Kamar Dagang dan Industri Indonesia
Laporan Ekonomi Bulanan Oktober 2006
Sekretariat Kamar Dagang dan Industri Indonesia oleh Erna Zetha DR. Tulus Tambunan
Menara Kadin Indonesia 29th Floor Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kav. 2-3 Kuningan – Jakarta Selatan
www.kadin-indonesia.or.id
INDIKATOR EKONOMI
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23
Indikator Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Rp triliun) Pertumbuhan PDB (%) Inflasi (%) Total Expor (USD milyar) Expor Non Migas (USD milyar) Total Impor (USD milyar) Impor Non Migas (USD milyar) Neraca Perdagangan (USD milyar) Neraca Transaksi Berjalan (USD milyar) Cadangan Devisa (USD milyar, akhir tahun) Posisi Utang Luar Negeri (USD milyar) Rupiah/USD (Kurs Tengah Bank Indonesia) Total Penerimaan Pemerintah (Rp triliun) Total Pengeluaran Pemerintah (Rp triliun) Defisit Anggaran (Rp triliun) Uang Primer (Rp triliun) Uang Beredar (Rp triliun) a. Arti Sempit (M1) b. Arti Luas (M2) Dana Pihak Ketiga Perbankan (Rp triliun) Kredit Perbankan (Rp trilioun) Suku Bunga (% per tahun) a. SBI satu bulan b. Deposito 1 bulan c. Kredit Modal Kerja d. Kredit Investasi Persetujuan Investasi - Domestik (Rp triliun) - Asing (US$ milyar) IHSG BEJ Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp triliun)
2002
2003
2004
2005
2006
1,506.10 4.38 10.03 57.0 44.9 31.2 24.8 25.8 4.7 32.0 131.3 8,940 299.0 244.0 -23.2 138.3
1,579.60 4.88 5.06 55.6 43.1 29.5 22.6 26.1 4.0 36.3 135.4 8,330 340.7 258.1 -37.7 136.5
1,660.60 5.13 6.4 69.7 54.1 46.2 34.6 23.5 2.9 35.93 136.1 9,355 407.5 306.1 -17.4 199.7
1,749.60 5.6 17.11 85.57 66.32 57.55 40.16 28.02 0.93 34.72 133.5 9,830 516.2 542.4 -26.18 239.8
905.6 4.97 4.96 73.47 57.52 45.63 31.16 27.84 3.42 39.77 131.8 9,110 539.4 559.3 -19.9 250.1
(1) (1) (2) (3) (3) (3) (3) (3) (1) (7) (8) (7) (*) (*) (*) (4)
191.9 883.9 845.0 365.4
207.6 911.2 866.3 411.7
253.8 1,033.50 965.1 553.6
281.9 1,203.20 1,134.10 689.7
311.82 1,248.2 1,199.2 723.7
(5) (5) (4) (4)
12.9 12.8 18.3 17.8
8.1 7.7 15.8 16.3
7.4 6.4 13.4 14.1
12.75 11.98 15.92 15.43
11.75 11.1 16.1 15.9
(4) (5) (5) (5)
25.3 9.7 424.9 268.4
16.0 6.2 742.5 411.7
36.80 10.3 1,002.20 679.9
50.58 13.58 1,162.60 758.4
107.93 10.52 1,582.6 932.2
(3) (3) (7) (5)
Source: BPS, BI and JSX 1) 2) 3) 4) *)
Semester I Januari – Oktober 2006 Januari – September 2006 Posisi akhir Agustus 2006 dalam APBN 2006
5) 6) 7) 8)
Posisi Posisi Posisi Posisi
Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
akhir Juli 2006 8 Agustus 2006 akhir Oktober 2006 akhir triwulan I 2006
2
Perkembangan Ekonomi Indonesia Analisa Bulanan
Oleh Sekretariat KADIN Indonesia Erna Zetha dan DR. Tulus Tambunan Penasehat Ahli JETRO Shoji MAEDA
Oktober 2006
KADIN Indonesia
Meskipun pemerintah terus berupaya keras mendorong tingkat investasi dalam negeri, namun minat investasi di Indonesia masih belum meningkat secara berarti sampai saat ini. Hal ini juga terlihat jelas dari hasil Konferensi dan Pameran Infrastruktur Indonesia yang dilaksanakan pada 1-2 November 2006 lalu. Beragam proyek infastruktur yang ditawarkan dinilai cukup menarik dan diminati calon investor, namun sebagian investor masih bersikap wait and see menunggu langkah lanjutan pemerintah dalam mengatasi berbagai kendala investasi. Berkaitan dengan investasi di sektor infrastruktur, hal yang paling mendasar yang diharapkan para investor adalah masalah jaminan oleh pemerintah selama pelaksanaan dan setelah penyelesaian proyek, yang ternyata tidak akan diperoleh oleh pihak swasta. Keterbatasan anggaran negara menyebabkan pemerintah tidak akan mampu memberi jaminan kepada pihak swasta berkaitan dengan pembangunan proyek infrastruktur. Belum membaiknya kondisi investasi secara keseluruhan juga dapat dilihat dari angka-angka yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Meskipun angka persetujuan penanaman modal dalam negeri (PMDN) meningkat secara signifikan dalam periode Januari – September 2006, namun ternyata bukanlah jaminan sebagai tanda membaiknya investasi dalam negeri. Pada periode tersebut kenaikan realisasi investasi PMDN tidak sampai mencapai 4 persen, dan investasi PMA bahkan mengalami penurunan hingga hampir 44 persen. Rendahnya kenaikan impor bahan baku selama periode Januari–September 2006 juga mengidentifikasikan rendahnya investasi fisik selama delapan bulan pertama tahun 2006 ini.
Realisasi Investasi (Izin Usaha Tetap) PMDN dan PMA
Investasi
1 Jan – 30 September 2006 P
PMDN
117
PMA
702
1 Jan – 30 September 2005
Investasi (Rp triliun)
P
Investasi (Rp Triliun)
12.4257
163
11.9728
-28.22
3.78
41.63
706
74.06
-0.57
-43.79
-5.75
-37.17
(US$ 4,29 milyar)
Total
819
Pertumbuhan (%)
54.0557
P
I
(US$ 7,64 milyar) 869
86.0328
Catatan: Kurs 1 dollar AS = Rp 9.700 (patokan APBN 2006)
Dengan belum membaiknya tingkat investasi dan minat investasi secara keseluruhan, selayaknya pemerintah berhati-hati dalam menyikapi perkembangan indikator ekonomi makro belakangan ini. Pemerintah hendaknya tidak hanya berpegang pada dicapainya stabilitas ekonomi makro semata, sementara perbaikan sektor riil masih jauh dari harapan. Apalagi harus diakui, bahwa terjadinya stabilitas nilai tukar rupiah bukanlah suatu hasil upaya keras pemerintah, tetapi sangat didukung oleh berbagai faktor eksternal yang memungkinkan kondisi tersebut terjadi. Selain berkaitan dengan terus turunnya harga minyak mentah dunia, mulai digesernya pengaruh perekonomian Amerika Serikat di ASEAN oleh pengaruh China juga mempengaruhi kurs nilai tukar dollar AS terhadap mata uang regional. Dengan relatif stabilnya rupiah dalam beberapa bulan terakhir ini, memungkinkan dicapainya angka inflasi yang rendah dan terus berlangsungnya penurunan suku bunga acuan (BI rate) ke tingkat yang semakin rendah.
Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
3
Namun, belum berkembangnya sektor produksi riil, yang antara lain terlihat dari rendahnya pertumbuhan produksi, masih tingginya angka pengangguran, dan lemahnya daya beli masyarakat, selayaknya menjadi fokus perhatian pemerintah jika ingin mencapai pertumbuhan sekitar 6,3 persen pada tahun 2007 mendatang. Tanpa stimulus perekonomian melalui kebijakan-kebijakan yang kondusif nampaknya target sebesar itu terlalu optimis, sementara untuk pertumbuhan sebesar 5,8 saja untuk seluruh tahun 2006 juga tidak mudah dicapai. Tanda-tanda penguatan ekonomi hanya terlihat dari nilai ekspor yang meningkat pesat sejak bulan Mei 2006, namun sayangnya tidak diikuti oleh peningkatan yang berarti pada impor barang modal dan bahan baku sebagai indikasi meningkatnya kegiatan sektor riil. Itupun masih diikuti dengan kekhawatiran dan kecurigaan telah terjadinya transhippment pada ekspor Indonesia. Jika benar kenaikan nilai ekspor bukan berasal dari produk domestik Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan meningkat cukup tinggi pada triwulan III 2006 bisa hanya menjadi pertumbuhan semu, yang tidak menggambarkan kenaikan pendapatan yang sebenarnya. Memang, upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi sudah cukup baik dengan berbagai kegiatan untuk menarik investor dan membuka peluang investasi, dan juga dengan menjalin kerjasama dengan sejumlah negara. Penurunan suku bungapun terus diupayakan untuk menurunkan biaya investasi, namun permasalahan yang berkaitan dengan regulasi investasi tidak kunjung terpecahkan. Besarnya vested interested pada kelompok tertentu dalam masyarakat menyebabkan perbaikan citra dan iklim investasi tidak kunjung membaik. Oleh karena itu, yang diperlukan tidak hanya pembenahan implementasi investasi di lapangan, tetapi juga adanya jaminan pemerintah terhadap investasi domestik maupun asing, baik berupa jaminan penegakan hukum maupun jaminan keamanan saat berlangsungnya pengerjaan proyek. Kekhawatiran akan berbagai persoalan yang berkaitan dengan investasi nampaknya akan terus berlangsung, dan akan menjadi penghambat investasi selama RUU investasi sebagai payung politik tidak kunjung selesai dibahas di DPR.
Perkembangan Pasar Uang dan Pasar Modal Terus membaiknya nilai ekspor dan meningkatnya cadangan devisa menyebabkan nilai tukar rupiah terus menguat selama bulan Oktober 2006. Jika di akhir September 2006 kurs tengah rupiah berada pada level Rp 9.235, maka pada akhir Oktober 2006 menguat ke posisi Rp 9.110 per dollar AS atau terapresiasi sekitar 1,35 persen. Cenderung menurunnya harga minyak mentah dunia dan terus membaiknya harga saham di pasar modal Indonesia menjadikan nilai rupiah relatif menguat. Sementara itu, rendahnya tekanan inflasi dan terus turunnya suku bunga acuan (BI rate) sehingga berada di level 10,25 persen pada awal November 2006, semakin meyakinkan masyarakat akan kondisi perekonomian yang lebih baik di masa mendatang.
Kurs Rupiah & Indeks Harga Saham Gabungan Januari 2006 - 31 Oktober 2006 1,600
8,700
Rupiah/US$
9,000
IHSG
1,500 1,400 1,300
9,300
1,200
16-Oct-06
28-Sep-06
12-Sep-06
25-Aug-06
4-Aug-06
19-Jul-06
3-Jul-06
15-Jun-06
30-May-06
9-May-06
21-Apr-06
29-Mar-06
23-Feb-06
1,000 13-Mar-06
9,900 7-Feb-06
1,100 19-Jan-06
9,600 2-Jan-06
Rp/US$
8,400
Sementara itu tren kenaikan harga saham dalam negeri terus berlanjut sejalan dengan terjaganya stabilitas moneter dan membaiknya gairah pasar modal dunia. Pada 31 Oktober 2006 indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tercatat berada pada level 1.582,63 atau naik 48,01 poin (sekitar 3,1 persen) dari level 1.534,62 pada akhir September 2006. Dicapainya level tersebut menunjukkan bahwa indeks bursa saham Indonesia kembali mencatat rekor-rekor baru, dan sudah melebihi level 1.553 yang dicapai pada 11 Mei 2006. Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
4
Bersamaan dengan itu indeks Dow Jones yang mencapai 12.080,73 pada akhir Oktober 2006, mengalami kenaikan sebesar 3,44 persen dari level 11.679,07 pada akhir September 2006. Bahkan indeks Dow Jones sempat mencapai angka tertinggi pada 26 Oktober 2006, yaitu pada level 12.163,66.
Perkembangan Laju Inflasi Setelah mengalami tekanan inflasi yang relatif rendah sejak Maret 2006, tingkat inflasi kembali mencatat angka yang tinggi pada bulan Oktober 2006. Seperti biasanya, setiap menghadapi bulan Ramadhan dan Idul Fitri perkembangan harga barang dan jasa secara umum menunjukkan kenaikan yang cukup berarti, sehingga menaikkan angka inflasi. Sungguhpun demikian, angka inflasi yang mencapai 0,86 persen pada bulan Oktober 2006 relatif rendah dibandingkan angka inflasi bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, yang umumnya mencapai di atas 1 persen. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, yang jatuh di bulan November 2005 tingkat inflasi mencapai 1,31 persen. Relatif tingginya inflasi di bulan Oktober lalu terutama disebabkan kenaikan harga yang cukup tinggi pada kelompok bahan makanan yang mencapai 2,17 persen, sehingga dari 0,86 persen angka inflasi umum, sebesar 0,53 persen berasal dari kelompok bahan makanan. Selain itu, meningkatnya permintaan akan sandang untuk kebutuhan lebaran menyebabkan angka inflasi kelompok sandang mencapai 1 persen, lebih tinggi dari inflasi kelompok makanan jadi yang hanya mencatat kenaikan harga sekitar 0,64 persen. Terjaganya pasokan dan distribusi dari kelompok barang ini membuat harga pada kelompok komoditi ini lebih terkendali. Kondisi ini diperkuat oleh kurs rupiah yang stabil dengan kecenderungan menguat, sehingga dampak imported inflation dapat diminimalisir. Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran (%) Tahun/ Bulan
Umum
2002 2003 2004 2005
10.03 5.06 6.40 17.11
9.13 -1.72 6.38 13.91
1.36 0.58 0.03 0.05 0.37 0.45 0.45 0.33 0.38 0.86
4.29 1.18 -0.88 -0.85 0.28 1.12 0.99 -0.34 0.62 2.17
2006 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Bahan Makanan
Makanan Jadi, Minuman Rokok dan Tembakau
Perumahan
Sandang
Kesehatan
Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Transportasi Komunikasi
9.18 6.24 4.85 13.71
12.71 9.21 7.40 13.94
2.69 7.09 4.87 6.92
5.63 5.67 4.75 6.13
10.85 11.71 10.31 8.24
15.52 4.10 5.84 44.75
0.94 0.65 0.58 0.43 0.30 0.26 0.31 0.35 0.13 0.64
0.70 0.55 0.36 0.42 0.30 0.32 0.21 0.30 0.28 0.26
0.73 0.72 0.15 0.70 2.03 -0.08 0.36 0.35 -0.13 1.00
1.06 0.40 0.39 0.58 0.57 0.27 0.06 0.33 0.31 0.29
0.20 -0.28 0.12 0.09 0.07 0.25 0.69 4.77 1.84 0.10
-0.05 0.16 0.13 0.07 0.17 0.10 0.08 0.01 -0.01 0.46
Sumber: Badan Pusat Statistik.
Meskipun relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi pada bulan-bulan sebelumnya, namun inflasi bulan Oktober 2006 tidak menyebabkan kenaikan inflasi kumulatif yang tinggi. Pada Januari – Oktober 2006 inflasi kumulatif hanya mencapai 4,96 persen, yang memastikan angka inflasi untuk seluruh tahun 2006 tidak akan melampaui 8 persen. Bahkan diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 6,5% - 7,3%. Jauh lebih rendahnya inflasi bulan Okober 2006 terhadap bulan Oktober 2005 mengakibatkan inflasi tahunan (year on year) hanya mencatat 6,29 persen, yang menurun drastis dari inflasi year on year bulan September 2006, yaitu sebesar 14,5 persen. Terjadinya kenaikan harga BBM yang drastis pada Oktober 2005 telah menyebabkan angka inflasi bulan itu mencapai 8,7 persen, dan menaikan angka inflasi tahunan selama periode Oktober 2005 – September 2006. Namun inflasi inti (core inflation) kembali mencatat kenaikan yang berarti pada bulan Oktober 2006, setelah jauh melambat pada bulan September 2006. Pada Oktober 2006 inflasi inti tercatat sebesar 0,72 persen yang disebabkan kenaikan inflasi yang tinggi pada komponen bergejolak, yaitu sebesar 2,18 persen. Sedangkan inflasi dari komponen yang harganya diatur pemerintah hanya tercatat sebesar 0.15 persen. Selama bulan September 2006 inflasi inti hanya mencapai 0,35 persen (month to month) sedangkan pada bulan Agustus 2006 inflasi inti tercatat 0,78 persen.
Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
5
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Kumulatif 2005 Kumulatif 2006
15.65
November
eptember
March
May
July
4.96
January
%
Inflasi Kumulatif (%) 2005 - 2006 (Januari - Oktober)
Perkembangan Suku Bunga Setelah melakukan relaksasi sejak Mei 2006, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) pada awal Oktober 2006 dan awal November 2006. Dengan penurunan yang mencapai 50 bps pada Oktober 2006 dan 50 bps pada November 2006 berarti BI telah menurunkan suku bunganya sebesar 250 bps dan menjadikan BI Rate berada pada level 10,25 persen di awal November 2006. Keberanian Bank Indonesia menurunkan suku bunga secara kontinyu di tengah fenomena kenaikan suku bunga global ini dimungkinkan karena membaiknya beberapa indikator ekonomi, seperti ekspor serta cadangan devisa yang meningkat, inflasi yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang stabil. Selain itu spread dengan suku bunga di luar negeri juga masih cukup tinggi dengan tetap stagnannya suku bunga Fed Funds pada level 5,25 persen, yang merupakan posisi terakhir sejak Juni 2006. Kekhawatiran terjadinya capital outflow dapat dikatakan tidak muncul, dengan masih meningkatnya aliran dana dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, terutama dalam bentuk investasi di pasar finansial seperti saham dan obligasi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan cadangan devisa terus meningkat, yang pada akhir September 2006 mencapai US$ 42,35 milyar.
25
39.77
42.35
42.00
41.13
44.17
40.11
35.54
35.08
34.72
35.93
32.04
28.02
27.05
23.76
30 21.42
US$ billion
35
29.39
40
36.30
45
40.08
50
42.81
Posisi Cadangan Devisa 1997 - September 2006
20 15 10 5
Oktober 2006
Agts 2006
Juni 2006
April 2006
Feb 2006
2005
2003
2001
1999
1997
0
Menguatnya cadangan devisa ini telah mendorong pemerintah untuk kembali mempercepat pembayaran sisa utang ke IMF. Sehingga di bulan Oktober 2006 ini Indonesia sudah terbebas dari kewajiban membayar utang ke IMF dan membuat Indonesia lebih independen dalam menentukan arah kebijakannya. Hal ini juga berpengaruh baik Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
6
terhadap performance Indonesia, terbukti dari naiknya credit rating serta turunnya country risk untuk berinvestasi di Indonesia. Namun pembayaran utang telah menurunkan cadangan devisa ke posisi US$ 39,77 milyar pada akhir Oktober 2006. Penurunan BI Rate yang telah dilakukan untuk keenam kalinya oleh Bank Indonesia ini juga direspon baik oleh bursa saham, yang tercermin dari menguatnya indeks harga saham gabungan (IHSG). Namun sayangnya kenaikan BI Rate ini belum sepenuhnya ditransmisikan pada suku bunga perbankan, terutama suku bunga kredit. Akan tetapi pada suku bunga simpanan telah terjadi penurunan yang relatif cepat. Hal ini terlihat dari turunnya suku bunga deposito berjangka yang dewasa ini sudah berada di bawah level 10% atau turun lebih dari 200 bps dibandingkan dengan posisinya di awal tahun 2006. Sementara itu suku bunga kredit hanya turun sekitar 18 bps untuk kredit modal kerja, Sedangkan suku bunga kredit investasi dan kredit konsumsi justru mengalami kenaikan.
Suku Bunga SBI, Deposito dan Kredit Modal Kerja Januari 2004 - Agustus 2006 (%) 19 17
%
15
Kredit Modal Kerja
13 11 SBI 1 Bulan
9 7
Deposito 1 Bulan Juli.06
May. 06
Mar.06
Jan.06
Nov. 05
Sept. 05
July. 05
May. 05
Mar. 05
Jan. 05
Nov. 04
Sept. 04
July. 04
May. 04
Mar. 04
Jan. 04
5
Perkembangan Ekspor Setelah terus menerus mengalami kenaikan, nilai ekspor Indonesia pada bulan September 2006 mengalami penurunan sebesar 1,18 persen dibandingkan dengan nilai ekspor bulan Agustus 2006. Meskipun demikian nilai ekspor untuk bulan September masih berada pada level US$ 8,78 milyar, yang menyebabkan nilai ekspor selama periode Januari – September 2006 mencapai US$ 73,47 milyar atau meningkat 17,2 persen terhadap nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2005.
31.3
2000
2001
2002
45.6
62.7
43.9
32.4
31.0
10
33.5
20
24.0
27.3
30
41.7
40
46.5
50
57.5
61.0
57.2
56.3
48.7
48.8
60
53.4
US$ Milyar
70
62.1
80
71.6
90
73.5
85.6
Perkembangan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Indonesia (US$ Milyar)
0 1997
1998
1999
2003
Ekspor
2004
2005
Impor
Jan Sept 2005
Jan Sept 2006
Dengan nilai ekspor sebesar itu, maka neraca perdagangan dalam periode Januari - September 2006 mencapai surplus sebesar US$ 27,84milyar atau meningkat 47,7 persen dibandingkan dengan surplus yang terjadi pada Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
7
periode yang sama tahun 2005 sebesar US$ 18,84 milyar. Peningkatan surplus sebesar itu disebabkan karena kenaikan nilai impor hanya mencapai sebesar 4,04 persen pada periode yang sama. Sedikit menurunnya nilai ekspor pada bulan September 2006 disebabkan oleh penurunan nilai ekspor migas sebesar 13,7 persen dari US$ 1,85 milyar pada Agustus 2006 menjadi US$1,59 milyar pada September 2006. Penurunan yang terkait dengan penurunan harga minyak mentah dunia ini terlihat dari penurunan ekspor minyak mentah sebesar 6,4 persen pada bulan September 2006, dan bersamaan dengan itu nilai ekspor hasil minyak juga turun sebesar 26,9 persen. Sementara itu nilai ekspor non migas meningkat dari US$ 7,04 milyar pada Agustus 2006 menjadi US$ 7,2 milyar pada September 2006. Dan secara kumulatif, selama sembilan bulan pertama tahun 2006, nilai ekspor non migas mencatat kenaikan sebesar 18 persen dari US$ 48,73 milyar pada Januari-September 2005 enjadi US$ 57,52 milyar pada Januari-September 2006.
Nilai Ekspor, Januari - September 2006 (Juta US$)
80,000
US$ Juta
60,000 57,518.0
40,000
48,726.4
Non-migas Migas
20,000
15,949.9
13,973.1
0 Jan-Sept 2005
Jan-Sept 2006
Note : Ekspor total naik sekitar 17,17%.
Menurut negara tujuan ekspor, selama periode Januari-September 2006, ekspor non migas ke beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, dimana peningkatan tertinggi terjadi untuk ekspor ke negara China sebesar 38,5%, dan berturut-turut Republik Korea Selatan: 27,7%;Taiwan: 26,5%; Australia: 22,9%; baru kemudian Jepang: 22,1% dan Amerika Serikat:14,2%. Tetapi secara absolut nilai ekspor terbesar tetap berasal dari Jepang, Amerika Serikat dan Singapura.
Perkembangan Impor Sementara itu pertumbuhan impor masih tetap menunjukkan perlambanan, meskipun mulai meningkat. Realisasi nilai impor pada bulan September 2006 hanya mencapai US$ 5,657 milyar atau naik 0,67 persen dari nilai impor bulan Agustus 2006. Sehingga secara kumulatif nilai impor selama Januari–September 2006 hanya naik sebesar 4,04 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 43,86 milyar pada Januari-September 2005 menjadi US$ 45,63 milyar pada Januari-September 2006. Dalam periode ini impor migas meningkat sebesar 8,7 persen dari US$ 13,32 milyar menjadi US$ 14,47 milyar sedangkan impor non migas hanya naik sekitar 2 persen, dari US$ 30,54 milyar menjadi US$ 31,2 milyar. Dilihat dari impor menurut golongan barang, pada periode Januari-September 2006, kenaikan impor yang terjadi pada semua golongan barang tidak dapat dikatakan cukup berarti untuk mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri. Impor barang modal yang mengalami peningkatan paling tinggi hanya mencapai 5,6 persen, sedangkan impor bahan baku hanya naik sekitar 3,7 persen setelah mengalami penurunan yang cukup berarti pada bulanbulan sebelumnya. Rendahnya kenaikan impor bahan baku secara jelas mengindikasikan belum berlangsungnya kegiatan produksi di sektor riil secara nyata selama periode tersebut. Kondisi ini terlihat sangat kontradiktif dengan peningkatan nilai Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
8
ekspor, khususnya ekspor sektor industri yang cukup berarti dalam periode tersebut. Pada Januari – September 2006 kenaikan nilai ekspor sektor industri mencapai 15,4 persen, sementara ekspor sektor pertambangan non migas mencatat kenaikan sebesar 37,4 persen.
44.69 36.31
2000
2001
2002
34.17
35.44
2003
2004
2005
Barang Konsumsi Bahan Baku Barang Modal
JanSept 2005
6.62
3.57
6.27
3.42
8.28
4.63
6.09
3.77
4.31
25.87
2.90
24.23
4.41
4.83
2.25
23.88
2.65
26.02
4.78
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
2.72
US$ Milyar
Impor Menurut Golongan Barang (US$ Milyar)
JanSept 2006
[Laporan Khusus] ASEAN-China FTA. Mampukah Indonesia? China dan 10 negara ASEAN telah memfinalkan suatu kesepakatan untuk meliberalisasikan perdagangan antara kedua belah pihak. Dalam kerangka kerja kesepakatan ini, negara-negara ASEAN dan China mempunyai komitmen untuk mendirikan suatu wilayah perdagangan bebas (FTA) pada tahun 2010, yang artinya tarif terhadap semua barang yang masuk dalam kategori FTA ini akan dihilangkan. Yang menarik dari kesepakatan ini, adalah bahwa penurunan tarif untuk sejumlah produk pertanian yang diperdagangkan selama ini antara ASEAN dan China sudah mulai diturunkan dan akan dihapuskan sepenuhnya pada Januari 2006. Ini, yang disebut Early Harvest Program ("EHP"), adalah awal dari implementasi kesepakatan ASEAN-China FTA tersebut. Produk-produk pertanian yang masuk di dalam program ini adalah antara lain binatang hidup, daging, sayur-sayuran, ikan, dan buah-buahan. Sekarang pertanyaannya, apakah Indonesia akan diuntungkan oleh EHP (atau kesepakatan FTA 2010) tersebut. Terutama melihat kenyataan bahwa kapasitas sektor pertanian Indonesia sangat buruk. Misalnya untuk buah-buahan, berdasarkan data FAO, Indonesia lebih banyak mengimpor dari China daripada mengekspor ke negara tersebut. Tahun 2004, impor buah-buahan dari China tercatat 722 mt, dan tidak ada ekspor sama sekali ke China, walaupun pada tahun yang sama Indonesia mengekspor komoditas tersebut ke pasar dunia sebanyak 1819 mt. Untuk sayur-sayuran, impor Indonesia dari China terus meningkat sedangkan Indonesia tidak mengekspor ke China. Tahun 1998, impor Indonesia dari negara tersebut tercatat 18 mt, dan pada tahun 2004 sudah mencapai 4235 mt.
Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
9
Secara teori, EHP mempunyai tiga dampak utama terhadap Indonesia. Pertama, ekspor Indonesia ke China akan naik, tentu jika komoditas pertanian Indonesia lebih murah dibandingkan China dan negara-negara ASEAN lainnya. Kedua, ekspor Indonesia ke China akan turun apabila keunggulan Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Bahkan Indonesia bisa digusur sepenuhnya dari China oleh produk-produk dari misalnya Vietnam yang sektor pertaniannya semakin baik. Ketiga, impor Indonesia dari China akan meningkat dan ini berarti akan mematikan pertanian di dalam negeri. Secara sederhana (walaupun memerlukan suatu analisa yang komprehensif), dari tiga dampak tersebut, yang mana yang sangat mungkin terjadi bisa diukur dengan sejumlah indikator daya saing. Misalnya dengan Revealed
Comparative (atau Competitive) Advantage (RCA) untuk pasar dunia, yang jika nilainya di atas 1 (satu) berarti negara tersebut untuk produk bersangkutan lebih unggul dari rata-rata dunia. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa RCA sayur-sayuran Indonesia jauh di bawah 1, sedangkan dari China tahun 1996, misalnya 2,15 dan tahun 2004 sedikit menurun ke 1,40. Untuk buah-buahan, RCA Indonesia sama buruknya dengan China, yakni dibawah rata-rata dunia. Untuk binatang hidup, RCA Indonesia selalu dibawah satu, sedangkan China beberapa tahun di atas 1. Untuk ikan, Indonesia memang unggul dengan RCA tahun 1996 sebesar 2,44 dan tahun 2004 sekitar 1,85. Tetapi RCA China juga di atas 1, walaupun rata-rata per tahun lebih rendah daripada Indonesia. Ini artinya, produk-produk ikan Indonesia menghadapi persaingan ketat dari China. Jadi, kesimpulan sementara adalah bahwa rasanya Indonesia akan lebih dirugikan daripada diuntungkan oleh adanya ASEAN-China FTA. Memang, capacity building, terutama dalam hal teknologi, SDM dan infrastruktur, di sektor pertanian Indonesia sudah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Jika Indonesia kalah bersaing dalam perdagangan produk-produk manufaktur, terutama yang footloose, seperti elektronik dan TPT, sektor pertanian merupakan satu-satunya pertahanan terakhir Indonesia, karena memang pada dasarnya Indonesia memiliki keunggulan komparatif (belum tentu kompetitif) di sektor tersebut. Table: World Production of Fruits and Vegetables in Indonesia and China (1000 tonnes) Period Indonesia China 1979-81 6 648 67 472 1989-91 10 245 150 189 1999-01 14 987 387 902 2002 16 622 461 213 2003 15 083 483 103 Source: UNCTAD database
This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy any institution. The information herein was obtained or derived from sources that we believe are reliable, but whilst all reasonable care has been taken to ensure This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy that stated facts are accurate and opinions fair and reasonable, we do not represent that it is accurate or complete and it should not be relied upon as such. All opinions and estimates included in this report constitute our judgment as of this date and are subject to change without notice. This document is for the information of clients only and must not be copied, reproduced or mare available to others.
Laporan Ekonomi Bulan Oktober 2006 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
10