BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Variabel Penelitian Lokasi penelitian ini merupakan kawasan pemukiman kumuh, yang pada umumnya dikaitkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas umum dan sosial. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas, baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Penyebab munculnya kawasan permukiman kumuh merupakan satu indikasi kegagalan program perumahan yang terlalu berpihak pada produksi rumah langsung terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, dan prioritas program perumahan pada rumah milik dan mengabaikan potensi rumah sewa (Sueca, 2004:56-107). Salah satu model penanganan kawasan permukiman kumuh adalah dengan konsep peremajaan (mengubah/memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang fungsinya sudah merosot atau tidak sesuai dengan perkembangan kota, sehingga kawasan tersebut dapat meningkat kembali fungsinya dan menjadi sesuai dengan pengembangan kota serta dengan peremajaan yang harus tanpa menggusur dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara umum) dan pembangunan bertumpu pada masyarakat (bertujuan untuk hasil pembangunan dapat diterima oleh masyarakat penghuni kawasan tersebut sesuai dengan kegiatan yang telah mereka laksanakan).
9
Kawasan pemukiman dalam lokasi penelitian ini belum memiliki citra kawasan pemukiman yang jelas, dimana pada kawasan tersebut akan dilakukan penataan kembali dengan cara memperbaharui fisik dan non fisik kawasan (proses peremajaan), kemudian ketika proses dilakukan akan ditemui kebutuhankebutuhan baru sehingga dilakukan infill. Tujuan redevelopment adalah membuat nilai tambah yang dimiliki kawasan tersebut (perbaikan ekonomi atau mengikis kerawanan lingkungan) dan menciptakan kawasan dengan kualitas yang lebih baik. Citra pada kawasan pemukiman tersebut akan diperjelas dengan cara melakukan penataan tapak sesuai dengan zona-zona yang telah ada di lokasi penelitian, dimana dalam proses memperjelas citra kawasan tersebut diterapkan dengan menggunakan implementasi teori Kevin Lynch, terkait citra kawasan. Teori Kevin Lynch, terkait citra kawasan, terdiri dari 5 elemen citra, yakni path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), node (simpul) dan landmark (tegeran), dimana dengan dilakukannya peremajaan terhadap kawasan pemukiman tersebut melalui pembentukan citra kawasan, dapat mewujudkan kawasan pemukiman yang sustainable neighbourhood, baik dari segi ekonomi, ekologi dan sosial. Variabel dalam penelitian ini berkaitan dengan 5 elemen citra kawasan, sesuai dengan yang terdapat dalam teori Kevin Lynch, yakni path (jalur), edge (tepian), district (kawasan), node (simpul) dan landmark (tegeran).
10
2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Pemukiman Kumuh Kawasan kumuh umumnya dikaitkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obat terlarang dan minuman keras serta di berbagai wilayah, kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis. Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas umum dan sosial. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas, baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan pemukiman liar (squatter).
Penyebab munculnya permukiman kumuh Munculnya kawasan permukiman kumuh merupakan satu indikasi kegagalan program perumahan yang terlalu berpihak pada produksi rumah langsung terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, dan prioritas program perumahan pada rumah milik dan mengabaikan potensi rumah sewa (Sueca, 2004:56-107). Secara umum, penyebab utama munculnya kumuh dapat berasal dari kondisi fisik dan non fisik penduduk bersangkutan. Kondisi fisik secara jelas dapat dilihat dari kondisi lingkungan penduduk yang rendah serta status kepemilikan lahan yang ilegal, sedangkan non fisik yaitu berkaitan dengan kemampuan ekonomi dan budaya penduduk tersebut. 11
Cara mengatasi permukiman kumuh Mengatasi masalah permukiman tidak terbatas pada perbaikan lingkungan fisik namun juga perlu penanaman kesadaran akan pentingnya lingkungan sehat dan tertata. Salah satu model penanganan kawasan permukiman kumuh adalah dengan konsep peremajaan dan pembangunan bertumpu pada masyarakat yang terbagi dalam: 1. Konsep Peremajaan Peremajaan permukiman kota adalah segala upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah/memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang fungsinya sudah merosot atau tidak sesuai dengan perkembangan kota, sehingga kawasan tersebut dapat meningkat kembali fungsinya dan menjadi sesuai dengan pengembangan kota. Peningkatan
fungsi
dalam
peremajaan
kota
dimaksudkan
untuk
memperbaiki tatanan sosial ekonomi di kawasan bersangkutan agar lebih mampu menunjang kehidupan kota secara lebih luas. Peremajaan harus dapat memecahkan kekumuhan secara mendasar, karenanya tidak hanya memberi alternatif pengganti lain yang pada kenyataannya dapat menimbulkan kekumuhan di tempat lain dan menjadikan beban baru bagi masyarakat, tetapi peremajaan harus tanpa menggusur dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara umum, sehingga peremajaan yang antara lain dengan perbaikan fisik dipakai sebagai suatu alat untuk peningkatan taraf hidup, yang sekaligus memperbaiki pula kondisi fisik kota sejalan dengan program nasional penanggulangan kemiskinan.
12
2. Pembangunan bertumpu pada masyarakat Pembangunan yang bertumpu pada kelompok masyarakat secara umum dapat dikaitkan sebagai metode, proses, pendekatan dan bahkan pranata
pembangunan
yang
meletakkan
keputusan-keputusannya
berdasarkan keputusan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini yaitu agar hasil pembangunan dapat diterima oleh masyarakat penghuni kawasan tersebut sesuai dengan kegiatan yang telah mereka laksanakan. Partisipasi masyarakat dalam pendekatan ini menjadi faktor penting dalam proses perencanaan dan perancangan program pembangunan. Hal yang dapat ditarik dari pendekatan untuk permukiman adalah metode partisipasi merupakan metode penting karena dengan metode ini keputusankeputusan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dapat diambil dan pendekatan partisipatif dalam konteks ini adalah bersifat langsung, pengertian masyarakat selalu diartikan kelompok yang langsung memiliki kepentingan dengan proses pembangunan permukiman yang terkait, maka seringkali pendekatan pembangunan bertumpu pada masyarakat dilakukan untuk pembangunan yang bersifat lokal dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan lokal.
13
2.2.2. Redevelopment Danang Priatmodjo (Aqli, Adhianto dan Hajjar, 2003) menjelaskan bahwa redevelopment adalah salah satu golongan dalam garis besar pengembangan kawasan yang berarti menata kawasan kembali. Penghidupan kembali kawasan dilakukan dengan cara memperbaharui fisik dan non fisik kawasan (proses peremajaan), kemudian ketika proses dilakukan akan ditemui kebutuhan-kebutuhan baru sehingga dilakukan infill. Tujuan redevelopment adalah membuat nilai tambah yang dimiliki kawasan tersebut (perbaikan ekonomi atau mengikis kerawanan lingkungan) dan menciptakan kawasan dengan kualitas yang lebih baik. Metode Konsep Townscape (Papageorgiou, 1970) menjelaskan bahwa peremajaan kota menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan pembongkaran
bangunan-bangunan
yang
rusak,
yang
memberi
ciri
lingkungan rusak dan menggantikannya dengan bangunan baru. Peremajaan kota juga termasuk usaha-usaha untuk menghidupkan berbagai kegiatan ekonomi di daerah yang rusak, dengan cara meningkatkan pendapatan keluarga hingga taraf hidup yang cukup sehingga memungkinkan mereka memperbaharui tempat-tempat tinggalnya. Keberhasilan peremajaan kota juga menuntut dikuasainya keterampilan yang cukup di dalam perencanaan dan perancangan, untuk meminimalkan kondisi-kondisi buruk pada lingkungan secara fisik pada awal pembangunan. Masalah utama lain di dalam peremajaan permukiman kota muncul sebagai akibat dari pemindahan penduduk berpendapatan rendah yang tinggal di dalam bangunan-bangunan yang akan dibongkar dan dipindahkan ke bangunan baru.
14
2.2.3. Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pengertian rusunawa menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 18/PERMEN/M/2007 adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian. Tujuan pembangunan rumah susun seperti yang tercantum dalam UU No. 16/1985, antara lain: 1) Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjalani kepastian hukum dalam pemanfaatannya dan 2) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang. Pembangunan hunian bertingkat mempertimbangkan hal-hal berikut: a) Rumah susun terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut: bagian pribadi, yaitu satuan hunian rumah susun (sarusun), dengan luas lantai bangunan setiap unit rumah tidak lebih dari 45 m² bagian bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuansatuan rumah susun dan dapat berupa ruang untuk umum, struktur dan komponen kelengkapan rumah susun, prasarana lingkungan dan sarana lingkungan yang menyatu dengan bangunan rumah susun. 15
Benda bersama, yaitu benda yang terletak di atas tanah bersama di luar bangunan rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan rumah susun dan dapat berupa prasarana lingkungan dan sarana umum. Tanah bersama, yaitu bagian lahan yang dibangun rumah susun. b) Rumah susun harus dilengkapi sarana lingkungan yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, termasuk sarana perniagaan, sarana ibadah, sarana kesehatan, sarana peribadatan, sarana pemerintahan dan pelayanan umum serta pertamanan. c) Bangunan rumah susun harus dilengkapi dengan alat transportasi bangunan, pintu dan tangga darurat kebakaran, alat dan sistem alarm kebakaran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, dan jaringanjaringan air bersih, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, tempat pewadahan sampah, tempat jemuran, kelengkapan pemeliharaan bangunan, jaringan listrik, generator listrik, gas, tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya, yang memenuhi persyaratan teknis, mengacu kepada Standar Nasional atau peraturan bangunan yang sudah ada.
16
2.2.4. Standar Nasional Indonesia (SNI) Tabel 1.4. Kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan penduduk Kebutuhan Rumah Susun
Kepadatan Rendah < 150 jiwa/ha Alternatif (untuk kawasan tertentu)
Kepadatan Kepadatan Kepadatan Sedang Tinggi Sangat Padat 151 – 200 200 – 400 > 400 jiwa/ha jiwa/ha jiwa/ha Disyaratkan Disarankan Disyaratkan (peremajaan (peremajaan (untuk pusatlingkungan lingkungan pusat kegiatan permukiman permukiman kota) kota dan kota) kawasan tertentu) Sumber: SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan kota.
Tabel 1.5. Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit Kelurahan (30.000 jiwa penduduk) Sarana Kantor kelurahan Pos kamtib Pos pemadam kebakaran Agen pelayanan pos Loket pembayaran air bersih Loket pembayaran listrik Telepon umu, bis surat, bak sampah besar Parkir umum (standar satuan parkir 25 m²) Balai serba guna/balai karang taruna
Luas lahan minimal (m²) 1.000 200 200 72 60 60 60 500 1.000 Luas lantai minimal 500 m²
Parkir umum yang disediakan akan diintegrasikan antara kebutuhan kantor kelurahan dengan kebutuhan gedung serba guna/balai karang taruna ini. Tempat sampah pada lingkup Kelurahan berupa bak sampah besar, merupakan tempat pembuangan sementara sampah-sampah dari lingkungan RW yang diangkut gerobak sampah, dengan ketentuan sebagai berikut: - kapasitas bak sampah besar minimal 12-15 m³ - sampah diangkut 3 x 1 minggu (dari bak sampah RW ke bak sampah Kelurahan) - sampah diangkut 3 x 1 minggu (dari bak sampah Kelurahan ke TPA kota) Sumber: Pedoman Teknis Pelaksanaan Pembangunan Komponen Prasarana dan Sarana Dasar (PSD), Perbaikan Lingkungan Perumahan Kota, Buku 2, Direktorat Bina Teknik, Ditjen Cipta Karya, 1996. 17
2.2.5. Sustainable Neighbourhood
Sustainable Neighbourhood meliputi 3 aspek, yakni ekonomi, ekologi, dan sosial, dengan penjelasan sebagai berikut Economic Sustainability Konsep modern yang mendasari keberlanjutan ekonomi dilakukan dengan cara memaksimalkan aliran pendapatan yang bisa dihasilkan dan mempertahankan persediaan aset (modal) yang menghasilkan pendapatan ini. Efisiensi ekonomi memainkan peran kunci dalam memastikan konsumsi yang optimal dan produksi. Ketahanan sistem ekonomi lebih baik dinilai oleh kemampuan untuk memberikan layanan ekonomi dan mengalokasikan sumber daya secara efisien dalam menghadapi guncangan besar (misalnya, 1973 guncangan harga minyak atau kekeringan parah).
Environmental Sustainability Penafsiran lingkungan keberlanjutan yang berfokus pada kelangsungan hidup secara keseluruhan dan sistem kehidupan. Ide-ide ini berlaku untuk alam (liar) dan dikelola (pertanian), padang gurun, pedesaan serta perkotaan. 18
Ketahanan
adalah
potensi
keadaan
sistem
untuk
mempertahankan
struktur/fungsi dalam menghadapi gangguan. Petersen berpendapat bahwa ketahanan ekosistem yang diberikan tergantung pada kelangsungan proses ekologi yang terkait pada kedua skala spasial yang lebih besar dan lebih kecil. Kapasitas adaptif merupakan aspek ketahanan yang mencerminkan unsur pembelajaran perilaku sistem dalam menanggapi gangguan. Sistem alamiah cenderung
lebih
rentan
terhadap
perubahan
eksternal
yang
cepat
dibandingkan dengan sistem sosial. Hal ini sejalan dengan output dan pertumbuhan sebagai indikator dinamika dalam sistem ekonomi. Organisasi bergantung pada kompleksitas dan struktur suatu sistem ekologi atau biologi, sebagai contoh, sebuah organisme multiseluler seperti manusia lebih sangat terorganisir (memiliki lebih beragam sub komponen dan interkoneksi di antara mereka). Sumber utama dari energi ini radiasi matahari, dalam konteks ini, degradasi sumber daya alam, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati yang merugikan karena mereka meningkatkan kerentanan, merusak sistem
kesehatan,
dan
mengurangi
ketahanan.
Ciriacy-Wantrup
memperkenalkan ide ambang batas aman (juga terkait dengan daya dukung), yang penting - sering untuk menghindari bencana runtuhnya ekosistem. Keberlanjutan dapat dipahami juga dalam hal fungsi normal dan umur panjang dari hirarki bersarang sistem ekologi dan sosial ekonomi, memerintahkan menurut skala.
Social Sustainability Kuantitas dan kualitas dari interaksi sosial yang mendasari kehidupan manusia, termasuk tingkat saling percaya dan tingkat norma-norma sosial 19
bersama, membantu untuk menentukan persediaan modal sosial, dengan demikian modal sosial cenderung tumbuh dengan penggunaan yang lebih besar dan mengikis melalui penggunaan yang dilakukan, seperti modal ekonomi dan lingkungan yang nilainya menyusut akibat digunakan. Selain itu, beberapa bentuk modal sosial dapat membahayakan (misalnya, kerjasama dalam kelompok-kelompok kriminal dapat menguntungkan mereka, tetapi membebankan biaya jauh lebih besar pada komunitas yang lebih besar). Mengurangi kerentanan dan menjaga kesehatan (yaitu, ketahanan, kekuatan dan organisasi) sistem sosial dan budaya, dan kemampuan mereka untuk menahan guncangan. Meningkatkan sumber daya manusia (melalui pendidikan) dan penguatan nilai-nilai sosial, lembaga dan ekuitas akan meningkatkan ketahanan sistem sosial dan tata kelola. Munasinghe menarik kesejajaran antara peran masing-masing keanekaragaman hayati dan budaya keragaman dalam melindungi ketahanan sistem ekologi dan sosial, serta keterkaitan antara mereka. Memahami link yang memancar keluar dari masyarakat miskin, dan dengan instansi dan pemerintah sangat penting untuk membina hubungan dan menyalurkan sumber daya secara lebih langsung untuk membuat pembangunan sosial yang lebih berkelanjutan. Penekanan kadang-kadang ditempatkan pada pembentukan organisasi baru di tingkat masyarakat, yang kadang-kadang merusak jaringan yang ada dan kelompokkelompok lokal, akhirnya menyebabkan penduduk setempat merasa bahwa mereka tidak memiliki saham atau kepemilikan dalam proyek tersebut. Fokus pada perbaikan tata kelola dengan memberikan masyarakat miskin hak untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi mereka. Bekerja dengan
20
modal sosial berbasis masyarakat yang ada menghasilkan jalur untuk tuas orang ke atas dari kemiskinan.
2.2.6. Teori Kevin Lynch Citra kota Teori mengenai citra place sering disebut sebagai milestone, suatu teori penting dalam perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an, teori ‘citra kota’ mengarahkan pandangan pada perancangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Teori-teori berikutnya sangat dipengaruhi oleh teori tokoh ini. Teori ini diformulasikan oleh Kevin Lynch, seorang tokoh peneliti kota. Risetnya didasarkan pada citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut, dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang lain. a. Definisi dan prinsip citra perkotaan Citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan ratarata pandangan masyarakat sekitarnya, berdasarkan analisis tersebut, Lynch menemukan tiga komponen yang sangat mempengaruhi gambaran mental orang terhadap suatu kawasan, yaitu: (1) potensi ‘dibacakan’ sebagai identitas; artinya, orang dapat memahami gambaran perkotaan (identifikasi objek-objek, perbedaan antara objek, perihal yang dapat diketahui); 21
(2) potensi ‘disusun’ sebagai struktur; artinya, orang dapat melihat pola perkotaan (hubungan objek-objek, hubungan subjek-subjek, pola yang dapat dilihat); (3) potensi ‘dibayangkan’ sebagai makna;
artinya,
orang dapat
mengalami ruang perkotaan (arti objek-objek, arti subjek-objek, rasa yang dapat dialami).
b. Lima elemen citra kota Elemen-elemen yang dipakai untuk mengungkapkan citra kota menurut Kevin Lynch (1960) dapat dibagi menjadi lima elemen, yaitu path (jalur), edge (tepian), distric (kawasan), node (simpul) serta landmark (tengeran). Setiap elemen citra tersebut akan dijelaskan satu demi satu, serta akan diilustrasikan salah satu contoh keadaannya, yaitu Yogyakarta. Landmark (tengaran) adalah elemen tetenger atau penanda suatu citra kota, karena yang akan menjual image sebuah kota terhadap tempat lain. Edge (tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path. Edge berada pada batas misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi dan antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakan pengakhiran dari sebuah distrik atau batasan sebuah distrik dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang
22
lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya, demikian juga fungsi batasnya harus jelas; membagi atau menyatukan.
Path (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path mempunyai identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan dasar yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun dan lainlain), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon dan lainlain) atau ada tikungan yang jelas. District (kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas juga dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. Distrik dalam kota mempunyai identitas yang lebih baik jika ditampilkan batasnya dibentuk dengan jelas dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas. Node (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya pada persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang dan jembatan. Kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square dan sebagainya. Node adalah satu tempat dimana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika 23
tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan yang berbeda dari lingkungannya baik fungsi maupun bentuknya. Sepuluh pola karakteristik yang harus diperhatikan dalam proses analisis terhadap elemen-elemen perkotaan ialah: - ketajaman batas elemen; - kesederhanaan bentuk elemen secara geometris; - kontinuitas elemen; - pengaruh yang terbesar antara elemen; - tempat hubungan antara elemen; - perbedaan antara elemen; - artikulasi antara elemen; - orientasi antara elemen; - pergerakan antara elemen; - nama dan arti elemen.
24
2.3.
Studi Banding terkait Citra Kawasan Kotatua
Gambar 1.1. Peta kota Batavia pada masa lalu
Gambar 1.2. Peta kota Batavia pada saat ini
Zonasi 1: Sunda Kelapa, yang batasnya ke arah utara dari bentangan rel kereta api. Karakter zona ini adalah bahari yang didominasi dengan perkampungan etnik dan pergudangan, langgam merespon iklim laut. Visi pengembangannya adalah menyemarakkan aktivitas kebaharian. Zonasi 2: Fatahillah, yang batasnya adalah sekitar Taman Fatahillah, Kalibesar dan Taman Beos. Karakter asal zona ini adalah kota lama dengan populasi bangunan tua terbanyak. Visi pengembangannnya adalah memori 25
masa lalu, yang memberi fungsi baru sebagai museum, industri kreatif dan fungsi campuran. Pada zonasi ini dikenakan retriksi yang ketat demi pelestarian kawasan. Zonasi 3: Pecinan, yang batasnya adalah sekitar Glodok Pancoran. Karakter zona budaya etnik Cina baik kehidupannya maupun lingkungan arsitekturnya, sedangkan visi pengembangannnya adalah pelestarian bangunannya dan tetap mempertahankan kehidupan. Zonasi 4: Pakojan, yang batasnya adalah sekitar Pakojan, Jembatan Lima dan Bandengan. Karakter zonanya adalah budaya religius karena pada zona ini terdapat beberapa masjid tua. Visi pengembangannya adalah kampung multi etnis. Zonasi 5: Kawasan Peremajaan, yang batasnya adalah dari Pancoran ke arah Jalan Gajah Mada (Gedung Arsip). Visi pengembangan zonasi ini adalah pusat bisnis Kotatua.
Penerapan teori dalam kawasan Teori Place Kevin Lynch yang akan visual Valuation dipilih karena menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu: 1. Batasan (edges) Masa Perkembangan Jakarta Modern (1920-2009), pada masa ini batas Kawasan Pecinan sebelah utara dan timur berupa jalan, sebelah timur dan selatan berupa sungai, yaitu Kali Krukut, sebelah barata adalah Jalan Kali Besar dan Pinangsia.
26
2. Sumbu Kawasan (Nodes) Berdasarkan analisa, nodes utama di Kawasan Pecinan ada empat, pertama adalah Pertigaan Jalan Pancoran, karena bisa meghubungkan Glodok Plaza dan Pasar Asemka. Sumbu kedua adalah Glodok Plaza, sumbu ketiga adalah pertokoan dan sumbu keempat adalah Pasar Asemka. 3. Kelompok District bangunan (districts) Saat ini, luas kawasan pemukiman Cina menjadi semakin kecil dibanding masa sebelumnya dengan perbandingan luas lahan terbangun dan tidak terbangun sebesar 95:5, karakter morfologi kawasan tersebut, diantaranya: • Dominasi bangunan deret dan ruko bernuansa langgam Cina. • Sebagian berupa kawasan perkampungan dan sebagian lainnya bangunan urban. • Bentuknya tidak beraturan. • Tidak terasa adanya sumbu kawasan. • Tdak adanya ruang terbuka sebagai pusat komunitas. • Memiliki banyak gang sempit disekitar perkampungannya.
Gambar 1.3. District
Setelah dibuat penzoningan distriknya, akan terlihat karakteristik bangunan
yang
berada
di
kawasan
tersebut,
ternyata
setiap
pengelompokkan zona mempunyai fungsi kegiatannya masing-masing, zona tersebut meliputi bangunn pertokoan, tempat ibadah, kawasan perdagangan besar dan pemukiman. 27
4. Sirkulasi Jalan (Path) Saat ini seluruh jalan di kawasan tapak berupa jalan aspal dengan kondisi perkerasan baik yang terdiri dari jalan raya, pedestrian dan gang. Lokasi tapak dapat diakses dari berbagai macam jalan, diantaranya Jalan Pancoran, Asemka dan Kali Besar Selatan.
Gambar 1.4. Sirkulasi jalan (path)
5. Penanda Kawasan (Landmark) Kawasan Pecinan sebenarnya tidak mempunyai bangunan khas yang dapat dijadikan menjadi sebuah landmark, namun landmark yang paling tepat untuk kawasan Glodok saat ini adalah Glodok Plaza, karena Glodok Plaza merupakan bangunan yang paling besar di kawasan tersebut dan sudah terkenal sebagai kawasan perdagangan.
28
2.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan citra kawasan pemukiman dapat dilihat dari potensi yang dominan di kawasan. Potensi kawasan yang berada di Klender berupa sungai jagal, dimana sungai tersebut menjadi potensi yang dominan untuk dikembangkan. Peningkatan citra kawasan pemukiman tersebut dapat dilihat dengan menggunakan teori Kevin Lynch yang diimplementasikan dalam rancangan pada kawasan pemukiman tersebut . Kerangka Pikir Judul Peremajaan Kawasan Pemukiman Kumuh dengan Implementasi Teori Kevin Lynch di Klender
Latar Belakang Masalah Klender dipadati oleh pemukiman kumuh
Permasalahan Kawasan pemukiman di Klender belum memiliki citra kawasan pemukiman yang jelas, sehingga tidak belum mendukung dan mewujudkan sustainable neighbourhood
Maksud dan Tujuan Memperjelas citra kawasan pemukiman dari lokasi penelitian tersebut
Pengumpulan Data Observasi terkait dengan citra kawasan pemukiman
Analisa Analisa deskriptif kualitatif
Konsep Bangunan dan Lingkungan Menciptakan citra kawasan pemukiman yang baik berdasarkan potensi lingkungan yang berada di sekitar lokasi penelitian
Skematik Desain
Perancangan
29
2.5. Skema Pembahasan
TUJUAN : MELAKUKAN PENATAAN KEMBALI TERHADAP PEMUKIMAN KUM DENGAN IMPLEMENTASI TEORI KEVIN LYNCH DI KLENDER
PENGENALAN
TEORI
METODE
ANALISA
PEREMAJAAN PEMUKIMAN KUMUH DI KLENDER - Latar Belakang - Masalah/Isu Pokok - Formulasi Masalah - Ruang Lingkup - Tujuan Penelitian - Tinjuan Pustaka - Sistematika Penulisan
LOKASI - Variabel Penelitian
METODE DATA DAN ANALISA - Metode Perolehan Data - Metode Analisa Data - Tahapan Penelitian
DESKRIPSI TAP
BAHASAN - Kajian Pustaka -Studi Banding terkait Citra Kawasan - Hipotesis - Skematik Pembahasan
ANALISA CITRA KAWASAN
ANALISA LINGK - Letak dan Posisi Terhadap Kota J - Orientasi Terhad Matahari dan An - Kegiatan Lingku - Utilitas Kota - Sirkulasi di Tapa - Pola Jalan - Pola Hijau dan R Terbuka -Sustainable Neig
ANALISA MANU -Sustainable Neig - Demografi Pend - Waktu Kegiatan - Sosial Budaya da
ANALISA BANG - Gubahan Massa - Pencapaian ke B - Besaran Unit Hu - Sirkulasi Horiso Vertikal - Tampak Bangun - Modul dan Struk - Utilitas
- Tahap Pemban BAB 1 : PENDAHULUAN
BAB 2 : LANDASAN TEORI
30
BAB 3 : METODE PENELITIAN
BAB 4 : HASIL DAN BAH