LAJU PENGHANCURAN SERASAH DAUN KUMA (Palaquium luzoniense Fern.) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG NANGA-NANGA PAPALIA KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S-1) pada Jurusan Biologi
OLEH:
MISRAWATI M. ABDUL F1D1 13 027
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI MEI 2017
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
a. Nama
: Misrawati M. Abdul
b. Tempat/tanggal lahir : Banggai, 04 April 1994 c. Alamat
: Jl. H.E.A Mokodompit
d. No Tlp/Hp
: 082291107712
e. E-mail
:
[email protected]
f. Nama Ayah
: Mursalim
g. Nama ibu
: Nasia
h. Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri Inpres Dodung tahun lulus 2007 2. SMP Negeri 01 Banggai tahun lulus 2010 3. SMA Negeri 02 Banggai tahun lulus 2013
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi ini yang berjudul “Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara” dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana (S1) pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. Berbagai kesulitan dan hambatan sejak penulisan penelitian hingga penyusunan penulisan Skripsi ini, namun atas rahmat Allah SWT serta dorongan, tekad dan kemauan yang keras terutama adanya bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada Bapak Muhsin, S.Pd., M.Si., selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Hj. Sitti Wirdhana Ahmad, S.Si., M.Si., selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi ini. Sembah sujud dan ucapan terimakasih yang tiada tara, terkhusus saya haturkan kepada Ayahanda Mursalim dan Ibunda Nasia, yang telah memberikan motivasi dan do’a yang tulus ikhlas, kasih sayang serta materi selama penulis
v
pengikuti studi di Universitas Halu Oleo, serta seluruh kerabat yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Rektor Universitas Halu Oleo yang telah memberikan kepercayaan untuk mengikuti proses studi di Universitas Halu Oleo. 2. Dekan FMIPA beserta jajarannya yang telah memberikan arahan dan kemudahan-kemudahan selama penulis menempuh studi. 3. Ketua Program Studi Biologi Universitas Halu Oleo. 4. Kepala Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo. 5. Dr. Sri Ambardini, M.Si., selaku penasehat akademik, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam memprogramkan mata kuliah. 6. Dr. Jamili, M.Si., Dra. Hj. Indrawati, M.Si., Wa Ode Nanang Trisna Dewi, S.Si., M.Si., selaku dewan penguji. 7. Seluruh Dosen Jurusan Biologi yang telah banyak memberikan bekal keilmuan, arahan dan saran yang bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan studi. 8. Laboran Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo. 9. Sahabat yang telah membantu dan berbagi pengalaman di Lapangan: La Riadi, S.Si., Iksan, Asrun B. Adiatma, Alik Sander, Alfin, La Ode Sahdan, Muh. Faisal, atas segala dukungannya. 10. Kakak-kakak senior Alfirman, S.Si., M.P.W., Saban Rahim, S.Si., M.P.W., Irman, S.Si., La Ode Adi Parman Rudia, S.Si., dan Izal, S.Si., yang telah banyak memberikan masukan serta motivasi selama mengikuti studi.
vi
11. Teman-teman Biologi angkatan 2013: Achmad Akbar Bafadal, S.Si., Clara Sesilia Mekuo, Harmawati Ane, Umratul Hasanah, Ebit Yasakti, S.Si., Fitriani Kadir, Hadiratul Amalia, Mulki Muh. Adam, Junaidil, Kurniawanto, Agung Supriatna, Irmawati, Haerunisa, Asrtria Ramdhani, S.Si, Yensi Andriana, Putra Prabowo, Anang Gustianang, Muh. Munir, Sukmawati Badwin, Fergita Reininggrum, Salwinda, Nufrianti, Rusma, Arjuni, Arnita, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan menghibur penulis selama penelitian. 12. Semua pihak yang telah turut membantu sejak proses awal hingga selesainya penulisan Skripsi ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. 13. Teman sejawat : Idul Hakim, S.Pd, La Ode Husman, La Ode Yamin dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih untuk keceriaan dan doanya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan penyusunan di masa-masa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga partisipasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Amin Yaa Rabbal ‘Alaamin. Kendari, 26 Mei 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... iii SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT ............................................. iv KATA PENGANTAR.................................................................................... v DAFTAR ISI................................................................................................... viii DAFTAR TABEL .......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii ABSTRAK ...................................................................................................... xiii ABSTRAC........................................................................................................ xiv I.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. B. C. D.
Latar Belakang ................................................................................... Rumusan Masalah.............................................................................. Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 4 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5 A. B. C. D. E.
Klasifikasi dan Deskripsi Kuma (Palaquium luzoniense Fern.)........ Serasah ............................................................................................... Produksi Serasah................................................................................ Laju Penghancuran Serasah ............................................................... Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Laju Penghancuran Serasah ....
5 6 7 9 10
III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 15 A. B. C. D. E. F. G. H.
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................ Alat dan Bahan................................................................................... Jenis Penelitian.................................................................................. Variabel Penelitian............................................................................. Definisi Operasional .......................................................................... Populasi dan Sampel .......................................................................... Prosedur Pengambilan Data .............................................................. Analisis Data......................................................................................
15 15 16 16 16 17 17 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 23 A. Gambaran Umun Lokasi Penelitian.................................................... 23 B. Kondisi Fisik Lingkungan .................................................................. 24 C. Kandungan Organik Tanah (KOT)..................................................... 25
viii
D. Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) pada Setiap Bulan Pengamatan Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda 26 E. Rata-Rata Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda 28 F. Berat Serasah Daun yang Tersisa (gram/bulan) 30 V. PENUTUP ............................................................................................... 31 A. Kesimpulan......................................................................................... 31 B. Saran ................................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32 LAMPIRAN.................................................................................................... 37
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
Teks
Halaman
1.
Alat-alat penelitian serta fungsinya
15
2.
Bahan-bahan penelitian serta fungsinya
16
3.
Rata-rata pengukuran kondisi fisik persentase penutupan tajuk yang berbeda
4.
Kandungan Organik Tanah (KOT) pada persentase penutupan tajuk yang berbeda
25
5.
Berat serasah daun yang tersisa pada persentase penutupan tajuk yang berbeda
30
x
lingkungan
pada
24
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks
Halaman
1.
Pohon Kuma (Palaquium luzoniense Fern.)
23
2.
Laju penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada Setiap Bulan Pengamatan (gram/bulan) pada Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda
26
3.
Rata-Rata Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda
28
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Teks
Halaman
1.
Peta Lokasi Penelitian
2.
Pengukuran Faktor Lingkungan Penutupan Tajuk yang Berbeda
3.
Kandungan Organik Tanah (KOT) pada Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda
38
4.
Laju penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) pada Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda
39
5.
Berat Kering Serasah pada Setiap Bulan Pengamatan (gram)
39
6.
Dokumentasi Penelitian
41
7.
Persentase Penutupan Tajuk (%)
44
37
xii
pada
Persentase 38
LAJU PENGHANCURAN SERASAH DAUN KUMA (Palaquium luzoniense Fern.) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG NANGA-NANGA PAPALIA KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA Oleh: MISRAWATI M. ABDUL F1D1 13 027 ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada persentase penutupan tajuk yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Populasi dalam penelitian ini adalah serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) yang terdapat di atas permukaan tanah., sedangkan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun jenis Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) yang terdapat dalam kantong serasah. Menanam sebanyak 20 gram serasah daun yang telah kering dan dimasukkan ke dalam kantung berukuran 25 x 30 cm yang terbuat dari jaring nilon sebanyak 64 kantung pada masing-masing persentase penutupan tajuk yang berbeda yaitu 75-100%, 50-75%, 25-50%, dan 0-25%. Pada masing-masing persentase penutupan tajuk diletakkan sebanyak 16 kantung sampel dan ditanam ke dalam tanah dengan kedalaman ± 10 cm, kemudian diambil kembali sebanyak 4 kantung pada masing-masing persentase penutupan tajuk pada bulan pertama sampai bulan ke 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan laju penghancuran serasah daun pada persentase penutupan tajuk yang berbeda. Rata-rata laju penghancuran serasah pada persentase penutupan tajuk 75-100% yaitu sebesar 8,20 gram/bulan, 50-75% sebesar 7,31, 25-50% sebesar 6,08 gram/bulan dan tajuk 0-25% yaitu sebesar 3,12 gram/bulan. Cepatnya laju penghancuran serasah pada persentase penutupan tajuk 75-100% disebabkan karena kondisi lingkungan pada persentase penutupan tajuk tersebut sangat optimal untuk terjadinya penghancuran serasah. Kata Kunci : Laju Penghancuran Serasah, Persentase Penutupan Tajuk, Kuma (Palaquium luzoniense Fern.)
xiii
Decomposition Rate of Kuma’s Leaves Litter (Palaquium luzoniense Fern.) in Protected Forest Area of Nanga-Nanga Papalia Kendari City Southeast Sulawesi. By: MISRAWATI M. ABDUL F1D1 13 027 ABSTRACT
This study aims to determine the rate of destruction of Kuma leaf litter (Palaquium luzoniense Fern.) At different canopy closure percentages in NangaNanga Papalia Protected Forest Area of Kendari, Southeast Sulawesi. The population in this research is leaf litter Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) Which is located above ground level, while the sample used in this research is leaf litter Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) Type contained in litter bag. Planted as many as 20 grams of leaf litter that has been dried and put into a 25 x 30 cm sized pouch made of nylon net of 64 bags at each percentage of different canopy coverings that is 75-100%, 50-75%, 25-50 %, and 0-25%. In each percentage of crown cover is placed as many as 16 sample bags and planted into the soil with a depth of ± 10 cm, then recovered as many as 4 bags in each percentage of crown cover in the first month to month 4. The results show that there is a difference rate of leaf litter destruction at different percentages of canopy closure. The average rate of litter destruction at 75-100% crown cover percentage is 8,20 gram/month, 50-75% by 7,31 gram/month, 25-50% by 6,08 gram/month and 0-25% of headings is 3,12 gram/month. The rapid rate of litter destruction at 75-100% canopy closure percentage is caused because the environmental conditions at the percentage of closure of the canopy are highly optimized for litter destruction. Keywords: Rate of leaves litter decomposition, The percentage of canopy closure, Kuma leaves (Palaquium luzoniense Fern.).
xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ekosistem hutan merupakan ekosistem dengan keanekaragaman tumbuhan serta produksi serasah yang tinggi. Ekosistem hutan memiliki kemampuan untuk menghasilkan unsur hara melalui proses dekomposisi dari jatuhan serasah yang dihasilkan oleh tegakan pohon atau komunitas tumbuhan. Serasah yang dihasilkan akan mendukung aktifitas tumbuhan dalam menciptakan lingkungan yang dapat menstimulasi kegiatan metabolisme perombak bahan-bahan organik seperti fauna tanah, jamur, dan bakteri, sehingga proses penghancuran dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mati menjadi unsur hara akan terus terjadi. Penghancuran serasah merupakan sebuah proses ekologi yang penting dalam sebuah ekosistem hutan dalam menghasilkan unsur hara untuk pertumbuhan tumbuhan, namun ketersediaan unsur hara tersebut dipengaruhi pula oleh karakterisitik tegakan pohon atau komunitas tumbuhan dalam menghasilkan serasah (Hermita, 2011). Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia merupakan kawasan hutan lindung yang berada di Kota Kendari. Secara hukum Kawasan Hutan Lindung NangaNanga ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan
melalui
keputusan
No.
639/Kepts/um/9/1982 pada tanggal 01 September 1982 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 426/Kepts II/1997 pada tanggal 30 Juli 1997 tentang penetapan kawasan hutan lindung Nanga-Nanga sebagai kawasan hutan lindung. Kawasan hutan ini membentang dan melingkari Kota Kendari yang berfungsi sebagai daerah serapan air (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Kendari, 2010). Hasil
1
2
penelitian yang dilakukan oleh Bana & Zulkarnain (2010) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia terdapat komunitas tumbuhan yang tersusun atas 67 jenis yang terkelompok dalam 33 famili yang menyebar ke dalam 4 tingkatan vegetasi (pohon, tihang, pancang dan semai). Dari ke 67 jenis tumbuhan tersebut salah satunya yaitu Kuma (Palaquium luzoniense Fern.). Berdasarkan hasil survei di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari didominasi oleh jenis tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.). Secara ekologi tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) memiliki fungsi menyerap air hujan untuk mencegah terjadinya erosi dan sebagai relung ekologi bagi hewan yang berada baik pada tajuk, batang, bahkan pada bagian bawah pohon. Secara ekonomi tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) dapat diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi seperti pembuatan lemari, rumah, dan lain-lain. Keberadaan tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga tentunya didukung tingginya produksi serasah yang dihasilkan oleh tegakan pohon atau komunitas tumbuhan. Serasah yang dihasilkan kemudian
mengalami
penghancuran
menjadi
unsur
hara,
akan
tetapi
penghancuran serasah pada setiap jenis tumbuhan bervariasi. Hal ini tentu berkaitan dengan kandungan organik pada tiap jenis tumbuhan. Hilwan (1993) menyatakan bahwa pada setiap jenis tumbuhan memiliki laju pengahancuran serasah yang berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu kualitas serasah atau kandungan bahan organik yang terkandung didalam serasah sebagai sumber makanan bagi organisme pengurai (dekomposer).
3
Tegakan pohon pada ekosistem hutan umumnya memiliki persentase penutupan tajuk atau kerapatan pohon yang sangat tinggi. Semakin tinggi persentase penutupan tajuk pohon, maka penetrasi cahaya yang masuk menembus tajuk pohon menjadi lebih sedikit. Terbatasnya penetrasi cahaya, tentunya akan meningkatkan kelembaban udara dan tanah. Tingginya kelembaban dapat mendukung aktivitas mikroorganisme untuk melakukan perombakan bahan-bahan organik menjadi unsur hara (Raharjo, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Hasmirat (2007) laju penghancuran Serasah Daun Pohon Hopea, Castonopis, dan Metrosidores Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda di Kawasan Hutan Kemaraya Taman Hutan Raya Murhum Kendari terlihat adanya perbedaan, baik pada jenis tumbuhan maupun berdasarkan persentase penutupan tajuk. Pada persentase penutupan tajuk 75-100% mengalami penghancuran serasah lebih cepat dibandingkan pada persentase penutupan tajuk 50-75% dan 25-50%. Sedangkan tajuk 0-25% mengalami laju penghancuran lebih lambat dibanding dengan tajuk yang lain. Tingginya penutupan tajuk pohon menyebabkan meningkatnya kelembaban udara dan tanah sehingga sangat optimal terjadinya penghancuran serasah. Laju penghancuran pada setiap jenis tumbuhan sangat perlu untuk diketahui, hal ini dikarenakan penghancuran serasah dapat memperbaiki aerasi tanah, agregat tanah dan meningkatkan unsur hara tanah untuk pertumbuhan tumbuhan dalam suatu kawasan hutan, namun sampai saat ini belum ada informasi ilmiah mengenai laju penghancuran serasah di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari khususnya pada serasah daun Kuma
4
(Palaquium luzoniense Fern.). Olehnya itu perlu dilakukan penelitian dengan judul “Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara”.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah seberapa besar laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada persentase penutupan tajuk yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung NangaNanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai informasi tentang laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.). 2. Sebagai bahan pembanding yang relevan dengan penelitian ini. 3. Sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya tentang perbandingan laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) dengan tumbuhan lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Deskripsi Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) Tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) termasuk dalam famili Sapotaceae dengan klasifikasi sebagai berikut : Regnum Divisi Class Ordo Family Genus Spesies
: Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Ebenales : Sapotaceae : Palaquium : Palaquium luzoniense Fern.
Palaquium luzoniense Fern. berhabitus pohon, akar tunggang, batang berwarna hitam. Daun tungal, ujung daun meruncing, permukaan daun licin (Steenis, 1997). Bunga (flos) berkumpul pada ketiak daun (axilla). Bunga terdiri dari 2 lingkaran, memiliki 6 kelopak yang saling berlekatan, mahkota bunga berdaun lekat. Benang sari berjumlah kurang lebih 12 yang berwarna kuning, tangkai putik 1. Buah buni dengan dinding berdaging (Backer dan Bakhuisen, 1965). B. Serasah Serasah merupakan bagian tumbuhan yang telah mati berupa daun, cabang, ranting, bunga, dan buah yang gugur di permukaan tanah baik yang masih utuh maupun yang telah mengalami pelapukan. Serasah memiliki peranan yang penting di permukaan tanah karena sebagian besar pengembalian unsur hara ke lantai hutan berasal dari serasah. Serasah berguna bagi tanah apabila telah
5
6
mengalami penguraian dan menghasilkan hara mineral yang dimanfaatkan oleh tumbuhan, namun ketersedian serasah ini pula dipengaruhi oleh produktifitas tumbuhan dalam menghasilkan serasah (Bintoro dkk., 2013). Serasah atau bagian-bagian tumbuh-tumbuhan yang telah mati pada permukaan tanah akan mengalami proses dekomposisi. Serasah memiliki komponen-komponen dan ukuran yang berbeda-beda, yaitu terdiri dari daun, ranting dengan ukuran diameter < 1 cm dan cabang kecil dengan ukuran diameter ≤ 2 cm, alat reproduksi (bunga dan buah) dan kulit pohon. Serasah tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan seperti daun 72%, kayu 16%, serta bunga dan buah 2%. Kehilangan tahunan dari daun, ranting, bunga, buah dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari jatuhan serasah pada ekosistem hutan. Serasah yang jatuh akan mengalami dekomposisi yang melibatkan peran dari mikroorganisme dan fungi, sehingga mampu mempercepat proses dekomposisi (Dita, 2007). Menurut Nasoetion (1990) serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Tumbuhan memberikan masukan bahan organik melalui daun, cabang, dan ranting yang telah gugur serta akar-akarnya yang telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari jatuhan air hujan serta mengurangi penguapan. Serasah yang jatuh memiliki kandungan organik yang tinggi, namun kandungan organik untuk setiap jenis tumbuhan berbeda. Semakin rendah kandungan bahan organik pada serasah, maka semakin lama bahan tersebut mengalami penghancuran atau pelapukan (Darmanto, 2003).
7
C. Produksi Serasah Produksi merupakan salah satu parameter ekologi yang sangat penting. Produksi ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produksi pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi diantara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Mirmanto, 2015). Produksi serasah merupakan hal yang penting dalam transfer bahan organik dan bahan kimia dari vegetasi ke dalam tanah dan unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan tumbuhan. Apabila serasah ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa dan lainnya, akan menghasilkan informasi yang lebih penting dalam produksi, dekomposisi dan siklus nutrisi dari ekosistem hutan (Kawadias et al., 2001 dan Moran et al., 2000). Analisa dari komposisi hara dalam produksi serasah bisa menunjukkan efisiensi dari nutrisi yang digunakan dalam hutan (Vitousek, 1982). Produksi serasah umumnya terjadi selama musim kemarau pada saat kondisinya sangat berbeda antara musim hujan dan musim kemarau, hal ini berkaitan dengan periode dimana tumbuhan kekurangan air (Kohyama dkk., 2004).
8
Produksi serasah di hutan hujan tropis memiliki tingkat produktifitas yang tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain, akan tetapi tinggi rendahnya produktifitas serasah pada suatu vegetasi tentunya dipengaruhi oleh struktur dan komposisi suatu vegetasi. Produksi serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produksi karena tersedianya unsur hara. Serasah yang jatuh ke permukaan tanah akan mengalami dekomposisi sehingga dapat diserap kembali oleh tumbuhan (Fermanto, 2000). Tumbuhan memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut mengalami pelapukan, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah, 2005). D. Laju Penghancuran Serasah Salah satu sumber unsur hara yang mempunyai peranan penting bagi tanah dan mikroorganisme adalah serasah. Setelah mengalami penguraian atau proses dekomposisi, serasah menjadi senyawa organik sederhana dan menghasilkan hara, sehingga dapat langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan. Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dan tanaman sangat tergantung pada laju produksi dan laju dekomposisinya. Selain itu komposisi serasah akan sangat menentukan dalam
9
penambahan unsur hara ke tanah dan dalam menciptakan substrat yang baik bagi organisme pengurai (Aprianis, 2011). Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah, dan terkadang disebut mineralisasi. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik. (Kuswytasari dan Hanum, 2014). Proses penghancuran serasah merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem. Proses tersebut sangat vital untuk keberlanjutan status hara pada tanaman hutan dan kecepatan dekomposisinya bervariasi untuk spesies tanaman yang berbeda. Pada umumnya serasah dari jenis yang tumbuh pada lingkungan yang kurang unsur hara lebih sulit terdekomposisi dan akan menyebabkan lambatnya proses siklus hara pada lingkungan tersebut dibanding serasah yang berasal dari tanaman yang hidup pada lingkungan yang kaya hara (Limin dkk., 2005). Proses dekomposisi terjadi dalam 3 tahap yaitu proses pelindihan (leaching), penghawaan (wathering), dan aktivitas biologi. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah akibat curah hujan atau aliran air, kemudian proses penghawaan (wathering), yaitu mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air, dan aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-
10
pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan dekomposisi (Sofiah dan Fiqa, 2012). Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktorfaktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga oleh organisme lainnya. Persaingan baik berupa oksigen maupun bahan organik menjadi faktor kendali dalam kondisi dekomposisi (Widarti, 2007). E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Penghancuran Serasah Laju penghancuran serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Bahan Organik Dekomposisi bahan organik meliputi dekomposisi sebagian atau dekomposisi lengkap dari bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang kemudian bersatu kembali membentuk bahan organik baru yang sangat resisten yang disebut humus (Munir, 1996). Organisme hidup dalam tanah merupakan penyebab utama dalam proses dekomposisi bahan organik (Surasanah, 1994). Bahan organik mampu menghasilkan tanah dengan struktur tanah yang baik dan porositas tanah yang tinggi, kapasitas menahan air tinggi, serta tata udara dan tata air yang baik (Sirait dan Haneda, 2012). Bahan organik merupakan faktor penting dalam proses dekomposisi. Sumber bahan organik bisa berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Bahan organik baik yang
11
berasal dari ekosistem itu sendiri maupun yang disuplai dari ekosistem lain akan mengalami dekomposisi oleh dekomposer seperti bakteri atau jamur. Hasil proses dekomposisi ini berupa nutrien anorganik yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dirubahnya kembali menjadi bahan organik sebagai produksi primer, melalui proses fotosintesis. Melalui proses jaringjaring makanan bahan organik ini akan diubah kembali menjadi nutrien anorganik (Raharjo, 2006). 2. Suhu dan Kelembaban Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan aktif baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme hidup, dimana yang berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dan mengontrol laju proses kimia dalam tumbuhan, sedangkan yang berperan tidak langsung
mempengaruhi
faktor-faktor
lainnya,
terutama
suplai
air.
Dekomposisi terjadi relatif lebih cepat dalam tanah yang lembab dan teraerasi dengan baik. Kondisi ini merupakan kondisi yang menguntungkan bagi kegiatan organisme pengurai. Semakin rendah suhu suatu daerah maka kelembabannya akan semakin tinggi. Peningkatan suhu akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik (Nafia, 2009). 3. Iklim dan pH Pada umumnya sisa organik akan lebih mudah rusak pada temperatur yang tinggi dari pada termperatur yang rendah. Pada hutan tropis, terdapat vegetasi padat, volume tumbuhan lebih besar, iklim yang begitu lembab, dan
12
panas terus-menerus menyebabkan sisa tanaman dan akar lebih mudah rusak, dan akan tergabung dalam tanah (Sutarman, 1993 dalam Anggrini, 2011). Dekomposer dalam tanah dan serasah dibawah suatu komunitas dipengaruhi oleh jenis tumbuhan yang menggugurkan serasah dan penetrasi akar dalam tanah, dimana tanah di bawah hutan umumnya asam karena serasah tersebut bersifat asam, dan dekomposisnya mempengaruhi pH tanah (Harjosuwarno, 1989). Menurut Oostin (1956) dalam Hermita (2007) menjelaskan bahwa pH tanah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan tumbuhan karena dapat memberikan ketersediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. 4. Fauna Tanah Tanah merupakan habitat bagi berbagai organisme yang hidup di dalamnya. Antara tumbuhan dengan organisme dalam tanah terjadi suatu hubungan saling ketergantungan yang sangat erat. Oleh karena itu populasi organisme tanah ditentukan oleh kualitas vegetasi di atasnya. Sebaliknya, aktivitas organisme dalam tanah juga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam proses kesuburan tanah (Widyati, 2013). Keragaman fungsional merupakan komponen keragaman hayati yang mempengaruhi dinamika, stabilitas dan produksi ekosistem dalam tanah. Keragaman fungsional tanah penting dalam berlangsungnya ekosistem tanah karena mereka berperan dalam pembentukan dan stabilitas struktur, kesuburan dan penyanggaan (buffering) tanah. Organisme tanah merupakan komponen utama dalam semua ekosistem tanah. Walaupun total biomassa organisme
13
tanah lebih rendah dibandingkan humus atau mineral, tetapi aktivitas mereka sangat penting dalam menentukan berfungsinya ekosistem tanah (Breure, 2004). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan fauna tanah (Suin, 1997). Menurut Purwowidodo (1992) fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik, sehingga fauna tanah memiliki arti dalam memperbaiki sifat-sifat tanah. Misalnya makrofauna seperti cacing tanah, rayap dan semut memiliki pengaruh penting terhadap struktur tanah, aerasi, dan pori-pori tanah yaitu melalui pergerakan tubuhnya pada saat mencari makanan, mengangkut bahan organik ke bagian tanah yang lebih dalam dengan menggali lubang serta
membuat
terowongan dalam tanah (Avelina, 2008). Umumnya pada permukaan tanah di lahan hutan terdapat cukup banyak serasah, dimana berasal dari vegetasi yang ada di sekitarnya. Mesofauna tanah akan melakukan dekomposisi serasah menjadi lebih sederhana, sehingga terjadi penambahan akumulasi bahan organik di dalam tanah. Akumulasi bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah, serangga dan hewan-hewan tanah lainnya, membentuk unsur hara bagi tumbuhan yang terdapat di dalam hutan. Keadaan vegetasi, dan jenis tanah hutan merupakan suatu kombinasi yang mempengaruhi kondisi lingkungan, seperti intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban (Burges dan Raw, 1967 dalam Rahmawaty, 2004).
14
Bakteri merupakan agen utama proses dekomposisi selain beberapa jenis jamur atau fungi. Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, kita mengenal dua jenis bakteri yaitu bakteri aerobik dan bakteri anaerobik. Pada beberapa kasus, oksigen bebas bersifat toksik bagi jenis bakteri anaerob dan dapat hidup hanya pada lingkungan bebas oksigen, bakteri tersebut membutuhkan oksigen dalam bentuk selain oksigen bebas dan hal ini diperoleh melalui pemecahan senyawa-senyawa kimia yang mengandung oksigen. Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerobik akan mendekomposisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul yang sedang dihancurkan (Indriyanto, 2006).
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016-April 2017. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari (Lampiran 1), sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Botani FMIPA Universitas Halu Oleo Kendari. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada pada Tabel 1. Tabel 1. Alat-alat penelitian serta fungsinya No. Nama Alat Satuan 1. Jaring nilon (25x30 cm) 2. Tali raffia 3.
Patok kayu
-
5. 6. 7.
Timbangan ohauss dengan ketelitian 0,01 gram Kantong plastic Oven Kertas Koran
8.
Soil tester
9.
Thermometer
10.
Kamera
-
12.
Kertas millimeter
-
13. 14. 15. 16.
Tanur Cawan porselin Lux meter Higrometer
4.
gram C -
o
o
C
Candela %
15
Fungsi Untuk membungkus serasah Untuk mengikat jaring nilon Untuk mendadai tempat diletakkannya sampel Untuk pengangkut serasah Untuk menyimpan sampel serasah Untuk mengeringkan serasah Untuk membungkus serasah Untuk mengukur pH tanah dan kelembaban tanah Untuk mengukur suhu tanah Untuk mendokumentasikan hasil penelitian Untuk menghitung persentase penutupan Untuk pengabuan Untuk menyimpan sampel tanah Untuk mengukur intensitas cahaya Untuk mengukur kelembaban udara
16
2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada pada Tabel 2. Tabel 2. Bahan-bahan penelitian serta fungsinya No. Nama Bahan Kegunaan Serasah daun jenis Kuma Sebagai sampel penelitian 1. (Palaquium luzoniense Fern.) 2. Tanah Sebagai sampel penelitian
C. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif untuk melihat laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari Sulawesi Tenggara. D. Variabel Penelitian Variabel penelitian yang dapat diamati meliputi persentase penutupan tajuk pohon sebagai variabel bebas dan laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) sebagai variabel terikat. E. Definisi Operasional Untuk menghindari adanya kekeliruan maka perlu dijelaskan beberapa defenisi operasional yang dianggap penting yaitu : 1. Laju penghancuran serasah adalah pengurangan biomassa daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada kantong serasah setiap bulan pengamatan. 2. Persentase penutupan adalah penutupan tajuk pohon yang dihitung dengan cara luas area yang tertutupi oleh tajuk dibagi dalam luasan 100 cm2 x 100%.
17
3. Serasah adalah bagian dari tumbuhan berupa daun yang telah gugur dan dikeringkan dalam oven selama 2 x 24 jam.
F. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) yang terdapat di atas permukaan tanah. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah serasah daun jenis Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) yang terdapat dalam kantong serasah.
G. Prosedur Pengambilan Data 1. Observasi Lapangan Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Kota Kendari Sulawesi Tenggara. 2. Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan kondisi vegetasi yang memenuhi kriteria penutupan tajuk yang berbeda. Berdasarkan hasil survey pendahuluan, pada Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia ditetapkan 4 (empat) variasi persentase penutupan tajuk. Keempat variasi penutupan tajuk tersebut ditetapkan sebagai stasiun pengamatan dalam penelitian ini.
18
Persentase penutupan tajuk dihitung
dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
% penutupan =
x 100%
(Barbour et al, 1999 dalam Sulistiyanto, 2005). Penentuan persentase penutupan tajuk dilakukan pembuatan plot 10 x 10 m2 sebagai total luas area kuadrat. Selanjutnya untuk memudahkan dalam menentukan persentase penutupan tajuk dapat dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut : a. Mengestimasi secara langsung dengan penglihatan b. Memotret lapisan tajuk pohon dengan menggunakan kamera digital. c. Foto hasil dari kamera tersebut dimasukan ke dalam komputer dicetak dalam kertas grafik dengan masing-masing ketentuan sebagai berikut: 1) Stasiun 1 dengan persentase penutupan 75-100% 2) Stasiun 2 dengan persentase penutupan 50-75% 3) Stasiun 3 dengan persentase penutupan 25-50% 4) Stasiun 4 dengan persentase penutupan 0-25% (Barbour et al, 1999 dalam Sulistiyanto, 2005). 3. Pengambilan Sampel Serasah Daun Sampel serasah daun dilakukan dengan cara mengumpulkan daun-daun serasah jenis Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) yang jatuh di atas permukaan tanah, kemudian serasah daun tersebut dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 2 x 24 jam, selanjutnya dilakukan penimbangan
19
dengan menggunakan timbangan ohauss dengan ketelitian 0,01 gram (Yuanita, 2006). 4. Penempatan Kantong Serasah Sebanyak 20 gram serasah daun yang telah kering dimasukkan dalam kantong berukuran 25 x 30 cm yang terbuat dari jaring nilon dengan ukuran pori-pori 1 mm dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan agar partikelpartikel kecil dapat tercuci setelah sebagian terhancurkan. Jumlah semua sampel sebanyak 64 kantung serasah untuk 4 persentase penutupan tajuk yang berbeda. Pada masing-masing persentase penutupan tajuk di tanam sebanyak 16 kantung serasah. Setiap lubang berisi satu kantung serasah dengan kedalaman ± 10 cm dan kemudian ditutup kembali. Jarak antara lubang kantung serasah yang satu dengan lainnya pada setiap penutupan tajuk yaitu sejauh 1 meter. Setiap persentase penutupan tajuk diambil kembali sebanyak 4 kantung serasah pada setiap bulannya dengan lama pengamatan 4 bulan. Setiap persentase penutupan tajuk berada pada titik koordinat yang berbeda. Titik koordinat untuk persentase 75-100% yaitu 04o 03’19,2 LS dan 122o33’47,3 BT, 50-75% 04o 03’19,6 LS dan 122o33’51,1 BT, 25-50% 04o 03’22,7 LS dan 122o33’49,4 BT, dan pada persentase 0-25% 4 (04o 03’24,1 LS dan 122o33’46,3 BT. 5. Pengukuran Faktor Lingkungan Sebagai data pendukung, maka dilakukan pengukuran faktor lingkungan yaitu intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, suhu tanah,
20
pH tanah, dan kandungan organik total tanah. Pengukuran faktor lingkungan dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Intensitas Cahaya Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap bulan selama 4 bulan. Setiap kali pengambilan sampel serasah dengan interval waktu dari pukul 09:00-12:00 siang WITA mengunakan alat Lux meter dengan cara mengarahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada daerah pengukuran. Pengukuran ini dilakukan secara bersamaan dengan faktor lingkungan yang lain yaitu suhu, kelembaban, dan pH tanah. b. Suhu Udara dan Kelembaban Udara Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara mengunakan alat Higrometer dengan cara meletakan alat tersebut pada daerah pengukuran sehingga skala pengukuran suhu dan kelembaban dapat diperoleh. c. Pengukuran pH Tanah dan Suhu Tanah Pengukuran pH tanah dilakukan selama 4 bulan. Setiap kali pengambilan sampel serasah dengan interval waktu pukul 09:00-12:00 siang WITA dengan mengunakan alat Soil tester dengan cara menancapkan ujung alat tersebut ke dalam tanah. Suhu tanah mengunakan thermometer. d. Kandungan Organik Tanah Pengukuran kandungan organik total dilakukan dengan menimbang 5 gram substrat tanah kering, kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam. Sampel tanah yang telah di oven disimpan dalam cawan porselin dan dipanaskan dalam tungku pembakaran (fernance
21
muffle) pada suhu 700oC selama 9 jam (3 kali penimbangan). Cawan porselin kosong ditimbang dari hasil akhir penimbangan konstan dalam oven dan dalam Tanur akan dikurangi dengan hasil timbangan cawan, hal tesebut dikemukan Wilde et al., (1972) dalam Hasmirat (2007) yaitu sebagai berikut : KOT (%) =
( )
Dimana :
( )
( )
x 100%
A. Berat kering = berat sampel dalam cawan porselin yang dioven selama 24 jam-berat cawan porselin kosong B. Berat abu = berat sampel dalam cawan porselin di tanur 700oC selama 9 jam)-berat cawan kosong. 6. Tahap-Tahap Penimbangan Serasah Daun Sampel serasah daun diambil dari atas permukaan tanah yang berada dibawah penutupan tajuk yang berbeda yaitu 75-100%, 50-75%, 25-50%, dan 0-25%. Serasah tersebut dibersihkan dan dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 2 x 24 jam, selanjutnya dilakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan ohauss dengan ketelitian 0,01. Serasah yang telah kering, dimasukan kedalam kantong serasah seberat 20 gram dalam 1 (satu) kantong serasah sebagai berat awal serasah sebelum perlakuan (Wo). Kantong serasah tersebut ditanam selama 4 bulan (waktu) (Tn). Serasah yang telah ditanam setiap bulannya dilakukan pengambilan dan dibersihkan terlebih dahulu. Serasah tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 2 x 24 jam, selanjutnya dilakukan penimbangan dengan menggunakan
22
timbangan ohauss dengan ketelitian 0,01 gram. Berat serasah yang diperoleh dari hasil penimbangan tersebut sebagai berat akhir setelah perlakukan (Wn). H. Analisis Data Data dalam penilitian ini dianalisis secara deskriptif kuantitatif yang bertujuan
untuk
menggambarkan
perbedaan
laju
penghancuran
serasah
berdasarkan persentase penutupan tajuk yang berbeda. Laju penghancuran ditemukan selisih antara berat kering serasah sebelum dan sesudah percobaan sebagaimana yang dirumuskan oleh Affandi (2000) sebagai berikut : R= Dimana : R : Laju penghancuran Wo: Berat awal serasah sebelum perlakuan Wn : Berat akhir serasah setelah perlakuan Tn : Waktu bulan ke-n (dengan n =1, 2,3,…., n). Contoh Analisis Data Dik : Wo = 20 gram Wn = 0,302 Tn = 2 bulan Dit : R = .........? Penye : R=
=
,
= 9,84
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Secara geografis Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia terletak di antara 04o 01’18”-04o 06’28.4” LS dan 122o 31’28.4”-122o 39’39.4” BT. Titik koordinat untuk persentase 75-100% yaitu 04o 03’19,2 LS dan 122o33’47,3 BT, 50-75% 04o 03’19,6 LS dan 122o33’51,1 BT, 25-50% 04o 03’22,7 LS dan 122o33’49,4 BT, dan pada persentase 0-25% 4 (04o 03’24,1 LS dan 122o33’46,3 BT. Kondisi lokasi penelitian pada persentase penutupan tajuk 75-100%, 50-75%, dan 25-50% secara umum didominasi jenis tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.). Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) Tumbuhan Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. a. Pohon Kuma (Palaquium luzoniense Fern.), b. Buah (fructus), c..Daun (folium), (a,b,dan c, Koleksi pribadi) d. Biji (semen), e. Bunga (flos) (d dan e, Backer dan Bakhuisen, 1965).
23
24
B. Kondisi Fisik Lingkungan Kondisi fisik lingkungan merupakan salah satu indikator yang sangat penting pada proses penghancuran serasah. Kondisi fisik lingkungan pada setiap persentase penutupan tajuk yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata pengukuran kondisi fisik lingkungan pada persentase ...penutupan tajuk yang berbeda Persentase Penutupan Tajuk (%) No Parameter 0-25% 25-50% 50-75% 75-100% 1. Intensitas Cahaya (Candela) 1796,5 851,5 447,25 234,25 2. Suhu Udara (oC) 30,58 30,03 29,26 28,5 3. Kelembaban Udara (%) 78,03 80 80,87 82,25 o 4. Suhu Tanah ( C) 30,68 30,25 29,12 28,93 5. pH Tanah 6 6 6 6 Berdasarkan Tabel 3, kondisi fisik lingkungan pada setiap persentase penutupan tajuk diperoleh hasil yang bervariasi. Pada tajuk 0-25% diperoleh intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah yang tinggi dengan kelembaban udara yang rendah. Pada tajuk 75-100% diperoleh intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah yang rendah dengan kelembaban udara yang tinggi. Rendahnya intensitas cahaya, suhu udara, suhu tanah dan tingginya kelembaban udara pada tajuk 75-100% disebabkan karena terbatasnya cahaya yang masuk ke lantai dasar hutan. Kondisi ini tentu akan mempercepat laju penghancuran serasah. Semakin rendah intensitas cahaya atau semakin tingginya kelembaban udara, maka laju penghancuran serasah semakin cepat pula. Nilamsari (2009) menyatakan bahwa tingginya intensitas cahaya, akan menghambat laju dekomposisi serasah. Menurut Golley (1983) semakin tinggi kelembaban udara, maka semakin cepat laju penghancuran serasah. Tingginya kelembaban dapat meningkatkan aktivitas mikroba untuk melakukan proses dekomposisi (Suwanto dan Agustiyani, 2011).
25
Hasil pengukuran pH tanah yang disajikan pada Tabel 3, dengan persentase penutupan tajuk yang berbeda diperoleh nilai pH relatif sama. Pada umumnya pH tanah memiliki pengaruh terhadap kecepatan proses penghancuran serasah. Paramitha dkk., (2012) menyatakan bahwa pada pH tanah 6,0-7,5 laju dekomposisi serasah dapat berlangsung dengan cepat. Menurut Limin dkk., (2005) kondisi lingkungan dengan pH mendekati netral akan mengalami penghancuran serasah lebih cepat. C. Kandungan Organik Tanah (KOT) Kandungan Organik Tanah (KOT) pada setiap persentase penutupan tajuk yang berbeda yaitu pada pohon Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari menunjukan hasil yang berbeda. Kandungan Organik Tanah tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan organik tanah pada persentase penutupan tajuk yang berbeda No.
Persentase Penutupan Tajuk (%)
Kandungan Organik Tanah (%)
1. 2. 3. 4.
75-100% 50-75% 25-50% 0-25%
5,41 4,54 2,78 2,51
Berdasarkan Tabel 4, kandungan organik tanah pada setiap persentase penutupan tajuk terdapat hasil yang berbeda. Pada tajuk 75-100% diperoleh kandungan organik tanah terbesar dibanding dengan persentase penutupan tajuk yang lain, sedangkan pada tajuk 0-25% memiliki kandungan organik tanah paling rendah dibanding dengan tajuk yang lain. Tingginya kandungan organik pada tajuk 75-100% disebabkan karena banyaknya jumlah serasah yang mengalami
26
penghancuran dengan cepat. Angraeni (2008) menyatakan bahwa, proses dekomposisi serasah dapat meningkatkan kandungan organik tanah. D. Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada Setiap Bulan Pengamatan (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda Laju penghancuran serasah daun pada setiap bulan pengamatan berdasarkan penutupan tajuk yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung NangaNanga Papalia Kota Kendari disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada Setiap Bulan Pengamatan (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda Berdasarkan Gambar 2, laju penghancuran serasah daun disetiap bulan berdasarkan persentase penutupan tajuk yang berbeda diperoleh penghancuran yang bervariasi. Tajuk 75-100% merupakan tajuk yang mengalami penghancuran serasah lebih cepat dibanding dengan tajuk yang lain, namun di awal bulan laju penghancuran serasah berlangsung dengan cepat kemudian terus menurun atau
27
berlangsung dengan lambat seiring dengan semakin lamanya periode waktu serasah mengalami penghancuran. Menurunnya laju penghancuran serasah pada setiap bulan diduga karena tingginya kandungan organik pada serasah pada awal bulan yang mengalami penghancuran. Menurut Spur dan Burton (1980) pada waktu awal serasah jatuh kandungan hara dan senyawa organik yang terkandung dalam serasah tersebut masih cukup tinggi, sehingga proses dekomposisi berlangsung dengan cepat. Sundarapandian dan Swamy (1999) dalam Iskandar (2014) menyatakan bahwa tingkat hilangnya serasah lebih cepat terjadi pada awal-awal proses dekomposisi, kemudian lama kelamaan semakin menurun. Nafia (2009) menyatakan bahwa, laju dekomposisi semakin lama semakin menurun, disebabkan oleh kandungan bahan organik pada serasah yang semakin lama semakin sedikit. Menurut Hilwan (1993) pada setiap jenis tumbuhan memiliki dekomposisi serasah yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya, yaitu komponen bahan organik yang terkandung pada serasah sebagai sumber makanan bagi organisme pengurai. Selain kandungan bahan organik pada serasah, kondisi lingkungan pula sangat mempengaruhi laju penghancuran serasah. Penghancuran serasah terjadi relatif lebih cepat dalam tanah yang lembab karena mendukung aktivitas organisme pengurai dalam melakukan perombakan bahan organik. Menurut Sunarto (2003) kecepatan proses dekomposisi pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Soedarsono (1981) menyatakan bahwa, semakin tinggi kelembaban maka semakin cepat pula laju dekomposisi serasah. Suhu tanah rendah dengan kelembaban tanah yang tinggi, dapat
28
meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah dalam proses dekomposisi
(Widyati, 2013). Menurut Jusoh et al., (2013) kondisi lingkungan yang lembab dapat meningkatkan populasi mikroba sehingga proses dekomposisi berlangsung dengan cepat. Anindyawati (2010) menyatakan bahwa, kondisi lingkungan yang optimal, jumlah nutrisi yang baik serta tidak adanya senyawa toksik (racun) dapat meningkatkan proses degradasi bahan organik oleh mikroba. E. Rata-Rata Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda Rata-rata laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) berdasarkan penutupan tajuk yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rata-Rata Laju Penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda
29
Proses penghancuran serasah merupakan salah satu tahap penting dalam daur hara pada suatu ekosistem hutan. Berdasarkan Gambar 3, laju penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) pada setiap persentase penutupan tajuk diperoleh hasil yang berbeda. Pada tajuk 75-100% mengalami laju penghancuran serasah lebih cepat dibanding dengan persentase penutupan tajuk yang lain, sedangkan pada tajuk 0-25% laju penghancuran serasah berjalan dengan lambat. Cepatnya laju penghancuran serasah daun pada persentase penutupan tajuk 75-100% disebabkan karena kondisi lingkungan pada persentase penutupan tajuk tersebut sangat optimal untuk terjadinya penghancuran serasah dibanding dengan tajuk 50-75%, 25-50% dan 0-25%. Laju penghancuran serasah daun berubah seiring dengan perbedaan kondisi lingkungan. Ariani (2003) menyatakan bahwa, perbedaan kondisi lingkungan dapat menentukan kecepatan proses dekomposisi, hal ini berhubungan dengan perbedaan intensitas cahaya suhu dan kelembaban. Raharjo (2006) menyatakan bahwa, semakin tinggi kerapatan tajuk pohon maka kelembaban semakin meningkat. Tingginya kelembaban sangat mendukung terjadinya dekomposisi serasah. Menurut Soepardi (2001) ketersediaan serasah dengan kondisi lingkungan yang lembab dapat mempercepat laju dekomposisi serasah. Haraguchi et al., (2002) menyatakan bahwa, laju penghancuran serasah ditentukan oleh aktifitas mikroorganisme, jumlah mikrobia, dan kondisi lingkungan. Proses dekomposisi merupakan proses dalam menghasilkan unsur hara tanah. Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tumbuhan secara normal. Kekurangan unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya
30
kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan secara optimal. F. Berat Serasah Daun yang Tersisa (gram/bulan) Berat serasah daun yang tersisa merupakan berat sisa serasah pada masingmasing persentase penutupan tajuk yang diperoleh pada setiap bulan. Berat sisa serasah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Berat serasah daun yang tersisa pada persentase penutupan tajuk yang berbeda No. Persentase Penutupan Tajuk (%) Berat Sisa Daun (gram/bulan) 1. 75-100% 3,80 2. 50-75% 3,99 3. 25-50% 6,69 4. 0-25% 12,43 Berdasarkan Tabel 5, berat sisa serasah pada persentase penutupan tajuk yang berbeda diperoleh hasil yang berbeda pula. Pada persentase penutupan tajuk 0-25% diperoleh jumlah sisa serasah tertinggi, kemudian tajuk 25-50%, 50-75%, dan 75-100%. Rendahnya jumlah sisa serasah pada persentase penutupan tajuk 75-100% disebabkan karena serasah daun mengalami penghancuran lebih cepat dibanding dengan tajuk yang lain. Cepatnya laju penghancuran serasah ini tentunya tidak lepas dari peranan organisme pengurai (dekomposer) pada proses penghancuran serasah. Foth (1988) menyatakan bahwa, serasah digunakan oleh organisme tanah sebagai sumber makanan (energi) sehingga penghancuran serasah dapat berlangsung dengan cepat.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penghancuran serasah daun Kuma pada persentase penutupan tajuk yang berbeda (Palaquium luzoniense Fern.) di Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari memiliki laju penghancuran serasah yang berbeda. Pada persentase penutupan tajuk 75-100% memiliki laju penghancuran serasah lebih cepat dibanding pada persentase penutupan tajuk yang lain kemudian pada persentase 50-75, 25-50%. Sedangkan pada persentase penutupan tajuk 0-25% memiliki laju penghancuran serasah lebih lambat dibanding dengan persentase penutupan tajuk yang lain. Cepatnya laju penghancuran serasah pada persentase penutupan tajuk 75-100% disebabkan karena kondisi lingkungan pada persentase penutupan tajuk tersebut sangat optimal untuk terjadinya penghancuran serasah. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jenis fauna dan mikroorganisme yang berperan pada penghancuran serasah daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) berdasarkan persentase penutupan tajuk yang berbeda.
31
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, M., 2000, Produksi dan Laju Penghancuran Serasah di Hutan Mangrove Alami dan Binaan Cilacap Jawa Tengah, Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Anggrini, M., Ahmad, M., dan Fatonah, S., 2011, Laju Dekomposisi Serasah dalam Dua Sistem Budidaya Karet pada Lahan Gambut di Kawasan Rimbo Panjang, Riau, Jurnal Biosains, 2(1) : 28-29 Angraeni, S., 2008, Aktivitas dan Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anindyawati, T., 2010, Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah Petanian untuk Pupuk Organik, Jurnal Berita Selulosa, 45(2) : 70 Aprianis, Y., 2011, Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Acacia crassicarpa Cunn. di PT. Arara Abadi, Jurnal Ekno Hutan Tanaman, 4(1) : 41 Ariani, S., 2003, Peranan Tricoderma harziamum Terhadap Kecepatan Dekomposisi Berbagai Sumber Bahan Organik dan Kualitas Kompos yang dihasilkannya, Skripsi, Universitas Andalas, Padang. Avelina, M.E.D., 2008, Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Backer, C.A., dan Bakhuisen, V.D.B., 1965, Flora of Java (Spermatophytes Only) Volume II, Published Under The Auspices of The Rifkhserrium, Leyden. Hal 193-194. Bana S., dan Zulkarnain., 2010, Komposisi Vegetasi pada Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kota Kendari, Jurnal Agriplus, 20(1) : 57 Bintoro, A., Indriyanto., dan Riyanto., 2013, Produksi Serasah pada Tegakan Hutan di Blok Penelitian dan Pendidikan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung, Jurnal Sylva Lestari, 1(1) : 2 Breure, A.M., 2004, Soil Biodiversity Measurements, Threats and Soil Functions, León Spain.
32
33
Darmanto, D., 2003, Produksi dan Model Pendugaan Dekomposisi Serasah pada Tegakan Agathis (Agathis lorantifolia Salisb.), Puspa (Schima wallichii Korth.) dan Pinus (Pinus mercusii Jungh.) di Sub DAS Cipeureu Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dita, L.F., 2007, Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea Balangeran (Korth.) Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor Jawa Barat, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fermanto, I., 2000, Masukan Hara Melalui Curah Hujan, Air Tembus dan Aliran Batang pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii) dan Agathis (Agathis lorantifolia) dan di DAS Cipeureu, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Foth, 1988, Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Golley, F.B., 1983, Tropical Rain Forest Ecosystem, Structure and Function, Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Hairiah, 2005, Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haraguchi, A., Kojima, H., Hasegawa, C., Takahashi, Y., and Iyobe, T., 2002, Decomposition of Organic Matter in Peat Soil in a Minerotrophic Mire, European Journal of Soil Biology, 38: 89-95 Harjosuwarno, S., 1989, Ekologi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hasmirat, 2007, Laju Penghancuran Serasah Daun Pohon Hopea, Castonopis, dan Metrosidores Berdasarkan Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda di Kawasan Hutan Kemaraya Taman Hutan Raya Murhum Kendari, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari. Hilwan, I., 1993, Produksi Laju Dekomposisi, dan Pengaruh Alelopati Serasah Pinus merkusii Jungh, dan Acacia Willd, di Hutan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa barat, Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hermita, 2011, Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomassa Serasah di Lantai Hutan Hujan Tropik Padang Sumatera Barat, Skripsi, Universitas Andalas, Padang. Indriyanto, 2006, Ekologi Hutan, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
34
Iskandar, B., 2014, Dinamika Litterfall dan Kecepatan Dekomposisi Serasah pada Agroekosistem Perkebunan Karet di Kabupaten Dharmasraya, Skripsi, Universitas Andalas, Padang. Jusoh, M.L.C., Manaf, L.A., and Latif, P.A., 2013, Composting of Rice Straw With Effective Microorganism (EM) and it’s Influence in Compost Quality, Journal of Enviromental Health Science and Engineering, 10(17) : 1-9 Kawadias, Alifragisd., Tsiontsisa., and Brofas, G.S.G., 2001, Litterfall, Litter Accumulation and Litter Decomposition Rates in Four Forest Ecosystems in Notern Greece, Journal Forest Ecology and Management, 144 (3) : 113-127 Kohyama, T., Simbolon, H., dan Rahajoe, J.S., 2004, Variasi Musiman Produksi Serasah Jenis-Jenis Dominan Hutan Pegunungan Rendah di Taman Nasional Gunung Halimun, Jurnal Berita Biologi, 7(1) : 65 Kuswytasari, D.N., dan Hanum, M.A, 2014, Laju Dekomposisi Serasah Daun Trembesi (Samanea saman) dengan Penambahan Inokulum Kapang, Jurnal Sains dan Seni Pomits, 3(1) : 17 Limin., Rieley, J.O, dan Sulistiyanto, Y., 2005, Laju Dekomposisi dan Pelepasan Hara dari Serasah, Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 11(2) : 11 Mirmanto, E., 2010, Penelitian Ekologi Hutan di Pulau Natuna: Status Hara Daun dan Serasah, Jurnal Berita Biologi, 14(1) : 89 Moran, J. A., Barker, M.G., Moran, A.J., and Becker, P., 2000, A Comparison of The Soil Water, Nutrient Status, and Litterfall Characteristics of Tropical Heath and Mixed-Dipterocarp Forest Sites In Brunei, Journal Biotropica, 32(2) : 13 Munir, 1996, Tanah-Tanah Utama Indonesia, Universitas Brawijaya, Malang. Nafia, K., 2009, Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nasoetion, A. H., 1990, Pengantar Ilmu-Ilmu Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nilamsari, D., 2009., Produktifitas, Penghancuran, dan Kandungan Hara Serasah pada Tegakan Pinus (Pinus mercusii) dan Agathis (Agathis loranthifolia) di DAS Cipercu Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
35
Paramitha P., Shovitri, M., dan Kuswytasari, N.D., 2012, Biodegradasi Limbah Organik Pasar Menggunakan Mikroorganisme Alami Tangki Septik, Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(2) : 23-26 Purwowidodo, 1992, Metode Selidik Tanah, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raharjo, R., 2006, Studi Terhadap Produksi Serasah, Dekomposisi Serasah, Air Tembus Tajuk dan Aliran Batang Serta Leaching pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus merkusii), di Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmawaty, 2004, Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan di Desa Situdaun, Skripsi, Institut Peranian Bogor, Bogor. Sirait, A.B., dan Haneda, F.N., 2012, Keanekaragaman Fauna Tanah dan Peranannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.), Jurnal Silvikultur Tropika, 3(3) : 161–162 Sulistiyanto, 2005, Laju Dekomposisi dan Pelepasan Hara dari Serasah pada Dua Sub-Tipe Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah, Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 9(2) : 10-14 Suin, N.M., 1997, Ekologi Fauna Tanah, Bumi Aksara, Jakarta. Sunarto, 2003, Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Hutan, Skripsi, UGM, Yogyakarta. Surasanah, F., 1994, Pengantar Ekologi Tumbuhan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Suwanto, A., dan Agustiyani, D., 2011, Pengaruh Pupuk Organik Hayati yang Mengandung Mikroba Bermanfaat Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Tanaman Semangka Serta Sifat Biokimia Tanahnya pada Percobaan di Lapangan di Malinau Kalimantan Timur, Jurnal Berk Penel Hayati. 1(2) : 203-206 Soedarsono, J., 1981, Mikrobiologi Tanah, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soepardi, 2001, Studi Proses Dekomposisi Anaerob dalam Tanah yang digenangi, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sofiah, S., dan Fiqa, P.A., 2012, Pendugaan Laju Dekomposisi dan Produksi Biomassa Serasah pada Beberapa Lokasi di Kebun Raya Purwodadi, Jurnal Biosains, 5(1) : 22 Spur, S.H., and Burton, V.B., 1980, Forest ecology (Third Edition), Krieger Publishing Company, Florida.
36
Steenis, C.G.G.J. Van, 1997, Flora untuk Sekolah Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta Vitousekp, 1982, Nutrient Cycling and Nutrient Use Efficiency, Jounal American Naturalist, 119 : 553-573 Widarti, 2007, Suatu Studi Orientasi Pelepasan Beberapa Unsur Hara Mineral dalam Proses Dekomposisi Serasah Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala), Kaliandra (Caliandra callothyrsus) dan Gamal (Gliricidia maculata), Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widyati, E., 2013, Pentingnya Keragaman Fungsional Organisme Tanah Terhadap Produksi Lahan, Jurnal Teknologi Hutan Tanaman, 6(1) : 29 Yuanita, 2006, Laju Penghancuran Serasah Mangrove Rhizopora apiculata di Perairan Pantai Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
37
38
Lampiran 2. Pengukuran Faktor Lingkungan pada Persentase Penutupan yang Berbeda Parameter Persentase Intensitas Suhu No Penutupan Bulan Kelembaban Cahaya Udara Tajuk (%) Udara (%) (Candela) (oC) I 1876 31,05 78,05 II 1660 31 78,05 1. 0-25% III 1930 30,02 78,025 IV 1720 30,27 78 Rata-Rata 1796,5 30,58 78,03 I 1012 30,02 80 II 960 30,1 80 2. 25-50% III 680 30 80 IV 754 30 80 Rata-Rata 851.5 30,03 80 I 569 29 80 II 321 30,05 82 3. 50-75% III 478 29 80,5 IV 421 29 81 Rata-Rata 447.25 29,26 80,87 I 235 28 82 II 126 29 82 4. 75-100% III 320 29 82 IV 256 28 83 Rata-Rata 234,25 28,5 82,25
Tajuk
Suhu pH Tanah Tanah (oC) 31,5 6 30,5 6 30 6 30,75 6 30,68 6 30,5 6 30,5 6 30 6 30 6 30,25 6 30,5 6 30 6 28 6 28 6 29,12 6 30 6 29,75 6 28 6 28 6 28,93 6
Lampiran 3. Kandungan Organik Tanah (KOT) pada Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda Persentase Penutupan No. Berat kering (A) Berat abu (B) Tajuk (%) 1. 75-100% 4,25 4,02 2. 50-75% 4,39 4,19 3. 25 -50 % 4,37 4,25 4. 0-25% 4,13 4,03
KOT 5,41 4,54 2,78 2,51
39
Lampiran 4. Laju penghancuran Serasah Daun Kuma (Palaquium luzoniense Fern.) (gram/bulan) pada Persentase Penutupan Tajuk yang Berbeda Laju Penghancuran Serasah Persentase Kantong Daun pada Bulan keNo. Penutupan Tajuk g/bulan Serasah (%) 1 2 3 4 I 4,76 3,78 4,09 4,66 II 2,15 2,01 0,89 3,38 1. 0-25% III 4,63 1,94 1,94 3,60 3,12 IV 5,33 2,23 1,46 3,10 Rata-Rata 4,22 2,49 2,10 3,68 I 5,33 7,28 6,55 3,66 II 6,56 5,83 4,71 4,28 2. 25-50% III 12,74 4,83 5,57 4,61 6,08 IV 11,82 4,58 5,49 3,51 Rata-Rata 9,11 5,63 5,58 4,02 I 13,77 7,63 5,89 4,93 II 14,76 8,83 5,81 4,33 3. 50-75% III 8,54 7,45 5,81 4,91 7,31 IV 3,09 9,83 6,37 4,98 Rata-Rata 10,04 8,44 5,97 4,79 I 9,13 9,84 6,50 4,94 II 15,55 8,72 5,54 4,87 4. 75-100% III 14,46 7,23 6,13 4,76 8,20 IV 16,21 8,10 6,46 2,72 Rata-Rata 13,84 8,47 6,16 4,32
Lampiran 5. Berat Serasah Daun pada Setiap Bulan Pengamatan (gram) Tabel 1. Berat kering serasah daun bulan 1 No. 1. 2. 3. 4.
Kantong Serasah I II III IV Rata-Rata
0-25% 15,23 17,84 15,36 14,66 15.77
Bulan 1 Persentase Penutupan Tajuk (%) 25-50% 50-75% 75-100% 14,66 6,22 10,86 13,43 5,23 8,87 7,25 11,45 4,44 8,17 16,90 7,68 10,88 9,95 7,97
40
Tabel 2. Berat kering serasah daun bulan 2 No. 1. 2. 3. 4.
Kantong Serasah I II III IV Rata-Rata
Bulan 2 Persentase Penutupan Tajuk (%) 0-25% 25-50% 50-75% 75-100% 12,43 5,43 4,73 0,30 15,96 8,33 2,32 2,54 16,10 10,32 5,09 5,53 15,53 10,82 0,32 3,78 15,00 8,72 3,11 3,04
Tabel 3. Berat kering serasah daun bulan 3 No. 1. 2. 3. 4.
Kantong Serasah I II III IV Rata-Rata
Bulan 3 Persentase Penutupan Tajuk (%) 0-25% 25-50% 50-75% 75-100% 7,71 0,33 2,31 0,49 17.31 5,86 2,56 3,37 14,16 3,29 2,56 1,58 15,59 3,51 0,87 0,6 13,69 3,25 2,07 1,51
Tabel 4. Berat kering serasah daun bulan 4 No. 1. 2. 3. 4.
Kantong Serasah I II III IV Rata-Rata
Bulan 4 Persentase Penutupan Tajuk (%) 0-25% 25-50% 50-75% 75-100% 1,35 5,32 0,25 0,23 6,47 2,85 2,66 0,49 5,56 1,53 0,36 0,93 7,58 5,94 0,04 9,10 5,24 3,91 0,83 2,69
41
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian a. Peletakan kantong serasah
42
b. Pengukuran faktor lingkungan
43
c. Penimbangan berat kering serasah daun
d. Analisis kandungan organik tanah
44
Lampiran 7. Persentase Penutupan Tajuk (%)
Persentase penutupan tajuk 75-100%
Persentase penutupan tajuk 25-50%
Persentase penutupan tajuk 50-75%
