BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL DAN TINDAK PIDANA PENGANIYAYAAN RINGAN
2.1 Pengertian Mediasi Penal Sebelum membahas mengenai mediasi penal maka akan dikaji pengertian dari mediasi. Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan masalah, dimana para pihak yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama.1 Menurut Muzlih MZ sebagaimana dikutip Ridwan Mansyur, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian pihak- pihak yang bertikai untuk mencapai untuk memuaskan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak ketiga yang netral (mediator).2 Mediasi Penal dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis).3 Menurut Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) Mediasi Penal (penal mediation) adalah “Sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan 1
Khotbul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm.10 2
3
Ridwan Mansyur, Op.cit. hlm.137.
Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hlm.1
penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban”. 4 Sejalan dengan itu Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai; “a process in which victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial third party, either directly (face- to-face) or indirectly via the third party, enabling victim(s) to express their needs and feelings and offender(s) to accept and act on their responsibilities”.5 Pengertian tersebut dapat diterjemahkan bahwa suatu proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai penghubung, memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan 4
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, 27 Maret 2007, hlm.1 dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara,2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas Indonesia. 5
Martin Wright dalam Marc Groenhuijsen, 1999, Victim-Offender-Mediation: Lagal And Procedural Safeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, hlm. 1.
sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.6 Adapun ide dan prinsip dari Mediasi Penal, adalah :7 1.
Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung) : Tugas
mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. 2.
Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung) :
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya. 3.
Proses informal (Informal Proceeding/Informalität) : Mediasi penal
merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung) : Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih
6
7
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.2.
Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html. dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara,2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas Indonesia.
sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
1.2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan Dalam pengertian hukum materiil, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undang- undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Satochid Kartanagara bahwa hukum pidana materiil berisikan tperaturan-peraturan tentang berikut ini: 8 1. Perbuatan yang diancan dengan hukuman (strafbare feiten) misalnya: a. Mengambil barang milik orang lain b. Dengan sengaja merampas barang milik orang lain 2. Siapa- siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain: mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana 3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang- undang. Atau disebut dengan hukum penetentair. Sebelum menginjak pada tindak pidana penganiayaan ringan, maka penting untuk mengetahui mngenai pidana itu sendiri. Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang
8
Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.6
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Berkaitan dengan itu R. Soesilo sebagaimana dikutip oleh Bambang Waluyo merumuskan bahwa hukum adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis, kepada orang- orang yang melanggar.9 Sedangkan tindak pidana adalah suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Istilah tindak pidana adalah salah satu istilah dalam bahasa indonesia yang biasa dipakai untuk menterjemahkan istilah “strafbaarfeit” atau “delict” dalam bahasa belanda. Muljatno oleh Djoko Prakoso, memberikan pengertian bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan-perbuatan itu juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan di masyarakat yang dianggap baik dana adil.10 Menurut Simon, pengertian tindak pidana adalah sebagai berikut:11 Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undangundang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. 9
Ibid, hlm.9
10
Djoko Prakoso, 1984, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm.38 11
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar,PT Rafika Aditama: Bandung, hlm. 98
Moeljatno berpendapat bahwa pengertian perbuatan pidana adalah sebagai berikut:12 Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Beberapa penjabaran tentang pengertian tindak pidana tersebut di atas maka mengarahkan pada satu intisari bahwa untuk menentukan adanya suatu tindak pidana harus ada unsur-unsur antara lain: 1. Perbuatan (manusia) 2. Yang memenuhi rumusan dalam undang- undang (syarat formil) 3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)13 Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiyaan berasal dari kata “aniaya” yang berarti perbuatan bengis. Hal tersebut dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang merumuskan bahwa penganiyaan berasal dari kata aniaya yang berarti melakukan perbuatan sewenang-wenang seperti melakukan penyiksaan dan penindasan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka penganiayaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat mengakibatkan orang lain menderita atau merasakan sakit.14
12
Moeljatno,2009, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm.59
13
Djoko Prakoso, Loc.cit.
14
W.J.S Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka, Jakarta, hlm.249
Menurut Tirtaatmidjaja sebagaiamana dikutip oleh Leden Marpaung menyatakan bahwa penganiayaan adalah:15 Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidaklah dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu bertujuan untuk menambah kesehatan badan. Sementara menurut R. Soesilo memberikan penjelasan pengertian penganiayaan sebagai berikut:16 Perasaan tidak enak misalnya mendorong terjun jatuh sekali sehingga basah, rasa sakit misalnya mencubit, memukul, dan merampas. Luka misalnya mengiris, memotong, merusak dengan pisau dan merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibukakan kamarnya sehingga menyebabkan ia masuk angin, kesemua ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak ada maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Andi Hamzah menjelaskan bahwa pengaiayaan adalah dengan sengaja merusak kesehatan orang. Penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini.17 Selanjutnya Andi Hamzah mengemukakan bahwa:18 Dengan sengaja merusak kesehatan orang. Kalau demikian, maka penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini. Penganiayaan 15
Leden Marpaung, 2005, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5.
16
R.Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor,hlm.147 17
Andi Hamzah, 2010, Delik- Delik tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP), Sinar Grafika, Jakarta, hlm.69 18
Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 69.
bisa berupa pemukulan, penjebakan, pengirisan, membiarkan anak kelaparan, memberikan zat, luka, dan cacat. Bertolak pada ketentuan Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk rumusan Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Pasal 352 KUHP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai pengertian dan batasan suatu perbuatan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan ringan. Dalam praktek , ukuran ini adalah bahwa si korban harus dirawat dirumah sakit atau tidak, Hukuman ini biasa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut: 1)
- kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan ntuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana penjara paling banyak Rp.4.500,- pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang beertkaj padanya atau menjadi bawahannya.
2) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana Dalam rumusan ayat ke-1, terdapat dua ketentuan, yakni:
a. Mengenai ancaman dan batasan pidana bagi penganiayaan ringan b. Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang: 19 a. Bukan berupa penganiayaan berencana (353) b. Bukan penganiayaan yang dilakukan : 1. terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya 2. terhadap pegamai negeri yang sedang dan/atau karena menjalankan tugasnyya yang sah 3. dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (356) c. Tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk mmenjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian. Tiga unsur itulah, dimana unsur b dan c terdiri dari beberapa alternatif, yang harus dipenuhi untuk menetapkan suatu penganiayaan penganiayaan sebagai penganiayaan ringan.
1.3. Mediasi Penal dari Pendekatan Restoratif Justice Restoratif Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
19
Adam Chazawi., 2007, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.22
mekanisme yang bekerja pada sitem peradilan pidana yang ada pada saat ini.20 Restoratif Justice merupakan suatu pendekataan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaiaan perkara pidana.21 Pada pertengahan tahun 1970-an,
asas-asas
tentang
keadilan
Restoratif
dengan
segala
bentuk
partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah dilakukan oleh kelompok kecil aktivis kecil secara tersebar, personil Sistem Peradilan Pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa, yang sebenarnya secara keseluruhan belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang terorganisasi. Mereka tidak berfikir bahwa usahanya pada akhirnya akan mempengaruhi dan mempromosikan serta menggerakan pembaharuan sosial dalam pendekatan keadilan secara meluas dengan dampak internasional.22 Mengingat bahwa restoratif justice merupakan suatu konsep yang memiliki banyak mekanisme dalam prakteknya sehingga masih sulit untuk ditemukan kata sepakat di antara para ahli mengenai pengertian dari restoratif justice itu sendiri. Namun beberapa ahli mencoba untuk memberikan definisi dari restoratif justice antara lain sebagaimana dikutip oleh Eva Ahcjani Zulfa sebagai berikut:23 Dignan berpendapat tentang restoratif justice bahwa: 20
Eva Ahcjani Zulfa I, Op.cit. hlm.3
21
Ibid, hlm.2
22
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung”, hlm.1 dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara, 2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas Indonesia. 23
Eva Ahcjani Zulfa,Op.cit, hlm.4.
"Restoratif justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflick that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups". Mark Umbreit memberikan pemahaman tentang restoratif justice sebagai berikut: "restoratif justice provides a very different framework for understanding and responding to crime. Crime is understood as harm to individuals and communities, rather than simply a violation of abstract laws against the state. Those most directly affected by crime-victim, community members and offenders-are therefore encouraged to play and active role in the justice process. Rather than the current focus on offender punishment, restoration of the emotional and material losses resulting from crime is far more important". Sejalan dengan itu, Tony Marshall berpendapat sebagai berikut: “A generraly accepted definition of restoratif justice is that of a process whereby the parties with a stake in a particular offence come together to resolve ccollectivelly how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”24 Keadilan restoratif dapat digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para korban kejahatan untuk memudahkan perdamaian antara pihak-pihak saling bertentangan). dapat
24
Marshall, Loc.cit, hlm.1
diartikan secara bebas bahwa restoratif justice adalah proses dimana para pihak yang terlibat dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana cara menghadapi permasalahan pasca kejahatan serta akibat-akibatnya di masa depan.25 Di Canada (Ontario) tahun 1974, gerakan terhadap keadilan Restoratif ditandai dengan hadirnya Victim Offender Reconciliation Program (VORP), Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak. Program ini menganggap pelaku akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus, sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan jumlah pemberian ganti rugi kepada pihak korban. Dari pelaksanaan program ini diperoleh tingkat kepuasan yang tinggi bagi korban dan pelaku, dibandingkan penyelesaian pidana secara formal. Keberhasilan program ini melahirkan program-program keadilan Restoratif eksperimental baik di Amerika Utara maupun di Eropa, misal VORP di Indiana (Amerika Serikat) dan di Inggris Tahun 1978. American Bar Association (ABA) pada tahun 1994 mendukung keberadaan mediasi antara korban dengan pelaku dan dialog di pengadilan dan Dirumuskan pedoman penggunaannya yang bersifat sukarela. Kemudian pada Tahun 1995 dibentuk The National Organization for Victim Assistance) yang mempublikasikan “Restorative Community Justice : A Call to Action” dalam bentuk monograf. Hasil yang luar biasa dari penyelesaian melalui
25
Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.120
pendekatan Keadilan Restoratif ini, berkembang luas keseluruh Amerika Serikat, Australia, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk, Dewan eropa dan Uni Eropa, PBB.26 Dalam instrumen internasional,
Deklarasi PBB tahun 2000 tentang
Prinsip-Prinsip Pokok tentang Penggunaan Prinsip-Prinsip Keadilan Restoratif dalam Permasalahan-Permasalahan Pidana (United Nation, Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters), telah menganjurkan untuk mendayagunakan konsep restoratif justice secara lebih luas pada suatu sistem peradilan pidana. Hal ini dipertegas oleh Deklarasi Wina tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice ; “Meeting the Challenges of The Twenty-First Century) dalam butir 27 dan 28.27 Program dari keadilan restoratif adalah program yang menggunakan konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaiitu kesepakatan antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan di sini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat ataau kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. kesepakatan di sini juga dapat diartikan sebagai memicu upaya proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat
26
I Made Agus Mahendra Iswara, Ibid.
27
Ridwan Mansyur, Op.Cit, hlm.124.
berbentuk sejumlah program seperti reparasi (perbaikan) restitusi atau community servis.28 Dalam pelaksanaan program keadilan restoratif, kegiatan yang dilakukan harus didasarkan pada sejumlah asumsi yaitu:29 1.
That the response to crime should repair as much a possible teh harm suffered by the victim Asumsi ini lahir dari tujuan utama pendekatan keadilan restoratif yaitu terbukanya akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita.
2.
That offender should be brought to understand that their behavior is not acceptable and that it had some real consequences for the victim and community Asumsi ini berangkat dari tujuan restoratif justice untuk memunculkan kerelaan pelaku untuk bertanggunngjawab
atas tindakan
yang
dilakukannya. makna kerelaan harus diartikan bahwa pelaku mampu melakukan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukannya dan mampu melakukan evaluasi diri sehinga muncul akan kesadaran untuk menilai perbuatan dengan pandangan yang benar. Pelaku digiring untuk
28
Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV. Lubuk Agung, bandung, hlm.74. (selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa II) 29
Ibid
menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat, merugikan korban dan pelaku sehingga konsekwensi pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pelaku sebagai sesuatu yang memang seharusnya diterima dan dijalani. 3.
That offender can and should accept responsibility for their action Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa program penanganan tindak pidana yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif akan dapat membawa pelaku ke arah kesadaran atas kesalahannya.
4.
That victims should have opportunity to express their needs and to participate in determining the best way for the offender to make reparation Partisipasi korban bukan hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, tapi tetapi juga mempengaruhi proses yang berjalan termasuk
pula
membangkitkan
kesadaran
pelaku
sebagaimana
dikemukakan pada asumsi kedua di atas. 5.
That the commmunity has responsibility to contribute to this prosess. Akses dalam penyelenggaraan bukan hanya milik korban atau pelaku tetapi masyarakatpun dianggap memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses maupun pelaksanaaan proses.
Dari beberapa prinsip dasar sebagaimana diungkapkan oleh Eva Achjani Zulfa dapat diamati bahwa dalam konsep restoratif justice, korban memiliki peranan yang besar dalam terjadinya dialog dengan pelaku. Bukan hanya korban
namun pelaku serta masyarakat juga terlibat dalam proses dialog. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restoratif justice menawarkan pandangan dan pendekatan yang berbeda dalam menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restoratif justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam keadilan restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan pidana sekarang.30 Proses restorative justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan mekanisme yang lainnya. Menurut Stephenson, Giller, dan Brown membagi bentuk keadilan Restoratif menjadi 4 (empat) bentuk, antara lain:31 1. Victim Offender Mediation (Mediasi Penal) Bentuk pendekatan Restorative Justice yang membentuk suatu forum yang mendorong pertemuan antara para pihak yaitu korban, pelaku, dan pihak ketiga (mediator) yang netral dan imparsial, yang membantu para pihak untuk berkomunikasi satu sama lainnya dengan harapan mencapai sebuah kesepakatan. Dalam pertemuan tersebut, korban dapat menggambarkan pengalamannya
30
Eva Achjani Zulfa I, Op.cit.hlm.3
31
Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, 2007, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland, hlm.163
berkaitan dengan tindak pidana yang dialaminya dan efek yang ditimbulkannya. Pelaku menjelaskan perbuatan pidana apa dan latar belakang mengapa si pelaku melakukan hal tersebut. Sedangkan mediator bertugas memberikan berbagai masukan bagi tercapainya penyelesaian terbaik yang mungkin dilakukan. Mediasi dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung (Shuttle Mediation). 2. Restorative Conference (Conferencing) Bentuk penyelesaian dengan model ini merupakan aplikasi keadilan restoratif yang dikembangkan oleh Suku Maori (Selandia Baru), akan tetapi pelaksanaannya banyak negara-negara mempergunakan aplikasi ini. Dalam bentuk Conferencing, penyelesaian tidak hanya melibatkan pelaku dan korban langsung saja (Primary Victim) namun juga melibatkan korban tidak langsung (Secondary Victim), seperti keluarga, kawan dekat korban serta kerabat dari pelaku. 3. Family Group Conference (FGC) Model ini merupakan pengembangan dari model Conferencing, Model ini dipergunakan dalam penanganan tindak pidana yang pelakunya anak. Fokus penyelesaian model ini ialah upaya pemberian pelajaran atau pendidikan bagi pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Dimana kedua belah pihak (korban dan pelaku) membuat sebuah action plan yang berasal dari informasi dari korban, pelaku, dan kalangan profesional. Hal ini dilakukan dengan tujuan pencegahan agar suatu kesalahan tidak terulang lagi.
4. Community Panels Meetings Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan. Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana.32 Mediasi penal sebagai bentuk dari prinsip-prinsip restoratif justice sangat penting dilakukan terutama dalam proses penyidikan kepolisian dalam hal ini penyelesaian terhadap tindak pidana ringan termasuk tindak pidana penganiyayaan ringan. Apabila mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian berjalan dengan efektif, maka kasus yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana menjadi lebih selektif dan penyelesaian dari tindak pidana memenuhi rasa keadilan baik bagi korban, pelaku maupun masyarakat.
2.3. Perbandingan Mediasi Penal dengan Mediasi Perdata Telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu bentuk aplikasi dari nilai-nilai keadilan restoratif (restoratif justice) adalah mediasi penal. Berdasarkan Council of Europe Committee of Ministers dalam recommendation no. R (99) 19 Of the Committee of Ministers to member states Concerning Mediation in Penal di negara-negara eropa sebagai berikut:33
32
Agustinus Pohan, Op.cit, hlm.324 Agustinus Pohan, Loc.cit.
33
“penal mediation is any process whereby the victim and the offender are enabled, if they freely consent, to participate actively in the resolution of matters arising from the crime through the help of an impartial third party (mediator)” Dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa mediasi penal merupakan suatu proses yang memungkinkan mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana, jika mereka menghendakinya secara bebas untuk secara aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kejahatan melalui bantuan pihak ketiga yang tidak memihak atau mediator.Muzlih MZ memberikan pandangan tentang mediasi sebagai suatu proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak ketiga yang netral.34 Samuel Tobing dalam Ridwan Mansyur mengungkapkan bahwa secara umum cirri pokok mediasi dapat dilihat sebagai berikut:35 1.
Proses atau metode
2.
Terdapat para pihak yang relevan dan/atau perwakilannya
3.
Dengan dibantu pihak ketiga, seorang mediator
4.
Berusaha, melalui diskusi dan perundingan, untuk mendapatkan keputusan
5.
Yang dapat disetujui para pihak
34
Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.136
35
Ibid,hlm.137
Mediasi sebenarnya sudah ada di masyarakat sebagai pencerminan nilainilai kepatutan dalam adat maupun agama. Sebagaimana dikutip oleh Eva Ahcjani Zulfa bahwa dalam berbagai literatur Kutara Manawa sebagai kitab hukum pidana yang diterapkan masa pemerintahan Majapahit. Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa peerintahan Sultan Iskandar Muda merupakaan cerminan keberlakuan hukum adat yang kini menjadi rujukan keberlakuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia.36 Dalam Kepercayaaan yang dianut oleh Umat Hindu dinyatakan bahwa proses reinkarnasi dari seorang dalam setiap kehidupan yang dijalaninya merupakan gambaran dari perilaku yang dibuat pada kehidupan sebelumnya. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya pemulihan pada setiap dosa atau kejahataan yang terjadi untuk menghindari keburukan dalam kehiduppan selanjutnya. Sementara konsep hukum Islam memungkinkan pengubahaan hukuman terhadap seorang pelaku terhadap pelaku tidak pidana(dalam hal ini pembunuhan) bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli waris. Dalam pandangan Kristen, keadilan dan kebenaran dalam Injil Perjanjian Lama merupakan terminology yang tak terpsahkan satu dengan yang lain, sama halnya dengan istlah damai maaf dan cinta kasih yang merupakaan inti dari ajaran Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaraan Budha, Thao dan Confusian.37
36
Eva Achjani Zulfa I, Op.cit, hlm.11
37
Eva Ahcjani Zulfa I, Op.cit, hlm.13
Mediasi dalam ranah hukum perdata dapat dilihat dalam Perma No.1 tahun 2008 Pasal 1 butir 6 yaitu penyelesaian sengketa melalui proses perundindingan para pihak yang dibantu oleh mediator. Menekankan pada kata mediator, Pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Berdasarkan uraian di atas maka mediasi dalam ranah hukum perdata merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaanperbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihaak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut tugas utamanya adalah membantu para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketak, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang obyektif dari keseluruhan situasi.38 Bila dibandingkan definisi mediasi penal dengan mediasi perdata terdapat persamaaan bahwa paraa pihak yang mempunyai kuasa untuk menentukan pprosess dan hasil mediasi serta adanya adanya seorang mediator yang membantu perundingan tanpa kekuasaan memutus, namun pada mediasi penal lebih diutamakan dialog dan pemecahan masalah bersama-sama. Mark Umbreit dalam Fatahillah A. Syukur diungkapkan mengenai perbandingan mediasi secara umum (perdata) dengan pendekatan mediasi penal
38
Ridwan mansyur,Op.cit, hlm.159
yang diistilahkan dengan humanistic mediation. Perbandingan hal tersebut akan dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :39 Tabel 4. Perbandingan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal Aspek Fokus Utama
Mediasi Perdata
Mediasi Penal
Permasalahan dan kesepakatan
Dialog dan hubungan Setidaknya
Persiapan
Mediator
para pihak
tidak
menghubungi
dalam
para
boleh
pertemuan
pihak
mediator dengan masing-
sebelum Mediasi dimulai.
konflik
tatap
muka
masing pihak sebelum pertemuan bersama. Menyiapkan
Mengarahkan Peran Mediator
sekali
para
dan
pihak
membimbing
untuk
mencapai
kesepakatan yang memuaskan.
pelaku
korban
agar
dan
mempunyai
harapan yang realistis dan merasa cukup aman untuk berdialog secara langsung.
Aktif dan kadang sangat mengatur, Gaya Mediator
sering berbicara dan bertanya dalam sesi Mediasi
Toleransi yang rendah terhadap
Konteks
curahan
perasaan
directive)
selama
Mediasi.
Para pihak yang mengontrol semuanya.
Menghadapi Emosi
Sangat tidak mengatur (Non-
terkait
latar
dalam Konflik
belakang konflik.
Jeda Hening
Sedikit
Kesepakatan
Merupakan tujuan utama yang ingin
Tertulis
dicapai sebagai hasil Mediasi.
Mendorong curahan perasaan dari
para
pihak
dan
mendiskusikan latar belakang konflik. Banyak Merupakan target sekunder. Yang primer adalah dialog dan saling membantu.
Sumber: Fatahilllah A. Syukur
39
Fatahillah A. Syukur, 2001, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga): Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm.68
Dari tabel tersebut di atas dapat diamati bahwa mediasi penal lebih terfokus pada terciptanya dialog demi pemulihan korban, tanggungjawab pelaku serta perbaikan kerusakan yang telah terjadi serta pemulihan hubungan sosial aantara pelaku dan korban, sedangkan mediasi perdata lebih menekankan pada kesepakaatan para pihak.
2.4. Penyidikan sebagai Instrument Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono Reksodipoetro sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.40 Selanjutnya Hagan dalam Romli Artasasmita memeberikan pengertian dari criminal justice proces yaitu setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. 41 Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam sitem peradilan pidana (criminal justice siystem) terdiri dari beberapa subsistem salah satunya adalah Kepolisian. Berjalannya sistem peradilan pidana tidak terlepas dari interkoneksi dari keputusan-keputusan masing-masing subsistem peradilan pidana. Kepolisian memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan baik itu penyidikan maupun penyelidikan.
40
Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam batas-Batas Toleransi, Fakultas Hukum universitas Indonesia, hlm.1 41
Romli Artasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.2
Mencermati lembaga Kepolisian, tidak terlepas dari dimensi sejarah. Dipaparkan dalam buku Satjipto Rahardjo bahwa sejarah polisi atau lembaga kepolisian dimulai sejak kedatangan para pedagang VOC di negeri ini pada abad ke-16. Sejak saat itu (susunan) kepolisian mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu. Dasar-dasarnya diletakkan pada masa pemerintahan Gubernur jendral Inggris raffles. Pada tanggal 11 Februari 1814 dikeluarkan suatu “regulation” dan peraturan tentang Tata Usaha dari Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan di Jawa dan Tata Usaha Kepolisian.masing-masing peraturan tersebut menjadi dasar dari Indische Reglement dan Reglement op de Rechtterlijk Organisatie. Perhatian terhadap (pengorganisasian) kepolisian meningkat seiring dengan laporan tentang meningkatnya kriminalitas di negeri ini yang terdengar sampai di negeri Belanda dalam tahun 1904. Kepada Asisten-asisten Priester ditugaskan untuk memberikan pemandangan dan usul tentanbg perbaikan kepolisian yang dituangkan dalam suatu nota yang terkenal dengan “laporan Priester”.42 Demikian sejarah lembaga kepolisian yang pada perkembangannya diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu perkara. Sebelum sampai pada tahap penyidikan, terhadap suatu perkara dimulai dengan tahap penyelidikan. Hartono mengungkapkan bahwa penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut penelitian adalah lanngkah awal atau upaya awwal untuk mengidentifikasi benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu
42
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm.4 (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II)
terjadi. dalam perkara pidana, penyelidikan atau penelitian itu adalah langkahlanngkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan aapakah peristiwa pidana itu benarbenar terjadi atau tidak terjadi.43 Pasal 1 ayat 5 KUHAP menyebutkan: "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini" Setelah penyidikan dilakukan oleh penyelidik ditemukan hasil bahwa suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana maka penanganan perkara dilanjutkan pada tahap penyidikan. Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
43
Hartono,2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta, hlm.18
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Penyidikan Pasal 1 butir 2, penyidikan adalah adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal. dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah: a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan; b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik; c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundangundangan. d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang denganbukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya. Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya
tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.44 Menurut M. Yahya Harapan pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.45Dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan sesuatu peristiwa merupakan suatu tindak pidana, penyidik memberitahuan hal itu kepada penuntut umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/ Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum (kejaksaan) atau bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan mmerupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum
"penghentian penyidikan" ini diberitahukan kepada
penuntu umum dan kepada tersangka/keluarganya.46 Penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan
44
Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,: Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 380. 45
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakata, hlm. 99 46
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku I, Sinar Grafika, Jakarta, hal.12
oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.47
Berdasarkan beberapa pengertian
diatas dapat diamati bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang di sangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan. Oleh karena itu kerap kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis bagi pelaku. Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi penyidik,di mana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenagnnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. 47
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.118
Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan. Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Apabila penyidikan harus dihentikan ditengah jalan maka Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP berbunyi: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat(2) KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Karena tidak terdapat cukup bukti; 2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Penyidikan dihentikan demi hukum.