Lampiran 1 SINOPSIS a. Kota Kami Dicekam Ketakutan Cerpen Kota Kami Dicekam Ketakutan ini menceritakan sebuah kota yang berada di pulau kecil dan diapit oleh gunung yang tinggi dan pantai. Di kota tersebut ada beberapa penduduk yang jumlahnya tidak begitu besar. Penduduk dapat dikategorikan pada masyarakat menengah ke bawah dan hidup sederhana dengan penghasilan yang pas-pasan. Setiap malam penduduk merasa dicekam oleh ketakutan dan memilih untuk diam di dalam rumah serta menyimpan sejuta tanya tentang kabar yang terjadi di kota mereka. Ketenteraman di kota itu sudah hilang dan diliputi oleh kecemasan. Orang yang sehat walafiat mendadak meninggal secara mengenaskan. Setiap malam selalu ada mayat yang ditemukan dan keadaannya selalu sama. Beberapa penduduk, seperti Ogaz ikut cemas dengan keadaan tersebut. Suatu malam beberapa penduduk berkumpul, di antaranya Lolong, Labas, Brazak, Azbakh, Rumi, dan penduduk lainnnya. Ogaz dan beberapa penduduk mengadakan rapat dan diskusi tentang kematian yang terjadi di kota itu. Seluruh masyarakat cemas, berusaha untuk melawan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa pun karena mereka tidak tahu siapa pelakunya. Yang mereka tahu adalah bahwa orang-orang yang berkuasalah yang bergentayangan mencabuti nyawa teman-teman mereka setiap malam. Kemudian malam berikutnya, Ogaz dan beberapa teman lainnya harus menyaksikan mayat teman mereka yang kemarin ikut rapat yaitu Lolong, Labas, dan Brazak sudah menjadi mayat. Penduduk cemas, ketakutan dan hanya kepasrahan yang mereka hadapi. Ogaz dan teman lainnya hanya bisa menangis, dan berdoa akan kota mereka yang dicekam ketakutan.
Universitas Sumatera Utara
b. Palaran Perang yang terjadi di kawasan Padas Lintang menyisakan kepedihan dan tekanan psikis bagi sang pemenang. Perang yang menyebabkan kawasan Padas Lintang menjelma kolam darah melibatkan Adipati Sepuh yang dianggap tidak becus memimpin Padas Lintang dengan Adipati Anom sebagai pencetus perang dan penngumpulan massa yang ingin memberontak Adipati Sepuh. Adipati Anom juga merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Setelah peperangan usai, kekuasaan Adipati Sepuh digantikan oleh Adipati Anom. Selang beberapa tahun kepemimpinannya, Adipati Anom mengalami tekanan psikis karena teringat akan masa peperangan masa lalu. Nyanyian Palaran dengan alunan musik gamelan yang dulunya dipakai sebagai pemicu emosi masyarakat dalam berperang, kini selalu mengiang di telinga Adipati Anom. Beberapa tekanan ini terjadi pada Adipati Anom, menyebabkan Adipati Anom mengambil keputusan untuk melarang seluruh permainan gamelan dari nyanyian Palaran di kawasan Padas Lintang. Hal ini hanya sesaat saja mengurangi tekanan yang terjadi pada Adipati Anom, tetapi hari-harinya kembali dihantui masa peperangan dulu dengan nyanyian Palaran dan alunan gamelan. Akibat tekanan ini, kejadian buruk terjadi pada Adipati Anom, tetapi hal ini dianggap biasa oleh masyarakat Padas Lintang. c. Sepasang Mata yang Hilang Kamil adalah seorang pemuda desa yang kesehariannya tinggal bersama orang tuanya yaitu Pak Kardi dan Yu Sonto. Semula Kamil adalah pemuda desa yang perilakunya normal, tetapi tiga hari setelah ia jatuh di suatu perempatan jalan desa, Kamil merasakan hal yang aneh ketika melihat sesuatu. Matanya mampu melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Kamil sangat bingung dan stres dengan hal aneh yang dialaminya. Orang-orang yang berpengaruh baik dalam
Universitas Sumatera Utara
bidang sosial maupun ekonomi dianggapnya sebagai makhluk jadi-jadian seperti sosok raksasa yang besar. Setiap harinya Kamil takut untuk membuka mata karena pemandangan yang dilihatnya. Ketika ia memandang tempe di piring dan air teh, ia seperti melihat tenunan jutaan baksil yang mengonggok dan jutaan bakteri yang memenuhi piring dan gelas tersebut. Kemudian ia pun memeriksakan matanya ke dokter, namun dokter menyatakan matanya sehat. Dokter pun menyarankannya untuk mendatangi psikiater. Keanehan mata Kamil menelan banyak korban. Pak Karso, orang kaya yang disegani merasa tersinggung ketika Kamil berteriak dan mengatakan bahwa wajah Pak Karso seperti wajah raksasa dengan taring-taring tajam. Kemudian Pak Karsan yang juga orang kaya dari Desa Duwitan, tetapi tidak jelas pekerjaannya, marah-marah dan sakit hati karena dianggap Kamil berwajah lintah raksasa yang hitam , kasar, buas dan menakutkan. Tante Trustikam, Roto Julik, Godrah, Likat, Tiras dan banyak orang lainnya, menjadi korban dari penglihatan Kamil. Pak Kardi dan keluarganya benar-benar gelisah dan cemas dengan mata Kamil karena dianggap tidak tahu tata krama dan sopan santun. Kebingungan yang memuncak adalah ketika Kamil mencalonkan diri untuk menjadi Lurah di desanya. Akhirnya, Kamil pun dikurung di kamar dan tidak boleh keluar rumah. Keluarganya berniat untuk membawa kamil ke rumah sakit jiwa. Kamil semakin merasa takut dan tertekan dengan hal yang dialaminya. Dia cemas dan dihantui oleh kematian. Sampai pada suatu waktu, ia lari dan merasa diikuti oleh dua sosok kuat, tetapi tidak kelihatan. Kamil terus berlari sampai dia pun terjatuh dalam kegelapan dan menabrak dua sosok kuat tersebut. Kemudian dia merasakan ada benda tajam yang menghujam kedua matanya. Darah pun mengucur dari matanya dan bajunya pun basah. Ia kaget tidak lagi mendapati kedua matanya. Jiwanya hancur dan Kamil tetap menyusuri malam. Sejak kejadian
Universitas Sumatera Utara
itu, Desa Krowotan tenang kembali dan Kamil hidup dengan tongkat menyusuri jalan-jalan desa mencari sepasang matanya yang hilang. d. Burung-burung yang Menyergap Gerusta adalah seorang orator ulung yang kesehariannya hidup dari kata-kata dalam sebuah organisasi politik di masyarakat. Gerusta biasanya tampil untuk berpidato di depan ratusan bahkan jutaan massa. Pada suatu waktu, Gerusta disergap oleh burung-burung yang jumlahnya tidak dapat lagi terhitung, mencoba masuk jendelannya. Burung-burung berbulu hitam, berparuh runcing sebesar jalak itu menyergap wajah Gerusta. Gerusta menjerit memandangi wajahnya yang bopeng, penuh luka dengan bercak-bercak darah menguasai wilayah wajahnya. Dia pun mengambil senjata untuk berjaga-jaga kalau burung tersebut datang lagi Hanya kecemasan yang dirasakannya. Pada saat itu juga, salah seorang kader wanita yaitu Gretta menelepon Gerusta untuk memberikan orasi untuk pemantapan para kader. Gerusta pun menolak untuk datang karena ia merasa malu dengan wajahnya yang penuh luka. Sampai pada akhirnya, Gretta pun datang ke rumah Gerusta untuk memberikan orasi. Ketika Gretta datang, Gerusta malu dan berusaha menutup wajahnya yang sebenarnya tidak mengalami apaapa. Wajahnya masih utuh seperti sebelumnya dan yang dirasakannya hanya loyo dan jiwanya lelah. Hal ini menyadarkannya, betapa kata-kata kini tidak dimilikinya melainkan sudah memiliki dirinya, bahkan menguasainya. Gerusta merasa terkungkung dan terancam oleh karena sergapan burung yang menantinya, yang sebenarnya hanya ilusinya saja dan mengalami tekanan psikis. Bayangan ilusi akan burung-burung yang menyergapnya terus menghantui Gerusta sampai pada akhirnya media
Universitas Sumatera Utara
massa mengabarkan tewasnya Gerusta sebagai tokoh penting partai. Ia dikabarkan “mengalami kecelakaan senapan” tanpa usut riwayat kasus yang masih gelap. e.
Anoman Ringsek Wondo adalah satu-satunya yang ahli memainkan Anoman dalam suatu pertunjukan
wayang di desanya. Ketika itu, selesai pertunjukan wayang Sinta dan Rama, Wondo yang berperan sebagai anoman mendadak pingsan di panggung. Tubuhnya lemas dan ia segera dibawa pulang. Para pemain yang lainnya pun panik dengan kondisi Wondo termasuk Jaiman yaitu dalang yang merangkap sebagai juragan Ramayana. Surti yang merupakan istri Wondo terus menjaga suaminya yang panas tubuhnya tidak juga reda. Semenjak pingsan, ternyata Wondo mengalami ketakutan. Dia selalu dibayangi oleh wajah raksasa yang selalu mengikutinya dan seolah ingin menyergapnya. Wondo merasa bosan dan tidak berpenghasilan baik dengan bermain wayang sebagai Anoman. Ia merasa iri dengan teman-temannya yang lain yang bisa menari di hotel dengan bayaran yang lebih besar. Istrinya harus hutang ke sana kemari karena penghasilan yang tidak cukup. Kehidupan yang sederhana dan penghasilan yang pas-pasan membuat Wondo suntuk dan bernasib ringsek (rusak dan pesuk) seperti benang kusut. Sepanjang malam semenjak pingsan, di tempat tidur Wondo hanya mengigau ketakutan. Kecemasan selalu menghantuinya. Istrinya mengira suaminya kerasukan makhluk halus, dan dia hanya bisa menangis. Tiba suatu malam, surti dikagetkan oleh suara riuh dari kamar mereka. Ternyata Wondo mengamuk seperti sedang berkelahi dengan orang di dalam kamar. Wondo melompat dan menari seperti Anoman layaknya orang yang berkelahi, tetapi tidak jelas siapa yang ia lawan. Istrinya berusaha menenangkannya namun malah membuatnya terlempar. Wondo
Universitas Sumatera Utara
pun pergi ke luar melalui jendela. Istri dan warga lainnya berusaha untuk mengejarnya, tetapi tidak berhasil. Wondo histeris sendiri dengan melompat dan mengamuk seperti Anoman. Pada akhirnya, Wondo pun terlempar ke tanah setelah memanjat sebuah pilar. Darah segar mengalir dari hidung, mulut, dan telinganya. Ternyata impian Wondo akan kehidupan yang lebih baik membuat jiwanya tertekan. Impiannya yang tidak tercapai malah membawanya ke situasi yang mengenaskan. Istrinya hanya bisa pasrah dan menangis.
Universitas Sumatera Utara