Kamar Dagang dan Industri Indonesia
Laporan Ekonomi Bulanan Maret 2007
Sekretariat Kamar Dagang dan Industri Indonesia oleh Erna Zetha dan DR. Tulus Tambunan
Menara Kadin Indonesia 29th Floor Jl. HR. Rasuna Said X-5 Kav. 2-3 Kuningan – Jakarta Selatan
www.kadin-indonesia.or.id
INDIKATOR EKONOMI
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23
Indikator Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Rp triliun) Pertumbuhan PDB (%) Inflasi (%) Total Expor (USD milyar) Expor Non Migas (USD milyar) Total Impor (USD milyar) Impor Non Migas (USD milyar) Neraca Perdagangan (USD milyar) Neraca Transaksi Berjalan (USD milyar) Cadangan Devisa (USD milyar, akhir tahun) Posisi Utang Luar Negeri (USD milyar) Rupiah/USD (Kurs Tengah Bank Indonesia) Total Penerimaan Pemerintah (Rp triliun) Total Pengeluaran Pemerintah (Rp triliun) Defisit Anggaran (Rp triliun) Uang Primer (Rp triliun) Uang Beredar (Rp triliun) a. Arti Sempit (M1) b. Arti Luas (M2) Dana Pihak Ketiga Perbankan (Rp triliun) Kredit Perbankan (Rp trilioun) Suku Bunga (% per tahun) a. SBI satu bulan b. Deposito 1 bulan c. Kredit Modal Kerja d. Kredit Investasi Persetujuan Investasi - Domestik (Rp triliun) - Asing (US$ milyar) IHSG BEJ Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp triliun)
2002
2003
2004
2005
2006
1,506.10 4.38 10.03 57.0 44.9 31.2 24.8 25.8 4.7 32.0 131.3 8,940 299.0 244.0 -23.2 138.3
1,579.60 4.88 5.06 55.6 43.1 29.5 22.6 26.1 4.0 36.3 135.4 8,330 340.7 258.1 -37.7 136.5
1,656.8 5.13 6.4 69.7 54.1 46.2 34.6 23.5 2.9 35.93 136.1 9,355 407.5 306.1 -17.4 199.7
1,750.7 5.6 17.11 85.57 66.32 57.55 40.16 27.96 0.93 34.72 133.5 9,830 516.2 542.4 -26.18 239.8
1,846.7 5.48 6.6 100.69 79.52 61.08 42.10 39.61 3.42 (1) 43.27 131.8 (2) 9,020 539.4 (*) 559.3 (*) -19.9 (*) 264.5 (3)
191.9 883.9 845.0 365.4
207.6 911.2 866.3 411.7
253.8 1,033.50 965.1 553.6
281.9 1,203.20 1,134.10 689.7
346.4 1,325.7 1,244.9 749.9
12.9 12.8 18.3 17.8
8.1 7.7 15.8 16.3
7.4 6.4 13.4 14.1
12.75 11.98 15.92 15.43
9.75 8.96 15.07 15.1
25.3 9.7 424.9 268.4
16.0 6.2 742.5 411.7
36.80 10.3 1,002.20 679.9
50.58 13.58 1,162.60 758.4
157.53 (3) 13.89 (3) 1,805.5 1.249.1
Source: BPS, BI and JSX 1) Triwulan I-III 2) Posisi akhir triwulan I 2006 *) dalam APBN 2006
3) Posisi akhir November 2006 4) Posisi akhir Oktober 2006
Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(4) (4) (4) (4)
2
Perkembangan Ekonomi Indonesia Analisa Bulanan
Oleh Sekretariat KADIN Indonesia Erna Zetha dan DR. Tulus Tambunan
Maret 2007
KADIN Indonesia
Indonesia dipandang perlu memperkuat kemitraan antara pemerintah dengan swasta, serta mengembangkan spesialisasi produksi agar tidak terjebak dalam stagnasi maupun perlambatan pertumbuhan ekonomi. Demikian antara lain pandangan yang mengemuka dalam laporan terbaru Bank Dunia berjudul ”East Asia & Pacific Update”. Laporan yang mencermati pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur setelah satu dekade krisis keuangan tersebut, seharusnya menyadarkan kita bahwa perekonomian Indonesia secara riil belum dapat dikatakan telah bangkit kembali, tetapi juteru terperangkat dalam keseimbangan di tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah. Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak pernah lagi mencapai tingkatan yang cukup berarti. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun 2005 ketika mencatat angka sebesar 5,6 persen, tetapi kemudian turun kembali pada tahun 2006. Hal ini tidak saja karena tidak didukung oleh peningkatan investasi yang memadai, tetapi juga karena masih terpuruknya sektor produksi riil. Karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tidak berkualitas, nampaknya cukup beralasan. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung dewasa ini juga ditandai dengan meningkatnya pengangguran dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara daerah kaya dan daerah miskin (Kompas, 14/3/2007). Hal ini memperjelas dugaan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia juga semakin timpang, baik antara golongan ekonomi masyarakat maupun antar daerah di Indonesia.
GDP Growth By Expenditure, 2001 - 2006 (%) 18
15.7
16 14 12
10.3
9.9
%
10 8 6 4 2
6.5
6.4 3.8
3.5
3.8
4.7
4.4
4.9
3.9
4.9
5.1
9.2
8.6 5.6
4.0
5.5 3.2 2.9
1.0
0.6
0 -2
-1.2
-4
2001
2002
2003
2004
2005
Private Consumption
Capital Formation
Export
GDP Growth
2006
Berkaitan dengan hal tersebut, maka tidaklah mengherankan jika pertumbuhan ekonomi tahun 2006 lalu -- yang sebenarnya tidak buruk -- tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat golongan menengah ke bawah justeru merasakan bahwa kehidupan mereka semakin sulit, tidak saja karena semakin mahalnya harga kebutuhan pokok, terutama beras dan bahan bakar minyak, tetapi juga semakin sulitnya memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Kondisi inilah yang menyebabkan turun drastisnya popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kalangan masyarakat akhir-akhir ini. Hampir dipastikan bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah terutama berkaitan dengan masalah perekonomian yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
3
Keinginan pemerintah untuk meningkatkan investasi lebih terlihat sekedar wacana dengan mengundang para investor asing, tetapi tidak dengan diikuti dengan kebijakan yang dapat mendorong sektor produksi. Bahkan pemerintah terlihat tidak jeli mengantisipasi berbagai persoalan di sektor produksi, dan seringkali mengatasi segala persoalan secara adhoc, antara lain dengan membuka kran impor. Ketidaksinkronan kebijakan antar departemen terlihat jelas dalam masalah perberasan nasional, misalnya. Karena tidak sejalannya arah kebijakan Departemen Pertanian, BULOG, dan Departemen Perdagangan, maka masyarakat konsumen dirugikan dengan malonjaknya harga beras, sementara petani padi juga tetap dirugikan karena pada kenyataannya mereka tidak menikmati kenaikan harga gabah seperti yang ditetapkan pemerintah. Ketidakharmonisan kebijakan antar departemen menunjukkan bahwa arah kebijakan ekonomi pemerintah memang tidak jelas, karena tidak lagi diprogram secara baik menjadi satu kesatuan program jangka panjang. Kebijakan ekonomi terlihat lebih terfokus untuk mencapai stabilitas ekonomi makro, yang harus diakui dapat tejaga dengan baik. Sejak terjadinya krisis ekonomi, yang diawali oleh krisis nilai tukar, pemerintah terkesan terpaku untuk lebih mementingkan stabilitas nilai tukar, sehingga seolah-olah lupa bahwa pertumbuhan ekonomi justeru lebih penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Revitalisasi pertanian yang dicanangkan di awal pemerintahan SBY seolah-olah hanya sekedar wacana belaka, karena pada kenyataannya kebijakan di sektor pertanian tidak mengindikasikan hal tersebut ingin diwujudkan. Terjadinya kelangkaan pupuk dan mahalnya berbagai sarana produksi lainnya menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak kunjung mendapat prioritas perhatian, seperti halnya ketika Indonesia mencanangkan swasembada beras pada tahun 1984. Pada waktu itu dikenal pogram yang berkaitan dengan Panca Usaha Tani, sebagai program yang memegang peranan penting bagi tercapainya swasembada beras. Di sektor industri manufakur, perhatian pemerintah juga masih jauh dari memadai. Berbagai permasalahan yang dihadapi dunia usaha tidak kunjung diatasi dengan tuntas, seperti masalah perburuan dan masalah perpajakan. Sementara itu, akibat liberalisasi sektor perbankan kebijakan ekonomi yang menjembatani sektor produksi dengan sektor finansial menjadi sangat terbatas, karena lebih bersifat himbauan dan desakan untuk segera mengucurkan kredit kepada sektor produksi. Sektor produksi dan sektor finansial masing-masing berjalan sendiri-sendiri, karena tidak ada lagi kewajiban bagi sektor perbankan untuk membiayai sektor produksi, seperti halnya ketika Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) diprogramkan pada tahun 1973. Pada waktu itu, dalam rangka membantu peningkatan produksi dan pendapatan terutama pengusaha-pengusaha ekonomi lemah, pemerintah melalui bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta yang diizinkan mengambil kebijaksanaan berupa penyaluran kredit kecil yang dikenal dengan nama KIK dan KMKP. Penyaluran kredit dengan persyaratan yang lunak dan prosedur yang sederhana tersebut dimaksudkan untuk mendorong perkembangan usaha dari pengusaha kecil pribumi serta menunjang pertumbuhan proyek-proyek yang lebih bersifat padat karya. Terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi program KIKI/KMKP pada waktu itu, namun terlihat jelas bahwa keinginan pemerintah di masa lalu untuk memprioritaskan peningkatan pendapatan golongan ekonomi lemah dapat diwujudkan melalui bidang perkreditan perbankan. Selayaknya pengalaman empiris tersebut menjadi pelajaran berharga yang bisa diimplementasikan dalam bentuk yang lebih fleksibel dewasa ini. Seharusnya kerja sama antara berbagai sektor ekonomi kembali digalakkan untuk mencapai pembangunan ekonomi, tanpa harus mengorbankan independensi sekor perbankan. Dengan demikian kebijakan ekonomi menjadi suatu kesatuan kebijakan yang mengkaitkan seluruh bidang. Meskipun dewasa ini perbankan tidak lagi diarahkan untuk berperan sebagai ”agent of development”, namun bukan berarti dapat mengabaikan fungsinya sebagai lembaga intermediasi . Rendahnya ekpansi kredit perbankan sejak tahun 2006 menyebabkan loans to deposits ratio kembali menurun sejak tahun 2006. Bahkan keadaan ini terus berlanjut sampai triwulan I 2007, sehingga mencatatkan LDR berada di sekitar 60 persen. Pada akhir Februari 2007 posisi kredit perbankan yang mencapai Rp 777,9 triliun mengalami penurunan sekitar 1,2 persen dibandingkan posisi kredit di akir tahun 2006 yang mencapai Rp 787,14 triliun. Kondisi ini ternyata juga diikuti oleh penurunan posisi penghimpunan dana pihak ketiga sekitar 0,2 persen, yaitu dari Rp 1.298,75 trilun pada akhir tahun 2006 menjadi Rp 1.295,9 triliun pada akhir Febuari 2007. Tetapi di lain pihak, secara umum sektor perbankan menunjukkan perbaikan kesehatannya seiring dengan meningkatnya ROA dari 2,6 persen menjadi 2,8 persen , yang juga diikuti oleh penurunan Non Performing Loan.
Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
4
Loans to De pos its Ratio, Pe rtum buhan Kre dit, dan Pe rtum buhan Dana Pe rbank an (%)
60
100 80
-40
60
60.0
60.6
48.5
43.2
38.0
36.0
-20
37.3
0
60.8
20
57.4
85.0
40
105.7
120
104.0
80
40 20 0
LDR
Pe rtum buhan Kre dit
Feb'07
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
-60
Pe rtum buhan Dana
Oleh karena itu pelonggaran sejumlah aturan kredit oleh Bank Indonesia, yang didukung penuh pemerintah, diharapkan dapat menjadi salah satu jalan keluar dari kemandegan yang terjadi di sektor riil. Meskipun yang paling dibutuhkan sebenarnya adalah terciptanya iklim usaha yang kondusif, seperti aturan soal perpajakan, kepabean, dan juga soal perburuan yang sampai saat ini belum juga ada jalan keluarnya. Tanpa perbaikan iklim investasi, maka pelonggaran aturan kredit tidak akan efektif, bahkan akan menjadi bumerang bagi stabilitas ekonomi. Seperti diketahui, sejak tahun 2006 sampai sekarang Bank Indonesia sudah memperlonggar sebanyak 17 peraturannya yang tujuannya menghidupkan kembali sektor swasta dengan adanya dukungan likuiditas dari perbankan. Selain itu kebijakan BI tersebut hendaknya dimanfaatkan secara benar oleh dunia usaha dengan tujuan untuk benar-benar meningkatkan investasi bagi kegiatan produksi. Kebijakan akan menjadi malapetaka baru jika moral hazard kembali mengemuka di kalangan dunia usaha.
Perkembangan Moneter Sementara itu, ditinjau dari sisi moneter, tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian Indonesia sudah berada pada jalur yang tepat (on the right track). Stabilitas makro ekonomi terus terjaga dengan baik dengan kurs rupiah yang cenderung menguat, sehingga tingkat inflasi dapat terus ditekan dan suku bunga perbankan terus diturunkan. Selama tahun 2006 kurs rupiah mengalami apresiasi sekitar 8,2 persen, dan selama tiga bulan pertama tahun 2007 dapat dikatakan relatif stabil pada kisaran sekitar Rp 9.100 per dollar AS. Angka inflasi yang melonjak tinggi pada tahun 2005 (17,1%) turun menjadi 6,6 persen pada tahun 2006, dan diharapkan dapat terus terkendalikan selama tahun 2007. Selama Januari-Maret 2007 angka inflasi mencapai 1,91 persen yang lebih rendah dari angka inflasi pada periode yang sama tahun 2006, yaitu sebesar 1,98 persen.
Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
5
Kurs Tengah Rupiah Terhadap Dollar AS Januari 2006 - April 2007 8,500 8,700
Rp/US$
8,900 9,100 9,300 9,500 9,700
20Mar-07
16-Feb07
17-Jan07
15-Dec06
16-Nov06
11-Oct06
12-Sep06
9-Aug06
11-Jul06
12-Jun06
9-May06
5-Apr06
3-Mar06
2-Feb06
2-Jan06
9,900
Namun sebenarnya inflasi bulan Maret 2007 yang mencapai 0,24 persen bukanlah angka yang rendah, karena dibandingkan angka inflasi Maret pada tahun-tahun sebelumnya, inflasi Maret 2007 hanya lebih rendah dibandingkan inflasi Maret 2005. Sedangkan pada Maret tahun-tahun sebelumnya sejak tahun 2002 dan juga dibandingkan dengan inflasi Maret 2006, angka inflasi pada Maret 2007 jauh lebih tinggi. Oleh karena itulah Bank Indonesia, yang mengantisipasi kenaikan angka inflasi mulai mengerem penurunan suku bunga acuan BI rate.
Inflasi Kumulatif (%) 2005 - 2007 18 16 12 10
%
17.11
2005 2006 2007
14
8
6.60
6 1.04
1.67 February
2
January
4
1.91 December
November
October
September
August
July
June
May
April
March
0
Setelah menurunkan BI rate sebanyak sembilan kali sejak Juli 2006, Bank Indonesia mulai menghentikan penurunan BI rate untuk tetap berada di level 9 persen pada awal April lalu. Menurut Bank Indonesia, jeda ini dimaksudkan untuk mencermati lebih jauh dampak dan perkembangan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan juga Bank Indonesia. Selain itu juga untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan angka inflasi yang dapat muncul jika terjadi ketidakseimbangan di sektor moneter dengan sektor riil.
Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
6
Perkembangan BI Rate (2005 - April 2007) 2005 6 Desember 1-Nov 4 Oktober 6-Sep 9 Agustus 5 Juli
2006 12.75% 12.25% 11.00% 10.00% 8.75% 8.50%
7-Dec 7-Nov 5 Oktober 6-Sep 8 Agustus 5 Juli 6 Juni 9 Mei 5-Apr 7 Maret 7 Februari 9 Januari
2007 9.75% 10.25% 10.75% 11.25% 11.75% 12.25% 12.50% 12.50% 12.75% 12.75% 12.75% 12.75%
5-Apr 6 Maret 6 Februari 4 Januari
9.00% 9.00% 9.25% 9.50%
Sumber: Bank Indonesia
Perkembangan Ekspor Kinerja ekspor Indonesia dalam dua bulan terakhir tahun 2007 menunjukkan penurunan. Setelah nilai ekspor Januari 2007 menurun 12,04 persen dibandingkan dengan nilai ekspor Desember 2006, nilai ekspor Indonesia pada Februari 2007 kembali mengalami penurunan. Dengan nilai ekspor sebesar US$8,32 miliar, maka nilai ekspor Indonesia bulan Februari 2007 menurun 0,44 persen dibandingkan dengan nilai ekspor bulan Januari 2007 yang berada di posisi US$8,35 miliar. Indonesia's Export January-February 2006 & 2007 Value FOB (US$ million) Description
% Change Feb-07 to Jan-07
% Change Jan-Feb 2007 to Jan-Feb 2006 (0.44) 11.47
% Share to Total Jan-Feb 2007 100.00
January 2007 8,353.8
February 2007 8,317.1
Jan-Feb 2006 14,956.1
Jan-Feb 2007 16,670.9
Oil and Gas Crude Oil Refinery Product Gas
1,487.7 608.5 161.3 717.9
1,460.4 628.4 204.0 628.0
3,462.0 1,401.4 391.2 1,669.4
2,948.1 1,236.9 365.3 1,345.9
(1.84) 3.27 26.47 (12.52)
(14.84) (11.74) (6.62) (19.38)
17.68 7.42 2.19 8.07
Non-oil and gas
6,866.1
6,856.7
11,494.1
13,722.8
(0.14)
19.39
82.32
Export
Source: Statistics Indonesia
Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2006 – atau secara year on year – nilai ekspor pada dua bulan pertama tahun 2007 tetap lebih baik. Pada Januari-Februari 2007 nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 16,67 miliar atau naik sekitar 11,47 persen terhadap nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2006 yang tercatat sebesar US$ 14,96 miliar. Dengan nilai impor sebesar US$ 9,91 miliar maka pada dua bulan pertama tahun 2007 neraca perdagangan mencatat suplus sebesar US$ 6,76 miliar. Kondisi ini terus meningkatkan cadangan devisa di Bank Indonesia, meskipun pada tahun 2006 lalu Indonesia telah melunasi utangnya kepada IMF. Pada akhir Maret 2007 cadangan devisa mencapai US$ 47,2 miliar yang meningkat sekitar US$ 4,6 miliar atau 10,8 persen dari posisi cadangan devisa pada akhir tahun 2006. Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
7
28.0
47.2
45.7
43.3
42.6
41.6
39.8
42.4
42.0
41.1
40.1
44.2
40.1
35.5
35.1
35.9
36.3
34.7
29.4
27.1
23.8
30 21.4
US$ billion
40
32.0
50
42.8
Reserve Asset Position 1997 - Maret 2007
20 10
Feb-07
Dec-06
Oct 2006
Auguts 2006
June 2006
April 2006
Feb 2006
2005
2003
2001
1999
1997
0
Perkembangan Impor Sementara itu nilai impor Indonesia pada bulan Februari 2007 mencapai US$4,66 miliar atau turun 11,07 persen dibandingkan nilai impor bulan Januari 2007 yang sebesar US$5,24 miliar. Sedangkan nilai impor Januari-Februari 2007 yang mencapai US$9,91 miliar menunjukkan peningkatan sekitar 11,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2006, yang mencapai US$8,892 miliar. Indonesia's Import January-February 2007 Description Import
Jan 2007 5,243.7
Value CIF (US$ million) Feb Jan-Feb 2007 2006 4,663.0 8,916.9
Jan-Feb 2007 9,906.7
% Change Feb-07 to Jan 2007 (11.07)
% Change Jan-Feb 2007 to 2006 11.10
% Share to Total Jan-Feb 2007 100.00
Oil and Gas Crude Oil Refinery Product Gas
1,361.9 580.9 781.0 -
1,078.1 382.7 695.4 -
2,440.0 1,157.7 1,272.3 10.0
2,440.0 963.6 1,476.4 -
(20.84) (34.12) (10.96)
0.00 -16.77 16.04
24.63 9.73 14.90
Non-oil and gas
3,881.8
584.9
6,476.9
7,466.7
(84.93)
15.28
75.37
Source: Statistics Indonesia
Meskipun secara kumulatif mengalami peningkatan, namun kenaikan nilai impor ini belum menunjukkan adanya perbaikan pada sektor produksi riil. Meskipun terjadi kenaikan pada impor bahan baku sebesar 13,05 persen pada Januari-Februari 2007, namun hal tersebut belum melegakan, karena bersamaan dengan itu juga terjadi penurunan impor barang modal sebesar 4,43 persen. Hal ini menunjukkan masih belum terjadinya peningkatan investasi yang cukup berarti di sektor produksi ril. Dan yang lebih tidak menggembirakan lagi adalah kenyataan semakin tingginya nilai impor barang konsumsi, yang untuk periode Januari-Februari 2007 meningkat sekitar 23,28 persen. Jika dilihat berdasarkan negara asal. Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar dewasa ini adalah China, yaitu dengan nilai yang mencapai US$1,14 miliar (15,26 persen), kemudian baru diikuti oleh Jepang dengan nilai US$ 0,92 miliar (12,29 persen), dan Amerika Serikat US$0,67 miliar (8,95 persen). Sementara nilai impor nonmigas dari ASEAN mencapai 21,18 persen dan Uni Eropa 13,50 persen. Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
8
Hal ini memperlihatkan ketergantungan Indonesia yang semakin besar terhadap produk-produk asal China. Bahkan sudah melebihi impor dari negara-negara importir utama seperti Jepang dan AS. Jika pada tahun 2006 terkadang impor terbesar berasal dari China dan Jepang, maka sekarang ini terlihat Jepang sudah makin tertinggal dalam memasok barang-barang kebutuhan dalam negeri Indonesia dibandingkan dengan China. Produk unggulan China yang paling membanjiri pasar Indonesia tidak lain adalah tekstil dan elektronika. Meskipun dengan kualitas yang tidak terlalu baik, namun dengan harga yang terjangkau, masyarakat lebih memilih produk China dibandingkan produk dari negara-negara lainnya.
This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy any institution. The information herein was obtained or derived from sources that we believe are reliable, but whilst all reasonable care has been taken to ensure This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy that stated facts are accurate and opinions fair and reasonable, we do not represent that it is accurate or complete and it should not be relied upon as such. All opinions and estimates included in this report constitute our judgment as of this date and are subject to change without notice. This document is for the information of clients only and must not be copied, reproduced or mare available to others.
Laporan Ekonomi Bulan Maret 2007 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia
9