Laporan Ekonomi Bulanan Edisi Desember 2005
Diterbitkan oleh Sekretariat Kadin Indonesia Kerjasama KADIN Indonesia dan JETRO JETRO Expert: Yojiro OGAWA Shoji MAEDA Erna Zetha Rusman
Indikator Ekonomi Indikator 1. PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Rp Triliun) 2. Pertumbuhan PDB (%)
2001 1,443.0
2002 1,506.1
2003 1,579.6
2004
2005
1,660.60 1.313.4 (3)
3.83
4.38
4.88
5.13
5.34 (3)
12.55
10.03
5.06
6.40
17.17 (2)
6.9
4.7
4.0
2.9
0.92 (1)
5. Total Ekspor (US$ Billion)
56.3
57.0
55.6
69.7
70.3 (4)
6. Ekspor Nonmigas (US$ Billion)
43.7
44.9
43.1
54.10
54.53 (4)
7. Total Impor (US$ Billion)
31.0
31.2
29.5
46.20
48.63 (4)
8. Impor Nonmigas (US$ Billion)
25.5
24.8
22.6
34.60
33.81 (4)
9. Neraca Perdagangan (US$ Billion)
25.4
25.8
26.1
23.50
21.67 (4)
127.8
138.3
136.5
199.7
256.9 (5)
a. Arti Sempit (M1)
177.7
191.9
207.6
253.80
b. Arti Luas (M2)
844.1
883.9
911.2
1,033.5 1115.9 (6)
809.1
845.0
866.3
965.1 1050.3 (6)
a. SBI 1 Bulan
17.6
12.9
8.1
7.40
12.75 (7)
b. Deposito 1 Bulan
16.1
12.8
7.7
6.40
9.17 (8)
c. Kredit Modal Kerja
19.2
18.3
15.8
13.40
14.51(8)
d. Kredit Investasi
17.9
17.8
16.3
14.10
14.47 (8)
10,400
8,940
8,330
- Domestik (Rp Triliun)
58.8
25.3
16.0
- Asing (US$ Billion)
15.1
9.7
6.2
10.30 11.195 (4)
17. IHSG BEJ
392.0
424.9
742.5
1,000.2 1,155.9 (9)
18. Nilai Kapitalisasi Pasar BEJ (Rp Triliun)
239.3
268.4
411.7
3. Inflasi (%) 4. Neraca Transaksi Berjalan (US$ Billion)
10. Uang Primer (Rp Triliun) 11. Uang Beredar (Rp Triliun)
12. Dana Pihak Ketiga Perbankan (Rp Triliun)
274.8 (6)
14. Suku Bunga (persen per tahun)
15. Rupiah/US$ (Kurs Tengah Bank Indonesia)
9,355
9.815 (9)
16. Persetujuan Investasi 36.80
679.9
44.59 (4)
795.4 (9)
Sumber: BPS, BI, dan BEJ 1) Januari - Juni 2005
4) Januari - Oktober 2005
7) Posisi 14 Desember '05
2) Januari - Nopember 2005
5) Posisi Oktober 2005
8) Posisi September '05
3) Januari - September 2005
6) Posisi Agustus 2005
9) Posisi 15 Desember '05
Perkembangan Ekonomi Indonesia Analisa Bulanan
Desember 20005 Terbentuknya tim ekonomi baru, hasil reshuffle kabinet di awal Desember lalu, tidak saja direspons secara positif oleh pasar, tetapi juga melahirkan optimisme baru terhadap perekonomian nasional. Gairah optimisme pasar, yang memang sudah meningkat sejak Dr.Boediono diminta Presiden masuk dalam struktur kabinet, semakin memperkuat nilai tukar rupiah dan indeks harga saham di pasar modal dalam negeri. Sejak pelantikan tim ekonomi yang baru, kurs rupiah terus menguat dan mencapai level Rp 9.735 pada 12 Desember 2005, yang merupakan level terkuat dalam empat bulan terakhir. Meskipun kembali melemah ke level Rp 9.780 pada pertengahan Desember, namun diperkirakan kondisi rupiah tetap dalam kecenderungan untuk menguat. Grafik 1
Rp/US$
Kurs Tengah Rupiah & Indeks Harga Saham Gabungan Januari 2005 - 15 Desember 2005 8,000
1,300
8,500
1,200
9,000
1,100
9,500
1,000 900
10,000
800
10,500 Rupiah/US$
11,000
700
IHSG
600
8-Dec-05
22-Nov-05
28-Oct-05
12-Oct-05
26-Sep-05
8-Sep-05
22-Aug-05
3-Aug-05
18-Jul-05
30-Jun-05
14-Jun-05
27-May-05
10-May-05
20-Apr-05
4-Apr-05
16-Mar-05
25-Feb-05
7-Feb-05
19-Jan-05
3-Jan-05
11,500
Menguatnya rupiah secara cukup berarti jelas mencerminkan membaiknya kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia. Meskipun angka inflasi bulan Nopember tetap mencatat kenaikan yang relatif tinggi sebagai dampak lanjutan kenaikan harga bbm di awal Oktober lalu, namun pasar seolah dapat menerima kondisi ini sehingga tidak lagi terpengaruh. Oleh karena itu Bank Indonesia mengisyaratkan tidak akan segera menaikkan BI rate (suku bunga
moneter) untuk merespon kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed Funds Rate) yang kembali naik sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 4,25 persen. Sementara itu maraknya kembali transaksi pasar modal juga menggambarkan meningkatnya kepercayaan investor, yang selayaknya harus diantisipasi secara cermat. Mobilitas aliran dana di pasar modal yang begitu tinggi harus dijaga dengan baik agar bertul-betul bisa menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi portofolio pada pasar modal hanya akan bermanfaat bagi perekonomian apabila mampu menjadi motor dengan meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan investasi fisik dalam perekonomian nasional.
Laju Inflasi Dampak kenaikan harga bbm dalam negeri nampaknya masih terus berlanjut dengan masih besarnya tekanan harga hingga bulan Nopember 2005. Hal ini tercermin dari inflasi bulan Nopember yang masih relatif tinggi, yaitu mencapai 1,31 persen, yang merupakan inflasi bulan Nopember tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Tingginya inflasi ini jauh diatas perkiraan pemerintah, yang memperkirakan inflasi bulan Nopember akan kurang dari satu persen, bahkan mungkin terjadi deflasi. Melesetnya perkiraan tersebut selain karena dampak lanjutan kenaikan bbm, juga disebabkan oleh faktor musiman terkait dengan perayaan lebaran, dengan meningkatnya permintaan berbagai barang dan jasa, terutama yang termasuk dalam kelompok makanan.
Grafik 2 Inflasi Kumulatif (%) 2003 - 2005 (Januari - November)
20 18
2005
16
2003
14
2004
17.17
10 6.40
8 6 4
5.06
2 December
November
October
September
August
July
June
May
April
March
February
0 January
%
12
Inflasi Nopember yang relatif tinggi ini menyebabkan inflasi secara tahunan (year on year) hampir mencapai 18,4 persen. Sementara inflasi kumulatif Januari sampai dengan Nopember 2005 telah mencapai 17,2 persen. Inflasi yang cukup tinggi ini dipastikan akan berdampak pada meningkatnya ongkos produksi, yang pada akhirnya akan meningkatkan harga jual pada beberapa industri. Sementara disisi lainnya daya beli masyarakat telah semakin menurun dengan tajam, sehingga tidak dapat menyerap output sektor produksi secara maksimal. Kondisi ini berlangsung di saat persaingan ekspor juga semakin ketat ditengah melemahnya perekonomian global, sehingga penyerapan output sektor produksi dalam bentuk ekspor juga semakin terbatas. Bila insentif yang dijanjikan pemerintah tidak mampu mengkompensasi keadaan ini, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya, bahkan terhentinya proses produksi yang akhirnya meningkatkan pengangguran. Jika tidak segera ditangani secara benar, kondisi ini dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya stagflasi yang belakangan ini sering dikhawatirkan banyak kalangan.
Perkembangan ekspor dan Impor Selama sepuluh bulan pertama tahun 2005 (Januari-Oktober 2005) neraca perdagangan internasional Indonesia mencatat surplus sebesar US$ 21,69 milyar, atau meningkat 34,1 persen dari surplus yang dicapai pada periode yang sama tahun 2004, yaitu sebesar US$ 16,18 milyar. Surplus neraca perdagangan itu terjadi karena total ekspor mencapai US$ 70,32 milyar sementara impornya sebesar US$ 48,63 milyar.
80
46.2
61.0
32.4 31.3
33.5
31.0
20
24.0
27.3
30
57.2
48.7
41.7
US$ Milyar
48.8
50
40
56.3
53.4
37.7
62.1
Impor 60
53.8
70.8
Ekspor
70
48.6
70.3
Grafik 3 Perkembangan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Indonesia (US$ Milyar)
2001
2002
10
0
1997
1998
1999
2000
2003
2004
JanOkt. 2004
JanOkt. 2005
Dengan pencapaian nilai ekspor sebesar US$ 70,32 milyar berarti ekspor tumbuh sebesar 30,6 persen terhadap nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2004, yang besarnya US$ 53,84 milyar. Dalam periode ini ekspor migas meningkat sebesar 22,2 persen dari US$ 12,91 milyar menjadi US$ 15,78 milyar, sedangkan ekspor non migas meningkat dengan 18,7 persen dari US$ 45,93 milyar menjadi US$ 54,53 milyar. Kendati demikian, dibanding kinerja ekspor pada awal tahun 2005 pertumbuhan ekspor cenderung terus melambat. Hal itu juga terlihat pada pertumbuhan ekspor dari triwulan ke triwulan. Dibandingkan dengan nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2004, maka pertumbuhan ekspor selama triwulan I 2005 mencapai 32,2 persen. Pada triwulan II pertumbuhan ekspor turun menjadi 23 persen dan pada triwulan III hanya 10,4 persen. Untuk triwulan IV pertumbuhan ekspor belum diketahui, tetapi diperkirakan nilai dan volume ekspornya lebih tinggi dari triwulan IV tahun sebelumnya. Meskipun dunia usaha dalam kondisi tertekan akibat kenaikan BBM per 1 Oktober 2005 tetapi belum berpengaruh pada ekspor triwulan itu. Ini dimungkinkan karena ekspor pada triwulan IV adalah realisasi dari kontrak yang sudah disepakati sebelum terjadinya kenaikan BBM. Hal itu memberikan harapan bahwa perkiraan nilai ekspor sebesar US$ 80 milyar untuk tahun 2005 masih mungkin untuk tercapai. Tetapi untuk mencapai hal itu tidaklah mudah, apalagi kondisi makro ekonomi di dalam negeri pada tahun 2005 tidak stabil dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dengan demikian upaya untuk mencapai target pertumbuhan ekspor non migas sekitar 10 persen pada tahun 2005 juga cukup berat. Karena sejak awal tahun 2005 pertumbuhan ekspor non migas juga sudah melemah. Jika pada triwulan I ekspor non migas masih tumbuh sebesar 35 persen dibanding periode yang sama tahun 2004, maka pada triwulan II pertumbuhannya sudah turun menjadi 25,5 persen dan akhirnya pada triwulan III hanya 6,7 persen. Sementara itu upaya mendorong ekspor non migas di tahun 2005 dihadapkan pada laju inflasi yang tinggi serta gejolak kurs rupiah terhadap dolar AS. Padahal sektor pendukung ekspor non migas yang utama adalah industri manufaktur yang keperluan bahan bakunya masih tergantung pada impor. Meskipun demikian kinerja ekspor non migas ke beberapa negara tujuan ekspor dalam periode Januari-Oktober 2005 masih terlihat membaik. Dalam periode Januari-Oktober 2005 ini ekspor non migas terbesar masih tetap ke negara-negara Uni Eropa (US$ 8,31 milar) kemudian Amerika Serikat (US$ 8,01 milyar), Jepang ( US$ 7,96 milyar) dan Singapura (US$ 5,83 milyar). Keempat negara ini menguasai sekitar 55 persen dari total ekspor ke-9 negara utama tujuan ekspor non migas Indonesia. Sementara itu dalam periode Januari-Oktober 2005 nilai impor mengalami peningkatan sebesar 29,13 persen dibanding nilai impor pada periode yang sama tahun 2004, dari US$ 37,66 milyar menjadi US$ 48,63 milyar. Peningkatan impor migas masih tetap tinggi mencapai 58,59 persen dari US$ 9,34 milyar menjadi US$ 14,82 milyar. Ini disebabkan karena harga minyak di pasar dunia masih
relatif tinggi meskipun terjadi penurunan dari US$ 61,1 per barel pada bulan September 2005 menjadi US$ 58,06 pada bulan Oktober. Melonjaknya impor migas ini terutama dipicu oleh impor hasil-hasil minyak yang mencapai 97,49 persen dan impor minyak mentah yang naik sebesar 23,01 persen. Sedangkan kenaikan impor non migas sekitar 19.41 persen dari US$ 28,31 milyar menjadi US$ 33,81 milyar. Impor non migas terbesar terjadi pada mesin-mesin/pesawat mekanik, besi baja dan mesin/peralatan listrik. Selama Januari-Oktober 2005 nilai impor komoditikomoditi itu meningkat sebesar 34,3 persen, besi baja 34,5 persen dan barangbarang dari besi baja 75,5 persen. Sementara itu nilai impor terbesar terjadi untuk produk-produk dari Jepang, Cina dan Amerika Serikat. Sedangkan menurut penggunaan barangnya, impor barang modal menunjukkan kenaikan tertinggi mencapai 33,7 persen yaitu dari US$ 5,17 milyar menjadi US$ 6,92 milyar menyusul bahan baku/penolong sebesar 29,2 persen dari US$ 29,38 milyar menjadi US$ 37,95 milyar dan barang konsumsi 21 persen dari US$ 3,11 milyar menjadi US$ 3,76 milyar.
Cadangan devisa Dalam tahun 2005 cadangan devisa Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Ini disebabkan karena faktor tingginya harga minyak dunia yang sempat menembus angka US$ 68 barel sehingga berdampak terhadap membengkaknya pengeluaran untuk impor minyak. Sementara kebutuhan devisa untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun 2005 juga cukup besar, mencapai sekitar US$ 7 milyar, meskipun pada tahun ini ada bagian dari utang luar negeri yang mendapat moratorium. Sementara Bank Indonesia juga menggunakan cadangan devisa untuk keperluan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Yang sangat menimbulkan kekhawatiran adalah bahwa selama Januari-September 2005 kemerosotan cadangan devisa sudah mencapai US$ 5 milyar. Bahkan pemerintah sendiri memperkirakan sampai akhir tahun 2005 cadangan devisa akan berada pada level sekitar US$ 30,7 milyar, jauh lebih rendah dari posisi akhir 2004 sebesar US$ 35,93 milyar. Tetapi perkembangan dalam dua bulan terakhir ini sedikit menumbuhkan harapan akan terjadinya perbaikan dalam jumlah cadangan devisa. Dengan posisi cadangan devisa pada akhir Oktober yang mencapai US$ 32,65 milyar berarti terjadi kenaikan sekitar 7 persen dari jumlah cadangan devisa pada akhir September sebesar US$ 30,32 milyar. Peningkatan itu masih berlanjut pada akhir Nopember 2005 di mana cadangan devisa mencapai US$ 33,24 milyar atau naik 1,82 persen dari posisi bulan Oktober. Menguatnya cadangan devisa selama dua bulan ini memang belum mengindikasikan akan meningkatnya jumlah cadangan devisa pada bulan-bulan selanjutnya. Tetapi setidaknya hal itu menguatkan optimisme akan terjadinya
perbaikan dalam cadangan devisa. Faktor eksternal yang mendukung optimisme ini adalah adanya kecenderungan menurunnya harga minyak di pasar dunia. Sementara di dalam negeri sehubungan dengan adanya kenaikan harga BBM maka terjadi penurunan terhadap konsumsi minyak. Hal mana berdampak terhadap berkurangnya kebutuhan dolar AS oleh Pertamina untuk impor minyak yang juga mengalami penurunan. Grafik 4 Posisi Cadangan Devisa 1997 - Nopember 2005 40
20
38
15
36 10
%
32 30
0
28
-5
US$ Milyar
34 5
26 -10
US$ Milyar
24
Pertumbuhan (%)
-15
22 Oct-05
Aug-05
June-05
April-05
Feb-05
Dec-04
Oct-04
Aug-04
June-04
April 04
Feb-04
2003
2001
1999
20 1997
-20
Di sisi lain membaiknya cadangan devisa juga memberikan harapan akan menguatnya nilai tukar rupiah. Karena dalam tahun 2005 ini salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah karena tingginya kebutuhan dolar AS yang diperlukan oleh Pertamina untuk keperluan impor minyak. Sementara suplai dolar AS di dalam negeri masih sangat terbatas karena kinerja ekspor terutama ekspor non migas mengalami perlambatan pertumbuhan. Selain itu aliran masuk modal asing juga masih terbatas karena iklim investasi yang belum kondusif. Kendati demikian sulit untuk memastikan apakah penguatan cadangan devisa dalam dua bulan tersebut akan terus berlanjut pada tahun 2006. Kekhawatiran akan terjadinya tekanan terhadap cadangan devisa dalam jangka pendek tetap ada karena dalam era Kabinet Indonesia Bersatu fundamental perekonomian belum banyak mengalami perubahan. Karena itu dengan adanya reschuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden SBY, di mana masuk nama-nama seperti Boediono yang direspon positif oleh pasar, diharapkan akan berdampak positif terhadap kondisi makro ekonomi secara keseluruhan.
Dengan prospek ekonomi yang dilandasi fundamental makro ekonomi yang lebih baik diharapkan akan dapat menarik masuknya investasi asing lebih banyak lagi. Pada gilirannya hal ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah cadangan devisa pada tahun 2006, yang oleh pemerintah diperkirakan akan turun ke level US$ 27,1 milyar dengan meningkatnya kebutuhan valuta asing pada tahun 2006. Ini disebabkan karena moratorium utang sudah tidak ada sehingga pemerintah harus kembali mencicil utang-utangnya, disamping utang-utang sektor swasta juga banyak yang jatuh tempo. Karena menurut Bank Indonesia tanpa adanya moratorium lagi maka puncak jatuh tempo utang luar negeri Indonesia akan terjadi pada tahun 2006-2007.
This report is for use by professional and business investors only and has been prepared for information purposes and is not an offer to sell or a solicitation to buy any securities. The information herein was obtained or derived from sources that we believe are reliable, but whilst all reasonable care has been taken to ensure that stated facts are accurate and opinions fair and reasonable, we do not represent that it is accurate or complete and it should not be relied upon as such. All opinions and estimates included in this report constitute our judgement as of this date and are subject to change without notice. This document is for the information of clients only and must not be copied, reproduced or mare available to others.