LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU DAMPAK EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LARANGAN PENANGKAPAN IKAN (KASUS BANDA NEIRA, PROVINSI MALUKU DAN KABUPATEN SUMBAWA, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT)
OLEH: LUKMAN ADAM
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI 2016 1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kebijakan larangan penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, antara lain dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) dan Permen KP Nomor 4 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di WPP RI 714 membuat pelaku usaha perikanan-seperti nelayan dan pengolah hasil perikanan-yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya ikan menjadi gelisah. Ada nelayan yang melakukan penolakan dan ada yang mendukung. Penolakan khususnya terjadi di wilayah perikanan yang: (a) sudah mengalami overfishing sehingga nelayannya harus beroperasi jauh ke tengah, dan (b) banyak terdapat pelaku usaha skala besar. Sedangkan yang memberikan dukungan merupakan nelayan yang berada di kawasan yang masih memungkinkan dilakukannya eksploitasi dan banyak terdapat nelayan tradisional atau nelayan skala kecil, contohnya di Kabupaten Maluku Barat Daya. Pemberlakuan Permen KP No. 2 dan 4 Tahun 2015 menyiratkan pergeseran paradigma
pengelolaan
perikanan
di
Indonesia
dari
peningkatan
produktivitas dan industrialisasi perikanan ke paradigma pemulihan ekologi lingkungan perairan pesisir dan lautan. Pergeseran paradigma tersebut seolah-olah mengabaikan keberadaan 927,25 ribu nelayan1 yang selama ini menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya di perairan pesisir dan lautan.
1
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013 dalam Sonny Harry Harmadi, “Nelayan Kita”, Kompas, 19 November 2014, hlm. 5.
2
Dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam jangka pendek dari kedua Permen KP tersebut sangat terasa bagi nelayan dan keluarganya, serta para pihak yang selama ini bergantung pada pemanfaatan hasil sumber daya ikan, termasuk pengolah dan pedagang. Dampak ekonomi yang ditimbulkan adalah merosotnya pendapatan karena alat tangkap yang biasa digunakan menjadi alat tangkap yang terlarang, sedangkan permasalahan yang timbul di WPP 714 adalah jangkauan melaut yang lebih jauh bagi nelayan di sekitar Laut Banda. Pembatasan upaya penangkapan dalam pengelolaan sumber daya perikanan secara teoritis tepat karena dapat melestarikan stok ikan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha sektor perikanan. Namun dalam waktu singkat, kebijakan pembatasan akan menciptakan masalah lain seperti masalah sosial. Dalam hal ini, administrasi pemerintah di sektor perikanan harus mempertimbangkan solusi yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah ini. 2 Atas dasar tersebut, penelitian ini diarahkan untuk mengetahui secara langsung dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pemberlakuan 2 Permen KP tersebut. Sementara itu, secara khusus penelitian ditujukan untuk mengkaji: alasan terbitnya kedua Permen KP tersebut, dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dan solusi yang harus dilakukan. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma produktivitas ke paradigma ekologi, sehingga bisa disebutkan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan menjadi perhatian pengambil kebijakan saat ini. Secara umum, tujuan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori tujuan, yaitu kategori ekonomi, sosial, dan lingkungan. Interaksi tujuan pembangunan perikanan dengan ketiga aspek pengelolaan, yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak tujuan pembangunan perikanan, tidak ada satu pun yang memiliki tanda checked yang berada 2
Nimmi Zulbainarni, 2012, Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap, Bogor: PT Penerbit IPB Press, hal. 131.
3
pada semua aspek. Ini menunjukkan adanya trade off dalam pengelolaan perikanan untuk mencapai kondisi ideal.3 Penelitian lapangan pertama dilaksanakan pada bulan Juli 2016 di Ambon, Provinsi Maluku dan Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Alasan pemilihan lokasi penelitian di Ambon dan Banda Neira adalah: (1) Masyarakat di Kecamatan Banda Neira terkena dampak langsung dari Permen KP No. 4 Tahun 2015, karena WPP 714 merupakan wilayah Laut Banda; (2) Nilai Tukar Nelayan di Provinsi Maluku termasuk tertinggi dengan angka mencapai 105,38;4 (3) kelompok usaha bersama perikanan tangkap di Provinsi Maluku mengalami peningkatan signifikan dari 17 kelompok di tahun 2010 menjadi 721 kelompok di tahun 2014;5 dan (4) rata-rata produksi perikanan tangkap di Provinsi Maluku pada tahun 2003 sampai 2013 adalah yang terbesar di seluruh Indonesia, yaitu mencapai 8,99%.6 Penelitian lapangan kedua dilaksanakan pada 10 sampai 19 Agustus 2016 di Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Alasan pemilihan Provinsi NTB pada umumnya dan secara khusus Kabupaten Sumbawa adalah: (1) Sumbawa merupakan lumbung perikanan Provinsi NTB dan nasional, dengan perolehan satu orang pengepul di kabupaten tersebut rata-rata lebih dari 2 ton/hari. Namun minim infrastruktur.7 Tentunya larangan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik berdampak terhadap nelayan dan pengepul; (2) kelompok usaha bersama perikanan tangkap di Provinsi NTB terus mengalami peningkatan signifikan. Bahkan untuk bagian selatan Indonesia, KUB perikanan tangkap di Provinsi NTB sangat banyak, yaitu 3 4 5 6
Ahmad Fauzi, Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010. Hal. 27. Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. ibid. Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Analisis Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014.
7
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/19/1604587/Sumbawa.Kaya.Potensi.Perikana n.tapi.Minim.Infrastruktur, diakses 22 Juni 2016.
4
mencapai 720 di tahun 2014 meningkat pesat dari 191 unit di tahun 2009 8; dan (3) perairan di Provinsi NTB termasuk dalam WPP 573, dan satu-satunya WPP yang mengalami penurunan pada tahun 2009 – 2013, namun mengalami peningkatan positif mencapai 1,15 persen pada tahun 2012 – 2013. 9 Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperlukan dalam menjawab pertanyaan penelitian nomor 1, yaitu alasan terbitnya kedua Permen KP yang menjadi topik penelitian dan kerugian ekonomi. Narasumber yang diperlukan adalah narasumber yang berada di wilayah Jakarta, seperti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan LSM, serta narasumber yang berada di lokasi penelitian lapangan yang berkaitan langsung dengan topik penelitian, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten, LSM, kelompok dan organisasi nelayan, pengusaha perikanan, dan nelayan. Sedangkan data sekunder diperlukan untuk menjawab sebagian pertanyaan penelitian nomor 2. Data sekunder yang diperlukan adalah Statistik Perikanan Tangkap Provinsi dan Kabupaten Tahun 2015 dan sebelumnya, serta Kecamatan Banda Neira dalam Angka. Informasi yang diperoleh dari Biro Hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menyebutkan bahwa tidak ada kajian akademis yang melengkapi Permen KP No. 4 Tahun 2015. Latar belakang terbitnya Permen KP tersebut didasari dua faktor, yaitu: (1) besarnya volume, nilai produksi, dan pengeluaran terhadap subsidi sub sektor perikanan tangkap tidak sebanding dengan kontribusi sub sektor ini terhadap total Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan (2) ada hasil penelitian dari Badan Litbang Kelautan dan Perikanan yang menunjukkan terjadi penurunan potensi SDI tuna di WPP
Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. 9 ibid. 8
5
714.10 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku juga tidak diminta masukan terhadap penyusunan Permen KP No. 4 Tahun 2015 ini.11 PDB perikanan tangkap yang tergolong tinggi, nyatanya hanya menyumbang PNBP sebesar 0,2 persen dari total PNBP tahun 2012. Bahkan ada indikasi inefficiency lost yang tinggi dari PNBP perikanan yang menyebabkan potensi kerugian negara sebesar 386 persen dari total PNBP perikanan di tahun 2011.12 Pada tahun 2011, dengan nilai perikanan tangkap Rp 70,03 triliun hanya 0,26 persen dana yang disumbangkan ke APBN, sedangkan pada tahun 2013 dengan nilai perikanan tangkap Rp101,32 triliun13 hanya 0,22 persen yang dikontribusikan pada APBN 2013. Terbitnya PP No. 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa pemerintah sedang berupaya meningkatkan PNBP sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan tangkap. Namun terbitnya PP ini menunjukkan dua hal yang tidak tepat dengan keinginan memberdayakan usaha perikanan kecil dan menengah, serta keinginan pengelolaan perikanan berkelanjutan, yaitu (1) rumus perhitungan pungutan hasil perikanan (PHP) memberatkan usaha perikanan skala kecil dan menengah. Tarif royalti PHP usaha perikanan skala kecil naik dari 1,5% menjadi 5% dan untuk skala menengah ditetapkan sebesar 10%, sedangkan usaha besar meningkat 25%. Perlu diperhatikan implikasi dari kebijakan tarif tersebut bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap kedepan. Tarif yang tinggi memang secara otomatis akan mendongkrak PNBP dan menghindari eksploitasi berlebih pada SDI. Namun jika terlalu tinggi akan melemahkan usaha perikanan skala kecil dan menengah 10 11 12
13
(khususnya
usaha
lokal),
ditengah-tengah
keinginan
Wawancara dengan Husni Mubarak, Kepala Sub Bagian Perundang-undangan Perikanan Tangkap, Biro Hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 21 Juli 2016 Wawancara dengan Ahmad Umarella, Kepala Bidang Penangkapan Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, 25 Juli 2016. Departemen Kajian Strategis BEM FEB UI, Penyempurnaan Zonasi Kelautan dan Pengoptimalan Lembaga Keuangan Mikro Nelayan dalam Upaya Pembangunan Sektor Perikanan, http://www.fmeindonesia.org., diakses 25 Juli 2016. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015, Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014.
6
memberdayakan usaha perikanan skala kecil dan menengah; dan (2) saat ini arah kebijakan KKP mengarah pada pengelolaan perikanan berkelanjutan. Hal ini bisa dilihat dari aksi-aksi yang dilakukan oleh KKP, salah satunya melarang penggunaan pukat. Namun, sangat mengejutkan KKP membuka peluang beroperasinya alat tangkap pukat seperti tertera dalam Lampiran PP di halaman 2, dalam point I.A.1.c. Informasi dari Biro Hukum KKP bahwa hasil penelitian Badan Litbang KKP menunjukkan terjadi penurunan SDI tuna di WPP 714. Namun berdasarkan data tingkat eksploitasi SDI di setiap WPP tahun 2011, tuna sirip kuning (Thunnus albacores, madidihang) berada pada tingkat fully exploited.14 Fully exploited menunjukkan bahwa ikan tuna sirip kuning masih memungkinkan untuk dieksploitasi, namun dengan prinsip hati-hati. Hal yang juga bertentangan dengan informasi dari Biro Hukum KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku menyebutkan tingkat pemanfaatan pada tahun 2015 di tiga WPP (WPP 714, 715, dan 718) yang berada dalam lingkup administrasi Provinsi Maluku hanya mencapai 29,18 persen.15 Di sisi lain, dari rancangan estimasi potensi SDI di WPP 714 untuk ikan pelagis besar16 tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya mencapai 86 persen, dengan potensi mencapai 43,062 dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan mencapai 34.45.
17
Dari angka tahun 2016 tersebut
menunjukkan bahwa status pemanfaatan ikan pelagis besar di WPP 714 masih berada pada moderate exploited. Selain itu, berdasarkan analisis komposit SDI di WPP 714, yang dipublikasikan tahun 2016, diperoleh nilai sejumlah 228.57. Hasil analisis ini menunjukkan kondisi SDI di WPP 714 adalah ‘sedang’ atau warna bendera 14 15 16
17
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015, Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014. Hal. 252. Catatan tertulis Dinas Kelautan dan Perikanan dalam penelitian mengenai Dampak Ekonomi Kebijakan Pelarangan Penangkapan Ikan, 25 Juli 2016. Ikan pelagis besar mencakup: ikan layaran, setuhuk hitam, setuhuk biru, setuhuk loreng, ikan pedang, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, tuna mata besar, tongkol abu-abu, tenggiri, tenggiri papan, tongkol krai, tongkol komo, dan cakalang. Komisi Nasional Kajian Sumber Daya Ikan, Tabel Rancangan Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Status Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, 2016 (Belum dipublikasikan).
7
kuning. Indikator SDI yang ditinjau antara lain ukuran ikan, proporsi tertangkapnya juvenile, komposisi jenis, dan selektivitas alat tangkap.18 Berdasarkan nilai keberlanjutannya, alat tangkap dapat dibedakan kedalam empat kelompok sebagai berikut; (1) Alat tangkap selektif, ialah alat tangkap yang ramah secara ekologis (ecologically friendly). Contoh paling umum dari alat penangkapan ikan kategori ini adalah pancing; (2) Alat tangkap yang cenderung menyebabkan terjadinya tangkap lebih (overfishing), sehingga bisa merusak sumber daya dan ekologi; (3)
Alat tangkap yang dalam
operasinya cederung menyebabkan kerusakan habitat ikan sehingga berdampak negatif secara ekologis; (4) Alat tangkap yang cenderung merusak secara ekologis melalui tangkap lebih dan kerusakan habitat ikan. Alat tangkap seperti peledak, atau di masyarakat dikenal dengan istilah “bom ikan” sudah umum dikenal sebagai alat tangkap kategori 4 di atas. Berdasarkan hasil penilaian pakar, 14 jenis alat penangkapan ikan yang dilarang oleh pemerintah termasuk dalam salah satu kategori sebagai berikut: (1) seluruh alat tangkap (14 jenis alat penangkapan ikan) diperkirakan memberikan dampak negatif secara ekologis. Lebih dari 50% (9 dari 17) diduga menyebabkan kerusakan habitat dan juga penurunan stok sumber daya ikan; (2) seluruh jenis alat tangkap memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek kepada nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP). Alat tangkap ini cenderung untuk dipertahankan oleh nelayan, kecuali terdapat pilihan ekonomi jangka pendek yang lebih menguntungkan; (3) sejumlah enam jenis alat penangkapan ikan (35%) yang dalam operasinya tidak menimbulkan kecemburuan nelayan lain dan tidak menimbulkan konflik. Terdapat sembilan jenis alat yang dalam operasinya dirasakan menimbulkan kecemburuan sosial dari nelayan lainnya dan terkadang menimbulkan konflik di permukaan. Sisanya, ada dua jenis alat tangkap (cantrang dan lampara dasar) yang sering menimbulkan konflik dengan nelayan lainnya. 18
http://www.eafm-indonesia.net/data/sumberdayaikan/714, diakses 30 Juli 2016.
8
Berdasarkan data Statistik Perikanan Provinsi Maluku terlihat bahwa Tuna Sirip Kuning (Yellowfin Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) merupakan ikan pelagis besar yang bernilai ekonomis penting di Kabupaten Maluku Tengah dengan produksi 5.137,7 ton atau Rp25,688 miliar (2013) dan 1.961,7 ton atau Rp17,655 miliar (2014). Diatas tuna mata besar, tongkol abu-abu, tenggiri, dan tenggiri papan. Namun, masih dibawah tongkol komo dan cakalang.19 Pendapatan per kapita nelayan di Kecamatan Banda Neira mengalami peningkatan pesat sejak tahun 2014. Nilai produksi meningkat pesat sehingga keuntungan bertambah dua kali lipat. Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Banda Neira. Jenis ikan yang banyak ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira adalah tuna dan cakalang. Substansi Permen KP No. 4 Tahun 2015 tidak diketahui oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira. Kapal motor tempel dan kapal motor di bawah 5 GT yang dikuasai oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira telah sampai di koordinat yang dilarang dalam lampiran Permen KP tersebut. Nelayan juga menyebutkan bahwa tidak ada patroli pengawas sumber daya kelautan dan perikanan yang menghalau nelayan pada koordinat tersebut. Nelayan di Banda Neira yang menggunakan kapal motor tempel bahkan mampu mencapai perairan sejauh 9 mil. Sedangkan nelayan yang memiliki armada perikanan dengan ukuran di bawah 10 GT mampu mencapai koordinat yang dilarang dalam lampiran Permen KP No. 4 Tahun 2015. Patroli pengawas hanya memberikan sosialisasi dan informasi pada nelayan agar tidak merusak terumbu karang yang banyak di jumpai di perairan sejauh hampir 5 mil dari lepas pantai Pulau Banda Besar atau Pulau Manukang. Nelayan kecil tidak memperoleh dampak berarti dari larangan menangkap ikan yang ada dalam Permen KP No. 4 Tahun 2015. Bahkan penelitian yang dilakukan staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas 19
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku (2014 dan 2015)
9
Pattimura, menunjukkan bahwa perikanan rakyat di Maluku berkembang sebesar 40 persen. Dampak luar biasa dirasakan oleh industri perikanan skala besar, dimana terjadi pemutusan hubungan kerja, baik tenaga kerja asing maupun lokal. 20 Tuna Sirip Kuning (Yellowfin Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) tidak boleh ditangkap di bulan Oktober sampai Desember pada koordinat 126 – 132° BT dan 4 – 6° LS di Laut Banda. Pelacakan asal penangkapan ikan tuna sirip kuning sangat sulit dilakukan, karena nelayan di Laut Banda yang menguasai armada penangkapan ikan mulai dari 1 sampai 10 GT dapat menangkap ikan pada koordinat yang dilarang dan bercampur dengan koordinat yang diperbolehkan. Nelayan juga tidak mengetahui jika pada koordinat tersebut ada larangan. Namun, ditinjau dari ukuran tuna sirip kuning yang ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira menunjukkan bahwa ikan tuna sirip kuning yang ditangkap termasuk kategori dewasa karena sudah memiliki panjang mencapai 1 meter lebih. Data yang ada menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara pendapatan per kapita nelayan saat sebelum ada pelarangan dan sesudah ada pelarangan. Pendapatan per kapita nelayan mengalami peningkatan karena produksi perikanan tangkap pada tahun 2015 meningkat. Saat itu, musim timur yang tidak bersahabat dengan nelayan berlangsung lebih singkat dibandingkan musim barat. Sehingga dampak ekonomi dari Permen KP No. 4 Tahun 2015 tidak dirasakan oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah. Nelayan tetap dapat menangkap ikan tanpa ada hambatan dari pengawas sumber daya kelautan dan perikanan, KKP atau Polisi Perairan. Berdasarkan informasi dari Camat dan nelayan Banda Neira, tidak ada nelayan yang ditangkap karena menangkap ikan Tuna Sirip Kuning (Yellowfin Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) pada bulan Oktober sampai Desember 2015.
20
FGD dengan W. Waileruny dan Delly Matrutty, Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, tanggal 26 Juli 2016.
10
Mungkin dampak dari Permen KP No. 4 Tahun 2015 dirasakan oleh usaha perikanan skala besar yang memiliki armada perikanan di atas 30 GT. Dari data dan informasi yang berkembang bahwa banyak kapal perikanan yang juga mendaratkan ikan di Bitung, Kendari, Bali, dan Jakarta. Namun, bagi nelayan di Banda Neira, dampak ekonomi, seperti penurunan hasil tangkapan, tidak ada. Nelayan mengalami kemunduran pendapatan apabila sedang musim timur yang berlangsung dari Juni sampai September. Dari 24 kecamatan di Kabupaten Sumbawa, hanya ada 15 kecamatan yang memiliki nelayan dalam jumlah signifikan. Ikan ekonomis penting yang terdapat di Kabupaten Sumbawa adalah ubur-ubur, kembung, layang, dan kerapu. Pada tahun 2013, produksi komoditas ubur-ubur mencapai 8.720,3 ton; kembung mencapai 4.339,3 ton; layang mencapai 2.977,9 ton, dan kerapu mencapai 2.791,1 ton. Ikan komoditas perikanan tangkap yang memiliki nilai ekonomis penting di Kabupaten Sumbawa adalah ikan kembung, ikan kakap, ikan kerapu, dan ikan tongkol. Pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan, khususnya alat tangkap cantrang, berdampak bagi kehidupan nelayan sehari-hari dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan mulai dari aspek ekologis, sosial, maupun ekonomi. Sejak diperkenalkan kepada nelayan-nelayan pesisir Indonesia, trawl mulai berkembang pesat dan memengaruhi kehidupan sosial-ekonomi nelayan tradisional hingga saat ini. Hal itu merupakan salah satu modernisasi perikanan untuk meningkatkan produksi perikanan. Akibat penggunaan pukat (trawl, alat tangkap yang dilarang dalam Permen KP No. 2 Tahun 2015), kompetisi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern tidak dapat dihindari dan akhirnya menimbulkan konflik antar nelayan. Mayoritas nelayan di NTB menggunakan alat tangkap cantrang sebagai alat tangkap tradisional yang menurut mereka tidak merusak ekosistem dan tidak bersifat eksploitatif. Tidak berbeda dengan penggunaan trawl, penggunaan cantrang juga menimbulkan konflik antar nelayan dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, dikeluarkan Permen KP No. 2 tahun
11
2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Pemerintah menerapkan pelarangan penggunaan cantrang karena alat tangkap cantrang dan pukat merusak ekosistem terumbu karang di perairan dengan radius 4-12 mil dari pantai dan mata jaring pukat yang rapat dapat menangkap seluruh jenis ikan baik target maupun yang bukan target penangkapan. Saat ini di Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa isu yang menarik terkait dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Permen KP No. 1 Tahun 2015 tentang Larangan Ekspor Kepiting Bertelur, Rajungan Bertelur, dan Lobster Bertelur. Pertentangan yang terjadi disebabkan kepiting, rajungan, dan lobster bertelur menjadi komoditas yang disukai oleh konsumen di luar negeri. Akibatnya permintaan terhadap komoditas ini menjadi tinggi, apalagi kepitingan, rajungan, dan lobster bertelur yang diperoleh dari hasil tangkapan. Padahal spesies ini membutuhkan tempat yang baik untuk dapat bertelur. Penangkapannya dianggap oleh Pemerintah sudah harus dikendalikan karena sudah mengancam keberlangsungan ekosistemnya. Namun sesungguhnya yang banyak dirugikan adalah pedagang pengumpul besar, yang berjumlah 6 orang di Provinsi NTB. Permen KP No. 1 Tahun 2015 merupakan bentuk kehati-hatian dari pengambil kebijakan, karena pengelolaan sumber daya perlu diatur. Permen KP No. 1 Tahun 2015 lebih mempertimbangkan pada aspek keseimbangan ekologi. Namun, sangat disayangkan bahwa tidak ada sosialisasi menyeluruh dan tidak ada perhitungan stock assessment (berapa sumber daya yang boleh diambil). Sebelum ada Permen KP No. 1 Tahun 2015, pembibit/nelayan yang menangkap kepiting bertelur, rajungan bertelur, dan lobster bertelur lebih suka langsung menjual pada pedagang pengumpul daripada ke pembudi daya karena harga jualnya yang tinggi. Adanya Permen KP No. 1 Tahun 2015 seharusnya menimbulkan kesadaran agar pihak yang terbiasa hidup dari penjualan kepiting bertelur, rajungan
12
bertelur, dan lobster bertelur, khususnya yang berada di sektor hulu, untuk beralih komoditas. Saat ini, penjualan kepiting bertelur, rajungan bertelur, dan lobster bertelur masih dilakukan secara tidak sah (illegal). Rantai pemasaran menjadi lebih panjang, dimana nelayan tidak bisa langsung ke pedagang pengumpul, tapi melalui pedagang perantara, baru ke pedagang pengumpul. Ekspor juga dilakukan secara tidak sah (illegal), tidak melalui karantina maupun bea cukai. Permasalahan yang dihadapi nelayan di Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah sebelum dan sesudah terbitnya Permen KP No. 4 Tahun 2015 adalah armada perikanan sederhana, potensi peningkatan alat tangkap tidak ramah lingkungan, harga, dan kesulitan ketika paceklik. Sejumlah 88 persen nelayan di Kecamatan Banda Neira pada tahun 2015 hanya memiliki perahu tanpa motor dan motor tempel. Sedangkan 12 persen diantaranya sudah memiliki kapal motor di bawah 10 GT. Walaupun armada perikanan yang dimiliki sederhana dan termasuk kategori nelayan kecil, namun aksesibilitas nelayan di Banda Neira mampu mengeksploitasi SDI di Laut Banda. Permen KP No. 4 Tahun 2015 sangat bagus dari aspek SDI, dimana SDI yang sudah tereksploitasi akan segera pulih. Di masa depan perlu dilakukan kajian mengenai potensi SDI yang tepat agar bisa diketahui alokasi izin terhadap kapal dan alat tangkap yang digunakan. Penutupan eksploitasi pada koordinat tertentu di Laut Banda pada bulan Oktober sampai Desember merupakan kebijakan yang baik, asalkan tiga syarat dipenuhi, yaitu kajian yang didasarkan data SDI yang tepat dan dipublikasikan, solusi terhadap nelayan yang tidak boleh menangkap ikan tuna sirip kuning, dan sosialisasi terhadap Permen yang dikeluarkan. Sosialisasi diperlukan agar nelayan tidak menangkap ikan tuna sirip kuning pada koordinat tersebut karena merupakan daerah beruaya dan berpijah ikan. Namun perlu dipikirkan bahwa ada potensi SDI tuna sirip kuning yang harus dikembalikan dan nelayan harus memperoleh intangible cost akibat
13
kehilangan potensi pendapatan. Pemerintah harus memikirkan bagaimana pelaksanaan di lapangan pada bulan Oktober sampai Desember pada koordinat tersebut, mengingat penangkapan diluar jenis ikan tuna sirip kuning
masih
diperbolehkan.
Khususnya
terhadap
nelayan
yang
menggunakan alat tangkap huhate dan jaring insang hanyut, dimana ikan tuna sirip kuning yang bergerombol dengan ikan tuna mata besar terdapat kemungkinan terjaring bersama. Idealnya, perairan pada koordinat 126 – 132° BT dan 4 – 6° LS di Laut Banda di bulan Oktober sampai Desember ditutup total, sehingga lebih mudah dilakukan pengawasan. Penutupan tuna sirip kuning pada saat itu memungkinkan terjadinya eksploitasi berlebih pada jenis ikan lain, seperti tuna komo dan tuna mata besar. Faktor penghambat sulitnya penerapan Permen KP No. 1 dan 2 Tahun 2015 di Provinsi NTB adalah masyarakat nelayan/perikanan kurang memiliki kepercayaan
pada
pemerintah
menjaga
ekosistem
laut.
Larangan
penggunaan alat penangkapan ikan bukan merupakan solusi yang baik. Seharusnya pemerintah menanam rumpon atau meningkatkan budidaya ikan di laut. Program rumponisasi telah dimiliki oleh pemerintah daerah, namun dirasakan oleh masyarakat bahwa pemerintah daerah kurang serius dalam mengembangkan program ini. Dari pengamatan penelitian, program yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidak berkesinambungan. Demikian juga dengan program di pemerintah pusat. Berganti pemerintah pada setiap 5 atau 10 tahun, maka kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah akan berganti. Selain itu, faktor penghambat lainnya adalah jumlah penyuluh yang sangat minim. Saat ini jumlah tenaga penyuluh di Kabupaten Sumbawa mencapai 10 orang dan harus memberikan penyuluhan di 15 kecamatan. Faktor sarana pendukung juga menjadi masalah, dimana keterbatasan sarana dan prasarana masih menjadi persoalan klasik di Indonesia. Kapal patroli untuk mengawasi penggunaan alat tangkap yang dilarang dan pengawasan terhadap kegiatan ekspor kepiting dan rajungan bertelur sangat minim.
14
Faktor masyarakat juga merupakan masalah besar, mengingat karakter masyarakat NTB yang terkenal keras. Mereka berani melawan walaupun mengetahui telah melanggar aturan. Untuk mencapai upaya yang diharapkan akibat terbitnya Permen KP No. 1 Tahun 2015 adalah peningkatan pendapatan nelayan melalui penguatan sistem produksi hulu-hilir. Upaya peningkatan nilai tambah produksi perikanan, baik tangkap maupun budi daya.
15