LAPORAN AKHIR ANALISIS PEMBEBASAN BEA MASUK BIJI KAKAO
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, laporan akhir Analisis Pembebasan Bea Masuk Biji Kakao dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Indonesia merupakan negara produsen ketiga dalam produksi Biji Kakao dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) dan Ghana dan juga sebagai salah satu eksportir utama Biji Kakao dunia. Namun demikian, dalam perkembangannya produksi Biji Kakao lokal mengalami penurunan dan berpengaruh terhadap kinerja industri pengolahan Kakao dalam negeri yang sedang berkembang pasca kebijakan pengenaan kebijakan bea keluar. Kini industri pengolahan Kakao domestik menghadapi kendala keterbatasan atas pasokan Biji Kakao sehingga memaksa untuk melakukan importasi dari luar negeri dengan menanggung beban tarif bea masuk sebesar 5% yang dirasakan sangat membebani. Permasalahan ini menjadi sangat kompleks, padahal industri pengolahan Kakao domestik mempunyai peranan penting di dalam penyerapan tenaga kerja, investasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dan perolehan devisa negara. Oleh karena itu, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri melakukan analisis untuk mengetahui potensi dampak pembebasan bea masuk Biji Kakao. Dengan selesainya laporan ini, tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sampai dengan terwujudnya laporan. Ucapan terimakasih secara khusus kami sampaikan kepada Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri yang telah senantiasa memberikan bimbingan baik substansi maupun motivasi,. Harapan kami, laporan analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan kebijakan.
Jakarta,
Juni 2014
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..iii DAFTAR TABEL ................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2 1.4 Output dan Manfaat Penelitian.................................................................. 2 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 2 1.6 Sistematika Laporan ................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 2.1 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional......................................... 5 2.2 Impor ............................................................................................................. 8 2.3 Tarif................................................................................................................ 9 2.4 Penelitian Sebelumnya ............................................................................. 11 BAB III METODE PENGKAJIAN ..................................................................... 14 3.1 Metode Analisis ......................................................................................... 14 3.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 14 BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA PRODUKSI DAN PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN INDONESIA ....... 15 4.1 Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia .................................... 15 4.2 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal dan Internasional . 20 4.2.1Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal .................. 20 4.2.2Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Internasional ..... 22 4.3 Perkembangan Kinerja Perdagangan Luar Negeri Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia .......................................................................... 23 4.3.1Perkembangan Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia ..................................................................................... 23 4.3.2Perkembangan Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia ..................................................................................... 29 4.4 Kebijakan Perdagangan atas Biji Kakao Indonesia ............................. 33 4.4.1Kebijakan Tarif Bea Masuk atas Biji Kakao Indonesia ......... 33 4.4.2Kebijakan Bea Keluar atas Biji Kakao Indonesia .................. 34 Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iii
4.5 Perkembangan Kinerja Industri Pengolahan Kakao Indonesia ......... 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 43 5.1 Harga Paritas Impor Biji Kakao Indonesia ............................................ 43 5.2 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Harga, Perdagangan, Penerimaan Negara, dan Kesejahteraan ............................................................................................ 45 5.3 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Petani dan Industri Pengolahan Kakao .............. 51 5.3.1Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Petani ..................................... 51 5.3.2Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Industri Pengolahan Kakao 52 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ....................... 54 6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 54 6.2 Rekomendasi Kebijakan .......................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55 LAMPIRAN 1: PERKEMBANGAN TARIF BEA MASUK BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN ............................................................................................... 58 LAMPIRAN 1 LANJUTAN: PERKEMBANGAN TARIF BEA MASUK BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN ....................................................................... 59
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Perkembangan Produksi Biji Kakao Beberapa
16
Negara Utama di Dunia Tabel 4.2
Produksi Biji Kakao Indonesia Berdasarkan
18
Program Gernas Kakao Tabel 4.3
Realisasi Nilai dan Volume Ekspor Biji Kakao
26
dan Kakao Olahan Indonesia Tabel 4.4
Realisasi Nilai Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan
Tabel 4.5
Realisasi Volume Ekspor Biji Kakao dan Kakao
28
Olahan Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tabel 4.6
Perbedaan Karakteristik Biji Kakao Afrika dan
29
Indonesia Tabel 4.7
Perkembangan Produksi, Impor, Kebutuhan
30
Industri dan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tabel 4.8
Realisasi Nilai dan Volume Ekspor Biji Kakao
31
dan Kakao Olahan Indonesia Tabel 4.9
Besaran Harga Referensi dan Tarif Bea Keluar
35
atas Ekspor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan PMK No. 67/PMK.011/2010 Tabel 4.10
Besaran Harga Referensi dan Tarif Bea Keluar
35
atas Ekspor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan PMK No. 75/PMK.011/2012 Tabel 4.11
Perkembangan Kinerja Industri Pengolahan
39
Kakao Indonesia Tabel 4.12
Perkembangan Kapasitas Terpasang Industri
40
Pengolahan Kakao Indonesia (Ton) Tabel 4.13
Produksi, Kebutuhan Industri, Ketersediaan
42
Pasokan, Ekspor dan Impor Biji Kakao Tabel 5.1
Perhitungan Harga Paritas Impor Biji Kakao
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44 v
Indonesia Tabel 5.2
Proyeksi Produksi, Kebutuhan Industri, Ekspor,
46
dan Impor Pada Bea Masuk Biji Kakao Dihapuskan Selama 1 Tahun Tabel 5.3
Hasil Analisis Pembebasan Tarif Bea Masuk
47
atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Tabel 5.4
Perubahan Nilai Pasokan Biji Kakao Indonesia
48
Akibat Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Tabel 5.5
Efek Perdagangan Pembebasan Tarif Bea
49
Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Tabel 5.6
Potensi Kehilangan Pendapatan Negara dari
50
Pembebasan Tarif Bea Masuk Biji Kakao
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Keseimbangan dalam Perdagangan
5
Internasional Gambar 2.2
Dampak Kebijakan Pengenaan dan
11
Pembebasan Tarif Bea Masuk Gambar 4.1
Produsen Utama Biji Kakao Dunia Tahun 2012
15
Gambar 4.2
Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia
17
Berdasarkan Sumber Data Gambar 4.3
Proyeksi Produksi Biji Kakao Indonesia Tahun
19
2014-2019 Gambar 4.4
Tata Niaga Biji Kakao di Sulawesi Selatan
20
Gambar 4.5
Perkembangan Harga Harian Kakao Non
21
Fermented di Tingkat Perkebunan Pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan Periode April 2012-Juni 2014 Gambar 4.6
Perkembangan Harga Harian Kakao Fermented
22
Tingkat Perkebunan Pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan Periode April 2012-Juni 2014 Gambar 4.7
Perkembangan Harga Rata-Rata Bulanan Biji
23
Kakao Internasional (ICCO) Periode Januari 2009-April 2014 Gambar 4.8
Sepuluh Negara Utama Eksportir Biji Kakao
24
Dunia dan Pangsa Nilai Ekspor dari Eksportir Biji Kakao Dunia Tahun 2009 Gambar 4.9
Eksportir Utama Biji Kakao Dunia Tahun 2013
24
Berdasarkan Nilai dan Volume Ekspor Gambar 4.10
Persentase Nilai Ekspor Biji Kakao dan Kakao
27
Olahan Gambar 4.11
Persentase Volume Ekspor Biji Kakao dan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
vii
Kakao Olahan Gambar 4.12
Persentase Nilai Impor Biji Kakao dan Kakao
32
Olahan Gambar 4.13
Persentase Volume Impor Biji Kakao dan
33
Kakao Olahan Gambar 4.14
Pangsa Impor Biji Kakao Berdasarkan
32
Pemasok Utama Gambar 4.15
Perkembangan Harga Referensi Internasional,
36
Bea Keluar, dan Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Gambar 4.16
Pohon Industri Kakao
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen ketiga dalam produksi Biji Kakao dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) dan Ghana. Namun demikian produksi Biji Kakao Indonesia sepanjang tahun 2009-2013 menunjukkan trend pertumbuhan negatif karena adanya penurunan produktivitas tanaman Kakao. Kondisi ini menyebabkan kontribusi ekspor Biji Kakao terhadap neraca perdagangan mengalami penurunan dan Indonesia jatuh menjadi posisi kelima sebagai eksportir Biji Kakao dunia pada tahun 2013. Penurunan produksi Biji Kakao lokal turut juga mempengaruhi kinerja industri pengolahan Kakao dalam negeri yang sedang berkembang pasca kebijakan pengenaan kebijakan bea keluar. Kini
industri
pengolahan
Kakao
domestik
menghadapi
kendala
keterbatasan atas pasokan Biji Kakao sehingga memaksa untuk melakukan importasi dari luar negeri dengan menanggung beban tarif bea masuk sebesar 5% yang dirasakan sangat membebani. Permasalahan ini menjadi sangat kompleks, padahal industri pengolahan Kakao domestik mempunyai peranan penting di dalam penyerapan tenaga kerja, investasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dan perolehan devisa negara. Untuk itu, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri berupaya untuk menganalisis potensi dampak dari kebijakan pembebasan bea masuk atas impor Biji Kakao sebagai salah satu alternatif kebijakan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan Kakao.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dijabarkan beberapa rumusan masalah yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa harga paritas impor Biji Kakao Indonesia?
2. Bagaimana potensi dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia terhadap petani, industri pengolahan Kakao dan pemerintah? 3. Bagaimana potensi dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia terhadap kinerja perdagangan dan kesejahteraan Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis harga paritas impor Biji Kakao Indonesia 2. Menganalisis potensi dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia terhadap petani, industri pengolahan Kakao dan pemerintah 3. Menganalisis potensi dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia terhadap kinerja perdagangan luar negeri Indonesia 4. Merumuskan rekomendasi dalam rangka penyusunan bahan kebijakan dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia
1.4 Output dan Manfaat Penelitian Output dari analisis ini berupa laporan dan bahan rekomendasi dalam rangka penyusunan kebijakan dampak pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia. Analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Analisis ini memfokuskan pada pembahasan dampak pembebasan tarif bea masuk Biji Kakao Indonesia dari segi ekonomi baik bagi petani, industri pengolahan Kakao dan pemerintah.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
1.6 Sistematika Laporan Laporan analisis ini terbagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan Penelitian
1.4
Output dan Manfaat Penelitian
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
1.6
Sistematika Laporan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan tentang Perdagangan Internasional
2.2
Impor
2.3
Tarif
2.4
Penelitian Sebelumnya
BAB III METODE PENGKAJIAN 3.1
Metode Analisis
3.2
Data dan Teknik Pengumpulan Data
BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA PRODUKSI DAN PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN INDONESIA 4.1
Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia
4.2
Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal dan Internasional 4.2.1 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal 4.2.2 Perkembangan
Harga
Biji
Kakao
di
Pasar
Internasional 4.3
Perkembangan Kinerja Perdagangan Luar Negeri Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia 4.3.1 Perkembangan Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia 4.3.2 Perkembangan Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia
4.4
Kebijakan Perdagangan atas Biji Kakao Indonesia
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
4.4.1 Kebijakan Tarif Bea Masuk atas Biji Kakao Indonesia 4.4.2 Kebijakan Bea Keluar atas Biji Kakao Indonesia 4.5
Perkembangan
Kinerja
Industri
Pengolahan
Kakao
Indonesia BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Harga Paritas Impor Biji Kakao Indonesia
5.2
Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji
Kakao
Indonesia
terhadap
Harga,
Perdagangan,
Penerimaan Negara, dan Kesejahteraan 5.3
Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji
Kakao
Indonesia
terhadap
Petani
dan
Industri
Pengolahan Kakao 5.3.1 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Petani 5.3.2 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor
BIji
Kakao
Indonesia
terhadap
Industri
Pengolahan Kakao BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1
Kesimpulan
6.2
Rekomendasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan tentang Perdagangan Internasional Salvatore (1997) berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang
mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara (Gambar 2.1). Perbedaan ini terjadi karena: (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola perdagangan internasional.
Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997)
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. 2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan
oleh
spesialisasi.
Walaupun
suatu
negara
dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri. 3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan
adanya
menjalankan
perdagangan
mesin-mesinnya
internasional, secara
pengusaha
maksimal,
dan
dapat menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri. 4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern Menurut teori keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara. John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif
terbesar
dan
mengimpor
barang
yang
memiliki
ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh memproduksi
banyaknya
barang
tenaga
tersebut
kerja
sedangkan
yang dicurahkan untuk dasar
nilai
pertukaran
ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006). Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan
pendapatan,
cadangan
devisa,
transfer
modal,
dan
bertambahnya kesempatan kerja. Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan wirausahawan, pola
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus
dikombinasikan
dan
bersifat
mendorong
pembangunan
perekonomian suatu negara. Kebijakan perdagangan internasional juga dapat ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant industry) dan
persaingan-persaingan
barang-barang
impor.
Adapun
tujuan
kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi adalah memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan
penerapan
berbagai
instrumen
kebijakan
perdagangan
internasional berupa hambatan perdagangan tarif maupun non tarif. Kebijakan
perdagangan
internasional
tidak
hanya
bersifat
untuk
melindungi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas.
2.2
Impor Impor merupakan kegiatan mendatangkan barang maupun jasa
dari luar negeri ke dalam wilayah pabean suatu negara. Pada dasarnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan. Pertama, produksi dalam negeri terbatas sedangkan permintaan domestik tinggi. Impor hanya sebagai pelengkap. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni (a) kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau (b) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang
negara
lain
dengan
tujuan
untuk
menjaga
dan
mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011). Pada umumnya, kebijakan impor dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kebijakan tarif dan kebijakan hambatan non-tarif. Tarif merupakan pengenaan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Kebijakan hambatan non-tarif adalah kebijakan perdagangan selain kebijakan tarif yang dapat menimbulkan distorsi sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Kebijakan hambatan non-tarif juga dapat didefinisikan sebagai langkahlangkah kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. Penggunaan kebijakan hambatan non-tarif bertujuan untuk mencapai efektivitas, konsistensi, kepastian, dan perlindungan perdagangan. Selain itu, kebijakan hambatan non-tarif tersebut ditujukan untuk melindungi kesehatan, keamanan, keselamatan, sanitasi, nutrisi, keagamaan, atau untuk melindungi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan tidak menciptakan hambatan perdagangan yang tidak berguna. Kebijakan hambatan non-tarif (non tariff measures, NTMs) mencakup berbagai jenis, yakni kuota impor, subsidi pemerintah, SPS, hambatan teknis, larangan, dan lain-lain.
2.3 Tarif Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Maksud utama pengenaan tarif biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan pemerintah, melainkan juga
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
sebagai alat untuk melindungi sektor-sektor tertentu di dalam negeri dan mengurangi tekanan persaingan produk impor. Tarif pun bertujuan untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional (C. Kebijaksanaan Impor). Efek kebijakan impor ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang, konsumsi, produk yang diproteksi, dan restribusi pendapatan. Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997) : 1. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain. 2. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. 2. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor. 3. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif spesifik. Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan parsial. Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan. Surplus produsen akibat adanya tarif bea masuk akan lebih kecil dibanding surplus konsumen. Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
Sementara tanpa kebijakan tarif yang dikenakan, harga yang berlaku di pasar dalam negeri akan sama dengan harga dunia (Pw). Pada posisi ini jumlah produksi menurun menjadi QS2, jumlah konsumsi menjadi naik menjadi Q2, jumlah impor pun meningkat menjadi QM2 dan penerimaan pemerintah dari tarif bea masuk akan hilang. Sementara itu, surplus produsen akan menurun yang makin jauh lebih kecil daripada surplus konsumen yang meningkat.
Gambar 2.2 Dampak Kebijakan Pengenaan dan Pembebasan Tarif Bea Masuk Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003).
2.4 Penelitian Sebelumnya Pada umumnya, beberapa penelitian terdahulu lebih membahas permasalahan pada industri pengolahan Kakao, tata niaga Kakao dan efek dari kebijakan pengenaan Bea Keluar atas Biji Kakao terhadap petani dan
industri
pengolahan
Kakao
di Indonesia.
Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha (2009) telah melakukan kajian yang membahas gambaran tata niaga dan hambatan distribusi kakao di Sulawesi dari petani sebagai produsen hingga pabrik cokelat sebagai konsumen akhir dan menganalisis struktur industri kakao di Sulawesi dan di Indonesia secara umum serta menganalisis perilaku usaha yang berpotensi melanggar persaingan usaha yang sehat. Studi tersebut menemukan Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
bahwa
persoalan
dalam
industri
Kakao
muncul
karena
tidak
tertintegrasinya antara petani dan pabrik pengolahan Kakao yang diperparah oleh sistem perdagangan kakao yang ada justru semakin mendistorsi hubungan antara pertanian dan pengolahan yang berujung pada inefisiensi. Oleh karena itu, studi ini menyarankan agar pemerintah seharusnya menyusun kebijakan yang mampu menyentuh persoalan pertanian,
perdagangan,
dan
industri
pengolahan
sekaligus
dan
kebijakannya harus dilakukan lintas instansi. Sementara,
Pusat
Kebijakan
Pendapatan
Negara
(2012)
menganalisis tentang perkembangan perekonomian Kakao nasional pasca kebijakan pengenaan Bea Keluar terhadap ekspor Biji Kakao dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 dan menemukan adanya kebangkitan industri pengolahan Kakao di Indonesia baik industri domestik maupun investasi baru dari perusahaan pengolahan Kakao multinasional pasca pemberlakuan kebijakan Bea Keluar Biji Kakao. Selain itu, hasil penelitian ini menemukan bahwa tingkat fermentasi Biji Kakao Indonesia belum sesuai
harapan
sehingga
dibutuhkan
strategi
komprehensif
dari
pemerintah dan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan Kakao untuk meningkatkan kualitas Biji Kakao Indonesia yang pada gilirannya memberikan nilai tambah bagi petani. Penelitian Rifin (2013) menemukan bahwa kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao telah berhasil komposisi produk dari Biji Kakao ke produk Kakao Olahan dan pertumbuhan ekspor Biji Kakao Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan Biji Kakao dunia akibat adanya penurunan daya saing. Sementara hasil penelitian Permani (2011) menyimpulkan bahwa kebijakan pengenaan Bea Keluar atas Biji Kakao Indonesia berada di atas tarif optimalnya. Adapun beberapa penelitian seperti penelitian Hadi dan Nuryanti (2005), Latifah et.al (2013) menemukan bahwa kebijakan proteksi berhasil secara signifikan menurunkan impor dan meningkatkan harga dalam negeri, produksi, surplus produsen, dan pendapatan petani. Hadi dan Nuryanti (2005) menemukan bahwa penghapusan salah satu kebijakan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
tarif maupun non tarif akan menyebabkan industri gula nasional terpuruk kembali
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan perhitungan harga paritas impor, simulasi SMART model dari WITS World Bank, dan proyeksi secara statistik untuk mengetahui dan menganalisis dampak pembebasan kebijakan tarif bea masuk atas impor atas Biji Kakao dari aspek ekonomi. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mengetahui dan menilai prospek dampak suatu kebijakan secara sederhana sehingga dapat menghasilkan hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pembuatan kebijakan untuk bertindak secara praktis.
3.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yakni data primer dan sekunder. Adapun data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, wawancara, dan rapat/ diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan terkait baik dari asosiasi, petani, eksportir, industri pengolahan maupun institusi-institusi pemerintah (Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, dan Kementerian Perdagangan) sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi yang diterbitkan oleh berbagai institusi (Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Kementerian
Perdagangan,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian
Perindustrian, ICCO, WITS World Bank, ITC, AIKI, dan sebagainya).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA PRODUKSI DAN PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN INDONESIA
4.1 Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) (2014) mencatat produksi Biji Kakao dunia pada tahun 2012 mencapai 5,0 juta ton. Pada tahun tersebut Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara produsen Biji Kakao dunia dengan jumlah produksi sebesar 936,3 ribu ton, setelah Pantai Gading (1,65 juta ton) dan berada satu peringkat di atas Ghana yang kuantitas produksinya hanya mencapai 879,3 ribu ton (Gambar 4.1). 10 PRODUSEN UTAMA BIJI KAKAO DUNIA TAHUN 2012 (DALAM RIBUAN TON)
GHANA (879,3)
REP. DOMINIKA (72,2) MEKSIKO (83) PERU (57,9)
PANTAI GADING (1.650)
INDONESIA (936,3)
NIGERIA (383)
BRAZIL (253,2)
EKUADOR (133.3)
KAMERUN (256)
Gambar 4.1 Produsen Utama Biji Kakao Dunia Tahun 2012 Sumber: FAO (2014), telah diolah kembali
International
Cocoa
Organization
(ICCO)
(2014)
justru
mempublikasikan produksi Biji Kakao dunia dan Indonesia jauh lebih rendah pada tahun 2011/2012 dibanding dengan data FAO (2014), yakni sebanyak 4,08 juta ton dan 440 ribu ton. ICCO (2014) juga mengestimasikan penurunan kuantitas produksi Biji Kakao Indonesia periode 2012/2013 dan 2013/2014 hingga masing-masing menjadi 420 ribu ton dan 410 ribu ton (Tabel 4.1). Selain itu, ICCO (2014) mencatat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
bahwa Indonesia merupakan negara produsen ketiga dalam produksi Biji Kakao dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) dan Ghana. Tabel 4.1 Perkembangan Produksi Biji Kakao Beberapa Negara Utama di Dunia
Sumber: ICCO ( 2014)
Merujuk pada data perkembangan produksi Biji Kakao Indonesia yang dipublikasikan oleh beberapa sumber data seperti Kementerian Pertanian (2014), Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), produksi Biji Kakao Indonesia sepanjang tahun 2009-2013 menunjukkan trend pertumbuhan negatif (Gambar 4.2). Kuantitas produksi Biji Kakao Indonesia sempat anjlok pada tahun 2011 hingga menyentuh angka volume produksi terendah sepanjang lima tahun terakhir (712,1 ribu ton). Penurunan Biji Kakao yang dihasilkan Indonesia dipicu oleh adanya penurunan produktivitas tanaman Kakao. Umur tanaman Kakao yang telah tua, kondisi tanaman yang rusak, dan tanaman kakao yang terkena penyakit pembuluh kayu Kakao serta beberapa jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Kakao lainnya adalah beberapa faktor
penyebab
penurunan
produktivitas
tanaman
Kakao
(Pusat
Kebijakan Pendapatan Negara, 2012).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
Pada tahun 2013 volume produksi Biji Kakao Indonesia yang dicatat oleh Kementerian Pertanian mencapai 777,5 ribu ton, naik dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 740,5 ribu ton. Kenaikan produksi Biji Kakao Indonesia pada tahun yang sama tersebut dicatat pula oleh beberapa instansi, seperti AIKI dan Kementerian Perdagangan. AIKI mencatat jumlah produksi Biji Kakao Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 482,2 ribu ton, naik 8,2% dari tahun 2012. Sementara itu, pada tahun yang sama Kementerian Perdagangan mencatat jumlah produksi Biji Kakao Indonesia berdasarkan perhitungan hasil konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao 1 sebanyak 616,9 ribu ton, naik dari tahun 2012 yang hanya mencapai 598,2 ribu ton. Berbeda halnya dengan Kementerian Pertanian, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), dan Kementerian Perdagangan yang mencatat adanya peningkatan dalam jumlah produksi Biji Kakao Indonesia, produksi Biji Kakao Indonesia yang dicatat oleh ASKINDO pada tahun 2013 justru menurun menjadi 450 juta ton, terkecil sepanjang tahun 2009-2013 (Gambar 4.2). 837.9
820.5 656.9 557.6
614.9 542.2
608.1 465.8
559.0
545.1
372.2
2009
2010
616.9
598.2 453.7
450.0 482.2
460.1
459.3
362.4
777.5
740.5
712.2
545.8
2011
551.4
2012
AIKI
ASKINDO
Kementerian Perdagangan **)
Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag)
569.9
2013
Kementerian Pertanian
Gambar 4.2 Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia Berdasarkan Sumber Data Sumber: AIKI, ASKINDO, dan Kementerian Perdagangan (2014), telah diolah kembali. 1
Komponen konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao sebagai berikut 100 kg Biji Kakao = 33 kg Cocoa Butter; 100 kg Biji Kakao = 80 kg Cocoa Liquor (Paste non defatted); 100 kg Biji Kakao = 47 kg Cocoa Powder; 100 kg Biji Kakao = 47 kg Cocoa Cake (Paste wholly defatted) (AIKI, 2014).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
Ditinjau berdasarkan perkembangan produksi selama tiga tahun terakhir (2011-2013), produksi Biji Kakao Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 4,5% per tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu kakao Nasional (Gernas Kakao) yang
digalakkan oleh pemerintah sejak tahun 2009
hingga 2013 berpengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi Biji Kakao Indonesia. Pada tahun 2013 jumlah produksi Biji Kakao Indonesia mencapai 777,5 ribu ton, naik 5% dari tahun 2012 (Gambar 4.2). Program Gernas
Kakao
mencakup
tindakan
peremajaan,
rehabilitasi
dan
intensifikasi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.2. Pada tahun 2014 seluas 450 ribu hektar dari total luas lahan Kakao nasional (1,6 juta hektar) mendapatkan program Gernas Kakao (27%). Adapun produksi Biji Kakao Indonesia dari pelaksanaan Gernas Kakao diperkirakan akan mencapai 439 ribu ton pada tahun 2014 kemudian menjadi 527 ribu ton pada tahun 2015 (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Produksi Biji Kakao Indonesia Berdasarkan Program Gernas Kakao
Sumber: Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (2014).
Dengan menggunakan perhitungan trend pertumbuhan produksi Biji Kakao Indonesia selama tahun 2011-2013 dari masing-masing sumber
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
data 2, maka pada tahun 2014 produksi Biji Kakao yang dihasilkan oleh Indonesia diprediksi akan mengalami peningkatan (kecuali
ASKINDO)
hingga menjadi berkisar 442,3 ribu ton–647,8 ribu ton. Sejalan dengan asumsi tersebut, produksi Biji Kakao Indonesia diproyeksikan akan mengalami peningkatan hingga tahun 2019 hingga mencapai 649 ribu ton (Rata-rata AIKI, ASKINDO, dan Kementerian Perdagangan). Selanjutnya, berdasarkan
perhitungan
Kementerian
Perdagangan
dengan
menggunakan konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao dan trend produksi Biji Kakao Indonesia selama 3 tahun terakhir yang cenderung naik sebesar
0,7%, maka produksi Biji Kakao Indonesia
diprediksikan akan terus meningkat hingga mencapai 644,1 ribu ton pada tahun 2019. Estimasi berdasarkan data AIKI menunjukkan produksi Biji Kakao diproyeksikan akan mencapai 558,3 ribu ton pada tahun 2019. Sebaliknya, prakiraan produksi Biji Kakao Indonesia menurut ASKINDO justru akan mengalami penurunan secara terus-menerus dari sebesar 442,3 ribu ton (2014) menjadi
405,8 ribu (2019) seiring dengan
pertumbuhan negatif sebesar 1,71% (Gambar 4.3).
582.4 506.4
494.2
442.3
2014* AIKI
434.7
2015* ASKINDO
595.2 518.9
427.3
2016*
608.2 531.7
420.0
2017*
Kementerian Perdagangan **)
644.1
639.5
634.9
630.3
625.8
621.4
621.5 544.8
412.8
2018*
635.1 558.3
649.0
405.8
2019*
Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag)
Gambar 4.3 Proyeksi Produksi Biji Kakao Indonesia Tahun 2014-2019 Sumber: Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (2014). 2
Trend produksi Biji Kakao Indonesia tahun 2011-2013: AIKI (2,47%); ASKINDO (-1,71%); Kementerian Perdagangan (0,72%); Rata-rata (AIKI, ASKINDO & Kementerian Perdagangan) (2,19%).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
4.2 Perkembangan
Harga
Biji
Kakao
di
Pasar
Lokal
dan
Internasional 4.2.1 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal Pada umumnya, para petani Kakao memperjual-belikan dua jenis Biji Kakao, yakni Biji Kakao yang tidak difermentasi (non-fermented) dan yang difermentasi (fermented). Sebagian besar petani lebih memilih untuk memperdagangkan Biji Kakao non-fermented karena selisih harga Biji Kakao fermentasi dan non-fermentasi hanya sekitar Rp. 2.000-3.000 per Kg
(Kurniawan,
Rosniawanty,
Tahir,
&
Syarrafah,
2014).
Untuk
mendapatkan Biji Kakao yang terfermentasi, petani membutuhkan waktu 5-6 hari dan biaya fermentasi yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 2.000/Kg (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009). Kerja keras untuk melakukan fermentasi tak sepadan dengan harga yang didapat Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi Biji Kakao terbesar di Indonesia yang juga menjadi pusat perdagangan Biji Kakao. Di Sulawesi Selatan, Biji Kakao di tingkat petani pada umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang antarkota, atau pedagang perantara. Para pedagang tersebut berperan sebagai perantara antara petani dengan pedagang eksportir atau industri pengolahan Kakao. Tata niaga Biji Kakao di Sulawesi Selatan dapat digambarkan seperti dalam Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Tata Niaga Biji Kakao di Sulawesi Selatan Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
Trend pertumbuhan positif terjadi pada harga harian Biji Kakao yang tidak difermentasi (non-fermented) di tingkat pedagang pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan sepanjang periode April 2012-Juni 2014. Harga harian Biji Kakao non-fermented sempat mengalami lonjakan yang signifikan hingga mencapai Rp. 315.000/Kg pada April 2014 dan 6 Mei 2014 (Gambar 4.5)
Gambar 4.5 Perkembangan Harga Harian Kakao Non Fermented di Tingkat Perkebunan Pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan Periode April 2012 – Juni 2014 Sumber: Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian,Kementerian Pertanian (2014).
Untuk Biji Kakao fermented, harga harian rata-rata di tingkat perkebunan pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan juga cenderung meningkat sepanjang periode April 2012-Juni 2014. Namun, harga Biji Kakao fermented sempat anjlok ke posisi terendah (Rp. 3.400/Kg) pada tanggal 24 April 2014, yang kemudian kembali meningkat ke posisi semula. Pada akhir bulan Juni 2014, harga Biji Kakao fermented di tingkat perkebunan pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan sebesar Rp. 37.800/Kg (Gambar 4.6).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
Gambar 4.6 Perkembangan Harga Harian Kakao Fermented di Tingkat Perkebunan Pengumpul di Makassar, Sulawesi Selatan Periode April 2012 – Juni 2014 Sumber: Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian (2014).
4.2.2 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Internasional Selama periode Januari 2009-April 2014, pertumbuhan harga ratarata bulanan Biji Kakao di pasar internasional cenderung menurun sebesar 0,41%. Harga rata-rata bulanan Biji Kakao di pasar internasional mencapai puncaknya pada bulan Januari 2010 sebesar US$ 3,53 ribu/ ton dan mencapai harga terendah pada bulan April 2013 (US$ 2,11 ribu/ton). Pasca terjadinya harga terendah tersebut, harga rata-rata bulanan Biji Kakao di tingkat internasional mengalami kenaikan dan harga rata-rata bulanan Biji Kakao internasional pada bulan April 2014 mencapai level US$ 2,97 ribu/ton (Gambar 4.7). Peningkatan harga Biji Kakao di pasar internasional tersebut dipicu oleh defisit ketersediaan pasokan Biji Kakao pada periode panen 2013/2014 akibat peningkatan konsumsi Cokelat baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang
(ICCO,
2013) dan permintaan yang tinggi dari Asia, seperti Indonesia yang meningkatkan
impor
Biji
Kakao
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengolahannya (ICCO, 2014).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
USD Ribu/Ton 4.00
3.53 (Jan-10)
3.50
2.97 (Apr-14)
3.00 2.50
2.11 (Apr-13)
2.00 1.50 1.00 0.50
Apr-14
Jan-14
Oct-13
Jul-13
Apr-13
Jan-13
Oct-12
Jul-12
Apr-12
Jan-12
Oct-11
Jul-11
Apr-11
Jan-11
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
Jan-09
-
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Rata-Rata Bulanan Biji Kakao Internasional (ICCO) Periode Januari 2009-April 2014 Sumber: ICCO (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
4.3 Perkembangan Kinerja Perdagangan Luar Negeri Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia 4.3.1 Perkembangan Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia Selain menduduki peringkat ketiga dalam produksi Biji Kakao dunia pada beberapa tahun terakhir, Indonesia juga merupakan salah satu eksportir utama Biji Kakao dunia. Pada tahun 2009 Indonesia menempati rangking ke-4 sebagai eksportir Biji Kakao utama dunia dengan nilai ekspor Biji Kakao Indonesia mencapai US$ 1,08 miliar (439,3 ribu ton) dan pangsa ekspor 13,2% dari nilai ekspor Biji Kakao dunia (Gambar 4.8).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
Tahun 2009 2,596.1
Nilai (Juta USD) Kuantitas (Ribu Ton) 1,250.9
917.7
1,088.8 1,087.5 543.4
241.0
395.7
439.3
194.0
470.8 167.5
342.6
293.8 143.7 93.1 127.0 96.5 56.7 35.0
Dominican Belgium Republic Estonia 3.6% 1.7% 1.1% Ecuador Others 4.1% 4.3% Netherlands Cameroon 5.7% 6.6% Indonesia 13.2% Ghana 13.2%
Côte d'Ivoire 31.4% Nigeria 15.1%
Pangsa Eksportir Biji Kakao Dunia Tahun 2009
Gambar 4.8 Sepuluh Negara Utama Eksportir Biji Kakao Dunia dan Pangsa Nilai Ekspor dari Eksportir Biji Kakao Dunia Tahun 2009 Sumber: ITC berdasarkan data statistik UN COMTRADE (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Sementara pada tahun 2013 posisi Indonesia sebagai negara eksportir Biji Kakao dunia turun ke peringkat ke-5, di bawah posisi Nigeria. Nilai ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia pada tahun 2013 sebesar US$ 446,09 juta dengan volume ekspor mencapai 188,42 ribu ton. Kini, pangsa ekspor Biji Kakao Indonesia di dunia hanya berkisar 5% (Gambar 4.9). Nilai, volume, dan pangsa ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia pada tahun 2013 menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2009. Volume Ekspor (Ton)
Nilai Ekspor (Ribu US$)
3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0
Gambar 4.9 Eksportir Utama Biji Kakao Dunia Tahun 2013 Berdasarkan Nilai dan Volume Ekspor Sumber: ITC (2014) berdasarkan data statistik UN COMTRADE, telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan. Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2014) mencatat bahwa nilai ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia selama tiga tahun terakhir (20112013) cenderung menurun sebesar 14,8% per tahunnya seiring dengan penurunan volume ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia rata-rata sebesar 5,29% per tahunnya. Hal ini berbeda dengan pertumbuhan positif baik dari segi nilai maupun volume ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia selama empat tahun sebelumnya (2007-2010) dan sempat mengalami puncaknya pada tahun 2010 sebesar US$ 1,19 miliar (432,4 ribu ton). Pada periode Januari-Februari 2014 nilai ekspor Biji Kakao Indonesia ke dunia mencapai US$ 38,4 juta, turun sebesar 41,7% dari periode JanuariFebruari 2013. Sementara volume ekspor Biji Kakao Indonesia periode Januari-Februari 2014 turun 52,4% dari sebesar 29,3 ribu ton menjadi 14,0 ribu ton (Tabel 4.3). Tabel 4.3 menunjukkan bahwa penurunan pada nilai ekspor Biji Kakao selama tahun 2011-2013 terjadi juga pada penurunan nilai ekspor produk Kakao Olahan pada periode yang sama. Trend pertumbuhan nilai ekspor produk Kakao Olahan selama tiga tahun sebesar -1,64%. Sebaliknya, volume ekspor produk Kakao Olahan tahun 2011-2013 malah meningkat 6,79%. Pada periode Januari-Februari 2014 nilai ekspor produk Kakao Olahan mencapai US$ 153,2 juta (naik 87% dari periode sebelumnya) sedangkan volume ekspor produk Kakao Olahan mencapai 44,1 ribu ton (naik 59,6% dari periode Januari-Februari 2014).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
Tabel 4.3 Realisasi Nilai dan Volume Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia NILAI : USD JUTA URAIAN
Biji Kakao Kakao Olahan Coklat Industri Makanan Olahan Mengandung Kakao Total Biji dan Kakao Olahan VOLUME : RIBU TON URAIAN
Biji Kakao Kakao Olahan Coklat Industri Makanan Olahan Mengandung Kakao Total Biji dan Kakao Olahan
2007
2008
2009
2010
2011
622.6 854.6 1,087.5 1,190.7 614.5 278.5 389.2 296.2 406.8 679.5 23.1 25.1 29.7 46.1 50.7 35.7 38.3 47.5 58.3 65.4 901.06 1,243.81 1,383.71 1,597.55 1,293.99
2012
2013
Perub. (%) Trend (%) Jan-Feb Jan-Feb Jan-Feb '11-13 2013 2014 '14/13
384.8 446.1 65.8 38.4 613.5 657.4 82.0 153.2 55.1 48.0 8.6 8.1 53.6 53.4 8.6 7.0 998.32 1,103.52 147.78 191.63
(41.7) 87.0 (6.3) (19.1) 29.7
Jan-Feb Jan-Feb Perub. (%) Trend (%) 2013 2014 Jan-Feb '11-13 '14/13
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
379.8 107.4 16.3 16.1 487.24
380.5 122.2 12.8 15.7 502.72
439.3 83.6 12.2 19.7 522.95
432.4 104.3 16.1 25.5 536.68
210.1 183.6 16.1 27.1 393.69
163.5 205.0 19.3 26.8 368.47
188.4 29.3 209.4 27.6 16.2 3.1 27.7 4.2 397.84 56.98
14.0 44.1 2.8 3.7 58.07
(52.4) 59.6 (9.5) (13.0) 1.9
Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Salah satu poin yang penting untuk dicermati dari data ekspor Biji Kakao Indonesia yang dipublikasikan oleh BPS Indonesia adalah terjadinya perubahan dalam struktur ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan. Pada tahun 2007-2010 ekspor Biji Kakao mendominasi struktur ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia baik di sisi nilai maupun volume. Sementara pada tahun 2011-2013 pangsa ekspor produk Kakao Olahan Indonesia telah mampu menggeser pangsa ekspor Biji Kakao dalam segi persentase nilai ekspor sedangkan persentase volume ekspor produk Kakao Olahan menunjukkan peningkatannya secara bertahap. Persentase nilai ekspor produk Kakao Olahan Indonesia pada periode JanuariFebruari 2014 mencapai 80% sedangkan pangsa volume ekspor produk Kakao Olahan sebesar 76%. Pangsa nilai dan volume ekspor produk Kakao Olahan periode Januari-Februari 2014 telah meningkatkan secara signifikan dari periode yang sama tahun sebelumnya (Gambar 4.10 dan 4.11). Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
(14.80) (1.64) (2.74) (9.65) (7.65)
26
(5.29) 6.79 0.53 1.02 0.53
Persentase Nilai Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan
(%) 100.0%
Biji Kakao
90.0% 80.0% 70.0%
78.6% 69.1%
68.7%
Kakao Olahan
74.5%
60.0%
47.5%
50.0%
44.5%
40.4%
38.5%
40.0% 30.0%
20.0%
20.0% 10.0% 0.0%
30.9% 2007
31.3% 2008
21.4% 2009
25.5% 2010
52.5% 2011
61.5%
59.6%
2012
2013
55.5%
80.0%
Jan-Feb 2013Jan-Feb 2014
Gambar 4.10 Persentase Nilai Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Persentase Volume Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan
(%) 100% 90% 80%
78.0%
84.0% 75.7%
Biji Kakao
80.6%
Kakao Olahan
70% 60%
53.4%
50%
44.4%
47.4%
51.5%
40% 30%
24.0%
20% 10% 0%
22.0%
2007
24.3%
2008
16.0%
2009
19.4%
2010
46.6%
2011
55.6%
2012
52.6%
2013
48.5%
76.0%
Jan-Feb 2013 Jan-Feb 2014
Gambar 4.11 Persentase Volume Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan negara tujuan utama, sebagian besar ekspor Biji Kakao ditujukan ke Malaysia (62,23%), Singapura (14,94%), India (13,30%), Thailand (6,65%) dan Republik Rakyat Tiongkok/ RRT (1,47%) pada periode Januari-Februari 2014. Sepanjang tahun 2011-2013
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
pertumbuhan rata-rata nilai ekspor Biji Kakao dari hampir keseluruhan negara tujuan cenderung menurun, kecuali Thailand yang mengalami pertumbuhan rata-rata nilai ekspor Biji Kakao positif sebesar 6,20% (Tabel 4.4). Di sisi volume ekspor, trend pertumbuhan volume ekspor beberapa negara seperti Thailand, India, RRT, dan Jepang menunjukkan besaran yang positif (Tabel 4.5). Tabel 4.4 Realisasi Nilai Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan NILAI (US$ JUTA) Perub. (%) Pangsa (%) Trend (%) NEGARA 2009 2010 2011 2012 2013 JAN-FEB Jan-Feb Jan-Feb '11-13 2013 2014 '14/13 2014 DUNIA 1,087.48 1,190.74 614.50 384.83 446.09 65.83 38.40 (14.80) (41.66) 100.00 -MALAYSIA 451.58 550.92 411.11 225.75 302.16 44.18 23.90 (14.27) (45.91) 62.23 -SINGAPURA 139.24 151.48 98.42 92.79 72.68 11.88 5.74 (14.07) (51.69) 14.94 -INDIA 4.54 10.75 14.03 11.77 13.62 0.85 5.11 (1.46) 500.07 13.30 -THAILAND 17.85 18.48 17.21 18.72 19.40 3.76 2.56 6.20 (31.99) 6.65 -REP.RAKYAT TIONGKOK 17.01 42.74 22.94 13.55 19.20 4.18 0.56 (8.51) (86.51) 1.47 -AMERIKA SERIKAT 297.01 246.50 29.67 0.63 16.44 0.30 0.26 (25.57) (11.80) 0.69 -JEPANG 2.60 2.42 0.63 0.16 0.56 0.15 0.19 (5.38) 24.21 0.49 -BELANDA 5.82 15.56 2.76 1.92 0.56 0.00 0.09 (54.85) 0.22 -Lain Lain 151.84 151.88 17.74 19.55 1.46 0.53 0.00 (71.29) (100.00) 0.00 Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Tabel 4.5 Realisasi Volume Ekspor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan VOLUME (RIBU TON) Perub. (%) Pangsa (%) Trend (%) NEGARA 2009 2010 2011 2012 2013 JAN-FEB Jan-Feb Jan-Feb '11-13 2013 2014 '14/13 2014 DUNIA 439.31 432.43 210.07 163.50 188.42 29.34 13.96 (5.29) (52.42) 100.00 -MALAYSIA 183.08 202.85 141.10 96.41 126.40 19.67 8.71 (5.35) (55.72) 62.40 -SINGAPURA 55.89 53.93 33.79 39.71 32.35 5.23 2.12 (2.16) (59.57) 15.15 -INDIA 1.90 4.06 4.85 5.09 5.65 0.90 1.90 7.96 111.11 13.61 -THAILAND 7.41 6.72 6.04 8.05 7.71 1.50 0.94 13.03 (37.63) 6.70 -REP.RAKYAT TIONGKOK 7.12 15.32 7.64 5.75 8.32 1.77 0.21 4.38 (88.14) 1.50 -AMERIKA SERIKAT 120.30 89.31 9.77 0.14 7.21 0.07 0.05 (14.08) (23.45) 0.36 -JEPANG 0.89 0.68 0.11 0.03 0.12 0.04 0.03 1.93 (34.96) 0.18 -BELANDA 2.45 5.85 0.78 0.51 0.19 0.00 0.01 (50.84) 0.09 -Lain Lain 60.26 53.72 5.99 7.82 0.47 0.16 0.00 (71.99) (100.00) 0.00 Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
4.3.2 Perkembangan Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia Meskipun Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir Biji Kakao utama di dunia, Indonesia juga melakukan importasi atas Biji Kakao dan produk Kakao Olahan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik bagi industri pengolahan Kakao maupun konsumsi. Puslitkoka dan AIKI (2014) menyatakan bahwa impor Biji Kakao Indonesia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan Kakao dalam proses pencampuran (blending) untuk mendapatkan cita rasa milky yang didapatkan dari Biji Kakao yang berasal dari Afrika guna menghasilkan premium cocoa powder yang berkualitas tinggi dan beraroma kuat. Karakteristik Biji Kakao Indonesia berbeda dengan karakteristik yang dimiliki oleh Biji Kakao yang berasal dari Afrika karena Biji Kakao Indonesia bercita rasa “fruity”, memiliki kadar lemak yang rendah, dan beraroma lemah. Tabel 4.6 Perbedaan Karakteristik Biji Kakao Afrika dan Indonesia
Sumber: AIKI (2014).
Produksi Biji Kakao dari dalam negeri yang lebih rendah dari kebutuhan industri pun memaksa industri pengolahan Kakao domestik untuk melakukan importasi. Impor Biji Kakao semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri pengolahan Kakao. Impor Biji
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
Kakao Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 50 ribu ton dan akan meningkat menjadi 100 ribu ton pada tahun 2015 karena penambahan kapasitas produksi industri pengolahan Kakao lokal dari 500 ribu ton pada tahun 2014 menjadi 600 ribu ton pada tahun 2015 (Tabel 4.7). Tabel 4.7 Perkembangan Produksi, Impor, Kebutuhan Industri dan Ekspor Biji Kakao Indonesia
Sumber: AIKI (2014).
Nilai impor Biji Kakao Indonesia cenderung meningkat sepanjang tahun 2011-2013 sebesar 11,0% per tahunnya sementara volume impor Biji Kakao Indonesia pada kurun waktu yang sama juga tumbuh 26,9% per tahun. Pada tahun 2013 impor Biji Kakao senilai US$ 77,4 juta dengan kuantitas impor sebanyak 30,8 ribu ton. Selama periode Januari-Februari 2014 nilai realisasi impor Biji Kakao mencapai US$ 3,6 juta dengan volume impor sebesar 12,5 ribu ton. Dibandingkan dengan periode Januari-Februari 2013, volume impor Biji Kakao naik signifikan sebesar 208% sedangkan nilai impor mengalami penurunan 66,2% (Tabel 4.8).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
Tabel 4.8 Realisasi Nilai dan Volume Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Indonesia NILAI : USD JUTA URAIAN
Biji Kakao Kakao Olahan Coklat Industri Makanan Olahan Mengandung Kakao Total Biji dan Kakao Olahan VOLUME : RIBU TON URAIAN
Biji Kakao Kakao Olahan Coklat Industri Makanan Olahan Mengandung Kakao Total Biji dan Kakao Olahan
2007
2008
2009
2010
39.2 59.6 76.3 89.5 12.1 16.5 23.3 47.9 31.5 42.7 21.6 27.2 2.8 3.9 3.0 6.9 51.3 76.1 99.6 137.4 23.57 21.69 23.42 34.85 2007
2008
2009
19.7 23.0 27.2 7.8 12.7 12.4 16.0 17.7 7.2 2.9 2.7 1.3 27.5 35.6 39.7
2010
24.8 16.2 6.3 2.1 41.1
2011
62.9 73.9 38.8 4.6 136.8
2011
19.1 15.7 8.9 1.0 34.8
2012
63.0 68.5 45.4 6.1 131.5
2012
23.9 13.4 10.9 1.1 37.3
2013 Jan-Feb Jan-Feb Perub. (%) Trend (%) 2013 2014 Jan-Feb '11-13 '14/13 77.4 70.1 57.1 7.8 147.5
10.6 18.9 5.8 0.5 29.5
3.6 9.4 10.3 0.8 12.9
(66.2) (50.4) 76.3 71.7 (56.1)
11.0 (2.6) 21.4 29.7 3.9
2013 Jan-Feb Jan-Feb Perub. (%) Trend (%) 2013 2014 Jan-Feb '11-13 '14/13 30.8 18.5 13.9 1.3 49.2
4.1 4.1 1.5 0.0 8.2
12.5 2.4 2.3 0.0 15.0
208.0 (41.7) 53.4 144.1 82.2
26.9 8.6 25.1 16.1 19.0
Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Untuk produk Kakao Olahan, volume impor dalam kurun waktu 2011-2013 tumbuh rata-rata sebesar 8,6% per tahunnya akan tetapi nilai impornya turun rata-rata sebesar 2,6%. Impor Kakao Olahan pada periode Januari-Februari 2014 berkisar US$ 9,4 juta, turun 50,4% dari periode Januari-Februari 2013 sedangkan volume impornya turun sekitar 41,7% dari 4,1 ribu ton menjadi 2,4 ribu ton (Tabel 4.8). Dari struktur komposisi impor, persentase nilai impor Kakao Olahan cenderung meningkat sepanjang tahun 2007-2013 dan Januari-Februari 2014. Hal ini menandakan ketergantungan terhadap impor Biji Kakao mengalami penurunan (Gambar 4.12). Tidak demikian jika ditinjau dari persentase volume impor karena impor berupa Biji Kakao masih mendominasi dalam volume dibanding dengan jumlah impor berupa Kakao Olahan (Gambar 4.13).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
Persentase Nilai Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan
(%) 100.0% 90.0% 80.0%
76.4%
Biji Kakao
78.3%
Kakao Olahan
76.6% 65.1%
70.0% 60.0%
46.0%
50.0%
52.5%
47.9%
35.9%
40.0%
27.6%
30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
23.6%
2007
21.7%
2008
23.4%
2009
34.9%
2010
54.0%
2011
52.1%
47.5%
2012
2013
64.1%
72.4%
Jan-Feb 2013Jan-Feb 2014
Gambar 4.12 Persentase Nilai Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Persentase Volume Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan
(%) 100.0%
Biji Kakao
90.0% 80.0% 70.0%
71.5%
64.5%
68.7% 60.5%
60.0%
64.1% 54.9%
Kakao Olahan
83.9%
62.5% 49.6%
50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
28.5%
2007
35.5%
2008
31.3%
2009
39.5%
2010
45.1%
2011
35.9%
2012
37.5%
2013
50.4%
16.1%
Jan-Feb 2013Jan-Feb 2014
Gambar 4.13 Persentase Volume Impor Biji Kakao dan Kakao Olahan Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Sebagian besar impor Biji Kakao Indonesia berasal dari negaranegara Afrika dan Amerika Latin. Beberapa negara pemasok utama impor Biji Kakao Indonesia pada periode Januari-Februari 2013 adalah Ghana (49,1%), Papua Nugini (22,1%), Kamerun (14,7%), Kepulauan Salomon (8,1%), dan Pantai Gading (6,1%). Pada periode Januari-Februari 2014, pangsa impor dari beberapa negara tersebut telah mengalami perubahan. Pantai Gading (57,3%), Ekuador (20,7%), Papua Nugini (8,8%), Ghana
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
(5,2%), dan Kamerun (4,5%) merupakan kini menjadi pemasok utama Biji Kakao Indonesia.
PERU 0.0%
SINGAPURA BELGIA 0.0% 0.0% KEPULAUAN SALOMON EKUADOR 0.0% 8.1%
KAMERUN 14.7%
MALAYSIA 0.0% Lain Lain 0.0% PANTAI GADING 6.1%
KEPULAUAN PERU SINGAPURA BELGIA SALOMON 0.6% 0.4% 0.1% 2.3% KAMERUN 4.5% PAPUA NUGINI 8.8%
GHANA 5.2%
PAPUA NUGINI 22.1% EKUADOR 20.7%
MALAYSIA 0.0% Lain Lain 0.0%
PANTAI GADING 57.3%
GHANA 49.1%
Jan-Feb 2013
Jan-Feb 2014
Gambar 4.14 Pangsa Impor Biji Kakao Berdasarkan Pemasok Utama Sumber: BPS Indonesia (2014), telah diolah kembali Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
4.4 Kebijakan Perdagangan atas Biji Kakao Indonesia 4.4.1 Kebijakan Tarif Bea Masuk atas Biji Kakao Indonesia Tingkat tarif bea masuk Most Favoured Nation (MFN) atas impor Biji Kakao dan produk Kakao Olahan dinilai telah mengalami eskalasi dalam pembebannya. Tarif produk Kakao Olahan yang bernilai tambah lebih memiliki tingkatan tarif bea masuk yang lebih tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan penetapan tarif bea masuk MFN atas impor Biji Kakao Indonesia pada tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 5% di mana dengan besaran tarif bea masuk tersebut saat ini dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk melindungi petani di dalam negeri dari serbuan impor Biji Kakao dan menjadikan insentif bagi petani untuk tetap menanam pohon Kakao. Tarif bea masuk MFN atas impor produk Kakao Olahan berupa Pasta Kakao dan Bubuk Kakao ditetapkan sebesar 10% sedangkan Coklat dan Olahan Makanan Lainnya berkisar 5%-10% (Lampiran 1).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
Terkait dengan kerjasama Indonesia dengan mitra dagang Free Trade Agreement (FTA), besaran tarif bea masuk preferensi atas impor Biji Kakao dari negara mitra dagang FTA (baik dalam ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN-Korea FTA (AKFTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), ASEAN-India FTA (AIFTA), maupun ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZFTA) telah mencapai 0%. Sementara itu, tarif bea masuk atas impor produk Pasta Kakao, Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao dan Bubuk Kakao juga telah ditetapkan sebesar 0% dalam kerangka kerjasama ATIGA, ACFTA, AKFTA, AIFTA, AANZFTA, dan IJEPA. Untuk tarif bea masuk atas impor produk Coklat dan Olahan Makanan Lainnya pada tahun 2014 telah dibebaskan, kecuali dalam kerangka IJEPA dan AIFTA (Lampiran 1). Merujuk pada data yang dipublikasikan oleh BPS Indonesia (2014) dimana sebagian besar impor berasal dari negara-negara Afrika, Amerika Latin, Papua Nugini, dan Eropa maka tarif bea masuk yang dikenakan atas impor Biji Kakao tersebut adalah tarif MFN sebesar 5%. Untuk impor yang berasal dari Malaysia dan Singapura dibebaskan tarif bea masuknya sesuai kerangka kerjasama ATIGA.
4.4.2 Kebijakan Bea Keluar atas Biji Kakao Indonesia Di samping pemerintah Indonesia mengimplementasikan kebijakan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao, Indonesia juga menetapkan kebijakan bea keluar (BK). Kebijakan BK atas ekspor Biji Kakao di Indonesia dilatarbelakangi oleh usulan Menteri Perindustrian melalui surat Menteri Perindustrian Nomor 05/M-IND/1/2010 tanggal 4 Januari 2010 serta dalam rangka menjamin ketersediaan bahan baku serta peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan Kakao dalam negeri. Kebijakan BK atas ekspor Biji Kakao tersebut ditetapkan melalui Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Republik
Indonesia
Nomor
67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 2010. Adapun penetapan besaran tarif BK atas ekspor Biji Kakao mengikuti besaran tarif referensi (harga rata-rata internasional komoditi tertentu untuk penetapan tarif Bea Keluar) sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Besaran Harga Referensi dan Tarif Bea Keluar atas Ekspor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan PMK No. 67/PMK.011/2010 TARIF BEA KELUAR (%) US$ US$ NO. URAIAN POS TARIF ≤ US$ 2.001/Ton≤Harga 2.751/Ton≤Harga ≥ US$ Referensi≤US$ 3.501 2.000/Ton Referensi≤US$ 2.750/Ton 3.500/Ton 1. Kakao 1801.00.00.00 0 5 10 15 Sumber: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Sejalan dengan diberlakukannya PMK Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang juga mengatur klasifikasi untuk barang ekspor, maka pemerintah c.q. Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian terhadap klasifikasi atas barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar, termasuk Biji Kakao melalui PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan
Barang
Ekspor
yang
Dikenakan
Bea
Keluar
dan Tarif Bea Keluar dan mulai diberlakukan sejak 16 Mei 2012. Harga referensi untuk biji kakao adalah harga rata-rata CIF New York Board of Trade (NYBOT), New York.
Tabel 4.10 Besaran Harga Referensi dan Tarif Bea Keluar atas Ekspor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan PMK No. 75/PMK.011/2012 TARIF BEA KELUAR (%) US$ US$ NO. URAIAN POS TARIF ≤ US$ 2.001/Ton≤Harga 2.751/Ton≤Harga ≥ US$ Referensi≤US$ 3.501 2.000/Ton Referensi≤US$ 2.750/Ton 3.500/Ton 1. Kakao 1801.00.00.00 0 5 10 15 Sumber: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
Merujuk pada harga referensi dan harga patokan ekspor untuk Biji Kakao, tarif bea keluar atas ekspor Biji Kakao pada bulan April 2010 – September 2011 ditetapkan sebesar 10% dan kemudian turun menjadi 5% hingga bulan Desember 2013. Pada bulan Januari 2014 bea keluar Biji Kakao naik menjadi 10% seiring dengan melonjaknya harga referensi internasional Biji Kakao menjadi US$ 2,78 ribu/ton akibat kelangkaan pasokan Biji Kakao dunia dan kegagalan panen. Pada bulan Februari 2014 bea keluar Biji Kakao turun 5% di bawah US$ 2,75 ribu/ton. Kemudian, harga referensi Biji Kakao pada bulan Februari 2014 dan Maret 2014 berada di atas US$ 2.750 sehingga tarif bea keluar atas Biji Kakao kembali meningkat menjadi 10% (Gambar 4.15). Volume Ekspor (Ribu Ton)-LHS Harga Internasional (US$ Ribu/Ton)-RHS Bea Keluar (%) -RHS
LHS
RHS 12.00
90.00 80.00
10.00
70.00 60.00
8.00
50.00
6.00
40.00 30.00
4.00
20.00
2.00
10.00
Apr-14
Jan-14
Oct-13
Jul-13
Apr-13
Jan-13
Oct-12
Jul-12
Apr-12
Jan-12
Oct-11
Jul-11
Apr-11
Jan-11
Oct-10
Jul-10
Apr-10
-
Jan-10
0.00
Gambar 4.15 Perkembangan Harga Referensi Internasional, Bea Keluar, dan Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia Sumber: ICCO (2014), BPS Indonesia (2014), Kementerian Perdagangan (2014), dan Kementerian Keuangan (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Gambar 4.15 memperlihatkan bahwa harga referensi internasional atas Biji Kakao memiliki hubungan yang lebih kuat dengan volume ekspor (43%) dibanding dengan korelasi antara tarif bea keluar dengan volume Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
ekspor Biji Kakao (37%). Hal ini mengindikasikan bahwa harga referensi internasional
masih
menjadi
dasar
pertimbangan
eksportir
untuk
mengekspor Biji Kakao dan besaran bea keluar atas Biji Kakao tidak cukup efektif menghambat ekspor Biji Kakao. Rata-rata volume ekspor Biji Kakao Indonesia pada waktu dikenakan bea keluar sebesar 10% mencapai 25,49 ribu ton, lebih tinggi dari rata-rata volume ekspor Biji Kakao pada saat dikenakan bea keluar 5% yang hanya tercatat 14,86 ribu ton.
4.5 Perkembangan Kinerja Industri Pengolahan Kakao Indonesia Industri pengolahan Kakao di Indonesia mempunyai peranan penting di dalam penyerapan tenaga kerja, investasi, Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dan perolehan devisa negara karena memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu (petani kakao) maupun ke hilirnya (intermediate
industry/grinders).
Adapun
pengelompokkan
industri
pengolahan Kakao dan Coklat Olahan terdiri dari: 1. Industri Hulu: buah coklat, biji coklat, liquor (MASS) 2. Industri Antara: cake, fat, cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan) 3. Industri Hilir: industri cokelat, industri makanan berbasis coklat (roti,kue, confectionary/ kembang gula cokelat) Pengelompokkan industri pengolahan Kakao di Indonesia secara lebih mendalam dan detil dapat dilihat melalui Gambar 4.16.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Gambar 4.16 Pohon Industri Kakao Sumber: Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian (2007).
Berbeda dengan struktur industri pengolahan Kelapa Sawit yang telah terintegrasi, struktur industri pengolahan Kakao belum kuat dimana integrasi antara industri inti, industri terkait, dan industri pendukung belum optimal (Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, 2010). Namun demikian sejak pengenaan kebijakan BK atas ekspor Biji Kakao Indonesia sejak 1 April 2010, industri pengolahan Kakao mengalami perkembangan yang baik. Investasi pada industri pengolahan Kakao terus meningkat diikuti dengan kenaikan dalam jumlah perusahaan, kapasitas industri, dan penyerapan tenaga kerja. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2014) mencatat setidaknya terdapat dana sebesar US$ 437,52 juta yang ditanamkan oleh investor asing pada industri pengolahan Kakao di Indonesia selama tahun 20092014 di mana sekitar separuh modal yang ditanamkan berasal dari Singapura, sedangkan sisanya berasal dari Belgia (12%), British Virgin Islands (12%), Malaysia (10,4%), Amerika Serikat (10,3%), dan negara Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
lainnya. PMA yang ditanamkan di industri pengolahan Kakao Indonesia lebih dari 80% terkonsentrasi di Pulau Jawa sementara sisanya tersebar ke Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera. Sementara jumlah modal yang ditanamkan oleh investor lokal pada industri pengolahan Kakao domestik sebesar Rp. 5,68 triliun di mana Provinsi Banten menjadi pilihan tempat favorit investor lokal untuk menanamkan modalnya (98,5%), dan sisanya berada di Provinsi Jawa Timur (1,4%) dan Provinsi Jawa Barat (0,1%). Direktur
Jenderal
Industri
Agro
Kementerian
Perindustrian
(Kurniawan, Rosniawanty, Tahir, & Syarrafah, 2014) mengatakan sebelum diterapkannya BK atas ekspor Biji Kakao Indonesia memiliki tujuh pabrik lokal. Pasca diterapkannya BK Biji Kakao muncul 11 pabrik baru. Hal ini diperkuat oleh data AIKI (2014) dimana pada tahun 2013 jumlah perusahaan industri pengolahan Kakao di Indonesia sebanyak 18 perusahaan dan meningkat pada tahun 2014 menjadi 19 perusahaan. Pada akhir tahun 2015 diharapkan terdapat 20 jumlah perusahaan dalam industri pengolahan Kakao di Indonesia (Tabel 4.11). Tabel 4.11 Perkembangan Kinerja Industri Pengolahan Kakao Indonesia NO
URAIAN
SATUAN
TAHUN 2011
2012
2013
2014
2015
16
16
18
19
20
4,300
4,300
5,300
5,800
6,000
Ton
580,000
580,000
700,000
790,000
850,000
Kapasitas Terpakai
Ton
268,000
310,000
400,000
500,000
600,000
5
Utilitas
%
46.21
53.45
57.14
63.29
70.59
6
Produksi Kakao olahan
1
Jumlah Perusahaan
Unit Usaha
2
Jumlah Tenaga Kerja
Orang
3
Kapasitas Terpasang
4
Cocoa Butter
Ton
82,535
97,345
126,332
158,765
191,142
Cocoa Powder
Ton
85,394
95,336
127,944
169,539
210,493
Cocoa Liquor
Ton
11,538
12,647
13,912
15,303
16,833
Cocoa Cake
Ton
43,384
50,738
55,812
61,393
67,532
Total
Ton
222,851
256,066
324,000
405,000
486,000
Catatan : Tahun 2013 s/d 2015 masih berupa proyeksi.
Sumber: AIKI (2014)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
Seiring dengan bertambahnya jumlah perusahaan dalam industri pengolahan Kakao di Indonesia, maka jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri ini diharapkan meningkat. Dengan jumlah perusahaan yang ada pada saat ini, tenaga kerja yang dapat dipekerjakan mencapai 5.800 orang, naik 500 orang dari tahun 2013. Pada tahun 2015 diproyeksikan dengan adanya penambahan satu perusahaan dalam industri pengolahan Kakao di Indonesia maka akan mampu menyerap sekitar 200 orang tenaga kerja tambahan (Tabel 4.11).
Tabel 4.12 Perkembangan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan Kakao Indonesia (Ton) KAPASITAS TERPASANG NO
PERUSAHAAN
LOKASI
2013
2014
2015
1 PT.Bumitangerang Mesindotama ( BT cocoa )
Tangerang
150,000
150,000
150,000
2 PT.Davomas Abadi
Tangerang
140,000
140,000
140,000
3 PT.Asia Cocoa Indonesia
Batam
120,000
120,000
120,000
4 PT.Barry Callebaut Indonesia (ex.GFI)
Bandung
120,000
120,000
120,000
5 PT.Industri Kakao Utama
Kendari
30,000
30,000
30,000
6 PT.Cocoa Ventures Indonesia
Medan
20,000
20,000
20,000
7 PT.Makassar Berkat Kakao Industri
Makassar
20,000
20,000
20,000
8 PT.Kopi Jaya Kakao
Makassar
20,000
20,000
20,000
9 PT.Effem Indonesia ( Mars )
Makassar
17,000
17,000
17,000
Surabaya
15,000
15,000
15,000
10 PT.Budidaya Kakao Lestari 11 PT.Jaya Makmur Hasta (ex.CWM)
Tangerang
15,000
15,000
15,000
12 PT.Teja Sekawan Cocoa Industry
Surabaya
15,000
15,000
15,000
13 PT.Unicom Kakao Makmur Sulawesi
Makassar
10,000
10,000
10,000
14 PT.Kakao Mas Gemilang
Tangerang
6,000
6,000
6,000
15 PT.Mas Ganda
Tangerang
6,000
6,000
6,000
16 PT.Hope Indonesia ( ex.Poleko )
Makassar
6,000
6,000
6,000
17 PT. Barry Comextra Indonesia
Makassar
30,000
30,000
60,000
18 PT. Jebe Koko
Surabaya
30,000
30,000
60,000
19 PT.Cargill Indonesia Total
Surabaya
770,000
30,000 800,000
70,000 900,000
Sumber: AIKI (2014)
Berdasarkan data AIKI (2014), kapasitas terpasang dari 19 perusahaan industri pengolahan Kakao di dalam negeri pada tahun 2014 mencapai 790-800 ribu (Tabel 4.11 dan 4.12). Kapasitas industri pengolahan kakao Indonesia tersebut diperkirakan akan meningkat dan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
40
mencapai 1 juta ton pada tahun 2019. Namun, meskipun kapasitas terpasang industri pengolahan Kakao kini mendekati angka 800 ribu ton, utilisasinya masih berkisar 63,29%. Hal ini mengindikasikan bahwa mesinmesin yang ada masih belum sepenuhnya terpakai. Ketua Umum AIKI (2014) dan Ketua Umum ASKINDO ( (Kurniawan, Rosniawanty, Tahir, & Syarrafah, 2014)) berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena pabrikpabrik kekurangan pasokan bahan baku Biji Kakao yang sudah difermentasi sehingga memaksa industri untuk mengimpor Biji Kakao. Permasalahan kekurangan pasokan bahan baku ini telah dikemukakan juga
dalam
beberapa
penelitian
sebelumnya
(Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha, (2009), Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (2010), Drajat (2011), dan Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (2012)). Namun, perwakilan PT Teja Sekawan sebagai salah satu produsen dalam industri pengolahan Kakao domestik menyampaikan dalam wawancaranya bahwa selama ini perusahaan tidak pernah melakukan impor biji kakao. Bahan baku sepenuhnya berasal dari dalam negeri. Perusahaan pun tidak pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku karena perusahaan memiliki gudang di sentra-sentra penghasil Biji Kakao. Dengan terbatasnya pasokan Biji Kakao bagi pemenuhan industri pengolahan Kakao, maka semakin lama semakin tinggi impor Biji Kakao. Pada tahun 2013 sekitar 7,7% pasokan Biji Kakao bagi industri pengolahan Kakao di dalam negeri dipasok oleh impor. Pada tahun ini diperkirakan persentase impor akan mengalami peningkatan menjadi 9,5% seiring dengan peningkatan kebutuhan industri dan keterbatasan pasokan Biji Kakao.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
Tabel 4.13 Produksi, Kebutuhan Industri, Ketersediaan Pasokan, Ekspor, dan Impor Biji Kakao Uraian 1. Produksi AIKI ASKINDO Kementerian Perdagangan **) Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag) 2. Kebutuhan Industri 3. Ekspor 4. Ketersediaan biji kakao nasional (produksi-ekspor) AIKI ASKINDO Kementerian Perdagangan Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag) 5. Kekurangan/kelebihan pasokan biji kakao (4 - 2) AIKI ASKINDO Kementerian Perdagangan Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag) 6. Impor 7. Balance (5+6) AIKI ASKINDO Kementerian Perdagangan Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag) 8. Persentase Impor terhadap kebutuhan industri
2011
2012
459.3 465.8 608.1 545.8 268.3 210.1
460.1 453.7 598.2 551.4 310.8 163.5
482.2 450.0 616.9 569.9 324.1 188.4
494.2 442.3 621.4 582.4 650.0 191.8
506.4 434.7 625.8 595.2 720.0 195.3
518.9 427.3 630.3 608.2 790.0 198.8
531.7 420.0 634.9 621.5 860.0 202.4
544.8 412.8 639.5 635.1 930.0 206.0
558.3 405.8 644.1 649.0 1,000.0 209.7
249.2 255.7 398.1 335.7
296.6 290.2 434.7 387.9
293.8 261.6 428.5 381.5
302.3 250.5 429.6 390.6
311.1 239.5 430.6 399.9
320.1 228.5 431.6 409.4
329.3 217.6 432.5 419.2
338.8 206.8 433.5 429.1
348.6 196.1 434.3 439.3
(19.1) (14.2) (12.5) (20.6) 129.8 123.9 67.4 77.1 19.1 23.9
(30.3) (62.5) 104.4 57.4 30.8
(347.7) (399.5) (220.4) (259.4) 39.0
(408.9) (480.5) (289.4) (320.1) 49.6
(469.9) (561.5) (358.4) (380.6) 62.9
(530.7) (642.4) (427.5) (440.8) 79.8
(591.2) (723.2) (496.5) (500.9) 101.3
(651.4) (803.9) (565.7) (560.7) 128.6
0.0 6.6 148.9 86.5 7.1
0.5 (31.8) 135.1 88.2 9.5
(308.6) (360.5) (181.4) (220.4) 6.0
(359.3) (431.0) (239.9) (270.5) 6.9
(407.0) (498.6) (295.5) (317.7) 8.0
(450.8) (562.5) (347.6) (361.0) 9.3
(489.9) (621.9) (395.2) (399.5) 10.9
(522.8) (675.3) (437.0) (432.1) 12.9
9.7 3.4 147.9 101.1 7.7
2013
2014*
2015*
2016*
2017*
2018*
2019*
Catatan: *) angka estimasi berdasarkan trend tahun 2011-2013: 1. Trend produksi (2011-2013): AIKI: 2,47%, ASKINDO -1,71%, Kementerian Perdagangan 0,72%, dan Rata-rata (AIKI, ASKINDO & Kemendag) 2,19% 2. Trend ekspor dihitung dari trend peningkatan harga internasional selama 3 tahun terakhir (2011-2013) sebesar 1,8% 3. Trend impor (2011-2013) sebesar 26,92% **) Produksi Biji Kakao dihitung dengan mengkonversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao, dengan angka konversi sebagai berikut: 100 Kg Biji Kakao = 33 Kg Cocoa Butter; 100 Kg Biji Kakao = 80 Kg Cocoa Liquor (Paste non defatted); 100 Kg Biji Kakao = 47 Kg Cocoa Powder; 100 Kg Biji Kakao = 47 Kg Cocoa Cake (Paste wholly defatted) Sumber: AIKI, ASKINDO, BPS (diolah Puska Daglu)
Di samping kelangkaan pasokan bahan baku untuk proses produksi, industri pengolahan Kakao mengeluhkan mengenai tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia sebesar 5% di mana tarif tersebut dianggap tidak sesuai karena tarif bea masuk cocoa powder dari negaranegara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura telah 0% sehingga menyebabkan industri pengolahan Kakao Indonesia sulit bersaing (AIKI, 2014). Industri hilir anggota APIKCI juga menyatakan masih mengimpor “premium cocoa powder” dari Malaysia lebih dari 10.000 ton/tahun dengan bea masuk cocoa powder di Indonesia 0% mengingat keterbatasan pasokan dan untuk mendapatkan harga yang lebih murah.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Harga Paritas Impor Biji Kakao Indonesia Guna mengetahui dan menganalisis seberapa besar perbedaan
antara harga Biji Kakao dalam negeri dan yang diimpor, maka untuk itu dilakukan perhitungan harga paritas impor Biji Kakao Indonesia. Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa telah terjadi perbedaan yang signifikan antara harga paritas impor di industri pengolahan dengan harga Biji Kakao di tingkat petani dalam negeri. Selisih di antara kedua harga tersebut semakin nyata dengan dikenakannya tarif bea masuk atas impor Biji Kakao. Hal ini dikarenakan harga paritas impor Biji Kakao semakin meningkat dengan dikenakannya tarif bea masuk. Pada saat tarif bea masuk atas impor Biji Kakao sebesar 5%, harga paritas impor Biji Kakao sebesar Rp. 40.765,2/Kg sementara harga Biji Kakao lokal di tingkat petani sebesar Rp.29.458/Kg. Selisihnya di antara kedua harga tersebut sebesar Rp.11.307,2/Kg. Sementara selisih antara harga Biji Kakao di tingkat petani dengan harga paritas impor Biji Kakao tanpa adanya bea masuk semakin rendah menjadi sebesar Rp. 9.498,9/Kg (harga paritas impor sebesar Rp. 38.956,9/Kg).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
43
Tabel 5.1 Perhitungan Harga Paritas Impor Biji Kakao Indonesia Uraian
Satuan Nilai Satuan Dengan Bea Tanpa Bea Masuk Masuk
Harga FOB (US$/Ton) US$/ton % 4.25 US$/ton Freight, insurance and other US$/ton Harga CIF Rp/US$ Kurs (Rp./US$ 1) Landed Price Rp/Kg 5.00 Rp/Kg % Bea Masuk % 2.50 Rp/Kg PPH 2.00 Rp/Kg Handling Cost & transport % % 1.00 Rp/Kg Gudang % 0.20 Rp/Kg Asuransi stok 0.12 Rp/Kg Susut Barang % % 1.90 Rp/Kg Cost of money (2,5 bln x@ 9% p.a) % 2.00 Rp/Kg Keuntungan importir Harga di tingkat importir Rp/Kg Rp/Kg 0.12 Rp/Kg Susut % 1.00 Rp/Kg % Transport & gudang % 2.00 Rp/Kg Laba distributor Harga di distributor Rp/Kg Rp/Kg Transport & handling % 1.00 Rp/Kg Rp/Kg Harga Paritas Impor di Pabrik Pengolahan Rp/Kg Harga Kakao di tingkat petani Rp/Kg Selisih Harga Paritas Impor-Harga Kakao Petani
2,878.0 122.3 3,000.3 11,343.9 34,035.3 1,701.8 850.9 680.7 340.4 68.1 40.8 646.7 767.3 39,131.9 47.0 391.3 791.4 40,361.5 403.6 40,765.2 29,458.0 11,307.2
2,878.0 122.3 3,000.3 11,343.9 34,035.3 850.9 680.7 340.4 68.1 40.8 646.7 733.3 37,396.1 44.9 374.0 756.3 38,571.2 385.7 38,956.9 29,458.0 9,498.9
Catatan: Harga FOB adalah harga di bursa NYOBT, New York pada tanggal 13 Mei 2014 untuk penyerahan pada bulan September 2014 sebesar US$ 2.878/ton. Harga Biji Kakao di tingkat petani merupakan harga Biji Kakao yang difermentasi pada tanggal 14 Mei 2014 sebesar Rp. 29.458/Kg. Sumber: NYBOT New York (13 Mei 2014), Bappebti Kementerian Perdagangan (2014), dan Kementerian Pertanian (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu Kementerian Perdagangan.
Ditinjau dari perbedaan harga paritas impor Biji Kakao di pabrik pengolahan dengan harga domestik di tingkat petani dalam Tabel 5.1, harga paritas impor atas Biji Kakao jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga Biji Kakao lokal. Karakteristik ini jelas berbeda dengan harga impor untuk beberapa komoditas perkebunan lainnya di mana harga paritas impor justru lebih murah daripada harga lokal. Meskipun demikian, industri pengolahan Kakao Indonesia lebih memilih untuk menggunakan Biji
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
Kakao yang diimpor karena Biji Kakao impor bersih (tidak ada jamur dan kotoran/ sampah) dan kering (kadar air relatif rendah). Dengan keunggulan tersebut, terfermentasi, rendemen lebih tinggi 5% dan kotoran lebih rendah 5%, dapat diperkirakan harga riil (kondisi sama dengan Biji Kakao petani), Biji Kakao impor dengan bea masuk di pabrik sekitar Rp. 36.688,70 per Kg (dikurangi 10%). Di sisi lain, jika dihitung biaya logistik Biji Kakao dari petani sampai ke pabrik sekitar 15% (konfirmasi dengan beberapa pelaku usaha), harga Biji Kakao petani di pabrik sekitar 15% atau berkisar Rp. 33.876,70 per Kg. Sementara jika tarif bea masuk atas impor Biji Kakao dihapus, harga riil Biji Kakao impor menjadi Rp. 35.061,28 per Kg sehingga selisih harga dengan Biji Kakao petani sebesar Rp.1.184,58 per Kg.
5.2
Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Harga, Perdagangan, Penerimaan Negara, dan Kesejahteraan Kebijakan pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao
selama satu tahun merupakan salah satu skenario yang dapat diambil oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan keterbatasan pasokan Biji Kakao bagi industri pengolahan Kakao. Penetapan jangka waktu pembebasan tarif bea masuk Biji Kakao yang dihapuskan tersebut didasarkan pada pertimbangan jangka waktu kontrak pengiriman/ ekspor yang berlaku selama satu tahun dan kemampuan petani lokal untuk menyediakan pasokan Biji Kakao untuk memenuhi kebutuhan proses produksi industri pengolahan Kakao. Jika tarif bea masuk Biji Kakao dihapuskan dan diberlakukan selama satu tahun diperkirakan akan terjadi lonjakan impor Biji Kakao mencapai 170,2 ribu ton untuk tahun 2015 dan 126,4 ribu ton di tahun 2016. Impor Biji Kakao diperkirakan akan turun pada tiga tahun berikutnya pada kisaran 61-77 ribu ton setelah tarif bea masuk Biji Kakao kembali diberlakukan (Tabel 5.2).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
Tabel 5.2 Proyeksi Produksi, Kebutuhan Industri, Ekspor, dan Impor Pada Bea Masuk Biji Kakao Dihapuskan selama 1 Tahun Uraian
2011 2012 2013 2014* 2015* 2016* 2017* 2018* 2019*
1. Proyeksi Produksi*** 608.1 598.2 616.9 647.8 680.2 714.2 749.9 787.4 826.7 2. Kebutuhan Industri berdasarkan AIKI 268.3 310.8 400.0 500.0 600.0 700.0 800.0 900.0 1,000.0 3. Ekspor 210.1 163.5 188.4 191.8 195.3 198.8 202.4 206.0 209.7 4. Ketersediaan biji kakao nasional (produksi-ekspor) 398.1 434.7 428.5 456.0 484.9 515.4 547.5 581.4 617.0 5. Kekurangan/kelebihan pasokan biji kakao (4 - 2) 129.8 123.9 28.5 (44.0) (115.1) (184.6) (252.5) (318.6) (383.0) 6. Impor 19.1 23.9 30.8 38.5 170.2 126.4 61.6 69.3 77.0 7. Balance (5+6) 148.9 147.9 59.3 (5.5) 55.1 (58.2) (190.9) (249.3) (306.0) 8. Persentase Impor terhadap kebutuhan industri 7.1 7.7 7.7 7.7 28.4 18.1 7.7 7.7 7.7 Catatan: *) angka estimasi (2015-2019) 1. Trend produksi 2015-2019 tumbuh 5% sebagai akibat mulai berproduksinya lahan dari Gernas Kakao yang mulai berproduksi sejak 2014. 2.Trend ekspor dihitung dari trend peningkatan harga internasional selama 3 tahun terakhir (2011-2013) sebesar 1,8%. 3.Estimasi impor tahun 2015-2019 berdasarkan trend 2011-2013 sebesar 26,92%. 4.Tahun 2015 BM Biji Kakao dibebaskan sehingga mendorong lonjakan impor untuk memenuhi kekurangan pasokan, dengan angka konversi sebagai berikut: **) Produksi Biji Kakao dihitung dengan mengkonversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao, dengan angka konversi sebagai berikut: 100 Kg Biji Kakao = 33 Kg Cocoa Butter; 100 Kg Biji Kakao = 80 Kg Cocoa Liquor (Paste non defatted); 100 Kg Biji Kakao = 47 Kg Cocoa Powder; 100 Kg Biji Kakao = 47 Kg Cocoa Cake (Paste wholly defatted) Sumber: AIKI, ASKINDO, BPS (diolah Puska Daglu)
Kendatipun Indonesia merupakan negara produsen ketiga Biji Kakao dunia dan eksportir kelima Biji Kakao dunia pada tahun 2013, akan tetapi Indonesia bukanlah negara yang dapat mempengaruhi perubahan harga Biji Kakao di bursa internasional. Indonesia adalah negara penerima harga (price-taker) dari harga bursa New York dan bursa London. Oleh karena itu, penurunan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia dari 5% menjadi 0% tidak memiliki pengaruh terhadap harga Biji Kakao di pasar internasional. Pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao akan menaikkan nilai impor Biji Kakao Indonesia sebesar US$ 7,89 juta dari sebelumnya sebesar US$ 77,42 juta menjadi US$ 85,32 juta (Tabel 5.3).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
Beberapa negara yang memiliki peningkatan ekspor tertinggi ke Indonesia akibat pembebasan tarif bea masuk atas Biji Kakao tersebut, antara lain Ghana (naik sebesar US$ 2,24 juta), Pantai Gading (Cote d’Ivoire) naik US$ 2,22 juta, dan Papua New Guinea (naik US$ 1,49 juta) (Tabel 5.4). Sementara itu, ekspor Biji Kakao dari Malaysia dan Filipina justru mengalami penurunan padahal tarif bea masuk atas impor Biji Kakao dari Malaysia dan Filipina sebelumnya telah 0% melalui kerangka ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Hal ini dikarenakan adanya pengalihan impor dari negara-negara lain yang memiliki karakteristik dan kualitas Biji Kakao yang dibutuhkan oleh industri pengolahan Kakao di Indonesia.
Tabel 5.3 Hasil Analisis Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Efek Pembebasan Tarif Perubahan harga dari tarif 5% menjadi 0% Sisi Importir (Indonesia): Nilai impor Biji Kakao (trf=5%) Perubahan Impor Nilai impor Biji Kakao (trf=0%) Efek penciptaan perdagangan (trade creation effect) Efek kehilangan perdagangan (trade diversion effect) Trade Total Effect Penerimaan negara (trf=5%) Penerimaan negara (trf=0%) Perubahan penerimaan negara Efek kesejahteraan/ surplus konsumen Sisi Eksportir: Nilai ekspor Biji Kakao ke Indonesia (trf=5%) Nilai ekspor Biji Kakao ke Indonesia (trf=0%) Perubahan ekspor Biji Kakao ke Indonesia
Besaran Satuan 0.00 US$/Ton 77.42 7.90 85.32 7.90
Juta US$ Juta US$ Juta US$ Juta US$
0.00 Juta US$ 7.90 3.74 0.00 -3.74 0.19
Juta US$ Juta US$ Juta US$ Juta US$ Juta US$
77.42 Juta US$ 85.32 Juta US$ 7.90 Juta US$
Sumber: WITS World Bank (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
47
Tabel 5.4 Perubahan Nilai Pasokan Biji Kakao Indonesia Akibat Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Partner Name
Belgium Cameroon Cote d'Ivoire Ecuador Ghana Malaysia Nigeria Papua New Guinea Peru Philippines Solomon Islands Total
Exports Exports Before in After in 1000 USD 1000 USD 74.99 7,160.47 20,612.45 9,073.19 20,749.47 2,434.92 244.74 13,782.39 269.08 110.21 2,910.19 77,422.09
83.07 7,932.74 22,835.51 10,051.75 22,987.31 2,262.46 271.14 15,268.83 298.10 102.42 3,224.06 85,317.39
Export Change In Revenue in 1000 USD 8.09 772.27 2,223.06 978.56 2,237.84 -172.46 26.40 1,486.45 29.02 -7.79 313.87 7,895.29
Sumber: WITS World Bank (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Ditinjau dari dampak perdagangan, penurunan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao akan meningkatkan penciptaan perdagangan (trade creation effect) sebesar US$ 7,90 juta dan tidak menimbulkan kehilangan perdagangan (trade diversion effect) sehingga total efek perdagangan mencapai US$ 7,90 juta (Tabel 5.2 dan 5.5). Dari segi kesejahteraan ekonomi/ surplus konsumen, tarif bea masuk atas impor Biji Kakao yang diturunkan dari 5% menjadi 0% akan menghasilkan surplus konsumen atau kesejahteraan konsumen sebesar US$ 0,19 juta (Tabel 5.3).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
48
Tabel 5.5 Efek Perdagangan Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia Berdasarkan SMART Partner Name
TradeTotal Effect in 1000 USD
Trade Creation Effect in 1000 USD
Trade Diversion Effect in 1000 USD
Old Simple Duty Rate
New Simple Duty Rate
World 7,895.30 7,895.30 0.00 4.84 0.00 Belgium 8.09 7.91 0.18 5.00 0.00 Cameroon 772.27 755.03 17.24 5.00 0.00 Cote d'Ivoire 2,223.06 2,173.45 49.61 5.00 0.00 Ecuador 978.56 956.71 21.85 5.00 0.00 Ghana 2,237.84 2,187.90 49.94 5.00 0.00 Malaysia -172.46 0.00 -172.46 0.00 0.00 Nigeria 26.40 25.81 0.59 5.00 0.00 Papua New Guinea 1,486.45 1,453.26 33.18 5.00 0.00 Peru 29.02 28.37 0.65 5.00 0.00 Philippines -7.79 0.00 -7.79 0.00 0.00 Solomon Islands 313.87 306.86 7.01 5.00 0.00 Sumber: WITS World Bank (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Di sisi pemerintah, penurunan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao dari 5% menjadi 0% berpotensi untuk menghilangkan pendapatan negara. Merujuk pada data importasi atas Biji Kakao Indonesia pada tahun 2013, potensi kehilangan pendapatan negara atas pembebasan bea masuk Biji Kakao pada tahun 2014 (dengan mengasumsikan nilai impor sama dengan tahun 2013 (US$ 77,42)) akan berkisar US$ 3,74 juta (Tabel 5.3 dan 5.6).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
49
Tabel 5.6 Potensi Kehilangan Pendapatan Negara dari Pembebasan Tarif Bea Masuk Biji Kakao POTENSI KEHILANGAN PENDAPATAN NEGARA DARI PENETAPAN TARIF BEA MASUK KAKAO 0% (US$)
NEGARA
2008
GHANA PANTAI GADING PAPUA NUGINI EKUADOR KAMERUN KEPULAUAN SALOMON MALAYSIA PERU NIGERIA PILIPINA BELGIA JEPANG REP.RAKYAT TIONGKOK THAILAND SINGAPURA VIETNAM BATAM GUINEA REP.AFRIKA SELATAN AUSTRALIA VANUATU AMERIKA SERIKAT VENEZUELA BRASILIA BELANDA PERANCIS JERMAN SWISS Total
2009
2010
2011
2012
2013
(46,621.50) (1,612,958.45) (1,537,789.90) (743,587.00) (466,449.80) (1,037,473.60) (1,695,210.55) (504,659.30) (1,114,868.05) (702,599.65) (705,769.75) (1,030,622.50) (467,574.75) (1,098,532.60) (777,880.00) (535,963.30) (660,332.35) (689,119.25) 0.00 (30,051.15) (29,685.20) 0.00 (11,962.75) (453,659.45) (568,361.50) (206,341.35) (367,684.20) (504,864.90) (536,807.90) (358,023.65) 0.00 (326,248.45) (548,215.20) (472,489.60) (85,560.85) (145,509.55) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 (13,453.95) (122,000.95) (512.05) 0.00 (97,293.80) 0.00 (12,237.20) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 (3,749.30) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 (12,158.30) (59,896.15) 0.00 (13,548.00) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 (18,657.25) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 (71,696.70) 0.00 (2,899,769.25) (3,791,461.65) (4,454,675.95) (3,056,798.25) (2,552,128.10) (3,743,848.45)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (2014), telah diolah kembali oleh Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembebasan tarif bea masuk lebih berpotensi dalam meningkatkan nilai impor Biji Kakao dan total efek perdagangan (US$ 7,90 juta) dan menghilangkan pendapatan negara (US$
3,74
juta)
dibandingkan
mendatangkan
surplus
konsumen/
kesejahteraan ekonomi yang didapatkan oleh masyarakat Indonesia (US$ 0,19 juta).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
50
5.3
Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Petani dan Industri Pengolahan Kakao Kebijakan pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao
Indonesia berpotensi memberikan efek positif maupun negatif bagi pihakpihak yang berkepentingan mulai dari petani hingga industri pengolahan Kakao. 5.3.1 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Petani Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) (2014) dalam rapat/ diskusi terbatas menyampaikan bahwa dengan kondisi perkebunan Kakao di Indonesia umumnya sudah berumur tua dan berproduktivitas sangat rendah (hanya 0,5 ton/hektar/tahun), maka pembebasan
tarif
bea
masuk
atas
impor
Biji
Kakao
Indonesia
dikhawatirkan akan menurunkan insentif petani di dalam negeri untuk menanam pohon Kakao. Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Jenderal
Pemasaran
Kementerian Pengkajian Kementerian
Pertanian dan
dan
Pengolahan
pada
pertemuan
Pengembangan
Perdagangan
Hasil
pada
Kebijakan tanggal
Pertanian
dengan
Kepala
Perdagangan 21
April
2014
(P2HP) Badan (BP2KP) bahwa
penghapusan tarif bea masuk Biji Kakao akan membuat petani Biji Kakao domestik kesulitan mencari pembeli dan disinsentif bagi petani untuk memelihara perkebunan kakaonya padahal program Gernas Kakao pada 2014 ini sudah mulai menunjukkan hasilnya, yaitu panen raya. Jadi kebutuhan akan bahan baku industri kakao bisa dipenuhi berkat Gernas Kakao. Harga Biji Kakao dalam negeri akan turun dengan adanya pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao. Hal ini membuat petani tidak tertarik sehingga sebagian beralih ke komoditi Sawit dan Karet yang lebih menguntungkan. Dalam jangka panjang, petani Kakao akan melakukan alih fungsi lahannya (Bantolo, 2014). Dewan Kakao Indonesia (Dekindo) juga berpendapat bahwa tarif bea masuk atas impor Biji Kakao sebesar 0% akan menghilangkan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
51
perlindungan bagi petani lokal dari serbuan impor (Handoyo, 2014). Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) dalam rapat tindak lanjut bea masuk kakao Indonesia pada bulan April 2014 karena industri pengolahan Kakao akan lebih mengutamakan biji kakao impor dengan kualitas yang lebih baik dari Biji Kakao lokal. Selanjutnya, pengusaha bisa memenuhi kebutuhan bahan bakunya sebanyak apapun, hal ini menyebabkan hasil produksi petani akan dinomorduakan. 5.3.2 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao Indonesia terhadap Industri Pengolahan Kakao Bagi industri pengolahan Kakao, pembebasan tarif bea masuk dinilai dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan pasokan Biji Kakao bagi proses produksi. Dengan adanya kebijakan pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao, maka secara langsung akan dapat menurunkan biaya produksi industri pengolahan Kakao di dalam negeri karena industri pengolahan Kakao tidak lagi dibebani oleh kewajiban membayar bea masuk. Dengan biaya produksi yang lebih rendah, maka produksi Kakao Olahan (misalnya, premium cocoa powder) yang diproduksi di dalam negeri dapat lebih murah dan bersaing dengan produk premium cocoa powder (Kakao Olahan) yang berasal dari Malaysia dan Singapura. Secara lambat-laun, industri pengolahan Kakao yang berdaya saing akan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan impor cocoa powder di Indonesia. Berdasarkan proyeksi AIKI (2014), jumlah pabrik dalam industri pengolahan
Kakao
akan
mengalami
peningkatan
sehingga
akan
menciptakan nilai tambah, menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan menghidupkan industri pendukung lainnya. Dengan kondisi kebijakan perdagangan bea keluar yang telah diimplementasikan sekarang ini dan kebijakan pembebasan bea masuk atas impor Biji Kakao yang mendukung keberadaan pengembangan hilirisasi industri pengolahan Biji Kakao, maka akan meningkatkan iklim investasi yang lebih menarik untuk para investor. Sebagai ilustrasi, wakil dari Dinas Perindustrian dan Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
52
Perdagangan Provinsi Jawa Timur menyampaikan bahwa saat ini para investor besar mulai melirik Kabupaten Gresik sebagai tempat untuk mengolah Kakao. Para investor sedang bersiap untuk dapat memenuhi permintaan pasar terhadap Kakao yang diperkirakan meningkat 15-20 persen per tahun. Di sisi pemerintah pun, kebijakan penurunan tarif bea masuk Biji Kakao mengindikasikan bahwa pemerintah menjaga komitmen pengembangan hilirisasi berbasis komoditas sumber daya alam.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
53
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Berbeda dengan karakteristik komoditas perkebunan lainnya di mana harga paritas impor lebih murah dibandingkan dengan harga lokal, berdasarkan hasil perhitungan ternyata harga paritas impor atas Biji Kakao justru jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga Biji Kakao lokal. Meskipun demikian, industri pengolahan Kakao Indonesia lebih memilih untuk menggunakan Biji Kakao yang diimpor karena telah terfermentasi, memiliki kualitas yang lebih baik, dan dibutuhkan untuk proses pencampuran (blending). 2. Kebijakan pembebasan tarif bea masuk atas Biji Kakao lebih berpotensi meningkatkan nilai impor Biji Kakao dan total efek perdagangan serta menghilangkan pendapatan negara dibandingkan mendatangkan surplus konsumen/ kesejahteraan ekonomi yang didapatkan oleh masyarakat Indonesia. 3. Kebijakan pembebasan tarif bea masuk atas impor Biji Kakao Indonesia lebih berpotensi memberikan efek negatif bagi para petani dan memberikan dampak positif bagi industri pengolahan Kakao di dalam negeri.
6.2 Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis, menurut hemat kami kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk saat ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan Biji Kakao untuk industri pengolahan Kakao dalam negeri adalah tidak melakukan perubahan kebijakan (do nothing) dan menyerahkan kondisi yang ada kepada para pelaku usaha untuk melakukan adaptasi dan menemukan keseimbangan pasar.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
54
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Industri Kakao Indonesia. (2014). Kajian Penurunan Tarif Bea Masuk Biji Kakao di Indonesia. Disampaikan pada tanggal 21 April 2014 di Jakarta. Badan Pusat Statistik Indonesia. (2014). Data Perdagangan Ekspor dan Impor Indonesia. Bantolo, B. (2014, September 29). BM 0% 'Membunuh' Petani Kakao. diunduh 1 Oktober 2014 dari AgroFarm: www.agrofarm.co.id/m/laput/845/bm-0-membunuh-petanikakao/#.VEBr8cukdAg C. Kebijaksanaan Impor. (n.d.). diunduh 20 Maret 2014, dari UT: http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4216/33.htm Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. (2010). Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. Direktorat Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian (2014). Statistik Harga Komoditas Berdasarkan Provinsi dan Subsektor Komoditas: Perkebunan Pengumpul Komoditas Kakao diunduh melalui Pip.kementan.org/# Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2013). Kebijakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao dalam Mendukung Hilirisasi dan Meningkatkan Pendapatan Petani. Disampaikan pada Lokakarya Kakao Indonesia 2013 di Jakarta, 18 September 2013. Drajat, B. (2011). Peluang Peningkatan Nilai Tambah Kakao Domestik Melalui Regulasi Perdagangan. Pelita Perkebunan Volume 27 Nomor 2 Edisi Agustus 2011 , 130-149. Handoyo. (2014, Maret 31). Bea masuk nol, petani Kakao minta harga patokan. Retrieved Maret 31, 2014, from Kontan Indonesia: www.kontan.co.id/news/bea-masuk-nol-petani-kakao-minta-hargapatokan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
55
ICCO. (2013). Monthly Review of The Cocoa Market Situation. December 2013 . ICCO. (2014). Cocoa Market Review. March 2014 . ICCO. (2014). ICCO Monthly Averages of Daily Prices. Statistics: www.icco.org/statistics/cocoa-prices/monthly-averages.html) ICCO. (28 Februari 2014). Production of Cocoa Beans. ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol.XL, No.1, Cocoa Year 2013/2014 . Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2009). Background Paper Kajian Industri dan Perdagangan Kakao. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Krugman, Paul R. dan Maurice Obstfeld. (2003). International Economics: Theory and Policy. Pearson Education Internasional. Kurniawan, A. T., Rosniawanty, Tahir, F., & Syarrafah, M. (2014, Maret 9). Separuh Jalan Menggiling Cokelat. Jakarta: Tempo. Latifah, A.B., Sapudin, A., Adi, F. & Awaluddin, T. (2013). Analisis Dampak Pengenaan Tarif Bea Masuk Impor Pada Produk Hortikultura (Studi Kasus Terhadap Komoditas Bawang Merah). Bogor: Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor. Nuryanti, S. & Hadi, P.U. (2005). Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 1, Mei 2005: 82-99. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Permani, R. (2013). Optimal Export Tas Rates of Cocoa Beans: A Vector Error Correction Model Approach. Australian Journal of Agricultural and Resources Economics, Volume 57, Issue 4, pages 579-600, October 2013. Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. (2012). Kajian Perkembangan Perekonomian Kakao Nasional Pasca Pengenaan Bea Keluar Biji Kakao. Jakarta: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
56
Rifin, A. (2013). The Effect of Export Tax on Indonesia’s Cocoa Export Competitiveness. 2013 Conference (57th), February 5-8, 2013 Sydney Australia from Australian Agricultural and Resource Economics Society. Salvatore D. (1997). Ekonomi Internasional. Haris Munandar [Penerjemah]. Jakarta: Erlangga. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian. (2007). Gambaran Sekilas Industri Kakao. Jakarta: Departemen Perindustrian. Widayanto, S. (2011). Fasilitasi dan Aturan Perdagangan: Prosedur Notifikasi WTO Untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan: Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal . Jakarta: Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
57
LAMPIRAN 1: PERKEMBANGAN TARIF BEA MASUK BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN Pos/Subpos
Uraian Barang
TARIF BEA MASUK (%) MFN
1801.00.00.00 Biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digongseng. 1802.00.00.00 Kulit, sekam, selaput dan sisa kakao lainnya. 18.03 Pasta kakao, dihilangkan lemaknya maupun tidak. 1803.10.00.00 - Tidak dihilangkan lemaknya
ATIGA
ACFTA
AKFTA
AIFTA
2014-2015
2012-2014
2015
2012-2015
2016
2014
2015
5
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 Jan 2016 - 31-Des-2016 2017 2018 30 Des 2016 0 0 0 0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1803.20.00.00 - Dihilangkan lemaknya sebagian atau seluruhnya 1804.00.00.00 Mentega, lemak dan minyak kakao. 1805.00.00.00 Bubuk kakao, tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya. 18.06 Coklat dan olahan makanan lainnya mengandung kakao. 1806.10.00.00 - Bubuk kakao, mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya 1806.20 - Olahan lainnya dalam bentuk balok, lempeng atau batang dengan berat lebih dari 2 kg atau dalam bentuk cair,pasta, bubuk, butiran atau bentuk curah lainnya dalam kemasan atau bungkusan langsung,dengan isi melebihi 2 kg:
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
10
8
5
5
5
5
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.20.10.00 - - Kembang gula coklat berbentuk balok, lempeng atau batang
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.20.90.00 - - Lain-lain
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.31.10.00 - - - Kembang gula coklat
10
0
0
0
0
0
10
8
6
5
5
5
1806.31.90.00 - - - Lain-lain
10
0
0
0
0
0
10
8
6
5
5
5
1806.31
1806.32
- Lain-lain, dalam bentuk balok, lempeng atau batang: - - Diisi:
- - Tidak diisi:
1806.32.10.00 - - - Kembang Gula coklat
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.32.90.00 - - - Lain-lain
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.90
- Lain-lain:
1806.90.10.00 - - Kembang gula coklat bentuk tablet atau pastiles 1806.90.30.00 - - Olahan makanan dari tepung, tepung kasar, pati atau ekstrak malt,mengandung kakao 40% atau lebih tetapi kurang dari 50% menurut beratnya 1806.90.40.00 - - Olahan makanan dari pos 04.01 sampai dengan 04.04, mengandung kakao 5% atau lebih tetapi kurang dari 10% menurut beratnya, diolah secara khusus untuk keperluan bayi, tidak disiapkan untuk penjualan eceran 1806.90.90.00 - - Lain-lain
Keterangan: *) Tarif bea keluar Biji Kakao berkisar 0%-15% bergantung pada penetapan Harga Referensi Biji Kakao Sumber: Kementerian Keuangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
58
LAMPIRAN 1 LANJUTAN: PERKEMBANGAN TARIF BEA MASUK BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN Pos/Subpos
Uraian Barang
TARIF BEA MASUK (%) AANZFTA
IJEPA
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2014
2015
2016
2017
2018
Biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digongseng. Kulit, sekam, selaput dan sisa kakao lainnya. Pasta kakao, dihilangkan lemaknya maupun tidak. - Tidak dihilangkan lemaknya
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
- Dihilangkan lemaknya sebagian atau seluruhnya Mentega, lemak dan minyak kakao. Bubuk kakao, tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya. Coklat dan olahan makanan lainnya mengandung kakao. - Bubuk kakao, mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya - Olahan lainnya dalam bentuk balok, lempeng atau batang dengan berat lebih dari 2 kg atau dalam bentuk cair,pasta, bubuk, butiran atau bentuk curah lainnya dalam kemasan atau bungkusan langsung,dengan isi melebihi 2 kg:
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1806.20.10.00
- - Kembang gula coklat berbentuk balok, lempeng atau batang
0
0
0
0
0
0
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.20.90.00
- - Lain-lain
0
0
0
0
0
0
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.31
- Lain-lain, dalam bentuk balok, lempeng atau batang: - - Diisi:
1806.31.10.00
- - - Kembang gula coklat
0
0
0
0
0
0
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.31.90.00
- - - Lain-lain
0
0
0
0
0
0
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.32
- - Tidak diisi:
0
0
0
0
0
0
0
1806.32.10.00
- - - Kembang Gula coklat
5
4
4
4
3
3
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.32.90.00
- - - Lain-lain
5
4
4
4
3
3
0
3.8
1.9
0
0
0
1806.90
- Lain-lain:
1806.90.10.00
- - Kembang gula coklat bentuk tablet atau pastiles - - Olahan makanan dari tepung, tepung kasar, pati atau ekstrak malt,mengandung kakao 40% atau lebih tetapi kurang dari 50% menurut beratnya - - Olahan makanan dari pos 04.01 sampai dengan 04.04, mengandung kakao 5% atau lebih tetapi kurang dari 10% menurut beratnya, diolah secara khusus untuk keperluan bayi, tidak disiapkan untuk penjualan eceran - - Lain-lain
5
4
4
4
3
3
0
3.8
1.9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.6
0
0
0
0
1801.00.00.00 1802.00.00.00 18.03 1803.10.00.00 1803.20.00.00 1804.00.00.00 1805.00.00.00
18.06 1806.10.00.00
1806.20
1806.90.30.00
1806.90.40.00
1806.90.90.00
Keterangan: *) Tarif bea keluar Biji Kakao berkisar 0%-15% bergantung pada penetapan Harga Referensi Biji Kakao Sumber: Kementerian Keuangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan
59