Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY)
Oleh Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801 Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801 Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401 Berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan Penelitian Dosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013 Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013 tanggal 27 Agustus 2013
UNIVERSITAS SEMARANG NOVEMBER, 2013
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
Peneliti Ketua a. Nama Lengkap b. NIDN c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. Nomor HP f. Alamat surel (e-mail) Anggota (1) a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Anggota (2) a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Penanggung Jawab Tahun Pelaksanaan Biaya Keseluruhan
: Sistem Pertanggungjawaban Pidana pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu Reorientasi tentang Asas Strict Liability)
: : : : : :
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. 0614127801 Asisten Ahli Ilmu Hukum 081390896644
[email protected]
: Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H. : 0612045801 : Universitas Semarang : Ani Triwati, S.H., M.H. : 0628107401 : Universitas Semarang : LPPM Universitas Semarang : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun : Rp. 12.500.000,- (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) Semarang, 25 November 2013
ii
RINGKASAN
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea, atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan menyulitkan untuk pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, salah satunya adalah dalam bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas strict liability. Pengaturan
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak pidana lingkungan hidup.
iii
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, Tim Peneliti
panjatkan puji syukur
kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “ Sistem Pertanggungjawaban Pidana pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu Reorientasi tentang Asas Strict Liability) ” ini dengan baik dan tepat waktu. Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini
dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana, dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum yang bertugas menangani perkara pidana, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup. Menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada : 1. Direkur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah menyetujui dan memberikan dana penelitian.
iv
2. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah meneruskan dana penelitian melalui Kontrak Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013 tanggal 27 Agustus 2013. 3. Rektor Universitas Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan berbagai fasilitas kepada penulis untuk berkarya. 4. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang yang telah membantu segala hal yang berkaitan dengan penelitian. 5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah memberikan izin penelitian. 6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah mendukung terselesaikannya penelitian ini. Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak akan kami terima dengan senang hati, demi kesempurnaan penelitian ini di kemudian hari.
Semarang, November 2013 Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL ............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………...
ii
RINGKASAN ..........................................................................................
iii
PRAKATA ...............................................................................................
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...
vi
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...
6
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana sebagai Suatu Sistem ..........................................................
6
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana .....................
19
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup ...........
26
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...............................
41
3.1. Tujuan Penelitian .................................................................
41
3.2. Manfaat Penelitian ...............................................................
41
BAB 4. METODE PENELITIAN ………………………...................... .
43
4.1. Metode Pendekatan .............................................................
44
4.2. Spesifikasi Penelitian ..........................................................
44
4.3. Metode Pengumpulan Data .................................................
45
4.4. Metode Analisis Data ..........................................................
46
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
48
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup ...........................
48
vi
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Asas Strict Liability ....................................................................
55
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................
65
6.1. Simpulan ......................................................................................
65
6.2. Saran ............................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... viii LAMPIRAN ……………………………………………………………..........
xi
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertangungguangjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan
sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut : Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and otheris legally subjected to the exaction.1 Selanjutnya dikatakan oleh Romli Atmasasmita : Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai _reparation sehingga mengakibatkan perubahan arti konsepsi liability dari composition for vengeance menjadi reparation for injury. Perubahan bentuk wujud ganti rugi dalam sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari liability atau “pertanggungjawaban”.2 Permasalahan
mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
1
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), halaman 79. 2 Ibid., halaman 80.
1
dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual, yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (naturalick person) sebagai subjek hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan keperdataan
yang
tidak
cocok
diambil
alih
dalam
hukum
pidana.
Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daaddader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum sentral. Penerapan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi akan mendapat kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi . Sementara itu perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang bertujuan
memperoleh
keuntungan
sebesar-besarnya.
Akibatnya
aspek
viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan,
2
karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal. Memperhatikan
dampak
negatif
dari
pembangunan
dan
modernisasi, khususnya munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
dalam bidang lingkungan hidup, wajar jika pusat perhatian
penegakan
hukum ditujukan pada upaya penanggulangannya. Salah satu
penanggulangannya yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana hukum pidana. Permasalahan tersebut meliputi subjek korporasi yang masih belum diakui secara tegas dalam hukum pidana. Dan kalaupun korporasi diakui sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana sistem pertanggungjawaban pidananya mengingat korporasi bukanlah manusia yang mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Di samping permasalahan
tersebut di atas (pertanggungjawaban
pidana korporasi /corporate liability), permasalahan dalam bentuk lain adalah pembuktian bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan hidup yang sangat sulit dan kompleks. Untuk mengatasi pembuktian
tersebut
kesulitan
dan
kompleksitas
muncul alternatif lain dalam hal pertanggungjawaban
pidana, yakni adanya asas pertanggungjawaban pidana terbatas/ketat (strict liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict liability si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang- undang tanpa melihat sikap
batinnya.
Asas
itu
sering diartikan
secara
bagaimana
singkat sebagai
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dengan demikian, asas strict liability di atas yakni mengenai subjek
3
delik dan mengenai asas kesalahan,
di dalam perkembangannya mengalami
perluasan. Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat, dituntut adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan Terhadap
dalam
hukum
pidana (corporate
liability).
sistem pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability
sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Munculnya sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan pelaku delik. kepada
Dikatakan pelaku
demikian, karena
delik
pidana
hanya
dapat
dijatuhkan
yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung
jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya penyimpangan terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh terhadap hukum pidana. Apabila penyimpangan asas itu akan
timbul
pertanyaan
pertanggungjawaban
pidana
harus diterapkan,
bagaimanakah perkembangan di
era
sekarang
sistem
ini, bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional, pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang. Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi dengan menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat
4
dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59 KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi. Berdasarkan pertimbangan, bahwa masih sedikit kajian atau penelitian dan literatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam bidang lingkungan hidup berdasarkan perspektif pendekatan asas strict liability
sebagai alternatif bentuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
(corporate
liability) sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkugan hidup,
sekaligus sebagai respon atas keadaan di atas dengan tujuan melengkapi literatur maka penelitian ini mendapatkan urgensinya. Penelitian yang komprehensif, dan dilakukan berdasarkan kajian normatif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai asas strict liability
sebagai alternatif bentuk
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi (corporate
liability) sebagai pelaku
tindak pidana di bidang lingkungan hidup. 1.2. Rumusan Masalah Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna mencegah luasnya cakupan tersebut, dan untuk memudahkan pembahasan maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup? 2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability? 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana Pembicaraan dilepaskan
mengenai
dari pembicaraan
pertanggungjawaban
mengenai
perbuatan
pidana tidak dapat pidana.
Orang
tidak
mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak
pidana. Para penulis sering menggambarkan
bahwa dalam
menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
Tindak Pidana + Pertanggungjawaban = Pidana
Unsur tindak
pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur
yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan sedangkan
objektif unsur
yang
diikuti
oleh
pertanggungjawaban
unsur pidana
sifat
melawan merupakan
hukum, unsur
subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). Sebelum pertanggungjawaban
membicarakan mengenai
yang terletak di lapangan subjektif tersebut, terlebih
dahulu akan dibicarakan mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.
6
2.1.1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP
tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana,
padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indikator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan memenuhi
unsur-unsur
seseorang
telah
perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana.
Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan, para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana
tersebut. Berikut akan diuraikan pendapat beberapa
ahli hukum tersebut. Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan ancaman pidana
orang),
sedangkan
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.3
3
Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984),
7
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.
4
Dari definisi Simons
tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; dilakukan
(3) melawan hukum; (4)
dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu
bertanggung jawab. Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan (patut
atau
bernilai
oleh undang-undang, melawan
untuk
dipidana)
dan
hukum
dapat dicela karena
kesalahan.5 Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur- unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana. Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, laku diberikan
manusia
yang
pidana.
Jadi,
oleh
yaitu kelakuan atau tingkah
peraturan
unsur-unsurnya
perundang- undangan adalah
(1) kelakuan
halaman 54. 4 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), halaman 4. 5 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990 ), halaman 41.
8
manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang- undang.6 Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan perundang-undangan.
yang bersifat
Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis,
perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan
pelanggar, dan yang harus diberikan
pidana itu dapat mempertahankan
tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang- undang ditentukan mengandung
perbuatan
dan pengabaian
atau tidak berbuat. Tidak
berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.7 Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah sebagai berikut: a) b) c) d) e)
Kelakuan dan akibat (perbuatan). Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Keadaan tambahan yang memberatka pidana. Unsur melawan hukum yang objektif. Unsur melawan hukum yang subjektif. 8
6
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), halaman 225. 7 Ibid., halaman 226. 8 Moeljatno, Op. Cit., halaman 63.
9
Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. a. Unsur Pokok Objektif. 1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut
juga
perbuatan negatif. 2. Akibat perbuatan manusia. Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud
adalah membahayakan
atau menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya
nyawa,
badan,
kemerdekaan,
hak
milik/
harta benda, atau kehormatan. 3. Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan. Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas: a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan 10
hukum
bertentangan dengan hukum yakni berkenaan
dengan larangan atau perintah. b. Unsur Pokok Subjektif Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan
dimaksud
di
sini
adalah
sengaja
(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld). 1. Kesengajaan Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. Kesengajaan sebagai maksud. b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan
dengan
sadar
kemungkinan
(dolus
eventualis). 2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.9
9
Leden Marpaung, Op.Cit., halaman 6-7.
11
2.1.2. Perbuatan atau Tindakan Perbuatan pidana dapat diwujudkan
dengan kelakuan aktif atau
positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya, mencuri
atau
menipu.
Perbuatan
demikian
dinamakan
delictum
commissionis. Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan kelakuan pasif atau negatif, seperti Pasal 164-165, 224, 523, 529, dan 631 KUHP. Delik-delik semacam itu terwujud dengan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk dilakukan yang disebut Delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang dapat diwujudkan dengan berbuat negatif yang dinamakan delicta commissionis per omnissionem commissa. Delik demikian terdapat dalam Pasal 341 KUHP,
yaitu
seorang
ibu dengan sengaja menghilangkan nyawa
anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan. Pasal 194 juga mengandung delik demikian, yaitu seorang penjaga pintu kereta api yang dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada
waktunya,
sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Apakah Beberapa
ahli
arti
kelakuan
hukum
telah
kelakuan atau tingkah laku
atau
tingkah
mencoba
laku
manusia
memberikan
itu?
pengertian
tersebut. Pendapat Simons dan Van
Hamel mengenai kelakuan atau tingkah laku dapat
dijumpai di
dalam beberapa literatur hukum pidana. Menurut Simons dan Van Hamel, kelakuan (handeling) positif adalah gerakan otot yang
12
dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.10 Rumusan “gerakan otot yang
dikehendaki” itu ditentang oleh
Pompe. Menurut Pompe, bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika dipandang dari sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Ada kalanya untuk mengadakan perbuatan pidana tidak diperlukan adanya gerakan otot, misalnya Pasal
111 KUHP, yakni mengadakan hubungan dengan negara asing.
Hal itu cukup dilakukan dengan sikap
badan atau pandangan
mata
tertentu. Menurut Pompe, makna kelakuan dapat ditentukan dengan 3 ayat suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang nampak keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Moeljatno
tidak
menyetujui
pendapat
Pompe
tersebut
dengan menyatakan alasan sebagai berikut: Apakah rumusan Pompe dapat kita terima? Hemat saya tidak. Sebab dengan demikian titik berat makna pengertian diletakkan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, hal mana justru kita pisahkan dari pengertian kelakuan. Lain halnya kalau melihat formularing Mezger, yang di samping adanya “Willens-grundlage” juga mensyaratkan adanya “gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya”.11 Selanjutnya Moeljatno tidak memasukkan tiga macam aktivitas ke dalam arti kelakuan, yaitu: a. Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidak dikehendaki, karena orang itu dipaksa oleh orang lain (berada dalam daya paksa, Overmacht, compulsion. b. Gerakan refleks; dan
10
Moeljatno, Op.Cit, halaman 83-87. Ibid., halaman 84.
11
13
c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar, seperti mengigau, terhipnotis, dan mabuk.12 Akhirnya
Moeljatno
berkesimpulan
bahwa
pendapatnya
sesuai dengan pendapat Mezger, karena ketiga sikap jasmani tersebut di atas tidak didukung oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena bekerjanya kehendak. Beliau lebih menyetujui pendapat Vos, karena: a. Pandangan Vos lebih mudah dipahami; dan b. Pandangan Vos bukan hanya menyangkut kelakuan positif, tetapi juga meliputi kelakuan negatif.
2.1.3. Unsur Melawan Hukum Salah
satu
unsur
perbuatan
pidana
adalah
unsur
sifat
melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana suatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum? Orang akan menjawab, apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undangundang. Jawaban itu tidak salah.
Akan
tetapi,
perbuatan
yang
memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum. Mungkin ada yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Contoh kasus menghilangkan sifat melawan hukum, yaitu (1) regu tembak yang menembak
mati seorang terhukum yang dijatuhi pidana
mati, memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP, akan tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena mereka menjalankan perintah 12
Ibid., halaman 85.
14
jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang yang dicurigai telah melakukan kejahatan, ia tidak dapat dikatakan melanggar pasal 333 KUHP karena ia melaksanakan
undang-undang
sehingga tidak ada unsur sifat melawan hukum (Pasal 50 KUHP). Pada umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum itu ke dalam dua macam, yaitu : a. sifat melawan hukum formil; dan b. sifat melawan hukum materiel. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan
telah mencocoki
semua
unsur yang termuat dalam rumusan deilik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Menurut ajaran sifat melawan hukum materiel, memenuhi syarat-syarat formil, yaitu
di samping
mencocoki semua unsur yang
tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.
Karena
itu
pula
ajaran
pembenar di luar undang-undang.
ini
mengakui
alasan-alasan
Dengan perkataan lain, alasan
pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Dari kedua ajaran tentang sifat melawan hukum tersebut (formil dan materiel) dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan
15
itu memenuhi rumusan delik, itu merupakan tanda atau indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan
tetapi, sifat itu hapus
apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar. Mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum formil berpendapat bahwa alasan pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum sedangkan
penganut
ajaran
berpendapat bahwa alasan
positif
sifat melawan
yang
tertulis,
hukum
materiil
itu boleh diambil dari luar hukum yang
tertulis. Moeljatno
mengemukakan
perbedaan
pandangan
yang
dengan pandangan formil adalah: 1. Mengakui adanya pengecualian/ penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. 2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur deik. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik. 13 Dengan
mengakui
bahwa
sifat
melawan
hukum
selalu
menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal
apakah
harus
dibuktikan
atau tidak, adalah tergantung dari
rumusan delik, yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut. 13
Ibid., halaman 134
16
Disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya. Sifat melawan hukum materiel itu dapat dibedakan ke dalam dua macam fungsi, yaitu : a. Fungsi negatif; dan b. Fungsi positif. Ajaran sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undangundang mempunyai kekuatan menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan
yang
memenuhi
rumusan
undang-undang. Jadi, hal itu
sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum. Pengertian fungsinya
sifat
melawan
yang positif menganggap
hukum
yang
materiel
bahwa suatu perbuatan
dalam tetap
sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuranukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi, harus diakui bahwa hukum yang tak tertulis merupakan sumber hukum positif. 2.1.4. Pengertian Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan 17
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” di sini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sangat sekali tidak bersalah. Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan harus ada kesalahan pada sipembuat. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai
sejarahnya sendiri. Dalam
ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan
kepada perbuatan orang beserta akibatnya
(Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat Taterstrafrecht”,
disebut
sebagai
”Tat-
ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan
maupun orangnya. Hukum pidana dewasa
ini
dapat
pula
disebut
18
sebagai
Sculdstrafrecht,
artinya bahwa untuk penjatuhan
pidana
disyaratkan adanya kesalahan pada sipembuat. Dari
apa
yang
telah
disebutkan
di
atas,
maka
dapat
dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, ialah: a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal. b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah
atau mempunyai
pertanggung
jawab pidana,
sehingga bisa di pidana.14 Dalam pada itu harus diingatkan bahwa untuk
adanya kesalahan
(pertanggungjawaban pidana),
dalam orang
arti yang
seluas-luasnya
bersangkutan
harus
dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana
Strict Liability
adalah pertanggungjawaban
tanpa kesalahan
(liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana
jika
ia
telah
melakukan perbuatan sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam Undang- Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Konsep Strict liability merupakan 14
penyimpangan dari asas kesalahan yang
Sudarto, op cit. halaman 91.
19
dirumuskan dalam pasal 38 ayat ( 1) RUU KUHP. Bunyi rumusannya adalah sebagai berikut : “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat di pidana semata- mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Untuk
memahami
lebih
jauh latar belakang
dan
alasan
dicantumkannya asas strict liability itu ke dalam konsep, dapat dilihat pada penjelasannya berikut ini.: Ketentuan dalam ayat ini merupakan suatu perkecualian terhadap asas tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas “strict liability”. Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di Inggris.
Sebagian
hakim
berpendapat
asas
mens- rea tidak dapat
dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila tetap berpegang teguh pada asas mens-rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan undang- undang modern
sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan
strict liability terhadap kasus-kasus
untuk menerapkan
tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang. Sering
dipersoalkan,
apakah
strict
liability
itu
sama dengan
absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama 20
menyatakan strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana
tanpa mempersoalkan
apakah si pelaku mempunyai kesalahan
(mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana menurut rumusan undang-undang
yang
sudah
melakukan
perbuatan
pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana. Pendapat kedua menyatakan Strict liability bukan Absolute liability. Artinya, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh mereka, yaitu : a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara Strict liability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa orang lain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi tetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memang menghendaki (sengaja) untuk menjual daging itu. Jadi jelas dalam hal itu Strict liability tidak bersifat absolut. b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat diajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” (particular fact) yang menyatakan terlarang menurut undang- undang. Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kita tetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaankeadaan lainnya. Contoh lain, misal dalam kasus “mengendarai 21
kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum), dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengenai kendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, A mabuk-mabukan di rumahnya sendiri. Akan tetapi dalam keadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawankawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memang ada Strict liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaan mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan adanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun Strict liability bukanlah absolute liability.15 Di
dalam
Ilmu
hukum
pidana
terdapat
perbedaan pendapat
mengenai doktrin strict liability. Sebagian pendapat menyatakan prinsip
“tidak
terdapat
kesalahan
bahwa
sama sekali” harus dapat diterapkan,
kecuali apabila diterapkan kesalahan besar kepada si pelaku. Dipihak lain menyatakan bahwa penerapan strict liability harus dibuat persyaratan yang lebih ketat, tergantung dari kasus-kasus yang bersangkutan.16 Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya memberikan jalan keluar untuk membenarkan diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut sistem Eropa Continental, yaitu : Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini atidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatory offences) yang hanya mengancam pidana denda, seperti pada kebanyakan public welfare offences. Namun,karena kita telah mengambil alih konsep yang berasal dari system hukum yang berlainan akarnya kedalam system hukum di Indonesia, maka memerlukan ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesiauntuk menjelaskan konsep ini dengan mengkaitkannya pada asas-asas yang 15
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 132-133. 16 L. H . C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers, 1984), halaman 56.
22
sudah melembaga dalam hukum pidana Indonesia. 17 Alasan senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan: Karena strict liability ini sangat jauh menyimpang dari asas kesalahan maka para ahli hukum pidana membatasi penerapannya hanya pada delik-delik tertentu saja. Kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences). Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, pencegahan terhadap polusi, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalulintas. 18 Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan untuk menerapkan
asas strict liability
disamping perbuatannya
membahayakan
masyarakat juga pembuktiannya yang sangat sulit. Kriteria membahayakan masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real crime), akan tetapi juga meliputi “regulatory offences” seperti pelanggaran lalulintas, pencemaran lingkungan, makanan, minuman dan obat-obatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Muladi mengatakan bahwa “jika hukum pidana harus digunakan untuk menghadapi masalah yang demikian rumitnya, sudah saatnya doktrin atas asas strict liability digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap peraturan mengenai
kesejahteraan
mempertanggungjawabkan
umum”. pembuat
Pembuktian bukan
hal
kesalahan yang
dalam
mudah. Jadi,
perumusan konsep strict liability dalam KUHP Indonesia merupakan
jalan
17
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), halaman 32. 18 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, halaman 129.
23
pemecahan
masalah
kesulitan
pertanggungjawaban pidana.19 Lebih
dalam pembuktian kesalahan dan jauh
Muladi
mengatakan
bahwa
perumusan strict liability dalam KUHP baru merupakan refleksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan
sosial.
Dengan
demikian,
strict liability
merupakan konsep yang digunakan dan diarahkan untuk memberikan perlindungan sosial dalam menjaga kepentingan masyarakat terhadap aktivitasaktivitas yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian fisik, ekonomi maupun social cost.20 Selanjutnya Barda Nawawi Arief memberikan kriteria batas- batas yang harus diperhatikan apabila kita akan menerapkan asas strict liability yang merupakan penyimpangan dari asas kesalahan. Batas-batas itu adalah: 1) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan delik-delik baru itu mengancam kepentingan umum yang sangat luas dan eksistensi pergaulan hidup sebagai totalitas ? 2) Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasila membenarkan asas ketiadaan kesalahan sama sekali ? 21 Jadi inti masalahnya menurut Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh mana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana itu harus diperluas dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh Barda Nawawi Arief mengingatkan bahwa pertimbangan harus dilakukan dengan hati-hati sekali, terlebih melakukan pelompatan yang drastis dari konsepsi kesalahan
yang
19
Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38. 20 Ibid. 21 Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, 1998), halaman 141.
24
diperluas
sedemikian
rupa
sampai
pada konsepsi ketiadaan kesalahan
yang diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan akar yang paling dalam dari nilai- nilai keadilan berdasarkan Pancasila. Penerapan asas strict liability itu sangat penting terhadap kasus-kasus tertentu
yang
menyangkut
membahayakan
sosial atau
anti sosial,
membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta moral public. Kasus-kasus seperti pencemaran lingkungan hidup, perlindungan konsumen, serta yang berkaitan dengan minuman keras, pemilikan senjata, dan pemilikan obatobatan terlarang, merupakan kasus yang sangat memungkinkan
untuk
diterapkan strict liability. Kasus pencemaran lingkungan, seperti kasus yang terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal itu disebabkan untuk membuktikan hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan tersebut, akhirnya terdakwa dibebaskan oleh hakim.
Kesulitan
yang
serupa
itu
banyak
terjadi
pada kasus-kasus
lingkungan yang lain. Padahal, akibat yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat. Disitu tampak betapa urgennya penerapan asas strict liability. Jadi penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability crime, dapat dikemukakan patokan berikut : 1) Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis
25
tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial. 2)
Perbuatan
itu
benar-benar
bersifat
melawan
hukum
(unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan. 3) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang- undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan sangat
potensial
keselamatan,
mengandung
dan
moral
bahaya kepada
publik
yang
kesehatan,
(a particular activity
potential danger of public health,safety or moral). 4) Perbuatan
atau
aktivitas
tersebut
secara
keseluruhan
dilakukan dengan cara melakukan pencegahan yang sangat wajar (unreasonable precausions).
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Definisi tindak pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.22 Sementara, disebutkan Simons menyatakan, bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan 22
Moeljatno, Op.Cit., halaman 54.
26
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatanatau tindakan yang dapat dihukum.23 Berdasarkan kedua pendapat tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana Simons disebutkannya tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk kepada Pasal 97 UUPPLH yang menyebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”. Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species). Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang23
Ibid.
27
undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan hukum
pidana
bagi
lingkungan
hidup.
Kata
“mencemarkan”
dengan
“pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.24 Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka 14 UUPPLH yang perumusannya sebagai
berikut:
“Pencemaran
lingkungan
hidup
adalah
masuk
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.” Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH, yaitu: 1. masuknya atau dimasukkannya: - makhluk hidup, - zat, - energi,dan atau - komponen lain
24
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., (Jakarta Universitas Indonesia, 2001, ), halaman 527.
28
ke dalam lingkungan; 2. dilakukan oleh kegiatan manusia; 3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu: “ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”. Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, meliputi: a. Baku mutu air; b. Baku mutu air limbah; c. Baku mutu air laut; d. Baku mutu udara ambien; e. Baku mutu emisi; f. Baku mutu gangguan, dan g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
29
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup. Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap baku mutu tersebut, sebagai berikut: -
“baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
-
“baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
-
“baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
-
“baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
-
“baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
-
“baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”.
30
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu: 1. adanya tindakan; 2. menimbulkan: - perubahan langsung atau - tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan; 3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah. Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH, meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; 31
d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain: a. kenaikan tempratur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”. - “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. - “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan. - “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. - “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
32
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan dalam UUPPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain (“kepentingan pribadi”). Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH), karena UUPPLH telah memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu: “melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan”. Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH.
Ketentuan Pasal 97 UUPPLH,
33
menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai“rechtsdelicten” yaitu tindakantindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana. Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH – 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam 34
hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin. Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan 35
lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal. Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan. Tindak pidana lingkungan hidup dapat pula ditelaah terhadap pasal-pasal dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang: 1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; 2. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 5. Membuang limbah ke media lingkungan hidup; 36
6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; 7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan; 8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; 9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau 10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, 11. merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) di atas, dapat dipahami bahwa tindak pidana lingkungan hidup itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dalam konteks “mencemarkan atau merusak lingkungan”.Mencemarkan atau merusak lingkungan, menurut Alvi Syahrin,25 merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan di dalam pasal-pasal UUPPLH 2009. Merujuk pada Pasal 69 ayat (1) di atas, dalam angka 1 disebutkan ”melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species tidank pidana lingkungan hidup. Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan
25
Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia, 2009), halaman 19.
37
Pasal 120 UUPPLH , merupakan ketentuan yang menggariskan species-species tindak pidana lingkungan hidup tersebut. Berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 di atas, dapat diketahui bentuk-bentuk tindak pidana yang dikenal di dalam UUPPLH. Dalam Pasal 98 ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Dalam Pasal 99 ayat (1): Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana. Pasal 101: Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Pasal 102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan. Dalam Pasal 104: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang yang memasukkan
limbah ke dalam wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia. Pasal 106: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam
38
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111 ayat (1): Pejabat pemberi izin lingku ngan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan tanpa izin lingkungan. Pasal 113:
Setiap
orang
yang
memberikan
informasi
palsu,
menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Pasal 114: Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
39
a. Badan usaha; dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Semua ketentuan di atas, merupakan bentuk-bentuk tindak pidana di dalam lingkungan hidup. Bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup di atas, selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH dikenal adanya badan hukum atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat dipidana secara fisiknya, melainkan pengurus-pengurusnya lah yang dapat dipertanggungjawabkan.
40
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup. 2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability.
3.2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk kepentingan teoretis dan kepentingan praktis. 1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum pidana dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability.
41
2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi aparat penegak hukum untuk memperluas wacana mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability. Bagi penentu kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam menetapkan kebijakan mengenai formulasi dan penerapan pidana dalam rangka melengkapi dan penyempurnaan peraturan perundangan mengenai pidana.
42
BAB 4 METODE PENELITIAN Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terusmenerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti , bahkan akan surut kebelakang.26
Oleh karena itu di dalam setiap penelitian
diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi Penelitian. Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil penelitian.
26
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), halaman 11.
43
Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hokum,27 sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penal. Sebagai pendekatan penal, maka dapat dikatakan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup, yang dikaji melalui asas Strict Liability.
4.2. Spesifikasi Penelitian Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam masyarakat. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian untuk memecahkan
masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan
27
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, cet III, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 22-23.
44
data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya. 28 Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup dengan melakukan
reorientasi
tentang
asas
strict
liability
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban pidana.
4.3. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan atau dokumen (library research). Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder, yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari datadata yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan seperti : - Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP); - Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. - Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
28
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 36.
45
b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : a. Buku-buku hukum dan non hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. b. Hasil-hasil penelitian maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian..
c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer dan tersier seperti : a. Kamus Hukum b. Kamus Besar Bahasa Indonesia c. Ensiklopedi, majalah-majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, surat kabar serta membaca berkas-berkas lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini, yang kemudian dilakukan inventarisasi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.
4.4. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian diidentifikasi serta dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada
46
dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika 29. Dengan induksi, deduksi, analogilinterpretasi, komparasi dan sejenis itu.30 Metode berpikir yang digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan berdasarkan pada dasar pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.
29
Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis analitis (lihat M. Sommers, Logika, (Bandung: Alumni,1992), halaman 2, demikian pula Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 43. 30 Tatang A. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), halama 95. Menurut Niles dan Huberman, langkah-langkah ini untuk menganalisis data meliputi pengumpulan data, reduksi data, display data dan perumusan kesimpulan. (Lihat Esmi Warassih, “Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1999), halama 51-52. Lihat pula : Matthrew B. Mikles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi, (Jakarta: UI Press, 1992), halaman 15-21.
47
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup
Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai subyek hukum. Pandangan tentang subyek hukum pidana di bidang hukum pidana umum yang hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan dengan sejarah pembentukan WvS Nederland tahun 1881, dimana pada dasarnya hanya manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni dapat diketahui dari : a.
b.
c. d.
Memory van Toelichting Pasal 51 WvS Nederland (Pasal 59 KUHP): suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Uraian delik dalam banyaak pasal WvS selalu dimulai dengan “Barang Siapa” dan sering disyaratkan adanya berbagai faktor manusia, seperti sengaja dan lalai, faktor mana hanya dapat dimiliki oleh manusia. Sistem pidana terdiri dari pidana kekayaan dan pidana badan hanyalah dapat dikenakan terhadap manusia. Hukum acara pidana tidak mengandung ketentuan tatacara terhadap korporasi.31
Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan sehubungan dengan ketentuan tentang korporasi sebagai subyek hukum pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 WvS Nederland berdasarkan Undang-undang tanggal 23 31
Andi Zaenal Abidin , Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), halaman 51.
48
Mei 1990. Dalam Pasal 51 ditentukan : 1. There are two categories of criminal offender : natural persons and juristic persons. 2. Where a criminal offence is committed by juristic person, criminal proceedings may be instituted and such penalties and measures as are prescribe by law, where applicable, may be imposed : a. against the juristic person; or b. against those who have ordered the commission of the criminal offense, and against those in control of such unlawful behavior; or c. against the persons mentioned under a and b jointly. 32 Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Di samping orang dikenal juga subyek hukum yang bukan manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan hukum (Korporasi). Korporasi sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia, misalnya: dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Bedanya subyek hukum orang dengan subyek hukum badan hukum adalah bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat dipidana penjara. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek hukum adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan
32
Ibid.
49
ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusialah yang merasakan atau menderita pemidanaan itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa subyek hukum baik orang maupun korporasi adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban. Seiring dengan perkembangan masyarakat, dirasa sangat perlu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana agar dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan, supaya korporasi dalam menjalankan
usahanya tidak melakukan
tindakan-tindakan
yang
melanggar ketentuan hukum dan merugikan masyarakat umum. Oleh karena itu,
pengaturan
korporasi
sebagai
subjek
pertanggungjawaban pidananya ditempatkan
tindak
pidana
berikut
di luar KUHP agar dapat
mengakomodir pengaturan seperti tersebut di atas, dan tentu saja dengan tetap mengacu pada KUHP sebagai pedoman umum. Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasalpasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
50
Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi tersebut.33 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. 34
Jadi,
dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana 33
Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan itu adalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan pekerjaannya atas nama korporasi. 2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara langsung atau pun tidak langsung. 3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan korporasi. 4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. 5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus. 34 Ibid., halaman 70.
51
tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang persorangan atau legal persoon. Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Pengakuan
korporasi
sebagai
subjek
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan hidup ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32
UU
No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009
ini adalah orang, badan
52
hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum maksudnya adalah korporasi. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, melarangnya
misalnya
ada
atau
tidak
ada
peraturan
yang
mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya.
Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas.35 Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana masih
menggunakan
pertanggungjawaban
dengan
kesalahan,
sementara
pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat. Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis, bukan
merupakan
suatu
penyimpangan
asas
akan
tetapi
merupakan
penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan 35
T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace & Library, 2010), halaman 32.
53
hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra oridnary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum. Kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention
giver),
keduanya
dapat
dikenakan
hukuman
secara
berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Kejahatan lingkungan yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32 Tahun 2009, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan lagi suatu fiksi).
54
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Asas Strict Liability
Sejalan dengan perkembangan dunia internasional (salah satunya adalah International Meeting of Experts on the Use of Protection of
Criminal Sanction in ‘The
Enviropment, Internationally, Domestically and Regionally,
Portland, Oregon, USA, 19-23 March 1994) menempatkan korporasi sebagai subjek
tindak
pidana.
Dalam
pertemuan
dirumuskan
mengenai
pertanggungjawaban korporasi (Legal entity liability) yang ditentukan sebagai berikut: 1. Delik-delik yang dirumuskan dalam generic crimes dan specific crimes dapat dipertanggungjawabkan terhadap seseorang individu maupun korporasi, dengan ketentuan bahwa delik itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan organisiasi (korporasi) itu; 2. Pertanggungjawaban korporasi terjadi apabila a. ada kesalahan manajemen dari koorporasi itu dan telah terjadi generic crimes; atau b. ada pelanggaran peraturan atau ketentuan undang-undang oleh korporasi itu. 3. Pertangungjawaban korporasi dikenakan juga pada pertanggungjawaban perseorangan dan manajer, petugas, agen, karyawan atau pelayan dan korporasi itu. 4. Pertanggunigjawaban korporasi diterapkan tanpa memperhatikan apakah orang atau individu yang melakukan perbuatan atas nama korporasi itu telah diidentifikasikan, telah dituntut atau telah dipidana atau tidak; dan 5. Semua sanksi, kecuali sanksi pidana penjara, dapat dikenakan kepada korporasi.36 36
Beberapa Hasil International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal Sanction In the Protections Of Environment, Internationally, Domestically and Regionally, Portland, Oregon, USA, 19-23 March 1994, diisarikan oleh Barda Nawawi Arief, “Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi”, Semarang, 3-15 Desember 1995, halaman 6 – 7.
55
Berdasarkan
pendapat
di
atas,
dapat
dikatakan
bahwa
pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan kepada: 1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain; 2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin dalmn perbuatan itu; atau 3. Kedua-duanya yaitu korporasi dan pengurus.
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini masih berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan tidak dianutnya prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam KUHP yang berlaku sekarang, karena subjek tindak pidana yang diatur dalam KUHP sekarang hanyalah manusia atau orang perorangan. Pengaturan semacam ini lebih lanjut membawa konsekuensi yuridis berupa hanya orang perorangan
saja yang
dapat dibebani
pertanggungjawaban
pidana
dan
dijatuhi pidana, sedangkan korporasi tidak. Seiring dengan adanya kebijakan legislatif yang mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci yang berkaitan dengan permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana korporasi). Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea (guilty mind) sebagaimana dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because the perso committing it intended to do something wrong, This mental state is 56
generally referred to as Mens rea”.37 Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) korporasi pada tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau 37
Rufinus, Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 56.
57
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Rumusan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 secara jelas bersifat
khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu sehingga dapat diidentifikasi atau digolongkan ke dalam bentuk pertanggungjawaban
tertentu.
Unsur-unsur
yang
bersifat
khusus
yang
mencirikan pertanggungjawaban khusus itu ialah strict liability yang ciri utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan (fault, schuld). Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian (injured party) masih harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat). Hal ini diistilahkan dengan pembuktian causal link (kausalitas) atau hubungan sebab akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam
Green
Paper
on
Remedying Environmental Damage sebagai berikut: “Strict liability or liability without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to be established. However, the injured party must still prove that the damage was caused by some one’s act…”. Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengandung beberapa unsur penting, yaitu: a. Setiap orang b. yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, c. menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang 58
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup d. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi e. tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur d) dan e) dapat diinterpretasikan sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkatperangkat hukum Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau bukan atas dasar kesalahan (fault) sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious Liability”. Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapanpun kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan tindakan indivual tergugat; Kedua, para “potential polluter” akan memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya (level of care), maupun tingkat kegiatannya (level of activity). Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatankegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup strict liability :
59
1.
Tingkat risiko (the degree of risk); dalam hal ini risiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada;
2.
Tingkat bahaya (the gravity of harm); dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;
3.
Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness); dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain;
4.
Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of activity); dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan
telah
dilakukan secara memadai sehingga dapat
diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya. Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault) adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict 60
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undangundang harus/mutlak dapat dipidana. 38 Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus/belum tentu dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).39
Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegaskan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental. Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat
38 39
Barda Nawawi Arief , Op.Cit., halaman 40. Ibid.
61
terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Berdasarkan hal di atas, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”). Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) 62
dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader). Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku (dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana. Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan dimuka hukum. Dan korporasi yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari korporasi
lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
63
liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan.
64
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka kami tim peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut : 6.1.1. Pengakuan
korporasi
sebagai
subjek
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan hidup ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan
tidak berbadan hukum
maksudnya adalah korporasi. Maka subjek
tindak pidana yang
dimaksud dalam hal ini adalah korporasi. 6.1.2. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas strict liability 65
dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang
yang
tindakannya,
usahanya,
dan/atau
kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
6.2. Saran
Harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan korporasi sebagai subjek tindak pidana mengenai kapan suatu 66
korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya dengan ketentuan mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi harus diatur secara tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang dilakukannya dengan berlindung dibalik pengurus korporasi.
67
1
DAFTAR PUSTAKA a. Buku-Buku Amirin, Tatang A. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Abidin,
Andi Zaenal. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Rajagrafindo Persada, 2002.
Hukum
Pidana. Jakarta: PT
Atmasasmita, Romli. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan LBH, 1989. Bakker, Anton., dan Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1990. Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996. Hulsman, L. H . C, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers. Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Mikles, Matthrew B. & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992 Moljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1984. Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
(Deik),
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi viii
Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001. Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998. Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 1994. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Cetakan III. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Sommers, M. Logika. Bandung: Alumni, 1992. Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua. Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990. Suhaimi,
T. Pertanggungjawaban Terrace & Library, 2010.
Pidana
Direksi. Bandung:
Books
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Syahrin, Alvi. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Medan: Sofmedia, 2009. Warassih, Esmi. “Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1999. b. Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946. Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2009.
ix
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999 c. RUU KUHP : Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 19992000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
x
LAMPIRAN
Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota Peneliti 1.1 Biodata Ketua Peneliti 1.1.1. No.
Identitas Diri Biodata
Uraian
1.
Nama Lengkap (dengan gelar)
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.
2.
Jabatan Fungsional
Asisten Ahli / III b
3.
Jabatan Struktural
Kepala Lab. FH-USM (2012-1016)
4.
NIS / NIDN
06557003801049 / 0614127801
5.
Tempat dan Tanggal Lahir
Sorong / 14 Desember 1978
6.
Alamat Rumah
Jl. Sidoluhur VII No. 11 Tlogosari Semarang
7.
No. Telepon/Faks./HP
081390896644
8.
Alamat e-mail
[email protected]
9.
Mata Kuliah yang Diampu
1. Hukum Pidana 2. Hukum Pidana Lanjut 3. Kriminologi 4. Hukum dan HAM 5. Kebijakan Kriminal
10.
Riwayat Pendidikan
S-1 Fakultas
Hukum-
UII Yogyakarta
S-2 Magister Hukum-UII Yogyakarta
xi
1.1.2. No.
Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
Tahun
Judul Penelitian
Pendanaan Sumber
Jumlah (Rp)
1.
2009
Penerapan Sanksi Pidana dan Tindakan
sebagai
USM
2.500.000,-
USM
2.500.000,-
USM
2.500.000,-
LPJKD
34.000.000,-
Sistem
Pemidanaan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang) 2.
2010
Abortus Provocatus
Pada
Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana (Suatu Kajian Normatif)
Kebijakan Sanksi
Penerapan Pidana
Penjara
terhadap Perempuan Pelaku Tindak
Pidana
dalam
Hukum Positif 3.
2011
Implikasi Ketentuan Tindak Pidana
Korupsi
terhadap
Semarang
Kontrak Jasa Konstruksi
Implikasi Undang-Undang DEPKUMHAM 35.000.000,Nomor 30 Tahun 2004 berkaitan
dengan
Kanwil Jawa Tengah
Pemanggilan Notaris 0leh Penyidik
Polri
di
Jawa
Tengah Sistem
Pemidanaan
USM
2.500.000,-
xii
terhadap
Pelaku
Pelanggaran Hak Cipta (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Semarang)
4.
2012
Fungsionalisasi
Lembaga
USM
2.500.000,-
USM
2.500.000,-
USM
2.500.000,-
USM
2.500.000,-
Praperadilan dalam Perkara Pidana
:
Suatu
Kajian
Normatif
Perlindungan Hukum bagi Konsumen
dalam
Perjanjian
Pembiayaan
Konsumen (Suatu Kajian Normatif) 5.
2013
Kebijakan Hukum Pidana tentang Formulasi Sanksi Pidana pada Tindak Pidana Narkotika : Suatu Kajian Normatif Kebijakan
Formulasi
Hukum Pidana Terhadap Keadilan
Restorasi
dan
Diversi Menurut UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
xiii
1.1.3.
Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan Sumber
Jumlah (Rp)
1.
2009
Penyuluhan
USM
1.500.000,-
USM
1.500.000,-
Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di RW. 10 Kelurahan Pudak Payung Kecamatan Semarang Selatan
USM
1.500.000,-
Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di RT.08 RW. 06 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik
USM
1.500.000,-
Peningkatan
USM
1.500.000,-
USM
1.500.000,-
Pemilihan
Hukum Umum
tentang 2009
di
Sosialisasi Kelurahan
Bugangan Kecamatan Semarang Timur Penyuluhan Pemilihan
Hukum Umum
tentang 2009
di
Sosialisasi Kelurahan
Mlatiharjo Kecamatan Semarang Timur 2.
3.
2010
2011
tentang
Pemahaman
Perlindungan
bagi
Masyarakat Anak
di
Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang Penyuluhan Hukum tentang Tindak Pidana Pengguguran
Kandungan
(Abortus
Provocatus) pada Korban Perkosaan di Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang TimurKota Semarang
xiv
4.
2012
Penyuluhan
Hukum
tentang
Kenakalan
Mandiri
Remaja di Kelurahan Lumansari, Kecamatan Keguh, Kota Kendal Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan Kekerasan
dalam
Kelurahan
Rumah
Tembalang,
Tangga
Mandiri
di
Kecamatan
Tembalang, Kota Semarang
Peningkatan
Pemahaman
Masyarakat
USM
1.500.000,
USM
1.500.000,
mengenai Aspek Hukum Pidana tentang Tawuran Pelajar 5.
2013
Peningkatan Pemahaman Siswa SMA Kesatrian
2
Semarang
mengenai
Pelanggaran Lalu Lintas dan Sanksi Hukumnya.
Semarang,25 November 2013 Ketua Tim Peneliti,
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. NIS: 06557003801049
xv
2.2.
Biodata Anggota Peneliti 1
2.2.1. Identitas Diri 1.
Nama Lengkap (dengan gelar) :
Dewi Tuti Muryati,S.H.,M.H.
2.
Jabatan Fungsional
:
Lektor/ IIIc
3.
Jabatan Struktural
: -
4.
NIS/NIDN
:
5.
Tempat dan Tanggal Lahir :
Kudus, 12 April 1958
6.
Alamat Rumah
:
Jl. Gombel Permai XV/456 Semarang
7.
Nomor Telepon/Faks/HP
:
081805824489
8.
Alamat e-mail
:
[email protected]
9.
Mata Kuliah yang Diampu :
06557003801003 /0612045801
1. Hukum Lingkungan 2. Hukum Bisnis 3. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 4. Hukum Perusahaan 5. Hukum Persaingan Usaha
10.
Riwayat Pendidikan
:
1. S1 Fak. Hukum UNDIP 2. S2 Magister Ilmu Hukum UNDIP
xvi
2.2.2. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir No
Tahun
Judul Penelitian
Pendanaan Sumber
Jml. (Rp)
1
2009
Implementasi Kebijakan Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri di Kota Semarang (sebagai ketua).
USM
2
2010
Efektifitas Pelaksanaan Sunset Policy dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di Kota Semarang (sebagai anggota).
USM
2.500.000
3
2010
Penerapan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Kebijakan Korporasi (sebagai ketua).
USM
2.500.000
4
2011
Kajian Normatif Penerapan Fungsi Pajak sebagai Instrumen Pelindung Lingkungan Hidup pada Peraturan Daerah Pajak Air Tanah dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan di Kota Semarang (sebagai anggota).
USM
2.500.000
5
2011
Implikasi Ketentuan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Kontrak Jasa Konstruksi (sebagai ketua).
LPJKD Semarang
34.000.000
6
2011
Penyelesaian Sengketa Bidang Perdagangan melalui Mekanisme Nonlitigasi (sebagai ketua).
USM
2.500.000
7
2011
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
USM
2.500.000
2.500.000
xvii
Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen (sebagai anggota). 8
2012
Implikasi dan Konsekuensi Hukum Pembubaran Perseroan Terbatas dalam Perspektif UU No. 40 Th. 2007 (sebagai ketua).
USM
2.500.000
9
2012
Persepsi Dosen mengenai Perlindungan Hak Cipta atas Buku dan Karya Tulis menurut UU No. 19 Th. 2002 tentang Hak cipta di Lingkungan Universitas Semarang (sebagai anggota).
USM
2.500.000
2.2.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir
No
Tahun
Judul Penelitian
Pendanaan Sumber
Jml.Rp.
1
2009
Penyuluhan Hukum mengenai UU No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang.
USM
1.500.000, -
2
2010
Penyuluhan Hukum mengenai UU No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang.
Mandiri
1.500.000, -
xviii
3
2011
Penyuluhan Hukum mengenai UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Kelurahan Sambiroto, Kota Semarang.
4
2011
Konsultasi Hukum tentang Prosedur Pengajuan Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama di Kelurahan Sambiroto, Kota Semarang.
Mandiri
1.500.000, -
USM
1.500.000, -
Semarang, 25 November 2013 Anggota Tim Peneliti 1,
Dewi Tuti Muryati, SH.,MH. 06557003801003
xix
2.3.
Biodata Anggota Peneliti 2 2.3.1. Identitas Diri
No.
Biodata
Uraian
1.
Nama Lengkap (dengan gelar)
Ani Triwati, S.H.,M.H.
2.
Jabatan Fungsional
Tenaga Pengajar
3.
Jabatan Struktural
-
4.
NIS / NIDN
06557003801050/0628107401`
5.
Tempat dan Tanggal Lahir
Semarang, 28 Oktober 1974
6.
Alamat Rumah
Perum Pedurungan Sari No.45, Jl.Wolter Monginsidi, Semarang.
7.
No. Telepon/Faks./HP
08156545354
8.
Alamat e-mail
[email protected]
9.
Mata Kuliah yang Diampu
1. Hukum Acara Pidana 2. Kemahiran Bantuan Hukum 3. Kemahiran Litigasi
10.
S-1 Fakultas HukumUSM Semarang
Riwayat Pendidikan
S-2 Magister IlmuHukum UNDIP
2.3.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir No.
Tahun
Judul Penelitian
Pendanaan Sumber
1.
2011
Perlindungan Hukum Bagi USM
Jumlah Rp.2.500.000,00
Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.
2012
Fungsionalisasi
Lembaga USM
Rp.2.500.000,00
Praperadilan dalam Perkara Pidana
xx
2.3.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No.
Tahun
Judul Pengabdian Kepada
Pendanaan
Masyarakat 1.
2011
Konsultasi
Hukum USM
Prosedur Gugatan
Sumber
Jumlah Rp.1.500.000,000,-
Pengajuan Perceraian
di
Pengadilan Agama 2.
2012
Penyuluhan Mengenai
Hukum Mandiri Kekerasan
dalam Rumah Tangga 3.
2012
Penyelesaian
Perkara Mandiri
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Semarang,25 November 2013 Anggota Tim Peneliti 2,
Ani Triwati, S.H., M.H. NIS: 06557003801050
xxi
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
No.
Nama
NIDN
Bidang Ilmu
Alokasi
Uraian Tugas
Waktu (jam/minggu)
1.
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.
0614127801 Ilmu Hukum 12 (Hukum jam/minggu Pidana)
1. menyiapkan rancangan usulaan penelitian 2.mengkoordinir teknis Pengumpulan data 3.mengkoordinir pengolahan Data 4.mengkoordinir penyusunan laporan hasil penelitian 5.mempresentasik an usulan dan hasil penelitian
2.
Dewi Tuti Muryati,S.H., M.H.
0612045801 Ilmu Hukum 12 (Hukum jam/minggu Lingkungan)
3.
Ani
1.membantu menyiapkan rancangan usulan penelitian 2.menyiapkan sarana prasarana Penelitian 3.bersama-sama dengan ketua mengumpulkan dan mengolah data penelitian 4.bersama-sama dengan ketua menyusun laporan hasil penelitian 1.membantu
Triwati, 0628107401 Ilmu Hukum 12
xxii
S.H., M.H.
`
(Hukum Acara Pidana)
jam/minggu
menyiapkan rancangan usulan penelitian 2.menyiapkan sarana prasarana Penelitian 3.bersama-sama dengan ketua mengumpulkan dan mengolah data penelitian 4.bersama-sama dengan ketua menyusun laporan hasil penelitian
xxiii
Lampiran 3. Laporan Pengeluaran Biaya Penelitian
LAPORAN PENGELUARAN BIAYA PENELITIAN PENELITIAN DOSEN PEMULA TAHUN 2013 “ SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY ” 1. Honor Bukti Fisik
Ketua
Jumlah diterimakan (Rp) (sudah di potong pph 5% dari Rp 2.500.000,00) 1.425.000,00
Anggota 1
475.000,00
K.02
Anggota 2
475.000,00
K.03
Honor
Sub Jumlah
K.01
2.375.000,00
2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan Penunjang Material
Proposal
Justifikasi Pemakaian
Memperbanyak proposal (hardcopy) Dokumen/data Dokumen untuk bahan penelitian analisis Laporan Akuntabilitas Penelitian administrasi laporan Bahan Untuk disampaikan Presentasi dalam forum seminar seminar hasil hasil penelitian Buku Untuk proposal dan referensi penelitian
10 eks
35.000,00
Harga Peralatan Penunjang (Rp) 350.000,-
2.000 lbr
250,00
500.000,-
Kuantitas
Harga Satuan (Rp)
20 eks
75.000,00
1.500.000,-
20 x 50 = 1000 lembar
150,00
150.000,-
15 judul
100.000,00
1.500.000,xxiv
Tinta Refil (toner)
Tinta Refil (desk-jet)
Kertas HVS
Compact disc ATK lain (klip,pensil penghapus, spidol, blocknote Sub Jumlah
Untuk mencetak proposal, instrumen,dokumentasi data,laporan penelitian,dan lain-lain Untuk mencetak proposal, dokumentasi data, laporan penelitian, dan lainlain Untuk pembuatan proposal, dokumentasi data,laporan penelitian dan lain-lain Untuk merekam data dan dokumen lain Untuk tulis menulis dan keperluan pengadminisitrasian dokumen penelitian
2 tabung
350.000,-
700.000,-
4 botol
50.000,-
200.000,-
4 rim
40.000,-
160.000,-
1 pak
150.000,-
150.000,-
LS
750.000,-
750.000,-
5.960.000,00
3. Perjalanan Dinas Material
Perjalanan
Justifikasi Perjalanan
Kuantitas
Pembelian literatur
3 kali
Harga Satuan (Rp) 625.000,-
Sub Jumlah
Jumlah Harga (Rp) 1.875.000,1.875.000,-
4. Lain-lain Kegiatan
Pengumpulan analisis data
Justifikasi
Kuantitas
dan Untuk memperoleh 24 hari hasil, kerja pembahasan, dan simpulan penelitian
Harga Satuan (Rp) 10.000,-
Jumlah Harga (Rp) 240.000,-
xxv
Pengetikan laporan Draft laporan yang 100 lbr penelitian sudah selesai, diketik menjadi laporan final Penyelenggaraan Konsumsi,tenaga 50 pax seminar pembantu dan lainlain Publikasi Jurnal Ilmiah Sub Jumlah
2.000,-
200.000,-
20.000,-
1.000.000,-
725.000,-
725.000,2.165.000,-
Total Pengeluaran
12.500.000,-
5. Rekapitulasi Total Pengeluaran
12.500.000,00
Biaya disetujui
12.500.000,00
Saldo
0,00
Semarang, 25 November 2013 Ketua,
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. NIS.06557003801049
xxvi
Lampiran 4. Luaran (Artikel) ASAS STRICT LIABILITY DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Subaidah Ratna Juita, Dewi Tuti Muryati, Ani Triwati. Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang
ABSTRAK
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya. Oleh karena itu apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas strict liability. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak pidana lingkungan hidup.
xxvii
ABSTRACT Arrangement hits penal's accountability to corporation as agent acts penal environment as it were that available in UUPPLH constitutes legislation policy that gives legitimasi that corporation that accountability can one eye because have done conduct contempts of court irregardless its fault. Therefore if corporation does to act pidana environment so begets sacrilege or impacted environment impairment jeopardizes and disadvantaging to side any other, therefore bases rule that exists in UU No. 32 Years 2009 about protection and Environment Managements (UUPPLH) corporation that accountability can penal's with implemented base strict liability. This research constitute normatif's law research, which is research which emphasize on secondary data. As observational as normatif's law, therefore this research cover stocktaking research sentences positive, jurisdictional grounds, in concreto's jurisdictional find and law synchronization, so approaching that is utilized is normatif's judicial formality approaching, which is research which is focused for study norms's implement or positive law norms. Thus, normatif's judicial formality approaching in observational being utilized for menganalisis about problem which gets bearing with implemented base strict liability for corporation accountability as agent acts pidana at environment area. Key word:
corporation accountability, ground strict liability , environment criminal act.
xxviii
Memperhatikan
PENDAHULUAN Pertanggungjawaban pada
korporasi
pidana
akan
mendapat
kesulitan karena melekat pada sifat dasar
manusia
alamiah
seperti
kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan menentukan antara batas pengurus dan
korporasi
.
Sementara
perkembangan bermasyarakat bidang melahirkan
itu
kehidupan terutama
dalam
perekonomian
telah
korporasi-korporasi
dengan semangat kapitalisme yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya aspek viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi kerugian
terhadap
negara,
masyarakat, konsumen, perusahaan saingan, karyawan, pemegang saham
negatif
dari
dampak
pembangunan
modernisasi,
dan
khususnya
munculnya
tindak pidana
yang
dilakukan
oleh korporasi
dalam
bidang lingkungan hidup, wajar jika pusat perhatian penegakan hukum ditujukan
pada
upaya
penanggulangannya.
Salah satu
penanggulangannya
yang masih
dipermasalahkan
adalah
penggunaan sarana hukum pidana. Permasalahan subjek
tersebut
korporasi
meliputi
yang
masih
belum diakui secara tegas dalam hukum
pidana.
korporasi
Dan
kalaupun
diakui sebagai
pelaku
tindak pidana, bagaimana sistem pertanggungjawaban mengingat
pidananya
korporasi
bukanlah
manusia yang mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Di
samping
permasalahan
mapun biaya penegakan hukum yang
tersebut di atas (pertanggungjawaban
mahal.
pidana liability),
korporasi
/corporate
permasalahan
dalam viii
bentuk lain adalah bentuk-bentuk bidang
pembuktian
pelanggaran
lingkungan hidup
sangat sulit dan kompleks. mengatasi
kesulitan
di yang Untuk dan
dengan
adanya
masyarakat, pengakuan sebagai
perkembangan
dituntut
adanya
terhadap
korporasi
pelaku
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
dalam
kompleksitas pembuktian tersebut
hukum pidana (corporate liability).
muncul alternatif lain dalam hal
Terhadap
pertanggungjawaban
pertanggungjawaban
adanya
asas
pidana
pidana, yakni
pertanggungjawaban
terbatas/ketat
(strict
muncul asas strict
liability si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam
undang-
melihat
undang
tanpa
bagaimana
sikap
batinnya. Asas itu sering diartikan secara
singkat
sebagai
pertanggungjawaban
tanpa
kesalahan (liability without fault). Dengan demikian, asas strict
pidana, liability sebagai
pengecualian dari asas kesalahan.
liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict
sistem
Munculnya
sistem
pertanggungjawaban pidana seperti tersebut
di
atas
menimbulkan
tentu
pertanyaan
berkaitan dengan
asas
saja yang
kesalahan
yang dianut hukum pidana selama ini.
Harus
diakui
bahwa
asas
asas
yang
kesalahan merupakan
sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan
pelaku
liability di atas yakni mengenai
delik. Dikatakan demikian, karena
subjek delik dan mengenai asas
pidana
kesalahan,
kepada
perkembangannya
di
dalam
hanya pelaku
dapat
dijatuhkan
delik
yang
mengalami
mempunyai kesalahan dan mampu
perluasan. Terhadap subjek delik,
bertanggung jawab. Namun di pihak ix
lain,
karena
kemajuan
pengetahuan
dan
ilmu
teknologi,
korporasi sebagaimana dalam Pasal 59
KUHP
tidak
cukup
untuk
tampaknya penyimpangan terhadap
mengadakan represi terhadap tindak
asas kesalahan
pidana yang dilakukan korporasi.
itu juga akan
berpengaruh terhadap hukum pidana. Apabila harus
penyimpangan diterapkan,
asas
akan
pertanyaan
itu
timbul
bagaimanakah
perkembangan
sistem
pertanggungjawaban pidana di era sekarang
ini,
bagaimana
sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum
pidana
nasional,
pertanggungjawaban pidana dalam
Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya
sangat
luas,
guna
mencegah luasnya cakupan tersebut, dan untuk memudahkan pembahasan maka perlu dilakukan pembatasan permasalahan. Adapun permasalahan dalam
penelitian
ini
dapat
dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
kedudukan
hukum pidana nasional yang akan
korporasi sebagai subjek hukum
datang.
(pelaku tindak pidana) dalam
Oleh karena itu hukum pidana harus
responsif
untuk
bidang lingkungan hidup? 2. Bagaimana
sistem
menanggulangi tindak pidana di
pertanggungjawaban
bidang
terhadap korporasi sebagai pelaku
lingkungan
hidup
yang
dilakukan oleh korporasi dengan
tindak
menempatkannya
lingkungan
sebagai
subjek
hukum dalam hukum pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan
sehingga
memberikan
(deterent
effect).
pemidanaan
efek
Harus
terhadap
jera diakui
pengurus
pidana hidup
pidana
di
bidang
berdasarkan
asas strict liability? Berdasarkan
pertimbangan,
bahwa masih sedikit kajian atau penelitian dan literatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana x
terhadap korporasi dalam bidang
pada
lingkungan
berdasarkan
penelitian hukum normatif, maka
pendekatan asas strict
penelitian ini meliputi penelitian
sebagai alternatif bentuk
inventarisasi hukum positif, asas-
perspektif liability
hidup
pertanggungjawaban
sekunder.
Sebagai
oleh
asas hukum, penemuan hukum in
liability)
concreto dan sinkronisasi hukum,
sebagai pelaku tindak pidana di
sehingga pendekatan yang digunakan
bidang lingkugan hidup, sekaligus
adalah pendekatan penal. Sebagai
sebagai respon atas keadaan di atas
pendekatan
dengan tujuan melengkapi literatur
dikatakan
maka penelitian ini mendapatkan
menggunakan pendekatan yuridis-
urgensinya.
yang
normatif.
Pendekatan
yuridis-
dilakukan
normatif
digunakan
untuk
korporasi
pidana
data
(corporate
Penelitian
komprehensif,
dan
berdasarkan
kajian
diharapkan
dapat
normatif
ini
memberikan
penal,
maka
dapat
penelitian
ini
menganalisis
permasalahan
berkaitan
dengan
yang sistem
gambaran yang jelas mengenai asas
pertanggungjawaban
strict liability
sebagai alternatif
tindak pidana lingkungan hidup,
bentuk pertanggungjawaban pidana
yang dikaji melalui asas Strict
oleh korporasi (corporate
Liability.
sebagai pelaku
liability)
tindak pidana di
bidang lingkungan hidup.
Spesifikasi Penelitian
permasalahan
yang
mendasari
penelitian ini, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif-
Metode Pendekatan ini
pada
Bertitik-tolak dari judul dan
METODE PENELITIAN
Penelitian
pidana
merupakan
analitis,
yaitu
menggambarkan
penelitian hukum normatif, yaitu
peraturan perundang-undangan yang
penelitian
berlaku / hukum positif
yang
menitikberatkan
dikaitkan xi
dengan teori hukum dan praktek
yaitu data yang bersumber dari
pelaksanaan hukum positif dalam
penelitian kepustakaan yaitu data
masyarakat.
deskriptif
yang diperoleh tidak secara langsung
untuk
dari sumber pertamanya, melainkan
memecahkan masalah yang ada pada
bersumber dari data-data yang sudah
masa
terdokumenkan dalam bentuk bahan-
Penelitian
merupakan
penelitian
sekarang
dengan
(masalah
aktual)
mengumpulkan
data,
menyusun,
mengklasifikasikan,
menganalisis
dan
mengintepretasikannya.40
Dengan
demikian, dari penelitian ini dapat memberikan
gambaran
mengenai
bahan hukum yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan seperti : -
sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup dengan
melakukan
reorientasi
Undang-Undang
-
1946
tentang
Peraturan
Hukum
Pidana
(Kitab
Undang-Undang
Undang-Undang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data studi
kepustakaan atau dokumen (library research).
Studi
2009
32
tentang
Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pendekatan yang
adalah
No.
Perlindugan dan Pengelolaan
Metode Pengumpulan Data
dipergunakan
1
Tahun
Tahun
yang
No.
Hukum Pidana/ KUHP);
tentang asas strict liability sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana.
Perundang-undangan
kepustakaan
dilakukan terhadap data sekunder,
-
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1999
tentang
AMDAL b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan
yang
memberikan
penjelasan mengenai
bahan
40
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 36.
hukum primer, seperti : xii
-
Buku-buku hukum dan non hukum
-
yang
Metode Analisis Data
berkaitan
Analisis data dilakukan secara
dengan objek yang diteliti.
kualitatif
Hasil-hasil
penelitian
serta dilakukan kategorisasi. Analisis
lainnya
kualitatif yaitu metode analisis yang
maupun
literatur
kemudian
yang berkaitan dengan obyek
pada
penelitian..
pemikiran logis, analisis dengan
c. Bahan Hukum Tersier
dasarnya
diidentifikasi
menggunakan
logika . Dengan induksi, deduksi,
Bahan hukum tersier adalah
analogilinterpretasi, komparasi dan
bahan
sejenis itu.
yang
memberikan
Metode berpikir yang
petunjuk maupun penjelasan
digunakan adalah metode deduktif
mengenai bahan hukum primer
yaitu dengan berdasarkan pada dasar
dan tersier seperti :
pengetahuan yang bersifat umum
-
Kamus Hukum
untuk mengkaji persoalan-persoalan
-
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia -
yang bersifat khusus. Dari hasil analisis
Ensiklopedi,
majalah-
majalah hukum, jurnal-jurnal
tersebut
kemudian
akan
ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.
hukum, surat kabar serta membaca lainnya
berkas-berkas yang
dianggap
relevan dengan penelitian ini, yang kemudian
dilakukan
inventarisasi sesuai dengan permasalahan dikemukakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kedudukan
Korporasi
sebagai
Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup
yang Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai subyek hukum. Pandangan tentang xiii
subyek hukum pidana di bidang
dikenakan
hukum pidana umum yang hanya
manusia.
terhadap
terbatas pada orang pribadi, tidak
d. Hukum
acara
dapat dilepaskan dengan sejarah
tidak
pembentukan WvS Nederland tahun
ketentuan
1881, dimana pada dasarnya hanya
terhadap korporasi.
pidana
mengandung tatacara
manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni dapat diketahui dari :
Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum. Dalam lalu lintas
a. Memory van Toelichting
hukum diperlukan sesuatu hal lain
Pasal 51 WvS Nederland
yang bukan manusia yang menjadi
(Pasal 59 KUHP): suatu
subyek hukum. Di samping orang
strafbaarfeit
dapat
dikenal juga subyek hukum yang
diwujudkan oleh manusia
bukan manusia yang disebut badan
dan fiksi tentang badan
hukum.
hukum tidak berlaku dalam
organisasi atau kelompok manusia
bidang hukum pidana.
yang mempunyai tujuan tertentu
hanya
Badan
hukum
adalah
b. Uraian delik dalam banyaak
yang dapat menyandang hak dan
pasal WvS selalu dimulai
kewajiban. Negara dan perseroan
dengan “Barang Siapa” dan
terbatas misalnya adalah organisasi
sering disyaratkan adanya
atau
berbagai
merupakan
badan
hukum
seperti sengaja dan lalai,
(Korporasi).
Korporasi
sebagai
faktor mana hanya dapat
pembawa hak yang tak berjiwa dapat
dimiliki oleh manusia.
bertindak sebagai
faktor
manusia,
c. Sistem pidana terdiri dari
kelompok
manusia
yang
pembawa hak
manusia, misalnya: dapat melakukan
pidana kekayaan dan pidana
persetujuan-persetujuan,
badan
kekayaan yang sama sekali terlepas
hanyalah
dapat
memiliki
xiv
dari kekayaan anggota-anggotanya.
supaya korporasi dalam menjalankan
Bedanya subyek hukum orang
usahanya tidak melakukan tindakan-
dengan subyek hukum badan hukum
tindakan yang melanggar ketentuan
adalah bahwa badan hukum itu tidak
hukum dan merugikan masyarakat
dapat melakukan perkawinan dan
umum. Oleh karena itu, pengaturan
tidak
korporasi
dapat
dipidana
penjara.
sebagai
subjek
tindak
Penentuan atau perluasan badan
pidana berikut pertanggungjawaban
hukum sebagai subyek hukum adalah
pidananya
karena sesuatu kebutuhan, terutama
KUHP agar dapat mengakomodir
dalam
perpajakan,
pengaturan seperti tersebut di atas,
perekonomian dan keamanan negara,
dan tentu saja dengan tetap mengacu
yang
pada
soal
disesuaikan
dengan
perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya,
manusialah
merasakan
atau
yang
ditempatkan
KUHP
sebagai
di
luar
pedoman
umum. Pada umumnya tindak pidana hanya
dapat
dilakukan
oleh
menderita
manusia atau orang pribadi. Oleh
pemidanaan itu. Dengan demikian
karena itu hukum pidana selama ini
dapat
subyek
hanya mengenal orang seorang atau
hukum baik orang maupun korporasi
kelompok orang sebagai subyek
adalah segala sesuatu yang dapat
hukum, yaitu sebagai pelaku dari
memperoleh,
suatu tindak pidana. Hal ini bisa
dikatakan,
bahwa
mempunyai
atau
menyandang hak dan kewajiban. Seiring dengan perkembangan masyarakat,
sangat
KUHP yang dimulai dengan kata
perlu
“barangsiapa” yang secara umum
korporasi
mengacu kepada orang atau manusia.
sebagai subjek tindak pidana agar
Dengan melihat gejala pelanggaran
dapat dibebani pertanggungjawaban
hukum yang dapat dilakukan oleh
pidana apabila melakukan kejahatan,
suatu badan hukum yang merugikan
untuk
dirasa
dilihat dalam perumusan pasal-pasal
menempatkan
xv
masyarakat, maka kedudukan badan
menuntut
hukum mulai diperhatikan tidak saja
melakukan
menjadi subjek hukum perdata, tetapi
tersebut.
juga menjadi subjek dalam hukum
dalam UUPPLH 2009 namun seluruh
pidana, sehingga dapat dituntut dan
tindak
dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
diidentifikasi
Korporasi dijadikan sebagai
subjek
hukum yang
kejahatan
Bukan saja tindak pidana
pidana
(crime)
dengan
dapat
timbulnya
kerugian (harm), yang kemudian
subjek hukum pidana merupakan
mengakibatkan
kebijakan legislatif dalam produk
pertanggungjawaban
perundang-undangan dewasa ini. Hal
criminal liability.
ini sejalan dengan perkembangan
korporasi
lahirnya pidana
atau
Apabila meninjau pada Kitab
dunia internasional dan pendapat
Undang-undang
Hukum
para sarjana yang secara teoritis
(KUH
Indonesia
mengatakan bahwa korporasi dapat
dianggap sebagai subyek hukum
diterima
pidana hanyalah orang perseorangan
sebagai
subjek
hukum
pidana (bukan lagi suatu fiksi). Secara
umum,
baik
Pidana)
Pidana yang
dalam konotasi biologis yang alami dalam
(naturlijkee
person).
Selain
itu,
sistem hukum common law maupun
KUHP juga masih menganut asas
civil law, sangat sulit untuk dapat
sociates
mengartikan suatu bentuk tindakan
dimana badan hukum atau korporasi
tertentu (actus reus atau guilty act),
dianggap tidak dapat melakukan
serta membuktikan unsur mens rea
tindak pidana.
(criminal act). Oleh karena itu,
pemikiran
kejahatan
memiliki
KUH Pidana itu adalah bahwa
karakteristik yang lebih khusus dari
kejahatan tidak dapat dilakukan oleh
pada kejahatan perorangan, karena
sebuah korporasi, karena walaupun
kejahatan korporasi lebih bersifat
tindak pidana tersebut dilakukan oleh
abstrak
korporasi, tetapi tindak pidana tetap
korporasi
untuk menyangka dan
delinquere
yang
non
potest
Jadi, dasar digunakan
oleh
xvi
dilakukan oleh orang persorangan
lebih khusus, yaitu Undang-undang
atau legal persoon.
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlu pembuat
diketahui
bahwa,
undang-undang
dalam
Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
harus
Pengakuan korporasi sebagai
merumuskan
delik
Perlindungan
dan
memperhitungkan bahwa manusia
subjek
melakukan tindakan di dalam atau
dipertanggungjawabkan
secara
melalui
organisasi
pidana
pidana
hukum
keperdataan
luarnya
(seperti
yang
dalam
maupun
dalam
hukum
Pengelolaan
pada
yang
tindak
dapat
di
lingkungan hidup ditegaskan dalam
hukum
Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun
lingkungan hidup), yang akan lahir
2009
sebagai satu kesatuan yang diakui
Pengelolaan
serta mendapat perlakuan sebagai
yaitu “Setiap orang adalah orang
badan hukum atau korporasi. Oleh
perseorangan atau badan usaha, baik
karena itu, dalam KUH Pidana,
yang berbadan hukum maupun yang
pembuat
undang-undang
tidak berbadan hukum”. Apabila
merujuk
pada
pengurus
dapat atau
tentang
diterjemahkan
Perlindungan Lingkungan
dan
Hidup,
lebih jauh bahwa
komisaris korporasi apabila mereka
subjek hukum dimaksud dalam Pasal
berhadapan dengan situasi seperti itu.
1 angka 32 UUPPLH 2009
Sehubungan
itu,
adalah orang, badan hukum, dan
Undang-undang
tidak berbadan hukum. Berbadan
Hukum Pidana Indonesia belum
hukum dan tidak berbadan hukum
mengatur secara tersurat mengenai
maksudnya adalah korporasi. Maka,
tindak kejahatan yang dilakukan oleh
subjek tindak pidana yang dimaksud
korporasi,
pidana
dalam hal ini adalah korporasi. Perlu
korporasi dalam bidang lingkungan
diketahui, bahwa seseorang atau
hidup
dapat
badan hukum atau suatu korporasi
menggunakan undang-undang yang
yang melakukan kejahatan dapat
mengingat
Kitab
maka
di
dengan
ini
tindak
Indonesia,
xvii
digolongkan ke dalam dua kategori,
pertanggungjawaban
yaitu tindakan yang merupakan mala
kesalahan.
in se atau perbuatan yang merupakan
dalam
hukum
mala in prohibita. Tindakan yang
mesti
harus dibuktikan ada atau
termasuk
tidaknya kesalahan si pembuat.
mala
in
se,
adalah
Jadi,
tanpa kesalahan
lingkungan
di tidak
perbuatan yang melawan hukum,
Mengenai hal tersebut di atas,
ada atau tidak ada peraturan yang
UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,
melarangnya
bukan
misalnya
mencuri,
merupakan
menipu, membunuh, dan sebagainya.
penyimpangan
Sedangkan
yang
merupakan penyempurnaan terhadap
merupakan mala in prohibita adalah
asas umum, sebab kejahatan di
perbuatan
bidang lingkungan hidup tersebut
perbuatan
yang
dinyatakan
akan
dikategotikan
tetapi
melanggar hukum apabila ada aturan
saat
yang melarangnya misalnya aturan-
kejahatan yang luar biasa (extra
aturan lalu lintas.
oridnary
Selain dari pada korporasi
ini
asas
suatu
crime)
biasa
dalam hukum
pengaturannya
diatur
hal-hal
yang
juga
berkenaan
dengan pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban
sehingga
penanganannya harus dilakukan luar
yang diatur sebagai subjek hukum lingkungan,
sebagai
termasuk ada
dalam
hal
hal-hal
yang
dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum. Kejahatan
korporasi
mutlak ini tidak diatur di dalam
sebagaimana diatur dalam UU No.
KUH Pidana sebagai lex generalis.
32 Tahun 2009 merupakan rumusan
Karena
kejahatan
hukum
menggunakan dengan
pidana
pertanggungjawaban
kesalahan,
pertanggungjawaban menggunakan
masih
sementara mutlak
korporasi
sebagaimana
diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon,
ini
dapat dipidana berdasarkan UU No.
asas
32 Tahun 2009. Dalam hal ini, xviii
pertanggungjawaban
pidana
Sistem
(criminal liability) dari pimpinan
Pidana
korporasi
sebagai Pelaku Tindak Pidana di
pemberi
(factual
leader)
perintah
dan
(instrumention
giver), keduanya dapat dikenakan hukuman
secara
Pertanggungjawaban terhadap
Bidang
Korporasi
Lingkungan
Hidup
berdasarkan Asas Strict Liability
berbarengan.
Hukuman tersebut bukan karena
Strict Liability
adalah
perbuatan fisik atau nyatanya, akan
pertanggungjawaban
tetapi
yang
kesalahan
suatu
fault). Hal itu berarti bahwa si
berdasarkan
diembannya
di
fungsi dalam
tanpa
(liability
perusahaan. Kejahatan lingkungan
pembuat
yang didefinisikan di dalam undang-
jika
undang
perbuatan sebagaimana yang telah
ini
hanyalah
kerusakan
sudah
without
ia
dapat
telah
dipidana melakukan
lingkungan hidup yang disebutkan di
dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32
Undang tanpa melihat bagaimana
Tahun
sikap
2009,
yaitu
Perusakan
dalam
batinnya.
Undang-
Konsep
Strict
lingkungan hidup adalah tindakan
liability merupakan penyimpangan
yang
dari
menimbulkan
perubahan
asas
kesalahan
langsung
atau
tidak langsung
dirumuskan dalam pasal
terhadap
sifat
fisik
( 1)
hayatinya
yang
dan/atau
RUU
KUHP.
yang 38 ayat Bunyi
mengakibatkan
rumusannya adalah sebagai berikut
lingkungan hidup tidak berfungsi
: “Bagi tindak pidana tertentu,
lagi dalam menunjang pembangunan
undang-undang dapat menentukan
berkelanjutan.
bahwa seseorang dapat di pidana semata-
mata
karena
telah
dipenuhinya
unsur-unsur
tindak
pidana
tersebut
tanpa
memperhatikan adanya kesalahan”. xix
Untuk memahami lebih jauh latar
belakang
dicantumkannya liability
dan
alasan
asas
strict
itu ke dalam
tidak
dapat
dipertahankan
lagi
untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak
mungkin
apabila
tetap
konsep,
berpegang teguh pada asas mens-
dapat dilihat pada penjelasannya
rea untuk setiap kasus pidana dalam
berikut ini.:
ketentuan undang- undang modern
Ketentuan merupakan
dalam
suatu
ayat ini
perkecualian
sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
untuk
terhadap asas tiada pidana tanpa
menerapkan
kesalahan. Oleh karena itu, tidak
terhadap
berlaku juga bagi semua tindak
Praktek peradilan yang menerapkan
pidana, melainkan hanya untuk
strict
tindak
mempengaruhi
pidana
ditetapkan Untuk
oleh
tindak
tertentu
yang
undang-undang. pidana
tertentu
strict
liability
kasus-kasus
liability
tertentu.
itu
ternyata
legislatif
dalam
membuat undang-undang. Sering
dipersoalkan,
tersebut, pembuat tindak pidananya
apakah strict liability itu sama
telah dapat dipidana hanya karena
dengan
telah
unsur-unsur
Mengenai
tindak pidana oleh perbuatannya.
pendapat.
Di sini kesalahan pembuat tindak
menyatakan
pidana
merupakan
dipenuhinya
dalam
perbuatan
tersebut
diperhatikan.
Asas
melakukan tidak ini
lagi
dikenal
sebagai asas “strict liability”. Strict
liability
ini
pada
Alasan
absolute hal
itu
ada
Pendapat
dua
pertama
strict
liability
absolute
liability.
atau dasar pemikirannya
ialah seseorang melakukan (actus
liability.
yang
perbuatan reus)
telah terlarang
sebagaimana
awalnya berkembang dalam praktik
dirumuskan dalam undang-undang
peradilan
sudah dapat dipidana
di Inggris.
Sebagian
hakim berpendapat asas mens- rea
mempersoalkan
tanpa
apakah si pelaku xx
mempunyai kesalahan (mens rea)
itu
atau tidak. Jadi seseorang yang
salah satu ciri utama, tetapi
sudah melakukan perbuatan pidana
sama
menurut rumusan undang-undang
bahwa mens rea itu tidak
yang
disyaratkan
sudah
perbuatan
melakukan pidana
menurut
biasanya
merupakan
sekali
tidak
sebagai
tindak pidana
mutlak dapat dipidana. Pendapat
A
kedua menyatakan Strict liability
tindak
bukan Absolute liability. Artinya,
daging yang tidak
orang
untuk
telah
perbuatan
melakukan
terlarang
menurut
itu. Misalnya,
dituduh
melakukan
pidana
“menjual layak
dimakan
membahayakan
undang-undang tidak harus atau
atau
belum
Tindak pidana
tentu
unsur
pokok yang tetap ada untuk
rumusan undang-undang harus atau
yang
berarti
jiwa
karena kesehatan
orang
lain”.
dipidana.
Kedua
antara
lain,
hukum
dikemukakan juga oleh Smith dan
tindak
Brian Hogan, yang dikutip oleh
dipertanggungjawabkan
Barda Nawawi Arief. Ada dua
secara strict liability. Dalam
alasan
hal itu tidak perlu dibuktikan
pendapat
itu
yang dikemukakan
oleh
tindak pidana
Inggris
menurut termasuk
pidana yang
dapat
bahwa A mengetahui daging
mereka, yaitu : a. Suatu
ini
dapat
itu
tidak
layak
dipertanggungjawabkan
dikonsumsi,
secara Strict liability apabila
harus
dibuktikan,
bahwa
tidak ada mens rea yang
sekurang-kurangnya
A
perlu dibuktikan sebagai satu-
memang
satunya unsur untuk actus reus
(sengaja)
yang
Unsur
daging itu. Jadi jelas dalam
utama atau unsur satu-satunya
hal itu Strict liability tidak
bersangkutan.
tetapi
untuk tetap
menghendaki untuk
menjual
xxi
bersifat absolut.
Dalam hal itu memang ada
b. Dalam kasus-kasus liability
memang
dapat
diajukan
strict
Strict liability, yaitu berada di
tidak
jalan raya dalam keadaan
alasan
mabuk,
tetapi
A
dapat
pembelaan untuk “kenyataan
mengajukan
pembelaan
khusus” (particular fact) yang
berdasarkan
adanya
menyatakan
compulsion. Jadi, dalam hal
menurut
terlarang
undang-
undang.
Misalnya,
dengan
mengajukan
itu
pun
Strict
liability
bukanlah absolute liability.41
“reasonable
mistake”. Kita tetap dapat mengajukan
alasan
pembelaan untuk
keadaan-
Mardjono dalam
Reksodiputro
salah
memberikan
satu
tulisannya
jalan keluar untuk
keadaan lainnya. Contoh lain,
membenarkan
misal
strict liability di Indonesia yang
dalam
kasus
diterapkannya asas
“mengendarai kendaraan yang
menganut
membahayakan” (melampaui
Continental, yaitu :
batas
maksimum),
dapat
sistem
Berhubung
Eropa
kita
tidak
diajukan alasan pembelaan
mengenal
Strict
liability
bahwa
yang berasal dari system
hukum
dalam
mengenai
ajaran
kendaraan itu ia berada dalam
Anglo-Amerika
keadaan automatism. Misal
sebagai alasan pembenar
lain, A mabuk-mabukan di
dipergunakan ajaran feit materiel
rumahnya
Akan
yang berasal dari system hukum
tetapi dalam keadaan tidak
Eropa Kontinental. Dalam kedua
sendiri.
sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-kawannya diletakkan
di
jalan
dan raya.
tersebut,
maka dapat
41
Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), halaman 32-33.
xxii
ajaran
ini
atidaklah
asas kesalahan maka para ahli hukum pidana membatasi penerapannya hanya pada delik-delik tertentu saja. Kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delikdelik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences). Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, pencegahan terhadap polusi, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalulintas. 43
penting
adanya unsur kesalahan. Ajaran strict
liability
dipergunakan
hanya
untuk
tindak
pidana ringan (regulatory offences) yang hanya mengancam pidana denda, seperti pada kebanyakan public
welfare
Namun,karena mengambil
offences. kita
telah
alih konsep
yang
berasal dari system hukum yang berlainan
akarnya
kedalam
system hukum di Indonesia, maka memerlukan ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesiauntuk menjelaskan
konsep ini dengan
mengkaitkannya yang
sudah
pada
melembaga
hukum pidana Indonesia. Alasan
asas-asas
senada
dalam
42
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan untuk
menerapkan
liability juga
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan: Karena strict liability ini sangat jauh menyimpang dari
bahwa pertimbangan asas
strict
disamping perbuatannya
membahayakan
masyarakat juga
pembuktiannya yang sangat sulit. Kriteria
membahayakan
masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real
42
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), halaman 32.
crime), akan tetapi juga meliputi 43
Barda Nawawi Arief, halaman 29.
Op.Cit,
xxiii
“regulatory
offences”
seperti
dalam
KUHP
pelanggaran lalulintas, pencemaran
refleksi
lingkungan,
keseimbangan
dan
makanan,
obat-obatan
minuman
yang
tidak
memenuhi syarat kesehatan.
hukum
digunakan
pidana
untuk
merupakan
dalam
menjaga kepentingan
sosial. Dengan demikian, strict liability merupakan konsep yang
Muladi mengatakan bahwa “jika
baru
harus
menghadapi
digunakan dan diarahkan untuk memberikan dalam
perlindungan
menjaga
sosial
kepentingan
masalah yang demikian rumitnya,
masyarakat
sudah saatnya doktrin atas asas
aktivitas yang dapat menimbulkan
strict liability digunakan dalam
kerugian bagi masyarakat,
kasus-kasus pelanggaran terhadap
kerugian fisik, ekonomi maupun
peraturan mengenai kesejahteraan
social cost.45
umum”. dalam
Pembuktian
aktivitas-
baik
kesalahan
Selanjutnya Barda Nawawi
mempertanggungjawabkan
Arief memberikan kriteria batas-
pembuat bukan hal yang mudah.
batas
Jadi,
apabila
perumusan
konsep
strict
yang kita
liability dalam KUHP Indonesia
asas
merupakan
merupakan
masalah pembuktian
jalan
pemecahan
kesulitan kesalahan
pertanggungjawaban
dalam dan pidana.44
Lebih jauh Muladi mengatakan bahwa perumusan 44
terhadap
strict liability
Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38.
harus
diperhatikan
akan
menerapkan
strict
liability
yang
penyimpangan
dari
asas kesalahan.
Batas-batas
itu
adalah: 1) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan delik-delik baru itu mengancam kepentingan umum yang sangat luas dan eksistensi pergaulan hidup sebagai totalitas ? 45
Ibid.
xxiv
2)
Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasila membenarkan asas ketiadaan kesalahan sama sekali ? 46 Jadi inti masalahnya menurut
Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh mana makna kesalahan atau pertanggungjawaban harus
diperluas
pidana dengan
itu tetap
mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh
Barda
Nawawi
Arief
mengingatkan bahwa pertimbangan harus dilakukan dengan hati-hati sekali,
terlebih
pelompatan konsepsi
yang
drastis
kesalahan
diperluas sampai
melakukan
rupa
pada konsepsi ketiadaan
kesalahan sedemikian konsepsi
yang
diperluas
rupa sampai ketiadaan
pada
kesalahan
sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan
akar
yang
berdasarkan Pancasila. Penerapan asas strict liability itu sangat penting terhadap kasuskasus tertentu yang menyangkut membahayakan
paling
dan
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, halaman 141.
anti
kesehatan
keselamatan, serta moral
public.
Kasus-kasus
pencemaran
lingkungan
seperti hidup,
perlindungan konsumen, serta yang berkaitan dengan minuman keras, pemilikan senjata, dan pemilikan obat-obatan terlarang, merupakan kasus yang sangat memungkinkan untuk diterapkan strict liability. Kasus lingkungan,
pencemaran seperti
kasus
yang
terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi aparat
penegak
hukum
untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Hal
itu
disebabkan
untuk
hubungan
kausal
membuktikan
antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena
46
sosial atau
sosial, membahayakan
dari yang
sedemikian
dalam dari nilai- nilai keadilan
jaksa
tidak
dapat
membuktikan kesalahan tersebut, akhirnya terdakwa dibebaskan oleh xxv
hakim. Kesulitan yang serupa itu
dengan keras oleh undang-
banyak
undang karena dikategorikan
terjadi
lingkungan
pada kasus-kasus
yang lain. Padahal,
sebagai
aktivitas
akibat yang ditimbulkan sangat
kegiatan
yang
merugikan
potensial
masyarakat.
Disitu
bahaya kepada
asas strict liability.
keselamatan,
sangat
erat
kaitannya
publik
dengan
lebih
jelas
apa
yang
kesehatan, dan
moral
(a particular activity
potential danger of public
ketentuan tertentu dan terbatas. Agar
sangat
mengandung
tampak betapa urgennya penerapan
Jadi penerapan strict liability
atau
health,safety or moral). 4) Perbuatan
atau
aktivitas
menjadi landasan penerapan strict
tersebut secara keseluruhan
liability crime, dapat dikemukakan
dilakukan
patokan berikut :
melakukan pencegahan yang
1) Perbuatan itu tidak berlaku
precausions).
tindak pidana, tetapi sangat
Pengaturan
dan
tertentu,
cara
sangat wajar (unreasonable
umum terhadap semua jenis
terbatas
mengenai
pertanggungjawaban
pidana
terutama mengenai kejahatan
korporasi saat ini masih berada di
anti
luar Kitab Undang-Undang Hukum
sosial
atau
yang
membahayakan sosial. 2) Perbuatan bersifat (unlawful)
Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan
itu benar-benar
tidak dianutnya prinsip korporasi
melawan
hukum
sebagai subjek tindak pidana dalam
yang
sangat
KUHP
yang
berlaku
sekarang,
bertentangan dengan kehati-
karena subjek tindak pidana yang
hatian
diatur
yang
diwajibkan
hukum dan kepatutan. 3)
dengan
Perbuatan tersebut dilarang
hanyalah
dalam
KUHP
manusia
atau
sekarang orang
perorangan. Pengaturan semacam ini xxvi
lebih lanjut membawa konsekuensi
it intended to do something wrong,
yuridis
hanya
orang
This
perorangan
saja yang
dapat
referred to as Mens rea”.
dibebani
pertanggungjawaban
pidana
berupa
dan
dijatuhi
pidana,
mental
state
is
generally
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) korporasi pada tindak
sedangkan korporasi tidak. Seiring
pidana
dengan adanya kebijakan legislatif
Indonesia belum pernah terlaksana.
yang
Padahal konsep ini sangat baik untuk
mencantumkan
sebagai
subjek
korporasi
hukum
pidana
lingkungan
menjaga
hidup
keberlangsungan
di
hidup
seyogyanya diatur pula ketentuan
masyarakat yang menjadi korban.
secara rinci yang berkaitan dengan
Prinsip
permasalahan
pemidanaan
(strict liability) dalam UU No. 32
pidana
Tahun 2009 tentang Perlindugan dan
sistem
(pertanggungjawaban korporasi).
jawab
mutlak
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada
Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas,
tanggung
sehingga
harus
Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan),
Bagian
Ketiga
dibuktikan bahwa seseorang bisa
(Penyelesaian Sengketa Lingkungan
dipidana apabila memang terbukti
Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf
bersalah. Artinya tidak bisa secara
2,
otomatis sanksi pidana dialihkan dari
mendefinisikan asas strict liability
corporate crime menjadi personal
dengan tanggung jawab mutlak.
crime. Dalam
Pasal
hukum
pidana,
Pasal
88
tersebut
secara
berbunyi:
jelas
“Setiap
mutlak harus dibuktikan adanya
orang yang tindakannya, usahanya,
niat
dan/atau kegiatannya menggunakan
untuk
melakukan perbuatan
pidana. Inilah yang dimaksud asas
B3,
menghasilkan
mens rea (guilty mind) sebagaimana
mengelola limbah B3, dan/atau yang
dikatakan oleh Stevanus.“an act is a
menimbulkan
crime because the perso committing
terhadap
ancaman lingkungan
dan/atau
serius hidup xxvii
bertanggung
jawab
mutlak
atas
Tahun 2009 secara jelas bersifat
kerugian yang terjadi tanpa perlu
khusus karena unsur-unsurnya telah
pembuktian
kesalahan.”
secara khusus menunjuk kepada hal
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal
atau syarat tertentu sehingga dapat
88
32
diidentifikasi atau digolongkan ke
Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang
dalam bentuk pertanggungjawaban
dimaksud
tertentu. Unsur-unsur yang bersifat
unsur
Undang-Undang Nomor
dengan
“bertanggung
jawab mutlak” atau strict liability
khusus
adalah unsur kesalahan tidak perlu
pertanggungjawaban khusus itu ialah
dibuktikan oleh pihak penggugat
strict liability yang ciri utamanya
sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
antara
Ketentuan ayat
ini
lex
jawab langsung dan seketika pada
specialis
gugatan
tentang
saat terjadinya perbuatan, sehingga
perbuatan melawan hukum pada
tidak perlu dikaitkan dengan unsur
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi
kesalahan (fault, schuld). Dengan
yang dapat dibebankan terhadap
demikian pihak penggugat
pencemar atau perusak lingkungan
mengalami kerugian (injured party)
hidup
dapat
masih harus membuktikan bahwa
ditetapkan sampai batas tertentu,
kerugian yang dialami diakibatkan
yang
oleh perbuatan atau kegiatan tergugat
dalam
menurut
dimaksud
sebagai
Pasal
ini
dengan
“sampai
yang
lain
batas waktu tertentu” adalah jika
(atau
menurut
diistilahkan
penetapan
perundang-undangan keharusan
asuransi
peraturan ditentukan bagi
causal
para
mencirikan
timbulnya
tanggung
tergugat). dengan
link
yang
Hal
ini
pembuktian
(kausalitas)
atau
usaha
hubungan sebab akibat. Hal ini
dan/atau kegiatan yang bersangkutan
sebagaimana yang ditegaskan dalam
atau telah tersedia dana lingkungan
Green
hidup.
Environmental
Rumusan Pasal 88 UU No. 32
Paper
on
Remedying
Damage
sebagai
berikut: “Strict liability or liability xxviii
without fault, eases the burden of
(logika) hukum yang umum bahwa
establishing liability because fault
tidaklah mungkin untuk menentukan
need not to be established. However,
seseorang bertanggung jawab pada
the injured party must still prove that
suatu hal yang merugikan seseorang,
the damage was caused by some
sebelum
ia dinyatakan bersalah.
one’s act…”.
Artinya
seseorang
Pasal
tidak
dapat
88 UU No. 32 Tahun
dibebankan kewajiban bertanggung
2009 mengandung beberapa unsur
jawab kecuali kalau bukan atas dasar
penting, yaitu:
kesalahan
a. Setiap orang
dengan
b. yang tindakannya, usahanya,
Liability”.
dan/atau
kegiatannya
menggunakan B3,
sebagaimana
prinsip
dari
“Tortious
dalam
strict
liability,
seseorang
c. menghasilkan
bertanggung
jawab
dan/atau
kapanpun kerugian timbul. Hal ini
mengelola limbah B3, dan/atau
berarti bahwa: Pertama, para korban
yang menimbulkan ancaman
dilepaskan dari beban berat untuk
serius
membuktikan
terhadap
lingkungan
hidup
kerugian yang terjadi
hubungan
tindakan indivual tergugat; Kedua, para
e. tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
“potential
polluter”
d)
unsur-unsur e)
tingkat
kegiatannya
care), maupun (level
of
dapat
activity). Dua hal ini merupakan
suatu
kelebihan strict liability dari konsep
pengertian yang tampaknya belum
kesalahan. Oleh karena sifat khasnya
umum dalam perangkat- perangkat
yang tegas dan keras, maka strict
hukum Indonesia. Dalam pengertian
liability tidaklah dapat dikenakan
diinterpretasikan
dan
di
akan
memperhatikan baik tingkat kehatihatiannya (level of
Berdasarkan unsur
adanya
kausal antara kerugiannya dengan
d. bertanggung jawab mutlak atas
atas,
Di
(fault)
sebagai
xxix
kepada
semua
kegiatan.
Hanya
ini pertimbangan risiko dan
kegiatan-kegiatan tertentu saja yang
manfaat
kegiatan
dapat
dilakukan
secara
dikenakan
Pertimbangan
strict
untuk
liability.
menentukan
telah memadai
sehingga dapat diperkirakan
ruang lingkup strict liability :
bahwa
keuntungan
yang
1. Tingkat risiko (the degree of
diperoleh akan lebih besar jika
risk); dalam hal ini risiko
dibandingkan dengan ongkos-
dianggap tinggi apabila tidak
ongkos yang harus dikeluarkan
dapat dijangkau oleh upaya
untuk
yang
bahaya.
lazim,
kemampuan
menurut
teknologi
yang
telah ada;
mencegah
timbulnya
Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga
2. Tingkat bahaya (the gravity of
dengan pertanggungjawaban tanpa
harm); dalam hal ini bahaya
kesalahan
dianggap sangat sulit untuk
liability without fault) adalah prinsip
dicegah
tanggung jawab tanpa keharusan
pada
saat
mulai
terjadinya; 3. Tingkat
untuk kelayakan
(no-fault
liability
membuktikan
or
adanya
upaya
kesalahan. Menurut Barda Nawawi
(the
Arief sering dipersoalkan, apakah
appropriateness); dalam hal ini
strict liability itu sama dengan
si penanggung jawab harus
absolute liability. Mengenai hal ini
menunjukkan upaya maksimal
ada dua pendapat. Pendapat pertama
untuk
terjadinya
menyatakan, bahwa strict liability
menimbulkan
merupakan absolute liability. Alasan
pencegahan
akibat
mencegah yang
kerugian pada pihak lain; 4. Pertimbangan
atau
dasar
pemikirannya
ialah,
terhadap
bahwa dalam perkara strict liability
keseluruhan nilai kegiatannya
seseorang yang telah melakukan
(value of activity); dalam hal
perbuatan
terlarang
(actus
reus) xxx
sebagaimana
dirumuskan
dalam
saxon, pembuktian ini lebih mudah
undang-undang sudah dapat dipidana
dan cenderung praktis dibandingkan
tanpa
dengan
mempersoalkan
apakah
si
sistem
pelaku mempunyai kesalahan (mens
Kontinental
rea) atau tidak. Jadi sesorang yang
Indonesia.
sudah
dapat
melakukan
menurut
tindak
rumusan
pidana
undang-undang
harus/mutlak dapat dipidana.
hukum
yang
Eropa
dianut
Pemidanaan
oleh
haruslah
dilihat
dari
dipertanggungjawabkan
perbuatan
seseorang.
demikian
Dengan
Pendapat kedua menyatakan,
pertanggungjawaban pidana selalu
bahwa strict liability bukan absolute
selalu tertuju pada pembuat tindak
liability, artinya orang yang telah
pidana tersebut. Pertanggungjawaban
melakukan
terlarang
pidana ditujukan kepada pembuat
tidak
(dader). Maka apabila orang yang
menurut
perbuatan undang-undang
harus/belum tentu dipidana. Menurut
melakukan
doktrin
tindak
strict
liability
pertanggungjawaban
(pertanggungjawaban
mutlak),
dikenakan
seseorang
sudah
kepada
pidana
maka
haruslah para
pelaku.
dapat
Pertanggungjawaban pidana hanya
dipertanggungjawabkan untuk tindak
dapat terjadi jika sebelumnya subyek
pidana tertentu walaupun pada diri
hukum pidana tersebut melakukan
orang itu tidak ada kesalahan (mens
tindak pidana. Sedangkan didalam
rea).
sistem hukum Common law system, Dalam
hukum
berlaku asas “actus non est reus, nisi
jawab
mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak
mutlak (strict liability), prinsip ini
dapat dikatakan bersifat kriminal jika
menegaskan pembuktian kesalahan
“tidak
berdasarkan sistem hukum Eropa
didalamnya.
Kontinental. Sebagai konsep yang
dalam sistem common law system,
berakar dari sistem hukum Anglo
bahwa
pidana,
Prinsip
lapangan tanggung
terdapat
kehendak Dengan
untuk
jahat”
demikian,
dapat xxxi
dipertanggungjawabkan
seseorang
kemudian
dinegasikan
Prinsip
karena melakukan tindak pidana,
tanggung jawab mutlak mutlak (strict
sangat ditentukan oleh adanya mens
liability). Pembuktian tidak semata-
rea pada diri seseorang tersebut.
mata dilihat apakah pelaku (dader)
Dengan demikian, mens rea yang hal
melakukan
tindak
ini dapat kita lihat dari rujukan
dituduhkan
melakukan
sistem hukum Civil law, atau dengan
atau tidak, tapi beban pembuktian
kata lain dapat kita sinkronkan
langsung
dengan ajaran “guilty of mind”,
terhadap pelaku (dader) terhadap
merupakan hal yang menentukan
kejahatan-kejahatan yang berkaitan
pertanggungjawban pembuat tindak
dengna sumber daya alam (termasuk
pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan
kejahatan lingkungan hidup). Prinsip
mens rea dalam common law sistem,
tanggung
pada
liability)
prinsipnya
sejalan
dengan
pidana
mutlak
jawab
yang
kesalahan
dibebankan
mutlak
dibebankan
(strict kepada
penerapan asas “tiada pidana tanpa
perusahaan lingkungan hidup yang
kesalahan” dalam civil law sistem.
nyata-nyata
Berdasarkan hal di atas, maka
melakukan
kesalahan/kelalaian
dalam
secara prinsip penggunaan doktrin
pengelolaan
hidup.
“mens rea” dalam sistem hukum
Dengan demikian, maka pembuktian
common law sejalan dengan asas
menjadi
“geen straf zonder schul beginsel”
diterapkan. Pembuktian ini praktis
dalam sistem hukum civil law. Maka
sehingga
untuk menentukan kesalahan dengna
unsur
menggunakan “tiada pidana tanpa
pelaku
kesalahan yaitu “Geen straf zonder
prinsip ini, praktis kejahatan yang
schuld, actus non facit reum nisi
berkaitan dengan lingkungan hidup
mens sir rea”, (aqua means rea atau
lebih banyak dibebankan kepada
“kehendak
perusahaan. Kasus Lapindo sebagai
jahat”).
Prinsip
ini
lingkungan
sederhana
tidak
yang
dan
perlu
memenuhi
dituduhkan
(dader).
mudah
kepada
Berangkat
dari
xxxii
contoh merupakan sebuah peristiwa yang
menarik.
pertanggungjawaban pidana.
Berlarut-larutnya
Prinsip tanggung jawab mutlak
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik
(strict liability) inilah salah satu
menarik
antara
Kepolisian
dan
solusi untuk menyelesaikan berbagai
belum
juga
kejahatan baik kesengajaan ataupun
dinyatakan lengkap (P21), berangkat
kelalaian dari korporasi lingkungan
dari pemahaman penegak hukum
hidup.
Prinsip
tanggung
yang
mutlak
mutlak
(strict
Kejaksaan
dan
tidak
menerapkan
prinsip
jawab liability)
tanggung jawab mutlak mutlak (strict
merupakan prinsip yang sederhana
liability). Sikap ngototnya penegak
dan
hukum untuk melihat keterlibatan
menyebabkan berbagai kejahatan di
pelaku (dader) kemudian terjebak
berbagai dunia dapat diselesaikan.
pembuktian
yang
mudah
dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung
PENUTUP Simpulan
jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para
pelaku
(dader)
melakukan
1. Pengakuan subjek
korporasi
hukum
sebagai
yang
dapat
perbuatan itu atau tidak, tapi penegak
dipertanggungjawabkan
secara
hukum bisa membuktikan, bahwa
pidana
pidana
karena kesalahan atau kelalaian dari
lingkungan
Lapindo,
dalam Pasal 1 angka 32 UU No.
menyebabkan
bencana.
pada
Dengan pembuktian yang sederhana
32
ini,
Perlindungan
maka
kasus
Lapindo
bisa
Tahun
tindak
hidup
ditegaskan
2009 dan
tentang
Pengelolaan
disidangkan dimuka hukum. Dan
Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap
korporasi yang bertanggung jawab
orang adalah orang perseorangan
dalam
dapat
atau badan usaha, baik yang
dan
berbadan hukum maupun yang
bencana
dipersalahkan
Lapindo
xxxiii
tidak berbadan hukum”. Apabila
limbah
B3,
dan/atau
yang
diterjemahkan lebih jauh bahwa
menimbulkan
ancaman
serius
subjek hukum dimaksud dalam
terhadap
Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009
bertanggung jawab mutlak atas
ini adalah orang, badan hukum,
kerugian yang terjadi tanpa perlu
dan
hukum.
pembuktian
unsur
kesalahan.”
tidak
Selanjutnya
dalam
penjelasan
tidak
berbadan
Berbadan hukum dan berbadan
hukum
maksudnya
adalah korporasi. Maka,
subjek
lingkungan
Pasal
88
Nomor
hidup
Undang-Undang
32
Tahun
tindak pidana yang dimaksud
dirumuskan
dalam hal ini adalah korporasi.
dimaksud dengan “bertanggung
2. Prinsip tanggung jawab mutlak
jawab mutlak” atau strict liability
(strict liability) dalam UU No. 32
adalah
Tahun 2009 tentang Perlindugan
perlu
dan
penggugat
Hidup
Pengelolaan pada
Lingkungan Bab
(Penyelesaian Lingkungan),
Bagian
(Penyelesaian Lingkungan
Hidup
bahwa
2009
unsur
yang
kesalahan
dibuktikan
oleh
sebagai
tidak pihak dasar
XII
pembayaran ganti rugi. Ketentuan
Sengketa
ayat ini sebagai lex specialis
Ketiga
dalam gugatan tentang perbuatan
Sengketa
melawan hukum pada umumnya.
Melalui
Besarnya nilai ganti rugi yang
Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88
dapat
secara jelas mendefinisikan asas
pencemar
strict liability dengan tanggung
lingkungan hidup menurut Pasal
jawab
tersebut
ini dapat ditetapkan sampai batas
berbunyi: “Setiap orang yang
tertentu, yang dimaksud dengan
tindakannya, usahanya, dan/atau
“sampai batas waktu tertentu”
kegiatannya menggunakan B3,
adalah jika menurut penetapan
menghasilkan dan/atau mengelola
peraturan
mutlak.
Pasal
dibebankan atau
terhadap perusak
perundang-undangan xxxiv
ditentukan
keharusan
asuransi
bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Saran Harus diatur secara eksplisit dalam
peraturan
perundang-
undangan
yang
menentukan
korporasi
sebagai
subjek
tindak
mengenai
kapan
suatu
pidana korporasi
dapat
dikatakan
melakukan tindak pidana. Demikian juga
halnya
dengan
ketentuan
mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang
dilakukan
korporasi
harus
diatur secara tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang dilakukannya dengan berlindung
dibalik
pengurus
korporasi.
DAFTAR PUSTAKA d. Buku-buku: Amirin, Tatang A. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Rajawali, 1990. Atmasasmita, Romli. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan LBH, 1989. Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996. Mikles, Matthrew B. & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992 Moljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1984. Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.
xxxv
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.
2000, Rancangan Undangundang Republik Indonesia Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Syahrin, Alvi. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Medan: Sofmedia, 2009. e. Peraturan Perundangundangan Sekretariat Negara RI. UndangUndang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946. Sekretariat Negara RI. UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2009. Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999.
f. RUU KUHP Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999xxxvi
Lampiran 5. Bahan Ajar (SAP Kejahatan Korporasi) SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah Kode Mata Kuliah Satuan Kredit Semester Semester Program Studi Proses belajar mengajar a. Dosen b. Mahasiswa Tujuan Instruksional Umum
DESKRIPSI MATA KULIAH
: Kejahatan Korporasi : HKS08656 : 2 (dua) SKS : VII (tujuh) : S.1. Ilmu Hukum : menjelaskan, memberikan contoh, diskusi, memberikan tugas terstuktur. : mendengarkan, mencatat, mempelajari, diskusi, mengerjakan tugas terstruktur. : Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan mengenai kejahatan yang secara faktual terjadi di masyarakat yang dilakukan oleh Korporasi dengan cakupan pengkajian tentang konsep kejahatan korporasi, kausa kejahatan korporasi, tipe kejahatan korporasi, pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan upaya penanggulangannya. : Mata kuliah yang mengkaji tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dari berbagai aspek secara komprehensif yang berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan di masyarakat.
Media : a. Papan tulis b. LCD c. Tatap Muka d. Diskusi Evaluasi : a. Hasil test b. Hasil ujian c. Penilaian terhadap hasil penugasa viii
Minggu
Pokok Bahasan
Sub Pokok Bahasan
(1)
(2)
(3)
1 dan 2
Pengantar
1. 2. 3. 4.
Deskripsi Singkat Mata Kuliah Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pengertian Korporasi Korporasi Sebagai Subyek Hukum Dalam Berbagai Lapangan Hukum 5. Pengaturan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Tindak Pidana 6. Pembagian Badan Hukum (Korporasi) 7. Urgensi Studi Kejahatan Korporasi
Tujuan Instruksional Khusus (4)
Sumber Pustaka
Media
Tugas
Keterangan
(5)
(6)
(7)
(8)
Mahasiswa mampu memahami 1. pengertian korporasi secara etimologis dan pendapat beberapa sarjana 2. bentukbentuk korporasi 3. posisi kajian korporasi dan manfaat mempelajrai korporasi 4. kriteria korporasi dalam
A,B,C,D,
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
Mengumpulka n dan Mempelajari Buku-buku Wajib.
E,F,G,H, I
ix
3-4
Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi
1. 2. 3. 4. 5.
Pengertian Kejahatan Korporasi Batas-Batas Kejahatan Korporasi Anatomi Kejahatan Korporasi Motif-Motif Kejahatan Korporasi Bentuk-Bentuk Kejahatan Korporasi 6. Korban Kejahatan Korporasi
konteks kejahatan korporasi 5. alasanalasan pihak yang pro dan kontra terhadap pertanggung jawaban pidana bagi korporasi Mahasiswa dapat memahami mengenai karakteristik kejahatan korporasi sehingga dapat menjelaskan perbedaannya dengan kejahatan konvensional
A,B,C,D, E, F.
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
Membuat Resume Buku A. Setiyono, tentang Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungja waban Korporasi dalam Hukum Pidana x
5-6
7
Sistem 1. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungja 2. Pertanggungjawaban Pidana waban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Korporasi Liability) 3. Pola Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi 4. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi 5. Doktrin Identifikasi 6. Doktrin Vicarious Liability 7. Doktrin Strict Liability
Mahasiswa dapat memahami mengenai teori, asas dan sistem pertanggungja waban pidana korporasi dengan merujuk pada KUHP, Peraturan perundangundangan di luar KUHP, dan RUU KUHP
A,B,C,D, E,F,G,H, I
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
Indonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Menganalisa beberapa Kejahatan yang terjadi di Indonesia,
Ujian Tengah Semester xi
8-9
Korban Kejahatan Korporasi
1. Karakteritik korban kejahatan korporasi 2. Bentuk-bentuk kerugian dari kejahatan korporasi : a.kerugian Materi b. kerugian bidang kesehatan dan keselamatan jiwa c. kerugian sosial moral 3. Jaminan perlindungan hukum bagi korban kejahatan korporasi pada berbagai peraturan perundang-undangan :
10
Pemidanaan terhadap Korporasi
12-13
Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan
a. Kompensasi b. Restitusi 1. Konsep Pemidanaan Terhadap Korporasi 2. Pengaturan Stelsel Pidana Terhadap Korporasi
1. Ruang Lingkup Kejahatan Korporas di Bidang Lingkungan Hidup 2. Korban Kejahatan Korporasi di
Mahasiswa dapat memahami mengenai karakteristik korban dengan berbagai bentuk kerugian yang dialami dan perlindungan hukum yang berhak diperoleh.
A,B,C,D, E,F,G,H, I,J
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
Mahasiswa mampu memahami sistem pemidanaan terhadap korporasi Mahasiswa dapat memahami Kejahatan
A, B, C, D,E, F.G,H,I,J
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
A, B, C, D,E, F.
Tatap Muka, LCD, Diskusi
Menganalis Kasus-kasus Kejahatan Korporasi di xii
Hidup
13
14
Bidang Lingkungan Hidup 3. Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup
Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup dan teori-teori Pertanggungja waban Pidana bagi Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup Penanggulanga 1. Macam dan bentuk sarana kontrol bagi Mahasiswa A, B, C, n Kejahatan upaya penanggulangan kejahatan dapat D,E, Korporasi korporasi : memahami F.G,H,I,J a. Upaya penanggulangan Non Penalteori-teori b. Upaya penanggulangan yang 2. Pengaturan sanksi pidana terhadap menjelaskan kejahatan korporasi dalam berbagaikejahatan dari peraturan perundang-undangan struktur sosial 3. Antisipasi terhadap perkembangan dan kejahatan korporasi di masa dampaknya mendatang Ujian Akhir Semester
.
Bidang Lingkungan Hidup
Tatap Muka, LCD, Diskusi .
xiii
DAFTAR PUSTAKA: A. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, 2003 B. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, 2003 C. Gibert Geiss dan Robert F Meier, Corporate Crime, 1989 D. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2013 E. I.S.Susanto, Diktat Kejahatan Korporasi, Semarang, UNDIP, 2005. F. J.E.Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995 G. ----------------------------, Kejahatan Korporasi, Bandung:Eresco, 1994 H. Marshall B Clinard dan Peter C Yeager, Corporate Crime, New York: The Free Press, 1980 I. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009. J. Penanggulanggan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratifsuatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
xiv
xv
16