Laporan Kajian Pembangunan Keluarga
Dalam rangka Penyusunan Kebijakan Nasional Pelaksanaan Pembangunan Keluarga melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Kata Pengantar Kajian Pembangunan Keluarga dilaksanakan atas permintaan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bentuk upaya untuk mencari jalan penyelesaian banyak masalah di dalam upaya perlindungan perempuan dan anak, pemberdayaan perempuan dan perwujudan kesetaraan gender. Disadari bahwa banyak masalah, bermula dari lingkungan terkecil seorang individu, baik karena paksaan, pengaruh, maupun kegagalan membuat individu tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan dan maju. Lingkungan terkecil itu adalah keluarga. walaupun banyak intervensi dilakukan untuk mengatasi masalah, namun hasilnya tidak dapat maksimal, bahkan seringkali gagal. Faktor keluarga tidak mendapat perhatian, sehingga individu yang terkena masalah, setiap kali terjebak ke dalam lingkungan yang sangat menentukan. Walaupun kebijakan pembangunan keluarga sudah ada, yaitu Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, namun pelaksanaannya praktis belum dilakukan. Kajian ini dilakukan untuk mencermati, apa yang sudah dilakukan untuk membangun keluarga, sehingga keluarga dapat mempunyai ketahanan untuk menjadikan anggotanya mempunyai kemampuan untuk maju dan dapat mengahadapi berbagai masalah. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebagai dasar. Dari UndangUndang ini ditelusuri bagian-bagian yang membentuk pembangunan keluarga dan hasilnya digambarkan dalam hasil kajian ini. Dari pencermatan atas isi Undang-Undang tersebut, khususnya tentang pembangunan keluarga, ditemukan bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga, belum ada. Oleh sebab itu, yang pertama kali dilakukan dalam kajian ini adalah mencari dan menyusun konsep ketahanan keluarga. berdasarkan konsep tersebut, kemudian komponen-komponen pembangunan keluarga dicermati keadaannya, apa saja yang sudah dilakukan dan apa saja yang masih perlu dilakukan untuk melaksanakan pembangunan keluarga. Penyusunan konsep ketahanan keluarga dalam kajian ini dilakukan oleh Dr. Herien Puspitawati dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan konsep ini, ditelusuri apa yang sudah dilaksanakan pemerintah dalam pembangunan saat ini. Dari situ kemudian dianalisis, apa yang sudah berjalan dan apa yang masih perlu dilakukan, masalah apa yang dihadapi dan apa yang masih harus dilakukan untuk melaksakan pembangunan keluarga secara lengkap. Analisis yang dilakukan mencakup analisis tentang persepsi para pakar tentang ketahanan keluarga dan komponennya, analisis tentang pendapat para pakar dari berbagai lembaga masyarakat yang bergerak di bidang keluarga tentang konsep ketahanan keluarga. selain itu, dilakukan survey ke berbagai Kementerian dan Lembaga Pemerintah, serta banyak diskusi dengan para pakar dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah. i
Hasil kajian ini mendapatkan bahwa pembangunan keluarga adalah isu yang sangat besar. Untuk dapat melaksanakannya sebagai bagian dari pembangunan diperlukan upaya besar yang harus dilakukan dengan persiapan-persiapan yang cukup besar pula. Kajian ini bagaikan menemukan raksasa yang belum aktif berperan, yang untuk mengaktifkan perannya perlu dilakukan persiapan yang matang. Apa yang ditemukan dari kajian ini, juga dapat digunakan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk keluarga dan menjadi dasar untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan baru yang masih diperlukan. Kepada Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Tim Kajian Pembangunan Keluarga menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan untuk melakukan kajian ini. Kajian ini telah membuka wawasan yang luas dan menambah banyak pengetahuan tentang pembangunan keluarga. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Para Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, para Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atas semua dukungannya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Maulana T. Tachrir yang membantu dalam penyusunan kajian ini dan Staf Tata Usaha Staf Ahli Menteri atas semua dukungan untuk pelaksanaan kajian ini hingga kajian ini dapat selesai sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Semoga hasil kajian ini dapat digunakan dan dapat menjadi inspirasi untuk pengembangan kegiatan yang jauh lebih besar.
Jakarta, 14 Desember 2013.
Tim Kajian Pembangunan Keluarga
ii
Tim Kajian Pembangunan Keluarga
1. Heru Kasidi 2. Pribudiarta Nur Sitepu 3. Indra Gunawan 4. Agustina Erni 5. Ratna Susiyanti 6. Pinky Saptandari 7. Sally Wardhani 8. Hasan 9. Priyadi Santoso 10. Rudy Purboyo 11. Nursiah Lalboe 12. Usman Basuni 13. Budi Prabowo 14. Sri Prihantini Lestari Wijayanti 15. Lilik Susanti 16. Dita Andriasari
Tim Kajian ini didukung sepenuhnya oleh: 1. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2. Para Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 3. Para Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
iii
DAFTAR ISI
I. Latar belakang
Isi
Halaman 1
1.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dan pengaruhnya terhadap kualitas SDM
1
2.
Pendekatan keluarga dalam pembangunan SDM
2
3.
Kegiatan pembangunan dengan sasaran keluarga
3
4.
Kebijakan Pembangunan keluarga di Indonesia
3
II.
Tujuan Kajian
5
III.
Metodologi pelaksanaan kajian
6
IV.
Hasil pelaksanaan kajian
10
1.
Konsep ketahanan keluarga
10
2. Perbandingan konsep ketahanan keluarga dengan amanat Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
44
3. Identifikasi kegiatan pembangunan dengan sasaran keluarga dan Permasalahannya
47
4. Isu dan masalah yang dihadapi keluarga saat ini.
62
5. Situasi komponen ketahanan keluarga
66
6. Pemetaan Situasi masalah
70
7. Model Kebijakan
75
8. Beberapa hal strategis yang terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
77
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN TINDAK LANJUT
78
VI.
84
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
iv
1. Persiapan dan pengkondisian
84
2. Penyusunan draft Peraturan Menteri
84
3. Pembahasan draft Peraturan Menteri Kementerian dan Lembaga Pemerintah. 4. Proses pengesahan Peraturan Menteri
dengan
103 103
v
I. Latar belakang
1.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dan pengaruhnya terhadap kualitas SDM
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Keluarga memberi corak pada masyarakat dan di dalamnya dikembangkan Sumber Daya Manusia(SDM). Baik buruknya SDM dan juga masyarakat, ikut ditentukan oleh bagaimana keluarga. Keluarga juga merupakan faktor pendukung untuk keberhasilan anggotanya dan masyarakatnya. Keluarga juga merupakan wahana utama untuk peneyelesaian banyak masalah yang dialami oleh individu. Banyak contoh kearifan lokal dalam masyarakat menunjukkan peran keluarga dalam menentukan keberhasilan suatu masyarakat, penyelesaian masalah yang ada didalam masyarakat, dan corak masyarakat, keberhasilan SDM dalam keluarga untuk membentuk karakter masyarakat dan bangsa serta ketahanan menghadapi berbagai masalah yang seringkali datang secara tiba-tiba. Pengaruh keluarga pada individu, banyak contoh menunjukkan bahwa kualitas kehidupan keluarga memberi dampak sangat luas pada individu anggotanya. Penelitian di kalangan militer Kanada pada tahun 2008 menunjukkan bahwa suksesnya seseorang dalam pelaksanaan tugas sebagai anggota militer ditentukan oleh kualitas keluarganya. Kualitas kehidupan keluarga menentukan, keberhasilan, kesiapan, dan kemajuan yang dialami oleh anggota militer dalam pelaksanaan tugasnya. Penelitian lain terkait peran keluarga dalam penanggulangan HIV/AIDS. Dalam penanggulangan HIV/AIDS peran keluarga sangat amat penting. Ketahanan keluarga dan hubungan antar keluarga mempengaruhi kemampuan individu untuk terus hidup dalam keadaan yang baik. Penanganan HIV/AIDS melalui keluarga menjadi sangat penting, karena individu dalam keluarga yang terkena HIV/AIDS mempengaruhi seluruh aspek dalam keluarga. Demikian pula dalam penanganan penderita. Semua aspek dalam keluarga dapat menjadi faktor yang menentukan keberhasilan seseorang untuk menjalani hidup normal. Di kalangan masyarakat yang hubungan kekerabatannya kuat, maka ODHA dapat hidup lebih baik daripada mereka yang hidup dalam masyarakat yang hubungan keluarganya tidak baik. Di dalam penanggulangan kemiskinan, perspektif keluarga akan menjadi sangat penting, karena penanggulanan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh bagaimana keluarga dengan anggotanya mempunyai tujuan, cita-cita, cara pandang untuk maju, dan saling mendukung untuk menyadari keadaan dan membangun kemauan untuk maju. Selama keluarga tidak mempunyai
1
perspektif untuk maju, dukungan pada sebgian anggota keluarga akan lebih sulit untuk memberi nilai tambah. Pengembangan SDM dimulai dari dalam keluarganya, bantuan anak agar dapat bersekolah, dipengaruhi bagaimana kondisi keluarganya. Dukungan pada anak saja, belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Demikian pula penanggulangan penyakit. Jika seseorang menderita penyakit menular kronis seperti TBC, maka faktor keluarga sangat penting. Mengobati penderita yang dideteksi sakit saja, belum tentu dapat emberikan kesembuhan yang maksimal. Seluruh anggota keluarga saling mempengaruhi dan saling menulari, jika pendekatannya dilakukan secara individu maka anak yang sakit TBC ditulari oleh ibu atau ayahnya atau saling menulari dengan anaknya, sehingga jika mereka tidak diobati sekeluarga sekaligus, masalahnya tidak selesai dan selalu berulang. Demikian pula dengan Kematian Ibu yang tinggi atau pengasuhan anak dengan disabilitas sangat dipengaruhi oleh ketahanan keluarganya. Dukungan utama untuk anak-anak dan orang dengan disabilitas berasal dari keluarga. Keluarga sangat menentukan masa depan mereka.
2.
Pendekatan keluarga dalam pembangunan SDM
Banyak masalah dapat diselesaikan dengan lebih baik, jika pendekatan keluarga diterapkan untuk mengatasinya. Dalam rangka membangun SDM pembangunan Indonesia, maka pendekatan individu tidak akan memberi hasil maksimal jika keluarganya tidak menjadi bagian dari upaya-upaya yang dijalankan. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, pembangunan SDM menjadi prioritas. Disamping mengatasi masalah yang dialami SDM dengan berbagai penyakit, kemiskinan, akibat bencana dll, pembangunan SDM juga mengarah pada tujuan mencapai kemajuan kualitas SDM yang handal untuk menghadapi berbagai tantangan. Keluarga adalah tempat di mana individu sasaran pembangunan berada dan saling berinteraksi antar anggota keluarga pada hakekatnya pembangunan adalah untuk menyejahterakan masyarakat, yang terbangun dari keluarga-keluarga. Pembangunan di Indonesia bertujuan menyejahterakan keluarga, namun pelaksanaanya belum dengan pendekatan keluarga yang holistik dan integratif. Pembangunan lebih ditujukan pada komponen-komponen keluarga sehingga dalam banyak aspek dilakukan terpisah dan tidak melihat dampaknya secara kompleks pada keluarga. Menjadi pemikiran mendalam dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Dalam Negeri, bahwa cara pandang pembangunan, sebaiknya juga dengan melihat keluarga sebagai sebuah kesatuan yang menjadi subyek pembangunan.
2
Di lihat dari besarnya isu tentang pembangunan keluarga, maka isu tersebut menyangkut jumah yang sangat besar. Keluarga di Indonesia berjumlah lebih dari 61 juta, yang merupakan cerminan dari jumlah penduduk yang besar yaitu 237.641.326 jiwa.
3.
Kegiatan pembangunan dengan sasaran keluarga
Walaupun semua pembangunan diarahkan untuk keluarga, namun belum ada konsep yang dipahami bersama untuk melihat keberhasilan pembangunan dari perspektif keluarga. Indikator pembangunan keluarga, praktis belum digunakan sebagai ukuran dari pencapaian pembangunan. Hal ini mencerminkan bahwa pembangunan keluarga belum terkoordinasikan dengan baik di seluruh bidang pembangunan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Komponen-komponen SDM di dalamnya sudah menjadi subyek dan obyek pembangunan, namun program-program pembangunan tidak secara tegas ingin melihat kesejahteraan keluarga sebagai sebuah entitas. Sampai saat ini belum ada Indeks Kesejahteraan Keluarga yang digunakan untuk melihat sejauh mana pembangunan dapat memberi dampak secara utuh pada keluarga dan menyiapkan wahana utama pada pembangunan anggota keluarganya yang merupakan SDM Pembangunan. Pendekatan keluarga sudah banyak dilakukan oleh PBB untuk mengatasi berbagai masalah. Di dalam Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan anak. Pendekatan keluarga juag diterapkan pada penanggulangan berbagai penyakit, antara lain HIV/AIDS, TBC dan Malnutrisi. Pendekatan keluarga juga digunakan dalam penanggulangan akibat bencana alam dan narkoba. UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) juga menerapkan penguatan keluarga dalam menangani korban Narkoba.
4. Kebijakan Pembangunan keluarga di Indonesia Di Indonesia, Pembangunan keluarga diamanatkan dalam Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Tujuan dari UndangUndang ini menyebutkan bahwa: (1)
Perkembangan kependudukan bertujuan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hidup;
3
(2)
Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Pada tujuan kedua, ditekankan pada kualitas keluarga dengan ciri adanya rasa aman, tenteram, mempunyai masa depan yang lebih baik untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Pada Bab VII tentang Pembangunan Keluarga , disebutkan bahwa: Pasal 47: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. (2)
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.
Pasal 48: Kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan dengan cara: a.
b. c.
d. e. f. g. h.
peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak; peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga; peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga; pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya; peningkatan kualitas lingkungan keluarga; peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi melalui usaha mikro keluarga; pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin; dan penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
4
Dengan demikian, pembangunan keluarga yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut: -
bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga; melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; dan dilakukan dengan cara-cara seperti yang disebutkan dalam pasal 48 butir a) sampai butir h).
Butir (2) dari pasal 48 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kebijakan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang terkait sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini yang mendasari upaya untuk membangun sinergi dari berbagai program pembangunan, agar dapat mempercepat pelaksanaan UndangUndang ini khususnya ketentuan tentang Pembangunan Keluarga dan mempercepat pencapaian tujuannya. Upaya yang koordinatif untuk membangun sinergi ini memerlukan dasar hukum sebagai acuan kebijakan pelaksanaan Undang-Undang secara konkrit di tingkat nasional maupun daerah.
II.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk: 1. Memberi gambaran tentang konsep ketahanan keluarga; 2. Memberikan gambaran tentang pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sasarannya keluarga; 3. Memberikan informasi tentang kegiatan pembangunan yang masih diperlukan untuk mendukung keluarga membangun ketahanan dan kesejahteraan keluarga; 4. Menyusun rencana tindak lanjut untuk pengembangan pelaksanaan pembangunan keluarga secara holistik; 5. Menyusun kebijakan nasional pelaksanaan Pembangunan Keluarga sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
5
III. Metodologi pelaksanaan kajian Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak no. 31 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Penelitian Pengarusutamaan Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kebijakan yang efektif harus berlandaskan pada data dan informasi yang akurat, lengkap, dan mutakhir. Dengan demikian, penyusunan kebijakan yang akan dilakukan akan didahului dengan kajian sebagai landasan penyusunannya. Penyusunan kebijakan Nasional Pembangunan Keluarga ini akan terdiri dari 2 bagian yaitu: 1. Kajian tentang ketahanan keluarga 2. Penyusunan kebijakan
1. Kajian Ketahanan Keluarga Kajian ini bertujuan untuk menyusun bentuk pendekatan atau model kebijakan yang efektif untuk melaksanakan pembangunan keluarga yang sinergis dan terkoordinasi. Metodologi yang akan digunakan adalah Soft System Methodology (SSM) yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: Tahap 1. Mengidentifikasi isu dan masalah dalam pembangunan keluarga Tahap ini terdiri dari: a. Penyusunan definisi dan konsep tentang pembangunan keluarga, ketahanan keluarga dan cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang dari sudut pandang akademis. Untuk mendapatkan hal ini dilakukan kajian akademis berupa desk review untuk menyusun konsep ketahanan keluarga yang akan digunakan sebagai dasar dalam proses analisis selanjutnya.
6
b. Identifikasi kegiatan pembangunan yang sasarannya keluarga yang dilaksanakan oleh Kementerian dan Lembaga Pemerintah dan kendala dalam pelaksanaannya. Informasi ini didapat dari desk review dan pencarian informasi ke K/L. informasi akan dikumpulkan oleh Tim KPP dan PA. Selain itu juga dilakukan FGD dengan pelaksanan kegiatan di Kementerian dan Lembaga Pemerintah. c. isu dan masalah yang dihadapi keluarga saat ini. Informasi tentang hal ini akan dilakukan melalui Focus Group Discussion(FGD) dari berbagai pakar dan pemerhati keluarga yang berasal dari pihak akademis dan lembaga masyarakat yang bergerak di bidang ini. Hasilnya akan digunakan untuk memperjelas prioritas permasalahan yang harus ditangani melalui kegiatan-kegiatan baik oleh pemerintah melalui berbagai program, maupun oleh masyarakat melalui kegiatan mereka. Setelah informasi didapat pada proses di atas, dilakukan pemetaan situasi yang dialami keluarga dan dilihat kaitan antara faktor-faktor yang berperan dalam pembangunan keluarga baik faktor programatis maupun faktor eksternal serta faktor internal keluarga secara terstruktur. Pemetaan ini menjadi dasar untuk pengembangan model kebijakan.
Tahap 2. Merumuskan model pendekatan/kebijakan Pada tahap ini akan dibuat pendefinisian dari situasi yang ada dan bagaimana situasi itu akan diatasi. Hal ini merupakan ketetapan strategis sebagai dasar penyusunan pendekatan yang efektif. Perubahan apa yang ingin dibuat dengan upaya yang akan dilakukan, ditetapkan pada tahap ini. Pada tahap ini, para pengambil keputusan di KPP dan PA. Menetapkan perubahan yang dinginkan. Secara teknis pendekatan analisis dilakukan dengan CATWOE(Customer, Actor, Transformation process, Weltanschauung/universality, Owner dan Environment). Setelah ditetapkan perubahan yang diinginkan, dikembangkan model pendekatan yang efektif yang dapat dijadikan dasar pada pembuatan kebijakan yang akan disusun. Model yang dikembangkan adalah model yang ideal dari keadaan yang diinginkan.
7
Tahap 3. Menyusun rekomendasi kebijakan dan elaborasinya dalam kegiatan atau program Dengan analisis pada tahap-tahap sebelumnya akan dilakukan penyusunan pendekatan yang akan dilakukan, dengan kemungkinan terbaik. Pendekatan dan kebijakan ini akan direkomendasikan sebagai dasar penyusunan kebijakan dan penyusunan kegiatan pokok yang masuk dalam kebijakan.
2.
Penyusunan Kebijakan Ketahanan Keluarga
Penyusunan kebijakan didasarkan pada hasil kajian. Kajian terlihat panjang, karena mencari kebijakan yang paling mungkin dapat dilaksanakan, sehingga memerlukan data dan informasi yang baik. Tahap penyusunan kebijakan adalah sebagi berikut: Tahap 1. Persiapan dan pengkondisian Mengingat bahwa isu ketahanan keluarga sudah lama ditangani oleh berbagai lembaga, maka perlu pengkondisian melalui rapat koordinasi. Rapat ini bertujuan untuk menyampaikan tujuan penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan keluarga dan meningkatkan koordinasi serta pengukuran pencapaiannya. Juga ingin disampaikan bahwa tidak ada kegiatan yang akan diambil alih atau dihilangkan. Pertemuan ini akan mengundang K/L terkait seperti BKKBN, KemenDagri, Kemen. Sosial, Kemen. Kesehatan, Kemen. Pendidikan, Pemda DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta Kabupaten Bogor, Bekasi dan Tangerang. Dengan pertemuan ini diharapkan akan ada persamaan pemahaman dan mendapat dukungan untuk pelaksanaannya. Pertemuan ini dilakukan sebelum kajian dilakukan. Sebelum pertemuan ini, KPP dan PA sudah siap dengan konsep dan rencana pelaksanaan yang didapat melalui mekanisme internal.
8
Tahap 2. Proses penyusunan draft kebijakan Hal ini dilakukan terutama untuk melihat bagaimana kebijakan ini disesuaikan dengan dengan ketentuan-ketentuan lain dan bagaimana pelaksanaannya di daerah. Penyusunan dilakukan dengan serangkaian workshop. Proses ini akan menghasilkan Draft Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga, berdasarkan Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
Tahap 3. Uji Publik Draft Peraturan Menteri akan disampaikan kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan dan validasi. Uji publik akan melibatkan stakeholders di tingkat nasional dan daerah. Uji publik dilakukan dalam seminar.
Tahap 4. Proses pengesahan Peraturan Menteri Setelah dilakukan penyempurnaan draft Peraturan Menteri, akan dilakukan proses pengesahan sesuai peraturan yang berlaku.
3.
Waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan dimulai Juni 2013 sampai November 2013.
9
IV. Hasil pelaksanaan kajian
hasil kajian terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.
1.
Konsep ketahanan keluarga; Identifikasi kegiatan pembangunan dengan sasaran keluarga dan Permasalahannya; Isu dan masalah yang dihadapi keluarga saat ini; Situasi komponen ketahanan keluarga; Rekomendasi tindak lanjut dan rekomendasi untuk materi Peraturan Menteri.
Konsep ketahanan keluarga
(1) Definisi Keluarga Pemerintah belum menetapkan Konsep Kesejahteraan Keluarga dan Ketahanan Keluarga yang digunakan untuk melaksanakan Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga(UUPKPK). Konsep tentang kesejahteraan keluarga yang ada sampai saat ini adalah Konsep Keluarga Sejahtera yang diterbitkan oleh BKKBN pada tahun 1985. Dengan adanya kemajuan dalam pembangunan hingga saat ini, konsep ini perlu penyempurnaan namun belum diperbaharui. Di dalam UUPKPK disebutkan bahwa dalam pembangunan keluarga yang akan dicapai adalah kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Di dalam konsep akademis, ketahanan keluarga merupakan keadaan keluarga yang sejahtera ditambah dengan kemampuan untuk menghadapi dinamika lingkungan kehidupan. Dalam kajian ini, dikembangkan Konsep Ketahanan Keluarga dimana di dalamnya sudah tercakup unsur-unsur kesejahteraan keluarga. Konsep ketahanan keluarga diuraikan di bawah ini. Uraian ini mencakup definisi keluarga, ketahanan perkawinan, kerapuhan perkawinan, ketahanan keluarga, konsep ketahanan keluarga UUPKPK menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Pasal 1). Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan 10
kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (Pasal 4). Selanjutnya pada Pasal 5 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pembangunan keluarga, setiap penduduk mempunyai hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; menetapkan keluarga ideal secara bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, dan umur melahirkan. Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan perananperanan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Dengan demikian, pembentukan keluarga harus melalui ikatan perkawinan yang merupakan “kontrak sosial dan spiritual/ibadah” yang mengubah status masing-masing individu yang independen (mandiri) menjadi hubungan yang inter-dependent atau saling ketergantungan dengan dasar kemandirian tertentu. UUPKPK juga menyebutkan, bahwa Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin(Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2)). Keluarga merupakan keharusan yang diwajibkan oleh Agama, salah satunya tertera pada Kitab Suci Al Qur’an: 1. Firman Allah dalam Surat At-Tahrim Ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. 2. Firman Allah dalam Surat Al-Furqon : Ayat 74 “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Definisi yang ada di dalam UUPKPK sesuai dengan banyak konsep keluarga yang dibuat oleh para ahli. Menurut sejumlah ahli, Keluarga adalah unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang 11
terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu rumahtangga (Newman dan Grauerholz 2002; Rosen (Skolnick dan Skolnick 1997). Menurut Mattessich dan Hill (Zeitlin 1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang mempunyai hubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-tugas keluarga). Definisi lain menurut Settels (Sussman dan Steinmetz 1987), keluarga juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan/peristirahatan akhir. Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property, and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan keluarga mempunyai hubungan antara struktur sosial-ekonomi masyarakat dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan pada sistem patriarkhi (Ihromi 1999). Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992). Ditambahkan oleh Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni (Boss et al. 1993) bahwa tujuan dari terbentuknya keluarga adalah sebagai suatu struktur yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan untuk memelihara masyarakat yang lebih luas. Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial-budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (BKKBN 1996). Menurut United Nation (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi 12
pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Menurut Mattensich dan Hill (Zeitlin et al., 1995) fungsi pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga dan dewasa melalui pembentukan pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa. Burgest dan Locke (1960) mengemukakan 4 (empat) ciri keluarga yaitu (a) Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak) atau adopsi; (b) Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumahtangga. Tempat kos dan rumah penginapan bisa saja menjadi rumahtangga, tetapi tidak akan dapat menjadi keluarga, karena anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau adopsi, (c) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan; Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman; dan (d) Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Stephens mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan sosial yang didasarkan pada kontrak perkawinan termasuk dengan pengenalan hak-hak dan tugas orangtua; tempat tinggal suami, istri dan anak-anak; dan kewajiban ekonomi yang bersifat reciprocal antara suami dan istri (Eshelman 1991).
(1) Tujuan Filosofis dan Sosiologis pembentukan Keluarga Setiap keluarga mempunyai tujuan yang baik dan mulia, antara lain untuk mewujudkan keluarga yang “Sakinah, Mawwadah, Warrohmah” (untuk orang Muslim). Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah4.1: 1) Sakinah adalah ketenangan, kehebatan (percaya diri) dan kedamaian. 2) Mawaddah adalah kelembutan tindakan, kelembutan hati, kecerahan wajah, tawadhuk, kejernihan pikiran, kasih sayang, empati, kesenangan, dan kemesraan. 3) Rahmah adalah kerelaan berkorban, keikhlasan member, memelihara, kesediaan saling memahami, saling mengerti, kemauan untuk saling menjaga perasaan, 13
sabar, jauh dari kemarahan, jauh dari keras hati dank eras kepala, jauh dari kekerasan fisik dan kekerasan mental. Menurut konsep sosiologi, tujuan keluarga adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik, ekonomi) dan batin (sosial, psikologi, spiritual, dan mental). Secara detil tujuan dan fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarganya yang meliputi kebutuhan fisik (makan dan minum), psikologi (disayangi/ diperhatikan), spiritual/ agama, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anggota keluarganya, serta untuk melestarikan keturunan dan budaya suatu bangsa. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992). 2) Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni (Boss et al. 1993) menjelaskan bahwa tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur/ hierarkis yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk memelihara kebiasaan/ budaya masyarakat yang lebih luas. 3) Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN, 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas fungsi: (a) Keagamaan, (b) Sosial, (c) Budaya, (d) Cinta kasih, (e) Perlindungan, (f) Reproduksi, (g) Sosialisasi dan pendidikan, (h) Ekonomi, dan (1) Pembinaan lingkungan. 4) Menurut United Nations (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa.
14
5) Menurut Mattensich dan Hill (Zeitlin et al. 1995) fungsi keluarga terdiri atas pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan moral keluarga dan pendewasaan anggota keluarga melalui pembentukan pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa. 6) Selanjutnya Rice dan Tucker (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi fungsi ekspresif, yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi instrumental yaitu fungsi manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengembangan anggota keluarga.
Tujuan pembentukan keluarga secara umum adalah untuk mencapai kesejahteraan dan ketahanan keluarga seperti (Hughes & Hughes 1995): 1) Menyusun keturunan yang baik dan utuh dengan cara memaafkan yang sangat diperlukan dalam membangun keluarga dan mengembangkan keturunan; Berpikir positif, focus pada sesuatu yang bersifat baik; dan menjalankan system kekeluargaan berdasarkan keturunan garis ayah. 2) Meningkatkan sikap positif dengan keyakinan bahwa anak adalah suatu hadiah dari Tuhan dengan menjadikan fungsi parenting sebagai pengaruh besar bagi anak. 3) Menyesuaikan sikap antar suami istri dalam hal personalitas, strategi resolusi, cara berterima kasih, spiritual. 4) Meningkatkan afeksi keluarga yang meliputi cinta, saling menyukai dan bahagia apabila bersama. Adapun landasan dari afeksi keluarga adalah kecintaan pada Tuhan untuk saling menyayangi suami istri, yang difasilitasi oleh komunikasi yang jelas mengenai karakter masing-masing dan saling bicara jujur. 5) Cara meningkatkan afeksi keluarga adalah dengan membiasakan makan bersama, meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi (bertanya, mendengarkan, memperliharkan perhatian dan berpikiran positif), liburan bersama, merencanakan hari-
15
hari istimewa bersama, afeksi terhadap seluruh anggota keluarga dengan saling menguntungkan, dan pemeliharaan keunikan keluarga serta memelihara tradisi. 6) Mengembangkan spiritual keluarga dengan cara meningkatkan kegiatan rohani untuk pembinaan jiwa, berdoa, dan meningkatkan rasa bersyukur. 7) Meningkatkan kehidupan keluarga sehari-hari dengan cara menerapkan disiplin yang layak, mendidik anak-anak untuk berperilaku baik, dan meningkatkan kualitas hidup berkelanjutan yang baik.
(2)Pentingnya Ketahanan Perkawinan Ketahanan perkawinan salah satunya didasari oleh adanya tiga bentuk komitmen, yaitu: 1) Komitmen personal, yaitu sejauh mana seseorang ingin mempertahankan hubungannya karena faktor-faktor yang bersifat pribadi (cinta, perkawinan yang memang memuaskan, dan identitas sebagai suami/isteri), 2) Komitmen moral, yaitu rasa bertanggung jawab secara moral karena menganggap pernikahan harus berlangsung sepanjang hidup, merasa pasangan membutuhkannya, dan merasakan kewajiban untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai, dan 3) Komitmen struktural, yaitu keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena adanya faktorfaktor penahan yang bersifat struktural. Dalam hal ini misalnya tekanan sosial jika bercerai, prosedur perceraian yang sulit dan membutuhkan biaya serta waktu, dan investasi yang telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil kembali (irretrievable investments). Investasi yang dimaksud adalah individu yang merasa telah banyak berkorban dalam hubungannya biasanya cenderung mempertahankan hubungan (Burgess dan Locke 1960). Ketahanan perkawinan merupakan suatu kondisi kokohnya suatu perkawinan yang merupakan landasan berdirinya ‘rumah’ bagi institusi keluarga. Ketahanan perkawinan dilandasi oleh perilaku suami istri dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang dapat diibaratkan sebagai pilar-pilar dari perkawinan. Ketahanan perkawinan dapat dijelaskan sebagai berikut (Warren 1995: 3, 4, 33, 89, 93, 94, 101): 1) Ketahanan perkawinan tercermin dalam kondisi perkawinan yang harmonis. Hal ini sangat sulit untuk diwujudkan karena membutuhkan konsentrasi/fokus yang tinggi dan motivasi yang begitu besar dari suami istri untuk memelihara dan mempertahankan 16
perkawinan. Faktanya adalah semakin banyak trend gagalnya perkawinan dengan bukti semakin tingginya tingkat perceraian; 2) Peran sentral dari cinta adalah sangat penting bagi suami dan istri. Terdapat 3 (tiga) komponen dari cinta yang disebut oleh Robert J Sternberg dari Yale University dengan sebutan Teori Triangulasi dari cinta (A Triangular Theory of Love), yaitu (1) Intimasi mencakup perasaan kedekatan, keterhubungan secara erat, bonding yang sangat kuat, dan hubungan yang didasari atas cinta, dukungan, kehangatan dan kepercayaan yang kuat satu dengan lainnya , (2) Nafsu atau passion mencakup dorongan menuju perasaan dan perilaku romantik, ketertarikan secara fisik, dan hubungan secara seksual, (3) Pemeliharaan keputusan untuk berkomitmen mencakup komitmen jangka pendek dan jangka panjang untuk memelihara dan menumbuhkan rasa cinta antara suami istri; 3) Perkawinan harus dilandasi oleh komitmen yang tercermin dari proses sebagai berikut: a. Adanya kejelasan dari apa yang diharapkan dengan perkawinan ini. b. Mampu untuk mengembangkan secara detil dan terinci tentang pemahaman yang menyeluruh dari janji-janji perkawinan antara suami istri yang dapat diuraikan dengan tahapan-tahapan perencanaan. c. Mengurai dan menanamkan kembali semua janji-janji perkawinan tersebut ke dalam memori di otak agar selalu diingat terus oleh suami dan istri. d. Memaksimalkan faktor saling percaya antar suami istri menuju pasangan suami istri yang punya hubungan solid dan saling percaya satu dengan lainnya. e. Komunikasi adalah sederhana namun sangat susah untuk dilaksanakan. Kebutuhan komunikasi antara suami istri harus diatur dalam strategi komunikasi yang efektif dan efisien serta produktif. Komunikasi yang baik dimulai dengan kemampuan untuk belajar berbicara dan menyampaikan pendapat. Ciri komunikasi adalah: a) Tipikal laki-laki adalah lebih sulit untuk berbicara dibandingkan dengan perempuan – paling tidak tentang kedalaman konteks pembicaraan, makna dan fokus serta hal-hal yang berkaitan dengan detil secara internal. b) Masalah keterbatasan komunikasi bagi laki-laki adalah suatu tantangan nyata bagi sebagian hubungan perkawinan.
17
f. Komunikasi akan menjadikan momen-momen perkawinan sangat berkesan dan membahagiakan. Namun demikian kemampuan untuk berkomunikasi dan pentingnya strategi komunikasi yang efektif menjadikan pasangan suami istri harus mulai untuk mencari dan mendapatkannya.
(3) Komponen dan konsep ketahanan keluarga Istilah kesejahteraan keluarga lebih dulu dikenal dibandingkan dengan ketahanan keluarga. Kesejahteraan keluarga dipopulerkan oleh para ahli ekonomi dan sosiologi. Dimensi kesejahteraan keluarga sangat luas dan kompleks. Taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang terlihat (fisik dan kesehatan) tapi juga yang tidak dapat dilihat (spiritual). Oleh karena itu, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Puspitawati, 2005), yaitu: 1) Economical well-being: yaitu kesejahteraan ekonomi dimana indikator yang digunakan adalah pendapatan (GNP, GDP, pendapatan per kapita per bulan, nilai asset). 2) Social well-being, yaitu kesejahteraan social yang indikatornyaantara lain tingkat pendidikan (SD/ MI-SMP/ MTs-SMA/ MA-PT; pendidikan non-formal Paket A, B, C; melek aksara atau buta aksara) dan status dan jenis pekerjaan (white collar = elit/ profesional, blue collar = proletar/ buruh pekerja; punya pekerjaan tetap atau pengangguran). 3) Physical well-being, yaitu kesejahteraan fisik dimana indikatornya adalah status gizi, status kesehatan, tingkat mortalitas tingkat morbiditas. 4) Psychological/ spiritual mental, yaitu kesejahteraan psikologi yang indikatornya adalah sakit jiwa, tingkat stres, tingkat bunuh diri, tingkat perceraian, tingkat aborsi, tingkat kriminal (perkosaan, pencurian/ perampokan, penyiksaan/ pembunuhan, penggunaan narkoba/ NAPZA, perusakan), tingkat kebebasan seks. Ferguson, Horwood dan Beutrais (diacu dalam Sumarwan & Tahira (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan ke dalam kesejahteraan ekonomi (family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material well-being). Kesejahteraan ekonomi keluarga, diukur dalam pemenuhan akan input keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran), sementara kesejahteraan material diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga.
18
Selain itu, konsep kesejahteraan dapat pula dikaitkan dengan konsep kebutuhan (needs), khususnya mengenai pemenuhannya. Maslow menggambarkan rumusan tentang kebutuhan yang hierarkis dalam bentuk segitiga, dimana kebutuhan yang ada di atas akan terpenuhi setelah kebutuhan di bawahnya terpenuhi. Tingkatan paling bawah dalam hierarkis kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik yang menyangkut kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Kemudian berturut-turut adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan atas diri. Keterkaitan antara konsep kesejahteraan dan konsep kebutuhan adalah dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka seseorang sudah dapat dinilai sejahtera. Karena tingkat kebutuhan tersebut secara tidak langsung sejalan dengan indikator kesejahteraan. Indikator kesejahteraan keluarga dapat dibagi menjadi 2 (dua) kluster, yaitu kesejahteraan keluarga obyektif yang dapat terlihat secara kuantitatif, dan kesejahteraan keluarga subyektif yang terlihat secara kualitatif. Kesejahteraan keluarga obyektif terdiri atas: 1) Kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria Sayogyo (1971) a. Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan (membedakan daerah pedesaan dan perkotaan). b. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun. 2) Kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria kemiskinan dari Biro Pusat Statistik (BPS) Untuk menentukan suatu keluarga digolongkan sejahtera secara material didasarkan atas pendapatan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material, oleh karena itu digolongkan pada keluarga miskin.
19
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari. Sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) Berdasarkan data Susenas (2011) diketahui bahwa jumlah penduduk miskin (pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen). Jumlah penduduk miskin ini menurun sebanyak 1 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Adapun Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2009, Maret 2008, dan Maret 2007 serta Maret 2006 berturut-turut adalah 32,53 juta orang (14,15 persen), 34,96 juta orang (15,42 persen), 37,17 juta orang (16,58 persen), 39,30 juta orang (17,75 persen) (Tabel 11.2). Data jumlah penduduk miskin dari tahun 2006-2011 menurut BPS. No
Tahun
1 2011 2 2010 3 2009 4 2008 5 2007 6 2006 Sumber : Data Susenas, BPS (2006-2011)
Jumlah n (juta orang) 30,02 31,02 32,53 34,96 37,17 39,30
% 12,49 13,33 14,15 15,42 16,58 17,75
20
3) Kesejahteraan keluarga berdasarkan 14 kriteria kemiskinan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan. c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester. d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah. h. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu. i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun j. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari. k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. l. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan. m. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD. n. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Stategi pemerintah dalam menurunkan jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran digolongkan ke dalam pelaksanaan program tiga klaster yaitu: a. Program klaster pertama terdiri atas Program Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Keluarga Harapan (PKH). b. Program klaster kedua adalah Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatMandiri (PNPM-Mandiri); c. Program klaster ketiga adalah Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). 21
Secara keseluruhan penyaluran BLT oleh PT Pos berjalan dengan sangat baik dan lancar ke seluruh Indonesia 228 Kabupaten/ Kota, 878 Kecamatan dan 2.644 Desa/ Kelurahan. Penyaluran BLT pada tahap pertama (Juni-Agustus 2008) mencapai total realisasi pembayaran untuk sebanyak 18.832.053 Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan total realisasi rupiah sebesar Rp. 5.694.615.900.000. Jumlah tersebut mencapai daya serap sebesar 99,02 persen dari total RTS sebanyak 19.020.763 RTS. Provinsi Jawa Tengah menempati urutan penyaluran tertinggi dengan daya serap sebesar 99,87 persen, sedangkan provinsi dengan penyaluran terendah adalah Kalimantan Tengah yaitu sebesar 83,53 persen. Selanjutnya penyaluran BLT tahap kedua (September-Desember 2008) mencapai total realisasi pembayaran sebanyak 18.778.134 RTS dengan total realisasi rupiah sebesar Rp. 7.511.253.600.000. Jumlah tersebut mencapai daya serap sebesar 98,74 persen. Provinsi dengan penyaluran tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,72 persen, sedangkan provinsi dengan penyaluran terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 83,32 persen. 4) Kesejahteraan Keluarga berdasarkan kriteria Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional yang didasarkan atas: a. Kebutuhan dasar (Basic Needs) yang terdiri dari variabel pangan, sandang, papan, dan kesehatan. b. Kebutuhan Sosial Psikologis (Social Psychological Needs) yang terdiri dari variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, intrraksi sosial internal da n eksternal c. Kebutuhan pengembangan (Developmental Needs) yang terdiri dari variabel tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi. Terdapat lima kategori kesejahteraan keluarga mnurut BKKBN, yaitu keluarga yang memiliki tingkat kesejahteraan paling minim (disebut keluarga miskin) terdiri atas golongan keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS-I), dan keluarga yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik (tidak miskin) adalah terdiri atas Keluarga Sejahtera (KS) II, III, dan III plus. Berikut ini uraian kriteria dari masing-masing kelas kesejahteraan keluarga.
22
Klasifikasi kesejahteraan keluarga menurut BKKBN (2011): a. Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) sering dikelompokkan sebagai “Sangat Miskin”,
adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: Indikator Ekonomi: Makan dua kali atau lebih sehari. Memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian). Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. Indikator Non-Ekonomi: Melaksanakan ibadah. Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. b. Keluarga Sejahtera I (KS-I) sering dikelompokkan sebagai “Miskin”, adalah
keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: Indikator Ekonomi: Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. Luas lantai rumah paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Indikator Non-Ekonomi: Ibadah teratur. Sehat tiga bulan terakhir. Punya penghasilan tetap. Usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin. Usia 6-15 tahun bersekolah. Anak lebih dari 2 orang, ber-KB (Keluarga Berencana).
23
c. Keluarga Sejahtera II (KS-II) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak
dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: • • • • • • •
Memiliki tabungan keluarga. Makan bersama sambil berkomunikasi. Mengikuti kegiatan masyarakat. Rekreasi bersama (6 bulan sekali). Meningkatkan pengetahuan agama. Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah Menggunakan sarana transportasi.
d. Keluarga Sejahtera III (KS-III) adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi
beberapa indikator, meliputi: • Memiliki tabungan keluarga. • Makan bersama sambil berkomunikasi. • Mengikuti kegiatan masyarakat. • Rekreasi bersama (6 bulan sekali). • Meningkatkan pengetahuan agama. • Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah. • Menggunakan sarana transportasi. Namun belum dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi: • Aktif memberikan sumbangan material secara teratur. • Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. e. Keluarga Sejahtera III Plus (KS-III Plus) adalah keluarga yang sudah dapat
memenuhi beberapa indikator meliputi: • Aktif memberikan sumbangan material secara teratur. • Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
24
Berikut ini disajikan data kondisi kesejahteraan keluarga Indonesia (Tabel 11.3). Tabel 11.3. Data terkini kondisi keluarga indonesia berdasarkan klasifikasi kesejahteraan keluarga menurut BKKBN Tahun 2010*. Jumlah Keluarga n % 1 Keluarga Pra Sejahtera 13.590.801 21,78 2 Keluarga Sejahtera Tahap I 14.380.875 23,05 3 Keluarga Sejahtera Tahap II 17.560.255 28,15 4 Keluarga Sejahtera Tahap III 14.010.347 22,46 5 Keluarga Sejahtera Tahap III Plus 2.848.343 4,56 Total 62.390.621 100,00 Sumber : Analisis dan evaluasi hasil pendataan keluarga tahun 2010 (BKKBN) No
Klasifikasi Kesejahteraan Keluarga
(4) Kesejahteraan Keluarga berdasarkan United Nation Development Program (UNDP) Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen 1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut: “Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasai dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya”. World Bank (2000) mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut: “ Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having a job, poverty is fear for the future. Poverty is powerlessness, lack of freedom “ (Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah buruknya tempat tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk pergi ke sekolah dan tidak tahun cara membaca. Kemiskinan adalah tidak 25
mempunyai pekerjaan, ketakutan menghadapi masa depan, Kemiskinan adalah tidak mempunyai kekuasaan, ketidakbebasan) . Ukuran tingkat kemiskinan internasional adalah pendapatan per kapita per hari setara dengan USD 1.00 per hari (setara dengan Rp 8.500 - parity purchasing power) atau USD 2.00 per hari. Apabila garis kemiskinan internasional USD 1.00 per kapita per hari dipakai, maka terdapat sebesar 29,4 persen jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah tingkat kemiskinan tersebut. Apabila dipakai ukuran USD 2 per hari (setara dengan Rp 17.000 –parity purchasing power), maka jumlah penduduk Indonesia yang hidup miskin sekitar 50,6 persen atau sekitar 120 juta dari 235 juta penduduk Insonesia. Bagi satu keluarga yang terdiei atas 4 orang, maka keluarga memerlukan pendapatan lebih dari Rp 70.000 per hari agar dapat hidup layak menurut standar UNDP (Bappeda Jatim 2011). (5) Definisi kesejahteraan keluarga Definisi kesejahteraan keluarga subyektif atau family subjective quality of life sama dengan kualitas hidup baik individu atau keluarga dengan definisi sebagai berikut: 1) McCall (Puspitawati & Megawangi 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga juga dapat diukur melalui pendekatan ”Quality of Life” yaitu diukur berdasarkan kebutuhan untuk kesenangan seseorang. Selanjutnya Frank menyatakan bahwa Quality of Life mencerminkan perbedaan, gap, antara harapan dengan apa yang dialami sebagai tingkatan bagaimana seseorang menikmati berbagai kemungkinan hidupnya sebagai akibat dari pembatasan dan peluang hidupnya dan sebagai cerminan dari interaksi dengan faktor lingkungan (Puspitawati & Megawangi 2003). 2) Quality of Life (QOL) dijelaskan sebagai berikut: a. Pengukuran QOL mengukur sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan kebahagiaan seseorang, misalnya kondiisi persyaratan yang diperlukan (meskipun belum cukup) seseorang untuk mencapai kebahagiaan (McCall, S: 1975, ‘Quality of Life’. Social Indicators Research 2, pp 229-248). b. QOL dapat didefinisikan sebagai kesejahteraan subyektif (subjective well-being). QOL mencerminkan perbedaan, gap antara harapan seseorang dan apa yang dialami saat ini. Adaptasi manusia pada harapan hidup tersebut biasanya 26
disesuaikan sebagai kebohongan dalam realisme seseorang yang dirasakan sebagai suatu kemungkinan (Janssen Quality of Life Studies). c. QOL berkaitan dengan persepsi pemaknaan atau ‘meaning’. Pertanyaan tentang pemaknaan merupakan pusat dari kondisi manusia yang dikaitkan dengan perasaan pemaknaan tentang apa yang diciptakan, dicintai, dipercaya atau ditinggalkan sebagai warisan (Farnkl VE. ‘Man’s search for meaning.’ New York: Pocket Books. 1963). d. Atribut QOL terdiri atas kemampuan, adaptasi, apresiasi, kebutuhan dasar, kepemilikan, kontrol, permintaan dan tanggungjawab, stres, keragaman, peningkatan, kebebasan, pemenuhan, gaps, gender, kebahagiaan, kesehatan, harapan, identitas, perbaikan, inklusivitas, integritas, isolasi, penghakiman, pengetahuan, lack, kondisi kehidupan, kebutuhan yang tidak sesuai, domain QOL yang berkaitan dengan eksistensi, fisik, psikologi, agama, keamanan, kepuasan, kenyamanan, spiritual, status, kesejahteraan, dan kondisi pekerjaan. e. Pada penelitian kualitas hidup seringkali membedakan antara kualitas hidup subyektif dan obyektif. Kualitas hidup subyektif adalah tentang perasaan baik dan puas secara umum. Kualitas hidup obyektif adalah tentang pemenuhan permintaan masyarakat dan budaya berkaitan dengan kekayaan materi, status social dan kesejahteraan fisik (QOL Research Center, Denmark). f. Pengukuran kualitas hidup diturunkan dari posisi sejumlah domain kehidupan. Setiap domain berkontribusi pada satu penilaian yang menyeluruh tentang kualitas hidup. Domain-domain termasuk keluarga dan teman, pekerjaan, tetangga (tempat tinggal untuk berteduh), masyarakat, budaya, karakteristik demografi, karakteristik sosio-ekonomi, kesehatan, pendidikan dan spiritual (QOL – The University of Oklahoma School of Social Work). g. Kota Vancouver mengukur QOL dengan menggunakan indikator: Ukuran kemampuan masyarakat, ukuran kualitas pekerja, ukuran kualitas rumah, ukuran kesehatan masyarajat, infrastruktur social masyarakat, ukuran modal manusia, ukuran stress masyarakat, ukuran keamanan masyarakat, dan ukuran partisipasi masyarakat (QOL – Website of the City of Vancouver-Canada). h. UNDP mempublikasi Human Development Index (HDI) tahunan untuk seluruh Negara di dunia. Indeks tersebut mengukur kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan warga Negara di setiap Negara dengan cara mengukur (QOL – UNDP—Human Development Report, UNDP, 1997). :
27
(1) Angka harapan hidup. (2) Pencapaian pendidikan – angkat melek aksara orang dewasa ditambah kombinasi pendaftaran sekolah dasar, menengah dan tinggi. (3) Standar hidup- real Gross Domestic Product per kapita berdasarkan tingkat pertukaran PPP (Parity Purchasing Power). 3) Terdapat 2 (dua) perspektif dalam penelitian QOL: PenelitianiIndikator sosial yang mempertimbangkan nilai-nilai elit yang dibutuhkan orang, dan penelitian QOL conventional yang mempeajari apa yang diinginkan orang dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya (QOL – Quality of Life, Ramkrishna Mukherjee, Sage Publications, 1989). 4) Tujuan Quality of Life Index (QOLI) adalah untuk menyediakan pembangunan masyarakat yang dapat digunakan untuk memonitor kunci indicator-indikator yang dapat mengetahui dimensi-dimensi kualitas hidup sosial, kesehatan, lingkungan dan ekonomi. QOLI dapat digunakan untuk mengomentari isu-isu kunci yang diperdebatkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat (QOOL – Ontario Social Development Council, 1997-Canada). Indikator QOLI meliputi: a. Sosial: Anak-anak dalam perkumpulan masyarakat untuk bantuan anaktunggu perumahan umum. b. Kesehatan: Bayi dengan berat lahir rendah; orang lanjut usia yang menunggu untuk ditempatkan pada fasilitas perawatan jangka panjang; tingkat bunuh diri. c. Economi: Jumlah pengangguran; jumlah pekerja; bankrut. d. Lingkungan: Kualitas udara yang baik;tumpahan lingkungan. e. Quality of life (QOL) merupakan produk yang sangat melengkapi diantara kondisi sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan yang berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan sosial. 5) “Quality of life is the degree to which a person enjoys the important possibilities of his/her life. Possibilities result from the opportunities and limitations each person has in his/her life and reflect the interaction of personal and environmental factors (kualitas hidup adalah derajat/tingkatan seseorang menikmati semua kemungkinan yang penting dalam hidupnya. Kemungkinan tersebut berasal dari kesempatan dan keterbatasan yang dimiliki setiap orang yang mencerminkan interaksi antara factor-faktor personal dan lingkungannya)” (Quality of Life Research Unit, University of Toronto 2003).
28
6) “The Quality of Life Profile was developed to provide a measure that considers both the components and determinants of health and well-being. It draws upon a conceptual model that is consistent with recent definitions of health and health promotion as provided by the World Health Organization. The profile emphasizes individuals' physical, psychological, and spiritual functioning; their connections with their environments; and opportunities for maintaining and enhancing skills (Profil kualitas hidup dikembangkan untuk menyediakan suatu ukuran yang mempertimbangkan baik komponen dan determinan dari kesehatan dan kesejahteraa. Profil ini menggambarkan suatu model konseptual yang konsisten dengan definisi kesehatan terkini dan promosi kesehatan yang disediakan oleh the World Health Organization (WHO). Profit tersebut menekankan pada fungsi-fungsi individu yang terdiri atas fisik, psikologi, dan spiritual yang kemudian berkaitan dengan lingkungan di sekitarnya serta berkaitan dengan kesempatan untuk memelihara dan mengembangkan ketrampilan)” (University of Toronto 2003). 7) Terdapat perbedaaan antara Subjective quality of life dan Objective quality of life. Subjective quality of life adalah tentang perasaan senang atau puas dan merasa cukup atas kebahagian hidupnya. Sedangkan Objective quality of life adalah tentang terpenuhinya semua kebutuhan secara sosial dan budaya dalam hal kekayaan material, kesejahteraan/ kesehatan fisik dan status sosial. Pendekatan pengukuran quality of life diperoleh dari lingkungan dimana keluarga berasal. Lingkungan tersebut adalah lingkungan keluarga dan teman-teman, pekerjaan, tetanggga, kelompok masyarakat, kesehatan fisik, tingkat pendidikan dan spiritual (agama). 8) Kualitas hidup manusia meliputi domain kehidupan manusia (Universitas Toronto 2003)11.3 yaitu: a. Domain Being (domain berkaitan dengan keadaan badan atau makhluk): Physical Being (Being physically able to get around, My nutrition and the food I eat; physical health, personal hygiene, nutrition, exercise, grooming and clothing and general physical appearance) (Kesejahteraan fisik: Badan secara fisik mampu untuk bergerak, nutrisi dan makanan yang dimakan, kesehatan fisik, hiegenis personal, nutrisi, latihan, keadaan pakaian dan penampilan fisik secara umum). Psychological Being (Being free of worry and stress, The mood I am usually in; psychological health and adjustment, cognition , feelings, self-esteem, self-concept and self-control) (Kesejahteraan psikologis: 29
Merasa bebas dari rasa kawatir dan stress, mood yang biasa dirasakan, kesehatan psikologis dan penyesuaiannya, kognisi, perasaan, penghargaan diri, konsep diri dan control diri). Spiritual Being (Having hope for the future, personal values, personal standards of conduct, spiritual beliefs) (Kesejahteraan spiritual: mempunyai harapan untuk masa depan, nilai personal, standar personal tentang perilaku, keyakinan spiritual).
b. Domain Belonging (domain berkaitan dengan harta milik dan barang-barang): Physical Belonging (The house or apartment I live in, The neighbourhood I live in: home, workplace/school, neighbourhood, and community (Harta fisik: rumah atau apartemen tempat tinggal, pemukiman tempat tinggal, rumah, tempat kerja/ sekolah, tetangga sekitar, dan masyarakat). Social Belonging (Being close to people in my family, Having a spouse or special person; intimate others, family, friends, co-workers, neighbourhood and community (Harta sosial: menjadi dekat dengan anggota keluarga; mempunyai pasangan istimewa, dekat dengan orang lain, keluarga, teman, mitra kerja, tetangga dan masyarakat). Community Belonging (Being able to get professional services (medical, social, etc.), Having enough money; adequate income, employment, educational programs, recreational programs, community events and activitie (Harta masyarakat: Mendapat pelayanan professional seperti medis dan social; mempunyai uang cukup, pendapatan cukup, pekerjaan, program pendidikan, program rekreasi, acara dan aktivitas masyarakat). Kualitas hidup manusia merupakan hak yang mendasar yang terkait dengan materi kemanusiaan, kebutuhan sosial dan psikologis. Dengan kata lain unsur-unsur kualitas hidup didasarkan kepastian pemenuhan kesehatan dan pendidikan, makanan dan rumah yang cukup, lingkungan yang mantap dan sehat, keadilan, dan persamaan gender. Secara detail pegakuan hak-hak kualitas hidup dalam piagam resmi PBB adalah: martabat manusia, hak untuk hidup, keamanan pribadi, bebas dari rasa takut, cukup makanan, bebas dari rasa lapar, nutrisi ibu, hak bekerja, kualitas kerja, lapangan pekerjaan tetap yang produktif, kesehatan, kemudahan pemeliharaan kesehatan dasar, pemeliharaan kesehatan ibu sebelum dan sesudah melahirkan, 30
perolehan pelayanan informasi keluarga berencana, pendidikan kesehatan preventif, pendidikan, kewajiban pendidikan dasar, pendidikan lanjutan: kesempatan terbuka untuk semua, perumahan yang cukup, cuti hamil, keamanan sosial, persamaan gender, perlindungan keluarga, hak-hak politik dan peran serta (Sumber: UN, UNESCO dalam Soeryani 2000). Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) atau mutu manusia, terdiri atas dua segi pandangan, yaitu dari segi pendidikan adalah afeksi, kognisi, dan psikomotor, sedangkan mutu manusia dari segi kecerdasan adalah kecerdasan nalar atau daya pikir (IQ), kecerdasan emosional atau daya hati/ kalbu (EI), kecerdasan adversity (AQ), kecerdasan finansial (FQ), dan kecerdasan emosionalspiritual (ESQ) (Saliem 1995; Soesarsono dan Sarma 2002).
(6) Komponen dan konsep Ketahanan Keluarga Pengertian ketahanan keluarga tidak sama dengan pengertian kesejahteraan keluarga (family well-being), namun saling berkaitan. Pengertian kesejahteraan keluarga sudah diperkenalkan terlebih dahulu dibandingkan dengan pengertian ketahanan keluarga. Pengertian kesejahteraan keluarga diperkenalkan oleh para ahli ekonomi dan sosiologi umum yang berkaitan dengan output keluarga baik dimensi kesejahteraan fisik (physical well-being), kesejahteraan sosial (social well-being), kesejahteraan economi (economical well-being), maupun kesejahteraan psikologi-spiritual (psychological-spiritual well-being). Sedangkan istilah ketahanan keluarga (family strength or family resilience) dipromosikan oleh para ahli sosiologi keluarga yang mulai diperkenalkan mulai akhir tahun 1950 atau awal tahun 1960an. Istilah ketahanan keluarga lebih menunjukkan suatu kekuatan baik dari sisi input, proses, maupun output/ outcome bahkan dampak dari output/ outcome yang dirasakan manfaatnya bagi keluarga serta kekuatan daya juang keluarga (coping strategies) dalam menyesuaikan dengan lingkungan di sekitarnya. Penjelasan ketahanan keluarga dirangkum sebagai berikut: 1) Keluarga diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga: a. Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
31
b. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggungjawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. c. Kualitas keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga dan mental spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga sejahtera. d. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. e. Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan kualitas keluarga, baik sebagai sasaran maupun sebagai pelaku pembangunan, sehingga tercipta peningkatan ketahanan baik fisik maupun non fisik, kemandirian serta kesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. 2) Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin (UU Nomor 10/1992). 3) Menurut Chapman (2000) ada lima tanda adanya ketahanan keluarga (family strength) yang berfungsi dengan baik (functional family) yaitu (1) Sikap melayani sebagai tanda kemuliaan, (2) Keakraban antara suami-istri menuju kualitas perkawinan yang baik, (3) Orangtua yang mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten dan mengembangkan ketrampilan, (4) Suami-istri yang menjadi pemimpin dengan penuh kasih dan (5) Anak-anak yang mentaati dan menghormati orangtuanya. 4) Pearsall (1996) menyatakan bahwa rahasia ketahanan/ kekuatan keluarga berada diantaranya pada jiwa altruism antara anggota keluarga yaitu berusaha melakukan sesuatu untuk yang lain, melakukan dan melangkah bersama, pemeliharaan hubungan keluarga, menciptakan atmosfir positif, melindungi martabat bersama dan merayakan kehidupan bersama. 32
5) Ketahanan keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk memanfaatkan potensinya untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsi-fungsi keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis (the National Network for Family Resilience 1995). 6) Ketahanan keluarga versi Sunarti (2001) menyangkut kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya; Diukur dengan menggunakan pendekatan sistem yang meliputi komponen input (sumberdaya fisik dan non fisik), proses (manajemen keluarga, salah keluarga, mekanisme penanggulangan) dan output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial). Jadi keluarga mempunyai: a. Ketahanan fisik apabila terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan (indikator: pendapatan per kapita melebihi kebutuhan fisik minimum) dan terbebas dari masalah ekonomi (indikator: terbebas dari masalah ekonomi). b. Ketahanan sosial apabila berorientasi nilai Agama, komunikasi berlangsung efektif, komitmen keluarga tinggi (pembagian peran, dukungan untuk maju dan waktu kebersamaan keluarga, membina hubungan sosial dan mekanisme penanggulangan masalah. c. Ketahanan psikologis keluarga apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non fisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan) dan kepedulian suami terhadap istri. 7) Ketahanan keluarga (family strengths atau family resilience) merupakan suatu konsep holistik yang merangkai alur pemikiran suatu sistem, mulai dari kualitas ketahanan sumberdaya, strategi coping dan ‘appraisal’. Ketahanan keluarga (Family Resilience) merupakan proses dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif terhadap bahaya dari luar dan dari dalam keluarga (McCubbin et al. 1988). 8) Otto (Mc Cubbin 1988) menyebutkan komponen ketahanan keluarga (family strengths) meliputi: a. Keutuhan keluarga, loyalitas dan kerjasama dalam keluarga. b. Ikatan emosi yang kuat. c. Saling menghormati antar anggota keluarga. 33
d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n.
Fleksibilitas dalam melaksanakan peran keluarga. Kemampuan pengasuhan dan perawatan dalam tumbuh kembang anak. Komunikasi yang efektif. Kemampuan mendengarkan dengan sensitif. Pemenuhan kebutuhan spiritual keluarga. Kemampuan memelihara hubungan dengan lingkungan luar keluarga. Kemampuan untuk meminta bantuan apabila dibutuhkan. Kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman. Mencintai dan mengerti. Komitmen spiritual. Berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
9) Adapun menurut Martinez et al. (2003), yang disebut dengan keluarga yang kuat dan sukses adalah dalam arti lain dari ketahanan keluarga adalah sebagai berikut: a. Kuat dalam aspek kesehatan, indikatornya adalah keluarga merasa sehat secara fisik, mental, emosional dan spiritual yang maksimal. b. Kuat dalam aspek ekonomi, indikatornya adalah keluarga memiliki sumberdaya ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (a living wage) melalui kesempatan bekerja, kepemilikan aset dalam jumlah tertentu dan sebagainya. c. Kuat dalam kehidupan keluarga yang sehat, indikatornya adalah bagaimana keluarga terampil dalam mengelola resiko, kesempatan, konflik dan pengasuhan untuk mencapai kepuasan hidup. d. Kuat dalam aspek pendidikan, indikatornya adalah kesiapan anak untuk belajar di rumah dan sekolah sampai mencapai tingkat pendidikan yang diinginkan dengan keterlibatan dan dukungan peran orang tua hingga anak mencapai kesuksesan. e. Kuat dalam aspek kehidupan bermasyarakat, indikatornya adalah jika keluarga memiliki dukungan seimbang antara yang bersifat formal ataupun informal dari anggota lain dalam masyarakatnya, seperti hubungan pro-sosial antar anggota masyarakat, dukungan teman, keluarga dan sebagainya, dan f. Kuat dalam menyikapi perbedaan budaya dalam masyarakat melalui keterampilan interaksi personal dengan berbagai budaya. Berdasarkan pandangan para peneliti di atas, Tabel 11.1 menyajikan rekapitulasi komponenkomponen ketahanan keluarga yang diuraikan berdasarkan input, proses dan output. 34
Selanjutnya, Gambar 11.4 menyajikan komponen-komponen ketahanan keluarga yang ditawarkan oleh penulis untuk Keluarga Indonesia. Keluarga sebagai satu entitas selalu menghadapi ancaman kerapuhan/kerentanan (family vulnerability) yang berasal dari kekuatan dari luar keluarga, yang dapat menimbulkan kerusakan (potential damage). Gangguan/ ancaman dari berbagai aspek tersebut baik sosial, ekonomi maupun lingkungan alam dapat menimbulkan kerapuhan keluarga pada berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi dan lingkungan. Dampak dari semua gangguan ini tergantung dari seberapa besar ancaman yang ada. Adapun jenis-jenis ancaman/ kerapuhan (vulnerability) (UNDP 2000) adalah: 1) Kerapuhan aspek ekonomi (Economic Vulnerability) yang merupakan tekanan makro termasuk tekanan ekonomi keluarga terhadap produksi, distribusi dan konsumsi ekonomi keluarga. 2) Kerapuhan aspek lingkungan (Environmental Vulnerability) yang merupakan tekanan dari luar yang berasal dari sistem ekologi sumberdaya alam (natural eco-systems). 3) Kerapuhan aspek sosial (Social Vulnerability) yang merupakan tekanan dari luar yang berhubungan dengan stabilitas sosial dan masalah sosial masyarakat. 4) Contoh berbagai Ancaman (Vulnerability): a. Sulitnya mencari pekerjaan, karena tekanan pengangguran yang tinggi. b. Tingginya angka kemiskinan. c. Marginalisasi kehidupan kemanusiaan di perkotaan. d. Marjinalisasi ekonomi pedesaan. e. Rawan bencana alam (gempa, banjir, gunung berapi dll). f. Inflasi ekonomi yang tinggi. g. Tingginya biaya hidup pada berbagai aspek kehidupan termasuk biaya kesehatan. h. Keamanan pangan yang tidak terjamin. 5) Ketahanan keluarga versi Sunarti (2001) menyangkut kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya; Diukur dengan menggunakan pendekatan sistem yang meliputi komponen input (sumberdaya fisik dan non fisik), proses (manajemen keluarga, masalah keluarga, mekanisme penanggulangan) dan output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial). Jadi keluarga mempunyai:
35
a. Ketahanan fisik apabila terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan (indikator: Pendapatan per kapita melebihi kebutuhan fisik minimum), dan terbebas dari masalah ekonomi (indikator: Terbebas dari masalah ekonomi). b. Ketahanan sosial apabila berorientasi nilai Agama, komunikasi berlangsung efektif, komitmen keluarga tinggi (pembagian peran, dukungan untuk maju, dan waktu kebersamaan keluarga, membina hubungan sosial dan mekanisme penanggulangan masalah. c. Ketahanan psikologis keluarga apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non fisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami terhadap istri.
Tabel . Rekapitulasi komponen-komponen ketahanan keluarga (family strength/ resilience. Sumber UU No. 52 Tahun 2009
UU No. 10 Tahun 1992
Chapman (2000) Pearsall (1996) NNFR (1995) Mc Cubbin (1998) Otto
Input Perkawinan sah; Nilainilai Agama
Komponen Proses Berwawasan ke depan; Ulet; Tangguh;Mengembangkan diri dan keluarga
Ulet; Tangguh. -
Jiwa berkorban (altruism) antara anggota keluarga Potensi dan kempuan individu/keluarga Ketahanan sumberdaya
-
Keluarga berfungsi; keakraban suami istri; Pengasuhan anak. Menghadapi tantangan hidup dan saat krisis; Keluarga berfungsi Strategi Koping dan Appraisal; Adaptasi positif Fleksibilitas peran; Pengasuhan; Komunikasi; Kemampuan minta bantuan
Output Sejahtera, sehat, maju, mandiri; Jumlah anak ideal; Bertanggung jawab; Hidup harmonis; Bertaqwa; Hidup mandiri; Sejahtera dan bahagia lahir dan batin; kondisi pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, spiritual Kondisi dinamis; Kemampuan fisik, material, psikis, mental, spiritual Anak-anak hormat pada orangtua -
Keluarga utuh; Ikatan emosi kuat; Saling menghormati; Pemenuhan kebutuhan spiritual; Berkembang; Mencintai; Mengerti;
36
Keluarga berfungsi; keakraban suami istri; Pengasuhan anak.
Komitmen Partisipasi aktif di masyarakat; Kuat fisik, ekonomi, sosialkemasyarakatan; Berbudaya. Terpenuhinya kebutuhan fisik (kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan serta terbebas dari masalah ekonomi) dan psikososial (pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami terhadap istri). Sejahtera, sehat, maju, mandiri; Jumlah anak ideal; Bertanggung jawab; Hidup harmonis; Bertaqwa; Hidup mandiri; Sejahtera dan bahagia lahir dan batin; kondisi pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, spiritual Kondisi dinamis; Kemampuan fisik, material, psikis, mental, spiritual Anak-anak hormat pada orangtua
-
-
Martinez (2003) -
Sunarti (2001)
UU No. 52 Tahun 2009
UU No. 10 Tahun 1992
Chapman (2000) Pearsall (1996) NNFR (1995) Mc Cubbin (1998) Otto
Sumberdaya fisik dan non fisik; Berorientasi nilai Agama,
Perkawinan sah; Nilainilai Agama
Manajemen keluarga, masalah keluarga, mekanisme penanggulangan komunikasi berlangsung efektif, komitmen keluarga tinggi (pembagian peran, dukungan untuk maju, dan waktu kebersamaan keluarga, membina hubungan sosial dan mekanisme penanggulangan masalah.
Berwawasan ke depan; Ulet; Tangguh;Mengembangkan diri dan keluarga
Ulet; Tangguh. -
Jiwa berkorban (altruism) antara anggota keluarga Potensi dan kempuan individu/keluarga Ketahanan sumberdaya
-
Martinez (2003)
-
-
Menghadapi tantangan hidup dan saat krisis; Keluarga berfungsi Strategi Koping dan Appraisal; Adaptasi positif Fleksibilitas peran; Pengasuhan; Komunikasi; Kemampuan minta bantuan
-
Keluarga utuh; Ikatan emosi kuat; Saling menghormati; Pemenuhan kebutuhan spiritual; Berkembang; Mencintai; Mengerti; Komitmen Partisipasi aktif di masyarakat; Kuat fisik, ekonomi, sosialkemasyarakatan;
37
Sunarti (2001)
Sumberdaya fisik dan non fisik; Berorientasi nilai Agama,
KESEJAHTERAAN KELUARGA (FAMILY WELL-BEING)
Manajemen keluarga, masalah keluarga, mekanisme penanggulangan komunikasi berlangsung efektif, komitmen keluarga tinggi (pembagian peran, dukungan untuk maju, dan waktu kebersamaan keluarga, membina hubungan sosial dan mekanisme penanggulangan masalah.
Bagian dari
Berbudaya. Terpenuhinya kebutuhan fisik (kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan serta terbebas dari masalah ekonomi) dan psikososial (pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami terhadap istri).
KETAHANAN KELUARGA (FAMILY STRENGTH/ RESILIENCE)
38
KOMPONEN
INPUT
Bertaqwa kepada Tuhan YME dan taat pada nilainilai/norma. Punya wawasan ke depan & wawasan gender. Mempunyai pengetahuan ilmu pengetahuan. Mempunyai semangat hidup untuk maju. Mampu akses terhadap sumberdaya dan informasi
KETAHANAN
PROSES Menjalankan fungsi-fungsi keluarga (keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi & pendidikan, ekonomi & pembinaan lingkungan). Punya manajemen sumberdaya keluarga dan manajemen ekonomi rumahtangga (manajemen waktu & pekerjaan, manajemen keuangan, mengolah stres, perencanaan jumlah anak). Melakukan kemitraan gender yang adil dan setara (pengambilan keputusan, pengelolaan sumberdaya, saling menghirmati dan membutuhkan). Mempunyai bonding yang kuat antar anggota keluarga, komunikasi dan interaksi yang baik. Saling berkomitmen untuk tujuan bersama.
KELUARGA
OUTPUT
Sejahtera fisik. Sejahtera sosial. Sejahtera ekonomi. Sejahtera psikologi/mental. Sejahtera spiritual.
OUTCOME/DAMPAK Berkarakter individu yang baik. Bahagia dan puas terhadap semua yang dimiliki dan dihasilkan oleh individu/keluarga. Memelihara kerukunan dan hidup harmonis dalam keluarga dan masyarakat. Mandiri secara sosial dan ekonomi. Hidup berkesetaraan dan berkeadilan dalam keluarga dan masyarakat. Kontribusi pada keluarga, masyarakat dan bangsa. Hidup berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat Keluarga sebagai sumber ketahanan sosial masyarakat Keluarga sebagai pilar pembangunan dan pondasi Bangsa
39
Dari berbagai rujukan yang ada, disusun Konsep Ketahanan Keluarga sebagai berikut: Konsep Ketahanan Keluarga dapat diilustrasikan sebagai bangunan rumah pada Gambar 1 sebagai berikut:
Bagan Komponen Ketahanan Keluarga Indonesia.
KETAHANAN KELUARGA INDONESIA
Ketahanan Sosial Psikologis
Ketahanan Sosial Budaya
Ketahanan Ekonomi
Ketahanan Fisik
Landasan legalitas, keutuhan keluarga dan kesetaraan gender
Ketahanan Keluarga mempunyai 5 komponen yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Landasan keluarga yang terdiri dari legalitas, keutuhan dan kesetaraan gender; Ketahanan Fisik; Ketahanan Ekonomi; Ketahanan Sosial Psikologis; Ketahanan Sosial Budaya.
Masing-masing komponen ketahanan tersebut terdiri dari beberapa variable. menggambarkan rincian dari masing-masing komponen Ketahanan Keluarga.
Matriks 1
40
Matriks 1. Komponen Ketahanan Keluarga No 1
2
Komponen Legalitas, Struktur dan kesetaraan gender
Ketahanan Fisik
Variable Legalitas perkawinan Legalitas anak
Indikator Akta Nikah
1
Akta Kelahiran
2
Keutuhan keluarga
Status kepala keluarga
3
Peran Ayah dan Ibu dalam keluarga Kesetaraan gender dalam keluarga
Alokasi waktu oleh Ayah dan Ibu
4
Kemitraan dalam manajemen keuangan keluarga
5
Perencanaan jumlah anak
6
Ketahanan pangan
Status Gizi Anggota Keluarga
7
Kualitas kesehatan
Status kesehatan anggota keluarga
8
Disabilitas pada anggota keluarga
9
Kepemilikan rumah Pembagian ruang
10
12
Pekerjaan
Punya penghasilan cukup Orangtua bekerja
Kepemilikan Tabungan
Punya tabungan uang
14
Kondisi rumah
3
Ketahanan Ekonomi
Penghasilan
No
11
13
Penjelasan Apakah suami dan istri menikah dengan bukti adanya akta nikah? Apakah semua anggota keluarga mempunyai akta kelahiran Apakah keluarga yang terdiri atas suami, istri dan anak masih tinggal bersama dalam ikatan keluarga? Apakah Ayah mengalokasikan waktu dengan anaknya secara rutin? Apakah suami dan istri saling menginformasikan keadaan keuangan keluarga dengan transparan dan merencanakan keuangan bersama? Apakah suami dan istri merencanakan jumlah anak yang diinginkan? Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai masalah kurang gizi? Apakah semua anggota keluarga mampu makan 3 kali sehari? Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai masalah penyakit parah/akut? Apakah ada anggota keluarga yang cacat baik cacat lahir maupun kecelakaan? Apakah rumah yang ditinggali adalah hak milik suami-istri? Apakah rumah yang ditinggali mempunyai dinding penyekat antar ruang tidur orangtua dan anak? Apakah orangtua mempunyai penghasilan minimal sebesar UMR? Apakah orang tua mempunyai pekerjaan tetap? Apakah keluarga mempunyai tabungan uang minimal sebesar 3 kali UMR? 41
Kepemilikan asset
Punya kepemilikan asset Punya asuransi
15
Tekanan ekonomi minimal
17
16
Apakah keluarga mempunyai aset selain rumah senilai 3 kali UMR? Apakah salah satu anggota keluarga mempunyai minimal satu jenis asuransi? Mampu membayar tagihan listrik setiap bulannya Mampu membayar biaya pendidikan anak-anaknya setiap bulannya
4
Ketahanan Sosial Psikologi
Konflik keluarga atau kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga
18
Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan orang tua Anak drop out sekolah Pelanggaran hukum oleh anggota keluarga
19
22
Perawatan Orangtua yang Lanjut Usia Komunikasi dengan Kinships
Kesertaan dalam kegiatan masyarakat di sekitar keluarga Keluarga merawat orang tua yang lansia Komunikasi dengan kinship
Pelaksanaan Ibadah
Melaksanakan ibadah
25
Drop out sekolah Pelanggaran hukum oleh anggota keluarga 5
Ketahanan Sosial Budaya
Partisipasi dalam dimasyarakat
20 21
23 24
Apakah anggota keluarga pernah bertengkar serius dengan anggota keluarga lainnya yang mengarah pada kekerasan? Apakah kedua orangtua mempunyai pendidikan minimal sekolah menengah pertama? Apakah anak-anak ada yang drop out sebelum lulus SMP? Apakah anggota keluarga pernah terlibat pelanggaran hukum?
Apakah minimal salah satu anggota keluarga berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat di sekitarnya? Apakah suami dan istri merawat dan memelihara orangtuanya yang sudah lanjut usia? Apakah suami dan istri berkunjung/berkomunikasi secara rutin dengan keluarga besarnya? Apakah suami dan istri melakukan kegiatan budaya/agama secara rutin?
42
Berdasarkan konsep Ketahanan Keluarga ini, dilakukan asesmen untuk melihat situasi pelaksanaan pembangunan pada tahap berikutnya. Focus Group Discussion(FGD) untuk melihat faktor yang paling berpengaruh telah diadakan. FGD ini menyertakan pakar-pakar keluarga dari kalangan akademisi sebagai pakar peserta FGD. Mereka berasal dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Jakarta, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Keluarga dan Universitas Pendidikan Indonesia. FGD menggunakan metode analisis kualitatif dan memberikan hasil yang menunjukkan bahwa semua faktor hampir sama pentingnya. Di dalam analisis ini, faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan keluarga diuji untuk melihat besarnya pengaruh dan ketergantungannya atas faktor lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa semua faktor berada pada kuadran I yang merupakan kuadran yang menempatkan faktor yang paling berpengaruh dan mempunyai tingkat ketergantungan yang juga tinggi. Gambar di bawah ini menunjukkan posisi faktor-faktor di dalam persilangan kuadran.
43
2.
Perbandingan konsep ketahanan keluarga dengan amanat Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Di dalam Undang-Undang no. 9 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga didefinisikan sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Definisi ini juga menjadi dasar dalam penyusunan konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Jika dicermati kembali arahan Undang-Undang tentang cara pelaksanaan upaya untuk mencapai ketahanan dengan kesejahteraan keluarga, maka ada beberapa hal yang dalam konsep ketahanan keluarga lebih besar dari apa yang digariskan dalam Undang-Undang tersebut. Jika keduanya disandingkan, beberapa hal tersebut dapat dilihat pada matriks berikut ini. Matriks sandingan antara ketetapan Undang-Undang no. 52 tahun 2009 dengan Komponen ketahanan keluarga Ketetapan Undang-Undang no. 52 tahun 2009
Pasal 3, butir g: keadilan dan kesetaraan gender
Terjemahannya dalam Konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga -
Komponen dasar yaitu kesetaraan gender dalam keluarga
-
Dasar legalitas keluarga yaitu perkawinan yang sah menurut peraturan perUndangUndangan
-
Dasar legalitas berupa kepemilikan Akta Kelahiran
-
Komponen dasar yaitu struktur keluarga
Pasal 5: hak penduduk untuk membentuk keluarga dan melanjutkanketurunan melalui perkawinan yang sah
hak penduduk untuk mendapatkan identitas kewarganegaraan
hak mendapatkan perlindungan untuk mempertahanakkan keutuhan , ketahanan dan kesejahteraan keluarga Pasal 5: Hak untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh dan berkembang
Semua komponen ketahanan keluarga diperlukan untuk peningkatan kualitas anak
44
Hak untuk membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan membimbing kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai dewasa
Pasal 48: a. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak Pasal 5: Hak untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh dan berkembang
Hak untuk membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan membimbing kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai dewasa
Semua komponen ketahanan keluarga diperlukan untuk peningkatan kualitas remaja. Komponen ketahanan sosial menjadi penting, karena pada masa anak-anak dalam keluarga mencapai usia remaja, sudah melalui tahapan dan berada dalam ketahanan fisik dan ekonomi
Pasal 48 b. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan tentangkehidupan berkeluarga Pasal 5
-
Hak hidup di dalam tatanan masyarakat yang aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia
Ketahanan Sosial budaya yang mencakup perawatan orang tua Lansia
-
Ketahanan fisik yang berkaitan dengan kesehatan anggota keluarga
Pasal 48 c. Peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produkstif dan berguna bagi keluarga dan 45
masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga Pasal 5 secara keseluruhan
Semua komponen ketahanan keluarga terkait dengan pemberdayaan keluarga rentan
Pasal 48 d. Pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya Pasal 5 Hak hidup di dalam tatanan masyarakat yang aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia
-
Ketahanan sosial budaya
-
Ketahanan sosial psikologi
Pasal 48 e. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga Pasal 5
Ketahanan ekonomi
Hak untuk memperoleh kebutuhan pangan, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, keterampilan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi penduduk rentan
Pasal 48 f. Peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi melalui usaha mikro keluarga Pasal 5 Hak untuk memperoleh kebutuhan pangan, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, keterampilan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi penduduk rentan
Ketahanan ekonomi Ketahanan sosial budaya
Hak untuk memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan 46
bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya
Hak untuk memperjuangkan pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun kelompok untuk membangun bangsa
Pasal 48 g. Pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin Pasal 5 seluruhnya
Semua komponen terkait dengan upaya ini
Pasal 48 h. Penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga
3.
Identifikasi kegiatan pembangunan dengan sasaran keluarga dan Permasalahannya
Identifikasi dilakukan melalui pengumpulan data dari Kementerian dan Lembaga serta kajian dari data sekunder yaitu informasi yang dihimpun dari website Kementerian dan Lembaga serta bahan informsai berupa laporan-laporan dan pertemuan dengan pihak Kementerian dan Lembaga Pemerintah Dari identifikasi ini dapat dihimpun informasi tentang pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sasarannya keluarga atau yang dimaksudkan untuk memperkuat keluarga. Ringkasan dari informasi yang dihimpun dicantumkan dalam matriks berikut ini.
47
Matriks 2. Kegiatan pembangunan yang sasarannya atau ditujukan untuk keluarga.
KEMENT/LEMB PROGRAM DAN KEGIATAN I. KEMENKO KES. RAKYAT. A. Program Ketahanan Keluarga
TUJUAN
SASARAN
Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak.
Sasaran akhir: Keluarga dengan Sasaran antara sebagai 1. berikut: 2.
1. Rapat Koordinasi ( 2 kl di Pusat, 2 kl di Prov).
Mengkoordinasi kan pelaksanaan kegiatan
2. Workshop
Menyusun dan merancang pelaksanaan kegiatan.
3. Forum Group Discussion (FGD)
Menyamakan persepsi tentang kegiatan kegiatan ketahanan keluarga
1. K/L dibawah koordinasi Kemenko Kesra 2. Unit Kerja Kesra tingkat Provinsi. 1. K/L dibawah koordinasi Kemenko Kesra 2. Unit Kerja Kesra tingkat Provinsi 1. K/L dibawah koordinasi Kemenko Kesra 2. Para pakar
4. Analisis Data Sekunder.
Menyediakan data dan info yang
Data tentang keluarga dan
PERMASALAHAN
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
DUKUNGAN YANG DIPERLUKAN
Internal: 1. Membangun & 1. Komitmen dan 1. SDM mengembangk dukungan dari terbatas an lintas sektor. 2. Dana jejaring&koordi terbatas nasi 2. Dukungan dari External: Lembaga / 1. Data 2. MengembangOrgasasi terbatas kan system Masyarakat Sipil. 2. Peserta data sasaran Rakor yg operasional berganti2. program 1. Peserta Rakor yang selalu bergantiganti dan tidak berkesinambung an
Keterbatasan Data yang
48
5.Monitoring dan Evaluasi ( 2 kl ke Daerah / Provinsi). 6. Penyusunan Laporan
II. KEMENTERIAN KOPERASI DAN UMKM. A. Program Pemberdayaa n Koperasi dan UMKM.
1.
Bantuan Dana Pengembanga n Koperasi Wanita/Perka sa, Perkotaan dan Perdesaan.
akurat & terkini guna mendukung penyusunan program dan sasaran yg tepat.
pembanguna n ketahanan keluarga.
Memastikan agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan yang di rencanakan. Menyediakan laporan pelaksanaan keg.pembangunan ketahann keluarga berikut kendala yang dihadapi.
Pelaksanaan keg. Pembangunan ketahanan keluarga. Pelaksanaan kegiatan pembanguna n ketahanan keluarga Kemenko Kesra.
1. Meningkatkan akses pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan utk mengembangka n usaha produktif dan pemasaranprod uk Koperasi dan UMKM.
Pelaksanaan Otonomi Daerah, dimana Unit Keluarga kerja di Daerah bukan dengan vertikal dg KUMKM Sasaran berimplikasi antara thd koordinasi dan tidak sebagai optimalnya berikut: sinergitas dalam pelaksanaan Program dan Kegiatan Koperasi dan UMKM. 1. Koperasi 1. Koordinasi Wanita pelaksanaan 620 unit kegiatan 2. Koperasi antara Pusat Perkotaan dan Daertah 350 unit lambat. 3. Koperasi 2. Banyaknya Perdesaan Dinas di
Mengkoordinasi kan pelaksanaan kegiatan
Sasaran akhir:
2.
diolah sehingga tidak memenuhi kebutuhan program dan kegiatan.
Memperluas jangkauan dan meningkatkan skema kredit bagi UMKM dengan syarat ringan dan tidak memberatkan untuk mengembangkan usaha dan permodalan UMKM
1.Meningkatkaifitas koordinasi kebijakan lintas sektor di Pusat dan Daerah. 2.Singkronisasi program lintas sektor dari tingkat pusat dan daerah. 3.Sinergi kegiatan antar lintas sektor di Pusat dan Daerah.
1. Peningkatan modal UMKM melalui jasa financial formal dan informal, skema penjaminan,
49
350 unit.
III. BKKBN PUSAT. A. Program Pemberdayaa n dan Peningkatan Ketahanan Keluarga.
Meningkatkan cakupan program pengasuhan dan pembinaan keluarga yang mempunyai Balita, anak, remaja, lansia & Generasi Berencana (Genre)
Sasaran 3. akhir: 1. Keluarga dg bayi 4. dan balita 5. 2. Keluarga yg punya anak & Balita. 3. Keluarga6. yg 7. mempunyai lansia. 4. Remaja 8. 10-24 9. tahun.
Daerah yang nomenklatur nya tdk membidangi KUMKM, shg Tusinya tdk fokus. 3. Kualitas SDM dan Manajemen Koperasi masih terbatas dan belum optimal.
leasing dan modal ventura menuju system keuangan terbuka. 3.Mengembangkan kemitraan antar UMKM dan antar UMKM dengan pengusaha besar di Dalam dan Luar Negeri 4. Memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang professional 5. Meningkatkan Diklat ketrampilan kewirausahaa n, akuntansi dan manajemen dan administrasi bagi UMKM.
1. Komitmen Pemda yang rendah. 2. Jumlah dan ratio petugas lapangan yg tidak memadai 3. Dukungan lintas sector yang tidak optimal 4. Dukungan dana yang
50
5. Keluarga Pra KS 6. Keluarga10. KS I 11.
12. 13.
14. 1. Pengasuhan dan Pembinaan Balita melalui BKB.
2.
Peningkatan Ketrampilan Keluarga yang mempunyai anak dan remaja.
tidak memadai 5. ketersediaan kader yang tidak mencukupi dan tidak merata 6. Media Pelatihan dan Penyuluhan yang masih terbatas.
Meningkatkan kegiatan dan cakupan keluarga yg mempunyai Balita.
Keluarga yang mempuny ai Balita.
1. Ketersedia 2. Pengasuhan an kader dan Pembinaan BKB yang Balita melalui tidak BKB. mencukup i dan tidak merata. 2. Kurangnya pelatihan bagi kader BKB.
Meningkatkan kegiatan dan cakupan keluarga yg mempunyai Balita.
Meningkatkan Ketrampilan Keluarga yang mempunyai anak dan remaja.
Keluarga yang mempuny ai Anak dan Remaja
1.
Meningkatkan Ketrampilan Keluarga yang mempunyai anak dan remaja.
2.
3. Peningkatan ketrampilan keluarga yang mempunyai Lansia.
Meningkatkan ketrampilan keluarga yang mempunyai Lansia.
Keluarga yang mempuny ai Lansia
Ketersedi 3. Peningkatan aan kader Ketrampilan yang Keluarga yang terampil mempunyai tidak anak dan mencukup remaja. i dan tidak merata. Kurangny a pelatihan ketrampil an bagi kader.
1. Ketersedia 4. Peningkatan an kader ketrampilan yang keluarga yang terampil mempunyai tidak Lansia. mencukup i dan tidak merata.
Meningkatkan ketrampilan keluarga yang mempunyai Lansia.
51
2.
4.
Pemberdayaa n dan Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS..
5. Konsultasi, konseling dan peningkatan kemampuan remaja melalui kegiatan Pusat Informasi dan Konseling (PIK.)
Meningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS.
Tersedianya pelayanan Konsultasi, konseling dan Meningkatnya kemampuan remaja melalui kegiatan Pusat Informasi dan Konseling (PIK.)
Keluarga Pra sejahtera dan Sejahtera I
Remaja usia 10-24 tahun atau Generasi Berencana (Genre)
Kurangnya pelatihan ketrampil an bagi keluarga lansia. -
1. Rendahnya ketrampilan Keluarga Pra sejahtera dan sejahtera I 2. Kurangnya pelatihan ketrampil an bagi keluarga Pra KS da KS I 3. Keterbata san dana untuk penyediaan modal pasca pelatihan. 1.
2.
3.
Keterbatasan sarana konseling dan konsultasi Jml konselor dan konsultan Genre yang terbatas Kurangnya pelatihan
5.
Pemberdaya an dan Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS..
6. Konsultasi, konseling dan peningkatan kemampuan remaja melalui kegiatan Pusat Informasi dan Konseling (PIK.)
Meningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS.
Tersedianya pelayanan Konsultasi, konseling dan Meningkatnya kemampuan remaja melalui kegiatan Pusat Informasi dan Konseling (PIK.)
52
4.
6.
Pemberdayaan dan Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS..
Meningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS.
konseling dan konsultasi bagi kader Ketersediaan dana pelatihan konseling & konsultasi bagi kader yang terbatas.
Keluarga Pra sejahtera dan Sejahtera I
7. Rendahnya ketrampilan Keluarga Pra sejahtera dan sejahtera I 8. Kurangnya pelatihan ketrampil an bagi keluarga Pra KS da KS I 9. Keterbata san dana untuk penyediaan modal pasca pelatihan.
7.
Pemberdaya an dan Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS..
Sasaran 15. akhir: 1. Keluarga Rentan 2. Wahana
1. Pemahaman yang masih rendah dan terbatas tentang peran
1.Meningkatkan peran keluarga dan petugas sosiak Kecamatan dan
Meningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera melalui UPPKS.
IV. KEMENTERIAN SOSIAL. B.
Program Pemberdayaa n Keluarga dan Kelembagaan
Meningkatkan peran keluarga sebagai basis pelayanan kesejahteraan
1. Peraturan per
undangundangan dan Pedoman Kerja serta Juknis
53
Sosial.
social.
Kesos Berbasis Masyarak 16. at 7. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3).I 17. 18. 19.
keluarga dan masyarakat. 2. Jangkauan lokasi dan sasaran yang luas dengan kondisi geografis yang berat. 3. Lemahnya SDM Daerah. 4. Komitmen Daerah yang masih rendah.
pekerja social dalam pelayanan kesejahteraan soaial. 2.Meningkatkan kapasitas dan kemampua serta kemauan Lembaga lokal Masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial. 3.Menjadikan LK3 dan WKSBM sebagai media penyelenggara dan pelayanan kesejahteraan social berbasis keluarga..
pelaksanaan kegiatan. 2.Kerjasama lintas sektor / dinas terkait. 3.Komitmen dan dukungan nyata Pemerintah Pusat serta Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bentuk Teknis maupun anggaran.
V. KEMENTERIAN KESEHATAN RI C.
Program Desa Siaga
Meningkatkan akses pelayanan kehamilan, persalinan, bayi baru lahir dan KB.
Seluruh 20. Keluarga dengan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir dan peserta KB.
1. Penyaluran dana terhambat, karena harus masuk ke Kas Pemerintah Daerah.
1.Pimpinan Daerah mengeluarkan kebijakan terhadap mekanisme pembayaran claim.
1Kebijakan berupa penyusunanPermen kes no.2562 tahun 2012. Serta Penyusunan Perda tentang Jampersal. 2.Kebijakan tentang pemerataan SDM berkualitas difasilitas pelayanan kesehatan 3.Dukungan anggaran untuk merujuk pasien 4.sosialisasi tentang masuknya Jampersal dalam BJPS tahun 2014.
54
2.Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi.
3.Forum Koordinasi Teknis Perlindungan Kesehatan Anak.
3.Forum Koordinasi Pelayanan Perlindungan Kesehaan Anak
Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir melalui peningkatan peran aktif keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang aman dan persiapan menghadapikomplik asi.
1.Pengelola Program KIA Kabupaten/ Kota. 2. Provider KIE di Puskesmas, meliputi Dokter, Bidan dan Perawat.
1.Pemantaua n dan tindak lanjut Dinas Kesehatan terkait pelaksanaan P4K dilapangan belum optimal 2.Masih banyak pengisian stiker yang belum sesuai dengan prosedur pada pdoman. 3.Data Desa yang melaksanaka n P4K dengan stiker sulit diperoleh.
1.Kerjasama dengan lintas Program dan Lintas Sektor terkait
1.Mengetahui isu anak 2.inventarisasi kegiatan yang dilakukan 3.Adanya komitmen dan kesepakatan ttg mekanisme koordinasi program perlindungan kesehatan anak.
1.Isu tentang akan yang berkembang dimasyarakat
1.Koordinasi lintas program yang sulit
2.Kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan.
2.Adanya organisasi profesi
1.Pertemuan antar Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan coordinator Pusat
1.Mengetahui isu pelayanan perlindungan kesehatan anak 2.inventarisasi
1.Isu tentang akan yang berkembang dimasyarakat
3.Komitmen tentang mekanisme koordinasi perlindungan kesehatan anak
3.Persatuan orang tua dengan kecacatan tingkat pusat dan provinsi.
1.Koordinasi lintas program yang sulit
2.Alokasi anggaran Dekon Kesehatan Ibu unuk pelaksanaan program P4K.
2.Pertemuan Kabupaten/Kota di koordinasikan oleh Provinsi.
1.Pertemuan antar Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan coordinator Pusat
1.Perda untuk komitmen Daerah. 2.Pelatihan Kader Kesehatan Ttg P4K serta orientasi tentang pengenalan tanda tanda bahaya dalam kehamilan, persalinan dan perannya dalam P4K.
1.Advokasi untuk mendapat dukungannkebijaka n melalui Perda 2.Pemerataan distribusi SDM kesehatan. 3.Peningkatan kapasitas SDM kesehatan 4.Sosialiasi kepada seluruh lapisan masyarakat tentang perawatan anak dengan disabilitas.
1.Pertemuan antar Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan coordinator Pusat
55
Lintas Program dan Lintas Sektor. ‘
4.Penyusunan Modul Pelayanan Kesehatan Anak dengan disabilitas untuk orang tua dan tenaga kesehatan.
kegiatan yang dilakukan 3.Adanya komitmen dan kesepakatan ttg mekanisme koordinasi program perlindungan kesehatan anak.
2.Kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan. 3.Komitmen tentang mekanisme koordinasi pelayanan perlindungan kesehatan anak
2.Adanya organisasi profesi
Menyediakan modul Pelayanan Kesehatan Anak dengan disabilitas
Orang tua dan Tenaga Kesehatan
1.Rendahnya pemahaman orang tua dan tenaga kesehatan tentang Pelayanan Kesehatan anak dengan disabilitas.
3.Persatuan orang tua dengan kecacatan tingkat pusat dan provinsi.
2.Terbatasnya jumlah modul ttg pelayanan kesehatan anak dengan disabilitas. 5.Penyusunan Media KIE Paket Penyuluhan Dampak KIA
Menyediakan Media KIE Paket Penyuluhan Dampak KIA
Orang tua dan Tenaga Kesehatan
Rendahnya pemahaman orang tua dan tenaga kesehatan tentang Dampak KIA. 2.Terbatasny a jumlah Media KIE paket Penyuluhan Dampak KIA.
2.Pertemuan Kabupaten/Kota di koordinasikan oleh Provinsi.
1.Pelatihan orang tua dan tenaga kesehatan tentang pelayanan kesehatan anak dengan disabilitas.
2.Pertemuan Kabupaten/Kota di koordinasikan oleh Provinsi.
1.Komitmen dan dukungan kebijakan dan Perda Pemerintah Daerah 2. Dukungan anggaran yang memadai.
2.Menyediakan Modul pelayanan kesehatan anak dengan disabilitas
1.Pelatihan orang tua dan tenaga kesehatan tentang KIA 2.Menyediakan Media KIA Paket Penyuluhan Dampak KIA
Komitmen dan dukungan kebijakan dan Perda Pemerintah Daerah 2. Dukungan anggaran yang memadai.
56
VI. PEMBANGUN AN KESEJAHTERA AN KELUARGA (PKK) D. Program Gerakan Pemberdayaa n dan Kesejahteraa n Keluarga.
Meningkatkan Pengetahuan, Kompetensi dan ketrampilan guna meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Seluruh 21. Keluarga dalam masyarakat di Pedesaan dan Perkotaan
22.
23.
24.
1.Pendidikan Kebangsaan dan Belanegara
Meningkatkan pemahaman bahwa Keluarga mempumyai kewajiban membela Negara dari ancaman ekternal dan Internal demi mempertahankan keutuhan dan
Keluarga dan Kader PKK.
1.Pemahaman yang masih rendah dan terbatas tentang peran keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan. 2.Rendahny a kualitas SDM dalam keluarga 3. Motivasi Keluarga utk meningkatkan kualitasnya rendah. 4. Terbatasnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
1.Meningkatkan peran keluarga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga.. 2.Meningkatkan kapasitas SDM keluarga utk meningkatkan kesejahteraan keluarga.. 3.Meningkatkan motivasi keluarga utk meningkatkan kuslitas hidup disegala bdg. 4.Meningkatkan kesempatan keluarga utk meningkatkan kualitasnya.
1.Peraturan per undang-undangan dan Pedoman Kerja serta Juknis pelaksanaan kegiatan. 2.Kerjasama dengan Pemerintah dan LM lain untuk meningkatkan kapasitas SDM. 3.Komitmen dan dukungan Pemerintah Pusat, Prov & Kab/Kota utk meningkatkan motivasi dan kesempatan bg keluarga utk meningkatkan kualitasnya.
Masih banyak keluarga dan kader PKK yang tidak tahu masalah kebangsaan dan bela Negara dan
(1) Pendidikan
Komitmen dan dukungan Pemerintah , Dunia usaha dan Lembaga Masyarakat di segala tingkatan melalui program pendidikan dan pelatihan tersebut.
ttg nilai2 kebangsaan dan bela Negara 2.Sosialisasi ttg nilai2 Kebangsaan dan bela Negara itu kewjiban
57
kesatuan bangsa.
2.Sosialisasi KDRT
3.Pembinaan dan Bimbingan Lansia
Menghapuskan tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui pencegahan, penanganan dan rehabilitasi korban tindak kekerasan.
Meningkatkan kualitas Lansia agar mereka masih berkotribusi dalam pembangunan & menunjukkan bhw mereka masih berguna.
Keluarga dan Kader PKK.
Keluarga dan Kader PKK.
menganggap masalah kebangsaan dan bela negara itu urusan Pemerintah dan Negara saja.
seluruh masyarakat termasuk keluarga.
KDRT ( dengan mayoritas korbannya itu perempuan dan anak2) oleh sebagian besar keluarga merupakan hal / tindakan yg dibenarkan, sebagai akibat dari budaya patriarkhi dimana kaum lakilaki sangat dominan.
1.Peningkatan pemahaman ttg KDRT melalui Pendidikan dan Pelatihan.
Sebagian besar Lansia merasa tidak produktif dan merasa tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarak at ber bangsa dan bernegara.
Pendidikan dan Pelatihan dan sosialisasi bagi Lansia tentang potensi dan peran mereka dalam pembangunan.
2.Sosialiasi bahwa KDRT bukan merupakan masalah internal keluarga tapi juga masalah masyarakat. 3..Keluarga dan masyarakat punya kewajiban untuk mencegah dan menanggulanginy a serta melaporkannya kepada yang berwajib.
IDEM / SDA
IDEM / SDA
58
4.Sosialisasi Gender bagi Keluarga dan Masyarakat
Meningkatkan pemahaman ttg Gender dan mewujudkan kesetaraan gender dalam kehidupan dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Keluarga dan Kader PKK.
Sebagai dampak atau akibat budaya patriarkhi, maka dominasi laki-laki dalam keluarga sangat kuat, sehingga kaum perempuan kerap atau selalu dipinggirkan dan menjadi korban tindak kekerasan dan perlakuan diskriminatif lainnya atau dengan kata lain tidak ada kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga..
Pendidikan dan Pelatihan dan sosialisasi bagi bagi keluarga tentang Konsep Gender dan Kesetaraan Gender dan implementasinya dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
5.Capacity building bagi keluarga dan kader PKK
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keluarga dibidang pendidkan, koperasi, kesehatan dan usaha ekonomi produkti dengan menggunakan produk local dan tradisional di Indonesia.
Keluarga dan Kader PKK.
Masih rendahnya pengetahua n dan ketrampilan keluarga di berbagai bidang pembangun an seperti dibidang pendidkan, koperasi, kesehatan dan usaha ekonomi produkti
Pendidikan dan Pelatihan dan sosialisasi bagi bagi keluarga tentang koperasi, kesehatan dan usaha ekonomi produkti dengan menggunakan produk local dan tradisional di Indonesia.
a. Pelatihan ketrampilan keluarga b. Pembanguna n dan pengembanga n koperasi. c. Pendidikan Ketahanan
IDEM / SDA
59
Pangan, rumah sehat, aman dan layak huni d. Sosialisasi penggunaan produk tradisional /dalam negeri.
dengan menggunaka n produk local dan tradisional di Indonesia.
Dari hasil survey dan dari hasil pertemuan lintas sektor, dapat dikenali masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sasarannya adalah keluarga, yaitu sebagai berikut:
(1) Konsep tentang Keluarga dan pendekatan keluarga Sudah banyak kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk kesejahteraan keluarga maupun individu di dalamnya, namun konsep tentang Keluarga, pendekatan keluarga dan bagaimana keluarga harus berprestasi sehingga ada kemajuan yang didapat dari waktu ke waktu. Saat ini sudah ada bantuan di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi, khususnya untuk keluarga yang miskin. Namun sampai saat ini belum ada konsep bagaimana keluarga-keluarga ini akan berubah kondisinya dari waktu ke waktu. Dengan banyaknya bantuan, maka seharusnya keluarga dapat berubah keadaannya menjadi lebih baik. Diharapkan mereka akan dapat menjadi mandiri dan mempunyai pendapatan yang lebih baik, tingkat kesehatan yang lebih baik serta tingkat pendidikan yang lebih baik pula. Namun demikian sampai saat ini Demand Side dari pemberian bantuan-bantuan untuk keluarga miskin belum ada. Sehingga ukuran Outcometidak ada dan tidak dapat diukur bagaimana kemajuan mereka setelah adanya berbagai program. Program yang ada lebih berperspektif Supply Side, dengan senantiasa memperbaiki layanan bagi masyarakat. Selain itu pelaksana progam belum memahami dengan baik tentang konsep keluarga dan mengapa keluarga menjadi sasaran.
(2) Cakupan Program Cakupan program seringkali dirasakan masih terbatas, dibandingkan dengan keluarga yang membutuhkan. Anggaran yang dialokasikan tidak dapat menjangkau semua kebutuhan.
60
(3) Kebijakan Pemahaman tentang “Keluarga” masih sangat terbatas. Kepentingannya mengapa sasarannya adalah keluarga belum dipahami dengan baik. Sehingga pada tingkat pelaksana, Keluarga tidak dilihat sebagai unit tolok ukur. Komitmen Pemerintah Daerah dirasakan belum seperti yang diharapkan. Seringkali kebijakan pelaksanaan di daerah untuk program yang ditetapkan di tingkat nasional belum ada. Hal ini sering menghambat pelaksanaan kegiatan yang disalurkan dari tingkat nasional ke tingkat pelaksanaan di Kabupaten/Kota. Pada tingkat Provinsi, masih ada pemahanan bahwa kegiatan disalurkan langsung ke Kabupaten/Kota tanpa kendali Provinsi, sehingga seringkali provinsi tidak merasa “memiliki” dan kegiatan dianggap sebagai kegiatan Pusat.
(4) Kelembagaan Kualitas dan kuantitas SDM pelaksana dirasakan belum memadai dibandingkan dengan kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan. Misalnya jumlah kader dan jumlah pendamping usaha keluarga. Kadang-kadang kelembagaan di daerah, tugas dan fungsinya atau nomenklaturnya tidak mencakup kegiatan yang disalurkan ke lapangan. Hal ini kadang membuat kegiatan yang disalurkan ke daerah tidak mempunyai mitra kerja pelaksananya. Data penerima manfaat kegiatan seringkali tidak memadai, sehingga dapat menimbulkan kesulitan penyaluran kegiatan atau saaran yang kurang tepat.
(5) Mekanisme Kerja Koordinasi pada tingkat nasional maupun daerah masih belum optimal. Metode pelaksanaan kadang-kadang tidak tepat. Pedoman pelaksanaan tidak selalu dimiliki oleh pelaksana. Kadang pelatihan belum ada atau buku pedoman tidak ada. Mekanisme pengumpulan data seringkali tidak dipahami.
Untuk melihat faktor mana yang paling berpengaruh, telah diadakan Focus Group Discusiion(FGD). Dari analisis FGD ini tampak bahwa semua faktor dianggap mempunyai tingkat pengaruhyang hampir sama atau sama pentingnya. Selama ini memang belum banyak pengalaman tentnag pelaksanaan pembangunan keluarga dalam sebuah konsep yang utuh. Tiap Kementerian dan Lembaga melaksanakan kegiatan secara sendiri-sendiri dan tidak dalam sebuah kesatuan yang utuh dilihat dari konsep keluarga sebagai sasaran pembangunan. Hal ini yang tampaknya menjadi alasan, mengapa semua faktor dianggap mempunyai pengaruh yang sama besarnya. Gambar di bawah ini memberikan ilustrasi tentang tingkat pengaruh faktor-faktor pada ketahanan keluarga.
61
Hasil analisis faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan yang sasarannya keluarga
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Komitmen daerah yang belum baik Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1,40
SDM pelaksana terbatas kuantitas dan kualaitasnya Kelembagaan daerah ada yg tidak mencakup fungsi pelaksanaan prog nas Koordinasi lintas Kebijakan daerah belum mendukung kementerian dan SKPD belum maksimal
1,20
1,00 Data penerima manfaat program tidak memadai
0,80
Pengaruh
Metode yang digunakan belum efektif Data penerima program tidak memadai
Pemahaman definisi keluarga dan kepentingannya dalam program
0,60
0,40 Program langsung ke kab tanpa mll provinsi
0,20
-
4.
0,20
0,40
0,60
0,80
Ketergantungan
1,00
1,20
Isu dan masalah yang dihadapi keluarga saat ini.
Informasi tentang masalah yang dihadapi keluarga saat ini juga dihimpun dari para pemerhati keluarga. Para pemerhati ini berasal dari Lembaga-lembaga Masyarakat yang bergerak di bidang keluarga, perlindungan perempuan dan perlindungan anak. Selain itu juga dari Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan(Komnas Perempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI). Informasi dari para pemerhati ini menunjukkan beberapa isu dan masalah yang dihadapi keluarga yaitu: (1) Peran Ayah dan Ibu serta Anak Ayah, Ibu dan Anak mempunyai peran dalam keluarga. Mereka mempunyai peran yang saling menunmendukung untuk kehidupan keluarga. Jika peran-peran ini tidak berjalan, maka kekuatan keluarga akan berkurang. Untuk itu, anggota Keluarga harus mengetahui peran-peran mereka, agar mereka dapat melaksanakannya. Jika di masa lalu peran keluarga besar(extended family) masih besar, saat ini peran itu semakin kecil. Keluarga semakin menjadi keluarga inti. Di dalam pelaksanaan peran ini, diperlukan kesetaraan 62
Ayah dan Ibu, dimana mereka mempunyai peran yang saling mendukung dan seimbang sehingga beban dan kebahagiaan tidak hanya berada pada Ayah atau Ibu, namun untuk semua. (2) Keutuhan keluarga Keutuhan keluarga merupakan bagian yang penting untuk memperkuat ketahanan keluarga. Keluarga yang tidak utuh mempunyai kerentanan yang lebih besar. Keluarga yang tidak utuh akan mempunyai kemampuan leih rendah untuk pemenuhan kebutuhan anggotanya, baik untuk anak-anak maupun orang tua. Pada mereka yang cerai mati, maka kebutuhan ekonomi bisa terpengaruh, demikian juga pemenuhan kebutuhan psikologis. Pada keluarga yang mempunyai sengketa pengasuhan anak pada perceraian, akan melemahkan ketahanan anggotanyanya karena masalah itu akan menghabiskan sumber daya dan mempengaruhi kondisi psikologis semua anggota keluarga. Akibat lain adalah kinerja anggota keluarga yang menurun dalam aktifitasnya di luar keluarga, pekerjaan, sekolah dll. (3) Komitmen pasangan Saat ini diidentifikasi adanya penurunan komitmen dari pasangan untuk keluarganya. Sering terjadi pertengkaran dan kekerasan karena komitment terhadap pasangan dan keluarga yang menurun. (4) Pengasuhan Orang tua mempunyai peran pengasuhan bagi anggotanya. Peran ini harus dilakukan oleh Ayah dan Ibu dalam keseimbangan yang baik. Dengan semakin besarnya peran Ayah dan Ibu di luar keluarga dalam kehidupan saat ini, maka peran dalam pengasuhan menjadi berkurang. Namun peran tersebut tidak bisa dihilangkan. Pengasuhan harus terus dijalankan. Disinilah, peran pengasuh pengganti menjadi penting. Pendidikan oengasuhan praktis belum ada kecuali para keluarga mencari pengetahuan sendiri baik dari orang tua mereka atau dari sumber lain. (5) Kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan sangat memperlemah ketahanan keluarga. Kekerasan merupakan bentuk dari ketidak harmonisan, pemahaman tentang peran anggota keluarga yang terbatas, dan
63
adanya masalah dalam komunikasi. Selain itu kekerasan juga dapat merupakan cerminan ketidak-siapan untuk membentuk keluarga. (6) Pertikaian dalam keluarga Apapun sebabnya pertikaian dalam keluarga mempengaruhi ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Pertikaian dapat diakibatkan oleh komunikasi yang tidak baik, dan dapat menjurus pada kekerasan. Pertikaian juga berkaitan dengan karakter, lingkungan maupun latar belakang anggota keluarga. (7) Komunikasi dalam keluarga Komunikasi dalam keluarga sangat penting untuk sebuah ketahanan keluarga. Komunikasi ini menjadi alat untuk menyambung rasa dari semua anggota keluarga. Komunikasi yang tidak baik, akan menyebabkan banyak masalah, karena keinginan dari anggota keluarga tidak dapat dipahami. (8) Lingkungan keluarga Lingkungan sangat mempengaruhi ketahanan keluarga. Hubungan sosial antar warga dirasakan semakin buruk, dan lingkungan yang buruk dapat menyebabkan meningkatnya depresi pada banyak orang, yang tentunya adalah anggota keluarga, dari keluarga manapun. Lingkungan yang baik juga akan memberikan pengaruh baik pada keluarga. Rasa tolong menolong juga akan memberikan perlindungan pad akeluarga dan anggotanya dari hal buruk yang dapat terjadi. Rasa tolong menolong dan gotong royong juga dirasakan semakin pudar. (9) Karakter yang baik Karakter yang baik diperlukan untuk membangun ketahanan keluarga. Karakter yang baik dari Ayah, Ibu dan Anak-anak diperlukan di dalam keluarga. Karakter yang baik ini dibentuk dalam keluarga maupun dalam lingkungan. Masyarakat dan lingkungan terdekat keluarga turut membentuk karakter dari anggota keluarga. (10) Lembaga konsultasi keluarga Banyak keluarga yang membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan masalahnya, tidak mendapatkan pelayanan dari lembaga manapun. Sementara peran keluarga besar 64
semakin kecil, pelayanan untuk penyelesaian masalah keluarga tidak memadai. Walaupun masyarakat mempunyai potensi yang besar untuk membantu keluarga, namun belum dimobilisasi. Pendidikan berkeluarga (11) Pendidikan berkeluarga Pendidikan berkeluarga dirasakan sangat terbatas. Pendidikan melalui penyuluhan bagi Calon Pengantin sebelum pernikahan di KUA sangat tidak efektif. Pendidikan yang dilakukanoleh Gereja-gereja lebih baik, karena jika tidak ada sertifikat, maka pernikahan biasanya akan ditunda.Pendidikan berkluarga melalui proses lain, praktis tidak ada. (12) Teknologi Informasi Teknologi informasi telah berkembang sangat maju dan sangat cepat. Hal-hal yang dibawa oleh teknologi informasi dapat mempengaruhi keluarga, jika keluarga tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikannya. Gagasan-gagasan kekerasan dan pornografi dapat dibawa oleh teknologi informasi tanpa dapat dicegah. Demikian juga tentang nilai-nilai baru dan konsumersime. Ketidak mempuan orang tua untuk mengendalikan, akan memberikan kerentanan yang lebih besar pada anak-anak. Di sisi lain, teknologi informasi juga dapat menjadi sumber pengetahuan dan banyak hal baik juga bisa didapatkan melalui teknologi informasi. Isunya kemudian adalah kemampuan untuk mengendalikan penggunaanya sehingga dapat menjadi hal yang positif untuk keluarga. Di balik semua itu adalah kemampuan dasar keluarga untuk dapat mengendalikan semua kemajuan yang dapat menjadi tantangan sekaligus dukungan untuk kehidupan keluarga. (13) Sistem penyelamatan anak pada keluarga yang bercerai Bagi keluarga yang bercerai, sistem penyelamatan belum ada. Banyak anak kemudian mengalami masalah karena perceraian ini tidak memberikan situasi yang mudah bagi mereka untuk menjalani situasi baru. Anak dapat menjadi korban, karena pertikaian yang terjadi akibat perceraian dan maslaah pengasuhan anak tidak diselesaikan dengan baik.
Informasi yang dapat digali dari para pemerhati keluarga ini sejalan dengan konsep ketahanan keluarga yang dikembangkan sebelumnya. Tidak ada hal yang luar biasa yang belum tercakup, kecuali tentang keberadaan dari kemajuan teknologi informasi. Kesimpulan dari bagian ini adalah bahwa konsep ketahanan keluarga yang disusun sudah mencerminkan apa yang 65
dihadapi keluarga. Selain itu komponen-komponen dalam konsep ketahanan keluarga itu, situasinya mengalami dinamika yang potensial melemahkan ketahanan keluarga. Analisis lebih jauh tentang mana yang paling dan lebih dominan dari berbagai faktor itu, hasil analisis dengan metode analisis kualitatif menunjukkan bahwa semua faktor mempunyai tingkat kepentingan yang hampir sama. Bagan di bawah ini menunjukkan bahwa semua faktor sama pentingnya. Seperti analisis yang dilakukan pada faktor-faktor dalam konsep yang disusun oleh para pakar, pada analisis dari para pemerhati keluarga dengan 13 variable atau faktor penentu ketahanan keluarga, hasilnya menunjukkan bahwa semua faktor hampir sama pentingnya, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan keluarga Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji menurut pendapat para pemerhati keluarga
1,40
Peran ayah, ibu dan Komitmen dalam anak Komunikasi dalam keluarga keluargakeluarga Keutuhan Kekerasan Pengasuhan Pertikaian dalam Karakter yang baik keluarga Pendidikan Lingkungan keluarga Sistem penyelamatanberkeluarga Pemanfaatan dan anak pada keluarga pencegahan dampak Lembaga yangkonsultasi bercerai era digital keluarga
1,20 1,00 0,80
Pengaruh 0,60 0,40 0,20 -
0,20
0,40
0,60 0,80 Ketergantungan
1,00
1,20
5. Situasi komponen ketahanan keluarga Situasi ketahanan keluarga tidak dapat digambarkan, karen akonsepnya belum digunakan dan penilaian belum dilakukan. Namun demikian, situasi beberapa komponen ketahanan keluarga dapat digambarkan dengan beberap adata yang dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, khususnya dari Susenas tahun 2012 dan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012. Beberapa gambaran tentang situasi komponen ketahanan keluarga digambarkan di bawah ini.
66
Beberapa gambaran tentang situasi komponen ketahanan keluarga Komponen ketahanan keluarga
Variable/Indikator
Data
Dasar legalitas, kesetaraan gender dan keutuhan keluarga
Kepemilikan Akte Nikah
Data tidak ada
Mempunyai Akta kelahiran
59% anak Balita mempunyai Akta Kelahiran
Prodil Anak 2012(Susenas 2011)
Keutuhan keluarga(suami dan istri)
2,8% bercerai
SDKI 2012
2,1 % ditinggal mati
Profil Anak 2012(Susenas 2011)
15% keluarga dikepalai oleh perempuan
Sumber Data
10% anak tidak tinggal dgn Ibu kandung Keseimbangan peran ayah dan ibu Ayah dan ibu menyediakan waktu untuk anak Kemitraan dalam manajemen keuangan
Data tidak ada
Penggunaan penghasilan istri: Ditentukan oleh istri: 65% Ditentukan bersama: 22-29 % Ditentukan oleh Suami: 5% Penggunaan penghasilan suami: Ditentukan oleh istri: 40-45%
67
Ditentukan bersama: 37-45% Ditentukan oleh suami: 13-14% Sekitar 65% penghasilan keluarga penggunaannya ditentukan oleh istri
Ketahanan fisik
Perencanaan Keluarga
Prevalensi kontrasepsi 62%
SDKI 2012
Ketahanan pangan
20% Balita dgn Berat Badan Kurang
SDKI 2012
63,7% persalinan ditolong bidan, dokter 17%, dukun 17%
SDKI 2012
Anak kurang gizi Kualitas kesehatan Anggota keluarga sakit berat Anggota keluarga mempunyai kecacatan
Ketahanan ekonomi
Kepemilikan rumah
Sekitar 60% SDKI 2012 mempunyai rumah dan tanah, separuhnya kepemilikan bersama
Kondisi rumah(sekat rumah)
Data tidak ada
Penghasilan keluarga
Rata-rata pengeluaran perkapita(2011) Rp. 638.000
SDKI 2012
Pekerjaan orang tua
Pengangguran sekitar 5%;
SDKI 2012
61% perempuan dan 99% laki-laki 68
mempunyai pekerjaan
Ketahanan Sosial Psikologis
Kepemilikan tabungan
Data tidak ada
Kepemilikan asset
• Kepemilikan assest: SDKI 2012 • 50% perempuan mempunyai rumah dan 41 % mempunyai tanah. Di desa kepemilikan ini lebih besar • Sekitar 68% laki-laki mempunyai rumah dan tanah. Separuhnnya merupakan kepemilikan bersama. • Sekitar 60% mempunyai rumah dan tanah, separuhnya kepemilikan bersama
Kepemilikan asuransi
60-69% keluarga tidak punya asuransi kesehatan
SDKI 2012
Kekerasan dalam rumahtangga
Sekitar 30-40% istri setuju suaminya melakukan kekerasan
SDKI 2012
Pendidikan orang tua
64% perempuan dan 60% laki-laki berpendidikan SMP atau lebih
SDKI 2012
Anak drop out sekolah
2,9% anak drop out
Profil Anak(Susenas 2011)
Anggota keluarga terlibat masalah
1,62 % anak kawin pada usia 10-17 th
Profil Anak(susenas
69
hukum
Ketahanan sosial budaya
6.
Jml anak nakal 54.712(2011)
Partisipasi dalam masyarakat
Data tidak ada
Merawat Orang tua Lansia
Data tidak ada
Komunikasi dengan kinship
Data tidak ada
Melakukan kegiatan ibadah
Data tidak ada
2011) Laporan KPP dan PA
Pemetaan Situasi masalah
Dari bagian-bagian kajian di atas telah dapat disusun: (1)Konsep tentang ketahanan keluarga; (2)Situasi komponen ketahanan keluarga; (3)Situasi pelaksanaankegiatan pembangunan yang ditujukan untuk keluarga; (4)Isu atau masalah yang dihadapi oleh keluarga; Berdasarkan informasi di atas disusunlah beberapa peta untuk menggambarkan situasi yang ada berdasarkan konsep ketahanan keluarga yang disusun.
(1)Konsep Ketahanan Keluarga Dalam bentuk Bagan, Ketahanan Keluarga dan Komponennya dapat digambarkan sebagai berikut:
70
Bagan Komponen dan variable Ketahanan Keluarga Pekerjaan Tetap
Penghasilan tetap
Kepemilikan Tabungan
Kepemilikan Assest
Kepemilikan Asuransi
Tekanan Ekonomi
KETAHANAN EKONOMI Akte Nikah Ketahanan Pangan Akta Kelahiran
KETAHANAN FISIK Kepemilikan rumah
Keutuhan Keluarga
keseimbangan peran ayah ibu
Kualitas Kesehatan
LEGALITAS, KEUTUHAN DAN KESETARAAN GENDER
Sekat ruangan dlm rumah
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Anggota Kel Terlibat mslh Hukum
KETAHANAN KELUARGA
KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGI
Perencanaan Keluarga
Anak drop out sekolah
kemitraan dalam manajemen keuangan
KETAHANAN SOSIAL BUDAYA merawat org tua Lansia
Partisipasi dalam masyarakat
menjalankan ibadah
Komunikasi dengan Kinship
(2)Peta Situasi Komponen Ketahanan Keluarga Tingkat ketahanan keluarga sendiri belum ada ukurannya. Namun sebagai gambaran yang dapat mewakili situasi ketahanan keluarga beberapa informasi dapat dikumpulkan. Jika digambarkan, situasi dari Komponen-komponen ketahanan keluarga adalah sebagai berikut.
71
Bagan situasi komponen ketahanan keluarga Pengangguran sekitar 5%; 61% perempuan dan Penghasilan 99% laki-laki mempunyai per kapita pekerjaan Rp. 638.000
60-69% tdk punya data
KETAHANAN EKONOMI
Prevalensi kontrasepsi 62%
20% Balita BB Kurang
Akta Nikah: Data tidak ada
63,7% persalinan ditolong bidan, dokter 17%, dukun 17%
KETAHANAN FISIK
50% Balita punya Akta Kelahiran
2,8% bercerai, 2,1 % ditinggal mati, 15% keluarga dgn KK perempuan, 10% anak tidak tinggal dgn Ibu kandung
Sekitar 60% mempunyai rumah dan tanah,
Kepemilikan Tabungan: tdk ada data
Sekitar 60% Kel mempunyai rumah dan tanah, LEGALITAS, KEUTUHAN DAN KESETARAAN GENDER
30-40% istri setuju suaminya melakukan kekerasan
Kondisi Rumah: tdk ada data 64% perempuan dan 60% laki-laki berpendidikan SMP atau lebih
KETAHANAN KELUARGA
KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGI
65% penghasilan keluarga penggunaannya ditentukan oleh istri
1,62 % anak kawin pada usia 10-17 th, Jml anak nakal 54.712(2011)
2,9% anak drop out
KETAHANAN SOSIAL BUDAYA
Merawat Orang Tua Lansia: Data tdk ada
Partisipasi Dalam Masyarakat: tdk ada data
Menjalankan Ibadah: tdk ada data
Komuniksai dengan Kinship: tdk ada data
(3) Peta kegiatan/program pembangunan yang ditujukan untuk keluarga Pengumpulan data tentang kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk keluarga dapat digambarkan dalam peta di bawah ini.
72
Bagan Program dan kegiatan untuk keluarga Program kel Harapan
PPNPM
Program KB
KUBE
BLT
UPPKS
Usaha Mikro
KETAHANAN EKONOMI
Kursus Calon Pengantin
BKB, BKR
Akta Kelahiran Gratis
JamKesmas, Jam Persal, Perlind Kes Anak
KETAHANAN FISIK Program Perumahan
BP 4-KUA, LK3-KemSos LEGALITAS, KEUTUHAN DAN KESETARAAN GENDER
Pendidikan Berkeluarga
Penyuluhan Kadarkum
PKDRT mel Keluarga
Pendidikan KKG mel Keluarga
KETAHANAN KELUARGA
KETAHANAN SOSIAL PSIKOLOGI Wajib Belajar-PPTA
Isbat NikahAkta Nikah Gratis
KETAHANAN SOSIAL BUDAYA
BKL
Prog Kes Lansia
Pendidikan Lingkungan Keluarga
Program Pengasuhan
Program Pembangunan Anak
Pada Bagan di atas, Ada kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan sampai saat ini. Selain itu kegiatan yang belum ada dari dari konsep ketahanan keluarga, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga membangun ketahanannya, juga digambarkan kotak dengan warna yang berbeda. Kegiatan pembangunan yang diperlukan adalah:
Program pembangunan anak atau pengintegrasian pemenuhan Hak Anak ke dalam program pembangunan Pendidikan Kesetaraan Gender melalui keluarga Upaya fasilitasi isbat Nikah atau pemberian Akta Nikah gratis 73
Pendidikan atau pengembangan lingkungan keluarga yang baik Program pengasuhan Program pendidikan berkeluarga Penanganan/pencegahan kekerasan melalui keluarga Peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha mikro
Dalam pelaksanaan kegiatan program, kendala yang dihadapi dapat digambarkan sebagai adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Konsep tentang Keluarga dan pendekatan keluarga Cakupan Program Kebijakan Kelembagaan Mekanisme Kerja
(4) Peta masalah dalam pelaksanaan kegiatan/program yang ditujukan untuk keluarga Masalah yang diidentifikasi dalam pelaksanaan kegiatan/program pembangunan yang ditujuan untuk keluarga dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan Peta masalah dalam pelaksanaan kegiatan/program yangditujukan bagi keluarga
konsep ketahanan keluarga belum ada
Kebijakan Nasional Pendekatan keluarga dalam Pembangunan belum ada
Program dan Kegiatan untuk mendukung Ketahanan Keluarga belum lengkap
kebijakan dan Kegiatan dengan sasaran keluarga masih terkotak-kotak
kebijakan pada tingkat daerah belum ada
Pelaksanaan kegiatan dengan sasaran keluarga belum optimal
Ketahananan Keluarga masih rendah
Kelembagaan(SDM, Kewenangan, Data) belum siap/blm optimal
mekanisme Kerja(Koordinasi, Prosedur) belum Optimal
74
7.
Model Kebijakan
Dari peta masalah yang digambarkan dan dengan menggunakan konsep Ketahanan Keluarga yang dikembangkan disusun Root Definition dari apa yang akan dikembangkan selanjutnya. Root Definition disusun dengan menggunakan metode CATWOE yang digambarkan sebagai berikut: Keluarga Indonesia sebagai sasaran pembangunan C(Customer) A(Actor)
Pemerintah Republik Indonesia(Kementerian PP dan PA dan Kementerian Dalam Negeri)
T(Transformation Process)
Penyempurnaan pelaksanaan pembangunan nasionaldengan pendekatan keluarga dalam rangka peningkatan kualitas dan prestasi SDM yang lebih efektif
W(weltanschauung)
Kualitas keluarga akan menentukan kualitas dan prestasi SDM Indonesia
O(Owner)
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan kementerian terkait
E(Environmental Constraint)
Kemunginan resistensi terhadap penambahan pendekatan keluarga; kesiapan penentu kebijakan untuk menerima; kesiapan kelembagaan di daerah
Dengan analisis tersebut dirumuskan pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan yaitu: Pelaksanaan Pembangunan Keluarga melalui pelaksanaan UU no. 52/2009 dan pengembangan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kualitas dan prestasi SDM yang lebih efektif untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang Indonesia. Berdasarkan Root Definition itu, dikembangkan model konsepsual sebagai berikut:
75
Model Konsepsual pengembangan pelaksanaan pembangunan keluarga
KEBIJAKAN
KONSEP KETAHANAN KELUARGA
KELEMBAGAAN
MEKANISME KERJA
PERUMUSAN SASARAN OUTCOME(DEMAND SIDE) PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN YG SUDAH ADA
PELAYANAN YANG HOLISTIK
PENINGKATAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
KETAHANAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
PENGEMBANGAN KEGIATAN/PROGRAM YANG MASIH DIPERLUKAN
Dari hasil analisis diketahui bahwa Konsep ketahanan keluarga belum ada dan pada kajian ini disusun konsep ketahanan keluarga. Konsep ini masih bersifat akademis, sehingga untuk penggunaannya dalam kegiatan/program pembangunan harus ditransformasi menjadi bentuk yang operasional. Dengan demikian, konsep operasional ketahanan keluarga ini harus disusun. Konsep ini akan mendasari perbaikan dan pengembangan kebijakan, perbaikan kelembagaan pelaksana dan mekanisme kerja yang menjamin harmonisasi pada pelaksanaan pada tingkat nasional dengan pelaksanaan pada tingkat daerah. Berdasarkan konsep operasional ketahanan dan kesejahteraan keluarga, perlu dikembangkan Kebijakan Nasional Pendekatan Keluarga dalam Pembangunan. Kebijakan ini akan menjadi landasan untuk penyempurnaan kebijakan pada tingkat Kementerian dan lembaga Pemerintah dan tingkat Provinsi serta Kabupaten/kota. Kebijakan ini akan mencakup pula kebijakan tentang bagaimana kinerja keluarga sebagai unit operasional pengembangan SDM berprestasi untuk mendukung pengembangan SDM yang berkualitas(Demand Side). Kebijakan pada sisi Demand Side akan pula menjadi dasar bagi penyempurnaan kegiatan/program, dimana kemungkinan bentuk-bentuk pendekatan integratif diperlukan. Sebagai contoh adalah: Identifikasi keluarga menurut status ketahanan dan kesejahteraan keluarga yang kemudian diselaraskan dengan intervensi atau dukungan kegiatan/program yang akan diberikan baginya untuk maju. Selain itu, keterpaduan juga diperlukan dalam menentukan Outcome dari berbagai kegiatan/program. Misalnya bagaimana kondisi keluarga yang diharapkan dengan pemberian berbagai bantuan atau dukungan untuk kemajuan keluarga itu. Perlu dirumuskan juga rencana capaian berdasarkan konsep operasional ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, 76
kebijakan akan mencakup kebijakan pada Supply side, berupa perbaikan pelayanan dan kebijakan pada Supply side Dari indetifikasi yang ada, maka pada aspek kelembagaan pelaksana kegiatan/program juga ada bagian-bagian yang harus ditingkatkan. Kualitas dan kuantitas SDM, kewenangan kelembagaan dan strukturnya serta Data, merupakan beberapa hal dalam aspek kelembagaan yang memerlukan peningkatan lebih lanjut. Pada aspek mekanisme kerja, perbaikan koordinasi dan keterpaduan harus ditingkatkan. Selama ini belum ada konsep pendekatan keuarga, sehingga walaupun kegiatan/program ditujukan untuk keluarga, namun yang menjadi fokus, masih pada masalah yang menjadi kewenangan Kementerian masing-masing dan tidak melihat secara keseluruhan dalam konteks keluarga. Keterpaduan dalam perencanaan pada tingkat makro maupun pada tingkat meso juga belum ada. Selama ini, koordinator untuk kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada keluarga belum ada. Perbaikan pada aspek-aspek ini diperlukan. Undang-Undang juga tidak menyebutkan, bagaimana pembangunan keluarga yang multi dimensi ini dikoordinasikan dalam pelaksanaannya. Kebijakan kooordinasi ini agaknya juga diperlukan. Selain itu Standard Operating Procedures belum dapat dipahami dengan baik, sehingga dalam pendekatan baru, hal ini menjadi penting sebagai bagian dari pelaksanaan kegiatan di lapangan secara langsung. 8.
Beberapa hal strategis yang terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sehubungan dengan tgas dan fungsi KPP dan PA, ada beberapa hal strategis yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan pembangunan keluarga, yaitu: (1) Jika ingin melaksanakan pembangunan keluarga sesuai dengan UndangUndang no. 52 tahun 2009, maka ruang lingkupnya tidak boleh melampaui ketentuan dalam Undang-Undang. Dalam hal ini, pelaksanaan tersebut berada di dalam kewenangan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; (2) Pembangunan keluarga merupakan isu besar yang memerlukan regulasi yang dapat mencakup tugas dan fungsi Kementerian dan Lembaga, misalnya dengan Peraturan Pemerintah; (3) Ada pengembangan strategi pelaksanaan tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang memerlukan dasar hukum yang saat ini belum ada, misalnya pengintegrasian pemenuhan hak anak ke dalam program pembangunan, pengembangan pola pengasuhan, peningkatan perlindungan perempuan melalui peningkatan kepemilikan Akta Nikah. 77
(4) Untuk kelanjutan proses pelaksanaan pembangunan keluarga, perlu ada dasar hukum, mengingat substansi “Keluarga” tidak menjadi sasaran pembangunan dalam Renstra Kementerian PP dan PA. (5) Untuk kelanjutan kegiatan pembanguan keluarga, maka hal itu harus dimasukkan ke dalam RPJMN yang akan datang. Diskusi dengan BAPPENAS tentang pembangunan keluarga, disimpulkan beberapa hal: -
-
Konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga merupakan konsep besar. Jika akan masuk sebagai program atau strategi pembangunan, masih memerlukan kajian yang lebih besar yang dapat memberikan justifikasi yang cukup untuk masuk sebagai program atau strategi pembangunan; Karena belum siap, maka harus dilakukan kegiatan-kegiatan, kajian-kajian untuk melengkapinya; Sumber daya untuk hal tersebut perlu dicari. Sementara ini ketentuan yang dapat digunakan adalah melalui Program Anak, karena di dalam Konvensi Hal Anak terdapat ketentuan tentang ketahanan keluarga. Namun hal ini kemudian menjadi kecil, karena berada pada tingkat kegiatan
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN TINDAK LANJUT Pembangunan keluarga dan pendekatan keluarga dalam pembangunan adalah substansi yang besar. Sudah banyak acuan yang menyatakan bahwa pembangunan keluarga akan mendukung pelaksanaan semua pembangunan yang menyangkut SDM, namun sebagai strategi pembangunan maupun sebagai program pembangunan, pada saat ini belum mempunyai bukti dan justifikasi yang cukup. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan dengan sasaran keluarga sudah dilakukan oleh berbagai Kementerian dan Lembaga Pemerintah, namun tidak dilakukan dengan konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang no. 52 tahun 2009. Kegiatan dilakukan secara sendiri-sendiri, koordinasi belum maksimal dan kesiapan kelembagaan serta peran daerah masih perlu ditingkatkan lebih jauh. Agar pelaksanaan pembangunan keluarga atau pendekatan keluarga dapat dijadikansebagai strategi pelaksanaan pembangunan, maka perlu dilakukan kajian-kajian lebih lanjut untuk menjadikan konsep ketahanan keluarga yang disusun dalam kajian ini menjadi bentuk operasional, termasuk di dalamnya konsep pada “demand side”. Kajian-kajian lain juga 78
diperlukan untuk membuat justifikasi yang kuat agar pembangunan keluarga dapat menjadi program di dalam RPJMN atau menjadi strategi pembangunan. Demikian pula untuk regulasi yang mencakup Kementerian dan Lembaga lainnya. Untuk kelanjutan kajian-kajian diperlukan dasar hukum, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengingat substansi keluarga belum menjadi sasaran kinerja KPP dan PA. Pemahaman tentang konsep ketahanan keluarga kepada Kementerian dan Lembaga yang melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan sasaran keluarga masih terbatas. Selain itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemahaman Pemerintah Daerah, peningkatan kesiapan kelembagaan dan kesiapan SDM pelaksanaanya. Dari kajian ini, ditemukan bahwa faktor-faktor untuk peningkatan pelaksanaan kegiatan yang sudah ada yang ditujukan pada keluarga. Analisis dengan menggunakan metode analisis kualititaif menunjukkan bahwa semua faktorsama pentingnya. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan yang sasarannya keluarga, maka kegiatan yang masih harus ditingkatkan mencakup: -
Penyusunan Konsep operasional ketahanan dan kesejahteraan keluarga; Penguatan kebijakan khususnya pada tingkat manajemen dan operasional sebagai dasar hukum pelaksanaan pembangunan keluarga yang ditetapkan dalam Undang-Undang; Penguatan kelembagaan baik pada tingkat nasional maupun daerah Penyempurnaan dan penyediaan prosedur mekanisme kerja sebagai pedoman pelaksanaan di lapangan.
Rekomendasi yang diajukan sebagai tindak lanjut pelaksanaan pembangunan keluarga adalah: o
o o
o o
Menerapkan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Mengembangkan konsep operasional Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga; Mengembangkan kebijakan nasional tentang pendekatan keluarga dalam pembangunan; Meningkatkan pelaksanaan kegiatan/program yang sudah ada; Mengembangkan kegiatan/program baru untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan keluarga dalam rangka peningkatan ketahanan dan kesejahteraannya.
79
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
Tujuan
Kegiatan
Menerapkan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPP dan PA
Menyusun pedoman Pedoman Semua Deputi KPP pelaksanaan dan PA pendekatan keluarga di Kegiatan-kegiatan dengan pendekatan keluarga KPP dan PA
Mengembangkan Mengembangkan konsep operasional konsep operasional ketahanan keluarga
Output
Konsep operasional
Pelaksana
KPPPA
konsep operasional untuk 10 K/L terkait daerah BAPPENAS mekanisme pelaksanaan BPS pendekatan keluarga Universitas
Mengembangkan Konsep perkembangan KPPPA konsep perkembangan kemajuan keluarga 10 K/L terkait ketahanan Cost benefit analysis keluarga(demand side) BAPPENAS pendekatan keluarga BPS Universitas Mengembangkan Index Index ketahanan dan Ketahanan dan kesejahteraan keluarga kesejahteraan keluarga Mekanisme pengumpulan data keluarga
KPPPA 10 K/L terkait BAPPENAS BPS Universitas
Mengembangkan kebijakan nasional pendekatan keluarga dalam pembangunan
Penyusunan kebijakan Kebijakan Nasional nasional tentang pendekatan keluarga dalam pembangunan Pedoman pelaksanaan
KPPPA 10 K/L terkait BAPPENAS 80
BPS Universitas Meningkatkan pelaksanaan kegiatan/program yang sudah ada
Koordinasi pelaksanaan Himpunan rencana KPPPA dan pemecahan kegiatan/program K/L yang ditujukan untuk 10 K/L terkait masalah keluarga BAPPENAS BPS Identifikasi masalah dan Universitas solusi peningkatan peningkatan pemahaman KPPPA pemahaman tentang perbaikan koordinasi K/L terkait ketahanan keluarga kegiatan Universitas Harmonisasi kegiatan
Rencana bersama
KPPPA 10 K/L terkait BAPPENAS BPS Universitas
Pembuatan instrumen Instrumen pemantauan pemantauan bersama
KPPPA 10 K/L terkait BAPPENAS BPS Universitas
Evaluasi sasaran
pencapaian Informasi ttg pencapaian
KPPPA 10 K/L terkait BAPPENAS BPS
81
Universitas
Mengembangkan kegiatan/program baru
Advokasi kepada Pemda - Kebijakan provinsi ttg pendekatan keluarga Provinsi dan Kab/Kota - Kebijakan Kab/Kota - Penetapan peran Provinsi, Kab/Kota Penguatan - Jumlah tenaga terlatih untuk pelaksanaan kelembagaan di kegiatan Kab/Kota - Tersedia data untuk penetapan sasaran dan pemantauan pencapaian hasil - Tersedianya pedoman pelaksanaan di Kab/kota - Terbentuk Tim koordinasi pelaksanaan Pengintegrasian - Strategi Pengarusutamaan Pemenuhan Hak Anak pemenuhan Hak Anak dalam pembangunan
Semua KPPPA terkait
Deputi dan K/L
Semua KPPPA terkait
Deputi dan K/L
Deputi TKA Deputi PA
- Jumlah Kebijakan K/L dan Pemda yang responsif anak - Jumlah kegiatan K/L dan Pemda yang responsif anak - Proporsi anggaran yg responsif anak
Pengembangan pengasuhan
- Index komposit anak - Konsep pengasuhan Deputi TKA dan PA - Kebijakan dan Strategi pelaksanaan - Jumlah keluarga yang dilatih pengasuhan 82
Penanganan melalui keluarga
KDRT - Jumlah keluarga yang Deputi dilatih Perlindungan - Jumlah lembaga Perempuan konsultasi dan konselor keluarga
Peningkatan pendidikan - Strategi pendidikan berkeluarga berkeluarga - Bahan ajar - Metode - Jumlah keluarga dan calon keluarga yang menjalani pendidikan berkeluarga - Jumlah lembaga konsultasi keluarga yang berfungsi - Jumlah keluarga yang Deputi Pendidikan mengikuti Polsoskum Kesetaraan Gender pelatihan/orientasi
PUG
melalui keluarga
Upaya fasilitasi isbat - Jumlah keluarga yang Deputi mempunyai Akta Nikah Polsoskum Nikah atau pemberian Akta Nikah gratis
PUG
lingkungan Deputi Pendidikan atau - Konsep sosial yang baik Perlindungan pengembangan - Strategi Perempuan lingkungan keluarga yang baik
Peningkatan ekonomi - Jumlah keluarga yang Deputi mempunyai usaha Ekonomi keluarga melalui usaha mikro mikro - Peningkatan kelas usaha mikro advokasi kebijakan - Dukungan untuk KPP dan PA pembangunan keluarga kepada lembaga dan pendekatan pembuat kebijakan keluarga dalam nasional pembangunan
PUG
83
VI. PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
Pembangunan Keluarga praktis pelaksanaannya masih belum didasarkan pada konsep yang utuh. Untuk membuat konsep yang utuh dan dapat dilaksanakan secara operasional atau dijadikan sebagai sebuah strategi dalam pelaksanaan program pembangunan nasional, diperlukan persiapan-persiapan yang cukup besar. Kegiatan yang selama ini ditujukan untuk keluarga, perlu terus dijaga dan ditingkatkan karena arahnya sudah sejalan dengan konsep ketahanan keluarga yang dikembangkan dalam kajian ini. Kegiatan-kegiatan baru masih harus dikembangkan, konsep operasioanl masih harus dikembangkan, uji validasi atas konsep dan kajian lebih lanjut yang dapat memperlihatkan keuntungan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan pembanguan masih harus dilakukan. Untuk itu semua diperlukan kebijakan sebagai dasar legalitas untuk melakukan tindak lanjut. Alternatif yang dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang no. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah Peraturan Menteri. Kajian ini merekomendasikan muatan dari Peraturan Menteri tersebut.
1.
Persiapan dan pengkondisian
Pembahasan mengenai rencana penyusunan Peraturan Menteri sudah dilakukan pada saat membicarakan kajian ini. Pada saat itu disampaikan kepada wakil-wakil dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah bahwa kajian ini merupakan bagian dari rencana penyusunan kebijakan yaitu Peraturan Menteri. Dalam waktu yang bersamaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga sedang melakukan kajian yang sama untuk persiapan penyusunan Peraturan Daerah tentang Pembanguna Keluarga. Kajian ini juga membandingkan proses di kedua pihak. Pada dasarnya prosesnya sama, menggunakan konsep yang sama, namun dalam konteks wilayah yang berbeda. Peraturan Menteri akan memperkuat dasar untuk pelaksanaan Peraturan Daerah dalam pembangunan keluarga.
2.
Penyusunan draft Peraturan Menteri
Rekomendasi dari kajian ini dijadikan dasar dalam penyusuna draft Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentnag Pembangunan Keluarga.
84
Berdasarkan hasil kajian, maka diusulkan pokok-pokok materi yang akan masuk ke dalam peraturan menteri. Pokok-pokok materi tersebut adalah: Rekomendasi Kajian tujuan
kegiatan
Menerapkan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPP dan PA
Menyusun pedoman Menyusun kegiatan dengan pendekatan keluarga
Isi Peraturan Menteri Bab dalam Permen
Pasal-pasal
Bab III Pasal 3 Pelaksanaan a. Kementerian pembangunan keluarga di Pemberdayaan Kementerian Perempuan dan Pemberdayaan Perlindungan Anak Perempuan dan melaksanakan Perlindungan Anak pendekatan keluarga dalam kegiatankegiatannya. b. Untuk pelaksanaan pendekatan keluarga, disusun pedoman pelaksanaannya. Mengembangkan Mengembangkan Bab IV Pasal 4. konsep operasional konsep Pengembangan konsep KPP dan PA bersama operasional ketahanan dengan Kementerian ketahanan keluarga operasional ketahanan dan dan kesejahteraan dan Lembaga kesejahteraan Pemerintah lainnya keluarga keluarga menyusun:
a. konsep operasional ketahanan dan pemberdayaan Mengembangkan konsep perkembangan ketahanan keluarga(demand side)
b.
konsep perkembangan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dari sisi penerima manfaat(Demand Side)
85
Mengembangkan Index Ketahanan dan kesejahteraan keluarga
c.
menyusun Index Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga
d. menyusun mekanisme pengumpulan, pengolahan dan analisis data keluarga Pasal 5
Untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 4 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya serta pihak akademisi melakukan penelitian-penelitian. Mengembangkan Penyusunan kebijakan nasional kebijakan(Perpres pendekatan ?) keluarga dalam pembangunan
Bab V Penyusunan Nasional
Pasal 6. Kebijakan KPP dan PA bersama dengan Kementerian dan Lembaga lainnya menyusun Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria dalam pembangunan keluarga Pasal 7 KPP dan PA melakukan fasilitasi dan koordinasi penyusunan kebijakan 86
Meningkatkan pelaksanaan kegiatan/program yang sudah ada
nasional tentang pendekatan keluarga dalam pembangunan dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya Koordinasi Bab VI Pasal 8 pelaksanaan dan Koordinasi peningkatan KPPPA pemecahan pelaksanaan mengkoordinasikan kegiatan/program pelaksanaan: masalah pembangunan keluarga Harmonisasi a. kegiatan/program kegiatan yang ditujukan untuk keluarga Pembuatan b. pemantauan instrumen bersama pemantauan pelaksanaan bersama kegiatan/program yang ditujukan untuk keluarga Evaluasi c. evaluasi pencapaian pencapaian sasaran sasaran
d. menyiapkan metode
Advokasi kepada Pemda Provinsi dan Kab/Kota
Penguatan kelembagaan
di
untuk pelaksanaa butir a, b dan c. Pasal 9. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan advokasi dan sosialisasi tentang pembangunan keluarga kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 10 Kementerian Pemberdayaan 87
Kab/Kota
Bab VII Kewajiban Daerah
Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan fasilitasi untuk penguatan koordinasi pelaksanaan pembangunan keluarga di daerah Pasal 11 Pemerintah Pemerintah Provinsi mempunyai kewajiban untuk:
a. menetapkan kebijakan tingkat Provinsi tentang Pembangunan Keluarga
b. mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pembangunan keluarga
c. melakukan pemantuan evaluasi pelaksanaan pembangunan keluarga
dan
d. meningkatkan
kemampuan kelembagaan agar dapat membantu pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota
e. menyediakan anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan keluarga di Provinsi 88
sesuai dengan kewajibannya Pasal 12 Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. menetapkan kebijakan pelaksanaan pembangunan keluarga Kabupaten/Kota
di
b. melaksanakan
dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pembangunan keluarga
c. melakukan pemantuan evaluasi pelaksanaan pembangunan keluarga
dan
d. meningkatkan kemampuan kelembagaan untuk pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota e. menyediakan anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota sesuai dengan kewajibannya 89
Mengembangkan kegiatan/program baru
Pengembangan pengasuhan
Bab VIII Pasal 13 Pengembangan dan Kementerian Pelaksanaan Pemberdayaan Kegiatan/Program baru Perempuan dan Perlindungan Anak mengembangkan dan melaksanakan: Pengintegrasian a. Pengintegrasian Pemenuhan Hak pemenuhan hak Anak dalam anak ke dalam program pembangunan pembangunan nasional dan daerah Program pengasuhan b. Pengembangan pengasuhan
Penanganan KDRT melalui keluarga
Pencegahan KDRT melalui keluarga
c. Pencegahan KDRT melalui keluarga
Pendidikan Kesetaraan Gender melalui keluarga
Pendidikan kesetaraan d. Pendidikan Kesetaraan Gender gender melalui keluarga
Pengembangan usaha mikro bagi keluarga
Usaha mikro keluarga
melalui keluarga
bagi
e. Pengembangan
usaha mikro bagi keluarga Pasal 14
Peningkatan pendidikan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya mengembangkan dan mendorong pelaksanaan: a. peningkatan pendidikan 90
berkeluarga
berkeluarga
Upaya fasilitasi isbat Nikah atau pemberian Akta Nikah gratis
b. peningkatan pencatatan pernikahan dan kepemilikan Akta Nikah c. pendidikan dan
Pendidikan atau pengembangan lingkungan keluarga yang baik
pengembangan lingkungan sosial keluarga yang baik
Pendidikan karakter dalam keluarga
d. pendidikan karakter melalui keluarga
Dalam bentuk rancangan naskah Peraturan Menteri, materi tersebut disusun sebagai berikut: PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR
TAHUN 2013 TENTANG
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KELUARGA
DENGAN RAHMAT TUHAN TANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Pelaksanaan 91
Pembangunan Keluarga. Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);
2.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 91);
4.
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 142);
5.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 356); MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK TENTANG PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KELUARGA. 92
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. 2. Pembangunan keluarga adalah upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. 3. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. 4. Penduduk rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan/atau non fisiknya. 5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. BAB II TUJUAN Pasal 2 Peraturan menteri ini bertujuan untuk: 1. mendorong penerapan konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga dalam semua kegiatan pembangunan yang sasarannya dan/atau ditujukan untuk keluarga; 2. mengembangkan kebijakan nasional tentang pendekatan keluarga dalam pembangunan sesuai tugas dan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 3. meningkatkan pelaksanaan kebijakan pembangunan keluarga pada masing-masing Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di provinsi dan kabupaten/kota; 4. mengembangkan kebijakan baru untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan keluarga dalam rangka peningkatan ketahanan dan kesejahteraannya. 93
BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELUARGA Pasal 3 Dalam pelaksanaan pembangunan keluarga, Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun dan mengembangkan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis yang berpedoman pada konsep ketahanan dan kesejahteraan yang di dalamnya mencakup: a. landasan legalitas dan keutuhan keluarga; b. ketahanan fisik; c. ketahanan ekonomi; d. ketahanan sosial psikologi; dan e. ketahanan sosial budaya. Pasal 4 Dalam pelaksanaan pembangunan keluarga, Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan: a. penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan yang inovatif dan afirmatif pada sisi penyedia pelayanan (supply side), penerima manfaat (demand side) untuk mendukung percepatan pelaksanaan pembangunan keluarga; b. dalam pelaksanaan pembangunan keluarga, Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melibatkan masyarakat dan dunia usaha. Pasal 5 Dalam pelaksanaan pembangunan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Menteri dan Kepala Lembaga serta Gubernur, Bupati/Wali Kota berwenang: a. menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang pelaksanaan pembangunan keluarga yang terkait dengan bidang tugas dan kewenangannya; b. mengembangkan pengembangan program dan kegiatan baru yang sesuai, dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga untuk membangun ketahanan dan kesejahteraannya; 94
c.
d.
e. f.
melakukan sosialisasi dan advokasi kepada Kementerian dan Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/KotaProvinsi, dan Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/KotaKabupaten/Kota; menetapkan program kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha; melakukan fasilitasi penguatan kelembagaan di daerah; dan melakukan pemantauan pelaksanaan pembangunan keluarga. Pasal 6
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berwenang: a. menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang pelaksanaan pembangunan keluarga yang terkait dengan peningkatan kualitas anak/pemenuhan hak anak, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak; b. mengembangkan program dan kegiatan baru di bidang yang menjadi kewenangannya, dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga untuk membangun ketahanan dan kesejahteraannya; c. melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terkait dengan pembangunan keluarga; d. melakukan advokasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan di daerah; e. menetapkan program kerjasama antara pemerintah dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha; dan f. mengkoordinasikan pemantauan dan evaluasi pembangunan keluarga. Pasal 7 Dalam rangka pelaksanaan pembangunan keluarga, Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan upaya-upaya sebagai berikut, namun tidak terbatas pada: a. peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak, melalui program perlindungan anak, program pendidikan nasional, pengembangan pola asuh, pendidikan karakter, pengembangan anak usia dini yang holistik dan terintegrasi, program perlindungan kesehatan anak termasuk anak dengan disabilitas, program desa siaga, pemberian jaminan kesehatan, 95
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi, program penyuluhan kesehatan ibu dan anak, pemberian akta kelahiran gratis, kursus calon pengantin, dan penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, program pendidikan anak melalui organisasi keagamaan dan dunia usaha; peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga, melalui kegiatan ‘generasi berencana’, pusat informasi dan konseling remaja, bina keluarga remaja, program karang taruna; peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga, melalui program pembinaan kesehatan lansia, bina keluarga lansia, pembinaan dan bimbingan lansia, program pendidikan remaja dalam menjalankan keagamaan dan dunia usaha. pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya, melalui Program Keluarga Harapan, peningkatan kemampuan dan keterampilan keluarga, bantuan langsung tunai, penanggulangan kemiskinan dan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga, program pendidikan keagamaan dan dunia usaha; peningkatan kualitas lingkungan keluarga melalui pendidikan bela negara, program desa siaga, penyuluhan hukum dan peningkatan kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, program kepedulian terhadap lingkungan melalui kegiatan keagamaan dan dunia usaha; peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi melalui usaha mikro keluarga, melalui usaha mikro keluarga, program nasional pemberdayaan masyarakat, program kelompok usaha bersama, program keluarga harapan, usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera dan peningkatan produktifitas ekonomi perempuan, program pengembangan usaha mikro melalui organisasi keagamaan dan dunia usaha; pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin melalui Program Keluarga Harapan, bantuan langsung tunai, program jaminan kesehatan, peningkatan kemampuan dan keterampilan keluarga, pendidikan informal, program perumahan; dan penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga, pembinaan perempuan kepala keluarga, penanggulangan kemiskinan, 96
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, menjalin kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembga masyarakat dan dunia usaha untuk menyusun program penghapusan kemiskinan, program penyaluran bantuan melalui organisasi keagamaan dan dunia usaha. Pasal 8 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan, dan perkembangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, menteri melakukan: a. penetapan kebijakan nasional tentang pemenuhan hak anak; b. penetapan kebijakan tentang pengintegrasian hak anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan; c. sosialisasi, advokasi, fasilitasi, pemantauan, dan evaluasi; d. peningkatan kemampuan kelembagaan pada tingkat nasional dan daerah; e. penyusunan kebijakan dan strategi untuk penyediaan data anak; f. penetapan kebijakan untuk terbentuknya forum anak di semua kabupaten/kota, sampai tingkat kecamatan, desa/kampung/rukun warga; dan g. penetapan program peningkatan kualitas anak dengan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat, dan dunia usaha. Pasal 9 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, menteri melakukan: a. pengembangan pedoman pendidikan berkeluarga yang responsif gender dan peduli anak; b. koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk peningkatan pelayanan bagi remaja; c. menetapkan komitmen kerjasama dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pengembangan program peningkatan kualitas 97
remaja; dan d. menyusun pedoman pemantauan dan evaluasi upaya peningkatan kualitas remaja. Pasal 10 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, menteri melakukan: a. koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam peningkatan kualitas dan peran lansia; b. peningkatan pengarusutamaan gender pada kebijakan dan program peningkatan kualitas dan peran lansia; c. penetapkan kerjasama antara pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk penetapan program dalam rangka peningkatan kualitas keluarga lansia. Pasal 11 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, menteri melakukan: a. koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga dan Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; b. peningkatan pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang-bidang pembangunan yang menangani keluarga rentan; c. memfasilitasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pornografi; d. pencegahan kekerasan dalam keluarga; e. pengembangan pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga; f. advokasi untuk peningkatan kepemilikan Akta Nikah; dan g. meningkatkan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk penetapan program bagi keluarga rentan.
98
Pasal 12 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara peningkatan kualitas lingkungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e, menteri melakukan: a. pengembangan konsep dan upaya peningkatan kualitas lingkungan keluarga; b. koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga serta Lembaga Masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan keluarga; c. upaya peningkatan pengamalan nilai-nilai luhur dan karakter dalam lingkungan keluarga; dan d. penetapkan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha tentang peningkatan kualitas lingkungan. Pasal 13 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi melalui usaha mikro keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f, menteri melakukan: a. penetapan kebijakan dan strategi pemberdayaan perempuan dan keluarga di bidang ekonomi melalui usaha mikro; b. peningkatan pengarusutamaan gender di bidang-bidang pembangunan yang terkait dengan usaha ekonomi mikro; c. advokasi dan sosialisasi peningkatan usaha mikro kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; d. penetapkan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha tentang pengembangan program usaha mikro. Pasal 14 Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g, menteri melakukan: a. koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait dan Lembaga masyarakat; b. melakukan kajian-kajian tentang aspek sosial budaya ketahanan 99
c.
keluarga; penetapan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha bagi keluarga miskin Pasal 15
Dalam melaksanakan kebijakan pembangunan keluarga dengan cara penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h, menteri melakukan: a. upaya pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga; b. penetapan kerjasama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha dalam upaya pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga. Pasal 16 Pelaksanaan kebijakan pembangunan keluarga dimuat dalam rencana kerja kegiatan satuan kerja di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan pembangunan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 diatur dalam petunjuk pelaksanaan masing-masing satuan kerja Kementerian dan Lembaga, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IV PENGEMBANGAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELUARGA Pasal 18 Dalam melaksanakan pengembangan kebijakan pembangunan keluarga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkoordinasi dengan: a. Kementerian/Lembaga; b. Pemerintah Daerah Provinsi; 100
c. d. e.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; lembaga masyarakat; dan dunia usaha. Pasal 19
Selain berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, akademisi, pemerhati masalah perempuan dan anak, dan organisasi kemasyarakatan. Pasal 20 (1) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan 19 berkoordinasi dan bekerjasama dalam menyusun: a. kebijakan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; b. konsep perkembangan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dari sisi penerima manfaat (demand side); c. menyusun Index Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga; d. menyusun mekanisme pengumpulan, pengolahan, dan analisis data keluarga; e. menyusun indikator keberhasilan ketahanan keluarga; dan f. mekanisme pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program ketahanan keluarga. (2) Selain melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat melakukan sosialisasi, advokasi, dan fasilitasi menjalin kerjasama dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk penyusunan kebijakan nasional tentang pendekatan keluarga dalam pembangunan. BAB V PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KELUARGA DI DAERAH Pasal 21 Dalam melaksanakan pembangunan keluarga di daerah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: a. menetapkan kebijakan tentang pembangunan keluarga; b. mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pembangunan keluarga; 101
c. d. e. f.
melakukan pemantuan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan keluarga; meningkatkan kemampuan kelembagaan agar dapat membantu pelaksanaan pembangunan keluarga; menyediakan anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan keluarga; dan menjalin kerjasama dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha dalam melaksanakan pembangunan keluarga. Pasal 22
Dalam peningkatan pelaksanaan pembangunan keluarga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: a. menetapkan kebijakan pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota; b. melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan pembangunan keluarga; c. melakukan pemantuan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan keluarga; d. meningkatkan kemampuan kelembagaan untuk pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota; e. menyediakan anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan keluarga di Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya; dan f. menjalin kerjasama dengan lembaga masyarakat dan dunia usaha dalam melaksanakan pembangunan keluarga. BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 23 (1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan keluarga. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 24 Menteri melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 kepada Presiden setiap tahun. 102
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA,
LINDA AMALIA SARI
3.
Pembahasan draft Peraturan Menteri dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah.
Draft Peraturan Menteri dibahas bersama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah. Pada dasarnya tidak ada keberatan dan Peraturan Menteri ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum pada waktu pelaksanaan kegiatan yang dirancang oleh Kementerian dan Lembaga Pemerintah, di daerah. Beberapa masukan yang disampaikan telah diakomodasikan ke dalam draft Peraturan Menteri ini dan beberapa pertimbangan teknis sudah diakomodasikan dalam format Peraturan Menteri.
4.
Proses pengesahan Peraturan Menteri
Proses pengesahan Peraturan Menteri ini dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Draft Peraturan Menteri dibahas dan dikonsultasikan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Dalam proses ini dilakukan harmonisasi, perbaikan drafting yang disesuaikan dengan format baku, dan 103
diperiksa ulang dengan peraturan PerUndang-Undangan yang lebih tinggi, serta tugas, fungsi dan kewenangan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Setelah semua proses dilakukan, Peraturan Meneteri ditanda-tangani dan dilalukan pada proses pengesahan di Kementerian Hukum dan HAM serta pencantumannya dalam Lembar Negara.
104
DAFTAR PUSTAKA
1.
Euis Sunarti: Teoritical and methodological issues on family resilience, Presented at Senior Official Forum on Families, Nusa Dua, Bali September 3-5, 2007.
2.
Herien Puspitawati: Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, IPB Press, Bogor, 2012.
3.
Herien Puspitawati: Pengantar Studi Keluarga, IPB Press, Bogor, 2013.
4.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Profil Perempuan Indonesia 2012, Jakarta, 2012.
5.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Profil Anak Indonesia 2012, Jakarta, 2012.
6.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Peraturan Menteri no. 31 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penelitian PUG, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 2012.
7.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Peraturan Menteri no. 7 tahun 2011 tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta, 2011.
8.
Mark A. Belsey: Policy Options in a Crisis of Family Capital, United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), New York, 2005.
9.
Sudarsono Hardjosoekarto: Soft Systems Methodology(Metode Serba Sistem Lunak), U.I. Press, Jakarta, 2012.
10. United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) Division for Social Policy and Development (DSPD): United Nations Expert Group Meeting“Good Practices in Family Policy Making” New York, May 2012.
105