BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah kelinci Menurut Kartadisatra (2011) kelinci merupakan hewan mamalia dari family Leporidae yang dapat ditemukan di banyak bagian permukaan bumi. Dulunya, hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun 1912 kelinci diklasifikasikan dalam Ordo lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk didalamnya jenis kelinci dan terwelu). Di Indonesia banyak terdapat kelinci lokal, yakni kelinci jawa (Lepus negicollis) dan kelinci sumatra (Nesolagus netseherischlgel). Menurut Ramadhan (2012) dalam wikipedia Indonesia menyatakan bahwa kelinci jawa diperkirakan masih ada di hutan-hutan sekitar wilayah Jawa Barat.
Warna bulunya coklat perunggu kehitaman, ekornya berwarna jingga
dengan ujungnya yang hitam. Berat kelinci jawa dewasa bisa mencapai 4 kg sedangkan kelinci sumatra merupakan satu-satunya ras kelinci yang asli indonesia.
Habitatnya adalah hutan di pegunungan Pulau Sumatra dengan
panjang badannya mencapai 40 cm dengan warna bulunya kelabu coklat. Kelinci jawa (Lepus negicollis) merupakan migrasi dari kelinci sumatra (Nelolagus netseherischlgel). 2.2 Potensi Ternak Kelinci Dimasa mendatang diprediksi konsumsi daging kelinci di Indonesia akan meningkat.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah penduduk dan
berkurangnya populasi akan ternak besar terutama sapi, kerbau, dan kambing. Menurut Iskandar (2001) bahwa kelinci juga mempunyai kualitas daging yang 5
baik dengan kadar protein tinggi (20,8%), kadar lemak rendah (10,2%), dan kolesterol rendah (5,2%) dibandingkan dengan ternak lain.
USDA (2009)
menyatakan bahwa dari kandungan protein dan lemak dagingnya, kelinci masih lebih baik dibandingkan daging dari ternak lain seperti terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan protein, lemak dan energi berbagai jenis daging Jenis Daging Kelinci Ayam Sapi muda Kalkun Kerbau
Protein (%) 20.8 20.0 18.8 20.1 15.7
Lemak (%) 10.2 11.0 14.0 22.2 27.7
Energi (Kalori/kg) 795 810 910 1190 1420
16.3
28.0
1440
11.9
45.0
2050
Sapi Babi Sumber: USDA (2009)
Keuntungan potensial yang bisa didapat dari pemeliharaan kelinci adalah: (1) dapat menyediakan sumber protein hewani yang murah dan mudah didapat, (2) memperbanyak variasi makanan, (3) memberikan penghasilan tambahan pada petani peternak dan (4) menambah lapangan kerja dan meningkatkan produksi daging sehat berkualitas tinggi (Nuriyasa, 2012). 2.3 Kepadatan Ternak dalam Kandang Menurut McNitt et al. (1996) bahwa bentuk, ukuran dan material kandang yang dipergunakan tergantung pada iklim, lokasi peternakan, ukuran usaha, tujuan pemeliharaan dan jumlah investasi yang dipergunakan serta luas lantai optimum perlu mendapatkan perhatian dari peternak kelinci karena akan berpengaruh terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, pertumbuhan dan respon fisiologis dari ternak kelinci. Pembuatan kandang harus memperhatikan faktor-faktor seperti iklim mikro, terhindar dari predator, tersedia tempat ransum 6
dan air minum, ukuran kandang, tersedia kotak untuk tempat melahirkan, dan kesehatan ternak serta lingkungan (Schiere, 1996). Kandang lantai panggung atau kandang battery banyak dipilih oleh peternak kelinci komersial dengan tujuan membersihkan kandang lebih mudah. Hasil penelitian Nuriyasa (2012) mendapatkan bahwa ternak yang melakukan aktivitas fisik lebih banyak dan respon fisiologi yang lebih jelek akan mengalami hambatan pertumbuhan. Aktivitas fisik menyebabkan energi yang dipergunakan untuk hidup pokok meningkat sehingga energi dan protein yang diretensi menjadi lebih rendah yang berdampak pada tingkat pertumbuhan lebih rendah.
Hasil penelitian Onbasilar dan Onbasilar (2007) mendapatkan berat
badan akhir dan konsumsi ransum kelinci yang dipelihara tiga ekor dalam satu petak kandang (4200 cm2/ekor) lebih baik daripada satu ekor dalam satu petak (1400 cm2/ekor) dan lima ekor dalam satu petak (8400 cm2/ekor). 2.4 Imbangan Energi dan Protein Pada Ransum Bahan makanan yang diberikan kepada kelinci adalah rumput dan dedaunan seperti rumput ginting, cakar ayam, kalamenta, teki biasa, daun turi, dadap, kacang tanah, kacang panjang, daun pisang, rumput setaria dan daun lamtoro. Selain itu kelinci juga dapat diberikan umbi-umbian dan biji-bijian seperti umbi ketela pohon, ketela rambat, wortel, biji jagung, gandum, kedelai, biji kacang tanah dan biji kacang hijau (Sarwono, 2003). Ransum ternak yang terdiri atas berbagai jenis bahan ransum yang disusun untuk memenuhi kebutuhan ternak untuk hidupnya. Banyaknya ransum yang dikonsumsi akan mempengaruhi daya produksi dari ternak tersebut, apabila energi yang dikonsumsi berlebih maka dimanfaatkan untuk disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Bini dan Xiccato, 7
1998). Berkenaan hal tersebut, untuk menghindari lemak yang berlebih, maka ransum yang dikonsumsi harus memiliki energi yang sesuai dengan kebutuhan ternak kelinci. Menurut Wahyu (1997) konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan energi yang terdapat didalamnya dan keseimbangan energi dan protein memiliki peranan penting dalam menyusun ransum ternak kelinci, apabila tidak seimbang maka akan mengakibatkan kelebihan atau kekurangan asupan energi dan protein dalam tubuhnya. 2.5 Karkas Kelinci Karkas kelinci didapat dengan memotong kelinci untuk mengeluarkan darahnya, kemudian digantung pada salah satu kaki belakang dengan membuat potongan pada kulit antara tulang dan tendo pada sendi siku kaki belakang. Kepala dilepas pada sendi atlas, kaki belakang pada sendi siku dan kaki depan pada sendi siku serta ekor dilepas pada pangkal ekornya. Kulit dilepas dengan membuat sayatan dibagian belakang dari paha belakang ke arah pangkal ekor dan paha yang bebas, kemudian ditarik ke arah leher sampai lepas. Jeroan dikeluarkan dari rongga perut dengan membuat sayatan median. Berat kosong didapat dengan mengeluarkan jeroan dengan paru-paru tetap bersama karkas (McNitt et al, 1996). Resnawati dan Handjoswoto (1976) menyatakan bahwa karkas dan pertumbuhan tidak dapat dipisahkan, semakin tinggi pertumbuhan ternak maka berat dan persentase karkas semakin tinggi pula.
Hasil penelitian Blas dan
Wiseman (1998) mendapatkan berat karkas 1522 g pada umur 74 hari dan 1543 g pada umur 106 hari. Kelinci yang diberi ransum komersial saja menghasilkan persentase karkas 61,30% sedangakan kelinci yang diberi ransum komersial yang 8
disubstitusi rumput segar menghasilkan persentase karkas 55,50%. Puger (1993) mendapatkan berat karkas kelinci lokal pada umur 42 hari berkisar 338-391 g. Karkas kelinci dapat dipotong-potong menjadi potongan komersial karkas yang meliputi dua potongan kaki belakang kiri dan kanan, satu potongan pinggang +punggung, dua potongan dada-leher dan dua potongan kaki depan kiri dan kanan (Sartika dan Raharjo, 1991).
Hasil penelitian Herman (1989)
mendapatkan proporsi kaki belakang, kaki depan, pinggang+punggung, dada+leher pada karkas kelinci masing-masing 40%, 16%, 22% dan 23%. Hasil penelitian Prasad et al. (1996) pada kelinci chinchilla yang diberi ransum iso energi (2500 kkal/kg DE) dengan kandungan protein 15%, 18% dan 21% menghasilkan persentase karkas 45,27%, 45,70% dan 45,64%. 2.6 Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Terhadap Karkas Kelinci McNitt et al. (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan bobot tubuh ternak kelinci sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, maksudnya penilaian pertambahan bobot badan tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi. Menurut Church dan Pond (1980) pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari ransum yang diberikan. Penyusunan ransum kelinci yang umum dilakukan adalah berdasarkan pada kandungan energi dan protein yang sesuai dengan kebutuhan dari jenis kelinci tersebut. Menurut Cheeke et al. (1982) bahwa untuk ransum kelinci yang sedang tumbuh, susunannya adalah 16% protein kasar, 2% lemak, 10-12% serat kasar, 9
65% TDN dan energi 2500 kkal, Ca dan P masing-masing 0,40% dan 0,22%. Kebutuhan nutrisi kelinci akan dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban kandang. Kombinasi suhu tinggi dan kelembaban dapat menyebabkan stress yang berlebih untuk beberapa kelinci dan berpengaruh terhadap energi dan simpanan protein dalam tubuh kelinci (Prasad et al., 1996) 2.7 Iklim Mikro Kandang Menurut Tom (1975) iklim mikro menggambarkan kondisi lingkungan sekitar yang berhubungan langsung dengan organisme hidup, baik dekat permukaan bumi maupun lingkungan yang terbatas misalnya ruang pabrik, rumah kaca atau sebuah bangunan kandang. Rozari (1987) mendefinisikan iklim mikro sebagai keadaan fisik dari udara didekat sebuah luasan kecil permukaan bumi dan sering dilakukan dalam hubungan dengan tanaman atau hewan. Dibandingkan iklim makro, iklim mikro biasanya menyangkut periode waktu yang relatif pendek dan cakupannya lebih sempit. Ada empat unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung, yaitu suhu, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin sedangkan dua unsur yang lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung.
Temperatur
optimal untuk pertumbuhan ternak kelinci berkisar 9-190C dan kelembaban relatif udara dalam kandang optimal berkisar 80-86% (McNitt et al., 1996).
10