Laporan Hasil Penelitian Individu RELIGIOSITAS MASYARAKAT PESISIR : Studi Atas Tradisi “Sedekah Laut” Masyarakat Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kota Bandar Lampung
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2013
Peneliti Dr. Idrus Ruslan, M.Ag.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN 2013
SAMBUTAN KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT IAIN RADEN INTAN LAMPUNG --------------------------------------------------------------------------------------------
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung tahun 2013 dibawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) telah dilaksanakan. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dibiayai berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) IAIN Raden Intan Lampung tahun 2013. Kami menyambut baik hasil penelitian individu yang dilaksanakan oleh Saudara Dr. Idrus Ruslan, M.Ag dengan judul Religiositas Masyarakat Pesisir : Studi atas Tradisi “Sedeka Laut” Masyarakat Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung, berdasarkan SK Rektor IAIN Raden Intan Lampung, Nomor: 69.a Tahun 2013, tanggal 27 Mei 2013. Kami berharap, semoga hasil penelitian ini dapat meningkatkan mutu hasil penelitian, menambah khazanah ilmu keislaman, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandar Lampung, November 2013 Ketua Lp2M
Dr. Syamsuri Ali, M.Ag. NIP. 196111251989031003 i
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga kita sebagai umatnya dapat mengamalkan ajaran Islam yang telah beliau risalahkan, sehingga akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Penelitian ini berjudul “Religiositas Masyarakat Pesisir : Studi atas Tradisi ‘Sedekah Laut’ Masyarakat Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kota Bandar Lampung”, berusaha untuk menggali tentang tradisi sedekah laut dan memformulasikan bahwa sesungguhnya tradisi tersebut merupakan kekayaan budaya lokal daerah asli Indonesia yang telah bercampur dengan nuansa Islam. Tradisi ini telah dilakuka secara turun menurun dan dilakukan setahun sekali. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Rektor IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan ilmu ke-Ushuluddin-an, khususnya jurusan Perbandingan Agama. 2. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN Raden Intan beserta staf yang telah memberikan bantuan teknis serta finansial yang sangat berarti demi lancarnya penelitian ini. 3. Teman-teman seprofesi yang banyak melakukan sharing pemikiran dan masukan bagi penelitian ini. Semoga niat baik dan ikhtiar yang telah dilakukan mendapat ridho dari Allah SWT, amin. Bandar Lampung, Oktober 2013 Peneliti, Dr. Idrus Ruslan, M.Ag. ii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SAMBUTAN KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Kajian Pustaka F. Kerangka Teoritik/Riset Desain G. Sistematika Penulisan BAB II. KAJIAN TEORITIS TENTANG RELIGI DAN TRADISI MASYARAKAT PESISIR A. Religi 1. Rumusan Teoritis 2. Struktur Religi 3. Manifestasi Religiositas B. Masyarakat Pesisir 1. Aspek Terminologi 2. Karakteristik Masyarakat Pesisir 3. Aneka Tradisi Masyarakt Pesisir C. Hubungan Religiositas dan Tradisi Pada Masyarakat Pesisir BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sifat Penelitian B. Sumber Data C. Tekhnik Pengumpulan Data D. Analisis Data E. Pemeriksaan Keabsahan Data
iii
1 6 7 7 8 11 16
19 27 38 41 43 49 55 60 62 63 68 70
BAB IV. FENOMENA TRADISI SEDEKAH LAUT MASYARAKAT KELURAHAN KANGKUNG KECAMATAN BUMI WARAS A. Gambaran Umum Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung 73 B. Konsep Religiositas dalam Tradisi Sedekah Laut pada Masyarakat Kelurahan Kangkung 77 C. Proses Pelaksanaan Sedekah Laut Masyarakat Kelurahan Kangkung 83 D. Pemahaman Masyarakat Kelurahan Kangkung Terhadap Tradisi Sedekah Laut 90 E. Sedekah Laut Sebagai Ritual Keagamaan Masyarakat Nelayan; Sebuah Analisis Interpretatif 93 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan 100 B. Saran-Saran 105 DAFTAR PUSTAKA 107
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak diragukan lagi bahwa agama dan kepercayaan memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia, sekalipun pada umat yang mengaku
secara verbal sebagai
pengikut aliran ateis. Sebab bagaimana tidak, dimensi-dimensi spiritual sesungguhnya pasti bersentuhan dengan manusia, seperti pada aspek ketenangan jiwa, menghadapi problematika kehidupan, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, termasuk pada adanya keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap the ultimate reality dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, secara umum dapat diuraikan bahwa yang dimaksud dengan agama adalah seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan yang ghaib khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
Meskipun definisi tersebut, menurut Parsudi
Suparlan sebenarnya mengabaikan keterlibatan manusia sebagai
1
pendukung atau agama tersebut, karena mendudukkan agama sebagai teks atau doktrin.1 Oleh karena itu, agama dalam perspektif ini dapat didefinisikan sebagai suati sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.
2
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa agama
memiliki konsep tentang sesuatu yang dianggap suci (sacred). Dalam wilayah studi agama-agama, setidaknya terdapat enam teori tentang asal usul agama yaitu teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dan hidup individu, teori kekuatan luar biasa, teori sentimen kemasyarakatan, dan teori wahyu Tuhan. 3 Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa kesemua teori tersebut menguraikan sejak kapan dan pada saat apa manusia mengenal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan.
1
Lihat Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson (ed.), Agama : Dalam Analisan dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Saifuddin (Jakarta : Rajawali Pers, 1995), h. v. 2 Ibid., h. v-vi. 3 Penjelasan tentang teori-teori tersebut lihat antara lain Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), h. 23-34. Lihat juga Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), h. 29-37.
2
Agama
bukanlah sesuatu
keyakinan
yang
hanya
diucapkan secara lisan, akan tetapi agama memiliki berbagai macam ajaran yang diyakini oleh umatnya termasuk juga adanya ritual. Oleh karena itu, menurut Firth, bahwa Agama (Religi) belumlah terbentuk secara menyeluruh jika tidak memiliki upacara keagamaan (ritual) yang dikaitkan dengan keyakinan tersebut.
4
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ritual adalah pelaksanaan dari doktrin ajaran agama secara praktis dalam rangka penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap maha segalanya yang menguasi alam semesta berikut isinya. Ekspresi akan ajaran agama yang dilakukan oleh manusia merupakan sebuah upaya dalam menghadapi persoalan kehidupan yang sering melanda manusia seperti penderitaan, kemiskinan, malapetaka dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, Dale Cannon dalam uraiannya menjelaskan bahwa terdapat enam cara manusia dalam beragama, salah satunya adalah dengan melalui cara ritus suci.5 4
Lihat Raymond Firth, Elements of Social Organization (Boston : Beacon Press, 1972), h. 216. 5 Penjelasan secara detail tentang keenam cara manusia beragama, lihat Dale Cannon, Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron (Jakarta : Departemen Agama, 2002), khususnya bagian III.
3
Indonesia yang dihuni oleh masyarakat baik yang berada di daerah pegunungan dengan mata pencaharian bertani atau berkebun, 6 serta yang berada di daerah pantai atau pesisir dengan mata pencaharian sebagai nelayan memiliki ritual khusus yang pada intinya bertujuan agar dalam menjalani profesi mereka terhindari dari bahaya dan hasil panen meningkat. Begitu juga dengan masyarakat pesisir di Kelurahan Kangkung
Kecamatan
Bumi
Waras
Kotamadya
Bandar
Lampung. Menurut Carkadi bahwa tujuan diadakannya ritual “Sedekah Laut” adalah supaya hasil panen para nelayan berlimpah, juga diberikan keselamatan dalam melaut.7 Hal senada juga di amini oleh Matsudi
8
dan Siti
Maisaroh, 9 bahwa tujuan pelaksanaan ruwat laut adalah agar para nelayan dapat selamat dalam mencari nafkah di laut, selain itu agar nelayan dapat hasil tangkapan yang banyak. 6
Uraian tentang tradisi masyarakat daerah pegunungan, lihat secara detail Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta : Yayasan Semesta, 2001). 7 Wawancara dengan Carkadi (Ketua KUD Nelayan Gudang Lelang), Bandar Lampung, 25 Februari 2013. 8 Wawancara dengan Matsudi (Sekretaris KUD Nelayan Gudang Lelang), Bandar Lampung, 25 Februari 2013. 9 Wawancara dengan Siti Maisaroh (Warga Gudang Lelang), Bandar Lampung, 28 Februari 2013.
4
Tradisi sedekah laut ini dilakukan pada bulan-bulan tertentu berdasarkan penghitungan (tanggal atau hari baik) dengan cara memotong kerbau. Kepala kerbau di bawah ke tengah laut sebagai persembahan terhadap “penunggu laut”, sedangkan daging kerbau tersebut dimakan secara bersama atau dibagikan kepada masyarakat setempat. Tujuannya tidak lain adalah, agar para nelayan diberikan keselamatan, dan hasil tangkapan pun menjadi lebih banyak.
Hal tersebut dapat
dipahami, karena profesi mereka sebagai nelayan akan sangat tergantung dengan situasi dan kondisi alam. Jika cuaca alam mendukung, maka hasil tangkapan pun menjadi banyak, sebaliknya jika cuaca alam tidak mendukung, hasil panen pun mengalami penurunan. Oleh karena itu, agar alam mendukung dan hasil tangkapan berlimpah perlu dilakukan tradisi sedekah laut. Jika merujuk Mariasusai Dhavamony, maka ritual sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Kangkung masuk pada jenis ritual faktitif dimana ritual tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan perlindungan atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.10 10
Lihat Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta
5
Berdasarkan
hasil
survey
pendahuluan,
peneliti
menemukan bahwa tradisi sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung yang terdiri dari etnis Jawa, Cirebon, Banten, Sunda yang kesemuanya beragama Islam dan dilakukan setiap tahun. Tetapi yang menarik adalah bahwa tradisi tersebut dilakukan oleh penduduk pendatang dari luar Lampung. Hal ini tentu berbeda dengan daerah-daerah lain, misalnya di Cirebon, bahwa yang melakukan tradisi sedekah laut adalah nelayan yang memang berasal dari Cirebon dan telah dilakukan secara turun menurun. Untuk itulah penelitian ini dilakukan, yakni dalam rangka mengungkap, mengetahui dan menjelaskan makna tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Kangkung, serta bagaimana pandangan mereka terhadap agama yang mereka yakini yaitu Islam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep religiositas dalam tradisi sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung? 2. Bagaimana proses pelaksanaan sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung ? : Kanisius,1995), h. 175.
6
3. Bagaimana
pemahaman
masyarakat
Kelurahan
Kangkung terhadap tradisi sedekah laut? 4. Bagaimana
konsep
sedekah
laut
sebagai
ritual
keagamaan masyarakat nelayan? C. Tujuan dan Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1. Mengungkap fakta empiris konsep religiositas dan tradisi sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung. 2. Mengungkap dan menjelaskan proses pelaksanaan sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung. 3. Mengungkap dan menjelaskan pemahaman masyarakat Kelurahan Kangkung terhadap tradisi sedekah laut. 4. Mengungkap sedekah laut sebagai ritual keagamaan masyarakat nelayan. 2. Kegunaan Penelitian Dilihat dari aspek akademis, setidaknya penelitian memiliki kegunaan; Pertama, penelitian yang terkait dengan ekspresi keagamaan yang ada pada masyarakat, termasuk di daerah pesisir perlu dikaji secara ilmiah, sehingga dapat diperoleh hasil yang dapat dapat dipertanggungjawabkan karena melalui proses ilmiah dan bukan dengan kajian spekulatif. 7
Kedua, mengembangkan kajian religiositas masyarakat pesisir (yang merupakan sebuah fakta di Indonesia), sehingga menghasilkan tipe-tipe praktek keagamaan yang sangat boleh jadi dipengaruhi oleh daerah atau wilayah tertentu. Sedangkan jika dilihat dari aspek praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak (khususnya pihak Pemerintah Daerah Bandar Lampung), bahwa terdapat banyak sekali tipe keberagamaan yang bersentuhan dengan kebudayaan yang ada dan berkembang pada masyarakat Bandar Lampung. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat agama untuk saling menghargai berbagai macam ekspresi keagamaan yang bersentuhan dengan tradisi atau kebudayaan.
Selain itu penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi – khususnya Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan – untuk menjadikan even “sedekah laut” sebagai ajang promosi kepariwisataan dan kebudayaan yang ada di Provinsi Lampung. D. Kajian Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang telah mengkaji tentang tradisi masyarakat nelayan. Diantara penelitian tersebut antara lain karya Nur Syam dengan judul Islam Pesisir. Buku 8
ini membahas agama Islam dari perspektif kebudayaan lokal yakni di Tuban Jawa Timur. Dalam kesimpulannya ditemukan bahwa masyarakat pesisir melakukan berbagai ritus keagamaan, seperti lingkaran hidup, tolak balak, dan ritual sehari-hari. 11 Penelitian lain yang mengkaji keberagamaan bernuansa lokal adalah Kehidupan Keagamaan Orang Pesisir; Studi Orang Islam Bangsari Jepang yang ditulis oleh Mudjahirin Thohir. Penelitian Mudjahirin menekankan menekankan pada kajian Islam lokalitas adalah produk tafsir teks suci yang disesuaikan dengan kebudayaan setempat yakni di masyarakat pesisir Bangsari Jepara dalam perspektif kebudayaan dengan teori ideasional. 12 Selanjutnya Arifuddin Ismail menulis buku yang berjudul Agama Nelayan; Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal.
Objek penelitian ini adalah masyarakat nelayan
Pambusuang
Mandar.
Lewat
studinya,
Arifuddin
menyimpulkan bahwa ada dua model relasi bagaimana Islam hadir dan menyentuh budaya lokal (pra-Islam) bagi komunitas nelayan Pambusuang Mandar. Pertama, karena adanya dialog 11
Lihat Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta : LkiS, 2005). Lihat Mudjahirin Thohir, Kehidupan Keagamaan Orang Pesisir; Studi Orang Islam Bangsari Jepara, (Jakarta :Pascasarjana UI, Disertasi, 2002). 12
9
antara Islam dan budaya lokal dimana konsepsi religi dan ritual dijadikan medan kontestasi. Kedua, ialah dengan cara dialog yang menempatkan tradisi Islam seperti penamatan al-Qur’an dan aqidah sebagai arena pertemuan. Pada model ini, pembacaan al-Qur’an lantas menjadi bagian inti dari salah satu ritual yang harus dijalankan bagi nelayan, sementara pagelaran saiyang patuddu’ dan pembakaran dupa bergeser posisi hanya menjadi pelengkap atau instrumental. 13 M. Yusuf Wibisono pada Disertasinya yang berjudul Keberagamaan Masyarakat Pesisir : Studi Perilaku Keagamaan Masyarakat
Pesisir
di
Desa
Patimban
Kecamatan
Pusakanegara Kabupaten Subang Jawa Barat, juga membahas keberagamaan masyarakat pesisir.
Dalam kesimpulannya
diungkap bahwa maoritas muslim Patimban adalah kalangan abangan,
maka
keberislamannya
cenderung
lebih
mengedepankan nilai-nilai tradisi lokalnya, ketimbang ajaran Islam. 14
13
Lihat Arifuddin Ismail, Agama Nelayan; Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012). 14 Lihat M. Yusuf Wibisono, Keberagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Perilaku Keagamaan Masyarakat Pesisir di Desa Patimban Kecamatan Pusakanegara Kabupaten Subang Jawa Barat, (Bandung : Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Disertasi, 2012).
10
Dari sekian karya tersebut, menurut peneliti ditemukan bahwa tradisi lokal sangat berpengaruh terhadap praktik yang terkait dengan ritus laut.
Sedangkan yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa praktik sedekah laut yang dilakukan masyarakat Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras adalah dilakukan oleh masyarakat pendatang yang berpandangan bahwa praktik tersebut merupakan suatu keharusan untuk dilakukan pada setiap tahun.
Adapun masyarakat lokal (pribumi), lebih pada
menghargai dan menghormati tradisi tersebut dan berpandangan bahwa praktik tersebut bukan merupakan suatu keharusan. Meskipun begitu peneliti beranggapan bahwa karya-karya tersebut akan sangat membantu dalam memberikan gambaran awal, terutama tentang tradisi masyarakat pantai secara umum. E. Landasan Teori/Kerangka Berpikir Elizabeth K. Nothingham menegaskan, setidaknya terdapat tiga macam tipe masyarakat dalam beragama. Pertama, tipe masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakra. Kedua, tipe
masyarakat-masyarakat
berkembang.
pra-Industri
yang
sedang
Ketiga, tipe masyarakat-masyarakat Industri
11
sekuler. 15 Dengan merujuk pada pemetaan tersebut, menurut peneliti Indonesia dapat dimasukkan pada tipe kedua. Hal ini berdasarkan pada uraian Nothingham, bahwa masyarakat tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat tipe pertama. Adapun ciri-ciri umum tipe masyarakat kedua ini adalah pembagian kerja yang luas, kelaskelas sosial yang beraneka ragam, serta adanya kemampuan tulis baca sampai tingkat tertentu.16 Begitu juga dengan masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung, meskipun pada batas tertentu terdapat pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, serta adanya kemampuan tulis baca. Akan tetapi dalam hal keyakinan atau kepercayaan karena profesi mereka sebagai nelayan, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup kuat dengan alam. Dalam pandangan masyarakat semacam ini setidaknya dapat dipahami bahwa mereka menginginkan suasana alam (cuaca) yang “bersahabat”.
Jika dengan demikian, maka
15 Lihat Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), h. 51-65. 16 Ibid., h. 54.
12
keselamatan dalam melakoni profesi mereka merupakan hal yang sangat penting, disamping tentu saja hasil panen yang melimpah pun tidak kalah pentingnya. Untuk meraih keduanya (keselamatan dan hasil panen yang melimpah), lalu mereka melakukan sedekah laut dengan cara memotong kerbau, dan kepala kerbau di bawa ketengah laut (larung), sedangkan dagingnya di makan secara bersama atau dibagikan kepada masyarakat setempat. Selain itu, tradisi ini juga sebagai bukti rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa. Secara teoritis praktek sedekah laut yang merupakan ritual khusus masyarakat.
adalah
sangat
terkait
dengan religiositas
Sebab upacara keagamaan (ritus atau ritual)
merupakan tindakan nyata dari adanya religi atau keyakinan. Atau jika mengutip pendapat Wallace bahwa ritual merupakan unsur yang esensial dari religi. Dalam hal ini Wallace mengatakan “Upacara adalah unsur religi yang terkecil; unsur itu dinyatakan dalam realitas dalam keanekargamannya. Ada yang dirangkaikan satu dengan yang
lainnya sehingga
membentuk suatu kompleks rangkaian dan yang mempunyai
13
urut-urutan yang stereotip, dan inilah yang disebut dengan sistem upacara”.17 Fakta tersebut mengindikasikan terdapat suatu tradisi yang dianggap sebagai sebuah kepercayaan dan diyakini oleh masyarakat.
Hal ini jika menggunakan pengkategorian yang
diformulasikan oleh Clifford Geertz dimana terdapat tiga varian pada masyarakat dalam beragama yaitu Abangan, Santri dan Priyayi, 18 maka masyarakat Kelurahan Kangkung termasuk dalam varian abangan. mengindikasikan
Selain itu, fakta tersebut juga
masyarakat
pada
objek
penelitian
ini
menganggap bahwa agama merupakan sistem atau bagian dari kebudayaan,
19
dan bukan menganggap bahwa kebudayaan
sebagai sistem dari agama. Selain itu, tradisi sedekah laut dapat juga dijadikan sebagai media komunikasi budaya 20 dari masingmasing etnis yang turut dalam pelaksanaan acara tersebut. Secara sederhana, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut : 17
Lihat Radam, Religi Orang...., h. 10. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981). 19 Lihat Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta : Kanisius, 19912), khususnya pada Bab I. 20 Lihat Rani A. Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor, 2009), h. 9-30. 18
14
Islam
Masyarakat Pesisir
Solat, Puasa, Aqiqah, zakat dll
Keperca yaan Keramat, Ruwat, Sedekah Laut dll
Fakta Keberagamaan Masyarakat Pesisir Fenomena yang diteliti : Rangkaian, media yang digunakan, dan pelaku sedekah laut masyarakat Gudang Lelang.
Teori yang digunakan : Abangan, Santri dan Priyayi (Geertz), Agama sebagai sistem Kebudaya-an (Geertz), dan Komunikasi antar Budaya (Gudykunst).
Berdasarkan
uraian
tersebut,
dipahami
bahwa
masyarakat pesisir (Kelurahan Kangkung) disatu sisi mereka beragama Islam, sedangkan disisi lain mereka juga memiliki, meyakini dan melaksanakan kepercayaan (sedekah laut) yang dilakukan pada setiap tahun secara turun menurun. Sedekah laut 15
ini bertujuan agar para nelayan dalam melaut diberikan keselamatan, dan hasil melaut pun meningkat.
Hal tersebut
merupakan sebuah fakta keberagamaan pada masyarakat pesisir. Untuk
itu
penelitian
ini
akan
mengungkap
fenomena
pelaksanaan (rangkaian, media yang digunakan serta pelaku) sedekah laut bagi masyarakat Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Bandar Lampung. Adapun teori yang akan peneliti gunakan adalah tiga varian beragama dan agama sebagai sistem kebudayaan yang diintroduksikan oleh Clifford Geertz, selain itu penelitian ini juga akan menggunakan teori komunikasi antar budaya yang di rumuskan oleh Gudykunst. F. Sitematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana antara bab tersebut adalah saling terkait.
Adapun
penjelasan masing-masing bab tersebut adalah : Bab I Pendahuluan, yaitu bab yang menghantarkan kepada pokok permasalahan yang akan diteliti. Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan kerangka berpikir serta sistematika penulisan.
16
Bab II Kajian Teoritis tentang Religi dan Tradisi Masyarakat Pesisir. Maksud yang terkandung dalam bab ini adalah untuk memberikan gambaran tentang religi yang melingkupi rumusan teoritis, struktur religi dan manifestasi religiositas. Pada bab ini juga diuraikan masyarakat pesisir, baik dari aspek terminologi, karakteristik, dan aneka tradisi masyarakat pesisir. Selain itu, bab ini akan membahas tentang hubungan religiositas dan tradisi pada masyarakat pesisir. Bab III Metode Penelitian, meliputi jenis dan sifat penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data, analisis data, serta pemeriksaan keabsahan data. Bab IV Fenomena Tradisi Sedekah Laut Masyarakat Kelurahan Kangkung Kecmatan Bumi Waras, meliputi Gambara umum Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras. Pada bab ini juga memuat hasil analisis penelitian tentang konsep religiositas dalam tradisi sedekah laut baik dari aspek proses pelaksanaan, pemahaman masyarakat Kelurahan Kangkung terhadap tradisi sedekah laut, juga analisis interpretatif sedekah laut sebagai ritual keagamaan masyarakat nelayan. Bab V adalah penutup, berupa penarikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data secara logis dan faktual 17
berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan. Pada bab ini pula akan diuraikan beberapa saran dan rekomendasi.
18
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG RELIGI DAN TRADISI MASYARAKAT PESISIR A. Religi 1. Rumusan Teoritis Religi adalah sesuatu yang sangat bersifat pribadi sehingga dipelajari dan menimbulkan pengertian yang amat beragam.
Pengertian religi bisa dikatakan hampir sebanyak
orang yang membicarakan religi itu sendiri. 1 Namun jika dilihat lebih dekat lagi, para teoritikus nampaknya memiliki kesepakatan atau minimal mengarah pada adanya keyakinan, perilakuperilaku dan cara-cara tertentu yang diasosiasikan kepada kekuatan supernatural, yaitu suatu wilayah kekuatan keilahian
1 Dalam konteks ini menurut A.Mukti Ali yang dikutip Endang Saifuddin Anshari, mengatakan “Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata Agama (Baca: Religi). Hal tersebut paling tidak ada tiga alasan. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal bathini dan subyektif, juga sangat individualistis..... Kedua, barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama, maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu... Ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. Lihat Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), h. 118.
19
atau spiritual. Pada titik inilah, kajian para teoritikus tersebut memiliki peran yang lebih mendetail. Rumusan teoritis tentang religi sesungguhnya dapat dilihat dari dua perspektif, yakni perspektif teologi dan perspektif antropologi.
Perspektif teologi tentu saja memandang bahwa
religi atau agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur tata cara ketundukan dan kepatuhan manusia dengan Tuhannya. Sudut pandang ini kelihatan agak kaku karena mendudukkan manusia sebagai subjek sekaligus objek dari aturan tata aturan tersebut, dan sebaliknya mendudukkan agama sebagai teks atau doktrin.
Selain itu, religi dari perspektif teologi menurut
peneliti, penekannya lebih pada agama-agama formal yang ada pada saat ini. Sedangkan perspektif antropologi mencoba melihat religi sebagai sebuah keyakinan yang dimiliki oleh manusia dimana dalam ekspresi ketundukannnya manusia melakukan ritual-ritual. Sedangkan penekanannya lebih pada sebuah keyakinan meskipun belum terlembagakan secara formal.
Artinya dimana saja manusia yang memiliki suatu
keyakinan dan kepercayaan terhadap sesuatu yang maha kuasa meskipun belum terbentuk, maka disitu sesungguhnya ada religi. Oleh karena itu, dalam konteks ini rumusan teoritis yang akan 20
peneliti paparkan adalah lebih pada pengertian religi dari perspektif antropologi. Selain itu perspektif antropologi tentang religi juga dapat dipetakan menjadi dua yakni perspektif antropologi klasik dan perspektif modern.
Dalam penelitian ini, peneliti juga akan
menggunakan perspektif keduanya secara bergantian. Berdasarkan pendapat Leslie A. White yang dikutip oleh Noerid Haloei Radam dapatlah dipahami bahwa religi 2 atau salah satu unsur yang membentuk religi tersebut yakni keyakinan (belief), adalah salah satu bagian dari sistem ideologis.
Sistem ini sendiri adalah salah satu wujud inti
kebudayaan. Dengan demikian, religi adalah bagian dari dan terbentuk dalam ruang lingkup kebudayaan manusia. 3
2 Kata religi berasal dari bahasa asing ‘Religie’ atau godsdienst (Belanda) atau religion (Inggris). Menurut Sidi Gazalba, etimologi religi mungkin sekali berasal dari istilah relegere atau religare bahasa Latin. Relegare maksudnya ialah berhati-hati dan pengertian dasar (groundbegrip), yaitu dengan berpegang pada aturan-aturan dasar, yang menurut anggapan orang Romawi bahwa religi berarti keharusan orang berhati-hati terhadap yang kudus (suci) yang juga dianggap tabu atau muharam. Sedangkah istilah religare berarti mengikat, yaitu yang mengikat manusia dengan sesuatu kekuatan tenaga ghaib. Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu (Jakarta : Pustaka Antara, 1973), h. 18. 3 Noerid Haloe Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta : Yayasan Semesta, 2001), h. 1.
21
Pada
dasarnya
keyakinan
dikatakan sebagai religi.
(belief)
belumlah
dapat
Ia bisa disebut keyakinan jika
dihubungkan dengan ritual (upacara keagamaan). Kedua unsur ini saling memperkuat, dimana keyakinan hanya bisa nampak ketika berkolaborasi dengan upacara, begitu juga sebaliknya bahwa upacara hanya bisa dilaksanakan jika berhubungan dengan keyakinan tertentu. Atau dengan kata lain, keyakinan menggelorakan upacara, sedangakan upacara itu adalah upaya untuk membenarkan keyakinan tersebut.
Upacara berfungsi
mengkomunikasikan keyakinan kepada semua orang dan juga kepada Sang Maha Kuasa.
Terkait dengan hal tersebut
Raymond Firth menegaskan bahwa religi bukanlah sesuatu keyakinan yang hanya diucapkan secara lisan, akan tetapi religi memiliki berbagai macam ajaran yang diyakini oleh umatnya termasuk juga adanya ritual. Oleh karena itu, menurut Firth, bahwa religi belumlah terbentuk secara menyeluruh jika tidak memiliki upacara keagamaan (ritual) yang dikaitkan dengan keyakinan tersebut.4 Pada konteks ini, peneliti mengajak untuk tidak terjebak pada perdebatan klasik yang mempertanyakan unsur manakah 4
Raymond Firith, Element of Social Organization (Boston : Beacon Press, 1972), h. 216.
22
yang lebih penting antara aspek keyakinan atau upacara. Sebab menurut peneliti, keduanya memiliki signifikansi yang jelas meskipun berada pada sisi yang berbeda. Adapun yang peneliti maksud bahwa keduanya berada pada posisi yang berbeda adalah dimana keyakinan lebih bersifat
teoritis berupa
pengetahuan-pengetahuan dan konsep-konsep yang ada di dalam hati ataupun pikiran, sedangkan upacara merupakan wujud nyata dari konsep dan teori yang merupakan penghubung antara sesama penganut agama, terutama penghubungan antara manusia dengan Tuhannya. Perspektif tentang religi yang lebih sistematik dan modern diungkapkan oleh Emile Durkheim. Menurut Durkheim, religi adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral, kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik
yang
telah
dipersatukan
menjadi
suatu
komunitas moral yang tunggal. 5 Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua unsur yang penting yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut religi yaitu sifat kudus dan praktik ritual. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa religi tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu makhluk supranatural, tetapi 5
Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta : Ircisod, 1991), h. 80.
23
religi tidak dapat melepaskan kedua unsur diatas, karena ia akan bukan menjadi religi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas atau tidak dimiliki. Di sisi lain Geertz memandang religi sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi kuat yang meresap dan tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenaisesuatu tatanan umum, dan membungkus konsepkonsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis. 6 Bagi Geertz, religi mengandung suatu penekanan adanya sistem makna yang terkandung di dalam simbol-simbol. Simbol itu sendiri merupakan petunjuk yang memungkinkan kita membuat abstraksi. Jadi dalam hal ini simbol memiliki nilai instrumental (alat ekspresi), komunikasi, pengetahuan dan kontrol. 7 Sejalan dengan itu Haivaland mengungkapkan dalam pandangan para antropolog, religi adalah kepercayaan dan pola
6
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 5. Lihat juga Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York : Oxford University Press, 1996), h. 368. 7 Raymond Firth, “Kepercayaan dan Keraguan terhadap Ilmu Ghaib Kampung Kelantan”, dalam Ahmad Ibrahim (ed.), Islam di Asia Tenggara (Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 1989), h. 3.
24
perilaku yang diusahakan manusia untuk menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya.
Jadi, dalam religi
terdapat nilai yang bermakna yang mendorong manusia mempercayai suatu kekuatan yang lebih tinggi darinya, dan berbagai cara untuk menjalin hubungan dengan kekuatan tersebut. Kepercayaan seperti ini beserta konsep-konsep yang terdapat didalamnya berkembang secara dinamis seiring perkembangan pemikiran manusia. 8 Betapapun kompleksnya pengertian rentang religi, namun kesemuanya harus memuat data tentang keyakinan, ritus dan upacara sikap dan pola tingkah laku, serta alam pikiran dan perasaan para penganutnya.
Demikianlah definisi tentang
religi, yakni definisi yang memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan perilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal menyangkut para penganutnya sendiri. Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Arifuddin Ismail, bahwa pada saat ini bukan lagi melihat asal muasal religi.
Akan tetapi, secara karakteristik menginterpretasi
kepercayaan super-naturalistik sebagai kreasi manusia atas 8
Arifuddin Ismail, Agama Nelayan; Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), h. 14.
25
ekspresi harapan-harapan dan kekhawatirannya.
Masyarakat
yang mengalami ini menjadi lebih mudah dibaca oleh akal dan cara-cara perjanjian dengan transaksi atau berhubungan dengannya.
kehidupan supernatural dan keseluruhan teologi
selanjutnya merupakan ekspresi konseptual terhadap bendabenda dalam lingkungan manusia yang sangat penting dapat mempengaruhi kehidupannya.
Pada ungkapan pengalaman
sosial, teologi dikondisikan dengan kebiasaan-kebiasaan teknik memperoleh bekal, suatu keberlangsungan hidup,
tata cara
keteraturan, dan keseluruhan kebudayaan. 9 Apapun nama dan wujudnya, religi dan diyakini masyarakat dapat menjadi bagian dari suatu sistem nilai yang ada di dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan.
Sistem
nilai ini kemudian menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat. Begitulah religi dipandang sebagai bagian way of life bagi dirinya dan di dalam kehidupannya. Secara fungsional, religi menjadi pengatur untuk menata kehidupan manusia, baik dalam lingkungnnya dengan sesamanya, alam sekitarnya maupun kepada Yang Maha Kuasa. 9
Ibid., h. 15.
26
2. Struktur Religi Tidak diragukan lagi bahwa siginifikansi religi bagi manusia merupakan unsur yang sangat penting, hal ini dikarenakan religi mengatur pola hubungan antara manusia dengan sesama dengan lingkungan, terutama dengan sesuatu yang dianggap Maha Kuasa. Dalam pelaksanaan hubungan – terutama – dengan Yang Maha Kuasa tersebut, tentu saja manusia telah memiliki kepercayaan akan hal tersebut lalu untuk membuktikannya, maka diperlukan ritual
yang memberikan
pedoman ataupun tata cara bagi manusia dalam melakukan komunikasi dengan Tuhannya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sesungguhnya struktur religi adalah kepercayaan dan ritual.
Durkheim berpendapat bahwa religi terdiri atas
kepercayaan dan ritual atau ritus. Kepercayaan mengandung representasi dari hal yang sakral, sementara ritual adalah model aksi yang dapat dikategorikan hanya dalam istilah atas representasi dari yang sakral terkait objeknya. 10 Kepercayaan atau keyakinan merupakan salah satu struktur religi. Namun demikian, menurut Firth keyakinan itu sendiri secara terpisah dengan unsur-unsur lainnya bukanlah 10
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York : Oxford University Press, 1992), h. 19.
27
agama, kecuali bila ia disatukan dengan upacara dan “perbuatan duniawi” lainnya yang terkait dengan keyakinan tersebut barulah membentuk suatu religi secara utuh. Dalam pengertian yang sempit, kepercayaan meliputi keyakinan adanya Tuhan (Tuhan tunggal atau berbilang banyak) atau sesuatu yang dipandang adikodrati (supernatural) yang menggenggam dan menentukan nasib manusia. Sedangkan dalam pengertian yang luas, kepercayaan meliputi keyakinan kehidupan baru sesudah mati, tentang yang sakral dan yang duniawi, yang boleh dan yang dilarang, yang halal dan yang haram, yang baik dan yang jahat,
Dengan keyakinan-keyakinan tersebut orang-orang
berusaha memberikan dasar pertautan segenap tindakan dan hubungan-hubungannya. 11 Menurut
Koentjaraningrat,
sistem kepercayaan atau
keyakinan secara khusus mengandung banyak sub unsur. Mengenai ini para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang makhlukmakhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang 11
Lihat Radam, Religi....., h. 42.
28
dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain. 12 Berdasarkan uraian tersebut, maka setidaknya dapat dipahami bahwa kepercayaan yang dimaksud disini adalah suatu keyakinan yang ada pada manusia terhadap sesuatu yang adi kodrati atau yang menguasai alam semesta beserta isinya dan tidak tampak oleh mata tetapi diyakini keberadaannya oleh manusia. Adapun struktur religi selanjutnya yaitu ritual atau upacara. 13
Ritual merupakan unsur yang sangat signifikan
dalam sebuah religi. Dalam konteks ini Mariasusai Dhavamony menegaskan ekpresi keagamaan yang terutama ditampakkan dalam ritual. Lebih jauh ia mensinyalir bahwa ritual merupakan agama dalam tindakan. 14 Dengan begitu nampak bahwa ritual
12
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), h. 295. 13 Pada pembahasan ini, peneliti tidak membedakan secara tegas antara ritual dengan upacara, karena yang dimaksud ritual tidak lain merupakan upacara keagamaan. Oleh karena itu penggunaan kata tersebut dalam penelitian ini seringkali digunakan secara bergantian. 14 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1995), h. 167.
29
merupakan struktur religi yang sangat penting, bahkan Dale Canon dalam tulisannya menjelaskan bahwa dalam cara-cara beragama, ritual suci merupakan salah satu dari enam cara yang ia maksud. 15 Menurut Mudjahirin Thohir, ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia kepada yang ghaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia kepada lingkungannya. 16 Ritual memegang peranan yang cukup penting dalam religi, karena setiap kepercayaan yang ada pada manusia berada pada tataran konsep dalam hati atau batin, dan kepercayaan itu hanya mungkin di ekspresikan melalui ritual berupa praktek penyembahan terhadap realitas mutlak dalam berbagai macam waktu, tempat dan momentum. Susanne Langer yang dikutip oleh Dhavamony menguraikan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis 15
Cara ritual suci adalah jalan apa pun menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelaksanaan ritual-ritual yang telah ditetapkan, yang menjanjikan tata tertib dan vitalitas dengan mengantarkan lagi seseorang masuk ke dalam pola-pola Ilahiah yang orisinal (arketip/pola dasar) dari kehidupan yang penuh makna melalui sakramen. Lihat Dale Canon, Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron (Jakarta : Ditpertais, 2002), h. 12. 16 Mudjahirin Thohir, Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir (Semarang : Bendera, 1999), h. 260.
30
daripada hanya bersifat psikologis.
Ritual memperlihatkan
tatanan atau simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan.
Kalau tidak, pemujaan yang
bersifat kolektif tidak dimungkinkan.
Akan tetapi, sekaligus
kita harus tahu bahwa penggunaan sarana-sarana simbolis yang sama secara terus menerus menghasilkan suatu dampak yang membuat simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan. Dengan kata lain, simbol-simbol itu menjadi rutin. Pengobjekan yang wajib cenderung menggeserkan simbolsimbol itu dari hubungan yang bermakna dengan sikap-sikap subjektif.
Maka, lama kelamaan hilanglah resonasi antara
simbol dengan perilaku dan perasaan-perasaan dari mana simbol itu berasal. 17 Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam. (1) Tindakan magi yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistik; (2) tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual 17
Dhavamony, Fenomenologi....., h. 174.
31
konsitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. 18 Terkait dengan sasaran utama penelitian ini, yaitu suatu komunitas nelayan yang memiliki kecenderungan melakukan praktik ritual dan cenderung memiliki kedekatan dengan praktik ilmu ghaib (mistik). Aspek ini menjadi dasar analisis peneliti dengan alasan; Pertama, pada umumnya nelayan tradisional selama ini cenderung mencari tahu bahkan berusaha keras untuk masuk dalam lingkup tersebut dalam rangka mengkomunikasikan keinginan dan harapan kepada yang ghaib atau Yang Maha Kuasa.
Kedua, ritual nelayan terkait dengan paham atau
kepercayaan (belief), bahkan ritual yang dianut mempunyai hubungan langsung dengan profesi kenelayanan. Ketiga, ritual pada nelayan dijadikan sumber motivasi dan semangat kebaharian, karena di dalamnya mengandung unsur pengharapan tentang kelancaran pekerjaan dan juga keselamatan jiwa, serta 18
Ibid., h. 175.
32
meningkatnya produktivitas hasil pekerjaaan dalam mencari nafkah di laut. Oleh karena itu adalah sangat tepat mengkaitkan kategori ritual Dhavamony sebagaimana telah dijelaskan diatas dan digunakan untuk menganalisis ritual masyarakat nelayan (khususnya masyarakat nelayan kelurahan Kangkung), yaitu ritual konstitutif dan faktitif. Sebab, ritual yang dilakukan pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap kekuatan alam semesta
dan
sekaligus
dapat
membangkitkan
kekuatan,
motivasi, dan semangat kebaharian, atau bersifat konstitutif. Selain itu, ritual yang dilakukan juga berfungsi untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan, atau bersifat faktitif. Dalam konteks tertentu, praktik ritual nelayan lebih banyak berada dalam ranah faktitif ketimbang konstitutif. Artinya, meski sebagian nelayan tidak lagi percaya dengan adanya kekuatan leluhur, namun mereka tetap melaksanakan ritual untuk kepentingan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan juga keselamatan. Secara global, ritual dapat digolongkan pada dua keadaan yaitu ritual yang bersifat musiman dan ritual bukan musiman. Ritual-ritual musiman terjadi pada acara-acara yang sudah 33
ditentukan, dan kesempatan untuk melaksanakannya selalu merupakan suatu peristiwa dalam siklus lingkaran alam – siang dan malam, musim-musim, gerhana, letak planet-planet dan bintang-bintang.
Namun yang tak kalah pentingnya adalah
ritual-ritual bukan musiman yang dilaksanakan pada saat-saat krisis.
Bagaimanapun, beberapa ritual bukan musiman ini
(secara khusus ritual-ritual penerimaan) juga mengikuti kalender lingkaran hidup. Disamping itu, Ritual musiman hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur kebutuhankebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial, sedangkan ritual bukan musiman (saat krisis) mungkin atau bisa jadi tidak bercorak komunal. Akan tetapi, semua tipe masyarakat nelayan memiliki kedua macam ritual tersebut.19 Berdasarkan uraian tersebut, maka menjadi penting untuk dijelaskan dengan mengapa manusia melakukan ritual juga apa maksud dan tujuan dari ritual tersebut. Secara khusus Raymond Firth menjelaskan bahwa ritual merupakan sarana untuk mempertahankan kontak dengan rohroh yang berkuasa dan membuat mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan untuk pelaku ritual dengan mengarunia19
Ibid., h. 179.
34
kan makanan dan kesehatan.
Roh-roh ini dipahami sebagai
pihak yang mempunyai hubungan timbal balik dengan pemimpin-pemimpin dari kelompok dan dari garis keturunan... Hubungan dengan mereka perlu dipertahankan dalam arti tertentu sebagaimana hubungan dengan manusia yang berkuasa, yaitu dengan mempersembahkan hadiah-hadiah dan bersikap merendah.
Namun, mereka harus diperlakukan secara lebih
hormat dan bahkan lebih formal. Secara khusus, mereka harus disapa dengan gelar-gelar khusus yang tidak perlu diketahui orang awam dan dalam peristilahan-peristilahan yang jauh lebih teliti. 20 Sementara itu Mercia Eliade menunjuk makna yang lebih mendalam dari ritual. Menurutnya, ritual mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya pada situasi keberadaan yang baru, misalnya; penempatan ke dalam lingkup yang suci atau kudus.
Pada dasarnya, dalam
makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototipe yang suci, model-model teladan, arketipe primordial; sebagaimana dikatakan,
ritual merupakan pergulatan tingkahlaku dan
20
Ibid., h. 181. Sebagai bahan perbandingan, lihat Brian Morris, Antropologi Agama; Kajian Agama-Agama Kontemporer (Yogyakarta : AK Group, 2003), h. 307.
35
tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis. Ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa primordial dan juga memelihara serta menyalurkan dasar masyarakat.
Para pelaku menjadi setara
dengan masa lampau yang suci dalam melanggengkan tradisi suci serta memperbaharui fungsi-fungsi dan hidup anggota kelompok tersebut.21 Sedangkan jika dilihat dari fungsinya, menurut Mudjahirin Thohir, ritual mempunyai fungsi ekspresif dan fungsi kreatif. Fungsi ekspresif adalah karena ritual itu menggambarkan bentuk-bentuk simbolik disertai nilai-nilai kunci dan orientasi budaya masyarakat
yang bersangkutan.
Semuanya itu
menunjukkan nilai-nilai dasar di dalam bentuk dramatik, dan mengkomunikasikannya baik kepada partisipan yang terlibat ke dalamnya maupun kepada pengamat yang berada di luarnya. Adapun
fungsi
kreatifnya
yaitu
ritual
mencipta
atau
merumuskan kembali kategori-kategori melalui suatu cara bagaimana manusia memahami, menanggapi dan menerima kenyataan suatu aksioma yang didasari suatu struktur sosial, aturan-aturan alam, dan aturan-aturan moral. 22
21 22
Ibid., h. 183. Thohir, Wacana Masyarakat....., h. 260.
36
Helman menyebutkan,
setiap ritual pada dasarnya
merangkum tiga kepentingan yang saling tumpang tindih. Ketiganya adalah kepentingan psikologis, kepentingan sosial, dan kepentingan protektif.
Kepentingan psikologis, karena
setiap ritual diselenggarakan guna memperoleh cara-cara mengekspresikan dan menerima dalam arti menawarkan emosiemosi yang tidak menyenangkan. Ritual menjadi semacam efek katarsis.
Kepentingan sosial, sebab lewat simbol-simbol
multivokal-ritual sanggup mendramatisasikan pentingnya nilainilai dasar untuk menyemangati kembali masyarakat dalam mempersatukan persepsinya.
Kepentingan protektif, karena
ritual bisa memproteksi diri dari perasaan cemas dan tidak tentu, terutama ketika dikaitkan dengan sakit, kematian, ataupun nasib buruk dan ketidakpastian yang lain. 23 Secara sangat mendalam Arifuddin Ismail menjelaskan bahwa ritual merupakan ekspresi religiositas yang merefleksikan adanya hubungan manusia dengan alam spiritual. Bagi pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial yang sangat penting, yaitu mengintegrasikan individu-individu dalam masyarakat dan menjadi instrumen untuk menyalurkan energi negatif. Pelaksa23
Ibid.
37
naan ritual dicitakan dapat mengembalikan ritme harmonitas dan unitas masyarkat dari tekanan-tekanan sosial. 24 Dengan begitu dapat dipahami bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara keyakinan atau kepercayaan dengan ritual yang merupakan struktur religi.
Sebab kepercayaan
merupakan salah satu struktur religi yang berada pada ranah teoritis, sedangkan untuk merealisasikan kepercayaan tersebut, maka ritual pun memposisikan dirinya pada ranah praktis sebagai manifestasi dari adanya kepercayaan. Keduanya dapat dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena religi menuntut adanya kedua hal tersebut sehingga menjadikan bangunan religi menjadi nyata dan kokoh. 3. Manifestasi Religiositas Menurut Koenjaraningrat bahwa semua aktivitas manusia yang bersangkutan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang untuk melakukan tindakan24
Ismail, Agama Nelayan...., h. 1.
38
tindakan yang bersifat religi. Emosi keagamaan pula menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan atau gagasan, mendapat suatu nilai keramat (sacred value) dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan, atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka bendabenda, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.25 Manifestasi religiositas pada individu masyarakat melahirkan berbagai macam sikap dan perilaku keagamaan.
Secara
individu, religi yang dijalankan secara sungguh-sungguh dapat menjadikan individu yang “taat”. Hal ini secara sederhana dapat dilihat pada berbagai macam pola tingkahlaku individu itu sendiri, misalnya – dalam Islam – rajin sholat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menjalankan ibadah haji, tawadhu’, sopan, tidak sombong, jauh dari sifat dengki dan iri. Singkatnya, segala perilaku individu tersebut mencerminkan ajaran yang telah dianjurkan oleh agamanya.
Begitu juga dengan perilaku
individu-individu penganut agama lain. 25
Koentjaraningrat, Pengantar....., h. 295.
39
Sedangkan bagi
individu yang tidak menjalankan nilai-nilai religiositas dengan baik, maka berakibat pada munculnya karakter individu yang tidak baik pula, misalnya tidak sopan, bertindak semaunya bahkan merugikan orang lain, mencuri, durhaka dan lain-lain. Sedangkan secara kelompok manifestasi religiositas ini nampak pada munculnya rasa solidaritas yang tinggi baik dalam lingkungan skala kecil maupun skala besar, bahkan melampaui batas wilayah negara maupun benua. Pada kasus ini, solidaritas kelompok yang didasari oleh manifestasi religiositas yang tinggi kerap kali berubah menjadi hal yang menakutkan karena diekspresikan dengan tindakan-tindakan pembunuhan atau bunuh diri yang disertai dengan peledakan karena didasari oleh ekspresi fanatisme religiositas. Sehingga tidak jarang, akibat dari perilaku tersebut, justru bertentangan dengan spirit religiositas itu sendiri. Dalam skala kecil, manifestasi religiositas kelompok ini bisa terwujud dengan adannya sikap saling membantu, menolong, mengayomi dan lain sebagainya.
Pada kasus
masyarakat nelayan misalnya, hal ini dapat dilihat dengan adanya paguyuban atau organisasi kekerabatan berdasarkan kesamaan profesi yang misi utamanya tidak lain adalah untuk 40
memberikan bantuan bagi setiap anggotanya. Bantuan disini tidak hanya bersifat materi atau ekonomi, tetapi juga dalam bidang religiositas, misalnya ketika salah seorang anggota yang ingin melaut atau dikarunia anak, maka diadakan doa bersama untuk kesehatan dan keselamatan bagi nelayan tersebut. Kesemua itu merupakan manifestasi religiositas pada semua tipe masyarakat; seperti masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat pegunungan, masyarakat pesisir dan lain-lain. Dari situ dapat dipahami bahwa manifestasi religiositas yang sungguh-sungguh muncul dari getaran jiwa yang meyakini adanya sesuatu the ultimate reality yang senantiasa mengawasi, melihat, dan mengontrol setiap individu masyarakat. Dengan munculnya getaran jiwa tersebut, maka manusia akan senantiasa berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang tidak baik. B. Masyarakat Pesisir 1. Aspek Terminologi Secara sederhana dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat pesisir adalah sebuah kelompok yang terdiri dari individu-individu yang mendiami atau hidup di daerah pesisir atau pantai. Sedangkan profesi mereka rata-rata adalah nelayan yaitu sebagai pencari ikan di laut baik yang 41
menggunakan peralatan penangkapan ikan secara sederhana ataupun modern. Menurut Mudjahirin Thohir istilah nelayan adalah batasan sosial yang diacukan kepada siapa saja yang bekerja di laut dalam kerangka mencari atau menangkap ikan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan primer atau komoditi. Tentang apakah dalam mencari atau menangkap ikan tadi menggunakan perahu, atau kapal, termasuk alat-alat kail atau jaring, itu adalah soal piranti. Piranti seperti apa yang dipilih sangat dipengaruhi baik oleh tujuan di balik upayanya itu sendiri, tingkat pengetahuan (local knowledge) dan teknologi. Di balik itu semua, harus ada yang mendasari bagaimana masyarakat nelayan itu bekerja dan bekerjasama yaitu pranata sosial. Pranata sosial merupakan konsep-konsep tentang aturan main, kepatutan, dan etika bagi warga bagaimana mereka bisa bekerja dan bekerjasama guna mencapai tujuan bersama denga selamat.26 Arifuddin
Ismail
menegaskan;
komunitas
nelayan
merupakan salah satu komponen yang masuk dalam kategori masyarakat pantai.
Penyebutan nelayan dikaitkan dengan
profesi penangkapan ikan di laut. Dengan kata lain, nelayan 26
Lihat Mudjahirin Thohir, “Kata Pengantar”, dalam Ismail, Agama Nelayan...., h. x.
42
adalah orang-orang yang mencari nafkah secara langsung dari laut yang berkaitan dengan penangkapan ikan.
Orang-orang
yang menjadikan laut sebagai sumber penghidupan, khususnya yang berhubungan dengan penangkapan ikan, disebut nelayan, terlepas dari variasi tangkap yang dimiliki. 27 Saat ini, meskipun sebagian masyarakat pesisir sudah banyak yang berprofesi lain selain nelayan, seperti pedagang, guru, Pegawai Negeri Sipil, bertani atau pekerjaan lain yang tidak berkaitan dengan nelayan, akan tetapi tidak jarang diantara mereka yang memiliki usaha atau semacam alat-alat penangkapan ikan misalnya perahu atau motor laut yang disewakan atau dikerjakan oleh orang lain dengan cara bagi hasil berdasarkan kesepakatan yang buat pada saat pertamakali pekerjaan akan dimulai. 2. Karakteristik Masyarakat Pesisir Setiap tipe masyarakat memiliki karakter tersendiri dalam mereka melakoni kehidupan. Karakter itu sendiri terbentuk oleh banyak faktor misalnya faktor alam, kondisi geografis, dan lainlain. Masyarakat gunung misalnya memiliki karakteristik agak tertutup, hal ini disebabkan oleh tata kehidupan mereka yang 27
Ismail, Agama Nelayan....., h. 79.
43
berada jauh dari keramaian juga dari faktor keadaan mereka yang kebanyak hidup secara sendiri dimana mereka menempati tempat tinggal dilokasi lahan mereka masing-masing, sehingga menjadikan mereka agak jarang berkomunikasi, meskipun dalam batas-batas tertentu, mereka juga memiliki faktor-faktor kohesivitas berdasarkan tradisi dan ritual yang menuntut untuk dilakukan secara bersama. 28 Begitu juga dengan masyarakat pesisir yang memiliki karakteristik tersendiri pula.
Pada umumnya karakteristik
masyarakat pesisir adalah terbuka, lugas, dan egaliter. Menurut Mudjahirin Thohir, hal ini dapat dijadi dari tiga aspek, yaitu (1) aspek kondisi geografis tempat tinggal, (2) aspek jenis-jenis pekerjaan
yang
umum
ditekuni
oleh
penduduk
yang
bersangkutan, dan (3) aspek kesejarahan dalam konteks masuknya ajaran Islam. 29 Secara geografis, wilayah pesisir memberi peluang kepada penduduknya untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk sumber hayati seperti tanaman-tanaman khas pantai, budi daya laut, dan yang paling pokok kekayaan laut seperti ikan dan yang 28 Tentang karakter orang bukit atau pegunungan secara detail lihat Radam, Religi....., khususnya bagian pertama. 29 Mudjahirin Thohir, Kehidupan Keagamaan Orang Jawa Pesisir; Studi Orang Islam Bangsari Jepara (Jakarta : PPs UI, 2002), h. 35.
44
sejenisnya. Keberadaan lingkungan alam, jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan, dan daerah pantai itu sendiri dilihat dari aspek geo-politik berpengaruh kepada kebudayaan dan sifat orang pesisir yang terbuka, lugas dan egaliter. Keterbukaan orang pesisir adalah berkaitan dengan tata ruang fisik (lingkungan alam pantai) yang terbuka dan tata ruang sosial terutama dalam berinteraksi dengan atau kepada pihak luar. Secara historis, masyarakat pesisir sudah terbiasa melakukan transaksi perdagangan ke daerah lain melalui jalur laut. Di samping itu pula, mereka juga sudah terbiasa menerima kehadiran orang-orang asing yang datang ke daerah pantai, terutama daerah-daerah yang berdekatan dengan wilayah pesisir tersebut. Perilaku lugas yaitu berkata apa adanya kepada sesama adalah karakter asli mereka di dalam melakukan strategi adaptasi agar dapat survive di dalam kegiatan bersosial, berekonomi bahkan dalam keberagaman. Dalam konteks sejarah Islam pesisir di Nusantara, paham Islam yang bercorak sufistik yang diperkenalkan kepada penduduk pesisir, adalah yang mengenai persamaan hak dan derajat manusia di hadapan Allah adalah sama, kecuali hanya ditentukan oleh kualitas ketakwaan yang membedakannya. Misi Islam yang demikian itu, menurut Simuh yang dikutip 45
oleh Mudjahirin Thohir, dapat membawa daya tarik tersendiri masyarakat pesisir kelas sosial bawah, yang sekaligus mempengaruhi kepribadian mereka untuk selalu bersikap lugas dan egaliter.30 Sikap apa adanya yang diekspresikan oleh sebagian besar masyarakat pesisir tampak di dalam melakukan interkasiinteraksi verbal yaitu di saat berbicara dengan retorika yang lugas, langsung pada persoalan pokok, tidak banyak basa-basi. Kelugasannya pun dibarengi dengan kebahasaannya yang sederhana. Dengan kata lain, di dalam berinteraksi antarsesama, umumnya orang pesisir lebih menekankan substansi (sesuatu yang dikehendaki), bukan dengan cara mengekspresikan keinginan mengemasnya secara berputar-putar (teoritis). Karakteristik masyarakat pesisir lainnya adalah mudah menerima dan beradaptasi dengan sesuatu yang baru, termasuk budaya dari luar dirinya. Sehingga dengan begitu, masyarakat pesisir dikenal pola hidupnya (life style) yang mudah berubah dan fleksibel dalam menerima setiap perubahan, termasuk juga paham-paham keagamaan.
30
Ibid., h. 37.
46
Perihal peningkatan potendi beradaptasi terhadap elemenelemen luar, dapat saja dilakukan misalnya dengan meningkatkan daya dukung dari lingkungan alam sekitarnya (pengaruh aspek geografis), atau dengan melakukan perbaikan terhadap pihak-pihak yang menjadipembatas sosial budaya.
Dengan
demikian, hal ini menunjukkan bahwa struktur sosial bersifat fleksibel. Berdasarkan perjalanan sejarah sebuah struktur sosial dalam berbagai masyarakat, mempunyai karakteer fleksibel yang menandakan bahwa kapasitas ruang budaya yang terdapat dalam struktur sosial itu dapat berubah-ubah.
Meskipun
perubahan itu varian adanya, yaitu ada yang berubah secara evolutif, dan tidak sedikit yang mengalami perubahan secara revolutif, tergantung kondisi internal strukturl sosial yang mengelolanya. Dengan begitu menjelaskan bahwa, keberadaan unsur-unsur pembentuk struktur sosial-budaya dalam situasi tertentu mampu berintegrasi dengan struktur budaya (luar), sehingga walaupun ditambah tetapi tidak mengurangi kapasitas ruangnya sebagai sarana bagi proses pertukaran sosial. Selanjutnya perubahan struktur ini melewati sebuah titik tertentu yang disebut sebagai titik kritis struktur sosial. 31 31
Adapun yang dimaksud dengan titik kritis disini adalah batasan
47
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa karakter masyarakat pesisir adalah terbuka, egaliter, dan lugas. Karakter ini terbentuk berdasarkan faktor sosial dan alam, dimana dalam kehidupan mereka yang berhadapan dengan kemungkinan masuknya orang dari daerah lain melalui jalur laut, sehingga mengharuskan mereka untuk terbuka agar dapat menyerap setiap informasi ataupun berupa material yang dibawa dari luar dengan menghargai para tamu tersebut dengan baik (egaliter), tetapi mereka juga bersikap lugas atau dengan kata lain ketika berbicara dengan orang lain mereka tidak banyak basa-basi dalam penggunaan bahasa, atau langsung kepada pokok persoalan.
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat
yang fleksibel dan cepat berubah, karena banyak menerima informasi ataupun pemikiran-pemikiran baru dari orang-orang yang datang kedaerah mereka.
Dengan kata lain, pada
masyarakat pesisir sangat memungkinkan terjadinya dinamika internal yang bersumber dari faktor eksternal yang merembes dalam kehidupan keseharian mereka.
antara kemampuan struktur sosial menampung elemen-elemen (budaya) luar, dengan kapastias yang dimilikinya. Lebih jelasnya lihat Eko Susilo, Dinamika Struktur dalam Ekosistem Pesisir (Malang : Unibra, 2010), h. 80.
48
3. Aneka Tradisi Masyarakat Pesisir Bagi masyarakat pesisir yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan sudah pasti mereka menganggap bahwa profesi tersebut merupakan pekerjaan yang keras dan berat, hal tersebut dikarenakan ketika mereka melaut akan berhadapan dengan berbagai macam halangan, rintangan baik oleh karena faktor alam atau karena faktor lainnya yang tidak jarang berakibat pada faktor keselamatan pribadi para nelayan. Berikut ini akan diuraikan beberapa tradisi masyarakat pesisir secara umum.
Dikatakan secara umum, dikarenakan
terdapat pula beberapa tradisi yang sangat kental dengan faktor dan kondisi ataupun keadaan daerah masing-masing, misalnya pada sebuah daerah pesisir memiliki tradisi tertentu, sedangkan pada daerah pesisir lainnya hal tersebut tidak dilaksanakan. Sedangkan secara umum setidaknya terdapat beberapa tradisi yang kesemuanya dilaksanakan oleh masyarakat pesisir dimana pun, khususnya di Indonesia. a) Ruwat Bumi Hampir tidak ada agama di dunia ini yang vacum (nihil) budaya. Sebab kehadiran entitas agama apapun di dunia ini selalu melekat dengan entitas budaya setempat. 49
Seperti
kehadiran Islam di Jazirah Arab tidak lepas dari melekatnya budaya setempat dengan ajaran-ajaran Islam. Sebuh saja tradisi “thawaf” yang menjadi rukun haji dalam ajaran Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw, yang sebelumnya diadopsi dari tradisi bangsa Arab klasik yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim as. Begitu juga masih banyak warisan budaya bangsa Arab lainnya yang diadopsi dan disempurnakan oleh Islam sebagai bagian dari ajaran. Demikian pula kehadiran Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, sulit terhindar dari rembesan budaya lokal yang kemudian hari menjadi norma dan dijadikan standar tindakan yang memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan itu dari beberapa pola keberislamannya yang berbeda dengan komunitas lainnya, seperti ritus-ritus yang mereka lakukan semenjak dulu maupun yang sekarang. Beberapa keunikan masyarakat pesisir yang tampak adalah, setiap tindakan-tindakannya selalu dikaitkan dengan unsur-unsur supernatural atau sakral. Ciri-ciri kesakralan adalah keterkaitan dengan sebuah keyakinan akan “sesuatu kekuatan” di luar dirinya yang supernatural.32
32
M. Yusuf Wibisono, Keberagamaan Masyarakat Pesisir; Studi Perilaku Keagamaan Masyarakat Pesisir di Desa Patimban Kecamatan
50
Pelaksanaan ruwat bumi yang menjadi bagian tradisi masyarakat pesisir, bertempat dilapangan terbuka dan diikuti oleh beberapa orang yang dilengkapi dengan sesajen. Upacara ini dilaksanakan satu tahun sekali yang biasanya pada bulan Februari yang dipimpin oleh seorang tokoh agama yang menyampaikan maksud hajat terlebih dahulu dan diiringi dengan doa-doa berbahasa Arab. Sesajen makanan yang berbagai rupa itu didoakan dan selanjutnya dibagikan ke masyarakat untuk dimakan bersama-sama, seperti nasi kuning, dengan berbagai lauk pauknya, buah-buahan, dan makanan dan sejenisnya. Maksud upacara ruwat bumi adalah rangka mensyukuri atas keberhasilannya dalambentuk hasil pertanian,upaya tolak balak, media penghormatan pada leluhur yang berjasa dalam sejarah perkembangan
daerah
setempat
dan
ajang
silaturahmi
masyarakat. Disamping itu, ruwat bumi biasanya diadakan sebelum mereka bertani (bagi petani) untuk dijadikan sarana ritual memohon kepada Tuhan dan makhluk ghaib lainnya agar diberikan kelancaran.
Ngeruwat bumi diyakini masyarakat
pesisir sebagai pemenuhan kebutuhan spiritualitas, sekaligus Pusakanegara Kabupaten Subang Jawa Barat, Disertasi (Bandung : UIN Sunan Gunung Djati, 2013), h. 245-246.
51
sebagai wujud sosial yang berdampak pada keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan kehidupan masyarakat pada umumnya. b). Sedekah Laut Banyak macam penyebutan terhadap upacara sedekah laut, antara lain; Nadran, ruwatan laut, pesta laut, pesta srada, upacara srada dan lain-lain. Akan tetapi, dalam penelitian ini kata yang akan digunakan adalah sedekah laut. Upacara sedekah laut merupakan upacara yang dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat pesisir secara umum. Pada hakikatnya, upacara ini bermakna ungkapan rasa syukur sekaligus sebagai suatu permohonan akan keselamatan kepada Sang Pencipta melalui makhluk-makhluk ghaib. Dalam arti, sedekah laut sebagai suatu upacara ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan melalui sang “penguasa laut” yang banyak memberikan kesan unik dengan berbagai
ritusnya
yang
diciptakan
sedemikian
rupa.
Keunikannya tampak nyata dari unsur-unsur ritual yang dilaksanakannya semenjak dahulu maupun sekarang, walaupun belakangan ada pergeserah makna. Setiap pelaksanaan upacara sedekah laut akan tampak sesuatu yang dianggap sakral dan berbeda dari sesuatu yang profan dan empiris. Di antara ciri-ciri 52
kesakralan itu adalah adanya ungkapan keyakinan mendalam akan suasana mistis dan supernatural yang dirasakan oleh mereka yang turut dalam proses pesa laut tersebut. Masyarakat nelayan menyadari sebagian besar selama mereka bekerja dan mencari nafkah di tengah laut, sepenuhnya menggantungkan seluruh hidupnya kepada kemurahan alam sebagai anugerah Yang Maha Pemurah. Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Tuhan dan Sang Penguasa laut, masyarakat nelayan mengadakan acara sedekah laut setiap satu atau dua tahun sekali. Terkait dengan ritual, komunitas nelayan memiliki pandangan serta tata cara khusus.
Pelaksanaan ritual bagi
mereka berkait dengan persoalan pekerjaannya di laut yang dianggap
sangat
keras
dan
menantang.
Sebagaimana
lazimnyaketika melaut, nelayan berhadapan dengan gelombang, dan cuaca yang tidak menentu.
Keadaan laut yang sulit
diprediksi tersebut menjadikan profesi nelayan berada pada lingkup ketidakpastian. Cuca alam yang berubah-ubah menjadi ancaman yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan mereka. Bahkan, pada tingkat yang paling buruk, hidup menjadi taruhan profesi mereka.
Kondisi tersebut menuntut para nelayan 53
mencari suatu sandaran yang bisa menopang kelancaran pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan menjaga keselamatan jiwanya. Oleh karena itu masyarakat nelayan memiliki ikatan yang sangat intim dengan kekuatan supranatural yang diejawantahkan melalui berbagai ritual. 33 Sama halnya dengan kegiatan ritual-ritual lainnya, sedekah laut juga memilikir beberapa fungsi.
Berdasarkan
analisisnya, M. Yusuf Wibisono memetakan fungsi dari ritual sedekah laut, antara lain : 1. Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ghaib yang ikut menentukan kehidupannya.
Sedekah
laut tidak hanya memberikan informasi tentang kekuatan tersebut, melainkan membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan. 2. Sedekah laut masyarakat pesisir bertalian erat dengan fungsinya dengan yang pertama yaitu memberi jaminan bagi masa kini dan masa yang akan datang. 3. Sedekah laut juga berfungsi sebagai perantara antara manusia dengan daya-daya kekuatan alam. 33
Ismail, Agama Nelayan....., h. 1-2.
54
4. Sedekah laut berfungsi pula memberikan keterangan atau pengetahuan tentang dunia dan alam sekitar yang harus dihormati, dilestarikan dan tidak boleh dirusak. 5. Sedekah laut menjadi sara kohesi sosial yang efektif untuk masyarakat setempat.34 Dalam konteks sosial, ritual sedekah laut juga berfungsi sebagai upaya untuk mengikat emosional keagamaan sesama masyarakat. Emosi keagamaan ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang bernuansa religiusitas, salah satunya dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Dengan begitu, tradisi dan agama yang didalamnya memuat berbagai ritual keagamaan, dapat
mempertegas dan memperkuat ikatan
emosional antara para anggota dalam komunitasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ritual keagamaan adalah penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi institusional suatu masyarakat. C. Hubungan Religiositas dan Tradisi pada Masyarakat Pesisir Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
pada
bagian
sebelumnya, bahwa pada masyarakat pesisir terdapat hubungan 34
Ibid., h. 279.
55
antara tradisi yang biasa mereka lakukan dengan dengan ritual keagamaan. Hal tersebut dapat dipahami, karena setiap hal yang menyangkut dengan profesi mereka sebagai nelayan adalah sangat bergantung pada “alam yang bersahabat”. Jika ini terjadi, maka mereka dapat mencari nafkah ditengah laut dengan selamat dan membawa pulang hasil panen yang berlimpah. Sebaliknya, jika “alam tidak bersahabat”, bukan hanya hasil yang tidak diperoleh, tetapi keselamatan mereka pun terancam. Alam adalah tempat
gejala-gejala dan peristiwa-
peristiwa berasal, yang dianggap oleh para nelayan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan supernatural atau kekuatan sakti, sebagai-mana teori kekuatan luar biasa. 35 Oleh karena itu, maka ritual dijadikan media yang bisa membantu mengatasi persoalan hidup mereka, memberi ketenangan psikologis, sekaligus pengharapan rezeki yang melimpah. Hal ini menandakan bahwa posisi ritual bagi nelayan sangat menonjol. Ritual dimaksudkan 35
Teori ini dikemukakan oleh R.R. Marett; alam merupakan tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa berasal, yang dianggap memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan yang telah dikenal manusia di alam sekelilingnya yang disebut super natural. Gejala-gejalan dan peristiwaperistiwa luarbiasa tadi dianggap akibat dari suatu kekuatan super natural atau kekuatan luar biasa sakti. Lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), h. 28. Lihat juga Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1993), h. 32.
56
untuk menghadapi gangguan ketika mereka bekerja mencari nafkah, sekaligus mengatasi krisis hidup yang dialami. Aktivitas ritual nelayan, disatu sisi merupakan ekspresi dari perasaan rendah diri di hadapan kekuatan alam,dan di sisi lain merupakan wujud penyatuan antara manusia dan alam, khususnya laut. Karenanya, aktivitas ritual ini menjadi bagian dari sistem nilai religiusitas yang mempengaruhi kehidupan para nelayan, yaitu kesadaran adanya kekuatan di balik alam. 36 Bagi masyarakat nelayan, keyakinan terhadap agama yang telah dianut secara turun menurun tidak serta merta menghilangkan praktik-praktik ritual mereka secara total. Meski para nelayan menerima agama (Islam misalnya) sebagai keyakinan, disamping menerima cara-cara modern dalam menangkap ikan, mereka tetap tidak kehilangan tradisi lokal sebagai nilai adat di tengah pergeseran makna dan nilai. Hal tersebut disebabkan posisi atau pun predikat profesi mereka sebagai
nelayan
seringkali
dilanda
rasa
ketakutan dan
kecemasan, oleh karenanya sangat membutuhkan suatu kekuatan yang super natural yang dapat melindungi mereka dari segala macam bentuk bahaya. 36
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta : UI Press, 1981), h. 230.
57
Sarjana antropologi Malinowski, yang penelitiannya terhadap penduduk pulau Trobriand, menjelaskan fungsi paling penting yang dimainkan oleh praktik ritual keagamaan adalah menguatkan kepercayaan kepda diri sendiri dalam menghadapi situasi-situasi ketegangan.
Tari-tarian, mantera-mantera dan
jampi-jampi membantuk orang menyesuaikan diri kepada ketegangan-ketegangan kesimpatan
untuk
psikologis mereka.
dengan
memberikan
medramatisasi
kesempatan-
kecemasan-kecemasan
Ritual keagamaan membangkitkan suatu
kesadaran “berbuat sesuatu mengenai hal tersebut” untuk menghadapi ketidakpastian dimana cara-cara praktis saja tidak menjamin keberhasilan pekerjaan tersebut.
Malinowski
berkesimpulan bahwa apabila ketidakpastian yang besar mengenai hasil itu berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang vital bagi masyarakat, maka penggunaan cara-cara ritual keagamaan atau cara-cara lain yang serupa sebagai sarana untuk menghilangkan ketegangan dan meningkatkan penyesuaian diri itu tidak dapat dihindari. 37
37
Elizabeth K.Nothingham, Agama dan Masyarakat ; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), h. 88-89.
58
Sebagai masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, masyarakat pesisir tidak sepi dari ritual-ritual yang melekat dalam setiap tradisi mereka, baik yang menyangkut bagi keselamatan juga harapan akan panen besar ketika sedang berada di tengah laut, yang semua hal tersebut mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dirumah. Sebab bagaiamana tidak, hal demikian merupakan suatu usaha yang dilakukan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup terutama secara ekonomi; untuk biaya sehari-hari, pendidikan sekolah anak mereka dan lain-lain. Dengan kata lain, ritual pada masyarakat nelayan merupakan refleksi dari rasa kecemasan sekaligus rasa harapan terhadap masa depan kehidupan mereka (survival). Maka dengan begitu pula dapat ditegaskan bahwa terdapat titik hubungan religiositas pada setiap tradisi masyarakat pesisir.
59
BAB III METODE PENELITIAN Setiap kegiatan ilmiah, agar lebih terarah dan rasional diperlukan suatu metode yang sesuai dengan objek yang diteliti, karena metode sendiri berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Disamping itu, metode juga merupakan cara bertindak dalam upaya agar kegiatan penelitian dapat terlaksana secara rasioanl dan terarah supaya mencapai hasil yang maksimal. Menurut Sturisno Hadi, metodologi merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, karena benar salahnya suatu kesimpulan yang diambil sangat ditentukan oleh metode penelitian yang dipakai. Kesalahan dalam menentukan merode akan mengakibatkan kesalahan dalam mengambil data serta di dalam mengambil keputusan, sebaliknya semakin tepat metode yang digunakan, diharapkan semakin baik pula hasil yang diperolehnya.1 A. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research)
1
yaitu
penelitian
yang
mengangkat
data
dan
Sutrisno Hadi, Metode Riset (Yogyakarta :UGM Press, 1996), h.
23.
60
permasalahan yang ada di dalam masyarakat. 2 Data yang ada di masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas sedekah
laut
yang
dilaksanakan
masyarakat
kelurahan
Kangkung, serta sejauh mana penghayatan mereka terhadap agama Islam. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu berusaha menjelaskan berbagai masalah secara cermat dan detail dengan menghubungkan berbagai data, sehingga diperoleh suatu gambaran yang jelas dari fokus penelitian.
Menurut
Koentjaraningrat, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, gejala, atau kelompok tertentu dan mengungkapkan apa adanya. 3 Dengan kata lain, penelitian ini akan
menggambarkan
dan
mengemukakan
kenyataan
sebenarnya berdasarkan data yang diperoleh secara kontekstual. Peggunaan metode ini dimaksudkan untuk membuat suatu gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai tradisi “sedekah
laut”
pada
masyarakat
Kelurahan
Kangkung
Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung.
2 Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 41. 3 Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1989), hlm. 30.
61
B. Sumber Data Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Adapun sumber data memiliki dua jenis yaitu sumber data yang bersifat primer dan sekunder. Menurut Lofland yang dikutip oleh Moloeng, sumber data primer adalah kata-kata atau tindakan orang yang diamati atau diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau rekaman. 4 Oleh karena itu, sumber data primer adalah yang berupa penggalian secara mendalam melalui wawancara langsung terhadap para responden atau informan seperti masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung selaku praktisi sedekah laut, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, pihak Kelurahan Kangkung, Pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Jaya yang merupakan tempat para nelayan Kangkung khususnya melakukan simpan pinjam, juga pihak
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya Bandar
Lampung.
Penggalian data dalam hal ini menggunakan
mekanisme snow ball, dengan cara menghubungi informan yang diharapkan dapat memberikan, melengkapi dan memperkaya sumber data primer dalam penelitian ini, artinya tidak tertutup kemungkinan para informan akan bertambah sesuai dengan kebutuhan penggalian data yang diperlukan.
4
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), h. 157.
62
Sedangkan sumber data primer adalah pelacakan berbagai informasi maupun teori-teori religiositas masyarakat pesisir secara umum yang terkait dengan tema besar penelitian baik yang berasal dari buku literatur, hasil penelitian, jurnal ilmiah, surat kabar, maupun internet. Dengan demikian, sumber data dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara terhadap informan ataupun responden juga berasal dari hasil bacaan terhadap literatur dan dokumen lainnya. C. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Yaitu cara pengumpulan data dengan jalan melakukan pengamatan secara langsung dan pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.
Dalam hal ini
peneliti bertindak sebagai observer non partisipan, artinya hanya mengamati langsung dilokasi dan tidak terlibat dalam kegiatan masyarakat setempat.
5
Tekhnik ini digunakan karena
pengamatan selalu mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya; pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan 5
Koentjaraningrat, Metode Penelitian......, h. 162.
63
para subjek pada keadaan waktu; pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data; pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihak peneliti maupun dari pihak objek penelitian. 6 Adapun yang dimaksud dengan observasi disini adalah peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap praktik “sedekah laut” serta berbagai rangkaiannya, yang
dilakukan
oleh
masyarakat
Kelurahan
Kangkung
Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung. b. Wawancara Wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak dilakukan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama penelitian yang bersifat kualitatif.
Maksud
mengadakan wawancara secara umum adalah untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subjek yang diteliti.
Menurut Dadang Kahmad, yang dimaksud dengan
wawancara ialah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya (pewawancara) dengan si penjawab (responden atau informan) dengan menggunakan alat yang dinamakan pedoman
6
Moleong, Metodologi....., h. 175.
64
wawancara. 7 Sedangkan menurut Koentjaraningrat wawancara yaitu cara pengumpulan data dengan tanya jawab, dikerjakan dengan sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian. 8 Dalam penelitian ini digunakan wawancara bebas terpimpin, yaitu mengadakan wawancara secara bebas, namun tidak terlepas dari masalah yang diteliti.
Metode ini digunakan karena objek
penelitian menyangkut masyarakat umum, oleh karena itu pendapat mereka harus dilibatkan dan dijadikan sumber informasi utama.
Selain itu, untuk melengkapi data yang
diperoleh dari wawancara, peneliti akan melakukan konfirmasi dengan informan 9 .
Adapun yang akan dijadikan informan
adalah tokoh agama, pihak kelurahan Kangkung, Pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Jaya,
juga pihak Dinas
Perikanan dan Kelautan Kotamadya Bandar Lampung. Jika informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, peneliti anggap belum lengkap atau masih memerlukan tambahan, maka peneliti menghubungi kembali responden atau informan untuk melakukan wawancara ulang.
7
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 89. 8 Koentjaraningrat, Metode Penelitian......, h. 174. 9 Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Lihat Kahmad, Metode Penelitian ....., h. 89.
65
Terdapat tiga macam wawancara, yaitu 1) wawancara terstruktur, 2) wawancara semiterstruktur, 3) wawancara tidak terstruktur.10 Adapun yang peneliti gunakan dalam maksud ini adalah wawancara semiterstruktur; karena jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori indepth interview, di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan wawancara jenis adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. 11 Agar informasi dapat diperoleh secara utuh dan tidak ada yang tertinggal, penulis melakukan pencatatan secara cermat serta menggunakan alat perekam suara. Sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka wawancara akan dikonsentrasikan pada kisaran konsep religiositas dan tradisi sedekah laut, prosesi pelaksanaan sedekah laut, serta posisi nilai-nilai budaya yang dianggap sakral dalam hubungannya dengan agama. c. Sumber Tertulis (Dokumentasi) Sumber tertulis (Dokumentasi) bisa berupa buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian seperti Tesis dan Disertasi, surat kabar, juga foto, termasuk juga arsip pelaksanaan sedekah laut yang 10
Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif, dan R&D (Bandung : Alfabeta, 2009), h. 319-320. 11 Ibid.
66
akan dijadikan sebagai tujuan mencari dan menggali informasi. Sumber tertulis lainnya adalah dokumen pribadi.
Dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya momumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.
Sedangkan dokumen yang berbentuk
gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Kemudian dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumen ini menurut Dadang Kahmad, merupakan pelengkap dari metode wawancara dalam penelitian kualitatif.12 Selain itu, ada juga dokumen yang bersifat resmi, seperti dokumen-dokumen pada instansi pemerintah, sekolah, lembaga dan organisasi keagamaan dan lain-lain. Dokumen jenis ini bisa berupa keputusan hasil pertemuan atau rapat, laporan kemajuan tahunan atau juga profil dari suatu wilayah. Dengan
demikian,
dokumentasi
dalam
teknik
pengumpulan data pada penelitian ini ialah, melakukan penelaahan secara kritis dengan cara membaca sebanyakbanyaknya buku literatur, jurnal, hasil penelitian, surat kabar juga penelaahan terhadap dokumentasi yang berupa arsip dari 12
Kahmad, Metode Penelitian ....., h. 329.
67
pelaksanaan sedekah laut yang terdapat pada tokoh agama dan tokoh masyarakat, atau yang terdapat pada pihak Kelurahan Kangkung dan pihak pengurus KUD Mina Jaya. Dengan cara ini, diharapkan peneliti mendapatkan wawasan yang lebih komprehensif sehingga mampu melakukan analisis secara kritis dan analisis komparatif terhadap berbagai pendapat yang di temukan dalam berbagai dokumentasi tersebut. D. Analisis Data Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data.
Analisis data adalah rangkaian kegiatan
penelahaan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena yang ditemukan dapat disarikan. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain seperti literatur dan dokumentasi, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unitunit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Langkah pertama yang dilakukan dalam analis data adalah melakukan reduksi data baik yang diperoleh hasil 68
wawancara maupun hasil telaah kritis terhadap literatur-literatur ataupun dokumen-dokumen.
Setelah data dirasa cukup, lalu
data tersebut kemudian dipilah-pilah sesuai dengan pokok tema bahasan. Tujuan reduksi data ini adalah agar dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara dan penelaahan literatur. Selain itu, reduksi data dapat membantu dalam memberikan kode bagi aspek-aspek yang dibutuhkan. 13 Dalam melakukan reduksi data, berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memisahkan data yang dianggap tidak berhubungan dengan kepentingan fokus penelitian. Kemudian
langkah
selanjutnya
adalah
melakukan
display data, hal ini dilakukan supaya data yang banyak dan sudah ada dapat dipetakan secara jelas. 14 Dalam penelitian kualitatif, display data biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan mendisplay data, maka peneliti akan mudah memahami apa yang terjadi.
Tahapan selanjutnya adalah
pengkajian secara kritis kemudian dianalisis secara mendalam dengan menggunakan analisis kualitatif. 15 Setelah dianalisis, 13
Ibid., h. 159. Ibid. 15 Lihat Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian SosialAgama (Bandung : Remaja Rosda Karya. 2001), hlm. 9. 14
69
tahapan selanjutnya adalah mensintesiskan hasil dari kajian analisis-kritis tersebut untuk dijadikan fakta dalam penyusunan penelitian.
Kemudian melakukan interpretasi terhadap fakta
yang sudah diperoleh secara jujur, objektif, serta mengutamakan realitas yang terkait dengan penelitian.16 Kegiatan berikutnya adalah menarik kesimpulan, dimana data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis sehingga makna yang terkandung dari sebuah analisis dalam penelitian dapat ditemukan.
17
Kesimpulan dalam
penelitian akan menggunakan metode induktif. 18 E. Pemeriksaan Keabsahan Data Menurut
Moleong,
(trusthworthiness)
data
untuk
menetapkan
diperlukan
teknik
keabsahan pemeriksaan.
Pelaksanaan pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk
melakukan pemeriksaan keabsahan data kualitatif, yaitu : 1. Derajat
kepercayaan
(credibility);
merupakan
konsep
pengganti dari konsep validitas internal dalam penelitian kualitatif. Pentingnya uji kepercayaan, karena karakteristik informannya yang beragam, serta substansi informasinya 16 Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta : Bentang. 1997), hlm. 98. 17 Kahmad, Metode Penelitian…., hlm. 159. 18 Suprayogo, Metode Penelitian Sosial....., hlm. 125.
70
yang relatif abstrak.
Kredibilitas ini berfungsi untuk
melaksanakan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Beberapa tekhnik yang akan digunakan untuk menentukan kredibilitas dalam penelitian ini antara lain; wawancara berulang kali, ketekunan, membicarakan (diskusi) dengan orang lain/ sejawat, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, pengecekan anggota (member check), uraian rinci, dan auditing. 2. Keteralihan (transferability); merupakan validitas eksternal untuk memperoleh generalisasi. Generalisasi dalam hal ini tidak bisa dipastikan, karena bergantung pada peneliti apakah akan diaplikasikan lagi atau tidak. Dan sudah pasti tidak akan terjadi dalam situasi yang sama. 3. Kebergantungan (depentability); yang menjadi alat ukur dalam penelitian ini bukanlah benda, melainkan manusia atau peneliti sendiri, sehingga peneliti akan mengumpul-kan data sebanyak
mungkin
selama
penelitian.
Konsep
kebergantungan lebih luas daripada reliabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya, yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang tersangkut. 71
4. Kepastian (confirmatibility).
Selama proses penelitian,
peneliti mengalami pengalaman yang bersifat subyektif. Tetapi jika penglaman tersebut disepakati oleh beberapa orang, maka pengalaman peneliti dapat dianggap menjadi objektif. Jadi, persoalan objektivitas atau subjektivitas dalam penelitian kualitatif ini sangat ditentukan oleh persetujuan beberapa
orang
terhadap
penemuan seseorang.
pandangan,
pendapat,
dan
Selain itu, suatu dianggap objektif,
berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipercayakan. Sedangkan subjektif berarti tidak dapat dipercaya atau melenceng.
Pengertian inilah yang dijadikan tumpuan
pengalihan pengertian objektivitas-subjektivitas menjadi kepastian (comfirmability). Segala
tahapan-tahapan
pemeriksaan
data
dalam
penelitian ini, akan dilakukan setepat mungkin, sehingga menghasilan penelitian yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.
72
BAB IV FENOMENA TRADISI SEDEKAH LAUT MASYARAKAT KELURAHAN KANGKUNG KECAMATAN BUMI WARAS A. Gambaran Umum Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung Kelurahan Kangkung merupakan salah satu kelurahan yang terletak dibawah wilayah administrasi Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung.
Sebelum berada
diwilayah adaministrasi Kecamatan Bumi Waras, Kelurahan Kangkung masuk pada wilayah Kecamatan Teluk Betung Selatan. Nama Kelurahan Kangkung sesungguhnya diambil dari nama tanaman yang tumbuh di air atau rawa dengan cara merambat.
Menurut sejarahnya, pada waktu Kampung
Kangkung terdiri dari tanah daratan dan tanah rawa.
Pada
bagian daratan banyak ditumbuhi pohon kelapa dan pohon waru, sedangkan pada tanah rawa banyak sekali ditumbuhi tanaman kangkung.
Sehingga untuk mempermudah mencari atau
mengingat nama kampung kangkung pada waktu itu, maka
73
dipakailah nama pohon kangkung sebagai nama Kampung Kangkung atau Kelurahan Kangkung. 1 Luas wilayah Kelurahan Kangkung adalah 30,7 Ha yang terdiri dari wilayah pemukiman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya.
Sebelah Utara berbatasan dengan
wilayah Kelurahan Teluk Betung Kecamatan Teluk Betung Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kelurahan Bumi Waras Kecamatan Teluk Betung Selatan, sedangkan Barat berbatasan dengan daerah Pesawahan yang juga masuk dalam wilayah Kecamatan Teluk Betung Selatan.
Kelurahan Kangkung memiliki 27
Kepala Rukun Tetangga. Meskipun begitu akibat asimilasi dan pergaulan dengan etnis atau suku lain, saat ini telah terjadi perkawinan antar etnis seperti misalnya antara etnis Jawa dengan Sunda, Lampung dengan Jawa dan lain-lain. Hal tersebut menimbulkan akulturasi budaya sehingga dalam praktek sehari-hari pun dimensi keaslian budaya asal pun tidak begitu kentara, dan lebih menonjolkan budaya secara nasional. Adapun yang dimaksud dengan lebih menonjolkan budaya secara nasional adalah seperti dalam suatu perkawinan, mereka tidak lagi sepenuhnya menggunakan cara-
1
Pemerintah Daerah Kotamadya Bandar Lampung, Profil Kelurahan Kelurahan Kangkung, (Bandar Lampung, 2011), h. 1.
74
cara adat asli – meskipun tidak seluruhnya ditinggalkan – akan tetapi mencoba untuk bersikap netral dan hanya sebagian kecil saja yang masih dipakai.
Begitu juga dengan penggunaan
bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi.
Masyarakat
Kangkung dapat dikatakan seluruhnya telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Penduduk Kelurahan Kangkung rata-rata berprofesi sebagai Pedagang/wiraswasta juga sebagai Buruh (Nelayan). Selain itu, ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, TNI, POLRI. Jika dilihat dari Etnis, penduduk Kelurahan Kangkung mayoritas adalah pribumi (Lampung, Jawa, Sunda dan lainlain), selain itu terdapat pula etnis Tionghoa dan Arab yang telah menjadi Warga Negara Indonesia. Sedangkan jika dilihat dari aspek keyakinan, penduduk Kelurahan Kangkung mayoritas beragama Islam, disamping terdapat pula yang beragama Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu. Adapun kehidupan keagamaan di Kelurahan Kangkung secara umum dapat dikatakan berjalan dengan baik, hal ini ditandai dengan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian apalagi yang mengarah pada dis-integrasi antar komunitas umat beragama. Semua penganut agama baik Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu disana dapat menjalankan ibadah dengan
75
tenang dan baik, tanpa merasa ada gangguan apalagi intimidasi dari penganut agama lain. Menurut Lurah Kangkung, bahwa meskipun disini terdiri dari berbagai macam pangnuat agama, akan tetapi tidak pernah terjadi keributan atau pun konflik yang berasal dari agama. Masyarakat sudah cukup memiliki toleransi terutama agama, sehingga masing-masing dapat saling menghargai terhadap penganut agama lain. Selain itu, masyarakat disini sudah terjadi akulturasi yang disebabkan oleh perkawinan antar etnis.
2
Dengan begitu dapat diungkapkan disini, bahwa susana keagamaan yang rukun dan saling toleransi dan juga suasana interaksi sosial kemasyarakatan telah berjalan dengan baik. Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa mayoritas masyarakat disana adalah beragama Islam, akan tetapi praktek keagamaan tidak hanya bersifat praktek ibadah seperti biasanya. Adapun yang dimaksud dari uraian tersebut, yaitu masyarakat Kangkung yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dimana profesi tersebut sangat bergantung kepada “kebaikan alam” seperti cuaca yang baik sehingga tidak terdapat badai atau gelombang besar yang pada gilirannya dapat memberikan hasil panen yang banyak bagi mereka. Oleh karena itu, masyarakat
2
Disarikan hasil wawancara dengan Drs. Ediyalis (Lurah Kangkung), tanggal 13 September 2013.
76
nelayan Kangkung mempraktekkan juga ritual Sedekah Laut yang dilaksanakan setahun sekali yang diantara tujuannya adalah dikala masyarakat sedang mencari nafkah ditengah laut, maka akan diberikan keselamatan serta mendapat hasil yang melimpah. B. Konsep Religiositas dalam Tradisi Sedekah Laut pada Masyarakat Kelurahan Kangkung Menurut Arifuddin Ismail bahwa tradisi dalam arti sempit adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi merupakan ruang yang mengaitkan suatu masyarakat kontemporer dengan masa lalu.
Masa lalu tidak pernah lenyap, dan senantiasa
mewariskan serpihan yang menyediakan ruang dan lokus bagi fase berikutnya untuk melanjutkan proses.
Mekanisme
hubungan masa lalu dan masa kini melalui dua cara yaitu materi atau fisik, dan gagasan atau psikologi. 3 Mekanisme material adalah proses pewarisan melalui benda, artefak dan tatanan yang diwariskan oleh generasi terdahulu dan mempengaruhi tindakan sosial generasi sekarang. Melalui mekanisme material tradisi mampu bertahan, sejauh dan sekuat
benda-benda atau artefak bertahan.
3
Sedangkan
Arifuddin Ismail, Agama Nelayan; Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), h. 25.
77
mekanisme ide atau psikologi mewariskan tradisi melalaui kemampuan mengingat dan berkomunikasi. Melalui mekanisme ide atau gagasan, orang mewarisi keyakinan, pengetahuan, simbol, dan nilai masa lalu.
Kejadian masa lalu terpelihara
dengan baik karena masih ada orang yang mengingat pengalaman masa lalu mereka.
Dalam hal ini, keberadaan
tulisan sangat penting. Tulisan memperluas cakupan interaksi ruang dan waktu. Sedangkan penyebaran tradisi melalui lisan lebih terbatas ketimbang melalui tulisan. Lebih lanjut Ismail menjelaskan bahwa tradisi lahir melalui dua cara. Pertama, bersifat kultural. Ia muncul dari bawah, spontan dan massif. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman yang disebarkan melalui berbagai cara kemudian mempengaruhi rakyat. Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, pemugaran peninggalan dan penafsiran ulang atas keyakinan. Kekaguman dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya. Kedua, bersifat struktural. Ia terbentuk dari kekuasaan elite dan melalui mekanisme paksaan.
Sesuatu yang sesungguhnya bersifat personal
dianggap sebagai tradisi pilihan dan dijadikan tradisi kolektif melalui jalur kekuasaan seorang raja.
Raja memungkinkan
memaksa tradisi dinastinya kepada rakyat, atau kebiasaan78
kebiasaan raja yang lantas dipaksakan menjadi tradisi rakyat, bahkan menjadi kebudayaan bersama. 4 Sztompka menganggap tradisi penting karena memiliki fungsi dalam masyarakat. Tradisi menyediakan cetak biru untuk bertindak (seperti tradisi kesenian, kerajinan, pengobatan atau profesi), panutan untuk diteladani (seperti tradisi kepahlawanan, kenabian, dan para pimpinan spiritual), pola organisasi (seperti agama, pembagian kerja, distribusi peran sosial, demokrasi, sisten bagi hasil), atau gambaran mengenai masyarakat rujukan (seperti masyarakat ideal Madinah).
Tradisi menyediakan
bangunan untuk generasi membangun kehidupan tanpa harus memulai dari permulaan.5 Tradisi
memberikan
legetimasi
pandangan
hidup,
keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada. Tindakan sosial yang terjadi saat ini selalu memerlukan legitimasi dari tradisi. Tradisi juga menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Dalam berbagai hal, tradisi sedekah laut masyarakat Kelurahan Kangkung Kotamadya Bandar Lampung pun merupakan suatu kelanjutan dari tradisi masyarakat terdahulu 4
Ibid., h. 26. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), h. 74-77. 5
79
terutama dari wilayah Cirebon.
Sebagai gambaran, bahwa
masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung adalah mayoritas berasal dari wilayah Cirebon Jawa Barat yang memang sudah terkenal akan tradisi sedekah laut.6 Jika merujuk pada penjelasan Arifuddin Ismail diatas, maka tradisi pada masyarakat Kelurahan Kangkung merupakan tradisi yang lahir bersifat kultural.
Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Kepala KUD Mina Jaya, bahwa tradisi sedekah laut disini merupakan tradisi yang lahir dari bawah dan spontan serta dilakukan secara massif. 7 Terkait dengan sikap keberagamaan (religiositas) vis-avis tradisi sedekah laut
masyarakat
nelayan Kelurahan
Kangkung, bahwa mereka menganggap hal tersebut merupakan warisan para nenek moyang mereka yang perlu dilestarikan yang tidak ada hubungannya dengan agama, meskipun dalam prakteknya menggunakan simbol-simbol agama. Adapun yang peneliti maksudkan menggunakan simbol-simbol agama dalam
6
Tradisi sedekah laut di Cirebon disebut dengan Nadran. Memang tidak diketahui mulai kapan dan oleh siapa kata Nadran dipergunakan. Sebab istilah tersebut sudah berlaku secara turun menurun. Nadran bermakna syukuran sekaligus permohonan akan keselamatan kepada sang Pencipta melalui makhluk-makhluk ghaib. Dalam arti, Nadran sebagai suatu upacara ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan melalui sang Penguasa Laut yang telah banyak memberikan rezeki dari hasil laut (ikan). 7 Wawancara dengan Kosim (Kepala KUD Mina Jaya) periode 20132017, tanggal 13 September 2013.
80
praktek sedekah laut adalah dimana dalam penyelenggaraannya melibatkan tokoh agama yang didaulat untuk membacakan doa (khususnya doa untuk keselamatan bagi para nelayan) pada setiap rangkaian acara ritual sedekah laut. Meskipun begitu, menurut salah seorang informan bahwa kegiatan tradisi sedekah laut, bukanlah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan pada setiap tahun.
Sebab praktek
tersebut memerlukan dana yang cukup besar yang harus ditanggung secara bersama, dan sekiranya para nelayan dalam keadaan paceklik, maka kegiatan tersebut bisa saja tidak dilaksanakan. Akan tetapi sejauh ini, tradisi sedekah laut selalu diadakan dalam setiap tahunnya.
Jika dana yang terkumpul
cukup banyak, maka acara tersebut diselenggarakan dengan meriah, sebaliknya apabila dana yang diperoleh dari sumbangan masyrakat sedikit, acara sedekah laut pun dialaksanakan secara sederhana.8 Secara teoritis bahwa religiositas dapat dimaknai sebagai sikap keberagamaan individu atau masyarakat yang dalam salah satu aktualisasinya mempercayai akan adanya hal yang ghaib atau the ultimate reality, yang menguasai alam semesta berikut isinya. Terkait dengan kepercayaan terhadap hal yang ghaib
8
Wawancara dengan Mashudi (Sekretaris KUD Mina Jaya), tanggal 13 September 2013.
81
tersebut, maka individu atau masyarakat melakukan ritual atau upacara keagamaan sebagai wujud ungkapan syukur dan ketaatan sekaligus meminta perlindungan dari segala macam bahaya, kecemasan, kemiskinan dan lain sebagainya. Tradisi sedekah laut
pada masyarakat
Kelurahan
Kangkung pun merupakan salah satu bentuk ritual yang intinya adalah sebagai ungkapan syukur terhadap Allah yang telah memberikan rezeki dan keselamatan bagi para nelayan. Ritual yang memiliki tujuan seperti hal tersebut, jika merujuk pada Mariasusai Dhavamony masuk pada jenis ritual faktitif. Ritual faktitif yaitu untuk meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.9 Secara historis, tradisi sedekah laut merupakan suatu wujud atau ekspresi religiusitas para leluhur masyarakat nelayan Kangkung dalam mempercayai adanya kekuatan supernatural di balik alam semesta. Tidak dapat dipungkiri bahwa sedekah laut adalah produk budaya nenek moyang yang terpengaruh oleh 9
Selain ritual faktitif, Dhavamony menyebutkan tiga macam ritual lainnya yaitu (1) tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahanbahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Lihat Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1995), h. 175.
82
kepercayaan animisme dan dinamisme. Persinggungan antara budaya lokal dan kedua kepercayaan tersebut menghasilkan format ritual sedekah laut. Belakangan setelah Islam masuk ke Indonesia, maka doa-doa dalam upacara sedekah laut ada yang ditambah dan diganti dengan bahasa Arab yang sebagian diambil dari ayat-ayat al-Qur’an.
Hal tersebut menunjukkan
telah terjadi pergeseran, bahwa ritual sedekah laut adalah produk sinkretisme antara budaya lokal yang sarat dengan ajaran animisme-dinamisme di satu sisi, dan Islam di sisi lain. Dengan begitu dapat dipahami bahwa konsep religiositas dalam tradisi sedekah laut masyarakat Kangkung merupakan ekspresi terhadap rasa syukur dan ketaatan kepada Allah atas segala macam bentuk rezeki yang telah diberikannya, sekaligus memohon perlindungan terhadap segala macam bahaya, kemiskinan dan kecemasan.
Ekspresi ini muncul dilatar-
belakangi oleh profesi mereka sebagai nelayan yang sangat rentan terhadap keselamatan diri mereka terutama ketika sedang melaut. C. Prosesi
Pelaksanaan
Sedekah
Laut
Masyarakat
Kelurahan Kangkung Latar belakang tradisi sedekah laut baik yang ada di Kelurahan Kangkung maupun di berbagai daerah atau wilayah Indonesia didasari oleh adanya kepercayaan masyarakat, bahwa 83
laut mempunyai “penguasa”.
Oleh karena itu, diadakanlah
persembahan berbentuk sesajian kepala kerbau dan berberapa hasil bumi, yang bertujuan agar terhindari dari bencana yang diakibatkan oleh “kemarahan sang penguasa laut”. Memang dari catatan sejarah, tidak diketahui mulai kapan dan oleh siapa tradisi ini dinamakan, dan siapa yang mulai pertama kali melakukannya.
Sebab tradisi ini telah
dilakukan secara turun menurun, terutama bagi masyarakat pesisir. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Fadli, “kami tidak mengetahui sejak kapan pertamakali tradisi ini dilaksanakan, sebab bagi kami yang terpenting adalah melestarikan tradisi tersebut, adapun tujuannya adalah dimana para nelayan yang tersebar di berbagai tempat (dalam daerah Teluk Lampung) dapat saling kenal, dan menyatukan hati dan perasaan. Selain itu para nelayan juga berharap agar dalam menjalani profesi mereka dalam mencari ikan, akan terhindari dari bahaya dan bencana (selamat), selain itu para nelayan juga diharapkan dapat memperoleh hasil yang melimpah”. 10 Masyarakat
nelayan
(khususnya
di
Kelurahan
Kangkung) sebagian besar menyadari bahwa selama mereka bekerja dan mencari nafkah di tengah laut, sepenuhnya
10
Wawancara dengan Fadly (warga Kelurahan Kangkung), tanggal 13 September 2013.
84
menggantungkan seluruh hidupnya kepada kemurahan alam sebagai anugerah Yang Maha Pemurah. Sebagai manifestasi rasa bersyukur kepada Tuhan, masyarakat nelayan mengadakan acara sedekah laut dalam setiap tahunnya. Pada dasarnya penyelenggaraan sedekah laut adalah pelaksanaan ritual dalam bentuk syukuran nelayan dengan melarungkan ke tengah laut berupa sesajian kepada kerbau, dan beberapa jenis makanan dan minuman yang ditambahkan pula kembang tujuh rupa. Selain itu juga diiringi dengan berbagaian kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat seperti; diadakan bhakti sosial, khitanan massal, pemberian tali kasih bagi masyarakat sekitar yang dianggap tidak mampu, juga hiburan rakyat, dan juga pasar malam. Menurut Kosim (Ketua KUD Mina Jaya), bahwa terdapat beberapa tujuan dari penyelenggaraan sedekah laut khususnya di Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras, yaitu : 1. Sebagai
ekspresi
rasa
syukur
dan terima
kasih
masyarakat nelayan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rezeki yang diperoleh dari laut selama satu tahun sebelumnya.
Sekaligus diberikan keselamatan
dalam mencari ikan pada tahun berikutnya.
85
2. Untuk memelihara semangat kebersamaan dan gotong royong juga kerjasama, utamanya sesama masyarakat nelayan. 3. Membuka peluang bagi masyarakat setempat untuk lebih membuka diri, sehingga dapat menambah wawasan kebaharian. 11 Secara singkat proses pelaksanaan sedekah laut adalah sebagai berikut : 1) Ngeruwat Wayang Purwa Wayang purwa adalah seniman rakyat yang dikenal dengan wayang kulit dan diperakan oleh Ki. Dalang. Ngeruwat wayang purwa ini dimaksudkan untuk menceritakan kisah kehidupan nelayan dan kaitannya keharusan untuk menghormati sang penguasa laut. Biasanya wayang purwa ini melambangkan akan kehidupan manusia (dalam hal ini nelayan) tak ubahnya seperti wayang. Sehingga dalam kehidupannya membutuhkan kehadiran Tuhan dan “Sang Penguasa Laut” agar selamat dan hidup sejahtera.
Pagelaran wayang purwa ini merupakan
rangkaian acara wajib dalam upacara sedekah laut. Tujuan dari diadakannya pagelaran wayang kulit ini adalah sebagai salah satu upaya selametan untuk membersihkan lokasi khususnya
11
Disarikan dari hasil wawancara dengan Kosim (Ketua KUD Mina Jaya), tanggal 13 September 2013.
86
tempat nelayan merapat (pelabuhan nelayan) dari segala hal yang bernuansa negatif dan menjaganya agar tercipta keadaan yang aman dan tentram, serta terhindari dari berbagai musibah yang akan menimpanya. 2) Pawai perahu ke laut. Hal ini dimaksudkan sebagai media untuk melepas wadah sajen yang berbentuk perahu kecil dan berisi bunga tujuh macam dan berbagai sajian, serta kepala kerbau. Wadah sajian ini dibawa ke tengah laut untuk dipersembahkan kepada sang penguasa laut dengan dikawal oleh perahu-perahu nelayan yang juga dihias dan diberi sesajen bunga tujuh rupa, kopi, rujkan, satu batang rokok dan kelapa muda.
Sesampai dengan laut,
semua perahu membentuk suatu lingkaran dengan berporoskan kepada perahu yang memuat sajen dan seorang pawang. Sang pawang
pun membacakan mantranya sambil
membakar
kemenyan dan menaburkan bunga kelaut, kemudian sajian tersebut ditenggelamkan atau dilepaskan ke laut yang pada gilirannya menjadi rebutan para nelayan yang mengikuti upacara tersebut.
Mereka berkeyakinan bahwa sesajen itu akan
membawa berkah dalam kehidupannya.
Sementara dalam
sesajian terdapat berbagai unsur seperti makanan, minuman, dan bunga, dan juga hewan atau binatang, dengan rincian sebagai berikut : 87
a) Unsur makanan terdiri dari bubur merah, bubur putih, nasi tumpeng putih, ketupat, bubur dan pepes. b) Unsur minuman terdiri dari limun merah, air soda, arak putih, kopi manis, kopi pahit, teh manis, teh pahit dan air bening. c) Unsur rujak (rurujakan) terdiri dari rujak kelapa, rujak pisang, dan rujak asam. d) Unsur buah-buahan terdiri dari; mangga, jeruk, salak, apel, jambu air, belimbing, pepaya, nanas, rambutan, dan pisang. e) Unsur rokok terdiri dari; madat, cerutu, tembakau. f) Unsur bunga terdiri atas; mawar, kenangan, melati, cempaka, duribang, dan bunga kertas yang dimasukkan ke dalam wadah berisi air. g) Unsur binatang terdiri atas; kepala kerbau, dua ayam putih yang masih hidup dan ayam camani (warna dan darahnya berwarna hitam) yang telah dipanggang. h) Unsur kendil liwat, di dalamnya berisi nasi putih dan diatasnya ditumpangi bawang merah, terasi dan cabe merah dipanggang.12 Selain kegiatan tersebut, ada juga kegiatan lain yang bersifat tambahan. 12
Kegiatan ini selain bagian yang bersifat
Ibid.
88
hiburan juga bersifat sosial, serta merupakan momentum peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dengan adanya pasar malam. Jenis kegiatan penunjang, antara lain : a) Pertunjukan kesenian dan sandiwara. b) Panggung hiburan terbuka. c) Pemutaran film. d) Pasar malam. e) Sunatan Massal. f) Pemberian talikasih bagi keluarga yang tidak mampu. Adapun kegiatan sedekah laut biasanya dilaksanakan di sekitar wilayah pelelangan “Gudang Lelang” yang secara administratif masuk wilayah Kelurahan Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung. Kegiatan sedekah laut ini biasanya diselenggarakan selama 7 hari, yang diawali dengan kegiatan penunjang dan di hari pelaksanaan puncak sedekah laut
di penghujung hari ketujuhnya.
Waktu
pelaksanaan yang dijadikan patokan disaat musim ikan yaitu biasanya dari bulan Agustus sampai Nopember.
Tetapi bisa
juga yang menjadi patokan adalah pada bulan Muharam.
89
D. Pemahaman
Masyarakat
Kelurahan
Kangkung
Terhadap Tradisi Sedekah Laut Pada setiap kelompok masyarakat, baik yang berada didaerah dataran, pegunungan maupun pesisir hampir bisa dipastikan memiliki tradisi yang kadangkala disengaja atau tidak seringkali dikaitkan dengan agama ataupun kepercayaan. Hal tersebut merupakan warisan dari leluhur masyarakat daerah masing-masing dan sangat terkait pula dengan pola kerja atau sistem mata pencaharian mereka. Naluri manusia salah satunya adalah mempertahankan kehidupan dan menjaga keturunan mereka agar tetap survival, oleh karena itu salah satu cara untuk mempertahankan hidup adalah dengan mencari nafkah untuk kehidupan.
Pencarian
nafkah kehidupan pada masyarakat yang masih tradisional – untuk tidak mengatakan masyarakat primitif – berdasarkan historisnya, sangat bersentuhan dengan kepercayaan bahwa pada setiap dataran, pegunungan maupun lautan terdapat sesuatu yang menguasainya,
sehingga
dengan
demikian
perlu
untuk
melakukan ritual sebagai upaya agar “sesuatu yang menguasai” tadi dapat memberikan keselamatan ketika masyarakat sedang mencari nafkah sekaligus dapat memberikan hasil panen yang berlimpah.
90
Secara umum,
pemahaman masyarakat
Kelurahan
Kangkung terhadap tradisi sedekah laut dapat di kelompokkan sebagai berikut : Pertama, sedekah laut sebagai sarana aktivitas sosial. Dalam konteks ini sedekah laut lebih berfungsi sebagai wujud kegiatan yang bersifat konsolidasi sosial, terutama yang berkaitan dengan semangat kohesivitas sosial yang telah diwariskan para pendahulu mereka, bahwa sedekah laut selain sebagai wujud ritual religiusitas, sekaligus sebagai sarana perekat sosial seluruh masyarakat di Kelurahan Kangkung, baik yang berprofesi sebagai nelayan ataupun bukan.
Artinya,
semangat gotong royong dalam melakukan setiap pekerjaan hendaknya di giatkan kembali dengan cara melakukan pekerjaan secara bersama-sama tanpa melihat perbedaan latar belakang agama, suku, budaya dan lain-lain. Kedua, sedekah laut sebagai pelestarian warisan budaya dan ritual keagamaan masyarakat
setempat
yang perlu
dilestarikan oleh generasi selanjutnya demi mempertahankan identitas budaya lokal yang mereka miliki. Pada konteks ini, sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa masyarakat nelayan Kangkung adalah masyarakat yang berasal dari luar Lampung, khususnya dari Cirebon.
Oleh
karena itu yang dimaksud dengan pelestarian budaya dalam 91
kalimat diatas adalah pelestarian budaya lokal yang berasal dari Cirebon, dan bukan budaya yang berasal dari daerah setempat (Lampung). Pada konteks ini terdapat nilai-nilai dalam tradisi sedekah laut yang masih dipertahankan oleh masyarakat nelayan Kangkung sebagai warisan budaya leluhur mereka – diluar aspek komodifikasi – diantaranya: a) wujud rasa syukur kepada Tuhan dan penunggu laut, b) menghormati dan melestarikan budaya leluhur, dan c) memelihara sikap gotong royong di antara mereka.
Sehingga dengan ketiga nilai yang masih
dipertahankan masyarakat nelayan, maka tradisi sedekah laut menjadi suatu yang diprioritaskan untuk dilaksanakan pada setiap tahunnya. Ketiga, sedekah laut sebagai sarana peresmian dan sosialisasi pembangunan swadaya masyarakat, seperti Koperasi Mina Jaya yang merupakan wadah berkumpulnya para nelayan serta media bagi para nelayan untuk melakukan peminjaman modal maupun tempat menabung.
Koperasi ini memang
dibangun berdasarkan swadaya masyarakat nelayan Kangkung. Dengan disertakan ritual sedekah laut, pada saat peresmian Koperasi misalnya atau pun tempat-tempat lain yang memang berasal dari swadaya masyarakat, maka akan menambah semakin semaraknya acara tersebut.
92
Demikian diantara pemahaman masyarakat Kangkung terhadap ritual sedekah laut. Akan tetapi yang paling utama dari pemahaman terhadap tradisi sedekah laut tersebut adalah sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya juga agar terhindari dari mara bahaya ketika para nelayan tengah mencari nafkah di laut. E. Sedekah Laut Sebagai Ritual Keagamaan Masyarakat Nelayan; Sebuah Analisis Intepretatif Emile Durkheim pernah mengintroduksikan bahwa agama pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu wilayah sakral (yang bersifat suci dan terkait dengan supernatural) dan profan (bersifat duniawi).
Wilayah sakral
yaitu sesuatu yang merupakan unsur distinktif pemikiran keagamaan, seperti kepercayaan, mitos, dogma dan legenda yang menjadi representasi hakikat hal-hal yang sakral, kekuatan “dunia sana” (beyond) yang patut disembah.
Sedangkan
wilayah profan merupakan “dunia sini” yang berisikan mengenai pemahaman (interpretasi) manusia tentang yang sakral dan selanjutnya “dibumikan” sebagai refleksi (tindakan), dan selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Dengan demikian, manusia beragama selalu dapat mengkolaborasikan antara yang sakral di satu sisi dan profan di sisi lain sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 93
Sebagai
contoh ritual sedekah laut yang merupakan perpaduan antara yang sakral di satu sisi dan profan di sisi lain. Dalam konteks ini ritual sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung identik dengan tindakan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mistis. Makna mistis disini yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekitarnya yaitu kekuatan dewa-dewa alam raya atau kekuatan kesuburan. 13 Seperti
yang
ditradisikan
masyarakat
Kelurahan
Kangkung tentang sedekah laut yang dilakukan pada setiap tahunnya, adalah merupakan bentuk ekspresi penghormatan terhadap tradisi leluhur, dan sekaligus bentuk ekspresi religiusitas. Salah satu yang nampak bahwa ritual sedekah laut sebagai ekspresi religius adalah keyakinan mereka bahwa ritual ini adalah untuk mewujudkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi rezeki melalui hasil panen di laut.
Disamping itu, ketika pelaksanaan ritual sedekah laut,
suasana religius nampak mulai dari bacaan-bacaan mantera oleh dalang wayang kulit, dan sebagian doa-doanya ada yang memakai bahasa Arab.
Bacaan-bacaan mantera maupun doa
ditujukan untuk realitas supernatural dengan berbagai wujudnya, 13
Secara detail tentang dunia masyarakat mistis yang dibedakan dengan dunia masyarakat rasional, periksa C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius, 1988), h. 25.
94
seperti Tuhan dan makhluk ghaib yang berhubungan dengan kegiatan ritual tersebut. Berkaitan dengan hal di atas,maka masyarakat Kelurahan Kangkung
termasuk
yang
berupaya
untuk
mewujudkan
keterpaduan antara sesuatu yang sakral dan yang profan. Secara kognitif, bisa jadi mereka tidak cukup paham bagaimana metode penggabungan kedua aspek tersebut menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Namun pada dasarnya dalam koteks praksisnya, mereka telah melakukan perpaduan kedua aspek tersebut, meski tanpa harus berdasarkan sistematika yang akademik minded. Artinya yang mereka lakukan tidak berdasarkan kaidah-kaidah literatur yang seperti para akademisi rumuskan.
Masyarakat
nelayan Kelurahan Kangkung dalam melakukan sesuatu, termasuk di dalamnya ritual sedekah laut berdasarkan warisan budaya yang mereka anggap sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupannya. Dalam kategori ini, masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung termasuk jenis Islam adat (customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan (adat) lokalitas yang berkolaborasi dengan Islam ortodoks (asli), sehingga kadang sulit untuk membedakan antara keduanya, terlebih untuk melepaskan diri dari perpaduan itu. Proses inilah yang dinamakan sinkretisme dalam ritual-ritual keagamaan, dengan mengekspresikan dalam sebuah tradisi, semisal sedekah laut. 95
Penyebutan ritual sedekah laut sebagai bagian dari sinkretisme disebabkan karena dalam pola kegiatannya tidak terceminkan bahwa ritual ini berasal dari ajaran Islam asli, sementara sebagian bacaan-bacaannya diambil dari al-Qur’an, seperti doa-doa ketika menjelang melarung sesajen ke tengah laut. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya lagi, bahwa mayoritas pengikut atau peserta dari ritual sedekah laut tersebut mengklaim dirinya beragama Islam. Secara fenomenologis, ritual sedekah laut merupakan suatu wujud ekspresi kesadaran masyarakat (nelayan) dalam mempercayai adanya kekuatan supernatural di balik alam semesta. Konkritnya, masyarakat nelayan mempercayai adanya kekuatan makhluk gaib yang menguasai laut yang harus mereka hormati, selain Tuhan.
Hal ini senada dengan gagasan
“kekuatan luar biasa” yang menimbulkan manusia mempercayai adanya sesuatu yang dianggap kekuatan supernatural. Gagasan ini menyadari bahwa pangkal dari segala praktek keagamaan pada manusia ditimbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. Dalam konteks sosial, ritual sedekah laut juga berfungsi sebagai upaya untuk mengikat emosional keagamaan sesama masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung. Emosi keagamaan 96
ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang bernuansa religiusitas, salah satunya dengan melaksanakan ritual-ritual seperti upacara keagamaan. Dengan begitu, tradisi dan agama yang didalamnya memuat berbagai ritual keagamaan, dapat mempertegas dan memperkuat ikatan emosional antara para anggota dalam komunitasnya.
Hal ini mengindikasikan
bahwa ritus keagamaan adalah penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi institusional suatu masyarakat. Ritual sedekah laut, bagi masyarakat Kelurahan Kangkung merupakan salah satu medium untuk mengikat solidaritas antar mereka. Hal ini juga seperti yang ditegaskan oleh Durkheim tentang ritual keagamaan dapat mempererat rasa solidaritas sosial di antara anggota masyarakat. Pada dasarnya semua tindakan ritual seperti sedekah laut, merupakan suatu sarana bagi manusia beragama untuk bisa mentransformasikan dari dimensi profan ke dimensi sakral. Transofmasi tersebut memerlukan proses yang tidak sederhana, sebab hal itu berkaitan dengan aspek psikologis seseorang tentang emosi keagamaannya. Salah satu contoh transformasi dari profan ke sakral seperti sesajen kepala kerbau yang tadinya sesuatu yang bersifat profan – karena dijadikan sesajen untuk sesuatu yang sakral dan supernatural, maka sesajen (bendawi) 97
pun berubah sifatnya yakni menjadi sakral (suci) dan dianggap bertuah. Begitu juga dengan munculnya keragaman ekspresi terhadap ritual sedekah laut yang berdampak pada munculnya transformasi sebaliknya, yaitu dari sakral ke profan. Hal ini nampak pada tindakan komodifikasi tradisi sedekah laut yang sebelumnya murni ritual yang sakral, berikutnya bergeser pada wisata dan pengetahuan bahari yang tentu bersifat profan. Dengan demikian, ritual sedekah laut yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung menggambarkan kompleksitas dari semua kepentingan manusia yang berujung pada kebertahanan hidup (survival), dengan berbagai cara pendekatan yang beragam. Selain itu jika merujuk pada refleksi teoritis yang dikemukakan oleh Arifuddin Ismail,
14
maka ritual tradisi
sedekah laut masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung dapat ditarik beberapa dalil substantif yang berlaku atas fenomena empirik yang dikaji. Pertama, ritual sedekah laut masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung adalah ritual yang bersifat parsial dan kontekstual.
Ritual nelayan merupakan satu kesatuan
pikiran tentang keselamatan dan harapan untuk memperoleh rezeki yang banyak dengan melakukan serangkaian tindakan simbolik. Kedua, ada dua model interaksi Islam dan tradisi 14
Arifuddin Ismail, Agama Nelayan....., h. 224
98
lokal, yaitu interaksi yang menempatkan tradisi lokal sebagai medan pertemuan, dan interaksi yang menempatkan tradisi Islam sebagai medan pertemuan.
Interaksi antara Islam dan
tradisi lokal dengan dua model interaksi telah mengubah tradisi lokal, dalam suatu ruang interaksi yang disebut dengan Islam lokal.
99
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sikap keberagamaan (religiositas) vis-a-vis tradisi sedekah laut masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung, bahwa mereka menganggap hal tersebut merupakan warisan para nenek moyang mereka yang perlu dilestarikan yang tidak ada hubungannya dengan agama, meskipun dalam prakteknya menggunakan simbol-simbol agama. Adapun yang peneliti maksudkan menggunakan simbol-simbol agama dalam praktek
sedekah
laut
adalah
dimana
dalam
penyelenggaraannya melibatkan tokoh agama yang didaulat untuk membacakan doa (khususnya doa untuk keselamatan bagi para nelayan) pada setiap rangkaian acara ritual sedekah laut.
Tradisi sedekah laut pada masyarakat Kelurahan
Kangkung pun merupakan salah satu bentuk ritual yang intinya adalah sebagai ungkapan syukur terhadap Allah yang telah memberikan rezeki dan keselamatan bagi para nelayan. Ritual yang memiliki tujuan seperti hal tersebut, jika merujuk pada Mariasusai Dhavamony masuk pada jenis ritual faktitif. 100
Ritual faktitif yaitu untuk meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. 2. Proses pelaksanaan sedekah laut adalah Ngeruwat Wayang Purwa yaitu seniman rakyat yang dikenal dengan wayang kulit dan diperakan oleh Ki. Dalang.
Ngeruwat wayang
purwa ini dimaksudkan untuk menceritakan kisah kehidupan nelayan dan kaitannya keharusan untuk menghormati sang penguasa laut. Tujuan dari diadakannya pagelaran wayang kulit ini adalah sebagai salah satu upaya selametan untuk membersihkan lokasi khususnya tempat nelayan merapat (pelabuhan nelayan) dari segala hal yang bernuansa negatif dan menjaganya agar tercipta keadaan yang aman dan tentram, serta terhindari dari berbagai musibah. selanjutnya adalah Pawai perahu ke laut.
Proses Hal ini
dimaksudkan sebagai media untuk melepas wadah sajen yang berbentuk perahu kecil dan berisi bunga tujuh macam dan berbagai sajian, serta kepala kerbau.
Wadah sajian ini
dibawa ke tengah laut untuk dipersembahkan kepada sang penguasa laut dengan dikawal oleh perahu-perahu nelayan yang juga dihias dan diberi sesajen bunga tujuh rupa, kopi, rujkan, satu batang rokok dan kelapa muda.
Sesampai
dengan laut, semua perahu membentuk suatu lingkaran 101
dengan berporoskan kepada perahu yang memuat sajen dan seorang pawang. Sang pawang pun membacakan mantranya sambil membakar kemenyan dan menaburkan bunga kelaut, kemudian sajian tersebut ditenggelamkan atau dilepaskan ke laut yang pada gilirannya menjadi rebutan para nelayan yang mengikuti upacara tersebut.
Mereka berkeyakinan bahwa
sesajen itu akan membawa berkah dalam kehidupannya. Sementara dalam sesajian terdapat berbagai unsur seperti makanan, minuman, dan bunga, dan juga hewan atau binatang.
Adapun kegiatan sedekah laut biasanya
dilaksanakan di sekitar wilayah pelelangan “Gudang Lelang” yang
secara
administratif
masuk
wilayah
Kelurahan
Kangkung Kecamatan Bumi Waras Kotamadya Bandar Lampung.
Kegiatan
sedekah
laut
ini
biasanya
diselenggarakan selama 7 hari, yang diawali dengan kegiatan penunjang dan di hari pelaksanaan puncak sedekah laut di penghujung hari ketujuhnya.
Waktu pelaksanaan yang
dijadikan patokan disaat musim ikan yaitu biasanya dari bulan Agustus sampai Nopember.
Tetapi bisa juga yang
menjadi patokan adalah pada bulan Muharam. 3. Secara umum, pemahaman masyarakat Kelurahan Kangkung terhadap tradisi sedekah laut dapat di kelompokkan sebagai berikut : Pertama, sedekah laut sebagai sarana aktivitas 102
sosial.
Dalam konteks ini sedekah laut lebih berfungsi
sebagai wujud kegiatan yang bersifat konsolidasi sosial, terutama yang berkaitan dengan semangat kohesivitas sosial yang telah diwariskan para pendahulu mereka, bahwa sedekah laut selain sebagai wujud ritual religiusitas, sekaligus sebagai sarana perekat sosial seluruh masyarakat di Kelurahan Kangkung, baik yang berprofesi sebagai nelayan ataupun bukan.
Kedua, sedekah laut sebagai pelestarian
warisan budaya dan ritual keagamaan masyarakat setempat yang perlu dilestarikan oleh generasi selanjutnya demi mempertahankan identitas budaya lokal yang mereka miliki. Pada konteks ini, bahwa masyarakat nelayan Kangkung adalah masyarakat
yang berasal dari luar Lampung,
khususnya dari Cirebon.
Oleh karena itu yang dimaksud
dengan pelestarian budaya dalam kalimat diatas adalah pelestarian budaya lokal yang berasal dari Cirebon, dan bukan budaya yang berasal dari daerah setempat (Lampung). Ketiga, sedekah laut sebagai sarana peresmian dan sosialisasi pembangunan swadaya masyarakat, seperti Koperasi Mina Jaya yang merupakan wadah berkumpulnya para nelayan serta media bagi para nelayan untuk melakukan peminjaman modal maupun tempat menabung.
Koperasi ini memang
merupakan swadaya masyarakat nelayan Kangkung. Dengan 103
disertakan ritual sedekah laut, pada saat peresmian Koperasi misalnya atau pun tempat-tempat lain yang memang berasal dari swadaya masyarakat, sehingga menambah semakin semaraknya acara tersebut. 4. Tradisi masyarakat Kelurahan Kangkung tentang sedekah laut yang dilakukan pada setiap tahunnya, adalah merupakan bentuk ekspresi penghormatan terhadap tradisi leluhur, dan sekaligus bentuk ekspresi religiusitas.
Salah satu yang
nampak bahwa ritual sedekah laut sebagai ekspresi religius adalah keyakinan mereka bahwa ritual ini adalah untuk mewujudkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi rezeki melalui hasil panen di laut. Disamping itu, ketika pelaksanaan ritual sedekah laut, suasana religius nampak mulai dari bacaan-bacaan mantera oleh dalang wayang kulit, dan sebagian doa-doanya ada yang memakai bahasa Arab. Berkaitan dengan hal di atas, maka masyarakat Kelurahan Kangkung termasuk yang berupaya untuk mewujudkan keterpaduan antara sesuatu yang sakral dan yang profan. Proses inilah yang dinamakan sinkretisme dalam ritual-ritual keagamaan, dengan mengekspresikan dalam sebuah tradisi, semisal sedekah laut. Penyebutan ritual sedekah laut sebagai bagian dari sinkretisme disebabkan karena dalam pola kegiatannya tidak terceminkan bahwa 104
ritual ini berasal dari ajaran Islam asli, sementara sebagian bacaan-bacaannya diambil dari al-Qur’an, seperti doa-doa ketika menjelang melarung sesajen ke tengah laut. Pada dasarnya semua tindakan ritual seperti sedekah laut, merupakan suatu sarana bagi manusia beragama untuk bisa mentransformasikan dari dimensi profan ke dimensi sakral. Transofmasi
tersebut
memerlukan
proses
yang
tidak
sederhana, sebab hal itu berkaitan dengan aspek psikologis seseorang tentang emosi keagamaannya. Salah satu contoh transformasi dari profan ke sakral seperti sesajen kepala kerbau yang tadinya sesuatu yang bersifat profan – karena dijadikan sesajen untuk sesuatu yang sakral dan supernatural, maka sesajen (bendawi) pun berubah sifatnya yakni menjadi sakral (suci) dan dianggap bertuah.
Begitu juga dengan
munculnya keragaman ekspresi terhadap ritual sedekah laut yang berdampak pada munculnya transformasi sebaliknya, yaitu dari sakral ke profan. Hal ini nampak pada tindakan komodifikasi tradisi sedekah laut yang sebelumnya murni ritual yang sakral, berikutnya bergeser pada wisata dan pengetahuan bahari yang tentu bersifat profan. B. Saran-Saran 1. Kepada Pemerintah Daerah khususnya Kotamadya Bandar Lampung melalui Dinas Budaya dan Pariwisata, kiranya 105
dapat menjadikan tradisi sedekah laut pada masyarakat Kelurahan Kangkung sebagai ajang promosi salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung, dengan cara membina dan memberikan bantuan pada setiap kegiatan tersebut sehingga akan lebih semarak lagi. 2. Kepada masyarakat nelayan Kelurahan Kangkung, kiranya dapat meningkatkan kegiatan tradisi sedekah laut dengan menambahkan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat positif seperti; Bazar sembako, berobat gratis, turnamen olah raga, cerdas cermat bagi anak-anak dan lain-lain sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. 3. Kepada masyarakat luas, hendaknya dapat menghargai praktek ritual sedekah laut, sebagai salah satu kekayaan budaya masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan tanpa harus mencela apalagi menghina. Hal ini diperlukan agar supaya budaya masyarakat yang ada dapat berkembang tanpa dibenturkan dengan aspek-aspek lain termasuk agama. Demikianlah hasil penelitian ini, seraya megucap rasa syukur atas segala karunia dan petunjuk-Nya jualah penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dengan harapan, kiranya dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dalam menambah wawasan keagamaan dan kepercayaan sehingga dapat lebih inklusif lagi, dan umumnya 106
bagi berbagai masyarakat untuk lebih meningkatkan lagi rasa toleransi dan penghargaan terhadap berbagai macam tradisi yang ada dan berkembang pada masyarakat. Sebagai karya manusia yang penuh dengan kelemahan, maka kritik dan saran tentunya sangat diharapkan untuk kebaikan dan kesempurnaan penelitian ini dan dimasa yang akan datang.
107
DAFTAR PUSTAKA Arifuddin Ismail, Agama Nelayan; Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012. Brian Morris, Antropologi Agama; Kajian Agama-Agama Kontemporer, Yogyakarta : AK Group, 2003. Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, Yogyakarta : Ircisod, 1991. Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, New York : Oxford University Press, 1992. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius, 1988. Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara, 1997. Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya, 1981. ---------, Kebudayaan dan Agama, terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta : Kanisius, 1991. ---------, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta : Kanisius, 1994. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002. ---------, Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
108
Dale Cannon, Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron, Jakarta : Departemen Agama, 2002. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, New York : Oxford University Press, 1996. Eko Susilo, Dinamika Struktur dalam Ekosistem Pesisir, Malang : Unibra, 2010. Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong, Jakarta : Rajawali Pers, 1994. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian SosialAgama, Bandung : Remaja Rosda Karya. 2001. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009. ---------, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1989. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang. 1997. Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta : Kanisius,1995.
109
Mudjahirin Thohir, Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir, Semarang : Bendera, 1999. ---------, Kehidupan Keagamaan Orang Pesisir; Studi Orang Islam Bangsari Jepara, Jakarta :Pascasarjana UI, Disertasi, 2002. M. Yusuf Wibisono, Keberagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Perilaku Keagamaan Masyarakat Pesisir di Desa Patimban Kecamatan Pusakanegara Kabupaten Subang Jawa Barat, Bandung : Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Disertasi, 2012. Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit, Yogyakarta : Yayasan Semesta, 2001. Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta : LkiS, 2005. Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson (ed.), Agama : Dalam Analisan dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta : Rajawali Pers, 1995. Pemerintah Daerah Kotamadya Bandar Lampung, Profil Kelurahan Kelurahan Kangkung, Bandar Lampung, 2011. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Prenada Media Group, 2007. Raymond Firth, Elements of Social Organization, Boston : Beacon Press, 1972.
110
Raymond Firth, “Kepercayaan dan Keraguan terhadap Ilmu Ghaib Kampung Kelantan”, dalam Ahmad Ibrahim (ed.), Islam di Asia Tenggara, Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 1989. Rani A. Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, Jakarta : Yayasan Obor, 2009. Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta : Pustaka Antara, 1973. Sutrisno Hadi, Metode Riset, Yogyakarta :UGM Press, 1996. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif, dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2009. WAWANCARA : Wawancara dengan Carkadi (Ketua KUD Nelayan Gudang Lelang), Bandar Lampung : 25 Februari 2013. Wawancara dengan Matsudi (Sekretaris KUD Nelayan Gudang Lelang), Bandar Lampung : 25 Februari 2013. Wawancara dengan Siti Maisaroh (Warga Gudang Lelang), Bandar Lampung : 28 Februari 2013. Wawancara dengan Kosim (Kepala KUD Mina Jaya) periode 2013-2017, tanggal 13 September 2013. Wawancara dengan Mashudi (Sekretaris KUD Mina Jaya), tanggal 13 September 2013. Wawancara dengan Fadly (warga Kelurahan Kangkung), tanggal 13 September 2013. Wawancara dengan Kosim (Ketua KUD Mina Jaya), tanggal 13 September 2013. Wawancara dengan Drs. Ediyalis (Lurah Kangkung), tanggal 13 September 2013. 111
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)