KODE JUDUL: L.22
LAPORAN LANGKAH 8 LAPORAN AKHIR MODEL KURIKULUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS EKONOMI PRODUKTIF
KEMENTERIAN/LEMBAGA: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PENELITI/PEREKAYASA: 1. Maria Chatarina Adharti Sri Sursiyamtini 2. Suci Paresti 3. Budi Santosa 4. Maria Listiyanti 5. Sapto Aji Wirantho
INSENTIF PENINGKATAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 2012
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Tujuan
5
C. Ruang Lingkup
5
II. KAJIAN KONSEP A. Masyarakat Pesisir
6 6
1. Konteks Masyarakat Pesisir di Cirebon, Jawa Barat
11
2. Konteks Masyarakat Pesisir Jeneponto, Sulawesi Selatan
21
B. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
32
C. Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif
36
1. Pengertian Kurikulum
37
2. Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat
41
III. METODE PENELITIAN
49
A. Metode
49
B. Pengumpulan Data
49
C. Lokasi Model
50
IV.
HASIL TEMUAN LAPANGAN
A. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 1. Permasalahan Masyarakat Pesisir Cirebon
51 51 51
2. Peran dan Kapasitas Lembaga Pendamping Program Pemberdayaan 3. Peran Pemerintah dalam Program Pemberdayaan B. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan 1. Permasalahan Masyarakat Pesisir Jeneponto
54 55 56 56
2. Peran dan Kapasitas Lembaga Pendamping Program Pemberdayaan 3. Peran Pemerintah dalam Program Pemberdayaan V. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
58 60 62
66
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebijakan kelautan Indonesia yang dirumuskan oleh pemerintah dewasa ini pada kenyataannya belum menyentuh pada pemberdayaan ekonomi kelautan dan kesejahteraan nelayan. Selama ini prioritas pemerintah lebih pada kegiatan industri perkotaan dan cenderung meminggirkan kebijakan perekonomian kelautan. Sungguh ini suatu hal yang ironis, negara yang 2/3 adalah berupa lautan tetapi kebijakan ekonominya bertumpu pada perekonomian daratan. Kehidupan pesisir Indonesia seharusnya menjadikan para nelayan sebagai orang yang
kaya
karena
kenyataannya,
kekayaan
nelayan
laut
Indonesia
Indonesia
masih
yang
berada
melimpah.
dalam
Namun
keadaan
yang
memprihatinkan bahkan banyak yang termasuk masyarakat di bawah garis kemiskinan. Hal ini bisa dilihat pada masa di saat nelayan tidak melaut karena musim hujan atau faktor alam yang tidak memungkinkan mereka melaut, sementara kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi maka terjeratlah mereka untuk berhutang. Untuk itu, perlu dikembangkan pemberdayaan masyarakat agar mempunyai kapasitas yang kuat terhadap kerentanan ekonomi. Pengembangan atau Pemberdayaan memiliki makna yang luas, ini disebabkan paradigma yang dipakai. Paradigma ini juga erat hubungannya dengan pola kesadaran yang dibangun oleh pendesain sebuah program pemberdayaan. Untuk itulah pada dasarnya membangun kesadaran kritis sangat dibutuhkan, karena seringkali pengembangan menafikan humanisme dan yang terjadi malah proses dehumanisasi. Paulo Freire membagi pandangan kesadaran manusia dalam beberapa kategori. Pandangan ini berimplikasi pada pendekatan pemberdayaan dan hasilnya. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses “dehumanisasi”. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehunismisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan 2
hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness) (Smith, 1976) Sebagaimana tujuannya, pemberdayaan masyarakat perlu didesain dengan pendekatan konsultatif dengan masyarakat oleh perancang program tersebut, bisa saja oleh pemerintah maupun penggiat pemberdayaan lainnya. Pendekatan ini diasumsikan bahwa pemberdayaan masyarakat diawali dengan membangun dari yang mereka miliki dan butuhkan serta kemampuan mereka dalam menjangkau perubahan untuk pemberdayaan tersebut. Inilah yang disebut dengan partisipasi. Arti kata partisipasi masyarakat seringkali diberikan pada pengertian keterlibatan atau peran serta masyarakat. Atau, partisipasi dalam pengertian ini dapat juga berarti mengambil bagian atau peran dalam pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya. Dalam realitasnya itu, pengertian partisipasi sepertinya masih terbatas pada keikutsertaan masyarakat dalam implementasi atau penerapan berbagai program yang dicanangkan pemerintah. Itu artinya, bahwa partisipasi dalam pengertian ini lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi dalam pengertian yang lebih ideal berarti masyarakat ikut serta dalam merumuskan kebijakan. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Pengembangan masyarakat harus diterjemahkan dalam kegiatan operasional yang mengarah pada pemberdayaan mereka. Pendekatan kelompok harus memberikan arti lebih daripada pendekatan individual. Strategi ini merupakan pembentukan ikatan sosial baik yang disebabkan adanya pembangunan atau pergaulan internasional (globalisasi). Pemberdayaan masyarakat ditandai dengan semakin terartikulasikannya kepentingan dan kebutuhan mereka, dan
3
masuknya mereka ke dalam sistem yang lebih besar untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga diarahkan pada penyiapan mereka menghadapi pasar dan dunia persaingan. Masyarakat pesisir sebagai masyarakat miskin memiliki persoalan yang kompleks. Pertama, faktor miskin secara ekonomi, terpinggir secara sosial, dan terlupakan secara fungsi dan martabat. Selanjutnya, faktor pendidikan dimana tingkat pendidikan masyarakat wilayah pesisir ini sebagian besar adalah SD. Pendidikan menjadi penting karena dengan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kapasitas pribadi maupun kelompok. Pendidikan masyarakat merupakan suatu proses dimana upaya pendidikan diwujudkan secara terpadu dengan upaya penduduk setempat untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang lebih bermanfaat dan memberdayakan masyarakat. Upaya dalam peningkatan pendidikan ini salah satunya dengan pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan
pelajaran
serta
cara
yang
digunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum operasional biasanya disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan, sehingga pengembangannya harus berdasarkan satuan pendidikan, potensi daerah, maupun karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Oleh karena itu model kurikulum untuk masyarakat pesisir hendaknya dikembangkan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di masyarakat, berdasar kebutuhan, kapasitas dan dinamika lokal dalam rangka pengembangan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Model kurikulum ini nantinya menekankan pada penguatan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran. Untuk mewujudkan harapan tersebut perlu didukung pemberdayaan masyarakat yang merupakan sebuah gerakan radikal, karena di dalamnya menyangkut perubahan pola kekuasaan dan mengujicoba status-quo. Di dalamnya juga menuntut perubahan perilaku baik bagi masyarakat sendiri ataupun para fasilitatornya.
Pengembangan masyarakat
dengan
tujuan pemberdayaan,
dengan demikian memiliki sejarah dan jalan panjang. Untuk itu pengembangan masyarakat
harus
memiliki
persiapan
strategi
yang
mantap
dan 4
berkesinambungan, agar masyarakat siap memasuki era dimana mereka menentukan dan mendifinisikan dirinya sendiri. Program
pengembangan
masyarakat
dan
partisipasi,
dengan
demikian
membutuhkan lingkungan yang kondusif. Keterbukaan dan transparansi dalam manajemen adalah salah satu prasyarat tumbuhnya partisipasi. Ini menjadi ajang subur di era desentralisasi, yang diharapkan mampu mendekatkan jarak antara pengambil keputusan dan masyarakatnya, agar pembangunan semakin memberi perubahan positif pada masyarakat. Untuk itu pula, perubahan sistem, prosedur dan manajemen pengambilan keputusan di tingkat pemerintah (utamanya yang langsung terlibat dalam program) menjadi pupuk organik yang akan melembaga dalam pengembangan masyarakat. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga diarahkan pada penyiapan mereka menghadapi pasar dan dunia persaingan. Secara filosofis, dengan adanya penguatan dan pengembangan kurikulum yang berisi strategi dan programprogram pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat membantu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan juga mendorong terwujudnya masyarakat yang gemar belajar (learning society) dengan mengedepankan filosofis belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Sehubungan dengan kecenderungan perkembangan ekonomi dan sosial budaya berlangsung sekarang, yang sangat diwarnai oleh perkembangan ekonomi pasar dan ketergantungan sosial-ekonomi sangat tinggi terhadap globalisasi dan perkembangan sosial-ekonomi dari luar, maka diperlukan karakter ekonomi yang berproduktif. Karakter produktif adalah karakter berorientasi pada upaya menghasilkan sesuatu untuk memuaskan atau memberikan kontribusi pada orang lain atau lingkungan sekitar. Karakter demikian didorong bukan hanya oleh sifat altruistik, tetapi juga aktualisasi pengembangan diri, atau berorientasi pada nilai kemanusiaan atau sosial universal. Dengan memberi hasil pada pada lingkungan sekitar, sesorang atau kelompok memiliki karakter ini merasa lebih berarti secara sosial karena apa yang dilakukan dihargai sosial dan memberi manfaat bagi orang lain atau lingkungan sosial dan publik sekitar.
5
Karakter produktif ini penting dijadikan dasar bagi pemberdayaan masyarakat untuk pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan nonformal dan pengorganisasian nonformal,
sosial.
Melalui
pemberdayaan
pengembangan
dilakukan
sebagai
kurikulum
bentuk
pendidikan
aktualisasi
dan
pengembangan diri warga masyarakat. Hal ini diartikulasikan dalam berbagai bentuk strategi dan kegiatan pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan pembelajaran di berbagai sektor, ekonomi, sosial, politIk, lingkungan hidup, teknologi dan kebudayaan.
B. TUJUAN Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang mendorong partisipasi masyarakat agar mempunyai kapasitas untuk meningkatkan ekonomi produktif.
C. RUANG LINGKUP Lingkup kegiatan ini dibatasi pada pengembangan model kurikulum masyarakat pesisir dengan masyarakat sasaran usia produktif (15 - 50 tahun). Model kurikulum
yang
dimaksud
meliputi
program-program
pemberdayaan,
perencanaan dan penerapan pembelajaran untuk mendukung peningkatan kapasitas dan keterampilan atau kecakapan dalam konteks kehidupan masyarakat pesisir.
6
BAB II KAJIAN KONSEP
A. Masyarakat pesisir Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Sebagaimana lazinmya suatu komunitas, masyarakat pesisir memiliki nilai budaya tersendiri yang dipahami oleh masyarakatnya dalam membentuk tindakan sehari-hari. Faktor ekologi sangat berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan sehari-hari. Faktor nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat pesisir ini akan berpengaruh pemahaman mereka terhadap pendidikan. Pemahaman masyarakat terhadap pendidikan akan berdampak pula pada bagaimana membangun model pendidikan yang harus dilakukan. Dalam konteks sosiologis, penduduk atau masyarakat yang menghuni kawasan pesisir, ditilik dari besaran populasi, perbedaan mata pencaharian dan sumber penghidupan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis satuan sosial yang kerapkali menjadi satuan administrasi pemerintahan, yaitu: (1) desa pesisir tipe bahan
makanan,
yaitu
desa-desa
yang
sebagian
besar
atau
seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe tanaman
industri,
yaitu
desa-desa
yang sebagian
besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe nelayan/empang/tambak, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin,1985). Dengan
demikian,
masyarakat
pesisir
dalam
realitasnya
menunjukkan
perbedaan-perbedaan sebagai suatu kesatuan sosial yang disebut sebagai masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sebagaimana diketahui hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, dikenal sebagai masyarakat nelayan merupakan 7
bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian
sebagai
nelayan,
petambak,
atau
pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Dalam kehidupan masyarakat pada umumnya kerap dikenal sebagai masyarakat nelayan,
dengan
berbagai
sebutan
baik
nelayan,
petambak,
maupun
pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan. Untuk menguraikan hal ihwal yang terkait dengan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini, tidak dapat dilepaskan dari konsep konstruksi masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas. Suatu konsep tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok–kelompok sosial yang melangsungkan kehidupannya dan bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan. Dalam konteks itu, bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan 8
itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984). Dalam perspektif antropologis dan sosiologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan sosial budayanya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan bergolong kasta rendah. Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan” (Satria, 2002). Dari masalah utang piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Peran pemerintah mulai tingkat lokal hingga tingkat pusat sangat penting dalam perannya menciptakan aturan bagi kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan keberlanjutan (sustainabilitas) sumberdaya almanya. Ini perlu ditekankan karena sebagaimana sumberdaya alam lainnya, sifatnya yang bisa hancur dan menjadi langka bila tidak dikelola dengan bijak akan menimbulkan konflik di masa mendatang. Peraturan dengan demikian sangat penting termasuk untuk memastikan hak pemanfaatan sumberdaya alam bagi masyarakat lokal. Selain 9
pemerintah, lembaga non pemerintah dan berbasis masyarakat seperli Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat membantu dalam mengarahkan strategi pemberdayaan dan pemanfaatan potensi yang ada yang diperlukan masyarakat pesisir dan menunjang pengelolaan sumberdaya lingkungan laut di sekitar tempat tinggal mereka misalnya budidaya perikanan. Pengelolaan ini dilakukan dengan kegiatan nyata yang sesuai dengan warna dari kultur masyarakat setempat. Untuk itu LSM harus mampu memberikan masukan dan
atas
pemikiran kritis bagi strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir dan masyarakatnya. Masyarakat pesisir secara umum dipahami sebagai masyarakat dengan mata pencaharian utama nelayan. Ini bisa dimaklumi karena nelayan menjadi mata pencaharian utama kelompok masyarakat yang hidup di sekitar pantai ini. Yang perlu dicermati pada masyarakat pesisir adalah masalah yang berkaitan dengan peran dan matapencaharian mereka sebagai nelayan. Berbagai kebijakan yang dilakukan belum mampu mengangkat kerangkeng kemiskinan para nelayan. Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya.
Akibat dari
kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti: 1. Aspek ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah). 2. Aspek sosial ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar. 3. Aspek sosio kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional 10
terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politik, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi. Selain sebagai nelayan, pada kondisi pesisir tertentu, juga bisa disebabkan oleh perubahan kecenderungan pola kerja nelayan, maka beragam matapencaharian lainnya yang bisa dikerjakan oleh masyarakat pesisir, termasuk oleh kelompok perempuan. Menjadi petani garam sebagaimana ditemukan di banyak wilayah NTB (Sumbawa) dan Madura. Kehidupan mereka dalam mengelola sumberdaya alam menajdi garam, juga tidak lepasa dari kultur dan relasi yang mereka bangun dengan alam, serta tenik keterampilan yang mereka kuasai. Dalam perjalanan sebagai petani garam, terkait degan alur ekonomi lainnya, maka kehidupan masyarakat pesisir dalam hal ini petani garam juga tidak luput dari pasang surut, termasuk yang paling mutakhir terjadi adalah kebijakan harga dan impor garam yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini sekalilagi memberikan bukti bahwa kehidupan
masyarakat
pesisir
membutuhkan
perhatian
penuh
dalam
pemberdayaannya. Yang perlu diperhatikan lainnya sebagai matapencaharian utama masyarakat pesisir adalah petambak dan petani rumput laut. Kegiatan terakhir ini, sebagaimana ditemui di wilayah Jeneponto Sulawesi Selatan banyak melibatkan anggota keluarga termasuk perempuan. Perkembangan budidaya rumput laut yang dalam dekade sebelumnya pernah mencapai harga puncak telah berkontribusi pada pola pencaharian masyarakat pesisir dari nelayan tradisional kepada petani budidaya rumput laut. Namun sebagaimana kelompok masyarakat pesisir petani garam, petani rumput laut juga dihadapkan pada fkutuasi pasar dan perubahan ekosisitem yang berpotensi pada merendahnya kesinambungan penghidupan ini. Tentu kerentanan ini membutuhkan proteksi kebijakan pemerintah yang kuat. Juga di level masyarakat, antisipasi dengan pola 11
pemberdayaan lewat pendidikan menjadi salah satu alternatif mekanisme mengurangi kerentanan tersebut. Pengembangan model kurikulum bagi masyarakat pesisir mengambil 2 daerah yang dijadikan sebagai dasar pengembangan, yaitu masyarakat pesisir Cirebon (Jawa Barat) dan masyarakat pesisir Jeneponto (Sulawesi Selatan). Berikut ini adalah tinjauan konteks masyarakat kedua daerah tersebut:
1. Konteks Masyarakat Pesisir Di Cirebon, Jawa Barat Penduduk Pesisir di Kabupaten Cirebon hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama, yaitu cenderung kurang dalam capaian pendidikan formal. Misalnya, dari hasil penelitian Kusnadi (2002), dari 50 nelayan tradisional yang diteliti, sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (55%), dan bahkan 35% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah. Untuk bekal bekerja mencari ikan di laut, latar belakang pendidikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikitbanyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut. Persoalan dan arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru muncul tatkala seorang nelayan ingin berpindah pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain menjadi nelayan. Bagi masyarakat nelayan yang hidup di pesisir Kabupaten Cirebon, hidup berumah tangga relatif lebih cepat, sebab seolah ada kebiasaan untuk menikah dalam usia yang relatif dini dan kemudian membentuk keluarga batih. Dalam konteks itu, usia rata-rata mereka pertama kali menikah di bawah “kepala dua” atau belum genap 20 tahun. Bagi mereka, menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak.
12
Di dalam kehidupan nelayan di Kabupaten Cirebon, mereka mengakui memiliki anak 1-2 orang, dan bahkan tidak sedikit yang mengaku memiliki anak 3 orang lebih atau ada pula yang mengaku memiliki anak 6-7 orang. Dalam situasi seperti ini, dapat dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditanggung sebuah keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka paspasan, bahkan sering paceklik, tetapi di saat yang sama mereka harus menghidupi anak-anaknya yang jumlahnya sedemikiaj besar, meski diakui dalam kehidupan keseharian tampaknya berlaku kehidupan sosial yang saling membantu dan saling tolong menolong antarsesamanya. Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang biasa, sehingga anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang tertinggi di desanya. Berbeda dengan juragan kapal atau nelayan modern yang rata-rata hidup berkecukupan, kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba pas-pasan, atau relatif kekurangan dan bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang sulit berharap keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan yang memadai, apalagi penghasilan itu untuk kepentingan menabung. Bagi juragan kapal dan nelayan modern yang memiliki banyak perahu, aset produksi lebih, memiliki sumber pemasukan alternatif di luar sektor perikanan yang bisa diandalkan, dan ditambah lagi dengan pemilikan tabungan yang cukup, atau investasi di bidang usaha lain di luar perikanan, memang kondisi ekonomi mereka relatif tidak akan terpengaruh musim. Meskipun, mereka yang dapat dikategorikan sedemikian itu, di wilayah pesisir umumnya bisa dihitung dengan jari. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari -hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung tak terkendali. Jika selama ini banyak kajian menyatakan,
bahwa
nelayan
pada
umumnya
merupakan
kelompok
masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto, 1984), maka yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan 13
mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung seperti ini mereka menggambarkan atas keadaan harga BBM yang tidak jelas, dalam setahun terakhir ini, kondisi ekonomi mereka cenderung memburuk, atau sekurang-kurangnya tetap miskin seperti yang sudah-sudah. Walau mereka mengakui ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diterima, tetapi itu tidak lah ada artinya, untuk menopang kehidupan ekonomi mereka. Bahkan, seringkali, pemberian BLT itu, menjadi bulan-bulanan para rentetir yang mengutangkan uang atau barang. Bagi warga masyarakat pesisir terutama keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Di perairan sekitar Luat Jawa, kondisi sumber daya laut umumnya sudah hampir dapat dikatakan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bahasa teknis kelautannya adalah over exploited. Apalagi, dalam pencaharian ikan nelayan tradisional hanya mengandalkan
teknologi
sederhana,
sebagian
besar
mengaku
hasil
tangkapan mereka makin lama makin menurun. Mereka, mengakui bahwa sejak satu-dua tahun terakhir pendapatannya memang tidak lagi bisa diandalkan, kecuali juragan kapal yang memiliki jaring dan mesin yang mampu membawa awaknya mencari ikan jauh ke tengah laut Di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon, memang cukup banyak nelayan modern telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan di laut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Tetapi, ukuran modernitas nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar-kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Itu artinya, semakin jauh wilayah pencaharian ikannya ke tengah lautan semakin besar pula hasil tangkapannya. Namun, cara inipun tentu memerlukan modal yang tidak sedikit, serta kehandalan awak kapal yang terlibat di dalamnya. Sebab, mereka menyadari, bahwa wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah 14
sampai di lepas pantai (off shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai. Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Nelayan tradisional ini, umumnya adalah kelompok masyarakat yang dikategorikan buruh sehingga kehidupan ekonominya dapat dikatakan paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak dan pengijon. Dikatakan miskin, karena per bulan penghasilan sekeluarga di bawah pendapatan yang seharusnya diperoleh rata-rata penduduk yang capaian ekonomi memadai atau setara dengan Rp 1 Juta per-bulan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka hanya sekecil itu? Dengan jumlah anak rata-rata lebih dari 2-3 orang, mungkinkah mereka dapat menghidupi keluarganya secara layak? Seseorang yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional saja, kondisi ekonominya bisa dipastikan kurang-lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya bedanya, jika buruh nelayan berpenghasilan kecil akibat sistem bagi hasil yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan mereka paspasan, karena hasil tangkapan ikan setiap hari memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong tatkala musim paceklik ikan tiba. Mereka mengaku, sebagai nelayan tradisional, memang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari sampai saat ini relatif tidak menjadi masalah, meski mungkin dalam ukuran yang sangat sederhana. Jelas capaian kebutuhan itu, sebatas memenuhi makan yang amat sederhana sebab mereka mengabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain di luar kebutuhan pangan. Seperti halnya, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, hampir sebagian besar nelayan pesisir menyatakan tidak mampu. Hal yang sama juga berlaku ketika mereka harus memenuhi kebutuhan kesehatan dan biaya sosial lingkungan. Mereka menyatakan tidak mampu ketika ada salah satu anggota keluarganya yang jatuh sakit. Dengan besar
15
penghasilan yang sangat minimal dan pas-pasan untuk makan sehari-hari, memang berat jika keluarga nelayan tradisional yang miskin itu harus mengeluarkan biaya ekstra berobat ke dokter atau membeli obat di apotik yang menurut ukuran mereka relatif mahal. Kalau berbicara idealnya, memang sebuah keluarga yang tidak lagi bisa mengandalkan kelangsungan hidupnya hanya dari satu mata pencaharian di sektor perikanan, maka pilihan yang paling realistis adalah berusaha mencari sumber pendapatan alternatif, terutama pekerjaan di sektor non-perikanan yang tidak terpengaruh musim. Tetapi, untuk mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membaik telapak tangan, meski pun diakui oleh sebagian nelayan tradisional atau buruh yang akan mengalihkan pencahariannya tatkala mereka memasuki musim Barat atau paceklik di laut. Mereka bekerja serabutan baik di kota terdekat yaitu Cirebon, maupun pergi ke Jakarta. Namun cara itu, tentunya dipengaruhi oleh pertama, berkaitan dengan persoalan tingkat pendidikan. Bagi warga masyarakat nelayan yang memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, jika pada satu titik hasil dari sektor perikanan tidak lagi bisa mereka harapkan, kemungkinan untuk beralih profesi paling tidak di atas kertas masih terbuka. Tetapi, bagi nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, maka matihidup mereka sebetulnya mutlak tergantung pada hasil dari sektor perikanan. Kedua, berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki mereka. Bagi keluarga miskin di pesisir Cirebon, lantas apa yang mereka lakukan untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya? Di kalangan keluarga nelayan tradisional, sudah lazim terjadi kiat pertama dan yang paling mudah meski sebenarnya sangat terpaksa mereka lakukan untuk menyiasati krisis adalah dengan melakukan berbagai menyederhanakan kegiatan konsumsi sehari hari atau dalam bentuk mengurangi frekuensi makan, khususnya bagi orang tua yang sudah terbiasa menahan lapar. Apabila kondisi keuangan memang tidak memung-kinkan, maka cara yang paling mudah dilakukan keluargakeluarga miskin adalah makan seadanya, menyederhanakan menu makanan, dan sejenisnya yang penting setiap hari pengeluaran bisa lebih diirit.
16
Cara lain untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga nelayan, biasanya usaha yang dikembangkan keluarga-keluarga miskin untuk tetap bertahan hidup adalah dengan menggadaikan atau menjual barang, utang ke sanakemari, dan yang tidak kalah penting dengan mengandalkan pada dukungan kerabat, semacam mekanisme bertahan hidup dengan cara mencari asuransi sosial dari kerabat yang difungsikan sebagai semacam patron. Seperti diakui sebagian besar keluarga nelayan tradisional, salah satu strategi yang acapkali mereka kembangkan untuk mengatasi tekanan kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan mengandalkan dukungan dari kerabat. Cara yang mereka kenal sebagai sambatan, yaitu mekanisme tolong menolong sesamanya untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Fungsi kerabat pada dasarnya memang bukan hanya sebagai tempat untuk mensosialisasikan anak-anak, tetapi kerabat juga berfungsi sebagai kelompok primer yang menopang dan memberikan jaminan sosial-ekonomi bagi anggota kerabatnya. Dengan demikian, bagi para nelayan tradisional di pesisir Kabupaten Cirebon, seringkali hidup memang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Sekali pun disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari hasil dari melaut acapkali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi karena pekerjaan itu sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang pekerjaan ini juga merupakan usaha warisan secara turun-temurun, maka tidak bisa lain, yang dilakukan adalah menjalani dan menerimanya sebagai warisan atas pekerjaan itu dari orang tua termasuk pula leluhurnya. Dari sebagian besar warga masyarakat yang bergelut dalam pencaharian di laut, mereka mengaku sudah menekuni pekerjaan itu sebagai nelayan tradisional lebih dari 25 tahun. Jarang ditemui ada nelayan yang menyatakan baru saja menggeluti usahanya kurang dari lima tahunan, kalau pun terjadi umumnya itu adalah anak -anak muda yang melanjutkan tradisi pekerjaan orang tuanya menjadi nelayan tradisional. Walaupun demikian, tidak sedikit juga anak-anak yang berjenis kelamin perempuan memilih mengadu nasib ke luar wilayah pesisir, bahkan tidak sedikit yang mengadu nasib sebagai TKW atau bekerja di kota baik di Kota Cirebon maupun langsung bekerja ke Jakarta.
17
Alasan utama merena yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan tradisional adalah karena tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka pilih. Meskipun lingkungan kota besar yang dalam banyak hal lebih menawarkan kemudahan dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa untuk menyerap setiap penambahan migran dan tenaga kerja baru. Namun untuk sebagian lagi dari mereka menyatakan, kesempatan untuk mencari pekerjaan alternatif acapkali seperti menemui jalan buntu. Kebanyakan dari mereka alasan utama menekuni pekerjaannya sekarang adalah karena sesuai dengan keahlian yang sudah turun temurun. Alasan seperti ini antara lain disebabkan mereka sejak usia anak-anak telah dikenalkan dan ikut terlibat langsung dengan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Banyak di kajian mengungkapkan, bahwa keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan tradisional atau buruh nelayan umumnya lebih banyak didasarkan pada kebutuhan ekonomi keluarga yang serba
kekurangan,
sehingga
mereka
kemudian
memutuskan
untuk
melibatkan anak-anak dalam kegiatan produktif. Itu artinya, kegiatan anakanak itu sebagai upaya membantu orang tuanya mendapatkan tambahan pendapatan. Demikian pula dengan isteri-isteri nelayan umumnya aktif bekerja dengan cara berdagang ikan, menjual hasil tangkapan suaminya atau menyiapkan kebutuhan bahan baku usaha keluarga. Cara para isteri nelayan melakukan usaha ini adalah sebagai upaya menambah pendapatan ekonomi keluarga. Sebagian besar isteri nelayan juga terlibat dalam pekerjaan berdagang ikan hasil tangkapan suaminya atau membeli dari nelayan lainnya. Selain itu isteri-isteri nelayan juga berdagang membuka warung yang menjual makanan kecil atau kebutuhan sehari-hari di sekitar rumahnya. Selain isteri, anggota keluarga lainnya yang juga ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah adalah anak-anak. Dalam bahasa yang paling sederhana, bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon, keterlibatan perempuan dan anak dalam kegiatan produktif bukanlah hal yang baru. Coba saja tengok ketika pendaratan perahu di pagi hari, maka akan tampak setiap hari para isteri bekerja mengangkut ikan dari perahu yang baru datang. Di tempat lain para isteri juga terlihat bekerja membersihkan perahu yang baru saja datang dari melaut. Di pasar-pasar ikan dipenuhi para 18
isteri nelayan yang menjadi pedagang ikan hasil tangkapan suaminya atau menjadi perantara nelayan atau juragan lain untuk menjualkan hasil tangkapan dengan memperoleh sejumlah komisi. Biasanya besar komisi yang diperoleh pedagang perantara yang menjualkan ikan nelayan lainnya sekitar 10% dari jumlah yang dijual. Di industri kecil yang masih berkaitan dengan sektor perikanan --seperti pembuatan terasi atau krupuk ikan-- tidak sulit menemukan para istri nelayan dan sebagian anak perempuan aktif bekerja. Para istri-isteri nelayan acapkali terlihat menjemur udang-udang kecil di tempat penjemuran. Di sisi lain terlihat isteri nelayan dan anak-anak dengan cekatan tangannya sedang menggiling, memotong serta mencetak bahan terasi membentuk kotak-kotak seukuran seperempat kilogram. Di tempat lain acapkali juga terlihat para isteri ini sedang sibuk menjemur terasi yang sudah dicetak dengan ukuran seberat seperempat kilogram berbentuk kotak-kotak di bawah terik panas matahari. Di tempat pembuatan ikan asin yang banyak terdapat di sekitar pantai, kelompok perempuan juga terlibat dalampembuatan ikan kering. Para isteri terlibat semua tahap pekerjaan mulai pemilahan ikan, mengolah, menjemur hingga pengepakan. Ikan-ikan yang telah dibelah dan kemudian dilumuri garam dijemur di tempatnya yang terbuat dari bambu. Di lingkungan pesisir kerapkali dijumpai, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sudah biasa turut aktif bekerja membantu orang tuanya, bahkan terkadang dalam usia yang tergolong dini. Anak laki-laki biasanya ikut melaut ketika tidak sekolah atau membantu mengangkut ikan hasil tangkapan dari perahu ke daratan. Selain itu anak laki-laki biasanya juga terlihat meminta ikan kepada nelayan yang baru saja datang dari laut. Biasanya nelayan yang menjadi tempat meminta anak-anak adalah nelayan yang masih ada hubungan kerabat. Ikan-ikan pemberian nelayan ini kemudian dijual di pasar sehingga mendapatkan sedikit tambahan uang. Di lingkungan masyarakat pesisir, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga. Di tengah situasi yang tidak menentu dan kecilnya pendapatan yang diperoleh nelayan terutama pada musim paceklik ikan maka peran isteri dan anak menjadi sangat strategis. Apalagi 19
pendapatan nelayan akhir-akhir dirasakan semakin berkurang karena terkurasnya sumber daya laut oleh kapal-kapal besar (trawl) yang tanpa pandang-bulu menjaring ikan dari ukuran apa pun. Bagi nelayan tradisional, sangat mereka sadari bahwa dari tahun ke tahun laut tampaknya tidak lagi terlalu bisa diandalkan. Berbeda pada saat kekayaan laut masih berlimpah, sejak kebijakan modernisasi perikanan dicanangkan, maka sejak itu pula mulai ruang gerak nelayan tradisional menjadi makin sempit. Daerah sekitar perairan pantai yang dulu menjadi tempat mereka menjaring ikan, kini makin sepi. Sebagian besar nelayan tradisional, menyatakan, bahwa dalam setahun terakhir jumlah ikan hasil tangkapan mereka cenderung berkurang, bahkan sebagian pengurangan yang terjadi berlangsung drastis. Mereka mengaku hasil tangkapan mereka belakangan ini justru bertambah, dan itu pun karena mereka nekat memperluas daya jelajah perahu kecilnya agak ke tengah laut. Iklim persaingan yang makin ketat, dan agresivitas nelayan modern dalam menangkap ikan di laut maupun pada saat memasarkannya di daratan, bagi nelayan tradisional jelas menjadi ancaman serius. Bahkan, menurut mereka akibat modernisasi perikanan, yang mereka alami bukan hanya terkurasnya sumber daya laut secara drastis, tetapi ruang gerak mereka untuk memasarkan hasil tangkapannya juga terpengaruh. Bisa dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditangung nelayan tradisional jika yang dihadapi bukan saja jumlah tangkapan ikan yang berkurang, tetapi juga pemasaran ikan yang makin sulit. Di kalangan nelayan tradisional separuh lebih mereka memilih
menjual
semua
ikan
hasil
tangkapan
ke
pasar
daripada
mengkonsumsinya sendiri untuk makan sehari-hari. Seperti layaknya masyarakat petani, bagi nelayan tradisional tampaknya ekonomi mereka cenderung bersifat subsistens. Dengan menjual ikan dan kemudian memperoleh uang yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup sehari itu. Sedangkan untuk memenuhi keperluan hidup esok harinya mereka pun menyandarkan kembali pada penghasilan melaut hari esoknya, demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan sisa pendapatan untuk keperluan manabung atau investasi sebagai layaknya prinsip ekonomi yang kadarnya untuk mencari keuntungan. 20
Belum lagi dalam menjalankan usahanya ini mereka diharuskan menjual semua hasil tangkapannya, terkadang resiko yang harus ditanggung adalah ulah tengkulak yang cenderung membeli ikan dari nelayan tradisional dengan harga yang tidak terlalu tinggi, atau bahkan dengan harga yang rendah. Prinsip injon, dalam pencaharian nelayan serupa ini jelas mewarnai kehidupan ekonominya. Karena itu, kehidupan ekonomi nelayan seperti ini jelas tidak akan memperoleh penghasilan yang berlebihan atau justru semakin hari kehidupan ekonominya semakin tertekan. Dalam setahun sebenarnya musim panen bagi masyarakat nelayan di pesisir Cirebon hanya tiga bulan. Sedangkan sembilan bulan sisanya dapat dikatakan sebagai musim paceklik. Pada musim paceklik seperti ini hasil tangkapan ikan nelayan niscaya akan turun drastis. Bahkan tidak jarang nelayan tradisional tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tidak adanya ikan yang dapat ditangkap berarti para nelayan tradisional juga tidak dapat memperoleh pendapatan. Dengan kata lain, pada saat musim paceklik yang relatif panjang, nelayan tradisional akan menghadapi masalah penurunan pendapatan yang serius. Ketika musim paceklik tiba, jika para nelayan memaksa diri pergi ke laut untuk menangkap ikan, maka tidak mustahil mereka akan menghadapi kemungkinan kerugian lebih besar. Ketika musim paceklik inilah nelayan umumnya lebih memilih beristirahat atau menunda melaut dengan menambatkan perahunya di sejumlah tempat, sehingga akibatnya mereka nyaris tidak memperoleh penghasilan. Dalam kondisi itu, untuk memenuhi keutuhan hidup sehari-hari mereka biasanya menggadaikan barang berharga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi salah satu alternatif mendapatkan uang segar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat dihindari. Bagi mereka, bentuk-bentuk mekanisme bertahan hidup yang biasa mereka kembangkan untuk menyiasati tekanan kebutuhan hidup selama musim paceklik adalah: (1) mengandalkan pada tabungan yang masih tersisa untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari bagi mereka yang memiliki tabungan seperti dalam bentuk barang (motor, emas atau perhiasan lain); (2) bekerja sebagai buruh nelayan di kapal yang bermesin besar (itupun jika kemampuan
21
yang dimiliki mendukungnya); dan (3) hidup dari utang serta uluran tangan orang lain. Di mata mereka semua pilihan ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi, karena sudah puluhan tahun hidup mereka serba kekurangan, maka sekeras apa pun tekanan kemiskinan yang harus dihadapi, hal itu biasanya tidak lagi mengagetkan nelayan tradisional. Bagi keluarga nelayan tradisional, kemiskinan dalam beberapa hal memang terasa menekan, tetapi ketika tekanan kemiskinan itu terus -menerus terjadi dan dialami, bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi justru bagi mereka harus dihadapi.
2. Konteks Masyarakat Pesisir Jeneponto, Sulawesi Selatan Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010). Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Pebruari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Karena itu, wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir dan taraf kesejahteraan masyarakat. Menelusuri wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto, sepanjang wilayah pesisir tersebut berhadapan dengan Laut Flores. Kondisi ini menyebabkan terpaan angin, disertai hujan lebat dan ombak besar yang senantiasa dihadapi oleh
22
kaum nelayan, sehingga pada musim-musim seperti itu, terutama bulan-bulan Desember sampai Januari kebanyakan para nelayan tidak melaut. Adanya arus bawah yang seringkali berbeda arah dengan arus permukaan juga sering dialami para nelayan di daerah ini. Dalam keadaan demikian sangat sukar melakukan penangkapan ikan dengan peralatan yang sederhana sekalipun. Karena itu, pada masyarakat nelayan terdapat karakteristik yang mencolok, yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim penangkapan, para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik atau yang dikenal musim barat kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya selama ini menekuni kegiatan nelayan tangkap. Keterbatasan wilayah penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong terjadinya pembagian peran di antara kelompok nelayan. Setiap peran senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama kelompok nelayan. Bentuk tolong-menolong dan kerjasama yang berlangsung terus menerus lalu kemudian mengakar sebagai nilai budaya. Nilai yang terlembagakan tersebut yang dikenal masyarakat sebagai apa yang disebut hubungan punggawa sawi di kalangan masyarakat nelayan. Dalam
perkembangannya
masyarakat
nelayan
Kabupaten
Jeneponto
sebagaimana umumnya terjadi pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia,
mengalami
proses
dialektika
sebagai
akibat
terjadinya
perkembangan teknologi. Hal itu, berpengaruh pada perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani rumput laut, meski masih dalam jumlah yang relatif sedikit. Dalam konteks perubahan serupa itu, masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto dapat menjurus pada hal-hal berikut: (1) perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap peranan punggawa-sawi dan pembagian hasil, yaitu cenderung mengakibatkan 23
proporsi bahagian hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil; (2) masyarakat nelayan (Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi dan banyaknya tenaga kerja yang tersedia, berdampak terhadap kemungkinan terjadinya persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan;
(3)
berkenaan
dengan
penggunaan
teknologi
(transformasi),
masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan punggawa-sawi baru sesuai tuntutan perkembangan; dan (4) kesempatan menjadi punggawa besar atau pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat. Indonesia mengalami proses perubahan atau transformasi pertama kali dalam bidang pertanian pada awal tahun 1970-an, dikenal dengan nama revolusi hijau. Transformasi tersebut melahirkan berbagai kajian diantaranya terkait dengan distorsi yang terjadi terutama pada masyarakat petani gurem. Sedangkan perubahan atau proses transformasi masyarakat pesisir atau dikenal dengan revolusi biru lebih belakangan atau sekitar akhir 1970-an termasuk di Sulawesi Selatan. Tidak berbeda dengan yang terjadi di sektor pertanian, di mana ketika masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan memasuki fase transformasi melalui reinvestasi dalam bidang penangkapan, sistem manajemen yang lebih rasional, masyarakat nelayan terutama buruh nelayan atau kelompok sawi (Sulawesi Selatan) tetap terpinggirkan. Fenomena tersebut terjadi hampir menyeluruh pada masyarakat nelayan di Indonesia termasuk masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Akibat, sering menimbulkan perdebatan teoretis terhadap keabsahan perspektif modernisasi atau transformasi dalam melihat proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan konsep dan proses transformasi masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto baik yang tetap mempertahankan perannya sebagai nelayan pesisir maupun yang telah beralih menjadi masyarakat petani rumput laut. Hal itu, menunjukkan bahwa diferensiasi fungsional atau disebut juga diferensiasi struktural telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto.
24
Dalam
konteks
ini,
bagi
masyarakat
yang
masih
mempertahankan
pencahariannya sebagai nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Dari ketiga sudut pandang tersebut, jika ditelaah lebih mendalam lagi masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto dari segi hubungan sosialnya, maka tampak bersandar pada pola stratifikasi sosial sebagai berikut: (1) golongan pemilik kapal (pemodal); (2) golongan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian dimaksud seperti nahkoda dan teknisi, sedang yang memiliki modal tenaga adalah yang berperan sebagai pekerja diluar nahkoda dan teknisi. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga biasanya dikenal dengan nama buruh. Demikian juga berlaku dalam pola stratifikasi sosial yang lebih luas pada petani petambak, bahwa pada masyarakat petambak ditemui beberapa kelompok punggawa dan petambak. Kelompok punggawa memiliki dua tipe yaitu: (1) punggawa yang memiliki dan menyakapkan lahan tambak, dan (2) punggawa yang tidak memiliki lahan tambak. Kelompok petambak terdiri tiga tipe yaitu: (1) petambak pemilik terikat yang menyakapkan lahan tambaknya, (2) petambak pemilik terikat yang mengelola lahan tambaknya sendiri, (3) petambak penyakap yang menggarap lahan tambak milik punggawa. 25
Dengan demikian, pada masyarakat nelayan maupun petambak yang berstratifikasi cenderung menurunkan kualitas hidup karena beberapa individu dan kelompok mencapai kontrol atas sumber-sumber daya produktif, maka mereka mampu memaksakan individu-individu dan kelompok-kelompok lain untuk menghasilkan surplus ekonomi dengan anggota-anggota kelompok dominan itu. Tampaknya, dalam kehidupan ekonomi masyarakat pesisir di Jeneponto, situasi sosial itu berlangsung dengan ketatnya untuk mengatur kehidupan sosial mereka. Situasi sosial serupa ini, dapat dianalogikan pada masyarakat agraris yang diketahui bersama tekah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada rendahnya standar hidup para petani. Hubungan sosial yang terjalin atas situasi sosial seperti itu, menunjukkan hubungan yang dalam istilah Ilmu Sosial dikenal sebagai hubungan patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung lama sekali dalam sejarah umat manusia. Dalam Ilmu Sosial, seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para clients secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka, yang nama keluarganya mereka gunakan dan upacara pemujaan keluarganya mereka ikuti. Ikatan antara patron dank klien mereka dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun. Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya. Pada umumnya, relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks, seperti halnya masyarakat nelayan di daerah Pesisir Jeneponto. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis perikanan, 26
seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor perikanan, dalam kerangka mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka miliki. Ketika hubungan patronase terutama digunakan kepada hubungan ekonomi seperti dalam perikanan apakah itu pertambakan, maupun penangkapan ikan, dan perdagangan laut maka istilah yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah punggawa untuk patron dan sawi untuk klien. Kata punggawa disamakan dengan ‘pemimpin’ atau ‘bos’. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap punggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Justru karena adanya hubungan pribadi, maka punggawa kerap merujuk kepada sawi mereka sebagai anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang). Secara singkat dapat dikemukakan pola-pola relasi patron-klien dalam kaitannya dengan teori stratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh Legg (1983) bahwa pada dasarnya hubungan patron-klien berkenaan dengan: (a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, (b) hubungan yang bersifat khusus (particularistic),
hubungan
pribadi
dan
sedikit
banyak
mengandung
kemesraan (affectivity), (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima. Sementara menurut Scott (1993) bahwa sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari masing-masing pihak. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian: bantuan
penghidupan
subsistensi
dasar,
jaminan
krisis
subsistensi,
perlindungan dari ancaman luar terhadap klien, dan memberikan sumbangan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, arus barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. 27
Patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pertama golongan pemilik kapal (modal ekonomi) dikenal dengan sebutan punggawa yang berperan sebagai patron. Kedua, yaitu golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga ini biasanya dikenal dengan sebutan buruh yang berperan sebagai klien. Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung nelayan. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan. Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan. Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap di kalangan nelayan di Pesisir Jenepoto misalnya, terdapat tiga pihak yang berperan besar, yaitu pedagang perantara, nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh. Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman (uang) ikatan untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patron-klien. Relasi sosial ekonomi berbasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara. Sedemikian dalamnya relasi patron-klien mendasari aktivitas
28
ekonomi nelayan, sehingga aktivitas ekonomi nelayan serupa ini kerapkali disebut sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien”. Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barang-barang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi. Hubungan patron-klien sebagaimana dimaksud senantiasa menjadi fenomena perdebatan antara hubungan yang bersifat eksploitasi dan hubungan bersifat resiprositas. Eksploitasi menurut Scott (1981) adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi, yaitu pertama, harus dilihat sebagai satu tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi ,mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Sedangkan resiprositas menurut Scott (1981) mengandung prinsip bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang setidak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Scott, 1981). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaranyang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil. Realitas sosial 29
serupa ini, dalam konteks masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto disebut sebagai pertukaran sosial antara punggawa - petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Punggawa dengan asset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang cenderung berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh punggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas atau hubungan sosial ekonomi timbal-balik. Sebab, hubungan punggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, di samping hubungan punggawa petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat yang dapat berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu. Wilayah Kabupaten Jeneponto memiliki tujuh kecamatan berbatasan langsung laut dengan panjang pantai berkisar 114 km. Sebagian masyarakat menggantungkan diri pada sektor nelayan. Selain pekerjaan utama sebagai nelayan, pertanian ladang menjadi alternatif sumber ekonomi rumah tangga, ketika musim istirahat penangkapan tiba. Mobilitas musiman juga menjadi rutinitas bagi sebagian besar anak-anak nelayan seperti ke Kota Makassar mencari nafkah. Dengan demikian, aktivitas masyarakat pada wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya melibatkan diri menjadi petani rumput laut sebagai alternatif pekerjaan. Karakteristik pekerjaan baru ini memiliki pola dan bentuk kegiatan yang sangat berbeda dari nelayan tangkap, baik dari aspek pengelolaan, produksi, penguasaan aset dan permodalan. Melakukan pekerjaan sebagai petani rumput laut telah berlangsung kurang lebih lima belas tahun, namun dilihat dari aspek makro menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya masih menghadapi kendala kemiskinan dengan berbagai karakteristik sosial ekonomi yang melatar belakanginya.
30
Menilik situasi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Pesisir Jeneponto serupa itu peran punggawa-sawi dalam kehidupan kelompok nelayan amat lah menentukan dan memberi makna. Karena itu, perkembangan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto ke depan sedikit banyaknya ditentukan oleh eksistensi punggawa-sawi dalam konteks ketenagakerjaan. Keberadaan ini tentunya lagi amat berbeda dengan hubungan yang dijalin dalam konteks kelompok nelayan tangkap terhadap kelompok/masyarakat petani rumput laut yang muncul tidak berdasarkan konteks budaya setempat. Keberadaan petani rumput laut lebih ditentukan oleh adanya hubungan ekonomi pasar yang bergantung pada ekonomi uang. Berdasarkan uraian di atas, tampaknya masyarakat pesisir baik di Kabupaten Cirebon
maupun
Kabupaten
Jeneponto
yang
berhubungan
dengan
pencaharian sebagai nelayan tradisional dan modern ternyata memiliki karakteristik sosial ekonomi yang tidak berbeda, yaitu umumnya mereka berpendidikan rendah, sedikit memiliki ketrampilan di luar sektor perikanan, miskin dan memiliki modal usaha yang sedikit untuk dapat mengembangkan kegiatan disektor ekonomi produktif di bidang perikanan. Kondisi serupa itu, bisa terjadi karan begitu kuatnya tekanan struktural yang dialami oleh masyarakat pesisir di kedua tempat ini. Dalam konteks itu, lebih banyak berkaitan dengan ketidakmampuan menghadapi nelayan yang menggunakan teknologi modern. Karena nelayan yang modern bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena daya jangkaun pencarian ikan lebih jauh, sementara nelayan tradisional terbatas wilayahnya. Hal ini berakibat nelayan tradisional tidak memiliki posisi tawar -menawar (bargaining position) dalam menentukan harga ikan. Karena itu, kendala-kendala yang dialami oleh nelayan untuk meningkatkan dapat kesejahteraan hidupnya, adalah: (1) kondisi internal, yang dicirikan dengan nelayan yang tidak mempunyai modal, teknologi dan ketrampilan untuk meningkatkan nilai tambah pada hasil tangkapan ikannya; (2) kondisi eskternal, yang dicirikan dengan munculnya nelayan–nelayan yang memiliki teknologi dan modalnya yang besar, bahkan ada beberapa orang lain yang berasal dari luar komunitasnya yang menguasai kehidupan para nelayan, dengan memiliki
31
kapal besar dengan teknologi yang lebih modern, sementara nelayan setempat hanya sebagaiburuh dari pemilik kapal tersebut. Tampaknya, permasalahan untuk mengembangkan konsep pemberdayaan pada masyarakat pesisir masih terkait erat dengan apa yang disebut sebagai kendala sosial, budaya dan ekonomi yang membentuk kehidupan mereka. Karena itu, untuk menelisiknya tidak bisa dilepaskan dari tiga isu pokok yang wujud dalam kehidupan masyarakat pesisir, yaitu: (1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial yang dapat membentuk kelompok-kelompok sosial baru di kalangan masyarakat pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka.
Permasalahan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ASPEK
CIREBON
JENEPONTO
Sosial - Struktur sosial
vv
vv
- Solidaritas
vvv
vvv
Budaya - Kepercayaan
vvv
vvv
- Ikatan kekerabatan
vvv
vvv
Ekonomi - Subsistens
vv
vvv
- Dualisme ekonomi
vvv
vvv
Keterangan: tanda v menunjukkan derajat keeratan atau ikatan yang terwujud
Untuk itu, dalam konteks struktur sosial dan solidaritas sosial di kedua kabupaten, yaitu Cirebon dan Jeneponto relatif berpengaruh terhadap pengembangan masyarakatnya. Sebab, mereka telah mengembangkan sedemikian rupa ikatan solidaritas yang terbangun oleh struktur sosial yang dilandasi oleh sikap patron-klien. Selain jalinan sosial yang ada pun, dikuatkan oleh konteks budaya yang hidup di lingkungan mereka, dengan
32
ikatan kekerabatan dan keyakinan kepercayaan yang sama memandang mereka yang dituakan. Situasi sosial dan budaya di kedua wilayah pesisir ini, dapat dikatakan amat kuat mempengaruhi kehidupan pencaharian mereka sebagai nelayan. Untuk itu, aspek ekonomi yang tumbuh pun dipengaruhi banyak oleh lingkungan sosial dan budaya tersebut. Adanya kepuasan atas capaian yang diperoleh setiap harinya bukan saja menunjukkan kesetiaan pada patron tetapi juga prinsip ekonomi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya lebih bersifat subsistens. Itu artinya, konsep pemberdayaan ke arah mereka tentunya, mesti berorientasi mengubah cara pandang itu dengan memperhatikan realitas sosial budaya yang ada. Mobilitas sosial melalui pendidikan formal maupun non-formal jelas dapat dilakukan sebagai satu upaya perubahan besar antara generasi dari aspek pendidikan warga masyarakat pesisir di kedua kabupaten ini. Tentunya, dengan pendidikan serupa ini agar generasi masa kini tidak lagi seperti generasi pendahulunya, kedinamikaan proses mobilitas sosial dari aspek pencapaian pendidikan semakin bertambah baik di kalangan anak-anak masyarakat pesisir. Karena itu, transformasi sosial melalui pendidikan inilah mendesak mereka bergerak ke arah etos baru sebagai bagian dari perubahan masyarakatnya ke arah kemajuan penggunaan pendidikan non-formal sehingga menjadi kunci utama membawa perubahan kepada keadaan yang lebih baik.
B. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Para
ilmuwan
sosial
dalam
memberikan
pengertian
pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya.
33
Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih
diberdayakan
melalui
usaha
mereka
sendiri
dan
akumulasi
pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan
pada
proses
memberikan
atau
mengalihkan
sebagian
kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan
sekunder
menekankan
pada
proses
menstimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
Mampu
memahami
diri
dan
potensinya,mampu
merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) 34
Mampu mengarahkan dirinya sendiri
Memiliki kekuatan untuk berunding
Emiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan
Bertanggungjawab atas tindakannya.
Penjelasan lebih rinci dari Slamet (2003), menyatakan bahwa masyarakat berdaya
adalah
masyarakat
termotivasi,berkesempatan,
yang
memanfaatkan
tahu,
mengerti,
faham
peluang,
berenergi,
mampu
bekerjasama, tahu berbagai alternativ, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan (Sulistiyani, 2004). Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik
dan
afektif
serta
sumber
daya
lainnya
yang
bersifat
fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang 35
dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan. Tidak ada program pemberdayaan yang berkelanjutan tanpa partisipasi berarti dari masyarakat itu sendiri. Pihak luar hanya berfungsi sebagai katalisator
dan
fasilitator.
Dengan
demikian
masyarakat
yang
akan
mengambil keputusan dan risiko dari kegiatan yang mereka rancang. Program yang tidak berkesinambungan seringkali diakibatkan oleh rendahnya partisipasi ini, karena masyarakat tidak merasa memiliki kegiatan yang dilakukannya, dan lepas tanggung-jawab. Program demikian biasanya tidak didasari pada kajian kebutuhan dan potensi masyarakat bersama masyarakat sendiri. Selain itu, pentingnya partisipasi kelompok sasaran ini didasarkan pada kesadaran bahwa proses pemberdayaan merupakan aksi yang akan dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat sendiri, sementara pihak luar merupakan
fasilitator
yang
mempermudah
proses.
Juga,
partisiapsi
dimaksudkan agar inisiatif awal yang dilakukan oleh fasilitator luar akan ditindak-lanjuti oleh kelompok masyarakat sendiri sebagai sebah indikasi keberlanjutan
yang
dikehendaki
dalam
program
dan
pendidikan
pemberdayaan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Selama ini, kemauan dan kemampuan berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau
36
kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. Menurut Chambers tingkat partisipasi terbagi dalam beberapa level, mulai dari yang terendah didefinisikan sebagai berikut:
Partisipasi dengan mobilisasi, yakni suatu partisipasi semu karena keterlibatan masyarakat digerakkan oleh sebuah instruksi, dan bukan menjadi kesadaran atau kebutuhan.
Partisipasi karena menerima manfaat, yakni masyarakat berpartisipasi karena ada suatu yang mereka dapatkan dari proses ini.
Partisipasi program yang dilaksanakan fihak lain, yakni pada dasarnya masyarakat tidak terlibat merancang dan melakukan perencanaan terhadap kegiatan, namun melakukan kegiatan fihak lain.
Partisipasi konsultatif, yakni biasanya dilakukan antara pemrakarsa dan pelaksana
Partisipasi
pemberdayaan
atau
pengalihan
kemampuan.
Ini
dikembangkan dengan asumsi bahwa selama ini masyarakat tidak dilibatkan karena anggapan bahwa mereka memiliki kemampuan yang belum memadai sehingga membutuhkan pendampingan hingga mereka mandiri untuk menyusun rencana mereka sendiri. Fihak luar merupakan fasilitator yang melakukan transformasi pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat.
Partisipasi dengan cara menganalisis, merencanakan, melakukan dan mengevaluasi kegiatan bersama. Ini merupakan partisipasi tertinggi dari sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tujuannya.
C. Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum. Ketiga pokok 37
bahasan itu dikemukakan dalam penjelasan di bawah dalam urutan seperti itu. Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum. Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula menyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
1. Pengertian Kurikulum Para ahli didalam mendevinisikan kurikulum mengalami perbedaan, karena kurikulum sifatnya dinamis serba berubah menurut perkembangan zaman. Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena seluruh
kegiatan
pendidikan
bermuara
kepada
kurikulum.
Begitu
pentingnya kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara mendalam Istilah kurikulum mulai masuk kedalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat. Tokoh pendidikan Amerika seperti 38
John Dewey (1916) dan Ralph Tyler (1942) dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Ketika tahun 50-an dan 60-an banyak ahli pendidikan Indonesia belajar di Amerika Serikat dan membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris maka istilah kurikulum masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan Indonesia. Secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia belum digunakan sampai ketika tahun 1968 ketika pemerintah
mengumumkan
adanya
kurikulum
1968
antara
untuk
mengganti kurikulum yang berlaku sebelumnya (Hasan, 2008). Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar masyarakat, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada
kehidupan bangsa di
masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable) (Hasan, 2008). Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam
proses pembelajaran. Keberhasilan dan
kegagalan suatu proses pendidikan, mampu dan tidaknya anak didik menyerap materi pempelajaran, tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan bergantung pada kurikulum yang digunakan. Jika kurikulumnya didesain dengan baik dan sistematis, komprehensif, dan integral dengan segala kebutuhan
pengembangan
dan
pembelajaran
anak
didik
untuk
mempersiapkan diri menghadapi kehidupannya, tentu hasil atau output pendidikan itupun akan mampu mewujudkan harapan. Dengan perkembangan zaman tersebut pemikiran para ahli juga mengalami pergeseran pula, akan tetapi secara garis besar pengertian kurikulum terdapat dua macam corak, yaitu: a. Pengertian klasik Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang
39
terkandung berdasarkan rumusan masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau disekesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah (Sudjana, 2005). Secara tradisional, “kurikulum” biasa dimengerti sebagai serangkaian program yang berisi rencana-rencana pelajaran yang telah disusun sedemikian rupa yang dapat dipakai secara langsung oleh guru untuk mengajar. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaranpelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. Kurikulum menurut pengertian tradisional, adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh dipelajari dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau Ijazah. George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Roebert M. Hutchin yang menyatakan: “The curiculum should include grammar, reading, theoric and logic, and mathematic, and eddition at the secondary level introduce the great books of the western world” (Sanjaya, 2008). Menurut Tarigan (1992), Kurikulum adalah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling penting
dalam
konteks
PBM.
Dari
disimpulkan bahwa kurikulum adalah
pengertian
tersebut
dapat
sejumlah mata pelajaran
yang disajikan guru kepada siswa untuk mendapatkan ijazah atau naik tingkat. Pada saat sekarang ini, penegrtian kurikulum tersebut sama halnya dengan “rencana pelaksanaan pembelajaran” yang disajikan oleh guru kepada murid di sekolah.
b. Pengertian Modern Seiring dengan kamajuan zaman, sistem pendidikan menuntut untuk memenuhi faktor kebutuhan hidup yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Peran kurikulum dalam sekolah tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga dituntut 40
untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan (Rokhim, 2012). Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school. Pengertian Kurikulum modern sebagaimana yang dinyatakan Oleh zakiah daradjat (1994) “ All activities that are provided for studied by the school constitut: is curriculum” atau dapat juga dikatakan “ the term curiculum……include all of the experience of children for which the school accepts responsibity Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas intra ataupun ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja ada dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum dalam artian modern (Sanjaya, 2008). Definisi serupa juga diungkap oleh Nasution (2008), bahwa kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kulikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal. Untuk menggabungkan berbagai pengertian tersebut baik dari pandangan
klasik
maupun
modern,
maka
Hasan
(1988)
mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu: 41
kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
Dalam uraian berikutnya, Hasan (1992) menyatakan bahwa kurikulum bersifat fleksibilitas mengandung dua posisi. Pada posisi pertama berhubungan
dengan
fleksibilitas
sebagai
suatu
pemikiran
kependidikan bagi diklat. Dengan demikian, pada posisi teoritik yang harus dikembangkan dalam kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya posisi pengembang ini karena adanya perubahan pada pemikiran kependidikan atau pelatihan.
2. Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat a. Landasan Pengembangan Kurikulum Kurikulum pendidikan yang harus dikembangkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir harus menyesuaikan dengan aspek sosial ekonomi dan sosio kultural yang ada pada masyarakat pesisir. Kurikulum yang dikembangkan bukanlah kurikulum sebagaimana yang berlaku di sekolah formal. Konsep kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulumm yang fleksibel dan selalu siap melakukan perubahan-perubahan
disesuaikan
dengan
situasi
dan
kondisi
masyarakat nelayan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan konsep kurikulum yang harus dikembangkan pada masyarakat pesisir yang meliputi: 42
1) Landasan Filosofis Pendidikan Pendidikan mengandung dua
pengertian/makna
yang dapat
dipisahkan. Pertama adalah pengertian pendidikan sebagai disiplin ilmu. Kedua adalah pengertian pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu (S. Hamid Hasan, 1995). Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pesisr landasan pendidikan yang hendak kita pegang adalah pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu. Pengertian ini kita
ambil
karena
pemberdayaan
masyarakat
pesisir
akan
melibatkan Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu dalam
hal
ini
mereka
yang
hidup
di
pesisr
dan
mata
pencaharainnya sangat tergantung pada apa yang ada di pesisir. Kurikulum yang dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat hendaknya melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di masyarakat pesisir. Strata social yang ada di masyarakat hendaknya menjadi individu-individu atau kelompok yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan. Masyarakat pesisir sudah lama hidup dengan pekerjaan yang dimilikinya khususnya pekerjaan sebagai nelayan. Mereka sudah memiliki keterampilan-keterampilan yang mengakar dari generasi ke genarasi. Pengetahuan yang mereka miliki dari pekerjaannya bersumber dari pengalaman. Oleh sebab itu, landasan filosofis yang
digunakan
dalam
pengembangan
kurikulum
adalah
pendidikan bersumber dari pengalaman. Landasan filosofis yang berkenaan dengan hal ini adalah filsafat dari John Dewey yang menyatakan
bahwa
konsepsinya
dunia
yang
selalu
berubah,mengalir atau on going-ness. Pandangan filsafat ini berimplikasi pada pandangan tentang pentingnya pengalaman sebagai
sumber
pengetahuan.
Kaitan
pengalaman
dengan
pendidikan menurut John Dewey bahwa pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengemalaman (Nana Syaodih Sukmadinata, 1998). 43
2) Landasan Sosial Budaya Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan akan menggambarkan apa yang hendak dilakukan dalam pendidikan tersebut dan apa tujuan yang hendak dicapai. Landasan sosial budaya sangat berkaitam dengan konsep pendidikan dan masyarakat.Ada tiga sifat penting pendidikan, pertama
pendidikan
mengandung
nilai
dan
memberikan
pertimbangan nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Kedua, pendidikan
diarahkan
pada
kehidupan
dalam
masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk
kehidupan
dalam
masyarakat.
Generasi
muda
perlu
mengenal memahami apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan
untuk
dapat
berpartisipasi
dalam
masyarakat sebagai warga maupun karyawan. Ketiga pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan
itu
berlangsung.
Kehidupan
masyarakat
berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Dalam
konteks`pengembangan
kurikulum
pendidikan
pada
masyarakat pesisir harus lah menjadikan nilai-nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat pesisir dijadikan landasan kurikulum. Nilai-nilai budaya yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial yang menciptakan pola hubungan dan strata social sehingga membentuk suatu hubungan yang patron client.Hal lain yang berkenaan kepercayaan
dengan dan
nilai-nilai religi
sosial
yang
budaya
dimiliki
adalah
system
masyarakat.
Sistem
kepercayaan biasanya terbentuk dalam kaitan antara hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan ini akan membentuk pengetahuan manusia terhadap gejala alam. Misalnya pada 44
masyarakat nelayan berdasarkan pada pengetahuan terhadap alam, dia akan mengetahui kapan saatnya musim ikan b. Komponen Kurikulum Kurikulum memiliki beberapa komponen. Komponen kurikulum sering juga disebut dengan elemen, yang merupakan bagian dari kurikulum secara keseluruhan.
Kurikulum
merupakan suatu sistem, maka
komponen atau elemen kurikulum merupakan bagian yang fungsional dan
tak terpisahkan dari sistem itu.
Suatu sistem adalah suatu
kesatuan dari berbagai komponen yang saling berkaitan, saling berhubungan dan saling ketergantungan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kurikulum memiliki komponen yang lengkap, fungsional, dan merupakan suatu sistem yang baik. Untuk menjawab pertanyaan komponen apa yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum, Ralph Tyler mencoba mengenali empat pertanyaan
yang
mendasar
yang
harus
dijawab
dalam
mengembangkan suatu kurikulum dan perencanaan pengajaran, yaitu:
Tujuan-tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah?
Pengalaman-pengalaman
pendidikan
apakah
yang
harus
disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
Metode belajar-mengajar apa yang digunakan?
Evaluasi hasil belajar apa yang digunakan?
Keempat komponen tersebut saling berhubungan secara erat satu sama
lainnya.
Perubahan
terhadap
satu
komponen
dapat
mempengaruhi komponen yang lainnya. Hubungan yang erat itu dapat digambarkan dalam diagram berikut: Tujuan
Konten
Metode
Penilaian Komponen-komponen kurikulum
45
Pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif didasarkan pada komponen kurikulum di atas, yaitu: 1) Tujuan Tujuan dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum (aims) dan tujuan khusus (objective). Tujuan umum seringkali disebut dengan tujuan pendidikan nasional, yang berupa pernyataan pendidikan yang bersifat filosofis yang luas.
Tujuan umum juga merupakan
pernyataan tentang hasil kehidupan yang diharapkan, yang didasarkan pada ideologi dan nilai yang ingin diperjuangkannya. Sering pula tujuan umum dinyatakan secara resmi oleh negara dalam bentuk Undang-Undang. 2) Konten/materi Konten/materi merupakan komponen kurikulum yang amat penting. Dalam suatu proses pembelajaran, guru mengajarkan sesuatu hal kepada peserta didik. Sesuatu yang disampaikan itu adalah konten atau
materi
pelajaran.
Dalam
menentukan
konten
harus
memperhatikan:
Konsep tentang konten atau materi kurikulum
Kriteria dalam menyeleksi konten/materi kurikulum
Pendekatan dalam menyeleksi isi materi kurikulum
3) Metode Metode merupakan strategi belajar-mengajar.
Penting untuk
diingat bahwa suatu metode tertentu dapat menjadi efektif untuk pengetahuan/materi tertentu, tetapi kurang cocok untuk materi yang lain.
Beberapa peserta didik dapat belajar lebih mudah
dengan satu metode tertentu, sedangkan peserta didik lain dapat berhasil dengan metode lainnya.
Proses pembelajaran pada
satuan pendidikan sebaiknya diselenggarakan dengan metode yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis 46
peserta didik.
Di bawah ini beberapa contoh dari metode yang
banyak digunakan sekarang: a). Expository Teaching Expository Teaching merupakan suatu pendekatan di mana guru menyajikan informasi kepada peserta didik. Sumber informasi yang banyak digunakan adalah buku teks dan bahan-bahan rujukan lain yang relevan seperti: bahan-bahan audiovisual dan pengalaman pribadi guru. Biasanya guru menyajikan informasi, sedangkan peserta didik diharapkan memroses informasi tersebut dengan cara yang sama seperti yang disajikan guru. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain ceramah dan diskusi.
b). Inquiry Learning Inquiry Learning merupakan suatu pendekatan di mana guru bertindak. Guru menciptakan dan mengatur kondisi-kondisi yang dapat memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang sedang dibahas. Metode ini dirancang untuk melatih peserta didik melakukan proses meneliti. Menurut pendekatan ini, menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru diharapkan selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Langkah-langkah Pembelajaran Inquiry: Melakukan Observasi (Observation) Mengajukan Pertanyaan (Questioning) Mengajukan dugaan (Hiphotesis) Mengumpulkan data (Data gathering) Menyimpulkan (Conclussion)
c). Problem Based Learning
47
Problem Based Learning adalah pembelajaran yang bersumber pada masalah-masalah yang dihadapi langsung oleh peserta didik, misalnya: masalah kemiskinan, kebanjiran, pengangguran dan lain sebagainya. Dalam pendekatan ini masalah-masalah yang terjadi di lingkungan peserta didik dapat dibahas di sekolah. Guru dapat berdiskusi dan bertanya kepada peserta didik mengenai faktorfaktor penyebab permasalahan tersebut dan bagaimana cara memecahkan
masalah
tersebut.
Dengan
model
seperti
ini
diharapkan peserta didik dapat memecahkan masalahnya sendiri.
d). Collaborative Learning (CL) Banyak definisi yang diberikan para ahli terhadap colaborative learning, tetapi pada umumnya Collaborative Learning (CL) ini didefinisikan oleh Roschelle & Belvend (1995) sebagai ”a mutual engagement of participants in a coordinated effort to solve (a) problem together” (kondisi yang menguntungkan antara masingmasing peserta didik dalam mengkoordinasikan usaha untuk memecahkan masalah secara bersama).
Mereka lebih jauh
mengatakan ”collaborative learning is based on the idea that learning is a naturally social act in which the participants talk among themselves.
It is through the talk that learning occurs”
(Collaborative Learning adalah ide pembelajaran yang didasarkan pada interaksi sosial secara alamiah antarpeserta didik yang dapat berlangsung selama proses pembelajaran berlangsung). Saling ketergantungan (positive interdependence), akuntabilitas individu, keterampilan interpersonal, interaksi tatap muka, dan group process merupakan lima elemen dasar yang menggerakkan Collaborative Learning (CL). Diskusi merupakan salah satu contoh bentuk Collaborative Learning (CL).
e). Cooperative Learning Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara membagi peserta didik ke dalam 48
kelompok-kelompok.
Pembagian kelompok bisa berdasarkan
masalah atau tema atau berdasarkan keterampilan yang harus dikembangkan berkaitan dengan bakat dan minat peserta didik. Tema atau masalah yang dibahas dalam kelompok bisa merupakan tema atau masalah yang sama atau berbeda. 4) Penilaian/Evaluasi Dua pakar penilaian Cronbach dan Stufflebeam dalam Dadang Sundawa (2003), menganggap penilaian sebagai suatu proses untuk memberikan informasi bagi pengambilan keputusan. Tyler, menganggap
penilaian
sebagai
proses
untuk
menentukan
seberapa jauh tujuan pendidikan itu telah dapat dilaksanakan. Suatu komite gabungan tentang standar penilaian, mendifinisikan penilaian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis mengenai nilai atau faedah suatu objek. Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (PP 19/2005 SNP).
49
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian ini menggunakan metode hikmah pembelajaran (lesson learn) atas kasus-kasus atau pengalaman praktis nyata dialami individu dan lembaga dalam praktek dan penyelenggaraan program pendidikan non-formal di masyarakat pesisir. Metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk monitoring dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan program-program pembangunan dengan menekankan
pentingnya
pembelajaran
atas
kasus-kasus
praktek
nyata
pelakanaan program-program pembangunan di lapangan, untuk ditemukan kelebihan dan kelemahannya, guna merancang dan merumuskan agenda strategis dan program-program pembangunan lebih baik ke depan. Dalam studi-studi evaluasi program pembangunan, metode ini pada umumnya dilakukan dengan mengkombinasikan metode partisipatoris dan studi kasus untuk pemberdayaan masyarakat. Identifikasi atas isu-isu atau masalah dihadapi warga masyarakat dan bagaimana memecahkan masalah dihadapi menjadi tekanan utama dalam metode ini. Identifikasi didasarkan pada kebutuhankebutuhan nyata warga masyarakat berdasar praktek pengalaman nyata pelaksanaan program pembangunan dijalankan untuk perumusan kebijakan dan program ke depan. Perumusannya melibatkan partisipasi warga secara bebas dan terbuka, mengikuti prinsip pembangunan partisipatoris, berdasarkan kasus pengalaman dan praktek pembangunan nyata yang mereka jalankan di masyarakat.
B. Pengumpulan data Data
dan
informasi
untuk
asesmen
lapangan
dilakukan
dengan
mengkombinasikan studi kasus atas praktek pengalaman lapangan dalam mengatasi masalah dan metode partisipatoris untuk identifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas ke depan. Assesmen dan penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik kombinasi, yaitu metode wawancara mendalam (indepth-interview), diskusi kelompok terfokus (FGD), dan observasi 50
lingkungan
masyarakat
sasaran,
tokoh
masyarakat,
juragan,
pendidikan dan komunitas nelayan serta ibu rumah tangga.
pemerhati Sedangkan
observasi dilakukan dengan mengamati kondisi dan lingkungan kehidupan masyarakat pesisir. Wawancara mendalam dan FGD dilakukan dengan bantuan pengembangan kisikisi diskusi dan wawancara yang melihat aspek sosial, budaya, ekonomi dan ekologi masyarakat pesisir wilayah model. Sementara wawancara mendalam dengan pihak pemerintah lokal dilakukan dengan menekankan pada pandangan akan pemberdayaan masyarakat pesisir, kontribusinya terhadap pembangunan lokal serta regulasi yang tersedia atau menjadi perhatian. Selain itu wawancara mendalam dengan pihak lembaga pendamping (LSM) dilakukan dengan penekanan pada visi dan misi lembaga dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, termasuk strategi kelembagaan serta program kegiatan yang dilakukan untuk
menerjemahkan
fokus
kegiatan
pemberdayaan
tersebut.
Dalam
wawancara mendalam ini juga diungkap pengalaman lembaga dalam menyusun kerangka pengembangan kapasitas (termasuk kurikulum) bagi pemberdayaan masyarakat pesisir.
C. Lokasi Model Pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir mengambil dua daerah sebagai model, yaitu di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Pemilihan daerah pesisir di Cirebon menjadi
daerah model karena sebagai daerah Pantai Utara Jawa yang terdekat ke Jakarta. Kedekatan jangkauan wilayah ini menjadi fokus perhatian penelitian sebab faktor kemudahan nelayan untuk mobilitas ke Jakarta pada saat paceklik. Sedangkan Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama kurun waktu 1999 sampai 2009, hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010).
51
BAB IV HASIL TEMUAN LAPANGAN
A. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 1. Permasalahan Masyarakat Pesisir Cirebon Identifikasi kebutuhan untuk kegiatan model kurikulum dilaksanakan di Desa Gebangmekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon. Masyarakat Desa Gebangmekar sebagian besar merupakan nelayan, sedangkan sebagian kecil merupakan petani yang bergelut di bidang tambak bandeng, peternakan kerang hijau maupun rumput laut. Sebagai desa nelayan, nadi kehidupan masyarakatnya sangat khas. Puluhan perahu bersandar di tepian pantai, jemuran ikan asin atau udang kecil terhampar di depan rumah nelayan, bau anyir dari ikan hasil tangkapan dan kesibukan ibu-ibu beserta anak-anak memilah ikan hasil tangkapan untuk dijual ke pasar. Dari hasil observasi lingkungan desa nelayan terlihat bahwa kehidupan mereka sungguh memrihatinkan. Kemiskinan masih membelit dalam keluarga nelayan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi rumah nelayan tradisional dan barang-barang yang mengisi ruang rumah mereka. Hasil dari diskusi fokus dan wawancara dengan nelayan terungkap bahwa sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional. Hasil tangkapan nelayan dari Desa Gebangmekar adalah ikan pire, teri nasi dan rajungan.
Nelayan
menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam di laut dan dalam durasi waktu yang begitu lama mereka menghasilkan ikan tangkapan sekitar 20 kg. Hasil tangkapan ini tidak bisa dimaksimalkan lagi akibat batasan penangkapan ikan tidak bisa terlalu jauh. Ini bisa dimaklumi karena kondisi perahu, teknologi alat menangkap
ikan
masih
sederhana
dan
kompetensi
nelayan
dalam
menangkap ikan belum memadai. Pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan warisan dari dua atau tiga generasi sebelumnya dalam keluarga.
Pekerjaan yang turun temurun ini tidak
menuntut kompetensi yang tinggi, sehingga nelayan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi. Kondisi ini terungkap pada saat diskusi fokus dan wawancara yang menyatakan pada umumnya pendidikan nelayan hanya 52
sampai SD. Wajib belajar pendidikan dasar saja tidak mereka penuhi karena tidak sampai tamat SMP. Pendidikan yang dianggap sebagai alat untuk menuju strata yang lebih tinggi belum menjadi prioritas dari nelayan. Hal ini bisa dipahami karena ritme kehidupan nelayan yang tidak memberi ruang untuk anak mengutamakan pendidikan, tetapi lebih utama bekerja membantu orang tuanya melaut. Permasalahan pelibatan anak usia sekolah dalam melaut tidak bisa dihindari karena sulitnya mencari ABK (Anak Buah Kapal). Keterbatasan ABK yang makin cenderung langka saat ini dipicu kemudahan pemilik modal atau juragan menggelontorkan dana untuk pembelian perahu. Oleh karena itu, nelayan-nelayan tradisional banyak yang memiliki perahu sendiri dengan kapasitas 6 orang. Dengan demikian untuk memenuhi ABK dalam setiap perahu, nelayan melibatkan anak-anak mereka walaupun masih dalam usia sekolah. Menjadi suatu kebanggaan dalam keluarga nelayan kalau mereka memiliki anak lelaki karena bisa meneruskan profesi sebagai nelayan. Ritme bekerja sebagai nelayan dimulai pada dini hari sampai tengah hari, perkiraan kisaran waktu yang diperlukan melaut sekitar 12 jam. Kondisi yang melelahkan ini tidak memungkinkan anak-anak untuk sekolah. Selain itu, dengan melaut mereka sudah merasakan hasil jerih payahnya dengan mendapatkan uang. Keadaan inilah yang semakin menjauhkan anak-anak untuk lebih serius dalam mendapatkan pendidikan. Permasalahan inilah yang mengakibatkan nelayan semakin terpuruk seperti benang kusut, tidak bisa terurai karena mendapatkan warisan dari generasi di atasnya. Rendahnya pendidikan memengaruhi pola pikir nelayan dalam menjalankan profesi mereka.
Tidak maksimal
dalam
melaut
karena
keterbatasan
dalam
penguasaan teknologi penangkapan ikan, ketergantungan kepada pemilik modal untuk menjual hasil tangkapan mereka, tidak mempunyai posisi tawar dalam menentukan harga ikan dan keselamatan kerja yang tidak memadai. Permasalahan-permasalahan itu akan terus membelit mereka kalau profesi sebagai nelayan benar-benar hanya sebagai warisan saja, tidak ditingkatkan dengan
inovasi
pernelayanan
yang
menuntut
keterampilan
dengan
pengetahuan yang lebih memadai.
53
Struktur sosial yang sudah diwariskan ini semakin tidak mengalami perubahan kalau juragan sebagai pemilik modal tidak membantu nelayan dengan sistem kredit lunak. Selama ini, menurut nelayan pada saat wawancara dan diskusi fokus menyatakan bahwa juragan memberikan modal untuk membeli perahu dengan cara pengembalian pinjaman melalui penjualan ikan hasil melaut. Harga ikan tangkapan mengikuti patokan dari juragan dan peminjaman modal tidak mengikuti prosedur yang jelas, misalnya berapa jangka waktu pengembalian dan besaran nominalnya tidak pasti. Dengan demikian nelayan sangat tergantung pada juragan, tidak ada kepastian dalam melunasi hutangnya. Ketergantungan nelayan pada juragan atau bakul dalam pembelian perahu atau modal untuk melaut menyebabkan juragan mempunyai kuasa dalam penentuan harga hasil tangkapan laut. Kondisi ini tidak mendapat perlawanan dari nelayan karena tidak ada organisasi nelayan yang bisa menyuarakan hak-hak mereka. Kekuatan juragan selain modal adalah jaringan kekuasaan dengan pimpinan formal tingkat desa yang sering menekan harga tangkapan dari nelayan menjadi rendah. Apabila ada nelayan-nelayan yang vokal, mereka diberi jabatan di KUD supaya “diam”. Demikian juga perusahaan yang akan membeli dengan harga tinggi ikan hasil tangkapan nelayan ditekan oleh preman-preman bentukan tengkulak. Konflik nelayan dengan tengkulak ini lah yang belum bisa diurai oleh pemerintah tingkat desa yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat. Ketimpangan sosial ekonomi jelas terlihat nyata dari fisik tempat tinggal, juragan menempati rumah mewah bertingkat, sedangkan sebagian besar nelayan dengan hunian yang kurang layak. Beberapa nelayan ada yang menempati rumah bagus karena anak perempuannya bekerja sebagai TKW ke luar negeri. Masa paceklik yang cukup lama, sekitar 7 bulan mendorong nelayan bekerja serabutan yaitu ada yang ikut membantu petani, menarik becak atau ke Jakarta melaut di Cilincing. Keterampilan nelayan yang jauh dari memadai menjadi masalah serius pada saat paceklik. Tidak ada pelatihan keterampilan untuk nelayan, baik dari pemerintah atau lembaga masyarakat. Pelatihan untuk perempuan, seperti keterampilan membuat baso
54
ikan pernah diadakan, tetapi berhenti setelah program itu selesai karena tidak ada
pendampingan.
Pemberdayaan
tanpa
pendampingan
tentu
saja
membuat program itu tidak maksimal, karena masyaraksat memerlukan penguatan untuk peningkatan kapasitas individu dan kelompok. 2. Peran dan Kapasitas Lembaga Pendamping Program Pemberdayaan Lembaga pendamping yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah PKBM Mentari yang lokasinya berada di Kecamatan Gebang. Lembaga ini belum melakukan pendampingan program pemberdayaan komunitas nelayan di Desa Gebangmekar, meskipun dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan kemasyarakatan
memfokuskan
bidang
pendekatan social enterpreneurship.
pendidikan
nonformal
dengan
Dari hasil diskusi fokus dengan
pengurus PKBM terungkap bahwa permasalahan nelayan di Gebangmekar menjadi perhatian serius dari lembaga itu, meskipun masih dalam wacana belum ada aksi. Pelatihan keterampilan untuk ibu-ibu terkait program Keaksaraan Fungsional (KF), seperti keterampilan membuat baso ikan telah dilaksanakan meskipun tidak berkelanjutan dengan program pendampingan, berhenti karena tuntutan proyek dari pemerintah. Pemberdayaan perempuan sebenarnya bisa menjadi fokus dari lembaga ini bila melihat potensi perempuan-perempuan Desa Gebangmekar. Peran perempuan menjadi penting karena bertugas mencari ABK di saat suami akan melaut. Selain itu, juga ikut memasarkan ikan hasil tangkapan suami atau membersihkan perahu setelah suami melaut. Perempuan Desa Gebangmekar juga terampil membuat
terasi yang sebenarnya
bisa
ditingkatkan oleh PKBM dengan cara pengolahan dan kemasan yang lebih menarik. Potensi limbah ikan sudah menjadi analisis PKBM Mentari karena melihat potensi ini belum termanfaatkan dengan baik. Limbah hasil perikanan, seperti ikan asin atau terasi belum diproduksi masyarakat Gebangmekar melainkan diproduksi oleh pengusaha di sekitar Kecamatan Gebang atau dari luar Kabupaten Cirebon. Identifikasi kebutuhan diperlukan dalam awal mengembangkan program pemberdayaan. Untuk itu, PKBM perlu menjalin jejaring dengan organisasi 55
lain agar peta keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat itu dapat terealisasi. Pengorganisasian diperlukan oleh komunitas nelayan maupun perempuan agar potensi diri dan kelompok dapat dipetakan untuk penguatan kapasitas. Hal seperti ini yang seharusnya dilakukan oleh PKBM Mentari ke depan
agar
program
PKBM
berbasis
kewirausahaan
dalam
upaya
Kelautan
telah
pendampingan ekonomi keluarga bisa tercapai
3. Peran Pemerintah dalam Program Pemberdayaan Pemerintah
melalui
Kementerian
Perikanan
dan
melaksanakan program bantuan kepada nelayan di Desa Gebangmekar sebesar 100
juta
rupiah.
Bantuan
ini tidak tepat
sasaran
karena
peruntukkannya bukan pada nelayan, tetapi pada pengurus KUD atau kepala desa. Ini berdampak pada program yang tidak berkelanjutan sebab tidak dikelola dengan benar. Pengurus KUD atau perangkat desa akan menyalurkan bantuan pada kelompok keluarganya bukan pada nelayan yang membutuhkan. Untuk itu, harapan dari nelayan menginginkan dana dari pemerintah sebaiknya diberikan pada pimpinan yang dipercaya oleh masyarakat nelayan, bukan pada pimpinan dari lembaga, misalnya KUD yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan tengkulak. Pelatihan keterampilan dari pemerintah yang menarik minat nelayan seperti pengelasan
perahu
terkadang
penyelenggaraannya
di
luar
Desa
Gebangmekar. Tempat yang jauh memerlukan biaya transportasi, sehingga nelayan yang berminat terpaksa batal mengikuti pelatihan itu. Sebaiknya pelatihan keterampilan diselenggarakan di tempat yang mudah aksesnya dan program-program keterampilan diharapkan ada program pendampingan. Pada
umumnya
keterbatasan
modal
menjadi
kendala,
sehingga
pendampingan menjadi penting dilaksanakan agar pemberdayaan menjadi berkelanjutan.
56
B. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan 1. Permasalahan Masyarakat Pesisir Jeneponto Masyarakat pesisir Jeneponto, terutama wilayah dilakukannya pengumpulan data dan informasi merupakan masyarakat yang turun temurun hidup sebagai nelayan. Ketika rumput laut memiliki nilai pasar yang tinggi kegiatan budidaya rumput laut telah menggeser mereka dari kegiatan produktif sebagai nelayan menjadi petani rumput laut. Namun demikian, bukan berarti sebagai nelayan sama sekali ditinggalkan. Pada musim tertentu, budidaya rumput laut juga mengalami penurunan, dan melaut mencari ikan masih akan dilakukan. Dewasa ini nilai jual rumput laut cenderung menurun, yang disebabkan oleh penurunan harga pasar. Di wilayah pesisir Jeneponto sendiri, petani rumput laut semakin banyak. Keterampilan budidaya rumput laut awalnya dilatihkan oleh instansi pemerintah terkait. Namun dalam perjalanan waktu pelatihan keterampilan ini juga dilakukan oleh lembaga pendamping (LSM). Namun demikian, karena tidak semua petani mendapat akses pelatihan yang sama, maka masih banyak petani yang melakukan budidaya berdasar pengalaman dengan melihat atau terlibat kegiatan yang sama dilakukan oleh orang di wilayah terdekat. Budidaya rumput laut telah membuka lapangan kerja secara lokal. Perempuan bisa menjadi buruh pemasang bibit di tali media budidaya. Ini mereka lakukan setiap hari pada musim tanam, dengan upah harian. Pada musim panen, perempuan kadang juga terlibat dalam kegiatan penjemuran. Program pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif di wilayah model Jeneponto, terutama di wilayah lokasi assessmen dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal. Lembaga ini yang kemudian menghubungkan mereka dengan akses bantuan dari instansi terkait pemerintah kabupaten. Pendampingan yang dilakukan kepada masyarakat pesisir oleh LSM karena kedekatan wilayah (beberapa tim inti LSM juga tinggal di wilayah masyarakt pesisir yang diampingi). Sebagaimana umumnya program masyarakat, program-program yang datang ke desa merupakan program paket pembangunan pemerintah desa. Program itu bukan program 57
yang spesifik untuk pemberdayaan. Nelayan melakukan kegiatan berdasar kemampuan yang mereka miliki. Mereka juga tidak memiliki organisasi baik yang berbasis sosial, maupun ekonomi, semacam simpan pinjam untuk permodalan atau lainnya. Demikian halnya dengan perempuan, kegiatan yang mereka miliki masih seputar melakukan peran domestik dan membantu suami menyiapkan perbekalan untuk pergi melaut. Kegiatan yang dilakukan perempuan di wilayah desa dan secara kolektif juga seputar kegiatan yang disokong oleh pemerintah. Misalnya kegiatan posyandu, pertemuan untuk kader KB. Perempuan yang diwawancara dalam assessmen ini menyatakan bahwa mereka tidak terlibat PKK (satu-satunya organisasi massa perempuan yang ada). Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana juga di banyak tempat, PKK hanya diikuti oleh para perempuan elit desa, seperti istri aparat desa. Perempuan memiliki pertemuan rutin berbasis kedekatan wilayah, seperti RT. Kegiatan pertemuan rutin ini mereka isi dengan arisan. Namun mereka tidak menganggap bahwa pertemuan rutin itu sebagai kegiatan PKK. Tidak ada kegiatan berbasis sosial keagamaan yang dilakukan. Pengolahan hasil laut untuk menajdi olahan lain yang memiliki nilai tambah belum banyak dikenal, termasuk dalam hal ini adalah potensi pasar. Masyarakat pesisir, sebagaimana masyarakat desa lainnya, cenderung menghasilkan komoditas, dan menjualnya pada tengkulak yang datang ke desa. Mereka hampir tidak memiliki pengetahuan dan informasi mengenai harga pasar dan sistem pemasaran. Semua bergantung pada harga yang ditentukan tengkulak. Masyarakat pesisir Jeneponto, belum memiliki kegiatan usaha produktif yang dibangun secara berkelompok. Baik itu kelompok yang ada di masyarakat berdasar kegiatan keagamaan ataupun kegiatan sosial. Pada dasarnya kelompok ini bisa menajdi sarana kegiatan produktif bersama. Ikatan sosial dengan kerja indiidu mungkin memengaruhi cara masyarakat Jeneponto melakukan matapencahariannya. Demikian halnya dengan kegatan produktif perempuan. Mereka bisa terlibat dalam kegiatan budidaya rumput laut karena merupakan kegiatan yang dilakukan suaminya. Perempuan tidak menguasai sumberdaya ekonomi yang signifikan.
58
Kelompok masyarakat nelayan yang dikunjungi di Jeneponto telah mendapat program pendampingan untuk kegiatan berbasis ekonomi dengan melihat potensi lokal. Pendampingan untuk pemberdayaan ekonomi yang telah diterima diantaranya dilakukan oleh Dinas Kelautan Kabupetan Jeneponto. Bantuan ini berupa peralatan produksi pengolahan ikan serta pelatihan keterampilan mengelola ikan (paska panen). Tidak hanya kelompok laki-laki yang mendapat bantuan, namun juga kelompok perempuan, berupa peralatan produksi pembuatan kue dengan tenaga listrik. Untuk bantuan yang terakhir ini tidak dilengkapi dengan pelatihan penggunaan alat. Akibatnya, peralatan tidak terpakai karena merasa tidak bisa menggunakan hingga kajian lapangan dilakukan. Ini menunjukkan bahwa bantuan yang tidak dilakukan dengan mempertimbangkan potensi lokal (termasuk keterampilan yang telah ada) menjadikannya tidak tepat sasaran. Hal Ini semakin menunjukkan bahwa program pemberdayaan lewat bantuan alat tidak selalu menjawab kebutuhan untuk pemberdayaan itu sendiri. Kelompok masyarakat pesisir Jeneponto yang mendapat bantuan program, mengorganisasi
diri
dalam
kelompok,
demi
kemudahan
adminsitrasi
keproyekan dan kemudahan pemantauan dan penilaian (monitoring dan evaluasi) paska bantuan diberikan. Pengoranisasian masyarakat dalam kelompok dilakukan oleh Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki program
pemberdayaan
masyarakat
pesisir
berbasis
ekonomi
juga.
Pengorganisasian oleh LSM, juga dilakukan dalam menjawab kebutuhan teknis
pendampingan
jangka
panjang,
karena
mekanisme
yang
dikembangkan biasanya tidak dilakukan berdasar ketersediaan proyek. Atau kalaupun itu terjadi, LSM melakukan persiapan sosial dengan melakukan pendekatan, diskusi awal dan memetakan tingkat ketertarikan masyarakat sasaran yang akan didampingi.
2. Peran dan Kapasitas Lembaga Pendamping Program Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat tidak dipahami secara penuh oleh lembaga yang melakukan program dan pendampingan masyarakat pesisir di Jeneponto. Ini bisa dilihat dari visi dan misi lembaga yang didominasi dengan pernyataan sebagai lembaga penyelengara pendidikan masyarakat. Pendidikan lewat 59
pelatihan
sejatinya
menjadi
bagian
proses
pendampingan
untuk
pemberdayaan masyarakat. Pendidikan untuk pemberdayaan memiliki spesifikasi, selain sifatnya yang merupakan pendidikan nonformal. Oleh karena sifatnya yang memberdayakan, pendidikan atau pelatihan masyarakat harus diidentifikasi untuk menjawab persoalan konkrit yang dihadapi masyarakat. Untuk itu pendidikan harus didesain secara partisipatif. Pendidikan dan pelatihan untuk pemberdayaan harus dilakukan dengan keterlibatan yang sangat tinggi pesertanya. Dengan demikian desainnya harus menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa. Dalam konteks pemberdayaan, pendidikan dan pelatihan perlu disusun secara sekuensial dan berkelanjutan, karena satu masalah tidak hanya bisa dijawab lewat pendidikan atau pelatihan, agar berkesinambungan. Selain pendidikan atau pelatihan, pemberdayaan masyarakat termasuk untuk masyarakat pesisir harus dilengkapi dengan strategi pendampingan dan penumbuhan kader serta
motivator
lokal
agar
transfer
pengetahuan,
keterampilan
dan
penyadaran sebagai kesatuan pemberdayaan tercapai. Lembaga masyarakat memiliki peran yang penting dalam pemberdayaan masyarakat pesisir di kabupaten Jeneponto. Ini disebakan pengembangan kapasitas untuk pengembangan ekonomi yang dilakukan masyarakat semestinya tidak hanya berkutat di tingkat budidaya. Namun bisa merambah lebih jauh untuk meningkatkan nilai tambah komoditas, jaringan pasar, jiwa kewirausahaan dan membangun organisasi masyarakat agar bisa menggaet akses sumber daya lainnya yang lebih besar dan bermakna. Masyarakat pesisir belum memiliki pengetahuan dan keterampilan membangun usaha yang berkesinambungan dan alternatif lainnya yang diperlukan bila masa paceklik datang. Kerentanan ini belum menajdi bagian analisis dan perhitungan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan lembaga masyarakat dalam pendampingan untuk pemberdayaan. Kajian lapangan menunjukkan bahwa kemampuan lembaga pendamping dalam membangun mekanisme kerja dan komitmen pemberdayaan belum paripurna. Ini bisa dilihat dari struktur dan visi lembaga.pendamping yang tidak secara spesifik menyiapkan tahapan pemberdayaan masyarakat yang terukur, terencana dan sekuensial sehingga tingkat perubahan bisa dilihat. 60
Lembaga pendamping juga belum memiliki kemampuan memetakan potensi lokal berdasar gender. Misalnya kebiasaan dan kemampuan perempuan menggalang tabungan keluarga dan dikelola dalam arisan kelompok, belum menjadi bahan identifikasi pelibatan perempuan dalam kegiatan membangun kelembagaan keuangan lokal. Ini semakin nyata ketika upaya/inisiasi membangun koperasi nelayan (laki-laki) yang belum juga bejalan karena masih tersendatnya simpanan pokok anggota. Padahal nilai simpanan per anggota ini jauh dibawah angka arisan yang dikelola perempuan. Lembaga pendamping telah mampu membangun jejaring dengan lembaga teknis
terkait
persoalan
budidaya
bagi
masyarakat
pesisir.
Namun
sebagaimana disebutkan di atas, membangun jejaring dengan banyak pihak sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan jangka panjang. Pemberdayaan artinya menyiapkan kemampuan dan kemauan masyarakat sendiri dalam membangun potensinya bagi pengembangan dirinya degan meminimalkan intervensi dan ketergantungan dari pihak luar. Pemberdayaan juga berarti membagun sistem dan tata nilai yang selama ini berlaku di masyarakat demi kepentingan bersama.
3. Peran Pemerintah dalam Program Pemberdayaan Peran pemerintah sangat penting dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kebijakan yang disusun oleh pemerintah harus memastikan bahwa program pembangunan tidak meminggirkan masyarakat pesisir. Dalam hal inilah regulasi yang disusun harus berpihak pada kepentingan masyarakat pesisir lokal yang menjadi sasaran pemberdayaan. Kajian lapangan menunjukkan bahwa belum ada kejelasan regulasi yang bisa menjadi pegangan dan proteksi masyarakat pesisir dalam melakukan kegiatan produktif. Beralihnya matapencaharian nelayan kepada budidaya rumput laut yang mengalami booming, telah merubah konstruksi ikatan sosial di masyarakat nelayan. Hasil ikan juga bisa terancam karena peralihan profesi ini. Sementara di sisi lain, dalam tiga tahun terakhir, harga rumput laut kering cenderung terus menurun. Bila tidak diantisipasi, akan timbul apatisme pada masyarakat pesisir, sementara kegiatan melaut mereka telah pula ditinggalkan. Ini menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir, 61
tidak bisa didekati hanya dengan melihat persoalan teknis. Kesiapan masyarakat masuk ke arena industri juga mesti disiapkan. Contohnya, masuknya pabrik pengolah rumput laut yag menampung hasil budidaya masyarakat lokal, bisa menjadikan tingkat ketergantungan dan monopoli pasar rumput laut, sementara masyarakat belum dibekali keterampilan dan kemampuan rencana usaha yang layak, termasuk menetapkan harga jual berdasar biaya produksi yang mereka keluarkan. Selain itu, tiadanya regulasi, bahkan di tingkat desa semacam PERDES yang mengatur luasan wilayah laut yang bisa dikelola satu keluarga untuk budidaya juga berpotensi konflik di masa depan. Peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif bukan hanya urusan dinas teknis, namun juga lintas sektor, karena
persoalan
pemberdayaan
ini
bukan
sekadar
budidaya
atau
keterampilan menghasilkan produk olahan, namun juga secara jangka panjang membangun kemampuan masyarakat pesisir untuk mandiri termasuk kemampuan
mereka
dalam
mengelola
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan demi keberadaan matapencaharia mereka.
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang spesifik, selain posisi dan kondisi mereka yang masih tergolong marjinal baik secara politis maupun sosial ekonomi. Masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen, namun mereka relatif heterogen, misalnya bisa ditinjau dari matapencahariannya. Nelayan, meskipun mayoritas, namun bukan satu-satunya matapencaharian masyarakat pesisir. Ada petambak yang memanfaatkan area dekat pantai (untuk budidaya ikan payau), ada petani garam, dan oleh adanya perubahan pasar, menjadikan banyak nelayan berubah matapencaharian sebagai petani rumput laut. Selain keragaman di atas, masyarakat nelayan juga beragam berdasar gender. Di kabupaten Cirebon, perempuan pesisir memiliki peran signifikan dalam keluarga nelayan. Namun hal yang sama tidak terjadi di masyarakat pesisir kabupaten Jeneponto. Untuk keluarga nelayan, selain sedikit kegiatan domestik untuk persiapan suami melaut, kaum perempuan hampir tidak memiliki kontrol dan peran dalam pemasaran hasil ikan sebagai nelayan. Di Jeneponto, peran perempuan terlihat cukup signifikan pada keluarga petani rumput laut. Masyarakat pesisir masih tergolong kategori marjinal baik secara politis maupun sosial ekonomi. Secara ekonomi mereka masih tergolong kelompok miskin (berpenghasilan rendah), secara politis, pembangunan kelautan termasuk wilayah pesisir masih belum menjadi prioritas dalam strategi dan kerangka besar pembangunan di Indonesia. Kebijakan untuk pembangunan kelautan dan pesisir masih dirasakan belum berpihak pada masyarakat pesisir. Ketiadaan regulasi untuk pengelolaan wilayah laut untuk budidaya rumput laut menjadi contoh yang nyata, selain tidak ada aturan pemerintah untuk penetapan harga ikan tangkapan nelayan Pemberdayaan masyarakat pesisir disusun dengan pendekatan yang paripurna, mempertimbangkan beberapa aspek karakteristik masyarakat pesisir. Termasuk dalam hal ini adalah aspek sosial ekonomi, aspek ekologis dan hukum. Apabila hanya mempertimbangkan aspek ekonomi saja, tidak akan menghasilkan program pemberdayaan yang sebenarnya. Untuk itu, kurikulum pemberdayaan
63
masyarakat pesisir juga disusun secara paripurna menjawab persoalan konkrit masyarakat dan berdasar potensi lokal yang ada. Tidak ada program pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat pesisir yang dilakukan secara sendiri. Untuk itu seluruh komponen atau pemangku kepentingan perlu diidentifikasi dan dilibatkan. Masyarakat perlu disiapkan lewat pengorganisasian guna mengelola kegiatannya. Lembaga masyarakat berperan sebagai pendamping dan pelaksana program pengembangan kapasitas, sementara pemerintah perlu terlibat dalam mengembangkan kapasitas teknis, membuka akses untuk keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berimplikasi pada kehidupan mereka. Pemerintah juga perlu diadvokasi untuk membangun kebijakan-kebijakan dan regulasi yang memberdayakan dan berpihak pada kepentingan masyarakat pesisir. Kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir harus disusun dengan analisis sosial dan gender yang kuat. Ini diperlukan agar program pemberdayaan yang tercakup dalam kurikulum menyasar kelompok yang tepat sehingga tujuan pemberdayaan bisa dicapai. Perubahan dan kerentanan yang terjadi pada masyarakat pesisir harus menjadi pertimbangan
dalam
pemberdayaan.
Ini
yang
harus
tercantum
dalam
pengembangan kurikulumnya. Posisi masyarakat merupakan kunci dari proses pemberdayaan itu sendiri, sementara lembaga masyarakat dan pemerintah berperan sebagai fasilitator yang membuka akses lebih luas yang mengarah pada pemberdayaan tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir tidak bisa dianggap sebagai sebuah dokumen yang statis, namun juga harus terus menerus dikaji guna memungkinkan adanya perubahan dan modifikasi sesuai perubahan dan dinamika yang terjadi pada masyarakat sasaran.
Lembaga pelaksana model atau lembaga pendamping bagi pemberdayaan masyarakat mesti memilki komitmen yang kuat terhadap program pemberdayaan yang berjangka panjang dan tidak menggunakan pendekatan proyek. Komitmen pemberdayaan yang dimiliki lembaga harus diterjemahkan dalam rencana
64
strategis lemabaga dan tercermin dalam struktur dan kapasitas sumberdaya manusia lembaga
Program pemberdayaan bukan hanya persoalan membangun kemampuan ekonomi, namun juga membangun sistem yang adil pada masyarakat. Ini artinya membangun sistem dan kebiasaan masyarakat untuk melakukan kerja secara kolektif, sehingga program pemberdayaan tidak hanya menyasar individu namun sebuah pendekatan yang bisa memengaruhi sistem perubahan yang lebih baik di masyarakat
Program pemberdayaan juga membutuhkan kemampuan analisis dan strategi yang komprehensif, tidak hanya persoalan teknis usaha produktif, namun juga membangun kemampuan untuk membuka akses dan kontrol yang lebih luas bagi masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi, termasuk keuangan dan permodalan serta kebijakan ekonomi yang berpihak pada masyarakat lokal, termasuk perempunan Pelibatan perempuan menjadi penting dalam pemberdayaan masyaraat pesisir. Untuk itu perlu kajian potensi dan kebutuhan berbasis gender, agar kepentingan perempuan bisa diakomodir sesuai potensinya. Dengan demikian kontribusi perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal bisa dipehitungkan karena mereka terlibat dalam pengambilan keputusan kehidupan mereka, sehingga kondisi dan posisi mereka juga menjadi lebih baik Program pemberdayaan masyarakat pesisir harus menggabungkan masalah teknis dan non teknis, misalnya potensi sosial budaya. Ini penting agar kelompok masyarakat lain yang tidak bisa terlibat dapat mengambil manfaat dari sebuah program pemberdayaan. Program pemberdayaan menggabungkan pendidikan kemampuan yang bersifat klasikal, dan pendampingan yang bersifat fasilitatif guna menumbuhkan inisiatif lokal untuk berubah. Program pemberdayaan masyarakat pesisir perlu dilakukan secara multistakeholder, yaitu tingkat pemerintah hingga di tingkat lokal dan lembaga
pendamping.
Keduanya
bersinergi
membangun
sistem
guna
65
memperluas jejaring yang bisa diakses kelompok masyarakat sendiri, termasuk kelompok usaha, kelompok akademisi dan sebagainya.
66
DAFTAR PUSTAKA
Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110. Kluckhon, Clyde. 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69109. Kusnadi. 2002. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Legg, Keith R. 1983. Tuan, Hamba, dan Politisi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Mubyarto, & Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali Press. Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Daradjat, Z. 1994. Metodologi Pengajaran Islam. Jakarta: Bumi aksara. Hasan, Said Hamid. 1995 . Pendidikan Ilmu Sosial . Jakarta: Dirjendikti, Depdikbud Republik Indonesia. -------------------------- 2008. Arah dan Perubahan Kurikulum di Indonesia, Suatu Tinjauan Historis: Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, Balai Pertemuan UPI, 3 April 2008 Nana Syaodih S. 1998. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: P2LPTK. Rokhim. 2012. Pengertian kurikulum dalam Pendidikan. http://www.rokhim.net/2012/02/pengertian-kurikulum-dalam-pendidikan.html. (online) diakses 2 Mei 2012 Sanjaya, W. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran teori dan praktik pengembangan Tingkatang Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
67
Sudjana, N.2005. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Disekolah. Bandung: Sinar Baru Algesindo Pusat Kurikulum 2007. Model Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah -------------------------- 2010. Model Kurikulum Pendidikan Pemberdayaan Perempuan Berbasis Kewirausahaan di Pedesaan. Jakarta www.sobatbaru.blogspot.com/2009/03/pengertian-inovatif-kreatif-dan.html
(diakses
pada tanggal 6 Oktober 2012 pukul 05.40) http://www.scribd.com/doc/16733299/Konsep-Produktivitas (diakses pada tanggal 6 Oktober 2012 pukul 05.50)
68