LAPORAN Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi Tambang/Eks Penambangan Batubara PD. Baramarta Kabupaten Banjar Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Disusun oleh Ir.H. Eka Iriadenta, MSi
BANJARBARU 2010
Kata Pengantar Laporan kegiatan Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi Tambang/Eks Penambangan Batubara PD. Baramarta Kabupaten Banjar Berbasis Pemberdayaan Masyarakat ini disusun oleh Ir. H. Eka Iriadenta, MSi bekerjasama dengan PD. Baramarta dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kerjasama yang telah dijalin. Tersusunnya Laporan ini tidak lepas dari bantuan motivasi, moril maupun materil berbagai pihak, yang secara khusus saya sampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Direktur PD. Baramarta Kabupaten Banjar Martapura 2. Manajer Operasional PD. Baramarta beserta staf pendukungnya Tiada gading yang tak retak. Kesempurnaan Demikian Laporan ini saya sampaikan, kritik dan saran yang membangun Kami harapkan dan semoga Laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarbaru, 12 Desember 2010
Ir. H. Eka Iridenta, M.Si
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan sektor penyumbang devisa negara yang signifikan. Batubara merupakan energi alternatif yang sangat dibutuhkan pada masa sekarang dan akan datang. Selaras kebutuhan energi bagi pembangunan, aktivitas eksploitasi batubara juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun demikian kegiatan pertambangan yang tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain berpotensi menyebabkan degradasi lahan dan perairan di sekitarnya serta peluang konflik sosial. Tanah yang dibongkar saat penambangan kemudian akan dipindahkan ke areal tertentu, untuk kemudian di kemudian hari diharapkan dapat dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit setelah tanahnya dibongkar berubah menjadi lembah, atau lahan yang sebelumnya lembah lalu ditimbun menjadi bukit. Hal ini menyebabkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah mudah longsor. Cara ini berpotensi menimbulkan kerusakan lahan, antara lain terjadinya perubahan sifat tanah, munculnya lapisan bahan induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan masam dan garam-garam yang dapat meracuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta terjadinya erosi dan sedimentasi maupun dampak turunan terhadap ekosistem perairan sekitar. Pada tanah timbunan yang dibiarkan terbuka sering terjadi erosi yang hebat karena air yang jatuh akan cepat mengalir di permukaan tanah. Erosi selanjutnya menimbulkan masalah sedimentasi maupun cemaran di badan-badan air penerima. Di sisi lain, limbah cair pertambangan batu bara selain berpotensi bersifat asam, juga berpeluang mengandung senyawa yang dikategorikan bahan beracun berbahaya (B3), termasuk kemungkinan logam-logam beracun dan bersifat karsinogenik seperti arsenic, merkuri, kromium, boron, selenium dan nikel. Dari aspek teknologi, hal ini mungkin dapat
dikelola untuk meminimalkan dampaknya. Namun, penambangan batu bara secara terbuka juga akan memunculkan lubang-lubang galian yang relatif dalam dan luas. Salah satu hasil sekaligus potensi masalah dari akhir penambangan adalah risiko terbentuknya sisa lubang galian yang tidak dapat tereklamasi seperti kondisi rona awal akibat defisit overburden. Secara logis, hal ini sebenarnya memang sangat berpeluang terjadi berdasarkan stripping ratio yang diaplikasikan, karena sebagian batuan (dalam hal ini adalah endapan batubara) telah diambil. Upaya pengambilan batuan atau tanah urug dari kawasan lain juga tentu akan menimbulkan masalah baru. Sisa lubang bekas galian tambang tersebut pada akhirnya akan menjadi kawasan tampungan air larian maupun air hujan karena biasanya posisi kondisi topografi menjadi cenderung lebih rendah dan struktur tanah memadat dan atau sulit diresapi air. Dalam perkembangannya, lahan ini akan tergenang air dan makin berkembang mengalami perubahan menjadi perairan baru di kawasan tersebut. Dengan demikian, cepat ataupun lambat, akan terjadi tahapan perubahan lahan dari terestrial bekas tambang menjadi perairan semacam danau buatan dan akhirnya seiring waktu akan mengalami suksesi ekologis bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mencermati fakta yang terjadi, diperlukan kajian yang mendalam terhadap lahan eks tambang yang berubah menjadi sumber daya perairan, khususnya kajian ekologis menyangkut kehadiran dan dampaknya terhadap ekosistem sekitarnya. Dalam hal ini, suksesi void yang akan berkembang menjadi ekosistem perairan tergenang masih menyimpan berbagai pertanyaan menyangkut keberadaannya yang sangat mungkin belum pernah ada sebelumnya di kawasan tersebut, bagaimana kondisi dan atau proses serta senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya termasuk efeknya terhadap kehidupan di dalam dan di sekitarnya. Pada sisi lain, keberadaan void diperkirakan juga berpeluang akan memberikan kontribusi positif solusi alternatif upaya pengelolaan reklamasi tambang secara logis/rasional, serta berpeluang dapat mendukung siklus hidrologis kawasan, keberhasilan revegetasi lahan dan suksesi kawasan.
2
Substansi penting dari urgensi kajian ini adalah bukan merupakan dalih perusahaan pertambangan yang melakukan eksploitasi/penambangan batubara untuk meninggalkan lubang-lubang tambang sehingga seolah-olah meninggalkan tanggung jawab atas kebijakan reklamasi tambang, namun yang sangat penting adalah diperlukannya tindakan logis dan rasional atas risiko aktivitas penambangan sebagaimana juga telah dikaji dalam AMDAL yang telah disetujui sebelumnya. Salah satu risiko tersebut adalah adanya risiko defisit overburden akibat aplikasi stripping ratio yang diimplementasikan meskipun tindakan reklamasi telah optimal dilakukan. Akibatnya, akan terbentuk sisa lubang galian yang jika tetap diupayakan untuk ditutup/direklamasi akan menimbulkan dampak penting lain dari sumber-sumber pengambilan material urug dari kawasan lain, yang memang relatif besar diperlukan. Mencermati bahwa solusi alternatif atas kendala penting tersebut adalah tindakan identifikasi dan inventarisasi yang perlu dilakukan, bagaimana mengelola eks lubang tambang tersebut (void) yang jika nantinya akan menjadi sumberdaya perairan, diharapkan memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tidak merugikan baik bagi masyarakat sekitar maupun bagi ekosistem kawasan secara komprehensif, dengan tetap berpegang pada kewaspadaan atas risiko keamanan dan kesehatan masyarakat. Harapan lain dari kajian void ini adalah kontribusi perusahaan bagi masyarakat sekitar kawasan untuk mendapatkan sumber daya air yang memiliki nilai ekonomis, sekaligus nilai ekologis bagi keberlangsungan siklus hidrologis dalam kaitan dengan penyediaan air untuk berbagai fungsi/peruntukan bagi masyarakat, serta peluang pemanfaatan pengendalian banjir. Berdasarkan pertimbangan dan harapan itulah, maka sangat diperlukan kajian yang mendalam terhadap void, terlebih pada kawasan yang telah mengalami suksesi, guna mendapatkan kepastian layak atau tidaknya secara ilmiah pemanfaatan sumber daya perairan buatan yang terbentuk tersebut, dan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan.
3
Pengelolaan dan pengembangan sumber daya perairan memerlukan konsepsi, perencanaan, dan operasi fasilitas – fasilitas untuk mengkaji risiko pemanfaatannya ataupun pengoptimalan pemanfaatannya. Sumber daya perairan memiliki berbagai potensi dan karakteristik yang beragam. Perencanaan yang didasarkan pada pemahaman atas potensi, peluang, risiko dan kendala yang seksama merupakan hal penting untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya perairan yang aman maupun optimal nilai gunanya, yang mungkin akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan mendatang.
1.2. Tujuan 1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi jenis, karakteristik dan sifat perairan yang terbentuk dari void/lubang eks tambang yang menjadi perairan. 2. Peluang dan risiko void saat menjadi sumber daya perairan potensial dan aktual untuk berbagai peruntukan/fungsi, khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan dalam relevansinya dengan pola peluang pengembangan ekonomi masyarakat. 3. Mengidentifikasi permasalahan/kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber daya perairan tersebut berdasarkan identifikasi, inventarisasi dan evaluasi sumber daya perairan. 4. Merumuskan model pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairan sesuai dengan jenis, karakteristik dan potensinya. 5. Melakukan kajian peluang usaha pemanfaatan sumberdaya air, yang dapat dikelola menjadi sumber pendapatan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut secara bijak dan lestari sebagai sumber unggulan, khususnya berkonsep pemberdayaan masyarakat berbudidaya perikanan (culture based fisheries).
1.3. Sasaran Informasi tersebut diperlukan dan akan menjadi fakta aktual dalam menyusun program pasca tambang, menyangkut keberadaan dan langkah pengelolaan perairan void
4
dan atau sumber daya perairan yang berkelanjutan, yang berlandaskan kewaspadaan keamanan dan risiko kesehatan yang tinggi, serta norma ekologis dan konservasi untuk kesinambungan pemanfaatannya melalui pendekatan yang komprehensif. Keuntungan lainnya, revitalisasi potensi perairan berpeluang menjadikan Kabupaten Banjar mengembangkan produksi perikanan unggulan melalui konsep culture based fisheries.
1.4. Indikator Kinerja 1.4.1. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah diketahuinya secara jelas, valid dan realistis peluang dan risiko pemanfaatan void eks tambang (risiko dampak faktual penambangan) sebagai sumber daya perairan dan sumberdaya perikanan, baik yang aktual maupun potensial untuk dipertahankan dan dikembangkan sekaligus sebagai pilot project pemanfaatan void pada kegiatan pertambangan yang merupakan implementasi dari Rencana Penutupan Tambang (RPT).
1.4.2. Keluaran 1. Pengelolaan void sebagai bahan pertimbangan kebijakan pasca tambang yang logis dan realistis menjadi alternatif sumberdaya perairan dan perikanan, dengan upaya strategis yang ekonomis bagi masyarakat di satu sisi, dan memberikan manfat ekologis di sisi pelestarian lingkungan. 2. Rekomendasi sebagai tindak lanjut pengelolaan terbentuknya void sebagai dampak penambangan menjadi salah satu sumberdaya perairan. 3. Pilot project model reklamasi pada kegiatan pertambangan utamanya bagi pemanfaatan dan pengembangan void sebagai sumberdaya perairan. 4. Implementasi dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) yang dapat di aplikasikan di masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya air void.
5
1.4.3. Dampak Kegiatan ini diprediksikan akan memberikan dampak positif bagi : 1. Efektivitas pengelolaan void di lingkungan kawasan pertambangan, pada tahap pasca penambangan.
2. Terselenggaranya tindak lanjut kegiatan pengelolaan dan penataan lahan pasca penambangan, khususnya terkait potensi keberadaan sumber daya perairan dan peluang usaha perikanan secara terencana dan efektif. 3. Penularan teknologi dalam pemanfaatan void sebagai sumberdaya perairan
6
Bab 2
LINGKUP KAJIAN KEGIATAN
2.1. Lingkup Kajian Studi Lingkup kegiatan studi dibatasi pada prioritas kajian: 1. Kondisi kualitas air void (salah satu void eks penambangan batubara PD. Baramarta, sebagai hasil reklamasi pasca tambang lebih dari 5 tahun yang lalu) yang terletak pada koordinat: I: 304064,27 mT
9645029,41 mS II: 304073,66 mT
9644971,14 mS III: 304770,55 mT
9645039,20 mS IV: 304699,52 mT
9645096,29 mS 2. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan kehidupan biota akuatik 3. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan budidaya akuatik/perikanan 4. Rekomendasi pengelolaan kualitas air void
2.2. Cakupan Materi dan Metode Cakupan materi dan metode kegiatan ditetapkan berdasarkan informasi awal sebagai berikut. -
Luas void yang menjadi perairan
7
-
Berbatasan dengan kegiatan aktivitas tambang, jalan, reklamasi tambang, kebun, dan lahan terganggu lainnya.
-
Kondisi air limpasan
-
Topografi setempat dan kawasan sekitar.
Berdasarkan pengalaman pengamatan lapangan terhadap kondisi void, dapat diperoleh prediksi deskripsi awal lokasi sebagai berikut 1. Kawasan void masih dipengaruhi oleh dampak aktivitas dari luar, termasuk limpasan air yang diperkirakan dari run-off kawasan reklamasi sekitar yang masih belum optimal direhabilitasi, yang secara visual memiliki kekeruhan relatif tinggi (khususnya saat hujan), yang dapat menyebabkan terus berlangsungnya proses sedimentasi terhadap lingkungan perairan void, sehingga dapat secara dinamis memberikan kontribusi pendangkalan dan peluang suksesi danau di masa depan. Hal ini ditunjang oleh posisi kawasan yang diperkirakan merupakan area dengan kontur terendah pada kawasan tersebut, sehingga menjadi arah limpasan/tampungan air bersama muatan material di dalamnya dari kawasan sekitar. Kondisi kualitas air permukaan perairan diperkirakan terdapat dua kondisi berupa perairan dengan kondisi keasaman yang tinggi, dan di sisi lain terdapat kemungkinan kondisi perairan dengan kondisi alkalis. Hal ini biasa ditandai dengan tingkat kesadahan yang tinggi (kondisi air tidak berbusa dengan proses penyabunan), sehingga perlu pengujian kualitas air secara representative untuk memastikannya. Di sisi lain, kapasitas void mungkin saja tidak mampu menampung lagi limpasan air di sekitarnya, terutama di musim hujan sehingga terjadi overflow ke luar kawasan, dan dapat menjadi salah satu sumber aliran cemaran. Dalam hal ini topografi/kontur kawasan serta posisi kawasan terhadap aktivitas sekitarnya perlu diperhatikan. Diprediksikan pada bentangan perairan akan menerima efek yang berbeda atas pengaruh dari luar, yang tentunya akan berpengaruh pula terhadap proses-proses di dalam badan air termasuk proses sedimentasi di dalamnya.
8
2. Perairan void memiliki kedalaman yang relatif dalam jika ditelusuri dari riwayat penambangan,
yang
berarti
dapat
menimbulkan
stratifikasi
perairan
akibat
pembatasan penetrasi cahaya dan beda suhu, serta konsekuensi ekologis ekosistem di dalamnya. Stratifikasi suhu menimbulkan risiko kemungkinan terjadinya fenomena overturn antar massa air dan material yang akan terbawa pada pelapisan air yang terjadi. 3. Selain itu secara horizontal diperkirakan kondisi kualitas airnya juga akan berbeda, atau dapat terjadi kecenderungan zonasi perairan secara horizontal, sehingga dipandang perlu untuk diamati sebaran kondisi kualitas air secara horizontal.
4. Keanekaragaman flora dan fauna bisa saja cukup beragam, namun masih memerlukan kajian lebih lanjut. Kegiatan di atas memerlukan pengumpulan data/informasi primer, berupa penetapan sampel dan/atau penelusuran sampel di lapangan dan analisis laboratorium, serta pengumpulan data/informasi sekunder dari beberapa sumber; seperti laporan penelitian/pemantauan terdahulu, laporan instansi/lembaga yang relevan, serta kajian komprehensif maupun spesifik. Keseluruhan rancangan kegiatan di atas merupakan langkah-langkah strategis dalam upaya revitalisasi sumberdaya perairan, yang tentunya merupakan kajian-kajian yang memerlukan curahan waktu, tenaga, biaya serta kualifikasi tenaga ahli spesifik untuk mencapai tujuan kegiatan. Tahap I a. Penetapan Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air kajian adalah: 1. Memperhatikan asal usul perairan yang merupakan limbah cair penambangan batubara, maka parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada KepMen LH No. 113 Tahun 2003
9
Parameter utama limbah tambang batubara Parameter pH Residu Tersuspensi Besi (Fe) Total Mangan (Mn) Total
Satuan
Kadar Maksimum 6-9 400 7 4
mg/l mg/l mg/l
2. Mempertimbangkan rencana peruntukan sumberdaya air, parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada PP 82 Tahun 2001 (ada pengurangan beberapa parameter) PARAMETER
SATUAN
KELAS I
II
III
KETERANGAN IV
FISIKA Tempelatur Residu Terlarut Residu Tersuspensi
o
C
deviasi 3
mg/ L
1000
mg/L
50
deviasi deviasi deviasi 5 3 3 1000
50
1000
400
Deviasi temperatur dari keadaan almiahnya
2000
400
Bagi pengolahan air minum secara konvesional, residu tersuspensi 5000 mg/ L Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah
KIMIA ANORGANIK
Ph
6-9
6-9
6-9
5-9
BOD
mg/L
2
3
6
12
COD
mg/L
10
25
50
100
DO
mg/L
6
4
3
0
Total Fosfat sbg P
mg/L
0,2
0,2
1
5
NO 3 sebagai N
mg/L
10
10
20
20
NH3-N
mg/L
0,5
(-)
(-)
(-)
Arsen
mg/L
0,05
1
1
1
Kobalt
mg/L
0,2
0,2
0,2
0,2
Barium
mg/L
1
(-)
(-)
(-)
Boron
mg/L
1
1
1
1
Selenium
mg/L
0,01
0,05
0,05
0,05
Kadmium
mg/L
0,01
0,01
0,01
0,01
Khrom (VI)
mg/L
0,05
0,05
0,05
0,01
Angka batas minimum
Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka 0,02 mg/L sebagai NH3
10
PARAMETER
SATUAN
Tembaga
mg/L
Besi
mg/L
KELAS I 0,02
0,3
II 0,02
(-)
III 0,02
(-)
KETERANGAN IV 0,2
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu 1 mg/L
(-)
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe 5 mg/L Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb 0,1 mg/L
Timbal
mg/L
0,03
0,03
0,03
1
Mangan
mg/L
0,1
(-)
(-)
(-)
Air Raksa
mg/L
0,001
0,002
0,002
0,005
Seng
mg/L
0,05
0,05
0,05
2
Khlorida
Mg/l
600
(-)
(-)
(-)
Sianida
mg/L
0,02
0,02
0,02
(-)
Fluorida
mg/L
0,5
1,5
1,5
(-)
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn mg/L
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N 1 mg/L
Nitrit sebagai N
mg/L
0,06
0,06
0,06
(-)
Sulfat
mg/L
400
(-)
(-)
(-)
Khlorin bebas
mg/L
0,03
0,03
0,03
(-)
Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H2S <0,1 mg/L
Belereng sebagai H2S
mg/L
0,002
0,002
0,002
(-)
Fecal coliform jml/100 ml
100
1000
2000
2000
-Total coliform
1000
5000
10000
10000
MIKROBIOLOGI
jml/100 ml
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform 2000 jml / 100 ml dan total coliform 10000 jml/100 ml
-RADIOAKTIVITAS - Gross-A
Bq /L
0,1
0,1
0,1
0,1
- Gross-B
Bq /L
1
1
1
1
Minyak dan Lemak
ug /L
1000
1000
1000
(-)
Detergen sebagai MBAS
ug /L
200
200
200
(-)
KIMIA ORGANIK
11
PARAMETER
SATUAN
KELAS
KETERANGAN
I
II
III
IV
ug /L
1
1
1
(-)
BHC
ug /L
210
210
210
(-)
Aldrin / Dieldrin
ug /L
17
(-)
(-)
(-)
Chlordane
ug /L
3
(-)
(-)
(-)
DDT
ug /L
2
2
2
2
Heptachlor dan
ug /L
18
(-)
(-)
(-)
Lindane
ug /L
56
(-)
(-)
(-)
Methoxyclor
ug /L
35
(-)
(-)
(-)
Endrin
ug /L
1
4
4
(-)
Toxaphan
ug /L
5
(-)
(-)
(-)
Senyawa Fenol sebagai Fenol
heptachlor epoxide
12
Lokasi Studi
Gambar 2.1. Peta Lokasi Studi dan Lingkungan Sekitarnya 13
Lokasi Studi
Gambar. 2.2. Peta Lokasi Studi Void
14
3. Mempertimbangkan adanya kehidupan biota akuatik dan habitat ekosistem perairan serta kemungkinan pemanfaatan atau dampak terhadap biota akuatik tersebut maka parameter biologi ditetapkan sebagai berikut a. Plankton b. Benthos c. Pisces/ikan b. Lokasi Pengambilan Sampel (Sampling Site) Mencermati luasan dan kedalaman perairan, dengan memperhatikan kemungkinan pengaruh eksternal yang berbeda serta stratifikasi perairan yang terjadi, maka sampling site ditetapkan: 1. Secara horisontal, perairan terbagi dalam beberapa zonasi atas pertimbangan pengaruh lingkungan eksternal 2. Secara vertikal, perairan berpeluang terjadi stratifikasi, paling tidak terbagi atas zona penetrasi cahaya (fotik), zona nir-penetrasi cahaya (disfotik). c. Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (Sampling Collection) Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (air dan biota akuatik): 1. Pengukuran sampel di lapangan dilakukan untuk parameter in situ, sedangkan pengambilan sampel dilakukan atas parameter non-in situ 2. Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan sesuai standar pengambilan sampel 3. KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan 4. Sampel air diambil secara komposit menggunakan ketentuan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10.
d. Penanganan dan Pengawetan Sampel (Handling and Preservation) Penanganan dan pengawetan sampel dilakukan sesuai prosedur standar untuk parameter kualitas air yang bersangkutan.
15
e. Analisis Sampel (Sample Analysis) Analisis sampel dilakukan dengan metode standar sesuai parameter kualitas air yang bersangkutan. Antara lain: KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan
f. Interpretasi Hasil Analisis (Interpretation) Interpretasi hasil analisis dilakukan secara cermat secara deskriptif/naratif maupun grafis bernarasi sesuai capaian tujuan kegiatan. Referensi dalam interpretasi hasil analisis antara lain adalah: KepMen LH No. 113 Tahun 2003 PP 82 Tahun 2001 Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
173/MENKES/PER/VIII/77
tentang
Pengendalian Pencemaran Air untuk Penggunaan yang Berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat. Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum Peraturan Gubernur dan Bupati setempat
f. Kebutuhan alternatif kajian sesuai kondisi wilayah studi Beberapa kajian alternatif dapat dilakukan sebagai kajian pendukung untuk mencapai tujuan studi ini, antara lain: 1. Perlakuan introduksi biota akuatik terhadap perairan void. 2. Pengaruh kualitas air void terhadap biota akuatik introduksi. 3. Peluang perairan void bagi kegiatan budidaya perairan.
16
Tahap II (Rencana Kegiatan Lanjutan) Secara umum, orientasi kegiatan pada tahap II tidak akan terlepas dari hasil yang diperoleh pada pelaksanaan kegiatan tahap sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap awal akan diperoleh gambaran kondisi riil perairan dan kelayakan fungsi peruntukannya.
Tahap III (Rencana Kegiatan Lanjutan) Secara umum, dari hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap I dan II akan diperoleh implementasi model pengelolaan void dan hasil uji coba lapangan terhadap biota air.
2.3. Tahap Pelaksanaan / Steps Of Implementation Kegiatan ini dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan / Prepairing a. Pembentukan Tim Independen Pelaksana Kegiatan yang terdiri dari instansi/lembaga yang dianggap relevan dan memiliki kompetensi terhadap tujuan kegiatan. Dalam
kerangka
pemanfaatan
sumberdaya
air,
sebagai
hasil/dampak
penambangan yang antara lain diprediksikan akan menghasilkan lubang tambang, maka salah satu instansi teknis yang dilibatkan adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjar. Dalam hal ini, hasil pengamatan menjadi bahan pertimbangan teknis bagi instansi yang bersangkutan guna pengembangan pemanfaatan sumberdaya air berorientasi budidaya perairan, jika pada akhir tambang masih ditemukan lubang tambang yang tidak tereklamasi. b. Persiapan/Penunjukan Tim Teknis Pendamping Tim teknis pendamping melibatkan langsung staf dari PD. Baramarta, guna melihat langsung kegiatan pengamatan di lapangan. c. Penyusunan Jadwal Pelaksanaan dan Pembagian Kerja Tim.
17
Jadwal kegiatan disusun secara tentatif diselaraskan dengan tahapan dan tujuan kegiatan.
2. Tahap Pelaksanaan / Implementations -
Persiapan survei lapangan; (a) penyusunan dan pembagian tugas tim kerja, (b) desain survei, (c) kelengkapan administrasi, (d) inventarisasi dan penentuan skala prioritas.
-
Penelusuran data sekunder yang relevan.
-
Penetapan kawasan sampling
-
Survei lapangan
-
Analisis hasil survei dan penelusuran data sekunder, kompilasi data.
-
Pengolahan dan analisis data
-
Drafting Laporan Akhir; Penyusunan hasil dan Rekomendasi serta Pembuatan Peta.
-
Diskusi/Presentasi dan penyempurnaan Laporan Akhir.
-
Penyelesaian Laporan Akhir.
18
Bab 3
HASIL KEGIATAN
3.1. Hasil Pengamatan Lapangan 3.1.1. Kualitas Air Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai tahapan, selaras dengan tujuan yang akan dicapai. Pada tahap awal dilakukan pengamatan pendahuluan kualitas air void sesaat yang menjadi target pengamatan, yang diperoleh hasilnya sebagai berikut. Tabel. 3.1. Kondisi Parameter Kualitas Air Pada Studi Pendahuluan No
Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Baku Mutu*
Keterangan**
1
TSS
mg/l
55
200
M
2
pH
5,1
6-9
TM
3
COD
mg/l
29,12
100
M
4
Mn
mg/l
4,80
2-4
TM
5
SO4
mg/l
630,88
-
6
Fe
mg/l
0,113
5-7
M
7
Hg
mg/l
0,043
0,002
TM
Keterangan Lain Kondisi perairan relatif surut, waktu sampling pukul 13.47
* ) Baku Mutu Limbah Cair (Pergub No. 036/2008) **) M = memenuhi baku mutu; TM = tidak memenuhi baku mutu Sumber: Sampling lapangan, Mei 2010
Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan beberapa parameter kualitas air (pH, Mn, SO4, Hg) terukur tidak memenuhi ketentuan baku mutu. Kondisi ini disebabkan oleh: 1. Perairan void tersebut merupakan perairan tertutup (relatif tergenang) bekas penambangan batubara, dimana lapisan tanah telah terdedah sehingga mineralmineral batuan yang sebelumnya tersimpan di dalam tanah dalam menjadi terpapar langsung dengan udara dan air yang berisiko menyebabkan terjadinya oksidasi senyawa mineral yang dapat menurunkan kualitas air. Potensi ini lebih didorong lagi oleh sisa deposit mineral tambang yang tidak terangkut sebelum tergenang. 2. Input perairan void terutama berasal dari curah hujan dan cathment area sekitar dan ditambah lagi zat-zat yang merupakan resultan dari aliran air yang masuk, serta tidak terdapat outlet sehingga perairan relatif tergenang . Kondisi ini menyebabkan proses
19
pencucian lahan oleh badan air menjadi terhambat dan mempengaruhi kualitas badan air void . Pengamatan kualitas air selanjutnya dilakukan secara periodik selama kegiatan berlangsung. Hasil pengamatan/pengukuran sampel air disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.2. Pengamatan Kualitas Air Periode 1 (bulan Juli 2010) Parameter
Hasil Pengukuran 2A 2B 29,4 29,5
3B 29,6
398 30,9 139,2 14 5,52 11,9 25,23 3,8 0,002
250 24,4 69,1 30 5,61 7,1 23,15 6,0 0,005
250 24,4 135,4 52 5,24 13,2 29,35 4,0 0,001
1,5
0,4
1,7
0,3
mg/l
10
10
20
20
0,59 0,008 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00003 0,00010 0,057 0,094 0,0035 0,00031 0,00002 0,0215 8,46 Ttd Ttd 0,17
0,18 0,003 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00003 0,00005 0,046 0,064 0,0025 0,00015 0,00002 0,0155 4,27 Ttd Ttd 0,005
0,70 0,005 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00004 0,00008 0,068 0,085 0,0017 0,00031 0,00003 0,0239 10,15 Ttd Ttd 0,25
0,16 0,002 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00001 0,00003 0,019 0,051 0,0035 0,00013 0,00002 0,0134 3,16 Ttd Ttd 0,002
0,71 0,006 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00002 0,00006 0,038 0,065 0,0029 0,00028 0,00003 0,0251 7,26 Ttd Ttd 0,18
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Mg/l mg/l mg/l mg/l
0,5 0,05 0,2 1 1 0,01 0,01 0,05 0,02 0,3 0,03 0,1 0,001 0,05 600 0,02 0,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,05 0,02 (-) 0,03 (-) 0,002 0,05 (-) 0,02 1,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,05 0,02 (-) 0,03 (-) 0,002 0,05 (-) 0,02 1,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,01 0,2 (-) 1 (-) 0,005 2 (-) (-) (-) (-)
100 0,003
39 0,001
168 0,002
28 0,003
139 0,004
mg/l mg/l
400 0,03
(-) 0,03
(-) 0,03
(-) (-)
H2S 0,0003 0,0012 0,0004 0,0016 0,0002 0,0013 mg/l Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air
0,002
0,002
0,002
(-)
Kecerahan Kedalaman TDS TSS pH BOD COD DO Total Fosfat sbg P NO3 sebagai N NH3-N Arsen Kobalt Barium Boron Selenium Kadmium Khrom (VI) Tembaga Besi Timbal Mangan Air Raksa Seng Khlorida Sianida Fluorida Nitrit sebagai N Sulfat Khlorin bebas
1B 31,0
323 15,1 105,3 16 5,96 6,5 20,12 5,4 0,004
326 15,1 169,8 20 5,25 10,8 25,11 3,4 0,003
398 30,9 99,5 11 5,62 6,7 20,12 6,0 0,004
2,0
0,8
0,15 0,002 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00001 0,00006 0,038 0,059 0,0012 0,00013 0,00001 0,0127 3,71 Ttd Ttd 0,002 56 0,001
SatuKelas an I II III IV o deviasi deviasi deviasi deviasi C 3 3 3 5 cm m mg/l 1000 1000 1000 2000 mg/l 50 50 400 400 6-9 6-9 6-9 5-9 mg/l 2 3 6 12 mg/l 10 25 50 100 mg/l 6 4 3 0 mg/l 0,2 0,2 1 5
3A 30,5
Temperatur
1A 31,0
20
2 1 3
Gambar. 3.1. Sampling Site Kualitas Air
21
Tabel 3.3. Pengamatan Kualitas Air Periode 2 (bulan Oktober 2010) Parameter
Hasil Pengukuran 2A 2B 29,6 29,6
3B 29,1
390 30,9 137,8 18 5,73 11,6 23,48 3,8 0,001
240 24,4 68,9 35 5,87 6,5 22,72 6,3 0,003
240 24,4 130,5 55 5,48 12,6 28,78 4,0 0,001
1,4
0,3
1,5
0,2
mg/l
10
10
20
20
0,52 0,007 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00002 0,00009 0,055 0,092 0,0032 0,00029 0,00002 0,0212 8,41 0 Ttd 0,14
0,14 0,002 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00002 0,00004 0,042 0,062 0,0024 0,00014 0,00002 0,0152 4,21 0 Ttd 0,004
0,67 0,005 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00003 0,00007 0,061 0,082 0,0012 0,00027 0,00003 0,0232 10,12 0 Ttd 0,21
0,13 0,001 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00001 0,00002 0,013 0,049 0,0031 0,00012 0,00001 0,0131 3,12 0 Ttd 0,001
0,61 0,007 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00003 0,00006 0,036 0,063 0,0027 0,00026 0,00003 0,0243 7,24 0 Ttd 0,11
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,5 0,05 0,2 1 1 0,01 0,01 0,05 0,02 0,3 0,03 0,1 0,001 0,05 600 0,02 0,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,05 0,02 (-) 0,03 (-) 0,002 0,05 (-) 0,02 1,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,05 0,02 (-) 0,03 (-) 0,002 0,05 (-) 0,02 1,5 0,06
(-) 1 0,2 (-) 1 0,05 0,01 0,01 0,2 (-) 1 (-) 0,005 2 (-) (-) (-) (-)
98 0,004
36 0,001
159 0,002
24 0,002
137 0,004
mg/l mg/l
400 0,03
(-) 0,03
(-) 0,03
(-) (-)
H2S 0,0002 0,0010 0,0003 0,0013 0,0001 0,0011 mg/l Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air
0,002
0,002
0,002
(-)
Kecerahan Kedalaman TDS TSS pH BOD COD DO Total Fosfat sbg P NO3 sebagai N NH3-N Arsen Kobalt Barium Boron Selenium Kadmium Khrom (VI) Tembaga Besi Timbal Mangan Air Raksa Seng Khlorida Sianida Fluorida Nitrit sebagai N Sulfat Khlorin bebas
1B 31,2
320 15,1 103,6 18 6,08 6,1 19,69 5,6 0,003
320 15,1 168,7 22 6,16 10,6 21,20 3,5 0,002
390 30,9 98,3 13 5,91 6,4 19,31 6,1 0,002
1,8
0,7
0,12 0,001 Ttd Ttd Ttd Ttd 0,00001 0,00005 0,034 0,057 0,0011 0,00013 0,00001 0,0125 3,68 0 Ttd 0,002 21 0,001
SatuKelas an I II III o C deviasi devias deviasi 3 i3 3 cm m mg/l 1000 1000 1000 mg/l 50 50 400 6-9 6-9 6-9 mg/l 2 3 6 mg/l 10 25 50 mg/l 6 4 3 mg/l 0,2 0,2 1
3A 31
Temperatur
1A 31,2
Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan meskipun status air di lingkungan void masih mengandung beberapa senyawa/unsur yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia, namun masih dapat di toleransi untuk kelayakan kehidupan biota akuatik. Hanya saja efek senyawa/unsur beracun (toksik) tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam terkait dengan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan, dan/atau terhadap organ ikan maupun kelayakannya jika dikonsumsi oleh manusia. Indikator Parameter Pencemaran Perairan Pengelolaan lingkungan perairan void diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga
22
IV deviasi 5 2000 400 5-9 12 100 0 5
dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan void sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut. Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan perairan. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003). Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, posisi lintang (latitude) ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara penutupan awan, dan aliran serta startifikasi kedalaman suatu perairan. Perubahan suhu membawa dampak nyata terhadap proses fisika, kima dan biologi perairan. Peningkatan suhu berakibat peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air berakibat penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Organisme akuatik memiliki rentang suhu (batas toleransi) tertentu (batas atas dan batas bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, misalnya gas O2, CO2, H2,CH4, dan sebagainya (Effendi, 2003). Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, yang mengakibatkan peningkatan konsumsi O2,. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi O2 oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat, disertai dengan penurunan kadar O2 terlarut sehingga keberadaan O2 tidak memenuhi kebutuhan O2 bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan
23
menyebabkan degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis (Folkowski and Raven, 1997). Berdasarkan hasil dari analisis dilapangan, suhu perairan studi berkisar antara 29,1 oC – 31,2 oC, Penurunan suhu secara vertikal dari permukaan sampai pada kedalaman 12-15 m terlihat relatif kecil yaitu berkisar 10C vertikal. Kondisi ini menunjukan bahwa sampai pada kedalaman 12-15 m perairan tersebut mengalami stratifikasi, tetapi tidak terjadi termoklin. Secara keseluruhan suhu perairan masih cukup layak untuk menunjang kehidupan biota air dan masih dalam keadaan normal dan masih dalam Deviasi 3 (deviasi temperatur dari keadaan alamiah) sesuai dengan Baku Mutu Air Klasifikasi Kelas tiga, yaitu
air yang peruntukannya
dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut (Pergub Kalsel Nomor 5 Tahun 2007 dan PP Nomor 82 Tahun 2001). Kecerahan Kecerahan perairan menurut
Parson et al. (1963) menunjukkan kemampuan
cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan berperan penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis dan produktifitas perairan. Sebagian besar ikan yang dalam menentukan arah renang dan mencari makan menggunakan mata memerlukan kondisi kecerahan tertentu pula. Kecerahan air tergantung dari warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca, padatan tersuspensi, waktu pengukuran dan ketelitian. Berdasarkan hasil dari analisis di lapangan, kecerahan di wilayah perairan studi berbeda-beda pada tiap titik sampling hal ini disebabkan pengaruh dari faktor lumpur yang beasal dari erosi dan run off, ketika waktu pengamatan terjadi densitas hujan sedang sehingga pada stasiun 1 dan 3 ada aliran air dari samping dan dinding void yang
24
membawa sedikit lumpur, sedangkan pada stasiun stasiun 2 terletak di tengah perairan void yang tidak terdapat pengaruh dari peristiwa tersebut. Kondisi ini menunjukan bahwa pada umumnya tiap kedalaman yang berbeda nilai produktivitas juga berbeda, disebabkan adanya pengaruh intensitas sinar matahari yang diterima perairan. Besar intesitas sinar matahari akan menurun dengan bertambahnya kedalaman yang akan menurunkan pula aktivitas fotosintesis tanaman berklorofil, sehingga nilai produktivitas perairan juga akan menurun. Dengan demikian produktivitas pada lapisan permukaan akan lebih besar daripada lapisan dibawahnya akan tetapi, menurut Welch dan Lindell (1980), Wetzel (1983) dan Odum (1993), intensitas sinar matahari yang besar dapat terjadi pada permukaan perairan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan laju fotosintesis fitoplankton. Apabila terjadi, maka nilai produktivitas pada lapisan permukaan di perairan void lebih kecil daripada lapisan di bawahnya. Kedalaman Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 3.2 dan 3.3 kedalaman perairan pada stasiun pengamatan di wilayah studi berkisar antara 15,1 m – 30,9 m.
Kedalaman
perairan pada lokasi studi berbeda-beda pada tiap stasiun/kontur tanah dasar tidak rata atau bergelombang. Kedalaman perairan yang paling dalam terletak pada stasiun 2 yaitu 30,9 m dan yang paling kecil/ surut adalah pada stasiun 1 yaitu 15,1 m. Perbedaan stratifikasi membawa lambatnya proses biodegradasi unsur logam terutama pada kedalaman yang memiliki sifat disfotik karena mengandalkan reaksi oleh bakteri anaerob. Total Suspended Solid (TSS) Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 mikro meter) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 mikro meter. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas
25
primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat dan peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun (Nybakken,1992). Untuk keperluan perikanan, Pemerintah menetapkan kriteria baku mutu air dari kandungan padatan terlarut tidak lebih dari 1500 mg/l, serta 1000 mg/l bagi peruntukan golongan B. BBAT Dirjen Perikanan (1988) menyebutkan kriteria air yang baik untuk ikan mempunyai muatan suspensi antara 25-400 ppm, sedangkan Alabaster and Lloyd (1980) di dalam Abel (1989) menjelaskan bahwa perairan yang mengandung padatan tersuspensi lebih dari 80 mg/l tidak mendukung bagi keperluan perikanan. Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel diatas, padatan tersuspensi total (TSS) dari 13 mg/l – 55 mg/l dengan demikian untuk semua stasiun tidak melebihi batas baku mutu air untuk perikanan, dan mendukung untuk kegiatan perikanan. Derajat Keasaman (pH) Kadar asam atau basa yang ada dalam larutan ditunjukkan dengan pH, melalui konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen (H+). Ketersediaan ion H+ selalu dalam keadaan dinamis dengan air (H2O) yang membentuk suasana bagi kelangsungan semua reaksi kimia yang bersangkutan dengan masalah pencemaran air dan kehidupan makhluk air (Alaerts dan Santika, 1984). Nilai pH berkisar antara 0 - 14. Perairan yang netral memiliki pH 7, sementara perairan di bawah pH 7 bersifat asam dan di atas 7 bersifat basa. Kadar
26
senyawa - senyawa seperti CO2, N, P dapat dikendalikan oleh pH (Goldman and Horne, 1983). Hampir semua jenis ikan pada pH di bawah 4 dan di atas 9 menurut Brown (1987) tidak mampu bertahan hidup. Jenis-jenis ikan yang lebih peka, tidak mampu bertahan hidup pada pH di bawah 5 dan di atas 8. Pescod (1973) mengungkapkan bahwa toleransi organisme perairan terhadap pH sangat bervariasi, tergantung faktor-faktor lain di antaranya kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan berbagai anion atau kation serta jenis dan stadia organisme. Boyd (1988) memberikan kisaran 6,5 – 9 untuk kondisi yang baik bagi produksi ikan, > 9 tingkat alkalis yang mematikan, < 6 menyebabkan pertumbuhan lambat. pH 5 merupakan tingkat keasaman yang mengakibatkan tidak ada reproduksi. Air yang mempunyai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11 merupakan titik kematian bagi ikan. Berdasarkan hasil pengukuran pH pada tabel xx diatas kisaran pH pada perairan wilayah studi antara 5,73 – 6,28. Pada pH tersebut ikan masih bisa bertahan hidup, sesuai dengan pendapat Boyd (1988) yang menyatakan kebanyakan perairan alami memiliki pH antara 5 – 10 dengan frekwensi terbesar antara 6,5 – 9,0 Oksigen Terkarut (DO atau Dissolved Oxygen) Berdasarkan pengamatan terhadap masing-masing stasiun didapatkan data seperti tabel 3.2 dan 3.3 diatas, DO pada stasiun 1A untuk air permukaan adalah 5,6 mg/l dan 1B untuk air dasar adalah 3,5 mg/l. DO pada stasiun 2A untuk air permukaan adalah 6,10 mg/l dan 2B untuk air dasar adalah 3,8 mg/l. DO pada stasiun 3A untuk air permukaan adalah 6,3 mg/l dan 3B untuk air dasar adalah 4,0 mg/l. Dari hasil pengamatan di atas terlihat perbedaan antara stasiun A (air permukaan) dan B (air dasar) terlihat perbedaan yang cukup signifikan, hal ini karena dipengaruhi oleh faktor startifikasi kedalaman. Kandungan DO rata-rata
pada ke enam titik sampling
berkisar antara 3,5 mg/l – 6,3 mg/l merupakan kandungan aman untuk pelaksanaan keperluan perikanan dan pertanian (Kelas III) berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007, karena DO hasil pengamatan diatas 3 mg/l. Sedangkan batas baku mutu minimal untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) adalah
27
minimal 3 mg/l. Menurut indikator status kualitas air Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada lingkungan perairan void berada dalam status tercemar ringan hingga sedang. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer, penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme lainnya yang dihasilkan dari proses fotosintesa fitoplankton dan makrofita. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologis perairan. Dengan demikian perubahan pada faktor-faktor tersebut menyebabkan perubahan oksigen terlarut yang pada gilirannya memberikan dampak negatif terhadap organisme air (Wardoyo, 1981).
Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand atau COD) Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter kimia air pada masing-masing stasiun (tabel 3.2 dan 3.3). Untuk stasiun A (air permukaan ) nilai COD berkisar antara 19,31 mg/l – 22,72 mg/l dan untuk stasiun B (air dasar) COD berkisar antara 21,20 mg/l – 28,78 mg/l.
Nilai COD Dari semua stasiun pengamatan menunjukkan tidak melebihi
batas minimum baku mutu air untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) PP Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007 , yaitu nilai COD tidak melebihi 50 mg/l. Jadi Void Baramarta bisa digunakan untuk kegiatan perikanan dan peternakan di tinjau dari nilai COD perairannya. Menurut Effendi (2003), perairan yang memiliki nilai COD tinggi sangat tidak diinginkan bagi kepentingan pertanian dan perikanan. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan pada perairan yang tercemar
28
dapat lebih dari 200 mg/l. Pengamatan terhadap COD ini menunjukkan bahwa rata – rata nilai COD pada perairan pengamatan lebih dari 20 mg/l yang berarti perairannya tercemar dan semakin kedasar perairan nilai COD semakin menurun fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak senyawa anorganik yang belum di reduce oleh mekanisme sistem alamiah void karena terbatasnya unsur oksigen dan cahaya. Hal ini dipastikan karena perairan pengamatan merupakan lahan bekas kegiatan tambang batubara. Tetapi nilai COD pada perairan void ini masih bisa digunakan untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan. Nilai COD menunjukkan ukuran pencemaran air oleh zat organik secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen yang terlarut dalam air. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan konsentrasi bahan organik dalam air dan meningkatnya BOD5. Makin tinggi nilai BOD5 dan COD suatu perairan maka semakin besar pula kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan dalam proses biologis dan kimiawi sehingga akan mengurangi ketersediaan oksigen terlarut. Logam Berat dalam Perairan Pencemaran perairan void berasal dari point source (internal) yang merupakan acid mine drainage (AMD) bekas galian tambang batubara (floor) yang mengandung PAF (Pembentuk Asam Potensial)/NAF (Pembentuk Non Asam) yang berdasarkan berat jenis partikulatnya telah mengendap di dasar perairan akibat terisi debit air yang terus menerus sehingga lebih dominan debit air yang berasal dari presipitasi. Berikutnya pencemaran void berasal dari non point source (eksternal) yang berasal dari run off dan erosi permukaan karena lingkungan merupakan zonasi tambang batubara, ke-2 sumber tersebut turut mengkontribusi dan menyusun struktur kualitas air di lingkungan void. Unsur logam, termasuk logam berat ditemukan pula dalam batubara. Namun kandungan logam sangat bervariasi tergantung kepada lokasi tambang batubara. Greenfield, Bell dan Gohschlich (2002) dikemukakan bahwa batubara mengandung logam sulfida yang jika berada dalam air akan teroksidasi. Akibatnya terjadi penurunan pH air, munculnya sulfationik dan pelarutan logam ionik dalam air penerima. Dalam
29
sedimen akan terbentuk endapan Fe, proses yang kompleks terjadi oksidasi FeS2 Fe2+, kemudian oleh bakteri Ocidopholic dan Thiobacillus ferrooxidans diubah menjadi Fe3+ dan dalam keadaan oksigen mencukupi terbentuknya endapan Fe(OH)3 dalam sedimen. Sedimen yang tinggi pada suatu perairan akan merupakan salah satu faktor yang mengurangi produktivitas perairan. Dalam padatan terkandung berbagai logam berat yang dapat larut dan terikat dalam sedimen sehingga berbahaya bagi makhluk hidup. Sedimen dan padatan terlarut dalam air mempengaruhi warna air, sifat transparansi yang berpengaruh pada produktivitas dan juga berhubungan dengan kualitas air. Pemicu timbulnya senyawa logam-logam berat tersebut berasal dari acid mine drainage (AMD) berupa cairan yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999). Dengan tingkat kemasamannya yang tinggi, AMD dapat melarutkan mineral-mineral lain dan melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Apabila terbawa ke sumber air, AMD dapat mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Pada kondisi parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan-penggunaan yang lain, seperti irigasi, industri, dan rekreasi (Widdowson, 1990). Berdasarkan data pengamatan kualitas air void (tabel 3.2 dan 3.3) terlihat jelas unsur-unsur logam tersebut terdeteksi baik di periode Juli 2010 maupun Oktober 2010, nampak tidak terjadi penurunan yang signifikan (0,0001 pada parameter timbal dan Hg tidak berubah) dalam rentang waktu tersebut dimana unsur logam dibawah air terukur lebih tinggi daripada dipermukaan. Artinya dengan tetap membiarkan void dalam kondisi saat ini (alamiah) diperlukan waktu yang sangat lama untuk merecovery kondisi void untuk berbagai kepentingan pemanfaatan sumberdaya perairan void. Kesuburan Perairan Void Kesuburan perairan mekanisme alamiah secara umum disebabkan pengkayaan oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran air dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan dan limbah organik. Proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan
30
(2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem drainase. Berdasarkan hasil pengamatan mekanisme alamiah ke-2 telah berlangsung di perairan void terutama saat presipitasi, sedangkan mekanisme ke-1 masih belum berlangsung. Berdasarkan
trofik
level
(tingkat
kesuburan)
void
di
lokasi
studi
dapat
diklasifikasikan oligotrofik dicirikan dengan dengan kadar hara rendah (miskin unsur hara), biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam ekosistem void semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Indikator lain untuk menentukan trofik (kesuburan) suatu perairan dapat dinyatakan berdasarkan kandungan total fosfat (TP) yang terlihat pada ke-2 periode bernilai < 5 mg/l.
Berdasarkan mekanisme alamiah dari kondisi void di zona perairan dasar lebih banyak terjadi proses anoksik sehingga denitrifikasi yaitu reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anerob (tak ada oksigen). Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l-1 hari-1. Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming) di lokasi void yang airnya berwarna kehijauan. Fenomena peningkatan unsur nitrat nampak jelas apabila dibandingkan dengan unsur P terutama yang berada di dasar. 3.1.2. Kualitas Lahan Secara umum keadaan lahan sekitar kawasan void yang diamati di wilayah pengamatan pertambangan PD. Baramarta memperlihatkan
tingkat kemiringan yang
agak curam yaitu sekitar 15-25%, dan sebagian relatif agak datar yaitu 3-5%. Melihat keadaan demikian bahwa sebagian wilayah pengamatan mempunyai kemiringan yang
31
agak curam sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Tetapi sebagian lahan sudah ditutupi oleh seresah atau sisa-sisa
tanaman
serta
tanaman
penutup
sehingga
bermanfaat
mencegah
dan/menurunkan risiko erosi, dikarenakan seresah-seresah dan tanaman penutup lainnya tersebut dapat melidungi tanah permukaan dari daya timpa butir-butir hujan, dan melindungi tanah permukaan tersebut dari daya kikis aliran air permukaan yang dapat berakibat terjadinya erosi alur yang akhirnya terjadi erosi parit. Meskipun demikian kenyataannya masih terlihat ada terjadinya erosi yaitu erosi parit di sebagian wilayah pengamatan dengan kedalaman 20 cm dan lebar 20 cm, dengan kedalaman 80 cm dan lebar 60 cm serta kedalaman 15 cm dan lebar 20 cm. Hal ini menunjukan bahwa masih ada lahan yang perlu pengelolaan lebih serius. Di lahan-lahan tersebut terlihat lereng yang agak curam dan masih sedikitnya tanaman penutup permukaan tanah sehingga menjadikan terkikisnya tanah permukaan akibat masih adanya aliran air permukaan yang dapat menghanyutkan tanah tersebut. Keadaan demikian harus cepat ditanggulangi karena dikhawatirkan akan berakibat lebih meluasnya erosi akibat terkikisnya tanah terbawa oleh aliran air. Dalam usaha untuk mencegah atau mengendalikan erosi ini, hendaknya diperhatikan beberapa faktor seperti iklim, tanah, kemiringan, vegetasi penutup dan kegiatan manusia. Dari faktor-faktor tersebut dapat ditentukan usaha pengendalian erosi dengan berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil dan memperbesar kapasitas infiltrasi sehingga lajunya aliran permukaan dapat dikurangi. Meskipun demikian, mengingat sebagian kedalaman void masih relatif dalam (mencapai >30m), yang dapat berakibat terjadinya stratifikasi suhu perairan beserta implikasinya dalam sistem akuatik, dan maka teori yang masih terjadi di sekitar lingkungan void dapat dipertimbangkan menjadi: -
erosi yang diharapkan
-
erosi yang tidak diharapkan
32
Gambar. 3.2. Erosi lahan di sekitar kawasan void
33
Gambar. 3.3. Kondisi lahan di sekitar kawasan void yang masih relatif terbuka sangat rentan terhadap erosi
3.1.3. Neraca Air Perhitungan volume void PD. Baramarta dari berbagai elevasi terukur ditunjukkan pada tabel 3.4 berikut. Tabel 3.4. Volume Void PD. Baramarta No 1 2 3 4 5
Elevasi (m dpl) -18,068 0 18,377 36,599 46,438
Luas (m2) 21.498,99 68.854,06 112.006,66 173.029,05 272.260,99
Volume (m3) 40.990.418,51 81.013.162,67 120.883.876,60 159.539.541,98 179.809.529,54
Berdasarkan perhitungan curah hujan rerata kawasan studi, potensi volume aliran masuk rerata maksimal dari catchment area seluas sekitar 729.505,93 m2 diperhitungkan sebesar 1.864.355,07 m3/tahun atau sekitar 5.178,76 m3/hari (Gambar 3.4). Namun di tahun 2010 volume ini diperhitungkan meningkat sekitar 5-10% akibat peningkatan
34
fekuensi hujan oleh fenomena kemarau basah. Kondisi saat pengamatan adalah di elevasi -18,068 m dpl, saat dimana air relatif surut meski tidak dalam kondisi surut terendah. Perhitungan terhadap kondisi surut terendah
tidak
dapat
dilakukan
karena
perubahan
iklim
yang
menunjukkan
kecenderungan kemarau basah, dimana frekuensi hujan masih relatif tinggi ketika dilakukan pengamatan pada bulan musim kemarau. Kedalaman perairan saat pengamatan pada kisaran 0-31 meter, yang diprakirakan akan semakin dalam pada bulan-bulan musim hujan
3.1.4. Interaksi Antar Parameter Terhadap Lingkungan Void Interaksi antar parameter lingkungan perairan membentuk suatu fenomena sistem alamiah yang menyertai void oligotrofik berupa overturn dan blooming algae yang membawa dampak bagi lingkungan perairan void. Adanya stratifikasi kedalaman yang membawa implikasi pada perubahan suhu yang ekstrim berada di dasar perairan membawa sirkulasi masa air dari dasar sampai ke permukaan (pembalikan massa air) akibat perbedaaan kerapatan suhu massa air yang sering terjadi di musim penghujan, fenomena ini berdampak buruk bagi biota perairan yang tidak mampu bertahan terhadap unfortunetly conditions tersebut. Mekanisme ini terjadi di lingkungan perairan sebagai bentuk adaptasi terhadap ekosistem lingkungan yang marginal dan memiliki stratifikasi kedalaman yang tinggi. Warna perairan void kehijau-hijauan merupakan fenomena blooming alga pengganggu atau dominasi oleh ledakan populasi (kelimpahan sel > 5.000 sel/mL), alga atau lebih tepat dinamakan Cyanobacteria umumnya tidak dapat atau sulit dicerna ikan, beberapa di antaranya menghasilkan toxic (racun) bagi organisme lainnya. Dominasi fitoplankton ini membawa dampak pada rendahnya kesuburan perairan sehingga unsurunsur Nitrogen dan Fosfor yang membangun dan unsur protein yang berasal dari senyawa Carbon.
35
Adanya blooming algae akan berdampak terhadap gangguan ekosistem perairan seperti penurunan kualitas air, kematian ikan secara massal dan sebagainya. Mekanisme kematian ikan massal karena adanya blooming algae.
Pada kondisi blooming alga,
tingkat kecerahan perairan menjadi rendah dan kandungan oksigen menjadi tinggi yang diperoleh melalui proses fotosintesis. Proses selanjutnya terjadi penyusutan alga dan pengendapan alga yang sudah mati. Pada fase ini kecerahan perairan meningkat kembali. Alga yang mati mengalami pembusukan, jumlah bakteri meningkat dan terjadi penurunan oksigen karena dimanfaatkan bakteri pada proses dekomposisi alga tersebut. Adanya proses pengadukan kolom perairan oleh angin, maka oksigen yang rendah pada kolom dalam perairan naik keatas dan menyebabkan kematian ikan secara masal. Distribusi secara vertikal perairan void menunjukkan adanya nilai yang meningkat pada kolom yang lebih dalam dan dasar perairan. Kondisi ini dapat dipahami karena mineral dan material anorganik cenderung terakumulasi pada kolom perairan yang lebih dalam dan dasar perairan. Distribusi kecerahan di void menunjukkan tingginya kecerahan pada kolom atas perairan yakni pada permukaan perairan sampai kedalaman 3 m, yang disebabkan oleh tingginya kelimpahan fitoplankton di kolom tersebut. Demikian juga distribusi vertikal kandungan DO menunjukkan tingginya kandungan oksigen pada kolom permukaan yang diperoleh dari proses fotosintesis fitoplankton yang melimpah pada kolom tersebut dan penurunan yang sangat tajam pada kedalaman.
36
Gambar 3.4. Volume Air dan Elevasi Kawasan Void
37
3.1.5. Pengamatan Terhadap Kehidupan Biota Akuatik a. Umum Pengamatan secara visual terhadap kehidupan biota akuatik di dalam perairan wilayah studi menunjukkan rendahnya biota yang teridentifikasi. Biota yang terlihat secara visual hanya jenis-jenis serangga air. b. Plankton dan Benthos Hasil pengamatan sampel plankton dan benthos ditunjukkan pada tabel 3.5. berikut. Tabel 3.5. Hasil Pengamatan Plankton Phytoplankton No
Phyllum
Phytoplankton 1 Cyanophyta 2
Chlorophyta
3
Chrysophyta
St- I
St-II
St-III
-
-
250
140 30
140 450
90 -
40 210 0,8642 0,7866 0,5011 3
70 30 70 760 1,1888 0,7387 0,4030 5
60 20 420 1,0619 0,7660 0,4229 4
St - I
St – II
St – III
Cryptomonadida Oikomonas Favella
70 60 -
160 -
140 50
70 10
-
130 -
20 230 1,4233 0,8844 0,2628 5
160 0,0000 0,0000 1,0000 1
30 350 1,2229 0,8822 0,3257 4
Genera Oscillatoria Gonatozygon Zygnema
Melosira Nitzchia sp Streptotheca Synedra Kelimpahan (sel/liter) Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Jumlah Takson
Zooplankton No
Phyllum
Zooplankton 1 Protozoa
Genera
2
Aschelminthes
Notholca Brachionus
3
Crustacea
Nauplius Kelimpahan (sel/liter) Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Jumlah Takson
38
No
Phyllum
Benthos 1 Insecta
Genera Chironomus Kelimpahan (sel/liter) Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Jumlah Takson
St - I
St – II
St – III
-
44
-
0 0,0000 0,0000 0,0000 0
44 0,0000 0,0000 1,0000 1
0 0,0000 0,0000 0,0000 0
Terra (1971) dan Suess (1982) menyatakan fitoplankton dapat digunakan sebagai indikator kualitas air. Indikator air bersih antara lain Melosira islandia, sedang indikator air tercemar menurut Wasitodi (1985) antara lain adalah Microcystis deruginosa. Kolkwitz (1967) juga menemukan genera Oscillatoria, Euglena dan Protococcus pada perairan tercemar. Beberapa jenis organisme akuatik tertentu dapat dimanfaatkan sebagai indikator tingkat pencemaran suatu lingkungan perairan (bioindikator), berdasarkan perilaku atau karakteristik tertentu yang dimilikinya maupun responnya pada keadaan tertentu. Bioindikator menurut Kovacs (1992) di dalam Tandjung (1995) adalah organisme atau populasi yang keberadaannya, vitalitasnya dan responnya berubah di bawah dampak kondisi lingkungan. Untuk itu bioindikator harus terdapat dalam jumlah cukup/melimpah dan menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan. Suatu organisme dapat digunakan sebagai indikator apabila mempunyai sifat predominan dan karakteristik atau predominan dan eksklusif. Kendeigh (1980) memberikan beberapa sifat dasar spesies indikator, meliputi:
1. sifat predominan; jumlah spesies tersebut mencapai 10% dari komunitas. 2. karakteristik; banyak ditemukan pada suatu komunitas tetapi sedikit ditemukan pada tempat lain, dengan perbandingan 1,9 : 1
3. eksklusif; spesies tersebut hanya terdapat pada suatu komunitas.
39
Fitoplankton yang
ditemukan pada beberapa stasiun pengamatan adalah jenis
Oscillatoria, Gonatozygon, Zygnema, Melosira, Nitzchia sp, Streptotheca, Synedra, sedangkan dari kelompok zooplankton dari jenis Cryptomonadida, Oikomonas, Favella, Notholca, Brachionus, Nauplius untuk jenis Benthos adalah Chironomus. Ditemukannya jenis genera Oscillatoria pada perairan void tersebut memberikan indikasi bahwa perairan tersebut dikategorikan perairan tercemar (Kolkwitz, 1967). Berdasarkan kelimpahan fitoplankton, Lund di dalam Hisbi (1987) membagi tingkat kesuburan perairan atas 3 kategori utama:
1. kelimpahan > 40 X 106/m3 termasuk perairan subur. 2. kelimpahan 0,1 X 106 - 40 X 106/m3 termasuk kasuburan sedang. 3. kelimpahan < 0,1 X 106/m3 termasuk perairan kurang subur. Kelimpahan fitoplankton hasil pengamatan berkisar antara 210 – 760 sel/liter, sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar 160 – 350 sel/liter.
Perairan dengan kelimpahan
demikian mempunyai kesuburan sedang. Melimpahnya kehadiran fitoplankton dapat dikaitkan oleh adanya perubahan faktor fisik dan kimiawi perairan seperti stabilitas kolom air dan keseimbangan nutrien (HARRIS 1986). REYNOLDS dalam HARRIS (1986) memberikan contoh suatu matrik kelompok jenis-jenis fitoplankton sebagai suatu fungsi dari nutrien (unsur hara) dan pengadukan kolom air. Teori informasi Indeks Keanekaragaman dalam ekologi perairan diperlukan untuk mengukur tingkat keteraturan/ketidak teraturan dalam sistem. Indeks Keanekaragaman (Index of Diversity) menurut Suess (1982) merupakan nilai numerik dari jumlah individu spesies yang berlainan dalam suatu komunitas terhadap jumlah total populasi semua spesies yang diperoleh. Populasi dan variasi jenis spesies dipengaruhi intensitas limbah pencemar. Indeks Keanekaragaman menurut Tandjung (1995) digunakan untuk mengukur stress di dalam lingkungan, dimana: 1) Lingkungan yang tidak tercemar
40
a) ditandai sejumlah besar spesies b) tanpa satu spesies mayoritas pada komunitas c) diversitas maksimum tercapai bila sejumlah besar spesies terdapat dalam jumlah relatif rendah dalam komunitas. 2) Lingkungan yang terkena stress a) ditandai tereliminasinya spesies sensitif sehingga kekayaan komunitas tereduksi b) spesies-spesies tertentu yang bertahan berpeluang untuk berkembang akibat reduksi kompetisi dan predasi, sehingga jadi melimpah dibanding anggota komunitas lain. Menurut Odum (1993) fungsi Shanon-Wiener atau indeks H merupakan satu indeks yang terbaik untuk membuat pembandingan dimana seseorang tidak berminat untuk memisahkan komponen-komponen keanekaragaman karena hal ini tidak tergantung pada besarnya contoh, yang berarti sedikit contoh diperlukan untuk memperoleh indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan. Klasifikasi kondisi perairan menurut Indeks Keanekaragaman dapat ditunjukkan dalam Tabel berikut : Tabel 3.6. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Indeks Keanekaragaman NO 1
2
3
INDEKS KEANEKARAGAMAN > 3 1 - 3 < 1 3,0 - 4,5 2,0 - 3,0 1,0 - 2,0 0,0 - 1,0 >2 2,0 - 1,6 < 1,6 - 1,0 <1
KRITERIA KUALITAS AIR Air Bersih Setengah Tercemar Tercemar Berat Pencemaran Sangat Ringan Pencemaran Ringan Setengah Tercemar Tercemar Berat Belum Tercemar Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat
PUSTAKA
Wilhm dan Dorris (1966)
Staub et al. Wilhm, 1975)
(dalam
Lee et al. Di dalam Tim KLH (1986)
Dominansi suatu jenis organisme terhadap organisme lainnya disebabkan organisme bersangkutan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Hawkes (1979) menyebutkan banyaknya bahan pencemar dalam
41
perairan akan mengurangi spesies yang ada dan meningkatkan populasi jenis yang tahan terhadap kondisi perairan yang tercemar tersebut. Di samping itu, hilangnya organisme yang mempunyai toleransi rendah dapat mengurangi persaingan ruang dan makanan. Keadaan ini memacu blooming populasi yang masih bertahan. Hasil perhitungan terhadap indeks keanekaragaman fitoplankton sebesar 0,8642 – 1,1888 dan zooplankton sebesar 0,0000 – 1,4233. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan void tersebut dalam kategori setengah tercemar hingga tercemar berat. Ditemukannya zooplankton dari filum protozoa mengindikasikan kondisi lingkungan yang toksik, karena sifatnya yang sangat sensitif terhadap toksik dibanding bakteria. Mikroorganisme ini sangat baik sebagai indikator dari lingkungan anaerob (beberapa protozoa masih mampu bertahan hidup tanpa ada oksigen selama 12 jam).
3.2. Hasil Perlakuan Lapangan 3.2.1. Introduksi Ikan Ikan Penebaran
ikan
nila
dilakukan
untuk
mengevaluasi
kemampuan
dan
keberlangsungan hidup biota air yang hidup dalam lingkungan perairan tersebut. Hasil penebaran ikan nila ke dalam lingkungan perairan void menunjukkan tidak ditemukan ikan yang mati setelah ditebar di dalam badan air void. Ikan ini memiliki toleransi yang relatif tinggi terhadap kondisi kualitas air void, yang ditunjukkan dengan kemampuannya tetap bertahan hidup dengan tingkat survival tinggi. Meskipun demikian, kondisi ini tidak dapat digeneralisasikan begitu saja bagi semua jenis ikan, karena: 1. Ikan nila dikenal memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan tercemar. 2. Meskipun ikan ini bertahan hidup, namun belum dilakukan pengamatan terhadap tingkat/laju pertumbuhannya selama hidup di dalam lingkungan perairan void (karena memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat pertumbuhan ikan). Dengan demikian belum dapat disimpulkan apakah ikan nila yang hidup di dalam lingkungan perairan void tersebut dapat mencapai pertumbuhan normal.
42
3. Belum dilakukan pengamatan secara lebih detil terhadap proses bioakumulasi senyawa beracun dalam tubuh ikan yang diintroduksi, untuk menetapkan kelayakan konsumsinya (karena memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat akumulasi senyawa beracun dalam tubuh ikan, setidaknya hingga ukuran konsumsi). Belum dapat disimpulkan/direkomendasikan kelayakan konsumsi ikan nila yang hidup di dalam lingkungan perairan void tersebut.
3.2.2. Introduksi Tanaman Air Introduksi tanaman air dilakukan dengan menempatkan jenis eceng gondok (eichornia crassipes mart solms) ke dalam perairan void, karena jenis ini telah dikenal memiliki kemampuan menyerap senyawa beracun pada badan air. Hasil pengamatan terhadap uji coba introduksi tanaman air jenis eceng gondok (eichornia crassipes mart solms) dengan densitas sekitar 20 individu/m2 menunjukkan hasil bahwa tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik serta daun cenderung menguning setelah 2 minggu ditebar di badan air void. Pada periode pengamatan berikutnya (1 bulan kemudian), tumbuhan air tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini diakibatkan oleh: 1. Komunitas eceng gondok secara aktif menyerap senyawa beracun dalam air. 2. Pada batas yang tidak dapat ditoleransi oleh vegetasi tersebut, senyawa beracun akan memberikan efek fisiologis pada sistem 3. Timbulnya kematian pada tumbuhan air mengindikasikan kapasitas optimal daya biosorpsi vegetasi tersebut terhadap senyawa beracun telah terlampaui. 4. Jika dibiarkan terus, maka tanaman air ini lambat laun akan mati, dan tenggelam di dasar perairan bersama bahan/senyawa beracun yang dikandungnya. 5. Senyawa beracun tersebut akan terikat menjadi sedimen di dasar perairan bersama ikatannya di dalam bagian vegetasi yang tenggelam di dasar.
43
Gambar 3.5. Daun eceng gondok sebagian layu dan menguning c. Pengukuran Kadar Logam Berat pada Tubuh Ikan Terpajan Pengukuran logam berat dalam tubuh ikan dilakukan terhadap ikan nila yang telah dilepaskan ke badan air void. Hasil pengamatan terhadap unsur-unsur/senyawa dalam tubuh ikan melalui analisis ekstraksi dan pengukuran logam berat menggunakan AAS, dari ikan yang hidup selama rentang waktu tertentu dalam perairan void eks tambang batubara disajikan sebagai berikut. Tabel . 3.7. Kandungan logam berat pada beberapa ikan uji Kandungan logam berat (mg/kg) No. Sampel dan berat sampel Hg
Cd
Cu
Cr
1 (105 gram)
Ttd
Ttd
0,000012
Ttd
2 (94 gram)
Ttd
Ttd
0,000005
0,000002
3 (127 gram)
0,000020
Ttd
0,000008
0,000013
4 (89 gram)
TTd
0,000013
0,000001
0,000001
5 (116 gram)
0,000015
Ttd
0,000014
Ttd
6 (92 gram)
Ttd
0,000011
Ttd
Ttd
7 (121 gram)
0,000011
Ttd
Ttd
0,000018
8 Kontrol (116 gram)
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Batas Maksimum dalam makanan (mg/kg) Dirjen POM *
0,5
---
20,0
2,0
SNI **
0,5
0,1
---
0,4
Baku Mutu Limbah Cair
0,02
0,05
2
0,5
Keterangan: Ttd = tidak terdeteksi * = Sesuai dengan SK Dirjen POM No.03725/B/SK/VII/89 tanggal 10 Juli 1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan ** = Sesuai dengan SNI 01-2729.1-2006
44
Terdeteksinya logam berat pada tubuh ikan merupakan proses akumulasi dan biomagnifikasi logam berat terutama metilmerkuri pada no sampel 3,5 dan 7 yang aktif terhadap ikatan protein dalam tubuh ikan. Logam berat dapat menimbulkan degradasi fisiologis organ tubuh ikan dalam paparan tinggi dan lama (Lc). Dalam kegiatan ini tidak dilakukan analisis anatomi atau fisiologis pada biota pengamatan, namun sebagai gambaran contoh, tingkat kerusakan insang ikan mas (Cyprinus carpio L.) dipengaruhi oleh konsentrasi merkuri dan lamanya waktu paparan logam berat terhadap ikan tersebut.
3.3. Substansi/Resume Hasil Pengamatan Berdasarkan uraian di atas, maka hal-hal substansial yang perlu dicermati menyangkut kondisi void secara umum dapat dibutiri sebagai berikut. 1. Dalam proses penggenangan selama 5 tahun lebih, void telah berkembang menjadi ekosistem sumberdaya perairan. 2. Proses terbentuknya perairan di dalam lingkungan void masih belum diikuti dengan perkembangan kondisi kualitas air yang optimal bagi manusia dan biota akuatik. 3. Perkembangan kualitas air void menuju kondisi yang lebih optimal terkendala oleh lingkungan void yang tidak memiliki outlet 4. Fenomena interaksi antar parameter kualitas air dan biota air di void memerlukan oksigen dalam jumlah besar sementara kondisi void yang inklusif sehingga diperlukan teknologi untuk mempercepat proses recovery dengan model mengaplikasikan teknologi aerasi. 5. Introduksi varitas ikan yang bernilai ekonomis dan mampu bertahan pada kadar oksigen rendah, fenomena lingkungan void serta logam berat yang relatif tinggi. 6. Perbanyakan penebaran eceng gondok (echornia crassipers mart solms) di bagian void dan Typha angustifolia pada bagian aliran run off serta penambahan tanaman yang berfungsi sebagai cover crop.
45
7. Membiarkan erosi yang diharapkan (acceptable erosion) sebagai fenomena erosi lahan untuk mempercepat masuknya unsur hara ke dalam perairan selain untuk membentuk sedimentasi sehingga stratifikasi kedalaman void tidak ekstrim.
46