i
HUKUM
LAPORAN PENELITIAN DOSEN
KEBIJAKAN HUKUIM PIDANA TERHADAP MEDIASI PENAL
Oleh : 1. Johny Krisnan, SH., MH
976308121
Hukum
2. Heni Hendrawati, SH., MH
947008069
Hukum
3. Irza Winasis
08.0201.0063
Hukum
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2012
ii
HALAMAN LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN 1. a. Judul Penelitian : Kebijakan Hukuim Pidana Terhadap Mediasi Penal b. Bidang Kajian : Hukum 2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : Johny Krisnan, SH., MH. b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Golongan/Pangkat/NIP/NIS : III.c/Penata Muda/976308121 d. Jabatan Fungsional : Lektor e. Jabatan Struktural : Dosen f. Fakultas/Program Studi : Hukum/Ilmu Hukum 3. Alamat Ketua Peneliti Alamat kantor/Telp/Fax/E-mail : Jl. Tidar 21 Magelang /(0293)362082/ (0293)361004/
[email protected] 4. Jumlah Anggota Peneliti a. Nama Anggota/Fakultas/Progdi : 1. Heni Hendrawati, SH.,MH/Hukum/Ilmu Hukum 2. Irza Winasis/Hukum/Ilmu Hukum b. Jumlah Anggota : 2 (dua) orang 5. Lokasi Penelitian : Magelang 6. Kerjasama dengan institusi lain a. Nama institusi : b. Alamat : c. Telphon/Fax/E-mail : 7. Lama Penelitian : 6 (enam) bulan 8. Biaya yang diperlukan : a. LP3M UMM : Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) b. Fakultas Hukum : Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) Jumlah ratus ribu rupiah)
: Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima Magelang,
Mengetahui/menyetujui Ketua LP3M,
DR. Suliswiyadi, MAg MH. NIS.966610111
Agustus 2012
Ketua Peneliti,
Johny Krisnan, SH., NIS. 976308121
iii
KATA PENGANTAR Assalamu`alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul: “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal”. Dalam penelitian ini penulis sadar bahwa tidak mungkin menyelesaikan hanya dengan kemampuan yang ada pada diri penulis saja, akan tetapi dalam hal ini mendapat banyak bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan segala petunjuk dan pikiran sehingga terwujudnya penyusunan penelitian ini. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh
dari
kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati lapang dada, maka saran dan kritik serta tegur sapa yang bersifat membangun guna kesempurnaan penelitian ini akan penulis terima dengan senang hati. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Ir. Eko Muh. Widodo, MT selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang.
2.
Agna Susila, SH, MHum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang.
3.
Bapak/ibu dosen dan staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang.
4.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
iv
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT, begitu pula andai kata ada kesalahan maupun kekhilafan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. . Magelang, Agustus 2012 Peneliti
Johny Krisnan, SH. MH Heni Hendrawati, SH. MH Irza Winasis
v
ABSTRAKSI Mediasi penal merupakan sarana alternatif penyelesaian perkara pidana yang dilakukan di luar proses peradilan. Pada dasarnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan penyelesaian kasus di luar pengadilan. Hal ini menyebabkan eksistensi mediasi penal dapat dikatakan ada dan tiada. Melihat penggunaan mediasi penal ini, yang satu sisi bisa diakui dan pada sisi lain bisa jadi tidak diakui, maka penulis tertarik melakukan penelitian dalam bentuk penelitian berjudul : “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal”. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu 1. Bagaimana hukum pidana saat ini mengatur mengenai mediasi penal?; 2. Bagaimana hukum pidana yang akan datang mengatur mengenai mediasi penal?. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan menggunakan bahan penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptif, melalui pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan Konseptual (conceptual approach), dan pendekatan Perbandingan (comparative approach). Dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa KUHP tidak mengatur masalah mediasi penal tetapi memberikan kemungkinan penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk perkara pidana yang diancam pidana denda dan pelaku telah membayar denda yang diancamkannya tetapi penyelesaian tersebut bukan merupakan mediasi penal karena yang termasuk dalam mediasi penal ialah perdamaian antara pelaku dan korban. Undang-Undang No 39 tahun 1999 mengakui dan mengatur mediasi penal terhadap perkara Hak Asasi Manusia yang mana mediasi tersebut dilakukan oleh Komnas HAM. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI mengakui mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana yang dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung RI No 1644 K/Pid/1988, yang mana dalam putusan tersebut menyatakan bahwa perkara pidana yang sudah diselesaikan di luar proses peradilan tidak dapat diajukan lagi dalam peradilan. Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS menyatakan dalam hal pekara tertentu diselesaiakan secara alternative dispute resolution (ADR) yang merupakan bentuk penyelesaian dari mediasi penal. Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 2012 dalam Pasal 145 mengatur mengenai kewenangan penuntutan gugur yang salah satunya ialah penyelesaian di luar proses, dengan demikian mediasi penal sangat mungkin sekali digunakan dalam penyelesaian perkara pidana. Beberapa negara asing sudah banyak yang menggunakan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dalam bentuk pemberian kompensasi atau ganti rugi bagi korban, diantaranya negara Austria, Belgia, Jerman, Perancis dan Polandia. Kata Kunci : Kebijakan Hukum pidana, Mediasi Penal
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………..
i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… ii KATA PENGANTAR ………………………………………………...
iii
ABSTRAKSI ………………..…………………………………………… v DAFTAR ISI …………………………………………………………...
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………..
4
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………
4
D. Manfaat Penelitian ……………………………………...……..
5
E. Sistematika Penulisan Penelitian ………………..………………. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum Pidana ……………………………….………
7
1. Politik Hukum ……………………………………...........
7
2. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) ……….............
8
3. Kebijakan Kriminil (criminal policy) .………………….
11
B. Pembaharuan Hukum Pidana .………………………………
13
1. Makna Pembaharuan …………..………………………..
13
2. Ide Pembaharuan Hukum Pidana …………..……...........
17
3. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia …..………........
20
C. Mediasi Penal …………………………….…………………
21
1. Peristilahan dan Prinsip Kerja Mediasi Penal ..…………
21
2. Model- Model Mediasi Penal …………..…………….…
23
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian …………………………….………………..
26
B. Bahan Penelitian …………………………….………………
27
C. Spesifikasi Penelitian ……………………………………….
28
D. Tahap Penelitian ………………………….…………………
28
E. Metode Pendekatan …………………………..……………..
29
F. Metode Analisis ……………………….……………………
29
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Mediasi Penal Dalam Hukum Pidana Saat Ini …
31
1. Mediasi Penal Dalam KUHP …………………………...
31
2. Mediasi Penal Dalam Undang-Undang Di Luar KUHP...
32
a. Mediasi Penal Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ………..…………..
32
b. Mediasi Penal Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung.
35
c. Mediasi Penal Dalam Surat Kapolri ……………………
40
B. Pengaturan Mediasi Penal Dalam Hukum Pidana Yang Akan Datang …………………………………………………….…
42
1. Mediasi Penal Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP 2012 ………………………………………..……
42
2. Mediasi Penal Di Negara Lain .………………………….
43
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………
48
B. Saran ………………………………………………………..
49
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mediasi penal merupakan suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana (penegak hukum, pelaku dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar prosedur yang formal/proses peradilan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pada dasarnya, mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) yang lazim diterapkan terhadap perkara perdata.1 Menurut hukum pidana positif Indonesia pada dasarnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian,
lembaga adat
lain sebagainya.2
dan
Implikasi
praktik
penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku. Konsekuensi diterapkan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata tidak begitu besar. Eksistensi mediasi penal merupakan dimensi baru dikaji dari aspek teoritis dan praktik. Dikaji dari praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya 1
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, diakses http//google.com/mediasi penal, tanggal 4 Maret 2012 2 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana Diluar Pengadilan, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 2
1
2
menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Apakah semua macam perkara pidana harus diajukan dan diselesaikan dimuka pengadilan, ataukah ada perkara-perkara tertentu, yang memungkinkan untuk diselesaikan melalui pola mediasi penal. Pada polarisasi dan mekanisme mediasi penal, sepanjang hal tersebut sungguh-sungguh dikehendaki bersama oleh para pihak (pelaku dan korban), serta untuk mencapai kepentingan yang lebih luas, yaitu terpeliharanya harmonisasi sosial. Eksistensi mediasi penal mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai peradilan dengan pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law enforcement process). Melalui proses mediasi penal maka diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi yang dicapai bersifat “kesepakatan anatara pelaku dan korban” (win-win). Selain itu, melalui mediasi penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen Sistem Peradilan Pidana. Dikaji dari perspektif sosiologis maka aspek ini berorientasi pada masyarakat Indonesia dimana akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengkedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam suatu sistem sosial tersebut diselesaikan
3
melalui kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat. Praktik sosial pada masyarakat Indonesia, lembaga mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi dalam wilayah tertentu di Indonesia, antara lain pada masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera Barat dan hukum adat Lampung. Dikaji dari perspektif yuridis, mediasi penal dalam hukum negara (ius constitutum) sejatinya memang belum banyak dikenal dan masih menyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan superioritas masyarakat kearifan lokal. Implikasi lain sebenarnya eksistensi mediasi penal dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan demikian, di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat. Ada beberapa fakta dan argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap mediasi penal tersebut diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Yaitu dikatakan “ada” karena mediasi penal sudah sering digunakan oleh sebagian masyarakat dan juga bahkan mediasi penal tersebut diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Dikatakan “tidak ada” karena mediasi penal tersebut belum dikenal atau diketahui oleh semua orang dan di dalam
4
praktiknya sekalipun sudah dilakukan mediasi penal tetap saja suatu perkaran bisa diproses secara hukum. Dilihat dari perspektif yurisprudensi Mahkamah Agung RI mediasi penal melalui eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan. Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui eksistensi peradilan adat dimana adanya mediasi penal antara pelaku dengan korban, kemudian penjatuhan “sanksi adat” tersebut dilakukan sebagai suatu pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat adatnya sehingga adanya keseimbangan dan menjadi kembali seperti sedia kala.3 Melihat penggunaan mediasi penal ini, yang disatu sisi bisa diakui dan pada sisi lain bisa jadi tidak diakui. Maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul : “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal” B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah hukum pidana saat ini mengatur masalah mediasi penal?
2.
Bagaimanakah hukum pidana yang akan datang mengatur masalah mediasi penal?
C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan peneliti mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia berkaitan dengan mediasi penal tersebut mempunyai tujuan antara lain : 1.
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis hukum pidana positif mengatur masalah mediasi penal.
2.
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis hukum pidana positif yang akan datang mengatur masalah mediasi penal.
3
Lilik Mulyadi, Loc. Cit
5
D. Manfaat Penelitian Bardasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan peneliti ini dapat meberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu sebagai berikut : 1. Secara teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap prospek atau gambaran masa depan politik hukum pidana dalam merumuskan peraturan hukum positif (the positife rules) terhadap pelaksanaan penyelesaian perkara pidana secara mediasi penal. 2. Secara praktis Secara praktis penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam mensikapi praktik-praktik pelaksanaan mediasi penal di Indonesia. Disamping itu juga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada praktisi dan masyarakat mengenai masalah dan pelaksanaan dari mediasi penal, dengan mengacu pada hukum yang berlaku. E. Sistematika Penulisan Penelitian Hasil penelitian ini disusun dalam sebuah penelitian yang akan membahas dan menguraikan masalah yang terdiri dari terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana antara bab yang satu dengan bab yang lainnya saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang secara ringkas disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang pendahuluan, yang membahas masalah pokok penelitian meliputi tentang latarbelakang masalah atau alasan pemilihan judul tentang dipilihnya judul penelitian serta merupakan arah jalan pemikiran secara singkat yang menjadi penuntun dalam melakukan pembahasan terhadap sub bab berikutnya yang meliputi perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini penulis menguraikan teori-teori yang terkait dengan judul, berdasarkan pada bahan bacaan. Dalam bab ini peneliti menguraikan mengenai Politik Hukum Pidana yang terdiri dari Politik Hukum, Kebijakan Hukum Pidana, Kebijakan Kriminil,
Pembaharuan Hukum
Pidana yang terdiri dari Makna Pembaharuan, Ide Pembaharuan, Mediasi Penal yang terdiri dari Peristilahan Mediasi Penal dan Model-Model Mediasi Penal. BAB III METODE PENELITIAN Bab III berisi Metodologi, dikemukakan tentang metode yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan penelitian ini sehingga dapat dihasilkan penelitian yang bersifat ilmiah. Metodologi penelitian ini akan diuraikan hal-hal Jenis Penelitian, Bahan Penelitian, Spesifikasi Penelitian, Tahap Penelitian, Metode Pendekatan, dan Metode Analisis. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam Bab IV ini peneliti menjelaskan mengenai hasil-hasil yang didapat dari penelitian yang diadakan beserta pembahasannya, yaitu mengenai pengaturan mediasi penal dalam hukum pidana saat ini dan pengaturan mediasi penal dalam hukum pidana yang akan datang. BAB V PENUTUP Bab ini berisi penutup yang merupakan bab terakhir dari penyusunan penelitian meliputi kesimpulan dan saran-saran, berdasarkan hasil penelitian untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum Pidana 1. Politik Hukum Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu : a. Perkataan politiek dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara; b. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara. Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik kriminil, politik hukum, dan politik hukum pidana.4 Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai: Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya di pandang sebagai pasal-pasal melainkan harus di pandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
4
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung : Sinar Baru, 1983), halaman 16.
7
8
Menurur Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang harus seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.5 Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan,6 politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Bertolak dari pengertian demikian beliau selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.7 2. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politeik (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah “kebijakan Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana” Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakan olehnya, bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dengan demikian, penal policy pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada 5
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2005), halaman 12. 6 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, loc.cit, halaman 16 7 Sudarto, Hukum dan hukum Pidana, (Bandung :Alumni, 1983) halaman 96
9
pembuat
undang-undang
(kebijakan
legislatif),
kebijakan
aplikasi
(kebijakan yudikatif) dan pelaksana pidana (kebijakan eksekusi). Kebijakan legislatif merupakan tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan
kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang
dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.8 Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Selanjutnya dinyatakan oleh Marc Ancel : “Diantara study mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu sistem pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk mengahasilkan suatu kebijakan hukum pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat” Akhirnya dikemukakan oleh Marc Ancel, bahwa sistem hukum pidana abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beretikad baik dan juga oleh semua ahli dibidang ilmu-ilmu sosial. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan9 : a) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui. b) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c) Cara
bagaimana
penyidikan,
penuntutan,
peradilan,
dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan 8
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), halaman 23 9 Ibid, halaman 27
10
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 10 Jika demikian halnya maka menurut Sudarto,11 melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Lebih lanjut, Sudarto menyatakan : Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai fungsi : 1) Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan 2) Fungsi instrument. Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundangundangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan, dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi 10 11
Teguh, loc.cit, halaman 12 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit. halaman 23
11
kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan idelialisme Pancasila.12 Menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Untuk mencapai hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional. Dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundangundangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif. Bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umunya.13 Dengan penegasan tersebut berarti, masalah kebijakan hukum pidana termasuk salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang pidana sebagai salah satu bentuk reaksi atau respons terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek studi kriminologi. 3. Kebijakan Kriminil (criminal policy) Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :14 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
12
Teguh, Op.cit, halaman 14 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Opcit, halaman 24. 14 Ibid, halaman 1 13
12
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian; c. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat. Penegakan norma-norma sentral itu dapat diartikan sebagai penanggulangn kejahatan. Melakukan politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan. 15 Kebijakan atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal
ialah
perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikianlah dapat dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). Politik kriminil tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas. Ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.16 Politik kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society.
Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan
G.Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime. Hal ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.17 15
Teguh, Opcit, halaman 16 Ibid, halaman 17 17 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Smarang : Undip, 2000), halaman 47 16
13
Sebagaimana dikemukakan oleh G P Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu : 1) Criminal law application 2) Prevention without punishment 3) Influenching views of society on crime and phunisment Tujuan akhir dari kebijakan kriminil ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya kebahagiaan warga masyarakat, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbangan. 18 B. Pembaharuan Hukum Pidana 1. Makna Pembaharuan Berbagai pihak baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, maupun pemerintahan, melalui RUU-KUHP, salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah adanya kemajuan teknologi
informasi
yang
menghendaki
segala
aktifitas
manusia
berlangsung dengan cepat, transparan serta tanpa dibatasi wilayah. Maka, dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal Policy) telah diupayakan yang sampai sekarang masih terus diolah. Akan tetapi dalam praktiknya, pembaharuan hukum pidana yang ada sekarang ini hanyalah berorientasi kepada pembaharuan undang-undang pidana. 19 Pada saat hukum dikonsepsikan sebagai suatu sistem, hukum akan menuju pada suatu proses demi tegaknya hukum itu sendiri. Proses untuk mencapai terwujudnya Indonesia baru adalah merupakan suatu proses politik yang disadari. Proses pembaharuan ini dikenal dengan istilah legal reform. Proses ini adalah bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif. Disinilah hukum dapat difungsikan sebagai apa yang dalam 18
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan pidana, ( Bandung : Alumni, 1992), halaman 158 19 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), halaman 1
14
kepustakaan teori hukum disebut dengan “tool of social engineering” entah yang efektif lewat proses-proses yudisial ataupun lewat prosesproses legislatif. Dalam fungsinya yang reformatif sebagai tool of social engineering itu, di Indonesia pembaharuan hukum acap kali masih diperbincangkan dalam konsepnya yang terbatas sebagai legal reform (Pembaharuan Undang-undang atau pembaharuan sistem perundangan belaka). Dalam konsepnya seperti ini, pembaharuan hukum akan berlangsung sebagai aktifitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan pemikiran-pamikiran kaum politisi atau pemikiran para elit professional yang memiliki akses lobi. Soetandyo menjelaskan di Indonesia ini pembaharuan hukum sebagai legal reform dalam realitas sejarahnya belum pernah mendapatkan keberhasilan, dengan kata lain pembaharuan hukum semacam ini belum pernah
terbukti.
Reform
atau
pembaharuan
seperti
ini
hanya
berkecenderungan untuk membatasi diri pada pembaharuan undangundang atau pasal dan ayat yang telah ada dalam perundang-undangan saja, dan sepertinya berkesan untuk tidak mempertanyakan paradigma ideologisnya. Cara pembaharuan seperti ini, tetaplah membatasi diri pada cara pandang yang positivistik belaka. Padahal pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis peraturan (rule bound) tidak mampu untuk menangkap kebenaran karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalis positifis, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks, telah diprediksi menjadi suatu yang sederhana, linear, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan professional. Dalam konteks hukum, doktrin dan ajaran hukum yang demikian yang masih dominan, termasuk kategori legismenya Schyut. Oleh karena itu, legisme melihat dunia hukum dari teleskop undang-undang belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami
15
hukum sebagai suatu yang rasional logis, penuh dengan kerapihan dan keteraturan rasional. Apabila kita melihat legal reform ini dari kajian semiotika hukum, pembaharuan ini tidaklah akan bisa mengikuti keterlibatan khalayak ramai yang awam. Berada dalam suatu lingkungan yang disyaratkan oleh pengalaman budaya dan pengalaman berbahasa yang amat berbeda, khalayak ramai ini akan sulit untuk memasuki suatu wacana yang dikuasai oleh apa yang disebut dengan linguistik dominating sistem para elit politisasi dan elit professional yang dengan itu mampu mendominasi peraturan hukum formal. Disamping itu, legal reform akan lebih gampang untuk merespon kepentingan mereka yang mapan untuk berkuasa daripada kepekaan pada kepentingan mereka yang berkedudukan marjinal dan mempunyai keadaan hidup yang sangat rawan.20 Dari penjelasan diatas, jelas bahwa kebebasan, kesetaraan, dan kesamaan dalam memperoleh kesempatan sebagaimana dijanjikan oleh hukum itu, hanyalah sebatas norma-norma yang abstrak dan dalam retorika-retorika teoritis belaka. Dalam kenyataannya, para pelaku dalam kehidupan hukum itu tidak memiliki kesempatan yang sama untuk masuk kedalam sistem guna mengklaim hak-hak yang telah dijanjikan In Abstracto. Karena legal reform itu tidak memuaskan, munculah aliran realism hukum di Amerika serikat yang dirintis untuk memperlancarkan kritiknya terhadap law reform. Tujuannya adalah untuk menandingi doktrin hukum kaum positivistik, dengan legal reformnya. Pada dasarnya pendukung aliran realisme hukum ini menolak doktrin tentang universalisme substansi hukum yang berkonsekuensi pada tiadanya pengakuan terhadap hukum hak-hak mereka sebagai minoritas. Para penganut faham law reform ini yang berorientasi kepada hukum yang hidup dalam masyarakat, menolak paham Lengdelian. Paham Langdelian menyatakan bahwa hukum itu merupakan suatu sistem normatif yang tertutup. Oleh karena itu, 20
Yesmil Anwar dan Adang, Loc. Cit, halaman 1
16
mempunyai logiknya sendiri yang deduktif, yang terlepas dari kontekskonteks politik, sosial, maupun kultural. 21 Dalam law reform, yang menjadi pokok pemikiran Holmes bahwa seorang hakim yang bertanggungjawab memformulasikan hukum lewat keputusan-keputusannya, harus selalu berdasarkan pada keyakinan yang benar, akan kebenaran pernyataan bahwa hukum bukanlah sesuatu “omnipresent in the sky” melainkan sesuatu yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkret “to meet the social need”. Maka bukanlah logika hakim yang digunakan untuk berlogika secara deduktif-matematis dari pangkal-pangkal premis yang dinamakan prosedur hukum formal. Akan tetapi, yang harus dikedepankan adalah demi kepastiannya, kemampuan sang hakim dalam menangkap makna yang ia artikan sebagai kebenaran sebagaimana yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ia kukuhi, latar belakang pengalaman pribadinya dan kecenderungan pilihannya. Yang terkandung didalam law reform adalah lebih luas dari pada makna yang terkandung dalam legal reform. Law disini bukan diartikan secara sempit sebagai undang-undang, akan tetapi law diartikan sebagai produk aktifitas dari politik rakyat yang berdaulat, yang digerakan oleh kepentingan ekonomi mereka yang lugas, yang ikut diilhami dan atau dirujuk kenorma-norma sosial dan atau nilai-nilai ideal kultural.22 Jika legal reform dilancarkan oleh Mochtar Kusumatdmadja, law reform sudah disuarakan oleh Satjipto Rahardjo, dengan teori hukum progresifnya. Ia menegaskan bahwa, bukan undang-undang yang mendapat tempat istimewa dalam pembaharuan hukum, akan tetapi cara pandang, pemikiran, dan ide paradigma yang melandasi pembaharuan tersebut. Singkatnya, berbicara mengenai makna dari pembaharuan hukum baik sebagai proses, maupun sebagai produk. Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum sebagai proses kita namakan dengan law reform, 21 22
Ibid, halaman 3 Ibid, halaman 11
17
sementara pembaharuan hukum sebagai produk kita namakan sebagai legal reform. 2. Ide Pembaharuan Hukum Pidana Dari pengritik masalah hukum pidana diantaranya ialah Jeremy Bentham yang membulatkan pikiran-pikiran mereka dengan teori Pidana Tujuan. Dia mengatakan bahwa pidana janganlah digunakan apabila, Groundless (tanpa dasar), Needless (tidak berguna), Unprofitable (Tiada menguntungkan). Pendekatan yang digunakan oleh Jeremy Bentham ini merupakan suatu pendekatan dari segi kemanfaatan, pandangan didasarkan pada The Great Happyness of the great numbers. Kebahagiaan untuk orang banyak. Untuk lebih melengkapi pendapat Jeremy bentham ini, Ted Honderich mengatakan, bahwa suatu pidana dapat disebutkan sebagai alat pencegahan yang ekonomis apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut23 : a. Pidana itu sungguh mencegah b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu dikenakan c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil Selanjutnya Nigel Walker mengatakan bahwa prinsip-prinsip pembatasan terhadap hukum pidana seperti berikut : a. Hukum pidana jangan digunakan semata-mata untuk pembalasan. b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan atau membahayakan. c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana lain. d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang timbul dari pidana itu lebih besar.
23
Ibid.
18
e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya dari perbuatan yang dicegah. Selain penjelasan diatas yang mengkritik tentang hukum pidana, dalam berbagai kongres PBB yang diselenggarakan 5 tahun sekali mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders”, dijelaskan pula24 : Bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada dibeberapa negara (terutama yang berasal dari hukum asing semasa kolonial), pada umumnya bersifat absolete and unjust (telah using dan tidak adil) serta outmoded and unreal (sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan kenyataan) Uraian kongres PBB tersebut, beralaskan bahwa karena sistem hukum pidana dibeberapa negara yang berasal atau impor dari hukum asing semasa zaman kolonial, tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsive terhadap kebutuhan sosial masa kini. Pemikiran tersebut mengharuskan adanya reevaluasi, review, reorientasi, reformasi, dan reformulasi terhadap kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.25 Hal ini diperlukan upayaupaya untuk melakukan penggalian hukum, antara lain lewat kajian perbandingan. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy Oriented Approuch) dan pendekatan nilai (Value Oriented Approach).26 KUHP hanya merupakan suatu bagian/subsistem dari sistem pemidanaan atau bagian/subsistem dari sistem penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, disadari sejak awal bahwa upaya pembaharuan hukum 24
Ibid, halaman 13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Opcit, halaman 29 26 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung Citra Aditya Bakti) halaman 4 25
19
pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan hanya dengan mengajukan konsep/Rancangan Undang-Undang KUHP (Hukum Pidana Materiel), tetapi juga harus disertai dengan konsep/Rancangan Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan konsep/Rancangan Undang-Undang Pelaksanaan Pidana. Penyusunan hukum pidana materiel/subtantif (termasuk KUHP) pada hakikatnya merupakan penyusunan suatu “sistem yang bertujuan” dan
merupakan
bagian/subsistem
dari
tahap-tahap
kebijakan
fungsional/operasionalisasi hukum pidana. Oleh karena itu, harus ada keterjalinan atau kesatuan mata rantai antara tahap pembuatannya dengan tahap penerapan dan tahap pelaksanaannya. Materi konsep KUHP (sistem hukum pidana materiel dan asasasasnya), ingin disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar, secara garis besar dapat disebut dengan “ide keseimbangan” yang antara lain mencakup : a) Keseimbangan
monodualistik
antara
kepentingan
umum/
masyarakat dan kepentingan individu/perorangan. b) Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana. c) Keseimbangan antara unsur/faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan subjektif (orang/batiniah/sikap batin). d) Keseimbangan antara kriteria formal dan materiel e) Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas, dan keadilan. f) Keseimbangan
nilai-nilai
nasional
dan
nilai-nilai
global/
internasional/universal. Ide dasar keseimbangan itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu dalam masalah tindak pidana, masalah kesalahan/pertanggungjawaban pemidanan.
pidana,
dan
masalah
pidana
dan
20
3. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Secara normatif pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak
masa
permulaan
berdirinya
Republik
Indonesia
yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini (UUD 1945) Peraturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. Dapat diperhitungkan bahwa KUHP dari negara-negara Eropa Barat yang bersifat individualistis-kapitalistis itu bercorak lain dari pada KUHP dari negara-negara Eropa Timur yang berdasarkan politik sosialis. Di negara kita berpandangan politik berdasarkan pancasila, sedangkan pandangan tentang hukum pidana sangat erat sekali hubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, negara, masyarakat, dan kriminalitas.27 Pembaharuan hukum pidana Indonesia memang dibutuhkan dan ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, kita ketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini berasal dari masa Hindia Belanda dahulu. Ia diciptakan untuk suatu masyarakat kolonial dan norma-norma yang ada dalamnya pun sesuai dengan kebutuhan jamannya. Tambah lagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang setelah kemerdekaan diganti namanya dari “Wetboek Van Strafrecht” dengan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, naskah resminya hingga kini masih berbahasa Belanda sedangkan isinya mengikuti Wetboek van Strafrecht Nederland dari tahun 1886 sebagai akibat atas konkordasi, meskipun disana sini ada penyesuaian dengan keadaan serta kebutuhan spesifik daerah jajahan. 27
Yesmil Anwar dan Adang, Opcit, halaman 16
21
Pembaharuan
hukum
pidana
sebagai
bagian
dari
upaya
pembaharuan atau pembangunan sistem hukum nasional, adalah merupakan masalah yang sangat besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masalah yang tengah dihadapi ialah masalah memperbaharui dan
mengganti produk-produk kolonial dibidang hukum pidana,
khususnya pembaharuan KUHP(WvS) warisan zaman Hindia Belanda yang merupakan induk dari dari seluruh sistem hukum pidana saat ini. Upaya ini jelas merupakan tuntutan dan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan yang paling penting adalah tuntutan kemandirian dari bangsa yang merdeka.28 Dengan demikian, artinya telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang berpijak pada asas-asas dan dasardasar yang berasal dari jaman kolonial, dan menggantikannya dengan tata hukum dan hukum pidana Indonesia, yang asas-asasnya dan dasar pokoknya harus berdasarkan pancasila. C. Mediasi Penal 1. Peristilahan dan Prinsip Kerja Mediasi Penal Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut dengan Stafbemiddeling,
dalam
istilah
Aubergerichtliche Tatausgleich”
Jerman
disebut
dengan
“Der
(disingkat ATA) dan dalam istilah
Perancis disebut dengan “de mediation penale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah “Victim Offender Mediation” (VOM) atau “offender victim arrangement” (OVA). Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang biasa dikenal dengan ADR atau Alternative Dispute Resolution, dan ada pula yang menyebutnya dengan Apropriate Dispute Resolution. ADR pada umumnya digunakan 28
Ibid.
22
dilingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun pada umunya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktik sering juga kasus pidana diselesaikan diluar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah atau perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat seperti, musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah adat dan lain sebagainya. Praktik penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, walaupun melalui mekanisme hukum adat. Namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.29 Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana diberbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukan, bahwa perbedaan hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. Mediasi penal yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principle) sebagai berikut30 : a. Penanganan konflik (conflik Handling) Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi.
29 30
Ibid. Ibid.
23
Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik personal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. b. Berorientasi pada proses (process Orientation) Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut. c. Proses informal ( Informal Processing) Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Meraka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. 2. Model-Model Mediasi Penal Dalam “explanatory Memorandum” dari rekomendasi dewan Eropa no. R (99) 19 tantang “mediation in Penal Matters” dikemukakan beberapa model mediasi penal, sebagai berikut : a. Model “Informal Mediation” Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melakukan penuntutan apabila terjadi kesepakatan. Model ini juga bisa dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas, oleh pejabat polisi, dan oleh hakim. b. Model “Traditional Village or Tribal Moots” Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya. Model ini ada
24
dibeberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau di daerah pedalaman. Model ini lebih memilih untuk mementingkan keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi
modern.
Program
mediasi
modern
sering
mencoba
memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum. c. Model “Victim Offender Mediation” Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediator yang ditunjuk dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahap proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak dan juga ada untuk tipe tindak pidana tertentu seperti pengutilan, perampokan, dan tindak kekerasan. Ada yang terutama ditujukan kepada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat bahkan untuk recidivis. d. Model “Reparation Negotiation Programmes” Model ini semata-mata untuk menafsirkan atau menilai kempensasi atau perbaikan yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi atau kompensasi.
25
e. Model “Community Panels or Courts” Model ini merupakan program untuk membelokan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. f. Model “Family and Community Group Conference” Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealeand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu seperti polisi dan hakim , dan juga para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan atau persoalan berikutnya.31
31
Ibid.
26
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian secara ilmiah dilakukan untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya, atau kecenderungan-kecenderungan yang timbul. Oleh karena itu adalah logis bahwa untuk mengungkapkan kebenaran yang menjadi salah satu dasar dari ilmu pengetahuan, maka seorang peneliti harus dapat melakukan kegiatan yang dikualifikasikan sebagai upaya ilmiah, maka akan menimbulkan suatu konsekuensi, yakni kebenaran ilmiah yang dapat dicapai jika dilakukan dengan menggunakan suatu pedoman atau petunjuk kearah mana langkah-langkah harus dijalankan beserta urutannya. Berdasarkan hal tersebut, maka segala langkah untuk mencapai tujuan penelitian harus dilandasi oleh suatu metode dengan memberikan arah yang cermat dan syarat-syarat yang ketat, hal ini dikarenakan hasil penelitian harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga memerlukan metode penelitian.32 Sehubungan dengan peran dan fungsi metodologi dalam penelitian ilmiah, Soerjono Soekamto menyatakan bahwa metodologi pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara seorang ilmuwan
mempelajari, menganalisa dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya. Sejalan dengan penelitian yang berjudul : “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal”, maka dalam bab ini akan dijelaskan langkah-langkah yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian ini. Adapun metode yang peneliti pergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : A. Jenis Penelitian Sesuai dengan judul, jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, dan berusaha menelaah kaidah-kaidah 32
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI PRESS, 1984) halaman 3
27
hukum yang berlaku dalam masyarakat.33 Penelitian ini memilih sifat dan karakteristik penelitian kepustakaan atau studi dokumen, yaitu suatu penelitian yang mengutamakan pada bahan-bahan penelitiannya, antara lain bahan hukum dan bahan non hukum, karena sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu pengaturan mediasi penal didalam hukum pidana Indonesia saat ini dan yang akan datang maka sangat tepat dengan cara studi dokumen mencari pengaturan mediasi penal. Peneliti akan mengidentifikasi dan menganalisa mengenai pengaturan hukum pidana terhadap mediasi penal dilihat dari aspek sosiologis, aspek yuridis dan praktiknya serta juga melihat penerapan mediasi penal di negara lain. B. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang peneliti gunakan antara lain : 1) Bahan Primer Bahan primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya bahan hukum yang mempunyai otoritas.34 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, seperti : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana b. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia c. RUU KUHP Tahun 2012 d. Putusan Mahkamah Agung RI 666 K/Pid/1984 e. Putusan Mahkamah Agung RI No 1644 K/Pid/1988 f. Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS 2) Bahan Sekunder Bahan sekunder merupakan bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi.35 Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Bahan non hukum, yaitu bahan-bahan selain dari disiplin ilmu hukum, 33
Ibid, halaman 29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ( Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005), halaman 141. 35 Ibid. 34
28
yang dapat berupa buku-buku selain mengenai hukum, laporan-laporan non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif merupakan penelitian ilmu hukum yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.36 Dalam hal ini untuk mengetahui bagaimana tujuan dan nilai keadilan dari pengaturan Mediasi Penal dalam Hukum Pidana Indonesia. D. Tahap Penelitian Tahap penelitian yang digunakan antara lain: 1)
Tahap Pendahuluan Pada
tahap
ini,
peneliti
mengidentifikasi
dan
menganalisis
permasalahan yang akan diteliti yaitu mengenai pelaksanaan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana. Kemudian mengumpulkan bahan-bahan penelitian baik primer maupun sekunder. Bahan primer diperoleh dari download internet, sedangkan bahan sekunder diperoleh dari buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan Universitas Muhammadiyah Magelang. 2)
Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini, peneliti melakukan pengumpulan bahan primer dan bahan sekunder mempunyai relevansi dengan mediasi penal. Kemudian disusun dalam bentuk proposal dan diseminarkan sehingga terbentuklah judul Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal.
3)
Tahap Akhir Pada tahap ini peneliti mengidentifikasi dan menganalisis bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi dokumen, kemudian digunakan untuk menjawab permasalahan tentang pengaturan mediasi penal dalam hukum pidana Indonesia yang dilanjutkan memberikan prepenelitian
36
Ibid, halaman 22.
29
berdasarkan argumentasi yang telah dibangun didalam kesimpulan. Kemudian menuangkan dalam bentuk Penelitian. E. Metode Pendekatan Untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya oleh peneliti maka, diperlukan suatu pendekatan dalam penelitian hukum dan pendekatan yang peniliti gunakan ialah ; 1)
Pendekatan undang-undang (statute approach) Pendekatan undang-undang adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sesuai dengan permasalahan yang diteliti yaitu tentang pengaturan mediasi penal didalam Hukum Pidana Indonesia maka menggunakan pendekatan undang-undang untuk mencari semua peraturan yang mngatur masalah mediasi penal.37
2)
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Penelitian ini mencari dan menelaah doktrin-doktrin yang berkaitan dengan mediasi penal untuk membangun argumentasi didalam penelitian.38
3)
Pendekatan Perbandingan (comparative approach) Pendekatan perbandingan adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan perbandingan hukum suatu Negara dengan hukum Negara lain. Penelitian ini melakukan perbandingan pengaturan mediasi penal dalam hukum pidana dibeberapa Negara.39
F. Metode Analisis Setelah semua data terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, data tersebut dianalisis secara kualitatif yaitu menjabarkan data-data yang diperoleh kemudian mencari korelasinya dengan permasalahan penelitian 37
Ibid, halaman 96. Ibid, halaman 137. 39 Ibid, halaman 132. 38
30
ini. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yang berkaitan dengan pengaturan mediasi penal dalam Hukum Pidana Indonesia, kemudian disusun secara sistematis dan melaporkan dalam bentuk penelitian
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Mediasi Penal Dalam Hukum Pidana Saat Ini 1. Mediasi Penal Dalam KUHP Untuk perkara pidana pada dasarnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, meskipun dalam hal-hal tertentu sangat dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana diluar pengadilan akan tetapi tidak termasuk ruang lingkup mediasi penal. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 82 KUHP, yang berbunyi : Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja yang dihapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Dalam hal delik yang dilakukan berupa pelanggaran yang diancam dengan pidana denda, menurut Pasal 82 KUHP hak menuntut itu hapus apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau pembayaran denda damai yang merupakan salah satu alasan penghapusan penuntutan. Ketentuan dari Pasal 82 KUHP tersebut belum dapat dikatakan sebagai bentuk dari mediasi penal, ketentuan tersebut hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dalam Pasal 82 KUHP belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara korban dan pelaku terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi yang merupakan sarana pengalihan untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupakan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi atau kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar denda maksimum yang diancamkannya. Penyelesaian perkara pidana di luar
31
32
pengadilan dikatakan mediasi penal jika dalam perkara tersebut diselesaikan dengan adanya suatu kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban yang dilakukan disertai dengan suatu ganti rugi atau kompensasi bagi korban. 2. Mediasi Penal Dalam Undang-Undang Di Luar KUHP a. Mediasi Penal Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang merupakan peraturan yang juga termasuk dan diatur dalam Hukum Internasional yang dianggap sebagai kejahatan internasional ternyata juga mengatur dan mengenal mediasi di dalam menyelesaikan kasus-kasus yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dapat dilihat di dalam beberapa pasal di UndangUndang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu : Pasal 76 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Komnas HAM merupakan komisi yang dibentuk pemerintah untuk mewakili pemerintah yang bertanggung jawab dalam menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Komnas HAM bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan piagam PBB, dan juga meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu cara untuk mencapai tujuannya tersebut, Komnas HAM diberi kewenangan untuk melakukan mediasi terhadap suatu pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut masalah hak asasi manusia. Cara bagaimana Komnas HAM melakukan mediasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia diatur lebih lanjut di dalam Pasal 89 ayat 4 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut :
33
a. b. c. d. e.
Pasal 89 Ayat (4) UU No. Tahun 1999 Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam melakukan mediasi, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan : Perdamaian kedua belah pihak. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Penyampaian rekomendasi atas suatupelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk ditindaklanjuti. Peran dari Komnas HAM sendiri dalam melakukan mediasi terhadap
pelanggaran HAM, penyelesaian perkara tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Komnas HAM bisa memilih salah satu cara untuk melakukan penyelesaian perkara tersebut. Selain sebagai mediator dan juga fasilitator dalam menyelesaikan suatu perkara, Komnas HAM juga berhak melakukan suatu investigasi ataupun penelitian akan terjadinya suatu kasus pelanggaran HAM yang selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk selanjutnya dimintakan agar untuk ditindaklanjuti. Kekuatan hukum mediator yang dilakukan komnas HAM terhadap perkara pelanggaran HAM lebih lanjut diatur dalam Pasal 96 sebagai berikut : Pasal 96 UU No. 39 Tahun 1999 1) Penyelesaian dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator. 2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator. 3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. 4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salahsatu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud ddalam ayat (4).
34
Kekuatan hukum mediator dari Komnas HAM dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM mengikat secara hukum, mengikat semua pihak, dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. Sehingga dalam hal perkara tersebut sudah diselesaikan oleh Mediator yaitu Komnas HAM melalui cara negosiasi, mediasi, dan konsiliasi keputusannya harus dilaksanakan oleh pihak yang berperkara, dengan konsekuensi apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan tersebut maka pihak yang lain dapat meminta Pengadilan Negeri untuk membubuhkan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam surat keputusannya tersebut sehingga kekuatan dari hasil negosiasi, mediasi, atau konsiliasi tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama kuat dengan keputusan Hakim Pengadilan. Dari uarian di atas dapat dikatakan bahwa dalam hal terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (7), Pasal 76 ayat (1), Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 96 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM. Aspek ini sifatnya hanya bersifat parsial, oleh karena tidak ada ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena ketentuan pasal 89 ayat (4) menentukan bahwa Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, atau hanya memberi rekomendasi kepada pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Selain itu pula, ketentuan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tidak mengatur secara tegas yang menyatakan bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan, tetapi berdasarkan Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan bahwa, “keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”. Dari pengaturan mediasi di dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini meurut teori dalam Mediasi Penal merupakan perwujudan dari Model “Victim Offender Mediation”, yaitu
35
mediasi antara korban dan pelaku yang dilakukan oleh seorang mediator yang dapat berasal dari pejabat formal, mediator independent, atau kombinasi. Mediator dalam Undang-Undang HAM ini dilakukan oleh pejabat formal yaitu Komnas HAM yang merupakan pejabat Pemerintah yang memang bertugas dan berwenang melakukan mediasi terhadap suatu perkara hak asasi manusia. b. Mediasi Penal Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Selain di dalam peraturan perundang-undang, mediasi penal juga sudah digunakan sebagai dasar putusan di Mahkamah Agung yang juga sudah menjadi yurisprudensi di Indonesia. Bentuk yang sama dengan penyelesaian perkara diluar pengadilan melalui mediasi penal yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 666 K/1984 tanggal 23 Februari 1985 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Putusan Mahkamah Agung tersebut pada intinya mengakui penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang mana dalam putusan ini perkara pidana diselesaikan secara hukum adat. Yang pertama Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985, pada dasarnya merupakan perkara yang berasal dari putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin diluar perkawinan. Pada tingkat Pengadilan Negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 yang unsur-unsurnya : -
Unsur pertama suatu perbuatan yang malanggar hukum yang hidup
-
Unsur kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingnya dalam KUHP
-
Unsur ketiga perbuatan pelanggar tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang yang bersangkutan
36
Adapun ratio decidende Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelamin diluar perkawinan oleh seorang laki-laki penduduk Banggai dengan seorang dewasa yang mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dalam masyarakat dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik oleh KUHP. Oleh karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan, telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingnya dalam KUHP. Kemudian Putusan Pengadilan negeri Luwuk Nomor 27/pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukannya perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang menganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang wanita diluar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui putusan pengadilan negeri tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbutan yang dikategorikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat. Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim di Pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung langsung menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Putusan Mahkamah Agung RI nomor 666 K/Pid/1984 tersebut berhubungan dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, yaitu dimana dalam Putusan Mahkamah Agung RI nomor 666 K/Pid/1984 tersebut menegaskan bahwa hukum yang hidup di dalam masyarakat tetap diakui dalam hukum positif Indonesia. Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tersebut merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Kendari Nomor 17/pid/B/1987/PN.Kdr tanggal 15
37
Juni 1987 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987. Kasus
posisi
Putusan
Pengadilan
Negeri
kendari
Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdr tanggal 15 juni 1987, bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatannya tersebut maka Kepala Adat Tolaki menangani peristiwa tersebut secara adat. Kemudian kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga Kepala Adat Tolaki menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat “Prohala” yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Perbuatan tersebut sudah dilaksanakan oleh pelaku. Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selanjutnya diserahkan kepada pihak kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan negeri Kendari dimana terdakwanya didakwa dengan dakwaan telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUHP, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) KUHP, dan dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951. Kemudian
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kendari
Nomor
17/Pid/B/1987/PN.Kdr tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat “memperkosa” sebagaimana dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut : -
Bahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak pledoi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat “Prohala” oleh kepala adat sehingga dengan diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUHP di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem)
-
Bahwa tidak diterimanya tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-undang kekuasaan kehakiman ditetapkan badan
38
peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri. -
Bahwa hakim menilai unsur dakwan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUHP, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat 1 ke-1 KUHP tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat harus dianggap sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP maka perbuatan itu diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip perbuatan pidana itu.
Kemudian
atas
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kendari
Nomor
17/Pid/B/1987PN.Kdr tanggal 15 juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pangadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan bandingnya tersebut maka Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 pada dasarnya
menguatkan
putusan
Pengadilan
Negeri
dengan
sekedar
memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman bersalah melakukan “perbuatan pidana adat Siri” dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut : -
Perbuatan terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki merupakan perbuatan yang sangat tercela yang menimbulkan “Siri” dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang dipermalukan dapat mengakibatkan korban jiwa.
-
Delik adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri Ripomateng/Siri Dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan merendahkan martabat keluarga perempuan,
-
Bahwa perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingnya didalam KUHP dan oleh karena itu
39
menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951. Atas
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Sulawesi
Tenggara
Nomor
32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Kemudian putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut : -
Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adat harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana yang telah dijalani terdakwa.
-
Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
-
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung RI kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan kepala adat (pemuka adat) yang memberikan sanksi adat terhadap pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya
40
pelanggar hukum adat tersebut dengan pidana penjara seperti Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUHP. Oleh karena itu, konsekuensinya dapat dikatakan bahwa apabila Kepala Adat tidak pernah memberikan sanksi adat terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim peradilan Negara berwenang penuh mengadili berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Nomor 1 Tahun 1951 jo pasal-pasal KUHP. Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa putusan adat telah diakui keberadaannya oleh Mahkamah Agung RI dalam memutuskan suatu perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah adat dan putusan adat tersebut termasuk suatu penyelesaikan perkara pidana secara mediasi penal. Model dari mediasi penal tersebut ialah Model “Traditional Village or Triball moots” yaitu mediasi yang dilakukan oleh suatu adat dimana semua orang berkumpul untuk memutuskan masalah dan dipimpin oleh ketua adat yang berhak untuk memutuskan. c. Mediasi Penal Dalam Surat Kapolri Mediasi Penal di Indonesia memang tidak diatur secara tegas didalam KUHP Indonesia, tetapi mediasi penal tersebut diatur secara secara parsial dan terbatas sifatnya, mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Tugas
Polri.
Pada
Surat
Kapolri
No
Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR yaitu: -
Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.
-
Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara, namun apabila tidak
41
terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara professional dan proporsional. -
Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat.
-
Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi azas keadilan.
-
Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus
pidana
yang
mempunyai
kerugian
kecil
dan
memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR. -
Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
Kemudian dalam Pasal 14 huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Rerpublik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Mssyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ditentukan bahwa penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian. Penanganan kasus pidana yang diatur dalam surat kapolri tersebut merupakan suatu bentuk mediasi penal. Bentuk cara penyelesaiannya pun sangat sesuai dengan mediasi penal. Tetapi disamping kesesuainya dengan mediasi penal tersebut, aturan tersebut kekuatan hukumnya kurang kuat karena pengaturan tersebut hanya dalam bentuk surat Kapolri yang berada jauh di bawah KUHP sebagai induk dari hukum pidana. Sehingga kekuatan hukum dari peraturan tersebut kurang kuat.
42
B. Pengaturan Mediasi Dalam Hukum Pidana Yang Akan Datang 1. Mediasi Penal Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP 2012 Akhirnya setelah banyak membahas pengaturan mediasi penal dalam Hukum Pidana saat ini, mediasi penal juga diatur didalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP). Bahwa gugurnya kewenangan penuntutan karena telah dilakukan penyelesaian di luar proses. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 145 Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana 2012 : Kewenangan penuntutan gugur, jika : a. Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Terdakwa meninggal dunia. c. Daluwarsa d. Penyelesaian di luar proses. e. Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II. f. Maksimum pidana denda dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. g. Presiden memberikan amnesti danatau abolisi. h. Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan peranjijan. i. Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali. j. Pengenaan asas oportunitas oleh jaksa agung. Salah satu hapusnya kewenangan penuntutan dalam sub d di atas ialah penyelesaian di luar proses yaitu diluar proses peradilan. Penyelesaian tersebut bisa menggunakan cara mediasi, konsiliasi, negosiasi, ataupun melalui lembaga adat. Sehingga di dalam RUU-KUHP secara tegas sudah mengakui penyelesaian suatu perkara diluar proses peradilan, yang mana hal ini dapat dikatakan diselesaikan secara mediasi penal. Dengan adanya penegasan dan diakuinya penyelesaian perkara di luar pengadilan ini, dapat memberikan lebih ketenangan dan kepastian bagi pihak yang berperkara khusunya pihak pelaku. Karena dengan diakuinya penyelesaian perkara di luar pengadilan ini menjadikan kepastian hukum bagi
43
pelaku agar setelah perkara dilakukan di luar pengadilan tidak dapat diproses lagi dalam pengadilan. 2. Mediasi Penal Di Negara Lain Sebagai bahan komparasi, maka dibawah ini penulis sampaikan mengenai pengaturan mediasi penal di beberapa negara lain sebagai berikut : a) Austria Pada bulan februari 1999 parlemen Austria menerima amandemen terhadap KUHAP mengenai “refrainment from prosecution, non judicial mediation and diversion”, yang diberlakukan pada januari 2000. Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Auβergerichtlicher Tatausgleich fur jugendliche), namun kemudian
bisa
juga
untuk
orang
dewasa
melalui
ATAE
(Auβergerichtlicher Tatausgleich fur Erwachsene) yang merupakan bentuk “victimoffender mediation’ (VOM). Menurut pasal 90g KUHAP Austria, Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan apabila terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya dimasa yang akan datang. Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi apabila diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara dalam kasus anak. Bahkan dapat juga digunakan untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Axtremely severe violence). Namun diversi tidak boleh, apabila ada korban mati. b) Belgia Tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi penal (the Act on Penal Mediation) yang disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation). Tujuan utama diadakannya “penal mediation” ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiil dan moral yang ditimbulkan
44
karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar sipelaku melakukan suatu terapi atau melakukan kerja sosial (community service). Dengan adanya ketentuan ini, penuntut umum diberi kebebasan yang lebih luas untuk memprioritaskan kepentingan korban. Apabila pelaku tindak pidana berjanji untuk kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban, maka kasusnya dapat tidak diteruskan ke penuntut. Pada mulanya kewenangan penuntut umum untuk tidak meneruskan penuntutan karena adanya pembayaran kompensasi hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun penjara. Ketentuan hukum acara pidananya dimasukan dalam pasal 216ter Code of Criminal procedure. c) Jerman Di Jerman dibedakan dua istilah yaitu restitution dan Tater Opfer Ausgleich atau offender vistim arrangement. Aturan restitusi dimasukan dalam the Juvenile Penal Code of 1923. Restitusi digunakan sebagai saksi independen atau saksi kombinasi dengan saksi lain, atau sebagai sarana diversi. Untuk orang dewasa, perintah restitusi diakui sejak 1953 sebagai syarat “probation” dan sejak 1975, diakui sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim. Pada tahun 1990, Offender Victim Arrangement dimasukan kedalam hukum pidana anak secara umum dan dinyatakan sebagai “a means of diversion”. Pada 12 Januari 1994, ditambahkan pasal 46a kedalam StGB (KUHP). Pasal ini menetapkan, bahwa apabila pelaku memberi ganti rugi atau kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
45
Penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini dikenal dengan istilah Tater Opfer Ausgleich (TOA). Apabila Tater Opfer Ausgleich telah dilakukan, maka penuntutan dihentikan. d) Perancis Pada tahun 1993, berdasarkan UU 4 Januari 1993 yang mengamandemenkan pasal 41 KUHAP (CCP, Code of Criminal Procedure), penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku tindak pidana dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah penuntut umum dapat melakukan mediasi penal dengan persetujuan korban dan pelaku apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban, mengakhiri kesusahan dan membantu memperbaiki atau merehabilitasi sipelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun bila berhasil penuntutan dihentikan. Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), dari pada mengenakan sanksi denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan. e) Polandia Proses mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “mediation proceedings in criminal matters”. Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan Negara (State Treasury).
46
Mediator melakukan kontrak dengan para pihak, merancang pertemuan para pihak, membantu merumuskan materi kesepakatan, dan mengawasi terpenuhinya kewajiban yang timbul dari kesepakatan itu. Mediator kemudian melaporkan semuanya itu kepada pengadilan/jaksa. Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana. Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (violent crime) juga dapat dimediasi. Tony Peters mengemukakan gambaran pengaturan atau “legal framework” di beberapa Negara eropa sebagai berikut : -
Ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang Peradilan Anak (the Juvenile Justice Act), yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia.
-
Ditempatkan
dalam
KUHAP
(the
Code
of
Criminal
Procedure), yaitu di Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia. -
Ditempatkan dalam KUHP (the Criminal Code), yaitu di Finlandia, Jerman, dan Polandia.
-
Diatur tersendiri secara otonom dalam Undang-undang mediasi (the Mediation Act), seperti di Norwegia, yang diberlakukan untuk anak-anak maupun orang dewasa.
Dari uraian di atas, penyelesaian perkara tersebut dapat dikatakan diselesaiakan secara mediasi penal. Bahwa perkara pidana sangat dimungkinkan dilakukan suatu mediasi, tetapi hal tersebut tetap diberi payung hukum sehingga memberikan kepastian dalam melaksanakannya. Di beberapa negara tersebut kewenangan melakukan mediasi dipegang oleh seorang penuntut umum yang menentukan untuk dilakukannya atau tidak penuntutan di sidang pengadilan. Bahkan pada saat sudah dimulai penuntutan tetap bisa dilakukan mediasi, yang dengan konsekuensi penunututan menjadi gugur.
47
Digunakannya mediasi penal lebih menitik beratkan terhadap kepentingan korban, yaitu mediasi dilakukan atas kehendak dan persetujuan korban yang biasanya inti dari mediasi penal tersebut ialah pemberian kompensasi atau ganti kerugian bagi korban. Berbeda dengan pengaturan mediasi penal di Indonesia, dasar dilakukannya mediasi penal tidak kompensasi atau ganti kerugian bagi korban tetapi pengaturan mediasi penal di Indonesia tidak menjelaskan secara jelas bagaimana cara mediasi penal tersebut dilakukan namun hanya menyebutkan penyelesaian perkara di luar proses peradilan maka penuntutan gugur. Jadi mediasi penal di Indonesia dilakukan atas dasar kesepakatan
pihak
pelaku
dan
pihak
korban
bagaimana
cara
menyelesaikannya. Asalkan perkara sudah diselesaikan maka proses penuntutan menjadi hapus. Dari bahan komparasi tersebut dapat diidentifikasi, bahwa di beberapa Negara lain, mediasi penal dimungkinkan dalam kasus: -
Tindak pidana anak.
-
Tindak pidana orang dewasa (ada yang dibatasi untuk delik yang diancam pidana penjara maksimum tertentu)
-
Tindak pidana dengan kekerasan (Violent Criminal)
-
Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence)
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan Mediasi Penal Dalam KUHP KUHP tidak ada Pasal yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan atau mediasi penal, namun mengatur penyelesaian perkara diluar pengadilan apabila pelaku telah membayar maksimum denda untuk kasus yang diancam dengan pidana denda. Pembayaran denda tersebut bukan merupakan bentuk dari mediasi penal. 2. Pengaturan Mediasi Penal Dalam Undang-Undang Di luar KUHP a. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengakui mediasi penal sebagai penyelesaian perkara Hak Asasi Manusia yang dilaksanakan oleh Komnas HAM dinyatakan dalam Pasal 89 yang mengatur mengenai tugas dan wewenang Komnas HAM dalam melakukan mediasi. b.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 mengakui adanya mediasi dalam penyelesaian perkara pidana, dalam putusan tersebut menyatakan perkara pidana yang sudah diselesaikan diluar proses peradilan ataupun diselesaikan secara adat, tidak dapat diajukan lagi dalam proses peradilan.
c. Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS menyatakan bahwa dalam hal perkara pidana tertentu diselesaikan secara Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan bentuk dari mediasi penal. 3. Pengaturan Mediasi Penal Dalam Hukum Pidana Yang Akan Datang Rancangan Undang-Undang KUHP 2012 dalam Pasal 145 mengatur mengenai hapusnya kewenangan penuntutan ialah diselesaikan di luar proses, dengan demikian maka sangat dimungkinkan sekali pelaksanaan mediasi penal dalam suatu perkara pidana.
48
49
4. Pengaturan Mediasi Penal Di Negara Lain Mediasi penal sudah banyak digunakan dibeberapa negara lain antara lain Austria, Belgia, Jerman, Perancis dan Polandia yang mana inti dari mediasi penal di negara tersebut ialah pemberian ganti rugi atau kompensasi bagi korban. B. Saran Dari pembahasan sebelumnya maka penulis ingin memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Mediasi Penal, antara lain : 1. Melihat dari digunakannya mediasi penal dalam suatu perkara pidana, yang mana juga hal tersebut diakui dalam peradilan sampai tingkat Mahkamah Agung RI, diatur dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan juga diatur dalam Surat Kapolri, maka penulis memberikan saran kepada anggota legislatif seharusnya mediasi penal diatur dalam KUHP sebagai induk dari hukum pidana, setidaktidaknya dalam KUHP yang akan datang mengatur mengenai Mediasi Penal sehingga kekuatan hukumnya lebih kuat. 2. Sarana mediasi penal perlu disosialisasikan kepada aparat penegak hukum sehingga mediasi penal menjadi sebuah sarana alternatif yang efektif menyelesaikan masalah perkara pidana antara pelaku dengan korban.
50
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung : 1996 ----------------------------, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Prespektif Kajian Perbandingan. Citra Aditya Bakti. Bandung : 2005 ----------------------------, Mediasi Penal Penyelesaian Pengadilan. Putaka Magister. Semarang : 2008
Perkara
Di
Luar
----------------------------, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Undip. Semarang : 2000 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung : 1992 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media. Jakarta : 2005 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta : 1984 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung : 1983 -----------, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni. Bandung : 1983 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2005 Yasmil Anwardan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta : 2008 B. Perundang-Undangan - Kitab Undang-Undang hukum Pidana -
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 666 K/Pid/1984
-
Putusan Mahkamah Agung RI No 1644 K/Pid/1988
-
Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS
51
-
RUU KUHP Tahun 2012
C. Internet Http//google.com/mediasi penal.