BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL DAN TINDAK PIDANA
1.1. Mediasi Penal 1.1.1. Definisi Mediasi Penal Penyelesaian suatu perkara dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan model litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (diluar pengadilan). Pendekatan yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution. Dalam literatur hukum penggunaan mekanisme penyelesaian yang bersifat win-win solition disebut dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution (ADR). Menurut ketentuan pasal 1 butir (10) Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternative, yang dimaksud dengan ADR adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara Konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa adalah mediasi. Secara etimologi istilah Mediasi berasal dari bahasa latin, Mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada ditengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga
18
menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.1 Ada juga beberapa literatur yang menyatakan Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris ”mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah. 2 Garry Goospaster memberikan definisi Mediasi sebagai “Proses nogoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.” 3 Menurut Gunawan Widjaja mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan.
2.
Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian,
3.
Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
4.
Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.
5.
Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesimpulan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa.4
1
I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengekat (ADR), Indonesia Business Law Centre (IBLC), Jakarta, hal. 2. 2 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.79. 3 Garry Goospaster, 1993, Negoisasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, ELIPS Project, Jakarta, hal.201. 4 Gunawan Widjaja, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa. Rajagrafindo persada, Jakarta, hal.59.
19
Salah satu bentuk mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan Restoratif adalah Mediasi Penal. Dari perspektif terminologinya Mediasi Penal dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis).
5
Menurut Ms.
Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) Mediasi Penal (penal mediation) adalah “Sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban”.6 Sedangkan Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai “a process in which victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial third party, either directly (face- to-face) or indirectly via the third party, enabling victim(s) to express their needs and feelings and offender(s) to accept and act on their responsibilities”. 7 (Suatu proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai penghubung, memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas perbuatannya).
5 Lilik Mulyadi, “Mediasi Penal” Dalam Sistem Peradilan Pidana Pengkajian Asas, Norma, dan Praktik, Makalah Seminar hasil penelitian tentang, “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, pada tanggal 26 Oktober 2011, Jakarta, hal.1. 6 I Made Agus Mahendra Iswara, Op.Cit, hal.51. 7 Op.Cit, hal. 1.
20
1.1.2. Bentuk-bentuk Mediasi Penal Berdasarkan Komparasi implementasi Mediasi Penal dari beberapa Negara tersebut, Barda Nawawi dalam bukunya Ridwan Mansyur mengelompokkan Mediasi Penal menjadi 6 (enam) model atau bentuk , yaitu sebagai berikut : 1.
Informal Mediation, Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas formalnya, yaitu : a.
Jaksa Penuntut Umum mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan.
b.
Pekerjaan sosial atau pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana.
c.
Pejabat Polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana.
d.
Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan melepaskan kasusnya.
Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. 2.
Traditional Village or Tribal Moots Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini ada di beberapa Negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum
21
barat dan telah menginspirasi bagi kebanyakan program-program Mediasi modern. Program Mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum. 3.
Victim-offender mediation Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pembiasan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan), dan ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
4.
Reparation negotiation programmes Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini, pelaku tindak
22
pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi. 5.
Community panels or courts Model ini merupaka program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur Mediasi atau Negosiasi. Pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk Mediasi itu.
6.
Family and community group conferences Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya. 8
1.1.3. Prinsip dan Ide Mediasi Penal Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun
8
Ridwan Mansyur, Op.Cit, hal.171-173.
23
variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. 9 Adapun ide dan prinsip dari Mediasi Penal, adalah : 1.
Penanganan konflik (Conflict Handling) Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2.
Berorientasi pada proses (Process Orientation) Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3.
Proses informal (Informal Proceeding) Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4.
Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai
9
I Made Agus Mahendra Iswara, Op.Cit, hal.52.
24
tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. 10 Dalam hukum pidana proses penyelesaian perkara diluar proses pengadilan melalui mediasi berbeda dengan proses penyelesaian sengketa diluar proses pengadilan melalui mediasi dengan menggunakan Mediasi Penal. Dalam hukum perdata mediasi biasanya dipergunakan berkaitan dengan masalah uang, sedangkan dalam hukum pidana yang dipermasalahkan lebih banyak pada kebebasan dan kehidupan seseorang. Terhadap pihak-pihak yang terlibat, Mediasi perdata biasanya para pihak yang secara langsung bersengketa atau pihak kedua yang berkepentingan, Sedangkan dalam Mediasi hukum pidana para pihak yang terlibat lebih kompleks tidak hanya pelaku, korban, tapi juga jaksa penuntut umum, serta masyarakat luas. 11 Mediasi dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai proses penyelesaian perkara pidana dengan mempertemukan pelaku kejahatan dengan korban untuk mencapai kesepakatan bersama berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan pelaku dan restitusi yang diberikan kepada korban. Pertemuan (Mediasi) diperantarai oleh seorang mediator yang lebih baik berasal dari penegak hukum, pemerintah, LSM, maupun tokoh masyarakat.
1.1. Pengertian Tindak Pidana Kata tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu strafbaar feit dan Delict. “Dapat dikatan strafbaar feit dan Delict merupakan 10 11
Op.Cit, hal.52-53. Op.Cit, hal.53.
25
istilah yang sama. Namun Dalam bahasa Indonesia delict diterjemahkan sebagai delik sedangkan strafbaar feit diartikan beraneka ragam ada yang menyebut perbuatan pidana, peristiwa pidana, delik, perbuatan yang boleh dihukum ataupun tindak pidana.”12 Tindak pidana Tersusun atas 2 kata yakni tindak dan pidana. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “kata tindak berarti langkah, perbuatan. Jika dihubungkan dengan pidana pengertian tindak ialah perbuatan pidana (perbuatan kejahatan).”13 Sedangkan pidana menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “kejahatan.”14 Adapun pengertian Pidana Menurut Pandangan beberapa Sarjana Hukum, diantaranya yakni : Sudarto Mendefinisikan pidana sebagai “Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” 15 Ted Honderich, memberikan definisi pidana sebagai “Punishment is an authority’s infliction of penalty (something anvolving deprivation or distress) on an offender for an offence. (Pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman (sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).16
12
Prodjohamidjojo Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.15. 13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, h.1058. 14 Ibid, hal.766. 15 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal.1. 16 Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk, Kreasi Wanara, Yogyakarta, hal.18.
26
Adapun pengertian Tindak Pidana yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum, yakni R.Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai “Suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.” 17 Sedangkan Prof. Moeljatno, mendefinisikan tindak pidana sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingatkan bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan atau yang ditimbulkan oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya. 18 Jadi tindak pidana dapat diasumsikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pidana yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan yang atas perbuatan itu dapat diancam pidana.
17 18
R.Soesilo, 1964, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Djambatan, Lokasi tidak tertulis, hal. 32. Moeljatno, 1983, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan I, Bina Aksara, Jakarta, hal.63.
27