Edisi Juli-September 2016
BRIEF
MERANCANG BUM DESA SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI DESA KEMBALI KE HULU UNDANGUNDANG DESA DIET ANGGARAN DAERAH
BRIEF 5
ARTIKEL MERANCANG BUM DESA SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI DESA
4 12
Sumber dari Internet
19
16
OPINI KEMBALI KE HULU UNDANG-UNDANG DESA
22 28
Sumber dari Internet
24
SEPUTAR OTONOMI DIET ANGGARAN DAERAH
D AFT AR IISI DAFTAR SI EDITORIAL SUPRADESA DAN OTONOMI DESA
REVIEW REGULASI INOVASI DESA JUARA: PERDES HANURA NO.02/2015 DAN PERDES NITA NO.05/2014
DARI DAERAH PERAN SUPRADESA DALAM DINAMIKA OTONOMI DESA
LAPORAN KEGIATAN KPPOD DORONG PENGEMBANGAN POTENSI UNGGULAN DAERAH
AGENDA KPPOD PELATIHAN “REGULATORY TOOLS TO IMPROVE QUALITY OF REGULATION”
PELATIHAN “EVALUASI KEBIJAKAN DAN KONSULTASI PUBLIK”
SEMINAR NASIONAL “MEMBANGUN DAERAH BERBASIS POTENSI UNGGULAN”
Sumber dari Internet
Susunan Redaksi | Pemimpin Redaksi: Herman Nurcahyadi Suparman | Expert Reviewer: Robert Na Endi Jaweng | Staff Redaksi: Boedi Rheza, Tities Eka Agustine, Muhammad Yudha Prawira, Nur Azizah Febryanti, Aisyah Nurrul Jannah | Distribusi: Maria Regina Retno Budiastuti, Eka Sukmana, Agus Salim | Desain/Layout: Winantyo Alamat Redaksi | Gedung Permata Kuningan Lt.10, Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 | Telp. [021] 8378 0642/53 | Fax. [021] 8378 0643 | Email:
[email protected] | Website: www.kppod.org | Facebook: kppod Sumber gambar sampul diperoleh dari internet: sorotmagelang.com
3
EDITORIAL
SUPRADESA DAN OTONOMI DESA
U
ndang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menempatkan desa sebagai salah satu aktor utama dalam narasi pembangunan Indonesia saat ini. Tentu ini membawa angin segar bagi desa yang sejak Indonesia berdiri selalu menjadi “objek” pemerintahan supradesa. Beleid baru ini lalu mengangkat martabat desa sebagai subyek pembangunan, terutama dalam konteks relasinya dengan pemerintah supradesa.
Relasi desa dan pranata supradesa lantas menjadi isu menarik dikaji. Pemberlakuan UU Desa tidak otomatis meminggirkan peran dan wewenang pemerintah kabupaten/kota atas desa. Artinya, regulasi nasional tidak serta-merta memposisikan kabupaten/kota sebagai penonton dalam pembangunan desa. Untuk itu, KPPODBrief edisi Juli-September ini menghadirkan gambaran dinamika relasi kuasa dan kewenangan antara pranata supradesa dan desa yang sedang meniti jalan menuju keotonomian. Pada “Rubrik Artikel” diuraikan peran BUM Desa sebagai pengerak ekonomi desa. Tercatat, jumlah BUM Desa sudah mencapai 12.000-an, jauh di atas angka 5000 yang ditargetkan Pusat sampai tahun 2019. Capaian ini menunjukkan bahwa BUM Desa dipercaya menjadi fondasi bagi desa untuk berdaya secara ekonomi. Namun, desa masih membutuhkan dampingan supradesa dalam merancang bangun BUM Desa. Menarik di Donggala, Pemkab berinovasi menyediakan pendamping khusus BUM Desa. Model “Intervensi” supradesa ini memberi daya akseleratif bagi desa untuk mengejar keotonomiannya. Peran supradesa ini ditegaskan kembali dalam “Rubrik Dari Daerah”. Observasi KPPOD di sejumlah desa menunjukkan jalan terjal yang mesti dilewati desa untuk mencapai otonomi. Namun, lagi-lagi, sejumlah pemerintah supradesa (pemkab) proaktif memuluskan langkah desa dengan program inovatif. Dan, “Rubrik Opini” mengingatkan seluruh stakeholders untuk tak lupa “kembali ke hulu” UU Desa. Bahwa asas rekognisi dan subsidiaritas hendaknya menjadi pijakan negara dalam menguatkan desa melalui pengakuannya atas eksistensi desa sebagai self governing community—masyarakat berpemerintahan!
H. Nurcahyadi Suparman Pemred KPPOD Brief/ Peneliti KPPOD
Di luar sejumlah rubrik utama di atas, pada “Rubrik Laporan Kegiatan dan Agenda KPPOD” tergambar jelas posisi KPPOD, baik sebagai pemantau maupun lembaga penelitian dan advokasi, dalam memberikan asistensi teknis kepada Pemda serentak advokasi ke Pusat. Seminar Nasional, misalnya, menjadi masukan kebijakan bagi pemerintah/pemda tentang pentingnya kelembagaan yang inklusif dan solid dalam melahirkan kebijakan yang unggul. Semoga berbagai rubrik dalam edisi KPPODBrief ini menambah amunisi pembaca, terutama pemangku kebijakan publik, dalam membangun Indonesia dari Desa. Selamat membaca.
4
ARTIKEL
MERANCANG BUM DESA SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI DESA
M
embangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Itulah salah satu agenda prioritas yang diemban Presiden Jokowi sebagaimana terpatri dalam Nawacita yang merupakan risalah program politiknya. Melalui penguatan desa, pemerintah berkomitmen melakukan pemerataan pembangunan antar kota dan desa dengan cara menjalankan amanat pembangunan Desa secara konsisten sebagaimana terkandung dalam UU No.6 Tahun 2014.
Desa merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum dan organisasi komunitas lokal yang memiliki batasbatas wilayah dan dihuni oleh sejumlah penduduk yang memiliki adat-istiadat sendiri dalam mengelola rumah tangganya--suatu self governing community atau masyarakat berpemerintahan. Semua masyarakat lokal (desa) yang ada di Indonesia mempunyai ciri khas atau kearifan lokal baik dari segi pemerintahan dan pembangunan (pengelolaan desa). di sana terkandung prinsip rekognisi, yakni suatu pengakuan dan penghormatan Negara atas desa dengan selaksa ciri khas asal-usul dan perkembangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945.
bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri atas urusan-uurusan lokal berskala Desa. Asas rekognisi dan subsidiaritas ini membawa implikasi berupa keberterimaan Negara dan segenap entitas supra-Desa lainnya akan hak asal-usul dan urusan ikutannya yang meliputi sumber daya alam, tanah ulayat, tanah kas desa, kebudayaan lokal, sistem adat setempat yang mencakup penerapan hukum adat dan ritual khas setempat, dst.
M. Yudha Prawira Peneliti KPPOD
Dari gambaran di atas terlihat perubahan kedudukan Desa yang tak lagi dikonstruksikan seperti masa orde baru yang ditempatkan sebagai alat administrasi pemerintahan semata, yang hidup dalam keseragaman dan dalam bayang-bayang patronase politik negara. Desa juga tidak dianggap sebagai target pembangunan dan objek kebijakan supradesa semata melainkan kini menjadi subjek kebijakan. Desa diberikan kesempatan untuk berdesa secara maju, mandiri dan demokratis dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Meminjam konsep Catur Sakti Desa sebagaimana diungkapkan oleh Sutoro Eko, desa harus bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya1). Aisyah Nurrul Jannah Peneliti KPPOD Selain itu, dalam tarikan napas yang sama Konsep ini diharapkan terus dibangun dengan asas rekognisi tersebut, dianut dalam rangka mempersempit ketidakpula asas subsidiaritas yang menegaskan pembatasan seimbangan dan kesenjangan antar kota dan desa kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) maupun antar desa itu sendiri. Merujuk Catur Sakti dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di Desa tersebut, dan bagi keperluan topik khusus tulisan 1) Sutoro Eko. 2014. Desa Membangun Indonesia. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Sleman-Yogyakarta. Hal. 78
5
ini, salah satu “sakti” yang relevan diangkat adalah perihal keberdayaan desa secara ekonomi. Hemat kami, salah satu faktor penting dalam konteks itu adalah dengan soal kemandirian desa lewat optimalisasi Pendapatan Asli Desa [PADes]. Dalam Pasal 72 ayat (1) huruf (a) UU Desa diterangkan bahwa “pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa.” Dipertegas dalam penjelasan UU Desa, hasil usaha yang dimaksud di dalam pendapatan asli desa adalah bersumber dari BUM Desa dan tanah bengkok. Gambaran di sebagian desa menunjukan, kebijakan pengelolaan unit usaha desa (BUM Desa) diarahkan untuk pada akhirnya memainkan peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian. BUM Desa dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian desa, mengoptimalkan manfaat aset, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa, mengembangkan kerjasama usaha antar desa dan pihak ketiga, menciptakan peluang dan jaringan pasar, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa2). Pembentukan BUM Desa tentu harus berlandaskan atas kebutuhan masyarakat dan sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan ekonomi di desa. BUM Desa hadir sebagai lembaga perekonomian masyarakat desa yang didirikan atas dasar inisiasi dan kearifan lokal. Thoha (1995) juga menegaskan bahwa adanya keterlibatan rakyat dan potensi lokal dalam pengambilan/pelaksanaan keputusan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu program/ proyek pembangunan3). Dalam konteks ini, artinya, rancang bangun BUM Desa pun tak boleh dikelola secara sentralistik tetapi diserahkan seutuhnya kepada masyarakat. BUM Desa Belum Bergerak Sebagai bentuk komiten Pusat terhadap arti penting BUM Desa, kini telah terbentuk sekurangnya 12.115 entitas bisnis tersebut di seantero Nusantara--suatu jumlah yang tentu telah melampaui target Kementerian Desa akan terbentuknya 5.000 BUM Desa hingga
20194). Artinya, jumlah kenaikan pendirian BUM Desa meningkat 12 kali lipat dibanding tahun 2014 yang hanya mencapai 1.022 unit BUM Desa5). Kenaikan jumlah yang signifikan ini, antara lain, didukung adanya penetapan prioritas dalam pemanfaatan dana desa untuk pendirian BUM Desa sebagaimana tertera dalam Permendesa No.21 Tahun 2015. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, keberadaan BUM Desa justru tidak diikuti dengan pergerakan unit-unit usaha desa. Selama ini desa hanya fokus untuk membentuk BUM Desa saja tanpa melakukan upaya untuk menjalankan unit usahanya. Sebagai contoh, studi lapangan KPPOD menunjukan, sebagian besar BUM Desa di Kecamatan Banawa Tengah (Donggala-Sulteng) masih dalam proses penguatan kelembagaan. BUM Desa tersebut dapat dikatakan belum aktif beroperasi lantaran beberapa desa di kecamatan tersebut masih memfokuskan anggaran kepada peningkatan kapasitas perangkat desa dan pengembangan infrastruktur desa sehingga alokasi untuk pengelolaan BUM Desa masih belum maksimal. Kenyataan ini tidak dapat dihindarkan, Desa-Desa di Kecamatan Banawa Tengah memang baru memberikan perhatiannya kepada perbaikan dan pembangunan infrastruktur serta berupaya menindaklanjuti kehendak dari regulasi dan pedomaan Pusat. Demikian halnya dengan pendirian BUM Desa yang selama ini masih dipandang sebagai bentuk kewajiban desa dalam menindaklanjuti regulasi pusat bukan berdasarkan kehendak dari masyarakat desa untuk secara mandiri menciptakan unit usaha milik desa dalam menggerakkan ekonomi desa. Dana Desa: Modal Awal BUM Desa Pemerintah pusat telah berkomitmen kuat dalam upaya membangun Indonesia dari pinggiran melalui penguatan perdesaan. Hal ini, antara lain, kiranya bisa ditakar dengan peningkatan anggaran dana desa secara signifikan dari APBN Perubahan 2015 yang hanya sebesar 20,8 Triliun dan kini pada APBN 2016 naik menjadi 47 Triliun. Belanja negara yang berasal dari APBN tersebut tentu membawa angin segar kepada pemerintah desa, termasuk sebagai modal
2) Lihat Pasal 3 Permendes No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa 3) Miftah Thoha. 1995. Birokrasi dalam Era Globalisasi. Bogor: Pusdiklat Pegawai Depdikbud; 4) Kementerian Desa. 2016. BUM Desa akan Topang Lumbung Ekonomi Desa. http://kemendesa.go.id/view/ detil/1663/bumdes-akantopang-lumbung-ekonomi-desa. Diakses pada tanggal 08 September 2016. 5) Dwi Murdaningsih. 2016. Jumlah BUMDesa naik 12 Kali Lipat. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ desamembangun/16/05/22/o7l4km368-jumlah-bumdes-naik-12-kali-lipat. Diakses tanggal 8 September 2016.
6
Sumber gambar dari Internet
awal pendirian dan stimulus pengembangan BUM Desa dalam kerangka pelaksanaan pembangunan dan sekaligus pemberdayaan masyarakat desa. Dalam konteks Kabupaten Donggala, pemilihan dana desa sebagai modal awal BUM Desa diyakini sebagai alternatif paling logis ketimbang sumber dana lainnya. Masyarakat tidak repot dalam pengajuan proposal program kepada Pemda, apalagi mengingat susahnya mendapat persetujuan dari setiap pengajuan proposal tersebut. Sebab ada keluhan yang muncul di tengah masyarakat bahwa persetujuan proposal amat mudah didapatkan ketika pola relasi yang terbangun bersifat patron-klien. Namun antara komitmen anggaran Pusat dengan realisasinya di lapangan masih belum bergayut. Di Kecamatan Banawa Tengah, misalnya, alokasi modal awal pendirian BUM Desa bersumber dari dana desa yang dikeluarkan Pusat. Walaupun BUM Desa sudah terbentuk, dalam prakteknya unit usaha milik desa ini belum dapat beroperasi karena dana desa tak juga kunjung disalurkan Pemda Donggala dan dicairkan Pemerintah Desa setempat. Penyertaan modal BUM Desa masih baru akan diserahkan ketika dana desa tahap II yang diperkirakan pada penghujung Tahun 2016 sudah cair. Hal ini terjadi, antara lain, di Desa Salubomba. Desa tersebut telah merencanakan pembentukan BUM Desa
yang dikukuhkan dasar hukumnya dalam Perdes No.4 Tahun 2016 tentang pendirian BUM Desa “Singgani”. Namun dengan keterbatasan anggaran akibat dana desa yang belum disalurkan, program belum dapat dilaksanakan. Terkait penyertaan modal BUM Desa, Desa Salubomba telah menganggarkan untuk kegiatan BUM Desa, sebagaimana tercantum pada RPJMDes dan RKPDes 2016, yang terjabarkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini. Memilah Unit Usaha BUM Desa Dalam observasi KPPOD di Kecamatan Banawa Tengah, ditemukan sebanyak 8 (delapan) desa yang telah menentukan jenis usaha BUM Desa. Jenis usaha tersebut berbentuk jenis usaha perantara (brokering) dan bisnis yang berproduksi atau berdagang (trading). Jenis usaha brokering menempatkan BUM Desa sebagai lembaga perantara yang menghubungkan komoditas pertanian dengan pasar atau BUM Desa menjual jasa pelayanan kepada warga dan usaha-usaha masyarakat. Sedangkan jenis usaha trading dimaknai dengan menjalankan BUM Desa yang berorientasi pada bisnis yang memproduksi barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.6) Jenis-jenis kegiatan dalam usaha perantara di Kecamatan Banawa Tengah terdiri dari jasa pembayaran listrik, pengelolaan Tempat Pengolahan Ikan, menjalankan unit pengelolaan pasar desa, dan
6) Lihat Permendes No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran BUM Desa
7
Tabel 1. Anggaran Desa Salubomba untuk Jenis Kegiatan BUM Desa (RPJMDes) No. 1. 2.
Bidang
Jenis Kegiatan
Sarana Prasarana Ekonomi
Jumlah Anggaran
Pembangunan Kantor Rp 300,000,000,BUMDES, PKK, dan BPD BUMDES Memerlukan Rp 100,000,000,Modal Usaha
Sumber Pembiayaan APBN & APBD Serta Swadaya Masyarakat APBN & APBD Kabupaten serta Swadaya Masyarakat
Tabel 2. Anggaran Desa Salubomba untuk Jenis Kegiatan BUM Desa (RKPDes) No. 1. 2.
Bidang Ekonomi Ekonomi
Jenis Kegiatan Modal Usaha BUM Desa Pelatihan Pengurus BUM Desa
Jumlah Anggaran Rp 100,000,000,---
Sumber Pembiayaan APBN & APBD Serta Swadaya Masyarakat APBD Serta Swadaya Masyarakat
Tabel 3. Jenis Kegiatan BUM Desa di Kecamatan Banawa Tengah No.
Desa
1.
Lumbudolo
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama BUM Desa Tuvu Singgani
Air bersih, pertanian (pengelolaan lahan), simpan pinjam, jasa tenda terowongan Lampo Lampo Berkarya Modal usaha tani, jasa perantara rekening listrik, jasa tenda terowongan Salubomba Singgani Jasa perantara listrik online, pengelolaan TPI, pengelolaan air bersih, Jasa tenda terowongan, sarung tenun Powelua Bina Usaha Powelua Jual beli nilam, unit pengelolaan pasar desa, jasa tenda terowongan Sejahtera Kola-Kola Sinue Jaya Pengelolaan jambu mente, unit jual beli kopra, simpan pinjam Towale Gerbang Emas Perikanan dan perkebunan Mekar Baru Anuta Mpasanggani Usaha ayam potong, jasa foto copy Limboro Belum terbentuk -
menyelenggarakan unit jual beli kopra. Sedangkan kegiatan usaha yang bersifat trading atau berdagang dilakukan dengan menyelenggarakan jual beli nilam, pengelolaan jambu mente, usaha perikanan, usaha perkebunan, sarung tenun dan usaha ayam potong. Terdapat empat (4) desa yakni: Lumbudolo, Lampo, Salubomba, serta Powelua, yang sama-sama menjalankan bisnis penyewaan jasa tenda terowongan. Berdasarkan penuturan Sekretaris Desa Salubomba, bisnis penyewaan jasa tenda terowongan adalah hasil kesepakatan masyarakat di kegiatan Musyawarah Desa. Masyarakat meyakini bahwa bisnis penyewaan tenda terowongan dapat menguntungkan desa karena banyaknya permintaan masyarakat untuk menyelenggarakan acara adat, pernikahan dan lain sebagainya. Namun penting pula dicatat, bahwa, dengan adanya jenis kegiatan usaha yang hampir serupa di empat desa tersebut. yakni jasa tenda terowongan, pemerintah desa sepertinya masih belum mampu mengidentifikasi
8
Jenis Kegiatan
potensi yang dimiliki di masing-masing desa. Terlihat dari pendirian BUM Desa, penentuan unit usaha masih mengadopsi desa lain. Pemilihan atas jasa terowongan sebagai potensi ekonomi desa kiranya perlu didalami kembali: apakah memang kebutuhan pasar atas layanan jasa tenda terowongan cukup tinggi di masing-masing desa, ataukah pengelola BUM Desa maupun masyarakat yang belum memahami Sumber Daya Alam, potensi usaha, produk unggulan desa maupun SDM yang dapat dikembangkan dalam unit-unit BUM Desa. Melalui Permendes No.4 Tahun 2015, pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan pedoman mengenai penentuan jenis usaha desa. Melalui peraturan ini diharapkan desa dapat memanfaatkan momentum penting dalam membangun desanya masing-masing. Klasifikasi jenis usaha desa ini terdiri dari: 1. Bisnis Sosial (Social Business) sederhana yang memberikan pelayanan umum (serving) kepada masyarakat dengan memperoleh keuntungan finansial. Jenis usaha ini dapat memanfaatkan
sumber daya lokal dan teknologi tepat guna, meliputi air minum Desa, usaha listrik Desa, lumbung pangan dan sumber daya lokal dan teknologi tepat guna lainnya. 2. Bisnis Penyewaan (Renting) barang untuk melayani kebutuhan masyarakat Desa dan ditujukan untuk memperoleh Pendapatan Asli Desa, meliputi penyewaan atas alat transportasi, perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah toko, tanah milik BUM Desa dan barang sewaan lainnya. 3. Usaha Perantara (Brokering) yang memberikan jasa pelayanan kepada warga yang meliputi jasa pembayaran listrik, pasar Desa untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat dan jasa pelayanan lainnya. 4. Bisnis yang Berproduksi dan/atau Berdagang (Trading) barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan pada skala pasar yang lebih luas, meliputi: pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian, sarana produksi pertanian, sumur bekas tambang dan kegiatan bisnis produktif lainnya. 5. Bisnis Keuangan (Financial Business) yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi Desa dengan memberikan akses kredit dan peminjaman yang mudah diakses oleh masyarakat Desa. 6. Usaha Bersama (Holding) sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat Desa baik dalam skala lokal Desa maupun kawasan perdesaan. Kegiatan usaha bersama ini meliputi pengembangan kapal Desa berskala
besar untuk mengorganisasi nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih ekspansif, Desa wisata yang mengorganisir rangkaian jenis usaha dari kelompok masyarakat dan kegiatan usaha bersama yang mengkonsolidasikan jenis usaha lokal lainnya. Dalam penentuan jenis usaha BUM Desa ini, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan Pertama, adanya perbedaan arah, maksud, dan tujuan pendirian BUM Desa jika dibandingkan dengan regulasi sebelumnya yang memposisikan BUM Desa hampir sama dengan BUMD yang memiliki fokus pencarian profit sebesarbesarnya. Namun lewat Permendes No.4 Tahun 2012, BUM Desa diarahkan tidak hanya untuk mencari keuntungan dalam proses pengelolaannya, juga menjalankan bisnis sosial dalam rangka memberikan layanan umum kepada masyarakat. Kedua, penentuan unit usaha BUM Desa melalui kesepakatan warga menjadi penting di dalam Musyawarah Desa (Musdes). Hal ini potensial memberikan ruang gerak baru bagi masyarakat untuk memperdalam demokrasi melalui partisipasi dan pelibatan aktif dalam memutuskan suatu kebijakan yang baik bagi masyarakat desa. Bahkan lebih lanjut melalui keterbukaan dan kesepakatan warga potensi-potensi desa akan dapat digali dan ditemukannya potensi unggulan atau produk unggulan yang dapat dijadikan jenis usaha baru dalam mengelola BUM Desa. Pembangunan Desa: Peran Supra Desa Dalam mengelola kompleksitas masalah BUM Desa jelas diperlukan dukungan nyata dari Supra Desa, utamanya Pemda Kabupaten/Kota. Peran serta pranata dan aktor supra desa dalam mendesain kebijakan yang tepat tentu
9
Sumber gambar dari Internet
akan berpengaruh positif kepada masyarakat desa dalam membangun kelembagaan ekonomi kolektif mereka. Di Kabupaten Donggala, terbentuknya BUM Desa tidak terlepas dari komitmen Pemda setempat. Pada aras kebijakan, sebagaimana tertuang dalam Perda No.17 Tahun 2011 tentang BUM Desa, Pemda membuka rekrutmen posisi pendamping BUM Desa di tahun 2015. Pada saat itu, Pemda merekrut 4 orang pendamping BUM Desa: masing-masing pendamping bertanggung jawab untuk 4 kecamatan sekaligus. Namun saat ini terjadi perubahan dari Pemkab Donggala yang kemudian berinisiatif menambah personil yang mengisi formasi kebutuhan pendamping BUM Desa menjadi 16 orang: tiap kecamatan memiliki satu pendamping BUM Desa.
untuk satu kecamatan ini merupakan inisiasi Pemda Donggala. Berbeda dengan pendamping desa yang telah ditentukan Pemerintah Pusat, pendamping BUM Desa ini hanya bertugas untuk mengawal, mendampingi, dan memberikan pengarahan terkait pembentukan dan pengelolaan BUM Desa saja. Bandingkan dengan pendamping desa versi Pusat yang memiliki tugas kompleks mendampingi dalam penyelenggaraan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa secara menyeluruh. Jika pendamping desa dibiayai oleh Pusat, biaya bagi para pendamping BUM Desa bersumber dari APBD Donggala.
Bersamaan proses rekrutmen tersebut, pemerintah mendorong seluruh perangkat desa untuk mendirikan satu BUM Desa di masing-masing desa. Pada gilirannya, saat rekrutmen para pendamping sudah mendapatkan hasilnya, tugas awal pendamping adalah memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa terkait pendirian BUM Desa, melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk membuat AD/ART, memilih pengurus kelembagaan BUM Desa, dan menentukan arah perekonomian BUM Desa.
Menariknya, keberadaan dua pendamping desa (versi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Donggala), sinergitas tetap terjalin baik di lapangan. Kerjasama antar pendamping desa berjalan baik, terutama saat memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat desa. “Karena sudah ada pendamping BUM Desa, jadi saya tidak lagi mengurus hal-hal mengenai BUM Desa”, demikian pengakuan Wawan, seorang pendamping desa versi Pusat di Desa Salubomba. Pendamping desa dan pendamping BUM Desa berjalan selaras dalam menjalankan tugasnya masing-masing, membatasi diri apa yang hendak diurus dan tidak mencampuri yang bukan termasuk tugas dan fungsi (tupoksi) mereka.
Tekad “Satu Pendamping BUM Desa untuk Satu Kecamatan” adalah bentuk terobosan dari Pemda Donggala dalam mendorong keberlangsungan dan efektivitas BUM Desa. Sebagaimana diakui oleh Fikar, pendamping BUM Desa di Kecamatan Banawa Tengah, model satu pendamping BUM Desa
Satu pendamping BUM Desa untuk satu kecamatan memang menjadi sebuah terobosan baru yang patut diapresiasi. Peran supra desa dalam hal ini Pemda Donggala adalah positif bagi dukungan percepatan pembangunan dan penguatan kelembagaan ekonomi desa. Di satu sisi, setiap BUM Desa terbantu
10
Sumber gambar dari Internet
oleh keberadaan pendamping yang hanya fokus menyelesaikan masalah dan tantangan terkait BUM Desa. Namun di sisi lain, pendampingan teknis untuk mendorong perkembangan BUM Desa sudah masuk dalam tanggung jawab pendamping desa versi Pusat. Pembagian tugas dan peran masing-masing pendamping antara pendamping desa dan pendamping BUM Desa tentu perlu diperhatikan agar tidak tumpang tindih. Meskipun demikian, peran supra desa dalam menciptakan pembangunan desa tentu masih perlu dioptimalkan dan diperluas. Rendahnya informasi dari Pemda akan potensi daerah-daerah, misalnya, masih menjadi kendala bagi warga Desa dalam menentukan jenis usaha BUM Desa mereka. Lemahnya proses identifikasi yang detail perihal potensi spesifik setiap desa menyebabkan kecenderungan desa untuk meniru unitunit usaha di desa lain, tak berbasis kebutuhan spesifik dan potensi riil yang ada. Sementara para pendamping tidak bisa intervensi ke masalah ini dan hanya memfasilitasi masyarakat pada saat musyawarah desa. Catatan Akhir Kondisi BUM Desa saat ini memang belum mencapai kondisi ideal. Meskipun dari sisi kuantitatif BUM Desa sudah terbentuk melebihi target Pemerintah, kenyataannya eksistensi badan usaha desa ini masih lebih sebagai sebentuk kewajiban pemerintah desa semata dalam menjalankan Undang-Undang Desa. BUM Desa masih belum bergerak optimal sebagai mesin perekonomian guna mewujudnya desa maju dan mandiri yang diidealkan konsep Catur Sakti di atas.
Masalah anggaran dana desa selayaknya juga menjadi perhatian pemerintah sehingga desa mendapatkan kemudahan dalam alokasi pembiayaan bagi kegiatannya. Bahkan lebih lanjut permasalahan dalam menentukan jenis usaha desa masih manjadi tugas rumah yang cukup penting dalam pendirian BUM Desa. Masyarakat sepatutnya mampu menentukan jenis usaha berdasarkan potensi dan produk unggulan desanya, bukan semata latah atau meniru kecenderungan umum yang ada. Identifikasi produk unggulan yang menjadi ciri khas desa sepatutnya menjadi basis dalam menentukan jenis usaha desa. Kita meyakini, keberadaan BUM Desa jelas potensial menghadirkan peluang baru untuk mengkapitalisasi sumber daya ekonomi desa. Melalui BUM Desa, unit-unit usaha dapat diarahkan sebagai sumber bantuan keuangan yang memenuhi kebutuhan skala mikro: akses kredit dan permodalan usaha di desa. Semakin banyak perputaran uang di desa, semakin besar pula peluang meningkatkan perekonomian di desa. Pembentukan BUM Desa ini tidak boleh dilihat semata-mata sebagai pelaksanaan Permendes No.4 Tahun 2015 saja, namun harus nyata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa dan membangun ekonomi desa secara keseluruhan. Terlepas dari kekurangan yang masih ada, pengalaman di Donggala tadi kiranya bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya. Peran pranata supra desa, utamanya Pemda, jelas amat krusial untuk memberikan dampak penting dan menggerakan potensi masyarakaat bagi pembangunan desa.
11
REVIEW REGULASI
INOVASI DESA JUARA PERDES HANURA NO.2 TH.2015 DAN PERDES NITA NO.5 TH.2014
O
tonomi desa yang diterapkan dalam kerangka UU No.6/2014 tidak pelak lagi membuka jalan bagi desa untuk bereksperimen dengan inisiatif mandiri dalam pembangunan. Contoh praktik baik, bahkan terbilang inovatif, datang dari Desa Hanura di Kabupaten Pesawaran (Lampung) dan Desa Nita di Kabupaten Sikka (NTT). Kedua desa ini melandasi inovasi tata kelola mereka dalam Perdes sebagai kerangka regulasi yang mewadahi pengaturan pengembangan potensi lokal (pariwisata) sebagai unggulan dalam pembangunan ekonomi setempat.
Perdes ini memuat ketentuan tentang sistematika penyusunan Perdes (Pasal 2 s.d. 4), tata cara penyusunan dan persetujuan Peraturan Desa. Perdes telah menggunakan acuan yuridis yang relevan. Perdes memakai UU No.6/2014 sebagai acuan yuridis yang utama. Selain itu, Perdes ini memakai juga PP No. 43/2015 tentang Desa. Acuan yuridis ini sudah tepat, mengingat kedua peraturan tersebut adalah peraturan yang mengatur tentang desa maupun perangkat desa.
Perdes memastikan partisipasi masyarakat. Perdes ini memiliki beberapa ketentuan yang Perdes Hanura No.2/2015 tentang RKP Desa mengatur penyusunan RKPDes, Tata cara penyusunan dan penetapan RKPDes, Pembangunan yang dapat berdampak dan Mekanisme Pengambilan Keputusan bagi masyarakat memerlukan sebuah RKPDes. Perdes ini juga menjamin rencana yang komprehensif dan partisipasi masyarakat dalam perumusan partisipatif. Perencanaan ini memerlukan RKPDes melalui ketentuan dalam Pasal sebuah payung legal untuk menjamin 4. Ketentuan ini menyebutkan bahwa implementasi proses perencanaan tersebut. pembuatan RKPDes, termasuk RAB, Berkenaan dengan hal tersebut, Desa RKA dan Daftar Pelaksanaan Anggaran Hanura sudah menerbitkan payung (DPA) harus dilakukan secara transparan, hukum untuk proses perencanaan partisipatif dan akuntabel oleh pelaksana Pemerintah Desa. Payung hukum ini pembangunan. Hal ini berarti setiap berbentuk Peraturan Desa No.2 Tahun rencana pembangunan yang dibuat harus 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah Boedi Rheza Peneliti KPPOD melibatkan seluruh unsur masyarakat, Desa (RKPDes). tidak hanya pemerintah desa. Dengan adanya partisipasi masyarakat, maka Analisis Isi Perdes perencanaan yang dirumuskan akan merangkum seluruh kebutuhan masyarakat desa dan prioritas– Perdes ini berlandaskan pada pasal 79 UU No.6 prioritas yang akan dilakukan. Tahun 2014 tentang Desa, bahwa Pemerintah Desa wajib menyusun perencanaan pembangunan desa Strukturisasi Mekanisme Penyusunan Perdes. sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada Penyusunan tersebut dimulai dari tahapan menerima perencanaan pembangunan Kabupaten. Perencanaan aspirasi masyarakat desa yang diwadahi oleh Lembaga desa ini terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Pemberdayaan Masyarakat/Lembaga Ketahanan Menengah Desa (RPJMDes) untuk enam tahun dan Masyarakat Desa (LPMD/LKMD). Lembaga ini Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) untuk satu merupakan lembaga yang dibentuk sesuai kebutuhan tahun. Kedua perencanaan harus sejalan dan harmonis, masyarakat dan kemudian menjadi mitra Pemerintahan dengan RKPDes sebagai penterjemahan dari setiap Desa dalam memberdayakan masyarakat. Aspirasi tahapan RPJMDes.
12
tersebut kemudian disusun oleh Pemerintah Desa kedalam dokumen rancangan RKPDes. Dokumen rancangan ini kemudian disampaikan oleh Pemerintah Desa melalui Kepala Desa kepada pemangku kepentingan yaitu: LPMD/LKMD, Lembaga Kemasyarakatan, PKK, KPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, dan sebagainya. Penyampaian ini dilakukan melalui kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Desa. Setelah dilakukan musrenbang, dan rancangan RKPDes diterima oleh keseluruhan unsur masyarakat Desa, maka dilakukan persetujuan atas rancangan RKPDes tersebut dalam sebuah rapat paripurna yang dihadiri oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ringkasnya, proses ini dapat dilihat dari diagram dibawah ini:
Partisipasi Masyarakat Desa yang Lebih Terjamin. Proses perencanaan yang ditetapkan dalam Peraturan Desa Hanura telah menjamin partisipasi masyarakat. Perencanaan yang dibuat juga bersifat bottom-up karena berasal dari aspirasi masyarakat desa. Model perencanaan seperti ini akan menjamin setiap prioritas yang telah ditetapkan memang dimaksudkan untuk menjawab setiap permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa. Dengan model perencanaan yang partisipatif seperti ini, masyarakat tentunya juga akan terlibat aktif dalam pengawasan implementasi perencanaan. Keberadaan Perdes sebagai payung hukum dari perencanaan ini dapat menjamin keberlangsungan proses perancangan rencana pembangunan. Hal ini dikarenakan dengan adanya Perdes, proses perencanaan di Desa Hanura memiliki kekuatan hukum. Mekanisme perancangan RKPDes, seperti yang tercantum dalam Perdes ini, juga dapat menjadi ajang bagi masyarakat desa untuk meningkatkan kapasitas dalam pembuatan perencanaan desa. Masyarakat desa memiliki pemahaman lebih kuat untuk menentukan prioritas desa maupun program yang akan dijalankan. Lebih jauh lagi,
proses perencanaan ini, juga dapat membuka wawasan dan pemahaman masyarakat desa akan pentingnya suatu proses perencanaan. Perdes Nita No.5/2014 tentang Pengembangan Desa Wisata Desa Nita merupakan salah satu desa juara dalam lomba antar desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Desa Nita telah menerbitkan Perdes yang mengatur pengembangan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan. Desa Nita memiliki beberapa lokasi tujuan wisata yaitu Regalia Kerajaan Nita, Situs Kamar Santo Paus Seminari Tinggi, beberapa lokasi Gua Nipon, dan sentra kerajinan lokal. Lokasi–lokasi tersebut yang akan dikembangkan menjadi pengembangan sektor pariwisata di Desa Nita. Pengembangan sektor pariwisata di Desa Nita kemudian diejawantahkan dengan Pengembangan Desa Wisata. Pengembangan desa wisata bermakna upaya meningkatkan potensi dan sumber daya wisata serta pemanfaatannya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam satu kesatuan usaha yang terpadu dan memadai dengan tetap menjaga nilai sosial budaya dan kelestarian lingkungan demi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Pengembangan desa wisata sendiri bertujuan untuk menjaga kelestarian wisata desa, pemanfaatan potensi lokal, memberi dorongan masyarakat desa untuk memanfaatkan potensi tersebut untuk berusaha dan juga dapat mengangkat citra desa. Masyarakat diberikan kesempatan seluasluasnya untuk memanfaatkan potensi desa dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Analisis Isi Perdes Perdes Desa Nita No.5/2014 tentang Pengembangan Desa Wisata memiliki maksud dan tujuan sebagai payung hukum pengembangan desa wisata yang dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sebesar-besarnya. Untuk mendukung tujuan tersebut, perda ini memiliki ketentuan pengaturan tentang strategi dan model pengembangan kawasan desa wisata, termasuk sumber dana yang akan digunakan Pemerintah Desa untuk pengembangan desa wisata. Pengembangan desa wisata dilakukan dalam beberapa aspek diantaranya adalah industri pariwisata; destinasi pariwisata; kelembagaan kepariwisataan; dan promosi dan pemasaran. Kawasan–kawasan wisata yang diproyeksikan menjadi tempat wisata dan
13
Sumber gambar dari Internet
usaha pendukung wisata juga diatur dalam Perdes ini. Ketentuan yang tidak kalah pentingnya dalam Perdes ini adalah pengaturan mengenai hak dan kewajiban baik masyarakat maupun pemerintah. Perdes telah memakai acuan yuridis yang relevan. Perdes sebagai salah satu peraturan, harus mengacu pada peraturan perundangan di atas nya. Sebagai acuan, Perdes ini telah memakai UU No.6/2014 dan juga PP No. 43/2015 tentang desa. Terkait dengan pengembangan desa wisata, Perdes ini mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.52/2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat yang memiliki relevansi untuk pengembangan desa wisata. Perdes ini juga mengacu pada Perda RPJMD Kab. Sikka yang merupakan acuan perencanaan pembangunan daerah. Strategi fokus dan model pengembangan desa wisata. Pengembangan potensi desa ini juga memerlukan kebijakan yang menyeluruh. Kebijakan terkait perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi kata kunci penting yang harus selalu dipegang dalam pengembangan potensi desa. Kebijakan pengembangan juga harus berlandaskan pada asas dasar. Pengembangan desa wisata ini dilakukan berdasarkan empat asas yaitu: 1. Kemanfaatan dan keberlanjutan; 2. Kreatif dan partisipatif; 3. Efisien dan efektif; dan 4. Berkeadilan sosial serta berwawasan lingkungan. Sebagai arah pengembangan, maka Desa Nita menetapkan strategi pengembangan dan model
14
pengembangan yang komprehensif. Strategi pengembangan desa wisata dimulai dengan identifikasi potensi dan nilai budaya yang dapat dikembangkan. Identifikasi yang dilakukan ini tentunya akan menghasilkan prioritas sektor unggulan yang akan dikembangkan. Setelah adanya identifikasi tersebut, maka langkah selanjutnya adalah pemberdayaan potensi-potensi wisata desa. Pemberdayaan disini tentunya akan mendatangkan nilai tambah bagi objek wisata maupun kegiatan–kegiatan usaha terkait potensi wisata tersebut. Strategi selanjutnya adalah pelembagaan forum–forum aktualisasi budaya dan pariwisata desa dalam eventevent strategis desa, daerah dan nasional. Event–event ini akan meningkatkan pengetahuan masyarakat dan juga mengundang usaha–usaha lainnya. Pelaksanaan event-event ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan usaha–usaha sebagai pendukung event tersebut. Agar kegiatan usaha maupun event– event terkait dapat berhasil, diperlukan satu strategi lainnya yaitu peningkatan koordinasi, informasi, promosi dan komunikasi antar pemerintah desa, daerah serta jaringan antar stakeholders. Model pengembangan desa wisata yang dirumuskan dalam Perdes ini terdiri dari lima jenis yaitu wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata buatan dan juga wisata atraktif. Pengembangan desa wisata juga harus dilakukan berdasarkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang berdasarkan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan tradisi seni budaya serta kearifan lokal. Perencanaan pengembangan harus bersinergi dengan
Sumber gambar dari Internet
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Induk Pariwisata Daerah. Strategi dan model pengembangan yang telah ditetapkan dalam Perdes ini menggambarkan bahwa pengembangan desa wisata sebagai salah satu potensi unggulan, tidak dapat dilakukan oleh desa sendiri, melainkan juga keterlibatan para pihak seperti Pemda, dan stakeholders lainnya. Untuk mendukung pengembangan desa wisata, Desa Nita juga merumuskan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan melibatkan Usaha Ekonomi Kreatif (UEK), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai pendukung penyediaan produk lokal kepariwisataan. Dengan adanya jaminan seperti ini, Masyarakat dapat melakukan usaha dan juga menerima dampak positif dari pengembangan desa wisata. Perdes ini memiliki ketentuan dan pengaturan yang menyeluruh. Tidak hanya mengatur tentang potensi desa, namun juga mengatur strategi dan model pengembangan potensi tersebut. Pelibatan masyarakat dalam bentuk usaha–usaha pendukung dinyatakan dengan sejelas-jelasnya dalam beberapa ketentuan Perdes ini. Harapannya, pengembangan potensi desa wisata ini dapat memberikan peningkatan taraf hidup masyarakat di Desa Nita.
Catatan akhir Kedua Perdes ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa memerlukan partisipasi aktif masyarakat desa tidak hanya pada tahapan perencanaan melainkan juga pada tahapan pelaksanaan dan pengawasan. Pola pembangunan desa tidak lagi bisa dilakukan secara topdown, namun juga bottom-up. Partisipasi masyarakat desa tidak hanya dijamin melalui keterbukaan akses masyarakat untuk mengetahui dan terlibat dalam setiap proses perencanaan pembangunan desa, namun juga dijamin melalui keberadaan peraturan desa yang mampu mengakomodir partisipasi tersebut. Kemandirian desa juga harus di dukung dengan pengembangan produk unggulan. Pengembangan produk unggulan juga harus memiliki perencanaan yang terpadu dan di mulai dari identifikasi produk atau potensi unggulan yang akan dikembangkan. Pengembangan potensi unggulan juga memerlukan partisipasi masyarakat desa, karena dengan adanya partisipasi dari Masyarakat desa, tingkat kesejahteraan masyarakat desa dapat meningkat. Selain pelibatan aktif masyarakat, juga diperlukan koordinasi antar pihak untuk pengembangan potensi unggulan desa tersebut. Pada akhirnya, seluruh strategi pengembangan dapat dilaksanakan dan berjalan dengan baik.
15
DARI DAERAH
PERAN SUPRADESA DALAM DINAMIKA OTONOMI DESA
T
epat dua tahun silam, desa berada di sebuah titik alih. Dari objek menjadi subjek pembangunan. Ini tidak berlebihan, mengingat hingga disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa masih hanya menjalankan program-program dari pranata supradesa. Kini, desa bisa berdiri di atas kaki sendiri. Desa bisa menentukan sendiri masa depannya. Dinamika perubahan baru inilah yang dirasakan Armin Bahali, Plt. Kepala Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Mangggarai Barat, NTT. “Kami punya otonomi sekarang. Sebelum-sebelumnya, kami hanya menonton program-progam pemerintah yang dijalankan di desa. Saat ini, kami merancang kebijakan yang sesuai dengan usul masyarakat,” ungkap Armin yang sebenarnya menjabat sebagai Sekretaris Desa. Maklum, Desa Macang Tanggar sedang dalam proses Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang baru.
Rumah-rumah penduduk ini berbaris rapi di sepanjang jalan utama desa. Dari pantauan KPPOD, hanya satu ruas jalan ini yang sudah beraspal. Namun, menurut Armin, sejumlah ruas lain di beberapa dusun sedang diperbaiki. Perbaikan infrastruktur jalan ini terjadi, tidak lain karena kucuran Dana Desa (APBN) tahap kedua. Lebih dari itu, pembangunan ini dibuat atas inisiatif dan rancangan bersama masyarakat seluruh desa Macang Tanggar, bukan program pemerintahan supradesa. Sejak dana desa tahap pertama dikucurkan, seluruh warga desa dilibatkan dalam seluruh proses perencanaan penggunaan dana desa. Di tingkat RT/RW dan dusun, seluruh warga berpartisipasi aktif untuk menentukan prioritas pembangunan. Kesepakatan di tingkat dusun diusulkan dalam rembuk tingkat desa.
Pada tahap pertama, Desa Macang Tanggar mendapatkan dana desa lebih dari Rp 300 Juta. Saat itu, Kepala Desa menginformasikan ke seluruh perangkat Subjek Pembangunan desa dan dusun tentang besaran anggaran untuk disebarluaskan lebih lanjut ke Desa Macang Tanggar berada di pinggiran masyarakat. Masyarakat pun mulai Labuan Bajo, ibukota Kabupaten berembuk secara bertahap mulai dari Manggarai Barat. Namun, ketika Labuan tingkat RT/RW, Dusun, hingga level Desa. Bajo sedang bertransisi dan memoles diri Elemen masyarakat bersepakat untuk dengan urbanisasi, tidak demikian dengan mendirikan sebuah puskesmas pembantu Macang Tanggar. Desa yang berpenduduk (Pustu). Menurut Armin, warga ingin mayoritas muslim ini masih kental dengan H. Nurcahyadi Suparman Peneliti KPPOD mendapatkan layanan kesehatan yang kultur agraris pedesaan. Meski berlokasi mudah dijangkau. Saat ini, pihak Pemdes di daerah pantai, sebagian besar penduduk sudah berkoordinasi dengan Puskesmas utama untuk Macang Tanggar bermatapencaharian sebagai petani mendapatkan tenaga kesehatan yang bisa bekerja di sawah dan peternak. Pustu Macang Tanggar. Pada tahap kedua, melalui proses musyawarah yang sama, Desa Macang Tanggar Kultur agraris ini tampak nyata ketika Tim KPPOD memprioritaskan jalan di Dusun Nanganae, Menjaga, mengunjungi desa ini. Hamparan sawah mengitari Wae Bue dan Laing Bako dan tembok penahan di perumahan penduduk yang sebagian besar berbentuk rumah panggung. Di depan dan belakang rumah dihiasi sebuah lapangan di tengah desa. tumbuhan palawija. Tampak pula hewan piaraan semisal Inilah titik dimana masyarakat Desa Macang Tanggar kambing dan sapi diikat tidak jauh dari rumah-rumah menjadi subyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk.
16
masyarakat desa sendiri yang merencanakan dan memutuskan program-program yang terbaik bagi desanya. Seluruh program desa tidak muncul tibatiba, tetapi melalui proses musyawarah dari bawah (bottom up); mulai dari RT/RW, lanjut ke dusun, sampai akhirnya di tingkat desa. Metamorfosis desa dari obyek menjadi subyek pembangunan juga dialami oleh Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, NTT. Desa yang persis terletak di ruas jalan Trans Flores ini berani memproklamirkan diri sebagai Desa Wisata. Mungkin terdengar aneh bagi orang yang baru melintas atau mengunjungi desa ini. Karena, seperti pantauan sepintas KPPOD, tidak ada obyek yang menarik perhatian atau layak dijadikan tempat wisata di tempat ini. Desa yang berada kurang lebih 5 KM dari Maumere, Ibukota Kab. Sikka ini, hanya dipenuhi hamparan pohon kelapa dan kakao. Namun, jangan buru-buru berpendapat demikian. Ternyata, Desa Nita memiliki potensi wisata yang luar biasa dan layak untuk dikembangkan. Adapun potensi tersebut antara lain Regalia Kerajaan Nita, Situs Budaya Gereja Nita, Situs Kamar Paus di Seminari Tinggi Ritapiret, beberapa Gua Nippon (Gua Jepang), Sanggar Tenun Ikat, Sentra Kerajinan Lokal, dan Sanggar Musik dan Tari Tradisional. Dalam keotonomiannya, desa yang baru saja meraih juara pertama lomba antardesa tingkat nasional tahun 2016 ini, berkomitmen menjadikan wilayahnya sebagai destinasi wisata. Komitmen ini dikukuhkan dengan Peraturan Desa Nita No.5/2014 tentang Pengembangan Desa Wisata. Perdes ini mengatur lima model pengembangan desa wisata yaitu wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata buatan dan juga wisata atraktif. Adapun strategi pengembangannya mulai dari identifikasi potenis, pemberdayaan, sampai pada pelembagaan forum-forum aktualisasi budaya dan pariwisata desa dalam even-even strategis desa, daerah dan nasional. Harapannya, melalui Desa Wisata, masyarakat Nita bisa meningkatkan kesejahteraannya dengan memanfaatkan potensi lokal sembari melestarikan budaya dan alam. Jalan Panjang Otonomi Macang Tanggar dan Nita adalah dua kisah desa yang sedang mereguk nikmatnya menjadi subyek pembangunan. Namun, kisah itu menunjukkan: menjadi subyek pembangunan yang seutuhnya membutuhkan perjuangan ekstra. Tidak mudah beralih rupa dari obyek menjadi subyek. Transformasi ini masih menempuh jalan panjang. Memang secara substansi, desa memiliki
kendali penuh mulai dari proses perencanaan sampai pada realisasi program. Namun, beragam proses ini tidak bisa dipisahkan dari persyaratan teknis yang menjadi tuntutan undang-undang dan regulasi turunannya. Tuntutan ini antara lain keharusan membuat RPJMDes, RKPDes dan Perdes. Beberapa tuntutan ini mau tidak mau mesti dipenuhi desa agar keotonomian bisa terwujud. Nah persoalannya, justru persyaratan teknis seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi desa. Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat dan perangkat desa belum siap memenuhi tuntutan tersebut. Armin mengaku, perangkat desa masih kewalahan untuk menyusun dokumen-dokumen yang dipersyaratkan untuk mendapatkan dana desa. Meski pada akhirnya, seluruh dokumen tersebut bisa terpenuhi, tetapi desa harus “pontang-panting” dalam proses perumusan dokumen-dokumen tersebut. “Tenaga-tenaga kami belum siap betul dengan ini. Kami harus aktif bertanya ke kabupaten,” terangnya. Dalam situasi seperti ini, kehadiran pendamping desa menjadi signifikan. Desa Macang Tanggar sendiri sungguh merasakan peran pendamping desa. Sebagaimana Armin menerangkan, pendamping desa yang datang setiap minggu atau saat rapat cukup membantu desa. Namun, kehadiran pendamping desa ini bersifat insidental dan hanya membantu dari sisi teknis administrasi. Pak Armin menghendaki agar pendamping desa juga sungguh-sungguh mengenal Macang Tanggar sehingga bisa membantu dalam perencanaan yang cocok dengan karakteristik desa. Di desa lain, kehadiran dan peran pendamping desa belum terasa. Persoalan ini terjadi karena dua faktor; pertama, pendamping desa tidak secara teratur bahkan jarang hadir di desa. Kedua, kualifikasi pendidikan pendamping desa tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan. KPPOD menemukan masalah ini di Desa Wolosoko, Kabupaten Ende. Kepada KPPOD, Kepala Desa mengeluhkan kualifikasi pendidikan pendamping desa. “Bagaimana bisa seorang latar belakang pendidikan perawat, menjadi pendamping desa,” ungkapnya. Lebih parahnya lagi, lanjutnya, pendamping ini jarang hadir di desa. Padahal di tengah keterbatasan SDM di desa, kehadiran pendamping desa sangat dibutuhkan. Inovasi Supradesa Potret Desa Macang Tanggar dan Desa Wolosoko ini memberikan sedikit gambaran tantangan yang dialami
17
ribuan desa di Indonesia dalam meraih otonominya. Rupanya, desa masih butuh waktu untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Desa masih butuh tuntunan dan sentuhan pihak lain, terutama pemerintah supradesa. Hasil studi KPPOD menunjukan, sejumlah pemerintah kabupaten berinisiatif “meng-injeksi” desa dengan sejumlah kebijakan (regulasi) inovasi. Injeksi supradesa ini tentu bukan intervensi yang menggerogoti otonomi desa melainkan justru melapangkan jalan desa menuju keotonomian. Inovasi supradesa ini ditunjukkan Pemerintah Kabupaten Ende, NTT, melalui program Pagu Indikatif Desa (PIDES) dan Pagu Indikatif Kelurahan (PIKEL). PIDES/PIKEL merupakan platform kebijakan Pemkab Ende di bawah kepemimpinan Bupati Marsel Petu dan Wakil Bupati Djafar Achmad (2014-2019), untuk membangun daerah dari desa dan kelurahan. PIDES/ PIKEL dapat menjawab kebutuhan masyarakat terhadap permasalahan yang dihadapinya, dalam konteks peningkatan kapasitas, pengembangan ekonomi masyarakat dan peningkatan infrastruktur penunjang melalui pendekatan partisipatif (bottom-up). Menurut Kepala Bappeda Ende Hiparkus Heppi, anggaran PIDES/PIKEL bersumber dari APBD dengan alokasi 700 juta sampai dengan 1 miliar rupiah per desa/kelurahan. “Sama dengan Dana Desa dari APBN. Hanya kita menetapkan besaran alokasinya biar searah dengan lima bidang prioritas RPJMD (tiwu lewu),” jelasnya. Adapun lima bidang prioritas itu, lanjut Heppi, Pendidikan 20%, Kesehatan 10%, Ekonomi dan Pariwisata 25%, Infrastruktur dan Lingkungan hidup 35%, sementara Penataan Birokrasi, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, Hukum, HAM, Keamanan dan Ketertiban sebesar 10%. Alokasi ini menjadi acuan bagi setiap desa dan kelurahan dalam mengusulkan program dan kegiatan melalui Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan mulai dari tingkat dusun/lingkungan, desa/kelurahan dan kecamatan. Usulan program dan kegiatan dari setiap desa dan kelurahan ditampung dan disepakati dalam Musrembang Kabupaten. Pemda, melalui Bappeda akan menentukan SKPD teknis terkait untuk mengolah anggaran PIDES/PIKEL berdasarkan usulan desa dan kelurahan. “Pengolahan oleh SKPD adalah cara kami mengisi kekurangan SDM desa dalam mengelola anggaran yang besar,” ungkapnya. Namun, menurut Heppi, masyarakat tetap memiliki kontrol penuh terhadap pelaksanaan dan realisasi
18
anggaran PIDES/PIKEl di desa dan kelurahannya masing-masing. “Bagusnya, selain turut dalam perencanaan, desa juga mengetahui dengan pasti besaran anggaran dan realisasinya seperti apa,” tandasnya. Kisah inovasi supradesa juga muncul dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pemkab Donggala memilih fokus pada pengembangan BUM Desa dalam pembangunan desa. Untuk mengembangkan BUM Desa, Pemkab Donggala mencanangkan program “Satu Kecamatan Satu Pendamping BUM Desa”. Pendamping BUM Desa ini hanya fokus pada pembentukan dan pengembangan BUM Desa di wilayah tugasnya masingmasing. Sebagai program kabupaten, pembiayaan pendamping BUM Desa bersumber dari APBD. Pendamping BUM Desa ini tentu berbeda dengan pendamping desa dari pemerintah pusat. Selain dibiayai oleh pusat, tugas pendamping desa (pusat) memiliki tugas yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendamping BUM Desa. Namun, kehadiran pendamping dari dua program ini tidak tumpang tindih, tetapi justru bersinergi dalam pelaksanaan tugas di lapangan. “Karena sudah ada pendamping BUM Desa, jadi saya tidak lagi mengurus hal-hal mengenai BUM Desa”, terang Wawan, salah satu pendamping desa dari pusat di Desa Salubomba. Catatan Akhir PIDES/PIKEL dan Pendamping BUM Desa yang dicanangkan Pemkab Ende dan Donggala merupakan bentuk inovasi dari pranata supradesa untuk memuluskan langkah desa dalam menggapai otonomi. Sebab beragam persoalan desa, semisal SDM lemah, tidak bisa diatasi sendiri oleh desa, melainkan butuh uluran tangan supradesa. Selain itu, kedua inovasi supradesa ini merupakan cara pemkab untuk menjaga konektivitas antara program desa dan progam pemerintahan daerah. Meski desa memiliki kewenangan politik untuk mengurus dirinya sendiri, tetapi tetap berada dalam bingkai otonomi daerah (kabupaten). Karakter desa yang beragam dan perencanaan desa yang bervariasi berpeluang untuk “menjauh” dari RPJMD kabupaten. Padahal, sebagai bagian dari sebuah daerah otonom, desa mesti tetap menjaga keselarasan dengan visi dan misi kabupaten. Tentu ini menjadi tantangan berat karena di satu sisi, desa berjuang untuk menggapai otonomi, tetapi sisi lain, mesti memperhatikan arah pembangunan pemerintahan supradesa.
OPINI
KEMBALI KE HULU UNDANG-UNDANG DESA
Sumber gambar dari Internet
I
praktek penyalahgunaan anggaran. Hal ini kemudian mendorong Pemerintah Pusat, Provinsi hingga Kabupaten untuk melaksanakan sosialisasi dan pelatihan penguatan kapasitas yang kental akan pembahasan mengenai aspek administrasi dan keuangan. Sosialisasi dan pelatihan penguatan kapasitas memang sebuah langkah yang wajib ditempuh mengingat pasal 112 UU Desa mengamanahkan kepada pemerintah supra-desa untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Tapi satu hal yang perlu diingat, bahwa kewajiban untuk Silang Sengkarut Permasalahan membina harus dilaksanakan secara Nasrun Annahar berurutan dari hulu yang tepat, dari Setidaknya terdapat dua permasalahan Peneliti Komunitas Averroes, besar yang sudah terlanjur mengalir Malang dan Fasilitator Sekolah penentuan kewenangan desa dilanjutkan Pembaharuan Desa, Infest pada perencanaan pembangunan desa menjauhi “hulu aliran sungai” UU Desa. Yogyakarta. dan barulah kemudian menuju hilir yang Pertama, meningkatnya kekhawatiran menyoal manajemen keuangan desa. mengenai ketidaksiapan kapasitas Pemerintah Desa pada gilirannya memunculkan Sayangnya, sejauh ini orientasi dari beragam pelatihan kekhawatiran akan adanya mismanajemen dan barat air sungai, UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa sudah mengalir jauh menuju muara cita-cita membangun Indonesia dari Desa. Air itu mengalir dari pertengahan sungai bukan dari hulu di gunung yang tinggi. Kewenangan dan perencanaan pembangunan desa, sebagai hulu dari aliran sungai tadi sudah terlewatkan, luput dari pengamatan dan jarang diperbincangkan. Di sisi yang berlawanan, wacana tentang “1 Milyar 1 Desa” telah terlanjur menjadi perhatian utama.
19
dan sosialisasi tersebut menyiratkan kesan bahwa pemerintah supra-desa hanya mendiseminasi informasi mengenai bagaimana menjalankan “ritual membelanjakan uang negara”. Substansi sosialisasi UU Desa mengesankan adanya simplifikasi konten UU Desa. UU Desa hanya dimaknai sebatas perubahan fundamental dalam konteks pengelolaan keuangan. Pernyataan semacam “Desa harus mampu mengelola anggaran yang besar, anggaran harus 100 persen terserap, hati-hati penyalahgunaan anggaran” adalah sederet kalimat yang terus diulang dalam bentuk yang berbeda namun dengan intisari yang sama. Di saat yang sama, regulasi turunan UU Desa yang terkait dengan pengelolaan keuangan terus diproduksi oleh pemerintah supra-desa. Aturan mengenai kewenangan, musyawarah desa, peran BPD dan perencanaan pembangunan desa bukan menjadi prioritas utama. Pengamatan saya di Kabupaten Malang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan hingga Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, menunjukan bahwa Pemerintah Kabupaten turut melanggengkan dominasi wacana keuangan dibanding masalah-masalah kewenangan dan perencanaan pembangunan. Di antara sekian banyak Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati yang diamanatkan oleh UU Desa, aturan-aturan mengenai keuanganlah yang lebih dahulu disahkan. Tata cara pembagian dan penetapan dana desa, tata cara pengalokasian ADD, pengelolaan keuangan desa, pedoman dan tata cara pengadaan barang dan jasa di desa dan pedoman pelaksanaan ADD, adalah sederet regulasi yang sudah disahkan dan dijalankan. Regulasi turunan mengenai keuangan desa memang sesuatu yang penting, tapi peraturan bupati tentang kewenangan desa dan perencanaan desa (RPJMDesa, RKPDesa) adalah hal yang lebih penting dan tak boleh dinomorduakan. Kedua, pemahaman pemerintah supra-desa (khususnya kecamatan) dalam mekanisme implementasi UU Desa terbilang masih rendah. Kecamatan sebagai kepanjangan tangan dari kabupaten berfokus pada hal-hal administratif. Sejauh ini, kecamatan hanya memposisikan diri (atau bahkan oleh kabupaten sengaja hanya diposisikan) sebagai verifikator yang bertugas menelaah syarat dan kelengkapan pencairan dana desa saja. Tugas sebagai fasilitator, evaluator dan koordinator masih digenggam erat oleh kabupaten. Bukan tanpa alasan, mandulnya peran kecamatan ini disebabkan oleh sempitnya cakupan tugas kecamatan
20
yang diamanahkan oleh Undang-Undang. Sebagai sebuah perbandingan, PP No.19 Tahun 2008 tentang Kecamatan yang merupakan turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah merinci tugas camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan desa (pasal 21). Tatkala UU No.32 Tahun 2004 dipecah menjadi UU No.6 tahun 2014 tentang Desa dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, tugas kecamatan yang sebelumnya sudah dijelaskan secara rinci, kini tiada lagi. UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya mengamanahkan tugas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kegiatan desa (pasal 225 huruf g). Jika ditelisik pada regulasi yang lebih rinci, pasal 154 PP No.43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa yang juga tidak mengamanahkan tugas pembinaan dan pengawasan desa oleh Kecamatan. Huruf-demi huruf pada pasal tersebut hanya memaparkan tugas fasilitasi dan koordinasi. Konstruksi kedudukan Kecamatan berdasarkan UU No.6 tahun 2014 dan UU No.23 Tahun 2014 memang untuk meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan. Kecamatan tak lagi berkedudukan sebagai pelaksana teknis kewilayahan sebagaimana konstruksi UU No.32 Tahun 2004. Kini tugas utama kecamatan yang berkaitan dengan desa koordinasi dan fasilitasi. Kecamatan tak lagi berkewajiban membina ataupun mengawasi desa. Meski secara bawaan peran kecamatan dalam membina desa tak lagi sebesar konstruksi UU No.32 Tahun 2004, perlu inisiatif dari Pemerintah Kabupaten untuk memperkuat peran kecamatan dalam membina desa. Bagaimanapun juga, kecamatan adalah bagian dari pemerintah kabupaten yang paling dekat dengan desa. Akan lebih efektif dan efisien jika kecamatan juga menjalankan tugas membina desa. Hal ini sangat penting karena ketiadaan tugas pembinaan desa oleh kecamatan akan memunculkan peluang bagi kabupaten untuk kembali mendominasi dan melanggengkan kekuatan dalam menekan desa. Upaya melanggengkan dominasi atas desa tampak dari berbagai dareah di Indonesia. Kabupaten Malang misalnya, pasal 23 Peraturan Bupati Malang No.16 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, menyebutkan bahwa “Bupati dapat mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Camat”. Pasal ini menyiratkan kesan ketidakpastian. Kata “dapat” menunjukkan
wewenang untuk memilih. Sederhananya, bupati bisa memilih untuk melakukan evaluasi sendiri atau mendelegasikannya kepada camat. Ilustrasi lain yang lebih ekstrem terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin. Pada pasal 23 Peraturan Bupati No.15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, tersebut bahwa: “Bupati Musi Banyuasin mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Kepala BPMPD dalam wilayah Kabupaten Musi Banyuasin”. Melalui pasal ini tampak bahwa Pemerintah Kabupaten tidak mau kehilangan kontrol langsung atas desa. Berbagai persoalan yang semestinya bisa diselesaikan di tingkat kecamatan harus selalu dibawa ke tingkat kabupaten. Jarak antara desa dan pusat kabupaten yang jauh menjadi hambatan yang berat dalam melaksanakan koordinasi. Di sisi lain, koordinasi melalui surat elektronik masih belum bisa dijalankan oleh desa. Bisa dibayangkan betapa besar biaya dan waktu yang harus dikeluarkan oleh desa-desa di Kecamatan Bayung Lencir di ujung utara Kabupaten Musi Banyuasin untuk menuju Sekayu, ibukota kabupaten yang berada di ujung selatan. Kabupaten Banyumas patut diteladani untuk inisiatifnya memperkuat tugas kecamatan dalam membina desa. Pemkab Banyumas memformulasikan tugas pembinaan desa oleh kecamatan secara lebih jelas. Pada pasal 12 Peraturan Bupati Banyumas No.15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dinyatakan bahwa: “Bupati mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Camat”. Kembali ke Hulu Untuk mengembalikan orientasi implementasi menuju ruh UU Desa yang luhur, “hulu sungai” yang pertama kali harus dilewati lagi adalah pengaturan mengenai kewenangan desa. Asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa adalah dasar dari penetapan kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal skala desa ini. Dua asas inilah yang menjadi pijakan negara dalam menguatkan desa melalui pengakuannya atas eksistensi desa sebagai self governing community (masyarakat berpemerintahan). Dengan demikian, kucuran Dana Desa hanyalah sebuah konsekuensi dari pengakuan negara atas eksistensi desa, bukan
intisari dari UU Desa itu sendiri. Karenanya, sebelum UU Desa terlalu jauh mengalir, sudah sepatutnya Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Bupati mengenai Kewenangan Desa. Hingga saat ini, tak banyak Kabupaten yang telah menetapkan Peraturan Bupati mengenai kewenangan desa. Penetapan kewenangan desa melalui Peraturan Bupati tentu tak boleh dilakukan secara sepihak. Desa harus dilibatkan dalam kajian mengenai kewenangan ini, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 17 Permendesa No.1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Desa. Implikasi positif dari pengaturan mengenai kewenangan desa adalah minimnya tumpang tindih perencanaan program antara desa dan kabupaten. Dengan Peraturan Bupati mengenai kewenangan, akan tampak jelas mana kewenangan skala lokal, mana kewenangan hak asal usul desa dan mana kewenangan kabupaten yang tak boleh disentuh oleh desa. Proses panjang perencanaan pembangunan desa tentu bermula dari penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Potong kompas dengan menyusun APB Desa dengan meninggalkan RPJM Desa beserta adalah sebuah tindakan yang inkonstitusional, mengingkari amanah UU Desa. Maka, langkah penting yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten adalah penetapan petunjuk teknis penyusunan RPJM Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). Terakhir, revitalisasi peran kecamatan menjadi salah satu poin yang tidak kalah penting dibandingkan upayaupaya di atas. Kecamatan harus diperkuat kapasitas dan tugasnya agar mampu menjadi agen sosialisasi, fasilitasi dan koordinasi. Nantinya, kecamatan perlu menjadi garda depan Pemerintah Kabupaten dalam proses diseminasi informasi kepada desa. Kecamatan juga dituntut untuk mampu memfasilitasi dan membimbing desa mulai dari proses perencanaan (penyusunan RPJM Desa), penganggaran (penyusunan APB Desa) hingga pelaporan. Dalam hal pembangunan lintas batas desa, kecamatan harus mampu berperan dalam mengkoordinir desa-desa dalam cakupan wilayahnya. Untuk mewujudkan semua ini, Pemerintah Kabupaten perlu memberikan penguatan kapasitas serta pemberian intensif atas bertambahnya beban tugas kecamatan.
21
LAPORAN KEGIATAN
KPPOD DORONG PENGEMBANGAN POTENSI UNGGULAN DAERAH
P
ada akhir Agustus lalu, KPPOD bersama Ford Foundation menggelar Seminar Nasional bertajuk “Membangun Daerah Berbasis Potensi Lokal: Desain Kebijakan dan Kelembagaan bagi Pengembangan Produk Unggulan”, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan. Kegiatan ini merupakan bentuk dorongan KPPOD kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan managemen fokus dalam pembangunan melalui optimalisasi potensi unggulan daerah. Tepat pukul 09.00 WIB, peserta mulai memasuki ruangan. Hadir dalam event tersebut, antara lain, perwakilan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dari daerah program KPPOD (Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Donggala), para pengusaha dan penggiat kakao seperti asosiasi usaha, LSM, konsultan/peneliti, serta tidak ketinggalan dari media massa.
2013, KPPOD menggelar rangkaian kegiatan yang mendukung sejumlah Pemda tersebut dalam menyusun kebijakan dan mendesain kelembagaan yang berbasis potensi unggulan. Adapun bentuk kegiatannya, antara lain, riset lapangan guna mengidentifikasi gambaran masalah dan kebutuhan stakeholders kakao dalam pengembangan rantai nilai usaha, pendampingan (asistensi teknis) bagi penguatan kapasitas regulasi dan kelembagaan, advokasi kebijakan dan publikasi hasil kegiatan. Perlu Sinergitas Lintas Stakeholders Desentralisasi/otonomi tentu membuka struktur kesempatan baru bagi Pemda guna membangun daerahnya menurut potensi dan aspirasi lokal. Dalam bidang ekonomi, hal ini dicapai melalui strategi pengembangan produk unggulan berbasis karakteristik daerah.
Hadir sebagai narasumber adalah Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Sejalan dengan pandangan tersebut, (Kementan) Dr. Ir. Dwi Prapto S., MS., Boedi Rheza selaku perwakilan peneliti Kasubdit Direktorat Koperasi dan KPPOD menjelaskan bahwa “dengan Penanaman Modal merangkap sebagai mengembangkan produk unggulan, Pemda Kasubdit Perindustrian dan Perdagangan memiliki fokus dalam pembangunan daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sehingga tercipta sinergi antarinstansi Jahludin, Bupati Donggala (Sulawesi [SKPD] maupun antar Pemda dengan Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD Tengah) Drs. Kasman Lassa, SH., dan stakeholders di masyarakat”. Melalui Kepala Bappeda Kabupaten Ende (NTT) rangkaian kegiatan selama ini di daerah Hiparkus Heppi, SE. Seminar ini tidak hanya menjadi program, KPPOD turut mendorong Pemda untuk wahana publikasi hasil riset dan asistensi yang dilakukan menjalankan strategi-fokus pada potensi unggulan KPPOD selama beberapa tahun bekerja di lokasi dan membangun kolaborasi dengan semua pemangku proyek, tapi juga menjadi ajang tukar pikir dan berbagi kepentingan (stakeholders) terkait. pengalaman antar pemangku peran/kepentingan yang selama ini bekerja aktif bagi pengembangan produk Senada dengan hal tersebut, Etih Suryatin dari unggulan kakao. Sahabat Cipta, LSM yang banyak berkiprah dalam pengembangan kakao di daratan Flores (Ende dan Seminar ini merupakan tahapan akhir dari rangkaian Sikka), mengemukakan perlunya keterlibatan pelaku kegiatan KPPOD di lokasi proyek/dampingan (Sikka, usaha, masyarakat dan NGO dalam penyusunan Ende dan Donggala). Sebagaimana diketahui, sejak kebijakan mengenai pengembangan potensi unggulan
22
seperti kakao, mete, kopi, dsb. Hal ini diperlukan agar kebijakan yang dikeluarkan Pemda tidak salah sasaran. Hal ini harus segera direalisasikan mengingat kebutuhan pasar akan komoditas kakao sangat besar sehingga perlu segera dibuat kebijakan yang komprehensif dan terstruktur untuk peningkatan produksi kakao yang lebih baik lagi. Pengembangan produk unggulan (ataupun secara umum pembangunan berbasis potensi dan aspirasi lokal) sesungguhnya merupakan strategi kebijakan yang bisa membantu Pemda untuk membuat program dan anggarannya terkelola secara terfokus kepada agenda prioritas tertentu. Strategi ini mendatangkan manfaat ganda yang signifikan baik bagi Pemda [peningkatan PAD] maupun kesejahteraan masyarakat, khususnya yang menjadi stakeholders produk unggulan, yaitu peningkatan produktivitas dan akhirnya kesejahteraan bagi petani kakao. Dalam hal komoditas kakao di daerah-daerah program, harus diakui bahwa permasalahan yang terus terjadi hingga saat ini, sebagai misal, adalah masih banyaknya petani yang tidak menjual biji kakao yang sudah difermentasi. Selisih harga biji kakao yang difermentasi dan tidak difermentasi hanya Rp 2.000–Rp 3.000. Hal ini menjadi insentif bagi petani dan tidak sepadan dengan usaha petani untuk melakukan fermentasi yang membutuhkan cara khusus sehingga para petani lebih memilih langkah pragmatis berupa penjualan biji kakao yang belum difermentasi. Dalam sesi diskusi [tanya-jawab], Indra Wijaya dari Asosiasi Usaha Kakao Indonesia menyatakan bahwa
pada dasarnya biji kakao yang sudah difermentasi memiliki kualitas jauh berbeda dengan hasil biji kakao fermentasi dari luar negeri. Produksi di dalam negeri cenderung menghasilkan mutu yang tak konsisten. Tidak heran, demikian pengakuan Indra, pelaku usaha tak lagi berfokus pada fermentasi biji kakao, dan sebaliknya berfokus kepada masalah yang sedang disorot saat ini, yakni produksi dan produktivtas biji kakao yang terus menurun. Tahun ini saja produktivitas kakao turun 30% dan biji kakao nasional hanya menyumbang sebesar 50% untuk kebutuhan kakao di dalam negeri sehingga tak terpenuhinya pasokan bahan mentah untuk kebutuhan industri. Di sini, dukungan Pemda dan semua stakeholder untuk fokus meningkatkan produktivitas biji kakao sangat diharapkan lewat program nyata yang terukur dan efektif Catatan Akhir Merespon intisari permasalahan di atas, Boedi menggarisbawahi pentingnya sinergi antar aktor untuk berkolaborasi dalam pengembangan potensi unggulan di daerah. Kolaborasi tersebut sudah nampak di Sikka berupa Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED), namum masih belum berkinerja optimal dan masih perlu direplikasi di berbagai daerah lainnya. Forum ini amat penting sebagai terobosan kelembagaan untuk menjembatani aliran komunikasi dan garis koordinasi yang selama ini sering macet di antara pemain utama sektor unggulan. Melalui kelembagaan yang inklusif dan solid diharapkan akan lahir kebijakan yang unggul.
23
SEPUTAR OTONOMI
DIET ANGGARAN DAERAH
Sumber gambar dari Internet
B
erbagai peristiwa terjadi di level nasional tentunya berdampak kepada daerah, terutama terkait dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian pula yang terjadi pada penerbitan sejumlah regulasi/kebijakan pusat dalam kurun tiga bulan terakhir. Setidaknya terdapat empat isu menarik yang patut untuk diangkat dalam edisi kali ini, yakni penerbitan regulasi pilkada, implementasi dari regulasi organisasi perangkat daerah, pemangkasan/penundaan dana transfer ke daerah dan dana desa TA 2016, serta diluncurkannya paket kebijakan ekonomi tentang rumah murah untuk rakyat.
tentang penghematan dan juga penundaan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memaksa Pemda mesti bersiap mengencangkan ikat pinggang. Latar belakang kebijakan penundaan ini karena mempertimbangkan tiga faktor yang terdiri dari perkiraan kapasitas fiskal, kebutuhan belanja dan perkiraan posisi saldo kas di daerah pada akhir tahun1).
Lahirnya Permenkeu No.125 Tahun 2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum TA 2016 seolah menjadi penanda “kembalinya” sikap tegas dalam pengelolaan fiskal yang dipersonifikasi lewat sosok Menkeu Sri Mulyani. Sebanyak 169 daerah dan Kebijakan Penundaan dan Penghematan anggaran sebesar Rp 19.418.975.064.500,Transfer ke Daerah diputuskan untuk dilakukan penundaan. Tities Eka Agustine Pada semester akhir tahun anggaran Dalam regulasi tersebut juga secara detail Peneliti KPPOD berjalan, pasca pergantian kepemimpinan memuat rincian daerah yang mengalami di Kementerian Keuangan, lampu kuning penundaan beserta jumlah dana yang akan sudah di-signalkan kepada pemda. Dua informasi ditransfer pada periode September-Desember 2016. 1) http://www.antaranews.com/berita/580956/kementerian-keuangan-tunda-penyaluran-dana-alokasi-umum-banggai-kepulauan, diakses tanggal 10 September 2016.
24
Penundaan pembayaran ini bukan berarti dana tidak akan dicairkan, melainkan DAU tetap akan dibayarkan kepada daerah, namun diperhitungkan sebagai kurang bayar. Untuk itu akan dianggarkan dan disalurkan pada tahun berikutnya dengan memperhatikan keuangan negara (Pasal 2 ayat [3]). Untuk menindaklanjuti penundaan penyaluran tersebut, Kementerian Keuangan dalam regulasinya juga meminta kepada pemerintah daerah untuk melakukan penyesuaian DAU pada pendapatan dan belanja tanpa menunggu perubahan atas APBD 2016 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Melanjutkan keputusan tersebut, pada tanggal 30 Agustus 2016, Kementerian Keuangan kembali menginformasikan tentang penghematan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Melalui siaran pers pada tanggal 30 Agustus 2016, upaya penghematan juga dilakukan mengingat keterbatasan dana di APBN. Penghematan TKDD 2016 diperkirakan sebesar Rp 72,9 Triliun, yang bersumber dari: (1) penghematan alamiah sebesar Rp 36,8 Triliun; dan (2) penundaan sebagian penyaluran DAU sebesar Rp19,4 Triliun dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 16,7 Triliun. Selain itu, merujuk penjelasan tentang penghematan dana transfer daerah, langkah itu dilakukan berdasar dua pertimbangan sebagai berikut: a. DAU Bulan September, Oktober, November, dan Desember 2016 bagi 169 daerah yang mempunyai kategori perkiraan posisi saldo kas akhir tahun 2016 dan besaran penundaan DAU sebagai berikut: (i) “Sangat Tinggi” ditunda 50%; (ii) “Tinggi” ditunda 40%; (iii) “Cukup Tinggi” ditunda 30%; dan (iv) “Sedang” ditunda 20%. Dengan pertimbangan tersebut, DAU yang diterima oleh daerah setelah dikurangi penundaan penyaluran masih lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan belanja gaji PNSD, kecuali untuk 5 (lima) daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang relatif kecil karena mempunyai DBH dan PAD yang relatif besar. b. DBH Triwulan IV 2016 yang dilakukan pada daerah dengan berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara tahun 20162). Dalam konteks itu, pengeluaran pemda perlu untuk disesuaikan berdasarkan prioritas terpenting. Beberapa
kepala daerah, juga berupaya untuk memangkas anggaran makan dan minum agar pos anggaran yang ada tidak mengganggu kebutuhan untuk layanan publik. Poin penting yang menjadi perhatian pemda berkaitan dengan pembayaran gaji dan sejenisnya, namun hal ini juga sudah diantisipasi oleh para kepala daerah. Berkenaan dengan realisasi proyek jangka panjang, Kementerian Keuangan memang belum memberikan informasi berkaitan dengan hal tersebut. Namun, dalam konsep keuangan daerah, terdapat beberapa cara yang mungkin dapat digunakan. Pertama, daerah dapat melakukan pinjaman daerah. Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP No.54/2005 dan PP No.30/2011 pada prinsipnya diturunkan dari UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah, maka pemda dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka pemerintah daerah juga harus cermat dalam ketika menggunakan solusi tersebut. Kedua, dapat mendatangkan investasi non pembiayaan dan yang paling penting adalah neraca belanja harus berjalan surplus3). Perubahan Regulasi Pilkada Menuai Kontroversi Pertengahan Agustus 2016, publik kembali dihebohkan oleh kabar seputar regulasi pilkada. Kali ini, antara lain, soal langkah Judicial Review (JR) yang diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berkaitan dengan pasal 70, UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pengajuan gugatan tersebut dilatarbelakangi oleh pasal kewajiban cuti (Pasal 70) yang menurutnya bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan cuti kampanye yang wajib ini menjadi kendala bagi calon incumbent yang ingin tetap fokus bekerja dan menjalankan tugasnya selama masa kampanye. Mengingat konteks cuti yang merupakan hak, sehingga tidak bersifat memaksa, namun yang perlu digarisbawahi adalah dalam menjalankan tugas seharihari, para Aparatur Sipil Negara (ASN) ini dilarang melakukan kampanye. Saat ini, prosedur hukum sedang berlangsung dalam rangka menindaklanjuti kasus JR tersebut.
2) Siaran Pers Kementerian Keuangan: Pelaksanaan Amnesti Pajak dan Penghematan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2016, Jakarta 30 Agustus 2016. 3) Kutipan wawancara dengan Soekarwo, Gubernur Jawa timur dalam majalah Tempo.
25
Selain perubahan terkait dengan cuti wajib dalam masa kampanye, juga ada penambahan prosedur berupa verifikasi faktual untuk calon perseorangan. Seperti yang tercantum pada pasal 48 di mana setidaknya terdapat 15 poin ayat yang diatur dalam pasal tersebut. Inti dari perubahan pasal 48 ini lebih kepada penekanan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual khususnya bagi calon perseorangan. Pada verifikasi faktual ini, PPS akan melakukan cross check data para pendukung calon perseorangan dengan menggunakan metode sensus, lama waktu yang dibutuhkan untuk verifikasi adalah 7 (tujuh) hari. Selanjutnya hasil dari verifikasi faktual tidak diumumkan secara terbuka, hanya berita acara verifikasi yang akan diserahkan kepada pasangan calon. Jika dalam verifikasi faktual ditemukan bahwa pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi faktual maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat (pasal 48 ayat 8). Dengan demikian, setidaknya tercatat ada 21 poin yang telah diubah dalam UU Pilkada4). Perubahan tersebut seharusnya tidak menyulitkan beberapa pihak, misalnya saja dalam kasus Ahok yang merasa bahwa ketentuan tersebut menyulitkan pasangan calon yang masih berstatus incumbent. Ketidaksetujuan Ahok yang dilakukan dalam JR membutuhkan komitmen juga, baik dalam diri pasangan calon dan juga dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), keduanya harus saling memonitor satu sama lain agar tidak terjadi kampanye terselubung. Untuk itu perlu dibuat sebuah mekanisme dan juga sanksi jika melakukan kampanye saat berstatus sebagai ASN. Selain itu, ketentuan verifikasi faktual yang membutuhkan waktu lama akan menyulitkan juga bagi pasangan calon perseorangan. Keberadaan asas bebas aktif di wilayah NKRI mulai memudar dengan adanya verifikasi faktual tersebut, karenanya mereka yang tidak berafiliasi dengan partai politik seolah harus melalui berbagai proses pembuktian agar dirinya dapat berpartisipasi dalam pemilu. Pembentukan Organisasi Perangkat Derah Baru Setelah masa tunggu yang cukup lama sejak diterbitkannya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kini mulai lahir regulasi turunannya. Regulasi pembuka yang diterbitkan Pemerintah pada pertengahan Juni 2016 lalu adalah
terkait perbaikan dari sisi perangkat daerah akan dimulai sebagaimana tertuang dalam PP No.18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pembentukan organisasi perangkat daerah ini tidak begitu saja dapat diputuskan. Dalam PP 18/2016 memuat beberapa kriteria penilaian berdasarkan beban kerja, sehingga memungkinkan untuk melakukan perumpunan urusan dan perampingan kelembagaan mengingat tak banyaknya jumlah beban kerja yang harus dilaksanakan. Secara amat detail dalam peraturan tersebut juga dilengkapi instrumen pengukuran bobot kinerja. Terdapat tiga tipologi yang digunakan untuk mengkategorikan beban kerja, yaitu: a. Sekretariat Daerah Provinsi/Kab/Kota tipe A: Melaksanakan fungsi dengan beban kerja besar. b. Sekretariat Daerah Provinsi/Kab/Kota tipe B: Melaksanakan fungsi dengan beban kerja sedang. c. Sekretariat Daerah Provinsi/Kab/Kota tipe C: Melaksanakan fungsi dengan beban kerja kecil. Terkait variabel beban kerja, PP 18/2016 mengatur soal variabel umum dan variabel teknis. Variabel umum meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah dengan bobot sebesar 20% (dua puluh persen) dan variabel teknis yang merupakan beban utama memperoleh bobot sebesar 80% (delapan puluh persen). Pada tiap-tiap variabel, baik variabel umum maupun variabel teknis, ditetapkan 5 (lima) kelas interval, dengan skala nilai dari 200 (dua ratus) sampai dengan 1.000 (seribu)5). Secara khusus penting dicatat, perubahan kelembagaan juga terjadi pada urusan pemerintah di bidang penanaman modal yang menjadi urusan wajib daerah di mana bentuk kelembagaannya adalah dinas. Secara eksplisit dalam pasal 39, menyebutkan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan juga berdasarkan hasil perhitungan nilai variabel urusan pemerintahan di bidang penanaman modal memperoleh nilai kurang dari 401 (empat ratus satu), diwadahi dalam dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu tipe C yang membawahi paling banyak 3 (tiga) bidang. Selain itu, secara jelas juga disebutkan bahwa pelimpahan kewenangan perizinan harus diakomodir dalam Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Rigidnya analisis beban kerja ini, akan membuat pemerintah daerah berpikir lebih efisien dalam
4) http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/06/03/o866qx354-ini-21-poin-perubahan-revisi-uu-pilkada-part1 5) Lampiran variable umum dan teknis, PP 18/2016 tentang Organisasi Perangkat daerah
26
membentuk struktur organisasi. Hal demikian diharapkan bisa mendorong efisiensi kelembagaan, paling tidak bisa menghindarkan pemerintah dari organisasi yang kaya struktur dan miskin fungsi. Rumah Murah untuk Rakyat Kebijakan pembangunan rumah murah untuk rakyat yang disampaikan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada bulan Agustus 2016 menjadi angin segar bagi para pengusaha properti. Kebijakan ini juga dibuat sejalan dengan Program Nasional Pembangunan 1 (Satu) Juta Rumah sebagai wujud dari butir kedua yang tertuang dalam amanah Nawacita, yakni Pemerintah tidak absen untuk membangun pemerintahan yang efektif, demokratis dan terpercaya; dan juga butir kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dalam paket kebijakan tersebut, pemerintah menerbitkan PP yang berintikan penyederhanaan jumlah dan waktu perizinan dengan menghapus atau mengurangi berbagai perizinan dan rekomendasi yang diperlukan untuk membangun rumah bagi rakyat. Berdasarkan hasil himpunan prosedur dan jumlah izin yang dilakukan oleh Kemenko Perekonomian, terdapat semula sebanyak 33 izin dan tahapan, menjadi 11 izin dan rekomendasi. Dengan pengurangan perizinan dan tahapan ini, maka waktu pembangunan MBR yang selama ini rata-rata mencapai 769-981 hari dapat dipercepat menjadi 44 hari. Adapun rinciannya: 1. Perizinan yang dihilangkan, antara lain: izin lokasi dengan waktu 60 hari kerja, persetujuan gambar master plan dengan waktu 7 hari kerja, rekomendasi peil banjir dengan waktu 30-60 hari kerja, persetujuan dan pengesahan gambar site plan dengan waktu 5-7 hari kerja dan Analisa Dampak Lingkungan Lalu Lintas (Andal Lalin) dengan waktu 30 hari kerja. 2. Perizinan yang digabungkan, meliputi: (1) Proposal Pengembang (dengan dilampirkan Sertifikat tanah,
bukti bayar PBB (tahun terakhir) dengan Surat Pernyataan Tidak Sengketa (dilampirkan dengan peta rincikan tanah/blok plan desa) jika tanah belum bersertifikat; (2) Ijin Pemanfaatan Tanah (IPT)/ Ijin Pemanfaatan Ruang (IPR) digabung dengan tahap pengecekan kesesuaian RUTR/RDTR wilayah (KRK) dan Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah/Advise Planning, Pengesahan site plan diproses bersamaan dengan izin lingkungan yang mencakup: SPPL atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (sampai dengan luas lahan 5 Ha); serta (3) Pengesahan site plan diproses bersamaan dengan izin lingkungan yang mencakup SPPL (luas < 5 ha), rekomendasi damkar, dan retribusi penyediaan lahan pemakaman atau menyediakan pemakaman. 3. Perizinan yang dipercepat, antara lain: (1) Surat Pelepasan Hak (SPH) Atas Tanah dari Pemilik Tanah kepada pihak developer (dari 15 hari menjadi 3 hari kerja); (2) Pengukuran dan pembuatan peta bidang tanah (dari 90 hari menjadi 14 hari kerja); (3) Penerbitan IMB Induk dan pemecahan IMB (dari 30 hari menjadi 3 hari kerja); (4) Evaluasi dan Penerbitan SK tentang Penetapan Hak Atas Tanah (dari 213 hari kerja menjadi 3 hari kerja); (5) Pemecahan sertifikat a/n pengembang (dari 120 hari menjadi 5 hari kerja); dan (6) Pemecahan PBB atas nama konsumen (dari 30 hari menjadi 3 hari kerja)6). Sembari menunggu rampungnya kebijakan terkait izin pembangunan perumahan ini, tentu saja dari sisi pemda juga perlu untuk melakukan berbagai persiapan. Pemangkasan lama waktu dan juga prosedur tentunya membutuhkan kesiapan SDM dan juga infrastruktur yang memadai (jumlah tenaga teknis, kemudian teknologi yang dapat mempercepat proses perizinan, dll). Harapan mempermudah perizinan dalam pembangunan perumahan rakyat akan siasia jika pemda sebagai garda depan pelayanan tak memiliki komitmen dan kapasitas yang pas untuk melaksanakannya.
6) Siaran Pers Kementerian Koordinator Perekonomian: Rumah Murah Untuk Rakyat, Jakarta, 24 Agustus 2016
27
AGENDA KPPOD
KEGIATAN TERKINI KPPOD 1. Pelatihan “Regulatory Tools to Improve Quality of Regulation“ KPPOD bekerjasama dengan British Embassy, Kementerian Dalam Negeri, dan Center for Regulatory Research (CRR) mengadakan pelatihan “Regulatory Tools to Improve Quality of Regulation”, pada 31 Agustus sampai 2 September 2016, di Hotel Grand Alia Cikini, Jakarta. Pelatihan ini bertujuan untuk membagikan pengetahuan dan meningkatkan kapasitas pemerintah dalam merumuskan sebuah kebijakan yang berkualitas. Peserta pelatihan antara lain, perwakilan Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah Pemda antara lain Kota Bandung, Kota Bogor, dll. Sedangkan, pemateri pelatihan adalah Direktur Produk Hukum Daerah-Kemendagri DR. Kurniasih, Direktur Eksektutif KPPOD Robert Endi Jaweng, Chairman CRR Prof. Supancana dan Tim Regulatory Delivery (RD) London: Sarah Smith dan Erica Sheward.
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
2. Pelatihan “Evaluasi Kebijakan dan Konsultasi Publik” Untuk meningkatkan kapasitas para peneliti dalam kegiatan penelitian dan advokasi, KPPOD bekerjasama dengan British Embassy mengadakan pelatihan bertema “Evaluasi Kebijakan dan Konsultasi Publik” di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan pada 29-30 Agustus 2016. Trainer pelatihan ini adalah Tim RD Office (Regulatory Delivery) London: Sarah Smith dan Erica Sheward. Turut hadir sebagai peserta pelatihan antara lain, staf Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinasi Bidang Perekononomian, BKPM, BPHN, Kantor Staf Presiden, Center for Regulatory Research (CRR) dan APINDO.
28
3. Seminar Nasional “Membangun Daerah Berbasis Potensi Unggulan” KPPOD bekerjasama dengan FORD Foundation menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Membangun Daerah Berbasis Potensi Unggulan”. Acara ini diselenggarakan pada 25 Agustus 2016 bertempat di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan. Kegiatan ini merupakan bentuk dorongan KPPOD kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan managemen fokus dalam pembangunan dalam optimalisasi potensi unggulan daerah. Tampil sebagai pembicara, Kasubdit Direktorat Koperasi dan Penanaman Modal merangkap sebagai Kasubdit Perindustrian dan Perdagangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Jahludin, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Dr. Ir. Dwi Prapto S., MS., Bupati Donggala Drs. Kasman Lassa, SH., Kepala Bappeda Ende Hiparikus Hepi, SE., Dewan Pengurus KPPOD Anton J. Supit dan Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng. Hadir sebagai peserta antara lain, perwakilan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dari daerah program KPPOD (Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Donggala), para pengusaha dan penggiat kakao seperti asosiasi usaha, LSM, konsultan/peneliti, serta media massa.
29
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
30
Edisi Mendatang KPPOD Brief (Edisi Oktober-Desember 2016) mengangkat tema: “Reformasi Regulasi di Daerah”.
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori: Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPODBrief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
31
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10, Jl. Kuningan Mulia Kav.9C, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp.: [021] 8378 0642/53, Fax.: [021] 8378 0643, Website: www.kppod.org, Email:
[email protected], Facebook: kppod