l Edisi : Juli - September 2007
Edisi Juli - September 2007
BULETIN WWF
Suara Tesso Nilo DARI REDAKSI
Susunan Redaksi
S Penanggungjawab Dudi Rufendi
Redaksi Nursamsu Sri Mariati Dani Rahadian Suhandri Syamsidar M. Yudi Agusrin
Alamat Redaksi: Perkantoran Grand Sudirman B.1 Jl. Dt. Setia Maharaja - Pekanbaru Telp/Fax: (0761) 855006 E-mail:
[email protected] Website: http://www.wwf.or.id/tessonilo
DAFTAR ISI
l Patroli Perambahan di Tesson Nilo Terus Berlanjut l Pekerjaan Rumah Mitigasi Satwa Liar di Provinsi Riau l Harimau di Kerumutan - Kampar: Misteri Ekologi Satwa di Lahan Gambut l Kawasan Gambut Semenanjung Kampar l Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo Menjadi 100.000 ha Salah Satu Solusi Mengatasi Permasalahan Konflik Gajah di Riau l Satu Tahun Kegiatan Kelompok Mikro Kredit (Credit Union) di Kasasan Tesso NIlo
alam Lestari,
Pembaca yang terhormat, Kembali buletin Suara Tesso Nilo hadir dihadapan pembaca sekalian, dengan harapan tentunya kehadirannya akan menambah ragam informasi bagi kita semua. Lagi pada edisi kali ini, redaksi menyajikan kegiatan patroli bersama pengamanan Tesso Nilo sebagai laporan utama. Demi keutuhan kawasan Tesso Nilo yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan, tentu kita berharap permasalahan yang mengancam keutuhan tersebut dapat ditangani dengan secepatnya. Harus diakui, memang tidak mudah mengatasi permasalahan di Tesso Nilo terutama perambahan karena kompleksitasnya permasalahan tersebut. Dilaksanakannya patroli bersama ini paling tidak diharapkan dapat menekan laju perambahan, pembalakan liar dan kebakaran hutan yang mengancam hutan Tesso Nilo, sebelum adanya penanganan yang lebih terintegrasi. Pelaksanaan patroli bersama ini dilapangan juga bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun kendala-kendala tersebut tidak menyurutkan tim patroli untuk melaksanakan kegiatan yang telah menjadi bagian dari tugas tim. Upaya penanggulangan perambahan di Tesso Nilo dan percepatan perluasan Taman Nasional tersebut pada akhir Juli lalu mendapat angin segar dengan adanya dukungan nyata pemerintah provinsi Riau. Gubernur Riau lewat keputusan nomor Kpts:271.a /VII/ 2007 memutuskan membentuk Tim Penanggulangan Perambahan Hutan dan Lahan serta Perluasan pada Taman Nasional Tesso Nilo. Tim yang beranggotakan Muspida dan pemegang otoritas terkait tentu merupakan suatu kekuatan terintegrasi yang diharapkan nantinya dapat mencari solusi permasalahan perambahan di Tesso Nilo. Dalam edisi kali ini, redaksi juga menyajikan pengalaman kami dalam studi distribusi dan populasi harimau di Semenanjung Kampar dengan metode pemasangan kamera intai. Memang sungguh hal yang mengejutkan dan menyedihkan bahwa beberapa kamera intai yang kami pasang di kawasan tersebut untuk kebutuhan penelitian hilang dan mengalami gangguan. Kawasan gambut Semenanjung Kampar tidak hanya kaya dengan keanekaragaman hayatinya tetapi juga merupakan kawasan yang berfungsi untuk cadangan air dan penyimpan karbon. Terganggunya kawasan ini dengan kegiatan eksploitasi kawasan sudah tentu akan mengganggu ekosistem tidak hanya lokal tapi juga dunia internasional. Selain itu kami juga menyajikan perspektif penanggulangan kejahatan kehutanan yang bernama illegal logging. Hampir semua penduduk Indonesia menyadari besarnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh praktek ilegal ini belum lagi dampaknya terhadap lingkungan kita, namun hingga kini pemberantasan kejahatan jenis ini masih mengalami kendala. Apa sebenarnya yang dikatakan illegal logging? Mengapa kegiatan ini bisa marak terjadi? Adalah beberapa pertanyaan yang kami harap dapat Anda temukan jawabannya pada tulisan yang kami sajikan kali ini. Masih ada beberapa topik yang kami sajikan dalam edisi kali ini, kami harap keringanan hati pembaca untuk menemukan informasinya pada buletin kami kali ini. Kami ucapkan terimakasih kepada pembaca sekalian, dan kami tunggu kritik dan sarannya untuk perbaikan buletin ini.
Wassalam ww, Dudi Rufendi Program Manager
Pemberantasan Kejahatan Kehutanan
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Patroli Perambahan di Tesso Nilo Terus Berlanjut
T
aman Nasional Tesso Nilo diusulkan menjadi kawasan konservasi gajah yang nantinya diharapkan dapat menjawab solusi permasalahan konflik manusia-gajah di Riau. Namun kawasan yang ditunjuk menjadi
tuhan kawasan hutan tersebut tidak semakin terganggu. Oleh karena itu berbagai tantangan di lapangan yang harus dihadapi tim patroli gabungan penanggulangan perambahan, illegal logging, kebakaran hutan dan lahan
Tim patroli melakukan interogasi kepada perambah yang ditemui di lapangan. Foto: Tim Patroli
taman nasional tersebut pada pertengahan 2004 lalu dan kawasan hutan yang tersisa di blok hutan Tesso Nilo tersebut tengah dalam keterancaman kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologinya. Hal ini dikarenakan permasalahan alih fungsi lahan, pembalakan liar, perambahan dan kebakaran hutan yang masih tetap terjadi di kawasan tersebut. Sudah menjadi komitmen bersama para pemangku kepentingan di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo untuk mengamankan kawasan hutan tersebut dari permasalahan yang dihadapi di lapangan. Dengan harapan keu-
di Tesso Nilo tetap melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan MoU yang disepakati pada Maret lalu. Seperti direncanakan sebelumnya, tim patroli akan melakukan patroli gabungan rutin ke kawasan hutan Tesso Nilo (Taman Nasional Tesso Nilo dan kawasan usulan perluasannya). Standar operasi tetap mengacu pada petunjuk teknis kegiatan dimana tim berupaya melakukan kegiatan yang bersifat persuasif kepada perambah atau pelaku illegal logging yang ditemui di lapangan untuk dengan kesadarannya menghentikan kegiatan illegal di kawasan hutan tersebut.
Pada operasi yang dilaksanakan selama lima hari pada bulan Agustus 2007, di hari pertama, tim masih menemukan kamp pekerja di kawasan perambahan Bukit Horas walaupun di kawasan ini sudah beberapa kali dilakukan patroli. Tidak tanggung-tanggung, pada salah satu lokasi perambahan yang ditemui, tim menemukan 4 unit kamp pekerja dengan beberapa orang pekerja harian. Dari hasil interogasi tim kepada pekerja harian yang ditemui di lapangan, diketahui pemilik lahan adalah seorang keturunan India yang bertempat tinggal di Sumatera Utara. Namun pengawas lapangan dan pelaksana lapangan yang menjadi kepercayaan pemilik lahan ini tidak dapat ditemui karena melarikan diri ketika mengetahui tim patroli datang. Oleh karena itu tim tidak dapat mengumpulkan keterangan yang pasti mengenai luas lahan yang dimiliki oleh pemilik lahan. Namun, dari pengamatan di lapangan diperkirakan luas bukaan lahan di kawasan itu sekitar ± 600 ha. Tim melakukan pengosongan terhadap kamp pekerja dan meminta pekerja untuk pulang ke daerah asalnya masing-masing dengan memberikan sejumlah dana bagi pekerja tersebut. Kemudian tim menghancurkan 1 unit kamp pekerja dan menyita sementara beberapa barang yang diduga digunakan untuk perambahan, antara lain: 1 unit sepeda motor, 1 unit mesin gen set, 1 unit chainsaw, 3 unit cangkul dan lainnya. Berita acara penyitaan sementara terhadap barang bukti
Pemberantasan Kejahatan Kehutanan
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo kemudian ditandatangani oleh pekerja. Barang-barang yang disita oleh tim kemudian diserahkan ke Dinas Kehutanan Pelalawan dan dititipkan sementara di pos pemeriksaan hasil hutan wilayah Cabang Dinas Kehutanan SorekPelalawan. Di hari berikutnya, tim menemukan dua orang pekerja illegal logging yang tengah mengolah kayu di lahan yang sudah dibuka sebelumnya untuk kebun sawit. Selain itu tim juga menemukan tiga orang pekerja yang melakukan pembakaran lahan dimana satu orang tertangkap tangan
gunakan sepeda motor. Anggota tim berhasil sampai ke lokasi dan membawa dua orang pekerja dari kawasan pembukaan lahan tersebut kehadapan anggota tim yang lainnya. Berdasarkan interogasi tim dengan dua pekerja tersebut diketahui pemilik lahan dan pemilik alat berat berasal dari Kampar. Lahan dengan luas yang direncanakan dibuka seluas ± 300 hektar, sebagian sudah terbuka namun belum dilakukan penanaman. Lahan tersebut terletak di kawasan HPH PT. Nanjak Makmur. Berhubung kondisi sudah larut malam, dan tidak semua
Tim patroli melakukan penyitaan barang bukti yang digunakan untuk merambah. Foto: Tim Patroli
sementara dua orang melarikan diri. Tim membawa pelaku dan melanjutkan operasi di kawasan perambahan lainnya. Tim kemudian mendapatkan informasi adanya aktivitas pembukaan lahan menggunakan alat berat. Namun karena kondisi jalan tidak bisa dilalui dengan mobil, sementara jarak lokasi alat berat dengan lokasi dimana tim berada berjarak ± 3 km maka tim mengutus seorang anggotanya bersama salah seorang pekerja yang ditemui dilapangan menuju lokasi dimaksud dengan meng
pekerja itu yang juga berjanji akan menyampaikannya kepada pemilik lahan. Setelah tim memberikan pengarahan kepada dua pekerja yang kemudian berjanji tidak akan lagi akan bekerja di lahan tersebut, tim memutuskan untuk tidak membawa pekerja. Barang yang disita dititipkan sementara di Pos lalu lintas hasil hutan- Sorek untuk proses selanjutnya. Pada patroli kali ini, tim masih menemukan kelompok pembuka lahan yang mana kelompok tersebut pada patroli terdahulu telah berjanji untuk menghen-
Tim patroli mengangkut barang bukti yang disita. Foto: Tim Patroli
anggota tim patroli dapat menjangkau kawasan tersebut, tim memutuskan untuk melakukan penyitaan sementara terhadap beberapa komponen penting alat berat tersebut yang bertujuan agar alat itu tidak bisa digunakan atau dikeluarkan dari lokasi. Tim kemudian mengirim satu orang anggota menuju lokasi bersama operator untuk mengambil beberapa komponen penting alat berat tersebut. Tim membawa barang yang disita setelah surat penyitaan tersebut ditandatangani oleh dua
tikan kegiatannya dan meninggalkan kawasan hutan tersebut. Berhubung kelompok ini tidak mengindahkan janji dan pernyataan yang disampaikannya kepada tim patroli, tim patroli kemudian menghancurkan kamp kerja sebagai tindakan akhir. Tim juga melakukan penyitaan barang-barang bukti yang diduga dan diyakini digunakan untuk melakukan pembukaan dan menduduki kawasan hutan secara tidak syah. Kepada pekerja secara tegas disampaikan untuk mengosongkan lokasi dan
Pemberantasan Kejahatan Kehutanan
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo tidak diperbolehkan lagi digarap baik oleh pekerja maupun oleh pemilik lahan. Patroli Bersama Bulan September Kegiatan patroli pengamanan kawasan hutan Tesso Nilo di lapangan bukanlah hal yang mudah. Tidak jarang tim harus berhadapan dengan orangorang yang menantang tugas yang tengah dilaksanakan karena mereka di back up oleh oknum petugas tertentu. Bahkan oknum petugas tersebut ada juga yang ditemukan berada di lokasi perambahan yang didatangi oleh tim. Seperti halnya pada operasi yang dilakukan oleh tim patroli gabungan Tesso Nilo pada bulan September lalu. Tim yang mendapat informasi keberadaan alat berat yang tengah melakukan pembuatan parit untuk kebun kelapa sawit di salah satu titik perambahan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, langsung menuju lokasi dan menemukan sebuah alat berat merk Komatsu sedang melakukan kegiatan pembuatan parit di areal yang sudah ditanami sawit. Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh tim di lapangan, dari para pekerja didapat informasi bahwa pemilik lahan berasal dari Medan yang telah membeli lahan yang berada dalam Taman Nasional tersebut dulunya dalam kondisi kebun sawit yang sudah panen. Lahan tersebut ketika dibeli sudah memiliki sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Indragiri Hulu pada tahun 1999. Tim kemudian meminta pemilik lahan untuk menunjukkan sertifikat dan dokumen terkait lainnya. Karena tumpang tindih
perizinan ini, untuk sementara tim tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap status lahan tersebut. Tim meminta pelaku membuat surat pernyataan tidak akan meneruskan kegiatan pembukaan lahan di kawasan tersebut. Selain itu, alat berat tidak boleh dipindahkan sampai adanya keputusan lebih lanjut dari tim Tesso Nilo. Berbagai kendala di lapangan masih banyak yang harus diha-
dapi dalam pelaksanaan patroli pengamanan hutan Tesso Nilo ini, namun patroli ini terus berlanjut dengan harapan upaya yang dilakukan dapat menekan laju kerusakan hutan Tesso Nilo karena perambahan, illegal logging dan kebakaran. Semoga pula, hasil-hasil temuan selama dilakukannya patroli gabungan ini dapat ditindaklanjuti dengan semestinya. (Syamsidar & Alhamran Ariawan)
Alat berat yang digunakan untuk membuat parit kebun sawit dalam kawasan yang tumpang tindih dengan TNTN. Foto: Tim Patroli
Mitigasi Konflik Manusia-Gajah
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Pekerjaan Rumah Mitigasi Konflik Satwa Liar di Provinsi Riau T
Perspektif 2007 Titik Tolak Keberhasilan? Atau, Keadaan Kian Runyam?
erlepas dari adanya kekurangan, di tahun 2007 apresiasi patut diberikan ke lembaga pemerintah yang telah membangun strategi penyelamatan gajah dan harimau Sumatera serta protokol mitigasi konflik satwa liar. Kini, bagaimana mengawal agar implementasinya dapat berjalan baik di provinsi maupun di daerah dengan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat mengingat konflik terjadi tanpa pandang waktu berpacu dengan kecepatan hilangnya tutupan hutan. Bacalah koran atau dengarlah laporan, lalu pikirkan apa yang harus kita lakukan? Lazimnya ialah kita bertindak, koordinasi ke internal dan ke otoritas, lalu komunikasi dengan aparat desa dan kepolisian atau militer sebagai pengamanan awal di lapangan. Demikian alurnya, hingga kita menunggu dan tunggu apa putusan yang diambil oleh otoritas konservasi di provinsi. Hasilnya? Rasio tindakan mitigasi sangat minim ditindaklanjuti, dan membiarkan konflik dengan sendirinya tereduksi. Inilah fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dalam kasus-kasus Konflik Manusia dan Gajah Sumatera di Provinsi Riau. Pada akhirnya yang terdengar adalah keluhan dan sumpah serapah di lapangan. Radikalisme juga ada, kendati modusnya samar-samar, semisal pembunuhan dan peracunan gajah. Fenomena ini, siapa yang disalahkan? Apa otoritas konservasi di provinsi? Apakah kepada masyarakat agar lebih didorong untuk lebih adil lagi? Atau, kepada kita yang membiarkan fenomena ini terjadi?
Denyut Riau Dalam banyak hal, Riau menyimpan tanda-tanda ke mana peradaban bergerak. Industrialisasi dan kapitalisme bergerak cepat yang hanya sebagian saja awalnya terjadi di beberapa daerah, lalu menerjang hampir ke seluruh permasalahan di bumi Melayu ini. Booming minyak sawit hingga detik ini yang terus melejit, membuat Riau berada terdepan di seantero nusantara. Komoditas ini menempatkan Indonesia (43%) dan Malaysia (44%) menjadi 2 produsen CPO (Minyak Sawit Mentah) terbesar di dunia (Oilworld, 2007). Harga komoditas sawit terus menjanjikan karena meningkatnya permintaan dunia akan CPO untuk pangan dan energi terbarukan. Dari 5.236.169 hektar areal perkebunan kelapa sawit nasional, 28% nya berada di Riau (IPOC 1997-2003). Semula hanya segelintir pengusaha swasta yang menanamkan modalnya, kini menjalar ke petani baik petani mandiri maupun plasma. Pemodal dari berbagai arah menyerbu dan terus merangsek. Lahan tidak bertambah, tapi kebutuhan terus menjulang. Alhasil hutan alam, hutan gambut, kawasan lindung bahkan taman nasional porak-poranda legal maupun illegal. Imbasnya, penghuni mamalia terbesar di darat, gajah meradang dan menerjang kebunkebun, pemukiman dan segala apa yang ada di sepanjang jalur jelajahnya. Pun harimau Sumatera keluar rimba mengintai hewan ternak karena kesulitan mendapat mangsa alami. Dalam fenomena seperti itu, banyak orang menutup mata dan menulikan telinganya. Orang tahu, ada komunitas gajah dan harimau disana, tapi hutannya tetap dikoyak-
koyak. Dalam situasi yang berbeda orang-orang itu tidak peduli, dengan pancaran mata dan teriakan amarahnya, mereka minta didengar dan ditindaklanjuti segera atas serbuan gajah-gajah di kebunnya. Kini, hidup harmonis dengan alam bukan lagi sebuah paham yang melekat sebab keseimbangan alam takluk oleh geliat ekonomi. Tidak hanya bersandar pada ekonomi, konflik gajah juga terkait secara fundamental baik fisik, ekologis, sosial, dan kebijakan isu lingkungan serta perdagangan. Bagaimana dengan HTI akasia? Jika mau jujur, perkebunan monokultur yang dikuasai berkonstribusi sangat besar terhadap lenyapnya hutan alam dan memicu meningkatnya konflik satwa liar. Konsep yang senantiasa mengusung aspek lingkungan, terlalu dini untuk disimpulkan sebagai suatu keberhasilan. Sekedar mencatat, hutanhutan di luar konsesi dibuka sebagai koridor untuk jalur pengangkutan bahan baku akasia namun membiarkan para perambah mengoyak kawasan hutan. Atau, karena kebutuhan bahan baku dari konsesi yang belum mencukupi bukan tidak mungkin membuka peluang ”bermain” menampung kayu-kayu alam. Atau lagi, penolakan fakta dimana kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi sehingga harus dipertahankan fungsinya tetap saja diabaikan. Sejauh ini para pemilik HTI akasia belum dipusingkan oleh gajah di konsesinya karena kerusakan belum signifikan. Lagipula di kebun akasia menu pakan tidak favorit, tidak seperti umbut tanaman kelapa sawit. Karena ruang jelajah gajah besar sedang jalurnya banyak berubah
Mitigasi Konflik Manusia-Gajah
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo menjadi HTI akasia - maka gajahpun bisa beradaptasi. Gajah bisa tinggal di HTI akasia secara temporer, setidaknya digunakan untuk transien, pelindung atau sumber pakan suplemen (analisa awal GPS collar di TNTN). Konflik manusia-gajah lebih banyak terjadi di sekitar perkebunan sawit dan pemukiman (Kompilasi data WWF 2007). Tahun 2007 ini, tercatat 3 orang meninggal, 2 orang cedera, sedikitnya 4 gajah mati, dan 7 gajah ditangkap akibat konflik manusia-gajah Kantong Rawan Di provinsi Riau kini tinggal 9 kantong penyebaran gajah, kebanyakan situasinya rawan dan berpotensi konflik mengingat hutan telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. Lima kantong penyebaran yang sangat berpotensi adalah Mahato (Rohul), Balai Raja (Bengkalis), GSK (Siak), TahuraTapung (Kampar), dan Tesso UtaraTenggara (Pelalawan). Dulu konflik datang terkait musim. Kini, konflik datang tidak mengenal musim. Sampai disini, keputusan yang cepat dan tepat oleh otoritas dalam penanganan gajah-gajah harus segera dilakukan. Data populasi, kondisi habitat, dan tren apa yang akan terjadi sesungguhnya sudah tersedia dan mudah diakses. Jika di daratan Riau dibelah utaratengah dan selatan, maka bagian utara-tengah, sejak lebih satu tahun lalu ada banyak penangkapan gajah kemudian dilepas bukan pada tempatnya. Selang waktu yang tidak jauh muncul konflik-konflik gajah di bagian selatan – yang sebelumnya jarang terjadi. Ternyata konversi hutan alam lebih cepat di bagian utara dan tengah Riau. Buktinya, antara 2000-2007 sedikitnya 21 dari 27 manusia meninggal dan atau cedera karena konflik dengan gajah seperti di Kabupaten Rohul, Kampar dan Bengkalis. Tahun 2007 ini kualitas konflik
lebih menurun dibanding tahun sebelumnya. Manusia meninggal atau cedera, gajah mati atau penangkapan gajah angkanya lebih sedikit. Ini bukan karena adanya gerakan restorasi atau rehabilitasi hutan-hutan untuk habitat satwa bertubuh tambur itu, tapi disadari atau tidak ini dipengaruhi juga adanya konflik A dan B, atau C dan B. Selain itu untuk kawasan tertentu, adanya patroli pengamanan gajahgajah liar juga cukup efektif dalam mengurangi konflik yang sesungguhnya. Roadmap Strategi dan Protokol Sadar permasalahan konflik satwa liar, yang frekuensinya semakin tinggi adalah bukan semata urusan pemerintah. Dan menyadari bahwa populasi harimau dan gajah Sumatera semakin kritis - terlebih Riau yang menjadi sorotan dunia – maka rencana strategi nasional produk di atas 10 tahun lalu ditinjau-ulang, baik untuk gajah maupun harimau Sumatera. Serangkaian rencana disusun oleh Direktorat Keanekaragaman Konservasi, Dirjen PHKA-Dephut dengan dukungan kuat dari berbagai LSM konservasi nasional maupun internasional. Capaian yang diharapkan dari strategi ini adalah Protokol Mitigasi Konflik Satwa Liar, yang disahkan secara nasional. Inisiasi rencana ini dimulai pada Mei 2007, saat pertemuan informal tim WWF dengan Kepala BKSDA Sumbar dan Kepala Balai TN. Bukit Tigapuluh. Bahwa ada beberapa lembaga yang sebenarnya telah menyusun protokol mitigasi konflik harimau maupun gajah namun belum dapat diakomodir atau bahkan terhenti dalam penyusunannya karena terbatasnya substansi. Melalui audiensi pada Juli-Agustus 2007 para penggiat LSM disebar guna mendapat input dari berbagai instansi pemerintah dan perusahaan di daerah atau kabupaten terkait dengan dua
spesies terancam tersebut. Beberapa persiapan dilakukan secara intensif termasuk pertemuan tiga hari Forum Diskusi Kelompok I (Jakarta, Juli 2007) dan II (Cisarua, Agustus 2007) yang dihadiri oleh insan-insan dari Direktorat Keanekaragaman Hayati Dephut, UPT (TNKS, BKSDA Sumbar, BKSDA Bengkulu), TSI, Gapki, Traffic, WCS, FFI, WWF, PKHS, Vesswic, FGI, Fokmas dan PDHI. Pertemuan khusus diantaranya membahas substansi strategi dan protokol, waktu dan kebutuhan anggaran. Puncak acara dilakukan di Padang (28-30 Agustus 2007) dengan disahkannya Strategi Konservasi Nasional Gajah dan Harimau Sumatera 20072015. Namun untuk Protokol Mitigasi Konflik Gajah masih harus dilengkapi kekurangannya hingga Oktober lalu. Implementasi di lapangan setelah hadirnya produk Strategi Nasional dan Protokol nampaknya belum menjadi buah manis. Kendala penangangan konflik masih berputar di ketiadaan anggaran tetap di UPT (Unit Pelaksana Teknis) seperti BKSDA atau BTN. Pusat tidak menganggarkan anggaran belanja untuk itu, pun di daerah belum tentu ada sokongan dari APBD. Kasus di Riau, dimana lokasi aman untuk tempat translokasi gajah-gajah ”bermasalah” tanpa ada resistensi atau mismanajemen? Banyak hal luput dari acara di Padang lalu. Sejauh ”anggaran” belum terpecahkan, maka tidak banyak berharap penanganan konflik akan berjalan baik. Bisa jadi malah tambah runyam. Menjinakkan tidak mendominasi Beberapa catatan penting lain yang menjadi pekerjaan rumah adalah konsep tata ruang yang harus sinkron dengan provinsi tetangga Riau mengingat jelajah gajah lintas batas. Pentingnya percepatan perluasan TN. Tesso Nilo sebagai pilihan utama translokasi gajah. Dan dukungan bagi kabu
Mitigasi Konflik Manusia-Gajah
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo paten yang mau mengalokasikan daerahnya untuk habitat gajah. Kita berharap segala upaya dan niat baik semua pemangku kepentingan akan memberi kekuatan terciptanya kehidupan yang harmonis dengan alam dengan memberi ruang yang aman bagi gajah dan harimau Sumatera untuk dapat memerankan fungsinya di alam.
Saya jadi ingat konsep Imago dei dalam agama-agama Ibrahimi (Islam, Yahudi, Katholik dan Kristen) bahwa manusia diciptakan dengan peta atau citra Allah. Karena itu, manusia diberi mandate cultural untuk memelihara bumi dan memanfaatkan sumber-sumber daya dan daya dukungnya secara bertanggung jawab. Inilah konsep dominium
terrae (“menjinakkan”, tetapi tidak mendominasi, Bumi). Dengan ridhaNya, Allah berkenan menjadikan kita khalifatullah fil ardh. Manusia ciptaan yang istimewa, dan terpanggil untuk memelihara Bumi serta menyelamatkan kemungkinan kehancurannya karena rusaknya keseimbangan iman. (Ahmad Yahya)
C
arut-marutnya hutan di provinsi Riau telah memicu konflik manusia dan satwa liar. Akar permasalahan hilangnya habitat alami satwa-satwa liar tersebut masih terus berlanjut bahkan di kawasan yang diperuntukkan menjadi kawasan konservasi bagi satwa liar tersebut. Seperti halnya yang terjadi pada Taman Nasional Tesso Nilo yang telah ditunjuk menjadi kawasan konservasi gajah, tetap saja ada pihak-pihak yang bermaksud mengganggu keutuhan kawasan tersebut dengan berbagai alasan. Pada pertengahan September lalu, pihak Balai Taman Nasional Tesso Nilo menemukan adanya sejumlah kelompok perambah kawasan melakukan perlindungan tanaman sawitnya dengan mengolesi racun untuk satwa liar pada tanaman sawit mereka. Tentu hal ini tidak dapat ditolerir, perbuatan mereka bukan saja melanggar Undang-Undang Kehutanan No 41/ 1999 pasal 50 ayat 3 yang menyatakan ”Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan,” namun juga mengancam kehidupan satwa liar yang dilindungi terutama gajah. Gajah sangat menyukai sawit-sawit muda, tentu saja tanaman ini apa lagi berada di wilayah jelajahnya akan menjadi ketertarikan sendiri baginya. Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN), Drh. Hayani Suprahman, M.Sc menyatakan; “ Pihaknya menemukan tanaman-tanaman sawit yang baru-baru ini ditanam secara illegal di dalam kawasan khususnya di daerah Sungai Tapa pertengahan bulan September 2007 dalam keadaan diolesi racun.” Menindaklanjuti temuan ini, setelah mendapat kepastian hasil labor, pihaknya telah menyurati kelompok tani terkait untuk menghentikan perambahan kawasan dan supaya dengan sukarela mencabut tanaman-tanaman sawit tersebut.” Sawit muda adalah makanan kegemaran gajah. Drh. Hayani Suprahman, M.Sc mengkhawatirkan, jika sawit-sawit tersebut dimakan oleh gajah-gajah yang hidup di dalam taman nasional tersebut, sudah pasti akan memakan
Tanaman sawit yang diracun dalam TNTN; doc. BTNTN
korban, baik terhadap gajah maupun manusia, dimana gajah yang sudah terkena racun akan mengamuk dan ini sangat membahayakan manusia. Untuk mengantisipasi gajah-gajah masuk ke kawasan yang sudah diracuni tersebut, pihak BTNTN bekerjasama dengan Tim Flying Squad (Tim Pengusir Gajah Liar) WWF – BBKSDA untuk memantau pergerakan gajah – gajah liar di taman nasional agar sedapat mungkin tidak mendekati areal tersebut. Ka. BTNTN mengatakan, “ Pihaknya menunggu niat baik kelompok tani tersebut untuk dengan sukarela melakukan pencabutan sawit-sawit tersebut hingga batas waktu yang telah ditentukan”. Langkah selanjutnya adalah Tim Patroli Bersama Tesso Nilo akan melakukan operasi terkait yang mana ini juga merupakan bagian dari tugas pokoknya. Kepala BTNTN menambahkan; “Kegiatan illegal di dalam taman nasional berkonsekuensi pada penegakan hukum, apalagi kegiatan peracunan seperti ini yang akan berdampak pada kematian satwa dilindungi, oleh karena itu selayaknya penegakan hukum ini didukung oleh semua pihak. (Sumber Siaran Pers Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Oktober 2007)
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo Harimau di Kerumutan-Kampar:
Misteri Ekologi Satwa di Lahan Gambut
Kusdianto termenung menemukan kotak kamera yang kosong dicuri. Foto: WWF-Tim Riset Harimau
S
iang itu amat terik. Rawarawa menguap, udara terasa lembab. Anginpun seperti enggan bertiup. Namun Kusdianto, Budi, Agung dan Eka tampak bersemangat dan dengan sigap berjalan melintasi kanal-kanal, menembus semak belukar. Mereka meninggalkan perahu yang baru saja membawanya menyeberangi Sungai Kampar dari Teluk Meranti, sebuah ibukota kecamatan di Kabupaten Pelalawan, Riau. Melangkah pasti, mereka menuju tepi kawasan yang berhutan lebat. Di sanalah beberapa kamera intai dipasang untuk merekam kehidupan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan satwa lainnya.
Dengan sensor inframerah, kamera intai dapat memotret satwa yang melintas di hadapannya secara otomatis. Tempat itu berjarak sekitar
lima kilometer dari anak sungai di mana perahu harus ditambatkan. Langkah Kusdianto tiba-tiba terhenti. Ransel besar pun belum turun dari punggung. Matanya menatap tajam pada sebatang tonggak yang koyak. “Kameranya hilang!” ujar Kusdianto sambil menghela nafas panjang. Keringat deras bercucuran dari tubuhnya. Kusdianto dan kawan-kawan terhenyak karena kamera otomatis yang dipasang bulan sebelumnya, telah raib diambil pencuri. Alih-alih mendapat foto satwa, alat yang dipasang justru lenyap. Wajah mereka tampak sayu. Sambil mengamati tandatanda pengrusakan, mereka mencatat observasinya ke dalam buku catatan lapangan yang tidak pernah lepas dari genggaman. Itu adalah lokasi pertama di mana tim riset harimau Sumatera memasang kamera intai di hutan gambut Semenanjung Kampar. Rupanya, bukan hanya di lokasi tersebut
Sungai menyempit dan vegetasi rapat yang sulit ditembus perahu. Foto: WWF-Zulfahmi
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo kamera hilang. Kekecewaan Kus dan kawan-kawan berlanjut pada tempat-tempat berikutnya. Dari 40 kamera yang dipasang, 15 hilang atau rusak. Nampak jelas, kamerakamera tersebut sengaja dicuri dan dirusak; ada yang sekedar ditutupi dengan kardus. Semua tampaknya ditujukan untuk menghalangi beroperasinya kamera di lokasi. Kelelahan berjalan mengecek kamera yang biasanya terbayar dengan melihat banyaknya hasil jepretan, kini semakin bertambah karena kekesalan. Namun, semua kepahitan itu harus ditelan. Selain pencurian kamera, di lokasi yang berdekatan tim riset juga menemukan kebakaran lahan di areal yang cukup luas. Asap masih mengepul di sana-sini. Api terus menjalar, tak terhentikan. Gambut kering menjadi santapan yang renyah bagi api. Tampaknya, pelaku pencurian kamera dan pembakaran lahan adalah orang/kelompok yang sama. Dugaan ini berdasarkan jejak dan tanda-tanda yang ditemukan tim di lapangan. Beberapa orang penjerat burung yang ditemui di lokasi mengaku tidak tahu ke mana hilangnya kamera tersebut. Kusdianto dan kawan-kawan terpaksa mendapat kerja tambahan untuk menemukan kamera tersebut dengan menyelidiki pelaku dan motif dibaliknya. Tanpa alat tersebut, sangat sulit untuk meneliti harimau dan berbagai jenis satwa di hutan Sumatera yang amat sulit untuk diamati secara langsung. Habitat terluas Informasi akurat mengenai distribusi dan populasi sangat diperlukan dalam usaha melestarikan harimau Sumatera, satwa kebanggaan yang terancam kepunahan tersebut. Sejak Desember 2004, WWF bekerjasama dengan Departemen 10
Kehutanan, Virginia Tech, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mulai melakukan studi untuk mengungkap sebaran dan populasi harimau pada beberapa kawasan di Riau, khususnya di lanskap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh. Beragam metode digunakan dalam riset, termasuk pemasangan kamera intai seperti yang dilakukan di hutan rawa gambut Semenanjung Kampar. Hingga Oktober 2007, sebanyak 19 individu harimau Sumatera telah berhasil difoto dari hutan-hutan di lanskap bagian selatan Riau tersebut. Semenanjung Kampar merupakan kawasan hutan gambut yang boleh jadi merupakan habitat terluas harimau Sumatera di Riau. Habitat yang tersedia akan menjadi lebih besar lagi bila ketersambungannya dengan blok hutan Kerumutan dapat terus dijaga. Seperti dilaporkan Eran, anggota masyarakat Teluk Meranti, harimau pernah dilihatnya menyeberang sungai yang lebarnya sekitar 3 km itu. Kesinambungan hutan di kedua sisi sungai menjadi kunci penting untuk m e n j a min pergerakan individuindividu harimau dari kedua blok hutan itu. Untuk Semenanjung Kampar, WWF bekerjasama dengan JIKALAHARI mendorong upaya pelestarian kawasan tersebut. Karena belum adanya kegiatan pengelolaan ataupun pengamanan, kawasan hutan Semenanjung Kampar kini menjadi incaran banyak pihak. Beberapa peru-
sahaan kehutanan dan perkebunan bahkan telah mendapatkan perizinan untuk mengubah sebagian kawasan hutan tersebut menjadi perkebunan akasia dan sawit. Padahal, kawasan tersebut merupakan hutan gambut dalam yang menurut peraturan perundangan seharusnya dilindungi. Harimau gambut Cara hidup (natural history) satwa, khususnya harimau, di lahan gambut merupakan misteri yang belum banyak diungkap. Ini mungkin karena banyak peneliti yang enggan bersusah-payah menjelajahi rawa-rawa yang memang sulit untuk ditempuh. Padahal, jika kita bicara pelestarian harimau Sumatera, khususnya di Riau, rawa gambut merupakan habitat yang masih dapat diharapkan. Hutan dataran rendah tanah kering, seperti kita ketahui, telah nyaris lenyap; sebagian besar bergan-
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo tikan sawit dan akasia. Benarkah hutan rawa gambut layak menjadi tumpuan harapan pelestarian harimau? Keberadaan harimau di hutan/ rawa gambut memang tidak perlu diragukan lagi. Sudah banyak bukti yang terkumpul bahwa lahan gambut dapat menjadi habitat harimau. Berdasarkan survei singkat yang dilakukan di Serapung, bagian timur Semenanjung Kampar, STCP (Sumatran Tiger Conservation Program) bahkan memperkirakan kawasan tersebut dihuni harimau dengan kepadatan yang kemungkinan, lebih tinggi dibandingkan dengan tempat lain yang pernah disurvei. Sementara itu, beberapa kantong populasi harimau yang telah dikenal khalayak seperti Senepis, Berbak adalah juga kawasan hutan rawa gambut. Penelitian yang dilakukan
WWF dan Departemen Kehutanan di Suaka Margasatwa Kerumutan beberapa waktu sebelumnya pun telah berhasil memotret setidaknya tiga individu harimau di suaka tersebut, salah satu di antaranya seekor harimau yang berjalan di atas hutan gambut yang tergenang. Namun, ada berapa banyak dan bagaimana cara hidup harimau di habitat rawa gambut masih belum berhasil diungkap secara mendalam. Hasil foto dari kamera intai di Kampar, dan terlebih di Kerumutan, cukup mencengangkan. Betapa tidak, berbeda dengan di habitat lain seperti Tesso Nilo yang merupakan hutan dataran rendah tanah kering misalnya, di Kerumutan kamera tidak mendeteksi jenis-jenis satwa mangsa potensial bagi harimau seperti rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus munt-
jac) dan babi (Sus spp.). Sebelum seekor harimau terfoto di suatu lokasi, biasanya, lebih banyak satwa mangsa yang terjepret terlebih dulu. Namun tidak demikian yang terjadi di Kerumutan. Selama tiga bulan memasang 43 kamera di 22 lokasi kami mendapatkan 20 bingkai foto dari 3 individu harimau. Selama periode tersebut, tak seekor pun babi hutan, rusa ataupun kijang – ketiganya merupakan mangsa utama harimau di Sumatera yang terfoto. Di antara jenis-jenis satwa yang terfoto, hanya monyet beruk (Macaca nemestrina) yang berpotensi menjadi satwa mangsa di sana. Itupun jumlahnya tidak sebanyak di tempat lain seperti Tesso Nilo atau Rimbang Baling. Di hutan Semenanjung Kampar, beberapa ekor babi hutan, monyet beruk, beruang madu (Helarctos malayanus), dan macan dahan (Neofelis diardi) telah terfoto. Potensi Konflik Sebagai pemangsa berbadan besar, harimau memilih satwa berukuran tubuh besar (>20 kg) sebagai mangsa utamanya. Setiap duatiga hari harimau
11
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Tetap ceria menembus semak berduri tajam untuk melakukan survey di kawasan gambut. Foto: WWF-Sunarto
umumnya memerlukan seekor mangsa seukuran kijang; dan dalam setahun diperlukan sekitar 50 ekor mangsa seperti itu. Harimau memang dapat bertahan hidup dengan mangsa berukuran kecil, namun energi yang diperoleh tidak akan sebanding dengan tenaga yang dihabiskan untuk mendapatkannya. Sebagai akibatnya, harimau tidak akan dapat berkembang-biak dan, bahkan, berpotensi terlibat konflik dengan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan pemangsaan ternak. Untuk mencegah terjadinya konflik, cara hidup harimau, khususnya di lahan gambut perlu dipelajari dengan teliti. Seperti diketahui, lokasi hotspot konflik harimau-manusia di Riau akhir-akhir ini adalah daerah Rokan Hilir. Daerah itu memiliki tipe habitat yang mirip dengan Semenanjung Kampar. Bedanya, intensitas kegiatan manusia dan kerusakan habitat yang terjadi di Kerumutan dan Kampar tampaknya belum separah seperti di Rokan Hilir. Bila tidak dicegah, daerah itu dapat menjadi kawasan hotspot konflik berikutnya setelah Senepis dan daerah Rokan Hilir. Selain di Rokan Hilir, keganasan harimau yang hidup di lahan basah yang terpengaruh pasang surut juga dilaporkan di tempat 12
lain, salah satunya di Sundarban, Bangladesh. Ada beberapa spekulasi terkait dengan fenomena itu. Pertama, di kawasan seperti itu, air yang sangat dibutuhkan bagi harimau untuk minum kualitasnya tidak sebaik di tempat lain yang umumnya jernih dan tawar. Air di gambut sangat asam dan sebagian masih memiliki kadar garam yang tinggi. Ketidaknyamanan seperti itu disinyalir telah mengakibatkan meningkatnya keagresifan harimau. Kedua, air yang berlimpah, khususnya di musim hujan atau pasang naik, telah merusak sistem komunikasi menggunakan aroma. Dengan aroma, harimau biasa berkomunikasi dengan harimau atau jenis lain guna, misalnya, menandai teritori atau mencari pasangan. Dengan tidak berfungsinya alat komunikasi tersebut, harimau terpaksa harus mempertahankan teritorinya secara fisik. Siapapun yang masuk teritorinya diserangnya. Ketiga, perubahan permukaan air juga berpengaruh pada ketersediaan satwa mangsa. Ketika air naik, satwa mangsa jadi lebih sulit ditemukan dan diburu. Dalam kondisi seperti itu, manusia yang beraktivitas di dalam dan sekitar hutan dapat menjadi sasaran. Meskipun tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak telah ditemukan, namun kamera intai yang dipasang di Semenanjung Kampar belum berhasil memotretnya secara langsung. Ini juga merupakan bukti bahwa peluang deteksi (detection probability) memang cukup rendah dalam survei harimau, meskipun telah menggunakan kamera intai. Di kawasan gambut seperti halnya di Kerumutan, jumlah jenis dan individu mamalia yang terpotret relatif lebih sedikit dibanding dengan di kawasan hutan kering. Meski demikian belum bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa
kawasan tersebut miskin dengan jenis mamalia. Bisa jadi, sedikitnya jumlah foto yang didapat sematamata akibat penempatan kamera yang tidak tepat. Hal itu dapat terjadi karena di lahan gambut memang sulit untuk menemukan jalur satwa. Lahan gambut kebanyakan sangat datar dan berair. Oleh karenanya, satwa bisa jadi tidak menggunakan jalur tertentu seperti halnya di hutan tanah kering. Selain itu, satwa di gambut tidak selalu meninggalkan jejak karena dasar hutan yang tidak bertanah. Yang pasti, masih banyak misteri yang perlu diungkap dari hutan rawa gambut. Sebagai peneliti, kamipun dituntut untuk mencari cara yang lebih baik untuk menyelidiki satwa yang hidup di dalamnya. Tantangan meneliti satwa di hutan rawa gambut memang cukup banyak. Selain tantangan alam, tantangan yang lebih besar adalah dari orang-orang yang mencoba menghalangi kegiatan ini. Walaupun telah kehilangan banyak kamera, tim peneliti tidak surut dalam melanjutkan studinya. Masih banyak selukbeluk kehidupan satwa di hutan gambut yang masih harus diungkap. Haruskah kita menunggu sampai kritis? (Sunarto)
Pepohonan di hutan rawa gambut Kerumutan. Foto: WWF-Sunarto
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Kawasan Gambut Semenanjung Kampar I
ndonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut terutama terletak di Sumatera (7,2 juta ha) dan Kalimantan. Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas sekitar 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total lahan gambut di Sumatera. Salah satu kawasan
dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia. Selain itu, lahan gambut dikenal luas dalam menjaga kestabilan tata air serta menyerap dan melepas air secara horizontal. Selain itu hutan gambut memiliki kemampuan untuk menahan air, diperkirakan kemampuan gambut menahan air adalah sebe-
Menyeberangi Sungai Kampar. Foto: WWF-Tim Riset Harimau
gambut yang terluas di Riau adalah Semenanjung Kampar dimana kawasan ini memiliki dua kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 20 meter. Namun kini kawasan yang merupakan penyimpan cadangan karbon ini kini terancam rusak akibat konversi hutan rawa gambut tak terkendalikan untuk perkebunan. Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah). Menurut penelitian, lahan gambut memiliki fungsi yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya
sar 15-20 kali berat kering gambut itu sendiri (Puustjarvi&Robertson, 1975). Setiap konversi dan eksploitasi lahan gambut akan menyebabkan terlepasnya emisi karbon (CO2) yang mencemari lingkungan global karena terganggunya sistem water table (sistem hidrologis secara keseluruhan). Apabila emisi dari lahan gambut diperhitungkan, maka Indonesia tercatat sebagai negara urutan tiga penghasil emisi karbon (CO2) terbesar di dunia. Lanskap Semenanjung Kampar seluas 700,000 ha, yang didasari dari luasan areal gambut hasil studi Wetlands International memiliki kekayaan hutan rawa gambut serta keanekaragaman hayati. Hutan
alam Semenanjung Kampar memiliki potensi kayu yang cukup tinggi, sekitar 280 m3 per ha, dengan kekayaan flora seperti pohon Ramin, meranti lilin (shorea teysmaniana Dyer) dan 32 spesies lainnya. Satwa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), ikan arwana, buaya muara dan beruang madu merupakan spesies yang potensial di Kampar selain 21 jenis lainnya yang dalam bahaya pemusnahan lokal karena maraknya konversi di lanskap Kampar ini. Sayangnya, saat ini separuh dari total luasnya atau 350.000 ha telah dikonversi untuk perkebunan akasia dan sawit. Sementara ancaman subsidensi diakibatkan drainase berupa kanal buatan perusahaan pemegang izin perkebunan akasia yang menjadi bahaya bagi ekosistem secara keseluruhan. Begitupun, pembuatan jalan penebangan (koridor) akan memicu maraknya illegal logging, perambahan dan kebakaran hutan/lahan. (Sumber siaran pers bersama Jikalahari dan WWF Indonesia, Mei 2007) Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki titik panas setiap tahunnya. Dari periode 2001-2006, sekitar 67% kebakaran yang terjadi di provinsi Riau terjadi di lahan gambut. Upaya penyelamatan kawasan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi ekosistem ini sudah seharusnya menjadi perhatian bersama demi kelangsungan hidup bersama dalam skala yang lebih besar.
13
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo Menjadi 100.000 ha Salah Satu Solusi Mengatasi Permasalahan Konflik Gajah Di Riau Sejarah Usulan Pada tahun 1984, Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim mengusulkan Tesso Nilo sebagai habitat perlindungan gajah. Usulan tersebut diajukan akibat tingginya insiden gangguan gajah karena aktivitas transmigrasi di Riau. Namun usulan ini belum terwujud. Pada tahun 1992, Sub Balai KSDA Riau mengusulkan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah dan satwa liar lainnya. Konflik gajah dengan manusia terus terjadi karena pembukaan hutan oleh perusahaan untuk industri pulp and paper dan perkebunan serta oleh masyarakat untuk lahan pertanian dan perkebunan. Karena tingginya konflik yang terus terjadi, pada tahun 2001 WWF Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Riau menyelenggarakan Seminar dan workshop Permasalahan Gajah dengan
14
Manusia. Seminar ini mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengusulkan kawasan hutan Tesso Nilo menjadi kawasan konservasi gajah di Riau. Rekomendasi tersebut antara lain adalah: 1. Gubernur Riau melalui surat Gubernur Riau Nomor: 522.2/EK/1006 tanggal 30 April 2001, memberikan rekomendasi untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah seluas +153.000 hektar, dan kemudian disusul dengan surat Gubernur Riau Nomor: 522.51/EK/1678 tanggal 31 Juli 2002. 2. Rekomendasi Gubernur Riau tersebut diatas berdasarkan dukungan dari: a. DPRD Provinsi Riau tertanggal 16 April 2001. b. Bupati Pelalawan tertanggal 7 April 2001. c. Bupati Kampar tertanggal 7 April 2001.
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
d. DPRD Kabupaten Pelalawan tertanggal 16 April 2001. e. DPRD Kabupaten Kuantan Sengingi tertanggal 5 April 2001. f. DPRD Kabupaten Kampar tertanggal 7 April 2001. g. Kepala Dinas kehutanan Provinsi Riau tertanggal 17 Maret 2001. h. Kepala Unit KSDA Provinsi Riau tertanggal 15 Maret 2001.
3. Pada tanggal 19 Juli 2004, sebagian hutan Tesso Nilo ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional melalui SK no.255/ Menhut-II/2004 dengan luas 38.576 Ha. Namun luasan tersebut belum mencukupi untuk menjawab permasalahan konflik manusia- gajah di daerah sekitar dan di Provinsi Riau. Oleh karena itu, WWF Indonesia bersama Pemerintah Provinsi Riau mengusulkan perluasan Taman Nasional Tesso Nilo kepada Menteri Kehutanan dengan luasan minimal 100.000 hektar. Hal ini disebabkan semakin banyaknya kantong habitat gajah yang hilang. Hasil survei BKSDA dan WWF Indonesia tahun 2006-2007 dari 15 kantong habitat gajah yang ada berdasarkan survei pada tahun 2003, kini hanya tinggal 9 kantong habitat saja.
Keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan hutan Tesso Nilo. Foto: WWF -ID/camera trap
Upaya Perluasan TN. Tesso Nilo hingga saat ini Usulan perluasan mulai dibahas di Departemen Kehutanan sejak tanggal 16 Juni 2005. Pada saat launching Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo tanggal 30 Mei 2006 di Pekanbaru, Menteri Kehutanan M.S. Kaban di dalam pidato sambutannya menyatakan setuju dengan usulan perluasan Taman Nasional Tesso Nilo. Untuk kelengkapan proses perluasan di Departemen Kehutanan, sudah ada rekomendasi dari berbagai pihak antara lain: 1. Pada tanggal 31 Agustus 2006, Forum Masyarakat Tesso Nilo mengirim surat ke Presiden RI, melalui surat nomor: 22/FTN-Ex/ VIII/2006, dimana salah satu tun-
Keanekaragaman hayati yang terdapat dalam kawasan hutan Tesso Nilo. Foto: WWF -ID/camera trap
tutannya adalah perluasan Taman Nasional Tesso Nilo. 2. Dukungan dari Muspida Riau melalui rapat pada tanggal 12 April 2007, dan setuju untuk perluasan TNTN. Sebagai realisasi dari dukungan ini dibentuk Tim Penanggulangan perambahan hutan dan lahan serta upaya percepatan proses perluasan Taman Nasional Tesso Nilo pada tanggal 3 Juli 2007, melalui SK Gubernur Riau Nomor 271.a/VII/2007. 3. Pada tanggal 16 Juli 2007, Bupati Pelalawan mendukung upaya perluasan melalui surat rekomendasi nomor 522.1/Dishut/959 perihal Rekomendasi Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo kepada Gubernur Riau. 4. Pada tanggal 21 November 2007, Gubernur Riau mengeluarkan Surat Rekomendasi Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo kepada Menteri Kehutanan RI, melalui Surat Rekomendasi Nomor: 522/ ekbang/66.30 perihal Rekomendasi Perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar. Tim Penanggulangan Perambahan Hutan dan Lahan serta Perluasan pada Taman Nasional Tesso Nilo yang dibentuk oleh Gubernur Riau pada Juli lalu memiliki tugas: 1. Membuat langkah-langkah untuk 15
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Gajah liar di dalam TNTN. Foto:Syamsuardi/ WWF –Tesso Nilo Prog.
penanggulangan perambahan hutan dan pelaksanaannya sesuai kewenangan masing-masing 2. Mengidentifikasikan pelaku perambahan hutan dan mengupayakan alternatif bagi masyarakat perambah setelah keluar dari kawasan hutan Tesso Nilo 3. Melakukan upaya-upaya mempercepat proses perluasan Taman Nasional Tesso Nilo pada Departemen Kehutanan RI 4. Membuat rencana dan melaksanakan rehabilitasi kawasan hutan Tesso Nilo bekerjasama dengan instansi terkait. Tim yang beranggotakan Muspida dan pemegang otoritas terkait tentu merupakan suatu kekuatan terintegrasi yang diharapkan nantinya dapat mencari solusi permasalahan perambahan di Tesso Nilo. Pengelolaan Tesso Nilo sebagai Kawasan Konservasi Gajah Menurut survey WWF (2003), pada kawasan hutan Tesso Nilo dan sekitarnya terdapat tiga daerah pengelompokan pergerakan gajah yaitu: 1. Kelompok Gajah Utara, wilayahnya bagian Utara dari Usulan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), mulai dari kebun akasia PT Arara Abadi di Timur Laut sampai ke arah barat daya di kebun kelapa sawit PT. Citra Riau Sarana, atau di konsesi HPH PT Siak Raya, PT Hutani Sola Lestari, dan sebagian konsesi HPH PT Nanjak Makmur sebelah utara. 2. Kelompok Gajah Tenggara, wilayahnya mulai dari kebun akasia PT Riaupulp, Sektor Baserah di barat daya sampai perbatasan kebun akasia PT Arara Abadi dengan PT Riaupulp 16
Konservasi Harimau Sumatera
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo sektor Ukui di Timur Laut, terus ke arah tenggara, atau berada di sebagian konsesi HPH PT Nanjak Makmur sebelah tenggara dan bekas konsesi HPH PT Inhutani IV. 3. Kelompok Gajah Barat Daya, wilayahnya di sebelah barat daerah hulu Sungai Tesso sampai hutan akasia PT Riaupulp Sektor Tesso Barat. Konsep perlindungan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah adalah melindungi seluruh wilayah pergerakan gajah tersebut bukan hanya didasarkan pada kebutuhan gajah terhadap besaran lahan. Hal ini untuk menghindari konflik gajah yang ada di Tesso Nilo dengan masyarakat sekitar. Usulan perluasan TNTN hingga menjadi 100.000 ha tersebut dipandang cukup mewakili ketiga daerah pergerakan gajah yang ada di kawasan hutan tersebut. Untuk menjadikan Provinsi Riau sebagai suatu model konservasi sumber daya alam dalam pendekatan lanskap secara utuh dan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.73/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.54/Menhut-II/2006 tentang Penetapan Provinsi Riau Sebagai Pusat Konservasi
Gajah Sumatera maka perluasan Taman Nasional Tesso Nilo ini sangat relevan dengan Permenhut tersebut. Tentu saja harus diikuti dengan pengelolaan yang lebih baik dan efektif sehingga gajah yang ada di dalam kawasan Taman Nasional tidak keluar dari habitatnya. Akar permasalahan konflik manusia-gajah adalah hilangnya habitat tempat gajah-gajah tersebut hidup oleh karena itu penyelamatan dan perlindungan habitat mereka adalah solusi untuk menghindari konflik tersebut. Gajah-gajah tersebut sebagian besar hidup di kawasan hutan yang tersisa di provinsi ini, oleh karena itu para pihak sangat dituntut kerjasamanya dalam upaya penyelamatan hutan yang tersisa tersebut dalam rangka meminimalkan konflik antara satwa liar dengan manusia. Dengan kondisi lingkungan kita yang ada, konflik semacam itu tidak dapat diatasi tapi dapat kita tahan dari kemungkinan kerugian yang lebih besar. Taman Nasional Tesso Nilo sebagai kawasan yang dicanangkan untuk menjadi model pengelolaan konservasi gajah nantinya tentu diharapkan dapat menjadi solusi alternatif dari permasalahan konflik manusia-gajah yang terjadi di Riau. (Sri Mariati)
17
Pemberdayaan Masyarakat
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo
Satu Tahun Kegiatan Kelompok Mikro Kredit (Credit Union) di Kawasan Tesso Nilo L
angkah awal sosialisasi kegiatan mikro kredit atau dikenal dengan nama Credit Union (CU) mulai dilakukan di bulan September 2006 kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Hal ini diawali dari diskusi yang ter-
digunakan untuk membangun kekuatan kelompok masyarakat dalam menghadapi tantangan dari luar. Credit Union (CU) atau Usaha Bersama Simpan Pinjam adalah sekumpulan orang yang telah
Pelatihan CU; doc. FMTN
bangun antara Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN) dan Unit Pemberdayaan Masyarakat - WWF Indonesia yang mencoba mencari bentuk yang tepat dan mendidik dalam membangun perekonomian mikro masyarakat Tesso Nilo. Belajar dari berbagai pengalaman selama ini, maka dipilihlah jenis kegiatan tersebut. Melalui kegiatan ini masyarakat dapat mengelola keuangannya sendiri serta sekaligus menjadikannya sebuah wadah pendanaan alternatif yang dibentuk dari dan untuk masyarakat. Selain itu kegiatan CU dapat 18
bersepakat untuk bersama-sama menabungkan uang mereka. Kemudian uang tersebut dipinjamkan diantara mereka sendiri dengan bunga ringan untuk maksud usaha produktif dan kesejahteraan yang akan menguntungkan anggota. Diharapkan melalui kegiatan tersebut akan memiliki efek bola salju, yaitu kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan dan memperoleh kemajuan secara nyata akan ditiru serta diikuti oleh anggota masyarakat lain. Harapannya adalah usaha kelompok ekono-
mi ini dapat dikembangkan oleh kelompok masyarakat lain tanpa harus terus berharap dibantu. Untuk mendukung berhasilnya kegiatan itu, maka pengetahuan administrasi tentang pembukuan yang baik tentunya sangat diperlukan. Kelompok-kelompok yang terbentuk dalam masyarakat membutuhkan adanya keseragaman pola administrasi, pembukuan dan sumberdaya manusia pengelola untuk mendukung keberhasilan kegiatan ini. Selain itu dibutuhkan pula pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan tujuan Credit Union (CU) dalam rangka pengorganisasian masyarakat serta kemampuan dasar tentang sistem pembukuan yang digunakan. Tindak lanjut dari penerapan progam pengembangan kelompok ekonomi rakyat ini adalah membangun kerja sama dengan lembaga yang memang memiliki keahlian dalam pengembangan kegiatan maupun pelatihan credit union/micro financing di tingkat regional maupun di tingkat nasional yaitu Yayasan BITRA di Medan- Sumatera Utara di bulan Desember 2006. Melalui kerja sama dengan yayasan tersebut, diperoleh banyak masukan dan pengetahuan tentang berbagai masalah dalam pelaksanaan credit union dan bentuk dari kegiatan credit union itu sendiri. Berdasarkan sosialisasi dan pelatihan yang dilaksanakan, peserta bersepakat untuk
Pemberdayaan Masyarakat
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo mengembangkan credit union di beberapa desa terpilih. Hingga saat ini telah terbentuk kelompok Credit Union di lima desa sekitar kawasan Tesso Nilo. Desadesa tersebut adalah Desa Lubuk Kembang Bungo, Pangkalan Gondai dan Bagan Limau di Kabupaten Pelalawan serta Desa Rantau Kasih dan Gunung Sahilan di Kabupaten Kampar. Setelah satu tahun, banyak dinamika yang terjadi dalam kelompok-kelompok CU di lima desa tersebut. Kelompok CU di Desa Lubuk Kembang Bungo yang didirikan pada 13 April 2007 lalu dengan nama “Elok Basamo” misalnya. Pada awal berdirinya beranggotakan 31 orang namun sekarang sudah beranggotakan 57 orang. Semula mereka sulit untuk membentuk kelompok paska pelatihan ha line dikarenakan belum ada keyakinan masyarakat membentuk kelompok dan terdapat kekhawatiran terhadap keamanan simpanan anggota. Masyarakat juga beranggapan, sulitnya mencari orang yang dipercayai untuk menyimpan uang atau dengan kata lain sulit mencari pengurus yang jujur. Saat pertemuan awal pembentukan kelompok, telah disepakati beberapa peraturan antara lain; calon anggota yang mendaftar menjadi anggota harus mengikuti pertemuan minimal satu bulan dan bulan berikutnya baru diterima menjadi anggota, penabungan dilakukan setiap tanggal 13, tabungan atau angsuran pinjaman harus diantar sendiri pada saat penabungan. Apabila yang bersangkutan berhalangan dengan alasan sakit dan berhalangan yang penting sekali tabungan boleh diantar oleh anggota keluarga. Sementara itu pinjaman diberikan bagi anggota maksimal
sebesar 5 kali saham/simpanan dan anggota yang tidak disiplin menabung maka permohonan pinjaman akan dipertimbangkan oleh pengurus. Selama 7 bulan berjalan, perkembangan kelompok cukup baik, secara umum menabung di CU penabung akan mendapat jasa simpanan minimal 1% setiap bulan. Kendala yang dirasakan pengurus adalah AD/ART yang masih dalam proses penyusunan, dan ini menjadi penyebab dari beberapa hal ketidakjelasan sistem peminjaman dan administrasi kelompok sehingga kadangkala muncul pendapat dari anggota bahwa pengurus tidak adil dalam memberikan pinjaman bagi anggota. Hal ini mengakibatkan sebanyak 3 orang anggota mengundurkan diri, walaupun pengurus mengakui ini disebabkan oleh tidak cukupnya dana yang bisa dipinjam anggota. Oleh sebab itu pengurus mengharapkan adanya dana suntikan sebagai dana bergulir sebagaimana dilakukan oleh Forum Tesso Nilo di kelompok CU Bagan Limau. Kelompok CU Desa Pangkalan Gondai berhasil menghimpun dan mengaktifkan anggota sekitar belasan orang. Diawali dengan titik masuk melalui pertemuan pengajian yang rutin dilakukan di desa. Semula cukup sulit meyakinkan masyarakat tentang pentingnya kelompok dan kegiatan CU sehingga akhirnya terbentuk kelompok di desa ini pada bulan Februari 2007 dengan jumlah anggota awal adalah 14 orang. Uang Pangkal (UP) : Rp. 5.000,-; Simpanan Pokok (SP): Rp. 10.000,- dan Simpanan Wajib (SW): Rp. 10.000,-. Pengurus mengakui bahwa kesulitan memberikan pemahaman pada masyarakat karena selama ini
masyarakat telah terbiasa dengan arisan yang telah berlangsung lama dan banyak diikuti masyarakat. Sementara itu Kelompok CU di Desa Gunung Sahilan hingga bulan Oktober 2007 belum berdiri karena kesibukan para peserta pelatihan dari desa ini, selain kesulitan untuk mengumpulkan masyarakat. Akhirnya disepakati bahwa awal November 2007 akan dicoba dilakukan pertemuan dengan masyarakat desa, dan diharapkan dengan kehadiran Yayasan BITRA yang melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi kelompok CU dapat memberikan dorongan lebih bagi masyarakat untuk memahami lebih jauh tentang CU. Pertemuan pada 8 November dihadiri oleh ibu-ibu dari sekitar rumah salah seorang yang pernah mengikuti pelatihan. Pemaparan tentang CU, kelebihan, dan manfaatnya disampaikan oleh peserta pelatihan dan BITRA. Diskusi kali ini lebih membuka pandangan masyarakat terhadap kegitan CU ini sehingga peserta yang hadir sepakat untuk mendirikan CU di desa mereka. Pada kesempatan tersebut sebanyak 30 buah buku anggota CU dibagikan kepada masyarakat yang hadir. Seminggu kemudian, pengurus CU mengabarkan bahwa mereka kekurangan buku anggota CU dan meminta tambahan. Tentu saja ini merupakan informasi yang berindikasi bahwa kelompok CU di desa ini telah berjalan. Sementara itu kelompok CU di desa Rantau Kasih hingga Agustus 2007 belum berdiri. Dari hasil monitoring yang dilakukan peserta pelatihan, hal ini disebabkan di desa ini cukup banyak bantuanbantuan yang diberikan pemerintah dan lembaga lain. Hasil diskusi pengurus Forum Masyarakat 19
Pemberdayaan Masyarakat
Edisi Juli - September 2007
Suara Tesso Nilo Tesso Nilo dengan peserta pelatihan tersebut, disepakati bahwa bantuan-bantuan yang ada di desa mereka seharusnya menjadi potensi untuk dapat mendukung perkembangan CU. Pengurus mengakui bahwa mereka kesulitan untuk menjelaskan tentang CU pada masyarakat. Kemudian pengurus membuat sistem menabung saja, sistem ini awalnya dapat diterima oleh beberapa orang. Namun perkembangannya ternyata cukup menggembirakan, hingga September 2007 telah terhimpun anggota sebanyak 49 orang. Anggota kelompok ini sebagian besar adalah kaum ibu karena kegiatannya diselaraskan dengan menumpang acara pengajian rutin ibu-ibu. Untuk tahap awal sistem semacam ini dapat dicoba terus seiring dengan diberikannya terus pemahaman tentang CU. Sehingga diharapkan sistem tabungan secara perlahan dipindahkan ke sistem CU. Lain lagi yang terjadi di Dusun Bagan Limau. Digawangi oleh 2 orang alumni pelatihan pembukuan Credit Union hingga pertengahan 2007 anggota CU nya sudah mencapai 42 orang dari yang awal berdirinya pada Oktober 2006 cuma diikuti oleh 8 orang anggota. Kelompok ini awalnya terbentuk dari kelompok Tani Sawit. Perkembangan Kelompok ini cukup baik, pengurus sudah cukup mahir mencatat transaksi sesuai urutan pembukuan CU. Kelompok ini juga telah melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang pertama di tahun buku Oktober 2006 – September 2007. Pinjaman kepada anggota diberikan berdasarkan saling percaya. Besar pinjaman yang terbesar adalah Rp. 1.500.000,-, dan belum diperhitungkan sesuai saham. Panitia 20
kredit dan pengurus merembukkan siapa yang bisa meminjam beserta jumlah pinjamannya. Berdasarkan informasi dari anggota kelompok, masyarakat merasa cukup terbantu setelah masuk menjadi anggota CU walaupun nilai ekonominya masih sedikit. Kelompok CU ini juga mendapatkan kepercayaan dan harapan dari masyarakat. Hal ini diakui pengurusnya sebagai dampak dari keterbukaan yang dibangun oleh
jadi motor organisasi keuangan desa. Hal ini mendorong pengurus CU untuk terus dapat membuktikan tentang kinerja yang lebih transparan dan bertanggung jawab pada anggota dan masyarakat. Pengurus CU mentargetkan setelah pemekaran desa, rencananya akan diusulkan untuk penerbitan peraturan desa yang menyebutkan agar masyarakat ikut dalam CU dan KUD yang dijadikan sebagai unit usahanya. Melalui Perdes
Peserta Pelatihan CU; doc. FMTN
kelompok. Bahkan masyarakat meminta agar kelompok CU ini mengambil badan hukum Koperasi Unit Desa yang pernah berjalan di desa mereka namun kini tidak aktif. Menanggapi ini, pengurus CU meminta agar keinginan tersebut didiskusikan lewat RAT (Rapat Anggota Tahunan) sehingga menjadi keputusan bersama. Bila telah ada kesempatan, kelompok CU akan memakai status badan hukum KUD tersebut sebagai prasyarat usaha seperti jual beli TBS sawit dan penyediaan pupuk. Besarnya harapan masyarakat terhadap kelompok CU juga didorong oleh akan adanya penetapan Dusun Bagan Limau ini sebagai desa pecahan dari desa induknya. Kelompok CU berharap dapat men-
ini, seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap CU, diharapkan kelompok ini akan besar dan bermanfaat bagi masyarakat. Sejauh ini, CU telah dianggap dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus dalam mengelola kelompok simpan pinjam. Kendala yang dirasakan pengurus adalah masih belum terbangun keberanian anggota untuk menyampaikan pendapat dalam pertemuan-pertemuan resmi kelompok. Secara teknis pengelolaan kelompok CU bisa berjalan dengan baik, dan pengurus bersedia untuk memberikan pendampingan bagi kelompok CU lain di sekitar Tesso Nilo. (M. Yudi Agusrin)