Edisi XVI/2013
Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany:
“Lakukan Tugas dan Tanggung Jawab Melebihi Penghargaan yang Diberikan”
Meningkatkan Awareness Pengelolaan Kinerja di DJP Penilaian 3600 tanamkan IPROSPEK
Foto: Loka Yoga
Kontrak Kinerja Tahun 2013, Komitmen dan Tantangan Mendongkrak Penerimaan Pajak
Editorial Edisi XVI/2013
Redaksi Diterbitkan Oleh: Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Pelindung Menteri Keuangan Pengarah Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Penanggung Jawab Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan Redaktur Supendi, Herry Siswanto, Yeti Wulandari, Eka Saputra, Herry Hernawan, Rachmad Arijanto, Moch. Asep Kurniawan Penyunting/Editor Agus Dwiatmoko, Puspita Idowati Rajagukguk, Susmianti , Misnilawaty Sidabutar, Arie Fikri, Azharuddin, Eman Adhi Patra KontributorTetap Manajer Kinerja Organisasi, Manajer Kinerja Pegawai Desain Grafis & Fotografer Wardah Adina, Bagus Wijaya, I Made Edi Juliana, Loka Yoga Hapsara Pencetakan dan Distribusi Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Alamat Redaksi: Gedung Djuanda I Lt. 5 Jl Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710 Kotak Pos 21 Telp. 021 3449230 pst 6139 Fax. 021 3517020 Website: www.kemenkeu.go.id Email:
[email protected];
[email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5 maksimal 3 halaman. Tulisan artikel dapat dikirim ke email redaksi. Setiap tulisan yang masuk menjadi milik redaksi. Redaksi berhak mengubah/mengedit setiap tulisan yang dimuat.
2
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Genjot Kinerja Penerimaan Pajak SEKALI lagi jajaran pimpinan Kementerian Keuangan menunjukan komitmen dan konsistensi pada implementasi strategi yang ditandai dengan prosesi penandatangan kontrak kinerja tahun 2013. Tentunya pencapaian target kinerja yang telah disepakati tersebut, tidak hanya menjadi tanggungjawab para pimpinan tetapi juga menjadi acuan bagi seluruh pegawai dalam mencapai tujuan organisasi.
ningkatan pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak DJP dengan melakukan perubahan-perubahan pada struktur organisasi, business process dan teknologi informasi dan komunikasi, manajemen sumber daya manusia, dan pelaksanaan good governance. Sistem pengawasan tidak hanya diarahkan kepada Wajib Pajak, namun juga dilakukan upaya pengawasan terhadap kualitas kinerja serta integritas pegawai DJP.
Salah satu kinerja Kementerian Keuangan yang menjadi prioritas utama adalah penerimaan negara. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang terjadi belakangan ini, semakin memberikan tekanan pada penerimaan negara. Sementara itu, pembangunan dan pengoperasian negara mutlak memerlukan dana, sehingga Kementerian Keuangan sebagai penanggung jawab fiskal memiliki tantangan utama menjaga penerimaan negara. Di sisi lain, sumber penerimaan tidak dapat lagi bergantung pada sumber daya alam yang semakin menipis.
Upaya-upaya tersebut bukanlah hal mudah selayaknya membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan waktu dan banyak tantangan yang dihadapi, baik eksternal maupun internal. Banyak hal sudah dikembangkan oleh DJP terutama dalam upaya peningkatan sistem pelayanan dan pengawasan perpajakan. Namun demikian, yang terpenting dari semua itu adalah perubahan pola pikir dan perilaku di seluruh jajaran DJP.
Melihat realisasi APBN Perubahan tahun 2012, diketahui bahwa pajak menyumbang 73 persen dari total penerimaan negara. Artinya, saat ini penerimaan pajak merupakan sumber utama pembiayaan kehidupan bernegara. Target penerimaan pajak pun semakin ke depan digenjot semakin tinggi. Target penerimaan pajak yang diamanatkan kepada Direktorat Jenderal Pajak tahun 2013 adalah sebesar 1.042,28 Triliun meningkat 24,79% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2012 sebesar 835,25 Triliun. Hal menarik inilah yang menjadi topik pembahasan buletin kinerja edisi kali ini. Dalam rangka mencapai target penerimaan pajak yang sudah menembus angka 1000 Triliun, maka salah satu upaya yang sejak tahun 2002 sampai saat ini terus dilakukan oleh DJP adalah modernisasi perpajakan. Pe-
Apa yang terjadi di DJP, juga dialami oleh semua unit organisasi dan pegawai Kementerian Keuangan. Program Transformasi Kelembagaan lahir untuk menjawab perlunya upaya-upaya perbaikan pada perspektif business process dan learning and growth yang berkesinambungan. Hal terpenting adalah bagaimana Kementerian Keuangan dapat memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia dan sanggup menghadapi segala tantangan yang timbul dari ketidakpastian ekonomi global. Selamat melaksanakan tugas bagi seluruh pegawai Kementerian Keuangan. Hadapi segala tantangan dengan smart. Bekerjalah sepenuh hati, karena bekerja merupakan bagian dari ibadah kita kepada Sang Pencipta. Jadikan tahun 2013 ini menjadi tahun keberuntungan bagi Kementerian Keuangan untuk meraih kesuksesan di tahun-tahun mendatang. [Rachmad Arijanto]
Kontrak Kinerja Tahun 2013,
Komitmen dan Tantangan Mendongkrak Penerimaan Pajak Gedung Juanda I lagi-lagi menjadi saksi perhelatan akbar Kementerian Keuangan. Bagaimana tidak, di hari Rabu 6 Maret 2013, Kontrak Kinerja Kemenkeu-Wide telah disepakati sekaligus dilakukan penandatanganan Kemenkeu-One oleh Pimpinan Unit Eselon I dan Menteri Keuangan di aula Mezanine Gedung Juanda I. Sebelumnya, di hari yang sama terlebih dahulu dilakukan pembahasan konsep Kontrak Kinerja Kemenkeu-One dalam sebuah rapat yang dipimpin oleh Menteri Keuangan. Kontrak Kinerja yang ditetapkan ini merupakan pintu gerbang pelaksanaan kinerja setahun ke depan.
PEMBAHASAN PETA STRATEGI dan Indikator Kinerja Utama Kemenkeu-Wide-One tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Menteri Keuangan memberikan perhatian secara khusus terhadap Kebijakan Strategis Kementerian Keuangan dan membahasnya secara mendalam bersama para pimpinan unit eselon I. Dokumen kebijakan strategis ini berisi tujuan, sasaran, dan indikator yang ingin dicapai Kementerian Keuangan sampai tahun 2024, serta menjadi salah satu acuan dalam perumusan rencana strategis, rencana kerja, dan peta strategi kementerian tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Harapan stakeholder kepada Kementerian Keuangan dalam pengelolaan keuangan dan kekayaan negara terus meningkat. Masyarakat menginginkan perbaikan taraf hidup dan layanan pemerintah yang lebih baik. Upaya-upaya yang akan dilakukan dalam mewujudkan harapan stakeholder tidak lepas dari bingkai visi dan misi Kementerian Keuangan yang telah ditetapkan bersama. Strategi yang telah dibangun dijabarkan dalam berbagai Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Utama guna mewujudkan visi Kementerian Keuangan “menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara yang dipercaya, akuntabel,
dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan”. Pada tahun 2012 secara umum kita telah mampu menunjukkan kinerja Kementerian Keuangan. Dari 38 Indikator Kinerja Utama (IKU) Kemenkeu-Wide, 30 IKU atau 78,95% telah mencapai/melebihi target (berstatus hijau) dan selebihnya sebanyak 8 IKU atau 21,05% belum mencapai target (berstatus kuning). Sedangkan Nilai Kinerja Organisasi (NKO) Kementerian Keuangan tahun 2012 adalah 104,61%. Kementerian Keuangan boleh cukup berbangga dengan pencapaian tersebut, tetapi tetap harus berfikir kritis dan tidak boleh berpuas diri. Tantangan dan ekspektasi stakeholder yang semakin tinggi menuntut kita untuk terus berkinerja sesempurna mungkin. IKU maupun target yang disusun dan ditetapkan dari tahun ke tahun harus makin lebih menantang. Begitu juga dengan inisiatif strategis yang disusun, harus merupakan terobosan yang benar-benar mampu mendongkrak kinerja kita. Pada tahun 2013 ini, kualitas Sasaran Strategis (SS) dan IKU KemenkeuWide-One sudah diupayakan untuk lebih ditingkatkan. Untuk level KeBuletin Kinerja - Edisi XVI/2013
3
menkeu-Wide telah ditetapkan 14 SS dan 37 IKU. SS yang dipilih pada perspektif stakeholder adalah yang bersifat outcome, yaitu kondisi fiskal yang berkelanjutan mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas. Tujuannya adalah untuk lebih menggambarkan kinerja Kemenkeu dan mewujudkan outcome yang berskala nasional. Bila kita melihat IKU di dalam SS ini maka tujuan SS akan tampak lebih jelas. IKU tersebut meliputi: (1) Rasio pajak terhadap PDB, (2) Rasio utang terhadap PDB, (3) Rasio defisit APBN terhadap PDB, (4) Indeks opini BPK atas LKPP, dan (5) Indeks pemerataaan keuangan antar daerah.
Langkah-langkah strategis yang dirumuskan dalam menggali potensi pajak antara lain: (1) penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diarahkan bagi perluasan basis pajak dan penguatan penegakan hukum, (2) perbaikan sistem administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menuju pada penerapan sistem online, (3) penggalian potensi berbasis sektoral yang didukung oleh pengembangan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi serta pemanfaatan data eksternal sebagai tindak lanjut dari pasal 35A UndangUndang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012, khususnya yang menyangkut kewajiban berbagai pihak, termasuk kementerian/lembaga untuk menyerahkan data-data dan informasi terkait perpajakan, (4) penguatan program ekstensifikasi melalui pemanfaatan data hasil Sensus Pajak Nasional (SPN), (5) penerapan metode pemeriksaan berbasis risiko yang lebih andal dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan sistem quality assurance untuk meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan, dan (6) penyempurnaan aspek perpajakan internasional dalam rangka penguatan keberpihakan pada kepentingan nasional dan pencegahan penghindaran pajak melalui renegosiasi tax treaty dan memperkuat panduan umum dan aturan khusus terkait masalah-masalah transfer pricing. Di level Kemenkeu-One DJP sendiri, pada kontrak kinerja tahun 2013 telah ditetapkan 11 SS dan 25 IKU. 11 SS tersebut dirangkai dalam suatu peta strategi yang saling berhubungan untuk mencapai visi DJP “menjadi institusi pemerintah penghimpun pajak negara yang terbaik di
4
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
cascade
Salah satu sasaran strategis pada perspektif internal process yang menjadi sorotan publik adalah pendapatan yang optimal. Di dalam SS ini terdapat IKU jumlah pendapatan negara dengan nilai yang sangat fantastis mencapai Rp1.525,188T. Pendapatan pajak yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyumbang porsi yang sangat besar yaitu Rp1.042,285T. Pendapatan pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara yang kontribusinya lebih dari 70 persen dari seluruh pendapatan negara. Dengan semangat reformasi birokrasi dan kekuatan lebih dari 30.000 pegawai, DJP menetapkan langkah bersama untuk mencapai target pendapatan pajak itu melalui IKU jumlah penerimaan pajak yang telah ditetapkan dalam Kontrak Kinerja Direktur Jenderal Pajak Tahun 2013. Target yang cukup berat, ditambah lagi dengan kondisi perekonomian dunia yang diperkirakan belum pulih sepenuhnya di tahun 2013 ini. Tetapi dengan komitmen yang tinggi untuk bekerja lebih cerdas, lebih keras, dan melaksanakan berbagai langkah strategis, penerimaan pajak akan dapat dicapai.
wilayah Asia Tenggara.” Ada IKU baru yang berbeda pada kontrak kinerja DJP tahun ini dengan tahun lalu. IKU tersebut adalah “persentase keberhasilan pelaksanaan joint audit” yang menjadi tanggung jawab bersama antara DJP dan DJBC. Joint Audit adalah kegiatan pemeriksaan pajak, audit kepabeanan, dan/atau audit cukai yang dilakukan bersama-sama antara pemeriksa pajak dan auditor bea dan cukai terhadap Wajib Pajak/Auditee yang telah ditentukan oleh Komite Joint Audit. IKU ini menjadi prioritas Menteri Keuangan dalam rangka mewujudkan sinergi antar unit eselon I terutama DJP dan DJBC untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Kontrak Kinerja Kemenkeu-One yang telah ditetapkan merupakan acuan untuk melakukan cascading kepada seluruh pejabat dan pegawai pada masing-masing unit eselon I. Dengan demikian, strategi yang telah ditetapkan akan segera menjadi pedoman bagi seluruh pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugasnya selama setahun kedepan. Tidak ada pilihan lain bagi kita semua selain dengan penuh komitmen mencurahkan seluruh sumber daya yang kita miliki untuk memberikan kinerja terbaik bagi negeri tercinta. [Puspita Idowati Rajagukguk]
Foto: Dok. Biro KLI
Reformasi Birokrasi Dalam Tubuh Direktorat Jenderal Pajak Kata “Perubahan“ akhir-akhir ini menjadi kata yang sangat sering didengung- dengungkan dalam kehidupan berbangsa ini, baik dengan istilah “Reformasi” atau “Transformasi” atau kata lainnya yang maknanya relatif sama. Perubahan yang dilakukan oleh suatu organisasi dimanapun mempunyai tujuan agar organisasi dapat selalu beradaptasi dengan lingkungannya dan berusaha untuk selalu menjadi lebih baik dari masa ke masa.
BAGI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (DJP), institusi yang bertanggung jawab dalam menopang pembiayaan kehidupan bernegara, “Perubahan” merupakan suatu keniscayaan mengingat perkembangan masyarakat dan dunia usaha yang sangat dinamis dan semakin komplek. Sampai saat ini ada 2 (dua) perubahan yang cukup fenomenal di DJP, yaitu Perubahan Sistem Pemungutan Pajak dari “Official Assessment” menjadi “Self Assessment“ yang dilakukan pada tahun 1983 dan Modernisasi Administrasi Perpajakan yang dilakukan pada tahun 2002 (dimulai dengan pembentukan Kanwil dan KPP Wajib Pajak (WP) Besar). Kedua perubahan tersebut telah berhasil mengubah pola pikir dan perilaku
para stakeholders terlebih pola pikir dan perilaku aparat perpajakan. Sistem pemungutan pajak “self assessment” memberikan kewenangan sepenuhnya kepada WP untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Perubahan ini telah berhasil mengubah aparat perpajakan yang sebelumnya “powerful” karena kewenangan penetapan besarya pajak terhutang berdasarkan penilaian secara langsung menjadi aparat perpajakan yang “akuntabel” dalam berinteraksi dengan WP. Awalnya cukup efektif untuk meredam perilaku-perilaku kolusi dan koruptif. Namun, seiring perjalanan waktu, akibat
tidak efektifnya sistem pengendalian internal pada DJP ditambah lagi dengan organisasi yang cukup toleran dengan perilaku-perilaku kolusi koruptif, maka budaya organisasi yang berkembang saat itu lebih cenderung ke arah budaya materialistis dan berdampak pada kurang baiknya citra DJP baik di mata masyarakat Indonesia maupun di dunia internasional. Konon katanya, banyak pegawai DJP sendiri yang merasa malu mengaku bekerja di DJP.Momentum krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, yang membawa angin perubahan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih dan transparan, dimanfaatkan dengan baik oleh para pemimpin DJP untuk menyusun suatu agenda reformasi di tubuh Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
5
Foto: Dok. Biro KLI
Modernisasi administrasi perpajakan yang dimulai sejak tahun 2002, telah berhasil membentuk budaya dan nilai-nilai baru yang lebih positif, bahkan lebih jauh lagi telah berhasil menginspirasi Kementerian Keuangan untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh.
DJP yang bertujuan untuk membawa DJP menjadi suatu institusi yang akuntabel, dipercaya, dan dibanggakan masyarakat. Agenda reformasi ini kemudian lebih dikenal dengan nama “Modernisasi Administrasi Perpajakan”. Secara umum, modernisasi administrasi perpajakan menyentuh 3 (tiga) hal utama, yaitu: Restrukturisasi Organisasi, Pengembangan Proses Bisnis yang berbasis Teknologi Informasi, dan Penyelenggaraan praktek “Good Governance” yang didukung oleh Manajemen Sumber Daya Manusia yang berbasis kompetensi. Konsep Restrukturisasi Organisasi bertujuan untuk mengatasi beberapa permasalahan organisasi pada level operasional (unit vertikal) seperti adanya redundansi duplikasi pengawasan dan pemeriksaan, tidak adanya pelayanan satu atap, struktur belum mendukung sepenuhnya praktek “good governance”, standar pelayanan yang belum proper memadai, dan sebagainya. Konsep ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Struktur Organisasi KPP berdasarkan segmentasi WP: Besar, Menengah, dan Kecil; 2. Struktur Organisasi yang berbasiskan fungsi administrasi perpajakan; 3. Penggabungan KPP, Karikpa, dan KPPBB; 4. Penerapan konsep Account Representative; 5. Pemindahan fungsi keberatan ke Kanwil; 6. Pembentukan Unit Transformasi dan Kepatuhan Internal. Pengembangan proses bisnis yang berbasis teknologi informasi ditandai dengan penerapan sistem “workflow” dan ”Case Management” dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP). Dengan adanya kedua sistem tersebut, proses bisnis administrasi perpajakan menjadi semakin akuntabel karena penentuan mulai dan berakhirnya suatu kasus di generate oleh sistem sehingga tidak dapat dimanipulasi oleh manusia. Dalam sistem tersebut juga dapat diketahui tahapan proses secara transparan, sehingga apabila terjadi keterlambatan, sistem dengan mudah mendeteksi pihak-pihak yang bertanggung jawab. Penyelenggaraan “Good Governance” dimulai dengan diterapkannya kode etik pegawai dan dibentuknya Ombudsman Pajak (saat ini bertransformasi menjadi Komite Pengawas Perpajakan). Di dalam tubuh DJP sendiri terdapat unit pengawas internal yang mempunyai tugas untuk melakukan pemantauan terhadap kepatuhan internal para pegawai DJP. DJP juga mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi yang dikaitkan dengan remunerasi yang fair. Konsep-konsep Analisis Jabatan, Assessment pegawai, dan job grading mulai dikembangkan pada saat itu.
6
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Modernisasi administrasi perpajakan yang dimulai sejak tahun 2002, telah berhasil membentuk budaya dan nilai-nilai baru yang lebih positif, bahkan lebih jauh lagi telah berhasil menginspirasi Kementerian Keuangan untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Hal ini dibuktikan dengan kinerja penerimaan pajak yang terus meningkat, turunnya indeks korupsi DJP, dan meningkatnya indeks kepuasan para stakeholders. Bahkan pegawai DJP pun sudah berani membuka identitas diri dengan semangat integritasnya. Namun pegawai DJP bukanlah malaikat. Dalam perjalanannya, terjadi pengkhianatan yang dilakukan oleh segelintir oknum DJP yang mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap DJP. Tugas DJP pun dari tahun ke tahun semakin berat. Hal ini seharusnya tidak menjadikan DJP surut dalam melakukan reformasi dan bahkan DJP harus semakin kuat dan dewasa dalam menyikapi setiap perubahan. Terima kasih yang tak terhingga kami ucapkan untuk para pendahulu kami yang telah sukses meletakkan dasar-dasar reformasi dan membawa paradigma baru dalam tubuh DJP.
Ditulis oleh: Iwan Djuniardi, Direktur Teknologi Informasi Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak Foto: Dok. Pribadi
Hijrah Menuju Keberhasilan Modernisasi DJP Reformasi Birokrasi dimulai sejak tahun 2002, salah satu yang menjadi pilot project dan prioritas saat itu adalah Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Untuk itu, pada edisi kali ini tim buletin ingin menampilkan sosok yang merupakan salah satu saksi sekaligus pelaku sejarah reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Dedi Rudaedi, figur yang dikenal ramah dan sering berinteraksi dengan jajarannya, adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak yang seringkali terlibat dalam Modernisasi Perpajakan.
PAK DEDI, begitu beliau akrab dipanggil. Pria kelahiran Tasikmalaya Tahun 1953 ini merupakan lulusan fakultas Master of Science in Professional Accounting di University Of Hartford, Amerika Serikat Tahun 1986. Perjalanan karirnya dimulai dari jabatan sebagai Kepala Karikpa Surabaya pada tahun 1998, kemudian Kabag Kepegawaian DJP, dan beberapa kali menjabat sebagai kepala Kantor Wilayah, serta pernah menjabat sebagai Direktur KITSDA dan juga sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan Dan Hubungan Masyarakat. Sejak tahun 2012 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak. Saat ditanya mengenai perannya dalam modernisasi perpajakan, Pak Dedi yang sudah terlibat sejak awal perumusan modernisasi di DJP, terlebih dahulu menjelaskan awal mula proses modernisasi perpajakan yang merupakan bagian dari reformasi Kementerian Keuangan.
Foto: Edi Juliana
Peran DJP dalam penerimaan negara pada era sebelum tahun 1998 belum terlalu signifikan, karena pada waktu itu penerimaan negara dalam APBN masih dominan ditunjang oleh penerimaan hasil sumber daya alam. Seiring dengan berkurangnya sumber daya tersebut, maka DJP mulai dituntut untuk dapat memungut penerimaan pajak yang lebih besar. Hal tersebut dapat dilihat dari penerimaan pajak sebelum tahun 2002 yang hanya berkisar 187 triliun, dibandingkan dengan sekarang yang sudah menjadi sekitar 943 triliun. Sehingga ketika Kementerian Keuangan ditunjuk sebagai pilot project reformasi birokrasi, Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
7
Foto: Edi Juliana
DJP dianggap sebagai institusi di bawah Kemenkeu yang harus direformasi lebih dahulu. Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan diawali dengan revolusi kecil kantor pelayananpajak pada tahun 2002. Menteri Keuangan saat itu (Bapak Boediono) menginstruksikan agar dibentuk kantor pelayanan pajak yang bebas dari praktik KKN. “Awalnya pak Menteri meminta dibentuk kantor kecil sekaligus memilih dan memilah pegawai yang memiliki integritas untuk dipekerjakan disana, itu kuncinya! “ ujar Pak Dedi yang sering makan siang bareng dengan bawahannya ini. Reformasi di DJP pada waktu itu, sejatinya diawali bukan dengan menyusun SOP, membuat kode etik, analisis beban kerja, maupun penerapan manajemen kinerja, melainkan terletak pada sumberdaya manusia dan komitmen mereka untuk berubah. Kesukarelaan pegawai untuk mendaftar sebagai staf pada kantor modern sungguh luar biasa dan menjadi kenangan tersendiri bagi beliau yang juga diamanahkan untuk menjadi kepala kantornya. Inilah modal awal “hijrahnya” DJP menuju birokrasi yang bebas dari praktik menyimpang.
8
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Kesemuanya itu hanyalah Ornamen Reformasi. Perubahan organisasi, proses bisnis dan manajemen pegawai bisa kita lakukan dalam beberapa tahun akan tetapi esensi reformasi yang utama adalah “hijrahnya” perilaku dan mindset pegawai.
Implementasi di lapangan memang tidak mudah, bahkan jajaran saya sempat bertanya apakah reformasi dapat berhasil. Mereka bilang “Pak, kita sudah gagal, lingkungan tidak mendukung kita.” Sebagai seorang atasan kita harus bisa memotivasi jajaran agar tetap konsisten dan semangat dengan program reformasi, demikian diungkapkan pak Dedi. Apakah anda sudah merasa berkorban selama dua tahun ini? begitu pertanyaan yang dilontarkan saat itu kepada jajarannya, dan kemudian dijawab ”sudah pak”. Lalu mengapa kita harus mundur setelah dua tahun? kenapa tidak dari awal saja? begitu kenangnya. Keberhasilan pada tahap awal ini kemudian di copy and paste kedalam organisasi
DJP yang lebih luas cakupannya, kemudian barulah DJP menata organisasi yang dulu berfokus pada type of tax, menjadi fokus pada fungsi dan segmentasi wajib pajak. Begitu juga dengan proses bisnis, DJP kemudian menyusun SOP, layanan unggulan, pembentukan tusi Account Representative serta pemanfaatan teknologi. Dari segi manajemen SDM juga tidak ketinggalan, DJP mengimplementasikan Standar Kompetensi Jabatan, dan menyusun kebijakan SDM, kode etik dan nilai-nilai. Kesemuanya itu untuk mendukung modernisasi pada DJP. “Saya ingin mengatakan bahwa kesemuanya itu hanya Ornamen Reformasi, perubahan organisasi, proses bisnis dan manajemen pegawai bisa kita lakukan dalam beberapa tahun akan tetapi esensi reformasi yang utama adalah “hijrahnya” perilaku dan mindset pegawai. Sebagai contoh saya pernah berkomitmen untuk tidak akan menyentuh mesin absen fingerprint. Saya katakan, bahwa saya akan datang lebih awal dan pulang lebih malam tapi saya tidak akan menyentuh mesin tersebut dan kemudian saya menjadi manusia yang merdeka” begitu pesan beliau. [Supendi, Eman Adhi Patra]
Frequently Asked Questions Perhitungan CKP Pegawai Mutasi Ta n y a :
Jawab:
Apabila terdapat pegawai yang mutasi ke kantor lain, bahkan dalam setahun terjadi dua kali mutasi, apakah pegawai tersebut hanya membuat dua kontrak kinerja untuk perhitungan semesteran? Bagaimana mekanisme penilaian CKP atas pegawai tersebut di akhir tahun dan bagaimana pula mengaplikasikannya ke dalam e-performance?
Setiap pegawai mutasi ke kantor baru, maka pegawai tersebut harus membuat kontrak kinerja di kantor yang baru. Sehingga, boleh jadi dalam satu tahun seorang pegawai akan membuat kontrak kinerja lebih dari dua kali. Misalnya, seorang pegawai dimutasikan pada bulan Mei tahun 2013, kemudian dimutasikan kembali pada bulan Juli di tahun yang sama, maka pegawai tersebut otomatis membuat kontrak kinerja sebanyak tiga kali. DI akhir tahun, CKP atas pegawai tersebut akan diperhitungkan sesuai dengan capaian target kinerjanya pada masing-masing kontrak (sesuai dengan berapa masa/waktu masing-masing kontrak kinerja) untuk kemudian disetahunkan. Saat ini Aplikasi Pengelolaan Kinerja (e-performance) masih dalam tahap pengembangan. Perhitungan CKP untuk pegawai yang memiliki kontrak kinerja lebih dari satu, belum dapat diakomodasi melalui e-performance. Untuk itu, pegawai yang memiliki lebih dari satu kontrak kinerja agar melakukan perhitungan secara manual.
Pengaruh jumlah IKU terhadap capaian kinerja Ta n y a :
Jawab:
Perhitungan CKP adalah menggunakan bobot tertimbang IKU, sehingga hasil akhir CKP tidak dipengaruhi oleh sedikit/banyaknya jumlah IKU. Dengan kata lain, jumlah IKU tidak diperhitungkan dalam besaran CKP. Menurut kami secara normatif, pegawai yang memiliki beban tugas lebih besar, yang tercermin oleh banyaknya IKU yang dikontrakkinerjakan, seharusnya juga diapresiasi dalam perhitungan CKP.
Banyak atau sedikitnya jumlah IKU dalam suatu kontrak kinerja, karena adanya pembobotan IKU, memang tidak menentukan nilai CKP. Pada prinsipnya, IKU yang dibuat oleh seorang pegawai seharusnya mencerminkan IKU yang sangat berkualitas. Pembobotan dilakukan untuk membedakan perlakuan penilaian antar IKU dalam suatu kontrak kinerja berdasarkan kualitasnya. Tugas seorang atasan adalah mendistribusikan IKU kepada bawahannya dengan kualitas yang merata antar pegawai selevel. Adapun pengelola kinerja bertugas memberikan bimbingan dan arahan dalam menentukan IKU yang akan dikontrakkinerjakan. Dengan demikian, idealnya antar pegawai akan memiliki IKU dengan bobot kualitas yang relatif sama. Keinginan untuk memberikan apresiasi terhadap pegawai yang memiliki beban tugas lebih berat dan tercermin dalam banyaknya IKU melalui nilai CKP adalah kurang tepat. Apalagi jika ternyata banyaknya IKU tidak didukung dengan keberadaan IKU yang berkualitas. Apresiasi atas pegawai yang memiliki beban tugas lebih berat pada dasarnya dapat diakomodasi melalui penilaian perilaku pegawai. Dalam melakukan penilaian perilaku, seharusnya evaluator harus mampu mendiferensiasi/memberikan nilai yang berbeda antar evaluee yang dinilai.
Kontrak kinerja pegawai tugas magang Ta n y a :
Jawab:
Selama ini pegawai yang baru lulus/selesai dari tugas belajar dipekerjakan dengan status magang di kantor pusat untuk beberapa bulan tertentu. Ini menimbulkan masalah terkait dengan kontrak kinerja pegawai yang bersangkutan karena mereka masih berstatus sebagai pegawai unit kerja asal, bukan pegawai kantor pusat dimana mereka dimagangkan.
Pada hakikatnya, kontrak kinerja adalah komitmen yang diperjanjikan antara atasan dengan bawahan. Seharusnya, setiap pegawai sebelum menyelesaikan tugas belajarnya telah mendapat kejelasan apakah akan langsung dikembalikan ke unit asal, atau dimagangkan untuk sementara waktu yang didukung dengan surat keputusan penempatan pegawai tersebut. Prinsip penilaian kinerja adalah dilakukan berdasarkan kinerja riil yang dilakukan oleh seorang pegawai. Untuk kasus tersebut, karena pegawai yang bersangkutan secara riil bekerja di kantor pusat, semestinya kontrak kinerja yang dibuat juga berisikan IKU sesuai tugasnya di kantor pusat dan didukung dengan surat keputusan terkait kerja magang pegawai tersebut yang disertai dengan kejelasan siapa yang menjadi supervisor ataupun atasannya di kantor pusat. Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
9
Direktur Jenderal Pajak
“Lakukan Tugas dan Tanggung Jawab Melebihi Penghargaan yang Diberikan” Tantangan petugas pajak di negeri ini kian hari kian kompleks. Mulai dari ujian terhadap “keimanan” aparat pajak yang tiada henti, sampai dengan adanya pengemplang pajak yang semakin “licin” bak belut untuk menghindar dari kewajiban pajak. Sehingga sampai saat ini fenomena penggelapan pajak pun masih terjadi.Terusik dengan fenomena tersebut, gaung reformasi pun dikumandangkan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menyuarakan tak sekedar perubahan, namun juga perbaikan yang bernilai dan berkesinambungan. Belajar menata diri, mereformasi diri dengan menjalankan program tansformasi menuju high value organization dengan bekerja profesional dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak. Sejauh mana transformasi perpajakan sudah dilakukan dan akan dilakukan? Berikut rangkuman hasil wawancara tim buletin kinerja dengan orang nomor satu DJP, Ahmad Fuad Rahmany, di ruang kerjanya yang sangat asri dan tertata rapi. Dengan gayanya yang santai dan ramah, mantan ketua Bapepam ini menjelaskan secara panjang lebar mengenai transformasi perpajakan sambil menikmati secangkir teh hangat.
ADA TIGA UNSUR PENTING yang saling berinteraksi dan bersinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak. Ketiga unsur tersebut adalah Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur (termasuk di dalamnya organisasi dan penyempurnaan proses bisnis), serta peraturan. Ketiganya perlu dikelola dengan baik sehingga tercipta interaksi konstruktif.
Sumber Daya Manusia Kualitas SDM SDM dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kualitas dan kuantitas. Kualitas SDM mencakup keterampilan dan integritas. Bekerja di kantor pajak membutuhkan keterampilan yang spesifik karena ilmu perpajakan sendiri sangat spesifik. Ketrampilan yang dibutuhkan tidak hanya ketrampilan teknis namun juga dibutuhkan communication skill agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada setiap Wajib Pajak. Semua pegawai baru yang direkrut, baik dari latar belakang diploma maupun sarjana, wajib melalui tahapan pelatihan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja di DJP. Namun demikian, dalam perjalanannya, ma-
10
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
sih ditemukan adanya pegawai DJP, baik Account Representative (AR) maupun pemeriksa pajak, yang belum mengikuti training memadai sejak saat mulai bekerja. Padahal, sebagai front liner yang langsung berhubungan dengan wajib pajak, mereka perlu pelatihan yang lebih intensif. Oleh karenanya, program training nantinya tidak hanya ditujukan kepada pegawai baru, tetapi juga bagi pegawai yang telah lama bekerja. Kami sedang menyusun program training bagi pegawai tersebut agar tidak mengganggu aktivitas pekerjaan mereka di kantor. Tidak mudah menugaskan pegawai untuk mengikuti diklat jika pegawai yang bersangkutan memiliki beban kerja yang tinggi di kantor. Hal ini butuh penyesuaian dan pengaturan jadwal training yang fleksibel bagi pegawai. Dari sisi integritas, sejak reformasi diterapkan, tingkat integritas pegawai dirasa semakin membaik. Namun demikian, membasmi seluruh “anak nakal” di organisasi sebesar DJP bukan hal yang mudah. Tantangannya adalah bagaimana membuat sistem pe-
ngawasan yang optimal sehingga dapat meminimalisasi terjadinya penyimpangan. sulit untuk secara langsung. Untuk itu, whistleblowing system saat ini terus dikembangkan dan dimonitor oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur. Sistem ini sangat membantu dalam pengawasan terhadap pegawai yang berpotensi melakukan tindak penyimpangan. Yang harus terus digalakkan dan dikembangkan adalah peer group surveillance, pengawasan yang tidak hanya melibatkan atasan, tetapi juga teman kerja selevel dan teman-teman di lingkungan kerjanya. Jadi, setiap pegawai punya kewajiban untuk mengawasi teman kerjanya sendiri. Kuantitas SDM Dilihat dari kuantitas, jumlah SDM DJP masih belum memadai. Sebagai contoh, AR saat ini berjumlah 6.300 pegawai, dan harus menangani 20 juta wajib pajak yang terdaftar. Jadi, setiap AR harus menangani 3.000 wajib pajak. Sungguh ironi, karena idealnya di negara-negara yang pengelolaan pajaknya sudah baik seperti Jepang dan Korea, setiap AR
Foto: Loka Yoga
Tiga unsur penting dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak adalah Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur (termasuk di dalamnya organisasi dan penyempurnaan proses bisnis), serta peraturan. Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
11
cukup melayani maksimal 500 wajib pajak. Sama halnya dengan pemeriksa pajak dan juru sita yang dimiliki DJP masih sangat terbatas jumlahnya. Dengan kondisi ini, wajar kalau masih banyak wajib pajak yang belum patuh memenuhi kewajiban perpajakan. Padahal, kita memiliki wajib pajak orang pribadi yang potensial sekitar 60 juta. Jelas, ini menjadi tantangan tersendiri bagi DJP bagaimana dapat segera menambah pegawai yang berkualitas untuk mengoptimalkan penerimaan pajak ke depan.
Harus kita ingat bahwa bekerja merupakan bagian dari ibadah dan amanah yang harus dijalankan. Oleh karena itu, laksanakan amanah dengan sebaik-baiknya, sungguh-sungguh, dan dengan hati yang tulus. Lebih dari itu, lakukan tugas dan tanggung jawab melebihi penghargaan yang diberikan.
Penyempurnaan Proses Bisnis Penyempurnaan proses bisnis dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan organisasi dan para stakeholder. Ke depan, kantor pusat tidak lagi melakukan hal-hal yang bersifat teknis dan operasional. Kantor pusat akan melakukan fungsi kebijakan, monitoring, dan evaluasi. Sebagai contoh, fungsi pemeriksaan tehadap wajib pajak cukup dilakukan di level kantor wilayah (dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak), sedangkan kantor pusat hanya melakukan peer review terhadap hasil pemeriksaan. Sifat pekerjaan pemeriksa yang rentan terhadap penyimpangan memerlukan pembangunan sistem pengawasan yang komprehensif. Saat ini sudah mulai diterapkan peer review terhadap hasil pemeriksaan pajak. Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pemeriksa pajak, akan direviu lagi oleh pemeriksa di kantor pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Peer review mencakup pemeriksaan atas kertas kerja pemeriksaan, dokumentasi, dan sebagainya dengan tujuan untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan pajak. Kualitas pemeriksaan pajak pun sudah mulai ditingkatkan dengan melakukan Quality Assurance (QA) pada akhir pemeriksaan. QA dilakukan untuk memberikan penilaian secara lebih independen atas suatu perbedaan persepsi antara pemeriksa dan wajib pajak. Sehingga, apabila wajib pajak tidak puas dengan hasil pemeriksaan, maka sebelum mengajukan keberatan, berhak meminta tim QA untuk mereviu hasil pemeriksaan tersebut.
12
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Selain itu, grading system harus lebih disempurnakan. Saat ini, masih terdapat beberapa pegawai dengan beban kerja dan grade yang kurang sesuai. Misalkan saja, seorang penelaah keberatan. Seharusnya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sangat baik di bidang perpajakan. Bahkan diharapkan kemampuan mereka melebih kemampuan yang dimiliki oleh pemeriksa pajak. Untuk itu seharusnya grade untuk penelaah keberatan lebih tinggi dari grade yang berlaku sekarang, agar dapat menjaring pegawai DJP yang mumpuni dan memberikan motivasi kepada mereka.
Peraturan Perpajakan Unsur lain yang tidak kalah penting adalah peraturan. Peraturan perpajakan khususnya terkait PPh dan PPN perlu segera kita revisi. Di bidang PPN, masalah yang sering ditemukan adalah adanya faktur pajak fiktif. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya sistem administrasi PPN kita, khususnya pengawasan terkait Pajak Keluaran dan Pajak Masukan (PKPM). Lemahnya proses perekaman data menjadi masalah penting, karena setiap tahun ada sekitar ratusan juta faktur pajak yang harus direkam. Akibatnya, ada banyak faktur pajak yang tidak dapat direkam sehingga sulit dimonitor. Dalam jangka pendek, permasalahan ini telah diatasi dengan memperkenalkan e-SPT. Namun, tetap saja ditemukan banyak kelemahan, karena pengisian e-SPT dilakukan wajib pajak sendiri sehingga rentan terhadap ke-
salahan dan kecurangan. Terkait format faktur pajak juga masih belum tepat. Salah satunya adalah tidak tercantumnya “jenis kegiatan” dalam faktur pajak, sehingga kegiatan wajib pajak masih sulit dimonitor. Selain itu, nomor faktur pajak yang selama ini dibuat sendiri oleh wajib pajak, juga menimbulkan kesulitan saat pelacakan. Ke depannya kita sendiri yang akan memberikan nomor pada faktur sehingga lebih mudah ditelusuri. Selain itu, dalam jangka panjang kita akan memperkenalkan e-invoice yang menggunakan online system. Hal ini sangat bergantung pada kesiapan teknologi informasi dan tentu membutuhkan biaya dan sumber daya yang besar. Infrastruktur yang memadai harus dibangun terlebih dahulu sebelum e-invoice ini diberlakukan. Walaupun saat ini, pegawai DJP sudah mampu membuat programnya, namun tidak hanya itu saja, tetapi juga perlu kesiapan infrastruktur pendukung seperti jaringan internet, energi listrik, dan sebagainya. Perlu koordinasi yang komprehensif dan intensif dengan instansi terkait dalam penerapan online system ini. Peraturan terkait PPh juga perlu disempurnakan. Dalam undang-undang perpajakan, saat ini sangat membatasi basis pajak dan terlalu memihak kepada wajib pajak. “Pada dasarnya, kami setuju dengan peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, namun peraturan sifatnya bukan melayani, karena pelayanan sudah diatur dalam administrasi perpajakan. Peraturan dibuat untuk menciptakan sistem perpajakan yang baik sehingga mendukung optimalisasi penerimaan pajak” tegas Pak Fuad. Sebagai penutup wawancara, pria kelahiran Tanah Rencong ini memberikan sedikit tips yang dapat dijadikan motivasi bagi seluruh pegawai Kementerian Keuangan. “Intinya, harus kita ingat bahwa bekerja merupakan bagian dari ibadah dan amanah yang harus dijalankan. Oleh karena itu, laksanakan amanah dengan sebaik-baiknya, sungguh-sungguh, dan dengan hati yang tulus. Lebih dari itu, lakukan tugas dan tanggung jawab melebihi penghargaan yang diberikan” ujarnya. [Moch. Asep Kurniawan dan Azharuddin]
Foto: Edi Juliana
KPP Pratama Jakarta Pluit
Tiga Kunci Sukses Kamis, 28 Maret, merupakan hari kerja terakhir di bulan Maret 2013. Saat itu adalah batas waktu terakhir penyampaian SPT PPh Tahunan bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Tentunya moment ini banyak dimanfaatkan oleh WP untuk menyampaikan SPT PPh mereka. Tak ayal suasana hari itu menjadi hari paling ramai di seluruh kantor pelayanan pajak. Kondisi yang sama tampak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pluit. Ruang pelayanan dipadati oleh WP yang menyampaikan SPT PPh Tahunan OP maupun Badan.
SEMANGAT WP ini patut diacungi jempol dan diapresiasi. Di tengah kemacetan jalan Lodan yang sangat padat dan di bawah terik mentari yang menyengat, mereka tetap semangat menyampaikan laporan pajaknya. Tak dimungkiri bahwa di tahun 2012 kemarin, KPP Pratama Jakarta Pluit merupakan KPP Pratama yang rasio kepatuhan formal WP nya paling tinggi dibanding KPP Pratama Jakarta lainnya.
KPP Jakarta Pluit dipimpin oleh Drs. Harri Hermawan Soelias, AK., MBA, dan memiliki wilayah kerja yang meliputi tiga kelurahan di lingkungan Kecamatan Penjaringan, yaitu Kelurahan Pluit, Kapuk Muara, dan Kamal Muara. Karakteristik WP di wilayah ini agak berbeda dengan KPP lain di Jakarta. Meskipun sebagian merupakan lingkungan pemuki-
man elit di Jakarta, namun sebagian besar pemiliknya tidak berdomisili di lokasi dan hanya sebagai investasi. Hal lain yang tentunya juga dihadapi oleh KPP lain adalah resistensi WP untuk membayar pajak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, lulusan dari University of Illinois at Urbana Champaign ini menerapkan tiga kunci strategi utama dalam menarik minat WP Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
13
agar patuh dalam kewajiban perpajakannya.
Keterlibatan Pimpinan dalam Sosialisasi
Salah satu pelaksanaan sosialisasi dilakukan di kawasan elit Pantai Mutiara. Sosialisasi memanfaatkan audio visual dengan menampilakan peta wilayah kerja KPP Pluit. Peserta bisa melihat wilayah Jakarta Utara yang merupakan daerah mapan, orang mapan semestinya membayar pajak dengan wajar. “Kita tunjukkan ke mereka bahwa kita memberikan appresiasi sekaligus mengawasi mereka” tutur Harri di kantornya, 1 April 2013. “Sederhana saja, cukup menyampaikan ucapan terima kasih secara seremonial di depan forum, ini memunculkan kebanggaan tersendiri bagi WP”, ujarnya lagi.
Law Enforcement Kunci sukses yang kedua adalah law enforcement. Di samping dapat menaikkan wibawa KPP di mata WP, juga sekaligus menimbulkan efek jera bagi WP yang tidak patuh. WP nakal tidak akan jera kalau mereka belum ditindak sesuai ketentuan. Salah satu upaya yang dilakukan KPP Pratama Jakarta Pluit adalah bekerja sama dengan para developer di wilayahnya untuk mengoptimalkan penagihan PBB. Awalnya, KPP menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) kepada pihak developer, karena tercatat memiliki banyak tunggakan PBB. Setelah dicek di lapangan, ternyata properti-properti tersebut sudah terjual sejak lama, namun pemilik bangunan baru enggan untuk merubah status kepemi-
14
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Foto: Edi Juliana
Kunci sukses yang pertama dilakukan adalah sosialisasi. Di sini diperlukan keterlibatan Kepala Kantor agar kegiatan ini dapat memberikan hasil yang optimal. Sosialisasi dikemas agar menarik minat WP terhadap pajak, termasuk memberikan appresiasi buat WP yang telah memenuhi kepatuhan formal. Tujuannya agar WP dapat menerima informasi dalam suasana santai dan happy.
likan. Dampaknya seolah-olah developer tersebut tidak patuh. Akhirnya developer tersebut mau bekerja sama, dengan memberikan informasi pemilik properti baru dan mengajukan perubahan status kepemilikan properti yang sudah dijual. Hal ini sangat bermanfaat bagi KPP terutama dalam upaya perluasan basis pajak di KPP Pratama Jakarta Pluit.
Menangkal Moral Hazard Kita harus mengakui bahwa belakangan reputasi DJP kurang baik di mata masyarakat sejak tertangkapnya oknum-oknum yang menyalahgunakan wewenangnya. KPP Pratama Jakarta Pluit melihat bahwa di wilayahnya terdapat Yayasan Buddha Tzu Chi yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Buddha Tzu Chi dengan senang hati dan tanpa menyesal, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pemberian bantuan kemiskinan dan darurat, perlindungan kesehatan, memperkokoh dasar pendidikan dan kegiatan sosial budaya, tanpa membedakan agama.
Mendengar pengaruh yang luar biasa ini, KPP mengundang perwakilan dari Yayasan untuk memberikan kesaksian bahwa pihaknya juga membayar pajak. Menjadikan Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai panutan. “Harapan kita mengundang beliau (Buddha Tzu Chi) adalah, dengan beliau percaya kepada kita, maka WP yang menghormati Buddha Tzu Chi akan percaya juga pada DJP, bahwa DJP sudah berubah”, imbuh kepala Kantor. Di sisi lain, Harri juga menghimbau bawahannya agar selalu terus memegang integritas dalam setiap pelaksanaan tugas. “Kita sekarang selalu diawasi oleh lingkungan kita, jadi harus terus pertahankan kepercayaan yang telah diberikan oleh mereka”, ujar harri. Pelaksanaan tiga strategi utama diatas merupakan sebagian upaya yang telah dilakukan untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Salah satunya adalah keberhasilan dalam capaian rasio kepatuhan penyampaian PPh Tahunan yang melewati target yang ditetapkan. [Edi Juliana, Rachmad Arijanto]
Meningkatkan Awareness Pengelolaan Kinerja di DJP Pengelolaan kinerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah dimulai sejak tahun 2006. Saat itu penetapan KPI hanya didasarkan pada keperluan pengukuran kinerja yang lebih baik, belum menggunakan manajemen kinerja Balanced Scorecard seperti saat ini. Setelah Kementerian Keuangan menyusun Peta Strategi pada akhir tahun 2007, barulah DJP mempunyai Peta Strategi tahun 2008 yang diturunkan dari Sasaran Strategis dan IKU level Kementerian. Hal yang sama juga dilakukan oleh unit eselon I lainnya dan menandai era baru pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan.
DALAM PERJALANANNYA, penyesuaian (refinement) terhadap peta strategi dan IKU terus dilakukan dengan koordinasi yang intensif dengan PUSHAKA sebagai Strategic Management Office (SMO) yang merupakan pengelola kinerja di tingkat Kementerian Keuangan. Sampai dengan tahun 2010, cascading Peta Strategi dan IKU baru dapat dilakukan sampai dengan level unit eselon II baik di tingkat kantor pusat maupun unit vertikal. Pada pertengahan tahun 2011, cascading IKU sampai dengan level individu dapat diselesaikan di DJP yang meliputi 49 pejabat II, 573 pejabat Eselon III, 4.049 pejabat Eselon IV, dan 27.803 pegawai yang termasuk dalam kategori pelaksana atau tanpa jabatan struktural (Kemenkeu-Five) dengan total jumlah 32.471 pegawai. Seluruh pegawai ini untuk pertama kalinya menandatangani Kontrak Kinerja dengan harapan agar kinerja para pegawai tersebut dapat diukur dengan fair, transparan dan mendapatkan insentif sesuai dengan capaian kinerja.
IKU-nya sendiri. Hal ini disadari oleh tim pengelola kinerja DJP karena keterbatasan waktu yang diberikan untuk melakukan cascading dan menentukan IKU bagi seluruh pegawai yang jumlahnya sangat besar. Ketidakpuasan para pegawai terhadap IKU yang diwajibkan juga diperburuk dengan rendahnya pemahaman para pegawai mengenai konsep BSC dan pengelolaan kinerja. Selain itu, belum semua manual IKU tersedia karena memang dibutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa untuk menyiapkan manual IKU yang jumlahnya ribuan tersebut. Menyadari hal ini, tim pengelola kinerja di DJP menyadari bahwa perlu dilakukan terobosan baru untuk membantu penyebarlua-
san konsep BSC bagi seluruh pegawai DJP yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 2011, tim pengelola kinerja di DJP membuat modul interaktif mengenai implementasi BSC di lingkungan DJP. Modul ini dibuat dengan tujuan agar sosialisasi mengenai teori dan implementasi BSC sampai ke seluruh pegawai tanpa harus mendatangkan tim pengelola kinerja sampai ke daerah. Modul ini juga dibuat seinteraktif mungkin dengan tujuan agar para pegawai dapat belajar mengenai BSC dengan cara yang lebih menyenangkan. Di dalamnya terdapat juga permainan dan kuis yang membantu para pegawai untuk mengingat kembali materimateri yang telah dipelajari. Modul ini juga diunggah ke website e-learning DJP, portal
Foto: Eman A.
Namun demikian, tugas pengelola kinerja di DJP tidak berhenti hanya sampai disitu. Banyak sekali pegawai di level eselon IV dan pelaksana yang tidak merasa puas dengan IKU yang diwajibkan dalam kontrak kinerja mereka. Meskipun dalam melakukan cascading, tim pengelola kinerja di DJP melibatkan perwakilan pegawai dari berbagai jabatan dan jenis pelaksana, banyak sekali yang merasa bahwa IKU-nya tidak tepat, tidak fair dan hanya menambah pekerjaan saja karena setiap pegawai harus melakukan pengukuran Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
15
Meskipun seluruh upaya telah dilakukan oleh tim pengelola kinerja di DJP, masih banyak hal-hal yang harus dilakukan untuk tetap memelihara semangat pengelolaan kinerja yang telah berlangsung di DJP selama lebih dari 5 tahun ini.
serta website DJP agar seluruh pegawai dapat mengakses modul interaktif ini dari mana saja. Metode penyebaran konsep BSC melalui modul interaktif ini cukup berhasil karena semakin banyak pegawai yang mulai memahami konsep dasar BSC serta pentingnya pengelolaan kinerja. Keputusan Menteri Keuangan nomor 454/ KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan yang mengatur pegawai tidak hanya diukur melalui capaian IKU saja, tetapi juga nilai perilaku. Keluarnya Keputusan Menteri Keuangan ini membuat tim pengelola kinerja di DJP harus bekerja keras memperkenalkan kebijakan pengelolaan kinerja yang baru ke seluruh pegawai DJP. Selain memanfaatkan LO Renstra yang sejak keluarnya KMK-454 tersebut disebut dengan Sub Manajer Kinerja Organisasi, tim pengelola kinerja DJP juga kembali menyusun modul interaktif mengenai Pengelolaan Kinerja di lingkungan DJP yang didalamnya dilengkapi dengan contoh-contoh perhitungan Nilai Kinerja Pegawai (NKP). Modul interaktif ini juga telah dikirimkan ke seluruh unit di lingkungan DJP dan juga telah diunggah ke website e-learning, portal DJP serta website DJP. Selain penyebarluasan modul interaktif, tim pengelola kinerja juga secara rutin mulai tahun 2010 melakukan pelatihan mengenai konsep dasar BSC dan pengelolaan kinerja. Mulai tahun 2012, materi pelatihan pun ditambah dengan Communication Skill dengan harapan agar pegawai yang dipanggil untuk mengikuti pelatihan konsep dasar BSC dan pengelolaan kinerja dapat kembali mendiseminasikan materi yang telah mereka pelajari ke pegawai pada unit masing-masing dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
16
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
Pada tahun 2012, Kementerian Keuangan melalui PUSINTEK juga memperkenalkan aplikasi pengelolaan kinerja atau e-performance. Melalui aplikasi ini, seluruh pegawai DJP diwajibkan untuk menginput Kontrak Kinerja sampai dengan target serta melakukan penilaian perilaku yang nantinya akan menghasilkan NKP. Namun demikian, meskipun seluruh upaya telah dilakukan oleh tim pengelola kinerja di DJP, masih banyak hal-hal yang harus dilakukan untuk tetap memelihara semangat pengelolaan kinerja yang telah berlangsung di DJP selama lebih dari 5 tahun ini. Sebagian besar pegawai saat ini telah menyadari pentingnya pengukuran kinerja dan harapan pegawai semakin besar dengan adanya kebijakan pengelolaan kinerja ini. Sebagian besar pegawai juga memiliki semangat yang besar untuk mendukung keberhasilan pengelolaan kinerja di DJP. Kenyataannya, modul interaktif yang telah dibuat tidak secara maksimal dimanfaatkan oleh para pegawai. Sebagian besar pegawai yang dipanggil untuk mengikuti pelatihan dan diwajibkan untuk mendiseminasikan kembali materi yang mereka pelajari juga tidak melaksanakannya dengan baik. Hal ini mungkin dipicu oleh keterbatasan waktu yang dimiliki oleh pegawai tersebut karena harus berbagi waktu untuk mengerjakan tugas pokoknya. Mungkin juga karena selama ini pengelolaan kinerja belum mendapatkan perhatian serius dari pimpinan sehingga pelaksanaan sosialisasinya pun tidak optimal. Selain itu, aplikasi e-performance yang wajib digunakan untuk mengisi capaian kinerja juga tidak berjalan dengan baik karena aksesnya sering lambat dan terdapat beberapa hal-hal yang belum masuk dalam aplikasi seperti perhitungan NKP untuk pegawai
yang mutasi, tugas belajar, dan pekerjaan yang dilakukan secara tim. Tim pengelola kinerja DJP yang saat ini merupakan kolaborasi antara dua unit eselon II DJP, yaitu Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, dimana Kepala Bagian Organta adalah Manajer Kinerja Organisasi dan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur, dimana Kasubdit Pengembangan Manajemen Kepegawaian ditunjuk sebagai Manajer Kinerja Pegawai dan oleh Subdit Transformasi Organisasi sebagai koordinator pengelolaan kinerja di lingkungan DJP tentu berharap agar pengelolaan kinerja di DJP dapat terus berjalan dan membantu organisasi untuk berkinerja lebih baik lagi. PUSHAKA sebagai pengelola kinerja kementerian diharapkan terus mendukung dan membantu pengelolaan kinerja di DJP melalui koordinasi yang baik dan intensif serta membantu penyempurnaan aplikasi e-performance agar seluruh pegawai menginput kinerjanya dan melakukan penilaian perilaku lebih mudah dan lancar. Sempat timbul kekhawatiran bahwa semangat pengelolaan kinerja di unit vertikal lama-kelamaan akan luntur karena aplikasi yang diharapkan membantu pengelolaan kinerja tidak kunjung sempurna dan harus dilakukan manual sehingga beban pekerjaan menjadi bertambah banyak. Namun tim pengelola kinerja DJP akan terus berusaha untuk memberikan pemahaman dan bantuan apabila terjadi masalah termasuk membuat kebijakan agar pengelolaan kinerja dapat terus berjalan. Sosialisasi, pelatihan serta pengulangan-pengulangan mengenai konsep BSC dan pengelolaan kinerja juga akan terus dilakukan agar pemahaman seluruh pegawai dapat lebih kuat dan dukungan terhadap pengelolaan kinerja pun akan semakin tinggi. Semoga apa yang dicita-citakan dengan implementasi sistem pengelolaan kinerja ini dapat tercapai untuk menciptakan kinerja yang lebih baik dan keselarasan antara tujuan organisasi dan individu. Ditulis oleh: Aditya Wibisono Kepala Seksi Perencanaan Strategis, Subdit Transformasi Organisasi, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur
Quiz Sebuah jam berdentang 1 kali pada jam 1, 2 kali pada jam 2, 3 kali pada jam 3, dan seterusnya hingga berdentang 12 kali pada jam 12. Pada jam 3, jam dinding tersebut berdentang 3 kali selama 3 detik. Berapa detik yang diperlukan jam dinding tersebut untuk berdentang 7 kali pada jam 7? Dapatkan bingkisan menarik dengan mengirimkan jawaban yang benar beserta alamat lengkap Anda (subject/perihal: Jawaban Quiz Buletin Kinerja XVI) ke buletinkinerja@gmail. com atau Bidang Program dan Kegiatan IV Pushaka d/a: Gedung Djuanda I Lantai 5, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710. Jawaban dapat kami terima paling lambat tanggal 5 Juli 2013.
Daftar Pemenang Kuis Buletin Kinerja Edisi XV 2013
1. Muhamad Budiman (KPTIK-BMN Semarang); 2. Ali Akbar (KPPN Jakarta IV); 3. Diah Kartika Sari (Bagian Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Itjen); 4. Dicka Ichsan (Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Itjen); 5. Andi Kahar (Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Itjen); 6. Puji Karyaji (Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Itjen)
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
17
Ragam Kinerja
Penilaian 3600 Tanamkan IPROSPEK Telah kita ketahui, Nilai Kinerja Pegawai (NKP) terdiri dari dua komponen yaitu Capaian Kinerja Pegawai (CKP) dan Nilai Perilaku (NP). CKP diperoleh dari perhitungan capaian Indikator Kinerja Utama (IKU), sedangkan NP diperoleh melalui penilaian oleh atasan langsung, rekan kerja (peers), dan bawahan. Metode inilah yang dikenal sebagai penilaian 360 derajat (360O).
KEMENTERIAN KEUANGAN merupakan instansi pemerintah yang memelopori penerapan metode penilaian 360O di lingkungan instansi pemerintah Indonesia. Selama ini, penilaian perilaku pegawai hanya menggunakan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan hasil evaluasi grading yang keduanya hanya melibatkan peran atasan langsung sebagai pejabat penilai. Dengan metode penilaian 360O, seorang pegawai dapat memperoleh feedback dari rekan kerja dan bawahannya. Studi yang dilakukan oleh Walker dan Smither (1999) menyimpulkan bahwa metode penilaian 360 degree feedback cukup efektif untuk meningkatkan kinerja pegawai karena pegawai yang dievaluasi dapat melihat bagaimana perilaku kerjanya dari perspektif pegawai lain. Namun demikian, masih terdapat kontroversi mengenai penggunaan hasil penilaian 360O sebagai bahan penilaian kinerja dan menyarankan penggunaannya eksklusif pada bahan perencanaan pengembangan individu. Terlepas dari kontroversi tersebut, penilaian 360O merupakan suatu pendekatan menuju objektivitas penilaian pegawai. Penilaian 360O saat ini dilakukan dengan pengisian kuesioner. Materi pada kuesioner penilaian perilaku tersebut bersumber dari nilai-nilai Kementerian Keuangan, yaitu integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan yang dituangkan ke dalam 22 pernyataan dan dikaitkan dengan kegiatan pegawai sehari-hari. Selain itu, bagi pejabat struktural ditambahkan 14 pernyataan yang berasal dari 7 kompetensi manajerial. Risiko yang lazim dari penerapan sistem baru adalah resistensi pegawai. Sistem penilaiannya pun
18
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
dikritisi dalam beberapa bentuk, diantaranya terhadap pernyataan pada kuesioner, kritik terhadap metode penilaian 360O, dan ketidaknyamanan dalam menilai dan dinilai secara objektif. Namun perlu dipahami bahwa penilaian 360O ini merupakan suatu pendekatan dan upaya untuk meminimalisasi kemungkinan penilaian subjektif oleh atasan langsung dan membudayakan penilaian objektif dengan dinilai dan menilai antar pegawai. Bagaimana pun hasil penilaian yang didapatkan, sebaiknya dipandang sebagai masukan dan motivasi untuk membenahi dan menajamkan perilaku terbaik yang kita miliki. Atasan langsung, sebagai coach dan counselor, dianggap memahami kondisi pegawai dengan lebih baik. Dengan bobot 60% untuk penilaian atasan, 15% penilaian dari rekan kerja dan 25% dari bawahan, atasan memiliki peran terbesar dalam mempengaruhi perilaku pegawai. Untuk memudahkan proses penilaian 360O, pengisian kuesioner penilaian perilaku dilakukan dengan bantuan Aplikasi Pengelolaan Kinerja, e-performance, yang berbasis jaringan internet. Mekanisme penilaian melalui e-performance merupakan upaya untuk menjamin kerahasiaan penilai dan hasil penilaiannya. Pegawai yang dinilai tidak mengetahui nilai yang diberikan oleh setiap penilai karena aplikasi hanya menampilkan nilai kumulatif yang diberikan oleh seluruh penilai. Dengan demikian, penilai diharapkan dapat memberikan penilaian secara objektif. Dengan demikian, penilai diharapkan dapat memberikan penilaian secara objektif.
ATAS AN LANG S U NG
P E E RS
P E E RS
E VALU E E
B AWAH AN
B AWAH AN
E-performance pun tidak luput dari kekurangan. Pemanfaatannya menghadapi kendala seperti sosialisasi penggunaan yang belum efektif karena faktor demografi dan pegawai belum terbiasanya memanfaatkan teknologi informasi untuk penilaian. Hambatan ini menjadi salah satu pertimbangan jadwal pengusulan dan penetapan penilai serta penilaian perilaku semester II tahun 2012 diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Maret 2013. Sampai dengan bulan Februari 2013, sebanyak 95,72% dari 63.346 pegawai Kementerian Keuangan telah terdaftar pada aplikasi ini. Kita menyadari bahwa penerapan penilaian 360O tidak akan secara instan berdampak pada perubahan perilaku kerja pegawai. Perbaikan terus-menerus di segala aspek, baik pada sistem maupun dukungan aplikasi, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Melalui penilaian ini, pegawai diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai (norms) Kementerian Keuangan sehingga benar-benar menjadi nilai-nilai yang diamalkan (true values) oleh setiap pegawai. Values is like the air we breath. Secara perlahan, nilai-nilai tersebut akan membentuk budaya kerja (culture) yang baru dalam organisasi dan mengantarkan kita pada good governance. Harapan kita bersama, budaya menilai dan dinilai antar pegawai akan menjadi suatu kelaziman di Kementerian Keuangan. [Indra Wahyudi U. N., Pelaksana pada Biro SDM]
“Reformasi Perpajakan di Mata Pegawai dan Wajib Pajak” Andi Hafsah, Kasubbag Bankum dan Pelaporan, Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara SUATU KEBANGGAAN bagi saya dapat bekerja pada suatu instansi yang berperan sangat penting dalam pembangunan dan menentukan eksistensi bangsa dan negara. Banyaknya persepsi masyarakat bahkan keluarga yang menganggap bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan tempat dimana “uang sangat mudah diperoleh“, membuat saya ikut terdorong untuk memperbaiki citra DJP. Dengan adanya program reformasi perpajakan yang dimulai sejak tahun 2002, modernisasi menuju perbaikan mulai terlihat. Modernisasi tidak hanya mencakup kondisi fisik gedung kantor dan ruang kerja yang semakin nyaman, tetapi juga sistem dan prosedur kerja yang semakin efisien dan efektif. Hal ini mendorong semangat pegawai untuk tetap menjaga integritas dalam melaksanakan pekerjaan. Namun demikian, saat ini penilaian kinerja masih bersifat formalitas sehingga belum berhasil mengidentifikasi pegawai berkinerja terbaik. Selain itu dalam perencanaan SDM, belum ada standardisasi dalam proses perencanaan SDM. Program pelatihan dan pengembangan belum link & match dengan kebutuhan riil DJP karena masih banyak bersifat mandatory training dimana kurikulum terkadang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan DJP. Harapan saya permasalahan dalam manajemen SDM tersebut dapat ditemukan solusinya sehingga ke depan DJP didukung oleh SDM yang berkualitas tinggi untuk menggerakkan reformasi perpajakan lebih optimal.
Edi Syahputra, Account Representative (AR) KPP Pratama Lubuk Pakam REFORMASI BIROKRASI Direktorat Jenderal Pajak yang telah bergulir sejak 9 September 2002 merupakan komitmen besar menuju perubahan yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman selama lima tahun bekerja, ke-galau-an masih terasa di awal penerapannya. Namun seiring berjalannya waktu, dukungan dan komitmen pimpinan yang kuat membuat kami yakin akan keberhasilan program ini. Walaupun masih ada persepsi masyarakat atau bahkan aparat pajak sendiri yang belum meyakininya. Dalam memberikan pelayanan prima dan pelaksanaan good governance, prinsip-prinsip pemerintahan yang transparan dan akuntabel harus dijunjung tinggi, dengan didasari empat pilar, yaitu modernisasi administrasi perpajakan, amandemen UU Perpajakan, intensifikasi, dan ekstensifikasi perpajakan. Namun demikian, dalam perjalanannya, masih terdapat banyak kendala dan keterbatasan yang dihadapi, baik internal maupun eksternal. Ke depannya, kami harapkan kendala tersebut dapat diatasi dan kami sebagai pegawai DJP akan terus melanjutkan reformasi untuk menyatukan tekad, menyatukan hati, melanjutkan perjuangan, dan memberikan yang terbaik bagi nusa dan bangsa.
Erma, Karyawan Salah Satu Perusahaan Swasta di Jakarta PELAYANAN kantor pajak saat ini sudah jauh lebih baik. Reformasi sistem perpajakan yang gencar dilakukan akhir-akhir ini terbukti dengan berbagai kemudahan dalam memenuhi kewajiban pajak. Sebagai karyawan yang bekerja pada sebuah perusahaan, kewajiban pajak saya hampir seluruhnya diselesaikan pihak kantor. Jadi, tidak perlu repot untuk menghitung dan membayar pajak secara langsung. Selain itu, pekerjaan kantor yang cukup menguras waktu, terkadang membuat kita sebagai wajib pajak, tidak sempat atau bahkan lupa melaporkan SPT Tahunan ke kantor pajak. Namun, dengan adanya fasilitas Dropbox di beberapa tempat umum, sangat memudahkan kami melaporkan SPT. Selanjutnya, akses informasi tentang perpajakan sangat mudah diperoleh, terutama untuk orang awam seperti saya. Ada banyak media baik elektronik maupun cetak yang menyediakan informasi perpajakan. Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013
19
20
Buletin Kinerja - Edisi XVI/2013