TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Kadar C3 dan C4 pada Penderita Diabetes Mellitus Abdul Gani Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNSYIAH RSUD. dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
Abstrak: Sistem komplemen merupakan salah satu mediator utama reaksi radang, dan penting perananya dalam pertahanan tubuh menghadapi infeksi. Aktivitas biologiknya adalah sebagai anafilatoksin, ikut dalam netralisasi virus, khemotaksis lekosit dan opsonisasi, merangsang granulositosis dan pembentukan antibody serta limfokin, mempertinggi sitotoksis sel K(killer cell), inaktifasi endotoksin, dan pada akhirnya menyebabkan lisisnya mikroorganisme. Pada penderita dengan defisiensi komponen komplemen dilaporkan lebih mudah terkena infeksi atau penyakit “kolagen vaskuler”. Demikian pula pada defisiensi komponen komplemen ketiga (C3) dan komponen ke empat (C4). Diduga terjadinya penyakit “kolagen vaskuler” juga didahului dengan infeksi. Kata kunci: C3 and C4, Diabetes Mellitus Abstract: The complement system in one of the principal mediators of the inflammatory respon and thereby, serves as an essential function in host defense against infection. The biologic activites of the complement are virus neutralization, anaphylatoxin, chemotaxis of leucocytes, opsonization, enhacing induction of antibody formation, stimulating lymphokine production, enhancing killer cell citotoxicity, inducing granulocytosis, endotoxin inactivation and lysis of microorganisms. Patients with complement deficiencies such as C3 and C4 were reported to have had a high incidence of infections or “collagen vascular disease”. The reason of the occurrence of the “collagen vascular disease” was not known, but it might have been originated by infections. Keywords: C3 and C4, Diabetes Mellitus
PENDAHULUAN Terdapat bukti bahwa komplemen (C) ikut berperan dalam pertahanan tubuh menghadapi infeksi. Defisiensi komponen komplemen ketiga (C3) dilaporkan sebagai yang bertanggung jawab atas bertambahnya kepekaan terhadap infeksi. Diduga defisiensi komponen komplemen (C4) juga memberi pengaruh yang serupa. Adanya gangguan fungsi yang berkaitan dengan aktivitas komplemen seperti fagositosis (opsonisasi), khemotaksis dan pembentukan anafilatoksin diduga yang menjadi sebab turunnya pertahanan tubuh. Diabetes Mellitus (DM) yang terawat jelek (poorly controlled) akan menurunkan efisiensi pertahanan tubuh. 194
Dengan perawata DM yang baik (well controlled) ketahanan penderita terhadap (1,2) Adapun infeksi dapat ditingkatkan. keseluruhan sebab yang menjelaskan tinggi insidens dan beratnya infeksi pada penderita DM masih banyak belum terungkap. Terdapat laporan bahwa fagositosis dan khemotaksis lekosit dan aktivitas opsonisasi serum (3) penderita DM menurun. Dalam hal ini terlihat adanya persamaan dengan gangguan aktivitas komplemen. Dengan demikian, mungkin sistem komplemen ikut terlibat atau setidak-tidaknya merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab terhadap gangguan sistem pertahanan tubuh (1,2,3) tersebut.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Abdul Gani
Peristilahan dalam Sistem Komplemen Dari komponen-komponen sistem komplemen, sebanyak 9 buah disingkat dengan huruf C besar dan di belakangnya diberi angka sesuai dengan urutan ditemukannya, yakni C1,C2,C3,C4 dan seterusnya sampai C9. Komponen pertama (C1) terdiri dari 3 subkomponen, C1q,C1r,C1s. Garis datar di atas angka merupakan tanda komponen yang aktif, ditandai dengan huruf kecil a, b, c atau d. Huruf a menandai pecahan kecil yang dibebaskan kecairan sekitarnya, sedangkan huruf b menandai pecahan besar yang berikatan dengan komponen aktif yang memecahnya atau dengan suatu komplek imun, sebagai contoh C3a dan C3b. Dalam hal ini C2 merupakan perkecualian, C2a (1,2,4) . Sistem adalah pecahan yang besar komplemen akan menjadi aktif lewat 2 jalur, yakni jalur klasik dan jalur alternatif (jalur properdin). Dikenal 3 komponen lain yang terlibat dalam aktifasi jalur alternatif, yakni faltor B, D dan P (properdin), bila aktif ditulis B, D dan P. Selain itu terdapat 2 komponen yang berfungsi sebagai inaktifator, yakni C1 Ina dan C3 Ina (1,2,3). Mekanisme Kerja Sistem Komplemen Prinsip-prinsip berikut ini merupakan dasar untuk memahami fungsi komplemen (1,2,3). 1. Sistem komplemen termasuk salah satu mediator reaksi radang. Sistem tersebut merupakan interaksi dari komponenkomponen yang berwujud protein. 2. Komponen-komponen yang berinteraksi secar runtut (cascade), aktifasi tiap komponen berlangsung setelah aktifasi komponen sebelumnya. 3. Interaksi pada jalur klasik berlangsung dengan urutan “antigen antibodi – C 142356789”. Sedangkan untuk jalur alternatif urutannya ialah “aktifator – (antibodi) – sistem properdin – C356789”; dalam hal ini peranan antibodi masih dipertanyakan. Kedua jalur teresbut saling berinteraksi; di samping itu juga berinteraksi dengan sistem pembekuan darah. 4. Interaksi 5 komponen pertama (C14235) bersifat enzimatis, aktifasi berarti merubah
Peranan Kadar C3 dan C4...
komponen menjadi enzim. Pada mulanya sebagai hasil interaksi dengan antibodi, C1 menjadi aktif. Selanjutnya C4, C2, C3, C5 dan begitu pula dengan B pada jalur alternatif aktifasinya secara berurutan dilakukan oleh komponen sebelumnya yang telah aktif. Adapun antara C5b, C6, C7, C8 dan C9 berinteraksi dengan saling berikatan satu sama lain dalam bentuk ikatan nonkovalen atau ikatan hidrofobi; dengan demikian sifat molekul yang terbentuk sebelumnya berubah. Aktifasi Jalur Klasik dan Jalur Alternatif Jalur klasik SKEMA 1. menguraikan tahapan komponen komplemen berinteraksi. Sebagai standard in vitro untuk mempelajari interaksi pada jalur klasik adalah eritrosit dan (4,5) . Aktifasi jalur klasik dimulai antibodinya (1) dengan fiksasi C1q pada bagian Fc antibodi . CRP (C-reactive protein) yang terikat mikroorganisme juga dapat mengikat C1q (4) untuk memulai rangkaian reaksi aktifasi . Reaksi terakhir ini sangat penting sebagai pencetus reaksi radang pada saat antibody dari antigen tersebut belum terbentuk. Aktifasi C4 dan C2 menghasilkan fragmen yang sifatnya menyerupai kinin, menaikkan permeabilitas (5) venula post-kapiler, menyebabkan edema . Fragmen C4b difiksasi membentuk kompleks EAC14b yang berkemampuan untuk menempel ke berbagai sel, diantaranya ke neutrofil, monosit dan eritrosit; fenomena ini (2,3) . Pemecahan disebut “immune adherence” C3 dilakukan oleh kompleks EAC142 (“C3 convertase” jalur klasik). Fragmen C3b yang terfiksasi pada kompleks molekul tersebut kemudian menempel pada sel yang mempunyai reseptor C3b, seperti limfosit B, eritrosit dan fagosit (neutrofil, monosit, makrofag). Dengan cara seperti ini fagositosis menjadi efesien. Oleh C3bIna fragmen C3b diinaktifkan menjadi C3d yang tetap terikat pada kompleks malekul, dan dilepaskan C3c (3) . Fragmen C3a dan C5a bersifat sebagai anafilatoksin, mempengaruhi sel mast dan basofil mengeluarkan mediator vasoaktif. Ada pula fragmen C3 dan C5 yang merupakan khemotaksis fagosit, dan masing-masing sifat (2,3). fisikokimiawinya menyerupai C3a dan C5a Skema 1. Aktifasi komplemen pada jalur klasik dan interaksinya, dengan jalur alternatif. (Johnston dkk. 1989). E= eritrosit.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
195
Tinjauan Pustaka
A=antibodi, C-CRP= Kompleks C- reactive protein. Pengrasakan membran sel (membrane attack) sebagai permulaan sitolisis dimulai setelah C5b terikat pada C423. Selanjutnya C6 tanpa terpecah berikatan dengan C5b, berfungsi menstabilkan C5b. Pada tahap berikutnya kompleks C5b6 terlepas dari C423 dan bereaksi dengan C7. Agar kemampuan lisisnya tidak hilang, kompleks C5b67 harus segera berikatan dengan membran sel; kompleks C5b67 yang bebas bersifat khemotaksis. Kemudian dengan terikatnya C8 dan C9 pada kompleks tersebut terjadilah (2,3) Suatu mekanisme kontrol sitolisis . mencegah aktifasi komplemen yang berlebihlebihan. C1 Ina menghambat kerja esterolisis C1s--Æ memecah C4 dan C2. Dalam 55 detik (6) sebanyak 90% C1 telah terikat pada C1 Ina . 0 Pada suhu 37 C waktu paruh C2 hanya sekitar 8 menit, hal ini menjadi pembatas waktu efektif C42 dan C423. Aktivitas C3a dan C5a akan terhenti setelah dipecah anafilaktoksin inaktifator yang beredar di dalam serum. C3b Ina memecah C3b, C4b, dan mungkin juga C5b menjadi fragmen (1,2,3,6) . inaktif Jalur alternatif (properdin) Permulaan aktifasi berupa interaksi antigen (polisakharida atau liposakharida) atau
agregasi imunoglobulin dengan IF (initiating (7) faktor) yang belum diketahui ; mungkin pula (8) berupa interaksi antigen antibodi . Diduga dalam aktifasi ini C1 atau C1s terlibat, namun (6,7) . tanpa mengikut sertakan C4 dan C2 Sebagai hasil interaksi tersebut P dan D menjadi P dan D. Selanjutnya D memecah B menjadi Bb dan Ba; pemecahan ini membutuhkan Mg ++ dan C3b atau CoVF. Kompleks C3bBb atau CoVFBb yang kemudian terbentuk merupakan “C3 convertase”. Dilaporkan bahwa enzim proteolisis (plasmin, tripsin, pronase) juga (5,6) . Dengan terikatnya berfungsi seperti D properdin (P) pada kompleks C3bBb, kerja C3b Ina dihambat dan kompleks tersebut (7) menjadi lebih stabil . Pada aktifasi sistem properdin ini, C3b dapat diperoleh dari hasil aktifasi jalur klasik, atau dari pemecahan C3 oleh trombin dan plasmin pada koagulasi darah, protease lekosit, dan tripsin. Seperti terlihat pada skema.2, C3b lewat alur amplifikasi merangsang terbentuknya C3b lebih banyak; pengaturan amplifikasi ini (6) dilakukan oleh C3b Ina . Skema 2. Aktifasi komplemen pada jalur alternatif (Johnston dkk. 1989). Ab = antibodi; Ig = imunoglobulin; Ag = antigen; IF = initiating faktor; CoVF = cobra venom factor.
Sistem komplemen Klasik
Alternatif
EA
C1
C-kinin
C4a
C-CRP EAC1
C4
EAC146 Adherence
C1 Ina
C2 EAC142
Sistem Properdin
C3
C3b Ina
C3b Ina
Amplifikasi C3b
C3a Anafilatoksin
Fagositosis Immune adherence Terikat sel B
EAC1423b
C5 EC549 Sitolisis
C8 C9
EC567
C6 C7
EAC1-5b
C5a
Anafilatoksin Khemotoksis
C567 Khemotoksis
196
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Abdul Gani
Peranan Kadar C3 dan C4...
Skema. 2.
Polisakharida Lipopolisakharida (Ab)
Ig (C1)
Jalur klasik Plasmin Thrombin Tripsin Proteasi lekosit
P P C3
C3
(P) C3b
C5-9 C5a
Ag(Ab)C36Bb (P) Fagositosis Immune adherence Terikat sel B
Aktivitas komplemen menghadapi infeksi Tabel 1 di bawah ini merupakan ringkasan aktivitas komplemen menghadapi (2,4) infeksi . Terdapat bukti-bukti bahwa aktivitas C1 dan C4 menetralkan infektifitas (5,6,7) . Dalam netralisasi tersebut virus diperlukan fiksasi oleh C5, C6 dan terutama C3b. Fiksasi ini sangat bermanfaat selagi kadar anti bodi masih rendah, yaitu pada permulaan (7,8,9) infeksi Tabel 1. Aktivitas infeksi(2,3).
komplemen
Komponen/fragmen C14, C1423 C3a, C5a Fragmen C3 dan C5, C567 C3b
C3b, C3d Pecahan C3 C5 C1-6 C1-9
dalam
menghadapi
Aktivitas - Netralisasi virus - Anafilaktoksin - Khemotaksis PMN, monosit, eosinofil - Opsonisasi - Mempertinggi sitotoksisitas sel K - Merangsang produksi limfokin - Induksi pembentukan antibodi - Induksi granulositosis - Opsonisasi jamur - Inaktifasi endotoksin - Lisisnya virus, sel yang terinfeksi - Virus, sel tumor, mikoplasma, protozoa, Spirokhate, bakteri
Sel mast dan basofil yang berikatan dengan C3a dan C5a akan mengeluarkan mediator vasoaktif dan terjadilah vasodilatasi dan keradangan. Fragmen yang berasal dari C3 dan C5 juga memudahkan influks netrofil, (3) monosit dan eosinofil . Diduga C3b
Bb Ba
C3b Ina AgC5-9 Sitolisis
IF (?) D D
B C3b Mg++ CoVF B
C3b C3a
menggiatkan fagositosis (opsonisasi) dengan mempengaruhi ikatan antara antibodi dengan (6) reseptor Fc fagosit , kemudian opsonisasi menjadi inaktif setelah C3b terpecah menjadi (7) C3b juga diperlukan untuk C3d . mempertinggi daya sitolisis sel K (killer cell), bekerja pada ikatan antara”antibody-coated (6) target cell” dengan reseptor Fc sel K . Dalam kegiatannya, limfosit B dan T ditunjang sistem komplemen C3 menginduksi pembentukan (8) ; C3b merangsang produksi antibodi (6) limfokin . C4 berperan pada fase pengenalan benda asing, terbukti dengan penambahan antibodi terhadap C4 replikasi limfosit setelah (6,7,8) . Fragmen C3 dicampur sel asing dilaporkan dapat menginduksi granulositosis. Aktivitas C3 terutama yang lewat jalur alternatif, menghasilkan faktor-faktor yang dapat meninggikan kapasitas fagositosis (5) makrofag . C5 diperlukan dalam proses fagositosis fungi dan fagositosis lanjutan dari (6) “C3-coated bacteria” . Aktifasi komplemen sampai C6 menetralkan efek letal endotoksin (6,7) . Sebagai hasil akhir aktifasi komplemen ialah lisisnya virus, sel yang terinfeksi virus, sel tumor, mikoplasma, protozoa, spirokheta dan (1,2,3,6) . beberapa strain bakteri Kelainan Sistem Komplemen 1. Jalur klasik Kelainan sistem komplemen dibagi menjadi defisiensi komponen komplemen (6) kengenital dan defisiensi dapatan . Defisiensi kongenital dari semua komponen telah (2,3,6) . dilaporkan, terkecuali defisiensi C9 Penderita-penderita tersebut lebih mudah terkena infeksi atau penyakit “kolagen
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
197
Tinjauan Pustaka
vaskuler”. Defisiensi komplemen kongenital yang dihubungkan dengan infeksi ialah (9) (6) (8) (9) defisiensi C3 , C5 , C6 , C8 . Beberapa kali septikhemi dialami 2 penderita defisiensi C2, namun sebagian besar dari penderita ini tanpa problem infeksi (2). Keseluruhan keadaan klinik defisiensi komplemen (2,3) kongenital ini dapat dilihat pada Tabel 2 . Tabel 2. Defisiensi komplemen kongenital: kelainan pada jalur klasik (2,3) Defisiensi komponen C1q C1r C1Ina C4 C2
C3 C5 Disfungsi C5 C6 C7 C8
Keadaan klinik - SCID (severe combined immunodeficiency disease); hipogamaglobulinemi - glomerulonefritis kronis; sindroma SLE - angioedema; SLE - sindroma SLE - sindroma SLE; glomerulonefritis membrano-proliferasi; purpura Tenoch-Schonlein; dermatomiositis; infeksi (jarang) - Infeksi piogenik; penurunan respon netrofil - Infeksi piogenik; SLE - piodermi; septihemi; penyakit Leiner - infeksi gonokokus, meningokokus - fenomena Raynaud, sklerodaktili - gonokoksemi sindroma SLE
Karena aktifasi C3 dapat lewat jalur klasik ataupun jalur alternatif, maka bila salah satu jalur terganggu dapat dikompensasi jalur yang lain. Sebagai akibat defisiensi C3, fragmen khemotaksis dari C3 dan C5 tidak terbentuk dan dengan demikian fagositosis (10) . Hal ini menjelaskan menjadi inefisien terjadinya infeksi piogenik pada penderita defisiensi C3. Dua dari tiga penderita (6) defisiensi C3 yang dilaporkan , respon netrofilnya menurun. Keterangan tentang hubungan defesiensi komplemen dengan tingginya insidens penyakit “kolagen vaskuler” masih belum jelas. Diduga infeksi sebagai proses pertama dan karena penghalauan kompleks imun terganggu (2) maka timbullah penyakit tersebut . 2. Jalur alternatif. Penderita infeksi piogenik berat yang mulai pertama dilaporkan sebagai penderita (6,10) , ternyata kelainan dasarnya defisiensi C3 adalah hiperkatabolisme C3 akibat defisiensi (2,3,6) C3bIna . Pemberian infus plasma atau
198
(2,3,4,11)
. Bentuk C3bIna memulihkan kadar C3 lain defisiensi C3 karena hiperkatabolisme ditemukan pada penderita lipodistrofi partial dengan nefritis membranoproliferasi (ginjal), (6,11) dan penderita dengan infeksi piogenik . Diduga C3 dipecah oleh “C3 nefritic factor”/C3NeF(ginjal). Gangguan aktifasi jalur alternatif yang disertai infeksi juga ditemukan (6) pada penderita “sickle cell disease” dan panca (9) splenektomi Sistem Komplemen pada Diabetes Mellitus Pada penelitian yang telah dilakukan, mendapatkan bahwa aktivitas hemolitik total dari komplemen serum penderita diabetes mellitus pada berbagai tingkat regulasi tidak (8,9,12) . Hal ini tidak berarti bahwa berkurang kadar tiap-tiap komponen komplemen tidak (12) berkurang . Pada penderita diabetes mellitus tipe 1 mendapatkan bahwa kadar C3 untuk yang mengindap diabetes mellitus kurang dari satu tahun cenderung menurun dan meningkat pada penderita yang telah sakit 1–3 tahun dan lebih 5 tahun. Kadar C4 menurun pada penderita yang mengidap kurang dari 1 tahun dan cenderung turun pada penderita yang telah mengidap antara 1–3 tahun. Pola tersebut dihubungkan dengan ICA (islet cell antibody) yang bersifat mengikat komplemen. Berbeda dengan diabetes mellitus tipe 11, tipe (3,11,12) . 1 ini diduga sebagai penyakit otoimun Dalam hal ini “complement-fixing ICA”) dianggap yang bertanggung jawab terhadap (3,9,11,12) . Triolo G dkk (1991) kerusakan sel beta melaporkan bahwa tingginya prevalensi ICA pada diabetes mellitus tipe 1 ada hubungannya dengan lama mengidap sakit; 60% untuk yang mengidap kurang dari 1 tahun; 20% untuk yang 2 – 5 tahun dan hanya 5% untuk yang lebih dari 5 tahun. KESIMPULAN Pada penderita diabetes mellitus dilaporka terdapat penurunan fungsi lekosit seperti khemotaksis, kemampuan menempel (adherence) pada endotel, fagositosis, bakterisida intraseluler, penurunan aktivitas opsonisasi serum dan imunitas “Cell mediated”. Dalam aktivitas khemotaksis, fagositosis dan opsonisasi tersebut diperlukan keterlibatan sistem komplemen. Defisiensi komponen komplemen dapat mengakibatkan gangguan pada aktivitas tersebut. Namun
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Abdul Gani
secara keseluruhan, apa yang menjadi sebab lebih rentannya penderita diabetes mellitus pada infeksi masih belum jelas. Adapun untuk mendapatkan daya tahan tubuh yang optimal, regulasi gula darah sangat penting.
Peranan Kadar C3 dan C4...
6.
Johnston RB, Newman SL, Struth AG. An abnormality of the alternate pathway of complement activation in sickle cell disease Am, J Med 1989;288:303-308
7.
Peake PW, Kriketos AD, Camphell LV, Charlesworth JA. Response of the alternative complement pathway to an oral fat load in first degree relatives of subjects with type ll diabetes. Int J Obes Relat Metab Disord Apr.27,.2004[Epub ahead of print].
8.
Muscari A, Massarelli G, Bastagli L, Poggiopollini G, Tomassetti V, Drago G, Martignani C, Pacilli P, Boni P, Puddu P. Relationship of serum C3 to fasting insulin, risk factors and previous ischaemic events in middle aged men. Eur Heart J 2000;231:1081-1090.
9.
Weyer C, Tataranni PA, Pratley RE. Insulin action and insulinemia are closely related to the fasting complement C3, but not acylation stimulating protein concentration. Diabetes Care 2000; 23:779-785.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmed AEE, Peter JB. Clinical utility of complement assessment. Clin Diagn Lab Immun 1995;2:509-17 2.
Coupes BM, Ken SP, Brenchly PEC, Short CD, Mallick NP. The temporal relationship between urinary C5b-9 and C3dg ang clinical parameters in human membranous nephropathy. Nephrol Dial Transplant 1993;8:397-401.
3.
Triolo G, Giardina E, Casiglia D, Scarantino G, Bompiani GD. Detection of the terminal fluid-phase complement complex SC5b-9, in the plasma of patients with insulin-dependent (type.1) diabetes mellitus: Relation to increased urinary excretion and plasma von Wilebrand factor, Clin Exp Immunol 1991;84:53-8.
4.
Gabrielsson BG, Johansson JM, Lonn M, Jernas M, Olbers T, Peltonen M, Larsson I, Lonn L, Sjostrom L, Carlsson B, Carlsson LM. High expression of complement components in omental adipose tissue in obese men. Obes Res 2003;11:699-708.
5.
Muscari A, Bozzoli C, Puddu GM, Sangiorgi Z, Dormi A, Rovinetti C, Descovich GC, Puddu P. Association of serum C3 levels with the risk of myocardial infarction. Am J Med 1995;98:357-364.
10. Van Harmelen V, Reynisdottir S, Cianflone K, Degerman E, Hoffstedt J, Nilsell K, Sniderman A, Arner P. Mechanisms involved in the regulation of free fatty acid release from isolated human fat cells by acylation-stimulating protein and insulin. J Biol Chem 1999;274: 18243-18251. 11. Ford ES. Leukocyte count, erythrocyte sedimentation rate, and diabetes incidence in a national sample of US adults. Am J Epidemiol 2002; 155:57-64. 12. Pickup JC, Crook MA. Is type ll diabetes mellitus a disease of the innate immune system? Diabetologia 1998;41:1241-1248
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
199