LAPORAN PENELITIAN
PERMASALAHAN HUKUM BENTUK BADAN USAHA KOPERASI PADA BANK
Oleh: Dian Cahyaningrum
Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat 2016
1
EXECUTIVE SUMMARY
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Bank memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber pembiayaan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu bank harus dikelola dengan baik. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pengelolaan bank agar bank dapat maju dan berkembang adalah bentuk badan usaha bank. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat berbentuk badan usaha koperasi, perseroan terbatas (PT), dan perusahaan daerah. Selain ketiga bentuk tersebut, bentuk usaha BPR dapat berupa bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dibukanya kemungkinan bagi BPR untuk memiliki bentuk lain karena usaha BPR lebih terbatas dibandingkan bank umum. Tujuannya adalah untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan perbankan yang lebih kecil seperti bank desa, lumbung desa, badan kredit desa, bank pasar, bank pegawai, lembaga perkreditan kecamatan, dan sebagainya.1 Dari ketiga bentuk usaha bank tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Gatot Supramono, bentuk usaha yang paling menonjol dan banyak digunakan dalam praktik adalah PT dibandingkan dengan koperasi atau perusahaan daerah. PT dianggap sebagai bentuk ideal bagi bank karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. PT merupakan badan hukum yang memiliki tujuan utama mencari keuntungan atau profit oriented sehingga harus diurus oleh pengurus yang profesional. Selain itu, pertanggungjawaban PT berada pada badan hukumnya dan pendiri hanya bertanggung jawab terbatas pada modal yang dimasukkan.2 Gatot Supramono juga berpendapat bahwa berbeda dengan PT, koperasi pada
Lihat: Penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Perbankan Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 53-54. 1
2
2
umumnya
merupakan
perusahaan
yang
kurang
berani
bersaing
dengan
perusahaan-perusahaan lainnya. Koperasi berstatus sebagai badan hukum yang modalnya berasal dari simpanan para anggota. Meskipun koperasi sebagai perusahaan bertujuan untuk mencari keuntungan, namun tujuan utama koperasi adalah untuk mensejahterakan anggotanya. Selain itu pengurus dan anggota kebanyakan koperasi yang ada di Indonesia kurang menguasai cara menjalankan koperasi sebagai perusahaan. Pengurus koperasi juga kurang profesional selaku pengusaha. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang ragu-ragu untuk mendirikan bank yang berbentuk koperasi. Bank berbentuk koperasi dianggap kurang atau tidak akan berhasil menjalankan tugasnya melayani masyarakat.3 Senada dengan Gatot Supramono, Bank Indonesia (BI) pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka penyusunan RUU Perbankan di Komisi XI DPR RI Periode 1999-2014 juga berpandangan bahwa PT dianggap sebagai bentuk usaha bank terbaik karena modal sewaktu-waktu dapat ditambah melalui penjualan saham, bank dipimpin oleh direksi yang profesional dan berkualitas, adanya Dewan Komisaris yang mengawasi Direksi dalam melakukan pengurusan pada bank, bank tunduk pada aturan OJK dan juga diawasi oleh OJK, dan keputusan dapat diambil secara cepat karena pemegang saham mayoritas memegang peranan yang besar dalam pengambilan keputusan. Dengan kelebihannya tersebut, bentuk usaha PT ini jugalah yang berlaku dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi “bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas”. BI juga sependapat dengan Gatot Supramono bahwa bentuk usaha koperasi memiliki banyak kelemahan apabila diterapkan pada bank. Beberapa kelemahan dimaksud adalah: 1) kurang kuatnya permodalan; 2) kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang dapat menjadi pengurus atau duduk sebagai jajaran manajerial bank karena pengurus diambil dari anggota koperasi; 3) adanya dualisme pengaturan pelaksanaan dan pengawasan perbankan antara OJK4 dan Kementerian
3
Ibid. Berdasarkan UU Perbankan, bank diawasi oleh Bank Indonesia. Namun setelah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk maka pengawasan bank dilakukan 4
3
Koperasi; 4) sulitnya mengambil keputusan pada bank yang berbadan usaha koperasi, khususnya apabila jumlah anggota koperasi cukup banyak karena rapat anggota koperasi sebagai organ tertinggi koperasi sulit diselenggarakan sewaktu-waktu; dan 5) beralihnya bank berbadan usaha koperasi menjadi koperasi simpan pinjam apabila dibubarkan oleh BI karena suatu alasan, misalnya terkena sanksi sehingga dikhawatirkan dapat merugikan nasabah.5 Berbeda dengan BI, beberapa anggota Komisi XI DPR RI Periode 2009-2014 berpandangan bahwa RUU Perbankan seharusnya membuka ruang untuk membentuk bank yang berbentuk koperasi. Ditutupnya ruang untuk membentuk bank berbadan usaha koperasi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Hatta yang dikenal sebagai bapak Koperasi Indonesia, bentuk usaha yang sesuai dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD Tahun 1945 adalah koperasi. Dengan demikian tidak diakomodasinya bentuk badan usaha koperasi pada bank dalam RUU Perbankan dikhawatirkan dapat mengakibatkan RUU tersebut diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah disahkan menjadi UU. Selain argumen tersebut, pada kenyataannya berdasarkan data dari International Co-operative Alliance (ICA, 1998) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari bank-bank koperasi di negara-negara maju seperti Perancis, Austria, Finlandia, dan Siprus cukup besar yaitu mencapai sekitar sepertiga dari total bank yang ada. Sebagai contoh dua bank terbesar di Eropa, yaitu “Credit Agricole” di Perancis dan “RABO-Bank” di Netherlands dimiliki oleh koperasi. Begitupula di Jepang, peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut sebagai “bank rakyat” karena koperasi di Jepang beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah
oleh OJK 5 Rapat Penyusunan RUU Perbankan antara Komisi XI DPR RI Periode 1999-2014 dengan Bank Indonesia pada tahun 2013 di Hotel Continental Jakarta, .
4
koperasi, yakni “Nurinchukin Bank”.6 Sehubungan dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, dalam diskusi penyusunan RUU Perbankan di Komisi XI DPR RI Periode 2009-2014 akhirnya diputuskan bahwa Bank Umum harus berbadan hukum Indonesia yang berbentuk PT, sedangkan untuk BPR dapat berbadan hukum Indonesia yang berbentuk PT atau Koperasi (Pasal 21 RUU Perbankan).7 Dasar pertimbangan dari keputusan tersebut adalah pada saat keputusan diambil, belum ada bank umum yang berbadan usaha koperasi dan ada sejumlah BPR yang berbadan usaha koperasi sehigga perlu diakomodasi keberadaannya dalam RUU Perbankan. Berdasarkan data, jumlah BPR yang berbadan usaha koperasi sampai dengan Maret 2013 ada sebanyak 29 BPR yang tersebar di 21 kabupaten dan 2 kota di tujuh provinsi.8 RUU Perbankan pada masa DPR RI Periode 2009-2014 memang belum disahkan menjadi UU dan baru disetujui Paripurna DPR RI untuk menjadi RUU Perbankan inisiatif DPR. Selain itu politik hukum perbankan, khususnya yang berkaitan dengan bentuk badan usaha bank pada masa DPR RI Periode 2014-2019 juga dimungkinkan berubah dan berbeda dengan DPR RI Periode 2009-2014. Namun kenyataan bahwa hingga saat ini belum ada bank umum yang berbadan usaha koperasi, selain juga pendapat BI adanya berbagai kelemahan dalam bank yang berbentuk koperasi sangatlah menarik. Untuk itu, penting untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan hukum bentuk usaha koperasi pada bank. Mengingat sampai saat belum ada bank umum yang berbentuk koperasi, maka penelitian ini membatasi pada permasalahan hukum bentuk usaha koperasi pada BPR. B. Permasalahan Di era globalisasi akan terjadi persaingan yang cukup ketat antar bank seiring
“Membangun “Koperasi Modern” Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 2012, www.kspintidana.com, diakses tanggal 21 April 2016. 7 RUU Perbankan ini telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Periode 2009-2014 sebagai RUU Perbankan inisiatif DPR, yang selanjutnya dikirim ke Pemerintah untuk dibahas. Namun karena masa jabatan DPR RI Periode 2009-2014 telah berakhir maka RUU Perbankan belum memasuki tahap pembahasan dengan pemerintah. 8 Koperasi Simpan Pinjam Intidana, “Rancu Bank Perkreditan Rakyat Berbadan Hukum Koperasi”, www.kspintidana.com, diakses tanggal 25 Februari 2014. 6
5
dengan dibukanya peluang untuk mendirikan bank atau membuka cabang bank di lintas batas negara, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu bentuk badan usaha bank harus benar-benar mendukung pengelolaan bank yang baik sehingga bank berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi dengan bank lainnya. Sehubungan dengan hal ini, pendapat BI bahwa bentuk badan usaha koperasi pada bank menimbulkan berbagai permasalahan sangatlah menarik mengingat koperasi merupakan bentuk usaha yang dianggap sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD Tahun 1945. Koperasi juga telah diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi berlaku lagi setelah UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan oleh MK melalui Putusan MK No. 28/PUU-XI/2013. Sehubungan dengan hal itu maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah apakah bentuk badan usaha koperasi tidak tepat untuk diterapkan pada bank. Permasalahan tersebut dapat dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Permasalahan hukum apa saja yang terjadi pada BPR yang berbadan usaha koperasi? Dan bagaimana permasalahan tersebut terjadi? 2. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah selain untuk mengetahui berbagai permasalahan hukum yang terjadi pada BPR yang berbadan usaha koperasi, juga untuk mengetahui upaya menyelesaikan permasalahan tersebut. Penelitian ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di bidang koperasi dan perbankan. Sedangkan pada tataran praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi legislator (pembuat peraturan perundang-undangan) untuk merevisi ketentuan atau membentuk peraturan perundang-udangan yang berkaitan dengan koperasi dan perbankan. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pengawas koperasi dan pengawas bank (OJK) dalam melaksanakan tugas
6
pengawasannya terhadap bank, khususnya bank yang berbadan usaha koperasi. D. Kebaruan Penelitian mengenai “Permasalahan Hukum Bentuk Badan Usaha Koperasi Pada Bank” ini merupakan penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Berdasarkan penelusuran juga belum ditemukan penelitian yang sama yang dilakukan oleh peneliti lain di luar Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Namun ada beberapa penelitian atau kajian terkait yang telah dilakukan, diantaranya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Dessy Lina Oktaviani Suendra dari Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, dalam tesisnya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin”. Dalam tesisnya tersebut, Desy meneliti mengenai pertanggunggungjawaban pidana koperasi simpan pinjam yang melakukan kegiatan perbankan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya. Kegiatan perbankan dimaksud adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada calon anggota koperasi.9 2. Senada dengan Dessy Lina Oktaviani Suendra, M. Muhtarom dari Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta juga melakukan penelitian yang hampir
sama,
yaitu
mengenai
“Harmonisasi
Hukum
Perbankan
dan
Perkoperasian dalam Pengaturan tentang Peghimpunan Dana Simpanan Masyarakat.” Dalam penelitiannya tersebut, M. Muhtarom melihat adanya inkonsistensi pelaksanaan atau ketidakefektifan UU Perbankan dan UU Perkoperasian sehingga menjadi persoalan terhadap nilai keadilan dan kepastian hukum lembaga keuangan. Banyak koperasi simpan pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat, padahal berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 yang dapat melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat adalah bank (bank umum dan BPR). Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya Dessy Lina Oktaviani Suendra, “Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin”, Tesis dalam Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2015, www.pps.unud.ac.id, diakses tanggal 20 April 2016. 9
7
adalah 1) perbedaan faktor historis; 2) kebutuhan masyarakat terhadap layanan jasa keuangan yang bervariasi; dan 3) politik hukum ekonomi negara yang bersifat ganda. Solusi untuk permasalahan tersebut adalah: 1) solusi melalui model pendekatan hukum positif normative yaitu dengan melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan; dan 2) solusi melalalui pendekatan hukum sosiologis karena kegiatan tersebut telah memperoleh legitimasi sosial atau diakui secara yuridis sosiologis.10 3. Penelitian yang dilakukan oleh Ana Fitrotul Mu’arofah mengenai “Analisis Komparasi Biaya Transaksi Pada lembaga Keuangan Mikro Model Grameen Bank dan Model Koperasi Kredit (Studi pada PT “A” dan Koperasi Kredit “B” di Kabupaten Malang). Dalam penelitian tersebut, peneliti membandingkan besarnya biaya transaksi antara PT “A” yang merupakan LKM yang menggunakan model Grameen Bank di Bangladesh dan Koperasi Kredit “B”. Berdasarkan hasil penelitian biaya transaksi Koperasi Kredit “B” lebih tinggi dari PT “A”. Ini mengindikasikan PT “A” yang menerapkan system Grameen Bank lebih efisien dari pada Koperasi Kredit “B” yang menerapkan sistem koperasi kredit. Biaya transaksi yang tinggi mengindikasikan bahwa desain kelembagaan yang digunakan tidak efisien, sebaliknya biaya yang rendah menunjukkan bahwa desain kelembagaan yang digunakan telah efisien.11 E. Kerangka Pemikiran 1. Koperasi Koperasi berasal dari kata co dan operation yang mengadung arti bekerjasama untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, koperasi adalah “suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan yang memberikan kebebasan untuk masuk dan keluar sebagai anggota; dengan bekerja sama secara kekeluargaan M. Muhtarom, “Harmonisasi Hukum Perbankan dan Perkoperasian dalam Pengaturan tentang Penghimpunan Dana Simpanan Masyarakat, SUHUF, Vol.25, No. 1, Mei 2013: 30-45, www.publikasiilmiah.ums.ac.id., diakses tanggal 21 April 2016. 11 Ana Fitrotul Mu’arofah, Analisis Komparasi Biaya Transaksi pada Lembaga Keuangan Mikro Model Grameen Bank dan Model Koperasi Kredit (Studi pada PT “A” dan Koperasi Kredit “B” di Kabupatan Malang, Jurnal Ilmiah, Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang, 2015, www.jimfeb.ub.ac.id, diakses tanggal 21 April 2016. 10
8
menjalankan usaha, untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggota.12 Pengertian lainnya adalah perusahaan koperasi merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha didirikan orang perseorangan yang memiliki usaha sejenis, yang mempersatukan dirinya secara sukarela, dimiliki bersama, dan dikendalikan secara demokratis untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi. Sebagai wadah kumpulan usaha sejenis yang memiliki kepentingan yang sama baik untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas yang penuh dengan nilai-nilai universal yang merupakan kekuatan dasar membangun modal sosial.13 Berpijak pada pengertian tersebut terlihat bahwa sebagai suatu perkumpulan, koperasi merupakan suatu bentuk badan usaha yang mengutamakan kepentingan para anggotanya, dan bukan keuntungan semata. Koperasi dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat Indonesia yaitu gotong royong, tolong menolong, dan bekerja sama secara kekeluargaan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mohammad Hatta, bentuk usaha koperasi inilah yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Kesesuaian koperasi dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 juga disebutkan dalam Penjelasan Pasal 33 UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi…”
Sebagai bentuk badan usaha yang mengutamakan kepentingan
12
Pandji Anoraga dan Ninik Widiyati, Dinamika Koperasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 1-2. Muslimin Nasution, Koperasi Menjawab Kondisi Ekonomi Nasional, Jakarta : Pusat Informasi Perkoperasian, 2008, hal. 6 13
9
anggotanya, maka muncul berbagai jenis koperasi diantaranya:14 a. Koperasi konsumsi adalah jenis koperasi konsumen. Anggota koperasi konsumsi memperoleh barang dan jasa dengan harga lebih murah, lebih mudah, lebih baik dan dengan pelayanan yang menyenangkan. b. Koperasi produksi disebut juga koperasi pemasaran. Koperasi produksi didirikan oleh anggota yang bekerja di sektor usaha produksi seperti petani, pengrajin, peternak, dan sebagainya. c. Koperasi jasa didirikan bagi calon anggota yang menjual jasa. Misalnya usaha distribusi, usaha perhotelan, angkutan, restoran, dan lain-lain. d. Koperasi simpan pinjam didirikan untuk mendukung kepentingan anggota yang membutuhkan tambahan modal usaha dan kebutuhan finansial lainnya. e. Single purpose dan multipurpose. Koperasi single purposes adalah koperasi yang aktivitasnya terdiri dari satu macam usaha. Misalnya koperasi kebutuhan pokok, alat-alat pertanian, koperasi simpan pinjam, dan lain-lain. Sedangkan koperasi multi purpose adalah koperasi yang didirikan oleh para anggotanya untuk dua atau lebih jenis usaha. Misalnya, koperasi simpan pinjam dan konsumsi, koperasi ekspor dan impor, dan lain-lain. Sedangkan menurut jenjang hierarki organisasinya, maka koperasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:15 a. Koperasi primer ialah koperasi yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan ekonomi dan melakukan kegiatan usaha yang langsung melayani para anggotanya tersebut. b. Koperasi sekunder, yaitu koperasi yang beranggotakan badan-badan hukum koperasi karena kesamaan kepentingan ekonomis mereka berfederasi (bergabung) untuk tujuan efisiensi dan kelayakan ekonomis dalam rangka melayani
para
anggotanya.
Jenjang
penggabungan
ini
dapat
bertingkat-tingkat atau hanya setingkat saja. Semua itu didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan kelayakan dan efisiensi usaha dan pelayanan
14
Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2010, hal. 75-76. Ninik Widiyati dan Y.W. Sunindhia, Koperasi dan Perekonomian Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta bekerjasama dengan Bina Adiaksara, 2003, hal. 76 15
10
kepada para anggotanya. Koperasi merupakan bentuk badan usaha yang memiliki perbedaan dengan perusahaan konvensional. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:16 Tabel 1 Perbedaan-perbedaan antara Koperasi dan Perusahaan Konvensional Koperasi Anggota Modal
Perusahaan
Keanggotaan terbuka untuk
Terbuka
semua pemakai
penanam modal tertentu
Jumlahnya merupakan para
kecil halangan
anggota.
modal
para
tidak
Penanam modal diperoleh
bagi
dari
Pemasukan
sebanding
untuk
pembelian
saham
yang ditawarkan dengan
dengan
harga pasar. Menambah
atas
jumlah anggota sebanyak
pemanfataannya pelayanan koperasi
jumlah penanam modal sesuai yang diperlukan.
Pemilik
Pemakai adalah pemilik
Penanam modal adalah pemilik
Berada pada anggota atas
Penanam
dasar yang adil dan sama
sebanding dengan modal yang
modal
ditanamkan
oleh
tiap-tiap penanam modal. Manfaat
Anggota memperoleh manfaat
Penanam
sebanding
yang
memperoleh bagian laba
oleh
sebagai hasil dari modal
diberikan
16
atas
jasa
baginya
modal
koperasi. Tingkat bunga yang
yang
ditanamkannya
dibayarkan untuk modalnya
sebanding dengan modal
terbatas.
yang ditanamkannya.
Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 18
11
Meskipun memiliki perbedaan, koperasi juga memiliki persamaan dengan perusahaan (badan usaha) lainnya, yaitu yang ada hubungannya sebagai kegiatan usaha yang otonom, yang harus bertahan secara berhasil dalam persaingan pasar dan dalam usahanya menciptakan “efisiensi ekonomis” dan “kemampuan hidup keuangannya”. 17 Dalam menghadapi persaingan pasar tersebut, prinsip-prinsip kerja koperasi dapat menjadi kekuatan yang membedakannya dengan badan usaha lain sehingga diharapkan koperasi dapat bertahan (survive) dalam menghadapi persaingan. Adapun prinsip-prinsip koperasi berdasarkan ICA Identity Cooperative statement (IICS) adalah:18 1. Voluntary and Open Membership (Sukarela dan Terbuka). Koperasi adalah organisasi sukarela, terbuka kepada semua orang untuk dapat menggunakan pelayanan yang diberikannya dan mau menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa membedakan jenis kelamin, sosial, suku, politik, atau agama. 2. Democratic Member Control (Kontrol Anggota Demokratis) Koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya, yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat keputusan. 3. Member Economic Participation (Partisipasi Ekonomi Anggota) Anggota berkontribusi secara adil dan pengawasan secara demokrasi atas modal koperasi. 4. Autonomy and Independence (Otonomi dan Independen) Koperasi adalah organisasi mandiri yang dikendalikan oleh anggota-anggotanya. Walaupun koperasi membuat perjanjian dengan organisasi lainnya termasuk pemerintah atau menambah modal dari sumber luar, koperasi harus tetap dikendalikan secara demokrasi oleh anggota dan mempertahankan otonomi koperasi. 5. Education, Training, and Information (Pendidikan, Pelatihan, dan Informasi) Koperasi menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk anggota, wakil-wakil yang dipilih, manager, dan karyawan sehingga mereka dapat berkontribusi secara
17
Ibid Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemy, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hal. 22-25. 18
12
efektif untuk perkembangan koperasi. 6. Cooperation among Cooperatives (Kerja Sama Antar Koperasi). Koperasi melayani anggota-anggotanya dan memperkuat gerakan koperasi melalui kerja sama dengan struktur koperasi lokal, nasional, dan internasional. 7. Concern for Community (Perhatian terhadap Komunitas). Koperasi bekerja untuk perkembangan yang berkesinambungan atas komunitasnya. Untuk dapat survive dan bahkan berkembang dengan baik, koperasi tidak hanya cukup memiliki prinsip-prinsip kerja yang menjadi kekuatannya, melainkan juga harus dikelola dengan baik berdasarkan pada tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Adapun yang dimaksud dengan Good Corporate Governance (GCG) menurut the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah:19 “Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of rights and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, the managers, shareholders and other stakeholders, and spells out the rules and procedure for making decision on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance”, Berpijak pada definisi GCG dari OECD tersebut, GCG pada koperasi dasarnya merupakan suatu sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan usaha koperasi. GCG mengatur pembagian tugas, hak, dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan koperasi, diantaranya anggota koperasi, pengurus koperasi, badan pemeriksa, dewan penasehat koperasi, dan stakeholders koperasi lainnya. GCG pada koperasi juga mengetengahkan ketentuan dan prosedur yang harus diperhatikan Pengurus Koperasi dalam mengambil keputusan yang bersangkutan dengan kehidupan koperasi. Dengan adanya pembagian tugas, hak, dan kewajiban serta ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan maka koperasi
19
Siswanto Sutojo dan E John Aldridge, Good Corporate Governance, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2005, hal. 2.
13
mempunyai pegangan untuk menentukan sasaran usaha dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Pembagian tugas, hak, dan kewajiban tersebut juga berfungsi sebagai pedoman untuk mengevaluasi kinerja pengurus koperasi. Agar GCG dapat diselenggarakan dengan baik maka ada beberapa prinsip yang penting untuk diperhatikan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance, ada 5 prinsip GCG yang juga dapat diterapkan di koperasi yaitu:20 1. Akuntabilitas mencakup unsur-unsur antara lain: a. Bentuk
pertanggungjawaban.
Akuntabilitas
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban atas pelaksanaan fungsi dan tugas-tugas sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh seluruh organ koperasi, termasuk anggota koperasi itu sendiri sebagai pemegang saham. b. Prasyarat pencapaian kerja. Prinisip akuntabilitas adalah prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Akuntabel artinya apa pun tindakan yang sudah dilakukan dalam hubungan dengan tugas yang diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan agar koperasi dapat berkembang secara profesional. c. Kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban. Dalam koperasi, prinsip akuntabilitas berhubungan dengan konteks kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ yang ada di dalamnya sehingga pengelolaan koperasi terlaksana secara efektif. 2. Pertanggungjawaban mencakup unsur-unsur antara lain: a. Terhadap masyarakat dan lingkungan. Untuk menjaga keberlanjutan atau kesinambungan sebuah usaha bersama dalam jangka panjang, koperasi hendaknya memiliki tanggung jawab yang kuat terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar. b. Terhadap peraturan perundang-undangan. Koperasi juga harus menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Memiliki tanggung jawab yang sama. Sebagai bagian dari masyarakat, koperasi memiliki tanggung jawab yang sama seperti perusahaan pada Disarikan dari Doli D. Siregar, “Manajemen Aset” dalam Bernhard Limbong, Pengusaha Koperasi, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2010, hal. 190-195. 20
14
umumnya kepada masyarakat umum, terlebih kepada para anggotanya. 3. Keterbukaan mencakup unsur-unsur antara lain: a. Informasi kinerja perusahaan. Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan perusahaan. b. Sebagai syarat manajemen yang sehat. Transparansi merupakan syarat yang mesti diberlakukan dalam manajemen koperasi. Prinsip ini perlu diterapkan untuk menjaga objektivitas koperasi dalam menjalankan bisnisnya. Proses pengambilan keputusan harus terbuka dan memiliki akses yang sama terhadap segala informasi kepada segenap anggotanya. 4. Kewajaran mencakup unsur-unsur antara lain: a. Melindungi kepentingan stakeholders minoritas. Prinsip ini bermaksud agar adanya perlindungan kepentingan stakeholders minoritas dari penipuan, kecurangan, perdagangan, dan penyalahgunaan oleh orang dalam koperasi (pengurus dan pengelola koperasi). b. Menghindari penyalahgunaan wewenang orang dalam. Koperasi harus senantiasa memperhatikan kepentingan pihak-pihak terkait berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran. 5. Kemandirian mencakup unsur-unsur antara lain: a. Bebas dari tekanan pihak luar. Kemandirian adalah suatu kondisi dimana perusahaan bebas dari pengaruh atau tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme koperasi. b. Bebas dari dominasi pihak luar. Koperasi harus dikelola secara independen. Setiap pengurus koperasi tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 2. Bank Bank memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung kegiatan perekonomian. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Perbankan, bank adalah badan usaha yang
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
15
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Penggunaan istilah badan usaha dan bukan lembaga keuangan sebagaimana digunakan dalam UU Perbankan sebelumnya yaitu UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, menunjukkan bahwa bank berkedudukan sebagai perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan. Sedangkan istilah lembaga keuangan bukan merupakan perusahaan yang non profit oriented dan lebih tampak sebagai lembaga pemegang kas dan bersifat sosial.21 Keuntungan utama dari bisnis perbankan yang berdasarkan prinsip konvensional diperoleh dari selisih bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga pinjaman atau kredit yang disalurkan. Keuntungan dari selisih bunga ini dikenal dengan istilah spread based. Apabila suatu bank mengalami suatu kerugian dari selisih bunga, dimana suku bunga simpanan lebih besar dari suku bunga kredit maka istilah ini sering dikenal dengan nama negatif spread.22 Selain menyalurkan kredit, bank juga melakukan kegiatan jasa-jasa pendukung lainnya. Jasa-jasa tersebut diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, baik yang berhubungan langsung maupun yang tidak langsung dengan kegiatan simpanan dan kredit.23 Sehubungan dengan kegiatan usaha bank dimaksud, maka berdasarkan fungsinya, bank dibedakan menjadi 2 jenis yaitu bank umum dan BPR. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran. Sedangkan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya bukan memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.24 Berdasarkan Pasal 21 UU Perbankan, bentuk hukum bank umum dapat berupa PT; koperasi; dan perusahaan daerah. Sedangkan BPR dapat berbentuk hukum berupa perusahaan daerah, koperasi, PT, dan bentuk lain yang ditetapkan 21
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 45 22 Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 25 23 Ibid, hal. 26 24 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Cetakan 1, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009, hal. 47.
16
dengan peraturan pemerintah. BPR dapat ”berbentuk lain” yang bukan perseroan terbatas, koperasi, atau perusahaan daerah karena usaha bank ini lebih terbatas dibandingkan bank umum. Tujuannya adalah untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan perbankan yang lebih kecil seperti bank desa, lumbung desa, badan kredit desa, bank pasar, bank pegawai, lembaga perkreditan kecamatan, dan sebagainya.25 Berpijak pada pengaturan tersebut terlihat bahwa baik bank umum maupun BPR dapat berupa koperasi, yang berdasarkan Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992 memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Setelah memperoleh status badan hukum (natuurlijk persoon), bank berbentuk koperasi merupakan subyek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Artinya, bank dimaksud dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim, singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Sedangkan dilihat dari kepemilikannya, bank dibedakan sebagai berikut:26 a. Bank milik negara, yaitu bank yang modalnya merupakan penyertaan modal negara. Misalnya, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dsb. b. Bank swasta, yaitu bank yang modalnya sepenuhnya berasal dari pemodal swasta. Bank ini dapat dibagi dalam 3 kelompok: 1. Bank-bank milik swasta nasional 2. Bank-bank milik swasta asing, bank-bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak swasta asing baik oleh warga negara asing maupun badan hukum yang pimpinan dan pesertanya warga negara asing. 3. Bank-bank milik campuran atau kerjasama antara swasta nasional dan swasta asing, yaitu bank yang berdiri di Indonesia yang modal sahamnya merupakan gabungan antara pihak swasta Indonesia dan swasta asing. c. Bank milik pemerintah daerah, yaitu bank-bank milik pemerintah daerah yang
25
Ibid, hal. 53 H.M. Syarif Arbi, Mengenal Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 19-21. 26
17
keberadaannya
sesuai
dengan
UU
No.
13
Tahun
1962
tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. d. Bank milik koperasi, yaitu bank-bank yang didirikan dengan modal yang dihimpun dari perkumpulan koperasi. Agar bank menghasilkan keuntungan, sangatlah penting untuk mengelola bank dengan berpijak pada asas yang disebut guided principles yang meliputi:27 1. Likuiditas (kelancaran), yaitu kondisi kemampuan suatu bank untuk memenuhi kewajiban utang-utangnya, segera dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. 2. Solvabilitas (kekayaan), yaitu kemampuan bank untuk memenuhi seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan melikuidasi seluruh miliknya. Jadi membandingkan antara seluruh kekayaan bank dan seluruh utangnya. 3. Rentabilitas (keuntungan), yaitu kemampuan suatu bank untuk mendapatkan keuntungan melalui jasa yang dapat diberikannya atau kegiatan usaha lainnya yang dapat dilakukannya. 4. Bonafiditas (dapat dipercaya). Bonafiditas dan reputasi merupakan modal moral yang wajib dimiliki bank untuk memperoleh kepercayaan masyarakat, serta menghindarkan opini negatif atas kegagalan jasa yang diberikannya. Bonafiditas dan reputasi sangat penting karena industri perbankan memiliki karakteristik melandaskan kegiatan operasionalnya pada suatu kepercayaan dari masyarakat atau pun reputasi. Asas guided principles tersebut dalam pelaksanaannya harus diterapkan dalam manajemen yang berlandaskan pada prinsip antara lain kehati-hatian (prudential), keamanan (safety), keuntungan (profitability), dan efisiensi.28 Tidak ditaatinya asas dan prinsip tersebut dapat mengakibatkan kredit yang disalurkan bank mengalami kemacetan atau sering disebut dengan kredit macet.
27
Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 156-177. 28 Ibid, hal. 156
18
Kredit macet di sini dapat diberi pengertian kredit atau utang yang tidak dapat dilunasi oleh debitur karena sesuatu alasan sehingga bank selaku kreditur harus menyelesaikan masalahnya kepada pihak ketiga atau melakukan eksekusi barang jaminan. 29 Sumber-sumber penyebab terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh nasabah atau penyebab terjadinya kredit bermasalah pada bank dapat dikemukakan sebagai berikut:30 1. Self dealing yang terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat pemberi kredit terhadap permohonan yang diajukan nasabah, berupa pemberian kredit yang tidak layak dengan harapan mendapatkan kompensasi dari nasabah. 2. Anxiety for income: ambisi atau nafsu yang berlebihan untuk memperoleh laba bank melalui penerimaan bunga kredit sehingga menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit. 3. Compromise of credit principles: pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui pemberian kredit yang mengandung risiko yang potensial menjadi kredit yang bermasalah. 4. Incomplete credit information: terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, disamping informasi lainnya seperti penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan kredit. 5. Failure to obtain or enforce liquidation agreements: sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban yang telah diperjanjikan. 6. Complacency: sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan mengakibatkan terjadinya kegagalan atas pelunasan kredit yang diberikan. 7. Lack of supervising: kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah pemberian kredit. 8. Technical incompetence: tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisa permohonan kredit dari aspek keuangan maupun aspek lainnya. 9. Poor selection of risk: risiko tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pejabat kredit mampu mendeteksi kemampuan nasabah dalam membiayai
29
Gatot Supramono, op.cit. hal. 269. Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015, hal. 194-196. 30
19
usahanya, selain yang diperoleh dari bank. b. Pejabat kredit harus mampu menghitung berapa kebutuhan nasabah yang sesungguhnya. c. Pejabat kredit harus mampu menghitung nilai taksasi jaminan yang mengcover kredit yang diberikan. d. Pejabat kredit harus mampu memperhitungkan kemungkinan risiko yang dihadapi dengan pemberaian kredit dan mengetahui sumber pelunasan. e. Pejabat kredit harus mampu mendeteksi risiko pemberian kredit yang mungkin secara kemampuan cukup baik, tetapi dari sisi moral kurang menguntungkan bagi bank. f. Pejabat kredit harus mampu mendeteksi kualitas jaminan yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari. 10. Overlending: pemberian kredit yang besarnya melampaui batas kemampuan pelunasan kredit oleh nasabah. 11. Competition:
risiko
persaingan
yang
kurang
sehat
antar
bank
yang
memperebutkan nasabah yang berakibat pemberian kredit yang tidak sehat. F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif-empiris. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
dan
perkoperasian
yang
terkait.
Beberapa
peraturan
perundang-undangan dimaksud, diantaranya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya yaitu UU No. 10 Tahun 1998, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, beserta aturan pelaksanaannya. Sedangkan penelitian secara empiris dilakukan dengan meneliti pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan perkoperasian dimaksud pada tataran praktis untuk melihat apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah dilaksanakan dengan baik dan apakah peraturan perundang-undangan
20
tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. 2. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer (primary sources) dan bahan hukum sekunder (secondary sources). Primary sources yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan dibidang perkoperasian dan perbankan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan secondary sources yang dimaksudkan adalah buku, artikel, jurnal baik dalam bentuk cetak maupun yang diperoleh dari internet. Sedangkan data primer diperoleh dari informan terkait di lapangan. Untuk itu wawancara
dengan
menggunakan
pedoman
wawancara
dilakukan
dengan
pihak-pihak yang berkompeten yaitu: Pejabat/pegawai Otoritas Jasa Keuangan, Direksi/pegawai BPR yang berbentuk koperasi, Dinas Koperasi dan UMKM, dan akademisi/pakar yang kompeten di bidang perbankan dan perkoperasian. Selain wawancara, pengumpulan data secara langsung direncanakan dengan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) sesuai dengan kemampuan dan anggaran yang ada. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat pada bulan Juli 2016 dan Jawa Timur pada bulan Juli-Agustus 2016. Penelitian di Jawa Barat didasarkan pada pertimbangan ada 2 BPR yang berbentuk koperasi. Selain itu juga ada PT BPR Koperasi Jabar yang salah satu pemegang sahamnya adalah Pusat Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti (Puskopanti), yang cukup menarik untuk diteliti atau dijadikan narasumber penelitian. Sedangkan pemilihan Jawa Timur sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan di Jawa Timur terdapat BPR berbentuk koperasi yang paling banyak, yaitu ada sebanyak 22 BPR berbentuk koperasi dari total sebanyak 31 BPR yang berbentuk koperasi di seluruh provinsi di Indonesia. 4. Penyajian Data dan Analisis
21
Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang lebih menekankan analisis terhadap kualitas data daripada kuantitas data itu sendiri untuk mengungkapkan karakternya yang khas, pengertiannya, konteks sosialnya, dan relasinya satu sama lain melalui deskripsi dan interpretasi. Data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer disusun dan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Langkah analisis kualitatif yang akan dilakukan adalah langkah menguraikan data, menggolongkan data berdasarkan pertimbangan tertentu, dan menghubungkan data yang ada sebagai upaya mencari hubungan logis antara data yang satu dengan data yang lain. II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Permasalahan Hukum BPR Koperasi Berdasarkan hasil penelitian, baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur tidak ada bank umum yang berbentuk koperasi. Semua bank umum berbentuk PT. Bentuk koperasi hanya ada pada BPR, baik yang berupa koperasi primer maupun koperasi sekunder. Di Jawa Barat ada sebanyak 3 BPR yang berbentuk koperasi (BPR Koperasi) yaitu BPR Koperasi Tanjung Raya, BPR Koperasi Artos Parahyangan, dan BPR Koperasi Bara Ujungberung.31 Sedangkan di Jawa Timur ada sebanyak 21 BPR yang berbentuk koperasi.32 Selain BPR koperasi, baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur juga terdapat koperasi simpan pinjam. Meskipun sama-sama memberikan kredit, BPR koperasi dan koperasi simpan pinjam memiliki perbedaan. Perbedaan perundang-undangan
tersebut yang
diantaranya mengatur
ada BPR
dua Koperasi
bidang
peraturan
yaitu
peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan dan bidang perkoperasian. Sementara koperasi simpan pinjam hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian. Bentuk badan hukum koperasi harus mendapatkan pengesahan
dari
Pemerintah
(Kementerian
Koperasi),
sedangkan
usaha
31
Gusria (Kabag Pengawas OJK Regional 2 Jawa Barat), wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 2 Jawa Barat pada tanggal 28 Juli 2016. 32 Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016.
22
perbankannya harus mendapatkan ijin dari OJK. Sedangkan untuk koperasi simpan pinjam, baik badan hukumnya maupun kegiatan usahanya harus mendapatkan ijin dari Kementerian Koperasi (Dinas Koperasi). BPR Koperasi dapat menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Sedangkan koperasi simpan pinjam hanya dapat menghimpun dana dan menyalurkannya ke anggotanya, calon anggotanya, koperasi lain dan/atau anggotanya. Pengawasan bentuk badan usaha BPR Koperasi dilakukan oleh Kementerian Koperasi, sedangkan pengawasan kegiatan usaha perbankannya dilakukan oleh OJK. Untuk koperasi simpan pinjam, baik pengawasan bentuk badan usaha maupun kegiatan usahanya dilakukan oleh Kementerian Koperasi. Perbedaan lainnya adalah laporan kinerja BPR Koperasi disampaikan kepada Dinas Koperasi dan OJK, sedangkan laporan kinerja koperasi simpan pinjam hanya disampaikan kepada Dinas Koperasi. Untuk lebih jelasnya, perbedaan BPR Koperasi dan koperasi simpan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:33 Tabel 1 Perbedaan BPR Koperasi dan Koperasi Simpan Pinjam Subyek Landasan yuridis
BPR Koperasi Tunduk
pada
Koperasi Simpan Pinjam
peraturan Tunduk pada peraturan
perundang-undangan di bidang perundang-undangan perkoperasian dan perbankan. Perijinan
sedangkan
bentuk
Koperasi, kegiatan ijin
perbankannya dari OJK Kegiatan Usaha
bidang perkoperasian.
Ijin bentuk usaha koperasi dari Ijin Kementerian
di
usaha
usaha
dan
simpan
usaha pinjamnya
dari
Kementerian Koperasi
Menjalankan kegiatan usaha Menjalankan perbankan, yaitu menghimpun usaha
koperasi
kegiatan simpan
33
Diolah dari informasi yang diperoleh dari berbagai informan, diantaranya Budi Soesatio (OJK Regional 3 Jawa Timur), Agus (Dosen Hukum Perusahaan UNAIR), dan Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding, Tuban).
23
dan menyalurkan dana (kredit) pinjam, yaitu menghimpun ke
anggota
koperasi
masyarakat.
dan dan
menyalurkan
(kredit)
ke
dana
anggota
koperasi. Pengawasan
Badan usaha koperasi diawasi Badan usaha koperasi dan oleh
Kementerian
Koperasi kegiatan
usaha
(Dinas Koperasi), sedangkan pinjam
diawasi
kegiatan usaha perbankannya Kementerian diawasi oleh OJK Laporan kinerja
simpan Koperasi
(Dinas Koperasi)
Laporan kinerja disampaikan Laporan ke Dinas Koperasi dan OJK.
oleh
kinerja
disampaikan
ke
Dinas
Koperasi. Sumber: diolah dari informasi yang diperoleh dari para informan di lapangan. Pada tataran empiris, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa informan34, koperasi
simpan
pinjam
juga
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dan
menyalurkannya ke masyarakat seperti halnya BPR koperasi, dengan dalih masyarakat dimaksud adalah calon anggotanya. Tindakan koperasi simpan pinjam tersebut didasarkan pada Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, yang membolehkan koperasi simpan pinjam untuk menghimpun dana dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang menjadi calon anggotanya. Meskipun Pasal 18 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1995 mengatur calon anggota dimaksud dalam waktu 3 bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota koperasi, namun Pasal 18 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1995 dimungkinkan untuk dilanggar karena tidak ada ketentuan sanksi yang diancamkan untuk dapat menegakkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1995. Tindakan koperasi simpan pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat
34
Beberapa informan dimaksud adalah Agus (Dosen Hukum Perusahaan UNAIR) wawancara dilakukan di Fakultas Hukum UNAIR pada tanggal 16 Agustus 2016; dan Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding), wawawancara dilakukan di Kantor BPR Koperasi Semanding pada tanggal 15 Agustus 2016.
24
juga tersebut bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, setiap pihak yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai bank umum atau BPR dari pimpinan BI (setelah dibentuknya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan mengeluarkan ijin usaha bank umum atau BPR beralih dari BI ke OJK). Bahkan berdasarkan Pasal 46 UU No. 10 Tahun 1998, pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 diancam dengan hukuman pidana penjaran sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, untuk melindungi masyarakat, perlu kiranya untuk melakukan kajian dan merevisi PP No. 9 Tahun 1995 apalagi PP tersebut bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 1998 yang secara hirarkhis peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan PP No. 9 Tahun 1995. Ditinjau dari historisnya, keberadaan BPR Koperasi tidak terlepas dari kebijkan deregulasi perbankan yang dilakukan oleh Pemerintah dan BI yaitu dengan dikeluarkannya paket kebijakan 27 Oktober 1988 (Pacto 88). Pacto 88 memberikan kemudahan untuk dapat mendirikan bank.35 Berdasarkan Pacto 88, minimum modal disetor untuk mendirikan bank umum hanya Rp10 miliar. Sedangkan minimum modal disetor untuk mendirikan BPR hanya sebesar Rp50 juta. Pembukan kantor cabang baru hingga tingkat kecamatan baik untuk bank umum maupun BPR juga cukup mudah.36 Dengan modal disetor hanya Rp50 juta, banyak koperasi simpan pinjam yang beralih usaha menjadi BPR Koperasi. Dasar pertimbangannya adalah agar lebih leluasa untuk menjalankan kegiatan usaha simpan pinjam. Ini disebabkan BPR Koperasi tidak hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana ke anggotanya, melainkan juga dapat menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. 35
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016 dan Nur Wahyuni (Dosen Hukum Perbankan Fakultas Hukum UNAIR), wawancara dilakukan di Fakultas Hukum UNAIR pada tanggal 16 Agustus 2016. 36 Adi Wikanto, “Pakto 88 dan Booming Perbankan Indonesia”, www.lipsus.kontan.co.id., diakses 30 November 2016.
25
Pacto 88 mengakibatkan industri perbankan nasional meningkat tajam. Berdasarkan catatan dari BI, jumlah perbankan nasional pada September 1988 hanya 108 bank umum yang terdiri dari 6 bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, dan 11 bank campuran. Total kantor bank umum pada saat itu ada sebanyak 1.359 unit. Namun setelah adanya Pacto 88, pada akhir tahun buku 1998/1999 jumlah bank meningkat menjadi 1.525 unit. Jumlah bank meningkat tajam pada tahun 1994, dimana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit.37 Terkait dengan bentuk usaha bank, sebagaimana dikemukakan oleh Gusria, OJK tidak mempermasalahkan bentuk badan usaha bank, apakah berbentuk koperasi ataukah PT. OJK hanya menekankan bahwa semua bank baik yang berbentuk PT maupun koperasi harus sesuai dan mentaati peraturan perundang-undangan. 38 Pendapat Gusria tersebut dapat dipahami karena PT dan koperasi merupakan bentuk-bentuk badan usaha bank yang dilegalkan dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan). Oleh karena itu yang terpenting bagi OJK sebagai pengawas bank adalah bank memiliki kinerja yang baik, sehat, dan prudent (hati-hati dan terpercaya) dalam menjalankan kegiatan usahanya. Namun dalam perkembangannya, jumlah BPR yang berbentuk koperasi mengalami penurunan. Bahkan di Mojokerto saat ini hanya ada 1 BPR yang berbentuk koperasi yaitu BPR Koperasi Sejahtera. 39 Menurunnya jumlah BPR Koperasi disebabkan selain ada yang tutup karena merugi, juga banyak BPR Koperasi yang mengubah bentuk usahanya menjadi PT. Dasar pertimbangan perubahan bentuk tersebut adalah bentuk PT dirasa lebih tepat karena BPR tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya semata atas dana, melainkan juga berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Pertimbangan lainnya, pengelolaan BPR dalam bentuk
37
Ibid. Gusria (Kabag Pengawas OJK Regional 2 Jawa Barat), wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 2 Jawa Barat pada tanggal 28 Juli 2016. 38
39
Budi Soesatio (Deputi Direktur Pengawasan OJK Regional 3 Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor OJK Regional 3 Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2016 dan Rahmaida (Direksi BPR Koperasi Sejahtera, Mojokerto, Jawa Timur), wawancara dilakukan di Kantor BPR Koperasi Sejahtera pada tanggal 10 Agustus 2016.
26
PT dirasa lebih mudah dibandingkan dalam bentuknya sebagai koperasi karena tidak ada dualisme pengaturan yaitu perbankan dan perkoperasian. Kemudahan pengelolaan BPR dalam bentuk PT juga disebabkan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan termasuk peraturan OJK lebih banyak mengatur dan memberikan pedoman untuk bank yang berbentuk PT jika dibandingkan koperasi. Dualisme pengaturan dan sedikitnya aturan yang mengatur BPR Koperasi mengakibatkan pengurus BPR Koperasi sering mengalami kesulitan atau kebingungan dalam mengelola BPR koperasinya karena ketidakjelasan aturan. Ketidakjelasan aturan untuk BPR Koperasi diantaranya adalah terkait dengan kepengurusan. Nomenklatur kepengurusan bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Perbankan 40 adalah Direksi dan Komisaris yang notabene adalah kepengurusan untuk PT. Selain itu berdasarkan Pasal 4 POJK No.4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat, BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp 50 miliar wajib memiliki paling sedikit 3 orang anggota direksi, sedangkan BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp 50 miliar wajib memiliki paling sedikit 2 orang anggota direksi. Ketentuan tersebut kurang sesuai untuk diterapkan pada BPR Koperasi karena bentuk usaha koperasi tunduk pada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992, nomenklatur kepengurusan yang digunakan untuk koperasi adalah pengurus dan pengawas. Koperasi juga sulit untuk memenuhi ketentuan Pasal 4 POJK No.4/POJK.03/2015 karena pengurus terdiri dari ketua, wakil ketua, dan sekretaris koperasi. Permasalahan hukum lainnya terkait dengan kepengurusan adalah pengurus BPR Koperasi diharapkan adalah orang-orang yang kredibel dan profesional. Untuk itu Pasal 7 ayat (1) POJK No.4/POJK.03/2015 mengatur Anggota Direksi harus memiliki pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan kemampuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai BPR. Selain itu berdasarkan Pasal 7 ayat (2) POJK No. 4/POJK.03/2015, Anggota Direksi harus lulus uji kemampuan dan kepatutan sesuai
40
Peraturan perundang-undangan dimaksud diantaranya adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya yaitu UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992, dan Peraturan OJK No. 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat.
27
dengan ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPR. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) POJK No. 4/POJK.03/2015 tersebut sulit untuk dipenuhi oleh BPR Koperasi. Ini disebabkan berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1992, pengurus dipilih dari dan oleh Anggota koperasi dalam Rapat Anggota. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, pengurus BPR Koperasi adalah anggota koperasi yang belum tentu memiliki pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan kemampuan di bidang perbankan. Seperti halnya direksi, Pasal 24 ayat (1) POJK No.4/POJK.03/2015 juga mengatur BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp 50 miliar wajib memiliki paling sedikit 3 orang anggota Dewan Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Sedangkan BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp 50 miliar wajib memiliki paling sedikit 2 orang anggota Dewan Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi (Pasal 24 ayat (2) POJK No. 4/POJK.03/2015). Selain itu, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) POJK No.4/POJK.03/2015, BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp 80 miliar wajib memiliki Komisaris Independen paling sedikit 50% dari jumlah anggota Dewan Komisaris. Sedangkan BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp 50 miliar dan kurang dari Rp 80 miliar wajib memiliki paling sedikit 1 orang Komisaris Independen (Pasal 25 ayat (2) POJK No.4/POJK.03/2015). Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) POJK No.4/POJK.03/2015, Anggota Dewan Komisaris tersebut harus lulus uji kemampuan dan kepatutan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPR. Seperti halnya direksi, ketentuan Pasal 26 ayat (2) POJK No.4/POJK.03/2015 juga akan sulit untuk dipenuhi oleh BPR Koperasi. Ini disebabkan Pasal 38 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1992 mengatur pengawas koperasi dipilih dari dan oleh Anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Dengan demikian Komisaris BPR Koperasi adalah anggota koperasi yang belum tentu lulus uji kemampuan dan kepatutan karena tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang perbankan (kurang capable). Pada tataran praktis, BPR koperasi mengambil solusi yang berbeda-beda
28
terkait kendala pengangkatan Direksi dan Komisaris. Pada BPR Koperasi Tanjung Raya di Bandung, Direktur utama diambil dari orang luar yang memiliki pengehuan dan pengalaman di bidang perbankan. Selanjutnya Direktur Utama tersebut menjadi anggota koperasi agar selaras dan tidak melanggar UU No. 25 Tahun 1992. 41 Sedangkan pada BPR Koperasi Artos Parahyangan di Bandung, Ketua Koperasi menjadi Direktur Utama, sedangkan Bendahara dan Sekretaris Koperasi menjadi anggota Direksi BPR Koperasi Artos Parahyangan.42 Berbeda dengan kedua BPR Koperasi tersebut, Direksi BPR Koperasi Semanding di Jawa Timur diambil dari orang luar yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perbankan dan dicalonkan oleh anggota koperasi untuk menjadi Direksi. 43 Sementara Komisaris pada BPR Koperasi umumnya adalah pengawas koperasi. Pengawas koperasi ini biasanya adalah anggota koperasi yang memiliki tabungan sukarela paling besar di koperasi karena dia dianggap memiliki kepentingan terbesar dengan kemajuan koperasi. Tidak seperti bank yang berbentuk PT, pada BPR Koperasi tidak terlihat secara jelas siapa yang menjadi pemegang saham pengendali karena kepemilikan koperasi adalah sama untuk semua anggota koperasi. Oleh karena itu apabila BPR Koperasi mengalami kesulitan likuiditas yang mengancam kesehatan bank (BPR Koperasi dalam masalah), semua anggota koperasi memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyelamatkan bank. Pada kondisi tersebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh BPR Koperasi untuk menambah modal. Upaya dimaksud diantaranya meminjam dana dari pihak ketiga (bank lain) atau anggota koperasi yang memiliki dana. Upaya lainnya adalah menambah jumlah anggota koperasi sehingga modal koperasi bertambah karena mendapatkan simpanan wajib dari anggota baru koperasi. Selain upaya-upaya tersebut, anggota koperasi yang memiliki dana besar juga dapat menempatkan uangnya sebagai simpanan sukarela di BPR koperasi. Dari beberapa upaya tersebut, upaya yang biasa dilakukan BPR Koperasi adalah 41
Ferry Hidayat (Direktur Utama BPR Koperasi Tanjung Raya Bandung), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Tanjung Raya pada tanggal 27 Juli 2016. 42 Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan Bandung), wawancara dilakukan di BPR Artos Parahyangan Bandung pada tanggal 29 Juli 2016. 43 Eni (Direksi BPR Koperasi Semanding Tuban Jawa Timur), wawancara dilakukan di BPR Koperasi Semanding Jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2016.
29
mendapatkan tambahan modal baru dari simpanan sukarela anggota koperasi yang memiliki dana. Pada tataran empiris, anggota koperasi yang memiliki simpanan sukarela terbesar di BPR Koperasi dianggap sebagai pemilik bank. Sebagai contoh, 99% modal BPR Koperasi Artos Parahyangan berasal dari Artohadi yaitu anggota sekaligus pendiri BPR Koperasi Artos Parahyangan. Artohadi dianggap sebagai pemilik karena dia yang menempatkan simpanan sukarelanya paling besar di BPR Koperasi, sementara simpanan sukarela anggota koperasi lainnya jumlahnya tidak seberapa. Anggota koperasi yang lain juga tidak menyerahkan simpanan wajib setiap bulannya. Sebagai orang yang dianggap pemilik, Artohadi paling didengar suaranya di Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi. Bahkan suara Artohadi sangat menentukan keputusan RAT.44 Hal ini bertentangan dengan prinsip koperasi yaitu dari semua dan untuk semua sehingga semua anggota koperasi memiliki suara yang sama di RAT. Sehubungan dengan berbagai permasalahan tersebut, agar BPR Koperasi berkembang seperti halnya bank yang berbentuk PT maka perlu ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi bank berbentuk koperasi. Perbaikan tidak hanya dilakukan pada BPR untuk lebih professional dalam mengelola banknya, melainkan juga
perlu
ada
perbaikan
yuridis
agar
benar-benar
ada
peraturan
perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman untuk mengelola BPR koperasi dengan baik. B. Beberapa Upaya untuk Mengembangkan BPR Koperasi Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bentuk usaha yang paling sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 adalah koperasi. Ironisnya sampai dengan saat ini bentuk usaha koperasi khususnya di bidang perbankan kurang bisa berkembang di Indonesia. Banyak orang yang tidak berminat untuk mendirikan bank dengan bentuk usaha koperasi dan cenderung untuk memilih bentuk usaha PT yang dianggap bentuk usaha yang mudah pengelolaannya dan sesuai untuk menjalankan bank yang berorientasi pada profit. Inilah yang menjadi penyebab tidak ada bank umum yang
44
Wulan (Direksi BPR Artos Parahyangan Bandung), wawancara dilakukan di BPR Artos Parahyangan Bandung pada tanggal 29 Juli 2016.
30
berbentuk koperasi, sedangkan BPR yang berbentuk koperasi sebagian besar merupakan pengembangan dari koperasi simpan pinjam. Ironisnya sebagian besar peraturan perundang-undangan di bidang perbankan yang dibentuk oleh OJK sebagai otoritas yang berwenang untuk mengawasi bank berorientasi pada bentuk usaha PT dan kurang mengakomodasi bentuk koperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus (Dosen Hukum Perusahaan UNAIR), penyebab utama bentuk usaha koperasi pada bidang perbankan tidak berkembang adalah tidak ada pembedaan antara badan usaha koperasi dan bidang usaha koperasi. Selama ini, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, badan usaha koperasi dan bidang usaha koperasi menyatu. Pengurus koperasi dianalogkan sebagai direksi pada bank yang berbentuk PT, sedangkan pengawas koperasi dianalogkan sebagai komisaris padahal belum tentu pengurus dan pengawas koperasi tersebut memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang perbankan. Selain itu, usaha koperasi linear dengan kegiatan usaha anggota karena koperasi berpegang pada prinsip dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Inilah yang mengakibatkan koperasi tidak bisa fleksibel menjalankan kegiatan usahanya seperti halnya PT.45 Pendapat Agus tersebut dapat dibenarkan karena UU No. 25 Tahun 1992 mengaturnya demikian. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992 46 , pengurus dan pengawas koperasi dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam Rapat Anggota. Pengurus koperasi memiliki tugas-tugas dan wewenang seperti halnya Direksi pada PT, oleh karenanya wajar jika pengurus dianalogkan dengan direksi pada PT. Seperti halnya direksi, tugas pengurus koperasi dalam UU No. 25 Tahun 1992 adalah sebagai berikut:47 a. Mengelola koperasi dan usahanya; b. Mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja koperasi; c. Menyelenggarakan Rapat Anggota; Agus (Dosen Hukum Perusahaan UNAIR), wawancara dilakukan di Fakultas Hukum UNAIR pada tanggal 16 Agustus 2016 46 Lihat Pasal 29 dan Pasal 38 UU No. 25 Tahun 1992 45
47
Pasal 30 UU No. 25 Tahun 1992
31
d. Mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas; e. Menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib; f. Memelihara daftar buku anggota dan pengurus. Sedangkan wewenang pengurus koperasi adalah sebagai berikut:48 a. mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan; b. memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar; c. Melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota. Seperti halnya pengurus, pengawas koperasi juga memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan komisaris pada PT sehingga pengawas koperasi dapat dianalogkan dengan komisaris. Berdasarkan Pasal 39 UU No. 25 Tahun 1992, tugas pengawas koperasi adalah: a) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi; dan b) membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Sedangkan wewenang pengawas koperasi berdasarkan Pasal 39 UU No. 25 Tahun 1992 adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Pengelolaan BPR koperasi oleh orang-orang yang kurang profesional dan mengerti tentang perbankan dapat berdampak buruk pada bank. Bank kurang berkembang dengan baik atau bahkan terjadi fraud yang merugikan bank dan dapat mengakibatkan bank collapse. Hal ini pernah terjadi pada beberapa BPR Koperasi, diantaranya BPR Semanding Tuban pada tahun pertama berdiri yaitu tahun 1995. Fraud dilakukan oleh Account Officer dengan modus “kredit tempilan”, yaitu dengan meminjam sebagian uang kredit debitur. Misalnya, debitur pinjam Rp 5 juta, dipinjam oleh terpidana Rp 1 juta. Dalam kasus tersebut ada sekitar 27 debitur, dengan total dana yang dipinjam Rp 24 juta. Kasus tersebut dapat diselesaikan dengan baik, yaitu terpidana menjual rumahnya untuk membayar kredit dan akhirnya yang bersangkutan mengundurkan diri.49 48 49
Pasal 30 UU No. 25 Tahun 1992 Eni (Direksi BPR Semanding Tuban Jawa Timur), wawancara dilakukan di BPR Semanding Tuban Jawa Timur pada
32
Berpijak pada hal tersebut, agar BPR koperasi dapat dikelola dengan baik maka bank harus dikelola oleh orang yang benar-benar profesioal dan berpengalaman di bidang perbankan. Untuk itu perlu dipisahkan antara badan usaha koperasi dan bidang usaha koperasi. Sebagai bentuk badan usaha, koperasi merupakan wujud dari demokrasi ekonomi yang diatur dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945. Badan usaha koperasi tersebut seharusnya dapat menjalankan bidang usaha apa saja, termasuk perbankan seperti halnya PT. Koperasi yang menjalankan bidang usaha perbankan harus mendapatkan ijin dari OJK dan bidang usaha perbankan harus dicantumkan secara tegas dalam anggaran dasar koperasi sehingga ada kejelasan dan membedakan bank koperasi dengan koperasi simpan pinjam (KSP). Dalam menjalankan kegiatan usaha atau bisnis perbankannya tersebut, koperasi tunduk pada UU di bidang perbankan. Badan
usaha
koperasi
tersebut
dikelola
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan di bidang Koperasi. Pengurus dan pengawas koperasi berasal dari dan oleh anggota koperasi yang dipilih berdasarkan Rapat Anggota Koperasi. Koperasi tersebut dapat berupa koperasi primer maupun koperasi sekunder. Pengurus koperasi tidak merangkap jabatan sebagai direksi bank, melainkan merekrut seseorang yang profesional dan berpengalaman di bidang perbankan untuk menjadi direksi bank. Direksi inilah yang nantinya mengurus bisnis bank dan mempertanggungjawabkan kepengurusannya tersebut kepada pengurus koperasi. Sementara pengurus koperasi mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Rapat Anggota Koperasi. Dengan demikian pengurus bank tidak harus pengurus koperasi. Melalui mekanisme tersebut, diharapkan bank dikelola oleh orang yang benar-benar professional sehingga dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan keuntungan. Keuntungan bank koperasi selanjutnya dapat dibagi sebagai Sisa Hasil Usaha (SHU) diantara anggota koperasi sesuai dengan jasanya masing-masing kepada bank. Anggota koperasi yang memiliki simpanan sukarela besar, juga akan mendapat SHU lebih besar dibandingkan dengan anggota koperasi lainnya. Meskipun anggota koperasi dapat dianggap sebagai pemilik bank koperasi,
tanggal 15 Agustus 2016.
33
anggota koperasi tidak dapat seenaknya meminjam uang bank (mengambil kredit) melainkan harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Anggota koperasi tersebut harus diperlakukan sama dengan nasabah bank lainnya pada saat mengambil kredit, yaitu harus melalui analisa kredit dan kredit yang diambil juga tidak boleh melewati Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Hal ini disebabkan sebagai bank, koperasi harus memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, tidak seperti KSP yang hanya mengakumulasi dana dari anggota koperasi dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit hanya kepada anggota koperasi. Seperti halnya pemegang saham pada PT, anggota koperasi juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bank koperasinya khususnya pada saat bank mengalami kesulitan likuiditas atau collapse. Pada kondisi yang demikian maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan koperasi untuk meningkatkan likuiditas bank. Upaya dimaksud diantaranya menambah anggotanya untuk mendapatkan dana berupa simpanan wajib. Koperasi juga dapat mencari pinjaman baik dari internal yaitu dari anggota koperasi sendiri atau pun dari eksternal yaitu pihak ketiga misalnya bank lain dengan jaminan asset bank karena asset bank adalah milik koperasi. Pinjaman yang berasal dari anggota koperasi tetap harus dikembalikan meskipun bank merugi. Pengembalian pinjaman tersebut dapat disertai dengan bunga sesuai yang diperjanjikan. Selain pinjaman, anggota koperasi juga dapat membantu meningkatkan likuiditas bank dengan menyimpan dananya dalam bentuk simpanan sukarela. Sebagai kompensasi dari dana sukarela yang disimpan di koperasi, anggota yang bersangkutan mendapatkan SHU. Makin besar simpanan sukarela, makin besar SHU yang diterima anggota koperasi yang bersangkutan. Mengingat koperasi merupakan perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal, maka besarnya simpanan sukarela tidak mempengaruhi besarnya suara anggota koperasi dalam RAT. Semua anggota koperasi termasuk yang memiliki simpanan sukarela paling besar memiliki satu suara (one man one vote) karena dalam koperasi kebersamaanlah yang diutamakan.
34
Dengan adanya pemisahan badan usaha koperasi dengan bidang usahanya sebagaimana dipaparkan diharapkan koperasi dapat menjadi badan usaha yang professional dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan seperti halnya PT. Dengan struktur yang demikian maka koperasi yang anggotanya petani tembakau misalnya, dapat memiliki koperasi yang menjalankan kegiatan usaha apa saja termasuk perbankan karena pengurus koperasi yang notabene petani tembakau yang tidak tahu masalah perbankan dapat mengangkat seseorang untuk menjadi direksi dan mengurus bank dengan baik. Penutup A. Kesimpulan Koperasi merupakan bentuk usaha yang sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945. Berdasarkan demokrasi ekonomi, koperasi merupakan salah satu pelaku usaha yang seharusnya diberi ruang untuk melakukan kegiatan usaha perbankan seperti halnya PT. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan judicial review apabila ada ketentuan dalam UU Perbankan nantinya yang menghapus peluang koperasi untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945, apalagi sampai saat ini masih ada BPR yang berbentuk usaha koperasi. Sampai saat ini tidak ada bank umum yang berbentuk koperasi. Namun masih ada BPR yang berbentuk koperasi meskipun jumlahnya menurun karena berubah bentuk menjadi PT atau dilikuidasi karena bangkrut. Dalam hal ini ada beberapa permasalahan yang menyebabkan koperasi yang menjalankan kegiatan usaha perbankan tidak berkembang. Beberapa permasalahan dimaksud adalah badan usaha koperasi dan bidang usaha koperasi masih menjadi satu. Dengan demikian direksi bank adalah pengurus koperasi, dan komisaris bank adalah pengawas koperasi padahal pengurus dan pengawas koperasi belum tentu orang-orang yang profesional dan berpengalaman di bidang perbankan. Pada tataran empiris terjadi pelanggaran terhadap UU Koperasi. Anggota koperasi yang memiliki simpanan sukarela paling besar dianggap sebagai pemilik koperasi (pemegang saham terbesar pada PT).
35
Anggota dimaksud paling didengar suaranya, sementara koperasi adalah kumpulan orang yang memiliki hak, kewajiban, dan suara yang sama di koperasi. RAT juga sulit untuk diselenggarakan karena jumlah anggota koperasi yang hadir dalam RAT tidak signifikan. Akibatnya pengambilan keputusan sulit untuk dilakukan secara cepat. Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan koperasi tersebut, perlu ada redesign peraturan perundang-undangan di bidang koperasi. Redesign dilakukan untuk mengakomodasi restrukturisasi koperasi yaitu memisahkan badan usaha koperasi dengan perbankan sebagai bidang usaha koperasi. Dalam restrukturisasi tersebut, badan usaha koperasi tunduk pada peraturan perundang-udangan di bidang koperasi,
sedangkan
bidang
usaha
perbankan
tunduk
pada
peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan. Pengurus dan pengawas koperasi diangkat oleh RAT dan bertanggung jawan kepada RAT. Sedangkan direksi dan komisaris bank diangkat oleh pengurus koperasi, oleh karenanya harus bertanggung jawab pada pengurus koperasi. Melalui restrukturisasi tersebut diharapkan koperasi dapat dikelola dan berkembang dengan baik. B. Saran Koperasi merupakan badan usaha yang sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 oleh karenanya sebaiknya tetap diakomodasi dalam UU Perbankan sebagai badan usaha yang dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Agar koperasi dapat dikelola dan berkembang dengan maka perlu ada restrukturisasi koperasi untuk memisahkan badan usaha koperasi dengan bidang usahanya.
36
37
38