7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Keagenan Adanya praktik manajemen laba dapat dikaitkan dengan teori keagenan. Sekarang ini banyak perusahaan yang membuat adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaannya dimana kepemilikan berada di tangan pemegang saham sedangkan pengelolaan perusahaan berada di tangan manajemen. Hal tersebut berarti bahwa pihak pemilik (principal) tidak mampu untuk mengelola perusahaannya sendiri, sehingga pihak pemilik mendelegasikan wewenangnya terhadap pihak agen, hal tersebut yang dinamakan dengan teori keagenan. Teori keagenan mengasumsikan bahwa pihak pemilik (principal) tidak mengetahui banyak informasi mengenai kinerja agen. Agen memiliki banyak informasi tentang keseluruhan informasi dibandingkan dengan pemilik. Oleh karena itu pihak agen dapat melakukan hal yang tidak baik kepada pihak pemilik karena keterbatasan informasinya sehingga akan muncul masalah keagenan dan memungkinkan
terjadinya
praktik
manajemen
laba
akibat
adanya
ketidakseimbangan dalam memperoleh informasi sehingga mengakibatkan terjadinya asimetri informasi. Menurut (Emirzon, yang dikutip dari Desi Kartikasari 2011) asimetri informasi merupakan informasi yang tidak seimbang yang disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen yang dapat menimbulkan dua permasalahan karena adanya kesulitan
8
principal untuk melakukan kontrol terhadap kinerja agen. Asimetri informasi menyebabkan terjadinya moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul apabila pihak agen tidak melaksanakan ha;-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja. Jensen dan Meckling yang dikutip dalam Desi Kartikasari (2011) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang menyatakan bahwa seorang atau lebih (principal) meminta kepada orang lain (agen) untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingan principal, dengan mendelegasikan otoritas kepada agen. Oleh karena itu kontrak yang baik antara principal dan agen adalah kontrak yang mampu menjelaskan apa saja yang harus dilakukan agen dalam mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada principal. Menurut Widyaningdyah yang dikutip dalam Tutut Dwi (2010) Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing pihak (principal dan agen) termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agen.
B. Good Corporate Governance Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance menimbang bahwa : a.
Dengan semakin kompleksnya suatu risiko yang dihadapi oleh bank, maka semakin meningkat pula kebutuhan praktik Good Corporate Governance oleh perbankan;
9
b. Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, perlu juga untuk melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka peraturan Bank Indonesia tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum sesuai dengan pasal 1 No.6 mendefinisikan bahwa : Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness). Penerapan praktik good corporate governance yang diatur dalam surat keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 pada bab 1 tanggal 1 Agustus 2002 disebutkan bahwa : BUMN menerapkan GCG untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai bagi pemegang sahamdalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan perundangan dan nilai-nilai etika.
Organization for Economic Co-oporation and Development (OECD, 2004) mendefinisikan good corporate governance sebagai : the rules and practices that govern the relationship between the managers and shareholders of corporations, as well as stakeholders like employees, creditor, government, pensioners and local communities ensures transparency, fairness and accountability.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Trimanto (2010) mendefinikasikan bahwa good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan peraturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme
10
hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan, maupun yang ditinjau dari “nilai-nilai” yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri. 1. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Ada lima prinsip good corporate governance yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh penerapan GCG dalam suatu perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah : a. Transparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi
yang
material
dan
relevan
serta
keterbukaan
dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan. b. Akuntabilitas (accountability) merupakan kejelasan dari fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya dapat berjalan dengan efektif. c. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. d. Independensi (independency)
merupakan pengelolaan bank secara
profesional tanpa ada pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. e. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11
Organisasi ICGN (International Corporate Governance Network) telah mengadopsi prinsip-prinsip good corporate governance yang dikembangkan oleh OECD sebagai standar minimal yang dapat diterima bagi perusahaan dan investor di seluruh dunia. Prinsip-prinsip penerapan GCG menurut ICGN, yaitu : 1. Honesty
(kejujuran),
prinsip
ini
mengharuskan
perusahaan
mangungkapkan kebenaran tanpa memperhatikan konsekuensinya. Karena kejujuran sangat penting dalam membangun hubungan saling percaya antara semua partisipan GCG yang meliputi dewan direksi, dewan komisaris, auditor, dewan penasehat, manajemen dan pemerintah. 2. Resilience (kekuatan segera pulih), prinsip ini menuntut perusahaan mengembangkan struktur GCG yang mampu bertahan hidup dan segera pulih kembali jika perusahaan mengalami kemunduran atau kegagalan. Mekanisme GCG dirancang untuk mencegah, mendeteksi, dan mengoreksi segala bentuk kegagalan yang dialami oleh perusahaan. 3. Responsiveness (ketanggapan), prinsip ini menuntut perusahaan bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, mekanisme GCG menekankan arti penting penciptaan nilai bagi semua pemangku kepentingan, termasuk terhadap pelestarian lingkungan. 4. Transparency (transparansi), pada dasarnya prinsip ini menuntut perusahaan menyajikan secara terus-terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Informasi yang disajikan tidak sebatas terkait dengan keuangan,
12
tetapi juga informasi non-keuangan seperti misalnya informasi terkait dengan operasi, sturktur, dan konflik kepentingan yang mungkin terjadi di perusahaan.
2. Tujuan Good Corporate Governance Menurut Sutejo dan Aldridge (2005) dalam Tutut Dwi (2010), good corporate governance memiliki lima tujuan utama yaitu : 1. Melindungi hak dan kepentingan para pemegang saham; 2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham; 3. Meningkatkan nilai perusahaan 4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan komisaris dan manajemen perusahaan; 5. Meningkatkan mutu hubungan dewan komisaris dengan manajemen perusahaan. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan perusahaan, maka diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian secara efektif dan efisien dalam mengarahkan kegiatan
operasional
perusahaan
serta
kemampuan untuk
mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. (World Bank yang dikutip dalam Tutut Dwi, 2010). Menurut Bank Dunia (Hery, 2009) Good Corporate Governance sebagai kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-
13
sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun keseluruhan.
a. Proporsi Komisaris Independen Komisaris independen menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan dalam hal keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Pasal 5 dalam peraturan bank Indonesia mengesahkan bahwa dewan komisaris harus terdiri dari komisaris dan komisaris independen, yang mana jumlah komisaris independen paling kurang harus sebanyak 50% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Peranan Komisaris independen ialah wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang dilakukan oleh manajemen, serta memberikan nasehat kepada pihak manajemen. Melalui pengawasan tersebut, proporsi komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Dapat diasumsikan bahwa proporsi komisaris independen yang anggotanya berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba.
14
Fama dan Jensen dalam Desi (2010) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasehat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberikan tanggung jawab dalam pengawasan atas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Hal ini penting karena mengingat adanya kemungkinan bahwa manajemen melakukan praktik manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya keprcayaan investor terhadap perusahaan. Karena hal tersebut maka dewan komisaris diperbolehkan untuk mengetahui dan memiliki akses pada informasi-informasi yang berkaitan dengan perusahaan. Pada pasal 10, peraturan Bank Indonesia menegaskan bahwa dewan komisaris wajib memastikan bahwa direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor eksternal, hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau hasil pengawasan otoritas lain.
b. Ukuran Dewan Direksi Berdasarkan peraturan BI No.8/4/PBI/2006 mengenai komposisi dewan direksi dalam suatu perusahaan menyatakan bahwa jumlah anggota dewan direksi paling kurang adalah sebanyak tiga orang, yang seluruhnya berdomisili di Indonesia. Selain itu tugas dan tanggung jawab direksi adalah wajib mengelola bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib
15
menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance dalam setiap kegiatan usaha bank. Pemisahan antara pemegang saham sebagai principal dan manajer sebagai agen, pada akhirnya manajer memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam mengelola dana investor (Jensen & Meckling yang dikutip dari Ani 2008). Dengan adanya pemisahan peran antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajer sebagai agennya, maka manajer pada akhirnya akan memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam hal bagaimana mereka mengalokasikan dana investor (Jensen & Meckling, 1976; Shleifer & Vishny, 1997). Selain itu Mizruchi (1983 dalam Midiastuti dan Mackfudz (2003)) juga menjelaskan bahwa dewan merupakan pusat dari pengendalian dalam perusahaan, dan dewan ini merupakan penanggung jawab utama dalam tingkat kesehatan dan keberhasilan perusahaan secara jangka panjang (Louden, 1982 dalam Midiastuti dan Mackfudz (2003).
c. Ukuran Komite Audit Pada tanggal 1 Juli 2001 Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengatur tentang pembentukan dewan komisaris dan komite audit tentang tata kelola perusahaan yang baik. Secara umum, dewan komisaris dapat mendelegasikan wewenangnya dengan membuat komite-komite yang dapat membantu pekerjaan dewan komisaris dalam pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan perusahaan yang dilakukan oleh manajemen.
16
Berdasarkan peraturan BI No.8/4/PBI/2006 menyatakan tentang tugas komite audit adalah melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan proses pelaporan keuangan. Jumlah anggota komite audit minimal harus beranggotakan tiga orang dari pihak yang independen salah satunya harus memiliki keahlian dibidang akuntansi. Seorang yang memiliki keahlian dibidang hukum atau perbankan dan salah satu anggota komite audit harus berasal dari komisaris independen yang kemudian merangkap menjadi ketua komite audit. Komite audit harus melakukan pengawasan dan evaluasi secara efektif atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta wajib memberikan rekomendasi. Komite audit memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan undang-undang dan etika yang berlaku. Menurut Sillagan dan Machfoedz (2006) Komite audit meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan keuangan melalui: 1. Pengawasan atas proses pelaporan termasuk sistem pengendalian internal dan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum, dan 2. Mengawasi proses audit secara keseluruhan. Hasilnya mengindikasikan bahwa adanya komite audit memiliki konsekuensi pada laporan keuangan yaitu: berkurangnya pengukuran akuntansi yang tidak tepat, berkurangnya pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan tindakan illegal.
17
Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit bertugas untuk menyediakan komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal dan auditor internal yang gunanya akan menjamin proses audit internal dan eksternal dapat berjalan dengan baik agar dapat meningkatkan kepercayaan terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
C. Manajemen Laba 1. Pengertian Manajemen Laba Manajemen laba dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang dilakukan secara senganja sesuai dengan keinginan manajemen. menurut Scoot yang dikutip dalam Tutut Dwi (2010) manajemen laba adalah cara yang digunakan oleh pihak manajemen untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis dan sengaja dengan cara memilih kebijakan akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu yang tujuannya untuk memaksimumkan utilitas manajer dan/atau nilai pasar dari perusahaan. Pihak manajemen dengan sengaja memanipulasi laporan keuangan dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dengan tujuan untuk memberikan informasi yang menyesatkan bagi pengguna laporan keuangan tetapi menguntungkan bagi pihak manajer (Inten 2004, dalam Tutut Dwi 2011).
18
2. Motivasi Manajemen laba Ada berbagai macam hal yang
mendorong terjadinya praktik
manajemen laba. Menurut Skousen (2004) dalam Desi (2010) faktorfaktor yang memotivasi tindakan manajemen laba adalah sebagai berikut : a. Memenuhi target internal Target laba internal yang diharapkan dapat memberikan motivasi
manajemen
sebagai
pengukuran
kinerja
ternyata
membawa dampak buruk. Karena adanya rencana pemberian bonus bedasarkan laba yng dihasilkan perusahaan, ternyata membuat pihak manajemen memiliki kecenderungan yang meningkat untuk memanipulasi laba yang dihasilkan. b. Memenuhi harapan eksternal Dengan adanya kepentingan dari pihak eksternal terhadap kinerja keuangan pada perusahaan, maka pihak manajemen berusaha menghindari pelaporan suatu kerugian dalam laporan keuangan
agar
tidak
mengecewakan
pihak-pihak
yang
berkepentingan. c. Meratakan laba (Income Smoothing) Perusahaan melakukan perataan laba agar di dalam laporan keuangan tidak terdapat angka yang terlalu berfluktuasi, maka pihak manajemen berusaha untuk mengelola laba yang dilaporkan. Tujuannya agar perusahaan lebih mudah mendapatkan pinjaman
19
dengan persyaratan yang menguntungkan dan dapat menarik perhatian investor. d. Memperbaiki laporan keuangan untuk keperluan penawaran saham perdana (IPO) Persyaratan pasar modal bagi perusahaan yang akan melakukan IPO adalah harus mendapatkan laba bersih. Hal tersebut membuat manajemen berupaya untuk selalu memenuhi persyaratan tersebut meskipun dengan memperluas asumsi-asumsi akuntansi sampai pada titik yang jauh dari aturan yang berlaku.
Scoot yang dikutip dari Desi kartikasari (2010) mengemukakan beberapa faktor yang memotivasi pihak manajemen dalam melakukan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Motivasi program bonus Sebelum melakukan manajemen laba, manajer memeiliki informasi yang cukup mengenai laba bersih perusahaan. Tujuan pihak
manajemen
mengelola
laba
bersih
adalah
untuk
memaksimalkan bonus berdasarkan program kompensasi yang dibuat perusahaan. 2.
Motivasi politik Perusahaan-perusahaan
besar
yang
aktivitasnya
berhubungan dengan publik seperti bidang telekomunikasi, listrik dan sarana infrastruktur akan mendapat perhatian dari publik dan
20
pemerintah
karena
melibatkan kepentingan
orang
banyak.
Perusahaan seperti ini cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan kepada perusahaan publik karena adanya tekanan publik yang mendorong pemerintah agar menetapkan peraturan yang lebih ketat. 3. Motivasi perpajakan Keinginan perusahaan untuk melakukan penghematan pajak menjadi motivasi untuk melakukan manajemen laba, karena beban pajak yang penghasilan yang besar. Berbagai metode akuntansi digunakan agar laba bersih yang dihasilkan rendah, supaya dapat menghemat pajak pendapatan. 4. Motivasi perubahan Manajemen laba dapat terjadi disaat mendekati pergantian CEO. Ketika waktu pengunduran diri bagi CEO semakin mendekat maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba perusahaan untuk memaksimalkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kualitas kinerjanya buruk memungkinkan pula untuk melakukan
manajemen
laba
dengan
memaksimalkan
laba
perusahaan dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian oleh pemegang saham. 5. Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang telah go public belum tentu memiliki nilai pasar sehingga memiliki masalah dalam menetapkan nilai saham
21
yang ditawarkan. Perusahaan menyajikan informasi mengenai laba bersih agar menarik perhatian calon investor dalam menilai suatu perusahaan. Manajer perusahaan akan melakukan manajemen laba untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi atas sahamnya. 6. Motivasi perjanjian hutang Praktik
manajemen laba dapat
terjadi pula ketika
perusahaan terlibat kontrak utang jangka panjang. Perjanjian utang bertujuan melindungi peminjam terhadap tindakan manajer. Pelanggaran terhadap kontrak hutang akan mengakibatkan biaya yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari kondisi yang dianggap akan melanggar kontrak. D. Perbankan Menurut UU No 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang merupakan perubahan atas UU No 7 Tahun 1992, menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut UU No 10 Tahun 1998 tentang perbankan, Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sebagai lembaga keuangan, dana merupakan persoalan bank yang paling utama. Dana bank adalah uang tunai yang dimiki bank ataupun aktiva lancar yang
22
dikuasai bank dan setiap waktu dapat diuangkan. Dana-dana bank yang digunakan sebagai modal operasional bersumber dari: a. Dana dari modal sendiri, sering disebut juga dana dari pihak ke I, yaitu dana dari modal sendiri yang berasal dari para pemegang saham. b. Dana pinjaman dari pihak luar, sering disebut dengan dana pihak ke II, yaitu dana yang diperoleh dari pihak yang memberikan pinjaman dana pada bank c. Dana dari masyarakat, sering disebut dengan dana dari pihak ke III, yaitu dana yang diperoleh dari peran bank sebagai wadah perantara keuangan masyarakat. Dana-dana masyarakat yang disimpan dalam bank merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan bank seperti giro, deposito dan tabungan (Irmala Sari 2010). E. TINJAUAN PENELITI TERDAHULU
Penelitian Marihot dan Doddy (2007) menyatakan bahwa variabel good corporate governance diwakilkan oleh komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, dan keberadaan komite audit, kurang dapat mengukur secara komprehensif praktik corporate governance dalam perusahaan, sehingga perlu adanya indeks tertentu yang mencerminkan praktik good corporate governance secara lebih tepat. Penelitian Sefiana (2010) yang diukur menggunakan proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris dan keberadaan komite audit dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel pengukuran tersebut tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba, hal ini dikarenakan penerapan good corporate
23
governance yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan sampel disebabkan karena untuk pemenuhan regulasi saja. Berikut ringkasan penelitian terkait dengan mekanisme good corporate governance dan manajemen laba :
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No
1.
2.
Nama Peneliti dan Tahun Marihot Nasution dan Doddy Setiawan (2003)
Judul Penelitian
Variabel yang Hasil Penelitian Digunakan
Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia
Variabel independen: 1. Komposisi dewan komisaris 2. ukuran dewan komisaris 3. Keberadaan komite audit Variabel dependen: 1. Manajemen laba
Mekanisme corporate governance mempengaruhi manajemen laba : 1. Komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba 3. Keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
Eka Sefiana (2010)
Pengaruh Penerapan Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan yang telah go public di BEI
Variabel independen: 1. Proporsi komisaris independen 2. Ukuran dewan komisaris 3. Keberadaan Komite audit
1. Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen laba 2. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba 3. Keberadaaan komite audit berpengaruh positif terhadap manajemen laba
Variabel dependen: 1.Manajemen laba
24 3.
Eddy Suranta dan Pratana Puspa Midiastuty (2005)
Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Praktek Manajemen Laba
Variabel independen: 1. Komite Audit 2. Komisaris Independen 3. Ukuran Dewan Direksi 4. Kepemilikan Institusional 5. Kepemilikan manajerial Variabel dependen: 1. Manajemen laba
1. Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2. Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 3. Ukuran Dewan Direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba 4. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 5. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
F. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan beberapa tinjauan penelitian terdahulu, dapat dilihat variabel terkait mekanisme good corporate governance adalah proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, komite audit. Untuk memudahkan pemahaman tentang mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba diperlukan suatu kerangka pemikiran. Berikut ini adalah skema kerangka pemikirannya :
25
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Variabel Independen
Variabel Dependen
Proporsi Komisaris Independen
Ukuran dewan Direksi
Ukuran Komite Audit
Manajemen Laba