperan dalam kejadian gagal jantung pada pasien diabetes, baik efek yang tidak langsung (kormoditas yang mendasari) dan efek langsung (metabolik) diabetes, kebanyakan berhubungan pada kondisi yang kompleks dan dapat mempengaruhi baik fungsi sistolik maupun diastolik. Hiperglikemik berhubungan dengan fungsi endotel mikrovaskuler yang terganggu, menyebabkan peningkatan kebutuhan miokard, gangguan dinamika energi, yang dapat mengubah penggunaan miokard kepada oksidasi asam lemak yang kurang efisien dan bersifat proinflamasi. Komponen utama dan penanda gangguan ini adalah down regulation enzim FAO dan level mRNA pada ventrikel jantung ( Garcia,2005; Masodi, 2007). Aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAS) memegang peran penting pada patofisiologis gagal jantung. Faktor-faktor tersebut menunjukkan peran terhadap kerusakan jantung dan vaskuler, selanjutnya aktivasi sistem neurohormonal ini mencakup hipertensi, hiperlidemia, sindrome metabolik, aterosklerosis, PJK akut dan gagal jantung. Disamping itu, aktivasi sistem neurohormonal tersebut menyebabkan resistensi insulin dan resistensi insulin menyebabkan aktivasi sistem
20
neurohormonal. Aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan menghasilkan efek kardiovaskuler yang menurun, kerusakan jantung akibat aktivasi sistem saraf simpatis iFanarow, 2005). Diabetik kardiomiopati merupakan salah satu gagal jantung yang timbul pada diabetes. Beberapa faktor yang mendasari diabetik kardiomiopati yaitu aterosklerosis koroner berat, hipertensi lama, hiperglikemik kronik, penyakit mikrovaskuler, glikosilasi protein miokard dan neuropati otonom. Perbaikan kontrol glikemik, hipertensi dan pencegahan aterosklerosis dengan obat anti dislipidemi dapat mencegah atau memperlambat timbulnya diabetik kardiomiopati. Mekanisme yang terlibat dalam menurunkan kontraktilitas miokard pada Diabetes Meliitus yaitu gangguan homeostatis kalsium, up
regulation sistem renin-angiontensin, peningkatan stress oksidatif, gangguan metabolisme subtrat dan disfungsi miokard. Neuropati otonom berperan pada perkembangan disfungsi ventrikel kiri, dimana stimulasi simpatis memperbaiki kontraksi ventrikel kiri dan meningkatkan laju relaksasi ventrikel kiri, difasilitasi dengan pengambilan kalsium oleh reticulum sarkoplasmik. Pada diabetes penyimpanan katekolamin jantung berkurang yang menyebabkan gangguan baik fungsi sistolik dan diastolik. Kemampuan pembuluh baru untuk memenuhi kebutuhan metabolik juga lerganggu dengan tonus pembuluh darah epikard yang abnormal dan disfungsi miokard, ditandai dengan gangguan relaksasi tergantung endotel, suatu kerusakan yang dihubungkan dengan inaktivasi nitrit oksida karena produk glikasi akhir yang banyak dan pembentukan radikal bebas. Deposit dari produk glikasi akhir meningkatkan kekakuan diastolik ventrikel kiri secara langsung dengan gangguan kolagen, atau tidak langsung dengan meningkatkan pembentukan kolagen atau menurunkan bioavailabilitas nitrit oksida (Grundy SM, 1999; Boudina S, 2007; Nesto RW, 2011).
II.1.5.5. Gagal Ginjal Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), bermanifestasi kelainan patologis ginjal ( kelainan komposisi darah atau urin atau kelainan dalam tes pencitraan ), LFG < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Rumus laju filtrasi glomerulus (Rustamaji, 2014), yaitu 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 =
(140 − umur)xBerat Badan mg 72xkreatinin plasma � � dl
Pada perempuan, laju filtrasi glomerulus (LFG), dikalikan 0,85.
21
Klasifikasi gagal ginjal terbagi atas 2, yairu A. Berdasarkan derajat penyakit, terdiri dari
B.
1)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ( > 90 )
2)
LFG menurun ringan (60-89 )
3)
LFG menurun sedang ( 30-59)
4)
LFG menurun berat ( 15-29)
5)
Gagal ginjal ( < 15 atau dialisis ).
Berdasarkan etiologi. terdiri dari 1)
Penyakit ginjal diabetes ( DM tipe 1 dan 2 )
2)
Penyakit ginjal non diabetes
3)
Penyakit pada transplantasi.
Di Indonesia berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pemefri) tahun 2000, penyebab gagal ginjal tersering adalah glomerulonefritis, DM, obstruksi dan infeksi, hipertensi, sebab lain. Penyebab Utama Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat sebagian besar disebabkan oleh penyakit Diabetes Meliitus (Rustamaji, 2014), disajikan pada Tabel2.3. berikut.
Tabel.2.3. Penyebab Utama Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat, Tahun 1995 -1999.
Pcnvcbab DM
Tipe 1 Tipe 2
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis interstitial is
Kista dan penyakit bawaan lain
Insiden 44% 7%
37% 27% 10% 4% 3%
Penyakit sistemik (lupus dan vaskulitis)
2%
Tidak diketahui Penyakit lain
4% 4%
Neoplasma
2%
Pada penderita yang telah lama mengidap DM, manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik, dimana terjadi gangguan faal ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal kronis. Mikroangiopatik diabetik timbul akibat dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya glikosilasi protein pada membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis, dan terjadi pula penumpukan zat serupa glikoprotein
membran basalis pada mesengium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak dan aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomeruloskierosis dan hipertrofi neuron. Penebalan membran basal dan pelebaran mensengium adalah dua kejadian yang sangat penting pada nefropati diabetik sehingga fungsi filtrasi akan sangat terganggu. Adanya proteinuria merupakan gejala awal dari nefropati diabetik, dengan kriteria DM yang disertai retinopati diabetik dan proteinuria persisten (tanpa adanya penyakit ginjal ataupun penyebab lain), pada 4 kali pemeriksaan dengan interval sebulan (Green RJ, 1993). Selain mikroangiopati, pada penderita DM juga terjadi makroangiopati diabetik pada ginjal adalah proses arteriosklerosis renal yang biasanya mengenai arteriol glomerulus aferen, eferen dan pembuluh darah nutritif untuk ginjal. Manisfestasi mikroangiopati pada ginjal atau yang disebut nefropati diabetik dapat berbentuk (Soeparman, 1994): 1. Glomeruloskeloris difus. terutama berbentuk penebalan membran basal yang difus (bentuk ini tidak spesifik untuk diabetes) 2. Glomeruloskierosis eksudatif, terutama menunjukkan lesi eksudatif atau fibrin cap atau capsular drop 3. Glomeruloskierosis nodular atau glomeruloskierosis interkapiler, bentuk nodular ini yang dianggap khas untuk Diabetes. Lamanya menderita DM sampai timbulnya nefropati diabetik, telah banyak dilaporkan, diantaranya Massary et all (1979) untuk DM tipe I, rata-rata 15,5 ± 1,1 tahun dan DM tipe 2 rata-rata 12,8 ± 0,8 tahun. Tjokroprawiro (1996) melaporkan, lamanya menderita DM kira-kira 15 tahun. Perjalanan penyakit pada nefropati diabetik, digambarkan pada Gamber.2.1. sebagai berikut.
Nefropati Insipiens --------------
Hiperfiltrasi
-
Hipertensi
Mikroalbuminuri
Diabetes tak Terkontrol
10-30
13-25
15-40
Awal DM— Perubahan fungsi : Perubahan Struktur: GFR naik
- Penebalan membran basalis
Albuminuria reversibel
- Ekspnasi Mesengium
Ginjal membesar
Gambar.2.1. Perjalanan Penyakit Pada Nefropati Diabetik (Sumber: Breyer JA. Am. J. Kydney Dis 1992; 20:533-47)
23
Penderita dengan nefropati diabetik dapat menunjukkan gambaran gagal ginjal menahun seperti lemas, mual, pucat, sampai keluhan sesak nafas akibat penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal yang dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin dan ureum serum ditemukan berkisar 2 % - 7,1% penderita DM. Adanya proteinuria yang persisten tanpa adanya kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik. Proteinuria ditemukan pada 13,8% sampai 54.8% penderita DM (Soeparman, 1994). Identifikasi gejala awal gagal ginjal merupakan faktor yang sangat penting, yang harus dilanjutkan dengan terapi yang sesuai. Mikroalbuminuria merupakan tanda awal yang dapat berlanjut menjadi penyakit ginjal diabetes. Tahap mikroalbuminaria ditandai dengan keluarnya 30 mg albumin dalam urin selama 24 jam. Kondisi ini akan berlanjut terus sampai tahap gagal ginjal terminal, jika tidak diterapi. Oleh karena itu pada penyandang diabetes harus melakukan pemeriksaan kadar mikroalbuminaria secara rutin. Tes ini dapat dilakukan dengan pengumpulan urin selama 24 jam di laboratorium untuk estimasi Albumin Excretion Rate (AER), pengukuran ekskresi albumin berlebih. Pengobatan sejak dini memang dapat menunda bahkan menghentikan progresivitas penyakit ginjal. Kenyataannya, penderita DM kebanyakan baru berobat saat gangguan ginjal sudah lanjut atau terjadi makro-albuminaria
(300
mg
albumin
daiam
urin
per
24
jam).
(
http://udoctor.co.id/udoctor3/includes/broadcast / Diabetes_lalai_ok.pdf.).
II.1.5.6. Batu Ginjal
Insiden penyakit batu kemih meningkat jauh dalam beberapa dekade terakhir di semua negara industri, demikian pula dengan angka kejadian obesitas, sindrom metabolik, dan diabetes tipe 2. Perubahan epidemiologi berlangsung seiring dengan kebiasaan makan dan gaya hidup terjadi di semua populasi, ditandai dengan asupan kalori yang tinggi ditambah dengan aktivitas fisik berkurang (Trinchieri,et all 2000; Mokdad AH, et all, 2003) . Dugaan sementara menunjukkan bahwa hubungan mungkin ada di antara diabetes, obesitas, dan penyakit batu kemih. Studi terbaru mengungkapkan peningkatan prevalensi nefrolitiasis pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes (Meydan N.et all 2003; Taylor EN, et al, 2005). Resistensi insulin merupakan gangguan metabolisme mendasar yang berhubungan dengan sindrom metabolik dan Diabetes Mellitus tipe 2. Pada DM menyebabkan gangguan ammoniagenesis pada ginjal yang rusak dan pH urin rendah yang berkontribusi produksi batu asam urat. Kondisi pH urin rendah merupakan faktor lithogenic utama dalam idiopatik nefrolitiasis batu asam urat. Pak et al (2002) menemukan proporsi batu asam urat sangat
24
tinggi (33,9%) pada penderita diabetes tipe 2. Namun demikian, karena penderita memiliki berat badan yang sangat tinggi (obesitas), sehingga pembentukan batu asam urat tersebut, Epakah merupakan pengaruh obesitas atau diabetes tipe 2 tidak bisa digambarkan. Prevalensi batu asam urat juga dilaporkan lebih tinggi pada obesitas dibandingkan orang kurus dalam studi Ekeruo et al (2004).
II. 1.5.7. Stress (Gangguan Mental) Stress adalah perasaan yang dihasilkan ketika seseorang bereaksi terhadap peristiwa terntu. Ini adalah cara tubuh untuk bersiap menghadapi situasi yang sulit dengan fokus, kekuatan, stamina dan kewaspadaan tinggi. Peristiwa yang memancing stress disebut stressor dan meliputi berbagai macam situasi fisik seperti cedera atau sakit. Stressor lainnya dapat berupa keadaan mental seperti masalah dalam pernikahan, pekerjaan, kesehatan atau keuangan (Mitra. 2008). Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres. Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah menurun, yang kemudian akanmembuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Hormon tersebut nembuat banyak energi tersimpan dimana glukosa dan lemak tersedia untuksel.Namun insulin tidak mampu untuk menyimpan energi ekstra ke dalam sel sehingga glukosa menumpuk dalam darah,inilah yang meyebabkan diabetes (Mitra. 2008).
II.1.5.8. Obesitas Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe-2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe-2. Pengendalian berat badan dengan melakukan diet sehat yang diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut (Perkeni, 2006). Pada pengelolaan pasien Diabetes tipe 2, intervensi pola hidup dengan diet dan aktivitas fisik berfungsi memperbaiki tekanan darah, profil lipid. dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, meskipun telah diberi obat-obatan. Untuk
25
pasien yang tidak obesitas ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan (ADA, 2008).
II.2. Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (Kementrian koordinator Bidang Perekonomian. 2011) Banyak bukti makroekonomi menjelaskan bahwa beberapa negara dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan pendidikannya (Masuku, Dahyar, 2011). Kesehatan adalah merupakan inti atau pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan. Peningkatan status kesehatan memerlukan kerangka kebijakan makroekonomi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan banyak langkah yang lebih cerdas dan fotus, dengan tolok ukur dan pola manajemen yang jelas untuk pembangunan ekonomi di Indonesia. Pengembangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan. Indonesia diharapkan mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Iptek. Masterplan ini memiliki dua kata kunci, yaitu percepatan dan perluasan. Dengan adanya masterplan ini, diharapkan Indonesia mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah berbagai sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM Iptek. MP3EI tidak dimaksudkan untuk menggantikan RPJM Nasional ataupun proses perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang selama ini berjalan. Dokumen MP3EI ini berfungsi sebagai dokumen kerja yang komplementer terhadap semua dokumen perencanaan pembangunan yang ada tersebut. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlah program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi dan kebijakan. Prioritas ini merupakan hasil dari sejumlah kesepakatan yang dibangun bersama- sama dengan seluruh pemangku kepentingan di dalam serial diskusi dan dialog yang sifatnya interaktif dan partisipatif. Berdasarkan kesepakatan tersebut, fokus dari pengembangan MP3EI ini diletakkan pada 8 program utama, yaitu
26
1.
Pertanian
2.
Pertambangan
3.
Energi,
4.
Industri
5.
Kelautan
6.
Pariwisata
7.
Telematika
8.
Pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yaitu :
1.
Kelapa Sawit
2.
Karet
3.
Kakao
4.
Pertemakan
5.
Perkayuan
6.
Minyak dan Gas
7.
Batunara
8.
Nikel
9.
Tembaga
10. Bauksil 11. Perikanan 12. Pariwisata 13. Pertanian Pangan 14. Jabodatabek (Jakarta, Bogor Depok, Tangerang, Bekasi) Area 15. KSN Selat Sunda 16. Peralatan Trans po rtas i 17. Telematika 18. Perkapalan 19. Tekstil 20. Makanan Minuman 21. Besi Baja 22. Alat Utama Sistem Pertahanan (Alulsista) Selain itu. juga ditetapkan 6 (enam) koridor ekonomi sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang diharapkan dapat mendorong perkembangan ekonomi di seluruh wilayah Nusantara. Dengan demikian, para pelaku ekonomi dapat memilih bidang usahanya secara jelas sesuai 27
dengan minat maupun keunggulan potensi wilayahnya. Enam koridor ekonomi tersebut, sendiri dari berbagai wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti yang tergambar pada peta berikut.
1 KE Su mat era 2 KE Jawa 3 KE Kaliman t an 4 KE Su lawesi 5 KE Bali - Nu s a Tenggara 6 KE Pap u a - kep ulauan M alu ku
Gambar.2.2. Peta Koridor Ekonomi Indonesia (Su mb er: M P3EI 2011-2025. Kemen t rian Ko o rd in at o r Bid an g Pereko n o mian )
Enam koridor sebagai pusat pembangunan ekonomi di Indonesia, yang meliputi 37 Kota dimana sebagian besar adalah ibukota provinsi yaitu 1.
Sumatera. terdiri dari Banda Aceh, Medan. Pekan Baru. Jambi. Palembang, Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Padang. Bandar Lampung. Bengkulu. Serang (11 Kota).
2.
Jawa, terdiri dari Jakarta. Bandung. Semarang. Jogjakarta dan Surabaya (5 Kota).
3.
Kalimantan, terdiri dari Pontianak. Palangkaraya. Banjarmasin dan Samarinda (4 Kota).
4.
Sulawesi, terdiri dari Makassar, Mamuju, Palu, Kendari, Menado dan Gorontalo (6 Kota).
5.
Bali- Nusa Tenggara, terdiri dari Denpasar. Lombok. Kupang dan Mataram (4 Kota).
6.
Papua - Kepulauan Maluku, terdiri dari Sofifi. Ambon. Sorong, Manokwari, Timika. Jayapura dan Merauke (7 Kota).
28
Tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
Kori dor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”.
Kori dor Ekonomi Jaw a memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”.
Kori dor Ekonomi Kal i mantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”.
- Kori dor Ekonomi Sul aw esi memiliki tema pembangunan sebagai ° Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian. Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional.
Kori dor Ekonomi Bal i - Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai ‘’Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional'’.
Kori dor Ekonomi Papua - Kepul auan Mal uku memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.
II.3. Ekonomi dan Kesehatan Pentingnya peranan investasi kesehatan dalam pembangunan ekonomi sudah menjadi pemahaman dan kesepakatan global. Kesehatan adalah merupakan inti atau pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan. Terdapat hubungan yang sangat erat antara kemiskinan dengan kesakitan, oleh karena itu perlunya kebijakan makroekonomi diarahkan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial secara beriringan. Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan status kesehatan memerlukan kerangka kebijakan mikroekonomi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkeadilan.
II.3 .1 .
Dampak Ekonomi terhadap Kesehatan Berdasarkan studi oleh Bank Dunia (WHO 2002 dalam Atmawikarta, Arum 2009) menunjukkan bahwa
angka kesakitan dan kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan berdapatan, semakin tingggi tingkat pendapatan suatu negara maka semakin rendah angka kesakitan dan kematiannya. Beberapa alasan meningkatnya beban penyakit pada penduduk miskin adalah Pertama, penduduk miskin lebih rentan terhadap penyakit karena terbatasnya
29
akses terhadap air bersih dan sanitasi serta kecukupan gizi. Kedua, penduduk miskin cenderung enggan mencari pengobatan walaupun sangat membutuhkan karena terdapatnya Kesenjangan yang besar dengan petugas kesehatan, terbatasnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan terbatasnya pengetahuan untuk menghadapi serangan penyakit. Komitmen global untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas dicantumkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Tujuan pembangunan milenium tersebut antara lain (1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim; (2) Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pembedayaan perempuan; (4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria serta penyakit lainnya; (7) Memastikan ke;estarian lingkungan dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dari Dari tujuan pembangunan milenium tersebut difokuskan terhadap pengurangan kemiskinan
pada umumnya dan beberapa tujuan
kesehatan pada khususnya, sehingga tampak keterkaitan antara upaya keseluruhan penurunan kemiskinan dengan investasi di bidang kesehatan. Irawan dan Romdiati (2000) mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dilihat dari menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin, sehingga terjadi penurunan drastis pada pendapatan dan daya beli dan mayoritas penduduk, khususnya golongan bawah. Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada kualitas dan pola konsumsi rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan yang sangat terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa mengurangi makanan pokoknya. Studi Irawan (1999) menemukan mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan,baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi kejagung umbi-umbian, dan dari sebanyak 3 kali menjadi 1 atau 2 kali makan sehari. Kondisi tersebut dapat menyebabkan penurunan status gizi yang berdampak pada produktivitas kerja dan kesakitan. Temuan Filmer dan Pritchett (1997), menujukkan 95% variasi tingkat kematian anak dapat dijelaskan oleh
non-health policy yaitu faktor-faktor seperti, pendapatan per kapita, disiribusi pendapatan, tingkat pendidikan wanita, dan faktor budaya. Sementara dampak pengeluaran pemerintah menurut alokasi anggaran, sangatkecildan secara statistik tidak signifikan.
II.3.2. Dampak Kesehatan terhadap Ekonomi Investasi sumber daya manusia (human capital investment) merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Investasi dapat berupa nilai-nilai pembelajaran dan pengalaman yang
30
ada dalam diri tenaga kerja seperti peningkatan produktivitas dan pendapatan. Beberapa bentuk investasi sumber daya manusia dapat berupa pendidikan, kesehatan maupun migrasi. Pendidikan dan kesehatan merupakan faktor penting dalam pembangunan manusia sekaligus Berupakan penentu dari indeks pembangunan manusia (IPM). Hal ini mengingat pendidikan dan kesehatan akan berdampak pada kualitas modal manusia (human capital) yang dibutuhkan diam pembangunan ekonomi (Schultz, 1961 dalam Sjafii, 2009). Tjiptoherijanto (1993) mengatakan bahwa kesehatan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara yaitu perbaikan kesehatan seseorang akan menyebabkan pertambahan dalam partisipasi tenaga kerja, perbaikan dalam tingkat pendidikan dan menyebabkan bertambahnya penduduk yang akan membawa tingkat partisipasi angkatan kerja. Kesehatan dan pendidikan bukan hanya sekedar input fungsi produksi namun juga merupakan tujuan pembangunan yang fundamental. Peningkatan kesehatan dan pendidikan dapat membantu masyarakat untuk keluar dari jebakan lingkaran kemiskinan. Sekelompok orang yang berpendidikan akan dapat memberi manfaat kepada masyarakat di sekelilingnya, seperti menciptakan berbagai inovasi yang berguna bagi komunitasnya (Todaro, 2003:413). Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah. Penyakit dapat memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya angka harapan hidup, dan menurunya kesejahteraan psikologis. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih lebih produktif dan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Di Indonesia, tenaga kerja laki-laki yang menderita anemia menyebabkan 20% kurang produktif jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki yang tidak menderita anemia. Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi jangka panjang (Atmawikarta, Arum 2009). Bukti-bukti makroekonomi menunjukkan bahwa negara dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan pendidikannya. Tingkat kesehatan yang baik berkorelasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setiap peningkatan 10% dari angka harapan hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0,3-0.4% pertahun, jika facor-faktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi pertahun antara negara-negara maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun)
31
dengan negara-negara sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1.6%, dan akan terus terakumulasi. Di negara-negara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata hidup lebih lama sehingga secara ekonomis mempunyai peluang memperoleh pendapatan lebih tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan meningkat, dan pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Atmawikarta. Arum 2009).
II.33. Dampak Ekonomi Penyaki t Di abetes Mel l i tus Diabetes Mellitus dalam Resolusi PBB No.61 tahun 2006 dinyatakan sebagai pendemi global yang mengancam kesehatan dunia. Grafik jumlah penderita DM terus menanjak, bahkan menjadi penyebab kematian urutan ke 6 di dunia. Selain itu, dampak ekonominya sangat luar biasa, mengingat biaya yang ditanggung penderita, keluarga maupun negara begitu besar, terutama yang mengalami komplikasi. Diabetes adalah penyakit yang tak bisa sembuh total bahkan butuh perawatan lama yang mahal, terlebih bila terjadi komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, sehingga besaran biaya yang harus dikeluarkan bertambah besar. WHO memperkirakan kebanyakan negara di seluruh dunia mengeluarkan 2,5-15 p e rrsen anggaran kesehatannya untuk diabetes. Komponen biaya yang dikeluarkan penderita Diabetes Mellitus. meliputi (Endi, 2012): 1Biaya langsung yang dikeluarkan penderita kencing manis untuk pengobatannya terdiri, biaya dokter dan rumah sakit, biaya obat-obatan, biaya laboratorium dan pemantauan gula darah serta biaya perawatan jangka panjang. 2 Biaya tak langsung yang dikeluarkan penderita diabetes antara lain, hilangnya produktifitas karena morbiditas jangka pendek, hilangnya produktivitas karena ketidakmampuan atau cacat yang permanen hingga kematian dan menurunnya kualitas hidup.
The American Diabetes Association (ADA) merilis penelitian baru pada 6 Maret 2013 menperkirakan total biaya diabetes didiagnosis pada tahun 2007 sebesar 174 Miliar US $, telah meningkat menjadi 245 Miliar US S pada tahun 2012, terdiri dari 176 Miliar US % biaya medis langsung dan 69 Miliar US $ pada penurunan produktivitas. Angka ini merupakan peningkatan 41 persen selama periode lima tahun, komponen terbesar dari pengeluaran medis yaitu 1Rumah sakit rawat inap (43% dari biaya medis total)
32
2. Resep obat untuk mengobati komplikasi diabetes (18%) 3. Bahan anti-diabetes dan diabetes suplay (12%) 4. Kunjungan ke dokter (9%) 5. Keperawatan (8%). Orang dengan diagnosis diabetes memiliki pengeluaran medis rata-rata sekitar 13.700 US $ per tahun, dimana sekitar S 7900 US $ dikaitkan dengan diabetes. Orang dengan diabetes, rata-rata memiliki pengeluaran medis sekitar 2,3 kali lebih tinggi daripada orang tanpa diabetes. Biaya tidak langsung penyakit Diabetes Mellitus mencakup: 1. Peningkatan ketidakhadiran (5 Miliar US S) 2. Penurunan produktivitas di tempat kerja (20,8 Miliar US S) untuk penduduk yang bekerja 3. Penurunan produktivitas bagi mereka yang tidak dalam angkatan kerja (2,7 Miliar US $,) 4.
Ketidakmampuan untuk bekerja sebagai akibat dari penyakit terkait kecacatan (21,6 Miliar US $)
5. Kehilangan kapasitas produktif akibat kematian dini (18,5 Miliar US S). (http://www.diabeies.org/advocacy/news-events cost-of-diabetes.html).
33
B AB III TUJUAN DAN MANFAAT
I. TUJUAN Tujuan Umum : Mengetahui pola perilaku dan penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus (DM) penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia.
Tujuan khusus : 1.
Mengetahui prevalensi penyakit Diabetes Mellitus penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia.
2.
Menggambarkan determinan status sosial ekonomi dan lokasi tempat tinggal pada penderita Diabetes Mellitus penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia.
3.
Menggambarkan pola perilaku (konsumsi, merokok, aktivitas fisik) pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia.
4.
Menggambarkan upaya pengendalian diabetes melitus dan pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia.
2. MANFAAT 1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk memberikan gambaran yang tepat dalam penelitian skala regional tentang penyakit Diabetes Mellitus terkait pola perilaku komsumsi dan pola penyakit tidak menular yang diderita. 2. Bagi pemecahan masalah pembangunan, untuk memberi masukan kepada pengelola program baik di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maupun Depkes RI dalam rangka perencanaan dan pengambilan kebijakan selanjutnya, untuk menurunkan prevalensi Diabetes Mellitus di masyarakat melalui upaya pencegahan dan peningkatan pelayanan kesehatan.
34
BAB IV METODE PENELITIAN
4. 1. Kerangka teori
Faktor Lingkungan
Zat Kimia
Lain-lain
Virus
Faktor Genetik DM tipe I (Insulin dependent Diabetes Destruksi Sel p Mellitus/IDDM) Langerhans pankreas akibat proses autoimun DM tipe II (Non Insuline Dependent Diabetes Mellitus/NDDM) Kegagalan relatif sel (3 pankreas dan resistensi insuJin
Faktor Risiko Komplikasi DM Karateristik Sosio-Ekonomi Pola Komsumsi Status Gizi Merokok Hipertensi Stress Aktifltas fisik Kehamilan
Diabetes Mellitus
AKUT Koma Hipoglikemi Ketoasidosis Diabetik Koma Hiperosmolar Nonketotik
Komplikasi DM KRONIS 1. Mikroangiopati Retinopati Diabetik Nefopati diabetik 2. Makroangiopati Jantung Kororner Gagal Ginjal Stroke 3. Neuropati diabetik 4. Infeksi 5. Kaki Diabetik
Gambar.4.1. Kerangka Teori Penelitian (Sumber : Patoetiologi Diabetes Mellitus, Soparman 1987).
35
4.2.Kerangka Konsep
Determinan Sosial Ekonomi
GENETIK (Tidak ada data Riskesdas)
Hubungan dgn kepala RT Jenis kelamin Status kawin Umur Pendidikan tertinggi Status Pekerjaan Pekerjaan
Pelayanan Kesehatan
Utama Tingkat pengeluaran (Kuintil)
Lokasi Tempat Tinggal
Perkotaan/perdesaan
DIABETES MEUTUS DI 37 KOTA WILAYAH
Pola Konsumsi (serat dan buah, makanan berisiko dan olahan tepung) Status
dokter
Pengendalian DM
PUSAT EKONOMI
Diet Olahraga Obat antidiabetik Insulin
INDONESIA TAHUN
Pola PTM penderita DM
2013 Di 6 Koridor
Hipertensi Jantung Koroner Gagal Jantung Gagal Ginjal Batu ginjal Stroke Kesehatan mental
PENGEMBANGAN
SUMATERA JAWA Faktor Perilaku
Diagnosis
KALIMANTAN SULAWESI BAU-NTB PAPUA-MALUKU
gizi Merokok
Tidak Di teliti
LINGKUNGAN (KIMIA) (Tidak ada data Riskesdas)
Diteliti Gamfoar.4.2. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan : Dalam analisis ini digambarkan kejadian Diabetes Mellitus di Indonesia, berdasarkan diagnosis dokter, dengan menggunakan data Riskesdas 2013. Prevalensi Diabetes tersebut di 37 Kota di wilayah pengembangan ekonomi Indonesia di enam regional (Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali- Nusa Tenggara dan Papua - Kepulauan Maluku). Kemudian digambarkan prevalensi penderita Diabetes Melitus di 37 Kota, berdasarkan determinan sosial ekonomi, lokasi tempat tinggal, faktor risiko yaitu pola perilaku (konsumsi, merokok, aktifitas fisik), status gizi, upaya penderita DM untuk mengendalikan penyakitnya dan pola penyakit tidak menular pada penderita DM. Penyakit tidak menular yang diteliti adalah penyakit tidak menular yang menyertai penderita DM, baik yang diduga disebabkan oleh komplikasi DM
36
maupun bukan yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, batu ginjal, stroke dan kesehatan mental.
4. 3. Jenis Penelitian dan Di sain Penelitian Jenis Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian menggunakan data Riskesdas 2013 yang merupakan penelitian observational.
Disain Penelitian Analisis lanjut data sekunder vang bersumber dari data Riskesdas 2013 dengan disain potong lintang.
4.l .Popuiasi dan Sampel Sebagaimana populasi dan sampel Riskesdas 2013 dengan menggunakan kerangka sampel Blok Sensus (BS) dari BPS yang tercakup dalam 33 Provinsi dan 497 Kabupaten/Kota. Populasi sasaran yang dianalisis adalah seluruh penduduk berusia 15 tahun ke atas, di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Sampel adalah penduduk umur 15 tahun keatas di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, yang menderita penyakit Diabetes Mellitus berdasarkan diagnosis dokter.
37
4_5. Variabel dan Cara Pengumpulan Data No
Variabel
1
Propinsi
2
Kabupaten / Kota
Definisi dan kategori
Kuesioner
Propinsi tempat tinggal responden
Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. I. 1
37 Kota tempat tinggal responden
Riskesdas (RKD 13.RT) Blok, I. 2
yaitu : umatera, terdiri dari Banda Aceh, Medan, Pekan Baru, Jambi, Palembang, Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, Padang, Bandar Lampung, Bengkulu, Serang (U Kota). awa, terdiri dari Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Surabaya (5 Kota). Kalimantan, terdiri dari Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda (4 Kota). ulawesi, terdiri dari Makassar, Mamuju, Palu, Kendari, Menado dan Gorontalo (6 Kota). Bali- Nusa Tenggara, terdiri dari Denpasar, Lombok, Kupang dan Mataram (4 Kota). apua - Kepulauan Maluku, terdiri dari Sofifi, Ambon, Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura dan Merauke (7 Kota).
3
Klasifikasi desa/kelurahan
Tipe desa tempat tinggal responden
Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. I. 5
1.Perkotaan 2. Pedesaan 4
Hubungan dengan Kepala RT Sesuai RKD 13. RT Blok IV. 3
Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. IV.3
5
Jenis kelamin
Riskesdas (RKD13.RT) Blok. IV. 4
Jenis kelamin responden 1. 2.
6
Status Kawin
7
Umur
Laki-laki Perempuan
1= Belum menikah 2= Menikah 3= Hidup Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. IV. bersama 4 = Cerai hidup 5= Hidup terpisah 5 6= Cerai mati Lama hidup dalam tahun, dibagi atas : 15- Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. IV. 24, 25-34, 35-44, 45-54, 55-64, 7 >65
8
Pendidikan tertinggi
1= Tidak/ belum pernah sekolah 2= Tidak Riskesdas (RKD 13.RT) Blok. IV.8 tamat SD/MI 3= Tamat SD/MI 4= Tamat SLTP/MTS 5= Tamat SLTAMA 6= Tamat D1/D2/D3 7= Tamat PT
9
Status pekerjaan
1 = Tidak bekerja 2= Bekerja 3= Sedang mencari kerja 4= Sekolah
Riskesdas (RKDI3.RT) Blok. IV.9
38
No |10
Variabel Pekerjaan utama
Definisi dan kategori
Kuesioner
1= PNS/ TN I/Polri/BUMN/BUMD 2=
Riskesdas (RKD13.RT) Blok.
Pegawai swasta 3= Wiraswasta Petani 5=
IV. 10
Nelayan 6= Buruh 7= Lainnva 11
Status Ekonomi
Indeks Kepemilikian
Riskesdas 2013
1= Terbawah 2.= Menengah Bawah 3 = Menengah 4 = Menengah atas
12
Diagnosis penyakit DM
13
oleh dokter Pengendalian DM
5 = Teratas 1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok. B. 12
1. Diet 2. Olahraga 3. Minum obat antidiabetik 4. Insulin
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok. B. 13
14
Hipertensi
1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
15
Penyakit Jantung koroner
1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD) 3. IN D) Blok.
16
Gagal Jantung
1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
17.
Penyakit Gagal Ginjal
Riskesdas (RKD13.IND) Blok.
18
Kronis Batu Ginjal
1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD13.1ND) Blok.
1. Ya 2. Tidak
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
19
Stroke
20
Kesehatan mental
B.18 B.21 B.24 B.27 B.28 B.31
Kesehatan mental responden yang dinilai
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
dari pertanyaan kuesioner RKD.13TND
F01 -F20
F01 - F20 dikelompokkan menjadi : ada(skor 6-20) gangguan atau tidak ada gangguan (skor I - 5); ada gangguan dibagai atas: gangguan ringan, apabila skor 6 - 10; gangguan sedang, apabila skor 1 1 - 1 5 dan gangguan berat apabila skor 16-20.
21
Merokok setiap hari
1. Ya, setiap hari
Riskesdas (RKD I3.IND) Blok.
2. Ya, kadang-kadang
G05
3. Mantan Perokok 22
Umur merokok setiap hari
4. Tidak pernah sama sekali ....Tahun
23
Umur pertama kafi
....Tahun
G06 Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
merokok 24
Rata-rata berapa batang
G07 a.
Rokok (kretek, putih, lintang) = .... Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
b.
Cerutu/eangklong = batang
rokok perhari mg
25
Riskesdas (RKD 13.IND) Blok.
umur berhenti merokok
batang
....Tahun
G08
Riskesdas (RKDI3.IND) Blok. GO 12
39
No
Variabel
26
Aktivitas fisik
Definisi dan kategori
Kuesioner
Perilaku aktivitas fisik, mengacu standar Riskesdas (RKD13.IND) Blok. WHO tahun 2012, dikelompokkan menjadi : G. 16-22
Kurang aktif, apabila waktu beraktivitas < 150 menit dalam seminggu, aktif, apabila waktu
beraktivitas
>
150
menit
dalam
seminggu.
Rumus : Waktu melakukan aktifitas adalah (waktu aktifitas sedang x jumlah hari aktifitas
+ (waktu aktifitas
sedang dalam seminggu)
berat x jumlah hari aktifitas berat dalam seminggu)
27 Komsumsi sayur dan buah Perilaku
komsumsi
dikelompokkan menjadi
sayur
dan
buah, Riskesdas (RKD.07.IND) Blok.
: Kriteria ’’cukup” G23 - D26
adalah apabila asupan sayur dan buah 5 porsi atau lebih per hari selama 7 hari dalam seminggu, dan “kurang” apabila asupan buah dan sayur kurang dari ketentuan diatas.
28
Makanan Berisiko
Perilaku
komsumsi
dikelompokkan menjadi
makanan
berisiko, Riskesdas (RKD13.IND) Blok.
: 1) > 1 kali/hari G 27. a, c dan e
dalam seminggu. 2) 1- 6 kali per minggu, 3) Tidak pernah atau kurang dari 3 kali per bulan.
29 Makanan olahan tepung
Perilaku komsumsi makanan olahan tepung Riskesdas (RKD13.IND) Blok. terigu,
menjadi : G.28. a-d : 1) > 1 kali/hari
dikelompokkan
dikelompokkan menjadi
dalam seminggu, 2) 1- 6 kali per minggu, 3) Tidak pemah atau kurang dari 3 kali per bulan.
30
1MT
(berat badan pertinggi badan kuadrat) Kurus
Riskesdas (RKD13.IND) Blok.
= <18,5, Normal = 18,5-25, Gemuk = 25,1- KOl(I.b)- K02 (a,b) 27,0, Obesitas => 2 1
4.6.Definisi Operasional 1. Prevalensi DM adalah prevalensi penderita Diabetes Mellitus penduduk di 37 Kola wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, yang diperoleh dari hasil wawancara, dimana responden telah mengetahui dirinya menderita DM yang ditegakkan berdasarkan diagnosis dokter. 2 Pola perilaku komsumsi adalah perilaku komsumsi sayur dan buah, makanan berisiko dan makanan olahan tepung yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Diabetes Mellitus yang diklasifikasikan berdasarkan frekuensi komsumsi.
40
3.
Makanan berisiko DM adalah makanan yang jika dikonsumsi secara berlebihan berisiko untuk
terjadinya penyakit DM, sesuai kuesioner Riskesdas yaitu terdiri dari makanan/minuman manis, makanan berlemak/kolestrol/gorengan dan makanan daging/ikan/ayam olahan dengan pengawet. 4. Pola penyakit tidak menular penderita DM adalah penyakit tidak menular yang menyertai penderita DM, baik yang diduga merupakan komplikasi Diabetes Meliitus maupun bukan komplikasi DM yaitu hipertensi, jantung koroner, gagal jantung, penyakit gagal ginjal, batu ginjal, stroke dan kesehatan mental. 5. Kesehatan mental adalah status kesehatan mental individu yang mengindikasikan seseorang mengalami perubahan psikologis pada keadaan tertentu sehingga dapat mempengaruhi kesehatan. 6. Perilaku merokok adalah kebiasaan menghisap rokok yang diklasifikasikan berdasarkan kebiasaan merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari.
7. Aktifitas fisik adalah aktivitas fisik sedang dan berat yang biasa dilakukan sehari-hari dalam seminggu yang dapat mencegah terjadinya penyakit tidak menular terentu (DM, jantung dll).
4.7. Manajemen dan analisis data Untuk menetapkan penyakit Diabetes Meliitus. berdasarkan hasil diagnosis dokter yang diperoleh dari hasil wawancara pada penduduk umur 15 tahun keatas, sesuai kuesioner individu Riskesdas 2013. Analisis untuk menentukan prevalensi Diabetes Meliitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Selanjutnya dilakukan analisis bersifat deskriptif untuk menggambarkan faktor determinan sosial ekonomi, lokasi tempat tinggal, faktor risiko (pola perilaku konsumsi, merokok, aktifitas fisik, kesehatan mental, status gizi), upaya pengendalian DM dan pola penyakit pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia. Adapun variabel yang akan dianalisis untuk menggambarkan penderita Diabetes Meliitus diuraikan sebagai berikut: 1. Karakteristik sosial ekonomi : umur, jenis kelamin, hubungan dengan kepala RT, status kawin, pendidikan tertinggi, status pekerjaan, pekerjaan utama dan status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan Riskesdas 2013. 2. Pola perilaku terdiri dari : A. Perilaku konsumsi, terdiri dari :
41
a.
Perilaku konsumsi sayur dan buah, dikelompokkan menjadi : kriteria ’’cukup” adalah apabila asupan buah dan sayur 5 porsi atau lebih per hari selama 7 hari dalam seminggu, dan "‘kurang” apabila asupan buah dan savur kurang dari ketentuan diatas.
b.
Perilaku konsumsi makanan yang berisiko adalah komsumsi jenis makanan yang berisiko negatif pada kejadian penyakit DM, (1) makanan manis dan (2) berlemak, kolestrol/gorengan. Perilaku komsumsi makanan berisiko, dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu : 1) > 1 kaii/hari dalam seminggu, 2) 1- 6 kali per minggu, 3) Tidak pernah atau kurang dari 3 kali per bulan.
c.
Perilaku konsumsi makanan olahan tepung, dikelompokkan menjadi 3 kelompok : 1) > 1 kali/hari dalam seminggu, 2) 1- 6 kali per minggu, 3) Tidak pernah atau kurang dari 3 kali per bulan.
B.
Perilaku Aktifitas Fisik, yaitu Perilaku aktivitas fisik, mengacu standar WHO tahun 2012, dikelompokkan menjadi Kurang aktif, apabila waktu beraktivitas < 150 menit dalam seminggu, aktif, apabila waktu beraktivitas > 150 menit dalam seminggu.
Rumus : Waktu melakukan aktifitas adalah (waktu aktifitas sedang x jumlah hari aktifitas sedang dalam seminggu) + (waktu aktifitas berat x jumlah hari aktifitas berat dalam seminggu) C.
Perilaku Merokok, terdiri dari a. Kebiasaan merokok dari frekuensi merokok. b. Kelas perokok dibagi atas empat berdasarkan jumlah rokok yang diisap yaitu maka digolongkan menjadi 4 yaitu tidak pernah merokok. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang per hari. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 - 20 batang per hari, Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dan perokok sangat
berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari . 3.
Upaya Pengendalian DM meliputi diet, olah raga, minum obat antidiabetik dan injeksi insulin,
4.
Pola penyakit tidak menular pada penderita DM meliputi, penyakit tidak menular yang menyertai penderita DM, baik yang diduga disebabkan oleh komplikasi DM maupun bukan yaitu hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal
42
ginjal, batu ginjal, stroke, kesehatan mental dan obesitas. Kemudian pola penyakit tidak menular dikelompokkkan dalam 3 kategori yaitu a.
Kategori 1 (menderita I PTM) yaitu DM dengan hipertensi.
b.
Kategori 2 (menderita 2 PTM) yaitu DM dengan hipertensi dan Jantung Koroner.
c. Kategori 3 (menderita 2 PTM) yaitu DM dengan hipertensi, Jantung Koroner dan Stroke. 5.
Kesehatan mental, mengacu standar WHO (Self Reporting Questionnaire/ SRQ), dikelompokkan menjadi : ada gangguan (skore 6-20) dan tidak ada gangguan (skore 1-5), ada gangguan yaitu gangguan ringan, apabila skor 6-10; gangguan sedang, apabila skor 11-15 dan gangguan berat apabila skor 16-20.
6.
Berat badan (BB) dan tinggi badan (TB): digunakan untuk menetapkan status gizi dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT), dengan rumus :
IMT = BB (kg)H'B 2 (m) Adapun pengkategoriannya sebagai berikut: 1. IMT <17-18,4 = Kurus (Kekurangan berat badan) 2. IMT 18,5-25 = Normal (Berat badan normal) 3. IMT 25,1-27 = Gemuk (Kelebihan berat badan tingkat ringan) 4. IMT > 7 1 ~ Obesitas (Kelebihan berat badan tingkat berat)
PERTIMBANGAN IJIN PENELITIAN Ijin analisis mengikuti ijin penelitian Riskesdas 2013.
PERTIMBANGAN ETIK PENELITIAN Persetujuan etik analisis lanjut Riskesdas 2014 mengikuti etik Riskesdas 2013.
43
BAB V HASIL
V.I. Preval ensi Penyaki t Di abetes Mel i i tus Penduduk di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Prevalensi Diabetes Meliitus penduduk berdasarkan diagnosis dokter, diperoleh dari kuesioner individu Riskesdas 2013 Blok B.12 (RKD13.1ND Blok. B.I2), berdasar hasil wawancara pada penduduk > 15 tahun, dengan pertanyaan “ Apakah (Nama) pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter ? Prevalensi Diabetes Meliitus di 37 Kota yang sebagian besar adalah ibukota provinsi, di enam regional vvilayah pengembangan ekonomi di Indonesia, sebagaimana Tabel 5.1., yang tertinggi di regional Sumatera adalah Kota Banda Aceh (5,2%), regional Jawa adalah Kota Surabaya (5,3%), regional Kalimantan adalah Kota Samarinda (4,34%), regional Sulawesi adalah Menado (4,2%), regional Bali - Nusa Tenggara adalah Kota Mataram (1,9%) dan regional Papua - Kepulauan Maluku adalah Kota Jayapura (3,4%). Bila dibandingkan antara regional, rata-rata prevalensi DM pada penduduk di regional Jawa yang tertinggi (3,76%); kemudian Kalimantan 2,64%; Sulawesi 2,52%; Sumatera 2,45 %; Bali- Nusatenggara 1,53% dan Papua-Kepulauan Maluku 1,81%. Diabetes Meliitus berdasar diagnosis dokter, yang tertinggi adalah Kota Surabaya di regional Jawa sebesar 139 penderita (5,3%). sedangkan yang terendah adalah Manokoari (0,5%) dan Sofifi (0,6%) di regional Papua- Kepulauan Maluku serta Mamuju (0,6%) di regional Sulawesi.
44
Tabel.5.1. Prevalensi Diabetes Meliitus Penduduk Berdasarkan Diagnosis Dokter di 37 Kota
Wliyah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Kota
Diabetes Meliitus (n,%) Ya
Tidak
Total
Sumatera
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Band a Ac eh
71 (5,2)
1304 (94 ,8)
M edan
72 (3 ,3)
2089 (96 ,7)
2161 (100 )
P adan g
33 (1,7 )
1895 (98 ,3)
1928 (100 )
P ekan Ba ru
20( 1, 0)
2067 (99 )
2087 (100 )
J amb i
32 (1,9 )
1684 (98 ,1)
1716 (100 )
P a lemban g
59 (2,3 )
2521 (97 ,7)
2580 (100 )
B en gku lu
31 ( 2, 2)
1399 (97,8 )
1430 (100 )
Band a r La mpun g
29 (1,5 )
1945 (98 ,5)
1974 (100 )
P an gka l Pinan g
46 (3 ,8)
1151 (96 ,2)
1197 (100 )
Ta njun g Pinan g
32 (2 ,7)
1158 (97 ,3)
1190 (100 )
S eran g Jawa
22 (1,3 )
1665 (98 ,7)
1687 (100 )
12 13 14 15 16
J aka rta
17 18 19 20
1375 (100 )
326 (3 ,4)
9363 (96 ,6)
9689 (100 )
Bandun g
56 (1,8 )
2986 (98 ,2)
3042 (100 )
S em a ran g
79 (3 ,2)
2427 (96 ,8)
2506 (100 )
J ogjaka rt a
78 (5,1 )
1453 (94 ,9)
1531 (100 )
139 (53)
2494 (94 ,7)
2633 (100 )
P ontian ak
26 (1,4 )
1871 (98 .6)
1897 (100 )
P a lan gk a ra ya
28 (2 ,3)
1208 (97 ,7)
1236 (100 )
Ban ja rm asin
40 (2 ,5)
1574 (97 ,5)
1614 (100 )
S a ma rinda Sulawesi
65 (43)
1269 (95,1 )
134 (100 )
21 22 23 24 25 26
Maka s sa r
56 (2 ,9)
1873 (97 ,1)
1929 (100 )
Ma muju
9 ( 0, 6) 21 (1, 2)
1412 (99,4 )
1421 (100 )
Ken da ri
1670 (98,8 )
1691 (100 )
P a lu
44 (3 ,2)
1349 (96.8 )
1393 (100 )
M enad o
62 (4,2)
1425 (95 ,8)
1487 (100 )
Goron ta lo Bali' Nusatenggara
47 (3,0 )
1519 (97 )
1566 (100 )
27 28 29 30
Denpa sa r
34 (1,7 )
1999 (98 ,3)
2033 (100 )
Lom b ok
52 (1,0 )
5201 (99 )
5253 (100 )
Mat a ram
31 (1,9)
1616 (98,1 )
1647 (100 )
Ku pan g Papua - Kepulauan Maluku
25 (1,5 )
1664 (98 ,5)
1689 (100 )
31 32 33 34 35 36 37
Am b on
27 (1,8 )
1450 (98,2 )
1477 (100 )
S ofi fi
7 (0 ,6)
1130 (99 ,4)
1137 (100 )
Man ok wa ri
6 (0,5 )
U 43 (99 .5 )
1149 (100 )
S oron g
31 (3 ,2)
933 (96 ,8)
964 (100 )
M erauk e
16 (1,4 )
1116 (98,6 )
1132 (100 )
Ti mik a
17 (1,8)
933 (98 .2)
950 (100 )
J a yapu ra
35 (3,4)
1004 (96,6 )
1039 (100 )
S u raba ya Kalimantan
45
V.1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Prevalensi Penyakit Diabetes Meliitus Penduduk di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Dalam analisis ini peneliti mencoba menyandingkan data laju pertumbuhan ekonomi yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kota dengan prevalensi Diabetes Meliitus berdasarkan hasil diagnosis dokter. Data laju pertumbuhan ekonomi yang digunakan, berdasarkan data BPS, tahun 2012. Data laju pertumbuhan ekonomi tahun 2012. masih relevan bila disandingkan dengan data prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dalam Riskesdas 2013, karena prevalensi DM pada Riskesdas dalam periode waktu 1 tahun atau 12 bulan terakhir, sejak dilaksanakannya Riskesdas pada
bulan Mei - Juni 2013.
Gambar.5.1. menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada sebagian besar
regional Jawa
(Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya) dan Sumatera (Banda Aceh, Pangkal Pinang. Tanjung), seiring dengan besarnya prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter, Pada sebagian besar regional Papua - Kepulauan Maluku menunjukkan bahwa laju dokter
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun prevalensi DM berdasarkan diagnosis
masih rendah, contoh di Manokwari (laju pertumbuhan ekonomi 8.18%, Prevalensi DM
pula yang terjadi di Mamuju (laju pertumbuhan ekonomi 11.48%. pertumbuhan ekonomi 9,57%, prevalensi DM 1,2%). dokter 4.84%, sedangkan laju
0,5%) Demikian
pervalensi DM 0,6%) dan Kendari (laju
Namun di Samarinda, prevelensi DM berdasarkan diagnosis
pertumbuhan ekonominya 2,61%.
Gambar 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Prevalensi Diabetes Meliitus Berdasarkan Diagnosis Dokter di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia.
V.2. Determinan Status Sosial Ekonomi dan Lokasi Tempat Tinggal pada Penderita Diebetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. V.2.1. Determinan Status Sosial Ekonomi pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wiayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Determinan status sosial ekonomi dalam analisis ini terdiri dari umur, jenis kelamin, tarungan dengan kepala RT, status kawin, pendidikan tertinggi, status pekerjaan, pekerjaan utama dan status ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan Riskesdas 2013. V.2.1.1. Penderita Diabetes Melitus menurut Kelompok Umur di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Penderita Diabetes Meliitus yang didiagnosis oleh dokter di 37 Kota (Tabel.5.2), di sebagian besar kota (17 kota) adalah kelompok umur 55 - 64 tahun, yang tertinggi di regional Sumatera (Bandar Lampung 51,7%), Jawa (Jakarta 42%), Kalimantan (Pontianak 34, 6%), Sulawesi (Menado 41,9%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 26,9%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Jayapura 42,9%). Kelompok umur 45 - 54 tahun adalah kelmopok umur terbanyak kedua penderita DM. Tedapat 10 kota dimana kelompok umur 45 -54 tahun merupakan kelompok umur yang tertnggi menderita DM yaitu di Bengkulu (45,2%), Banjarmasin (35%), Samarinda (50,8%), Menuju (44,4%), Lombok (36,5%), Mataram (45,2%), Ambon (33,3%), Manokwari (33%), Merauke (37,5%) dan Timika (52,9%). Sedangkan kelompok umur lebih tua > 65 tahun, merupakan kelompok umur tertinggi menderita Diabetes Meliitus di Kota Bandung (35,7%) dan Kota Kendari (28,6%). Penderita Diabetes Meliitus pada kelompok umur lebih muda 1 5 - 2 4 tahun, terdapat di Banda Aceh (1,4%), Bengkulu (3,2%), Pangkal Pinang (2,2%), Jakarta (1,2%), Semarang (2,5%), Palangkaraya (3,6%), Gorontalo (2,1%), Lombok (1,9%), Kupang (8%) dan Sofifi (14,3%).
47
di 37
Tabel.5.2. Distribusi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Kelompok Umur Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Kota
1
Sumatera
2 3 4 5 6 7 8 9
Medan Padang Pekan Bani Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
10
11
Banda Aceh
12
Jawa
13
16
Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya
17
Kalimantan
18 19 20
Palangkaraya Banjarmasin Samarinda
21
Sulawesi
22
Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
14 15
23 24
25 26
Jakarta
Pontianak
Makassar
Bali Nusatenggara 27
Denpasar
28 29 30
Lombok Mataram Kupang
31 32 33
34 35 36 37
Total
Kelompok Umur (tahun) (n,%) 15-24
Papua - Kep. Maluku
25-34
Kota
35-44
45-54
55-64
>65
1 (1,4)
1 (1.4)
8 (11,3)
24 (33,8)
23 (32,4) 14(19,7)
71 (100)
0(0) 0 (0) 0(0) 0(0) 0(0) I (3,2) 0(0) 1 (2,2) 0(0) 0(0) 4(1,2)
3 (4,2) 0(0) 0(0) 2 (6,3) 4 (6.8) 1 (3,2) 1 (3.4) 2 (4,3) 1 (3,1) 0(0) 3 (0,9)
5 (6,9) 2(6,1) 2(10,0) 4(12,5) 4 (6,8) 0(0) 0(0) 7(15,2) 1 (3,1) I (4,5) 23 (7,1)
24 (33,3) 11 (33.3) 6 (30,0) 5 (15,6) 20 (33,9) 14(45,2) 6 (20,7) 8 (17,4) 12(37,5) II (50,0) 93 (28,5)
27 (37,5) 13(18,1) 14(42,4) 6(18,2) 8 (40,0) 4 (20,0) 14 (43.8) 7(21,9) 21 (35,6) 10(16,9) 9(29) 6 (19,4) 15(51,7) 7 (24,1) 19(41,3) 9 (19,6) 11 (34,4) 7 (21,9) 9 (40,9) 1 (4.5) 137 (42) 66 (20,2)
72 (100) 33 (100) 20 (100) 32 (100) 59 (100) 31 (100) 29 (100) 46 (100) 32 (100) 22 (100) 326(100)
0(0) 2 (2,5) 0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 1 (L3) 2 (2,6) 4 (2.9) 0(0)
10(17,9) 9(11,4) KL3) 22(15,8) 4 (15,4)
H (19,6) 27 (34,2) 19(24,4) 39 (28,1) 6(23,1)
15(26,8) 29 (36,7) 30(38,5) 29 (20,9)
(35,7) (13,9) (33,3) (32,4) (26,9)
56(100) 79(100) 78 (100) 139(100) 26(100)
1 (3.6) 0(0) 0(0) 0(0)
0 1 (2.5) 2(3.1) 0(0)
9(32,1) 5(12,5) 7(10,8) 10(17.9)
8 (28,6) 14(35) 33 (50,8) 17(30,4)
9(32,1) 1 (3,6) 13(32,5) 7(17,5) 17 (26,2) 6(9,2) 19(33,9) 10(17,9)
28 (100) 40(100) 65(100) 56(100)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) I (2,1) 0(0)
0(0) 1 (4,8) 1 (2.3) 2 (3,2) 0(0) 1 (2,9)
1 (11,1) 4(19) 6(13,6) 3 (4,8) 7 ((4,9) 4 (11,8)
4 (44,4) 4(19) 15(34,1) 18 (29) 16(34) 11 (32.4)
3 (33,3) 1 ( I I , l 6 (28,6) 6 (28.6) 16 (36,4) 6(13,6) 26(41,9) 13(21) (6 (34) 7(14,9) 9 (26,5) 9 (26,5)
9(100) 21 (100) 44(100) 62(100) 47(100) 34 (100)
! (1,9) 0(0)
2 (3,8) 0(0) i (4,0) \ (3,7)
10(19,2) 5(16,1) 3(12,0) 1 (3.7)
19(36,5) 14(45,2) 9(36,0) 9 (33,3)
14(26,9)
6(11,5) 4(12,9) 5 (20,0) 8 (29,6)
52(100) 31 (100) 25(100) 27(100)
0(0) 0(0) 1 ( 1 2) 0(0) 0(0) 0(0)
1 (14,3) 3 (50,0)
2 (28,6) 2 (33,3) 1 1 (35,5) 6(37,5) 9(52,9) 9 (25.7)
2 (28,6) 1 (16.7)
1 (14,3) 0(0) 3 (9,7) 4 (25,0) 1 (5.9) 6(17,1)
7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35(100)
2(8,0) 0(0)
9 (34,6)
8 (25,8) 5 (20,0) 8 (29,6)
20 i1 26 45 7
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
I (14,3) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
4(12,9) 2(12,5) 4 (23,5) 5(14,3)
12(38,7) 4 (25,0) 3(17,6) 15(42,9)
48
V.2.1.2. Penderita Di abetes Meliitus menurut Jenis Kel amin di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Gambar.5.2. menunjukkan penderita Diabetes Meliitus menurut jenis kelamin di 37 Kota, sebagian besar adalah jenis kelamin perempuan dengan proporsi berkisar 50,6 % - 88.9%. Proporsi penderita DM perempuan lebih sedikit daripada laki - laki terdapat di Jambi (46,9%), Bandar Lampung (44,8%), Tanjung Pinang (43,7%), Serang (31,8%), Pontianak (46,2%), Denpasar (38,2%) dan Timika (29,4%), sedangkan yang sama jumlahnya antara laki -Laki dan perempuan (50%) di Bandung, Banjarmasin dan Lombok.
Gambar.5.2. Proporsi Penderita Diabetes Meliitus Menurut Jenis Kelamin di 37 Kota layah Pengembangan Ekonomi Indonesia, tahun 2013. V.2.1.3. Penderita Di abetes Meliitus menurut Status Pendidikan di 37 Kota Wi layah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Tabel.5.3 menyajikan penderita Diabetes Meliitus berdasarkan status pendidikan, sebagian besar penderita DM adalah tamat SLTA atau MA, berkisar 24,1% - 54,5%, terdapat di 27 kota yang tertinggi di Padang (54,5%). Penderita DM dengan status pendidikan yang lebih rendah yaitu tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD/MI, sebagian besar terdapat di Mamuju (77,7%), Lombok (42,3%) dan Mataram (32,2%). Penderita DM dengan tammat SD. sebagian besar terdapat di Tanjung Pinang (34,4%), Surabaya (38,8%), Pontianak (34.6%), Makassar (33,9%), Sofifi (42,9%) dan Merauke (37,5%). Penderita DM dengan Pendidikan tammat Perguruan Tinggi yang terbanyak di Banda Aceh (29,6%) dan Palu (22.7%). Proporsi penderita DM yang tamat perguruan tinggi sama dengan yang tamat SD adalah di Kendari (23,8%) dan Bangkulu (22,6%).
49
Tabel.5.3. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Menurut Status Pendidikan di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Ko ta No.
Tak s ek ol ah/ Tak tamat
Tamat SD/M I
Pe ndidik an (n,%) Tamat Tamat SLTA/ SLTP/ M TS MA
Total Tamat D1/D2/D3
Tamat PT
SD/M l Sumate ra
Banda Ac eh Medan Padang
2 (2, 8) 6(8. 3)
9(2, 7) 20 (27, 8)
13(18, 3) 13(18, 1)
23 (32, 4) 24 (33, 3)
3 (4, 2) 2 (2, 8)
21 (29, 6) 7 (9, 7)
Pekan Baru
3(9. 1) 1 (5. 0)
7(21, 2) 5 (25, 0)
4(12, 1) 4 (20, 0)
15(54, 5) 8 (40, 0)
1 (3, 0) 2(10, 0)
3(9, 1) 0(0)
33 (100) 20(100)
6.
J ambi Palembang
3 (9. 4) 13(22)
8 (25. 0) 11 (18, 6)
4(12. 5) 10(16, 9)
12(37, 5) 17(28, 8)
1 (3, 1) 2 (3, 4)
4(12, 5) 6(10, 2)
32 (100) 59(100)
7.
Bengkulu
5(16. 1)
7(22. 6)
2 (6, 5)
2 (6, 5)
7 (22, 6)
31(100)
8.
Bandar Lampung
2 (6. 8)
6(20, 7)
5(17, 2)
7(24, 1)
5(17, 2)
4(13, 8)
29(100)
9. 10
Pangkal Pinang T anjung Pinang Serang
7(15, 2) 5(15, 6) 1 (4, 5)
10(21, 7) 11 (34. 4) 5 (22, 7)
13(28, 3) 4(12, 5) 1 (4, 5)
13(28, 3) 10(31, 3) 10(45, 5)
3 (6, 5) 2(6, 3) 2(9, 1)
0(0) 0(0) 3(13, 6)
46(100) 32 (100) 22 (100)
40(12, 3)
70 (21, 5)
73 (22, 4)
112(34, 4)
7(2, 1)
24 (7, 4)
326(100)
1. 2. 3. 4.
S.
11
8 (25, 8)
71(100) 72 (100)
J awa 12 . 13
J akarta
3 (5. 4)
16(28, 6)
6(10, 7)
19(33, 9)
8(14, 3)
4(7, 1)
56(100)
14 15
Semarang J ogjakarta
17(21, 5) 16(20, 5)
12(15, 2) 17(21. 8)
15(19) 17(21. 8)
20 (25, 3) 11 (14, 1)
6(7, 6) 6(7, 7)
9(11, 4) 11 (14, 1)
79(100) 78(100)
16
Surabaya
24 (17. 3)
54 (38. 8)
22 (15, 8)
2 1 (19, 4)
4 (2, 9)
8 (5, 8)
139(100)
Pontianak
1 (3, 8)
9 (34. 6)
8 (30, 8)
4(15, 4)
4(15. 4)
0(0)
26(100)
Palangkaraya
2(7. 1) 1 (2, 5)
5(17. 9) 4(10, 0)
5(17, 9) 6(15)
10(35, 7) 22 (55)
3(10,7) 1 (2, 5)
3(10, 7) 6(15)
28(100) 40(100)
11 (16, 9)
21 (32, 3)
8(12, 3)
23 (35, 4)
0(0)
2(3, 1)
65 (100)
Bandung
Kalimantan 17 . 18 19 20
Banjarmasin Samarinda
Sulawe s i 21 . 22 23 24 25
Makas s ar
5 (9, 0)
19(33, 9)
8(14, 3)
15(26, 8)
6(10. 7)
3 (5, 4)
56(100)
Mamuju Kendari Pa!u Manado
7(77, 7) 0(0) 4(9. 1) 9(14, 5)
1 (11, 1) 5 (23. 8) 8(18, 2) 5(8. 1)
0(0) 2 (9, 5) 4(9. 1) 11 (17, 7)
0(0) 8(38,1) 17(38, 6) 23 (37, 1)
1 (11, 1) 1 (4,8) 1 (2, 3) 4 (6, 5)
0(0) 5 (23,8) 10(22, 7) 10(16, 1)
9(100) 21 (100) 44 (100) 62(100)
26
Gorontalo
4(8, 5)
11 (23, 4)
6(12, 8)
17(36. 2)
2 (4, 3)
7(14. 9)
47(100)
5(14, 7) 22 (42. 3) 10(32, 2)
6(17. 6) 11 (21, 2) 3(9, 7)
5 (14,7) 6(11, 5) 3 (9, 7)
16(47,1) 8(15, 4) 9 (29. 0)
0(0) 0(0) 0(0)
2 (5. 9) 5 (9, 6) 6(19, 4)
34 (100) 52(100) 31 (100)
0(0)
3(12, 0)
4(16, 0)
14(56. 0)
0(0)
4(16, 0)
25(100)
B aliNus ate nggara 27 28 29
Denpas ar Lombok Mataram
30
Kupang
Papua - Ke p. M aluk u 31 32 33
Ambon Sofifi Manokw ari
4(14, 8) 1 (14. 3) 0(0)
5(18. 5) 3 (42, 9) 1 (16. 7)
4 (14, 8) 1 (14, 3) 2(33. 3)
7 (25, 9) 1 (14. 3) 2(33, 3)
2 (7, 4) 0(0) 0(0)
5 (18, 5) 1 (14, 3) 1 (16, 7)
27(100) 7(100) 6(100)
34 35 36 37
Sorong Merauke T imika Jayapu ra
4(13) 2(12. 5) 3(17. 7) 4(11, 5)
6(19. 4) 6 (37. 5) 0(0) 8 (2Z9)
8(25, 8) 3(18. 8) 3(17, 6) 7(20)
11(35, 5) 2(12, 5) 8(47. 1) 9 (25. 7)
1(3, 2) 1 (6, 3) 2(11. 8) 1 (2, 9)
1(3, 2) 2(12, 5) 1 (5, 9) 6(17, 1)
31(100) 16(100) 17(100) 35(100)
50
V.2.1.4. Pe nde rita Diabe te s M e llitus M e nurut Status Pe ke rjaan di 37 Kota Wilayah Pe nge mbangan Ekonomi Indone s ia.
Tabel.5.4. memperlihatkan bahwa penderita Diabetes Mellitus yang terbanyak adalah berstatus tidak bekerja, terdapat di 23 Kota yaitu proporsinya berkisar 50% - 77,8%, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 75%), Jawa (Bandung 66,1%), Kalimantan (Pontianak 57,7%), Sulawesi (Mamuju 77,8%), Bali - Nusa Tenggara {Kupang 50%) dan Papua Kepulauan Maluku (Sofifi 57,1%). Penderita Diabetes Mellitus lebih banyak dengan status bekerja terdapat di 14 kota yaitu di regional Bali - Nusatenggara yaitu Denpasar (52,9%), Lombok (63,5%), Mataram (51,6%) dan Papua - Kepulauan Maluku yaitu Manokwoari (83,3%), Sorong (51,6%), Merauke (62.5%), Timika (75,6%) dan Jayapura (65.7%), serta terdapat beberapa Kota di regional Sumatera yaitu Bengkulu (51,6%), Bandar Lampung (51,7%) dan Serang (54,5%), Jawa (Semarang 51,9%). Kalimantan (Palangkaraya 71,4%) dan regional Sulawesi (Gorontalo 53,2%). Berstatus mencari kerja, hanya terdapat di sebagian kecil kota yaitu Banda Aceh (1,4%), Tanjung Pinang (3,1%), Jakarta (0,3%), Surabaya (1,4%), Makassar (3,6%), Kendari (4,8%), Mataram (3,2%). Ambon (7,4%) dan Timika (5,9%). Sedangkan yang masih sekolah, hanya terdapat di 2 Kota yaitu Banda Aceh (1,4%) dan Kupang (8%).
51
Tabel.5.4. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Menurut Status Pekeijaan di 37 Kota Wilayah Pengembanga n Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Kota
Status Pe kerjaan (n,%) Tidak be k e rja
Total
Be k e rja
Se dang me ncari k e rja
Se k olah
1 (1,4)
Sumate ra
1.
Banda Aceh
38 (53,5)
31 (43,7)
1 (1,4)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Medan Padang Pekan Baru Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
44 (61,1) 18(54,5) 15(75,0) 20 (62,5) 34 (57.6) 15 (48,4) 14(48,3)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
10(45,5)
28 (38,9) 15(45,5) 5 (25,0) 12(37,5) 25 (42,4) 16(51,6) 15(51,7) 11 (23,9) 15 (46,9) 12(54,5)
188 (57,7) 37 (66, 1)
71(100)
1 (3.1) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
72(100) 33 (100) 20(100) 32 (100) 59(100) 31(100) 29(100) 46(100) 32 (100) 22(100)
137 (42,0)
1 (0,30
0(0)
326(100)
37 (46.8) 44 (56,4) 82 (59,0)
19(33,9) 41 (51,9) 34 (43,6) 55 (39,6)
0(0) 1 (1,3) 0(0) 2(1,4)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
56(100) 79 (100) 78(100) 139(100)
15(57, 7)
11 (42,3)
0(0)
0(0)
26(100)
8 (28,6) 21 (52,5) 33 (50,8)
20(71,4) 19(47,5) 32 {49 ,2 )
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
28 (100) 40(100) 65(100)
34 (60,7)
20 (35.7)
2(3,6)
0(0)
56(100)
7 (77, 8)
2 (22,2) 6 (28.6) 20 (45,5) 25 (53,2)
0(0) 1 (4,8) 0(0) 1 (1,6) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
9(100) 21 (100) 44(100) 62 (100) 47 (100)
35 (76, 1) 16(50.0)
0(0)
Jawa
12. 13. 14. 15. 16.
Jakarta Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya Kalimantan
17. 18. 19.
20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmas in Samarinda Sulawe s i
21. 22. 23. 24. 25. 26.
27. 28.
29. 30.
Makassar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
14 24 31 22
(66,7) (54,5) (50,0) (46.8)
30 (48,4 )
BaliI Sus ate nggara
16(47,1)
18(52,9)
0(0)
0(0)
34(100)
Denpasar Lombok Mataram Kupang
19(36,5) H (45,2)
33 (63,5) 16(51,6)
0(0) 1 0 ,2 )
13 (52, 0)
10(40.0)
0(0)
0(0) 0 (0) 2 (8)
52 (100) 31 (100) 25 (100)
15(55,6)
10(37) 3 (42.9) 5 (83,3) 16(51,6) 10(62.5) 13(76,5) 23 (65.7)
2(7,4) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1 (5,9) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
27 (100) 7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35 (100)
Papua - Ke p. Maluk u
31. 32. 33.
34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
4 (57, 1)
1 (16,7) 15(48,4) 6(37,5) 3(17,6) 12(34,3)
52
V.2.1.5. Penderi ta Di abetes Mel i i tus Menurut Pekerjaan Utama di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Tabel.5.5 menyajikan penderita DM menurut pekerjaan utama, sebagaian besar penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota bekerja sebagai wiraswasta (17 Kota), dengan proporsi 36,7%-70%, yang tertinggi
di
regional Sumatera (Palembang 56%), Jawa Bandung 57.9%), Kalimantan (Palangkaraya
55%), Sulawesi (Makassar 70%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 50%), Papua - Kepulauan Maluku (Sorong 68,8%). PNS/TNI/POLRI/BUMD, terdapat di 9 Kota dengan proporsi 37,5% - 66,7%, Kota yang tertinggi yaitu Sofifi (66,7%), 60% di Ambon, Kupang dan Pekan Baru. Penderita Diabetes Meliitus dengan status pekerjaan wiraswasta, proporsinya sama dengan PNS/TNI/POLRI/BUMD terdapat di 8 Kota yaitu Padang (26,7%), Bengkulu (37%), Tanjung Pinang (26,7%), Pontianak (18,2%), Manokwari (20%), Merauke (30%), Timika (38,5%) dan Jayapura (34,8%). Pekerjaan utama sebagai petani dan nelayan, tedapat pada sebagian besar penderita DM di Mamuju (50%), di Lombok (42,4%) dan Manokwari (40%).
53
Tabel.5.5. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Menurut Pekerjaan Utama di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Kota
Pekerjaan Utama (n, %)
T otal
PNS/ T NI/ Polri/ BUMD
Pegaw ai s w as ta
Wiras w as t a
Petani/ Nelayan
Buruh
Lainnya
12(38. 7) 5 (17, 9) 4 (26, 7)
7 (22, 6) 2(7, 1) 1 (6, 7)
9 (29) 12(42, 9) 4 (26, 7)
0(0) 3 (10, 7) 0(0)
l (3, 2) 3 (10, 7) 4 (26, 7)
2 (6, 5) 3 (10, 7) 2(13. 3)
3 (60. 0) 2 (16, 7)
1 (20. 0) 0(0)
1 (20. 0) 6 (50. 0)
0(0) 1 (8, 3)
0(0) 2 (16. 7)
0(0) 1 (8. 3)
5 (100) 12(100)
3 (12, 0)
5 (20, 0)
14(56, 0)
0(0)
0(0)
3(12, 0)
25(100)
Sumate ra 1.
Banda Aceh
2.
Medan Padang Pekan Baru Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
3. 4.
5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
31(100) 28 (100) 15(100)
6(37, 5)
0(0)
6(37, 5)
2 (12, 5)
0(0)
2(12, 5)
16(100)
3 (20, 0) 1 (9, 1)
2(13, 3) 0(0)
6 (40, 0) 5(45, 5)
0(0) 0(0)
4 (26, 7) 3 (27, 3)
0(0) 2(18, 2)
15 (100) 11 (100)
4 (26. 7) 5(41, 7)
6 (40, 0) 3 (25. 0)
4 (26, 7) 4 (33. 3)
0(0)
0(0)
1 (6, 7)
0(0)
0(0)
0(0)
15 (100) 12 (100)
8 (5, 8)
45 (32. 8)
58 (42. 3)
14 (10, 2)
11 (8)
137(100)
4(21, 1)
2(10, 5)
11 (57, 9)
0(0)
0(0)
2(10, 5)
19(100)
6(14. 6) 2 (5, 9) 2 (3, 6)
10 (24, 4) 12 (35, 3) 11 (20. 0)
8 (19, 5) 18(52, 9) 30 (54. 5)
2 (4, 9) 0(0) 0(0)
11 (26, 8) 1 (2, 9) 5(9. 1)
4 (9, 8) 1 (2, 9) 7(12, 7)
41 (100) 34 (100) 55 (100)
2(18, 2) 6 (30,0)
2(18. 2) 11(55, 0) 10(52, 6) 13 (40, 6)
1 (9. 1) 0(0) 0(0) 2 (6. 3)
4 (36, 4) 0(0)
5 (15. 6)
1 (9, 1) 1 (5, 0) 3(15, 8) 9(28. 1)
1(5)
2(10)
14(70)
0(0)
0(0)
0(0)
Jawa
12. 13. 14. 15. 16.
Jakarta Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya
1 (0, 7)
Kalimantan 17.
18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmasin Samarinda
6(31,6)
1(9,1)
1 (3. 1)
0(0) 2 (6, 3)
11 (100) 20(100) 19(100) 32(100)
1 (5)
0(0)
2(10)
20 (100)
1 (50)
0(0)
1 (50)
2(100)
1 (16,7) 1 (5. 0) I (3, 3) 2 (8, 0)
0(0) 1 (5, 0) 2 (6, 7) \ (4. 0)
0(0) 1 (5. 0) 3 (10, 0) 2 (8, 0)
6(100) 20(100) 30(100) 25(100)
0(0)
2 (1 1 ,1 )
18(100)
3(9, 1)
2(6. 1)
33 (100)
0(0) 0(0)
1 (6. 3) 0(0)
16(100) 10 (100)
0(0) 0(0) 0(0)
2 (20, 0) 0(0) 0(0)
10(100) 3(100) 5(100)
1(6. 3) 0(0) 0(0) 1 (4. 3)
1 (6. 3) 1 (10, 0) 1 (7. 7) 0(0)
16(100) 10 (100) 13 (100) 23 (100)
0(0)
2(10,0)
Sulawe s i
21. 22. 23.
24.
25. 26.
Makassar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo BaliNus ate nggara
27.
28. 29. 30.
Denpasar Lombok Mataram Kupang
3 (50, 0) 5 (25, 0) 8(26, 7) U (44, 0)
0(0) 2(10, 0) 5(16, 7) 2 (8, 0)
1 ( 5, 6)
5 (27,8)
9(50)
1 (5, 6)
5(15, 2)
1 (3, 0)
8(24. 2)
14 (42. 4)
6(37, 5) 6 (60, 0)
3(18. 8) 1 (10. 0)
5(31. 1) 3 (30. 0)
1 (6, 3)
6 (60, 0) 2 (66. 7) I (20, 0)
1 (10. 0) 0(0) 1 (20, 0)
I (10, 0) 0(0) 1 (20, 0)
0(0) 1 (33. 3) 2 (40. 0)
1 3 5 8
2(12. 5) 1 (10, 0) 2(15. 4) 3(13. 0)
11 (68. 8) 3 (30, 0) 5 (38. 5) 8 (34, 8)
2 (33. 3) 10(50. 0) 11 (36, 7) 7 (28, 0)
0(0)
Papua - Ke p. Maluk u
31. 32. 33. 34, 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
(6. 3) (30, 0) (38, 5) (34. 8)
0(0)
2 (20, 0) 0(0) 3(13, 0)
54
TJ.1.6. Penderita Diabetes Mellitus Menurut Status Ekonomi di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Tabel.5.6. menunjukkan, penderita Diabetes Mellitus menurut status ekonomi yang diukurur berdasarkan indeks kepemilikan Riskesdas 2013. sebagian besar dengan status ekonomi teratas (27 Kota), dengan proporsi 35.5% - 85%, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 85%), Jawa (Bandung 62,5%), Kalimantan (Samarinda 75.4%), Sulawesi (Makassar 58.9%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 73,5%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Merauke 43,8%). Penderita Diabetes Mellitus yang sebagian besar adalah status menengah atas terdapat di 9 kota yaitu Medan (51,4%), Palembang (52,5%), Surabaya (43,9%). Mamuju (33,3%), Kupang (44%), Ambon (59.3%). Sofifi (42,9%), Manokwari (50%) dan Sorong (35,5%). Penderita Diabetes Mellitus, yang sama proporsinya antara status menengah dan menengah atas terdapat di Kota Padang (21,2%), Tanjung Pinang (25%) dan Pontianak (26,9%), Penderita Diabetes Mellitus dengan status ekonomi menengah bawah dan terbawah, lebih sedikit dibandingkan dengan status ekonomi menengah ke atas. Penderita Diabetes Mellitus dengan status ekonomi terbawah hanya terdapat di 9 Kota, proporsinya berkisar L4% - 33,3%, secara berurut dari proporsi tinggi ke rendah yaitu di Mamuju (33,3%), Lombok (23,1%), Kupang (12%), Mataram (9,7%), Padang (9,1%), Merauke (6,3%), Gorontalo (2,1 %), Makasssar (1,8%) dan Medan (1,4%).
55
Tabel.5.6. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Menurut Status Ekonomi (Indeks Kepemilikan) di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No. Ko ta Status Ek onomi (Indeks Kepemilikan) (n, To tal %) Te rbawah M e nengah
M e nengah M e ne ng ah
B awah
Te ratas
Atas
Sumate ra
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Banda Aceh Medan Padang Pekan Baru Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
0(0) 1 (1,4) 3(9.1) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 1 (1,4) 2(6.1) 1 (5,0) 1 (3,1) 0(0) 1 (3.2) 0(0)
2 (2,8) 11(15,3) 7(21,2) 2(10,0) 2 (6,3) 3(5,1) 2 (6,5) 2 (6,9)
9(12,7) 37(51,4) 7(21,2) 0(0) 7(21,9) 31 (52,5) 8 (25,8) 6(20.7)
60 (84,5) 22 (30,6) 14(42,4) 17(85) 22 (68,8) 25 (42,4) 20(64,5) 21 (72,4)
71 (100) 72 (100) 33 (100) 20 (100) 32 (100) 59 (100) 31(100) 29(100)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 1 (3,1) 1 (4,5)
3 (6,5) 8 (25,0) f (4,5)
8(17,4) 8 (25,0) 6 (27,3)
35 (76,1) 15 (46.9) 14(63,6)
46(100) 32(100) 22 (100)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
14(4,3) 0(0) 3 (3,8) 4(5,1) 2(1,4)
46(14,1) 132(40,5) 4(7,1) 17(30,4) 13 (16,5) 26 (32,9) 18(23,1) 24 (30,8) 19(13,7) 61 (43,9)
134(41,1)
326(100) 56(100) 79 (100) 78 (100) 139(100)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
2 (7,7) 1 (3,6) 2 (5,0) 2(3.1)
7(26,9) 1 (3,6) 2 (5,0) 1(1.5)
7 (26,9) 8 (28,6) 9 (22,5) 13(20,0)
10(38,5) 18(64,3) 27 (67,5)
1 (1,8) 3(33,3) 0(0) 0(0) 0(0) 1 (2,1)
1 (1,8) 1 (11,1) I (4,8) 3 (6.8) 6(9,7) 5(10,6)
4(7,1) 1(11,1) 2 (9,5) 6(13,6) 11 (17,7) 6(12,8)
17(30,4) 3 (33,3) 8(38,1) 12(27,3) 18 (29) 16(34)
33 (58,9)
0(0) 1 7 ( 3 2 ,7 ) 2(6,5) 1 (4,0)
2 (5,9) 4(7,7) 8(25,8) 10(40,0)
7 (20,6) 8 (J 5,4) 7 (22,6) 11 (44,0)
25 (73,5)
! (3,7) 3 (42,9) 1 (16,7) 2(6,5) l (6.3) 3(17,6) 3(8,6)
6 (22,2) 1 (14,3) 1(16,7) 10(32,3) 4 (25,0) 1 (5.9) 7 (20,0)
16(59.3) 3 (42,9) 3 (50.0) N (35,5) 3(18.8) 6(35,3) 12(34,3)
4(14,8) 0 (0 ) 1 (16,7) 8 (25,8)
J awa
12. 13. 14. 15. 16.
Jakarta Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya
35 (62,5)
37(46,8) 32 (41,0) 57 (41,0)
Kalimantan
17. 18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmasin Samarinda
49 (75,4)
26(100) 28 (100) 40(100) 65 (100)
Sulawe s i
21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makassar Mamuju Kendari Pafu Manado Gorontalo
1 (11,0 10(47,6) 23 (52,3) 27 (43,5) 19(40,4)
56(100) 9(100) 21 (100) 44(100) 62 (100) 47 (100)
B aliNus a te ng gara
27. 28. 29. 30.
Denpasar 0(0) Lombok 1 2 ( 2 3,1 Mataram 3 (9,7)) Kupang Papua - 3 (12.0)
1 1 ( 2 1 ,2) 11 (35,5) 3(12,0)
34 52 31 25
(100) (100) (100) (100)
Ke p. M aluku
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) i (6,3) 0(0) 0(0)
7 (43,8)
7(41,2) 13 (37,!)
27(100) 7 (100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35 (100)
56
V.2.1.7. Penderita Diabetes Mellitus menurut Status Kawin di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Penderita Dibetes Mellitus di 37 Kota sebagian besar berstatus menikah (Tabel.5.7), selanjutnya adalah cerai mati, kemudian cerai hidup, berstatus belum menikah dan cerai hidup. Berdasarkan status kawin menikah, proporsinya 61,5% -100%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Serang 100%), Jawa (Semarang 81%), Kalimantan (Palangkaraya 96.4%), Sulawaesi (Mamuju 100%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar (88,2%) dan Papua Kepulauan Maluku (Timika 100%), sedangkan yang terendah di Jogjakarta (61,5%). Proporsi penderita Diabetes Mellitus dengan status cerai mati, terdapat di 33 Kota, berkisar 3,2% - 35% yang tertinggi adalah di Pekan Baru (35%) dan yang terendah di Bengkulu (3,2%). Status cerai hidup penderita DM terdapat di 16 Kota, proporsinya 1,3% - tertinggi di Mataram (6,5%) dan terendah di Semarang dan Jogjakarta (1,3%). Penderita DM dengan status belum menikah, terdapat di 20 Kota, proporsinya 0,7% - 14,3%, tertinggi di Sofifi (14,3%) dan terendah di Surabaya (0,7%). Sedangkan yang hidup bersama hanva ada di Pangkal Pinang (2,2%) dan Kupang (4%).
57
T abel. 5. 7. Dis tribus i Penderita Diabetes Mellitus Menurut Status Kaw in di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indones ia, T ahun 2013. No.
Kota
Status Kawin (n, % ) Be lum
Hidup
Total
Ce rai
Hidup
Ce rai
me nik ah
Me nik ah
be rs am
hidup
te rpis a h
mati
2 (2, 8)
54 (76, 1)
0(0)
1 d, 4)
0(0)
14(19, 7)
71 (100)
0(0) 0(0)
62 (86. 1) 29 (87, 9)
0(0) 0(0)
2 (2, 8) 2(6, 1)
0(0) 0(0)
8(1, 1) 2(6, 1)
72 (100) 33 (100)
Sumate ra ].
Banda Ac eh
2. 3.
Medan Padang
4.
Pekan Baru
0(0)
13(65)
0(0)
0(0)
0(0)
7(35)
20 (100)
5. 6. 7.
Jambi Palembang Bengkulu
2 (6. 3) 1 (1, 7) 1 (3. 2)
26(81, 3) 50 (84, 7) 29 (93, 5)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 1 (1. 7) 0(0)
4(12, 5) 7(11, 9) I (3, 2)
32(100) 59(100) 31(100)
8. 9.
Bandar Lampung Pangkal Pinang
1 (3, 4) 2(4, 3)
25 (86, 2) 32 (69, 6)
0(0) 1 (2, 2)
0(0) 0(0)
0(0) 0(0)
3 (10, 3) 11 (23, 9)
29(100) 46(100)
T anjung Pinang
10.
1 (3. 1)
28 (87, 5)
0(0)
1(3, 1)
0(0)
2 (6, 3)
32 (100)
11.
Serang Jawa
0(0)
22(100)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
22(100)
12.
J akarta
8(2. 5)
0(0)
7(2, 1)
1 (0, 3)
52(16)
326(100)
13. 14. 15.
Bandung Semarang J ogjakarta
0(0) 3 (3,8) 5 (6, 4)
258 (79, 1) 45 (80, 4) 64 (81,0) 48 (61, 5)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 1(1,3) 1 (1, 3)
0(0) 0(0) 0(0)
11 (19, 6) 11(13,9) 24 (30, 8)
56(100) 79 (f00) 78(100)
16.
Surabaya Kalimantan Pontianak
1 (0. 7)
97 (69, 8)
0(0)
2(1, 4)
2(1, 4)
37 (26, 6)
139(100)
2 (7, 7)
21 (80, 8)
0(0)
0(0)
0(0)
3(11, 5)
26(100)
18. 19. 20.
Palangkaraya Banjarmas in Samarinda Sulawe s i
0(0) 1 (2, 5) 0(0)
27 (96,4)
0(0)
3 6 ( 90, 0) 53 (81, 5)
0( 0) 0(0)
0(0) 1( 2 , 5 ) 3 (4, 6)
0(0) 0(0) 0(0)
1 (3, 6) 2 (5,0) 9(13, 8)
28 (100) 40(100) 65 (100)
21.
Makas s ar
3 (5. 4)
39 (69, 6)
0(0)
2(3. 6)
1(1, 8)
11 (19, 6)
56(100)
22. 23. 24. 25.
Mamuju Kendari Palu Manado
0(0) 0(0) 0(0) i (1, 6)
9(100)
20(95, 2) 36(81, 8) 57(91, 9)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 2 (4, 5) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 1 (1, 6)
0(0) I (4, 8) 6(13, 6) 3 (4, 8)
9(100) 21 (100) 44 (J 00) 62 (100)
26.
Gorontalo BaliNus ate nggara Denpas ar Lombok Mataram
4 (8, 5)
33 (70, 2)
0(0)
1 (2, 1)
0(0)
9(19, 1)
47 (100)
2 (5. 9) 0(0) 0(0)
30 (88, 2) 45 (86. 5) 25 (80, 6)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 2(3, 8) 2(6, 5)
0(0) 0(0) 0(0)
2 (5, 9) 5 (9, 6) 4(12. 9)
34(100) 52(100) 31 (100)
30.
Kupang Papua Ke p. Maluk u
4 (16, 0)
20 (80. 0)
1 (4, 0)
0(0)
0(0)
0(0)
25 (100)
31. 32. 33. 34.
Ambon Sofifi Manokw ari Sorong
I (3, 7) I (14. 3) 0(0) 0(0)
22(81. 5) 5(71. 4) 5 (83, 3) 28 (90, 3)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 1 (3, 2)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
4(14, 8) 1 (14, 3) 1 (16, 7) 2 (6, 5)
27(100) 7(100) 6(100) 31(100)
35. 36. 37.
Merauke T imika J ayapura
0(0) 0(0) 0(0)
13 (81, 3) 17(100) 33 (94. 3)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
3 (18, 8) 0(0) 2 (5. 7)
16(100) 17(100) 35(100)
17.
27. 28. 29.
58
V.2.1,8. Peaderita Diabetes Mellitus Menurut Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Tabel.5.8 memperlihatkan bahwa penderita Diabetes Mellitus sebagian besar adalah kepala Rumah Tangga, terdapat di 28 Kota dimana proporsinya berkisar 41,2% - 86,3%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Serang 68,2%), Jawa (Jakarta 64,7%), Kalimantan (Pontianank dan Samarinda 53,8%), Sulawesi (Makassar 62,5%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 61,5%) dan Papua- Kpeulauan Maluku (Manokwari 83,3%). Proporsi penderita DM dengan status suami atau istri lebih banyak dibanding kepala RT terdapat di Mamuju (88,9%), Menado (50%), Medan (48,6%) dan Pangkal Pinang (41,3%). Penderita DM dengan status suami/istri, proporsinya sama dengan kepala RT adalah di Kendari (47,6%), Kupang (40%) dan Sofifi (42,9%). Penderita Diabetes Mellitus dengan status sebagai orang tua/mertua, terdapat di 25 Kota, proporsinya berkisar 1,9% - 29,4%,
tertinggi di Denpasar 29,4%. Dengan status anak
(kandung/tiri/angkat/menantu), terdapat di 16 Kota, proporsinya 0,3% -16%, tertinggi di Kupang (16%).
59
T abel. 5. 8. Dis tribus i Penderita Diabetes Mellitus Menurut Hubungan dengan Kepala Rumah T angga di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indones ia, T ahun 2013. No. Ko ta Hubung an de ng an Kepala Rumah Tang ga (n,%) Kepal a
RT
Suami/ Is tri
Anak
Orang tua/
(kandung/
M e rtua
Fami l i
Total Lai nnya
Lain
ti ri / ang k at )/ Menantu
Sumate ra 1. 2.
Banda Ac eh Medan
43 (60, 6) 33 (45, 8)
23 (32, 4) 35 (48, 6)
1 (1, 4) 0(0)
3 (4, 2) 4 (5, 6)
1 (1, 4) 0(0)
0(0) 0(0)
71 (100) 72(100)
3. 4.
Padang Pekan Baru
19(57, 6) 10(50, 0)
13(39, 4) 7(35, 0)
0(0) 0(0)
1 (3, 0) 3(15, 0)
0(0) 0(0)
0(0) 0(0)
33 (100) 20(100)
5. 6.
J ambi Palembang
18(56, 3) 29 (49, 2)
9(28, 1) 22 (37, 3)
1 (3, 1) 1 (1, 7)
3 (9, 4) 5 (8, 5)
1 (3, 1) 2 (3, 4)
0(0) 0(0)
32 (100) 59(100)
7.
Bengkulu
18(58, 1)
12(38, 7)
1 (3, 2)
0(0)
0(0)
0(0)
31(100)
8. 9.
Bandar Lampung Pangkal Pinang
18(62, 1) 18(39, 1)
7(24, 1) 19(41, 3)
0(0) 1 (2, 2)
3(10, 3) 6(13)
I (3, 4) 2 (4, 3)
0(0) 0(0)
29(100) 46(100)
10. 11.
T anjung Pinang Serang
18(56. 3)
1 5 (6 8 ,2 )
11 (34, 4) 7(31, 8)
0(0) 0(0)
2 (6, 3) 0(0)
1 (3, 1) 0(0)
0(0) 0(0)
32(100) 22(100)
2 1 1 (6 4 ,7 ) 33 (58, 9)
98 (30, 1) 19(33, 9)
3 (0, 3) 1(1, 8)
10(3, 1) 3 (5, 4)
4(1, 2) 0(0)
0(0) 0(0)
326 (100) 56(100)
J awa 12. 13.
J akarta Bandung
14.
Semarang
48 (60, 8)
27 (34, 2)
1 (1, 3)
2(2, 5)
1(1, 3)
0(0)
79 (100)
15. 16. 17.
J ogjakarta Surabaya
48 (61, 5) 75 (54, 0)
Kalimantan
1 4 (5 3 ,8 )
21 (26, 9) 42 (30, 2) 9 (34, 6)
3 (3, 9) 0(0) 0(0)
5 (6, 4) 19(13, 7) 2 (7, 7)
I (1, 3 1 (0, 7) 1 (3, 8)
0(0) 2(1, 4) 0(0)
78(100) 139(100) 26(100)
15(53, 6)
13 (46, 4)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
22 (55, 0)
16(40, 0) 26(40)
1 (2, 5) 0(0)
1 (2, 5) 2(3, 1)
0(0) 1 (1-5)
0(0) 1(1, 5)
15 (26, 8) 8 (88, 9) 10(47, 6) 17(38, 6) 31 (50) 15(31, 9)
0(0) 0(0)
4(7, 1) 0(0)
0(0) 0(0)
0(0) 1 (1, 6) 1 (2, 1)
2 (3. 6) 0(0) 0(0) 2(4, 5) 0(0) 4 (8, 5)
0(0)
10(29, 4)
2 (5, 9) 0(0) 0(0)
Pontianak
IS. 19. 20.
Palangkaraya Banjarmas in Samarinda
3 5 (5 3 ,8 )
28(100) 40(100) 65 (100)
Sulawe s i 21. 22. 23. 24. 25.
26.
Makas s ar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
3 5 (6 2 ,5 ) 1(1!, 1) 10(47, 6) 25 (56, 8) 30 (48. 4) 23 (48, 9)
B aliNus ate ng g ara 27. 28. 29.
Denpas ar Lombok Mataram
30.
Kupang
14(41, 2)
1 (4,8)
19(61, 3)
8(23, 5) 16(30. 8) 11(35, 5)
3 (5, 7) 0(0)
1 (3, 2)
10(40, 0)
10(40. 0)
4(16. 0)
0(0)
15(55, 6) 3 (42, 9) 18(58, 1)
9(33, 3) 3 (42, 9) 1 (16, 7) 13(41, 9)
0(0) 1 (14, 3) 0(0) 0(0)
3(11, 1) 0(0) 0(0) 0(0)
1 1 (68. 8) 12(70. 6) 18(51, 4)
5(31, 2) 5 (29, 4) 16(45, 7
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 1 (2, 9)
3 2 (6 1 ,5 )
l (1,9)
Papua - Ke p. M aluk u 31. 32. 33. 34.
Ambon Sofifi Manokw ari Sorong
35. 36. 37.
Merauke T imika J ayapura
5 (8 3 3 )
0(0)
0(0)
0(0) 0(0) 3 (6. 4)
0(0) 0(0) 1 (2, 1)
0(0)
56(100) 9(100) 21(100) 44(100) 62(100) 47(100)
0(0) 0(0)
34(100) 52(100) 31(100)
1 (4, 0)
25(100)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
27(100) 7(100) 6(100) 31(100)
0(0) 0(0) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
16(100) 17(100) 35 (100)
0(0)
0(0)
60
V.2.2. Penderi ta Di abetes Mel l i tus Menurut Lokasi Tempat Ti nggal di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Pada Gambar. 5.3. memperlihatkan penderita DM sebagian besar berlokasi di perkotaan, terdapat di 33 Kota, dengan proporsi berkisar 62.5% - 100%. Di Mamuju (55.6)%. Lombok (51.9%), Sofifl (71,4%), penderita DM lebih banyak yang tinggal di perdesaan, sedangkan di Manokwari, proporsi penderita Diabetes Mellitus yang tinggal diperkotaan sama dengan yang tinggal di perdesaan.
Perkotaan
Perdesaan
Gambar.5.3. Proporsi Penderita Diabetes Mellitus Menurut Lokasi Tempat Tinggal di 37 K.0UJ Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Tahun 2013. V.3. Pol a Peri l aku (Konsumsi , Merokok dan Aktivitas fisik) Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wi l ayab Pengembangan Ekonomi Indonesi a. V.3.1. Pol a Konsumsi Penderi ta Di abetes Mel l i tus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a Pola konsumsi penderita Diabetes Mellitus dalam analisis ini, sesuai dengan ketersediaan data di Riskesdas 2013, berdasarkan hasil wawancara yang terdiri dari 3 yaitu : 1. Pola konsumsi sayur dan buah, berdasarkan frekuensi dan porsi makanan sayur dan buah. 2.
Pola konsumsi makanan berisiko, berdasarkan frekuensi konsumsi 3 jenis makanan berisiko yang berkaitan dengan faktor risiko DM yaitu makanan manis, makanan gorengan/kolestrol dan makanan daging/ayam/ikan olahan dengan pengawet.
3. Pola konsumsi makanan olahan tepung, berdasarkan frekuensi konsumsi 4 jenis makanan olahan tepung terigu yaitu mie instan, mie basah, roti dan biskuit.
61
V.3.1.1. Pola Konsumsi Sayur dan Buah pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Perilaku konsumsi sayur dan buah, dikelompokkan menjadi, kriteria ’’cukup” adalah apabila asupan savur dan buah 5 porsi atau lebih per hari selama 7 hari dalam seminggu, dan "kurang” apabila asupan sayur dan buah kurang dari ketentuan tersebut. Perilaku konsumsi sayur dan buah penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota (Tabel.5.9.), sebagian besar dengan kategori kurang, dengan proporsi berkisar 85,7 % - 100%, Terdapat 21 kota, dimana 100% penderita Diabetes Mellitus konsumsinya sayur dan Duah dalam kategori kurang. Konsumsi sayur dan buah dengan kategori cukup, hanya sebagian keci! saja yang terdapat di 16 Kota, dengan proporsi berkisar 1,5% -14,3%, yang Terbesar regional Sumatera (Bengkulu 12,9%), Jawa (Jogjakarta 5,1%), Kalimantan Pontianak 3.8%), Sulawesi (Menado 3,2%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 5,8%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Sofifi 14,3 %).
62
T abei. 5. 9. Kons ums i Sayur dan Buah Penderita Diabetes Mellitus di Pengembangan
37 Kota Wilayah
Ekonomi Indones ia, T ahun 2013.
No.
Ko ta
Ko ns umsi Sayur dan B uah (n, %) Kurang Cuk up
To tal
Sumate ra 1.
Banda Ac eh
2.
Medan
65 (91, 5) 70 (97, 2)
6 (8, 5) 2 (2, 8)
71 (100) 72(100)
3.
Padang
33 (100)
0(0)
33 (100)
4.
Pekan Baru
20(100)
0(0)
20(100)
5.
J ambi
32 (100)
0(0)
32 (100)
6. 7. 8.
Palembang Bengkulu Bandar Lampung
59(100) 27 (87, 1) 28 (96. 6)
0(0) 4(12, 9) 1 (3, 4)
59(100) 31 (100) 29(100)
9.
Pangkal Pinang
46(100)
0(0)
46(100)
10. 11.
T anjung Pinang Serang
32 (100) 22 (100)
0(0) 0(0)
32 (100) 22(100)
5(1, 5) 1(1, 8) 0(0)
326(100) 56(100) 79(100)
Jawa 12. 13. 14.
J akarta Bandung Semarang
321 (98, 5) 55 (98, 2) 79(100)
15.
J ogjakarta
74 (94, 9)
4(5, 1)
78 (100)
16.
Surabaya
133 (95, 7)
6 (4. 3)
139(100)
25 (96, 2) 28 (100) 40(100) 64 (98, 5)
1 (3. 8) 0(0) 0(0) 1(1, 5)
26(100) 28 (100) 40(100) 65 (100)
56 (100) 9(100) 21(100) 44 (100) 60 (96. 8) 47(100)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 2 (3, 2) 0(0)
56 (100) 9(100) 21(100) 44(100) 62(100) 47(100)
34(100) 49 (94. 2) 31(100) 24 (96) 24 (88, 9)
0(0) 3 (5, 8) 0(0) 1 (4) 3(11, 1)
34(100) 52 (100) 31 (100) 25 (100) 27(100)
1 (14. 3) 0(0) 0(0)
Kalimantan 17. 18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmas in Samarinda
Sulawe s i 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makas s ar Mamuju Kendari Palu Menado Gorontalo
B ali- Nus ate nggara 27. 28. 29. 30. 31.
Denpas ar Lombok Mataram Kupang
Papua - Ke pulauan M aluk u Ambon
32. 33. 34. 35. 36.
Sofifi Manokw ari Sorong Merauke T imika
6(85. 7) 6(100) 31 (100) 16(100)
0(0)
17(100)
0(0)
7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100)
37.
J ayapura
34(97. 1)
1 (2. 9)
35 (100)
63
V.3.1.2. Pola Konsumsi Makanan Berisiko Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Perilaku konsumsi makanan yang berisiko yang berpengaruh terhadap kejadian Diabetes Mellitus dalam analisis ini, terdiri dari makanan/minuman manis, makanan berlemak/kolestrol/gorengan dan makanan daging/ikan/ayam olahan dengan pengawet. Perilaku komsumsi makanan berisiko, dikelompokkan 3 kelompok yaitu 1) asupan > 1 per hari dalam seminggu, 2) 1- 6 kali per minggu,3) Tidak pernah atau kurang dari 3 kali per bulan. Konsumsi makanan berisiko pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota fTabel.5.10). sebagian besar dengan kategori 1 - 6 kali per minggu, terdapat di 28 Kota, proporsinya berkisar 44,4% - 76,9, yang tertinggi di Pontianak (76,9%). Konsumsi makanan berisiko > 1 per hari dalam seminggu, proporsinya berkisar 3,2% - 46,4%. Penderita Diabetes Mellitus yang lebih banyak mengkonsumsi makanan berisiko > 1 per hari dalam seminggu, terdapat di Palangkaraya (46,4%) dan Sofifi (42,6%). Konsumsi nakanan berisiko > 1 per hari dalam seminggu pada penderita DM, kota yang teringgi di regional Sumatera (Padang 39,4%), Jawa (Bandung (32,1%), Kalimantan (Palangkaraya 46,4%), Sulawesi (Makassar 33,9%), Bali- Nusa Tenggara (Lombok 21,2%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Sofifi 42,9%). Konsumsi makanan berisiko, yang tidak pemah atau kurang dari 3 kali per bulan, proporsinya berkisar 3,8% - 61,9%. Penderita Diabetes Mellitus yang sebagian besar tidak remah atau kurang dari 3 kali per bulan mengkonsumsi makanan berisiko, terdapat di Pekan 3*ru (40%), Kupang (48%), Kendari 61,9%, Ambon (37%), Manokwari (50%), Merauke (50%) dan Timika (47,1 %).
64
T abel. 5. 10.
Kons ums i
Makanan
Beris iko
Pada
Penderita
Pengembangan Ekonomi Indones ia, T ahun 2013. Kota No.
Diabetes
Mellitus
di
Wilayah 37 Kota
Mak anan B eri s i ko (n,% )
Total
1 -6 k al i / mi ng g u
≤ 1 k al i / hari
22(31) 20 (27,8) 4(12, 1)
39 (54, 9) 38 (52,8) 16(48, 5)
10(14, 1) 14(19,4) 1 3 (3 9 ,4 )
71(100) 72(100) 33 (100)
7(35. 0) 21 (65, 6) 28 (47, 5)
5 (25. 0) 5(15, 6) 19(32, 2)
20(100) 32(100) 59 (100)
Ti dak pernah atau < 3 k al i / bul an S umatera
1. 2. 3.
Banda Ac eh Medan Padang
4. 5. 6.
Pekan Baru J ambi Palembang
8 (40, 0) 6 (18, 8) 12(20, 3)
7.
Bengkulu
10(32. 3)
15(48, 4)
6(19, 4)
31 (100)
S. 9. 10.
Bandar Lampung Pangkal Pinang T anjung Pinang
9(31, 0) 17(37, 0) 4(12, 5)
15(51,7) 24 (52, 2) 21 (65, 6)
5 (17, 2) 5(10, 9) 7(21, 9)
29(10 0 ) 46 (100) 32 (100)
11.
Serang
6(27, 3)
11 (50, 0)
5 (22, 7)
22(100)
92 (28, 2) 6(10, 7)
149 (45, 7) 32 (57, ))
85 (26, 1)
Bandung
1 8 (3 2 ,1 )
326(100) 56(100)
Semarang J ogjakarta Surabaya
10(12, 7) 13(16, 7) 30(21, 6)
46 (58, 2) 46(59, 0) 82(59, 0)
23 (29, 1) 19(24, 4) 27(19, 4)
79(100) 78 (100) 139(100)
1 (3, 8) 5(17, 9) 6(15, 0) 28(43, 1)
20 (76, 9) 10(35, 7) 20 (50, 0) 30 (46, 2)
5(19, 2)
26(100) 28 (100) 40(100) 65 (100)
Mamuju Kendari Palu
12(21, 4) 3 (33, 3) 13(61, 9) 7(15, 9)
25 (44, 6) 4 (44, 4) 8(38, 1) 24 (54, 5)
2 (22, 2) 0(0) 13(29, 5)
56(100) 9(100) 21 (100) 44(100)
Manado Gorontalo
13(21, 0) 8(17, 0)
37 (59, 7) 26 (55, 3)
12(19, 4) 13(27, 7)
62(100) 47 (100)
11 (32, 4) 16(30, 8) 9 (29, 0)
17 (50, 0) 25 (48, 1) 18(58, 1)
6(17, 6)
Lombok Mataram
1 1 (2 ,1 )
4(12, 9)
34(100) 52 (100) 31 (100)
Kupang
12(48. 0)
11 (44, 0)
2 (8, 0)
25(100)
J awa
12. 13. 14. 15. 16.
J akarta
Kal i mantan
17. 18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmas in Samarinda
1 3 (4 6 ,4 )
14 (35, 5) 7(10, 8)
S ul awes i
21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makas s ar
1 9 (3 3 ,9 )
B al i - Nus ateng g ara
27. 28. 29. 30.
Denpas ar
Papua - Kep. Mal uk u
31. 32. 33.
Ambon Sofifi Manokw ari
10(37) 2 (28, 6) 3 (50, 0)
9(33, 3) 2 (28, 6) 2(33, 3)
8 (29, 6) 1 (16, 7)
27(100) 7(100) 6(100)
34.
Sorong
14(45, 2)
16(51, 6)
1 (3, 2)
31 (100)
35. 36. 37.
Merauke T imika J ayapura
8 (50, 0) 8(47. 1) II (31, 4)
7(43, 8) 6(35, 3) 21 (60, 0)
1 (6, 3) 3(17, 6) 3(8, 6)
16(100) 17(100) 35 (100)
3 (4 2 ,9 )
65
V.3.1.3. Pol a Konsumsi Makanan Ol ahan Tepung Teri gu Pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Perilaku konsumsi makanan jadi olahan tepung terigu, terdiri atas mie instan, mie basah, roti dan biskuit, dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1) asupan > 1 per hari dalam seminggu, 2) 1 - 6 kali per minggu,3) Tidak pernah atau kurang dari 3 kali per bulan. Konsumsi makanan olahan tepung terigu pada penderita DM (Tabel.5.11), sebagian besar dalam kategori tidak pernah atau < 3 kali/bulan 1-6 kali/minggu, terdapat di 21 kota, dengan proporsi 40,6% 71,4%, tertinggi di Sofifi (71,4%). Kemudian menempati urutan kedua adalah frekuensi 1-6 kali/minggu, terdapat di 14 kota dengan kisaran 43,8% - 77,8%, tertinggi di Mamuju (77,8%). Konsumsi makanan olahan tepung, proporsinya sama antara tidak pernah atau < 3 kali/bulan dengan 1-6 kali/minggu, terdapat di Tanjung Pinang (43,8%). Penderita Diabetes Mellitus yang mengkonsumsi makanan olahan tepung terigu dengan kategori > 1 kali perhari, terdapat di 31 kota, proporsinya 2,1% - 21,9%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Jambi 21,9%), Jawa (Bandung 17,9%), Kalimantan (Pontianak 19,2%), Sulawesi (Menado 14,5%), Bali - Nisa Tenggara (Denpasar 14,7%) dan Papua Kepulauan Maluku (Sofifi 14,3%).
66
Tabel.5 . 1 1 . Konsumsi Makanan Olahan Tepung Terigu pada Penderita Diabetes Mellitus di 3 7 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2 0 1 3 . No.
Kota
M a k a n a n O l a h a n t e p un g ( n , % )
T o t al
1-6 k ali/ming g u
≤ 1 k a l i / h a ri
35 ( 49,3) 17( 51,5) 5 ( 25,0) 12( 37,5) 37 ( 62,7) 21 ( 67,7) 11 ( 3 7 ,9 ) 19( 41,3) 14( 43,8) 13( 59,1)
3 ( 4,2) 5 ( 6,9) 2( 6,1) 2( 10,0) 7 ( 21,9) 3( 5,1) 0( 0) 2 ( 6,9) 0( 0) 4( 12,5) 1 ( 4,5)
71 ( 100) 72( 100 ) 33 ( 100) 20( 100 ) 32( 100 ) 59( 100 ) 31 ( 100) 29( 100 ) 46( 100 ) 32 ( 100) 22( 100 )
153 ( 46. 9) 8( 14,3) 40 ( 50,6) 41 ( 52,6) 78( 56,1) 3( 11,5)
148 ( 45,4) 38 ( 67,9) 33( 41,8) 34 ( 43,6) 57( 41,0) 18( 69,2)
25 ( 7,7) 10 ( 17,9) 6 ( 7,6) 3( 3,8) 4 ( 2,9) 5 (19,2)
326( 10 0) 56( 100 ) 79( 100 ) 78 ( 100) 139( 10 0) 26( 100 )
19( 67,9) 14( 35) 38 ( 58. 5)
8 ( 28,6) 23 ( 57,5) 21 ( 32,3)
1 ( 3,6) 3 ( 7,5) 6 ( 9,2)
28 ( 100) 40( 100 ) 65 ( 100)
18( 32,1)
33 ( 58,9)
5 ( 8,9)
56( 100 )
2 ( 22,2) 12( 57. 1) 18( 40,9) 27 ( 43,5) 24 ( 51,1)
7( 77,8) 9 ( 42,9) 23 ( 52. 3) 26 ( 41,9) 22 ( 46,8)
0( 0) 0( 0) 3 ( 6,8) 9(143) 1 ( 2,1)
9( 100) 21( 100 ) 44( 100 ) 62( 100 ) 47 ( 100)
T i d a k p e rn a h at au < 3 k ali/bulan S u ma t e ra 1.
Banda Ac eh
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Medan Padang Pekan Bani J ambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung
10.
Pangkal Pinang T anjung Pinang
11.
Serang
33 ( 46,5) 26 ( 36,1) 14( 42,4) 13( 65,0) 13 ( 40,6) 19( 32,2) 10( 32,3) 16( 55,2) 27 ( 58,7) 14( 43,8) 8 ( 36,4)
4 1 ( 56,9)
J a wa 12.
J akarta
13.
Bandung
14. 15. 16. 17.
Semarang J ogjakarta Surabaya
K alimant an Pontianak
18. 19. 20.
Palangkaraya Banjarmas in Samarinda
Sulawe s i 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makas s ar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
B a l i - N u s a te n g g a ra 27.
Denpas ar
11 ( 32,4)
18( 52,9)
5(14,7)
34 ( 100)
28. 29. 30.
Lombok Mataram
27( 51. 9) 15( 48,4) 14( 56)
22 ( 42,3) 12( 38. 7) 9( 36)
3 ( 5,8) 4( 12,9) 2( 8)
52 ( 100) 31( 100 ) 25 ( 100)
14( 51,9)
10( 37)
3( 11,1)
27 ( 100)
5( 71. 4) 3 ( 50) 15( 48,4) 5( 31,3) 11 ( 64,7) 23 ( 65,7)
1( 14,3) 3( 50) 14( 45,2) 10( 62,5) 6( 35,3) 10( 28,6)
1 (143) 0( 0) 2( 6,5) 1 ( 6,3) 0( 0) 2( 5,7)
7( 100) 6 ( 100) 31( 100 ) 16 ( 100) 17( 100 ) 35 ( 100)
Kupang
P a p u a - K e p . M a lu k u 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokw ari Sorong Merauke T imika J ayapura
67
V.3.2. Perilaku Merokok Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Penderita DM menurut perilaku merokok dalam analisis ini, terdiri atas 2 yaitu 1. Perilaku merokok berdasarkan kebiasaan merokok 2. Perilaku merokok berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap.
V.3.2.1. Perilaku Merokok Pada Penderita Diabetes Mellitus Menurut Kebiasaan Merokok di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Pada Tabel.5.12. menunjukkan bahwa penderita DM menurut kebiasaan merokok, sebagian besar tidak pernah merokok dengan persentase berkisar 45,5% -89,9%. Namun masih banyak penderita Diabetes Mellitus yang merokok setiap hari, terdapat diseluruh kota, dengan proporsi 4% -50%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Bandar Lampung 27,6%), Javv (Semarang 17,7%), Kalimantan (Palangkaraya 21,4%), Sulawesi (Gorontalo 25,5%), Bali- Nusa Tenggara (Lombok 34,6%), PapuaKepulauan Maluku (Manokwari 50%). Di Manokwari prporsi penderita yang merokok setiap hari lebih besar yaitu 50% dari yang tidak pernah merokok (33%), sedangkan di Timika proporsi penderita yang merokok setiap hari dan tidak pernah merokok adalah sama (29,4%). Penderita DM yang sudah berhenti merokok (mantan/ex perokok), proporsinya cukup banyak, meskipun secara keseluruhan lebih kecil jika dibandingkan dengan yang merokok setiap hari. Prroposi penderita DM yang berhenti merokok lebih besar jika dibandingkan dengan yang merokok setiap hari terdapat di Jambi (18,8%), Palembang (16,9%), Jakarta (19%), Bandung (25%), Jogjakarta (17,9%), Surabaya (14,4%), Pontianak (19,2%), Samarinda (20%), Kendari (14,3%), Manado (24,2%), Kupang (12%), dan sebagian besar ada di Timika yaitu 35%.
68
V.3.2.2. Perilaku Merokok Pada Penderita Diabetes Mellitus Menurut Jumlah Batang Rokok Yang Dihisap di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Perilaku merokok juga dikelompokkan berdasarkan jumlah rokok yang dihisap untuk menentukan kelas perokok. Seperti tampak pada Tabel.5,13, Penderita DM sebagian besar tidak merokok, sedangkan yang merokok menunjukkan bahwa paling banyak penderita idalah perokok ringan yaitu menghabiskan sekitar < 10 batang rokok sehari, proporsinya 2,2% - 33,3%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 25%), Jawa (Semarang 25,3%). Kalimantan (Saamarinda 20%), Sulawesi (Menado 27,4%), Bali- Nusa Tenggara ( Denpasar 17,6%) dan tertinggi di Papua- Kepulauan Maluku (Manokwari 33,3%). Daerah yang menunjukkan jumlah perokok sedang lebih banyak dari perokok ringan adalah Jambi (15,6%), Bandar Lampung (27,6%), Palangkaraya (21,4%), Banjarmasin (20%), Makassar (14,3%), Lombok (21,2%), Merauke (18,8%) dan yang tertinggi adalah Timika {41,2%). Penderita DM dengan perokok berat, terdapat di 20 kota, dengan proporsi 1,3% - 9.1%, tertinggi di Mataram (6,5%) dan Serang (9,1%). Sedangkan perokok sangat berat juga masih ada, terdapat di 22 Kota, proporsinya lebih besar lagi, berkisar 1,3% -11,1%, yang tertinggi di Ambon (11,1%).
70
Tabel.5.13. Perilaku Merokok pada Penderita Diabetes Mellitus Menurut Jumlah Batang Rokok yang Dihisap di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013, No.
Kota
Pe ro k ok B erdasark an J umlah B atang Ro k o k Yang Dihis ap (n,%) Pe ro k o Pe ro k ok Pe ro k ok Pe ro k ok Tidak k Se dang Ring an Sang at Pe rnah B e rat B e rat Pe ro k ok
Total
Sumate ra 1.
Banda Ac eh
2.
Medan
3.
Padang Pekan Baru
0(0) 1 (5)
6.
J ambi Palembang
7. 8. 9.
4. 5.
10.
11.
3 (4. 2) 4 (5, 6)
2 (2, 8) 3 (4, 2)
7 (9. 9) 9(12, 5)
12(16, 9) 10(13, 9)
47 (66, 2) 46 (63, 9)
71 (100) 72(100)
1 (3) 0(0)
5(15, 2) 0(0)
8 (24, 2)
19(57, 6) 14 (70, 0)
33 (100) 20 (100)
1 (3. 1) 2 (3, 4)
2 (6. 3) 2(3, 4)
5 (15, 6) 3(5, 1)
4(12, 5)
20 (62, 5) 38 (64, 4)
32(100)
14(23,7)
Bengkulu Bandar Lampung
1 (3, 2) 0(0)
0(0) I (3, 4)
4(12, 9) 8 (27, 6)
4(12. 9) 3(10, 3)
22(71, 0) 17(58. 6)
31 (100) 29(100)
Pangkal Pinang T anjung Pinang Serang
1 (2, 2) 0(0) 0(0)
0(0) 1 (3. 1) 2(9, 1)
4 (8, 7) 4(12, 5) 5 (22, 7)
! (2, 2) 7 (21, 9) 5 (22, 7)
40 (87, 0) 20 (62, 5) 10(45, 5)
46 (100) 32 (100) 22 (100)
5 (25,0)
59(100)
J awa
12. 13.
J akarta
12(3, 7) 0(0)
12(3, 7)
Bandung
1 (1.8)
31 (9, 5) 10(17, 9)
70(21, 5) 12(21. 4)
201 (61, 7) 33 (58, 9)
326(100) 56 (100)
14.
Semarang J ogjakarta Surabaya
0(0) 1 (1. 3) 3 (2, 2)
2(2, 5) 1 (1. 3) 2(1, 4)
9(11, 4) 10(12, 8) 7 (5, 0)
20 (25,3) 11 (14, 1) 19(13, 7)
48 (60. 8) 55 (70, 5) 108 (77, 7)
79 (100) 78 (100) 139(100)
15. 16.
Kalimantan 17.
18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya
1 (3, 6)
0(0)
0(0) 0(0)
5 (19, 2) 6(21, 4)
2(7, 7) 4 (14, 3)
19(73, 1) 17(60, 7)
26(100) 28(100)
Banjarmas in Samarinda
0(0) 1 (1. 5)
0(0) 2(3, 1)
8 (20, 0) 8(12, 3)
4 (10,0) 13 (20)
28 (70, 0) 41(63, 1)
40(100) 65 (100)
Makas s ar Mamuju
2(3, 6) 0(0)
0(0) 0(0)
8(14, 3)
7(12, 5) 0(0)
39 (69, 6) 8 (88, 9)
9(100)
Kendari Palu Manado Gorontalo
0(0) 1 (2, 3) 1 (1. 6) 1 (2. 1)
3(14, 3) 3 (6, 8) 6(9. 7) 7 (14, 9)
5 (23, 8) 5(11, 4)
13(61, 9) 35 (79, 5) 37 (59, 7) 30 (63, 8)
21 44 62 47
4(11.8)
6(17,6) 6 (1 1, 5)
24 (70, 6)
34 (100)
32 (61, 5) 20(64, 5) 20 (80, 0)
52 (100) 31 (100) 25 (100)
18(66,7) 5(71, 4)
27(100) 7(100)
2(33, 3)
6(100)
19(61, 3) 11 (68, 8) 5 (29, 4) 26 (74, 3)
31 (100) 16(100) 17(100) 35 (100
Sulawe s i 21. 22.
23. 24. 25. 26.
B aliNus ate nggara
27. 28. 29. 30.
Denpas ar Lombok Mataram Kupang
0(0)
0(0) 0(0) 1 (1. 6) 1 (2. 1)
0(0)
1(11,1)
17(27,4) 8(17, 0)
2(3, 8) 0(0) 1 (4. 0)
1 (1, 9) 2 (6. 5) 0(0)
11 (21, 2) 4 (12, 9) 2 (8, 0)
3(11. 1) 0(0)
0(0) 0(0)
3(11. 1) 1 (14, 3)
3 ( 1 1 .1)
0(0)
0(0)
2(33, 3)
0(0) 0(0) 1 (5. 9) 1 (2,9)
3 (9. 7) 3 (18, 8) 7(41, 2) 3 (8, 6)
2 (333) 1 (22. 6)
5 (16. 1) 2 (8. 0)
Papua - Ke p. M aluk u
31. 32. 33.
Ambon Sofifi
34. 35. 36. 37.
Sorong Merauke T imika J ayapura
Manokw ari
2 (6, 5) 0(0) 1 (5, 9) 1 (2,9)
1(14, 3)
2(12, 5) 3(17, 6) 4(1 1.4)
(100) (100) (100) (100)
71
V.3.3. Perilaku Aktifitas Fisik Pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia Kebiasaan melakukan aktifitas fisik dalam seminggu dikelompokkan menjadi 2 yaitu (1) Kurang aktif dan (2) Aktif. Dikatakan cukup beraktifitas (aktif) apabila kegiatan fisik dilakukan secara kumulatif >150 menit selama seminggu, Pengukuran aktifitas fisik dengan memperhitungkan jumlah total waktu yang dibutuhkan untuk aktifitas sedang dan berat dalam seminggu. Penderita Diabetes Meliitus menurut aktifitas fisik di 37 Kota seperti pada Tabel.5.14 tampak bahwa proporsinya sudah lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan yang tidak aktif, persentasinya berkisar (52,9% -92%). Namun demikian, terdapat daerah - daerah dimana penderita DM dengan aktifitas kurang lebih banyak dibandingkan dengan yang aktif yaitu regional Sumatera (Pekan Baru 65% dan Bandar Lampung 51,7%), Jawa (Jakarta 55,2%), Kalimamtan (Pontianak 57,7%), Sulawesi (Kendari 52,4%) dan Papua- Kepulauan Maluku (Jayapura 57,1%). Daerah yang cukup bermakna persentase penderita Diabetes Meliitus yang aktif atau di atas 70% adalah di regional Sumatera (Medan, Padang, Bengkulu dan Serang), Kalimanta (Banjarmasin), Sulawesi (Mamuju dan Menado), Bali - Nusa Tenggara (Denpasar dan Kupang). Penderita DM yang aktif diatas 60% terdapat di daerah Pangkal Pinang, regional Jawa (kecuali Jakarta), Palangkaraya, Samarinda, Lombok dan Sorong. Di daerah lainnya proporsi yang aktif dan kurang aktif tidak jauh berbeda, meskipun proporsi yang aktif lebih banyak.
72
Tabel.5.14. Perilaku Aktifitas Fisik pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. Ko ta
No.
Ak tifitas Fis ik (n,%) Ak tif
To tal
Kurang Ak tif Sumate ra 1. 2.
Banda Ac eh Medan
42(59, 2) 51 (70, 8)
29 (40, 8) 21 (29, 2)
71 (100) 72 (100)
3.
Padang
26 (78, 8)
7(21, 2)
33(100)
4.
Pekan Baru
7(35, 0)
13 (65,0)
20(100)
5. 6.
J ambi Palembang
17(53. 1) 34 (57, 6)
15(46, 9) 25 (42, 4)
32 (100) 59 (100)
7. 8.
Bengkulu Bandar Lampung
26 (83. 9) 14(48, 3)
5(16. 1)
15 (51,7)
31 (100) 29 (100)
9.
Pangkal Pinang
29(63)
17(37)
46(100)
1O. 11.
T anjung Pinang Serang
17(53, 1) 17(77, 3)
15(46, 9) 5 (22, 7)
32 (100) 22 (100)
146 (44, 8) 38 (67, 9)
180 (55,2) 18(32, 1)
326(100) 56 (100)
30 (38) 26 (33, 3)
79(100) 78 (100)
50 (36)
139(100)
J awa 12. 13.
J akarta Bandung
14. !5.
Semarang J ogjakarta
49(62) 52 (66, 7)
16.
Surabaya
89(64)
Kalimantan 18. 19.
Pontianak Palangkaraya Banjarmas in
1 1 (42, 3) 18(64, 3) 31 (77, 5)
15 (57,7) 10(35, 7) 9 (22, 5)
26 (100) 28(100) 40(100)
20.
Samarinda
40(61. 5)
25 (38, 5)
65 (100)
31 (55, 4) 8(88, 9) 10(47, 6) 26 (59, 1) 47 (75, 8) 27 (57, 4)
25 (44, 6) 1 d 1, 1) 18(40, 9) 15(24, 2) 20 (42, 6)
56 (100) 9(100) 21 (100) 44(100) 62(100) 47(100)
17.
Sulawe s i 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makas s ar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
11 (52,4 )
B ali- Nus ate nggara 27. 28. 29. 30. 31.
Denpas ar Lombok Mataram Kupang
25 (73. 5) 35 (67, 3) 18(58, 1) 23 (92)
9(26, 5) 17(32, 7) 13(41, 9) 2(8)
34 (100) 52 (100) 31(100) 25(100)
Papua - Ke p. M aluk u
16(59, 3)
11 (40, 7)
27 (100)
4(57, 1) 3(50) 20(64, 5) 8 (50) 9 (52, 9) 15(42, 9)
3 (42, 9) 3 (50) 11 (35, 5)
7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35(100)
Ambon 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Sofifi Manokw ari Sorong Merauke T imika J ayapura
8(50) 8(47, 1) 20 (57, 1)
73
V.4. Upaya pengendalian Diabetes Meliitus dan Pola Penyakit Tidak Menular pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. V.4.1 Upaya Pengendalian Diabetes Meliitus Pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Upaya pengendalian penyakit Diabetes Meliitus dalam analisis ini sesuai dengan kuesioner Riskesdas 2013, yang terdiri atas 4 jenis pengendalian yaitu dengan diet, olahraga, obat antidiabetik dan injeksi insulin. Penderita DM dapat melakukan pengendalian atau pengobatan DM, baik dengan satu cara diatas, maupun dengan lebih satu cara atau kombinasi dari 4 jenis cara pengendalian.
V.4.1.1. Upaya pengendalian DM Dengan Diet Pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pengendalian DM dengan diet dibagi menjadi 2 kategori yaitu 1) Ya, apabila penderita menggunakan diet untuk mengendalikan penyakit DM (baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan cara lain yaitu olahraga, obat antidiabetik dan insulin); 2) Tidak, apabila penderita tidak menggunakan cara pengendalian DM dengan diet (bisa menggunakan cara pengendalian lain atau tidak melakukan pengendalian DM). Pengendalian DM pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota (Tabel.5.15), lebih banyak dengan diet dibandingkan dengan yang tidak melakukan diet yaitu 51,4% - 78%, dan sebagian besar sudah diatas 60%. Pengendalian dengan diet diatas 70% terdapat di regional Sumatera (Banda Aceh 70,4%, Palembang 78% dan Pekan Baru 75%) dan regional Papua- Kepulauan Maluku (Ambon 70,4%, Sorong 74,2% dan Jayapura 74,3%) Penderita DM yang lebih banyak tidak melakukan pengendalian DM dengan diet dibandingkan dengan yang melakukan diet terdapat di regional Sumatera (Padang 51,5% dan Serang 54,5%), regional Sulawesi (Mamuju 77,8%, Kendari 52,4% dan Palu (77,3%), regional Bali- Nusa Tenggara (Lombok 51,9% dan Mataram 51,6%) dan tertinggi Sofifi (100%) regional Papua-Kepulauan Maluku.
74
Tabel.5.15. Upaya Pengendalian DM dengan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No. Kota Pengendalian DM dengan Diet (n,%) Ya
Tidak
Total
Sumatera 1. 2. 3 4. 5. 6.
Banda Aceh
50 (70,4)
21 (29,6)
71(100)
Medan
37(51,4)
35 (48,6)
72(100)
Padang
16(48,5)
17(51,5)
33(100)
Pekan Baru
15(75)
5(25)
20 ( 100 )
20 (62,5)
12(37,5)
32(100)
Palembang
46(78)
13(22)
59(100)
7.
Bengkulu
18(58,1)
13(41,9)
31 (100)
8 9. 10. 11.
Bandar Lampung
20 (69)
9(31)
29(100)
Pangkal Pinang
31 (67,4)
15 (32,6)
46(100)
Tanjung Pinang
17(53,1)
15(46,9)
32(100)
Serang
10(45,5)
12 (54,5)
22 ( 100 )
Jambi
Jawa 12. 13. 14. 15. 16.
Jakarta
212(65)
114(35)
326(100)
Bandung
32(57,1)
24 (42,9)
56(100)
32 (40,5)
79(100)
Semarang
47(59,5)
Jogjakarta
54 (69,2)
24 (30,8)
78(100)
Surabaya
78 (56,1)
61 (43,9)
139(100)
Kalimantan 17. 18. 19. 20.
Pontianak
16(61,5)
10(38,5)
26(100)
Palangkaraya
15(53,6)
13(46,4)
28(100)
Banjarmasin
25 (62,5)
15(37,5)
40(100)
Samarinda
36(55,4)
29 (44,6)
65(100)
Sulawesi 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makassar
35 (62,5)
21 (37,5)
56(100)
Mamuju
2 ( 22 , 2 ) 10(47,6)
Palu
10(22,7)
7 (77,8) 11(52,4) 34 (77,3)
9(100)
Kendari Manado
31 (50,0)
31 (50,0)
Gorontalo
29(61,7)
18(38,3)
47(100)
21 ( 100 ) 44(100) 62(100)
Bali- Nusatenggara 27.
Denpasar
19(55,9)
15(44,1)
34(100)
28. 29. 30.
Lombok
25 (48,1)
Mataram
15(48,4)
27(51,9) 16 (51,6)
31 (100)
Kupang
15(60,0)
10(40,0)
25(100)
19 (70,4)
8 (29,6)
52(100)
Papua - Kep. Maluku 31. 32. 33. 34.
Ambon Sofifi
0(0)
7(100)
27(100) 7(100)
4 (66,7)
2 (33,3)
6 ( 100 )
35.
Sorong
23 (74,2)
8 (25,8)
31 (100)
Merauke
11 ( 68 , 8 )
5(31,3)
36. 37.
Timika
16(100)
10(58,8)
7(41,2)
17(100)
26 (74,3)
9(25,7)
35 (100)
Manokwari
Jayapura
75
V.4.1.2. Upaya pengendalian DM Dengan Olahraga Pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pengendalian DM dengan olahraga dibagi menjadi 2 kategori yaitu 1) Ya, apabila penderita melakukan olahraga untuk mengendalikan penyakit DM (baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan cara lain yaitu diet, obat antidiabetik dan insulin); 2) Tidak, apabila penderita tidak menggunakan cara pengendalian DM dengan olahraga (bisa menggunakan cara pengendalian lain atau tidak melakukan pengendalian DM). Tabel.5.16 menunjukkan, proporsi penderita DM yang melakukan olah raga sebagai upaya pengendalian penyakit DM masih kurang yaitu 16,7% - 58,8%, sebagian besar tidak melakukan olahraga. Penderita DM yang tidak melakukan olah raga, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 75% dan Jambi 71,9%), Jawa (Semarang dan Surabaya 53,2%), Kalimantan (Samarinda 72,3% dan Banjarmasin 70%), Sulawesi (Gorontalo 74,5%, Kendari 71,4% dan Palu 70,5%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 59,6%) dan yang tertinggi Papua- Kepulauan Maluku (Manokwari (83,3%). Penderita DM yang lebih banyak berolah raga daripada yang tidak berolahraga terdapat di regional Sumatera (Palembang 52,5%, Bengkulu 51,6% dan Bandar Lampung 51,7%), Jawa (Bandung 55,4%), Bali - Nusa Tenggara (Denpasar 55,9% dan Kupang 60%) dan Papua- Kepulauan Maluku (Sorong 58,1% dan Timika 58,8%).
76
Tabel.5.16. Upaya Pengendalian DM Dengan Olahraga Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No. Kota
Pengendalia n DM dengan Olahraga (n,%) Ya Tidak
To tal
1.
Sumate ra Banda Ac eh
2.
Medan
35 (49, 3) 25 (34, 7)
36 (50, 7) 47 (65, 3)
71 (100) 72 (100)
3.
Padang
14 ( 4 2 . 4 )
19(57, 6)
33 (100)
4. 5.
Pekan Baru J ambi
5 (25, 0) 9(28, 1)
15(75,0)
20 (100) 32 (100)
6. 7.
Palembang Bengkulu
8. 9. 10.
31 (52, 5) 16(51, 6)
23 (71,9) 28(47, 5) 15 (48, 4)
59(100) 31 (100)
Bandar Lampung
15(51, 7)
14(48, 3)
29(100)
18(39, 1) 12(37, 5) 13(59, 1)
28 (60, 9) 20 (62, 5) 9 (40, 9)
46(100) 32 (100)
12.
Pangkal Pinang T anjung Pinang Serang J aw a J akarta
155 (47, 5)
171 (52, 5)
326 (100)
13.
Bandung
31 (55, 4)
25 (44, 6)
56(100)
14. 15.
Semarang J ogjakarta Surabaya Kalimantan Pontianak
37 (46, 8) 38 (48, 7) 65 (46, 8)
4 2 (5 3 ,2 )
7 9 (1 0 0 )
40(51, 3) 7 4 (5 3 ,2 )
78 (100) 139(100)
16.
17.
22 (100)
18.
Palangkaraya
13(50, 0) 14(50, 0)
13(50, 0) 14(50, 0)
26(100) 28 (100)
19.
Banjarmas in Samarinda
12(30, 0) 18(27, 7)
28 (70,0) 4 7 (7 2 3 )
40(100) 65 (100)
21.
Sulaw es i Makas s ar
22 (39, 3)
34 (60, 7)
56(100)
22 . 23. 24. 25. 26.
Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
3(33, 3) 6(28, 6) 13(29, 5) 23 (37, 1) 12(25, 5)
6(66, 7)
19(55, 9) 21 (40, 4) 13(41, 9) 15(60, 0)
15(44, 1)
20 .
15(71,4) 31 (70,5) 39 (62, 9) 3 5 (7 4 ,5 )
9(100) 21 ( 100 )
44(100) 62 (100) 47(100)
B ali- Nus ate nggara 27. 28. 29. 30.
Denpas ar Lombok Mataram Kupang
31
18(58, 1) 10(40, 0)
34 (100) 52(100) 31 (100) 25 (100)
Papua - Ke p. M aluk u 32. 33. 34. 35.
Ambon Sofifi Manokw ari Sorong Merauke
12(44, 4) 3 (42, 9) 1(16, 7) 18(58. 1) 5(31, 3)
15 (55. 6) 4(57, 1)
11 (68,8)
27 (100) 7(100) 6 (100 ) 31 (100) 16(100)
36.
T imika
10(58, 8)
7(41, 2)
17(100)
37.
J ayapura
17 (48. 6)
18(51, 4)
35(100)
31.
5(83,3) 13(41, 9)
77
V.4.1.3. Upaya pengendalian DM dengan Obat Anti Diabetik Pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pengendalian Diabetes Meliitus dengan obat anti diabetik dibagi menjadi 2 kategori yaitu 1) Ya, apabila penderita menggunakan obat anti diabetik untuk mengendalikan penyakit DM (baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan cara lain yaitu diet, olahraga dan insulin); 2) Tidak, apabila penderita tidak menggunakan cara pengendalian DM dengan obat anti diabetik (bisa menggunakan cara pengendalian lain atau tidak melakukan pengendalian DM). Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota seperti Tabel.5.17, sudah sebagian besar melakukan pengendalian penyakitnya dengan obat anti diabetik yaitu 55,6% - 88,9%, di regional Sumatera (tertinggi Pangkal Pinang 80,4% dan terendah Bengkulu 58,1), Jawa (tertinggi Jogjakarta 82,1% dan terendah Bandung 64,3%), Kalimantan (tertinggi Pontianak 88,5% dan terendah Samarinda 67,7%), Sulawesi (tertinggi Makassar 78,6% dan terendah Mamuju 55,6%), Bali- Nusa Tenggara (tertinggi Denpasar 76,5% dan terendah Kupang 64%), dan Papua- Kepualauan Maluku (tertinggi Merauke 81,3% dan terendah Ambon 55,6%). Pengendalian DM dengan obat antidiabetik dengan proporsi < 59% ada 5 Kota (Bengkulu, Mamuju, Palu, Ambon,dan Sofifi) 60%- 69% ada 11 kota ( Padang, Jambi, Serang, Bandung, Samarinda, Kendari, Lombok, Kupang, Manokwari, Sorong dan Jayapura), 70% - 79% ada 15 Kota ( Banda Aceh, Medan, Palembang, Bandar Lampung, Tanjung Pinang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Palangkaraya, Makassar, Menando, Gorontalo, Denpasar, Mataram dan Timika) dan > 80% ada 6 Kota (Pekan Baru, Pangkal Pinang, Jogjakarta, Pontianak, Banjarmasin dan Merauke).
78
Tabel.5.17. Upaya Pengendalian DM dengan Obat Antidiabetik pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Ko ta
Pe nge ndalian DM de ng an Obat Anti Diabe tik
To tal
(n,%) Ya Tidak Sumate ra 1.
Banda Ac eh
56 (78,9)
15(21,1)
71(100)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Medan
56(77,8) 21 (63,6) 16(80) 21 (65.6) 42 (71,2)
16(22,2) 12 (36,4) 4(20) 1 1 (34.4) 17(28,8) 13(41,9) 8 (27,6) 9(19,6) 8(25,0) 8 (36,4)
72 (100) 33(100) 20(100) 32 (100) 59(100) 31 (100) 29(100) 46(100) 32 (100) 22(100)
80 (24,5) 20 (35,7) 17(21,5) 14(17,9) 37 (26,6)
326 (100) 56(100) 79(100) 78 (100) 139(100)
10.
11.
Padang Pekan Baru J ambi Palembang Bengkulu
18(58,1)
Bandar Lampung
21 (72,4)
Pangkal Pinang T anjung Pinang Serang
24 (75,0) 14(63,6)
37 (*0,4)
J awa
12. 13. 14. 15. 16.
J akarta
246 (75,5)
Bandung
36 (64,3)
Semarang
62 ( 78,5)
J ogjakarta Surabaya
102 (73,4)
64 (82,1)
Kalimantan
17.
Pontianak
18.
Palangkaraya
19. 20.
Banjarmas in Samarinda
23 (88,5)
20(71,4) 34 (85,0) 44 (67,7)
3(11,5) 8 (28,6) 6(15.0) 21 (32,3)
26(100) 28 (100) 40(100) 65 (100)
12(21,4) 4 (44,4) 7(33,3) 18 (40,9) 18(29,0) 11 (23,4)
56(100) 9(100) 21 (100) 44(100) 62(100) 47(100)
Sulawe s i
21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makas s ar
44 (78,6)
Mamuju Kendari
5 (55,6)
Palu Manado Gorontalo
14(66,7) 26(59.1) 44(71,0) 36 (76,6)
B ali- Nus atenggara
27.
Denpas ar
26 (76,5)
8(23,5)
34 (100)
28. 29. 30.
Lombok Mataram
35 (67,3) 23 (74,2)
Kupang
16 (64,0)
17 (32,7) 8(25,8) 9(36,0)
52 (100) 31 (100) 25 (100)
Papua - Ke p. M atuku
31.
Ambon
15 (55,6)
12(44,4)
27 (100)
32. 33. 34. 35. 36. 37.
Sofifi Manokw ari
4(57,1) 4(66,7) 19(61.3)
3 (42.9) 2(33,3) 12(38,7) 3(18,8) 4(23,5) 12(34,3)
7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35 (100)
Sorong Merauke T imika J ayapura
13 (81,3)
13(76,5) 23 (65,7)
79
V.4.1.4. Upaya pengendalian DM dengan Obat Antidiabetik dan Kombinasi lainnya Pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Berdasarkan kuesioner Riskesdas 2013, pengendalian DM dapat dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari 4 jenis cara yaitu 1) Diet; 2 ) Olahraga ; 3) Obat antidiabetik dan 4) Injeksi insulin. Dalam analisis ini, akan disajikan pengendalian DM dengan obat antidiabetik dan kombinasi dengan jenis pengendalian lainnya (diet, olahraga dan injeksi insulin). Tabel.5.18 menunjukkan bahwa penderita DM dalam melakukan pengendalian terhadap penyakitnya, tidak hanya menggunakan satu cara, tetapi sebagian besar menggunakan beberapa cara (jenis) pengendalian. Pengendalian DM dengan obat antidiabetik, lebih banyak dengan kombinasi I cara, proporsinya yaitu 10,7% - 50%, tertinggi di Manokwari (50%), dibandingkan dengan kombinasi dengan 2 cara yaitu 11,4% - 38,7%, tertinggi Sorong (38,7%) dan 3 cara yaitu 1,3% - 14,7%, tertinggi di Denpasar (14,7%). Pengendalian DM yang hanya menggunakan obat antidiabetik berkisar 5,1% - 36,4%, proporsi yang terendah adalah penderita DM di Palembang dan yang tertinggi Palu. Penderita yang melakukan pengendalian DM tidak dengan obat antidiabetik tetapi dengan cara lain yaitu proporsinya 9,7% - 38,7%, proporsi yang terendah adalah penderita DM di Medan dan Mataram, yang tertinggi Bengkulu. Penderita DM yang tidak melakukan pengendalian penyakitnya terdapat hampir disemua Kota (36 Kota), proporsi 3,2% -18,2%, yang tertinggi di regional Sumatera (Jambi 15,6%), Jawa (Semarang 8,9%), Kalimantan (Samarinda 13,8%), Sulawesi (Palu 18,2 %), Bali- Nusa Tenggara (Mataram 16,1%) dan Papua- Kepulauan Maluku (Manokwari 16,7%). Di Bandar Lampung, semua penderita DM melakukan pengendalian terhadap penyakitnya.
80
Tabel.5.18. Upaya Pengendalian DM dengan Obat Antidiabetik dan Kombinasi lainnya pada Penderita Diabetes Melitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Kol a
Peng endal i an DM deng an anti di beti k dan k ombi nas i l ai nnya(n, T ik M e la k uk a n P e n ge n da lia n DM
T i dik de n gan M in y a de n ga n Oba t Oba t An t idia be t ik An t idia be t ik
%)
Total
An t idia be t ik An t idia be t ik dan 2 An t idia be t ik da n 1 Ca r a Ca r a 1 jin n y a da n 3 Ca r a 1 . a in n y a 1 . a in n y a
1.
S umatera Banda Aceh
5 (7.0)
10(14.1)
8(11.3)
1 8 ( 2 5 .4 )
26(36,6)
4 (5.6)
2.
Medan
9(12,5)
7 (9.7)
18(25)
18(25)
19(26,4)
1 (1.4)
7 1 (1 0 0 ) 72 (100)
3.
Padang
4((12,1)
8 (24.2)
7(21.2)
9 ( 2 7 , 3)
4(12.1)
1 (3)
3 3 ( 1 0 0)
4.
Pekan Baru
1 (5,0)
3(15.0)
4 (20,0)
7 ( 3 5 . 0)
5(25,0)
0(0)
20(100)
5(15.6)
6(18,8)
4(12.5)
1 2 ( 3 7 ,5 )
5(15,6)
0(0)
3 2 ( 1 0 0)
Palembang
5(8,5)
12(20.3)
3(5.1)
1 8 ( 3 0 ,5 )
18(30,5)
3(5.1)
59(100)
Bengkulu
1 (3,2)
12(38,7)
5(16.1)
5 ( 1 6 . 1)
7(22,6)
1 (3.2)
31(100)
0(0)
8 (27.6)
7(24.1)
5 ( 1 7 , 2)
8(27,6)
1 (3.4)
2 9 ( 1 0 0)
Pangkal Pinang
4 (8.7)
5(10.9)
8(17,4)
1 4 ( 3 0 ,4 )
14(30,4)
1 (2,2)
4 6 ( 1 0 0)
Tanjung Pinang
2(6.3)
6(18,8)
11 (34,4)
5 ( 1 5 . 6)
7(21,9)
1 (3,1)
3 2 ( 1 0 0)
5.
Jambi
6. 7. 8.
Bandar Lampung
9. 10.
11.
Serang
3(13.6)
5(22.7)
4(18.2)
5 ( 2 2 , 7)
5 (22.7)
0(0)
2 2 ( 1 0 0)
12.
J awa Jakarta
20(6.1)
60(18.4)
48(14.7)
1 0 2 ( 3 1. 3)
82 (25,2)
14(4.3)
3 2 6 ( 1 00 )
13.
Bandung
4(7.1)
(6(28.6)
15(26,8)
15 (26,8)
0(0)
56(100)
21 (26.6)
1 (1.3)
7 9 ( 1 0 0)
5(6.4) 2(1.4)
7 8 ( 1 0 0)
14.
Semarang
7(8,9)
10(12,7)
13 (16,5)
6 ( 1 0 , 7) 2 7 ( 3 4 , 2)
15.
Jogjakarta
5 (6.4)
9 (11.5)
8 (10.3)
29 (372)
22 (28.2)
16
Surabaya
11 (7.9)
26(18,7)
28(20.1)
3 7 ( 2 6 , 6)
35 (25,2)
17.
Kal i mantan Pontianak
1 (3.8)
2 (7,7)
7(26,9)
6 ( 2 3 . 1)
9(34,6)
1 (3.8)
2 6 ( 1 0 0)
IS.
Palangkaraya
1 (3.6)
7(25.0)
7(25.0)
5 ( 1 7 , 9)
7(25,0)
1 (3.6J
2 8 ( ( 0 0)
19.
Banjarmasin
2(5.0)
4 (10,0)
9(22,5)
1 1 ( 2 7 . 5)
14(35)
0(0)
4 0 ( 1 0 0)
20.
Samarinda
9(13,8)
12(18.5)
13(20)
20 (30.8)
9(13.8)
2(3.1)
6 5 ( 1 0 0)
21.
S ul awes i Makassar
3(5,4)
9(16,1)
12(21.4)
1 3 ( 2 3 .2 )
15(26.8)
4(7.1)
5 6 ( 1 0 01
22.
Mamuju
1 (11,1)
3 (33.3)
4 (44.4)
0(0)
0(0)
1 (II.1)
9(100)
23.
Kendari
24. 25.
26.
1 3 9 ( 1 00 )
3(14,3)
4 (19.0)
J( 2 3 . * )
6 (28.6)
3(14,3)
0(0)
2 1 ( 1 0 0)
Palu
8(18,2)
10(22.7)
16(36,4)
5 ( 1 1 . 4)
5(11.4)
0(0)
4 4 ( 1 0 0)
Manado
6 (9.7)
12(19.4)
15 (242)
15 (242)
8(12.9)
6(9.7)
6 2 ( 1 0 0)
3 (6.4)
8 07.0)
8(17,0)
19(40,4)
7 114,9)
2 (4.3)
4 7 ( 1 0 0)
2(5,9) 7(13,5)
6 (17,6) 10(19.2)
6 ( 1 7.6)
8 (23.5)
Lombok
12(23.1)
8 ( 1 5 , 4)
7 (20.6) 10(19.2)
5 (16 ,1 )
3 (9,7)
6(19.4)
9 (29,0)
Kupang
3(12.0)
6 (24,0)
3(12.0)
5 (20.0)
Goronlaio B al i Nus ateng g ara
27.
28. 29. 30.
Denpasar Mataram
5 (14.7) 5 (9.6)
34(100) 5 2 ( 1 0 0)
6(19.4)
2 (6.5)
3 1 ( 1 0 0)
8 (32,0)
0(0)
25 0 00)
Papua - Kep. Mal uk u 31. 32.
Ambon Sofifi
1 (3.7)
11 (40.7)
2(7.4)
8 (29,6)
4 114,8)
1 (3.7)
2 7 ( 1 0 0)
1 ( 1 4 J)
2 (28.6)
2(28.6)
2 (28.6)
0(0)
0(0)
7(100)
33.
Manokwari
1 (16,7)
1 (16.7)
1 (16.7)
3(50.01
0(0)
0(0)
6 000)
34.
Sorong
4(12.9)
8(25.8)
l (3.2)
11(18,7)
0(0)
3 1 ( 1 0 0)
Merauke
2(12.5)
1 (6.3)
2(12.5)
4(25)
1 (6.3)
1 6 ( 1 0 0)
36.
Timika
1 (5.9)
3(17.6)
3(17.6)
6 (37,5) 4 ( 2 3 . 5)
6(35.3)
0(0)
1 7 ( 1 0 0)
37.
Jayapura
3 (8,6)
9(25.7)
2(5.7)
8 ( 2 2 , 9)
12134.3)
1 (29)
35 0 00)
35.
6 ( 1 9 . 4)
81
V.4.1.5. Upaya Pengendalian DM Dengan Injeksi Insulin Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pengendalian DM dengan injeksi insulin dibagi menjadi 2 kategori yaitu 1) Ya, apabila penderita melakukan injeksi insulin untuk mengendalikan penyakit DM (baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan cara lain yaitu diet, olahraga dan obat antidiabetik); 2) Tidak, apabila penderita tidak menggunakan cara pengendalian DM dengan olahraga (bisa menggunakan cara pengendalian lain atau tidak melakukan pengendalian DM). Pengendalian DM dengan injeksi insulin (Tabel.5.20), masih sedikit dilakukan yaitu proporsinya 3% - 29,4%. Penderita DM dengan injeksi insulin, yang tertinggi di regional Sumatera (Banda Aceh 16,9%), Jawa (Jogjakarta 12,8%), Kalimantan (Palangkaraya 17,9%), Sulawesi (Menado 22,6%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 29,4%) dan Papua- Kepulauan Maluku (Jayapura 17,1%), sedangkan yang tidak sama sekali di Kota Serang, Manokwari dan Timika. Proporsi penderita DM dengan injeksi insulin < 10 % ada 14 kota (Medan, Padang, Jambi, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Mataram, Kupang dan Sorong), sedangkan 10% - 20 % ada 17 Kota ( Banda Aceh, Pekan Baru, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Jogjakarta, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda. Kendari, Palu, Gorontalo, Lombok, Ambon, Sofifi, Merauke dan Jayapura) dan > 20% ada 4 Kota (Makassar, Mamuju, Menado dan Denpasar).
82
Tabel.5.19. Upaya Pengendalian DM dengan Injeksi Insulin Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Ko ta
Pe nge ndalian DM de ng an Inje k s i Ins ulin
To tal
(n,%) Ya Tidak Sumate ra
1.
Banda Ac eh
12 (16,9)
59 (83,1)
71(100)
2. 3. 4.
Medan
6 (8,3) 1 0,0) 2(10,0) 2(6,3) 6(10.2) 4(12,9) 2 (6.9) 2 (4,3) 3 (9,4) 0(0)
66(91,7) 32 (97,0) 18 (90,0) 30(93,8) 53 (89,8) 27(87,1) 27 (93,1) 44 (95,7) 29 (90,6) 22(100)
72(100) 33 (100) 20(100) 32 (100) 59 (100) 31 (100) 29(100) 46(100) 32 (100) 22 (100)
36(11)
290 (89) 5! (91,1) 76 f96.2) 68 (87,2) 131 (94,2)
326 (100) 56(100) 78 (100) 139(100)
24 (92,3) 23 (82,1) 33 (82,5) 58 (89,2)
26(100) 28 (100) 40(100) 65 (100)
44 (78,6) 7(77,8) 18(85,7) 39 (88,6) 48 (77,4) 41 (87,2)
56 (100) 9(100) 21 (100) 44(100) 62(100) 47(100)
24 (70,6) 42 (80,8) 29 (93,5) 24 (96,0)
34 (100) 52(100) 31 (100) 25 (100)
24 (88.9) 6(85,7) 6(100) 30 (96,8) 14 (87,5) 17(100) 29(82,9)
27 (100) 7(100) 6(100) 31 (100) 16(100) 17(100) 35 (100)
5. 6. 7.
8. 9.
10. 11.
Padang Pekan Bani J ambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang T anjung Pinang Serang
Jawa
12. 13.
J akarta Bandung
5 (8,9)
14.
Semarang J ogjakarta Surabaya
3 (3, 8)
15. 16.
10 (12,8)
8(5,8)
79(100)
Kalimantan 17.
Pontianak
2 (7,7)
18.
Palangkaraya
5 (17,9)
19.
Banjarmas in Samarinda
7(17,5) 7(10,8)
20.
Sulawe s i
21. 22. 23.
Makas s ar Mamuju
24.
Palu Manado Gorontalo
25. 26.
Kendari
12(21,4) 2 (22,2) 3(14.3) 5 (11,4) 14(22,6)
6(12.8)
B ali- Nus ate ngg ara
27. 28. 29. 30.
Denpas ar
10 (29,4)
Lombok Mataram Kupang
10(19,2) 2 (6,5) 1 (4,0)
Papua - Ke p. M aluk u
31. 32.
33. 34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokw ari Sorong Merauke
3(11.1) 1 (14.3) 0(0) 1 0,2) 2(12,5)
Timika
0(0)
J ayapura
6(17,1)
83
V.4.2. Pola Penyakit Tidak Menular Pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pola penyakit tidak menular dalam analisis ini sesuai dengan kuesioner Riskesdas 013, yang dibagi atas : 1. Penyakit tidak menular yang menyertai penderita DM yang teridiri dari 6 jenis penyakit yaitu Hipertensi, Jantung Koroner, Gagal Jantung, Gagal Ginjal, Batu Ginjal dan Stroke. Penyakit tidak menular tersebut berdasarkan hasil diagnosis dokter yang diperoleh dari hasil wawancara. 2. Gangguan mental emosional, yang dibagi 3 yaitu ringan, sedang dan berat. 3.
Status Gizi, yang dibagi 3 yaitu gizi kurang, normal dan gemuk (obesitas).
V.4.2.1 Penyaki t Ti dak Menul ar Pada penderi ta Di abetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Penyakit tidak menular pada penderita DM terdiri dari 6 jenis penyakit yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu : 1.
Penyakit Hipertensi (Diagnosis tenaga kesehatan meliputi dokter, perawat dan bidan)
2.
Penyakit Jantung Koroner atau Angina Pektoris (Diagnosis Dokter).
3.
Penyakit Gagal Jantung (Diagnosis Dokter)
4. 5.
Penyakit Gagal Ginjal (Diagnosis Dokter) Penyakit Batu Ginjal (Diagnosis Dokter)
6.
Penyakit Stroke (Diagnosis tenaga kesehatan meliputi dokter, perawat dan bidan)
V.4.2.1.1. Penyaki t Hi pertensi Pada penderi ta Di abetes Mel l i tus di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Pada Gambar. 5.4, penderita Diabetes Mellitus yang juga mengalami penyakit hipertensi proporsinya cukup banyak yaitu 18,2% - 60,7 %, kota yang tertinggi adalah Bandung dan yang terendah Serang. Proporsi penderita DM dengan hipertensi diatas 50% terdapat di 6 kota yaitu Pekan Baru (60%), Palembang (57,6%), Pangkal Pinang (52,2%), Tanjung Pinang (59,4%), Bandung (60,7 %) dan Surabaya (52,5%).
84
Hipertensi ■ Tidak Hipertensi
Gambar.5.4. Proporsi Penyakit Hipertensi pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. V.4.2.1.2. Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pada Gambar.5.5. menunjukkan bahwa, sebagian besar penderita DM tidak mengalami penyakit jantung koroner, namun demikian terdapat sekitar 1,4% - 14,3% yang menderita. Proporsi penderita DM dengan jantung koroner 10% keatas adalah di Pekan Baru 10%). Palembang (11,9%), Tanjung Pinang (12,5%), Banjarmasin (10%), Mamuju ( 1 1 , 1 % ) dan yang tertinggi di Sofifi (14,3%). Penderita DM yang tidak mengalami penyakit jantung coroner, terdapat di Bengkulu, Bandar Lampung, Serang, Pontianak, Ambon, Manokwari dan Sorong.
■ Jantung Koroner ■ Tidak Jantung Koroner
Gambar.5.5, Proporsi Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Melitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
V.4.2.1.3. Penyaki t Stroke pada Penderi ta Di abetes Mel l i tus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Penyakit stroke pada penderita DM yang ditunjukkan pada Gambar.5.6, proporsinya yaitu 1,8% 13,6%, dimana Kota Palembang yang tertinggi. Proporsi penyakit stroke pada menderita DM lebih 10% ada 4 kota (Palembang. Pangkal Pinang, Jogjakarta dan Merauke), sedangkan yang < 5% ada 10 kota, 5 - 10% ada 17.
Stroke ■ Tidak stroke
Gambar.5.6. Proporsi Penyakit Stroke pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
V.4.2.1.4. Penyakit Gagal Jantung Pada penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Gambar.5.7 menunjukkan, penderita DM di beberapa daerah ada yang menderita penyakit Gagal Jantung dengan proporsi 1,4% - 5% yaitu di Medan (1,4%), Palembang (1.7%), Bandar Lampung (3,4%), Jakarta (0,3%), Surabaya (1,4%), Samarinda (1,5%), Makassar (1,8%), Gorontalo (2,1%), Kupang (4%) dan tertinggi di Pekan Baru (5%).
■ Gagal Jantung Tidak Gagal Jantung
Gambar.5.7. Proporsi Penyakit Gagal Jantung pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota
87
V. 4. 2. 1. 5. Penyakit Gagal Ginj al pada Penderita Diabetes Mel l itus di 37 Kota Wil ayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Penderita DM yang mengidap penyakit gagal ginjal yang ditunjukkan Gambar.5.8, terjadi di 14 kota dengan proporsi 0.6% - 4,3%. dari yang tertinggi yaitu di Gorontalo (4.3%), Lombok (3.8%), Bandung (3.6%), Denpasar (2,9%), Jayapura (2.9%), Pangkal Pinang (2,2%). Makassar (1.8%), Samarinda (1,5%). Banda Aceh (1.4%), Medan (1.4%). Kupang (1.4%). Jogjakarta (1,3%), Surabaya (0,7%) dan Jakarta (0,6%).
Gambar.5.8.
Proporsi
Penyakit
Gagal
Ginjal
pada
Penderita
Diabetes
Mellitus
di
37
Kota
Wilayah
Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
88
V.4.2.1.6. Penyakit Batu Ginjal Pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia.. Gambar.5.9. menunjukkan, penyakit batu ginjaJ dapat menyertai penderita Diabetes Mellitus yang terjadi di 20 kota dengan proporsi 1,4% - 14,3%. Lima daerah yang teringgi proporsi penderita DM dengan penyakit batu ginjal adalah Sofifi (14,3%), Kupang (8%), Jogjakarta (7,7%), Gorontalo (6,4%) dan Surabaya (5,8%).
■ Batu Ginjal Tidak Batu Ginjal
Gambar.5.9. Proporsi Penyakit Batu Ginjal pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. V.4.2.1.7. Pola Penyakit Tidak Menular Pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Untuk menggambarkan pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus, digunakan penyakit tidak menular yang paling banyak dialami sebagai akibat dari kompilkasi penyakit DM yang telah dibuktikan dari hasil analisis ini, yaitu hipertensi, jantung koroner dan stroke. Pengkategorian tersebut, menunjukkan derajat beratnya penyakit DM yang dialami penderita Diabetes Mellitus. Pola penyakit tidak menular tersebut dibagi atas 3 yaitu 1.
Kategori 1 yaitu menderita 1 PTM (DM dengan hipertensi).
2.
Kategori 2 yaitu menderita 2 PTM (DM dengan hipertensi dan jantung koroner).
3.
Kategori 3 yaitu menderita 3 PTM (DM dengan hipertensi, jantung koroner dan stroke).
89
Gambar.5.10 menunjukkan bahwa pola penyakit tidak menular pada penderita DM yang paling banyak adalah menderita 1 jenis penyakit tidak menular (hipertensi), dimana proporsinya berkisar 66,7% - 100%. Terdapat beberapa kota dimana pola penyakit tidak menular penderita DM, seluruhnya hanya mengalami hipertensi (100%) adalah Bengkulu, Bandar Lampung, Serang, Pontianak, Palangkaraya, Palu, Kendari, Kupang, Ambon, Sofifi, Manokwari dan Sorong. Penderita DM yang disertai 2 penyakit tidak menular lainnya yaitu hipertensi dan jantung koroner cukup banyak, proporsinya 3,3% - 33,3%, dimana 5 daerah yang tertinggi adalah Mamuju (33,3%), Timika (20%), Makassar (19%), Palembang (17,6%) dan Padang (16,7%). Penderita DM dengan 3 penyakit tidak menular (hipertensi. Jantung Koroner dan stroke), proporsinya 2,9% - 11,1%, yang tertinggi di daerah Mataram (11,1%) dan 8,3% di Pekan Baru dan Jambi.
■ DM dengan Hipertensi DM dengan Hipertensi dan Jantung Koroner i DM dengan Hipertensi, Jantung Koroner dan Stroke
Gambar.5.10. Porporsi Penyakit Tidak Menular (Hipertensi, Jantung Koroner dan Stroke) pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013.
90
V.4.2.2. Gangguan Mental Emosional Pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional tercantum dalam kuesioner individu butir F01-F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting
Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik. Pertanyaan-pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur >15 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Ke- 20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Nilai batas yang ditetapkan pada Riskesdas adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih (6 - 20) jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, 1995. Dalam analisis ini, mengalami gangguan mental emosional (skor 6 -20) dibagi menjadi gangguan ringan (6 - 10); gangguan sedang (skor 11 - 15) dan gangguan berat (16 - 20). Gangguan mental emosional pada penderita DM (Tabel.5.20), menunjukkan sebagian besar tidak mengalami gangguan yaitu proporsinya 57,1% - 100%. Gangguan mental yang dialami penderita DM, sebagian besar adalah gangguan mental ringan, proporsinya bekisar 2,3% - 28,6%, 5 kota yang tertinggi secara berurutan adalah Sofifi (28,6%), Makassar (23,2%), Jogjakarta (19,2%), Surabaya (17,3%) dan Palembang (16,9%). Gangguan mental sedang, berkisar 1,4% - 14,3%, prorporsinya yang tertinggi di Sofifi (14,3%), kemudian di Lombok (11,5%) dan Gorontalo (10,6%). Hanya beberapa kota yang memiliki penderita DM dengan gangguan mental emosional berat yaitu di Medan (1,4), Padang (3%), Pangkal Pinang (6,5%), Jakarta (1,2%), Palu (2,3%), Menado (1,6%), Gorontalo (2,1%), Lombok (1,9%) dan Jayapura (2,9%).
91
Tabel.5.20. Gangguan Mental Emosional pada Penderita Diabetes Mellitus di Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Tahun 2013. No.
Ko ta
37 Kota
Gang g uan M e ntal Emo s io nal pada Pe nde rita DM (n,%) Ada Gang g uan Tidak Ada Gang g uan
Gang g uan Ring an
Gang g uan Se dang
67 (94.4) 66 (91,7) 32 (97,0) 20(100) 30(93,8 ) 48(81,4 ) 30 (96,8) 28 (96,6) 35 (76,1) 29 (90,6) 20 (90,9)
2 (2.8) 4 (5,6) 0(0) 0(0) 2 (6,3) 10(16.9 ) 1 (3,2) 1 (3,4) 4 (8,7) 2 (6.3)
2(9,1)
0(0) 0(0) 0(0) KU) 0(0) 0(0) 4(8,7) 1 (3,1) 0(0)
291 (89,3)
26 (8)
47 (83,9)
To tal
Gang g uan B e rat
Sumate ra 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Banda Aceh Medan Padang Pekan Baru Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
2 (2.8)
0(0)
1 (1,4)
1 (1,4) K3) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 3 (6,5) 0(0) 0(0)
71 (100) 72 (100) 33 (100) 20(100) 32 (100) 59(100) 31 (100) 29(100) 46(100) 32(100) 22 (100)
5(1,5)
4(L2)
326 (100)
9(16,1 )
0(0)
0(0)
56 (100)
70(88,6 ) 61 (78,2) 109(78. 4)
5 (6.3) 15(19,2 ) 24(17,3 )
4(5,1) 2 (2,6) 6 (4,3)
0(0) 0(0) 0(0)
79 (100) 78 (100) 139 (100)
24 (92,3) 27(96,4 ) 39 (97,5) 61 (93,8)
2(7,7) 1 (3.6) I (2,5) 3 (4.6)
0(0) 0(0) 0(0) 1 (1,5)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
26 (100) 28 (100)
39 (69.6) 9(100) 18(85,7 ) 41 (93,2) 57 (9i,9) 39 (83,0)
13 (23,2) 0(0) 2 (9,5) 1 (2,3) 2 (3,2) 2 (4,3)
4(7.1) 0(0) 1 (4,8)
0(0) 0(0) 0(0)
1 (2,3)
1 (2,3)
2 (3,2) 5(10,6 )
I (2,1)
33 (97,1)
1 (2,9) 5 (9,6) 4(12,9 )
J awa 12. 13. 14. 15. 1 6.
Jakarta Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya Kalimant a n
17.
18. 19. 2 0.
Pontianak Palangkaraya Banjarmasin Samarinda
40(100) 65(100)
Sulawe s i 21. 22.
23. 24. 25. 26.
Makassar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
1 (1,6)
56 (100) 9(100) 21 (100) 44(100) 62 (100) 47 (100)
B ali- Nus ate ng g a
27. 28. 29. 3 0.
Denpasar Lombok Mataram Kupang
40 (76,9) 26(83,9 ) 22 (88,0)
3 (12,0)
27(100) 4(57,1 ) 6(100) 27(87.1 ) 15 (93.8)
0(0) 2(28,6 ) 0(0) 3 (9.7) 0(0)
16( 94,1)
0(0)
31 (88.6)
2(5,7)
0(0) 6(11,5 ) 1 (3,2) 0(0)
0(0) 0(0) 0(0)
34 (100) 52 (100) 31(100) 25 (100)
0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)
27 (100) 7(100) 6(100) 31 (100) 16(100)
0(0)
17(100)
1 (2,9)
35 (100)
1 d,9)
Papua - Ke p, M aluk u 31 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
0(0)
1 (14,3) 0(0) 1 (3,2) I (6,3) 1 (5,9) I (2,9)
92
V.4.2.3. Indeks Massa Tubuh Pada Penderi ta Di abetes Mel i i tus di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Indeks massa tubuh penderita DM pada Tabel.5.21 menunjukkan, lebih banyak dalam batas normal, dibandingkan dengan kategori yang lain. Namun jumlah penderita DM yang obesitas lebih banyak daripada yang gemuk dan kurus. Penderita DM dengan indeks masssa tubuh normal proporsinya berkisar 34,8% - 64,3%. Lima kota yang tertinggi penderita DM dengan indeks massa tubuh yang normal adalah Bandar Lampung (64,3%), Padang (63,6%), Bengkulu (63,3%), Medan (60,6%) dan Serang (57,1%). Proporsi penderita DM dengan obesitas yaitu 10,4% - 66,7%. Kota yang jumlah penderita DM obesitasnya lebih banyak dari kategori yang lain adalah Pangkal Pinang (45,5%), Mataram (40%), Manado (48,3%), Jayapura (45,7%), Timika (47,1%) dan yang tertinggi Manokwari (66,7%). Kota yang jumlah penderita DM obesitasnya sama dengan yang normal adalah Gorontalo (37,8%) dan Ambon (25,9%). Penderita DM dengan indeks massa tubuh yang kurus, lebih sedikit dibandingkan kategori yang lain, proporsinya sebesar 1,4% - 20,8%, dimana 5 Kota yang tertinggi adalah Lombok (20,8%), Palangkaraya, Mamuju dan Ambon masing-masing 11,1% dan Denpasar (9,7%).
93
Tabel.5.21. Indeks Massa Tubuh Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia, Tahun 2013. No.
Ko ta
Inde ks M assa Tubuh (n, %)
Total
Kurus
Normal
Ge muk
Obe s itas
Sumate ra 1.
Banda Aceh
1(1,4)
32 (45,7)
14(20)
23 (32.9)
70 (100)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Medan Padang Pekan Baru Jambi Palembang Bengkulu Bandar Lampung Pangkal Pinang Tanjung Pinang Serang
1 (1,4) 2(6.1) 0(0) 0(0) 2 (3,6) 1 (3,3) 2(7,1) 0(0) 0(0) 1 (4.8)
43 (60,6) 21 (63,6) 9(45,0) 18(56,3) 25 (45,5) 19(63,3) 18(64,3) 18 (40,9) 14(43.8) 12(57,1)
9(12,7) 6(18,2) 7(35,0) 4(12,5) 13(23,6) 4(13.3) 4(14,3) 6(13,6) 5 (15,6) 2 (9,5)
18(25,4) 4(12,1) 4 (20,0) 10(31,3) 15(27,3) 6 (20,0) 4(14,3)
71 (100) 33 (100) 20(100) 32 (100) 55 (100) 30(100) 28 (100) 44 (100) 32 (100) 21 (100)
9 (2,8) 0(0) 6(7,9) 3 (4.3) 5(3,8)
151 (47,6) 22 (40,0) 41 (53,9) 34 (49,3) 52 (39,4)
57(18) 13(23,6) 11(15,9) 28(21,2)
100(31,5) 317(100) 20 (36,4) 55 (100) 18(23,7) 76(100) 21 (30,4) 69 (100) 47 (35,6) 132 (100)
2 (8,7) 3(11,1) 1 (2,6) 2 (3,2)
11 (47.8) 15(55,6) 21 (53,8) 27 (43.5)
4(17,4) 4(14,8) 7(17,9) 18(29,0)
6(26.1) 5(18,5) 10(25,6) 15 (24,2)
23 (100) 27(100) 39 (100) 62(100)
4 (7,3)
26(47,3)
8(14,5)
17(30,9)
55 (100)
1 (11,1) 1 (4.8) 4(9,1) 0(0) 3 (6,7)
5 (55,6) 9 (42,9) 25 (56,8) 24 (41,4) 17(37.8)
0(0) 8(38,1) 4(9,1) 6(10,3) 8(17,8)
3(33,3) 3(14,3) 11 (25,0)
9(100) 21 (100) 44(100) 58 (100) 45 (100)
3 (9,7) 10(20,8) 2 (6,7) 2 (8,7)
13(41,9) 27 (56,3) 1 1 (36,7) 8 (34,8)
7(22,6) 6(12,5) 5(16,7) 6(26,1)
8 (25.8) 5(10,4)
3(11,1) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1 (5,9) 2(5,7)
7 (25,9) 4(80) 1 (16,7) 15(53,6) 8(53,3) 4 (23,5) 10(28,6)
10(37,0) 0(0) 1 (16,7) 5(17,9) 3 (20,0) 4(23,5) 7 (20,0)
10 . 11 .
20 (45,5)
13 (40,6) 6 (28,6)
Jawa
12. 13. 14. 15. 16.
Jakarta Bandung Semarang Jogjakarta Surabaya
11(14,5)
Kalimantan
17. 18. 19. 20.
Pontianak Palangkaraya Banjarmasin Samarinda Sulawe s i
21. 22. 23. 24. 25. 26.
Makassar Mamuju Kendari Palu Manado Gorontalo
28 (483)
17(37.8)
B ali- Nus atenggara
27. 28. 29. 30.
Denpasar Lombok Mataram Kupang
12 (40,0)
7(30,4)
31(100) 48 (100) 30(100) 23(100)
Papua - Ke p. M aluku
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Ambon Sofifi Manokwari Sorong Merauke Timika Jayapura
7 (25,9) 1 (20) 4 (66,7)
8 (28,6) 4 (26,7) 8 (47,1) 16(45,7)
27(100) 5(100) 6(100) 28(100) 15(100) 17(100) 35 (100)
94
BAB VI PEMBAHASAN
Pola penyakit yang terjadi di Indonesia dapat dipahami sebagai transisi epidemiologis, suatu pembahan pola kesehatan dan penyakit, dimana perubahan pola penyakit yang sebelumnya didominasi oleh penyakit menular (infeksi) menjadi penyakit tidak menular atau penyakit kronis degeneratif. Konsep tersebut mengaitkan morbiditas dan mortalitas penyakit pada golongan penduduk dengan berbagai faktor seperti demografi, sosial ekonomi, lingkungan dan perilaku (Soparman, 1995). Kontributor utama terhadap terjadinya penyakit kronis adalah pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan dan obesitas, aktifitas fisik yang kurang, stress dan pencemaran lingkungan (Depkes RI, 2005). Diabetes Meliitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang dikenal sebagai non
communicable diseases, yang mulai menonjol sebagai salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang termasuk di Indonesia. Penyakit Diabetes Meliitus tersebut, tentunya akan menimbulkan beban bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian negara pada saat sekarang dan dikemudian hari, baik secara langsung maupun tidak langsung.
V.l .1 Preval ensi Penyaki t Di abetes Mel i tus Penduduk di 37 Kota Wi l ayah Pengembangan Ekonomi Indonesi a. Prevalensi DM di 37 kota berdasarkan diagnosis dokter yang hampir seluruhnya adalah ibu kota provinsi, sebagian besar (26 Kota) menunjukkan hasil cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional (1,5%). Demikian pula prevalensinya lebih tinggi di Indonesia bagian barat (regional Sumatera dan Jawa) dan tengah (Kalimantan dan Sulawesi), dibandingkan di Indonesia bagian timur (regional BaliNusatenggara dan Papua-Kepulauan Maluku). Pada wilayah yang rendah prevalensinya, tidak berarti prevalensi DM lebih sedikit, hal ini bisa menunjukkan bahwa cakupan dan jangkauan pelayanan kesehatan pada wilayah tersebut lebih rendah, sehingga banyak penderita yang belum memanfaatkan pelayanan kesehatan. Prevalensi Diabetes Meliitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter yang diperoleh dari hasil wawancara mengalami peningkatan cukup tinggi pada Riskesdas 2013, sebesar 1,5%, bila dibandingkan pada Riskesdas tahun 2007 sebesar 0,7%. Prevalensi DM
95
berdasarkan diagnosis dokter dan gejala yang diaalami penderita, tahun 2013 sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2007 sebesar 1,1%. Pada Riskesdas, prevalensi Diabetes Meliitus diperoleh dari 2 cara pengumpulan data yaitu berdasarkan 1) Wawancara terdiri dari hasil diagnosis dokter dan gejala yang dialami; 2) Pemeriksaan darah. Prevalensi Diabetes Melitus berdasarkan hasil pemeriksaan darah pada Riskesdas, menunjukkan jumlah yang lebih besar dibandingkan dari hasil diagnosis dokter berdasarkan wawancara. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah pada Riskesdas tahun 2013 menunjukkan hasil sebesar 5,6% pada laki-laki dan 7,7% pada perempuan. Hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi DM berdasarkan hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada survei, lebih besar dari prevalensi DM di masyarakat yang telah didiagnosis oleh dokter. Oleh karena itu perlu ditingkatkan penemuan kasus (case-fmding) DM di masyarakat oleh tenaga kesehatan dengan upaya penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat karena sebagian besar penderita DM tidak merasakan keluhan sebelum timbul komplikasi. Disamping itu diperlukan kombinasi upaya mandiri oleh individu/masyarakat dan didukung oleh program pelayanan kesehatan.
International Diabetes Federation (1DF) memperkirakan bahwa sebanyak 183 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Sebesar 80% orang dengan DM tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, (IDF, 2011). Pada tahun 2006, terdapat lebih dari 50 juta orang yang menderita DM di Asia Tenggara (IDF, 2009). Jumlah penderita DM terbesar berusia antara 40-59 tahun (IDF, 2011). Gambaran prevalensi Diabetes Meliitus di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan beberapa negara lainnya. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF), Indonesia pada 2010 berada di peringkat sembilan dengan memiliki persentase sebesar 7%, sementara persentase terbanyak diraih negara India (50,8 %), China (43,2 %), Amerika Serikat (26,8 %), Rusia (9,6 %), Brasil (7,6 %) dan Jerman sebesar (7,5 persen). Indonesia mengalami kenaikan angka penderita diabetes sebesar 71 persen. Indonesia diperkirakan di peringkat keenam negara-negara penderita diabetes di dunia pada tahun 2030. Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Depkes RI, 2003).
96
V.1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Prevalensi Penyakit Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi memiliki dampak pada pembangunan di bidang kesehatan masyarakat, dibuktikan dengan menurunnya angka kematian dan penyakit menular dan meningkatnya angka harapan hidup. Percepatan pembangunan sosio ekonomi antar pulau dapat menyebabkan variabilitas derajat kesehatan serta problematika antar pulau dan wilayah (Juanita, 2002). Pembangunan ekonomi ialah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi (Himawan, 2012). Pertumbuhan ekonomi yaitu suatu keadaan dimana terjadi kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar / kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau suatu proses peningkatan PDB riil dari tahun ke tahun. Produk domestik bruto (PDB) diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu, biasanya per tahun (Wikipedia Org, 2014). Salah satu metode sederhana untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dalam I tahun (Himawan, 2012) adalah r = PDBt - PDBt.1 PDBt.1
Ket:
:
r
= pertumbuhan ekonomi thn t
PDBt
=
PDBt-i
= PDB thn sebelumnya
PDB thn t
Dari uraian diatas, maka salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB) untuk level nasional, sedangkan level kabupaten/kota, maka digunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Dalam analisis ini, peneliti mencoba menyajikan data PDRB di 37 Kota di wilayah pengembangan ekonomi yang disandingkan dengan data prevalensi Diabetes Mellitus. Data PDRB Kabupaten Kota diperoleh berdasarkan data BPS tahun 2012. Dari analisis terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada sebagian besar regional Jawa (Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya) dan Sumatera (Banda Aceh, Pangkal Pinang, Tanjung), seiring dengan besarnya prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter. Kondisi ini menunjukkan bahwa sudah banyak penderita DM di wilayah tersebut yang telah didiagnosis oleh dokter, hal ini berarti bahwa akses dan jangkauan pelayanan kesehatan sudah lebih luas.
97
Demikian pula pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang penyakit DM untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan sudah cukup baik. Pada sebagian besar regional Papua - Kepulauan Maluku menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter masih rendah, contoh di Manokwari (laju pertumbuhan ekonomi 8,18%, Prevalensi DM 0,5%). Demikian pula yang terjadi di Mamuju (laju pertumbuhan ekonomi 11,48%, prevalensi DM 0,6%) dan Kendari (laju pertumbuhan ekonomi 9,57%, prevalensi DM 1,2%). Kondisi ini menunjukkan, bahwa akses pelayanan kesehatan di wilayah tersebut masih rendah, sehingga belum banyak penderita DM yang di diagnosis oleh dokter. Demikian pula kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk memeriksakan diri masih belum baik. Apalagi sifat penyakit DM sendiri, dimana sebagian besar orang tidak merasakan atau menyadari menderita DM, nanti terjadi komplikasi (misalnya luka dan gatal yang tidak kunjung sembuh dll) baru penderita merasakan. V.2. Determinan Status Sosial Ekonomi dan Lokasi Tempat Tinggal pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Penderita Diabetes Melitus yang didiagnosis oleh dokter menurut kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 55 - 64 tahun, yang tertinggi di Bandar Lampung 51,7%, kemudian kelompok umur 45 - 54 tahun, yang tertinggi di Samarinda (50,8%). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian DM. Berdasarkan penelitian Trisnawati, kelompok umur < 45 tahun mempunyai risiko 72% lebih rendah dibanding umur >45 tahun. Penelitian Sunjaya (2009), kelompok umur yang paling banyak menderita DM adalah 45-52 tahun (47,5%). Penelitian Zahtamal (2007) di RSUD. Arifin Achmad Provinsi Riau, probabilitas untuk terjadinya DM pada usia <45 tahun dan 45 tahun adalah lebih kurang 1 banding 6 dengan asumsi sekitar 84% kasus DM dapat dicegah dengan memperhatikan faktor risiko umur. DM merupakan penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif) terutama gangguan organ pangkreas dalam menghasilkan hormon insulin, sehingga DM akan meningkat kasusnya sejalan dengan pertambahan usia (Park et all, 2002). Peningkatan risiko DM pada usia lebih 40 tahun disebabkan pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel P pancreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini
98
berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Sunjaya, 2009). Menurut Bustan (2000), faktor risiko pada penyakit tidak menular termasuk DM terdiri dari 1) Faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik; 2) Faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2010), berdasarkan analisis data sekunder 2007, menunjukkan bahwa faktor demografi, faktor perilaku dan gaya hidup, serta keadaan klinis atau mental berpengaruh terhadap kejadian DM Tipe 2, dimana prevalensi DM tertinggi terjadi pada kelompok umur di atas 45 tahun sebesar 12,41%. Penderita Diabetes Meliitus pada kelompok umur lebih muda 15-24 tahun, terdapat di beberapa Kota yaitu Banda Aceh (1,4%), Bengkulu (3,2%), Pangkal Pinang (2,2%), Jakarta (1,2%), Semarang (2,5%), Palangkaraya (3,6%), Gorontalo (2,1%), Lombok (1,9%), Kupang (8%) dan Sofifi (14,3%). Penderita DM dengan umur yang lebih muda, prevalensinya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok umur pertengahan ke atas. Biasanya menderita DM tipe I (Diabetes Meliitus Tergantung Insulin/DMTI). Sedangkan kelompok umur lebih tua, biasanya menderita (Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin/DMTTI). Penderita Diabetes Meliitus menurut jenis kelamin di 37 Kota, yang tertinggi adalah jenis kelamin perempuan dengan proporsi berkisar 50,6 % - 88,9%. Wanita dan pria mempunyai peluang yang sama untuk terjadinya Diabetes Melitus, hanya saja perempuan berisiko lebih besar karena secara fisik memiliki peluang untuk peningkatan BMI (Body Massa Indeks) yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome) dan pasca menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut, sehingga wanita lebih berisiko mengidap penyakit DM (Irawan, 2010). Demikian pula berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah pada penduduk > 15 tahun pada Riskesdas 2013, menunjukkan bahwa proporsi penderita DM perempuan lebih banyak (7,7%), dibandingkan laki-laki (5,6%). Proporsi penderita Toleransi Glukosa Terganggu di Indonesia (TGT adalah suatu keadaan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi DM) lebih tinggi lagi yaitu untuk perempuan 34,4% dan laki-laki 40,4%. Kriteria TGT ditentukan bila kadar glukosa pasca pembebanan berkisar 140 199 mg/dl. Dilihat dari segi pendidikan, penyakit DM di 37 Kota dalam analisis ini, terdapat pada penderita di semua jenjang pendidikan dari yang tidak pemah sekolah atau tammat SD sampai tammat perguruan tinggi, meskipun yang terbanyak adalah tamat SLTA atau MA, Proporsinya berkisar 24,1% - 54,5%, yang tertinggi di Padang (54,5%). Sebagian besar
99
penderita DM dengan status pendidikan yang yang lebih rendah yaitu tidak pemah sekolah atau tidak tamat SD/MI, terdapat di Mamuju (77,7%), Lombok (42,3%) dan Mataram (32,2%), sedangkan yang tamat SD sebagian besar terdapat di Sofifi (42,9%), Surabaya (38,8%), Merauke (37,5%), Pontianak (34,6%) dan Makassar (33,9%) dan Tanjung Pinang (34,4%). Hal ini dapat dijelaskan bahwa di sebagian besar kota yang merupakan kota provinsi adalah kebanyakan penderita DM orang yang telah berumur pertengahan 45 - 64 tahun, dimana kesempatan atau akses untuk mendapatkan pendidikan menengah sudah terjangkau. Namun demikian, di daerah Indonesia bagian timur, penderita DM terutama berpendidikan rendah. Kondisi ini mungkin disebabkan akses pendidikan di wilayah tersebut masih kurang dibandingkan di wilayah Indonesia bagian barat. Menurut status pekerjaannya, kebanyakan penderita DM adalah berstatus tidak bekerja yaitu proporsinya berkisar 52% - 77,8%, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 75%), Jawa (Bandung 66,1%), Kalimantan (Pontianak 57,7%), Sulawesi (Mamuju 77,8%), Bali - Nusa Tenggara (Kupang 50%) dan Papua Kepulauan Maluku (Sofifi 57,1%). Jenis pekerjaan seseorang mempengaruhi aktifitas fisiknya, orang yang tidak bekerja memiliki aktifitas fisik yang kurang sehingga meningkatkan risiko obesitas (Irawan, 2010). Dari hasil Riskesdas 2013 dan 2007 menunjukan prevalensi Diabetes Meliitus tertinggi pada kelompok yang tidak bekerja dan ibu rumah tangga. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian Trisnawati (2013), sebagian besar penderita DM di Puskesmas Kecamatan Cengkareng adalah ibu rumah tangga, tidak bekerja, beijenis kelamin perempuan, namun hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan penyakit DM. Terkait dengan Pekerjaan Utama, sebagaian besar penderita DM di 37 Kota bekerja sebagai wiraswasta (17 Kota), proporsinya 36,7% -70%, berikutnya PNS/TNI/POLRI/BUMD. Penderita DM sebagai wiraswasta, yang yang tertinggi di regional Sumatera (Palembang 56%), Jawa (Bandung 57,9%), Kalimantan (Palangkaraya 55%), Sulawesi (Makassar 70%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 50%), Papua - Kepulauan Maluku (Sorong 68,8%). Penderita DM dengan PNS/TNI/POLRI/BUMD, yang tertinggi di Kota Sofifi (66,7%), sebesar 60% di Kota Pekan Baru, Kupang dan Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan wiraswasta memang merupakan pekerjaan sebagian besar masyarakat diperkotaan, mengingat lokasi analisis ini pada daerah perkotaan. Pekerjaan di daerah perkotaan akan berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kesehatan seseorang. Pekerjaan akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang berkaitan dengan pola konsumsi dan kegiatan fisik. Lingkungan pekerjaan juga berpengaruh terhadap
100
kondisi fisik maupun psikis seseorang, Lingkungan kerja yang tidak kondusif, konflik individu, adanya pencemaran (bising, bahan kimia, listrik tegangan tinggi, dll), akan menimbulkan stress yang akan berpengaruh terhadap kesehatan. Terkait status ekonomi yang diukur berdasarkan indeks kepemilikan, menunjukkan bahwa semakin tinggi status ekonominya maka semakin besar proporsi penderita DM. Dari hasil analisis, sebagian besar penderita DM dengan status ekonomi teratas (27 Kota), dengan proporsi 35,5% - 85%, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 85%), Jawa (Bandung 62,5%), Kalimantan (Samarinda 75,4%), Sulawesi (Makassar 58,9%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 73,5%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Merauke 43,8%). Penderita DM dengan status ekonomi menengah bawah dan terbawah, lebih sedikit dibandingkan dengan status ekonomi menengah ke atas. Penderita DM dengan status ekonomi terendah terdapat di 9 Kota, proporsinya berkisar 1,4% - 33,3%, yang terbanyak terdapat di Mamuju. Prevalensi DM meningkat seiring dengan meningkatnya status ekonomi keluarga, perbedaan ini cukup bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa orang dengan status ekonomi yang tinggi mempunyai kemampuan untuk membeli makanan dengan kalori tinggi, yang kaya akan lemak dan kaya energi dimana konsekuensinya akan mempengaruhi kadar kolesterol dan glukosa darah. Demikian pula, orang dengan status ekonomi tinggi terjadi perubahan gaya hidup yaitu kurangnya aktifitas fisik, karena semua telah dikerjakan pembantu dan kemana-mana naik kendaraan, tidak dengan berjalan kaki, sehingga asupan kalori yang tinggi tidak terbakar yang menyebabkan kadar gula darah meningkat. Namun demikian kenyataan ini menunjukkan bahwa penyakit DM bukan hanya penyakit untuk golongan sosio-ekonomi tinggi, namun penyakit ini juga menyerang golongan sosio-ekonomi rendah. Berdasarkan status kawinnya, penderita DM di 37 Kota sebagian besar berstatus menikah, selanjutnya adalah cerai mati, kemudian cerai hidup, berstatus belum menikah dan cerai hidup. Sebagian besar penderita DM berstatus kawin menikah, proporsinya 40% -100%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Serang 100%), Jawa (Semarang 81%), Kalimantan (Palangkaraya 96,4%), Sulawaesi (Mamuju 100%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar (88,2%) dan Papua Kepulauan Maluku (Timika 100%), sedangkan yang terendah di Jogjakarta (61,5%). Proporsi penderita DM dengan status cerai mati yang tertinggi adalah di Pekan Baru (35%), belum menikah tertinggi di Sofifi (14,2%), cerai hidup tertinggi di Mataram (6,5%), sedangkan yang hidup bersama hanya ada di Pangkal Pinang (2,2%) dan Kupang (4%). Demikian pula, penderita DM sebagian besar adalah kepala Rumah Tangga, proporsinya 41,2% 83,3%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Serang 68,2%), Jawa
101
(Jakarta 64,7%), Kalimantan (Pontianank dan Samarinda 53,8%), Sulawesi (Makassar 62,5%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 61,5%) dan Papua- Kpeulauan Maluku (Manokwari 83,3%). Proporsi penderita DM dengan status suami atau istri lebih banyak dibanding kepala RT terdapat di 4 Kota yaitu mulai dari yang tertinggi di Mamuju (88,9%), Menado (50%), Medan (48,6%) dan Pangkal Pinang (41,3%). Sebagian besar penderita DM dengan status menikah dan kepala Rumah Tangga, kondisi ini dapat dijelaskan bahwa memang sebagian besar penderita DM berumur 45 tahun keatas, dimana umur tersebut kebanyakan orang telah menikah ataupun sudah bercerai mati. Berdasarkan data BPS tahun 2012, persentase penduduk umur 10 tahun keatas, sebagian besar penduduk lebih banyak dengan status menikah sebesar 59,48%, kemudian belum kawin adalah 33,01%, cerai mati 5,83% dan hanya sebagain kecil yang cerai hidup 1,68%. Status cerai hidup di Indonesia, yang menganut budaya patriarki masih jarang terjadi. Menyandang status janda dalam budaya patriarki dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang menyimpang dari norma masyarakat (Kumiasih P, 2011). Demikian pula, dengan status duda, dalam budaya ketimuran di Indonesia, merupakan hal yang tidak lazim karena selayaknya suami didampingi oleh istri merupakan suatu hal yang menjadi keharusan. Adanya perceraian membuat suami atau istri memiliki peran ganda sebagai orangtua tunggal. Penderita DM sebagian besar berlokasi di perkotaan, dengan proporsi berkisar 62,5% - 100%, sedangkan di Mamuju (55,6)%, Lombok (51,9%), Sofifi (71,4%), penderita DM lebih banyak yang tinggal di pedesaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan atau urban berhubungan dengan kepadatan penduduk beserta konsekuensi berbagai perubahan kondisi lingkungan sosial seperti perilaku hidup tidak sehat. Mereka yang tinggal di daerah urban cendrung akan mengalami perubahan gaya hidup yaitu perubahan pola makan dengan mengkonsumsi makanan yang kaya lemak dan kaya energi dimana konsekuensinya akan mempengaruhi kadar kolesterol dan glukosa darah (WHO, 2003). Namun demikian rendahnya penderita DM di daerah pedesaan tidak menyingkirkan bahwa daerah pedesaan jarang yang menderita penyakit DM, hal ini mungkin disebabkan masih banyak penderita yang belum teijangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case- fmding, penatalaksanaan pengobatan dan akses pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah Riskesdas 2013 pada penduduk > 15 tahun, diperoleh hasil proporsi penderita DM di pedesaan sebesar 7% dan di perkotaan 6,8%. Sedangkan untuk proporsi toleransi glukosa terganggu (TGT), di perdesaan 38,2% dan di perkotaan 34,9%. Hasil ini menunjukkan bahwa proporsi penderita DM di perdesaan cukup
102
tinggi daripada perkotaan, hanya jangkauan pelayanan kesehatan masih terbatas sehingga masih banyak penderita yang belum terdiagnosis oleh dokter.
V.3. Pola Perilaku (Konsumsi, Merokok, Aktivitas Fisik) pada Penderita Diabetes Meliitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Perilaku konsumsi sayur dan buah penderita DM di 37 Kota, sebagian besar masih kurang, dengan proporsi berkisar 85,7 % - 100%. Konsumsi sayur dan buah dengan kategori cukup, hanya sebagian kecil saja yang terdapat di 16 Kota, dengan proporsi berkisar 1,5% - 14,3%, yang terbesar regional Sumatera (Bengkulu 12,9%), Jawa (Jogjakarta 5,1%), Kalimantan (Pontianak 3,8%), Sulawesi (Menado 3,2%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 5,8%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Sofifi 14,3 %). Hasil menunjukkan bahwa perilaku konsumsi sayur dan buah penderita DM di 37 Kota, sebagian besar masih kurang, padahal sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi tubuh. Serat adalah bagian yang tidak bisa dicerna dari makanan nabati. Pola makan yang kaya serat juga dapat menurunkan risiko mengalami obesitas, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan stroke. Serat juga berfungsi yaitu 1) Menunda penyerapan gula dan mengontrol kadar gula darah lebih baik; 2) Mengikat kolesterol dan mengurangi kadar kolesterol jahat LDL (Low density Lipoprotein) dalam darah; 3) Menjadi sumber vitamin dan mineral yang baik; 4) Membantu mencegah sembelit dan mengurangi risiko gangguan pada usus; 5) Memudahkan penurunan berat badan dengan membantu mengurangi asupan kalori (dengan mengonsumsi serat, berat dari makanan yang dikonsumsi akan bertambah, sehingga membuat perasaan lebih kenyang). Kebutuhan serat untuk setiap orang yang disarankan adalah 25 - 35 gram setip harinya (Kalcare, 2014; Bogdan, 2008). Hasil penelitian Bintanah (2012), asupan serat penderita DM kurang dari yang dianjurkan yaitu 25 gram/hari yaitu rata - rata 7,98 gram/hari. Dari hasil uji statistik (korelasi Spearman menunjukkan hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah, semakin rendah asupan serat, maka semakin tingggi kadar glukosa darah. Hasil penelitian Wiadami (2007) di RSU Sanglah Denpasar menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan konsumsi serat rendah dengan status gizi obesitas berisiko mengidap DM tipe 2 sebanyak 10,7 kali dan 4,9 kali pada orang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi sumber protein hewani berlemak tinggi. Konsumsi makanan berisiko berupa makanan manis, berkolestrol dan makanan hewani olahan pada penderita DM di 37 Kota, sebagian besar mengkonsumsi 1- 6 kali per minggu) berkisar 35% - 76,9%, tertinggi di Pontianak (76,9%). Konsumsi makanan berisiko
103
> 1 per hari dalam seminggu, proporsinya berkisar 3,2% - 46,4, tertinggi di Palangkaraya (46,4%) dan Sofifi (42,6%). sedangkan secara regional tertinggi di Sumatera {Padang 39,4%), Jawa (Bandung (32,1%), Kalimantan (Palangkaraya 46,4%), Sulawesi (Makassar 33,9%), Bali- Nusa Tenggara (Lombok 21,2%) dan Papua - Kepulauan Maluku (Sofifi 42,9%). Keterbatasan pada analisis ini adalah data Riskesdas 2013 hanya diketahui frekuensi makanan berisiko, sedangkan jenis dan porsi atau jumlah yang dikonsumsi tidak dapat diketahui. Makanan manis, makanan berlemak dan makanan olahan hewani sangat berpengaruh pada diabetes yang disertai dengan gangguan lemak yang dikenai sebagai sindroma metabolik, yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X merupakan suatu kumpulan berbagai faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan morbiditas penyakit DM tipe 2 dan kardiovaskular pada obesitas. Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi resistensi insulin, kadar glukosa darah tinggi, obesitas abdominal/sentral, hipertensi dan Dislipidemia (peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL kolesterol) (Vega GL, 2001). Makanan daging merah dan daging olahan meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes. Dalam temuan yang diterbitkan dalam Current Atherosclerosis bahkan disebutkan, daging olahan khususnya, memiliki tingkat natrium dan aditif yang tinggi sehingga dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Hal ini karena lemak dan garam pada daging olahan dapat membuat buruk kondisi diabetes. Daging memang tidak akan menaikkan gula darah, tapi kalori ekstra dari daging dapat menghambat penurunan berat badan. Dan kelebihan berat badan membuat diabetes lebih sulit untuk dikontrol. Banyaknya daging merah yang dikonsumsi, sebaiknya tidak lebih dari 4 -5 porsi dalam seminggu (Enervi, 2014). American Diabetes Association (ADA) mengeluarkan sebuah panduan untuk membantu pasien diabetes memilih makanan sehari-hari mereka yang disebut dengan Piramida Makanan Diabetes. Di dalam Piramida Makanan Diabetes, makanan sehari-hari dibagi menjadi enam kategori umum yang dikelompokan berdasarkan pertimbangan kadar karbohidrat, protein dan lemak yang terdapat didalam makanan, yaitu 1) Biji-bijian dan tepung; 2) Sayuran; 3) Buah-buahan; 4) Susu; 5) Daging, pengganti daging dan protein lainnya; 6) Lemak, minyak, manis dan alkohol. Secara umum makanan kelompok 1 dan 2 dari piramida makanan diabetes bisa dikonsumsi secara bebas dengan pembatasan dari lapisan yang lebih tinggi dari piramida makanan diabetes. Semakin tinggi kelompok makanan yang terdapat di dalam piramida makanan diabetes, semakin sedikit kelompok makanan tersebut dapat dikonsumsi atau dihindari oleh seorang pasien diabetes. Makanan daging dan
104
olahannya (kelompok 5) dan makanan raanis (kelompok 6) merupakan puncak piramida makanan diabetes, sehingga harus dibatasi atau dihindari oleh pasien diabetes. Komponen lemak dan kalori merupakan salah satu problem dari gangguan metabolisme diabetes. Perubahan diet spesifik untuk penderita diabetes ditujukan terhadap aspek tertentu yaitu mengurangi asupan lemak jenuh untuk menurunkan resistensi insulin, mengurangi asupan garam untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi asupan karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi untuk menurunkan kadar glukosa darah dan trigliserida (http://dokter- alwi.com/sindrommetabolik.html). Ketidakpatuhan diet menyebabkan tidak terkendalinya kadar glukosa darah, kadar kolestrol dan trigliserida. Hasil penelitian Wiadami (2007) di RSU Sanglah Denpasar menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi sumber protein hewani berlemak tinggi, berisiko sebesar 4,9 kali untuk menderita DM tipe 2. Perilaku konsumsi makanan olahan tepung pada penderita DM di 37 kota, frekuensi konsumsi > 16 kali/minggu menempati urutan kedua, sebagian besar terdapat di 14 kota, proporsinya 43,8% - 77,8%) tertinggi di Mamuju (77,8%). Penderita Diabetes Mellitus yang mengkonsumsi makanan olahan tepung terigu dengan kategori > 1 kali perhari, terdapat di 31 kota, proporsinya 2,1% - 21,9%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Jambi 21,9%), Jawa (Bandung 17,9%), Kalimantan (Pontianak 19,2%), Sulawesi (Menado 14,5%), Bali - Nisa Tenggara (Denpasar 14,7%) dan Papua Kepulauan Maluku (Soiifi 14,3%). Dilihat dari hasil tersebut diatas, menunjukkan bahwa sebagian besar penderita DM di banyak kota besar tersebut cukup sering menkonsumsi makanan olahan tepung terigu seperti mie instan, mie basah, roti dan biskuit yang tinggi karbohidrat. Makanan tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga memperberat dislipidemia Oleh karena itu untuk mencegah hal tersebut, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi atau diganti dengan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa postprandial dan insulin. Direkomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit DM dan kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan berat badan (HarkL, Deen D Jr 1999). Terdapat dua jenis karbohidrat yaitu sederhana dan kompleks. Karbohidrat sederhana adalah gula, seperti glukosa, sukrosa, laktosa, dan fruktosa. Mereka ditemukan dalam gula
105
dan buah-buahan. Karbohidrat kompleks adalah pati (zat tepung), yang merupakan gula sederhana yang terikat satu sama lain secara kimia. Karbohidrat kompleks ditemukan di kacang-kacangan, sayuran, dan biji-bijian, dianggap sehat terutama karena dicema oleh tubuh perlahan-lahan, menyediakan sumber energi yang stabil dan mengandung jumlah serat yang bagus. Karbohidrat yang baik untuk penderita diabetes adalah yang mengandung indeks glikemik rendah dan kaya akan serat, seperti buah segar (apel, pir), kacang kering yang dimasak dan kacang polong, roti gandum, sereal, cracker, tepung garut dan beras merah (Kalcare, 2014). Mie instan merupakan makanan cepat saji, murah dan mudah didapat namun berbahaya bagi kesehatan jika sering dikonsumsi. Apalagi jika memakannya digabung dengan nasi, dapat meningkatkan gula darah meningkat dan memicu kegemukan. Penelitian Hyun Shin dan rekan-rekannya di Baylor dan Harvard University menganalisis kesehatan dan diet hampir 11.000 orang wanita dewasa umur 19 -64 tahun, di Korea Selatan yang dikenal memiliki kelompok konsumsi mei instan (ramen) terbesar di dunia, dengan tidak memperhatikan pola makan sehari-harinya dan aktivitas fisiknya, menunjukkan wanita yang makan mie instan 2 kali seminggu atau lebih memiliki risiko lebih tinggi terkena sindrome metabolik daripada mereka yang makan mie instan lebih jarang atau tidak sama sekali. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahaya mie instan dapat meningkatkan risiko perubahan metabolik yang terkait dengan Diabetes Mellitus, penyakit jantung dan stroke karena mie instan banyak mengandung sodium (natrium tinggi, lemak jenuh yang tidak sehat dan beban glikemik yang tinggi (Muchlisin, Ahmad, 2014). Tepung garut dapat dijadikan makanan alternatif pengganti tepung terigu dan beras sebagai makanan fungsional untuk penderita diabetes. Kandungan karbohidrat dan zat besi tepung garut lebih tinggi, sedangkan lemaknya lebih rendah dibanding tepung terigu dan beras, sedangkan jumlah kalorinya hampir sama. Pati atau tepung garut bertekstur halus dan mudah dicema sehingga cocok untuk makanan bayi dan orang sakit. Umbi garut juga baik bagi penderita diabetes. Tepung garut memiliki bentuk dan karakter mirip tepung terigu sehingga berpotensi menjadi pengganti tepung terigu (Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2009). Marsono et al. (2006) melaporkan makanan fungsional berbasis tepung yaitu berupa kue kering tepung garut dan roti tawar dengan substitusi tepung garut memiliki Indek Glikemik masing-masing 27 dan 51. dalam pengujian dengan hewan coba kedua produk tersebut mampu menurunkan glukosa darah sebesar 50% dan 46%, selama 4 minggu intervensi. Hasil ini mengindikasikan bahwa kedua produk
106
tersebut dapat direkomendasikan sebagai makanan fungsional untuk penderita diabetes (Marsono et all, 2008). Penderita DM berdasarkan hasil diagnosis dokter masih banyak yang merokok, dengan proporsi 4% -50%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Bandar Lampung 27,6%), Jawa (Semarang 17,7%), Kalimantan (Palangkaraya 21,4%), Sulawesi (Gorontalo 25,5%), Bali- Nusa Tenggara (Lombok 34,6%), PapuaKepulauan Maluku (Manokwari 50%). Di Manokwari proporsi penderita yang merokok setiap hari lebih besar yaitu 50% dari yang tidak pemah merokok (33%), sedangkan di Timika proporsi penderita yang merokok setiap hari dan tidak pemah merokok adalah sama (29,4%). Penderita DM yang merokok setiap hari, proporsinya cukup banyak yaitu 4% -50%, di Manokwari proporsi penderita yang merokok setiap hari lebih besar yaitu 50% dari yang tidak pemah merokok (33%). Secara umum di 37 Kota, penderita DM yang sudah berhenti merokok (mantan/ex perokok), proporsinya lebih kecil jika dibandingkan dengan yang merokok setiap hari. Situasi ini tentunya harus mendapatkan perhatian oleh pemerintah kota melalui Dinas Kesehatan untuk lebih mempromosikan perilaku hidup sehat bagi penderita DM. Beberapa daerah menunjukkan jumlah penderita DM yang berhenti merokok lebih besar jika dibandingkan dengan yang merokok setiap hari, seperti di Jambi (18,8%), Palembang (16,9%), Jakarta (19%), Bandung (25%), Jogjakarta (17,9%), Surabaya (14,4%), Pontianak (19,2%), Samarinda (20%), Kendari (14,3%), Manado (24,2%), Kupang (12%), dan sebagian besar ada di Timika yaitu 35%. Kondisi ini menunjukkkan bahwa kesadaran penderita DM untuk hidup lebih sehat sudah mulai ada. Kebiasaan merokok dalam Riskesdas ditanyakan dalam satu bulan terakhir. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya resistensi insulin sabagai penyebab Diabetes Mellitus Tipe 2. Pada perokok terdapat peningkatan kadar gula darah dan juga peningkatan distribusi lemak perut, kedua faktor tersebut meningkatkan risiko terjadinya resistensi insulin. Merokok juga berhubungan dengan terjadinya pankreatitis kronik dan kanker pankreas karena zat karsinogenik dalam rokok dapat merusak dan mengganggu fungsi organ pankreas. Umumnya, penderita Diabetes Mellitus sendiri sudah mengalami gangguan pada jantung, pembuluh darah, ginjal, saraf tepi, dan organ-organ lainnya, sementara nikotin dalam rokok justru dapat menyebabkan penyempitan dan pengerasan pembuluh darah yang lebih lagi (ASH fact sheet, 2012). Nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan peningkatan tekanan arteri dan denyut jantung dan membentuk ikatan COHb yang berkorelasi kuat dengan terjadinya infark miokard dan angina pektoris (Aronow Ws, 1983).
107
Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap menunjukkan, penderita DM paling banyak adalah perokok ringan yaitu menghabiskan sekitar < 10 batang rokok sehari, proporsinya 2,2% - 33,3%, kota yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 25%), Jawa (Semarang 25,3%), Kalimantan (Saamarinda 20%), Sulawesi (Menado 27,4%), Bali- Nusa Tenggara (Denpasar 17,6%) dan tertinggi di Papua- Kepulauan Maluku (Manokwari 33,3%). Daerah yang menunjukkan jumlah perokok sedang (11- 20 batang/hari) lebih banyak dari perokok ringan adalah Jambi (15,6%), Bandar Lampung (27,6%), Palangkaraya (21,4%), Banjarmasin (20%), Makassar (14,3%), Lombok (21,2%), Merauke (18,8%) dan yang tertinggi adalah Timika (41,2%). Penderita DM dengan perokok berat dan sangat berat juga masih ada, meskipun proporsinya lebih kecil, berkisar 1,3% -11,1%. Perokok sangat berat yang tertinggi di Ambon (11,1%). Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring dengan banyak jumlah batang rokok yng dihisap. Berdasarkan studi yang dipublikasikan oleh American Journal of Epidemiology, seorang perokok berat yang merokok sebanyak 16-25 batang atau lebih setiap harinya memiliki risiko dua kali lipat lebih banyak menderita Diabetes Mellitus jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok (Atanasia, Fritzie, 2014).
The Cancer Prevention Study melakukan studi kohort pada 275.190 laki-laki dan 434.637 perempuan, menemukan bahwa perempuan yang merokok lebih dari 40 batang per hari memiliki risiko terkena Diabetes Mellitus 74% lebih tinggi daripada perempuan yang tidak merokok, sedangkan risiko terkena Diabetes Mellitus bagi laki-laki perokok meningkat sebesar 45% (Will JC, et all, 2001). Penderita diabetes yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi untuk terjadinya kematian dini (premature death) dibandingkan dengan yang tidak merokok. Selanjurnya risiko komplikasi yang timbul akibat merokok pada penderita diabetes, 14 kali lebih tinggi dibandingkan komplikasi akibat merokok atau diabetes saja (HaireJoshu D & Thomas J, 2005). Penderita DM menurut aktifitas fisik di 37 Kota menunjukkan bahwa proporsinya sudah lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan yang tidak aktif, persentasinya berkisar (52,9% -92%). Namun demikian, terdapat beberapa daerah dimana penderita DM dengan aktifitas kurang lebih banyak dibandingkan dengan yang aktif yaitu Pekan Baru (65%), Jakarta (55,2%), Pontianak (57,7%) dan Jayapura (57,1%). Daerah yang cukup bermakna persentase penderita DM yang aktif atau diatas 70% adalah Medan, Padang, Bengkulu, Serang, Banjarmasin, Mamuju, Menado, Denpasar dan yang tertinggi adalah Kupang (90%). Penderita DM yang aktif diatas 60% terdapat di daerah Pangkal Pinang, regional Jawa (kecuali Jakarta), Palangkaraya, Samarinda, Lombok dan Sorong. Di daerah lainnya
108
persentasi yang aktif dan kurang aktif, jumlahnya tidak jauh berbeda meskipun persentasi yang aktif lebih banyak. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran penderita DM di berbagai kota besar di Indonesia sudah menyadari pentingnya aktifitas fisik untuk pengendalian penyakit DM. Sebagaimana diketahui bahwa aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes,2010). Latihan fisik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang dapat mengurangi berat badan melalui peningkatan energi yang dikeluarkan, memperbaiki tingkat metabolik dan membakar lemak. Latihan fisik mempunyai efek meningkatkan reseptor insulin dan sensitivitas insulin, kadar insulin dalam darah serta sebagai diabetik kontrol. Latihan fisik mempengaruhi sistem koagulasi dan fibrinolisis dalam darah dan hal itu berhubungan dengan terjadinya thrombosis dan atherosklerosis. Latihan fisik yang teratur dapat merangsang aktivasi fibrinolitik sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya trombosis vaskuler dan atherosklerosis (Perkeni, 2006; Wasserman et all, 2003). Penelitian Sanjaya di RS Tabanan Bali, mendapatkan bahwa aktifitas fisik merupakan variabel yang berhubungan dengan DM tipe 2. Orang yang aktifitas fisiknyanya rendah memiliki risiko 4,36 kali lebih besar menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan aktifitas fisik tinggi (Sanjaya, 2009).
V.4. Upaya Pengendalian Diabetes Mellitus pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu I) Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal; 2) Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat
109
dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005). Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya DM tipe-2 dibandingkan dengan penggunaan obat - obatan. Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan latihan jasmani teratur mampu mengurangi risiko timbulnya DM tipe-2 sebesar 58%. Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin, tiazolindion, acarbose) hanya mampu menurunkan risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut untuk penanganan intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi (Perkeni, 2006). Berdasarkan hasil analisis, pengendalian DM dengan diet pada penderita Diabetes Melitus di 37 Kota, lebih banyak dengan diet dibandingkan dengan yang tidak melakukan diet yaitu 51,4% - 78%, dan sebagian besar sudah diatas 60%. Pengendalian dengan diet diatas 70% terdapat di regional Sumatera (Banda Aceh 70,4%, Palembang 78% dan Pekan Baru 75%) dan regional Papua- Kepulauan Maluku (Ambon 70,4%, Sorong 74,2% dan Jayapura 74,3%). Penderita DM yang lebih banyak tidak melakukan pengendalian DM dengan diet dibandingkan dengan yang melakukan diet terdapat di Padang (51,5%), Serang (54,5%), Mamuju (77,8%), Palu (77,3%), Lombok (51,9%), Mataram (51,6%) dan tertinggi Sofifi (100%). Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel (3 terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbAlc sebanyak 0,6% (HbAlc adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup (Depkes RI, 2005). Berdasarkan konsensus American Diabetes Association (ADA) and European Association for the
Study of Diabetes (EASD) tahun 2008, algoritme pengelolaan diabetes dibuat dengan memperhatikan karateristik individual, sinergisme obat dan biaya. Konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru, dengan pengendalian pola makan dan aktifitas fisik. Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan
110
menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2, bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan (ADA; Nathan MN, 2008). Proporsi penderita DM yang melakukan olah raga sebagai upaya pengendalian penyakit DM masih kurang yaitu 16,7% - 60%, sebagian besar tidak melakukan olahraga, yang tertinggi di regional Sumatera (Pekan Baru 75% dan Jambi 71,9%), Jawa (Semarang dan Surabaya 53,2%), Kalimantan (Samarinda 72,3% dan Banjarmasin 70%), Sulawesi (Gorontalo 74,5%, Kendari 71,4% dan Palu 70,5%), Bali - Nusa Tenggara (Lombok 59,6%) dan yang tertinggi Papua- Kepulauan Maluku (Manokwari (83,3%). Penderita DM yang melakukan olah raga bila dibandingkan dengan diet dan obat antidiabetik, proporsinya lebih sedikit, padahal olah raga atau aktifitas fisik sangat penting untuk pengendalian penyakit DM. Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Jenis dan porsi olah raga harus sesuai untuk penderita diabetes dengan berkonsultasi dengan dokter olahraga. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training {CRIPE). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005). Hasil penelitian Yanti (2010) di RSUP Dr. Karyadi Semarang, menunjukkan bahwa kurangnya latihan fisik yaitu kebiasaan olahraga kurang dari 3 kali selama minimal 30 menit dalam seminggu merupakan faktor risiko terjadinya PJK pada DM tipe 2 (P=0,031; OR=2,961; 95% CI=1,103- 7,947). Berdasarkan teori, aktifitas fisik dan latihan fisik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang dapat mengurangi berat badan melalui peningkatan energi yang dikeluarkan, memperbaiki metabolik rate dan membakar lemak. Latihan fisik mempunyai efek meningkatkan reseptor insulin dan sensitivitas insulin, kadar insulin dalam darah serta sebagai diabetik kontrol. Latihan fisik mempengaruhi sistem koagulasi dan flbrinolisis dalam darah dan hal itu berhubungan dengan terjadinya thrombosis dan atherosklerosis. Latihan fisik yang teratur dapat merangsang aktifasi fibrinolitik sehingga
111
dapat mengurangi risiko terjadinya trombosis vaskuler dan atherosklerosis (Perkeni, 2006; Wasserman DH et al, 2003). Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar gukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik baik oral maupun suntikan (Mansyur Arif, 2001). Dari hasil menunjukkan, ternyata penderita DM di 37 Kota sudah sebagian besar melakukan pengendalian penyakitnya dengan obat anti diabetik yaitu 55,6% - 88,9%, dimana pengendalian dengan proporsi 50% - 59% ada 5 Kota , 60%- 69% ada 11 kota, 70% - 79% ada 15 Kota dan > 80% ada 6 Kota. Pengendalian DM dengan obat antidiabetik tertinggi di Kota Pontianak 88,8% dan yang terendah di Mamuju dan Ambon (55,6%). Pengobatan lini pertama untuk penderita diabetes yang baru terdiagnosis adalah terapi nonfarmakologi, yaitu mengatur pola makan dan melakukan aktivitas fisik. Penggunaaan antidiabetik baru diperkenankan setelah terapi nonfarmakologi selama 4-8 minggu ini dianggap gagal mengendalikan kadar gula darah (PERKENI, 2007). Namun pada tahun 2007 American Diabetes Association (ADA) dan European
Association for the Study of Diabetes (EASD), mempublikasikan satu konsensus baru untuk memulai menggunakan metformin, bersamaan dengan pengaturan nutrisi dan aktivitas fisik, pada saat pertama terdiagnosis diabetes (Nathan DM, 2005). Konsensus yang sama juga telah dikeluarkan yaitu draf konsensus dari International Diabetes Federation Western Pasific Region (Chan JCN, et al, 2006). Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagalan menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi berbagai faktor tersebut. Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal, pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, sedikit efek samping, dapat diterima oleh pasien dan harganya relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten (Nathan MN, 2008). Obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari
112
dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes RI, 2005). Penatalaksanaan atau pengendalian penyakit DM dilakukan dengan kombinasi dengan beberapa metode pengobatan yaitu diet, olahraga, obat antidiabetik dan insulin. Hasil menunjukkan, bahwa sudah sebagian besar melakukan pengendalian penyakitnya dengan obat anti diabetik, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan cara lainnya (diet, olahraga dan insulin). Pengendalian DM dengan obat antidiabetik, lebih banyak dengan kombinasi 1 cara, proporsinya yaitu 10,7% - 50% dibandingkan dengan kombinasi dengan 2 cara yaitu 11,4% - 38,7% dan 3 cara yaitu 1,3% - 14,7%. Pengendalian DM yang hanya menggunakan obat antidiabetik berkisar 3,2% - 44,4%, proporsi yang terendah adalah penderita DM di Palembang dan yang tertinggi Palu. Penderita DM yang tidak melakukan pengendalian penyakitnya terdapat hampir disemua Kota, proporsi berkisar 3,2% -18,2%, yang tertinggi di Palu (18,2 %), sedangkan di Bandar Lampung, semua penderita DM melakukan pengendalian terhadap penyakitnya. Pengendalian DM dengan obat antidiabetik dengan 3 cara lainnya, yang tertinggi di Denpasar (14,7%) , sedangkan yang tidak sama sekali di 11 Kota yaitu Pekan Baru, Jambi, Serang, Bandung, Banjarmasin, Kendari, Palu, Sofifi, Manokwari, Sorong dan Timika. Penatalaksanaan DM dengan terapi obat perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menimbulkan masalah-masalah terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh penderita. Masalah terkait obat merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat. Aktivitas untuk meminimalkannya merupakan bagian dari proses pelayanan kefarmasian (Hepler, 2003 dalam Depkes RI, 2005). Beberapa masalah terapi yang biasa ditemui adalah 1). Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani; 2) Pemberian obat tanpa indikasi; 3) Pemilihan obat tidak tepat atau salah obat; 4) Dosis obat subterapeutik; 5) Dosis obat berlebih; 6) Efek obat yang tidak dikehendaki (adverse
drug reaction). Algoritme pengobatan menurut American Diabetes Association (ADA) & European Association for
the Study of Diabetes (EASD) tahun 2008, yaitu : 1) Mencapai dan mempertahankan kadar mendekati normoglikemia (A1C < (7%); 2) Terapi dimulai dengan intervensi pola hidup dan metformin; 3) Bila target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan maka ditambahkan obat baru dan diubah jadi regimen baru; 4) Pada pasien yang tidak mencapai target glikemik maka diberikan terapi insulin secara lebih dini.
113
Pengendalian DM pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat hipoglikemik oral (OHO) atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri- sendiri {Depkes RI, 2005). Pengendalian DM dengan injeksi insulin, masih sedikit dilakukan yaitu proporsinya 3% - 29,4%, Penderita DM dengan injeksi insulin, yang tertinggi di Kota Denpasar (29,4%), sedangkan yang tidak sama sekali menggunakan insulin di Kota Serang, Manokwari dan Timika. Proporsi penderita DM dengan injeksi insulin < 10 % ada 16 kota, 10% - 20 % (17 Kota) dan > 20% ada 4 Kota (Makassar, Mamuju, Menado dan Denpasar). Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1, sedangkan penderita DM tipe 2 meskipun sebagian besar tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral. Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam. Oleh sebab itu jenis sediaan insulin dan frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Secara umum pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan, yang diberikan sebelum makan. Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, oleh karena itu saat ini tersedia sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH) (Depkes RI, 2005). Selain pengendalian DM dengan diet, olahraga, obat antidiabetes dan insulin, yang paling penting bagi penderita adalah konseling dan pendidikan bagi pasien tentang penyakit DM. Konseling dalam penatalaksanaan diabetes sangat penting sebab diabetes merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan gaya hidup. Konseling diberikan kepada penderita untuk mendapatkan hasil penatalaksanaan diabetes yang maksimal. Edukasi memegang peranan penting agar masyarakat dapat memahami bahaya, tindakan pencegahan, dampak ekonomi, serta pentingnya kepatuhan dalam penanganan penyakit diabetes serta upaya dalam menyadari gejala pra-komplikasinya.
114
Keberhasilan penatalaksanaan diabetes sangat bergantung pada kerja sama penderita dan keluarganya dengan petugas kesehatan. Kepatuhan penderita terhadap program penatalaksanaan atau pengobatan penyakit, dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya tentang penyakit tersebut. Penderita DM yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang DM umumnya dapat mengendalikan perilakunya sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Informasi yang disampaikan tentunya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya. Konsensus Pengelolaan DM tahun 2006 merekomendasikan promosi perilaku sehat untuk penderita DM. Promosi perilaku sehat merupakan faktor penting pada kegiatan pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal dibutuhkan perubahan perilaku. Perlu dilakukan edukasi bagi pasien dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui dukungan tim penyuluh yang terdiri dari dokter, ahli diet, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Tujuan perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah: I) Mengikuti pola makan sehat; 2) Meningkatkan kegiatan jasmani; 3) Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman, teratur; 4) Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data yang ada; 5) Melakukan perawatan kaki secara berkala; 6) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat; 7) Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes; 8) Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada (Sutjahjo A, 2006) Dari hasil menunjukkan bahwa sudah sebagian besar penderita DM yang telah didiagnosis dokter telah melakukan upaya untuk mengobati dirinya, baik dengan diet, olahraga, obat antidiabetik maupun dengan insulin. Upaya pengendalian DM yang paling banyak dilakukan adalah dengan obat antidiabetik, yang kedua dengan diet, kemudian olahraga dan yang terendah dengan insulin. Menurut Dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD, Ahli Endokrinologi dari FKUI, masih kurang dari 50 persen penderita DM yang telah berobat secara teratur. Padahal untuk memperoleh hasil yang optimal dalam proses penanganan pasien diabetes, kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menjadi faktor yang penting. Jika hal ini dilakukan bersama- sama dengan penerapan perilaku hidup sehat, maka bahaya komplikasi dapat dicegah sejak
115
dini sehingga angka harapan hidupnya meningkat (http://www.id.novartis.com/indo/news- detailMultiDiabetes-lnd.html) Kementrian Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak menular (PPTM), telah melakukan upaya pengendalian penyakit Diabetes Mellitus dan Hipertensi, yang ditekankan pada upaya mencegah masyarakat yang sehat agar tidak jatuh ke fase berisiko dengan membangun kesadaran dan komitmen yang tinggi melalui Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Posbindu PTM merupakan bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pengendalian PTM dengan mengajak masyarakat menjadi "CERDIK" dengan melakukan Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara lainnya, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat, Istirahat cukup, dan Kendalikan stress. Saat ini, sebanyak 3.314 Posbindu PTM tersebar hampir di seluruh Indonesia dan akan ditingkatkan lagi di masa mendatang. Direktorat PPTM juga sedang mengembangkan Layanan Terpadu untuk Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Puskesmas dalam menangani berbagai kasus rujukan dari masyarakat melalui revitalisasi Puskesmas. (http://www.id. novartis.com/indo/news-detail-MultiDiabetes-Ind.html)
V.5. Pola Penyakit Tidak Menular pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia. Hasil menunjukkan bahwa penderita Diabetes Melitus yang juga mengalami penyakit Hipertensi proporsinya cukup banyak yaitu 18,2% - 60,7 %, Kota yang tertinggi adalah Bandung dan yang terendah Serang. Proporsi penderita DM dengan hipertensi diatas 50% terdapat di 6 kota yaitu Pekan Baru (60%), Palembang (57,6%), Pangkal Pinang (52,2%), Tanjung Pinang (59,4%), Banndung (60,7 %) dan Surabaya (52,5%). Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian Diabetes Mellitus dengan hipertensi. Frekuensi hipertensi pada penderita DM 2 kali dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian yang utama pada seseorang dengan diabetes, yang disertai oleh beberapa faktor termasuk hipertensi yang mempunyai peran pada tingginya prevalensi penyakit kardiovaskuler (Sowers et.al, 2001). Pada penderita hipertensi dengan DM atau penyakit ginjal kronik target penurunan tekanan darah adalah sistol kurang 130 mmHg dan diastole kurang dari 80 mmHg untuk menghindari risiko komplikasi yang tidak dikehendaki (Paula Hunt, 2002). Pada penderita Diabetes Mellitus, hipertensi berhubungan dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin. Pada Diabetes Mellitus terjadi abnormalitas metabolik seperti hiperglikemia, pembentukan asam lemak bebas
116
berlebih, resistensi insulin menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel yang mempengaruhi sintesis dan degradasi Nitrit oksida (NO). NO berfungsi untuk mempertahankan homeostasis vaskuler, menjaga aliran darah yang adekuat, pengantaran zat nutrien, mencegah trombosis dan diapedesis leukosit. Kondisi tersebut menurunkan bioavailabilitas pembuluh darah yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi dan aterosklerosis (Creager MA, 2003). Koh et.al (2001) menyebutkan bahwa terdapat data epidemiologi yang memaparkan bahwa wanita dengan Diabetes mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan dengan pria penderita DM. Dalam penelitian yang melibatkan 658 pasien Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) ditemukan hipertensi pada 26,3% pada pria dan 32,6% pada wanita (Kumar, 1996). Namun penelitian Adhita (2010) di RSUD. Dr. Moewardi Surakarta, menunjukkan tidak terdapat perbedaan angka kejadian hipertensi antara pria dan wanita penderita DM berusia > 45 tahun. Demikian penderita hipertensi berisiko untuk terjadinya Diabetes Mellitus. Penelitian Trisnawati (2013) menunjukkan bahwa penderita hipertensi berisiko lebih besar untuk menderita diabetes, dengan odds 6,85 kali dibanding yang tidak hipertensi. Penelitian Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,
5 kali lebih besar mengalami diabetes dibanding yang tidak hipertensi. Beberapa literatur mengaitkan
hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu (Zieve, 2012). Risiko diabetes pada penderita hipertensi disebabkan zat angiotensin II. Zat ini dapat menghambat laju aliran darah dalam tubuh sehingga menimbulkan hipertensi. Zat angiotensin II ini juga dapat menghambat pelepasan insulin pada saluran pankreas. Akibatnya penderita hipertensi akan mengalami penyakit diabetes karena tubuh kekurangan insulin untuk mengolah kadar gula dalam darah menjadi energi. Walaupun penderita hipertensi menggunakan obat anti-hipertensi menurunkan tekanan darah, namun penderita hipertensi tetap berisiko menderita diabetes. Disamping itu ada beberapa jenis obat hipertensi yang dapat meningkatkan risiko diabetes terutama bagi yang mempunyai faktor risiko diabetes. Obat hipertensi yang paling berisiko menimbulkan diabetes yaitu penghambat beta dan diuretik, sedangkan yang berisiko sedang yaitu penghambat kanal kalsium. Obat hipertensi yang kurang berisiko menyebabkan diabetes yaitu penghambat reseptor angiotensin atau angiotensin receptor blockers (ARBs) dan enzim pengubah angiotensin atau angiotensin converting enzyme (ACE). Besar kecilnya risiko penggunaan obat hipertensi juga tergantung
117
beberapa faktor, seperti riwayat diabetes dalam keluarga, berat badan, lamanya pengobatan, kenaikan berat badan dan faktor risiko lainnya(http;//artikelkesehatanwanita.com/resiko- diabetes-pada-penderitahipertensi.html Dari 37 Kota yang dianalisis, terdapat sekitar 1,4% - 14,3% penderita DM yang mengalami penyakit jantung koroner. Proporsi penderita DM dengan jantung koroner 10% keatas adalah di Pekan Baru (10%), Palembang (11,9%), Tanjung Pinang (12,5%), Banjarmasin (10%), Mamuju (11,1%) dan yang tertinggi di Sofifi (14,3%). Penderita DM yang tidak mengalami penyakit jantung koroner, terdapat di Bengkulu, Bandar Lampung, Serang, Pontianak, Ambon, Manokwari dan Sorong. Diabetes Mellitus, baik tipe 1 atau tipe 2 merupakan faktor risiko kuat untuk perjalanan penyakit jantung koroner (PJK), penyakit vaskuler perifer atau stroke. Delapan puluh persen kematian pada pasien diabetes diakibatkan oleh aterosklerosis, dibandingkan sekitar 30% pada pasien non diabetes. Rasio risiko relatif penyakit jantung koroner baik laki- laki dan wanita dengan diabetes semakin meningkat, dengan insidens pada pasien Diabetes 2- 4 kali lebih besar dibandingkan dengan non diabetes (Clemmons, 2005; Farkouh ME et all, 2011; Vela BS, 2002). Mekanisme terjadinya PJK pada DM sangat kompleks dan risiko terjadinya aterosklerosis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain hipertensi, hiperglikemia, kadar kolesterol total, kadar kolesterol
low density lipoprotein (LDL), kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL), kadar trigliserida, merokok, latihan fisik yang kurang, jenis kelamin pria, umur (penuaan), riwayat penyakit keluarga dan obesitas ( Grundy SM, et all, 1999). Fungsi tubuh secara fisiologis seperti sistem vaskuler maupun endokrin akan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kronik pada penderita DM tipe 2 seperti PJK. (Hogikyan RV et al, 2003). Namun pada wanita sebelum menapouse mempunyai risiko lebih rendah daripada pria karena hormon estrogen endogen yang mempunyai efek protektif terhadap kejadian PJK (Jick H, 1983). Penderita DM di beberapa daerah ada yang menderita penyakit Gagal Jantung dengan proporsi 1,4% - 5% yaitu di Medan (1,4%), Palembang (1,7%), Bandar Lampung (3,4%), Jakarta (0,3%), Surabaya (1,4%), Samarinda (1,5%), Makassar (1,8%), gorontalo (2,1%), Kupang (4%) dan tertinggi di Pekan Baru (5%). Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko independen terhadap perkembangan gagal jantung. Beberapa penelitian menunjukkan risiko gagal jantung sekitar 2 kali lebih tinggi pada laki-laki dan 5 kali lebih tinggi pada wanita yang mengalami diabetes. Hubungan ini bahkan lebih meningkat pada pasien dewwasa muda
118
(< 65 tahun), menjadi 4 kali dan 8 kali lebih tinggi pada laki-laki dan wanita dengan diabetes dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes (Baliga, 2009). Kejadian stroke pada penderita DM menunjukkan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan penyakit gagal jantung, tersebar di 31 kota dengan proporsi 1,8% - 13,6%, dimana Kota Palembang yang tertinggi. Proporsi stroke pada penderita DM lebih 10% ada 4 kota (Palembang, Pangkal Pinang, Jogjakarta dan Merauke), sedangkan yang 5 - 10% ada 17 Kota dan < 5% ada 10 kota. Hasil tersebut sebagaimana berbagai penelitian sebelumnya tentang kejadian stroke pada penderita DM. Diabetes Mellitus meningkatkan 2-3 kali risiko stroke iskemik serta kecacatan dan mortalitas. Pada stroke akut, 13-36% diantaranya adalah penderita diabetes, 6- 42% tidak mengetahui telah menderita Diabetes Mellitus sebelum serangan (DM laten). Woo et al. mendapatkan diabetes laten pada stroke sebesar 5,3% dan Kiers et al. menemukan sebanyak I 1,4%, sedangkan Misbach melaporkan bahwa faktor risiko terjadinya stroke pada diabetes melitus adalah 17,3% (Indiyarti, Riani, 2003). Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko independen terjadinya stroke iskemik, tetapi tidak terjadi peningkatan risiko stroke hemoragik pada penderita Diabetes Mellitus. Pada penderita DM terjadi kegagalan peningkatan cerebral blood flow sebagai respons terhadap rangsangan vasodilator, yang disebabkan neuropati otonom diabetik dan atau kelainan endotel yang mengakibatkan menurunnya faktor vasodilator endotelial seperti nitric oxide. Pada penderita Diabetes Mellitus juga terjadi peningkatan viskositas darah, penurunan deformabilitas eritrosit, peningkatan adesi eritrosit ke sel endotelial, peningkatan adhesi platelet, peningkatan faktor von Willebrand dan fibrinogen serta penurunan kadar plasminogen aktivator jaringan (Nadler Jl et all, 1992). Diabetes Mellitus menyebabkan progresivitas stroke, meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Hal ini disebabkan perubahan post iskemik cerebral blood flow akibat kegagalan autoregulasi, efek hiperosmolar glukosa darah, dan interferensi dengan aliran darah kolateral pada daerah peri iskemik ( Kiers L, et al, 1992). Data gagal ginjal di Riskesdas 2013, merupakan penyakit gagal ginjal kronis, berdasar pemah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut oleh dokter. Penderita DM yang mengidap penyakit gagal ginjal, terdapat di 14 kota dengan proporsi 0,6% - 4,3%, dari yang tertinggi yaitu di Gorontalo (4,3%), Lombok (3,8%), Bandung (3,6%), Denpasar (2,9%), Jayapura (2,9%), Pangkal Pinang (2,2%), Makassar (1,8%), Samarinda (1,5%), Banda Aceh (1,4%), Medan (1,4%), Kupang (1,4%), Jogjakarta (1,3%), Surabaya (0,7%) dan Jakarta (0,6%).
119
Prevalensi gagal ginjal pada penderita DM sebesar 0,6% - 4,3%, yang terdapat di 14 kota pada analisis ini, menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan prevalensi gagal ginjal penduduk Indonesia umur > 15 tahun, dimana angka provinsi berkisar 0,1 -0,5%, sedangkan angka nasional 0,2%. Adanya gagal ginjal yang dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin dan ureum serum ditemukan berkisar 2 % - 7,1% penderita DM. Adanya proteinuria yang persisten tanpa adanya kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik. Proteinuria ditemukan pada 13,8% sampai 54,8% penderita DM (Soeparman, 1994). Menurut Coresh J (2003) dan Middleton RJ (2006), nefropati diabetik merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal, proporsinya berkisar 15-23%, sedangkan sebanyak 45% pasien yang menjalankan hemodialisis adalah pasien diabetes sebagai penyebab gagal ginjal terminal. Kondisi ini menunjukkan bahwa prevalensi penderita DM yang mengalami gagal ginjal di beberapa kota lebih sedikit. Namun demikian, prevalensi yang rendah tidak berarti bahwa kejadian gagal ginjal penderita DM di Indonesia lebih rendah, tetapi kemungkinan saja bisa terjadi karena fatalitas kasus kematian akibat gagal ginjal lebih tinggi di Indonesia, sehingga prevalensinya menjadi rendah. Kondisi ini bisa disebabkan oleh masih rendahnya akses pelayanan kesehatan, teknologi sarana diagnostik dan kemampuan pelayanan kesehatan dalam mengobati penyakit. Nefropati diabetik merupakan komplikasi kerusakan pembuluh darah akibat tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes. Nefropati diabetik adalah suatu penyakit menahun dari DM yang ditandai dengan mikro atau makroproteinuri (mulanya intermitten kemudian persisten) disertai penurunan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan tekanan darah yang peijalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal (Rustamaji, 2014). Penyakit batu ginjal dapat menyertai penderita Diabetes Melitus yang terjadi di 20 Kota dengan proporsi 1,4% - 14,3%. Lima daerah yang tertinggi proporsi penderita DM dengan penyakit batu ginjal adalah Sofifi (14,3%), Kupang (8%), Jogjakarta (7,7%), Gorontalo (6,4%) dan Surabaya (5,8%). Dari hasil analisis tersebut, prevalensi batu ginjal pada penderita DM yang terdapat di 20 kota tahun 2013 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi batu ginjal pada penduduk Indonesia umur > 15 tahun baik di level provinsi (proporsinya 0,1 -1,2%) maupun nasional (0,6%). Penelitian Michel Daudon dkk (2006), menunjukkan terdapat hubungan signifikan peningkatan risiko nefrolitiasis (batu ginjal), khususnya batu asam urat pada pasien Diabetes Mellitus. Kondisi ini disebabkan resistensi insulin dan karakteristik dari sindrom metabolik
120
pada diabetes tipe 2, menghasilkan pH urin rendah melalui gangguan ammoniagenesis ginjal. Adanya pH urin yang rendah merupakan faktor utama pembentukan batu asam urat. Penelitian tersebut menganalisis distribusi komponen utama batu, sebanyak 2.464 pasien yang terdiri dari 272 (11%) pasien dengan diabetes tipe 2 dan 2.192 tanpa diabetes. Diperoleh hasil, proporsi batu asam urat pada pasien diabetes tipe 2 sebanyak 35,7% dan 11,3% pada pasien tanpa diabetes tipe 2 (P <0,0001). Pembentukan batu asam urat pada pasien dengan diabetes tipe 2 secara signifikan lebih tinggi daripada pembentukan batu kalsium (27,8 vs 6,9%; p <0,0001). Hasil analisis ini, diteliti penyakit tidak menular yang banyak menyertai penderita DM yaitu penyakit hipertensi, jantung koroner dan stroke. Pola penyakit tidak menular pada penderita DM yang paling banyak adalah menderita 1 jenis penyakit tidak menular yaitu hipertensi, dimana proporsinya berkisar 66,7% 100%. Kota dimana seluruh penderita DM (100%) mengalami hipertensi adalah Bengkulu, Bandar Lampung, Serang, Pontianak, Palangkaraya, Palu, Kendari, Kupang, Ambon, Sofifi, Manokwari dan Sorong. Penderita DM yang disertai hipertensi dan jantung koroner (2 penyakit) cukup banyak, proporsinya 3,3% - 33,3%, terdapat di 23 kota, dimana 5 daerah yang tertinggi adalah Mamuju (33,3%), Timika (20%), Makassar (19%), Palembang (17,6%) dan Padang (16,7%). Penderita DM dengan 3 penyakit tidak menular (hipertensi, Jantung Koroner dan stroke), terdapat di 13 kota, yang tertinggi di daerah Mataram (11,1%) dan 8,3% di Pekan Baru dan Jambi. Pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam jangka watu yang lama, terjadi hiperglikemia atau peningkatan kadar gula dalam darah yang dapat memicu terjadinya kerusakan serius beberapa sistem organ, khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO, 2008). Resistensi insulin, hiperinsulinemia, toleransi glukosa yang lemah meningkatkan kadar trigliserid plasma dan menurunkan kadar kolesterol berdensitas tinggi yang dihubungkan dengan meningkatnya risiko penyakit jantung koroner. Terdapat tiga penyakit besar yang berhubungan, yaitu DM tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung koroner dimana etiologi dan jalur klinisnya dikaitkan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia (Asdie, 1993). Gangguan mental emosional pada penderita DM, menunjukkan sebagian besar tidak mengalami gangguan yaitu proporsinya 57,1% - 100%. Gangguan mental yang dialami penderita DM, sebagian besar adalah gangguan mental ringan, proporsinya bekisar 2,3% - 28,6%, 5 Kota yang tertinggi secara berurutan adalah Sofifi (28,6%), Makassar (23,2%), Jogjakarta (19,2%), Surabaya (17,3%) dan Palembang (16,9%). Gangguan mental sedang, berkisar 1,4% - 14,3%, prorporsinya yang tertinggi di Sofifi (14,3%), kemudian di Lombok (11,5%) dan Gorontalo (10,6%). Hanya beberapa Kota yang memiliki penderita DM dengan
121
gangguan mental emosional berat yaitu di Medan (1,4), Padang (3%), Pangkal Pinang (6,5%), Jakarta (1,2%), Palu (2,3%), Menado (1,6%), Gorontalo (2,1%), Lombok (1,9%) dan Jayapura (2,9%). Gangguan mental emosional dalam Riskesdas 2013 adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa psikosis, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Gangguan mental emosional dalam Riskesdas, masih digolongkan dalam kecemasan. Kecemasan
{ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality
Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/S/7////mg of Personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawaii, 2006), Hasil ini serupa beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian Ferris (2004) dalam Lumbatobing (2004), menunjukkan dari 391 orang, 26% pendeita DM mengalami kecemasan terkait dengan rawat inap di RS. Data Badan Kesehatan Dunia didapatkan 27% penderita kecemasan terdapat pada pasien Diabetes, sedangkan penelitian David (2004) terdapat 48% penderita Diabetes yang mengalami kecemasan akibat penyakitnya Penelitian Susilowati (2008) di RSU. Sudirohusodo Makasar, menunjukan hubungan signifikan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2. Orang yang mengalami stres memiliki risiko 1,67 kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak mengalami stres. Penelitian Murdiningsih (2013) pada penderita DM di Puskesmas Banyuanyar, menujukkan hubungan signifikan antara kecemasan dan kadar glukosa darah. Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres. Produksi kortisol yang berlebih akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah turun, yang kemudian menyebabkan individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Hormon tersebut membuat banyak energi tersimpan dimana glukosa dan lemak tersedia untuk sel. Namun insulin tidak mampu untuk menyimpan energi ekstra ke dalam sel sehingga glukosa menumpuk dalam darah, yang menyebabkan diabetes (Mitra, 2008). Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan syaraf simpatoadrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa darah dengan
122
memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat penggunaan glukosa di sel-sei otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan glukosanya dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah akan lebih banyak tersedia untuk metabolisme otak, yang penyerapan glukosanya tidak bergantung pada insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan asam lemak sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan mobilisasi asam lemak dari jaringan (Depkes RJ, 2005). Indeks massa tubuh (IMT) penderita DM menunjukkan, lebih banyak dalam batas normal. Penderita DM dengan indeks masssa tubuh normal proporsinya berkisar 34,8% - 64,3%. Lima kota yang tertinggi penderita DM dengan IMT yang normal adalah Bandar Lampung (64,3%), Padang (63,6%), Bengkulu (63,3%), Medan (60,6%) dan Serang (57,1%). Namun jumlah penderita DM yang obesitas lebih banyak daripada yang gemuk dan kurus. Proporsi penderita DM dengan obesitas yaitu 10,4% - 66,7%. Kota yang jumlah penderita DM obesitasnya lebih banyak dari kategori yang lain adalah Pangkal Pinang (45,5%), Mataram (40%), Manado (48,3%), Jayapura (45,7%), Timika (47,1%) dan yang tertinggi Manokowari (66,7%). Penderita DM dengan indeks massa tubuh yang kurus, lebih sedikit dibandingkan kategori yang lain, proporsinya sebesar 1,4% - 20,8%, dimana 5 Kota yang tertinggi adalah Lombok (20,8%), Palangkaraya, Mamuju dan Ambon masing-masing 11,
1% dan Denpasar (9,7%). Proporsi obesitas pada penderita DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan
toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai. Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin. Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pendekatan khusus. Obesitas dan diabetes meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK). Penurunan 510 % dari berat badan dapat memperbaiki sindrom dismetabolik dan menurunkan risiko PJK secara bermakna. Pengelolaan obesitas terutama ditujukan pada perubahan perilaku pola makan dan peningkatan kegiatan jasmani. Apabila tidak cukup, maka pendekatan farmakoterapi (misal sibutramine dan orlistat) atau terapi bedah, dapat merupakan pilihan (Perkeni, 2006). Penelitian Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami obesitas mempunyai risiko 2,7 kali lebih besar terkena DM dibandingkan dengan yang tidak mengalami obesitas. Penelitian Yanti (2010) di RSUP. Karyadi Semarang, menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko terjadinya PJK pada DM tipe 2 ( OR=4,027; 95% Cl= 1,915-8,469).
123
Pengaruh IMT terhadap DM ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas dalam sel, sehingga menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan lemak (TeixeriaLemos dkk, 2011). Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi PJK pada DM bersama-sama dengan kurangnya aktifitas fisik, dislipidemia dan hipertensi (Wittles EH, 1992). Penelitian Institut of Cardiovasculer and Medical Sciences, University of Glasgow, di Inggris menunjukkan bahwa orang dewasa ras Asia dan kulit hitam lebih mudah terkena diabetes meski memiliki berat badan yang lebih rendah. Berdasarkan perbandingan jumlah penderita diabetes berdasarkan berat badan dan etnis, orang dengan ras Negroid dan Asia lebih banyak 2 kali lipat dibandingkan dengan ras Kaukasia. Orang kulit putih yang memiliki Body Mass Indeks (BMI) > 30, memiliki risiko terkena diabetes yang sama dengan orang Asia Selatan dengan BMI 22, orang kulit hitam yang memiliki BMI 24, serta orang Cina yang memiliki BMI 24 (untuk wanita) dan BMI 26 (untuk pria). Kesimpulannya, ras non kulit putih memiliki risiko diabetes 2 kali lebih banyak daripada orang kulit putih (http://innr. tempo,
co/read/news/2014/0 7/1 1/060592149/ras-asia-dan-kulit-hitam-rentan- lerkena-diabetes).
124
B AB VII KESIMPULAN DAN SARAN VII.1 . Ke s impulan
1. Prevalensi penyakit Diabetes Mellitus berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, proporsinya berkisar 0,5% - 5,3%, yang tertinggi di Kota Surabaya, dimana sebagian besar kota yaitu 26 kota, menunjukkan hasil cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional (1,5%). Prevalensi DM secara ratarata regional, lebih tinggi di kota-kota regional Jawa (3.5%), Kalimantan (2,6%), Sulawesi (2,5%), Sumatera (2,3%), dibandingkan di Papua-Kepulauan Maluku (1,8%) dan regional Bali- Nusatenggara (1,3%). 2. Determinan status sosial ekonomi pada penderita Diabetes Mellitus berdasarkan hasil diagnosis dokter penduduk di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar penderita berumur 45 tahun keatas, beijenis kelamin perempuan (50,6% - 88,9%), pendidikan tammat SMA/MA (24.1 -54,5%), tidak bekerja (50% - 77,8%), pekerjaan utama Wiraswasta (36,7% -70%). status ekonomi teratas (35,5% - 85%), status menikah (61.5% -100%) dan sebagai kepala RT (41,2% -83,3%). Berdasarkan lokasi tempat tinggal sebagian besar penderita DM berada di lokasi perkotaan (62,5%- 100%). 3.
Pola perilaku pada penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota wilayah pengembangan ekonomi Indonesia sebagian besar belum berperilaku hidup sehat, yang ditunjukkan masih kurangnya konsumsi sayur dan buah (85% - 100%), frekuensi konsumsi makanan berisiko dan makanan olahan tepung yang masih sering yaitu makanan berisiko. 1 - 6 kali seminggu (44,4% - 76,9%) dan ≥ 1 kali/hari berkisar 3.2% - 46,4%. makanan olahan tepung, 1 - 6 kali seminggu (43,8% - 77,8%) dan ≥ 1 kali/hari berkisar 2,1% - 21,9% serta masih tingginya perilaku merokok setiap hari (4% - 50%). Namun demikian untuk perilaku aktifitas fisik, proporsinya sudah lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan yang tidak aktif (52,9% - 92%).
4.
Perilaku konsumsi makanan buah dan sayur yang kurang, merupakan masalah sebagian besar penderita DM di semua wilayah, perilaku merokok setiap hari lebih banyak di regional Papua - Kepulauan Maluku, perilaku makanan berisiko ≥ 1 kali/hari lebih tinggi di regional Kalimantan. Jawa dan Sulawesi, sedangkan
125
perilaku konsumsi makanan olahan tepung terigu > 1 kali/hari, lebih banyak di regional BaliNusatenggara, Kalimanta dan Jawa. 5. Upaya pengendalian DM pada penderita di 37 kota wilayah pengembangan ekonomi di Indonesia, lebih banyak dilakukan dengan obat antidiabetik, (55,6% - 88,9%) dan diet (51,4% - 78%), sedangkan dengan olah raga masih kurang (16,7% - 60%), demikian pula dengan injeksi insulin (3% - 29,4%). Pengendalian DM dengan obat antidiabetik, baik secara tunggal maupun kombinasi, lebih banyak dengan kombinasi dengan satu cara, proporsinya yaitu 10,7% - 50% dibandingkan dengan kombinasi dengan 2 cara yaitu 11,4% - 38,7% dan 3 cara yaitu 1,3% - 14,7%. Pengendalian DM yang hanya menggunakan obat antidiabetik berkisar 3,2% 44,4% dan yang tidak melakukan pengendalian penyakitnya terdapat hampir disemua kota, proporsi berkisar 3,2% -18,2%. 6. Pola penyakit tidak menular pada penderita Diabetes Mellitus sebagian besar menderita penyakit hipertensi, jantung koroner dan stroke. Proporsi penyakit tidak menular pada penderita DM yaitu hipertensi sebesar 18,2% - 60,7 %, jantung koroner sebesar 1,4% -14,3%, stroke sebesar 1,8% - 13,6%, gagal jantung sebesar 1,4% - 5%, gagal ginjal sebesar 0,6% 4,3% dan batu ginjal 1,4% -14,3%.
V1I.2. Saran Adapun rekomendasi yang bisa diberikan dalam analisis ini adalah : 1.
Dari hasil menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Mellitus berdasarkan diagnosis dokter lebih rendah dibandingkan dengan hasil pemeriksaan darah Riskesdas 2013, kondisi ini mengindikasikan bahwa masih banyak penderita yang belum terdiagnosis dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan penemuan kasus (case-finding) DM di
masyarakat oleh tenaga kesehatan dengan upaya penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat. Upaya penemuan kasus dan pendidikan kepada masyarakat terutama pada wilayah yang masih rendah prevalensi DM seperti di sebagian regional Papua-Maluku (Sofifi, Manokwari, Merauke dan Timika), regional Sulawesi (Mamuju dan Kendari), dan regional BaliNusatenggara (Lombok dan Kupang) dan regional Sumatera (Jambi, Bandar Lampung dan Serang). 2.
Kejadian komplikasi penyakit akibat Diabetes Mellitus masih tinggi, oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat melalui promosi kesehatan, sehingga tercipta upaya
126
mandiri individu dan masyarakat, didukung oleh program pelayanan kesehatan sehingga bahaya komplikasi dapat dicegah sejak dini dan meningkatkan harapan hidup yang berkualitas. 3.
Analisis ini dapat dimanfaatkan pada wilayah kota provinsi di Indonesia untuk menentukan kebijakan serta perencanaan program promosi untuk menekan perilaku berisiko masyarakat terkait dengan penyakit Diabetes Mellitus. Upaya promosi kesehatan untuk penderita DM di wilayah pengembangan ekonomi Indonesia disesuaikan dengan permasalahan pola perilaku di wilayah tersebut. Upaya ini untuk menekan prevalensi faktor perilaku berisiko di masyarakat seperti konsumsi sayur dan buah yang kurang, masih tingginya konsumsi makanan berisiko dan olahan tepung terigu dan perilaku merokok yang bertanggung jawab dalam peningkatan moriditas dan mortalitas pada penderita DM. Sesuai dengan permasalahan pola perilaku yang tidak sehat penderita DM berdasarkan hasil analisis, maka upaya promosi larangan merokok lebih ditekankan pada wilayah PapuaKepulauan Maluku, promosi menghindarkan makanan berisiko di wilayah Kalimantan, Jawa dan Sulawesi, sedangkan promosi mengurangi makanan olahan tepung di wilayah BaliNusatenggara dan Kalimantan.
127
BAB VIII UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya karena telah menyelesaikan laporan penelitian dengan tepat waktu dengan judul “ Pola Perilaku dan Penyakit Tidak
Menular Pada Penderita Diabetes Mellitus di 37 Kota Wilayah Pengembangan Ekonomi Indonesia". Laporan ini merupakan bagian dari penelitian DIPA 2013 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih banyak kepada yang terhormat Bapak Prof. dr. Chandra Yoga Aditama,Sp.P(K), MARS, DTM&H, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI atas terlaksananya penelitian DIPA 2014. Terima kasih pula Bapak Agus Suprapto, drg., M.Kes, selaku Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, atas segala perhatian, kesempatan dan dukungan yang diberikan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada: 1. Prof. DR. Rika Subariati, dr. SKM, atas bantuan dan bimbingannya dalam analisis penelitian dan buku yang diterbitkan. 2. Teman-teman di Manajemen Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI, terima kasih atas segala perhatian dan bantuannya untuk menyediakan data Riskesdas yang kami gunakan pada analisis ini. 3. Ketua PP1 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Bety Rosihermiatie, dr. MSPH, P.hD atas segala bimbingan dan perbaikan dalam analisis ini. Kami sadari tanpa bantuan dan dukungan Bapak dan Ibu, maka penelitian tidak akan beijalan lancar. Sebagai peneliti yang masih belajar terus untuk melaporkan kegiatan penelitiannya, maka laporan penelitian ini juga tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon masukan dan bimbingannya sehingga akan lebih menyempurnakan. Semoga laporan penelitian laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemegang kebijakan, fasilitas kesehatan dan masyarakat umumnya sebagai untuk memberikan gambaran yang tepat dalam penelitian skala regional tentang penyakit Diabetes Mellitus terkait pola perilaku komsumsi dan pola penyakit yang diderita, yang bermanfaat rangka perencanaan dan pengambilan kebijakan selanjutnya, untuk menurunkan prevalensi Diabetes Mellitus di masyarakat melalui upaya pencegahan dan peningkatan pelayanan kesehatan.
128
BAB IX DAFTAR PUSTAKA
Anonym. The Cost of Diabetes, 2014. (http://www.diabetes.org/advocacy/news-events/cost- ofdiabetes.html). Diakses 15 September 2014. Anonym, 2014. Ras Asia dan Kulit Hitam rentan Terkena Diabetes, (http://www.tempo.co/read/news/2014/07/11/060592149/ras-asia-dan-kulit-hitam-rentanterkena-diabetes) Diakses 3 Oktober 2014. Anonym, 2014. Resiko Diabetes Pada penderita hipertensi. http://artikelkesehatanwanita.com resikodiabetes-pada-penderita-hipertensi.html. Diakses 3 Oktober 2014. Anonyim, 2012. Menu Diet Diabetes Menurut Piramida Makanan Diabetes. http://menudietdiabetes.com/author/admin/. Diakses 22 Oktober 2014. Anonym,2014. Diabetes Lalai, Gagal ginjal Mengintai. http://udoctor.co.id/udoctor3/includes/broadcast/Diabetes_lalai_ok.pdf. Diakses 29 Oktober 2014. Atmawikarta, Arum, 2009. Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi. www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10657/2373. Diakses 17 September 2014. Adhita, Pramaswida Mahastry; Pramuningtyas, Ratih, 2010. Perbedaan Angka Kejadian Hipertensi antara Pria dan Wanita Penderita Diabetes Melitus Berusia > 45 Tahun. Biomedika Vol.2 No.2. Aronow Ws, Kaplan NM. 1983. Smoking. In Editor Kaplan NM, stamler J. Prevention of Coronary Heart Disease, Practical Management of The Risk Factors. WB Saunders Company. Philadhelpia. p.5159. American Diabetes Association, 2008. Standards of Medical Care in Diabetes - 2008 (Position statement). Diabetes Care ; 31 (Suppl. 1 ):S 12-54. Atanasia, Fritzie, 2014.Merokok dan Dibetes. http://mvw.tanyadok.com/kesehatan/merokok-dan-diabetes. Diakses 22 Oktober 2014. ASH fact sheet, 2012. Smoking and Diabetes. Action on Smoking and Health. www.ash.org.uk . June 2012; 23 : 1-5. Badawi, 2009. Melawan Dan Mencegah Diabetes. Araskah, Jogjakarta. Boudina S, Abel ED, 2007. Diabetic Cardiomyopathy Revisited. Circulation 115 : 3213 - 3223. Bustan. 2010. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT.Rineka Cipta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2007, Laporan Nasional 2007. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, 2010. Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2010. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2013. Jakarta. Bintanah, Sufiati; Handarsari, Erma, 2012. Asupan Serat dengan Kadar Gula Darah, Kadar Kolestrol Total dan Status Gizi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Roemani Semarang. Seminar Hasil - Hasil Penelitian LPPM Unimus, ISBN : 978-602-18809-0-6. Bogda Me Wright, MD.2008. Paduan Diabetes Melitus. Edisi Baru. Jakarta: PT Pustakakarya.
129
Baliga V, Sapsford R. Review article : Diebetes Mellitus and Heart Failure- an Overview of Epidemiology and Management. Diabetes and Vascular Disease Research, 6 : 164 - 171. Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2009. Garut Alternatif Pangan yang Potensial. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No. 5, Bogor. Hal: 18-19. Breyer JA, 1992. Diabetic Nephrophaty in Insulin- Dependent Patients. Am J Kidney Dis; 2D : 533-547. Badan Pusat Statistik, 2013. PDRB, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kota di Indonesia Tahun 2008 -2012. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2014. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2012. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=l &tabel=l&daftar=I &id_subyek=40¬ab =2. Diakses 10 November 2014. Creager MA, Luscher TF, 2003. Diabetes and Vasculer Disease : Patophysiology, Clinical Consequences and Medical Therapy. Part I. 108 : 1527 -1532. Clemons DR, 2005. Diabetes Mellitus : An Important Cardiovasculer Risk Factor. Principles ofMolekular Cardiology. Human Press, New Jersey.p. 563 -574. Capes S, Hunt D, Malmberg K, Gerstein HC, 2000. Stress Hyperglycemia and increased risk of Death after Myocardial Infarction in Patients with and without Diabetes : a Systematic Overview. Lancet 2000. 3555 : 773 -778. Chan JCN, Deerochanawong C, Shera AS, et al, 2006. Role of Metformin in The Initiation of Pharmacotherapy for Type 2 Diabetes: an Asianpasific Perspective. Diabetes Research and Clinical Practice. Coresh J, Astor BC, Greene T, 2003. Prevalence of Chronic Kidney disease and decreased kidney fungtion in the adult US population. Third National Health and Nutrition Examination survey. Am.J. Kidney Dis. 41:1-12. Depkes RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional 1995, Perilaku merokok di Indonesia, Jakarta. Direktur Gizi Masyarakat Diijen BinKesMas, DepKes RI, 2003. Diabetes dan Pencegahannya. Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Depkes RI, 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Diijen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. David G, Risk Factors Diabetic Foot Ulcers and Prevention, Diagnosis, and Classification, University of Texas Health Science Center at San Antonio and the Diabetic foot Research Group, 1998, San Antoni, Texas. Daudon M; Traxer O, Conort P, Lacour B, Jungers P, 2006. Type 2 Diabetes increase the Risk for Uric Acis Stone. American Society of Nephrology, www.iasn.org. Diakses 29 Oktober 2014. Endi, 2012. Dampak Ekonomi Penyakit Diabetes Sangat Luar Biasa. http://www.beritabatavia.com/detail/2012/08/09/22/129l3/danipak.ekonomi.penyaki t.diabetes.sangat.luar.biasa#.VBZqd2cmXILi. Diakses 15 September 2014. Enervi, 2014. Panduan Makan Daging Bagi Penderita Diabetes. http://www.drinkenervi.com/faq/234. Diakses 22 Oktober 2014. Ekeruo WO, Tan YH, Young MD, Dahm P, Maloney ME, Mathias BJ, Albala DM, Preminger GM, 2004.
Metabolic risk factors and the impact of medical therapy on the management of nephrolithiasis in obese patients. J Urol 172: 159-163 Farkouh ME, Fuster V, Rayfield EJ, 2011. Diabetes and Cardiovascular Disease. Hurst’s The Heart, 13th ed, McGraw-Hill, New York.
130
Filmer D. And Pritchett L. 1997, Child Mortality and Public Spending on Health: How Much Does Money Matterl, World Bank. Fanarow GC, 2005. An Approach to Heart Failure and Diabetes Mellitus. Am J Cardiol; 96 [suppl]: 47E-52E. Global status report on noncommunieable diseases 2010, Geneva, World Health Organization ,2011. Grundy SM, Benjamin IJ, Burke GL, et all, 1999. Diabetes and Cardiovaskuler Disease : A Statement for Healthcare Profesionals from the Heart Association. Circulation 100 : 1 1 3 4 - 11 46 . Garcia JM, Goldenthal MJ, 2005. Mitocondria and The Heart. Springer, New Jersey, p. 197- 218. Green RJ, Haris ND, Goodyear LL, 1993. Pathology and Therapeutikcs for Pharmacist: A Basic for Clinical Pharmacy Practice. Chapman and Hill London: 409 -415. Hogikyan RV, Halter BJ. 2003. Aging and Diabetes. In Editor Porte D Jr et al. Ellenberg & Rifkin’s. Diabetes Mellitus, Sixth Edition McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.p.415-424. Haire-Joshu D & Thomas J, 2005. Gambling with addiction: Dangerous beliefs about smoking and diabetes. Diabetes Voice Smoking and diabetes special issue, 2005. 50: 15-18. HarkL, Deen D Jr J999. Taking a Nutrition History: a Practical Approach for Family Physicians. Am Fam Physician ;59:1521-8,1531-2. Hsueh WA, Anderson PW, 1992. Hypertension, the endothelial cell, and the vascular complications of diabetes mellitus. Hypertension 1992; 20: 253-63. Himawan, 2012. Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi. http://himawanpras67.blogspot.eom/2012/11/pembangunan-ekonomi-danpertumbuhan_15.html. Diakses 1 November 2014. Hawaii, D, 1988. Manfaat Pemeriksaan MMPI Sebagai Penunjang/Pelengkap Diagnosis Kliniis Ciri/Gangguan Kepribadian (AKSIS 2, PPDGJ-H,) Bagian 1, dalam Majalah Psikiatri, Tahun XXI No. 4 Desember 1988. Irawan, Puguh B. dan Romdiati, Haning. (2000) Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Dalam Presiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (Editor Ananto Kusuma Seta, Moertini Atmowidjoyo, Sumali M. Atmojo, Abas B. Jahari, Puguh B. Irawan, Tahlim Sudaryanto). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Cetakan Pertama, hal 193-243. Irawan PB. 1999. Analisis Perkembangan dan Dimensi Kemiskinan. Jakarta: BPS-UNDP. Mimeo. Irawan, Dedi. 2010. Prevalensi dan Fakior Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007). Thesis Universitas Indonesia. Jakarta. Indiyarti, Riani, 2003. Dampak Hipergikemia Pada Kelangsungan Hidup Penderita Stroke. Jurnal KedokterTrisakti September-Desember 2003, Vol.22 No.3. Hal: 105-109. Juanita, 2002. Kesehatan dan Pembangunan nasional. Adminstrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM USU. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3737/] fktn- juanita2.pdf. Jick H, 1983. Estrogen and Sex. In Editor Kaplan NM, stamler J. Prevention of Coronary Heart Disease, Practical Management of The Risk Factors. WB Saunders Company. Philadhelpia P. 139-145 Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta.
131
Kementerian Kesehatan. 2010. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus. Jakarta. Koch, K. K. 2001. Vascular Effects of Estrogen in Type II Diabetic Postmenopausal Women dalam Journal of the American College of Cardiology. Elsevier Science. USA. p:1409. Kumar, K. M. P., 1996. Gender Difference in Diabetes Mellitus. Department of Endocrinology and Metabolism, M.S. Ramaiah Medical College Hospital, Gokula Extension Int. J. Diabetes. Dev. Countries. Vol.16.
India. p:103. Kalcare, 2014. Pola Makan Penyandang Diabetes. https://www.kalcare.co.id/idlD/Article/HealthNews/carbohvdrates-and-fiber-for-diabetes-type-2diet?gclid=CNTE0e33wcECFU4mjgodamEArA#. Diakses 23 Oktober 2014. Kiers L, Davis SM, Larkins R, Hopper J, Tress B, Rossiter SC, et al, 1992. Stroke topography and outcome in relation to hyperglycaemia and diabetes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1992: 55: 263-70. Kumiasih, Pebriyanti, 2011. “Janda, Stigma dan Budaya Patriarki. Surat Kabar Harian Kabar Indonesia, edisi 5 Juni 2011. Source: http://www. kabarindonesia.com/berita. php?pii=12&jd =Janda%2C+Stigma+dan+Budaya+Patriarki&dn=20110605083817. Lumbantobing, 2004, Bencana Peredaran Darah di Otak, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Masuku, Dahyar, 2011. Pengaruh Pembangunan Ekonomi terhadap Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat. FKM Universitas Hasanuddin. http://dahyannasuku82.blogspot.com/2011 /12/pengaruh~pembangunan-ekonomiterhadap.html. Diakses 13 Agustus 2013. Mansyur, Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rakhmi et all, 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. Hal: 580-588. Mayhan GW, 2001. Diabetic Vascular Disease. Heart Physiology and Pathophysiology, 4th ed. Academic Prss, Massachusetts : 1011 -1030. McFarlane SI, Baneiji M, Sowers JR, 2001. Insulin Resistance and Cardiovaskuler Disease. J Clin End Met; 86 (2): 713 -718. McGuire KD, 2012. Diabetes and Cardiovascular System. Braunwald’s Heart Disease, 9th ed, Elsevier, Philadelphia: 1392- 1409. Masoudi AF, Inzucchi SE, 2007. Diabetes Mellitus nd Heart Failure : Epidemiology, Mechanisms and Pharmacotherapy. Am J Cardiol, 99 (suppl) :113B-132B. Mitra, Analava, 2008. Diabetes and Stress: A Review. Etnho-Med 2(2) 2008: hal 131-135. Mahatmi DR, 2014. Sarasehan Sehati Bicara, Bahaya Komplikais Diabetes, Hipertensi dan gagal Jantung. Novartis Indonesia. hup://www.id.novartis.com/indo/news-detail- MultiDiabetes-Ind.html. Diakses 3 Oktober 2014. Murdiningsih DS; Ghofur GGA, 2013. Pengaruh Kecemasan Terhadap Kadar glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Puskesmas Banyuanyar Surakarta. Talenta Psikologi Vol 2 No 2 Agustus. 2013. Marsono, Yustinus, 2008. Prospek Pengembangan Makanan Fungsional. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi, Vol. 7 No. 1 April 2008. Hal: 19-27. Muchlisin, Ahmad, 2014. Bahaya Mie Instan yang Perlu Diwaspadai. http://mediskus.com/nutrisi/bahayamie-instan.html. Diakses 24 Oktober 2014. Middleton RJ, Foley RN, Hegarty J., 2006. The Unrecognized Prevalence of Chronic Kidney Disease in Diabetes. Nephrol Dial Transplant. 21:88-92. Mokdad AH, Ford ES, Bowman BA, Dietz WH, Vinicor F, Bales VS, Marks JS, 2003. Prevalence of obesity, diabetes, and obesity-related health risk factors, 2001. JAMA 289: 76-79,
132
Meydan N, Banitca S, Caliskan S, Camsari T, 2003. Urinary stone disease in diabetes mellitus. Scand J Urol Nephrol 37: 64—70. Massary S, Feinstein, Goldstein D, 1979. Early Dialysis in Diabetic Patients with Chronic Renal Failure, Nephron 23:2 -5. Nesto RW, 2011. Heart Failure in Diabetes Mellitus. Up To Date 2011. www.uptodate.com. Nawawi, Qalbinur, 2013. Waspada Penderita Diabetes di Indonesia Meningkat Tiap Tahunnya. http://health.okezone.com/read/2013/12/29/482/918839/waspadapenderita-diabetes-di-indonesia-meningkat-tiap-tahunnya. Diakses tanggal 8 Oktober 2014. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB, et al, 2005. Management of hyperglycemia in type 2 diabetes: a consensus algorithm for the initiation and adjustment of therapy. Consensus statement from American Diabetes Association and European Association for the Study of Diabetes. Diabetologia 2005; 49:1711-21. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al, 2008. Medical management of
Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A Consensus Statement of The American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2008; 31:1-11. Nadler Jl, Malayan S, Luong H, Shaw S, Natarajan RD, Rude RK, 1992. Intracellular free magnesium deficiency plays a key role in increased platelet reactivity in type II diabetes mellitus. Diabetes Care 1992; 15: 835-41. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Indonesia, 2012. Bulletin Jendela dan Data Informasi Kesehatan, ISSN 2088-270X, Edisi Semester II, 2012. Jakarta. Park, P.J; Griffin, S.J; Sargeant, L; Wareham, N.J; 2002. The performance of a risk score in Predicting Undiagnosed Hyperglycemia. Diabetes Care, 25:984-8. Paula Hunt, Healthy Eating for a Healthy Heart, Nursing Standard. Volume 16 Number 25, March 6 2002. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes melitus Tipe 2 Di Indonesia. PB Perkeni. Jakarta. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2007. Konsensus Penatalaksanaan Diabetes Tipe 2. Pengurus Besar PERKENI. Jakarta. Pak CY, Poindexter JR, Peterson RD, Koska J, Sakhaee K, 2002. Biochemical distinction between hyperuricosuric calcium urolithiasis and gouty diathesis. Urology 60: 789- 794. Rahajeng, Ekowati, 2012. Bulletin Jendela dan Data Informasi Kesehatan, ISSN 2088- 270X, Edisi Semester II, 2012. Jakarta Rustamaji, Albert Tri, 2014. Chronic Kidney Disease. http://rsud.patikab.go.id/downIoad/CKD.pdfl Diakses 29 Oktober 2014. Soparman, 1994. Penyakit Endokrin dan Malabolik dalam Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Sunjaya, I Nyoman. 2009. "Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan." Jurnal Skala Husada Vol. 6 No. 1 hal: 75-81. Sutjahjo, A., Tjokroprawiro, A., Murtiwi, S., Wibisono, S., 2006. Konsensus pengelolaan dan pencegahan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia tahun 2006. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Sowers, J.R. 2001. Diabetes, Hypertension, and Cardiovascular Disease An Update dalam Hypertension, Journals of the America Heart Association. Greenville Avenue, Dallas, USA. p:1053.
133
Steker, Peter, 2008. Millenium Development Goals. Badan Perencanaan dan Pembanguna Nasional (Bappenas) RI dan United Nations Development Programme (UNDP). Jakarta. Sjafii, Achmad, 2009. Pengaruh Investasi Fisik dan Investasi Pembangunan Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 1990 — 2004. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 3 No. I Mei 2009, 59-76. Shahab, Alwi. Sindroma Metabolik. Subbagian Endokrinologi Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas FK Unsri Palembang. http://dokier- alwi.com/sindrommetabolik.html. Diakses 23 Oktober 2014. Susilowati, Andi; Amiruddin, Ridwan et al. 2008. Faktor Risiko Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar. PT. Garfiti Medika Press, Jurnal Ilmiah Nasional, Medika 34 (3): 182 - 188. Trisnawati, Shara Kumia; Setyorogo, Soedijino, 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5 (1). Januari 2013. Teixeria-Lemos, dkk. 2011. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology 10; 1-15. Tjiptoherijanto; Prijono; Susetyo, Budi, 1993. Ekonomi Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Todaro, MP. dan Smith, SC. 2003. Economic Development. Eighth Edition. Pearson Education Limited, United Kingdom. Haris Munandar dan Puji A.L. (Penteijemah). 2004. PembangunanEkonomi di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Trinchieri A, Coppi F, Montanari E, Del Nero A, Zanetti G, Pisani E, 2000. Increase in the prevalence of symptomatic upper urinary tract stones during the last ten years. Eur Urol 37:23-25, Taylor EN, Stampfer MJ, Curhan GC, 2005. Diabetes mellitus and the risk of nephrolithiasis. Kidney Int 68:1230-1235. Tjokropawiro, Askandar, 1996. Diabetes Mellitus : Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi Ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 17 -75. Vela BS, 2002. Diabetes Mellitus and Heart. Lange : Current Diagnosis and Treatment in Cardiology, 2th ed, McGraw- Hill, New York. Vega GL, 2001. Obesity, The Metabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. Am Heart J 2001;142:110816. Wiardani NK, Hadi H, Huriyati E. Pola makan dan obesitas sebagai faktor risiko DM tipe 2 di rumah sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2007; 4(1): 1-10. Wittles EH, Gotto AM. 1992. Clinical Features of Ischemic Heart Disease in Diabetes Mellitus . In Editor Alberti KGMM et al: Associate Editors Viberti G International Textbook of Diabetes MellitusJohn Wiley & Sons Ltd p.1487-1500. Wasserman DH et al. 2003. Metabolic Implications of Exercise and Physical Fitness in Physiology and Diabetes. In Editor Jr Porte D et al. Ellenberg & Rifkin’s. Diabetes Mellitus, Sixth Edition McGraw-HillMedical Publishing Division. New York. P.453-480. WHO Regional Office For South-East ASLA( 2002): Regional Conference of Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health -.Health and Development Regional Initiatives, Bangkok, Thailand 15-17 December 2002. WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002); Regional Conference of Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health:
134
Selecting Interventions For Better Health Outcomes, Bangkok, Thailand 1 5 - 1 7 December 2002. WHO Regional Office For South-East AS1A( 2002): Regional Conference of Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health: What needs to be done: Resources to do the needful Bangkok, Thailand 1 5 - 1 7 December 2002. WHO Europe edited by Wilkinson R & Marmot M, 2003. Social determinat the solid facts. 2nd ed. Will JC, Galuska DA, Ford ES, Mokdad A, Calle EE, 2001. Cigarette smoking and diabetes mellitus: vidence of a positive association from a large prospective cohort study. International Journal of Epidemiology, 2001; 30: 540-6. Wikipedia, 2014. Produk Domestik Bruto. http://id.wikipedia.org/wiki/Produk_domestik_brutoDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses 1 November 2014. Yanti; Hadisaputro, Suharyo; Suhartono, Toni, 2010 . Faktor - Faktor Risiko Kejdian Penyakit Jantung Koroner Pada Penderita DM Tipe 2, Studi Kasus di RSUP. Dr. Karyadi Semarang, http://eprints.undip.ac.id/6495/. Diakses 8 Oktober 2014. Zahtamal; Chandra, Fifia; Suyanto; Restuastuti, Tuti, 2007. Faktor -faktor Risiko Diabetes .Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 23 No.3.
135
Kepada Perihal: Permohonan surat pengantar
Yth. Kepala Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan di
Masyrakat
Surabaya
Dengan hormat
Sehubungan proposal DIPA 2014 kami akan dilaksanakan, dimana data yang digunakan adalah data Riskesdas 2013, maka untuk mengajukan permintaan data di Laboratorium Mandat Badan Litbang, Kemenkes RI, diperlukan surat pengantar dari pimpinan instansi.
Untuk kepentingan itu kami mengajukan permohonan untuk bisa dibuatkan surat pengantar pengajuan permintaan data ( terlampir : formal permintaan data sesuai format Lab. Mandat Balitbangkes) untuk penyelesaian penelitian DIPA tahun 2014 dengan Judul penelitian :
POLA PERILAKU DAN PENYAKIT TIDAK MENULAR PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DI 37 KOTA WILAYAH PENGEMBANGAN PUSAT EKONOMI INDONESIA
Demikian, atas bantuan dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih
Surabaya, 17 Maret 2014 Pemohon
Dr. Rukmini.,M.Kes
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN Jalan Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon: (021) 4261088 Faksimile: (021) 4243933 E-mail: se sban@l i tbang.de pke s.go.i d. Website: http://www.litbang.depkes.go.id
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa : 1. Saya sanggup dan bersedia untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam melakukan kegiatan penelitian pengembangan sesuat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2. 3.
Saya telah menerima Subset Data hasil kegiatan penelitian .......................................................yang direkam dalam media elektronik yang dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Data hasil penelitian yang saya peroleh akan saya pergunakan untuk kepentingan penelitian satu judul proposal tersebut di atas sehingga saya: a. tidak akan membuat salinan dari data tersebut untuk keperluan lain dan pihak lain atau mengalihkan data b.
tersebut pada pihak lain, akan mempergunakan data tersebut hanya untuk 1 (satu) topik judul penelitian, sesuai dengan persetujuan yang diberikan secara formal oleh Badan litbang Kesehatan;
c.
apabila saya menggunakan data untuk keperluan lain selain dari ketentuan di atas, harus mengajukan kembali secara formal kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan;
d.
akan melakukan komunikasi dengan pihak Laboratorium Manajemen Data untuk pemahaman variabel subset data;
e.
4.
untuk melakukan publikasi hasil analisis, saya sanggup dan bersedia untuk terlebih dahulu memperhatikan etika dan manfaat bagi kepentingan masyarakat Saya berkewajiban untuk menyerahkan hasil analisis kepada Laboratorium Manajemen Data Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun dan apabila dikemudian hari ternyata terjadi penyimpangan dari pernyataan saya tersebut, maka hak penggunaan data dan publikasi dinyatakan batal demi hukum. Mengetahui, Ketua/Wakil Lab. Mandat .................................
Pembuat Set Data ........................................
Penerima Data dr.Rukmini.,M„Kes NIP 19740911.200212 2008
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PUSAT HUMANIORA,
KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Surabaya, 11 April 2014.
Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal :
Yang terhormat. : Kepala Badan Litbang Kesehatan . Cq. Laboratorium Manjemen data Badan Litbang Kesehatan .11. Percetaskan negara No. 29 Jakarta Pusat.
Sehubungan proposal DIPA 2014 akan dilaksanakan , dimana data yang akan digunakan adatah data Riskesdas 2 0 1 3 . maka dengan ini kami mengajukan permohonan untuk permintaan data yang sesuai dengan judul penelitian DIPA tahun 2 0 1 4 yakni "Pola Perilaku dan Penyakit Tidak Menular Pada Penderita Diabetes Melitus di Wilayah Pengembangan Pusat Ekonomi Indonesia” Demi kelancaran kegiatan , kami mohon bantuan Bapak
I Ibu memberikan ijin dalam kegiatan tersebut.
Atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima kasih .
'6031003.
Tembusan.: 1. Arsip
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN Jalan Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226 Telepon: (021) 4261088 Faksimile: (021) 4243933 E-mail: se sban@l i tbang.de pke s.go.i d. Website: http://www.litbang.depkes.go.id
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa : 1. Saya sanggup dan bersedia untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam melakukan kegiatan penelitian pengembangan sesuat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2. 3.
Saya telah menerima Subset Data hasil kegiatan penelitian .......................................................yang direkam dalam media elektronik yang dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Data hasil penelitian yang saya peroleh akan saya pergunakan untuk kepentingan penelitian satu judul proposal tersebut di atas sehingga saya: a. tidak akan membuat salinan dari data tersebut untuk keperluan lain dan pihak lain atau mengalihkan data b.
tersebut pada pihak lain, akan mempergunakan data tersebut hanya untuk 1 (satu) topik judul penelitian, sesuai dengan persetujuan yang diberikan secara formal oleh Badan litbang Kesehatan;
c.
apabila saya menggunakan data untuk keperluan lain selain dari ketentuan di atas, harus mengajukan kembali secara formal kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan;
d.
akan melakukan komunikasi dengan pihak Laboratorium Manajemen Data untuk pemahaman variabel subset data;
e.
4.
untuk melakukan publikasi hasil analisis, saya sanggup dan bersedia untuk terlebih dahulu memperhatikan etika dan manfaat bagi kepentingan masyarakat Saya berkewajiban untuk menyerahkan hasil analisis kepada Laboratorium Manajemen Data Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun dan apabila dikemudian hari ternyata terjadi penyimpangan dari pernyataan saya tersebut, maka hak penggunaan data dan publikasi dinyatakan batal demi hukum. Mengetahui, Ketua/Wakil Lab. Mandat .................................
Pembuat Set Data ........................................
Penerima Data dr.Rukmini.,M„Kes NIP 19740911.200212 2008