II.
LANDASAN TEORI
A. PRODUK PANGAN SEGAR Konsumsi produk pangan segar telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Definisi produk pangan segar menurut PP No.28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung, dan atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan. Produk pangan segar meliputi hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan. Menurut sumbernya, produk pangan segar dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu produk hewani dan nabati. Produk hewani berasal dari aneka jenis hewan, sedangkan produk nabati berasal dari aneka jenis tumbuhan. Masing-masing produk dapat dikonsumsi seluruh bagian atau hanya bagian-bagian tertentu saja dari tubuhnya (Freidberg 2009). Produk pangan segar tergolong sebagai produk yang mudah rusak atau perishable food, baik secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Produk ini juga termasuk ke dalam jenis panganan yang bersifat Potentially Hazardous Food (PHF). Menurut FDA (2009), PHF adalah produk yang mengandung bahan atau komponen pendukung bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen penyebab infeksi atau intoksikasi pangan secara progresif. Sifat ini mengacu pada kondisi produk yang memiliki nilai pH antara 4.6-7.5, mengandung protein, dan aktivitas air (aw) di atas 0.85. Kebanyakan suplai produk pangan segar cepat rusak dikarenakan kandungan air dan kandungan zat gizinya yang cukup tinggi (Tabel 1). Produk pangan segar dapat menjadi substrat bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan spesies mikroorganisme patogenik. Apabila produk pangan mengandung mikroorganisme patogenik dalam jumlah yang cukup banyak, maka berpotensi menimbulkan penyakit bagi manusia yang memakannya. Selain itu, produk pangan segar dapat bertindak hanya sebagai vektor bagi jenis-jenis mikroorganisme patogenik melalui kandungan air yang dimilikinya (Buckle et al. 1987). Tabel 1. Kemudah-rusakan Produk Pangan Segar Kemudah-rusakan (Daya Tahan Kadar Air dalam Peyimpanan Suhu Kamar) Sangat mudah rusak (1-7 hari) Sedang sampai tinggi
Produk • Jaringan ternak: daging, ayam, ikan laut. • Jaringan tanaman: buahbuahan dan sayuran lunak, berair dengan tingkat respirasi yang tinggi.
Mudah rusak (satu sampai beberapa minggu)
Sedang
Sedikit mudah rusak (1 tahun atau lebih)
Rendah
• Susu Jaringan tanaman: umbiumbian, apel, dan pir yang ranum Jaringan tanaman: Padipadian, polong-polongan (kering), kacang-kacangan.
Sumber: Buckle et al. (1987)
3
Sebagian besar produk pangan segar dalam kondisi penyimpanan normal akan mengalami reaksi-reaksi atau perubahan sehingga produk tersebut tak dapat dipakai lagi. Pembusukan produk pangan dapat diartikan sebagai setiap perubahan dari produk yang masih segar maupun setelah diolah, dimana perubahan sifat-sifat kimiawi, fisik, atau organoleptik dari produk tersebut mengakibatkan penolakan oleh konsumen. Menurut Buckle et al. (1987), secara umum pembusukan bahan pangan dapat terjadi melalui: 1. Kerja mikroorganisme (terutama bakteri, ragi, dan kapang), serangga, binatang pengerat, dan lain-lain; 2. Proses metabolisme (kerja enzim) dalam jaringan bahan pangan menuju pada pembusukan (buahbuahan dan sayuran), perubahan autolitik (daging dan ikan segar dan lain-lain), dan berkecambahnya biji-bijian; 3. Oksidasi yang mengakibatkan ketengikan pada bahan pangan berlemak dan kerusakan cita rasa dan warna, dan reaksi kimia non enzimatik lainnya; 4. Pengeringan dan pelayuan makanan basah; 5. Penyerapan bau dan cita rasa dari luar; 6. Kesalahan dalam persiapan dan pengolahan; dan 7. Kerusakan mekanis dan kontaminasi dengan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan. Penyebab pembusukan yang paling utama adalah mikroorganisme dan pelbagai perubahan enzimatis maupun non enzimatis yang terjadi setelah panen, penyembelihan, dan pengolahan. Kondisi alami dari produk pangan segar saat panen, yaitu pada permukaannya ditumbuhi oleh berbagai spesies mikroorganisme (selain infeksi laten), baik patogenik mapun non patogenik. Kebanyakan patogen tidak agresif menyerang produk pangan segar. Mereka membutuhkan celah masuk atau entry site untuk menginvasi jaringan dan melakukan infeksi. Penanganan saat panen yang tidak baik dapat memicu patogen untuk melakukan invasi, seperti adanya kerusakan mekanis, fisiologi, dan kerusakan karena insekta. Semakin banyak kerusakan-kerusakan tersebut, maka semakin tinggi kepekaannya terhadap infeksi mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang merupakan bagian dari bahan pangan, yaitu keasaman atau pH, kadar air, nutrisi, senyawa antimikroorganisme, dan struktur biologi. Faktor ekstrinsik, yaitu faktor dari luar yang dapat diatur untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, yaitu suhu, kelembapan, dan gas. Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dan aw dimana pertumbuhan masih memungkinkan untuk mikroorganisme (Nuraida 2002). Pembusukan produk pangan segar yang mudah rusak hanya dapat dihindari melalui konsumsi langsung atau pengawetan segera yang efektif. Hal ini juga membantu mengurangi risiko kontaminasi dan kemungkinan dimakan oleh binatang perusak. Pengawetan umum yang dilakukan pada produk pangan segar antara lain, pendinginan, pembekuan, penggunaan bahan kimia, pengemasan vakum dan pengendalian atmosfir, irradiasi, dan sebagainya. Menurut Buckle et al. (1987), metode pengawetan bahan pangan didasari oleh empat faktor terkait kemungkinan kebusukan akibat kerja mikroorganisme, yaitu: 1. Perusakan mikroorganisme dengan panas atau radiasi ion dan perlindungan dari pencemaran selanjutnya dengan pengemasan efektif; 2. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan berkadar air normal dengan pendinginan, penambahan bahan pengawet kimia (termasuk pengasapan dan curring) atau antibiotika, pengasaman, penyimpanan dengan gas, dan lain-lain;
4
3.
4.
Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dengan mengurangi kadar air dan dengan demikian juga penurunan aktivitas air dengan cara pengeringan, pembekuan, pemberian garam, gula, dan lain-lain; dan Menghilangkan mikroorganisme, misalnya penyaringan steril.
B. KEAMANAN PANGAN PRODUK RITEL 1.
Definisi Keamanan Pangan Definisi keamanan pangan menurut Codex (1997) merupakan jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan dan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki (Hariyadi 2007). Joint Expert Committee of Food Safety (JECFA) menyatakan keamanan pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi manusia. Definisi keamanan pangan juga tercantum dalam Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan, yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi: 1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi; 2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan 3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif. Untuk memenuhi tuntutan keamanan pangan yang lebih baik, perlu diterapkan suatu jaminan keamanan pangan. Semua rantai pangan dari produksi primer (meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, dan lainnya), pemrosesan, penyimpanan, hingga pengiriman harus dicek dan dikontrol dengan baik untuk menghindari kontaminasi yang dapat menyebabkan kerusakan produk pangan. Hal tersebut penting untuk memberikan jaminan keamanan pangan from farm to table (Supriyono 2008).
2.
Sumber Bahaya Keamanan Pangan Bahaya keamanan pangan tertuju pada faktor-faktor dalam bahan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sumber-sumber bahaya keamanan pangan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu fisik, kimia, dan mikrobiologi. Bahaya yang bersifat fisik, contohnya serpihan batu dan logam; bersifat kimia, contohnya toksin yang diproduksi selama proses pengolahan pangan dan zat-zat alergenik; dan bersifat mikrobiologi, contohnya bakteri patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi (Lawley 2008). Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti pestisida, logam berat (Pb, Arsen, Kadmium) (Winarno 1993). Meskipun
5
peningkatan penggunaan pestisida, food additive, dan kontaminasi zat kimia dari lingkungan banyak menyebabkan bahaya bagi keamanan dan kesehatan konsumen, tetapi menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya. Sudut perhatian utama konsumen atas keamanan pangan meliputi penyakit yang terkandung dalam makanan, kontaminasi pestisida, kontaminasi lingkungan (logam berat), dan residu obat ternak dalam makanan, termasuk keraguan pada keamanan aditif pangan atau bahan tambahan pangan (Winarno 1994). Berdasarkan perkembangan hasil penelitian terhadap sumber bahaya keamanan pangan, Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene. Produk pangan yang mulai busuk atau yang telah beracun tidak selalu menunjukkan gejala yang mudah dikenal oleh panca indera manusia. Walaupun mutu produk dapat diduga melalui penampakan fisik berdasarkan sejumlah kriteria seperti warna, tekstur, dan aroma, nyatanya tidak demikian dengan status keamanannya ketika dikonsumsi (Winarno 1994). Kebanyakan produk asal nabati dan hewani tumbuh di daerah yang kurang terjamin kebersihannya dan para produsen konvensional kurang mengendalikan kondisi tersebut selama proses produksi. Hal ini menunjukkan bahwa permukaan produk pangan segar dapat menjadi substrat bagi sejumlah mikroflora patogen. Proses produksi, pemanenan, pencucian, pemotongan, pengemasan, transportasi, hingga penyiapan produk merupakan peluang untuk terjadinya kontaminasi produk. Peningkatan status kontaminasi melalui kontaminasi silang mungkin berlangsung selama proses distribusi atau pun tindakan kontak antara manusia dengan produk pangan (Sapers et al. 2006). Menurut Marriott dan Gravani (2006), terganggunya jaminan keamanan dan kelayakan pangan (akseptabilitas) pada industri pangan umumnya dipengaruhi oleh hal-hal berikut: 1. Makanan mentah atau bahan tambahannya yang terkontaminasi; 2. Pengendalian suhu yang tidak tepat selama pengolahan dan penyimpanan (penyalahgunaan antara waktu dan suhu proses); 3. Kesalahan prosedur pendinginan atau kegagalan untuk mendinginkan produk tertentu di suhu pendingin dalam waktu 2 sampai 4 jam; 4. Penanganan yang tidak tepat setelah proses pengolahan dan kontaminasi silang (antara produk mentah dengan produk yang telah diproses); 5. Pembersihan peralatan yang tidak efektif; 6. Kegagalan untuk memisahkan produk mentah dan produk jadi; dan 7. Kurangnya penerapan higiene personal dan praktik-praktik sanitasi. Pada tahun 1998, Food and Drug Administration (FDA) melakukan observasi terkait faktor-faktor risiko yang berpotensi besar sebagai penyebab kasus keracunan maupun penyakit asal pangan (Parker dan Bone 2005). Observasi yang dilakukan melibatkan 895 industri ritel pangan di Amerika Serikat. Lokasi observasi berada di empat departemen, yaitu departemen produk olahan daging, departemen produk daging dan unggas segar, produk hortikultura segar, dan produk perikanan segar. Berdasarkan hasil observasi, faktor risiko yang paling banyak ditemukan adalah masalah ketidaksesuaian suhu selama proses penanganan produk. Ketidaksesuaian suhu mengindikasikan bahwa upaya pengendalian suhu belum berjalan dengan baik pada industri ritel di Amerika Serikat. Hasil observasi dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Hasil Observasi Mengenai Faktor Risiko pada Industri Ritel Pangan di Amerika Serikat (Kasus) Faktor Risiko
Sumber pangan yang tidak aman Ketidakcukupan waktu masak atau pengolahan Ketidaksesuaian suhu Kontaminasi peralatan Kurangnya higiene personal Lainnya atau bahan kimia
Produk Daging Olahan
Produk Daging dan Unggas Segar
Produk Hortikultura Segar
Produk Perikanan Segar
26
48
5
143
96
*
*
*
507 184 236 151
317 201 165 103
459 194 234 107
302 127 141 58
*=Ketidakcukupan data Sumber: Parker dan Bone (2005)
3.
Standar Keamanan Pangan a) Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Jaminan keamanan pangan adalah hak asasi konsumen. Di kebanyakan negara, keamanan suplai pangan telah diatur oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Industri atau perusahaan yang bergerak dalam bisnis produk pangan diharuskan memenuhi tuntutan peraturan keamanan pangan, setidaknya untuk melindungi konsumen dari bahaya yang ditimbulkan akibat pengkonsumsian produk pangan. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan sebuah sistem manajemen keamanan pangan yang efektif seperti analisis bahaya titik kontrol kritis (HACCP). HACCP adalah suatu piranti (sistem) yang digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan. Karena itu, sebagai suatu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Kadarisman dan Muhandri 2008). Menurut Marriott dan Gravani (2006), HACCP merupakan pendekatan preventif untuk produksi pangan yang konsisten dan aman. Program ini didasarkan pada dua konsep penting dari produksi pangan, yaitu penerapan keamanan pangan dan dokumentasi. Tujuan utama HACCP, yaitu menentukan faktor apa saja yang berpotensi sebagai penyebab bahaya keamanan pangan beserta kemungkinan waktu terjadinya dan bagaimana tindakan pencegahannya. Konsep dokumentasi berguna untuk memastikan bahwa potensi bahaya telah dikendalikan. HACCP telah direkomendasikan dan atau untuk digunakan oleh seluruh industri makanan di dunia dan merupakan dasar untuk pemeriksaan makanan di Amerika Serikat. Pelaksanaan konsep HACCP dibagi menjadi dua bagian: (1) analisis bahaya dan (2) penentuan titik kontrol kritis (CCP). Analisis bahaya memerlukan pengetahuan mendalam tentang mikrobiologi pangan dan pengetahuan terkait jenis-jenis mikroorganisme yang umum mengkontaminasi produk pangan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut. Analisis bahaya adalah prosedur untuk melakukan analisis risiko bahan baku dan produk dengan menggunakan
7
diagram alir untuk mencerminkan proses manufaktur dan urutan distribusi, kontaminasi mikroorganisme, kelangsungan hidup, dan kemampuan proliferasi penyebab penyakit. CCP diidentifikasi dari diagram alir yang telah dibuat. Setiap kekurangan yang teridentifikasi menjadi prioritas dalam menentukan langkah perbaikan. Pemantauan atau monitoring disusun untuk mengevaluasi efektivitas langkah-langkah perbaikan tersebut. Program HACCP dilaksanakan oleh produsen pangan dan dipantau oleh badan berwenang melalui penyediaan alat bantu dan sasaran pemantauan agar upaya perlindungan masyarakat berjalan efektif. Karena itu, sebagian besar produsen pangan akan merasa perlu untuk mengadopsi penerapan kajian risiko dan HACCP berbasis pendekatan preventif dalam mengatasi masalah keamanan pangan. Pada akhirnya, mereka pun dituntut untuk memiliki pemahaman dasar tertentu terkait bahaya keamanan pangan yang relevan dengan proses dan produk yang dihasilkannya (Lawley 2008). b) British Retail Consortium (BRC) Undang-undang Keamanan Pangan Inggris tahun 1990 mengisyaratkan perlunya dibentuk suatu badan yang mengatur keamanan pangan bagi para pedagang dan distributor yang terlibat dalam rantai suplai pangan. Kemudian dibentuklah BRC, yaitu suatu organisasi perdagangan Inggris yang didirikan atas prakarsa beberapa pemilik usaha supermarket atau swalayan Inggris seperti Tesco, Merk & Spencer, dan Sainsbury’s. Pada tahun 1998, BRC menyusun suatu standar makanan yang ditujukan bagi industri ritel yang dikenal dengan nama BRC Global Standard. Standar ini sekaligus menjawab kebutuhan para peritel mengenai pentingnya menjaga konsistensi mutu dan keamanan produk pangan yang berasal dari para produsen atau pemasok. Kini, BRC telah mengembangkan berbagai standar persyaratan untuk kegiatan produksi, pengemasan (termasuk bahan pengemas), penyimpanan, dan distribusi produk pangan. Pemberlakuan standar BRC merupakan bagian dari penegakan hukum pangan yang berlaku di Inggris dan di bawah pengawasan hukum pangan Uni Eropa. Namun, standar ini tidak wajib diterapkan sebagai persyaratan dagang bagi pemilik supermarket atau swalayan (BRC 2011). Konsep BRC Global Standard didasarkan pada dua komponen utama, yaitu komitmen manajemen senior dan HACCP. Komitmen manajemen senior merupakan titik awal dari perencanaan keamanan pangan. Semua kebijakan manajemen ditujukan untuk memandu upaya-upaya penjaminan keamanan pangan bersama. Standar ini menempatkan prioritas utama pada bukti nyata dari komitmen manajemen senior. Sedangkan HACCP, merupakan dasar bagi pengembangan rencana keamanan pangan oleh BRC. Dalam penerapannya, BRC Global Standard menetapkan sepuluh persyaratan dasar bagi upaya peningkatan mutu dan keamanan pangan yang efektif. Persyaratan dasar tersebut meliputi: 1. Komitmen manajemen senior dan perbaikan berkesinambungan; 2. Rencana keamanan pangan – HACCP; 3. Internal audit; 4. Tindakan korektif; 5. Tindakan penelusuran; 6. Layout, aliran produk, dan segregasi; 7. Rumah tangga dan kebersihan; 8. Manajemen alergen; 9. Pengendalian operasi; dan 10. Pelatihan.
8
c)
Food Code dan The Standards oleh FDA Food Code atau “kode makanan” adalah suatu standar praktik sanitasi yang dikeluarkan pertama kali oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 1993. Food Code menunjukkan cara-cara praktik yang baik mengenai penyimpanan, penanganan, dan persiapan makanan yang aman. Penyusunan Food Code didasarkan pada analisis resiko terhadap faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan akibat makanan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, FDA memperbaharui model Food Code setiap dua tahun sekali. Mulai tahun 2001, kebijakan tersebut berubah dimana model Food Code hanya akan diperbaharui setiap empat tahun sekali. Sampai saat ini, FDA telah menghasilkan tujuh macam versi Food Code berdasarkan tahun terbitannya, yaitu 1993, 1995, 1997, 1999, 2001, 2005, dan 2009. Food Code merupakan pedoman yang tepat bagi para industri atau perusahaan yang bergerak pada bidang pelayanan makanan, seperti restoran, ritel, rumah perawatan, dan lainnya (FDA 2011). Ada tujuh aspek pokok dalam penerapan GRP menurut Food Code tahun 2009, yaitu: 1. Manajemen dan personel; 2. Makanan; 3. Peralatan, perlengkapan, dan linen; 4. Air, pipa, dan limbah; 5. Fasilitas fisik; 6. Bahan beracun dan berbahaya; dan 7. Kepatuhan dan penegakan. Selain Food Code, FDA juga mengeluarkan standar prosedur inspeksi bagi industri ritel pangan pada tahun 1998, yaitu Recommended National Retail Food Regulatory Program Standards (The Standards). Standar ini menyediakan panduan terkait program perkembangan dan manajemen inspeksi industri ritel. Fungsi Food Code dan The Standards saling bersinergi satu sama lain sebagai blueprints untuk perkembangan praktik inspeksi industri ritel di masa depan. Walaupun hanya bersifat sukarela, FDA menyarankan industri ritel untuk mengadopsi kedua standar ini karena manfaat yang diperoleh sangat besar. Manfaat tersebut antara lain, mengurangi faktor risiko penyebab kasus keracunan dan penyakit asal pangan, serta mencapai keseragaman standar inspeksi bagi seluruh industri ritel di Amerika Serikat.
C. SANITASI DAN HIGIENE PANGAN Istilah “sanitasi” berasal dari kata latin sanitas yang berarti “kesehatan”. Dalam industri pangan, sanitasi berarti menciptakan dan memelihara kondisi yang higienis dan sehat. Prinsip-prinsip ilmiah digunakan oleh semua pihak yang menangani bahan pangan (termasuk produsen, pedagang, distributor, dan konsumen) untuk memproduksi makanan sehat di lingkungan yang higienis. Sanitasi dapat mengurangi pertumbuhan mikroorganisme pada peralatan dan produk pangan, baik mikroorganisme patogen maupun pembusuk. Definisi sanitasi yang tercantum dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak produk pangan dan membahayakan manusia. Menurut Marriott dan Gravani (2006), pengertian sanitasi lebih dari sekedar “kebersihan”. Produk pangan atau peralatan yang secara fisik terlihat bebas dari cemaran, kenyataannya masih dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme atau bahan kimia yang menyebabkan timbulnya penyakit. Prinsip-prinsip sanitasi
9
juga berlaku untuk proses pembuangan limbah dan dapat membantu mengurangi polusi, serta meningkatkan keseimbangan ekologi. Sanitasi termasuk salah satu ilmu terapan. Sanitasi berhubungan dengan prinsip pangan secara fisik, kimia, biologi, mikrobiologi, lingkungan, dan kesehatan. Ilmuwan yang bergerak di bidang sanitasi harus mampu mengendalikan mikroorganisme selama proses penanganan produk pangan agar dampak positif yang diperoleh lebih banyak dibandingkan dampak negatifnya. Hal ini mengingat bahwa tidak semua mikroorganisme bersifat sebagai patogen dan pembusuk, tetapi ada sebagian yang bermanfaat dalam proses persiapan dan pengolahan produk pangan (Marriott dan Gravani 2006). Aplikasi sanitasi pangan meliputi praktik higiene untuk memelihara kebersihan dalam keseluruhan proses produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian pangan termasuk air minum. Sanitasi yang baik akan membantu mencegah terjadinya kontaminasi pada produk pangan. Selain itu, minimnya sanitasi dapat memicu terganggunya proses penjualan produk akibat penurunan laba perusahaan, banyak dihasikannya produk pangan yang rusak, hilangnya kepercayaan diri konsumen, memburuknya publisitas produk pangan, dan terkena sanksi hukum yang berlaku (Marriott dan Gravani 2006). Kata higiene yang berarti “kebersihan” digunakan untuk menggambarkan suatu penerapan prinsip-prinsip sanitasi dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Penerapan kondisi higiene meliputi pekerja, bangunan dan fasilitas, peralatan dan perlengkapan, serta makanan. Prinsip-prinsip umum higiene pangan tercantum secara rinci dalam pedoman CAC/RCP 1-1969, Rev.4-2003 yang dikeluarkan oleh badan standar pangan dunia yaitu Codex. Higiene pangan adalah semua kondisi dan langkah yang dibutuhkan untuk meyakinkan keamanan dan kelayakan suatu produk pangan di seluruh tahap dalam rantai pangan (CAC 2003). Pengendalian praktik higiene yang efektif menjadi sangat penting karena mampu mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan permasalahan ekonomi terkait keracunan pangan, kerusakan pangan, dan penyakit akibat pangan. Semua pihak termasuk pemerintah, industri (termasuk produsen primer, industri manufaktur, pengolah, operator pelayan makanan, dan ritel), serta konsumen sendiri memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelayakan dan keamanan makanan yang akan dikonsumsi. Aspek-aspek pokok mengenai tata cara proses penanganan pangan yang higiene mencakup produksi primer, desain dan fasilitas, pengendalian kegiatan operasional, pemeliharaan dan sanitasi, higiene perorangan, transportasi, informasi produk dan kesadaran konsumen, serta pelatihan praktik-praktik higiene bagi karyawan (CAC 2003).
D. GOOD RETAILING PRACTICES (GRP) Menurut Sulaeman (2008), GRP dalam bidang pangan didefinisikan sebagai praktik-praktik yang dianjurkan dalam usaha ritel untuk menjamin bahwa produk pangan yang dijual di ritel tersebut adalah aman dikonsumsi atau bebas dari risiko yang dapat mengganggu kesehatan manusia, sekaligus memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja, serta meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Perlu ditekankan bahwa ruang lingkup GRP mencakup praktik-praktik yang benar dan higienis. Kegiatan ini harus dilakukan oleh industri ritel pangan untuk menjamin produk pangan yang dijual adalah aman dikonsumsi. Penerapan GRP dalam penanganan produk pangan segar mempunyai tujuan dan manfaat yang lebih luas dari sekedar keamanan pangan antara lain:
10
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Memberikan perlindungan kepada konsumen dari pembelian dan pengkonsumsian produk pangan yang tidak aman; Memberikan jaminan dan ketenangan kepada konsumen bahwa produk yang dibelinya aman dan bermutu sesuai dengan harga yang dibayarkan; Menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap usaha ritel dan mengurangi klaim kasus keracunan atau kerugian yang diajukan konsumen; Meningkatkan daya saing usaha ritel dan menghindari “pemerasan” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab; Memenuhi persyaratan undang-undang dan peraturan serta mengurangi temuan pelanggaran sewaktu inspeksi mendadak oleh pihak berwenang; dan Menciptakan suasana yang nyaman dan etos kerja yang baik serta pemberlakuan sistem reward bagi staf yang konsisten dalam penerapan GRP.
Konsep penerapan GRP di Indonesia telah diatur dalam PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan pasal 8 yang mencakup: (1) mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak penyimpanan agar tidak terjadi pencemaran silang; (2) mengendalikan stok penerimaan dan penjualan; (3) mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kadaluarsanya; dan (4) mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembapan, dan tekanan udara. Selain di Indonesia, konsep penerapan GRP telah banyak dikaji secara mendalam oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Swiss, dan Irlandia. Salah satu negara yang sangat konsisten mengembangkan konsep GRP adalah Amerika Serikat. Upaya yang dilakukan meliputi pematangan regulasi, penelitian ilmiah berbasis analisis resiko, beserta teknis pelaksanaannya. Sasaran konsep ini tidak hanya terpusat pada pemerintah di negara bagian, tetapi sampai kepada pemerintah lokal yang ada di dalam negara bagian tersebut. Pematangan seluruh konsep GRP menjadi tanggungjawab badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA). Konsep ini berfungsi sebagai acuan standar bagi pemerintah dalam menentukan aspek-aspek GRP yang sesuai dengan kondisi ritel yang ada, seperti yang dilakukan oleh County of San Bernardino Environmental Health Service di negara bagian California. Ada dua puluh satu aspek yang dikembangkan berdasarkan konsep GRP oleh FDA, yaitu: 1.
Penguasaan Pengetahuan oleh Karyawan Semua karyawan yang menangani produk pangan secara langsung harus mempunyai cukup pengetahuan dan terlatih tentang keamanan pangan, terutama yang berkaitan dengan tugasnya sehari-hari. Pengetahuan dan pelatihan mencakup penggunaan fasilitas dan tata cara persiapan, pengolahan, dan penyajian produk pangan yang tergolong Potentially Hazardous Food (PHF). Dengan kata lain, karyawan telah lulus uji atau tersertifikasi oleh badan tertentu yang diakui perusahaan dan terakreditasi secara nasional atau internasional.
2.
Kesehatan Karyawan dan Praktik Higiene Pengendalian terhadap status kesehatan karyawan dan praktik higiene karyawan perlu dilakukan selama proses penanganan produk pangan. Karyawan yang berhubungan dengan produksi makanan harus dalam keadaan sehat atau terjaga dari hal lain yang dapat mengakibatkan kontaminasi silang. Karyawan yang memiliki penyakit menular dan luka dilaporkan kepada supervisor atau manajer agar tidak dimasukkan dalam kegiatan operasional dan dilarang berada di sekitar fasilitas maupun peralatan yang kontak langsung dengan produk pangan. Kesehatan
11
karyawan diperiksa secara berkala untuk mencegah penularan penyakit melalui makanan. Kebiasaan para karyawan yang berpotensi mengkontaminasi produk harus ditinggalkan, seperti makan dan minum, bersin, batuk, meludah, dan merokok. Karyawan pun sebaiknya melepas perhiasaan, pin, jam tangan, maupun asesoris lainnya di sekitar area produksi apabila terjadi kontak langsung dengan produk. Praktik higiene meliputi penggunaan pakaian yang bersih disertai atribut seperti sarung tangan, penutup kepala, masker, dan sebagainya. 3.
Pencegahan Kontaminasi oleh Tangan Karyawan diharuskan untuk mencuci tangan sebelum maupun sesudah melakukan aktivitas, seperti proses penanganan produk pangan, penggunaan fasilitas maupun peralatan pangan, perubahan kondisi kerja (dari produk utuh ke produk olahan), penggunaan fasilitas toilet, dan menyentuh bagian tubuh. Fasilitas cuci tangan sebaiknya dibangun pada lokasi yang dekat dengan proses penanganan produk, terutama proses persiapan dan pengolahan, serta proses lain yang banyak menggunakan peralatan pangan. Perlengkapan penunjang harus disediakan pada fasilitas cuci tangan untuk meningkatkan praktik higiene seperti, sabun dan pengering tangan (handuk bersih, mesin pengering tangan, atau tisu).
4.
Hubungan antara Waktu dan Suhu Proses pengendalian suhu yang mencakup seluruh kegiatan operasional secara umum, yaitu transportasi, penyimpanan, persiapan, dan pemajangan. Beragam fasilitas yang dilengkapi alat pengendali suhu berfungsi memperlambat kerusakan produk pangan akibat pertumbuhan mikroorganisme atau perubahan kimia yang dipengaruhi oleh suhu. Contohnya adalah ruang penyimpanan dan rak display atau showcase. Seluruh produk pangan segar yang tergolong PHF harus dijaga pada suhu di bawah 50C. Pengolahan produk PHF dengan pemanasan harus berlangsung pada suhu di atas 57.220C. Setelah proses pemanasan atau hot holding, produk didinginkan dari suhu 57.220C ke suhu 50C maksimal selama enam jam. Produk pangan segar, seperti telur, daging, atau produk yang mengandung kedua bahan tersebut harus dimasak minimal pada suhu 68.330C selama 15 menit. Untuk produk pangan segar, seperti daging unggas dan produk perikanan atau produk yang mengandung kedua bahan tersebut harus dimasak minimal pada suhu 73.890C selama 15 menit. Walaupun demikian, penggunaan suhu lain dapat diterapkan sesuai kebutuhan dan ketentuan yang berlaku.
5.
Perlindungan terhadap Kontaminasi Semua produk pangan yang diproduksi, disiapkan, dikemas, disimpan, ditransportasikan, dipajang, dan disajikan harus terhindar dari sumber-sumber kontaminasi. Karyawan juga tidak boleh melakukan tindakan penyalahgunaan atau pemalsuan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Bentuk tindakan penyalahgunaan, yaitu penggunaan bahan beracun dan berbahaya pada produk. Bentuk tindakan pemalsuan, yaitu penukaran, penggunaan, atau pencampuran produk yang tidak layak konsumsi ke dalam produk layak konsumsi. Karyawan harus melakukan pengecekan terhadap produk dari pemasok terkait sumber perolehan produk, mutu produk, dan kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh hama dan kotoran. Beberapa contoh tindakan yang dilarang antara lain penyajian ulang produk pangan dari kemasan aslinya (original packaging), penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi batas maksimum, dan penggunaan es dari sumber yang tidak higienis. Peralatan yang kontak langsung dengan makanan merupakan sumber cemaran baik fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Ketiga bahaya tersebut meliputi mikroorganisme, potongan bagian
12
tumbuhan dan hewan, sisa makanan yang masih melekat, kotoran atau debu, logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar, dan lain-lain. Karena itu, upaya pembersihan dan sanitasi peralatan memerlukan fasilitas penunjang (bahan sanitaiser dan alat kebersihan) dan metode pembersihan agar dapat berjalan efektif. Kegiatan pembersihan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa proses pengolahan dan kotoran yang melekat (debu, tanah, dan sebagainya). Untuk mencegah kemungkinan adanya mikroorganisme, setelah proses pembersihan dilakukan tindakan sanitasi menggunakan bahan sanitaiser yang sesuai. Mengingat pentingnya kedua proses ini, maka dapat disusun suatu program pembersihan dan sanitasi yang bersifat rutin dan spesifik berdasarkan bahan dan peralatan yang digunakan, metode dan frekuensi, serta perencanaan tindakan monitoring. Obyek sanitasi sebaiknya dimonitor secara rutin melalui kegiatan inspeksi, pengambilan sampel produk dan peralatan untuk uji mikrobiologi, serta mengkaji hasil uji yang diperoleh untuk mengetahui kondisi lingkungan di sekitar area penanganan produk. 6.
Produk Pangan dari Sumber yang Telah Disetujui Penerimaan produk pangan oleh ritel harus dalam kondisi aman untuk dikonsumsi manusia, tidak mengganggu kesehatan, dan diperoleh dari sumber yang sesuai dengan regulasi keamanan pangan. Produsen pangan perlu memperhatikan hal-hal berikut selama produksi primer berlangsung, seperti pemakaian lahan budidaya yang tidak berpotensi bahaya pada produk, pengendalian sumber kontaminan (termasuk saat penanganan, penyimpanan, dan transportasi produk), penggunaan pestisida yang aman, pencegahan penyakit asal hewan dan tanaman, serta perlakuan pembersihan, pemeliharaan, dan higiene personal selama produksi primer berlangsung (CAC 2003).
7.
Kesesuaian dengan Prosedur yang Telah Disetujui Seluruh proses penanganan produk pangan perlu disusun suatu standar prosedur operasi (SOP) yang telah disetujui manajemen perusahaan. Prosedur tersebut berisi tata cara yang baik dan benar mengenai tahap-tahap kegiatan yang akan dilakukan. SOP perusahaan dapat diterapkan bersamaan dengan prosedur baku lain, seperti HACCP, panduan spesifik terkait metode penanganan produk pangan, dan lainnya. Pelaksanaan prosedur yang tepat dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan termasuk keefektifan penerapan GRP di dalam gerai.
8.
Pemberitahuan Konsumen Informasi mengenai produk pangan harus disampaikan dengan jujur kepada konsumen agar tidak terjadi penyalahgunaan dan dampak buruk lainnya. Pemberitahuan dapat disampaikan secara lisan oleh karyawan atau melalui tulisan dalam bentuk label atau leaflet. Gerai yang menyediakan jasa pengolahan produk siap konsumsi atau ready to eat wajib memberitahu konsumen terkait tingkat kematangan, proses pengawetan produk (pasteurisasi, sterilisasi, dan sebagainya), penggunaan BTP, serta cara penanganan dan konsumsi produk yang benar. Tata cara pelabelan tercantum dalam UU Nomor 69 Tahun 1999 dan khusus produk yang dikemas sendiri (prepackaged) tercantum dalam pedoman internasional, yaitu CODEX STAN 1-1985. Label yang tertera dalam bahan pengemas berisi informasi antara lain nama produk, berat produk, tanggal pengemasan, asal pemasok atau distributor, catatan penanganan (kondisi penyimpanan, aturan penanganan yang tepat, dan nama bahan pengawet produk), keterangan sertifikasi produk (HACCP), dan sertifikasi halal untuk produk tertentu. Informasi produk sangat dibutuhkan oleh pihak yang akan menangani atau menyajikan produk, termasuk
13
konsumen. Tujuannya agar tidak terjadi penyalahgunaan penanganan maupun penggunaan produk yang dapat menurunkan mutu dan membahayakan konsumen. 9.
Populasi yang Sangat Rentan Peredaran produk pangan di industri ritel harus atas izin atau lisensi dari badan pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan yang berwenang. Selain itu, penyediaan produk pangan yang akan dijual didasarkan pada pertimbangan khusus mengenai siapa calon konsumennya. Produk yang memiliki risiko tinggi sebaiknya tidak disediakan bagi konsumen antara lain produk siap saji yang menggunakan daging kurang matang, susu dan jus tanpa pasteurisasi, produk yang mengandung telur mentah atau kurang matang, dan produk pangan yang dibuka dari kemasan aslinya.
10. Ketersediaan Air Ketersediaan air bersih yang cukup untuk kebutuhan gerai ritel harus disediakan dari sumber yang telah dibangun, dipelihara, dan dioperasikan menurut peraturan yang berlaku. Semua sumber air yang berasal dari sumber lain yang belum disetujui pemerintah, harus melewati uji bakteriologi minimal setiap tahun sekali. Uji bakteriologi dilakukan oleh laboratorium terakreditasi dan hasil laporan ditinjau ulang setiap saat. Jika hasil laporan laboratorium menunjukkan bahwa air tidak aman dikonsumsi, pihak gerai harus segera membuat tindakan koreksi atau menyediakan pasokan air yang aman dari sumber lain yang disetujui pemerintah (CAC 2003). Air bersih yang digunakan oleh industri pengolahan makanan harus bersifat potable atau memenuhi standar air minum. Suplai air terdiri dari dua jenis, yaitu air dingin dan air panas. Air dingin dibutuhkan untuk berbagai keperluan, sedangkan air panas dibutuhkan untuk proses sanitasi peralatan. Suhu air panas minimal sekitar 48.890C (1200F). Selain itu, fasilitas air hangat juga dapat disediakan untuk keperluan cuci tangan dengan suhu air sebesar 37.780C (1000F). 11. Pembuangan Limbah Hampir sebagian besar limbah padat dan cair dihasilkan selama proses penanganan produk pangan dan kegiatan pembersihan fasilitas dan peralatan pangan. Limbah harus dibuang melalui sistem pembuangan yang dibangun, dipelihara, dan dioperasikan menurut peraturan yang berlaku. Apabila limbah mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun, maka sistem pembuangannya harus terpisah dari sistem pembuangan umum. 12. Pencegahan dan Pengendalian Hama Hama merupakan binatang atau serangga yang tidak dikehendaki keberadaanya dalam jumlah sedikit atau pun banyak di lingkungan industri pangan. Hama sering kali menyebabkan kontaminasi yang membahayakan dan berpotensi menyebabkan penyakit bahkan kematian. Tindakan pencegahan yang dapat mengurangi risiko infestasi hama antara lain, pembersihan dan sanitasi, inspeksi rutin terhadap penerimaan bahan baku produksi, pengecekan atau pengawasan terhadap sumber pemicu adanya hama, dan menutup segala akses yang dapat dimasuki hama seperti lubang, pintu, jendela, dan ventilasi pada area produksi. Deteksi awal keberadaan hama merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan langkah pengendalian. Apabila keberadaan hama tidak dapat dihindarkan, perlu dilakukan upaya pembasmian agar hama tidak sempat mengkontaminasi produk.
14
Tindakan pencegahan dan pengendalian hama saling terkait satu sama lain. Semakin besar tingkat keberhasilan tindakan pencegahan, maka semakin kecil tindakan pengendalian yang dibutuhkan. Dengan ini, industri ritel dapat membatasi penggunaan bahan kimia beracun dan berbahaya untuk membasmi hama. Manfaat lain adalah turut serta menjaga keseimbangan lingkungan. 13. Tindakan Supervisi Supervisi adalah suatu aktivitas pengawasan yang biasa dilakukan untuk memastikan bahwa suatu proses pekerjaan telah sesuai dengan prosedur baku. Dalam supervisi ini pihak yang melakukan supervisi disebut supervisor. Seorang supervisor dituntut untuk dapat menguasai paling tidak dua hal penting agar proses supervisi bernilai tambah. Hal pertama adalah kemampuan teknis sesuai proses pekerjaan yang ditangani. Hal kedua adalah kemampuan manajemen. Seluruh kegiatan operasional yang dilakukan di dalam gerai harus dengan sepengetahuan karyawan dan sesuai mandat yang diperintahkan oleh supervisor dan manajer. Walapun proses berjalan otomatis, karyawan tetap tidak boleh meninggalkan lokasi proses. Bersama-sama dengan manajer dan supervisor, karyawan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap seluruh kegiatan operasional. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan proses atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. 14. Kebersihan Personal Manusia merupakan obyek alami yang signifikan bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen. Bagian tubuh yang umum berpotensi mengkontaminasi makanan antara lain kulit, tangan, rambut, mata, hidung, nasofaring, saluran pernapasan, mulut, dan organ ekskresi. Risiko kontaminasi silang dapat dikurangi melalui praktik kebersihan atau higiene personal. Higiene personal berperan penting dalam sanitasi pangan dan menjadi langkah dasar yang harus dilakukan oleh karyawan sebelum bekerja. Higiene personal mengacu pada kebersihan tubuh seseorang selama proses penanganan hingga penyajian makanan. Praktik-praktik higiene personal yang harus dipenuhi karyawan antara lain mandi, potong kuku, merapikan rambut, kumis, dan jenggot sebelum bekerja. Selain itu, seluruh bagian yang kontak langsung dengan makanan juga perlu dilindungi oleh pakaian maupun atribut pelengkap yang bersih. 15. Persyaratan Umum Keamanan Pangan Ada empat hal yang termasuk persyaratan umum keamanan pangan menurut County of San Bernardino Environmental Health Service. Pertama, tata cara penanganan produk pangan terkait suhu menjadi sangat penting khususnya pada produk pangan segar. Proses pencairan atau thawing produk pangan beku harus dilakukan secara tepat. Thawing dapat dilakukan dengan cara pemanasan, perendaman produk di dalam air yang mengalir, dan penyimpanan pada suhu refrigerasi. Kedua, semua produk pangan yang berbeda jenis (meliputi produk nabati dan hewani, produk segar dan produk olahan, produk pangan dan non pangan) harus dipisahkan satu sama lain untuk mencegah kontaminasi silang. Ketiga, semua produk pangan segar harus dicuci dengan air bersih tepat sebelum proses persiapan untuk diolah. Keempat, bahan-bahan beracun atau toksik diletakkan terpisah pada lemari atau kompartemen penyimpanan. Hal ini bertujuan untuk menghindari tercampurnya kedua bahan tersebut. Bahan beracun yang digunakan oleh gerai umumnya dibutuhkan untuk proses pemeliharaan fasilitas, pembersihan, sanitasi, dan pengendalian hama. Bahan yang digunakan
15
untuk pembersihan dan sanitasi antara lain deterjen, sabun, soda kaustik, dan bahan kimia lainnya, sedangkan untuk pengendalian hama antara lain insektisida dan rodentisida. Bahanbahan tersebut harus diberi label secara jelas dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penggunaan bahan pembersih dan sanitasi pada permukaan yang kontak dengan produk boleh digunakan selama tidak meninggalkan residu yang berbahaya bagi karyawan maupun konsumen. Sedangkan, penggunaan bahan toksik yang berbahaya bagi kesehatan harus berhati-hati agar tidak mencemari peralatan, perlengkapan, dan makanan. 16. Penyimpanan pangan, Pemajangan, atau Pelayanan Produk pangan segar yang tidak terlindung oleh cangkang atau kemasan dan dimaksudkan untuk dikupas, ditumbuk, atau dikonsumsi langsung oleh konsumen, harus terlindung dari berbagai kontaminasi. Kondisi penyimpanan produk pangan segar, termasuk produk prepackaged perlu diawasi secara ketat. Masing-masing produk tersebut harus disimpan secara terpisah dalam ruangan yang bersih, kering, bebas serangga, infestasi hama, cukup penerangan, peredaran udara, dan suhu yang sesuai. Produk yang disimpan dalam kontainer atau wadah tertentu harus diberi label yang berisi keterangan produk, minimal mencakup nama produk, satuan jumlah atau berat, tanggal penerimaan, dan nama produsen. Produk yang telah direject atau recall dan produk “rusak” tidak boleh disimpan bersama dengan produk yang masih baik kondisi mutunya. Khusus produk prepackaged, penyimpanan dengan menimbun produk dalam es tidak boleh dilakukan. Tujuannya untuk menghindari perembesan air ke dalam kemasan produk. Pemajangan produk pangan segar curah memerlukan tempat atau showcase yang bersih dan telah tersanitasi dengan baik. Produk pangan segar diletakkan secara terpisah dengan produk non pangan. Bagi produk daging segar, tempat pemajangan harus tertutup dan tidak bersifat “selfservice”. Penggunaan peralatan pangan, seperti penjepit, garpu, dan sendok untuk mengambil produk pangan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengenai bagian yang kontak dengan makanan. Industri ritel umumnya menyediakan ruang persiapan di sekitar area penjualan produk pangan segar. Fungsi ruang persiapan, yaitu untuk melayani kebutuhan pelanggan secara cepat terhadap produk-produk yang memerlukan proses tertentu, misalnya pengecilan ukuran atau pembuatan produk olah minimal. Ruang persiapan dilengkapi dengan meja beserta peralatan penunjang antara lain aneka jenis pisau, alas, wadah stirofoam, dan beberapa mesin pengolahan skala rumah tangga (misalnya meat grinder, meat slicer, mesin wrapping, dan meat-bone saw). Untuk mencegah kontaminasi silang, seluruh fasilitas termasuk peralatan pangan harus dibersihkan dan disanitasi secara rutin sesuai prosedur yang berlaku (SOP). 17. Peralatan, Perlengkapan, dan Kain Peralatan dan perlengkapan untuk memproduksi makanan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene, antara lain sesuai dengan jenis produksi, permukaan alat yang berhubungan dengan makanan harus mudah dibersihkan, tidak menyerap air, tidak berlubang atau bercelah, tidak mengelupas, tidak mudah berkarat, mudah dibongkar pasang, dan mudah dalam pengoperasiannya. Alat penerangan, ventilasi, dan alat pengukur suhu merupakan bagian penting suatu industri. Intensitas pencahayaan atau penerangan disesuaikan berdasarkan kebutuhan penggunaan. Area persiapan dan pengolahan produk pangan memiliki kebutuhan penerangan tertinggi, yaitu sekitar 215 lux. Kebutuhan penerangan di suatu tempat semakin besar seiring
16
dengan banyaknya kegiatan yang melibatkan proses penanganan produk. Ventilasi yang tersedia harus cukup menjamin sirkulasi udara dengan baik sehingga dapat menghilangkan uap, gas, asap, dan panas yang dapat merugikan kesehatan. Pada lokasi tertentu, penggunaan ekshauster dan alat pengatur suhu ruangan dapat digunakan sebagai pengganti fungsi utama ventilasi. Untuk mengendalikan suhu produk selama proses operasi dan pengangkutan, fasilitas pendingin atau pemanas harus dilengkapi dengan alat pengukur suhu atau termometer yang akurat dan mudah terbaca. Peralatan, perlengkapan, dan kain harus disimpan secara benar di tempat yang bersih dan terlindung dari kontaminasi. Kain yang digunakan untuk menyeka permukaan peralatan perlu diperhatikan kebersihannya sebelum digunakan bekerja. Apabila kain terlihat kotor, lengket, basah, dan terkena material produk atau kotoran, kain harus segera dicuci untuk menghindari kontaminasi silang ke dalam produk pangan. 18. Fasilitas Fisik Bangunan Lokasi bangunan menentukan seberapa besar kemungkinan terjadinya risiko kontaminasi pada produk pangan. Syarat penting lokasi bangunan adalah harus bebas atau jauh dari pencemaran (polusi). Pencemaran yang dimaksud dapat bersumber dari daerah pembuangan kotoran atau sampah, rawa, perusahaan lain yang menghasilkan limbah berbahaya, rumah atau tempat tinggal padat penduduk, saluran pembuangan air yang tidak baik, dan lain-lain. Seluruh fasilitas fisik bangunan juga harus bersih, terpelihara, dan tidak mudah diakses oleh hama. Beberapa contoh fasilitas fisik yang berpotensi mengganggu keamanan pangan, yaitu pipa penyaluran air dan limbah, tempat sampah, dan toilet. Pipa penyalur air bersih dan limbah harus memiliki ukuran atau diameter yang sesuai dengan kebutuhan serta dipasang dan dipelihara dengan benar. Konstruksi dan desain pipa dirancang sedemikian rupa agar pipa penyalur air bersih dan pembuangan limbah terpisah satu sama lain. Pasokan air bersih tidak boleh terkontaminasi oleh sumber air lain yang tidak jelas asalnya, limbah, dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Untuk mencegah terjadinya penyumbatan, seluruh bagian saluran pembuangan limbah cair harus dipastikan berfungsi dengan baik dan terbebas dari sampah. Pengelolaan sampah atau limbah padat dialokasikan di tempat terpisah dari area penanganan bahan baku dan produk. Selain itu, lokasi pengelolaan sampah dirancang agar tidak mudah diakses oleh hama. Wadah penampung limbah padat atau sampah harus yang bersifat tahan lama, mudah dibersihkan, tahan hama, tidak bocor, dan tidak menyerap cairan. Wadah juga harus tertutup rapat untuk mencegah timbulnya bau yang tidak sedap dan infestasi hama. Penggunaan tas plastik dapat dikombinasikan di dalam wadah penampung sampah. Pembuangan sampah harus dilakukan secara rutin sehingga akumulasi sampah yang berlebihan tidak terjadi di dalam wadah penampung. Toilet merupakan salah satu fasilitas vital yang harus disediakan oleh gerai dalam jumlah yang memadai. Fasilitas toilet harus menunjang kebutuhan karyawan, mudah diakses, dan mudah dibersihkan. Ruang toilet sebaiknya dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan selalu dalam keadaan tertutup. Pembersihan fasilitas toilet perlu dilakukan secara rutin untuk mencegah timbulnya bau yang tidak sedap. 19. Fasilitas Makanan Permanen Fasilitas makanan permanen harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene, yaitu sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi, mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi, dan mudah dipelihara. Desain dan tata letak
17
diatur sesuai dengan urutan proses produksi agar lalu lintas kerja tidak simpang siur dan memudahkan proses pengecekan selama kegiatan operasional berlangsung. Dinding, langit-langit, dan lantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi kebersihan ruangan dan keamanan pekerja. Menurut BPOM RI (1996), konstruksi dinding harus memenuhi syarat sebagai berikut: permukaan halus, rata, berwarna terang, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan antara dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung, dan kedap air. Persyaratan untuk langit-langit antara lain tinggi langit-langit dari lantai minimal 3 meter, permukaan halus dan rata, berwarna terang, dan tidak mudah mengelupas. Lantai dipilih yang tahan terhadap air, garam, basa, asam, atau bahan kimia lainnya, permukaannya halus, tidak licin, dan mudah dibersihkan. Secara umum, pemilihan desain dan materi didasarkan pada kemudahan dalam pembersihan dan tindakan sanitasi, serta upaya pemeliharaan. Tindakan pembersihan dan sanitasi secara rutin merupakan suatu upaya pemeliharaan yang bertujuan untuk menghindari akumulasi kotoran, debu, dan infestasi hama. 20. Syarat Tanda (Signs Requirements) Syarat tanda yang termasuk penerapan GRP adalah tanda pengenal yang dikenakan karyawan selama bekerja dan hasil laporan inspeksi sebelumnya. Tanda pengenal (ID Card) diberikan kepada karyawan yang telah menjalani masa pelatihan atau training selama waktu tertentu. 21. Pemenuhan dan Pelaksanaan (Compliance and Enforcement) Kegiatan ini mencakup beberapa hal antara lain penyediaan surat izin bagi pendirian bangunan gerai dan prosedur tata cara penggunaan gerai (misal: penutupan seluruh fasilitas gerai saat tidak beroperasi); penyediaan toilet bagi gerai yang dilengkapi area sejenis kantin atau restoran; peninjauan rencana perbaikan atau pengadaan fasilitas gerai yang baru; prosedur pemusnahan produk pangan yang disalahgunakan atau cacat; penyitaan produk, peralatan, atau perlengkapan yang diduga sebagai penyebab kontaminasi, tidak dipelihara, tidak tersanitasi, atau mengeluarkan residu berbahaya; dan pencabutan izin dengan sistem pengskorsan bagi ritel yang berkategori “closure”
E. PEDOMAN INSPEKSI GRP Pedoman pemeriksaan merupakan “guide line” bagi aktivitas pemeriksaan. Dalam kaitannya dengan keinginan perusahaan untuk menerapkan Pengendalian Mutu Terpadu, pedoman pemeriksaan merupakan satu bagian dari pedoman mutu perusahaan. Pedoman ini harus diikuti oleh semua tingkatan karyawan di bagian pemeriksaan dan harus disetujui oleh manajemen yang bertanggung jawab atas kegiatan ini (biasanya Manajer Quality Control atau Manajer Quality Assurance). Umumnya, pedoman pemeriksaan berisi organisasi (struktur organisasi, deskripsi tugas, dan tata kerja), konsep umum pemeriksaan yang digunakan perusahaan (acuan standar yang digunakan, seperti SNI atau teknik yang telah dikembangkan sendiri), klasifikasi cacat, standar sampling, dan prosedurprosedur (SOP). Aturan atau teknik dokumentasi yang baik sangat diperlukan supaya tidak timbul permasalahan berkaitan dengan pelaksanaan pedoman (Kadarisman dan Muhandri 2008). Food and Drug Administration (FDA) telah menyediakan suatu standar keamanan pangan yang berguna bagi program inspeksi di industri ritel. Standar tersebut dikenal dengan nama Food Code. Tujuannya untuk meningkatkan keamanan pangan dan mencapai derajat keseragaman yang
18
tinggi terkait hasil inspeksi di seluruh negara bagian di Amerika serikat. Keseragaman yang dimaksud mencakup persyaratan dan cara penegakan hukum di pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal yang mengatur sanitasi dalam industri ritel pangan. Berbagai metode inspeksi telah dikembangkan oleh inspektor pangan. Parameter penilaian mengacu pada praktik-praktik sanitasi yang dijelaskan sesuai Food Code. Penyusunan metode inspeksi perlu mempertimbangkan kondisi kebanyakan industri ritel yang ada. Kini, metode inspeksi yang tersedia di Amerika Serikat merupakan hasil pengembangan dari departemen masing-masing negara bagian beserta dinas-dinas di wilayah tersebut. Sebagai contohnya adalah metode inspeksi milik County of San Bernardino Environmental Health Service dan Departemen Pertanian Negara Bagian Tennessee. 1.
County of San Bernardino Environmental Health Service San Bernardino merupakan salah satu kota di negara bagian California, Amerika Serikat yang telah menjalankan kegiatan inspeksi bagi industri ritel. Program inspeksi dilaksanakan oleh dinas kesehatan masyarakat setempat dalam upaya penjaminan keamanan produk pangan eceran. Dinas kesehatan masyarakat bekerjasama dengan industri makanan dalam rangka menciptakan mutu hidup yang baik, meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, serta mencegah bahaya lingkungan. Kerjasama yang terjalin diwujudkan melalui tindakan inovasi, pendidikan, pengawasan, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat, dimana tanggung jawab sepenuhnya dipegang oleh County of San Bernardino Environmental Health Service. Metode inspeksi GRP yang dikembangkan oleh County of San Bernardino Environmental Health Service (2010) dikenal dengan nama ABC Retail Food Inspection Guide. Penilaian hasil inspeksi berupa skor yang menunjukkan status pelaksanaan GRP pada suatu industri ritel berdasarkan sistem pengkelasan tertentu. Secara rinci akan dijelaskan pada Bab III Metodologi.
2.
Departemen Pertanian Negara Bagian Tennessee Tennessee adalah salah satu negara bagian Amerika Serikat yang telah menjalankan program inspeksi bagi hampir 8000 industri ritel. Pelaksanaan inspeksi dilakukan minimal enam bulan sekali di bawah tanggung jawab Departemen Pertanian Negara Bagian Tennessee. Penilaian dalam metode inspeksi tidak dirancang untuk menunjukkan pengkelasan atau status kondisi tertentu suatu industri ritel. Hasil inspeksi hanya mengindikasikan besarnya kepatuhan industri ritel terhadap peraturan dan hukum yang berlaku di negara bagian Tennessee. Menurut Jhonson (2008), terdapat sepuluh aspek yang mempengaruhi penilaian terkait penyimpanan makanan, sanitasi, dan kondisi fasilitas, yaitu: 1. Perlindungan pangan dan suhu; 2. Kesehatan dan kebersihan diri karyawan; 3. Air dan pengelolaan limbah; 4. Toilet dan fasilitas cuci tangan; 5. Pembuangan limbah; 6. Pengendalian hama; 7. Pembersihan dan sanitasi peralatan maupun perlengkapan yang kontak dengan makanan; 8. Pemeliharaan lantai, dinding, dan langit-langit; 9. Kecukupan pencahayaan dan ventilasi; dan 10. Penyimpanan dan peletakan bahan beracun yang tepat.
19