LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK
OLEH: DENICO DOLY S.H., M.Kn.
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2016
EXECUTIVE SUMMARY
Pasal 28F UUD 1945 mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat memperoleh informasi dari instansi atau badan publik yang ada di Indonesia. Pasal 28F UUD Tahun 1945 ini kemudian dijabarkan ke dalam sebuah undang-undang
yang
Diundangkannya
mengatur
tentang
Undang-Undang
keterbukaan informasi
Nomor
14
Tahun
2008
publik. tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), merupakan penjabaran dari Pasal 28F UUD Tahun 1945 dan menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai bangsa yang menganut paham demokrasi, tentu saja perlu diciptakan sebuah organisasi yang terbuka, semua orang dapat melakukan pengawasan terhadap organisasi tersebut, sehingga terbebas dari intervensi yang berasal dari dalam dan luar organisasi atau instansi tersebut. Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). UU KIP disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan berlaku efektif mulai tanggal 30 April 2010. UU KIP merupakan peraturan bagi keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan sumber daya publik di Indonesia. Dengan diundangkannya UU KIP, maka masyarakat dapat mengakses segala bentuk informasi yang diperlukan, kecuali
informasi
yang
dikecualikan
atau
bersifat
rahasia.
Sebagai
konsekuensi atas hak atas informasi tersebut, negara berkewajiban untuk memenuhi hak atas informasi yang diinginkan oleh masyarakat. Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh KI melalui proses adjudikasi nonlitigasi belum mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final
sedangkan proses mediasi bersifat final dan mengikat. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat saja dikatakan bahwa proses adjudikasi nonlitigasi yang dilakukan oleh KI merupakan pengadilan tingkat pertama dan selanjutnya dapat dilakukan banding kepada PTUN dan kasasi melalui MA. Berdasarkan hal tersebut, proses penyelesaian sengketa informasi publik merupakan proses yang cukup memakan waktu bagi para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh KI maupun oleh PTUN dapat menjadi pertanyaan tersendiri, apakah peranan KI sebagai lembaga adjudikasi nonligitasi sebenarnya sudah dapat dilakukan oleh PTUN sebagai lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa TUN, oleh karena itu
keberadaan
KI
sebagai
lembaga
negara
yang
berfungsi
untuk
menyelesaikan sengketa informasi perlu ditinjau ulang. Peninjauan ulang terhadap keberadaan KI ini merupakan langkah yang dilakukan agar peranan KI dalam penyelesaian sengketa informasi publik dapat dilakukan secara maksimal. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh KI sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU KIP memang telah diatur secara yuridis normatif. Akan tetapi dalam penyelesaian sengketa tersebut, tentu saja tidak luput dari kendala atau hambatan yang dialami oleh KI, pemohon, dan termohon. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang penyelesaian sengketa informasi publik ini menjadi menarik dan perlu dilakukan. Permasalahan mekanisme/praktek
utama
dalam
penyelesaian
penelitian sengketa
ini
yaitu
informasi
bagaimana
publik?
Dari
permasalahan utama penelitian ini, maka pertanyaan penelitian ini yaitu Bagaimana kedudukan KI sebagai lembaga penyelesaian sengketa informasi publiK?
Bagaimana
kekuatan
hukum
eksekutorial
putusan
KI
dalam
penyelesaian sengketa informasi publik? Dan Kendala apa saja dalam penyelesaian sengketa informasi publik? Tujuan dari Penelitian ini yaitu untuk mengetahui kedudukan KI sebagai lembaga penyelesaian sengketa informasi publik; Mengetahui kekuatan hukum eksekutorial putusan KI dalam penyelesaian sengketa informasi
publik; Mengetahui secara pasti kendala-kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan sengketa informasi. Sedangkan kegunaan penelitian secara akademis, dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum administrasi dan tata usaha negara khususnya tentang keterbukaan informasi publikdan penyelesaian sengketa informasi publik dan secara praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pembentukan hukum tentang keterbukaan informasi. Sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori atau konsep pemikiran. Salah satu teori yang digunakan yaitu terkait dengan quasi peradilan. Beberapa ketentuan yang menegaskan KI kedudukannya sebagai lembaga quasi peradilan dalam arti luas, hal ini dapat dilihat dalam kaitannya
dengan
tugas
dan
kewenangannya
untuk
(i)
memutus
(ii)
memeriksa, dan (iii) membuktikan. Ahli hukum tata negara Jimly Assiddiqie, secara khusus memberikan pendapatnya tentang lembaga quasi yudisial atau quasi peradilan dalam artikel berjudul ‘Pengadilan Khusus’, yang mengutip dari pertimbangan putusan Pengadilan Texas dalam kasus Perdue, Brackett, Flores, Utt & Burns versus Linebarger, Goggan, Blar, Sampson & Meeks, L.L.P., 291 s.w 3d 448 yang menyebutkan suatu lembaga negara dapat dikategoikan sebagai lembaga quasi peradilan jika memiliki kekuasaan sebagai berikut: Memberikan penilaian dan pertimbangan (The power to exercise judgement and discretion); Mendengar dan menentukan atau memastikan
fakta-fakta dan untuk
membuat putusan (The power to hear and determine or to ascertain facts and decide;
Membuat
mengikat
sesuatu
amar subjek
putusan
dan
pertimbanganpertimbangan
hukum dengan
amar
putusan
dan
yang
dengan
pertimbanganpertimbangan yang dibuatnya (The power to make binding orders and judgements); Mempengaruhi hak orang atau hak milik orang perorang (The power to affect the personal or property rights of private persons); Menguji saksisaksi, memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan (The power to examine witnesses, to compel the
attendance of witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing); Menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman (The power to enforce decisions or impose penalties). Selain dari teori quasi peradilan juga digunakan konsep subjek hukum. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa subjek hukum merupakan para pihak baik itu penggugat maupun tergugat memiliki kepentingan dan kemampuan
untuk
bertindak
(handelingsbekwaamheid)
dalam
proses
penyelesaian sengketa atau proses beracara di pengadilan. Selain itu CST Kasil juga mengatakan bahwa subjek hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu subjek hukum berdasarkan pribadi orang perseorangan, dan juga subjek hukum sebagai badan hukum. Subjek hukum sebagai pribadi (natuurlijke person) sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan hak yang dijamin oleh hukum yang berlaku. Adapun subjek hukum sebagai manusia ini diatur secara luas dalam Buku I tentang Orang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sedangkan subjek hukum berupa badan hukum ini mengatakan bahwa badan hukum (rechtpersoon) sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum seperti manusia. Badan hukum ini merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke person) dan mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku. Subjek hukum TUN juga merupakan konsep pemikiran awal yang dilakukan dalam penelitian ini. Subjek sengketa TUN adalah orang atau badan hukum perdata di satu pihak dan badan atau pejabat TUN di pihak lain. Dengan demikian para pihak dalam sengketa TUN adalah orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat TUN. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa adalah akibatnya dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Dengan demikian yang menjadi pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkan keputusan TUN. Berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU PTUN yang dimaksud dengan keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Salah satu fungsi KI yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa informasi publik. Oleh karena itu perlu adanya konsep pemikiran apa itu penyelesaian sengketa. Pada dasarnya penyelesaian sengketa terbagi menjadi 2 (dua). Penyelesaian sengketa yang pertama yaitu dengan melalui jalur litigasi di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa yang kedua yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Perbedaan dari kedua jenis penyelesaian sengketa ini dapat dibedakan dari perbedaan waktu, hasil yang diperoleh dan juga biaya yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan
yang
bersifat
adverasial
yang
belum
dapat
memberikan
penyelesaian berdasarkan kepentingan bersama, cenderung menimbulkan permasalahan baru, penyelesaian yang lambat, biaya yang mahal, tidak responsif, dan dapat menimbulkan permusuhan antara kedua belah pihak. Sebaliknya,
penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan
menghasilkan
kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, kerahasiaan yang dijamin, proses berjalan cepat, penyelesaian berlangsung dengan itikad baik, sehingga tidak terciptanya suatu permusuhan antara kedua belah pihak. Penelitian tentang penyelesaian sengketa informasi publik menggunakan metode penelitian hukum empiris normatif. Metode penelitian empiris-normatif merupakan gabungan dari terminologi “metode penelitian hukum empiris” dan “metode penelitian hukum normatif”. Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang
telah
diuraikan
di
atas,
tidak
mungkin
penelitian
ini
hanya
menggunakan metode penelitian hukum normatif yang melihat hukum sebagai norma yang telah tertulis saja (Law as it is written in the books), yaitu meneliti bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelesaian sengketa informasi tetapi juga digunakan metode penelitian hukum empiris (law in context), yaitu bagaimana peraturan tersebut diterapkan dalam penyelesaian sengketa informasi.
Penelitian ini dibatasi pada proses atau mekanisme penyelesaian sengketa informasi publik, baik yang dilakukan oleh Komisi Informasi dan lembaga pengadilan yang berwenang untuk melakukan penyelesaian sengketa informasi publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta sifat penelitian yang deskriptif sehingga dapat melakukan pengamatan dan menggambarkan setiap tindakan nyata atau perilaku aktual dari warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam hal ini adalah pelaksanaan penyelesaian sengketa informasi oleh Komisi Informasi. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yang digunakan adalah
peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik, penyelesaian sengketa, kekuasaan kehakiman, dan tata cara penyelesaian sengketa informasi di PTUN dan Pengadilan Negeri. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian, hasil karya ilmiah, dan buku-buku ilmiah mengenai penyelesaian sengketa informasi. Berkaitan dengan penelitian hukum empiris, pengumpulan data yang tergolong data primer dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan guna mendapat jawaban langsung dari para informan yaitu komisioner KI Pusat, Komisioner KI daerah, kalangan akademisi (perguruan tinggi), Asosiasi, Hakim PTUN, Hakim Pengadilan Negeri, dan Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati keterbukaan informasi publik. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu analisis yang menguraikan data penelitian menjadi komponen-komponen melalui rangkaian kata-kata. Analisis kualitatif lebih menekankan analisis terhadap kualitas data daripada kuantitas data itu sendiri untuk mengungkapkan karakternya yang khas, pengertiannya, konteks sosialnya, dan relasinya satu sama lain melalui deskripsi dan interpretasi. Penelitian Penyelesaian Sengketa Informasi Publik dilakukan
dengan penelitian lapangan di Provinsi Kalimantan Selatan (25 Mei - 3 Juni 2016) dan Provinsi Bali (22 Juni – 1 Juli 2016). Hasil penelitian ini diperoleh bahwa keberadaan KI saat ini memang diamanatkan oleh UU KIP dibentuk di pusat maupun provinsi. Akan tetapi sampai dengan saat ini, pembentukan KI di provinsi baru terbentuk di 31 (tiga puluh satu) provinsi. Masih terdapat 3 (tiga) provinsi yang belum memiliki KI di daerahnya. Pembentukan KI yang dimulai pada tahun 2008 membuktikan keseriusan pemerintah dalam hal menjalankan amanat yang terdapat dalam UU KIP. Akan tetapi sampai dengan saat ini masih ada KI Provinsi yang pembentukannya hanya didasarkan kepada memenuhi kebutuhan undangundang saja. Pembentukan KI Provinsi belum didasarkan kepada pemenuhan atas keterbukaan informasi publik di daerah. Hal ini diungkapkan oleh Komisioner Komisi Informasi Kalimantan Selatan dan Komisi Informasi Provinsi Bali, yang mengatakan bahwa pembentukan KI Provinsi belum didasarkan kepada kebutuhan masyarakat akan informasi publik, Pemerintah Daerah masih banyak yang belum paham terkait dengan keterbukaan informasi publik. Kedudukan Komisi Informasi dalam tataran ketatanegaraan di Indonesia pada dasarnya belum dikenal secara jelas. Pemisahaan kekuasaan atau pembagian kekuasaan yang terdapat dalam trias politica membagi secara jelas terkait dengan kekuasaan-kekuasaan yang dilimpahkan kepada lembaga yang ditugaskan untuk itu. Pembagian kekuasaan ini merupakan amanat yang tercantum dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembagian kekuasaan yang diemban oleh lembaga legilastif, eksekutif, dan yudikatif harus secara jelas tercermin dalam perturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan agar segala bentuk fungsi, tugas, dan kewenangan tidak ada dalam satu lembaga saja. Kedudukan KI sebagai lembaga negara independen yang melakukan fungsi, tugas, dan kewenangan yang terdapat dalam UU KIP menjadi pertanyaan berbagai pihak. Keberadaan KI yang dibentuk oleh UU KIP seperti mempunyai
kekuasaan
dalam
melaksanakan
fungsi
yudikatif
yaitu
menyelesaikan sengketa informasi publik baik itu secara mediasi maupun adjudikasi non litigasi. Selain itu, kedudukan KI sebagai lembaga negara indenden menjadi pertanyaan sendiri ketika dukungan baik itu secara adminsitratif, anggara, dan kesekertariatan masih berada di bawah kendali pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dukungan kesekertariatan KI yang terdapat dalam Pasal 29 UU KIP pernah dilakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon yang terdiri dari sejumlah komisioner KI Pusat dan KI daerah mempersoalkan Pasal 29 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU KIP. Para pemohon menilai bahwa sebagai lembaga semi peradilan yang memutus sengketa antara badan publik dengan pemohon informasi publik seharusnya menjadi lembaga mandiri dan independen seperti dimaksud Pasal 23 UU KIP. Artinya, dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi seharusnya lepas dari kepentingan (pemerintah) dan pihak yang berperkara. Hal ini juga dikatakan oleh Saldi Isra yang mengatakan bahwa politik hukum pembentuk undangundang telah menentukan KI sebagai lembaga independen dan mandiri sebagaimana dikatakan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 23 UU KIP. Ketentuan ini mengandung arti bahwa KI harus ditempatkan pada posisinya sebagai lembaga mandiri. Penempatan posisi KI di bawa komponen pemerintah dapat dikatakan sebagai bentuk intervensi negara terhadap pemenuhan hak masyarakat informasi publik. Hal ini dapat menimbulkan gesekan kepentingan atau konflik kepentingan. Pembentukan
KI
melalui
UU
KIP
mengartikan
bahwa
UU
KIP
mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membentuk sebuah lembaga baru yang berfungsi, bertugas, dan mempunyai kewenangan seperti apa yang tertuang dalam UU KIP. Apabila melihat pembentukannya, maka dapat dikatakan bahwa KI dibentuk berdasarkan undang-undang. Selain itu, KI bersifat independent, yang mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya, KI tidak bernaung di bawah Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. KI
sebagai
lembaga
yang
dibentuk
berdasarkan
undang-undang
mempunyai fungsi untuk memastikan badan publik untuk menjalankan UU
KIP. Selain itu fungsi lain dari KI yaitu untuk menyelesaikan sengketa informasi publik. Keberadaan kelembagaan KI merupakan lembaga negara independen, yang difungsikan untuk menjalankan UU KIP. Kemandirian ini mengamanatkan
bahwa
dalam
menjalankan
fungsi,
tugas,
dan
kewenangannya KI tidak dapat diintervensi atau ditekan oleh lembaga/orang perorangan manapun. Sebagai lembaga negara yang ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa informasi tentu saja akan mengeluarkan putusan tentang penyelesaian sengketa
informasi.
Putusan
terkait
dengan
sengketa
informasi
yang
dikeluarkan oleh Komisi Informasi berkekuatan hukum tetap. Hal ini disecara tegas diatur dalam PERMA SIP yang mengatakan bahwa apabila para pihak tidak mengajukan keberatan atas Putusan KI, maka Putusan KI mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, Putusan KI dapat dilakukan eksekusi dengan meminta Ketetapan Ketua PN, untuk melakukan eksekusi putusan KI tersebut. Hambatan yang terjadi pada KI berasal dari keberadaan dukungan kesekretariatan dan anggaran yang diperoleh oleh KI. Sebagai lembaga negara yang mandiri, keberadaan dukungan kesekretariatan KI ini masih dapat dikatakan sangat kecil, selain itu kesekretariatan yang berasal dari salah satu kementerian dapat menimbulkan konflik kepentingan pada saat terjadi permasalahan di bidang informasi publik. Selain itu permasalahan anggaran yang masih diberikan hibah oleh dinas salah satu Kementrian juga menjadi salah satu permasalahan bagi KI. Anggaran yang sangat kecil menjadi permasalahan tersendiri bagi KI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Permasalahan lain yaitu terkait dengan belum adanya pemahaman terhadap proses hukum acara yang harus dilakukan oleh KI dalam melaksanakan proses adjudikasi non litigasi. Adapun rekomendasi dari penelitian ini ada tiga, yaitu pertama, kelembagaan KI sebagai lembaga negara yang mandiri dan dibentuk oleh undang-undang memerlukan kepastian hukum yang jelas terkait dengan struktur kelembagaan KI itu sendiri. Sebagai lembaga negara yang mandiri,
tentu saja memerlukan sebuah kelembagaan yang bebas dari intervensi dari pihak manapun. Kelembagaan KI yang ada saat ini berada di Provinsi masih banyak yang didasarkan hanya kepada pemenuhan desakan peraturan perundang-undangan
saja
dan
bukan
didasarkan
kepada
kebutuhan
masyarakat akan keterbukaan informasi publik. Perlu adanya perubahan paradigma bagi pemerintah daerah dalam membentuk kelembagaan KI di daerah, sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhannya akan informasi publik dan pemerintah daerah dapat mencapai sebuah pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean govermnet). Kedua, Kekuatan hukum dan proses eksekusi putusan KI memang sudah diatur dalam PERMA SIP, akan tetapi akan lebih baik jika substansi hukum ini diangkat lebih tinggi kedalam sebuah aturan setingkat undangundang. Hal ini agar memperjelas kekuatan hukum atas putusan KI yang sudah bersifat incraht. Ketiga, Perbaikan kelembagaan KI perlu dilakukan, hal ini dilakukan dengan merubah struktur kelembagaan kesekretariatan KI. Perlu adanya sebuah perubahan paradigma bahwa pembentukan kelembagaan baru di Indonesi
ditujukkan
untuk
menjamin
masyarakat
bahwa
kebutuhan
masyarakat akan keterbukaan informasi publik terpenuhi. Oleh karena itu, kelembagan KI perlu diperkuat baik itu dari sisi kesekretariatan, anggaran, sampai dengan keahlian atau kemampuan Komisioner KI itu sendiri. Pelatihan terkait dengan hukum acara perlu dilakukan oleh Komisioner KI dengan melakukan kerjasama dengan Badan Diklat MA.