LAJU PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERBANGUN PADA DAERAH RAWAN GENANGAN BANJIR DI KOTA PADANG
AZHARI SYARIEF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Pada Daerah Rawan Genangan Banjir Di Kota Padang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2010
AZHARI SYARIEF NRP. P052070301
ABSTRACT AZHARI SYARIEF. Rapid Built-up Cover Changes on Flood Innudation Areas in Padang City. Supervised by ALINDA F.M. ZAIN and SOEDODO HARDJOAMIDJOJO The development of the city of Padang as the capital of West Sumatra province showed an increase of urbanization. It is characterized by the growth of built up area in some districts. Geographical and geomorphologis condition of Padang is flat and located on the shores of the west coast of Sumatra island which often experience floods every year. The purposes of this study are: 1) to identify the land cover changes in the city of Padang between 1994 and 2007., 2) to identify characteristics of flooding and flood hazard zoning in the city of Padang., 3) to study response of urbanization on flood-prone areas., and 4) to analysis the shape and level of community participation in sustainable flood prevention in the city of Padang. The collection of primary data were done in 2 stages, namely: a) the measurement and testing to the field of landform, land cover and flood hazard zoning, and interviews with community members about flood events and forms of participation in flood prevention. Furthermore, the data were analyzed using analysis of remote sensing image interpretation, analysis Geographical Information Systems (GIS) and descriptive analysis. The results were: 1) The development built up area between the years from 1994 to 2007 have increased the area by 3612.80 ha, with an average annual growth of 3,80%. The growth area is directly proportional to awaken the population growth. 2) Characteristics of flooding in the city of Padang in general is a flood inundation, occurring in the formation of fluvial landforms and marine landform, including coastal alluvial plains, depression among the shoal, flood plains, back swamps and river course. Using GIS analysis obtained by floodprone areas covering 1979.61 ha. Largest flood-prone areas located in the district of Koto Tangah by 872.39 ha. 3) Population growth resulted in an increase in land area woke up, thus resulting in an increased need for adequate drainage channels to drain water into rivers. Improved land awoke very high in the district of Koto Tangah is one cause of the extent of areas prone to banjir in these districts. 4) The role of stakeholders in the participation in the prevention of floods, especially the recipient of the impact of disasters (beneficiaries), is still limited and the role of government is still very dominant. The community participation in the new flood prevention is voluntary, especially in cleaning up the environment around the residence, and move spontaneously when the flood hit and there is no regulation from the government related to the management of the built environment. Keywords
: Changes in land cover, flood-prone areas, Geographic Information Systems (GIS), flood prevention policy
RINGKASAN AZHARI SYARIEF. Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Pada Daerah Rawan Genangan Banjir Di Kota Padang. Dibimbing oleh ALINDA F.M. ZAIN dan SOEDODO HARDJOAMIDJOJO. Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah; dan (b) Aktivitas manusia (Proses Man-Made) yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak. Perkembangan Kota Padang sebagai ibukota provinsi Sumatera Barat memperlihatkan adanya peningkatan kegiatan urbanisasi. Pergerakan penduduk ini mengakibatkan adanya pertumbuhan lahan terbangun. Sebagian besar pusat-pusat aktivitas manusia berada pada lahan yang terbentuk oleh proses fluvial maupun proses marin. Lahan yang terbentuk akibat proses fluvial dan marin merupakan lahan akibat genangan banjir maupun pengaruh ombak atau gelombang laut yg terjadi secara berulang-ulang. Kondisi curah hujan yang sangat tinggi membuat sebagian daerah di Kota Padang memiliki kerawanan terhadap genangan banjir. . Tujuan penelitian ini adalah; 1) mengidentifikasi perubahan tutupan lahan terbangun di Kota Padang antara tahun 1994 dan tahun 2007., 2) mempelajari karakteristik banjir dan zonasi daerah rawan banjir di Kota Padang., 3) mengetahui respon kegiatan urbanisasi pada daerah rawan banjir., dan 4) mengetahui bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir yang berkelanjutan di Kota Padang. Pengumpulan data primer dilakukan dengan 2 tahap yaitu; a) pengukuran dan pengujian ke lapangan terhadap bentuklahan, tutupan lahan dan zonasi daerah rawan banjir., b) wawancara dengan masyarakat mengenai peristiwa banjir dan bentuk partisipasinya dalam penanggulangan banjir. Selanjutnya, data tersebut dianalisa menggunakan analisis interpretasi citra penginderaan jauh, analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dan analisa deskriptif. Hasil analisa data citra remote sensing terhadap perkembangan lahan terbangun Kota Padang antara tahun 1994 – 2007, teridentifikasi bahwa Kota Padang mengalami peningkatan luas lahan terbangun seluas 3.612,80 ha, dengan rata-rata pertumbuhan pertahun adalah 3,80 %. Peningkatan luas lahan terbangun tertinggi terjadi di kecamatan Koto Tangah (40,69 %) dan peningkatan paling kecil adalah kecamatan Padang Barat (0,26 %). Kecamatan Koto Tangah merupakan daerah yang terluas mengalami perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun yaitu 1.470,18 ha, dan kecamatan Padang Barat yang mengalami perubahan terkecil yaitu 9,33 ha. Kecamatan Padang Barat merupakan daerah pusat kota, dimana sebagian besar pusat pemerintahan dan perekonomian terletak di daerah ini sejak zaman penjajahan Belanda. Pertumbuhan lahan terbangun berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Karakteristik banjir di Kota Padang pada umumnya adalah banjir genangan, terjadi pada daerah bentukan bentuklahan fluvial dan marin, diantaranya dataran aluvial pantai, depresi antar beting, dataran banjir, rawa belakang dan gosong sungai. Banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kondisi sungai yang kritis, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan
lingkungan seperti: perubahan kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusak atau kurang memadainya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir. Menggunakan analisis SIG berdasarkan model MAFF-Japan diperoleh daerah rawan banjir seluas 1.979,61 ha. Daerah rawan banjir terluas berada di kecamatan Koto Tangah yaitu 872,39 ha. Peningkatan laju urbanisasi yang sangat tinggi di bagian utara pusat kota Padang (kec. Koto Tangah, dan kec. Kuranji) dan bagian timur pusat kota (kec. Lubuk Begalung) berbanding lurus dengan luas daerah rawan banjir di kota Padang. Daerah rawan genangan banjir paling tinggi berada di kecamatan Koto Tangah (872,39 ha), disusul oleh kecamatan Kuranji (351,25 ha). Pertumbuhan penduduk mengakibatkan adanya peningkatan luasan lahan terbangun, sehingga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan saluran drainase yang memadai untuk mengalirkan air ke sungai. Peningkatan lahan terbangun yang sangat tinggi di kecamatan Koto Tangah merupakan salah satu penyebab luasnya daerah rawan banjir pada kecamatan tersebut. Penanggulangan banjir di kota Padang ditemukan tiga jenis kebijakan/ kegiatan yaitu: (1) indirect benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3) targeted assistance. Peran stakeholder dalam partisipasinya pada pencegahan banjir, terutama masyarakat penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pencegahan banjir baru bersifat sukarela terutama dalam membersihkan lingkungan disekitar tempat tinggal. Saat menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak teridentifikasi secara spesifik sedangkan instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai melakukan hampir semua kegiatan. Peran masyarakat hanya berupa sikap dan langkah spontan dalam membantu sesama masyarakat dalam rangka evakuasi saat kejadian. Belum adanya peraturan dari pemerintah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan binaan Kata kunci
: Perubahan tutupan lahan, daerah rawan banjir, Sistem Informasi Geografi (SIG), kebijakan penanggulangan banjir
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya; a. Pengutuipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
LAJU PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERBANGUN PADA DAERAH RAWAN GENANGAN BANJIR DI KOTA PADANG
AZHARI SYARIEF
Tesis Sebagai salah satu syarat mempeoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Mahmud Arifin Raimadoya, M.Sc
Judul Tesis
: Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Pada Daerah Rawan Genangan Banjir Di Kota Padang
Nama
: Azhari Syarief
NRP
: P052070301
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc Anggota
Diketahui,
Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Hasyim, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian :
19 Oktober 2010
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan upaya penataan ruang sebagai mitigasi bencana banjir, dengan judul Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Pada Daerah Rawan Genangan Banjir di Kota Padang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Alinda F.M. Zain., MS dan Prof. Dr. Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc atas bantuan pemikiran dan kritik selama membimbing penulis, juga Ir. Mahmud A. Raimadoya, M.Sc yang telah banyak memberi saran sebagai penguji luar komisi pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada staf pengajar dan manajemen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Tak lupa pula ucapan terima kasih kepada rekan-rekan PSL 2007 atas kerjasama dan rasa kebersamaan selama penlis menjadi mahasiswa. Ucapan terma kasih sebesar-besarnya penulis tujukan kepada kedua orang tua atas segala doa, bantuan dan dukungannya. Suatu ciptaan manusia tidak ada yang sempurna dan setidaknya telah dilakukan upaya untuk mencapai kesempurnaan itu, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2010
Azhari Syarief
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 7 Agustus 1985 dari seorang Ayah yang bernama Syarbaini dan Ibu yang bernama Zulfa. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bukittinggi dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Negeri Padang (UNP) melalui jalur SPMB. Di UNP penulis mengambil Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Pendidikan Geografi dan lulus dengan gelar S.Pd pada tahun 2006. Tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam pada Sekolah Pascasarjana IPB. Selesai S-1 penulis sempat bekerja di LSM Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI) di Padang, serta mengajar pada beberapa Bimbingan Belajar di Kota Padang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiv
I.
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
Latar Belakang Masalah .............................................................. Kerangka Pemikiran .................................................................... Perumusan masalah .................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................... Manfaat Penelitian .......................................................................
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Tutupan Lahan Terbangun di Daerah Perkotaan .................................................................................... 2.2. Permasalahan Banjir ................................................................... 2.3. Manajemen Pengendalian Bencana Alam Banjir ........................ 2.4. Jenis Kebijakan dan Kegiatan Penanggulangan Bencana .......... 2.5. Sistem Informasi Geografi untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir ............................................................................... 2.6. Penelitian Relevan .......................................................................
III.
Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... Tahap-Tahap Penelitian .............................................................. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... Teknik Pengolahan Data ............................................................. Analisa Data ................................................................................
27 27 28 30 31 31
35 51
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju Tutupan Lahan Terbangun Kota Padang Tahun 1994 dan Tahun 2007 ........................................................................... 5.2. Karakteristik Banjir Kota Padang ................................................. 5.3. Respon Peningkatan Laju Urbanisasi Terhadap Bahaya Banjir di Kota Padang ............................................................................ 5.4. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Banjir yang Berkelanjutan ................................
VI.
19 24
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Lingkungan Fisik Wilayah Penelitian .............................. 4.2. Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Wilayah Penelitian ...............
V.
9 10 17 18
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6.
IV.
1 3 6 8 8
55 63 71 73
SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ...................................................................................... 6.2. Saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
xii
81 82
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Bahan dan Alat penelitian .......................................................................
28
2.
Hasil Perhitungan Interval Tingkat Bahaya Banjir (MAFF-Japan) ..........
33
3.
Harkat Kriteria Tingkat Bahaya Lonsor MAFF-Japan .............................
34
4.
Topografi dan Ketinggian Wilayah Kota Padang ....................................
37
5.
Curah Hujan Tahunan Kota Padang Tahun 1985 – 2007 ......................
38
6.
Kondisi Iklim Kota Padang Tahun 2008 .................................................
40
7.
Jenis Batuan Wilayah Kota Padang .......................................................
43
8.
Jenis Batuan Dan Daya Dukung ............................................................
43
9.
Karakteristik Geomorfologi Kota Padang ...............................................
45
10. Nama Sungai, Panjang/Lebar dan Daerah yang Dilalui di Wilayah Kota Padang ...........................................................................................
48
11. Jaringan Drainase Mayor Di Kota Padang .............................................
49
12. Areal Tangkapan Drainase Kota Padang ...............................................
50
13. Luas Penggunaan Lahan Kota Padang Tahun 2007 .............................
51
14. Sebaran Penduduk Kota Padang Tahun 1994 dan 2007 .......................
52
15. Perkembangan Jumlah Penduduk Dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Padang Tahun 1994 – 2007 ...........................................................
52
16. Jumlah Sarana Hunian/Rumah Di Kota Padang Tahun 2007 ................
54
17. Struktur Tutupan Lahan di Kota Padang Tahun 1994 dan 2007 ............
56
18. Matrik Perubahan Tutupan Lahan dari antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 ............................................................................................
59
19. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Lahan Terbangun di Kota Padang Periode Tahun 1994 sampai Tahun 2007 ....................
59
20. Perbandingan perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk antara tahun 1994 sampai tahun 2007 ...................................................
61
21. Jumlah Sarana Hunian/Rumah dan Kepadatan Penduduk di Kota Padang Tahun 2007 ...............................................................................
62
22. Sejarah Banjir Kota Padang ...................................................................
66
23. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang ............................................
69
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................
5
2.
Diagram Pengaruh Urbanisasi Terhadap Proses Hidrologi ....................
10
3.
Siklus Hidrologi .......................................................................................
12
4.
Tipologi Kawasan Rawan Banjir .............................................................
14
5.
Peta Lokasi Penelitian ............................................................................
27
6.
Bagan Alir Tahapan Penelitian ...............................................................
29
7.
Peta Kelas Lereng Kota Padang ............................................................
36
8.
Peta Sebaran Curah Hujan Kota Padang ...............................................
39
9.
Peta Jenis Tanah Kota Padang ..............................................................
41
10. Peta Geologi Kota Padang .....................................................................
44
11. Peta Geomorfologi Kota Padang ............................................................
46
12. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1994 – 2007 ................................................................................
53
13. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 1994 .....................................
57
14. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 2007 .....................................
58
15. Diagram Jumlah Perubahan Tutupan Lahan menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 – 2007 ......................................................................
59
16. Grafik Persentase Perubahan Tutupan Lahan Terbangun dan Peningkatan Jumlah Penduduk Kota Padang per-Kecamatan antara Tahun 1994 – 2007 ................................................................................
62
17. Peta Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang ................................
70
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah; dan (b) Aktivitas manusia (Proses Man-Made) yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak. Sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan prioritas utama untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan (Yusuf, 2005). Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang melanda daerah-daerah rawan, pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya (Disaptono, 2006). Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian makin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan
terganggunya,
bahkan
terhentinya.
Meskipun
partisipasi
masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata, terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak. Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan. Pada umumnya daerah yang selalu menjadi langganan banjir adalah kota-kota pantai dan kota yang berada di tepi sungai yang pada umumnya merupakan pusat-pusat aktivitas manusia seperti; pemerintahan, perekonomian dan pendidikan. Kota-kota yang
1
2
rawan dan selalu menjadi langganan banjir diantaranya adalah Jakarta, Semarang, Bandung Selatan, Surabaya Palembang, Padang, Pekanbaru, Jambi, Medan, Banda Aceh, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, dan Makasar. Adapun penyebab banjir di Kota-Kota tersebut berasal dari sungai-sungai yang melalui daerah tersebut serta banjir akibat pasang air laut (Diposaptono, 2006). Kota Padang termasuk salah satu kota pantai yang sangat rawan mengalami bencana banjir. Curah hujan di Kota Padang cukup tinggi setiap tahunnya, dengan rata-rata curah hujan sebesar 385 mm setiap bulannya, dan rata-rata hari hujan 15 hari per bulan (Bappeda Kota Padang, 2008). Kota Padang dengan luas 694 kilometer persegi dan berpenduduk 800.000 jiwa, dan 23,6 % dari luas wilayah merupakan dataran aluvial yang terbentuk oleh tiga aliran sungai utama, yaitu Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Air Dingin. Sebagian besar aktivitas penduduk berada di dataran aluvial ini. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPB) Kota Padang ada 4 titik daerah yang rawan dan selalu tergenang oleh banjir yaitu, Simpang Kalumpang, Maransi, Dadok, dan Alai Ampang (Kompas, Desember 2008). Kondisi banjir ini selain mengancam pemukiman dan perumahan penduduk juga mengancam sarana-sarana publik seperti sekolah (SMUN 7 dan SMUN 8 Kota Padang), Terminal Regional Bingkuang dan Bandara Internasional Minangkabau yang dapat mengganggu aktivitas di sektor perekonomian dan sektor pendidikan. Kebijakan pemerintahan Kota Padang, berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Padang 2004-2013, pengembangan Kota Padang diarahkan ke bagian timur dan kearah utara. Saat ini perkembangan daerah tersebut lebih banyak diperuntukkan untuk daerah pemukiman penduduk. Hal ini tentu akan menimbulkan perubahan tutupan lahan alami menjadi kawasan terbangun serta kawasan budidaya. Pada umumnya daerah bagian utara Kota Padang yakni kecamatan Koto Tangah telah terjadi perubahan fungsi lahan dari lahan sawah dan kebun campuran menjadi daerah perumahan. Perubahan tutupan lahan tersebut tidak diiringi dengan peningkatan jumlah saluran drainase yang seimbang dengan kebutuhan suatu wilayah, sehingga pada saat curah hujan cukup tinggi (dengan intensitas curah hujan harian maksimum rata-rata 223,03 mm/jam) mengakibatkan timbul banjir dan genangan seluas ± 44,09 Ha dengan tinggi genangan hingga 20 - 60 cm selama lebih dari 6 jam (Syahrial et al., 2007)
3
Permasalahan banjir dan penataan ruang merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam rangka otonomi daerah pemerintah Kota Padang memiliki wewenang untuk mengatasi permasalahan banjir dan mengawasi laju perubahan penggunaan lahan serta memperhatikan pengelolaan lingkungan binaan pada lahan-lahan terbangun. Solusi untuk permasalahan banjir ini perlu dilakukan secepatnya. Walaupun proyek pengendalian banjir sudah terlaksana dalam dua tahap, namun banjir masih kerap menghantui masyarakat pada daerah-daerah yang selama ini menjadi langganan banjir. Banjir yang melanda pemukiman maupun sawah masyarakat selalu berkaitan dengan penataan ruang dan pengelolaan lingkungan. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan secepatnya melakukan evaluasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan binaan didaerah yang rawan terlanda banjir. Selanjutnya, untuk mengidentifikasi luas sasaran banjir dengan skala wilayah yang cukup luas, maka dengan teknologi remote sensing, penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) sangat membantu para pembuat kebijakan dalam upaya penanggulangan bencana banjir. Sehubungan dengan masalah banjir, langkah yang dapat diambil adalah melalui kegiatan penataan ruang, dengan penekanan pada pengendalian pemanfaatan ruang, serta kegiatan
rekayasa
teknis
yang
mendukung
proses
penanganan
dan
pengendalian bencana banjir. Berdasarkan latar belakang diatas, maka diajukanlah suatu identifikasi arah perkembangan kota pada daerah-daerah yang berpotensi terjadi genangan banjir sekaligus sebagai arahan bagi pemerintah Kota Padang dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, melalui suatu penelitian yang berjudul “Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun pada Daerah Rawan Genangan Banjir di Kota Padang”.
1.2. Kerangka Pemikiran Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Akibat dari peristiwa terjadi bentuk lahan bentukan banjir. Bentuk lahan ini biasanya terdapat pada dataran rendah, akibat peristiwa banjir berulangulang, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah sasaran banjir, disamping faktor kemiringan lereng, ketinggian dan liputan lahan.
4
Air hujan yang jatuh ke bumi menghambur dengan arah yang berbeda dalam beberapa cara. Sebagian meresap kedalam tanah, ditahan oleh tumbuhtumbuhan, dan lainnya menguap kembali ke atmosfer, sebagian lagi ditahan oleh ledok, rawa dan sejenisnya, sisanya yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off) yang biasanya menyebabkan banjir. Bertambahnya areal terbangun akibat pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan membuat permukaan tanah menjadi tertutup material kedap air, sehingga mengurangi permukaan tanah yang dapat meresapkan air, dan akibatnya aliran permukaan menjadi bertambah besar. Daerah rawan banjir adalah daerah yang mudah atau mempunyai kecenderungan untuk terlanda banjir. Analisa spasial daerah rawan banjir yang dilakukan pada daerah penelitian ini adalah dengan membuat klasifikasi tingkat kerentanan suatu wilayah untuk terlanda banjir akibat adanya perubahan penutupan lahan. Dalam pelaksanaannya terdapat faktor yang perlu dianalisa, seperti parameter fisik lahan yaitu curah hujan, bentuk lahan, kemiringan lereng, geologi dan penggunaan lahan serta dibantu analisis faktor manusia. Parameter fisik lahan penentu banjir diperoleh dari data penginderaan jauh, peta topografi dan peta tematik lainnya. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) akan membantu penyajian informasi secara visual tentang bahaya banjir disuatu wilayah, melalui metode pengharkatan, pembobotan dan tumpang susun. Bencana banjir di Kota Padang merupakan bencana rutin yang selalu dihadapi oleh masyarakat, ketika hujan dengan intensitas yang tinggi dengan waktu yang agak lama (Badan Penanggulangan Bencana Kota Padang, 2007). Bencana
banjir
sebagiaan
besar
melanda
kawasan
terbangun
seperti
perumahan dan pemukiman penduduk. Bertambahnya kawasan terbangun tentu akan menambah juga luasan daerah yang rawan terhadap bahaya banjir. Perubahan kawasan terbangun dari satu waktu ke waktu yang salah satu faktor penyebabnya adalah adanya laju pertumbuhan penduduk yang sangat pesat di daerah perkotaan sebagai akibat dari urbanisasi. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
PERMASALAHAN BANJIR DAERAH PERKOTAAN (Kasus Kota Padang)
FAKTOR BENTUKAN MANUSIA
FAKTOR ALAMI Hidrologi
Geomorfologi Wilayah -
Bentuk Lahan Kemiringan lereng Karakteristik Lahan
-
Persipitasi (Curah Hujan) Infiltrasi Evaporasi Run off
Karakteristik Banjir
Perilaku Masyarakat
Tata Ruang -
Penggunaan lahan Sistem drainase Ruang Terbuka Hijau Adaptasi terhadap Banjir
Pengaruh
Respon Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Terhadap TIngkat Bahaya Banjir Kebijakan Pengendalian Banjir Yang Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
1
-
Pertumbuhan Penduduk Perubahan tutupan lahan Pertambahan wilayah terbangun (kedap air)
Pola Perkembangan Kota
6
1.3. Perumusan Masalah Banjir tidak hanya dipandang sebagai permasalahan lingkungan, tetapi banjir juga dipandang dapat membawa berkah. Dalam ilmu geografi banjir merupakan salah satu agent atau tenaga bagi berlangsungnya proses geomorfologi yang mengukir relief permukaan bumi (Yusuf, 2005). Banjir dipandang menjadi
masalah, apabila banjir menghancurkan harta dan jiwa
manusia. Banjir tidak hanya diakibatkan karena faktor alamiah saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh perilaku manusia. Perilaku manusia tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan perubahan tutupan lahan alami menjadi tutupan lahan terbangun. Laju pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan pertumbuhan area permukiman, yaitu merubah lahan-lahan yang tadinya kosong menjadi lahan terbangun. Dalam kondisi seperti ini, air larian yang terjadi akan lebih besar, dan mengumpul dalam waktu yang lebih lama sebab fungsi tanah untuk resapan air terganggu. Akibatnya genangan banjir akan merambah kemana-mana, genangan menjadi semakin luas. Kejadian banjir di Kota Padang dapat dipandang alami karena kondisi geomorfologi daerah yang terjadi akibat bentukan banjir serta dapat dipandang sebagai buatan manusia (man made) karena kelalaian dalam mengatur kondisi tata ruang, mengontrol perkembangan area terbangun, dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan serta adaptasi yang berjalan lambat untuk mengatasi banjir. Saat ini kejadian kondisi banjir di Kota Padang sering terjadi pada kawasan yang merupakan kawasan pemukiman dan kawasan-kawasan terbangun. Hal ini sering menimbulkan bahaya serta kerugian harta benda yang sangat besar. Upaya meminimalkan bahaya banjir tersebut belum optimal dilakukan oleh pemerintah Kota Padang dan akan terus menjadi bahaya bagi masyarakat yang bermukim pada wilayah rawan banjir. Saat ini kondisi penataan ruang dan pengelolaan permukiman kurang terlaksana dan terkoordinasi dengan baik karena: 1. Perkembangan wilayah terbangun sering mengabaikan kerentanan suatu daerah akan terlanda oleh banjir. 2. Perkembangan
kawasan
pemukiman
kearah
utara
Kota
Padang
mengakibatkan timbulnya pengurangan daerah tangkapan air, sehingga akan meningkatkan kerentanan daerah hilir terhadap peristiwa banjir.
7
3. Tidak seimbangnya perkembangan tutupan lahan terbangun dengan fasilitas saluran drainase, sehingga mempercepat terjadinya genangan ketika terjadi hujan yang cukup deras yang berlangsung lama. 4. Belum adanya informasi yang bersifat prediksi terhadap sebaran tingkat bahaya banjir, sehingga pemerintah Kota Padang belum mampu untuk memprediksikan lokasi atau kawasan dan waktu terjadinya banjir. Hal ini mengakibatkan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) belum bisa diterapkan. Pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah: (1) apakah wilayah terbangun di Kota Padang saat ini telah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah?, (2) apakah perkembangan wilayah terbangun di Kota Padang menimbulkan peningkatan terhadap bahaya banjir?, dan (3) bagaimana manajemen
pengendalian
bencana
yang
berkelanjutan
yang
harus
dikembangkan untuk mengatasi permasalahan banjir di Kota Padang? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu didapatkan data dan informasi yang lengkap mengenai: (1) kondisi perkembangan wilayah terbangun, (2) distribusi daerah rawan banjir, (3) respon perkembangan wilayah terbangun
terhadap
bahaya
banjir,
dan
(4)
peran
pihak-pihak
yang
berkepentingan (penerima dampak) dalam kegiatan/kebijakan penanggulangan bencana banjir yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian yang akan dipecahkan dan diselesaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan tutupan lahan terbangun antara tahun 1994 dan tahun 2007 di Kota Padang? 2. Bagaimana karakteristik banjir dan tingkat kerawanan Kota Padang terhadap banjir? 3. Bagaimana respon peningkatan laju urbanisasi terhadap bahaya banjir di Kota Padang? 4. Bagaimana bentuk dan tingkat partisipasi penerima dampak bencana banjir
dalam
kebijakan
penanggulangan
berkelanjutan di Kota Padang?
bencana
banjir
yang
8
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan Penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi laju perluasan lahan terbangun antara tahun 1994 sampai tahun 2007 di Kota Padang. 2. Mempelajari karakteristik banjir dan mengetahui zonasi daerah rawan banjir di Kota Padang. 3. Mengetahui respon peningkatan laju urbanisasi terhadap bahaya banjir di Kota Padang. 4. Mengetahui
bentuk
dan
tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
penanggulangan banjir yang berkelanjutan di Kota Padang.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi pemegang kebijakan, sebagai berikut: 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan adalah terjadinya proses berpikir ilmiah melalui kegiatan penelitian yang mencirikan berkembangnya ilmu dan pengetahuan di bidang penataan wilayah rawan banjir. 2. Manfaat bagi peneliti adalah dapat berkembangnya penalaran
dalam
rangka
membentuk
kemandirian
kemampuan
peneliti
dalam
melakukan penelitian yang original 3. Manfaat bagi pemegang kebijakan dalah adalah sebagai dasar untuk mengembangkan kebijakan penanggulangan bencana banjir berbasis masyarakat di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat dan daerah lain yang memiliki kesamaan permasalahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Daerah perkotaan merupakan pusat konsentrasi penduduk, dimana akan terjadi proses pergerakan penduduk dari daerah pedesaan. Pergerakan penduduk dari daerah pedesaan menimbulkan peningkatan jumlah penduduk didaerah perkotaan. Proses pertumbuhan penduduk didaerah perkotaan sering disebut sebagai urbanisasi. Pergerakan maupun perpindahan penduduk dari daerah pedesaan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada tutupan lahan alami sebagai tuntutan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Kepadatan kota akan mengakibatkan pergerakan perubahan tutupan lahan alami ke daerah pinggir kota yang masih bersifat pedesaan. Proses urbanisasi merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya. Karena, proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, industri dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam. Perubahan penggunaan lahan, misalnya hutan menjadi pemukimanatau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air. Rawa dan empang yang diubah menjadi pemukiman akan menyebabkan aliran permukaan tidak tertampung, melainkan akan menggenangi daerah sekitarnya (Savitri, 2007). Pribadi et al. (2006), menjelaskan bahwa dengan bertambah pesatnya pembangunan di daerah perkotaan menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan, dimana ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruangruang alami untuk berubah fungsi. Tingginya desakan terhadap ruang-ruang alami seperti ruang terbuka hijau, hutan mangrove, kawasan lindung dan sebagainya, akan menyebabkan menurunnya kemampuan alami lahan untuk menyerap dan menampung air, terutama pada musim penghujan. Konsekuensi perubahan dari rural hydrology menjadi urban hydrology dapat dilihat pada sketsa Gambar 2 (Hall, 1984 dalam Yusuf, 2005). Tampak pada gambar tersebut munculnya masalah baru, yaitu sistem pembuangan air hujan, air kotor, masalah penggenangan akibat banjir yang saling terkait dan sangat tergantung dari tingkat perkembangan urbanisasi itu sendiri.
9
10
URBANISASI PERTAMBAHAN KEPADATAN PENDUDUK
PENAMBAHAN ANGKUTAN AIR BUANGAN
MENINGKATNYA KEBUTUHAN AKAN AIR BERSIH PERMASALAHAN SUMBERDAYA AIR
MEMBURUKNYA KUALITAS AIR HUJAN
PERTAMBAHAN KEPADATAN BANGUNAN
PERTAMBAHAN KAWASAN YANG KEDAP AIR
MEMODIFIKASI SISTEM DRAINASE
PERUBAHAN IKLIM KOTA
BERKURANGNYA PENGISIAN AIR TANAH
PERTAMBAHAN VOLUME RUN OFF
PERTAMBAHAN KECEPATAN ALIRAN
MEMBURUKNYA KUALITAS PENERIMAAN AIR
BERURANGNYA ALIRAN DASAR
PENINGKATAN ANGKA PUNCAK RUN OFF
BERKURANGNYA WAKTU TENGGANG DAN WAKTU DASAR
PERMASALAHAN PENGENDALIAN POLUSI
INTRUSI DAN SUBSIDEN
PERTAMBAHAN KEPADATAN PENDUDUK
Sumber: Hall, 1984 dalam Yunus 2005
Gambar 2. Diagram Pengaruh Urbanisasi Terhadap Proses Hidrologi Gallent dan Kim (2001), dalam Giyarsih (2005) menyatakan bahwa kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran (urban fringe), disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl), sehingga daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial. Proses densifikasi pemukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi
dari meningkatnya kebutuhan ruang di
daerah perkotaan. Selanjutnya menurut Nurdin et al. (2003), perkembangan kawasan terbangun yang objektif dalam wilayah perkotaan dengan pengukuran secara langsung di lapangan akan mendapatkan banyak kesulitan, membutuhkan waktu panjang dan memerlukan biaya yang besar. Untuk itu diperlukan suatu cara yang lebih praktis, lebih murah, sehingga tingkat perkembangan kawasan terbangun dapat terdeteksi. Saat ini teknologi penginderaan jauh dan remote sensing sangat membantu para peneliti dan pengambil kebijakan dalam mengetahui perkembangan suatu wilayah di atas permukaan bumi. PP no 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang secara tegas menyatakan
11
terutama dalam pembangunan areal terbangun seperti pemukiman harus memperhatikan dan menghindari kawasan yang rawan bencana. Kenyataan pada saat ini, karena kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan makin meningkat maka perencanaan dan pembangunan kawasan terbangun sering mengabaikan daerah-daerah yang memiliki resiko terkenana bencana. Meskipun pembangunan daerah tersebut telah memperhatikan rencana tataruang, namun seringkali
pembangunan
kawasan
terbangun
mengabaikan
infrastuktur
penanggulangan banjir. Pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir dengan upaya penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada. Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan, dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran.
2.2. Permasalahan Banjir a. Siklus Hidrologi Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 persen dari muka bumi. Dalam siklus hidrologi, jumlah air relatif tidak berubah, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke atmosfir. Menurut Arsyad (1989) air tidak saja perlu untuk kehidupan manusia, hewan, dan tanaman tetapi juga merupakan media pengangkutan, sumber energi dan berbagai keperluan lain. Akan tetapi pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air menjadi perusak yang menimbulkan kerugian harta dan jiwa, juga menghanyutkan berjuta-juta ton tanah subur. Membahas air diatas permukaan bumi tidak bisa lepas dari siklus hidrologi (Gambar 3), yang secara singkat dapat dijelaskan “... karena adanya panas matahari, maka terjadi penguapan, uap air pada kondisi tertentu akan terjadi proses kondensasi dan merubah bentuk gas menjadi awan, jika kondisi memungkinkan awan akan berubah menjadi hujan, air yang jatuh ke bumi mengalir sebagai air permukaan, air tanah dan sebagian menguap kembali …”. Gerakan air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui berbagai
12
tingkat atau proses, sebagai hujan, aliran permukaan, infiltrasi, penguapan, dan evaporasi-transpirasi. Penyebaran hujan yang turun ke permukaan bumi dalam siklus hidrologi tidak merata di setiap daerah, karena dipengaruhi oleh fenomena alam seperti angin, maupun aktivitas manusia. Umumnya 10 – 20 persen total presipitasi jatuh di permukaan vegetasi (intersepsi), dan apabila vegetasi sangat rapat maka intersepsi dapat mencapai 35 persen. Kira-kira dua per tiga dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah menyebar keberbagai arah dengan berbagai cara. Sebagian akan tertahan sementara dipermukaan bumi sebagai es (salju) atau genangan sementara. Sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah mengalir menuju ke sungai dan saluran-saluran buatan manusia yang disebut sebagai aliran permukaan. Makin landai dan makin sedikit pori-pori tanah maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan biasanya dapat dilihat di wilayah urban. Aliran permukaan dan sebagian air bawah permukaan nanti akan terkumpul dan mengalir menuju laut (Asdak, 1995). Siklus hidrologi merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga air tidak akan pernah habis di permukaan bumi. Namun sering manusia mengabaikan keseimbangan siklus hidrologi, karena aktivitas manusia yang sering berlebihan dalam mengeksploitasi lingkungan. Keseimbangan siklus hidrologi dapat terganggu antara lain dengan seringnya pembukaan lahan dengan penebangan pohon di wilayah tangkapan hujan, pembangunan areal terbangun di pinggir sungai. Hal ini dapat mempengaruhi laju air yang mengalir, air yang terserap kedalam tanah maupun air yang menguap ke atmosfir.
Gambar 3. Siklus Hidrologi
13
b. Konsep Teori Banjir Banjir didefinisikan dengan adanya kenaikan drastis dari aliran sungai, kolam, danau, dan lainnya dimana kelebihan aliran itu menggenang keluar dari tubuh air dan menyebabkan kerusakan dari segi sosial ekonomi dari sebuah populasi (Smith et al., 1998 dalam Asy’ari et al., 2008) Menurut Isnugroho (2002), kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai karakteristik penyebab banjir, kawasan tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut : 1. Daerah Pantai Daerah pantai merupakan daerah yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara. 2. Daerah Dataran Banjir Daerah dataran banjir (Floodplain Area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan local. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat subur sehingga merupakan daerah pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dll. 3. Daerah Sempadan Sungai. Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan
yang
padat
penduduk,
daerah
sempadan
sungai
sering
dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda. 4. Daerah Cekungan. Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan banjir. Kawasan-kawasan tersebut diilustrasikan dalam Gambar 4.
14
Sumber: Isnugroho, 2002
Gambar 4. Tipologi Kawasan Rawan Banjir Banjir yang terjadi di daerah studi mencakup tipe banjir kiriman, banjir lokal (genangan) dan banjir rob. Akibat dari peristiwa banjir yang terjadi secara periodik akan terbentuk bentuk lahan banjir dan bentuk adaptasi manusia terhadap banjir. Lahan bentukan banjir misalnya rawa belakang, beting gesik, bura pasir, dataran aluvial pantai, dataran antar gesik, kipas aliran prikoplastik, kipas fluvio vulkanik, komplek pegunungan volkan, perbukitan kapur, perbukitan vulkanik, tanggul alam. Bentukan akibat adaptasi manusia seperti banjir kanal, saluran dan sabuk drainase, tanggul sungai, tanggul pantai buatan, penimbunan atau peninggian permukaan serta bangunan penahan abrasi pantai. Banjir akan disebut sebagai bahaya, apabila banjir tersebut sudah mengganggu aktivitas manusia dan bahaya banjir bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga fenomena sosial ekonomi. Bahaya banjir terdiri dari beberapa aspek mencakup kerusakan infrastruktur (jalan, dan perumahan), kehilangan nyawa, terkontaminasinya lingkungan yang membahayakan kesehatan, terganggunya aktivitas sosial ekonomi. Kerusakan didaerah yang terkena banjir tergantung faktor yang bekerja pada ruang dan waktu tertentu. Menurut Yunus (2005) faktor yang paling penting yang berpengaruh terhadap kerusakan akibat banjir adalah tipe penggunaan lahan, kedalaman banjir, lama dan kecepatan banjir, serta material padat yang dibawa banjir. Selanjutnya untuk menyusun Peta Bahaya Banjir dilakukan tumpang susun Peta Kerentanan Banjir dengan Peta Penggunaan Lahan dan Peta Kepadatan Penduduk. Studi kerentanan bahaya banjir didaerah perkotaan selain menjadi objek kajian geomorfologi terapan, juga menjadi objek penelitian hidrologi perkotaan. Masalah urbanisasi yang meliputi peningkatan kepadatan penduduk dan
15
bangunan, menjadi akar permasalahan hidrologi seperti masalah sumberdaya air, pengendalian banjir, pengendalian polusi, dan amblesan tanah di daerah perkotaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi banjir berkaitan dengan meningkatnya luapan air di wilayah perkotaan menurut Lohman (1985), diklasifikasikan menjadi; (1) Faktor hujan, yaitu hujan yang turun pada wilayah atas dan wilayah bawah; (2) Faktor sedimentasi, yaitu beberapa proses sedimentasi dan inundasi, meluapnya air pada titik-titik pengendapan hingga air berpencar meluas menuruni lereng; (3) Adanya perkembangan sosial, perluasan kawasan kedap air dengan tidak adanya tindakan pencegahan pada luasan wilayah tertentu. Adanya krosing pada lintasan jalan dengan adanya bangunan jembatan, pengendapan dan penyumbatan saluran drainase; (4) Pasang naik air laut, masuknya air laut yang menghambat keluarnya air pada titik muara keluaran, ketika terjadi pasang naik; (5) Faktor-faktor lain diantaranya dbit puncak semakin cepat, adanya lapisan perkerasan yang kedap air dan nilai kekerasan yang semakin halus. Dalam skala perkotaan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah; (a) Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulya banjir terutama pada topografi datar dengan kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai; (b) Areal terbangun yang luas, biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin mengecil. Dalam banyak hal drainase di daerah perkotaan
sering
mengalami
penyumbatan,
pendangkalan
dan
kecilnya
penampang untuk mendukung limpasan air.
c. Aspek Geomorfologi dan Kaitannya Terhadap Permasalahan Banjir Geomorfologi adalah kajian sistemik tentang permukaan bumi, tetapi secara sederhana dapat disebut sebagai kajian bentuklahan (Strahler et al., 1968, dalam Karim, 1998).
Bentuk lahan menurut Thornburry (1969), dalam
Yusuf (2005) adalah bentukan pada permukaan bumi yang terjadi sebagai akibat proses geomorfik yang bekerja dan memodifikasi permukaan bumi. Proses geomorfologi yang bekerja di permukaan bumi tersebut menyangkut semua perubahan fisik maupun kimia yang dilakukan oleh tenaga geomorfologi. Tenaga geomorfologi adalah semua medium alam yang mampu melepas dan
16
memindahkan material bumi seperti tenaga angin, tenaga aliran air maupun tenaga gelombang. Berdasarkan fenomena geomorfologi, setiap bentuk lahan bentukan banjir dapat memberikan informasi tentang tingkat kerawanan banjir beserta karakterisriknya (frekuensi, luas dan lama genangan bahkan mungkin sumber penyebabnya). Maka dapat dikatakan bahwa, survei geomorfologi pada dataran aluvial, dataran banjir dan dataran rendah lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan sejarah perkembangan daerah tersebut sebagai akibat terjadinya banjir.
Daerah
rawan
banjir
dapat
diidentifikasi
dengan
menggunakan
pendekatan geomorfologi khususnya aspek morfogenesa, karena kenampakan seperti teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan delta yang merupakan bentukan banjir yang berulang-ulang yang merupakan bentuklahan detil yang mempunyai topografi datar (Masahiko Oya, 1976 dalam Haryani et al., 2008). Bentuk lahan dilokasi penelitian diperkirakan terdiri atas 4 (empat) proses pembentukan lahan, yaitu; (1) proses pembentukan lahan akibat fluvial atau berasal dari bentukan peristiwa banjir (2) bentuk lahan bentukan struktural, (3) bentuk lahan bentukan karst, dan (4) bentuk lahan bentukan marine (Karim, 1998). Yusuf (2005) menjelaskan bahwa dalam penentuan tingkat kerentanan banjir langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan survey kerentanan banjir dengan berlandaskan bentuk lahan terutama bentukan-bentukan banjir, dan bentuk lahan tersebut dapat dikaji melalui peta Geomorfologi daerah tersebut. Apabila peta geomorfologi tersebut dikombinasikan dengan peta topografi kontur detail (interval 0,25 m) akan sangat membantu survei kerentanan banjir, bahkan batas serta tingkat kerentanan banjirnya pun dapat dipelajari dengan mudah. Klindao (1983), dalam Yusuf (2005) menyatakan bahwa kerentanan banjir adalah memperkirakan daerah-daerah yang mungkin menjadi Sasaran banjir. Wilayah-wilayah yang rentan banjir, biasanya terletak pada daerah datar, dekat dengan sungai, berada di daerah cekungan dan di daerah pasang surut air laut. Sedangkan bentuklahan bentukan banjir pada umumnya terdapat pada daerah rendah sebagai akibat banjir yang terjadi berulang-ulang, biasanya daerah ini memiliki tingkat kelembaban tanah yang tinggi dibanding daerahdaerah lain yang jarang terlanda banjir. Kondisi kelembaban tanah yang tinggi ini disebabkan karena bentuklahan tersebut terdiri dari material halus yang
17
diendapkan dari proses banjir dan kondisi drainase yang buruk sehingga daerah tersebut mudah terjadi penggenangan air.
2.3. Manajemen Pengendalian Bencana Alam Banjir Terjadinya serangkaian peristiwa banjir dalam waktu yang relatif pendek dan
terulang
setiap
tahun,
menuntut
upaya
yang
lebih
besar
untuk
mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat di minimalkan. Selama ini pemerintah telah berupaya melakukan penanganan kawasan rawan banjir, dengan 2 (dua) pendekatan pengendalian, yaitu: 1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Banjir) Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan banjir; 2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang) Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan
lahan
dalam
rangka
mempertahankan
keseimbangan
ekosistem. Menurut Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat UI (2007), penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap dari pencegahan sebelum banjir
(prevention),
pemulihan
setelah
penanganan banjir.
saat
banjir
Tahapan
(response/intervention)
tersebut
berada
dalam
dan siklus
penanggulangan banjir yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut dimulai dengan peristiwa banjir, kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan sebelum bencana banjir terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara menyeluruh berupa kegiatan fisik seperti pembangunan pengendalian banjir di wilayah sungai sampai wilayah dataran banjir, dan kegiatan-kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir. Dalam pelaksanaan kegiatan penanganan bencana banjir, tidak akan lepas
dari
(stakeholder).
partisipasi Partisipasi
masyarakat masyarakat
dan
peran
merupakan
pemangku proses
kepentingan teknis
untuk
18
memberikan kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat agar
mampu
memecahkan
berbagai
perseolan
secara
bersama-sama.
Stakeholder penanggulangan banjir secara umum di kelompok menjadi tiga, yaitu: (1) masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung; (2) kelompok masyarakat atau perorangan yang dapat memberi pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir, antara lain: konsultan, pakar, LSM dan profesional di bidang SDA.; (3) policy makers, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum, seperti lembaga pemerintah dan dewan sumberdaya air (Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat UI, 2007). Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (i) Penolakan (resistance/opposition); (ii) Pertukaran informasi (informationsharing); (iii) Konsultasi (consultation with no commitment); (iv) Konsensus dan Pengambilan Kesepakatan Bersama (concensus building and agreement); (v) Kolaborasi (collaboration); (vi) Pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk
sharing);
dan
(vii)
Pemberdayaan
dan
Kemitraan
(empowerment and partnership). Peranan masing-masing stakeholders dalam kegiatan penanggulangan bencana banjir secara bersama-sama sangatlah penting, sehingga kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap stakeholders terhadap permasalahan banjir dapat didiskusikan dan dipecahkan secara bersama-sama. 2.4. Jenis Kebijakan dan Kegiatan Penanggulangan Banjir Rumusan jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda tergantung pada jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan Bank Dunia memperkenalkan social assessment yang umumnya mengelompokkan 4 (empat) jenis kebijakan atau kegiatan yaitu: (i) indirect social benefits and direct social costs; (ii) significant uncertainty or risks; (iii) large number of beneficiaries and few social cost; dan (iv) targeted assistance. a. Indirect benefits, direct social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang memberikan manfaat tidak langsung kepada masyarakat tetapi menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati, structural adjustment, dan privatisasi.
19
b. Significant uncertainty or risk. Suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia informasi dan komitmen dari kelompok sasaran. Contoh kegiatan ini antara lain intervensi/pembangunan wilayah pasca konflik. c. Large number of beneficiaries and few social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar tetapi hanya sedikit menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan
kesehatan,
pendidikan,
penyuluhan
pertanian,
dan
desentralisasi. d. Targeted assistance. Suatu kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah penerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini antara lain penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi,reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam
2.5. Sistem Informasi Geografi untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir 1). Definisi Sistem Informasi Geografis Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat dari kertas, semuanya menyajikan data geografis dalam bentuk Gambar-Gambar ataupun coretan-coretan. Apa yang tersaji dalam sebuah peta, tidak lain adalah data atau informasi tentang permukaan bumi. Namun demikian, suatu peta juga dapat mengGambarkan distribusi sosial ekonomi suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peta memuat atau mengandung data yang mengacu bumi (geo-referenced data). Yang diacu tidak lain adalah posisinya yaitu sistem koordinat bumi, baik yang menggunakan sistem UTM (Universal Transver Mercator) atau sistem bujur/lintang (Paryono,1994 dalam Pratomo 2008). Baik dari jenis-jenis data yang menjadi masukannya maupun dari unsurunsur pokok yang membentuknya, dapat ditarik beberapa pengertian SIG. Demikian pula dengan definisinya, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi SIG yang baku (Prahasta, 2001). Definisi SIG selalu berkembang, bertambah, dan bervariasi. salah satu definisi SIG adalah sistem yang
berbasiskan
memanipulasi
komputer
informasi-
yang
digunakan
untuk
informasi
geografi.
SIG
menyimpan dirancang
dan untuk
20
mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian SIG, merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. (Aronoff, 1989 dalam Prahasta,2001). 2). Subsistem dan Komponen Sistem Informasi Geografis Ada empat subsistem dalam Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001) : a.
Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan formatformat data-data aslinya kedalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
b.
Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : Tabel, grafik, peta dan lain-lain.
c.
Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit.
d.
Data Manipulation & Analysis Susbsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan
lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) : a. Perangkat Keras Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orangsecara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar,
21
dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian funsionalitas SIGtidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC-pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner. b. Perangkat Lunak Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri beberapa modul, hingga jangan heran jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. c. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung denagn cara mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lainnya maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari Tabel-Tabel dan laporan dan laporan dengan menggunakan keyboard. d. Manajemen Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan. 3). Cara Kerja dan Kemampuan Sistem Informasi Geografis. SIG dapat merepresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat merprentasikan dunia nyata diatas kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas dari pada lembaran peta kertas (Prahasta, 2001). SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsurunsurnya sebagai atribut-atribut didalam basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan
menyimpannya
didalam
Tabel-Tabel
(relasional).
Setelah
itu,
SIG
menghubungkan unsur-unsur diatas dengan Tabel-Tabel yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsurunsur peta dan sebaliknya, unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributatributnya. Karena itu, unsur-unsur tersebut dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atribut-atributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur
22
peta dengan atribut-atributnya didalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasi, perkebunan dan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basisdata SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang esensial didalam SIG. Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG. Pada dasarnya, dengan memperhatikan pengertian, definisi-definisi, berikut cara kerjanya, kemampuan-kemampuan SIG sudah dapat dikenali. Kemampuan-kemampuan ini dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi analisis spasial dan atribut yang dilakukan, jawaban-jawaban, atau solusi yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (Prahasta, 2001). 4). Penggunaan Sistem Informasi Geografi dalam Analisa Spasial Wilayah Beberapa produk SIG yang sering digunakan untuk analisis spasial wilayah adalah GIS Arc View, Arc GIS, R2V, Arc/info, ER Mapper, ERDAS, Spans GIS, dan sebagainya. Arc View merupakan salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan yang telah dikembangan oleh ESRI, sehingga pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Secara umum kemampuan GIS Arc View adalah: (1) pertukaran data, membaca dan menuliskan data dalam format perangkat lunak GIS lainnya, (2)
melakukan
analisis
statistic
dengan
operasi-operasi
matematis,
(3)
menampilkan informasi (basis data) spasial maupun atribut, (4) menjawab query spasial maupun atribut, (5) melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, (6) membuat peta tematik, (7) meng-costumize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip, (8) melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak Arc View (West et al., 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), kemampuan SIG melakukan analisis spasial secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan terus menerus. Aplikasi GIS dengan program Arc View 3.3. telah dilaksanakan oleh Kumajas (1997) dengan menerapkan GIS dengan program Arc View 3.3. untuk analisis rawan bencana di Kota Manado. Kemudian, penerapan GIS untuk meneliti longsor juga diterapkan oleh Guzzetti, et al. (1999); Guzzetti (2001) di
23
Italia. Selanjutnya Zain (2002) melakukan penelitian yang berjudul ”Distribution, Structure and Function of Urban Green Space in Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK)” dengan menggunakan GIS program ERDAS 8.5 untuk meneliti dan mengevaluasi kestabilan tanah melalui pendekatan spasial melalui overlay data spasial berupa peta-peta. Metode yang digunakan adalah metode MAFF-Japan yang telah dikembangkan dan diterapkan pada tiga kota besar di Asia Tenggara, termasuk Jakarta, dan dihasilkan suatu rujukan bahwa Model MAFF-Japan cocok untuk wilayah-wilayah tropika basah, seperti di Indonesia. Kemudian, Prathumchai dan Samarakoon (2005) dengan judul penelitian ”Application of Remote Sensing and GIS Techniques for Flood Vulnerability and Mitigation Planning in Munshiganj District of Bangladesh” dengan menggunakan pendekatan spasial dengan unit lahan
sebagai
satuan
analisisnya.
Analisis
spasial
dilakukan
dengan
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial parameter penentu daerah bahaya banjir untuk menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis. Data spasial tersebut dalam penelitian ini adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta tanah dan peta penggunaan lahan Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan daerah bahaya banjir menggunakan perangkat lunak ArcView GIS dengan bantuan ektensi Geoprocessing. 5).
Penentuan Zonasi Daerah Rawan dan Bahaya Banjir Menurut Sukiyah et al., (2004), melakukan penelitian tentang daerah
rawan banjir dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi memperoleh hasil bahwa hasil analisis penetapan kawasan banjir menggunakan Sistem Informasi Geografis tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi di lapangan. Penentuan zonasi daerah rawan dan bahaya banjir dengan menggunakan pendekatan kuantitatif metode analisis kuantitatif dengan menggunakan metode pendekatan analisis tumpangsusun/overlay parameter-parameter banjir berjenjang tertimbang (pembobotan/pengharkatan) dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Yusuf, 2005). a. Analisis tumpang susun Menumpangsusunkan peta-peta yang diperlukan dalam penentuan daerah rawan dan bahaya banjir, antara lain peta curah hujan, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta kelas kemiringan lereng dan peta tanah. Hasil tumpang susun kemudian diskor dan dikelaskan dengan mendasarkan pada
24
asumsi tertentu. Hasil dari proses tumpang susun (overlay) harus dilakukan evaluasi dan verifikasi ke lapangan. b. Pembobotan/pengharkatan Dalam menentukan skor tingkat rawan dan bahaya banjir, asumsi yang digunakan adalah keadaan dari kondisi fisik suatu wilayah dan dampak yang merugikan atau dampak yang mengorbankan manusia baik dalam arti korban
jiwa,
mundurnya
tingkat
kesehatan/sanitasi,
kebersihan
dan
keindahan lingkungan hidup manusia. Dalam hal ini daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan pemukiman yang merupakan tempat konsentrasi manusia mendapatkan skor yang tinggi, sementara daerah dengan kepadatan yang rendah dan juga lahan kosong, tambak dan industry khususnya yang padat modal dinilai lebih rendah. 2.6. Penelitian Relevan Nurdin dan Bangun Mulyo Sukojo (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Perubahan Kawasan Terbangun Kota Surabaya Berdasarkan Metode Multi Temporal Citra Landsat Thematic Mapper”. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besarkah kemampuan citra landsat TM dapat diaplikasikan dalam memperoleh informasi data tentang kenampakan objek dipermukaan bumi. Dari hasil klasifikasi diharapkan citra landsat TM dapat mendeteksi perubahan kawasan terbangun di wilayah Kota Surabaya. Cakupan wilayah penelitian citra Landsat TM berpedoman kepada peta rupabumi Kota Surabaya tahun 1999. Untuk mendapatkan klasifikasi tutupan lahan dilakukan klasifikasi
terbimbing,
untuk
menguji
kebenarannya
dilakukan
verifikasi
dilapangan. Dari hasil analisis tutupan lahan dan hasil tumpang susun antara tutupan lahan tahun 1993 dan tahun 1999 diperoleh hasil perubahan tutupan lahan sebagai kawasan terbangun di Kota Surabaya sebesar 2.822, 487 hektar (6,844%) dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,141% pertahun. Rofiq
Faudy
Akbar,
(2005)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
”Pemanfaatan Citra Landsat Thematic Mapper Untuk Estimasi Kerentanan Banjir Daerah Aliran Sungai Kupang, Jawa Tengah”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan data digital Landsat TM dalam menyajikan informasi awal kerentanan banjir dan untuk mengetahui karakteristik banjir dan peta kerentanan banjir masing-masing daerah yang didapat dari data yang disajikan oleh citra. Dalam penelitian ini analisis kerentanan banjir dilakukan dengan
25
menggunakan metode interpretasi dan analisis kerentanan banjir melalui teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Dari analisis dan interpretasi yang dilakukan dapat diketahui bahwa citra landsat dapat digunakan untuk menyajikan informasi awal kerentanan banjir suatu daerah melalui parameter-parameter yang dapat disadap dari citra, dapat diketahui pula bahwa kawasan yang mempunyai kerentanan banjir tinggi seluas 3265,242 ha(14,7%), sedangkan kawasan yang mempunyai kerentanan sedang seluas 8532,446 ha (38,5 %). Kawasan yang kurang berpotensi terlanda banjir atau rendah sebesar 5865,338 ha (26,5 %), dan 4508,32 ha ( 20,3 %) dari luas daerah penelitian sama sekali tidak berpotensi terlanda banjir. Nanik Suryo Haryani, Fajar Yulianto dan Anneke K.S. Manoppo (2008), dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Tingkat Rawan Banjir di Propinsi Jawa Timur Dari Data Penginderaan Jauh dan SIG”. Bertujuan menganalisis data satelit pengideraan jauh menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan zona potensi rawan banjir di Provinsi Jawa Timur. Penentuan zona potensi rawan banjir dilakukan dengan pembobotan setiap indikator banjir sekaligus berfungsi sebagai variabel banjir yang terdiri dari: penutup/penggunaan lahan, kelas kemiringan lereng, jenis tanah, dan jenis batuan. Dari hasil analisis dan interpretasi citra penginderaan jauh dan bantuan sistem informasi geografi melalui skoring dan pembobotan setiap variabel banjir diperoleh 5 kelas kerawanan banjir. Tingkat rawan banjir dalam kelas sangat rawan dan rawan secara berturut-turut adalah 6,95 % dan 24,52 %. Khadiyanto (1991) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh Perluasan Area Terbangun dan Jumlah Penduduk terhadap Banjir Genangan di sebagian Wilayah Kota Semarang”. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji masalah meluasnya genangan yang terjadi si sebagian wilayah Kota Semarang, sebagai akibat dari mekarnya wilayah terbangun dan meningkatnya jumlah penduduk. Penentuan luas wilayah terbangun dan luas banjir genangan digunakan peta permukiman dan kawasan terbangun serta peta genangan banjir skala 1:20.000, luasnya dihitung menggunakan planimeter. Jumlah penduduk diambil dari data statistic pada tingkat kelurahan. Untuk menghitung pengaruh dari perluasan area terbangun dan jumlah penduduk terhadap banjir genangan, digunakan analisis regresi. Sementara itu untuk menentukan arah penyebaran penduduk dan banjir genangan, digunakan analisis keruangan.
26
Hasil perhitungan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa tambahan banjir seluas 30% dari tambahan luas area terbangun. Hasil analisis keruangan, ternyata arah perluasan dan penyebaran banjir genangan cenderung menuju Timur Laut, sedangkan arah pertambahan penduduk dan permukiman cenderung ke arah Barat Laut. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk mencari daerah hunian berusaha menghindari daerah banjir.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Padang Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota Padang merupakan salah satu dari kota-kota besar di Indonesia yang sering terjadi banjir, dan selalu menelan korban harta maupun jiwa. 2. Lokasi terpilih mempunyai karakteristik wilayah yang merupakan hasil bentukan banjir sehingga perlu dilakukan zonasi daerah rawan banjir akibat pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah terbangun. Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan tesis selama 10 bulan dimulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan Mei 2010.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat penelitian yang digunakan dalam penelitian berupa peta dan citra satelit serta peralatan untuk survei lapangan dan survei penelitian sosial. Bahan dan alat penelitian dapat di lihat pada Tabel 1.
27
28
Tabel 1. Bahan dan Alat penelitian No 1.
Bahan dan alat Peta Administrasi
2.
Peta Bentuk Lahan
3.
Peta Jenis Tanah
4.
Peta Geologi
5.
Peta Kemiringan Lereng
6.
Citra Landsat 7+TM tahun 1994 dan 2007
7.
Data Curah hujan
8.
Data Jumlah Penduduk Kota Padang tahun 1994 dan tahun 2007 Peralatan survey dan kuisioner
11.
12.
Perangkat keras komputer dan software ERDAS 8.5 dan software Arc View 3.3
Kegunaan Mengetahui batas administrasi lokasi penelitian Mengetahui sebaran bentuk lahan lokasi penelitian Mengetahui sebaran jenis tanah lokasi penelitian Mengetahui sebaran Mengetahui Kelas Lereng di Lokasi Penelitian Untuk melihat tutupan lahan di lokasi penelitian tahun 1994 dan 2007 Mengetahui data curah hujan harian maksimum, bulanan, dan tahunan serta data temperatur Mengetahui laju pertumbuhan penduduk lokasi penelitian
Sumber Bappeda kota Padang Bappeda kota Padang Bappeda Kota Padang Direktorat Geologi Bandung Bappeda Kota Padang PPLH IPB Bogor, Biotrop, LAPAN PSDA Sumatera Barat
Badan Pusat Statistik Kota Padang
Mengetahui peristiwa banjir, lama genangan dan kedalaman banjir serta wawancara dengan pihak yang terkait Untuk analisis perubahan tutupan lahan terbangun dan analisis tingkat bahaya banjir
3.3. Tahap-Tahap Penelitian Tahapan pelaksanaan penelitian dan metode analisis untuk menjawab tujuan penelitian dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan a. Studi kepustakaan yang berkaitan dengan topik penelitian untuk merumuskan tujuan penelitian, metode yang digunakan, hasil yang diharapkan dan daerah yang akan dijadikan sebagai objek penelitian b. Pengumpulan dan pembacaan peta dan citra penginderaan jauh (citra Landsat TM/ETM) daerah penelitian.
29
2. Tahap Pelaksanaan a. Interpretasi citra Landsat TM tahun 1994 dan citra Landsat ETM tahun 2007. b. Identifikasi dan menganalisis daerah sasaran banjir dan pembuatan peta tingkat bahaya banjir menggunakan model MAFF-Japan. c. Menganalisis seberapa besar pengaruh perubahan kawasan terbangun terhadap tingkat bahaya banjir d. Melakukan analisis kebijakan pengendalian dan mitigasi bencana banjir. 3. Tahap Penulisan Keseluruhan hasil kerja dalam penelitian ini yang meliputi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan diwujudkan dalam bentuk laporan hasil penelitian. Bagan alir tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 6.
Mulai Overlay
Interpretasi Citra Landsat 7+ETM Tahun 1994 Citra Landsat 7+ETM Tahun 2007
Peta Land Use Skala 1:50.000 Peta Jenis Tanah Skala 1:50.000 Peta Geologi Skala 1:50.000 Peta Lereng Skala 1:50.000 Peta Curah Hujan Skala 1:50.000 Peta Bentuk Lahan Skala 1:50.000
ERDAS
Perubahan Tutupan lahan Perubahan tutupan lahan alami ke tutupan lahan terbangun
Arc View
Model Tingkat Bahaya Banjir (MAFF)
Tutupan lahan terbangun
Wawancara dg penduduk: - Peristiwa banjir - Karakteristk banjir (periode ulang, lama genangan dan kedalaman genangan Analisis Kuantitatif & Deskriptif
Verifikasi Lapangan
Update
Respon perkembangan wilayah terbangun dan pertumbuhan penduduk terhadap Bahaya banjir
Kebijakan Pengendalian dan Mitigasi Bencana Banjir Bekelanjutan (wawancara kepada setiap stekholder)
Analisis Deskriptif
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian
30
3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran langsung pada setiap daerah contoh. Oleh karena daerah contoh yang diambil dengan dengan teknik random sampling ini merupakan satuan bentuk lahan, maka jenis sampelnya adalah area sample. Sampel tersebut diambil secara acak pada masing-masing bentuk lahan, sehingga secara keseluruhan metode pengambilan sampel secara acak dengan satuan wilayah (area random sampling). Data sekunder didapat dari instansi terkait dan dari hasil sebelumnya. 1. Data Primer a. Hasil pengukuran, pengamatan dan pengujian di lapangan 1) Verifikasi bentuklahan dan tutupan lahan. 2) Bentuk-bentuk adaptasi manusia terhadap banjir (seperti bangunan rumah, saluran drainase, tanggul buatan) 3) Lingkungan binaan, tataguna lahan, perkembangan area terbangun b. Hasil wawancara dengan penduduk 1) Peristiwa banjir (lama genagan, kedalaman genangan, asal-mula banjir, frekuensi banjir), 2) Penyesuaian penduduk terhadap banjir (pemilihan lahan permukiman) c. Kuisoner 2. Data Sekunder a. Data curah hujan time series antara tahun 1996 sampai 2005, diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing Padang, Stasiun Curah Hujan Ladang Padi, Stasiun Curah Hujan Simpang Alai, Stasiun Curah Hujan Gunung Nago, Stasiun Curah Hujan Teluk Bayur, Stasiun Curah Hujan Kasang, Stasiun Curah Hujan Gunung Sarik. b. Peta Kemampuan Tanah Kota Padang skala 1 : 75.000 tahun 1998 c. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 tahun 2001 Lembar Padang, Solok dan Kayu Ara. d. Peta Geologi lembar Padang dan solok skala 1 :100.000 e. Peta Bentuklahan Kota Padang, skala 1:75.000 f.
Peta saluran drainase dan irigasi Kota padang skala 1:25.000
g. Peta Daerah Aliran Sungai Kota Padang, skala 1 :50.000 h. Peta RTRW Kota Padang tahun 2004-2014 i.
Data Jumlah Penduduk Kota Padang tahun 1994 dan 2007
31
3.5. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan pertama adalah mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan sebagai wilayah terbangun. Data yang diperlukan spasial wilayah terbangun adalah peta administrasi, citra satelit Landsat 5 TM tahun 1994 dan citra landsat 7 ETM tahun 2007. Tujuan kedua adalah mempelajari karakteristik dan penyebab banjir. Data yang diperlukan adalah peta bentuklahan, peta kontur/peta topografi, peta jenis tanah, peta geologi, peta Daerah Aliran Sungai, peta penggunaan lahan, peta geologi, peristiwa banjir (lama genangan, kedalaman genangan, asal-mula banjir, frekuensi banjir), penyesuaian penduduk terhadap genangan banjir (pemilihan lahan pemukiman), peta sebaran curah hujan, temperatur. Tujuan ketiga adalah mengetahui respon perkembangan kawasan terbangun di kota Padang terhadap bahaya banjir. Sumber data yang diperlukan peta tutupan lahan tahun 1994 dan 2007, serta data karakteristik banjir. Tujuan keempat adalah mengetahui bentuk dan tingkat partisipasi setiap stekholder dalam kebijakan pengendalian bencana banjir yang berkelanjutan di kota Padang. Untuk sampai pada tujuan keempat ini maka data yang diolah adalah; (1) data wawancara dengan masyarakat dan dinas terkait; (2) melakukan telaah terhadap kebijakan pemerintah tentang pengendalian dan mitigasi bencana banjir; dan (3) inventarisasi dan pengamatan terhadap kondisi bangunan pengendalian banjir. 3.6. Analisa Data Analisis yang dipergunakan untuk mengidentifikasi perubahan tutupan lahan sebagai wilayah terbangun menggunakan analisis interpretasi citra remote sensing. Analisis interpretasi citra dilakukan melalui beberapa tahap yaitu; (1) koreksi geometrik, dan (2) klasifikasi tak terbimbing, serta (3) uji ketelitian. Kemudian data citra yang berbentuk raster tersebut dapat dideteksi secara spasial (bertambah, berkurang atau tetap) dengan menggunakan metode overlay matrik antara 2 layer/citra penggunaan lahan yang berbeda waktunya. Formula Overlay Matrik yang digunakan menurut Dirgahayu (1994) adalah sebagai berikut:
32
C i-j = K*(A i – 1) + B j .......................... (1) C i-j i dan j Ai Bj K
: Konversi lahan pada kelas ke-i pada tahun ke-1 menjadi kelas ke-j pada tahun ke 2 : Indeks penggunaan lahan tahun 1994 dan 2007 : Penggunaan lahan pada tahun ke-1 dengan kelas ke-I (i = 1,2,…,k) : Penggunaan lahan pada tahun ke-2 dengan kelas ke-j (j = 1,2,…,k) : Jumlah kelas kategori penggunaan lahan pada faktor B
Analisa tingkat bahaya banjir memerlukan beberapa data, yaitu; peta curah hujan, peta penggunaan lahan, peta tanah, peta geologi dan peta bentuklahan. Dari data yang sudah diperoleh dilakukan analisis data untuk mengidentifikasikan tingkat bahaya banjir daerah penelitian. Zonasi tingkat bahaya banjir dilakukan dengan simulasi model Ministry of Agriculture, Forestry and Fishery-Japan (Hamazaki et al., 1993; Zain, 2002; Zain et al., 2006), yaitu: P + 3 (LU) + 2 (S) + 2 (ST) + G + LF .......................... (2) Keterangan: P : Curah Hujan; LU: Penggunaan Lahan; S : Lereng; ST: Jenis Tanah; G: Tipe Geologi; LF: Bentuklahan
Analisis data dilakukan dengan GIS yang terdiri dari 4 tahap, yaitu (1) tahap tumpangsusun data spasial, (2) tahap editing data atribut, (3) tahap analisis tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil analisis. Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode scoring. Setiap parameter penentu tingkat bahaya longsor diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan untuk menentukan tingkat bahaya banjir. Klasifikasi tingkat bahaya banjir berdasarkan jumlah skor parameter banjir. Skor penilaian setiap indikator tingkat bahaya banjir disajikan dalam Tabel 2. Analisis untuk menentukan tingkat bahaya banjir digunakan formula yang dikemukakan oleh Dibyosaputro (1999), yaitu:
I=
c−b k
Dimana: I : besar jarak interval kelas; c : jumlah skor tertinggi; b : jumlah skor terendah; k : jumlah kelas yang diinginkan
.............................. (3)
33
Dari persamaan di atas, maka besar julat untuk masing-masing kelas bahaya banjir adalah sebagai berikut:
I=
48 −10 4
.............................. (4)
Dimana: Jumlah skor terendah 10 ( b); Jumlah skor tertinggi 48 ( c ). Tabel 2. Hasil Perhitungan Interval Daerah Rawan Banjir (MAFF-Japan) Zona I II III IV
Interval 10 – 19,5 19,6 – 29 29,1 – 38,5 38,6 - 48
Tingkat Rawan Banjir Sangat Aman Aman Potensi Banjir Rawan Banjir
Sumber: Dibyosaputro, 1999 Setelah diperoleh distribusi tingkat bahaya banjir, dilakukan uji ketelitian dan verifikasi data melalui cross check ke lapangan. Uji ketelitian dan verifikasi data dimaksudkan untuk mencocokkan atau menguji kebenaran hasil interpretasi dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Dalam hal ini uji ketelitian mencakup beberapa kegiatan yaitu : 1. Memilih titik-titik pada peta yang akan digunakan untuk uji ketelitian, metode yang digunakan adalah purposive sampling dan stratified sampling. 2. Mencocokkan parameter hasil analisis penginderaan jauh dengan parameter yang ada di lapangan menggunakan alatalat survei seperti GPS dan kamera. 3. Wawancara dengan penduduk setempat untuk memperoleh keterangan mengenai banjir, meliputi: -
Peristiwa banjir (tahun terjadinya banjir)
-
Karakteristk banjir (periode ulang, lama genangan dan kedalaman genangan) Analisa terhadap peran stekholder dalam manajemen pengendalian dan
bencana banjir menggunakan analisa deskriptif. Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalis dengan menggunakan uji trianggulasi. Triangulasi data penelitian ini dilakukan saat observasi umum, terfokus dan terseleksi. Catatan lapangan diperoleh dikomunikasikan lagi kepada informan lainnya. Guna memenuhi kriteria triangulasi sumber, maka peneliti mengkonfirmasikan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, yang disampaikan didepan umum dengan data yang secara pribadi, data dari informan yang berusia lebih muda dengan informan yang lebih tua. Disamping itu triangulasi juga dilakukan
34
dengan teori yang relevan, teori yang dapat memberikan penjelasan terhadap temuan penelitian (Sugiyono, 2005). Selanjutnya, untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam manajemen pengendalian bencana banjir dianalisis menggunakan analisis kebijakan publik yaitu content analysis. Content Analysis adalah melakukan analisa terhadap isi dari peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pemerintah melalui dinas terkait (Dunn, 1989). Disamping itu, juga dilakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengidentifikasi kondisi bangunan-bangunan pengendalian banjir yang telah ada.
Tabel 3. Harkat Kriteria Tingkat Bahaya Lonsor MAFF-Japan No
Unit Model
1
Curah Hujan (mm/tahun)
2
Penggunaan Lahan (Tipe)
3
Lereng (%)
4
Jenis Tanah
5
Tipe Geologi
6
Bentuklahan
Kriteria 2.500-3.000 3.000-3.500 3.500-4.000 4.000-4.500 4.500-5.000 >5.000 Lahan Terbangun Sawah Kebun Campuran Semak Belukar Hutan Lahan Kosong 0-2 >2-15 15-40 >40 Alluvial Regosol Organosol Latosol Komplek Pedsolik Merah Kuning Andosol Aluvium Batuan Gunung Api Batuan Intrusi Batuan Metamorf Batu Kapur Formasi Palepat Formasi Painan Bura Pasir Dataran Aluvial Pantai Depresi Antar Beting Beting Gisik Kipas Aluvial Tanggul Alam Rawa Belakang Dataran Banjir Gosong Sungai Kipas Fluvial-Vulkanik Teras Aliran Piroklastik Perubahan Manusia*
Sumber: MAFF-Japan (Zain, 2002)
Skor 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 4 4 2 2 1 3 5 2 1 0 1 4 4 2 3 4 5 1 1 3 3 2 1 2 5 4 2 2 2 4 5 4 1 1 3
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1.
Kondisi Lingkungan Fisik Wilayah Penelitian
4.1.1. Letak, Luas dan Batas Secara geografis wilayah kota Padang berada antara 00º44’00”01º08’35”LS dan 100º05’05”-100º34’09” BT dengan luas wilayah 694,96 Km² dengan batas-batas sebagai berikut : •
Batas Utara : Kabupaten Padang Pariaman
•
Batas Selatan : Kabupaten Pesisir Selatan
•
Batas Timur : Selat Mentawai
•
Batas Barat : Kota Solok dan Kabupaten Solok
Kecamatan dengan rata-rata kepadatan penduduk tinggi yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara mempunyai topografi yang relatif landai, tidak terjal dan terdapat banyak fasilitas umum dan sosial, infrastruktur pendukung seperti infrastruktur jalan, sanitasi, drainase, listrik, telekomunikasi dan lain-lain, yang mendukung pertumbuhan perekonomian Kota Padang secara keseluruhan,
sedangkan
wilayah
dengan
kepadatan
penduduk
rendah
merupakan daerah dengan topografi berbukit-bukit, terjal dan minim infrastruktur pendukung. Daerah efektif kota Padang termasuk sungai adalah 205,007 km2 dan daerah bukit termasuk sungai adalah 486,209 km2.
4.1.2. Topografi Wilayah Kota Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan daratan yang landai dan perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar topografi wilayah Kota Padang memiliki tingkat kelerengan lahan rata-rata >40%. Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut juga bervariasi, mulai 0 m dpl sampai >1.000 m dpl. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0 – 2% umumnya terdapat di Kecamatan Padang Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan antara 2 – 15% tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang dan kawasan dengan kelerengan lahan 15% – 40% tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40% -
35
36
Gambar 7.
Peta Kelas Lereng Kota Padang
37
tersebar di bagian Timur Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian Selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk Begalung dan sebagian besar Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kawasan dengan kelerengan lahan >40% ini merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Tabel 4.
Topografi dan Ketinggian Wilayah Kota Padang
No
Kondisi Topografi
A.
Luas Ha
Persentase
Kelerengan Lahan 0 – 2% 3 – 15% 16 - 40% > 40%
B.
Datar Miring Curam Sangat Curam
Jumlah
16.379,82 5.510,93 13.219,48 34.385,77 69.496,00
23,57% 7,93% 19,02% 49,48% 100,00%
Jumlah
15.898,68 6.479,39 19.324,56 15.787,23 12.006,13 69.496,00
22,88% 9,32% 27,81% 22,72% 17,28% 100,00%
Ketinggian 0 – 25 m dpl 25 – 100 m dpl 100 – 500 m dpl 100 – 1.000 m dpl > 1.000 m dpl
Sumber BAPPEDA Kota Padang, Tahun 2009
4.1.3. Iklim Unsur-unsur utama penyusun iklim sama dengan penyusun cuaca yaitu temperatur dan curah hujan, sehingga untuk mengetahui tipe iklim suatu daerah perlu mengetahui karakteristik temperatur dan curah hujan. Tipe iklim di daerah studi digolongkan berdasarkan tipe iklim Schmidt Ferguson dan Koppen. a. Curah Hujan Data curah hujan yang digunakan dalam penentuan iklim diambil dari 9 stasiun hujan, yaitu Stasiun Tabing (+ 2 m dpl), Stasiun Kasang ( + 2 m dpl) Stasiun Komplek PU ( + 3 m dpl), Stasiun Simpang Alai ( + 5 m dpl), Stasiun Ladang Padi ( + 350 m dpl), Stasiun Batu Busuk (+ 130 m dpl), Stasiun Gunung Sarik ( + 100 m dpl) dan Stasiun Teluk Bayur ( + 2 m dpl). Data curah hujan bulanan untuk stasiun-stasiun tersebut disajikan pada Tabel 5.
38
Tabel 5. No
STASIUN
Curah Hujan Tahunan Kota Padang Tahun 1985 - 2007 BULAN Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Jumlah
1.
Tabing
312,32
289,66
308,83
308,06
242,38
239,97
297,14
352,47
390,22
459,13
519,23
446,74
2.
Gunung Sarik
274,3
189,65
211,5
300,2
249,4
246,8
259,7
327,8
321,4
415
435,4
361,1
3592,25
3.
Batu Busuk
220,95
179,9
236,7
369,6
286,2
243,6
249,5
326,8
360,7
390,4
482,6
394,9
3741,85
4.
Gunung Nago
287,2
141,9
226,2
308,4
234,7
253,1
304,6
313,9
393,8
367,9
451,2
393,1
3676
5.
Simpang Alai
291,3
233,95
244,05
331,2
283,8
281,6
296,4
281,5
295,6
389,25
436,6
347,8
3713,05
6.
Teluk Bayur
318,05
285,96
224,82
314,4
274,8
333,65
256,55
330,73
351,87
487,4
681,6
445,08
4304,91
7.
Ladang Padi
391,95
271,85
392
495,15
412,3
302,4
351,1
336,77
438,21
525,06
565,9
463,55
4946,24
8.
Komplek PU
199,49
170,66
218,05
301,75
165,03
146,31
143,62 251,765 306,25
432,9
376,4
216,5
2928,725
9.
Kasang
359,78
271,89
278
377,7
516,3
264,9
265,8
316,6
355,1
346,5
421,6
411,3
4185,47
Rata-Rata
295,04
226,16
260,02
345,16
296,10
256,93
269,38
315,37
357,02
423,73
485,61
386,67
3917,18
4166,15
Sumber :Hasil analis data penelitian, PSDA Sumatera Barat, Tahun 2009.
Pada Tabel 5, dapat diketahui curah hujan rerata bulanan selama 22 tahun (1985-2007) yaitu sebesar 3.917,18 mm/tahun. Untuk melihat rerata curah hujan di kota Padang digunakan cara isohyet. Cara menghitung secara isohyet menggunakan peta isohyet, yaitu peta dengan garis yang menghubungkan tempat-tempat dengan curah hujan yang sama besar (Subarkah, 1978). Gambaran secara spasial rerata curah hujan kota Padang disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambaran dari peta isohit, curah hujan di kota Padang ke arah timur dan selatan semakin tinggi. Daerah bagian timur dan selatan merupakan daerah perbukitan. Lereng bukit yang menghadap kearah lembah atau pantai merupakan daerah tangkapan hujan. Klasifikasi tipe curah hujan dari Schmidt dan Ferguson berdasarkan atas perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan rata-rata jumlah bulan kering yang disebut dengan nilai Q. Dengan melihat Tabel 5, dapat diketahui besar curah hujan bulan kering dan bulan basah. Dari data Tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa nilai Q adalah 0%, karena tidak adanya bulan kering dalam setahun. Oleh sebab itu tipe hujan Kota Padang dikategorikan sangat basah (A). b.
Temperatur Suhu udara Kota Padang sepanjang tahun 2008 berkisar 22,0ºC – 31,7ºC
dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 70% - 84%. Kondisi iklim kota Padang tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 6.
39
Gambar 8.
Peta Sebaran Curah Hujan Kota Padang
40
Tabel 6.
Kondisi Iklim Kota Padang Tahun 2008 Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hari)
Januari
776
Februari
296
Maret April
Suhu Udara (°C)
Kelembaban Udara
Kec. Angin (knots)
20
82%
5
30,8
23,6
26,6
17
70%
6
31,5
22,8
24,4
349
16
70%
6
31,7
23,1
27,0
413
20
82%
5
31,1
23,5
26,8
Mei
167
10
80%
5
31,6
24,0
27,5
Juni
394
10
82%
5
30,3
22,7
26,1
Juli
305
10
84%
5
29,8
22,0
25,8
Agustus
176
10
80%
6
29,7
22,4
26,3
September
344
13
80%
5
29,0
22,2
26,2
Oktober
579
13
83%
5
29,2
22,4
26,1
November
230
22
77%
5
29,6
22,5
26,4
Desember
591
23
81%
5
29,6
22,6
26,4
385
15
79,3%
5,25
30,3
22,8
26,3
BULAN
Rata-rata/bln
Maks.
Min.
Rata-rata
Sumber : BAPPEDA Kota Padang, Tahun 2009.
Berdasarkan data temperatur pada bulan terdingin lebih dari 18oC, dengan curah hujan di atas 1900 mm atau >20 (t+14). Dengan demikian tipe iklim di daerah studi menurut system Koppen termasuk tipe iklim A (iklim hujan tropika). Tipe iklim A terbagi lagi kedalam tipe iklim Af, Am dan Aw. Kota Padang termasuk kedalam tipe iklim Af karena curah hujan pada bulan terkering diatas 60 mm dan mengalami hujan sepanjang tahun. 4.1.4. Jenis Tanah Tanah merupakan parameter lahan yang menentukan terjadinya longsor. Jenis tanah di daerah penelitian yang berdasarkan Peta Tanah Kota Padang, skala 1:10.000 (BPN, 1998) dan survei lapangan, maka jenis tanah daerah penelitian umumnya didominasi oleh tanah Komplek Latosols Kuning Kemerahan dan Komplek Podzolik Merah Kekuningan. Selain itu juga terdapat jenis tanah Andosols, Asosiasi Aluvial Grey, Dark Grey Alluvial, dan Regosol Coklat. Kedalaman solum tanah daerah penelitian umumnya antara 34cm-96cm yang tergolong dangkal-dalam, tergantung dari kondisi kemiringan lereng yang menyusun lahan, tekstur umumnya lempung liat berpasir, dan nilai permeabilitas umumnya agak cepat-sangat cepat, hal ini menandakan lokasi penelitian umumnya sudah cukup kritis dan telah mengalami degradasi fisika tanah yang tinggi, terutama pada wilayah dengan kemiringan lereng >20% (Hermon, 2009). Gambaran secara spasial Jenis Tanah Kota Padang disajikan pada Gambar 9.
41
Gambar 9.
Peta Jenis Tanah Kota Padang
42
4.1.5. Geologi Berdasarkan peta Geologi lembar Padang (Kastowo dan Gerhard W. Leo, 1972) skala 1:250.000, satuan geologi daerah penelitian tergolong pada alluvium, material vulkanik tua, miocene limestone, pasir lanau, pasir lanau pasiran, pleistocene rombakan andesit, pleistocene vulkanik facies, pliocene rombakan andesit, dan pliocene vulkanik facies. Gambaran secara spasial Geologi Kota Padang disajikan pada Gambar 10. Geologi wilayah Kota Padang dibentuk oleh endapan permukaan, batuan vulkanik dan intrusi serta batuan sedimen dan metamorf. Secara garis besar jenis batuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Aliran yang tak teruraikan (Qtau) Merupakan batuan hasil gunung api yang tak teruraikan umumnya berupa lahar, konglomerat, breksi dan batu pasir yang bercampur menjadi satu. Batuan ini tersebar pada daerah yang merupakan daerah Bukit Barisan di wilayah Kota Padang dan sekitar Gunung Padang dan Bukit Air Manis. 2. Alluvium (Qal) Merupakan batuan yang umumnya terdiri dari lanau, lempung, pasir, kerikil, pasir lempungan, lempung pasiran. Penyebaran dari Utara ke Selatan di seluruh dataran rendah Kota Padang. 3. Kipas Alluvium (Qt) Merupakan batuan terdiri dari rombakan batuan andesit berupa bongkahbongkah yang berasal dari gunung api strato, bewarna abu-abu kehitaman, keras, komposisi mineral piroksen, homblende dan mineral hitam lainnya. Batuan ini tersebar di bagian bawah lereng-lereng pegunungan dan perbukitan sekitar Bukit Nago dan Limau Manis. 4. Tufa Kristal (QTt) Merupakan tufa kristal yang mengeras yang terlihat pada singkapan setempat-setempat di perbukitan di Bukit Air Manis, di Teluk Nibung dan dan Lubuk Begalung hingga ke perbukitan di Kelurahan Labuhan Tarok. 5. Andesit (Qta) dan Tufa (QTp) Merupakan batuan gunung berapi yang masih masif bewarna hitam keabu abuan hingga putih, andesit berselingan dengan tufa, terlihat pada singkapan setempat-setempat di Pegambiran, Tarantang dan perbukitan Air Dingin yang bersebelahan dengan batu gamping.
43
6. Batu Gamping (PTls) Berwarna putih hingga ke abu-abuan, terlihat pada singkapan di Indarung, sekitar Bukit Karang Putih. 7. Fillit, Batu Pasir, Batu Lanau Meta (PTps) Fillit bewarna hitam hingga abu kemerahan, batu pasir berwarna abu-abu kehijauan mengandung klorit keras dan berbutir halus, dan batu lanau bewarna hijau kehitaman. Batuan ini terlihat pada singkapan Koto Lalang (jalan ke arah Solok). Umumnya mendasari bukit-bukit dan pegunungan yang landai. Spasial jenis batuan dapat di lihat pada Tabel 7 dan Gambar 10. Tabel 7. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Batuan Wilayah Kota Padang JENIS BATUAN (LITOLOGI)
Aluvium Batuan Gunung Api Batuan Intrusi Batuan Metamorf Batu Kapur Formasi Palepat Formasi Painan KOTA PADANG
Luas (Ha)
Persentase
21.566,89 34.972,34 1.337,81 1.189,56 1.158,56 0,01 9.270,83
31,03% 50,32% 1,93% 1,71% 1,67% 0,00% 13,34%
69.496,00
100,00%
Sumber : Hasil Perhitungan Aplikasi ArcView, Tahun 2010
Secara umum daya dukung batuan tersebut di atas bervariasi dari rendah sampai tinggi. Daya dukung masing-masing jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 8, sebagai berikut. Tabel 8. No
Simbol
1.
Qtau
2.
Qal
3.
Qt
4.
QTt
5. 6.
Qta dan QTp PTls
7.
PTps
Jenis Batuan Dan Daya Dukung Jenis Batuan
Daya Dukung
Kpa
Aliran yang tak teruraikan ; jenis batuan vulkanik yang tak dipisah aliran lahar, konglomerat dan endapan koluvium Alluvium; terdiri dari lempung, pasir, kerikil, pasir dan bongkahan Kipas alluvium; terdiri rombakan batuan andesit berupa bongkahan dari gunung api Tufa Kristal; Jenis batuan tufa basal, tufa abu, lapili, tufa basal berkaca, dan pecahan lava . Andesit dan Tufa
rendah
75-200 Kpa
rendah - sedang
100-200 Kpa
sedang - tinggi
75-600 Kpa
sedang - tinggi
600-1000 Kpa
sedang - tinggi
600-1000 Kpa
sedang - tinggi
1000-4000 Kpa
sedang
600-1000 Kpa
Batu Gamping; dari lunak sampai keras
Fillit, kwarsit, batu lanau meta. Lokasi terlihat pada singkapan sekitar Koto Lalang jalan ke arah Solok yang mendasari bukit-bukit dan pegunungan yang landai Sumber : Bappeda Kota Padang, 2009
44
.
Gambar 10. Peta Geologi Kota Padang
45
4.1.6. Karakteristik Geomorfologi Lokasi Penelitian Berdasarkan interpretasi foto udara, analisis data sekunder (Karim, 1997) dan pengujian lapangan di lokasi penelitian di identifikasi adanya 14 satuan bentuk lahan (menurut klasifikasi ITC, Verstaven 1983). Ke-14 satuan bentuklahan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok bentuklahan daratan dan perbukitan. Kelompok bentuklahan daratan yaitu marin dan fluvial. Satuan bentuklahan yang termasuk kedalam bentuklahan marin terdiri dari bura pasir, dataran alluvial pantai, depresi antar beting, beting gisik, dan bentuklahan fluvial terdiri dari kipas aluvial, tanggul alam, rawa belakang, dataran banjir dan gosong sungai. Kelompok bentuklahan perbukitan ada dua jenis yaitu bentuklahan vulkanik dan bentuklahan solusional.
Satuan bentuklahan yang termasuk
kedalam bentuklahan vulkanik terdiri dari kipas fluvio-vulkanik, teras aliran piroklastik dan perbukitan vulkanik. Selanjutnya satuan bentuklahan komplek perbukitan karst termasuk kedalam bentuklahan solusional. Ke-14 satuan bentuk lahan tersebut dan distribusinya secara spasial, disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 11. Tabel 9. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Karakteristik Geomorfologi Kota Padang JENIS BENTUKLAHAN
Luas (Ha)
Persentase
Bura Pasir Dataran Aluvial Pantai Depresi Antar Beting Beting Gisik Kipas Aluvial Tanggul Alam Rawa Belakang Dataran Banjir Gosong Sungai Kipas Fluvial-Vulkanik Teras Aliran Piroklastik Perbukitan Karst Pegunungan Volkan Perbukitan Vulkanik Perubahan Manusia*
943,48 1386,94 738,65 509,39 1776,73 2643,53 4160,82 684,30 363,54 6313,72 1877,07 1029,94 45483,44 743,13 841,32
1,36 2,00 1,06 0,73 2,56 3,80 5,99 0,98 0,52 9,09 2,70 1,48 65,45 1,07 1,21
KOTA PADANG
69496,00
100,00
Sumber: Bappeda Kota Padang, 2009 *) Bentuklahan alami tidak terlihat, karena telah ada campur tangan manusia.
46
Gambar 11. Peta Geomorfologi Kota Padang
47
4.1.7. Karakteristik Perairan Laut Karakteristik perairan Kota Padang dapat ditinjau dari beberapa faktor berikut : a. Pasang Surut Tipe pasang surut di wilayah perairan Kota Padang termasuk dalam pasang surut campuran yang didominasi tipe ganda dimana pada daerah ini terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari. Tipe ini dipengaruhi oleh kondisi kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. b. Cuaca dan Arus Musiman Iklim perairan pesisir Kota Padang dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan dengan adanya Angin Muson dan curah hujan yang tinggi sekitar 2.816,7 – 4.487,9 mm per tahun. Angin yang berhembus didominasi oleh angin Barat, Barat Daya, Barat Laut dengan kecepatan 1,6 - 5,6 knot bahkan kadang-kadang mencapai 5 – 40 knot. Dipengaruhi oleh angin musim maka arus permukaan di wilayah perairan Kota Padang sepanjang tahun mengalir ke arah Tenggara hingga Barat Daya (Musim Barat) dengan kekuatan arus antara 1 – 45 cm/detik. Kecepatan arus mencapai puncaknya bulan Desember. Perairan Kota Padang juga terjadi arus pantai yang diakibatkan oleh gelombang. Arus ini berpengaruh terhadap abrasi dan sedimentasi pantai. Tinggi gelombang yang terjadi berkisar antara 0,5 – 2,0 meter. c. Abrasi dan Sedimentasi Proses abrasi dan sedimentasi yang terjadi di wilayah pantai Kota Padang dipengaruhi oleh musim. Abrasi yang terjadi di pantai Kota Padang terutama di Purus, Ulak Karang, Air Tawar umumnya terjadi pada awal musim Barat yaitu November - Maret dan pada akhir musim Timur yaitu pada bulan September dan Oktober. Hal ini disebabkan terjadinya gelombang yang relatif besar. Pada saat tersebut pada lokasi di bagian Utara Kota Padang yang berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman terjadi proses sedimentasi. 4.1.8. Hidrologi a. Kondisi Air Permukaan Keadaan hidrologi lokasi penelitian meliputi air permukaan, berupa aliranaliran sungai dan air tanah dangkal. Sungai-sungai di lokasi penelitian tergolong pada sungai-sungai yang bermuara ke pantai barat pulau Sumatera dan mempunyai hulu DAS umumnya pada lereng barat Bukit Barisan. Terdapat 21
48
sungai/batang dengan lebar antara 6-60 m dan panjang antara 0,4-20 km. 21 sungai tersebut sebagian besar tergabung kedalam 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Air Dingin, DAS Kuranji, DAS Arau dan DAS Anai-Kasang. Karakteristik sungai di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nama Sungai, Panjang/Lebar dan Daerah yang Dilalui di Wilayah Kota Padang
1
Batang Kuranji
17
Lebar max (m) 30
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Batang Belimbing Batang Guo Batang Arau Batang Muaro Sungai Banjir Kanal Batang Logam Batang Kandis Sungai Tarung Batang Dagang Sungai Gayo Sungai Padang Aru Sungai Padang Idas Batang Kp. Juar Batang Aru Batang Akyu Aro Sungai Timbalun Sunagi Sarasah Sungai Pisang Bandar Jati Sungai Koto
5 5 5 0,4 5,5 15 20 12 3 5 4 2 6 5 3 2 3 2 2 -
5 5 60 24 60 25 20 12 11 12 8 6 30 30 15 8 7 6 6 -
No
Nama Sungai /Batang
Panjang (km)
Kecamatan yang Dilalui Kec. Pauh, Kuranji, Nanggalo, Padang Utara Kecamatan Kuranji Kecamatan Kuranji Kecamatan Padang Selatan Kecamatan Padang Utara Kecamatan Padang Timur dan Utara Kecamatan Koto Tangah Kecamatan Koto Tangah Kecamatan Koto Tangah Kecamatan Nanggalo Kecamatan Pauh Kecamatan Lubuk Kilangan Kecamatan Lubuk Kilangan Kecamatan Lubuk Begalung Kecamatan Lubuk Begalung Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kecamatan Padang Timur
Sumber: RTRW Kota Padang 2008-2025, Bappeda Kota Padang, 2009
Karakteristik sungai di lokasi penelitian adalah sungai permanen, yaitu sungai yang selalu mengaliri air sepanjang tahun. b. Kondisi Airtanah Bebas Air tanah bebas di daerah penelitian ditemukan secara meluas di setiap satuan bentuklahan dan masih digunakan untuk kebutuhan domestik. Data ini ditemukan dari sumur gali milik penduduk. Ketersediaan airtanah bebas sangat tergantung pada besarnya curah hujan dan kondisi permukaan, yaitu bentuklahan, jenis dan sifat batuan dan luas penutup lahan atau vegetasi. Menurut sifat dan jenis fisik batuan, daerah yang mempunyai potensi air tanah
49
bebas tinggi adalah pada daerah dengan batuan yang mempunyai derajat kelulusan tinggi. Berdasarkan Karim (1997) permukaan air tanah bebas di kota Padang, sebagian besar mempunyai pergerakan yang tinggi, terutama pada tanah yang berpasir di daerah pantai dan rawa. Kedalaman muka airtanah bebas didekat pantai antara 0,5 m sampai 1 m di bawah permukaan tanah. Terutama di sekitar daerah Tabing, Air Tawar, Padang Sarai, Ulak Karang dan Rawang. Kemudian di daerah Siteba, Gunung Pangilun, Air Pacah, Tunggul Hitam dan Kayu Kalek, kedalaman permukaan airtanah bebas berkisar antara 2-5 m di bawah permukaan tanah. Bagian timur Kota Padang kondisi airtanah bebas cukup dalam, di daerah Indarung kedalaman airtanah bebas berkisar 6-8 m, di Limau Manis berkisar antara 7-9 m, di Cengkeh 4-5 m dan di daerah Lubuk Minturun kedalaman airtanah bebas berkisar antara 6-8 m. c. Kondisi Saluran Drainase Sistem jaringan drainase Kota Padang terdiri dari jaringan drainase mayor dan minor, dengan total panjang jaringan drainase mayor 124.000 meter. Terdiri dari sungai-sungai besar yang bermuara ke Samudera Hindia. Jaringan drainase mayor di Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jaringan Drainase Mayor Di Kota Padang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
DRAINASE Batang Logam Batang Kandis Batang Tarung Sungai Lareh Batang Kuranji Batang Guo Batang Muaro Banjir Kanal Batang Arau Batang Jirak Sungai Gayo Sungai Padang Aru Sungai Padang Idas Batang Kampung Jua Batang Aru Batang Kayu Aro Sungai Timbalun Sungai Sarasah Sungai Pisang Kota Padang
Panjang (m) 15.000 20.000 12.000 5.000 17.000 5.000 400 5.500 5.000 6.000 5.000 5.000 2.500 6.000 5.000 3.000 2.000 3.000 2.000
Lebar Maksimal (m) 25 20 12 11 60 5 24 60 60 30 12 30 6 30 30 15 8 7 6
124.000
Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat, 2008
50
Sistem jaringan drainase mikro terdiri dari 19 areal drainase dengan luas cakupan 3.986 Ha, yang keseluruhannya mengalir ke arah sungai-sungai besar. Kondisi jaringan mikro sebagian kurang terawat dengan baik, yang menyebabkan sebagian fungsinya belum optimal. Di samping itu perubahan tata guna lahan di luar kawasan pusat kota yang tidak didukung perencanaan drainase yang terintegrasi dengan jaringan yang telah ada, ikut
menyebabkan menurunnya
tingkat pelayanan jaringan drainase yang ada di wilayah Kota Padang. Karakteristik jaringan drainase mikro disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Areal Tangkapan Drainase Kota Padang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
AREAL DRAINASE Air Pacah Pasir Putih Tabing Bandara Baung Panjalinan Siteba Sawah Liat Kandis Lapai Ulak Karang Lolong Alai Purus Jati Ujung Gurun Aur Duri Olo Nipah Kali Mati Rawang Barat Kota Padang
Luas Wilyah Tangkapan (Ha) 426 60 307 352 291 128 174 85 164 223 304 136 120 322 303 271 197 50 73
Badan Penerima Batang Balimbing Batang Air Dingin Batang Tabing Batang Balimbing Baung Panjalinan Pond Batang Balimbing Batang Kuranji Batang Kuranji Batang Kuranji Batang Kuranji Saluran Lolong Banjir Kanal Banjir Kanal Batang Arau Banjir Kanal Batang Arau Batang Arau Batang Arau Batang Jirak
3.986
Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat, 2008
4.1.9. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan yang dipergunakan dalam penelitian ini berdasarkan peta penggunaan lahan Kota Padang tahun 2007 yang diterbitkan BAPPEDA Kota Padang, meliputi, pemukiman, perkantoran dan lahan terbangun, eks bandara Tabing, pelabuhan, kebun ladang, sawah, lahan kosong, semak belukar, betinggisik, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan, jalan, dan TPA Air Dingin. Luas masing-masing bentuk lahan tersebut disajikan dalam Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, penggunaan lahan adalah lahan Hutan 48.141,96 ha atau 69,27 % dari luas wilayah kota Padang. Lahan hutan menutupi sebagian besar wilayah timur dan selatan kota Padang, yang tersebar di kecamatan Koto Tangah, kecamatan Kuranji, kecamatan Pauh, kecamatan Lubuk Kilangan, dan
51
kecamatan Bungus Teluk Kabung. Penggunaan lahan pemukiman dan lahan terbangun lainnya, merupakan penggunaan lahan terbesar kedua setelah hutan. Lahan terbangun di Kota Padang memiliki luas sebesar 10.580,51 ha. Persebaran wilayah pemukiman dan lahan terbangun adalah di sepanjang pantai, sepanjang aliran sungai dan sepanjang jaringan jalan utama kota Padang. Daerah persawahan menduduki tempat ketiga, dengan luas lahan 6.616,69 ha. Daerah persawahan sebagian besar berada di kecamatan Koto Tangah, kecamatan Lubuk Begalung, kecamatan Lubuk Kilangan dan kecamatan Bungus Teluk Kabung. Tabel 13. Luas Penggunaan Lahan Kota Padang Tahun 2007 No
Jenis Penggunaan Lahan
1 Permukiman, Perkantoran dan Lahan Terbangun Lainnya 2 Eks Bandara Tabing 3 Pelabuhan 4 Kebun 5 Ladang 6 Sawah 7 Lahan Kosong 8 Semak/Belukar 9 Betinggisik 10 Hutan Lindung 11 Hutan Suaka Alam Wisata 12 Hutan 13 Jalan (Kota dan Nasional) 14 TPA Air Dingin TOTAL
Luas (Ha)
Persentase
10.580,51 145,97 162,44 2.232,82 321,29 6.616,69 354,39 419,18 52,14 11.518,20 25.685,74 10.938,02 438,28 30,30
15,22% 0,21% 0,23% 3,21% 0,46% 9,52% 0,51% 0,60% 0,08% 16,57% 36,96% 15,74% 0,63% 0,04%
69.496,00
100,00%
Sumber : BAPPEDA Kota Padang 2009.
4.2.
Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Wilayah Penelitian
4.2.1. Kependudukan a. Jumlah dan sebaran penduduk Penduduk Kota Padang terkonsentrasi pada beberapa kecamatan yang merupakan “kawasan kota lama”, yakni di Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Utara, dan Kecamatan Nanggalo. Kecamatan yang menunjukkan kecenderungan penambahan jumlah penduduk cukup signifikan dalam 13 tahun terakhir adalah Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung, dan Kecamatan Kuranji.
52
Tabel 14. Sebaran Penduduk Kota Padang Tahun 1994 Dan Tahun 2007 No
Kecamatan
Luas (Km²)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Kota Padang
100,78 85,99 30,91 10,03 8,15 7,00 8,08 8,07 57,41 146,29 232,25 694,96
Jumlah Penduduk (Jiwa) 1994 20.311 34.163 88.563 59.969 77.253 72.626 73.602 54.681 78.477 42.369 104.731 706.745
2007 23.592 42.585 104.323 61.967 85.279 60.102 74.667 57.523 117.694 52.502 157.956 838.190
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km²) 1994 2007 201,54 234,09 397,29 495,23 2.865,19 3375,06 5.978,96 6178,17 9.478,90 10463,68 10.375,14 8586,00 9.109,16 9240,97 6.775,84 7128,00 1.366,96 2050,06 289,62 358,89 450,94 680,11 1.016,96 1206,10
Sumber : BAPPEDA Kota Padang dan BPS Kota Padang
b. Perkembangan Dan Laju Pertumbuhan Jumlah Penduduk Perkembangan jumlah penduduk Kota Padang dalam 13 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan pertambahan yang tidak terlalu signifikan. Pada tahun 1994 penduduk Kota Padang tercatat sebanyak 706.745 jiwa, dan pada tahun 2007 bertambah menjadi 838.190 jiwa. Jadi dalam kurun waktu 1994 2007, jumlah penduduk Kota Padang bertambah sebanyak 131.445 jiwa atau 18,6 %, atau rata-rata tumbuh sekitar 1,43 % per tahun. Lebih jelasnya perkembangan jumlah penduduk Kota Padang tahun 1994 – 2007 dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 12. Tabel 15. Perkembangan Jumlah Penduduk Dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Padang Tahun 1994 – 2007 TAHUN
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
JUMLAH PENDUDUK (Jiwa)
703.893 723.321 743.285 763.799 784.849 786.011 713.242 720.753 734.421 765.450 784.740 801.344 819.740 838.190
Rata-rata
LAJU PERTUMBUHAN TAHUNAN
LAJU PERTUMBUHAN RATA-RATA
2,76% 2,76% 2,76% 2,76% 2,76% 0,15% -9,26% 1,05% 1,90% 4,22% 2,52% 2,12% 2,30% 2,25%
1,95%
KETERANGAN
Sensus Penduduk 2000
2,31%
Sumber : Padang Dalam Angka Tahun 1994 - 2007, BPS Kota Padang
53
Jumlah Penduduk (Jiwa)
850.000
800.000
750.000
700.000
SP 2000 650.000
600.000
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
TA HUN
Gambar 12. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1994 - 2007 Berdasarkan gambar 12 terlihat adanya penurunan jumlah penduduk pada sensus penduduk tahun 2000. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan metode perhitungan jumlah penduduk sebelum dilakukan sensus tahun 2002 (BPS Kota Padang, 2009)
4.2.2. Sarana Perkotaan Sarana perkotaan di Kota Padang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu : sarana hunian/rumah, sarana sosial budaya dan sarana perekonomian. Ketiga sarana perkotaan tersebut saling terkait untuk menunjang keberlangsungan aktifitas kota dalam memberikan pelayanan kepada penduduk untuk melakukan aktifitasnya di wilayah Kota Padang. Sarana sosial budaya adalah sarana yang dimaksudkan untuk mendukung berlangsungnya aktifitas sosial dan budaya penduduk dengan baik, lancar, mudah dan murah. Penyediaan sarana sosial budaya dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta dan penduduk kota itu sendiri sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan masyarakat untuk kelancaran aktifitas mereka dan untuk pengembangan kota secara keseluruhan.
54
Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2007 jumlah sarana hunian/rumah di wilayah Kota Padang sebanyak 175.409 unit. Sebagian besar bangunan hunian/rumah adalah bangunan permanen (80,37%). Lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah Sarana Hunian/Rumah Di Kota Padang Tahun 2007 No.
Kecamatan
Jumlah Rumah (Unit)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bungus Tl. Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Kota Padang
4.348 9.470 19.199 11.186 18.660 10.997 12.052 10.596 27.298 11.253 40.350
Permanen (Unit)
(%)
3.290 8.235 16.760 8.667 15.595 9.011 10.606 8.582 22.222 9.339 28.661
75,67% 86,96% 87,30% 77,48% 83,57% 81,94% 88,00% 80,99% 81,41% 82,99% 71,03%
175.409 140.968 80,37%
Semi Permanen Non Permanen (Unit)
632 1.063 1.768 1.750 2.988 1.854 1.391 1.665 3.753 1.488 9.240
(%)
(Unit)
(%)
14,54% 11,22% 9,21% 15,64% 16,01% 16,86% 11,54% 15,71% 13,75% 13,22% 22,90%
426 172 671 769 77 132 55 349 1.323 426 2.449
9,80% 1,82% 3,49% 6,87% 0,41% 1,20% 0,46% 3,29% 4,85% 3,79% 6,07%
27.592 15,73%
6.849
3,90%
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, 2008
Dilihat dari sebarannya, jumlah bangunan rumah paling banyak terdapat di Kecamatan Koto Tangah (40.350 unit), dan yang paling sedikit di Kecamatan Bungus Teluk Kabung (4.348 unit).
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.
Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun di Kota Padang Urbanisasi ditandai dengan adanya gerakan penduduk yang berpindah
dan menetap dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Dengan adanya perpindahan tersebut daerah perkotaan akan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk akan ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan perumahan dan sarana-prasarana penunjang bagi masyarakat lainnya (lahan-lahan terbangun). Berdasarkan hal tersebut, didalam peneliitian ini kegiatan urbanisasi akan menimbulkan adanya perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun. Secara bersamaan tutupan lahan terbangun dan jumlah
penduduk
akan
memperlihatkan
bagaimana
arah
pemencaran
perkembangan wilayah Kota Padang. 5.1.1. Perubahan tutupan lahan terbangun kota Padang tahun 1994 dan 2006 Perkembangan tutupan lahan terbangun selalu mengikuti perkembangan jumlah penduduk. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 1994 dan tahun
2006
didapatkan
informasi
penggunaan
lahan
aktual.
Informasi
penggunaan lahan dalam bentuk spasial dapat menggambarkan komposisi atau konfigurasi kondisi penggunaan lahan di suatu lokasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat TM tahun 1994, struktur tutupan lahan kota Padang tahun 1994 didominasi oleh penggunaan lahan hutan sebesar 71,07 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : badan air/sawah 11,22 %, lahan terbangun 10,52 %, kebun campuran 5,13 %, semak belukar 1,39 %, dan lahan kosong 0,67 %. Sementara itu, berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat ETM tahun 2007, struktur penggunaan lahan masih didominasi oleh hutan sebesar sebesar 70,09 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : lahan terbangun 15,73 %, kebun campuran 3,30 %, semak belukar 0,67 %, sawah 9,51 %, dan lahan kosong 0,71 %. Struktur penggunaan lahan tahun 1994 dan tahun 2007 disajikan pada Tabel 17, dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tutupan lahan terbangun mengalami perluasan sebesar 3.617,90 ha antara tahun 1994 – 2007. Laju pertumbuhan rata-rata tutupan lahan terbangun antara tahun 1994 – 2007 adalah yang tertinggi dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya, yakni sebesar 3,81%. Sedangkan tutupan lahan kebun campuran mengalami pengurangan terbesar yaitu seluas 1.296,33 ha.
55
56
Tabel 17. Struktur Tutupan Lahan di Kota Padang Tahun 1994 dan 2007 Penggunaan Lahan Hutan Kebun Campuran Lahan Terbangun Semak Belukar Lahan Kosong Badan Air/Sawah
Tahun 1994 Luas % (Ha) 49392,91 71,07 3589,05 5,16 7316,83 10,53 938,56 1,35 463,89 0,67 7794,76 11,22
Tahun 2007 Luas % (Ha) 48711,12 70,09 2292,72 3,30 10929,63 15,73 464,00 0,67 490,07 0,71 6608,46 9,51
69496,00 100,00 69496,00 Jumlah Sumber: Hasil analisis data penelitian, 2010
Perubahan Luas % (Ha) -681,79 -0,002 -1296,33 -0,052 3612,80 0,071 -474,56 -0,073 26,18 0,008 -1186,30 -0,022
Laju Perubahan Rata-rata -0,11 -2,73 3,80 -4,14 0,43 -1,17
100,00
Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di kota Padang berdasarkan hasil interpretasi citra mengalami peningkatan antara tahun 1994 – 2007. Perubahan lahan terbangun pada umumnya berasal dari tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran. Setelah dilakukan pemeriksaan ke lapangan lahan tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran sangat luas di daerah yang berada pada kemiringan 0-2%, yang sebagian besar berada di kecamatan Koto Tangah. Perubahan tutupan lahan tersebut sejalan dengan pernyataan Rustiadi (2001) bahwa proses alih fungsi lahan umumnya berlangsung dari aktivitas dengan economic land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan economic land rent yang lebih tinggi. Penggunaan lahan sebagai kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, pertokoan, dan fasilitas-fasilitas yang berbentuk bangunan lainnya) memiliki nilai economic land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu penggunaan lahan sebagai lahan terbangun akan terus meningkat luasannya. Sebaliknya penggunaan lahan hutan, sawah dan semak belukar akan terus menurun. Dengan demikian secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang semakin menurun padahal dilain pihak permintaan akan sumberdaya terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita.
57
Gambar 13. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 1994
58
Gambar 14. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 2007
59
Tabel 18. Matrik Perubahan Tutupan Lahan dari antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 2007
Hutan
1 9 9 4
Hutan
Kebun Campuran
Lahan Kosong
Lahan Terbangun
Sawah
Semak
48711,12
532,77
18,06
106,14
21,15
3,68
Kebun Campuran Lahan Kosong Lahan Terbangun
0
1637,13
1,93
1895,23
54,77
0
0
0
463,89
0
0
0
0
0
0
7316,83
0
0
Sawah
0
0
0
1279,31
6515,44
0
Semak
0
122,83
6,19
332,12
17,10
460,31
Sumber : Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010)
Tabel 19. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Lahan Terbangun di Kota Padang antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 Perubahan Lahan Hutan menjadi Terbangun
Bgs
L.Kl
Kecamatan L.Bg P.Sl P.Tm P.Br P.Ut
Ngl
Krj
Pauh
Kt.T
1,41
11,93
17,55
2,78
0,00
0,00
0,00
0,00
3.19
23,79
48,68
6,85
1,61
58,82
26,73
183,35
Semak menjadi Terbangun
0,00
11,72
14,04
2,16
11,52
15,32
Kebun menjadi Terbangun
38,24
97,11 164,36 40,22 81,39
5,86
18,85
60,41 445,30 110,58 742,91
Sawah menjadi Terbangun
27,92
77,74 162,79 5,37 103,83 1,31
10,43
31,89 348,37 104,42 495,24
67,57
198,50 351,55 49,98 199,26 9,33
40,80 107,62 852,49 265,52 1470,18
Jumlah
Sumber
: Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010)
Keterangan: Bgs (Bungus Teluk Kabung); L.Kl (Lubuk Kilangan); L.Bg (Lubuk Begalung);P.Sl (Padang Selatan); P.Tm (Padang Timur); P.Br (Padang Barat) P.Ut (Padang Utara); Ngl (Nanggalo); Krj (Kuranji); Pauh (Pauh); Kt.T (Koto Tangah)
Gambar 15. Diagram Jumlah Perubahan Tutupan Lahan menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 - 2007
60
Kecamatan Koto Tangah mengalami perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun terbesar yaitu seluas 1.470,18 ha. Tutupan lahan kebun campuran merupakan lahan yang paling tinggi mengalami perubahan menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 742,91 ha, disusul secara berurutan oleh tutupan lahan sawah (495,24 ha), semak belukar (183,35) dan hutan (48,68 ha). Sedangkan kecamatan Padang Barat merupakan kecamatan paling rendah terjadi perubahan tutupan lahan, hanya seluas 9,33 ha daerah ini mengalami perubahan tutupan lahan menjadi lahan terbangun. 5.1.2. Pola Pemencaran kota Padang. Luas lahan terbangun di Kota Padang mengalami peningkatan 5,20 % dari persentase luas lahan terbangun antara tahun 1994 sampai tahun 2007, dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 3,80 %. Perluasan lahan terbangun paling besar adalah di kecamatan Koto Tangah, sebesar 40,69 % dan yang paling kecil pada kecamatan Padang Barat, sebesar 0,26 %. Namun dalam pertumbuhan jumlah penduduk kecamatan Padang Barat mengalami penurunan jumlah penduduk yang cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan lain yaitu sebesar -9,53 % dari peningkatan jumlah penduduk kota Padang secara keseluruhan antara tahun 1994 – 2007. Sedangkan di kecamatan Koto Tangah pertumbuhan luas lahan terbangun berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dengan penambahan julmlah penduduk sebesar 40,49 % dan perluasaan luas lahan terbangun sebesar 40,69 % dari total pertambahan jumlah penduduk dan perluasan lahan terbangun kota Padang. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk paling tinggi berada pada kecamatan Koto Tangah, sebesar 3,91 % dan yang paling rendah di kecamatan Padang Barat dengan 1,34 %. Secara keseluruhan laju perluasan lahan terbangun dan laju pertumbuhan kota padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007 disajikan pada Tabel 20.
61
Tabel 20. Perbandingan perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan jumlah penduduk antara tahun 1994 sampai tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan
Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Jumlah
Perluasan lahan terbangun Luas (ha) % 67,57 1,87 198,50 5,49 351,55 9,73 49,98 1,38 199,26 5,52 9,33 0,26 40,80 1,13 107,62 2,98 852,49 23,60 265,52 7,35 1.470,18 40,69 3.612,80
100,00
Pertumbuhan penduduk Jiwa % 3.281 2,50 8.422 6,41 15.760 11,99 1.998 1,52 8.026 6,11 -12.524 -9,53 1.065 0,81 2.842 2,16 39.217 29,84 10.133 7,71 53.225 40,49 131.445
100,00
Sumber: Hasil analisa data, 2010
Berdasarkan data Tabel 20, terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sebagian besar kecamatan di Kota Padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007, kecuali di kecamatan Padang Barat (mengalami pengurangan jumlah penduduk). Kecamatan yang mengalami peningkatan paling tinggi adalah kecamatan Koto Tangah sebesar 40,49%, dan kecamatan Padang Utara mengalami peningkatan jumlah paling kecil yaitu sebesar 0,81%. Sementara itu, kecamatan Padang Barat mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu sebesar -9,53%. Kecamatan Padang Barat merupakan pusat kota dari Kota Padang, karena sebagian besar pusat pemerintahan dan pusat ekonomi berada di kecamatan ini. Penurunan jumlah penduduk di kecamatan Padang Barat disebabkan karena faktor perkembangan kota. Penurunan jumlah penduduk pada kecamatan Padang Barat lebih banyak disebabkan karena semakin
tumbuhnya
pusat-pusat
pemerintahan
dan
ekonomi.
Hal
ini
menimbulkan peningkatan nilai tanah dan sewa lahan, sehingga di daerah ini lebih
diminanti
sebagai
tempat
perniagaan.
Sedangkan
untuk
tempat
pemukiman, masyarakat mencari daerah-daerah pinggir kota yang belum padat dan nilai sewa lahannya pun relatif lebih murah. Namun penurunan jumlah penduduk yang sangat tinggi tersebut juga akibat adanya permasalahan pada proses pendataan jumlah penduduk (sensus penduduk tahun 2000). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan metode perhitungan jumlah penduduk ketika itu.
62
Persentase Perubahan Tutupan Lahan Terbangun dan Peningkatan Jumlah Penduduk Kota Padang Per-kecamatan 50,00
40,00
Persentase
30,00
20,00
terbangun penduduk
10,00
0,00 Bungus Teluk Kabung
Lubuk Kilangan
Lubuk Begalung
Padang Selatan
Padang Timur
Padang Barat
Padang Utara
Nanggalo
Kuranji
Pauh
Koto Tangah
-10,00
Kecamatan
Gambar 16. Grafik persentase perubahan tutupan lahan terbangun dan peningkatan jumlah penduduk Kota Padang per-kecamatan antara tahun 1994 – 2007 Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk di kota Padang begerak kearah pinggir kota, yaitu kebagian utara Kota Padang. Hal ini terlihat dari persentase perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk, kecamatan Koto Tangah lebih dari 40 % pertumbuhan penduduk maupun perluasan lahan terbangun. Sementara itu, kecamatan Kuranji hampir 30 %, sedangkan pada kecamatan lainnya tidak mencapai 10 % (perluasan lahan terbangun) dan dibawah 12 % pada pertumbuhan penduduk. Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk menyebabkan pertumbuhan jumlah sarana hunian, data jumlah sarana hunian/rumah dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah Sarana Hunian/Rumah dan Kepadatan Penduduk Di Kota Padang Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan
Luas 2 (km )
Jumlah Luas Lahan Jumlah Kepadatan Jumlah Rumah Terbangun penduduk Penduduk Penduduk 2 (Unit) (ha) /rumah (jiwa/km ) 292,68 234,09 4.348 23.592 5,43 696,69 495,23 9.470 42.585 4,50 996,88 104.323 3375,06 19.199 5,43 484,26 6178,17 11.186 61.967 5,54 719,01 10463,68 18.660 85.279 4,57 541,46 8586,00 10.997 60.102 5,47 741,38 9240,97 12.052 74.667 6,20 569,21 7128,00 10.596 57.523 5,43 1.606,11 117.694 2050,06 27.298 4,31 895,99 358,89 11.253 52.502 4,67 3.385,98 157.956 680,11 40.350 3,91
Bungus Tl. Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah
100,78 85,99 30,91 10,03 8,15 7,00 8,08 8,07 57,41 146,29 232,25
Kota Padang
649,96 175.409
10.929,64
838.190
Sumber : Hasil Analisa Data dan BPS Kota Padang, 2010
55,45
1206,10
63
Berdasarkan luas lahan terbangun dan jumlah penduduk setiap kecamatan di kota Padang tahun 2007 terlihat bahwa kepadatan paling tinggi adalah di kecamatan Padang selatan yaitu 127,96 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan paling kecil adalah di kecamatan Koto Tangah yaitu 46,65 jiwa/km2. sementara itu kepadatan di kecamatan Lubuk Begalung, Padang Utara, Padang Timur, Padang Barat dan kecamatan Nanggalo memiliki kepadatan penduduk lebih dari 100 jiwa per kilometer persegi. Walaupun kepadatan penduduk di kecamatan Koto Tangah merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan kecamatan lain, namun dari segi jumlah rumah/hunian di kecamatan ini memiliki jumlah yang paling tinggi dibanding dengan kecamatan lain yaitu sebanyak 40.350 rumah. Sebanyak 28.661 rumah merupakan rumah dengan tipe permanen, 9.240 rumah adalah tipe semi permanen dan 2.449 rumah lainnya adalah bangunan tipe non permanen. Sebagian besar bangunan rumah atau hunian tipe permanen di kecamatan Koto Tangah merupakan perumahan-perumahan baru yang dibangun secara masal seperti perumnas atau perumahan KPR-BTN yang sengaja di peruntukan untuk dihuni oleh keluarga-keluarga dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Hal ini sejalan dengan program pemerintah daerah untuk mengantisipasi kepadatan penduduk di pusat kota. 5.2.
Karakteristik Banjir dan Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang Proses terjadinya banjir pada daerah-daerah yang memiliki kondisi
topografi datar dan berada di tepi pantai memiliki resiko yang tinggi terhadap bencana banjir, baik itu banjir kiriman, banjir genangan maupun banjir akibat pasang air laut. 5.2.1. Karakteristik Peristiwa Banjir Kota Padang Besar kecilnya banjir disuatu daerah sangat ditentukan oleh sebab dan karakteristik banjir setempat. Karakteristik banjir setempat sangat tergantung kepada karakteristik lingkungan suatu daerah. Berdasarkan data hasil penelitian, baik dari data primer maupun data sekunder dan pengamatan dilapangan, maka penyebab banjir di daerah penelitian dapat di uraikan sebagai berikut: a. Sebab-sebab banjir Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai,
64
kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti: perubahan kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusak atau kurang memadainya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami). Kota Padang dilihat dari geomorfologinya merupakan perpaduan antara bentuk lahan pebukitan vulkanik bagian Timur, bentuk lahan aluvial bagian Tengah dan bentuk lahan marin bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuk lahan aluvial dan marin yang dilalui oleh beberapa sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang mempunyai aliran permanen sepanjang tahun, sering mengalami banjir. Apalagi Kota Padang merupakan daerah dengan iklim hujan tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 300 mm per-bulan dengan rata-rata hari hujan 15 - 16 hari perbulan. Peristiwa banjir selalu terjadi ketika curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut bertepatan waktunya. Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian banjir di Kota Padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air, yaitu massa air tawar dan massa air laut ini yang sering menyebab-kan banjir. Peluang terjadinya banjir akan besar jika hujan yang sangat lebat dengan durasi yang lama terjadi ketika pasang naik. Biasanya pasang air laut akan terjadi mulai sore sampai malam hari dan tengah malam akan surut kembali. Apabila pasang sudah surut, biasanya genangan banjir pun akan surut. Banjir dengan karakteristik seperti ini sering terjadi didaerah yang dilalui oleh aliran sungai Batang Kandis dan sungai Batang Kasang. Daerah yang sering menjadi langganan banjir diantaranya adalah daerah simpang kalumpang, anak air, belakang rumah potong, dan disekitar pasar lubuk buaya. Penyebab banjir di sekitar kecamatan Koto Tangah lebih banyak disebabkan antara lain (1) karena meluapnya debit air sungai Batang Kandis, (2) bentuk sungai masih alami, mengakibatkan adanya penyempitan sungai akibat sedimentasi, semak belukar maupun tumpukan sampah, dan (3) pasang naik air
65
laut bersamaan waktunya dengan debit air puncak sungai Batang Kandis. Hal ini senanda dengan hasil penelitian Eriza (2008), bahwa sungai Batang Kandis dalam kondisi kritis karena tidak dapat lagi menampung debit banjir sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian banjir. Berbeda dengan banjir yang terjadi pada daerah lain seperti Dadok Tunggul Hitam, Air Pacah, Alai, Siteba, Balimbing yang berada pada kawasan DAS Kuranji. Banjir di daerah ini lebih banyak disebabkan karena kekurangan sarana drainase disekitar permukiman. Sejak dulu daerah ini merupakan daerah yang cukup sering tergenang banjir karena tidak sanggupnya aliran sungai Batang Kuranji menampung debit air. Namun setelah selesai dilaksanakannya proyek Padang Flood Project tahap II akhir tahun 2001, sungai Batang Kuranji sudah mampu menampung debit aliran air puncak. Sementara itu, untuk daerah yang sering tergenang banjir seperti daerah Pauh, Parak Laweh, dan Perumnas Balimbing, daerah ini masuk kedalam kawasan DAS Batang Arau. Karakteristik banjir di daerah ini sama seperti yang terjadi di DAS Batang Kuranji. Genangan banjir umumnya terjadi akibat kurang memadainya fasilitas drainase. Masih banyak kawasan pemukiman yang memiliki drainase yang tidak sesuai dengan daya tampungnya. Meskipun ada beberapa kawasan permukiman yang sudah memiliki saluran drainase, namun pengelolaan
dan
pemeliharaan
yang
sering
terabaikan
mengakibatkan
permasalahan ketika hujan dengan intensitas yang besar terjadi. DAS Batang Arau telah beberapa kali dilakukan proyek pengendalian banjir. Dimulai dari zaman penjajahan Belanda sudah dibuat Banjir Kanal untuk mengantisipasi meluapnya sungai Batang Arau. Normalisasi dan pengerukan sedimentasi di muara sungai sudah dilakukan, pelebaran dan pembuatan tanggul pembatas sungai pun sudah dilakukan. Namun manfaat dari proyek pengendalian banjir ini belum optimal karena permasalahan drainase disekitar pemukiman yang masih kurang dan pemeliharaan yang tidak baik. Karateristik banjir di kota Padang sangat berbeda dengan karakteristik banjir di wilayah pulau Sumatera bagian timur. Karakteristik sungai yang pendek dengan aliran yang cukup deras sering menimbulkan banjir dengan waktu genangan yang relatif lebih cepat susutnya. Berdasarkan wawancara dengan penduduk yang terkena banjir, genangan banjir paling besar yang pernah terjadi setinggi leher orang dewasa (kira-kira 1,5 meter). Lama genangan tidak lebih dari satu hari, namun dalam setahun frekuensi banjir besar bisa terjadi berkali-kali.
66
b. Sejarah Banjir Kota Padang Berdasarkan data dari studi Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1983 dan studi evaluasi lingkungan, tidak kurang Rp 6,5 miliar nilai harta benda lenyap setiap terjadi banjir besar di Kota Padang tahun 1972 sampai tahun 1992. Sayangnya, data tahun 1992-2002 tidak ada sehingga hal ini diyakini menjadi penyebab pemerintah kota kurang peduli dengan banjir Padang ini dan sekaligus kurang peduli dengan persoalan lingkungan dan tata ruang kota. Sejarah banjir dari tahun 1981-2006 dapat dilihat pada Tabel 22. Mencermati riwayat Kota Padang yang kini berpenduduk 838.190 (tahun 2007), menjadi langganan banjir sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dimungkinkan karena Kota Padang dengan luas 695 km persegi terletak pada dataran aluvial yang terbentuk oleh tiga aliran sungai utama, yaitu Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Airdingin, dengan daerah tangkapan hujan bersumber dari Gunung Bolak, Gunung Lantiak, dan Gunung Bongsu masingmasing 172 km2, 213 km2, dan 131 km2. Tabel 22. Sejarah Banjir Kota Padang Tahun 11 – 1981 12 – 1982 11 – 1986 11 – 1988 02 – 1992 06 – 1993 2001 2002 02 – 2003 04 - 2004 10 – 2005 11 – 2006
Luas Genangan (Ha) 1.444 1.281 3.450 682 780 1.309 0 0 20 137 738 600
Kerusakan Data tidak tersedia 2.280 rumah, 11.400 jiwa, Rp. 11,325 miliyar 6.141 rumah, 30.705 jiwa, Rp. 30,502 miliyar 1.214 rumah, 6.070 jiwa, Rp. 6,030 miliyar 1.388 rumah, 6.940 jiwa, Rp. 6,894 miliyar 2.330 rumah, 11.650 jiwa, Rp. 11,573 miliyar Data tidak tersedia Data tidak tersedia 300 rumah, 1.800 jiwa 550 rumah, 4100 jiwa 2.600 rumah, 12.000 jiwa 2.074 rumah, 10.000 jiwa
Sumber: DPU Kota Padang
5.2.2. Aspek geomorfologi kota Padang yang mempengaruhi terjadinya banjir Klindao (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suatu daerah memiliki kerentanan terhadap bahaya banjir adalah bentuk lahan hasil bentukan banjir, peristiwa banjir dan vegetasi penutup atau tataguna lahan. Oleh karena itu untuk melihat faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya banjir di kota Padang, ada dua faktor penting yaitu aspek fisik (geomorfologi dan hidrologi) dan aspek manusia (perubahan tutupan lahan terbangun).
67
Berdasarkan pendekatan geomorfologi, daerah daratan kota Padang terbentuk akibat proses fluvial dan proses marin. Sesuai dengan survai lapangan, peristiwa banjir berpotensi terjadi di daerah dengan bentuk lahan fluvial dan marin tersebut. Berikut ini akan dianalisis karakteristik bentuklahan yang terbentuk akibat bentukan banjir dan berpotensi tergenang banjir dalam setahun yang meliputi aspek morfogenesa dan morfologi. a. Satuan Bentuklahan Dataran Aluvial Pantai (M2) Satuan bentuklahan dataran aluvial pantai (M2) terdiri dari bekas lagun dan lagun yang masih aktif. Daerah bekas lagun sudah banyak dipengaruhi oleh endapan dari sungai, sehingga daerah ini lebih tinggi dari daerah lagun yang masih aktif. Satuan bentuklahan tersebut mempunyai topografi datar-hampir datar dengan kemiringan lereng antara 0 – 2%. Luas satuan bentuklahan ini 1386,94 ha atau 2,00 %. Satuan bentuklahan ini terdapat menyebar dibelakang pantai Air Tawar, dibelakang pantai Pasir Sebelah dan pantai Pasir Jambak dan dibelakang pantai Bungus Teluk Kabung. b. Satuan bentuklahan Depresi Antar Beting (M3) Depresi antar beting sebagian besar terdiri rawa-rawa belakang yang terisi endapan dari sungai dan laut. Daerahnya tersebar antara Ulak Karang sampai Gunung Pangilun, Pasir Sebelah sampai Ganting, Air Tawar dan Tabing sampai Tunggul Hitam, dengan luas 738,65 ha atau 1,06%. Material penyusun terdiri dari tanah organosol dan glei humus dengan tekstur lempung berpasir. Satuan bentuklahan ini telah dikembangkan menjadi lokasi permukiman. Pengembangan satuan bentuklahan ini menjadi permukiman dilakukan dengan cara pengurungan dengan material bahan timbunan, terutama kerikil dan batu apung yang didatangkan dari Lubuk Alung dan Batang Kuranji. c. Satuan Bentuklahan Rawa Belakang (F3) Satuan bentuklahan rawa belakang didapati dibelakang tanggul alam, pola memanjang, berliku dan tidak teratur. Tekstur tanah daerah rawa belakang pada umumnya lempung liat berpasir. Drainase permukaan buruk sampai sangat buruk. Sebagian dari rawa belakang telah dibuat saluran air guna mencegah genangan air dan mengurangi bahaya banjir. Antara satuan bentuklahan kipas aluvial Batang Kuranji dan Batang Air Dingin terdapat deposit rawa belakang melebar ke timur dengan dibatasi oleh bukit yang curam. Total ketebalan dari deposit rawa belakang ini sekitar 180 meter yang ditemukan dari hasil pemboran dan lebih dari 230 meter ke arah
68
timur dari kota. Sedangkan di pusat kota, ketebalannya mencapai 300 meter (Lahmeyer International dalam Karim, 1997). Keadaan topografi satuan bentuklahan rawa belakang pada umumnya datar-hampir datar dengan kemiringan 0-3%, tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 1-3 meter. Luas rawa belakang adalah 4160,82 ha atau 5,99%. d. Satuan Bentuklahan Dataran Banjir. Satuan bentuklahan ini terbentuk dari proses sedimentasi yang berulangulang setiap kali ternjadinya banjir. Dataran banjir di lokasi penelitian ini merupakan hasil endapan sungai Batang Bungus, Batang Kuranji, Batang Air Dingin dan Batang Arau. Material permukaannya tersusun dari endapan pasir sampai kerikil. Drainase daerah ini sedang, dengan jenis tanah aluvial dan tekstur tanah pasir berlempung. Keadaan topografi datar dengan kemiringan lereng antara 0-2%. Tinggi dataran banjir dari permukaan laut antara 1-2 meter. Luas daerahnya 684,30 ha atau 0,98 %. e. Satuan Bentuklahan Gosong Sungai Gosong sungai umumnya terdapat disekitar aliran Batang Kuranji, karena Batang Kuranji memiliki air yang keruh akibat hasil erosi lahan dibagian hulu. Gosong pasir ini sering ditumbuhi oleh vegetasi kelapa, namun saat ini sebagian besar gosong sungai sudah berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk. Bentuk topografi daerahnya data sampai hampir datar, dengan kemiringan lereng 0-2% dan ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 1-2 meter. Luas satuan bentuklahan gosong sungai 363,54 ha atau 0,52%. 5.2.3. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Berdasarkan Yusuf (2005), daerah rawan banjir biasanya berada di daerah-daerah dengan topografi yang datar dan berada disepanjang aliran sungai. Daerah yang berada disepanjang aliran sungai tersebut merupakan daerah-daerah yang terbentuk akibat proses fluvial yang dipengaruhi oleh genangan banjir. Penentuan daerah rawan banjir dalam penelitian ini menggunakan model MAFF-Japan. Pendekatan dalam model ini menggunakan variabel fisik yaitu spasial curah hujan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, geologi dan bentuklahan. Masing-masing variabel tersebut diberi bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap terjadinya banjir. Dengan menggunakan sistem informasi geografi semua variabel dilakukan proses tumpang susun sehingga didapatkan informasi spasial daerah
69
rawan banjir. Luas sebaran tingkat kerawanan kota Padang terhadap banjir dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil dari proses tumpangsusun (Tabel 23) memperlihatkan bahwa kota Padang memiliki daerah yang rawan terhadap banjir seluas 1.979,61 ha, 8400,35 ha daerah berpotensi banjir, 10.963,68 ha daerah aman dari banjir dan 48.152,36 ha daerah yang sangat aman dari banjir. Daerah dengan kategori rawan banjir dan berpotensi banjir sebagian besar berada pada ketinggian dibawah 25 mdpl. Sementara itu, daerah aman dan sangat aman dari banjir berada pada ketinggian diatas 25 mdpl dengan kemiringan lereng yang beragam dari miring sampai sangat curam. Kecamatan yang paling luas daerah rawan banjir adalah kecamatan Koto Tangah yakni seluas 872,39 ha. Sementara itu kecamatan Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung dan kecamatan Padang Barat tidak memiliki daerah rawan. Secara spasial persebaran daerah rawan banjir disajikan pada Gambar 17. Tabel 23. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Kecamtan Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah Jumlah
Sangat Aman
Aman
Berpotensi Banjir
Rawan Banjir
6612,50 6691,75 1415,20 702,69 0 0 0 0 1824,68 14405,63 16499,92
1099,73 1480,56 658,11 164,40 91,93 166,30 350,76 67,70 1882,04 2031,11 2971,05
654,00 243,08 807,97 245,37 673,22 379,16 427,09 559,63 1396,97 219,94 2793,92
0 0 188,19 178,58 74,34 0 60,70 250,35 351,25 3,82 872,39
48152,36
10963,68
8400,35
1979,61
Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian, 2010
Perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 dan tahun 2007 di daerah yang termasuk kedalam kategori rawan banjir adalah seluas 403,26 ha, 18,99 % dari total daerah rawan banjir. Perubahan tutupan lahan tersebut terdiri dari 241,38 ha perubahan dari kebun campuran menjadi lahan terbangun dan 161,88 ha adalah tutupan lahan sawah yang berubah menjadi lahan terbangun.
70
Gambar 17.
Peta Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang
71
5.3.
Respon Peningkatan Laju Urbanisasi Terhadap Bahaya Banjir di Kota Padang Berdasarkan analisa perubahan tutupan lahan kota Padang antara tahun
1994 dan 2007, telah terjadi penambahan jumlah luasan tutupan lahan terbangun. Setelah dilakukan tumpang susun antara data spasial perubahan tutupan lahan terbangun dan data spasial karakteristik geomorfologi, serta peta genangan banjir, terlihat adanya peningkatan luasan lahan terbangun pada daerah dengan bentuklahan bentukan banjir dan daerah yang sering tergenang oleh banjir. Menurut Yusuf (2005), tingkat bahaya banjir akan selalu di pengaruhi oleh penggunaan lahan. Banjir dikatakan sebagai bahaya, jika genangan banjir menimbulkan kerusakan dan kehilangan harta dan jiwa. Oleh karena itu peningkatan daerah terbangun dan pertumbuhan penduduk didaerah rawan terjadi genangan banjir mengakibatkan tingkat bahaya banjir semakin tinggi. Di kota Padang perluasan tutupan lahan terbangun berbanding lurus dengan laju pertumbuhan penduduk kota Padang pada rentang waktu antara tahun 1994 sampai tahun 2007. Pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan lahan untuk dijadikan sebagai perumahan semakin meningkat. Peningkatan sarana pemukiman dan sarana penunjang lainnya. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan pemukiman penduduk masih cendrung mengkonversi lahan alami menjadi lahan terbangun, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan ekonomi. Berdasarkan hasil analisa data sekunder dan pengamatan dilapangan, daerah yang selalu digenangi banjir tiap tahun paling luas berada di kecamatan Koto Tangah. Secara berurutan mengikuti kecamatan Nanggalo, Kuranji, Lubuk Begalung, Bungus Teluk Kabung, Padang Utara, Padang Timur dan kecamatan Padang Barat. Tingginya luas dan frekuensi banjir di kecamatan Koto Tangah dan adanya peningkatan perkembangan wilayah terbangun di daerah tersebut mengakibatkan tingginya bahaya dan resiko banjir. Peningkatan pertumbuhan lahan terbangun di kecamatan Koto Tangah mengalami peningkatan yang sangat signifikan rentang tahun 1994 – 2007. Hal ini sesuai dengan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang periode 1994 – 2003 maupun RTRW periode 2004 – 2013 yang telah direvisi menjadi RTRW periode 2008 – 2025. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah daerah (BAPPEDA), Pertumbuhan wilayah pemukiman diarahkan ke
72
bagian utara, timur dan selatan kota Padang. Sebagai prioritas pertama adalah wilayah utara kota padang yaitu kecamatan Padang Utara dan Koto Tangah. Ketersediaan sumberdaya lahan yang belum termanfaatkan dan bisa dijadikan sebagai pusat pemukiman maupun fasilitas pendukung lain cukup luas. Semakin meningkatnya kebutuhan ruang untuk permukiman dan perumahan akibat meningkatnya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan kondisi lingkungan tidak menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Masyarakat perkotaan ditandai dengan pola pemikiran yang materialistis, sehingga faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih lokasi rumah atau hunian adalah faktor biaya. Oleh sebab itu peningkatan jumlah perumahan massal seperti perumahan KPR-BTN merupakan solusi bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah, meskipun ada beberapa masyarakat dengan keadaan ekonomi yang menengah keatas memilih bertempat tinggal di perumahan murah ini. Pada umumnya perumahan-perumahan murah ini dibangun pada lahanlahan dengan nilai ekonomi sumberdaya lahan yang rendah. Nilai sumberdaya lahan yang rendah karena berada pada daerah-daerah rawa dengan tutupan lahan kebun campuran dan semak belukar. Sebagian besar konsentrasi penyebaran lahan terbangun berada pada daerah dengan kemiringan lereng kategori datar (0 – 2%) dengan luas daerah sebesar 16.379,82 ha (23,6 %). Apabila curah hujan tinggi dan disaat bersamaan terjadi pasang naik air laut daerah ini sering dan atau berpotensi tergenang banjir. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan peristiwa banjir di kota Padang pada umumnya merupakan tipe banjir genangan. Hanya peristiwa banjir di kecamatan Koto Tangah saja yang dapat digolongkan sebagai tipe banjir kiriman dan banjir rob karena seringkali peristiwa banjir terjadi ketika debit aliran air puncak bersamaan waktunya dengan pasang naik air laut. Tipe banjir genangan cenderung disebabkan karena permasalahan lingkungan binaan dan pengelolaan drainanse yang kurang baik. Sedangkan, tipe banjir kiriman lebih disebabkan oleh daya tampung sungai yang tidak memadai lagi serta permasalahan erosi dan sedimentasi di daerah sepanjang aliran sungai.
73
5.4.
Bentuk dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Banjir yang Berkelanjutan Upaya mengantisipasi banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam
setiap kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Mencermati partisipasi masyarakat pada tahapan siklus banjir ternyata tidak dapat secara umum disamaratakan. Pada suatu tahapan tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan sementara pada tahapan lainnya sulit ditemukan dan bahkan tidak ada. Untuk itulah maka dianalisis lebih jauh untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompokkelompok kegiatan penanggulangan banjir. Pengamatan dan wawancara pada masyarakat penerima dampak bencana dilakukan pada daerah yang selalu tergenang banjir dalam setahun yaitu kecamatan Koto Tangah. Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai
peraturan, membangun
atau
membersihkan
saluran drainase
lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan memantau kondisi lingkungan. Disamping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan RT/RW. Kegiatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi terjadinya banjir adalah melakukan gotong royong membersihkan saluran drainase. Kegiatan seperti ini dilakukan secara sukarela yang di koordinasi oleh kelembagaan RT/RW. Partisipasi masyarakat dalam beraspirasi belum banyak ditemui dilapangan. Masyarakat yang sering dilanda banjir mengeluhkan tentang aspirasi mereka belum banyak yang ditanggapi pemerintah. Sebagian besar masyarakat yang menjadi langganan banjir di kecamatan Koto Tangah meminta pemerintah segera untuk meluruskan sungai yang berkelok-kelok memasang tanggul pada sungai yang melalui permukiman. Menurut masyarakat sungai yang berkelok dan belum dipasangi tanggul merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya banjir. Kecamatan Koto Tangah dialiri dua sungai besar yaitu sungai Batang Air Dingin dan sungai Batang Kandis. Sungai Batang Air Dingin + 1 km kearah muara telah di pasangi tanggul pembatas dan aliran yang berkelok pun sudah
74
di luruskan. Sementara itu, sungai Batang Kandis belum dilakukan upaya penanggulangan banjir melalui normalisasi sungai atau pembuatan tanggul pembatas. Menurut Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Kota Padang menyatakan bahwa pelaksanaa proyek penanggulangan banjir Batang Kandis baru memasuki tahap permohonan kepada pemerintah pusat. Skenario pelaksanaan proyek sudah final, hanya menunggu izin dan pendanaan dari pemerintah. Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban,
pembagian
makanan,
pakaian,
dan
penyediaan
obat-obatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di daerah-daerah yang sering dilanda banjir yaitu kecamatan Koto Tangah, Nanggalo, dan Bungus Teluk Kabung, partisipasi masyarakat seperti ini muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa diupayakan pemerintah. Dengan
belum
tersedianya
peraturan
perundangan
yang
mengatur
penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur. Pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan secara swadaya. Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder
(beneficiaries,
intermediaris,
dan
decision/policy
maker)
mempunyai peran dan pengaruh yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir.
Demikian
juga
masing-masing
karakteristik/jenis
kegiatan
penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat partisipasi yang berbeda. Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam penanggulangan banjir di kota Padang ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu: (1) indirect benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3) targeted assistance. Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok kegiatan struktural di luar badan air (of-stream structural measures) yang meliputi kegiatan-kegiatan peningkatan dan pembangunan sistem drainase, dan pembangunan prasarana retensi air (retention facilities). Kegiatan yang dicirikan dengan large number of beneficiaries and few social cost terdapat
75
pada kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention
non-structural
measures)
yang
mencakup
kegiatan-kegiatan
pengaturan dataran banjir (floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat. Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi dan barakbarak pengungsian. 1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (BP-DAS) Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep sudah tersedia kebijakan nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum yang dapat dijadikan acuan penyusunan konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatankegiatan yang meliputi kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengidentifikasikan masalah drainase hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat
dalam skema pembiayaan pemeliharaan saluran
drainase. Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/ perundangan yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi
partisipasi
masyarakat
dalam
pelaksanaan
konstruksi
dan
umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi. Meskipun dalam kebijakan/peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahapan operasionalisasi prasarana. Pada
tahap
monitoring
dan
evaluasi
hanya
teridentifikasi
peran
pemerintah daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
76
prasarana off-stream structural measure, sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan. 2. Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep cukup banyak kebijakan nasional yang dapat diidentifikasi yang umumnya hanya menekankan pada floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air. Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang dilakukan yang berkaitan dengan floodplain regulation karena umumnya masih berupa konsep yang tertuang dalam bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia. Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan dari implementasi floodplain regulation. Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan oleh pengelola sungai dan pemda. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan agama, profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi, namun belum ada regulasi yang secara tegas mengatur hal ini. Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda serta dengan biaya sosial yang rendah tersebut, maka dalam penyusunan regulasi pemerintah yang menjadi fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasi yang sesuai dan efektif serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi. 3. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek Pada kelompok kegiatan penanganan darurat banjir terutama pada kegiatan persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), pada tahap penyusunan konsep terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat, seperti pada tahap penyusunan konsep atau strategi penanganan ketika keadaan darurat banjir. Pada tahap pengembangan juga sudah terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan
77
penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun demikian pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan oleh instansi pemerintah. Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak teridentifikasi secara spesifik sedangkan instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai melakukan hampir semua kegiatan. Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang melibatkan masyarakat secara langsung. Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, tersebut, maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana atau paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir tersebut. Di samping itu perlunya disusun suatu kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut sehingga dalam perencanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran mereka secara lebih. 5.5.
Pembahasan Berdasarkan hasil analisa interpretasi citra penginderaan jauh, laju
pertumbuhan lahan terbangun di Kota padang dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 meningkat sebesar 3,12 %. Pertumbuhan lahan terbangun tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk kota Padang yaitu sebesar 2,31%. Meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun dan jumlah
penduduk
merupakan
indikator
telah
meningkatnya
urbanisasi
penduduk ke kota Padang. Urbanisasi merupakan hal yang lumrah bagi sebuah kota. Apalagi kota Padang adalah Ibukota Propinsi Sumatera Barat. Namun meningkatnya laju urbanisasi dan pemilihan tempat tinggal pada daerah-daerah yang memiliki kerentanan terhadap banjir yaitu pada daerah bentuklahan bentukan banjir mengakibatkan meningkatnya bahaya dan resiko terhadap banjir. Selama ini persoalan banjir merupakan salah satu persoalan lingkungan utama di kota
78
Padang, karena banjir merupakan salah satu bencana yang secara rutin terjadi di kota Padang. Penyebab terjadinya banjir di Kota Padang karena disebabkan antara lain oleh: (1) curah hujan tinggi; (2) pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air; (3) drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan; (4) luapan sungai ketika hujan; (5) kerusakan lingkungan pada daerah hulu; (6) kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater; (7) berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai; serta (8) kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain meliputi: (1) korban manusia; (2) kehilangan harta benda; (3) kerusakan rumah penduduk; sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar udara, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; (4) terganggunya transportasi, serta; (5) rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan. Disamping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non material, antara lain kerawanan sosial,
wabah
penyakit,
menurunnyja
kenyamanan
lingkungan,
serta
menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan perekonomian mereka terhambat. Meningkatnya perkembangan daerah pinggir kota (ke utara dan timur) yaitu kecamatan Koto Tangah dan Kuranji menuntut setiap stekholder untuk siap siaga dalam menghadapi banjir. Permasalahan utama dalam menghadapi banjir selama ini adalah minimnya fasilitas drainase sehingga sering menimbulkan genangan ketika curah hujan yang tinggi terjadi. Meningkatnya laju perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk di kecamatan Koto Tangah serta tingginya daerah rawan banjir dan berpotensi terjadi banjir mengakibatkan kerentanan terhadap bahaya banjir cukup tinggi didaerah ini. Apalagi sungai Batang Kandis belum dilakukan proyek pengendalian banjir. Kondisi sungai Batang Kandis saat ini masuk kedalam kategori sungai kritis, karena tidak sanggup menampung debit banjir. Walaupun saat ini proyek pengendalian banjir pada sungai Batang Kandis dalam proses perencanaan, permasalahan banjir di Kota Padang selama ini tidak selesai dengan adanya
79
proyek pembangunan pengendalian banjir. Saat ini sudah ada kolam retensi yang diharapkan dapat mengendalikan banjir, namun kenyataannya fungsinya belum terlihat optimal karena masih banyak terjadi genangan banjir di beberapa kawasan. Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery. Pada tahap pra bencana dilakukan: (1) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai,
tampungan
air,
dan drainase
beserta
peralatan dan fasilitas
penunjangnya; (2) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (3) membuat peta daerah genangan banjir; (4) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (5) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (6) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (7) membuat sumur resapan; (8) pemantapan Satkorlak PBP; (9) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (10) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (11) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (14) mereboisasi kota dan daerah hulu; (15) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW. Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (1) pemberitahuan
dini
kepada
masyarakat
tentang
kondisi
cuaca;
(2)
menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan,
termasuk
bahan
banjiran;
(4)
mengevakuasi
dan
mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah studi umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki
80
prasarana publik yang rusak; (3) pembersihan lingkungan; (4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir. Dalam hal ketersediaan landasan hukum, pemerintah daerah (Pemda) belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir. Sementara itu pemerintah daerah hanya menggunakan surat-surat edaran dalam mengatur warga masyarakat. Upaya pemerintah daerah dalam kegiatan pengendalian banjir banyak menemui kendala, antara lain lantaran: (1) kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan; (2) kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan lingkungan; (3) kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan pemerintah; (4) peraturan daerah masih sangat terbatas; (5) lemahnya penegakan hukum; (6) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; (7) terbatasnya dana pemerintah.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian serta hasil dan pembahasan diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Ciri-ciri berkembangnya sebuah kota ditandai dengan proses urbanisasi. Laju urbanisasi kota Padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007 diperoleh dari peningkatan luas lahan terbangun sebesar 3.617,90 ha dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 3,81 %. Sementara itu, pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 131.445 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 1,22 %. 2. Karakteristik banjir di Kota Padang dipengaruhi oleh faktor alami dan manusia. Faktor alami berupa; (a) bentuk fisik bentang alam yang meliputi bentuklahan bentukan banjir, dan pola aliran sungai., (b) curah hujan yang tinggi yaitu 3917,18 mm/tahun., (c) luapan debit air puncak pada sungai Batang Kandis dan (c) pasang naik air laut yang terjadi bersamaan dengan curah hujan yang tinggi. Sementara itu faktor manusia berupa; (a) penggunaan lahan pada daerah bentukan banjir yang belum diatur secara jelas., (b) ketersediaan saluran drainase yang belum memadai dan (c) pengelolaan saluran drainase yang tidak baik. Secara spasial Kota Padang memiliki 2.124,61 ha daerah rawan banjir dan 14.939,53 ha adalah daerah yang berpotensi terjadi banjir. 3. Pola pemencaran kota Padang bergerak menuju daerah pinggir kota kearah utara dan timur laut daerah inti kota yaitu kecamatan Padang Barat, ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun dan jumlah penduduk yang sangat tinggi pada kecamatan Koto Tangah dan Kuranji. Peningkatan ini berbanding lurus dengan luas daerah rawan banjir. Permasalahan saluran drainase disekitar permukiman penduduk dan belum adanya bangunan pengendalian banjir pada sungai Batang Kandis di kecamatan Koto Tangah adalah penyebab terjadi genangan banjir pada wilayah tersebut.
81
82
4. Peran stakeholder dalam partisipasinya pada pencegahan banjir, terutama masyarakat penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Aspirasi masyarakat dalam pengendalian banjir belum dikelola secara kelompok khusus, baru sebatas RT/RW. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pencegahan banjir baru bersifat sukarela terutama dalam membersihkan lingkungan disekitar tempat tinggal, dan langkah spontan ketika banjir melanda. Belum ada peraturan dari pemerintah terkait dengan pengelolaan lingkungan binaan.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan: 1. Urbanisasi merupakan suatu hal yang lumrah bagi sebuah kota, namun perlu ada pengaturan terhadap penggunaan ruang yang lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan terutama didaerah-daerah bentukan banjir (Flood Plain). 2. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan penambahan lahan terbangun di kecamatan Koto Tangah, sementara itu ditempat yang sama ada sungai dengan keadaan kritis yang memberikan andil terhadap kejadian banjir. Oleh karena itu perlu secepatnya melaksanakan proyek pengendalian banjir pada sungai Batang Kandis, untuk mencegah terjadinya banjir yang lebih besar. 3. Untuk
merumuskan
strategi
partisipasi
masyarakat
dalam
kebijakan
penanggulangan banjir diperlukan pengelompokan kegiatan atas dasar: (i) besarnya dampak langsung maupun tidak langsung yang akan diterima oleh masyarakat; (ii) jumlah dan keragaman penerima dampak kegiatan; (iii) intensitas biaya sosial dari suatu kegiatan yang akan diterima oleh masyarakat.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abida, H., Ellouze, M. 2007. Probability Distribution Of Flood Flows In Tunisia. Journal Hydrology And Earth System Sciences. Volume 4, pp 957–981. (http://www.hydrol-earth-syst-sci.net/12/703/2008/hess-12-703-2008.pdf diakses tanggal 27 Maret 2009). Alfandi, W. 2001. Epistimologi Geografi. Gajah Mada University Press; Yogyakarta. Anonim. 2002. Profil Proyek Penanganan Banjir dan Pengamanan Pantai Sumatera Barat. Direktorat Sumberdaya Air, Depkimpraswil; Padang Anonim. 2007. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. Makalah Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi; Jakarta Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press; Yogyakarta. Asy’ari, A.Z. 2008. Identifikasi fenomena banjir tahunan Menggunakan SIG dan Perencanaan Drainase di Kecamatan Panjatan Kulonprogo. Tugas Akhir. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Universitas Islam Indonesia; Yogyakarta (http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/20080804105226LAP%20TA%20%3D%20Identifikasi%20Fenomena%20Ba njir%20Tahunan%20Menggunakan%20SIG%20dan%20Perencanaan% 20Drainase%20Di%20Kecamatan%20Panj.pdf di akses tanggal 23 Maret 2009) Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. 2007. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Jakarta Bapalu, G.V., Sinha, R. 2007. GIS in Flood Hazard Mapping: a case study of Kosi River Basin, India. GIS Development. (http://www.gisdevelopment.net/application/naturalhazards/floods/ floods 001pf.htm diakses tanggal 15 Februari 2009). [BAPPEDA] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Padang. 2009. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang 2005-2025; Sumatera Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Padang. Padang Dalam Angka 1994-2007; Sumatera Barat. Barus, B., Wiradisastra, US. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor; Bogor.
84
Caljouw, M., Nas., Peter J.M., Pratiwo. 2005. Flooding in Jakarta, Towards a blue city with improved water management. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 161-4 (2005):454-484. Koninklijk Instituut voor Taal-, Landen Volkenkunde; Netherland (http://www.kitlvjournals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3615/4375 diakses tanggal 23 Oktober 2009). Colombijn, F. 2006. Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Ombak; Yogyakarta. Diposaptono, S. 2006. Bencana Alam (Penekanan Pada Bencana Air). Makalah. Disampaikan sebagai bahan penyusunan RUU Penanganan Bencana; Jakarta [DPU]
Dinas Pekerjaan Umum Kota Padang. 2000. Laporan Pengendalian Banjir Tahap II Kota Padang. Sumatera Barat.
Proyek
Eriza, C., Istiarto., Sujono, J. 2008. Unjuk Kerja Alternatif Pengendalian Banjir Batang Anai Dan Batang Kandis Sumatera Barat. Forum Teknik Sipil No. XVIII/2 (2008): 798-810. Universitas Gajah Mada; Yogyakarta. Faudy, A.R. 2005 Pemanfaatan Citra Landsat Thematic Mapper Untuk Estimasi Kerentanan Banjir Daerah Aliran Sungai Kupang, Jawa Tengah. Tesis. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta Giyarsih, S.R. 2005. Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area). Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta. Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta (http://www.scribd.com/doc/9020095/Urban-Sprawl diakses tanggal 12 Februari 2009) Haryani. 2004. Menyikapi Banjir dan Longsor dengan Pengendalian Tata Ruang. Makalah disampaikan pada seminar Banjir dan Longsor di Kota Padang. Universitas Negeri Padang; Padang Haryani, N.S., Yulianto, Fajar., dan Mannopo, K.S. 2008. Analisis Tingkat Rawan Banjir di Propinsi Jawa Timur Dari Data Penginderaan Jauh dan SIG. Prossiding Pertemuan Ilmiah Tahunan – Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (PIT-MAPIN) XVII. Bandung 10-12-2008. Isnugroho. 2002. Tinjauan Penyebab Banjir dan Upaya Penanggulangannya. Alami: Jurnal Air, Lahan. Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Volume 7 Nomor 2 Tahun 2002. (http://bebasbanjir2025.wordpress.com/10makalah-tentang-banjir-2/isnugroho/ diakses 19 Agustus 2009) Karim, S. 1998. Evaluasi Mendan untuk Pemukiman di Kota Padang. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta.
85
Khadiyanto, P. 1991. Pengaruh Perluasan Areal Terbangun dan Jumlah Penduduk Terhadap Banjir Genangan di Sebagian Wilayah Kota Semarang. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta. Lohman, J.A. 1985. Human Settlement Planning ini Flood Affected Areas. ITC The Netherland; Netherland Nurdin., dan Sukojo, B.M. 2003. Analisis Perubahan Kawasan Terbangun Kota Surabaya Berdasarkan Metode Multi Temporal Citra Landsat TM. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 17: 71-80. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta (http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2160 diakses tanggal 15 Juni 2009) Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Informatika; Bandung.
Dasar
Sistem
Informasi
Geografi.
. 2001. Sistem Informasi Geografi: Tutorial ArcView. Informatika; Bandung. . 2009. Sistem Informasi Geografi: Konsep-Konsep Dasar (Perspektif Geodesi & Geomatika). Informatika; Bandung. Pratomo, A.J. 2008. Analsis Kerentanan Banjir di Daerah Aliran Sungai Sengkarang, Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta; Surakarta (http://etd.eprints. ums.ac.id/966/1/E100020042.pdf diakses tanggal 15 Juni 2009) Pribadi, D.O., Shiddiq, D, dan Emyanila. 2006. Model Perubahan Tutupan Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jurnal Teknologi Lingkungan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan. 7: 35-51; Jakarta Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Perdesaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan pada tanggal 10-11 Mei 2001 di Cibogo Bogor. Savitri, A. 2007. Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Bogor. Sene, K. 2008. Flood Warning, Forecasting and Emergency Response. Springer; United Kingdom. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta; Bandung Subarkah, I. 1978. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Idea Dharma; Bandung.
86
Sukiyah, E., Haryanto, D.A., Zakaria, Z. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penetapan Kawasan Rawan Banjir di Kabupaten Bandung Bagian Selatan. Bulletin of Scientific Contribution, Volume 2, Nomor 1, (2004): 26-37; Universitas Padjajaran; Bandung. (http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/emi_bsc2004 diakses tanggal 7 Januari 2010) Suwardi. 1999. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Sebagian Kotamadya Semarang dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Bogor. Syahbuddin, H. 2005. Penataan Ruang Wilayah: Perjalanan Panjang Bangsa. (http://io.ppi-jepang.org/article diakses tanggal 11 November 2008) Syahrial, F., Mardyanto, M.A., dan Ciptomulyono, U. 2007 Evaluasi Pengelolaan Sistem Drainase Kota Padang (Studi Kasus: Drainase Air Tawar Ganting). Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi V Program Studi MMT-ITS, Surabaya 3 Pebruari 2007; Surabaya United Nations Development Programme (UNDP). 1997. Agenda 21 Indonesia (Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; Jakarta Verstappen, H.Th., 1977. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environment Development. Elsivier Sci. Publ. Comp; Amsterdam West, B.H., E.H. Griesbach, J.D. Taylor, and L.T. Taylor. 2000. Geographic Information System (GIS). Wyoming Geographic Information Advisory Councyl. http://wgiac.state.my.us/wgiac/reports/standard.html diakses tanggal 10 September 2008) Yunus, H.S. 1987. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif Pemecahannya. Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta Yusuf, Y. 2005. Anatomi Banjir Kota Pantai Perspektif Geografi. Penerbit: Pustaka Cakra; Surakarta. Zain, A.F.M. 2002. Distribution, Structure dan Function of Urban Green Space in Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK). Doctoral Degree Program. Department of Agricultural and Environmental Biology Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo; Japan Zain, A.F.M., Mukaryanti, dan D. Shiddiq. 2006. Evaluasi Kemampuan Alami Wilayah dalam Konservasi Air dan Pengendalian Banjir. Jurnal Teknologi Lingkungan volume 7, pp. 26-34.. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan; Jakarta Zhang, Hao., Ma, Wei-chun., Wang Xiang-rong. 2008. Rapid Urbanization and Implications for Flood Risk Management in Hinterland of the Pearl River Delta, China: The Foshan Study. Sensors 2008, volume 8: 2223-2239; P. R. China.( http://www.mdpi.com/1424-8220/8/4/2223/pdf diakses tanggal 18 Desember 2008)