lentera
Lereng Batukaru 2
Mimbar Hindu Mpu Jaya Prema Ananda Dari Pasraman Manikgeni
Kata Pengantar
Om Swastyastu ADA awalnya disebut Ashram Manikgeni, dirintis sejak tahun 1994. Belakangan setelah diperkenalkan istilah Pasraman -- sesuatu agar berbau Indonesia -- maka sebutannya pun menjadi Pasraman Dharmasastra Manikgeni. Penambahan kata Dharmasastra karena dibentuknya yayasan sebagai pengelola pasraman yang diberi nama Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Yayasan ini punya berbagai kegiatan sosial, antara lain, menerbitkan Majalah Hindu Raditya. Setelah berdiri dengan bangunan yang sederhana dengan aula sebagai awal, kegiatan sosial yang dilakukan adalah memberikan pelajaran tambahan agama Hindu untuk murid-murid usia Sekolah Dasar. Para pengajarnya terdiri dari tokoh masyarakat setempat dan guru-guru agama yang ada di sekolah di sekitar Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, di mana pasraman itu berlokasi. Sarana pembangunan terus ditambah dengan membangun rumah induk, bale dawuh, bale dangin, bale bengong dan sebagainya. Bersamaan dengan itu pencetus pasraman, Putu Setia, juga meningkatkan jenjang spiritualnya untuk persiapan menjadi Sulinggih -- pendeta Hindu.
P
Maka ketika Putu Setia didiksa (dilantik) menjadi sulinggih dengan abhiseka (nama baru yang berupa gelar) Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda pada 21 Agustus 2009, Pasraman Dharmasastra Manikgeni menjadi lebih lengkap sarananya dan juga makin beragam kegiatannya. Di sini sering terjadi diskusi keagamaan yang melibatkan berbagai tokoh di Bali. Juga ada penataran pemangku, misalnya. Di bidang kesenian, pasraman memiliki gong kebyar yang baru dibeli, sementara angklung kebyar warisan para tetua di masa lalu, ikut disimpan dan dijadikan sarana ritual di sini. Di pasraman juga ada sekehe topeng yang lebih sering untuk yadnya. Diskusi dan obrolan ringan sering terjadi di pasraman. Sarisari dari obrolan itu telah dibukukan dengan judul: “Lentera Lereng Batukaru, Tutur Kebajikan dari Pasraman Manikgeni”. Sedangkan dalam buku “Lentera Lereng Batukaru 2” ini adalah kumpulan Mimbar Hindu yang dimuat di koran Pos Bali terbitan Denpasar. Nah, selamat membaca lentera kehidupan dari lereng Batukaru ini, baik buku pertama yang berisi tutur kebajikan maupun buku kedua ini yang berisi pemikiran dan pencerahan (mimbar) Hindu. Kedua buku saling melengkapi. Semoga bermanfaat. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Akhir Oktober 2014 Pasraman Dharmasastra Manikgeni Banjar Taman Sari, Desa Pujungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan Bali
Hindu adalah Agama Missi Yathenam wacam kalyanim, awadai janebhyah, rajanabhyam, cudra ya caryaya ca swaya carana ca
S
LOKA di atas diambil dari kitab Yajur Weda XXV.2 yang menunjukkan bahwa agama Hindu adalah agama missi. Hindu bukanlah agama yang pasif untuk mencari pengikutnya. Ajaran Sanatha Dharma ini terus disebarkan oleh para cerdik pandai di masa lalu, melewati batas-batas di mana ajaran itu bermula. Arti bebas sloka di atas adalah: “Biar kuajarkan pengetahuan suci ini kepada orang banyak, kaum brahmana, kesatria, sudra dan waisya dan bahkan kepada orang asing sekali pun.” Sloka ini jelas menunjukkan bahwa ajaran Hindu harus disebar-luaskan bahkan kepada orang asing. Pengertian orang asing dalam sloka ini bukan saja lintas negara, tetapi orang-orang yang bukan pemeluk Hindu. Dalam sejarah penyebaran Hindu ke Nusantara yang dimulai pada abad ke 4 di Kutai, Kalimantan, jelas bagaimana gigihnya para missionaris Hindu menyebarkan keyakinan Sanatha Dharma ini. Dari Kutai agama Hindu kemudian menyebar ke Jawa, Sumatra dan pulau-pulau lainnya. Dari Jawa agama Hindu pun menyebar ke Bali. Silih berganti para pemuka agama termasuk para panditanya datang ke Bali dan
menata masyarakat Bali termasuk memberikan keyakinan akan kebenaran ajaran Hindu. Belakangan ini muncul pemikiran bahwa agama Hindu bukanlah agama missi. Umat Hindu tak perlu mencari pengikut. Bahkan dibuat analogi yang menyebutkan bahwa Hindu itu ibarat sebuah kolam yang indah. Biarkanlah katak yang datang ke kolam itu, bukan kolam yang mencari katak. Maksudnya, biarlah orang lain yang tertarik kepada Hindu dan bukan umat Hindu yang mencari-cari pengikut. Dalam era globalisasi sekarang ini tentu saja analogi itu keliru. Namun, dalam menyebarkan missinya, umat Hindu tentu tak menggampangkan caranya, apalagi dengan cara-cara yang tidak beretika. Misalnya mengiming-imingi bantuan agar mau tertarik masuk Hindu. Apalagi dengan menyebarkan brosur ke pasar-pasar dan membujuk ibu-ibu pedagang dan kuli pasar. Juga dengan menjelek-jelekkan agama lain agar mau tertarik kepada Hindu. Tidak, bukan cara itu yang dilakukan. Ada pedoman yang baku dalam penyebaran agama di Indonesia yakni “jangan mengagamakan orang yang sudah beragama”. Artinya, kalau seseorang itu sudah memeluk agama yang sah diakui negara, janganlah dipaksa untuk pindah agama. Tetapi orang bisa pindah agama dan kepindahannya itu harus dihormati jika muncul dari keinginannya sendiri. Banyak orang Hindu yang pindah ke agama lain karena keinginannya sendiri. Tetapi juga banyak pemeluk agama lain yang pindah memeluk Hindu karena hal yang sama, menemukan kedamaian di dalam ajaran Weda. Bagaimana melakukan ”penyebaran agama” atau menjalankan missi itu? Nah, umat Hindu haruslah tetap beretika, yakni menyebarkan kebaikan dan kedamaian dalam masyarakat Hindu. Menyebarkan ajaran-ajaran Hindu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Hindu itu punya ajaran yang sangat lengkap. Semua ajaran agama lain ada di dalam Weda, namun apa yang ada di
dalam Weda belum tentu ada di agama yang lain. Juga yang tak boleh dilakukan adalah membuat multi tafsir ajaran Weda yang justru merugikan Hindu. Dalam hal ini ada contoh menarik. Dalam web Parisada Pusat (www.parisada.org) diunggah kitab Bhagawad Gita. Sloka BG Percakapan 4 ayat 11 (BG IV.11) diterjemahkan dengan: “Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!” Lalu dalam penjelasannya disebutkan: “Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga.” Ini jelas keliru jika mengartikan “jalan” itu sebagai agama atau keyakinan. Sehingga jika penjelasannya seperti ini justru merugikan Hindu itu sendiri. Bhagawad Gita seolah-olah membebaskan umat Hindu untuk pindah ke agama lain dengan alasan “agama hanya sekedar jalan”, sehingga agama apa pun dipeluk sama saja. Padahal kalau diikuti urutan dalam percakapan BG, jalan yang dimaksudkan adalah “marga”, yakni ada Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan seterusnya. Maksudnya dengan jalan apa pun umat memuja Tuhan, apakah lewat bhakti, lewat kerja, lewat pengetahuan semuanya sampai ke Tuhan. Nah, kalau Parisada saja keliru menjalankan missi, bagaimana dengan umat yang lain?
Maharsi Penerima Wahyu Weda
P
ADA suatu hari, saya memimpin ritual (muput) perkawinan yang diawali dengan upacara sudhiwadani dan potong gigi. Sudhiwadani adalah ritual untuk masuk agama Hindu. Dilakukan secara sukarela, tulus ikhlas dan atas seizin orang tuanya. Usai ritual saya diminta untuk mengisi dharma wacana yang menurut tradisi di Yogyakarta, asal mempelai putri, adalah keharusan sebagai nasehat perkawinan. Saya memberikan nasehat yang lebih banyak ditujukan kepada mempelai lelaki, bagaimana cara membimbing sang istri yang baru masuk Hindu. Kalau sang suami tak bisa membimbingnya, kemana lagi sang istri mendapatkan bimbingan pertama. Banyak sekali kasus di mana lelaki yang Hindu tak bisa membimbing istrinya yang secara tulus masuk Hindu, karena sang suami sendiri juga tak tahu banyak soal Hindu. Sang istri disuruh sembahyang, tetapi sang suami tak pernah memberikan contoh bagaimana cara berdoanya. Sering karena bimbingan itu kurang didapat, pada perjalanan perkawinan malah yang istri yang mengusulkan bagaimana kalau sang suami saja ikut agama sang istri. Tak saya sangka, karena keluarga besar sang istri ini banyak datang dari Yogya, dharmawacana berubah menjadi dharmatula
(diskusi). Salah satu pertanyaan adalah apakah Hindu itu agama wahyu atau agama langit. Atau agama bumi, yakni agama yang diciptakan oleh manusia. Kalau agama wahyu, siapa penerima wahyu itu? Pertanyaan ini ternyata juga tak bisa dijawab oleh orang-orang Bali yang hadir pada acara itu. Atau mungkin segan menjawab karena ada saya selaku pandita. Tentu saja saya jawab: Hindu adalah agama langit, agama wahyu dan ada orang yang menerima wahyu itu. Kalau dalam agama Islam penerima wahyu itu disebut nabi, yakni Nabi Muhamad SAW, dalam Hindu penerima wahyu adalah seseorang yang maha suci disebut Maharsi. Banyak yang bertepuk tangan. Lalu siapa dia dan mengapa dia tidak terkenal dan tak sering disebut-sebut oleh umat Hindu? Penerima wahyu Weda itu bukan sendirian, jadi bukan “dia” tetapi “mereka”. Jumlahnya ada tujuh, yakni: Maharsi Grtsamada, Maharsi Wiswamitra, Maharsi Wamadewa, Maharsi Atri, Maharsi Bharadwaja, Maharsi Wasistha dan Maharsi Kanwa. Wahyu yang turun berpencar itu kemudian dikelompokkan oleh Maharsi Wyasa yang dibantu oleh Maharsi Paila, Maharsi Waisampayana, Maharsi Jaimini dan Maharsi Sumantu. Dari pengelompokan inilah berhasil dirumuskan kitab Catur Weda. Pertanyaan berikutnya, kenapa Maharsi ini tidak populer dan tak banyak diketahui oleh umat Hindu? Agama Hindu masuk ke Indonesia dengan menyerap budaya lokal, budaya yang diwariskan jauh sebelum Majapahit dan dikembangkan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa. Budaya itu adalah menghormati orang tua atau leluhur dan tidak boleh menyebut nama orangtua atau leluhur dengan nama sebenarnya. Harus memakai nama lain yang bersifat mengangungkan nama aslinya. Budaya ini dibawa pula ke Bali. Jadi Maharsi yang sudah suci itu tak bisa namanya disebut sembarangan. Budaya itu tak cuma menyangkut Maharsi, juga resi yang di bawahnya, bahkan termasuk nama raja atau nama orang tua
sendiri. Di masa lalu di Bali (dan masih membekas sekarang), nama orangtua sendiri tak boleh disebut oleh anaknya, bahkan sang anak tak pernah diberitahu nama orangtuanya. Cara menutupi itu dengan membuat apa yang disebut “pungkusan”. Misalnya, Wayan Sudira, kawin dan punya anak, nama anaknya misalnya Putu Suparta. Nama Sudira tak boleh disebut di rapatrapat adat diganti nama “pungkusan” yakni Pan Suparta. Istri Sudira menjadi Men Suparta. Jadi nama “pungkusan” itu memakai nama anak tertua ditambah kata Pan (untuk ayah) dan Men (untuk ibu). Belakangan dikenal juga istilah Gurun, jadi Gurun Suparta. Dalam pementasan topeng, misalnya, untuk menyebut Dalem Waturenggong dan lain-lainnya, harus permisi dulu dengan mengucapkan: mangde nenten keni upadrawa (supaya tak mendapat kutukan). Demikianlah, kalau orang tua saja tak diketahui namanya, jangankan Maharsi. Nah, sekarang di era modern tentu beda. Anak yang tak tahu nama orangtuanya mungkin dianggap bodoh. Demikian pula umat Hindu bisa dianggap bodoh jika tak tahu nama Maharsi penerima wahyu Weda. Mari kita catat namanya.
10
Beda Berdoa dan Bersembahyang
A
PAKAH ada bedanya antara berdoa dan bersembahyang? Pertanyaan ini sering muncul. Tentu saja ada bedanya. Berdoa adalah pemujaan dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuknya yang sederhana, tanpa menggunakan sarana dan tanpa terikat oleh waktu. Jika hanya berdoa saja, tak perlu sesajen, tak perlu hari-hari khusus yang di Bali dikenal sebagai “rainan”. Kapan pun orang bisa berdoa. Bangun tidur bisa berdoa ketika tubuh masih di atas tempat tidur. Mau makan kita bisa berdoa. Menengok orang sakit kita bisa memanjatkan doa di tepi ranjang tidur pasien. Melayat orang meninggal kita bisa berdoa di samping jenazah. Doa-doa seperti itu umumnya pendek, hanya satu bait. Kalau ditambah paling dua atau tiga bait sudah cukup. Sudah banyak buku doa sehari-hari yang beredar dan murid-murid dari sekolah dasar sudah banyak yang hafal dan mempraktekkannya. Akan halnya bersembahyang, diperlukan sesuatu yang khusus. Ada sarananya dan ada situasi yang mengharuskan kita bisa melakukan persembahyangan. Sarana itu adalah sesajen atau banten, tergantung besar dan kecilnya persembahyangan. Minimal ada tiga hal utama, yakni bunga, dupa dan air (puspam, dupam, toyam). Kalau persembahyangan lebih besar ditambah dengan buah (palam). Persembahyangan yang besar dilakukan 11
bersamaan dan ada yang memimpin, misalnya, pemangku (pinandita) atau sulinggih (pandita). Dalam persembahyangan ini tentu saja ada berbagai jenis doa, baik doa yang wajib, maupun doa khusus sesuai dengan tujuan persembahyangan itu. Puja Trisandhya termasuk yang istimewa, karena bisa digolongkan sebagai doa yang sederhana dan bisa pula disebut bagian ritual persembahyangan. Sebagai doa biasa, Puja Trisandhya tak membutuhkan sarana dan waktu khusus. Hal ini biasa dilakukan, misalnya, pada saat pembukaan rapat atau pertemuan lainnya. Tak dibutuhkan sesajen dan juga tak perlu di pagi hari, tengah hari, dan waktu senja. Kapan pun bisa dilakukan. Namun, Puja Trisandhya bisa dilakukan saat persembahyangan dan ini tentu membutuhkan sesajen. Begitu pula kalau kita melakukan Puja Trisandhya secara khusus sendirian atau bersama keluarga kecil di merajan (pura) keluarga, minimal dibutuhkan sarana sesajen kecil seperti canang sari dan dupa. Ciri khusus dalam persembahyangan adalah menyucikan diri dan sarana yang ada. Sesajen betapa pun kecilnya, harus disucikan. Begitu pula dupa. Kita tak tahu bagaimana sesajen dan dupa itu dibuat, mungkin pula bunga tumbuh di tempat yang tak suci. Doa-doa penyucian ini ada yang singkat dan mudah dihafal. Setelah sarana disucikan, maka diri sendiri pun harus disucikan pula. Hindu mengenal penyucian diri yang sangat sederhana dengan hanya menengadahkan tangan. Tangan kanan di atas sambil mengucapkan doa: Om suddha mam swaha. Lalu tangan kiri di atas: Om ati suddha mam swaha. Penyucian phisik sebelum sembahyang dengan mencuci tangan, kaki, dan wajah memang lebih baik, dan di pura yang “tertib” seperti Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta ada tempat khusus untuk itu. Seperti umat Islam wudhu sebelum sholat. Tetapi, itu bukan keharusan karena seperti yang sudah disebut, Hindu itu punya doa yang sangat sederhana untuk penyucian diri yang dilambangkan dengan penyucian tangan. 12
Setelah penyucian sarana dan penyucian diri, barulah kita bersembahyang. Untuk Puja Trisandhya kita pun wajib melakukan penyucian diri terlebih dahulu, kalau ada sarana juga menyucikan sarana. Kenapa? Karena Puja Trisandya itu ada enam bait, dan setiap bait terdiri dari sumber yang berbeda-beda. Jadi, Puja Trisandhya betul-betul istimewa, disebut puja sehari-hari bisa, disebut puja inti persembahyangan juga bisa. Memakai sarana sesajen bisa, tanpa sarana juga bisa. Umumnya, jika memakai sarana sesajen akan diakhiri dengan Panca Sembah. Sedangkan tanpa sarana banten tidak melakukan Panca Sembah, jadi seperti berdoa saat makan, saat menengok orang sakit dan sebagainya. Demikianlah inti berdoa dan bersembahyang. Berdoa tak didahului oleh penyucian (kecuali Trisandhya) sedangkan bersembahyang ada penyuciannya. Penyucian itu tentu saja tingkat rumitnya berbeda antara walaka (masyarakat biasa) dengan pemangku (pinandita) maupun sulinggih (pandita).
13
Sudahkah Rutin Melantunkan Tri Sandhya
M
ENJELANG siang hari, sekitar lima menit menuju pukul 12.00 WITA, pengeras suara di desa saya mengalunkan suara gender sebagai pertanda sebentar lagi akan mengalun Puja Tri Sandhya. Tukang yang bekerja di rumah saya langsung berteriak: “laut… laut…” Kata “laut” artinya istirahat, entah dari mana asal-muasal kata itu. Ketika puja Tri Sandhya mengalun keras dari pengeras suara, mereka sudah siap-siap pulang ke rumahnya. Apakah setiba di rumahnya mereka duduk bersila lalu mengucapkan Puja Tri Sandhya? Saya yakin tak ada yang melakukannya. Mereka hanya makan siang lalu bekerja kembali. Alunan puja Tri Sandhya di siang hari lebih pertanda sebagai jam istrirahat dibandingkan “waktu sembahyang”. Sedangkan alunan Tri Sandhya di pagi hari pukul 06.00 Wita dan sore pukul 18.00 Wita juga hanya sebagai pertanda kegiatan sehari-hari. Di Denpasar puja Tri Sandhya juga mengalun dari pengeras suara. Bahkan di Pedungan, tempat tinggal anak saya, ada dua sumber pengeras suara yang melantunkan puja itu dengan selisih waktu beberapa detik. Artinya tak persis bersamaan, kesannya jadi saling berkejaran. Radio swasta maupun RRI, juga taat menayangkan Tri Sandhya setiap pagi, siang dan sore hari. Ada 14
pun televisi sudah mulai banyak yang ikut siaran dengan gambar yang bervariasi tetapi iramanya hampir sama. Lalu berapa orangkah penduduk yang sembahyang “tiga kali sehari” itu? Lalu lintas tetap ramai, orang tetap hilir mudik. Jangan-jangan yang wajib sembahyang hanya pengeras suara, radio dan televisi. Umat Hindu banyak yang cuek. Padahal puja Tri Sandhya adalah gabungan mantram yang dibuat dengan kearifan lokal oleh para sulinggih Bali di masa lalu. Rangkaian puja ini tak dikenal di India dan kantong-kantong Hindu lainnya di berbagai dunia. Di daerah lain Nusantara tentu sudah diakrabi karena memang tujuannya untuk umat Hindu Indonesia. Dan itu dijadikan “mantram wajib” oleh Parisada. Jika demikian halnya, tentu kita jadi malu di Bali, kalau umat tak tekun melaksanakan kewajiban itu tiga kali sehari, sementara Parisada meminta radio dan televisi – lalu pengeras suara – menayangkannya tepat waktu. Kehebatan para sulinggih kita di masa lalu yang menggabungkan enam bait mantram suci menjadi satu rangkaian patut dipuji. Bait pertama tetap mengagungkan ibu dari segala jenis mantram, yakni Gayatri Mantram yang sumbernya dari Rg.Weda III.62.10. Di berbagai dunia, termasuk India, Gayatri Mantram inilah yang diulang berkali-kali – dan rekamannya dalam berbagai irama sudah masuk ke Bali. Mantram ini sudah banyak dikenal kekhasiatannya. Mantram kedua diambil dari Narayana Upanisad. Mantram ini ada dalam rangkaian Catur Weda Sirah, suatu rangkaian mantram yang wajib dilantunkan para sulinggih tatkala “muput karya” sebagai pelengkap permohonan. Catur Weda Sirah adalah empat mantram yang diambil dari Rg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan Atharwa Weda, sedangkan bagian terakhir dari Yajur Weda itu dipakai bait kedua Puja Tri Sandhya. Mantram ketiga berasal dari satu sloka Siwa Stawa. Pemujaan untuk Siwa ini juga menjadi mantram terpenting yang 15
harus dilantunkan para sulinggih di Bali tatkala “muput karya”. Kekuatannya dasyat. Sedangkan mantram keempat, kelima dan keenam dari Puja Tri Sandhya semuanya diambil dari Ksama Mahadevastuti yang ada dalam kitab Veda Parikrama. Demikian bertuahnya puja Tri Sandhya yang diambil dari sumber yang berbeda-beda, sangat pantas kalau para sulinggih di Bali di masa lalu meminta Parisada agar puja ini dijadikan puja wajib tiga kali setiap hari. Yakni para pergantian waktu malam menjadi siang, pas di tengah hari dan pergantian waktu siang menjadi malam. Atas pertimbangan rumit soal waktu, apalagi di saat-saat sosialisasi, maka Parisada menetapkan waktu pukul enam pagi dan enam sore untuk “waktu sadhya”. Padahal saat terbaik adalah sebelum matahari terbit untuk pagi dan setelah matahari terbenam untuk sore. Sabtu depan akan dibahas bagaimana melaksanakan puja Tri Sandhya yang benar. Tapi sebaiknya kita introspeksi diri dulu, apa sudah melakukannya setiap hari? Apakah bukan cuma radio, televisi dan pengeras suara saja yang melantunkan puja ini, sementara umat tak peduli? Kalau begitu kita wajib malu pada radio, televisi dan pengeras suara.
16
Tri Sandya Hanya Enam Menit
B
ANYAK orang berdalih tak punya waktu untuk melaksanakan puja Tri Sandhya. Merepotkan, itu yang jadi alasan utamanya. Padahal puja ini hanya berlangsung selama enam menit. Kalau dengan persiapan seperlunya, paling lama juga sepuluh menit. Apakah tak punya waktu untuk itu? Bukankah ngobrol bersama teman di kantor bisa berpuluh-puluh menit? Juga ada alasan lain, malas mencari tempat duduk yang nyaman untuk melakukan puja Tri Sandhya. Tempat nyaman apa yang dimaksudkan? Tak harus di depan pelinggih atau pura. Tak harus mengganti pakaian dengan kain adat, seolah-olah ritual beragama itu selalu dikaitkan dengan adat. Tak perlu memakai selendang. Bahkan tak perlu sarana apa pun, apakah itu berupa bunga, air dan dupa. Seseorang bisa melakukan Tri Sandhya dengan duduk di sebelah meja kerjanya di kantor. Yang dirapikan hanya sekitar tempat duduknya di lantai sehingga nyaman bersila. Bahkan kalau tak bisa duduk bersila di lantai, duduk di kursi pun tak apa-apa. Atau berdiri. Apakah lingkungan kerja Anda sangat khusus sehingga Anda sendiri yang beragama Hindu? Jadi malu kalau dilihat orang lain? Soal malu ini menyangkut perasaan atau karena teman kerja tak 17
biasa melihat keseharian. Kalau sudah rutin rasa malu itu hilang dan teman kerja yang bukan Hindu pun tak akan mencemoh. Tapi kalau masalah takut mantram yang diucapkan mengganggu yang lain, lantunkanlah puja di dalam hati. Justru para karyawan kantor yang mayoritas Hindu yang tak rajin melaksanakan puja Tri Sandhya. Padahal bisa dilakukan bersama-sama, baik di ruangan kerja dengan sama-sama berdiri atau disiapkan tempat khusus. Di Jakarta banyak kantor yang menyiapkan tempat khusus seperti di Ditjen Bimas Hindu Kementrian Agama, Bank Indonesia, Pertamina, Telkom dan banyak lagi. Begitu tiba pukul 12.00 mereka berkumpul melaksanakan puja Tri Sandhya bersama-sama. Justru kesempatan kumpul Tri Sandhya ini dijadikan saat untuk memulai persiapan mencari tempat untuk makan siang. Ritual puja Tri Sandhya itu sangat simple. Kalau memang ada kamar mandi yang dekat, ada baiknya membersihkan diri, cuci muka, tangan dan kaki. Kalau tidak pun tak apa-apa karena Hindu punya mantram untuk pembersihan diri menjelang Tri Sandhya. Yakni dengan enadahkan tangan kanan di atas tangan kiri dan ucapkan mantram: Om Suddha mam Swaha. Lalu tangan kiri di atas, ucapkan mantram: Om ati sudaha mam Swaha. Tak ada ritual agama yang lebih sederhana dari ritual agama Hindu. Pada saat duduk bersila ucapkan mantram: Om padmasana ya namah swaha. Jika bertimpuh ucapkan: Om bajrasana ya namah swaha. Jika berdiri ucapkan: Om padasana ya namah swaha. Lalu dilanjutkan dengan mantram: Om prasada sthiti sarira siwa suci nirmala ya namah swaha. Kemudian pranayama dan pembersihan diri tadi melalui simbol kedua tangan. Lantas tangan membentuk amustikarana, lantunkan puja Tri Sandhya. Mudah sekali, apanya yang rumit dan apanya yang memakan waktu? Yang penting adalah niat. Dan niat datang karena merasa ada kebutuhan yang sangat besar. Dan kebutuhan itu muncul 18
karena keyakinan dengan puja Tri Sandhya akan mendapatkan ketenangan karena sudah melaksanakan ajaran agama yang paling dasar, berdoa setiap hari. Lebih-lebih di zaman Kali ini (Kali Yuga) melantunkan Tri Sandhya yang rutin akan sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan rohani. Dalam Weda disebutkan melakukan japa atau menyebut nama suci Tuhan berulang-ulang, merupakan salah satu cara yang paling baik untuk meningkatkan spritualitas seseorang di zaman Kali. Melantunkan puja Tri Sandhya berarti sudah melakukan japa. Karena dalam setiap bait Tri Sandhya kita selalu mengucapkan aksara suci “OM” yang berarti kita sudah melafalkan aksara suci Tuhan secara berulang-ulang. Dengan melakukan puja Tri Sandhya berarti kita telah mengakui dan memuji keagungan Tuhan apalagi adanya Gayatri Mantram pada bait pertama. Umat Hindu sebaiknya mengucapkan Gayatri Mantram berulang-ulang kalau dalam keadaan tertentu, misalnya, dalam situasi gawsat, dalam keadaan sakit dan sebagainya. Bayi yang baru lahir di kedua telinganya sangat penting dibisikkan Gayatri Mantram. Tentang “kesaktian” Gayatri Mantram ini dalam kesempatan lain akan kita bahas. Mari rajin melantunkan Tri Sandhya.
19
Seekor Kucing dalam Kurungan
T
RADISI yang ada dan berkembang di masyarakat Hindu banyak sekali dikaitkan dengan ajaran agama, seolah-olah tradisi itu sulit dipisahkan dengan agama. Hal ini tak hanya ditemui di Bali, juga di daerah lain, bahkan termasuk India, di mana agama Hindu itu sendiri berawal. Ada sebuah kisah unik yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagaimana tradisi itu dipelihara padahal tak ada kaitannya dengan ajaran agama. Kisah ini terjadi di masyarakat India kelas bawah yang pendidikannya masih rendah. Yakni adanya kebiasaan setiap melakukan yadnya besar maka orang yang beryadnya selalu mencari seekor kucing untuk dimasukkan dalam kurungan. Kalau keluarga itu tak punya kucing, ya, harus meminjam kucing tetangga atau terpaksa membeli dengan mahal. Seolah-olah tanpa ada kucing yang dimasukkan ke dalam kurungan maka ritual itu tidak sah. Jika ditanya kenapa bisa terjadi hal seperti itu, tak seorang pun bisa menjawabnya. Semuanya menyebutkan itu tradisi yang sudah turun temurun. Kalau di Bali jawabannya: “nak mule keto uli malu” (memang begitu dari dulu). Masih beruntung ada orang yang mau menelusuri tradisi ini. Syahdan, di masa lalu ada orang kaya yang melakukan yadnya 20
besar. Keluarga ini pencinta binatang termasuk memelihara kucing. Pada saat persiapan yadnya sambil menunggu seorang yogi (pendeta) yang memimpin ritual itu, ternyata kucing peliharaan keluarga itu merusak banyak persembahan. Sudah berkali-kali diusir, kucing itu tetap saja kembali. Ketika pendeta datang, beliau juga merasa konsentrasinya terganggu akibat kucing itu berkeliaran dengan bebasnya. Maka Sang Yogi memerintahkan tuan rumah untuk mengurung kucing itu. Nah, kucing itu pun dikurung tak jauh dari tempat Sang Yogi memimpin upacara. Demikianlah seterusnya, setiap keluarga kaya itu melakukan yadnya, pasti kucing itu dikurung agar tidak mengganggu. Para undangan dari desa-desa yang jauh pun melihat kucing yang dikurung itu. Entah segan bertanya kenapa kucing itu dikurung, atau terlalu biasa melihat setiap yadnya ada kucing dikurung, orang-orang yang tak tahu juntrungannya mengira kucing yang dikurung itu adalah “perlengkapan upacara”. Artinya, setiap ada upacara harus ada “kucing yang dikurung”. Hal itulah yang dicontoh terus-menerus, berkembang lewat pembicaraan ke segenap penjuru, bahkan kemudian menurun ke anak cucu. Akibatnya, kalau ada keluarga yang melakukan yadnya tetapi tidak punya kucing, dia harus mencari kucing dengan berbagai cara agar bisa dikurung di dekat Sang Yogi memimpin ritual. Masih bisa disebut untung bahwa tradisi ini tidak sampai melanggar ajaran Hindu. Cuma repot saja harus mencari kucing yang tak ada dalam keharusan ajaran agama. Di Bali banyak sekali tradisi yang tak ada kaitannya dengan ajaran agama, bahkan bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Banyak contohnya. Di tataran upacara, misalnya, sabungan ayam. Dalam ritual yang besar ada tabuh rah, artinya memercikkan atau menabur darah hewan. Memang sebelumnya ada yang diadu, yaitu kelapa dengan telur. Nah, orang lantas 21
menganggap itu kurang meriah, maka ayam pun sebelum dipotong lehernya agar keluar darah, diadu sekedarnya. Lama-lama ayam itu diberi taji (pisau kecil di kakinya) dan jadilah sabungan ayam ditambah dengan bertaruh. Pemerintah sudah melarang judi sabung ayam ini karena memang bertentangan dengan ajaran Hindu. Tetapi tradisi tabuh rah justru didompleng untuk judian itu. Saya pernah “muput karya” melaspas pura keluarga di kawasan Bangli, dari awal sampai akhir ritual di halaman pura keluarga itu justru ramai ada “tabuh rah”. Yang tak melanggar tetapi merepotkan, misalnya, ketika ada anak yang ritual mecolong (usia 3 bulan) harus dikurung sejenak memakai kurungan ayam. Suatu saat saya yang memimpin upacara itu, kebetulan keluarga si anak memang tak menyiapkan kurungan ayam. Tiba-tiba ada keluarganya dari jauh datang: “Ini kurang lengkap, anak itu harus dikurung.” Wah, keluarga si anak kelabakan mencari kurungan ayam, tak ada yang bersih apalagi yang baru. Yang didapat kurungan kotor penuh debu. Saya langsung katakan: “Tak usah pakai dikurung, ini hanya simbol mengendalian diri sang anak.” PHDI Pusat sejak Pesamuhan Agung di Yogyakarta tahun 1971 sudah memutuskan agar tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama diluruskan kembali. Mari kita mulai mencobanya.
22
Selintas Tentang Japamala
K
INI banyak orang yang membawa japamala atau yang di agama lain populer dengan sebutan tasbih. Benda yang melingkar itu lebih sering terlihat dikalungkan di leher. Bukan hanya di kalangan para sulinggih dan pemangku, umat Hindu yang masih berstatus walaka juga banyak membawanya. Tak ada larangan atau sebaliknya tak ada keharusan memakai japamala. Benda ini sudah umum dijual di berbagai toko aksesoris yang menyediakan lambang-lambang dan simbol Hindu. Tapi apakah japamala itu? Sebuah kalung yang berisi 108 biji untuk japamala yang berukuran normal. Orang lebih sering menyebutnya genitri lantaran biji yang dipakai dalam japamala itu lebih banyak berupa buah genitri. Padahal japamala bisa dibuat dari berbagai bahan dan dalam berbagai sastra bahan itu menentukan khasiat dari perlengkapan suci ini. Dalam buku Tantrasara disebutkan, japamala yang terbuat dari kerang punya khasiat lebih tinggi dari buah genitri. Yang terbuat dari batu hitam mengkilat yang merupakan simbol dari warna Wisnu atau lazim disebut salagrama khasiatnya lebih tinggi dari batu hitam tadi. Demikian pula yang dibuat dari batu kristal apalagi mutiara maka khasiatnya jauh lebih tinggi lagi. Tidak selalu yang biji-bijian mahal berkhasiat lebih tinggi karena 23
ada disebutkan japamala yang dibuat dari daun alang-alang (kusa), buah tulasi dan buah rudraksa khasiatnya lebih tinggi dari jenis batu-batuan itu. Jenis biji yang dipakai dalam japamala selain punya khasiat yang berbeda juga punya maksud yang berbeda pula. Para penyembah Wisnu lebih banyak menggunakan japamala dari pohon atau buah tulasi, tetapi penyembah Ganesha akan berburu japamala dari gading gajah. Akan halnya penyembah Siwa sebagaimana umumnya umat Hindu di Bali yang menjadi penganut Siwa Sidhanta lebih banyak memakai buah genitri atau kayu cendana maupun buah rudraksa. Japamala dari pohon kusa dianggap sebagai penghancur segala dosa. Nampaknya ini berkaitan pula dengan penggunaan karowista yang terbuat dari daun alang-alang yang juga bertujuan hampir sama dalam setiap ritual yang menyangkut “pembersihan” dalam upacara yang melibatkan seseorang. Satu hal yang jelas disebutkan dalam Tantrasana dan juga tersaji dalam Kalika Purana, japamala ini tidak boleh terbuat dari bahan campuran dalam satu untaian kalung. Jadi kalau kita menemukan ada japamala terbuat dari buah genitri atau kayu cendana yang diselingi kristal atau mutiara, maka itu lebih berarti aksesoris dibandingkan peralatan suci dalam melakukan ritual japa. Pemakainya semata-mata mencari unsur keindahan bukan sesuatu yang berkhasiat. Demikian pula benang yang mengikat biji-bijian itu, semuanya punya perlambang. Di dalam kitab Sanatkumara dijelaskan benang dari kapas (katun) yang dipakai mengikat biji-biji japamala itu semuanya punya arti tersendiri. Jika memakai benang putih maka japamala itu lebih bertujuan untuk memohon kedamaian. Benang berwarna merah untuk menarik perhatian orang lain, benang hitam untuk memudahkan mendapat rejeki (kekayaan). Tentu saja semuanya ini tidak kelihatan dan yang terjual sekarang ini malah lebih banyak memakai plastik. Barangkali untuk 24
lebih mudah memasukkan ke dalam biji-bijian yang lubangnya kecil itu. Nah, pada salah satu ujung dari biji-biji japamala itu diletakkan biji yang besar dan diberi ornamen sebagai pertanda awal dan akhir. Ini disebut “bija meru”. Bagaimana kita melakukan japamala? Bisa bersila (padmasana) bisa dengan asana (sikap duduk) yang lain seperti bersimpuh, duduk di kursi dan sebagainya. Peganglah japamala di tangan kanan dan letakkan di atas jari tengah, jari manis dan kelingking. Mulailah melakukan japa (dalam pengertian menghitung) dengan cara mendorong satu persatu biji japamala dengan ibu jari. Ingat di dalam Hindu, biji tasbih itu didorong, bukan ditarik satu persatu sebagaimana konon di agama lain. Jari telunjuk tidak difungsikan sama sekali. Bahkan dihindari menyentuh biji-biji japamala. Jari telunjuk dianggap mewakili ahamkara (ego seseorang). Jika sampai pada hitungan ke 108 yang ditandai dengan “bija meru” dan ingin kembali melakukan japa, jangan dilewatkan “bija meru” itu tetapi dibalik kembali japamalanya. Nanti akan diuraikan untuk apa kita melakukan japa.
25
Untuk Apa Melakukan Japa
P
ADA tulisan terdahulu sudah diuraikan selintas bagaimana memakai japamala. Biji-bijinya didorong dan itu disebutkan sebagai hal yang utama. Selama ini banyak pemakai japamala dengan menarik biji-biji itu dan karena kebiasaan berlanjut maka hal itu dianggap biasa saja. Sebaiknya mulai mempelajari teknik mendorong karena itu yang dianjurkan. Juga sudah disebutkan hindari jari telunjuk menyentuh bijibiji japamala pada saat kita melakukan japa. Jari telunjuk adalah simbol ahamkara (ego). Kita tahu dan bisa melihat bagaimana orang menuding pasti umumnya memakai telunjuk. Para sulinggih pun jika melakukan rerajahan, misalnya ngarga (memohon) bija dan sebagainya memakai jari tengah, bukann telunjuk. Nah, pertanyaan sekarang adalah untuk apa kita melakukan japa? Secara umum japa artinya mengulang dan berjapa artinya mengulang-ulang. Apa yang diulang? Tak lain adalah mantrammantram suci yang bisa menentramkan jiwa kita, nama-nama Tuhan yang selalu diulang sehingga Tuhan menjadi semakin dekat dan bahkan ada di dalam hati kita. Adapun menurut Sadguru Sant Keshavadas dalam bukunya “Gayatri: The Highest Meditation”, japa itu terdiri dari kagta “ja” dan “pa”. “Ja” dimaksudkan sebagai menghancurkan kelahiran dan kematian. 26
“Pa” dimaksudkan menghancurkan segala dosa. Jadi japa adalah penghancuran semua dosa dan meniadakan lingkaran kelahiran kematian serta membebaskan jiwa dari keterikatannya. Ada dua cara untuk berjapa. Yang satu secara wacika (vacika) yang artinya secara terucapkan, yang satunya lagi secara manasika atau yang ada di dalam pikiran. Artinya mengucapkan dan mengulang-ulang mantram suci atau nama Tuhan hanya di dalam pikiran saja. Cara wacika pun dibagi dua lagi. Pertama diucapkan dengan gerakan bibir tetapi suara tidak keluar, hanya bisa didengar sendiri. Orang lain meski berada dekat dengan kita tak bisa mendengar. Ini disebut upamsu. Yang kedua adalah gerakan bibir disertai suara, bisa didengar pula oleh orang yang ada di sekitar kita. Dengan cara manasika, juga ada dua jenis. Yang satu adalah pengulangan pikiran seolah-olah hal itu diucapkan padahal hanya dalam pikiran, satunya lagi sejalan dengan pergerakan napas yang disebut ajapa-japa. Proses ini sudah k earah melakukan meditasi. Japa dengan metode manasika inilah yang dianggap sebagai hal yang utama, lebih utama dari wacika. Hal seperti ini juga berlaku dalam hal mengucapkan mantram-mantram Weda, “mengucapkan lewat pikiran tanpa suara” itu lebih utama dari yang lain. Tentu hal ini hanya bisa drasakan oleh mereka yang sudah tingkat spiritualnya tinggi. Kalau tidak malah bisa jadi ejekan, “diam saja memuja jangan-jangan tak tahu apa mantramnya”. Meski pun japa dengan metode manasika sering pula disebut sebagai japa-mental karena tak ada suara pun yang terdengar, ini adalah japa yang paling sulit. Bahkan disebut, karena sulitnya setiap orang yang ingin tetap dalam praktek berjapa, haruslah memulainya dengan japa wacika, mengucapkan setiap mantram atau nama Tuhan yang berulang-ulang. Jika itu sudah dikuasai secara rutin dan berkesinambungan, bisa ditingkatkan dengan cara melatih upamsu, “mengucapkan lewat bibir” tetapi tak ada suara yang didengar orang lain. Hanya mereka yang disebut-se27
but punya pikiran yang sudah damai yang mampu dan memenuhi syarat untuk berjapa secara manasika. Bagaimana berjapa secara manasika jika pikiran masih keruh, mudah terombang-ambing oleh kadaan sekeliling. Pentingnya melakukan ritual japa (disebut juga japa-yajna) tersirat di dalam Linga Purana. Di situ disebutkan Siwa bersabda kepada shakti-Nya, Dewi Parwati, sebagai berikut: “Dewi, di dalam setiap yadnya yang lain berbagai bentuk cacat akan terjadi melalui pikiran, kata, dan perbuatan. Tetapi di dalam japa yadnya hal seperti itu tak akan terjadi. Karena itulah japa jadnya adalah yang paling agung di antara semuanya.” Merujuk ke sloka ini Sadguru Sant Keshavadas memberi komentar: “Hantu, dedemit, setan tidak bisa mendekati orang yang sedang mengulang-ulang mantra suci. Japa menghancurkan karma, japa membawa kebahagiaan dan membebaskan seseorang dari ikatan.” Marilah kita pergunakan japamala sebagaimana seharusnya, bukan hanya dikalungkan sebagai aksesoris sehingga kelihatan keren, tetapi gunakan di mana ada kesempatan.
28
Meditasi Menurut Bhagawad Gita
M
EDITASI sudah tidak asing lagi di kalangan umat Hindu. Bahkan di agama apapun meditasi itu ada dengan berbagai teknik dan juga berbagai nama. Sumber-sumber meditasi ada di berbagai kitab. Di kitab Bhagawad Gita ada terkumpul sejumlah sloka tentang meditasi melalui percakapan ke enam Sri Krishna kepada Arjuna. Di kitab-kitab purana pun ada. Bahkan Rsi Patanjali dalam uraiannya tentang Astangga Yoga menempatkan meditasi dalam suatu bahasan (tangga) khusus dari delapan bahasan itu. Teknik meditasi pun sudah begitu beragam. Masing-masing keluar dengan nama kelompok atau nama aliran yang disesuaikan dengan tekniknya. Ada Meditasi Cahaya, Meditasi Angka, Meditasi Usada dan banyak lagi. Ada yang mengharuskan untuk duduk bersila, ada yang boleh duduk di kursi, ada yang terlentang tidur, ada yang membebaskan sikap duduk yang penting santai (rileks). Begitu pula alat konsentrasi, ada yang memakai cahaya misalnya menyalakan lilin atau dupa, ada yang cuma membayangkan angka, ada yang menatap gambar atau patung (pratima) dan sejenisnya. Nah, bagaimana menurut kitab Bhagawad Gita? Karena kitab ini disebut sebagai Pancamo Weda (Weda yang ke lima) maka 29
ada yang bersikukuh inilah sumber meditasi yang pokok. Terlepas dari keyakinan apakah itu sumber yang pokok atau bukan, mari kita lihat bagaimana meditasi menurut kitab itu. Pada BG VI.11 ada sloka yang berbunyi: sucau dese pratisthapya, sthiram asanam atmanah, naty ucchitam nati nicam, cailajina kusottaram. Terjemahan bebasnya: Pilihlah tempat yang bersih dan suci lalu bentangkanlah asana yang terbuat dari rumput suci kusa dan kulit menjangan di atas tanah, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Tempat suci dan bersih dalam sloka ini awalnya banyak diartikan sebagai alam. Dengan demikian maka di pinggir sungai, di gunung, di dekat danau bahkan di dalam goa, adalah tempat yang baik. Di masa lalu inilah tempat yang dianggap suci. Dalam peradaban selanjutnya maka taman yang asri dan lingkungan tempat suci pura menjadi pilihan yang lain. Di era moderen maka “alam” itu dipindahkan atau dibuatkan duplikatnya di rumahrumah keluarga maka dikenal misalnya kamar suci yang khusus untuk meditasi. Persyaratan penting adalah tempat itu aman, baik dari gangguan binatang berbisa atau dari bahaya lain seperti longsor, kejatuhan ranting pohon dan sebagainya. Harus ada alas untuk duduk (asana) dan itu sebaiknya dari kusa sejenis rumput yang di Bali mirip seperti alang-alang. Letak kusa paling bawah dan di atasnya ada kulit menjangan. Di atas itu baru kain. Atau kusa dan kulit menjangan ini dibungkus oleh kain seutuhnya. Dalam BG tidak disebutkan bagaimana cara mendapatkan kulit menjangan itu, namun dalam kitab lain dan juga setelah berbagai ajaran dipadukan ada semacam kesimpulan bahwa kulit menjangan itu didapat dari cara yang bukan membunuh menjangan itu. Jadi, dicari kulit menjangan yang binatangnya mati secara alami. Dalam praktek hal ini menjadi sulit ditemukan. Tentu saja tempat duduk dari kusa dan kulit menjangan itu bukan suatu keharusan. Keutamaan dalam ajaran Hindu bukan 30
berarti keharusan, karena ada tingkat-tingkat seperti utamaning utama, utamaning madya dan utamaning kanista. Dalam hal ini sekedar alas yang cukup tebal bisa dijadikan dasar untuk duduk bermeditasi. Sekarang ini kebanyakan dipakai matras dari busa atau dari kapuk seperti bahan kasur tempat tidur. Lalu apa yang dilakukan setelah mempersiapkan tempat duduk? Pada sloka BG VI.12 disebutkan: “Di situlah duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan pikiran pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indriya. Lakukan yoga demi kesucian dan pembersihan jiwa.” Mengarahkan pikiran pada suatu titik ini bisa dilalui dengan proses konsentrasi dan di situlah diperlukan alat untuk konsentrasi. Jika di dalam kamar suci alat konsentrasi itu bisa gambar, bisa patung atau pratima, bisa nyala lilin atau dupa. Bisa juga cahaya lain. Di kalangan pengikut Meditasi Angka alat konsentrasi itu berupa angka yang sudah dipilih dan “disucikan” oleh sang guru. Tetapi semua ini adalah alat kalau seseorang sudah terlatih “mengarahkan pikiran pada suatu titik” tak membutuhkan alat untuk konsentrasi. Pada tulisan berikut akan dilanjutkan dengan sikap dan apa yang perlu “dibangkitkan” dalam meditasi menurut Bhagawad Gita.
31
Sikap Tubuh dalam Meditasi
P
ADA tulisan sebelumnya yang lalu sudah diuraikan tentang bagaimana meditasi menurut Bhgawad Gita sampai pada mempersiapkan tempat duduk. Supaya tidak lupa, kali ini disambung dengan sikap tubuh dan apa yang perlu dibangkitkan. Sekali lagi, meditasi ini menurut Bhagawad Gita, bukan menurut aliran-aliran yang lain. Besar sekali kemungkinannya tidak cocok lagi atau sudah dikembangkan oleh kelompok-kelompok meditasi yang kini bertebaran. Sloka BG VI.13 menyebutkan: samam kaya siro grivam, dharayann acalam sthirah, sampreksya nasikagram svam, disas canavalokayan. Terjemahan bebasnya: Jagalah supaya tubuh atau badan, leher dan kepala tetap tegak lurus, memandang ujung hidung dan tidak melihat ke sana ke mari ke segala arah. Mungkin sloka ini yang membuat ada kelompok meditasi yang membolehkan orang meditasi dengan telentang berbaring. Bukankah tubuh, leher dan kepala tetap lurus dalam berbaring? Namun karena sloka sebelumnya banyak diuraikan bagaimana mempersiapkan alat duduk, maka pada sloka ini pun banyak yang mengartikan bahwa meditasi itu haruslah duduk. Bahkan Rsi Patanjali mengajarkan cara duduk yang lebih ketat lagi dalam melakukan meditasi. Misalnya, dianjurkan kepada para 32
yogi untuk duduk dalam posisi padmasana. Ini dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai, asana berarti sikap duduk. Tempatkan kaki kanan di atas paha kiri dan kaki kiri di atas paha kanan. Kedua tumit harus menekan ke arah bawah. Ini posisi yang sulit dan harus dilatih sejak kecil. Kalau sudah tua dengan kondisi tulang dan persendian yang tak memadai lagi, sulit melakukan sikap duduk padmasana. Teratai atau di Bali disebut tunjung adalah lambang kemurnian. Teratai yang berkembang adalah lambang dari berkembangnya kesadaran. Akar dan batang teratai berada di dalam air yang berlumpur, kotor dan jauh dari kesucian. Ini melambangkan karma kita yang buruk. Tetapi bunga teratai berada di atas air, tetap bersih. Yang disimbolkan dari sini adalah betapa pun kita punya dan memiliki karma buruk (sesuatu yang tak bisa dihindari oleh manusia) tetapi pikiran kita tetapkan jernih dan tidak tercemar. Jika kita tak bisa melakukan sikap duduk padmasana ada yang lebih mudah, yaitu siddhasana. Sikap duduk ini dengan cara menumpangkan kaki kanan ke atas paha kiri, namun kaki kiri tak harus ditumpangkan ke paha kanan. Jadi kaki tidak bersilang. Para pendeta Hindu di Bali banyak yang memakai sikap siddasana dalam muput karya. Bagaimana sikap tangan? Jika tangan dalam posisi disilang dan diletakkan di paha sementara kaki dalam posisi padmasana maka ini tingkat kesukaran tertinggi dan disebut mukta-padmasana. Tetapi kalau terlalu sulit sikap duduk apapun yang dipilih tangan taruh saja di paha. Yang diutamakan adalah tubuh berdiri tegak mata memandang ujung hidung. Nah, kenapa harus memandang ujung hidung? Dengan memandang ujung hidung maka mata tidak terpejam. Dalam meditasi dianjurkan tidak menutup mata dengan rapat karena dikhawatirkan akan tertidur lelap dalam keheningan, karena meditasi bukanlah tidur meski yang dicapai adalah keheningan. 33
Tetapi kalau dibiarkan mata terbuka lebar dan memandang ke segala arah maka konsentrasi sulit dicapai. Meditasi itu adalah proses setelah konsentrasi atau dalam istilah yang dipakai Rsi Patanjali, meditasi (dhyana) adalah tangga ketujuh setelah dharana (konsentrasi). Dengan memandang ujung hidung maka mata tak terbuka lebar-lebar tetapi tidak juga tertutup rapat. Dalam berbagai kelompok meditasi, proses dharana (konsentrasi) banyak yang memakai alat, misalnya, menatap patung atau pratima, menatap lilin atau cahaya lain. Tidak menatap ujung hidung. Tetapi kelebihan menatap ujung hidung otot mata menjadi kuat, hidung bisa mencium bau dari jarak yang jauh. Kekuatan otot mata ini bisa menjadi kekuatan sorot mata, sehingga mereka yang terlatih dengan teknik ini bisa menentramkan orang yang beringas dengan hanya memandangnya dengan kekuatan sorot mata. Lalu kenapa posisi tubuh tegak? Ini terkait dengan membangkitkan cakra yang ada di tulang ekor (muladhara cakra) untuk dibawa naik menuju cakra-cakra lain. Nah berapa cakra yang mau dibangkitkan, kembali persoalannya pada aliran meditasi yang dilakukan dan ini bisa berbeda-beda di setiap kelompok. Lain waktu akan diuraikan beberapa saja.
34
Pergantian Hari Menurut Wariga
T
ERNYATA banyak sekali umat Hindu di Bali yang belum paham benar, kapankah hari berganti menurut perhitungan wariga. Jika hal ini belum dipahami benar dan terjadi kesalah-pahaman, maka kaitannya adalah wetonan seorang anak. Seperti umum diketahui, anak-anak Bali yang beragama Hindu sejak lahir sampai dewasa, masalah ritual pribadinya selalu dikaitkan dengan wariga. Hari ulang tahun boleh saja dirayakan, namun wetonan adalah wajib untuk diperingati dengan ritual keagamaan. Yang dimaksudkan dengan wariga itu adalah wewaran, dari eka wara sampai dasa wara. Lalu wewaran ini dikaitkan dengan wuku yang berjumlah tiga puluh itu. Tidak ada kaitan dengan sasih, karena sasih mengikuti kalender Saka, tahun berdasarkan peredaran bulan. Hari berganti menurut wariga yang digunakan di Bali adalah pagi hari sebelum matahari terbit. Umumnya secara gampang disebutkan pukul 06.00 pagi waktu setempat, namun kalau ingin lebih cermat sebaiknya mengikuti terbitnya matahari. Seperti halnya Puja Trisandhya yang untuk gampangnya ditetapkan setiap pukul 06.00 pagi, pukul 12.00 siang dan pukul 18.00 sore, sesungguhnya itu sering tidak tepat. Misalnya, aat ini di mana kedudukan matahari berada di selatan katulistiwa, pukul 18.00 35
sore matahari masih nampak di barat, jadi sesungguhnya belum sandyakala. Tetapi karena dianggap rumit untuk menyesuaikan dengan tenggelamnya matahari, Puja Trisandya pun tetap berkumandang di televisi pada pukul 18.00. Itu bedanya dengan azan magrib bagi umat Islam yang selalu menyesuaikan dengan kedudukan matahari. Nah, hari berganti menurut wariga adalah pagi hari setelah matahari terbit. Dan itu terus berlangsung sampai esok harinya ketika matahari terbit kembali. Jadi malam hari itu adalah milik hari sebelumnya. Dengan demikian, kalau ada anak yang lahir lewat tengah malam, misalnya pukul 03.00 sampai mendekati pukul 06.00 dini hari, anak itu weton-nya mengikuti hari kemarin. Bukan mengikuti hari yang akan datang sebagaimana perhitungan tahun Masehi. Ini yang sering tidak diketahui. Akibat kesalah-pahaman dalam menentukan pergantian hari menurut wariga ini, banyak yang salah weton (salah hari otonan). Ini mempengaruhi “watak sang anak” karena setiap hari ada peruntungannya dan ada pantangannya. Apalagi kalau terjadi beda wuku, misalnya, anak yang lahir hari Minggu dini hari menurut kalender Masehi, seharusnya adalah milik hari Sabtu menurut wariga. Antara Sabtu dan Minggu sudah beda wuku. Perwatakan wuku sangat beda, pengaruhnya pun besar. Saya berikan contoh yang akan berakibat luas. Misalnya, hari ini, Sabtu 8 Februari 2014, wuku Ugu. Jika ada bayi yang lahir lewat tengah malam nanti, misalnya, pukul 03.00 atau pukul 05.00, maka weton-nya tetap Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Ugu. Bukan mengikuti hari Minggu (Redite) Wage Wuku Wayang. Kalau salah menentukan pergantian hari karena terpengaruh tahun Masehi, dan anak itu ditetapkan weton Minggu Wage Wuku Wayang, maka anak itu harus dibuatkan upacara “pengelukatan wayang” dengan runtutan penubahan Wayang Sapu Leger. Padahal seharusnya itu tak terjadi. Bagaimana kalau terlanjur salah weton? Ini sering terjadi 36
dan umumnya kalau keluarganya menyadari kesalahan itu, pada saat weton-nya diadakan “perubahan weton”. Dan ini banyak dilakukan, upacaranya juga tidak jelimet, hanya menambah beberapa sesajen. Masalah hari ulang tahun, tentu mengikuti tahun Masehi, karena ulang tahun tidak berdasarkan wariga (tak memakai hari dan wuku), tetapi memakai tanggal. Kalau anak itu lahir seperti contoh di atas, ulang tahunnya tetap saja 9 Februari, karena pergantian Tahun Masehi adalah pukul 00.00 tengah malam. Pergantian hari itu berbeda-beda menurut kalender. Pergantian hari Tahun Masehi pada saat tengah malam, pukul 00.00. Sedang Tahun Hijrah yang digunakan umat Islam (dan sekarang diikuiti pula oleh Tahun Jawa), pergantian harinya dimulai magrib pada hari tersebut. Jadi, malam hari ini setelah magrib adalah milik hari esoknya. Karena itu umat Islam, misalnya, menyebut “malam Jumat” itu adalah hari Kamis malam yang biasa dikenal di Bali. Semoga tidak ada lagi yang salah menentukan weton anaknya jika lahir menjelang dini hari.
37
Sembilan Bentuk Bhakti Kepada Tuhan Sravanam kirtanam visnoh smaranam padasevanam arcanam vandanam dasyam sakhyam atma nivedanam. (Bhagavata Purana VII.5.23)
S
LOKA Bhagavata Purana ini menjelaskan tentang bentuk atau sifat bhakti kepada Wisnu yang pada hakekatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ke sembilan jenis bhakti ini atau Navalaksanabhakti (sembilan laksana berbhakti) membedakan masing-masing jenisnya, tetapi perbedaan itu sangatlah tipis. Apa uraian dari ke sembilan bentuk bhakti itu? Yang pertama: sravanam. Berbhakti dan mengetahui keagungan Tuhan dengan membaca dan mendengarkan pembacaan kitab-kitab suci. Kita bisa melaksanakan bhakti dengan hanya membaca atau mendengarkan orang membaca. Hal ini sudah dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali sejak dulu kala. Acara pesantian yang berkembang bahkan sampai menular pada siaran radio dan televisi menjadi bukti bagaimana bentuk bhakti ini sudah dilaksanakan. Tentulah diharapkan tidak sekedar menonton dengan pasif, simak apa yang dibaca dan resapi bagaimana pesan-pesan bacaan yang diulas saat itu. Yang kedua: kirtanam. Mengucapkan atau menyanyikan 38
nama-nama Tuhan Yang Maha Esa. Di sini kita diminta untuk aktif, tak lagi menjadi pendengar. Banyak orang menyebut kirtanam ini hanya dilakukan oleh kelompok sampradaya. Tentu saja tidak. Ikut menembangkan kidung wargasari tatkala ada piodalan berarti juga telah melakukan kirtanam. Berdoa setiap hari juga telah berbhakti lewat kirtanam. Yang ketiga: smaranam. Mengingat nama Tuhan dan bermeditasi memuja Beliau. Ini pun telah banyak dilakukan oleh umat. Melaksanakan Panca Sembah usai persembahyangan adalah bentuk lain dari smaranam. Tentu saja sangat diharapkan umat rajin melakukan meditasi, misalnya, selesai melaksanakan Trisandhya. Meditasi itu tidak harus berlama-lama. Lima menit sudah cukup. Yang keempat: pada sevanam. Memberi pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa termasuk melayani makhluk ciptaan-Nya. Barangkali di sini belum banyak dilakukan oleh umat Hindu di Bali, karena selama ini pelaksanaan yadnya lebih banyak dilakukan secara vertikal, belum horisontal. Melaksanakan Manusa Yadnya, misalnya, selalu diartikan sebagai ritual untuk seseorang di lingkungan keluarga, dari otonan, potong gigit, kawin dan berbagai runtutannta. Padahal memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan pertolongan, misalnya, santunan ke rumah panti asuhan adalah bentuk Manusa Yadnya juga. Yang kelima: arcanam. Memuja keagungan Tuhan lewat sarana arca (pratima) dengan mempersembahkan bunga, buahbuahan dan sebagainya. Ini tak perlu penjelasan lagi, karena masyarakat Hindu di Bali sudah sangat akrab dengan bentuk bhakti ini. Malah sering berlebihan menghaturkan buah dan jajanan pada saat piodalan sehingga prasadam (surudan) tak habis dimakan lalu basi dan diberikan babi. Yang keenam: vandanam. Sujud dalam kebhaktian itu sendiri untuk memuja Tuhan. Kadang ini sangat diremehkan oleh umat, karena sujud itu bisa saja tanpa sarana apa pun. Umat sering 39
berpikir, tidak enak mendatangi tempat-tempat suci tanpa membawa sarana apapun. Padahal dengan sujud di depan arca atau patung yang melambangkan stana Tuhan, itu sudah merupakan bhakti. Di lereng Batukaru saat ini banyak berdiri patung besar, ada berupa Siwa, Laksmi, Ganesha dan sebagainya. Orang sudah banyak sujud di depan patung itu, memuja Tuhan dalam manifestasi istadewata yang ada. Yang kedelapan: sakhya. Memandang Tuhan sebagai sahabat sejati. Sebagai sahabat setiap saat kita ingat, setiap saat kita melantunkan doa-doa meski dalam hati. Sebelum bekerja kita ucapkan doa, sebelum makan kita juga berdoa dan seterusnya, seolah Tuhan selalu menyertai kita sebagai sahabat. Yang kesembilan: atmanivedanam. Ini adalah puncaknya, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Apa pun yang kita lakukan adalah untuk Tuhan. Tak ada sesuatu yang bergerak tanpa kehendakNya. Mati dan hidup ini adalah hak prerogatif Tuhan, kita tak tahu kapan kehidupan kita berakhir. Karena itu wajib untuk kita berbuat baik setiap saat dan selalu mengingat Tuhan karena kalau tiba-tiba nyawa kita dicabut, maka hanya kebaikan yang telah kita persembahkan. Kita tak mewarisi karma buruk yang akan menghukum kita di kehidupan nanti. Mari kita hayati seloka suci Bhagavata Purana ini.
40
Kenapa Pemburu Masuk Sorga
M
ALAM Siwa Ratri, malam pemujaan Siwa, sudah berlangsung tiga hari lalu. Tapi masih juga ada pertanyaan lewat media sosial, kenapa Lubdhaka seorang pemburu bisa masuk sorga. Bukankah pemburu itu membunuh binatang, tergolong ahimsa? Lalu, hanya karena bergadang semalaman, dia mendapat anugrah dari Dewa Siwa untuk masuk sorga. Kenapa pemburu mudah mendapatkan sorga? Nah, begitulah kalau kekawin tidak dikupas. Mpu Tanakung menggubah ajaran pemujaan Siwa di dalam Siwa Purana dan Skanda Purana menjadi Kekawin Siwaratri Kalpa. Tokoh utama dalam karya Mpu Tanakung ini bernama Lubdhaka. Kata Lubdhaka dalam bahasa Sansekerta berarti pemburu. Dalam kamus Sanskerta-Indonesia susunan Drs. I Made Surada, MA, disebutkan arti kata lubdhaka sebagai: pemburu; berpikir secara bebas. Di India, sumber Siwaratri tentu saja bukan karya Mpu Tanakung. Di sana banyak ada karya sastra yang mengambil inti sari dari Siwa Purana, tetapi nama tokoh itu bukan Lubdhaka. Namun kegiatan sehari-hari sang tokoh tetap pemburu. Memang, teknik belajar agama yang diterapkan para ahli agama Hindu di masa lalu adalah belajar lewat sastra berkisah, apakah itu tembang atau prosa. Kita sering diberitahu, kalau sulit mem41
pelajari Weda, baca saja dulu Ithiasa seperti Ramayana atau Mahabharata. Demikianlah, Mpu Tanakung dalam Kekawin Siwartri Kalpa menyebutkan Lubdhaka seorang pemburu. Tetapi karena bentuknya kekawin, ini harus dikupas habis. Istilah di pesantian saat ini harus ada yang “mencarikan arti di balik bacaan”, dalam bahasa Bali disebut ada yang “menegesin”. Lubdhaka bukan berburu binatang. Ia simbul dari berburu kebajikan, berburu ilmu pengetahuan, berburu harta kekayaan dan sebagainya. Namun, setiap saat seorang “pemburu” haruslah istirahat untuk merenungi apakah berburu di jalan kebenaran atau di jalan dharma. Istirahat sambil merenungkan perjalanan itu dilakukan pada malam yang tergelap setiap bulan, yakni pada pengelong 14 atau purwani Tilem. Di India, setiap purwani Tilem ada Siwa Ratri, sementara purwani Tilem Sasih kepitu (di India: Maghamasa) disebut Mahasiwaratri. Nah, di Indonesia, khususnya Bali, Mahasiwaratri itu disebut Siwaratri karena hanya dirayakan setahun sekali. Pada Siwaratri atau pemujaan Dewa Siwa (hakekatnya adalah memuja Tuhan) seseorang harus mempertanyakan, apakah perjalanan “berburu” ini ada yang salah. Berburu kekayaan apakah semuanya di jalan yang benar, jangan-jangan ada yang menjaarah harta orang lain, ada hasil curian, atau korupsi. Berburu ilmu, apakah sudah diterapkan dengan benar. Jangan-jangan ahli meracik bom tetapi meledakkan bom di tempat umum untuk membunuh orang tak berdosa. Begitulah, semuanya “dilaporkan” kepada Siwa sambil memuja Beliau memohon bimbingan dan penganugerahan. Orang-orang yang bisa seperti Lubdhaka itu, memuja Tuhan pada hari yang baik dengan pengendalian diri (puasa, monobrata dan jagra) adalah orang-orang yang tulus dan berkarma baik. Orang seperti inilah yang bisa masuk sorga. Selama ini ada yang salah kaprah mengira Siwaratri itu adalah “malam peleburan dosa”. Itu tak benar karena dosa tak bisa dile42
bur. Dosa hanya bisa dikurangi kadarnya dengan memperbaiki karma, dan hanya karma baik yang bisa “membungkus dosa” sehingga kelihatannya menjadi lebur. Kesalah-kaprahan ini akibat adanya salah kajian terhadap Mpu Tanakung. Budayawan Jawa tersohor Raden Mas Ngabehi Purbacaraka menyebutkan Mpu Tanakung membuat Kekawin Siwaratri Kalpa hanya untuk memuji Ken Arok bahwa dosa itu bias ditebus dengan memuja Siwa. Seperti diketahui Ken Arok menjadi Raja Singasari setelah membunuh Tunggul Ametung. Kajian ini dikoreksi oleh dua sejarawan terkenal, PJ Zoutmolder dan A Teeuw, yang membantah Mpu Tanakung lahir di zaman Ken Arok. Mpu Tanakung menulis Kekawin Siwaratri Kalpa di zaman Majapahit dengan mengadopsi Siwa Purana ke budaya lokal. Penelitian dua sejarawan ini baru dipublikasikan tahun 1969 lewat buku Siwaratri Kalpa of Mpu Tanakung. Jadi pantas orang Bali banyak yang salah kaprah mengikuti Purbacaraka, karena Siwaratri di Bali dipopulerkan 1966 setelah peristiwa G 30 S. Sekarang Kekawin Siwaratri Kalpa mudah dicari, semoga tak ada lagi yang menyebut “dosa bisa dilebur” hanya dengan bergadang semalam.
43
Saraswati Sakti Dewa Brahma Om Brahma putri maha dewi, Brahman ya Brahma nandini, Saraswati samjnayani, prayana ya Saraswati.
I
NI salah satu sloka dari sekian banyak sloka untuk memuja Dewi Saraswati. Artinya lebih kurang: “Tuhan dalam manifestasi sebagai putri Dewa Brahma, seorang dewi yang agung, yang menyesuaikan diri dengan Brahman, yang menggembirakan Dewa Brahma. Dewi Saraswati yang penuh dengan kebijaksanaan.” Putri dalam sloka ini dimaksudkan sebagai “sakti”. Dewi Saraswati adalah “sakti” dari Dewa Brahma, Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Pencipta. “Sakti” dalam bahasa yang populer di Bali sering disebutkan sebagai “istri”. Sesungguhnya bukan itu arti yang tepat. “Sakti” lebih sebagai pendamping, yang menambah kesempurnaan, yang sesuai dengan tujuan, yang melengkapi. Mari kita bahas Hari Raya Saraswati dari sudut kekuatan “sakti” itu, karena enam bulan lalu kita sudah membahas dari sudut apa yang harus dilakukan pada Hari Saraswati dalam hubungannya dengan memuliakan ilmu pengetahuan. Setiap dewa punya “sakti” dan pasangan ini seiring dalam 44
fungsinya. Dewa Wisnu punya “sakti” Dewi Sri. Sebagai pemelihara alam maka tugas Dewi Sri adalah memberi kehidupan, memberi amertha. Bagi para petani Dewi Sri sering dilambangkan sebagai pengusaha hasil panen di sawah seperti padi dan sebagainya. Karena itu, dulu ketika panen padi masih dalam bentuk padi yang disimpan di lumbung, Dewi Sri dipuja sampai ke lumbung dengan istilah “ngadegang Dwi Sri”. Begitu pula kalau kita merombak (bahasa Bali: ngeruak) sawah untuk dijadikan perumahan, maka ada istilah “gingsirang Dewi Sri” yang artinya “pindahkan Dewi Sri” dengan ritual “mecaru ngeruak”. Demikian pula dewa-dewa yang lain, mereka punya pasangan “sakti” yang seirama dalam fungsi dan kedudukannya dalam menjaga alam semesta ini. Iswara dengan “sakti”-nya Dewi Uma, Mahadewa dengan “sakti”-nya Dewi Saci, Dewa Maheswara dengan “sakti”-nya Dewi Laksmi dan seterusnya. Ibarat kehidupan di dunia ini, berdua menjalin kebersamaan dalam tugas yang telah dimanifestasikan oleh kekuatan Brahman, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kembali kepada pasangan Dewa Brahma dan Dewi Saraswati. Brahma adalah Sang Pencipta. Saraswati pun menjadi simbol bahwa apapun yang diciptakan Dewa Brahma semuanya terjadi karena adanya ilmu pengetahuan. Tak mungkin penciptaan itu terjadi tanpa adanya ilmu. Karena itulah diwajibkan bagi umat untuk mencari ilmu setinggi-tingginya. Yang tertinggi dalam Hindu disimbolkan dengan angka sembilan, karena tak ada lagi angka lebih tinggi dari itu. Angka sepuluh adalah gabungan dari angka satu dan angka nol, demikian seterusnya. Nah dalam kedudukan seperti itu Dewa Brahma dan Dewi Saraswati distanakan di selatan (daksina) dengan urip (angka kerohanian) sembilan. Bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa menjadi alat penciptaan? Simbol-simbol yang ada pada Dewi Saraswati menguraikan hal itu. Dewi Saraswati bertangan empat. Ada yang memegang 45
kecapi, ada yang memegang aksamala (japamala) atau tasbih atau orang sering menyebutnya genitri. Ada tangan yang memegang damaru atau semacam kendang di Bali, dan tangan satu lagi memegang buku. Ada merak dan angsa di sampingnya. Ilmu tak habis-habisnya dipelajari seperti japamala yang terus bisa diulang-ulang. Angsa adalah simbol makhluk yang sangat bijaksana. Angsa bisa mencari makanan di lumpur, tetapi tak pernah ada lumpur yang masuk ke tubuhnya. Makanan itu disaring, lumpurnya dibuang secara otomatis bagaikan ada mesin pemisah, makanan masuk ke perut untuk sumber kehidupan. Itu adalah simbol bagaimana ilmu itu dicari dan kemudian diamalkan. Ilmu yang membuat keonaran di masyarakat haruslah dibuang, ilmu yang membuat kesejahtraan rakyat yang terus dipelihara. Hanya orang yang berilmu bisa membuat senjata yang canggih, seperti peluru kendali yang dilontarkan dari jauh tetapi tepat mengena sasaran. Tetapi kalau itu untuk memusnahkan makhluk ciptaan Tuhan, apa ada gunanya ilmu itu. Ilmu bisa diperoleh dari buku, tangan Saraswati memegang buku dimaksudkan agar setiap saat orang membaca buku. Buku menjadi gerbang dari datangnya ilmu pengetahuan dan bekal keberhasilan orang. Mari banyak membaca buku di Hari Saraswati ini.
46
Tumpek Landep Hari Wisuda
Y
ANG menggembirakan belakangan ini adalah generasi muda Hindu sudah demikian kritis, termasuk dalam hal menjalankan ritual keagamaan. Ajaran Hindu baik langsung dari Weda maupun Purana dan turunannya, sudah mudah diakses lewat internet. Dan itu yang membuat segala urusan ritual Hindu selalu dikaitkan dengan kitab suci Weda. Ada puluhan website mengenai Hindu yang tersebar di berbagai negara yang mengupas Weda. Ada pula puluhan blog yang dibuat oleh orang-orang Hindu yang mengupas berbagai masalah agama. Salah satu hal yang dikritisi, misalnya, tentang Tumpek Landep. Pertanyaannya, apakah kebiasaan orang Bali memberi sesajen kepada peralatan dari besi, termasuk mobil, ada pijakannya dalam kitab Weda? Kelompok ini misalnya tidak bisa menerima ada seorang pemangku yang memuja lengkap dengan peralatan genta (bajra) di depan sebuah truck yang sudah diselimuti kain. Apalagi itu dilakukan di pinggir jalan yang tak ada satu pun pelinggih (sanggah). Memang, Tuhan ada di mana-mana, tetapi dengan cara seperti itu seolah-olah yang dipuja adalah truck yang sehari-hari memuat pasir. Tentu saja saya sependapat dengan itu. Sebaiknya pemangku tetap memuja di merajan atau pura keluarga. Tirta dan beberapa 47
banten ayaban (termasuk pembersihan) yang dibawa ke mobil untuk dipercikkan. Yang dipuja adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Hyang Pasupati dengan tujuan menyampaikan rasa syukur bahwa segala benda yang terbuat dari besi sudah memberikan manfaat pada kehidupan. Memang, pemangku atau siapa pun yang memimpin upacara di depan moncong truck, pastilah memuja Tuhan dan bukan menuhankan mobil, tetapi tempatnya yang salah kaprah. Namun persoalan dalam menjalankan ritual adalah rasa. Sejauh mana perasaan kita sreg serta ada rasa nikmat dan rasa senang untuk menjalaninya. Untuk menciptakan rasa senang, nikmat, sreg yang disertai dengan ketulusan, akhirnya memunculkan budaya tersendiri. Orang-orang lalu menghaturkan sesajen persis di badan mobil. Tapi apakah salah memberikan sesajen di mobil pada Tumpek Landep? Dalam riual, Hindu tak pernah mengajarkan ini salah dan itu salah. Tuhan maha pengasih, bukan maha menghukum. Minimal, mobil itu jadi bersih karena sebelum diberi sesajen pastilah dicuci dulu. Keris dan tombak, kalau tidak diberi sesajen, jangan-jangan sudah karatan, penuh sarang laba-laba. Adapun etikanya dan juga esensinya, itu yang kita gali terus-menerus karena besar kemungkinan tradisi yang kita warisi itu masih menyimpan banyak misteri, lantaran ada jarak yang panjang dan terputus catatan sejarahnya. Tumpek Landep adalah ritual untuk rasa syukur kita mempunyai segala peralatan yang terbuat dari besi. Dulu, ketika masyarakat kita masih agraris murni, besi yang dimaksudkan itu lebih pada alat kerja dan alat perang. Misalnya, keris, tombak, pahat dan sejenisnya. Karena itu salah satu sesajenn terpenting pada ritual ini adalah sesayut jayeng perang. Namun, rangkaian Tumpek Landep berawal pada Hari Saraswati, turunnya ilmu pengetahuan. Setelah ilmu itu kita terima, kita melakukan pembersihan rohani agar kita bisa menyerap 48
ilmu itu dengan baik, pada keesokan harinya, yang disebut banyu pinaruh. Senin esoknya, Somaribek, adalah proses pembelajaran. Selasa, hari Sabuhmas adalah hari untuk menghimpun (menabung) semua ilmu yang diperoleh. Kalau ilmu pengetahuan sudah cukup dihimpun, maka resapi ilmu itu untuk benteng kehidupan pada hari Pagerwesi. Nah, hari-hari selanjutnya adalah memproses ilmu yang diperoleh. Pada Tumpek Landep orang yang telah memperoleh ilmu melakukan pewintenan alias wisuda untuk bahasa moderen. Kita memohon kepada Hyang Pasupati, supaya kita punya ketajaman pikiran bagaikan keris dan tombak. Jadi, Tumpek Landep adalah hari wisuda. Keris, tombak, gamelan dan kemudian merembet ke semua peralatan dari besi, adalah simbol-simbol untuk menajamkan ilmu yang sekaligus jadi peralatan kerja. Bukan benda itu yang penting untuk diupacarai, tetapi diri kitalah yang diupacarai. Jangan dibalik, mobilnya diupacarai lebih dulu, yang punya mobil malah dilupakan. Tumpek Landep bukan “otonan mobil” tetapi pemujaan pada Hyang Pasupati untuk mengasah ketajaman pikiran kita.
49
Tumpek Kandang Memuliakan Ternak
H
ARI ini, Sabtu Kliwon Wuku Uye, umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Kandang, hari untuk memuliakan hewan peliharaan terutama yang dibuatkan kandang. Karena itulah namanya lebih mudah disebut Tumpek Kandang, meski banyak juga yang menyebut Tumpek Uye. Sering kali juga disebut otonan wewalungan. Disebut otonan karena sesajen yang dibuat mirip banten otonan orang, padahal hewan-hewan itu tak pernah dicatat kapan lahirnya. Ada pun wewalungan artinya binatang. Dalam sistem wariga Bali ada enam jenis tumpek, yakni Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Krulut, Tumpek Uye dan Tumpeng Wayang. Semuanya punya ciri khas masing-masing. Namun semuanya bersinggungan dengan upacara selamatan (memuliakan) alam lingkungan, sebagai tradisi dari budaya agraris. Umat Hindu di Bali memang tak bisa dilepaskan dari alam lingkungan, sehingga semua persembahan itu ditujukan untuk keharmonisan lingkungan. Sesungguhnya yang dipuja bukan obyek yang diberi sesajen, tetapi tetap memuja Tuhan Yang Maha Esa. Sloka Yajurveda XVI. 48 menyebutkan: “Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang, dan semua makhluk hidup berbahagia.” Dalam puja-puja para pendeta, juga 50
dimasukkan dalam Puja Trisandya, ada kalimat yang memyebutkan: sarva prani hitan karah. Artinya semoga semua makhluk (ciptaan Hyang Widhi) berbahagia. Lontar Sundarigama, sebuah lontar yang banyak memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Bali, jelas menyebutkan bahwa Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang, baik binatang yang disiapkan untuk disembelih maupun binatang yang dijadikan “mitra kerja” para petani – meski bisa juga disembelih kalau diperlukan. Binatang yang disiapkan untuk disembelih, misalnya, babi, ayam, itik. Binatang ini dipelihara semata-mata untuk disembelih sebagai yadnya dalam berbagai upacara, baik secara langsung maupun tidak. Hewan untuk “mitra kerja” misalnya sapi dan kerbau untuk membantu petani membajak sawah, kuda untuk menarik dokar atau mengangkut barang – meski sekarang ini sudah berkurang. Jika mengacu kepada lontar yang ada termasuk Sundarigama, jenis sesajen atau banten untuk binatang itu berbeda, yang mana hewan untuk membantu pekerjaan, yang mana hewan untuk disembelih. Lalu dibedakan lagi antara jenis unggas (ayam, itik) dan bukan unggas. Namun perbedaan itu tidaklah banyak dan sama sekali tak penting. Hanya beda tumpeng, sesayut dan sebagainya. Sekarang ini umat Hindu bahkan tidak lagi repot-tepot untuk membedakan sesajen itu. Karena pemahaman sudah mulai baik di masyarakat, tidak lagi disebut “memuja binatang”, namun tetap memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai “Sang Pengembala” yang sering disebut Sang Rare Angon. Tujuannya adalah keharmonisan hidup antar semua mahkluk, bukan saja mahkluk hidup bergerak seperti binatang, juga termasuk tumbuh-tumbuhan. Keselarasan dan keharmonisan hidup ini adalah inti dari persembahan. Muncul pertanyaan, kalau keharmonisan yang dijaga, kenapa hewan-hewan itu pada waktunya bisa dibunuh? Kok tega sekali manusia membunuh hewan yang dipeliharanya dengan kasih, 51
setiap Tumpek Kandang dimuliakan dengan sesajen, apakah tidak berdosa? Maka, jawabannya adalah kembali lagi kepada hakekat persembahan itu sendiri. Manusia “mengorbankan” hewan justru dengan maksud agar roh hewan itu menitis menjadi makhluk yang lebih tinggi derajatnya. Karena manusia sayang kepada hewan, maka hewan pun dijadikan “persembahan” agar kelak hidup dalam “status rohani” lebih tinggi. Itu sebabnya umat Hindu sebelum memotong hewan untuk korban, selalu memercikkan air suci (tirtha) yang disiapkan oleh pemangku atau sulinggih. Bahkan dalam upacara caru yang besar seperti tawur, sebelum hewan dipotong ada upacara yang disebut mepepada, semua wewalungan (hewan yang dijadikan korban) diberikan “penyucian” dengan puja-puja pendeta. Tak boleh hewan yang sudah mati dijadikan “persembahan” karena itu artinya mempersembahkan bangkai. Demikian inti Tumpek Kandang, mari kita memuliakan hewan dengan memohon keharmonisan kepada Hyang Widhi.
52
Sapuh Leger dengan Menyucikan Diri
S
ETIAP enam bulan sekali atau 210 hari, orang Bali yang beragama Hindu berjumpa dengan Tumpek Wayang. Tumpek adalah Saniscara (Sabtu) Kliwon dalam wariga Bali. Saniscara adalah hari terakhir dalam Sapta Wara. Kliwon juga hitungan terakhir dalam Panca Wara. Dan Tumpek Wayang pun menjadi tumpek yang terakhir dalam wariga Bali. Yang pertama Tumpek Landep menyusul Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Krulut, Tumpek Uye dan terakhir Tumpek Wayang. Jika dikaitkan dengan hitungan Triwara, ini pun hitungan terakhir, yakni Kajeng. Jadinya hari ini adalah hari istimewa, hari yang penuh berkah dan keberuntungan. Tentu setiap hari yang baik dan penuh keberuntungan dilewati dengan penyucian diri atau di Bali sering disebut dengan pengelukatan atau pebayuhan. Bahasa nasional adalah ruwatan. Dan ruwatan khusus hari ini disebut Sapuh Leger. Sarananya memakai wayang kulit karena ada cerita yang perlu dijelaskan dengan penggambaran wayang itu. Tapi pertunjukan itu sendiri bukanlah keharusan, sebagaimana di dalam ajaran Hindu tak ada keharusan mutlak untuk sebuah ritual, harus begini harus begitu. Kita jangan terjebak pada masa lalu seolah-olah kalau tak melakukan ritual tertentu dianggap 53
salah, seolah kita menempatkan Tuhan itu sebagai Sang Maha Penghukum. Tuhan Maha Pengasih, kalau kita mampu melakukan ritual tertentu mari kila lakukan. Kalau tidak, ya, kita tetap memohon anugerah-Nya. Acara penyucian diri bagi mereka yang lahir pada Tumpek Wayang berpedoman pada lontar Sapuh Leger. Di situlah sebuah kisah diuraikan tentang pengembaraan Dewa Kala, putra Dewa Siwa. Dewa Kala diberi izin oleh Dewa Siwa untuk mencemarkan (di Bali lantas disebut: dimakan atau dimangsa) siapa pun yang lahir pada hari itu. Dewa Kala ketemu calon mangsanya, Sang Kumara (yang arti sesungguhnya seorang anak kecil). Tapi ada lontar lain yang menyebut Panca Kumara, ini bukan soal yang penting benar tentang jumlah. Dikejarlah Sang Kumara ke mana pun perginya. Jika kisah ini dipentaskan dalam suatu pertunjukan, maka imajinasi sang dalang pun bisa bebas. Misalnya, anak itu bersembunyi di sebuah rumah, Dewa Kala dan pembantunya menutup kedua pintu rumah. Eh, Sang Kumara berkelit karena ada pintu ketiga, maka Dewa Kala memberi kutukan: rumah yang pintu keluarnya lebih dari dua tidak boleh. Sang Kumara bersembunyi di tumpukan sampah, dan Dewa Kala memberi kutukan: jangan menimbun sampah di pekarangan rumah. Dan seterusnya, namanya imajinasi sang dalang, di masa lalu ini adalah nasehat yang berguna. Singkat cerita, setelah kejar-kejaran itu, Sang Kumara akhirnya melihat ada pementasan wayang kulit oleh Dalang Samirana. Sang Kumara bersembunyi di sana, oleh Ki Dalang Samirana yang juga diberi gelar Mpu Leger, anak ini disembunyikan dulu di dalam tabung gender. Pementasan wayang terus berlanjut dan Dewa Kala pun merasakan aroma religius dari pentas sakral itu. Dewa Kala hilang sifat keraksasaannya (atau sifat ke-bhutaannya) untuk “memangsa” orang, Kala kembali (somya) ke sifat dewa, karena sesungguhnya dalam ritual Hindu adalah: dewa ya, 54
bhuta ya. Semua mahkluk dalam satu wujud namun sifat yang membedakan dalam kurun waktu tertentu. Sifat keraksasan (bhuta) Dewa Kala terjadi karena lahir dari hubungan intim Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam status “salah kama”. Salah dalam menentukan hari berhubungan intim, karena itu dalam susastra Hindu ada hari pantang melakukan hubungan suami istri. Akhirnya Sang Kumara pun selamat dari kejaran Dewa Kala dan ikut pula dalam aroma nikmatnya ritual pentas wayang dari Mpu Leger atau Dalang Samirana itu. Semua ini adalah simbol, semuanya harus dikupas dengan penafsiran yang bisa saja dipengaruhi oleh waktu dan situasi. Tumpek Wayang adalah hari peralihan. Ini disimbolkan dengan hari yang bertemunya wara terakhir. Menjadi manusia haruslah selalu sadar pada saat peralihan itu, wajib untuk menyucikan dirinya, agar bisa menggunakan waktu (kala) dengan sebaik-baiknya. Orang yang selalu dikejar oleh waktu adalah orang yang tak bisa konsentrasi dalam melakukan pekerjaan. Manusialah yang mengolah waktu dan bukan waktu yang memperbudak manusia. Kala (waktu) harus dijinakkan.
55
Sisi Lain dari Tumpek Wayang
S
ABTU Kliwon wuku Wayang lebih populer disebut Tumpek Wayang. Di banyak tempat dilakukan ruwatan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara massal dengan menggelar wayang kulit Sapuh Leger. Anak-anak yang lahir di wuku Wayang haruslah diruwat dan Sabtu ini adalah puncaknya. Hal seperti ini sudah banyak diketahui masyarakat. Dasar sastra yang dipakai adalah lontar Sapuh Leger. Menurut lontar itu, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak yang dilahirkan pada wuku wayang. Dan masyarakat Bali yang beragama Hindu percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wuku Wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara sapuh leger serta menggelar wayang. Memang jika ruwatan (melukat) di lakukan secara sederhana boleh saja tak sampai mementaskan wayang kulit, tetapi tetap dibutuhkan tirtha dari seorang dalang. Tentang ruwatan dan kisah Bethara Kala mengejar anak yang mau dimangsanya tak perlu lagi diuraikan. Lebih baik saat ini kita melihat sisi-sisi lain dari ritual Tumpek Wayang. Apa misalnya? Tumpek Wayang juga bermakna juga sebagai ‘’hari kesenian’’. Pada hari ini juga ada ritual semacam “otonan” untuk berbagai jenis kesenian selain wayang, seperti barong, rangda, topeng. 56
Juga ada ritual untuk berbagai jenis gamelan, tak hanya gender yang dipakai dalam pementasan wayang. Dalam hal ini yang dipuja adalah Dewa Iswara.. Sisi lain berikutnya mari kita melihat bagaimana Tumpek Wayang dimaknai di masyarakat Jawa yang tidak peduli apakah mereka penganut Hindu atau penganut agama lain tetapi masih dalam tradisi yang disebut Kejawen. Seperti diketahui wayang kulit Jawa tetap berkembang dengan baik, pementasannya bahkan masih bersifat tradisional dengan pergelaran semalam suntuk. Beda dengan di Bali yang pementasan wayang paling lama tiga jam atau kurang. Ruwatan anak di Jawa juga berlangsung. Tetapi waktu ruwatan ini tak selalu pada wuku Wayang, bisa di wuku yang lainnya. Tentu saja wuku-wuku itu sama dengan wuku Bali karena sumbernya memang satu. Cerita dalam adegan wayang pun hampir mirip dengan cerita Bethara Kala di Bali yang memangsa anak yang lahir pada wuku tertentu. Perbedaan yang terjadi tak mengurangi arti dari makna ruwatan itu. Dikisahkan bahwa Bethara Guru dan istrinya, Dewi Uma, terbang menjelajah dunia mengendarai Lembu Andini. Dalam perjalanannya itu Bethara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang ke kahyangan Batara Guru kaget karena istinya hamil. Bethara Guru justru memarahi Dewi Uma. Bethara Guru memaki dan menyumpah istrinya sebagai bersifat Butha (Butho di Jawa). Selesai menyumpah itu ternyata Dewi Uma berubah menjadi raksasa. Bethara Guru kemudian mengusir Dewi Uma yang sudah berubah wujud menjadi raksasa. Tadinya mereka berada di kahyangan Jongring Salaka kini Dewi Uma diusir untuk tinggal di kahyangan Gondomayit. Nah, dalam wujud raksasa di kahyangan Gondomayit, Dewi Uma berubah sebutan menjadi Bethari Durga. 57
Di sana anaknya lahir dan diberi nama Bethara Kala. Bethara Guru kemudian mengakui anaknya ini supaya ada ketenangan di dalam kahyangan. Cuma saja ketika Bethara Kala memohon pada ayahnya apa saja yang boleh dia makan, Bethara Guru menentukan makanan itu. Yakni: 1. Keluarga yang mempunyai anak tunggal yang disebut anak ontang-anting. 2. Keluarga yang mempunyai anak lima tetapi semuanya lelaki atau semuanya perempuan. 3. Keluarga punya anak dua, laki dan perempuan yang disebut kedono kedini. Nah, dalam masyarakat Jawa yang masih percaya pada warisan leluhur itu setiap keluarga yang punya anak dengan ciri-ciri seperti diatas akan jadi mangsa Bethara Kala. Karena itulah diadakan ruwatan dengan pergelaran wayang kulit. Lakon ruwatan ini disebut lakon Murwakala. Tokoh wayang yang sering digunakan sebagai simbol adalah Panca Pandawa yang ternyata kemudian tak bisa dimakan oleh Bethara Kala karena dilindungi oleh Bethara Wisnu yang diambil dari tokoh wayang Krishna. Cerita boleh beda tetapi inti ruwatan itu sejatinya sama saja, pembersihan rohani seorang anak yang menggunakan unsur budaya luhur bangsa yakni wayang kulit.
58
Kenapa Ngurek Bisa Luka
N
GUREK adalah tradisi yang sudah tua Bali. Menusuk diri dengan keris atau tombak ini umum ada pada saat piodalan di desa-desa pegunungan. Orang yang ngurek itu pasti adalah orang yang trance atau disebut kerauhan. Orang yang tidak kerauhan tak akan mau atau tak akan dibiarkan ikut ngurek. Apakah mereka tidak sadar sama sekali? Tentu mereka sadar ketika meminta keris, sadar ketika berjalan, dan pada saat ngurek pun sadar. Cuma ada sesuatu yang di luar kontrol, kenapa melakukan hal itu, kekuatan apa yang mendorongnya. Ini yang sulit diterangkan. Kenapa ada ngurek? Ngurek dalam kaitan piodalan di desa saya adalah pertanda turunnya Bethara-Bethari menyaksikan ritual. Acara ini memang ditunggu-tunggu, apakah yadnya itu diterima dengan baik atau ada kekurangannya. Nah, Bethara rauh lewat dasaran atau juga disebut sutri. Ngurek ini semacam pembuktian bahwa dasaran itu benar kerauhan, bukan dibuatbuat. Kalau tidak ngurek, umat bisa tidak percaya, jangan-jangan pura-pura kerauhan. Tatkala remaja saya biasa ngurek setiap ada piodalan di desa. Setelah dewasa mulai berkurang karena saya bisa mengendalikan diri dengan melantunkan berbagai doa dalam hati. 59
Permohonan agar tidak kerauhan itu tak selalu mempan. Kadang saya masih bisa kerauhan ketika menarikan Topeng Sidakarya, terutama pada adegan “nunas tirtha” tatkala penabuh membunyikan gamelan keras yang di kampung saya disebut “gamelan mekale”. Saya pernah mengadakan penelitian kecil-kecilan soal ngurek untuk kepentingan menulis buku. Banyak pura saya datangi yang ada tradisi ngurek, termasuk juga tradisi ngurek dalam kesenian. Kesimpulan sederhana yang saya dapatkan adalah semua pengurek itu dalam posisi trance, tetapi mereka bisa mengendalikan diri dalam keadaan terbatas, misalnya, dalam melihat suasana sekitarnya. Kalau tidak semua orang bisa ditabrak. Juga bisa mengendalikan diri dalam menusuk dada dengan keris. Dalam kesenian yang memakai rangda yang oleh masyarakat Bali disebut rangda metebekan (rangda ditusuk dengan keris oleh orang lain), pemain rangda itu harus kerauhan (trance) lebih dulu. Baru kemudian para penusuk (disebut renying) yang trance. Jadi kedua-duanya kerauhan. Tak mungkin renying kerauhan tetapi pemain rangda tidak, bisa-bisa pemain rangda itu lari ketakutan. Lagi pula yang mengundang renying itu adalah rangda, logikanya tak mungkin renying datang tanpa diundang. Itu sebabnya, dalam tari barong untuk wisatawan di sekitar Singapadu, rangda tidak ditusuk oleh renying karena memang pemain rangda tidak trance. Pemain yang berperan sebagai renying itu awalnya juga belum trance, boleh disebutkan mereka acting dulu di pentas dengan mengacung-acungkan keris. Ketika rangda selesai menari, pemangku memercikkan tirtha kepada pemain yang membawa keris, terjadilah “tontonan ngurek” karena pada saat itu trance terjadi. Kalau ada pemain yang saat itu tidak mau trance, ya, mereka minggir ke luar pentas. Contoh seperti ini sering terjadi dalam tari tradisi Bali, misalnya pada lakon-lakon calonarang atau pementasan yang memakai barong dan rangda. Tidak semua pemain yang diharapkan trance bisa 60
trance pada saat dibutuhkan. Karena itu ada julukan “sing nadi”, artinya gagal kerauhan. Apakah bisa ngurek dilakukan dengan pura-pura tanpa trance? Saya kira ini sangat riskan dan bisa mengundang celaka, apalagi motifnya untuk memamerkan kekebalan tubuh. Kecuali itu lelucon dengan keris dari kulit, bukan logam. Seorang dasaran tidak akan melakukan hal itu. Status keris yang dipakai ngurek pun harus suci secara ritual. Keris ini sebelum dipakai harus diberi “tirta penyucian” tergantung sesajen yang ada saat itu. Keris tak boleh jatuh ke tanah. Kalau keris itu jatuh ke tanah, apalagi sampai ujungnya menancap di tanah, keris itu harus disucikan lagi oleh pemangku setempat. Keris yang jatuh ke tanah tanpa disucikan bisa membuat celaka, pe-ngurek bisa luka. Apalagi untuk metebekan (artinya seseorang menusuk orang lain, misalnya, renying menusuk rangda) bisa berakibat fatal. Kalau ada kejadian fatal begini, orang terluka karena ngurek atau penari rangda bisa berdarah ditusuk keris renying, siapa yang salah? Ya, tentu para pendamping yang kerauhan itu.
61
Kenapa Ada yang Kerauhan
P
ADA tulisan yang lalu saya sudah menguraikan tentang tradisi kerauhan yang dikaitkan dengan atraksi ngurek – menusuk diri dengan keris. Sekarang kita berbicara soal kenapa ada orang yang kerauhan dan siapa yang rauh itu? Rauh adalah bahasa Bali halus yang berarti datang. Nah, siapa yang datang? Tradisi upacara piodalan di berbagai tempat di Bali, terutama sekali di desa-desa pegunungan yang masih tetap dilestarikan adalah acara yang disebut “nuwur bethara”. Mungkin ini sudah sangat berkurang di Bali Selatan, atau bahkan tidak lagi ada acara itu, karena umat yang datang ke pura menutup ritualnya dengan menghaturkan persembahyangan. Tidak demikian dengan di desa-desa. Namanya saja “nuwur bethara” artinya memohon kehadiran para bethara untuk menyaksikan persembahyangan. Tentu saja para bethara rauh lewat seorang sutri atau juga disebut dasaran atau tapakan. Menariknya, bethara yang turun lewat perantara itu kemudian dimintai “komentarnya” sehubungan dengan persembahyangan ini. Biasanya pertanyaan para pemangku yang pertama-tama adalah apakah persembahyangan ini bisa diterima dengan baik, atau terjadi beberapa penyimpangan sehingga ada yang harus diperbaiki 62
di kesempatan mendatang. Atau ada hal-hal penting yang ingin disampaikan para bethara. Setelah itu selesai lalu mohon doa restu lewat tirtha (air suci). Yang membuat acara ini menarik, selain semua yang kesurupan itu memulai atraksinya dengan “ngurek” bethara yang turun itu datang dengan “tingkah polah” yang bermacam-macam. Ada yang lucu, baik dengan gerak-gerakan, lewat tariannya, atau lelucon lewat suaranya. Ada yang keras beringas, mencari api untuk membakar dirinya, memukulkan tangannya di pohon, atau mengambil kelapa muda yang banyak disediakan dan dipukulkan ke kepalanya. Namun ada yang lembut dan selalu menguraikan pituturnya dengan bernyanyi. Ini biasanya yang perempuan. Ada juga yang gagu dan karena itu disebut Bethara Kolok. Tentu yang banyak berulah ini adalah para pengiringnya. Siapakah bethara itu? Tentu saja bukan para dewa atau yang diistilahkan dalam kitab-kitab Hindu Istadewata. Apalagi Tuhan itu sendiri. Bukan. Bethara adalah para leluhur orang Bali atau leluhur para pengempon pura yang sudah disucikan. Ini dalam kaitan bahwa umat Hindu selain memuja Tuhan (Hyang Widhi) dengan para dewa yang merupakan “sinar suci Tuhan”, juga ada pemujaan kepada leluhur. Para leluhur ini tentu dulunya adalah manusia biasa saja, sama dengan kita-kita ini. Namun, karena ilmu kerohaniannya tinggi dan mencapai moksa dalam kehidupannya, mereka sudah terbebas dari alur reinkarnasi. Mereka disucikan di sebuah pura yang bisa jadi dulu merupakan stana (rumah tinggal) beliau. Maka dikenallah nama-nama bethara seperti Bethara Batumadeg, Bethara Puncak Kedaton, Bethara Turus Gunung, Bethara Gunung Tengah dan banyak lagi, semuanya mempunyai “pelinggih” atau tempat suci tersebut. Ada yang sudah berupa pura, ada yang masih “bebaturan” (tumpukan batu namun ada tempat pemujaannya). Yang ingin saya sampaikan adalah umat Hindu di Bali harus terus-menerus diberi pengertian yang jelas, apa itu Bethara, 63
Dewa, dan Tuhan, sehingga tidak terjadi kerancuan. Persembahyangan di sebuah Pura – dan di mana saja — harus dijelaskan tahap-tahapnya, kapan memuja leluhur yang sudah menjadi Bethara itu, kapan memuja Istadewata (Dewa-Dewa) yang merupakan sinar sakti Hyang Widhi, dan kapan memuja Hyang Widhi (Tuhan). Sehingga jelas, yang rauh pada saat piodalan itu hanyalah bethara, yang dahulu kala adalah manusia biasa namun suci. Sedangkan dewa, yang hanya sinar suci Tuhan, tak mungkin rauh. Tak ada orang kesurupan dan menyebut Dewa Wisnu, Dewa Brahma dan sebagainya. Apalagi kerauhan Tuhan, itu jelas tak mungkin. Ajaran Hindu menyebutkan, kalau Tuhan “turun” ke bumi ini, maka perwujudan-Nya disebut Awatara, dan jumlahnya sudah ditetapkan menurut kitab suci. Tak mungkin Pan Kelor atau Gurun Kompyang kesurupan Hyang Widhi atau Dewa Wisnu di Pura Puseh.
64
Garuda Wisnu Adalah Sakral
A
DA seorang teman lama dari Jakarta yang mengundang saya untuk merayakan tahun baru di Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran. Karena saya menolak, teman saya ngotot dengan mengatakan bahwa acaranya ada pentas musik dan nyanyi yang meriah. “Justru karena ada pentas musik pop itu saya semakin tak tertarik. Garuda Wisnu itu bagi saya adalah sakral,” jawab saya. Memang, bagi pemeluk Hindu, Garuda Wisnu tidak sekedar nama burung, tetapi sesuatu yang sakral. Burung itu menjadi tunggangan (pelinggihan) Dewa Wisnu, karena itu disebut Garuda Wisnu. Orang Hindu tahu bagaimana menempatkan dan menghormati Garuda Wisnu itu. Tak mungkin patung Garuda Wisnu ditaruh di dapur, apalagi di kamar mandi. Dalam kitab-kitab Purana, garuda itu ada banyak. Ada yang moncongnya tajam, itu disebut Garuda Wilmana, kendaraan para raksasa. Ada garuda kakak beradik, Sempati dan Jatayu. Keduanya adalah garuda (artinya burung) yang menebarkan sifat cinta kasih, rela mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang mulia. Ini adalah simbol bagaimana makhluk ciptaan Tuhan itu berusaha meningkatkan status kehidupannya. Dari burung (garuda), lalu berkorban untuk suatu yadnya yang mulia, dan 65
pada kelahiran kelak akan menjadi makhluk Tuhan yang lebih tinggi statusnya. Dalam cerita Ramayana di Bali, baik dalam kekawin maupun pentas tari dan wayang kulit, yang ditonjolkan adalah peran Jatayu. Jatayu berusaha menyelamatkan Dewi Sita dari tangan Rahwana, tetapi kalah bertarung. Dan Jayatu yang sekarat kemudian ditemukan oleh Rama. Sebelum ajal, Jatayu memberitahu siapa yang melarikan Sita. Jatayu mencapai moksa berkat doa restu Rama. “Oh, Rama, engkaulah Dewa Wisnu,” begitu suara sayup Jatayu sebelum lenyap dari pandangan Rama dan Laksmana. (Ini versi India tentu saja. Kalau versi Bali, karena banyak disuguhkan dalam drama tari, Jatayu dipanah oleh Rama supaya sempurna cara kematiannya. Barangkali unsur dramatis yang mau ditonjolkan). Sempati, kakak Jatayu, justru kalah bertarung melawan Rahwana sebelum Rahwana menculik Dewi Sita. Namun, Sempati ditemukan oleh sepasukan kera yang dipimpin Hanoman ketika menuju Alengka. Keadaan Sempati sudah mengenaskan, seluruh bulunya habis karena ditebas Rahwana. Ia tak bisa lagi terbang. Sebaliknya, pasukan kera itu mengalami kebutaan karena racun Sayempraba. Pertemuan ini akhirnya saling memberikan pertolongan. Sempati yang sudah dalam keadaan gundul masih bertahan hidup karena punya kekuatan dalam urat nadinya. Dalam urat nadi itu tersimpan mantram dari Resi Rawatmaja yang begitu sakti, bisa untuk berbagai penyembuhan. Untuk menolong pasukan kera, Sempati mengeluarkan mantram Resi Rawatmaja untuk menyembuhkan mata para kera itu. Ia berhitung, kera lebih berguna sementara dirinya toh tak bisa terbang. Seluruh kera termasuk Hanoman menjadi sehat walafiat. Mereka pun segera berangkat menuju Alengka. Setelah pasukan kera itu hilang dari pandangannya, Sempati menemui ajalnya karena kekuatan urat nadinya telah habis. Ia moksa karena di akhir hidupnya mengabdi 66
kepada Rama, titisan Wisnu. Cerita ini memang tidak populer di Bali karena Sempati tidak berjumpa dengan Rama. Apakah garuda yang dikendarai Dewa Wisnu itu reinkarnasi dari Sempati atau Jatayu? Tak ada kisahnya. Bahkan garuda yang ditunggangi Dewa Wisnu sama sekali tak diberi nama atau namanya justru melekat kepada sang pemakai, jadilah nama itu Garuda Wisnu. Penamaan ini menunjukkan bahwa Garuda Wisnu menjadi “burung yang sakral” dan hanya setingkat dewa yang memakainya. Para leluhur yang menjadi seniman di masa lalu membuat penggambaran yang baku untuk Garuda Wisnu. Jadi, kalau bentuknya bukan garuda seperti itu, bukanlah bernama Garuda Wisnu. Monumen Garuda Wisnu Kencana, meski pun patungnya bertahun-tahun belum jadi, saya kira jauh dari penggambaran Garuda Wisnu. Apalagi monumen ini bukan tempat yang sakral, hanya menjadi latar dari pentas seni pop yang sama sekali tidak ada napas Hindu-nya. Ini Garuda Wisnu salah tempat. Saya usulkan lebih baik namanya cukup Monumen Garuda Kencana, atau Garuda Bali Kencana, yang jelas tanpa ada Wisnu. Atau nama lain sama sekali. Siapa tahu setelah ganti nama yang tak memakai nama dewa itu, patungnya bisa berdiri dengan megah.
67
Mari Tingkatkan Etos Kerja Na rte srantasya sakhyaya devah
S
LOKA pendek Rg Weda IV.33.11 ini artinya kurang lebih; “Tuhan hanya menyayangi orang yang bekerja keras.” Bekerja keras yang dimaksudkan adalah bekerja dengan sekuat tenaga dan pikiran, namun dalam kewajiban yang telah ditetapkan. Artinya, bekerja sesuai dengan profesi yang dipilih dan dari pekerjaan itulah dapat penghasilan yang dimanfaatkan untuk kehidupan, baik kehidupan diri sendiri, kehidupan keluarga dan sebagian untuk yadnya. Yadnya itu pun bukan hanya untuk persembahan kepada Tuhan Yang Esa, namun juga yadnya kemanusiaan. Dalam sloka Rg Weda selanjutnya, yakni pada Rg Weda VIII.48.14 ada disebutkan: “Hendaklah sifat penidur tidak menguasai hamba, juga kebiasaan omong kosong” (ma no nidra isata jalpih). Apa yang dimaksudkan sifat penidur? Tiada lain adalah sifat malas, suka menunda pekerjaan atau mengabaikan sama sekali kewajiban dalam bekerja. Apalagi disertai dengan “omong kosong”, yang dimaksudkan adalah lebih pada mencari pembenaran untuk menutupi kemalasan itu. Atau mencari dalih untuk menutupi kenapa pekerjaan itu tidak dilakukan. 68
Berbagai sloka tentang etos kerja dalam ajaran Hindu tersebar di banyak kitab Weda, termasuk di dalam Purana, Upanisad dan sebagainya. Ini penting dikemukakan sekarang pada saat etos kerja lagi menurun oleh berbagai sebab. Ada yang disebabkan oleh kemalasan itu sendiri, ada yang disebabkan oleh kelalaian, ada yang disebabkan oleh penyimpangan lain seperti sengaja meninggalkan pekerjaan yang pokok untuk beralih pada pekerjaan yang bukan pokok. Dalam bahasa populer sekarang, pekerjaan sampingannya yang lebih diutamakan. Contoh nyata sekarang ini adalah malasnya para wakil rakyat bersidang yang merupakan pekerjaan wajibnya. Kita bisa lihat dan membaca di berbagai media masa, sidang paripurna DPR yang anggotanya 560 orang hanya dihadiri 200-an orang saja. Separoh lebih tidak bekerja. Ini bukan saja terjadi di DPR Senayan, juga di DPRD provinsi, termasuk di Bali. Sidang paripurna hanya dihadiri segelintir orang. Ke mana para wakil rakyat itu? Bukankah mereka digaji oleh pajak yang dibayar rakyat untuk bekerja sesuai dengan kewajibannya? Kenapa pekerjaan pokok itu ditinggalkannya? Nah, etos kerja ini yang kian surut. Tentu banyak dalih yang bisa mereka katakan dan kalau kita mengacu pada sloka suci di atas, semuanya ini termasuk “omong kosong”. Misalnya, ketidak-hadiran mereka itu karena mengunjungi konstituennya di daerah. Tentu saja hal ini menyimpang dan bisa dianggap tidak masuk akal, karena mengunjungi konstituen di daerah pemilihannya itu ada jadwalnya, yakni pada saat reses. Sidang-sidang apalagi paripurna adalah pekerjaan yang sangat pokok karena di situ nasib bangsa dipermasalahkan. Mungkin dalam sidang itu ada pengesahan undang-undang atau peraturan daerah, atau ada pembahasan berbagai program yang menyangkut kepentingan rakyat. Tak bisa hal itu diabaikan. Ada penyebab lain dari kemalasan itu, misalnya, karena tahu dia tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilu yang akan datang. 69
Artinya, kemalasan itu disengaja karena ada unsur ngambek, toh tak akan duduk lagi, toh tak akan menjadi caleg lagi. Ini kekeliruan yang besar karena suatu pekerjaan yang diberikan oleh orang lain (dalam hal ini dipilih oleh rakyat) ada jadwal yang harus dipatuhi. Sebelum mereka dinyatakan berhenti sebagai wakil rakyat, tak boleh meninggalkan pekerjaannya. Logikanya, gajinya sendiri masih tetap dibayar setiap bulan. Nah, kita harus menghindari wakil rakyat seperti ini. Sebaiknya kalau ada wakil rakyat seperti ini dan ternyata mencalonkan diri lagi pada pemilu yang akan datang, tidak usah dipilih. Etos kerja mereka sudah rusak. Tentu saja hal ini tak cuma berlaku untuk wakil rakyat, juga pemimpin apa pun, baik yang formal maupun informal. Banyak orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, atau mau didapuk menjadi pemimpin, tetapi ternyata tak mau bekerja sesuai dengan kedudukannya. Marilah kita memilih pemimpin yang bisa memahami apa makna dari Bhagawadgita II.47 yang terjemahan bebasnya: “Kewajibanmu hanyalah bekerja, tidak hasil perbuatan yang engkau pikirkan, jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri.” Mari kita tingkatkan etos kerja kita.
70
Penyandang Cacat di Tempat Suci
C
ERITA ini saya baca dari sebuah buku. Peristiwanya di India. Adalah sebuah tempat persembahyangan yang sangat ramai dikunjungi setiap hari di sebuah desa kecil yang bernama Vrindawan. Ratusan ribu orang datang setiap hari di sana. Arca yang dipuja di sana adalah arca Shri Krishna. Arca ini tidak ada penjelasan siapa pembuatnya, dan orang pun menyebutkan “bukan buatan manusia”. Arca itu muncul begitu saja dari dalam tanah sekitar 400 tahun lalu, tidak jauh dari kuil yang sekarang berdiri. Kawasan di mana arca itu muncul adalah sebuah taman yang dipenuhi oleh tumbuhan Mukti Lata, sejenis tumbuhan melata yang daunnya rimbun, tetapi cabang-cabang atau rantingnya merunduk menyentuh tanah. Menurut keyakinan setempat, tumbuhan tersebut adalah penjelmaan roh-roh agung yang merunduk menyembah tanah suci tempat munculnya arca Shri Krishna itu. Kuil yang memuja arca Shri Krishna tersebut bernama Banka Bihari, diambil dari nama patung itu yaitu Banka Bihari. Tersebutlah seorang lelaki setengah baya yang setiap pagi dan sore hari datang teratur menghadap ke arca Krishna. Setelah beberapa waktu berlalu, seorang pendeta mulai menaruh 71
perhatian pada lelaki tersebut. Ternyata ia seorang lelaki buta. Sedangkan orang-orang yang datang berkunjung ke tempat sem bahyang itu tujuan utamanya adalah dapat melihat arca walau hanya sesaat. Lalu apa tujuan lelaki buta itu ke sana, bukankah dia tak bisa melihat? Pendeta tersebut penasaran dengan pertanyaannya sendiri. Suatu hari pendeta mendekati orang buta itu dan bertanya terus terang. “Maaf, Anda kan tidak bisa melihat, tetapi Anda datang setiap hari ke tempat persembahyangan ini. Boleh saya mengetahui alasan Anda untuk datang ke sini?” Lelaki buta itu menjawab dengan kalem: “Saya memang tidak bisa melihat, tetapi Shri Krishna kan bisa melihat saya?” Sang Pendeta terkejut mendengar jawaban itu. Apa yang bisa kita tangkap dari kisah sederhana yang adalah kisah nyata ini? Tidak ada larangan untuk orang buta datang ke tempat suci. Atau kalau disebutkan secara umum, tak ada larangan untuk orang yang menderita cacat phisik untuk datang ke pura. Hal ini saya sampaikan karena beberapa hari lalu saya sempat ditanya oleh pemedek yang sedang berkunjung ke Pura Dalem Balingkang, apakah keluarganya yang memakai tongkat karena satu kakinya lumpuh, boleh masuk pura? Saya jawab, tak ada larangan. Mari kita tuntun bersama menaiki tangga-tangga menuju pura. Sepanjang hal itu memungkinkan, keadaan kita di dalam pura, cacat phisik atau tidak, sama saja di mata Tuhan. Pura di Bali memang tidak dirancang untuk para penyandang cacat. Kalau ada orang lumpuh mau ke pura, misalnya, tentu tak bisa memakai kursi roda. Orang itu harus dipapah dan ini akan mengalami kesulitan. Keluarganya lebih baik tidak mengajak penyandang cacat itu ke pura. Jadi bukan masalah boleh atau tidak, tetapi ada “kerepotan sedikit” yang membuat orang enggan. Dalam ketentuan yang tak tertulis di Bali, hanya pemangku dan sulinggih yang tidak boleh cacat terutama pada saat mewinten atau mediksa. Tentu penyebabnya adalah kemampuan 72
pemangku dan sulinggih itu dalam melaksanakan kewajibannya menjadi terhambat. Bukan karena mereka tak boleh meningkatkan spiritualnya. Tuhan tak melihat bentuk phisik tetapi melihat ketulusan baktanya dalam berbakti. Orang-orang miskin, orang-orang cacat, tetap berhak akan tempat suci. Tuhan Yang Maha Esa tak melihat mereka sebagai orang sakit, tetapi orang yang sedang menghadapi cobaan. Marilah kita perlakukan penyandang cacat sama dengan orang normal di hadapan Tuhan, dan betapa mulia perbuatan orang yang sudi membantu dan menuntunnya.
73
Jaga Kata-Kata dengan Bertapa Om ca yat, svadhya jayabbhyasanam caiva, van-mayam tapa ucyate.
K
ITAB Bhagawad Gita percakapan ke 17 sloka 15 ini saya ambil artinya dari buku Bhagawad Gita (Nyanyian Tuhan) terjemahan Darmayasa. Artinya; “Kata-kata yang tidak menyebabkan perasaan orang lain terganggu, jujur, menyenangkan, dan mengandung kebaikan, serta kata-kata yang dipergunakan untuk belajar serta mempraktekkan pembacaan kitab suci Weda, semua itu dikatakan sebagai pertapaan kata-kata.” Sloka ini mengajarkan kita harus menjaga betul agar katakata yang kita ucapkan tidak menyinggung perasaan seseorang sehingga orang itu menjadi terganggu. Kata-kata yang diucapkan dengan jujur dan menyenangkan siapa pun yang mendengarnya. Tentulah kata-kata yang mengandung segala kebaikan dan itu mencerminkan bahwa orang itu suka belajar dan mempraktekkan kitab-kitab suci. Pada penutup sloka ada istilah yang menarik, “pertapaan kata-kata”. Apa yang dimaksudkan? Orang yang bertapa adalah orang yang sedang mengendalikan dirinya. Mengendalikan diri tak hanya mengendalikan perbuatan dan pikiran, tetapi juga 74
mengendalikan kata-kata. Ini sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha. Yakni, kendalikan pikiran, sesuatu yang belum ada pernyataan dan perbuatan apapun. Lalu kendalikan kata-kata, hasil buah pikiran yang sudah diucapkan. Dan kemudian kendalikan perbuatan, suatu bentuk ide yang sudah dipikirkan dan juga sudah dikatakan. Orang bisa berpikir dengan beragam masalah, baik atau pun buruk. Pikiran adalah kuda liar yang begitu sulit untuk dikendalikan. Pikiran bisa melompat ke mana saja, tak dibatasi waktu dan ruang. Orang bisa berpikir untuk mencelakakan orang lain, atau menista orang lain. Orang bisa berpikir untuk segala hal yang jahat untuk ditimpakan kepada orang lain. Tetapi jika kita melakukan “pertapaan kata-kata” maka pikiran itu tak sampai diteruskan dengan kata-kata. Ada pengendalian sehingga pikiran yang jahat itu terbelenggu hanya sampai di pikiran, tidak diteruskan ke kata-kata. Akan sangat berbahaya jika apa yang dipikirkan itu, terutama pikiran yang buruk dan jahat, diteruskan keluar lewat kata-kata. Karena itu pesan Bhagawad Gita ini adalah kata-kata yang sampai keluar jangan membuat orang lain terganggu. Kata yang keluar itu haruslah dalam koridor kebaikan dan menyenangkan banyak orang. Apalagi ditambah dengan jujur, itu lebih utama lagi. Di masa kampanye pemilu presiden, sloka ini haruslah menjadi pegangan utama karena banyak sekali kata-kata buruk berseliweran. Seolah-olah semua kata buruk itu tidak lagi lewat “pertapaan kata-kata” namun langsung nyerocos dari pikiran yang buruk. Pikiran buruk itu, misalnya, bagaimana membuat calon lawan kelihatan busuknya, nampak kekurangannya, tidak kredibel sebagai presiden, dan segala kejelekan yang lain. Dari pikiran yang buruk ini maka tersusunlah kata-kata yang sangat menyinggung perasaan, bahkan penuh dengan caci maki dan fitnah. Kenyataan dijungkir-balikkan. Tak ada kata-kata yang 75
disaring. Pihak yang diserang juga begitu. Ia sudah memikirkan apa yang dilakukan untuk melawan. Dari perlawanan yang sudah dipikirkan itu, berhamburan kata-kata yang juga sangat menyinggung orang lain dan tidak jujur, betapapun itu didalihkan untuk membalas serangan sebelumnya. Nah, perang kata ini jauh dari koridor kitab suci dan jauh pula dari praktek bagaimana mengucapkan kata-kata dalam kitab suci yang penuh dengan kedamaian. Tak ada sloka kitab suci yang dilantunkan dengan berteriak penuh kebencian. Semuanya dalam suasana damai, meski pun logat atau irama pembacaan berbeda di berbagai etnis. Dalam kitab Sarasamuccaya ada sloka 75 yang berbunyi: asat pralapan parusyam paicunya manrtam tatha, vatvari Vaca rajendra najalpennanu cintayet. Arti bebasnya: Inilah yang tidak patut keluar sebagai kata-kata. Empat banyaknya, yaitu, perkataan yang jahat, perkataan yang kasar, perkataan yang mengandung fitnah, perkataan yang tidak jujur. Keempatnya harus disingkirkan, jangan diucapkan. Nah, mari berhati-hati berkata di masa kampanye, apalagi kita yang jauh dari pusat kekuasaan. Sudah salah berkata-kata, capres mana pun yang menang, toh tak dapat apa-apa juga.
76
Jangan Sia-Siakan Waktu dalam Hidup Purvve vayasi yah santah sa santa iti me matih, dhatusu ksiyamanesu samah kasya na vidyate
S
LOKA 28 Kitab Sarasamuccaya ini arti bebasnya: “Masa muda adalah waktu yang terbaik untuk mempelajari hakekat dari kebenaran, masa-masa untuk memperoleh harta dan menimba ilmu pengetahuan.” Sloka ini bersambung terus ke beberapa sloka lainnya, yang intinya mengajarkan kepada kita untuk tidak membuang kesempatan di masa muda guna mencari harta, ilmu pengetahuan, dan hakekat kebenaran itu sendiri. Ini sejalan dengan ajaran Catur Asrama. Masa muda pada era Brahmacari, saatnya menimba ilmu sebelum memasuki masa Grahasta. Dalam sloka 29 Sarasamuccaya ditekankan lagi bahwa kesempatan yang terbuka di masa muda itu waktunya tidak banyak. Disebutkan, setelah masa muda pasti akan disusul oleh masa tua, dan setelah masa tua berlalu maka kematian sudah pasti mendekat. Karena itu dianjurkan, mumpung masih muda marilah melakukan pekerjaan yang sebaik-baiknya, belajar menuntut ilmu dan belajar mengenal dan menghayati apa arti kebajikan itu. 77
Tidaklah dianjurkan untuk menggunakan masa muda sebagai masa berfoya-foya, sebagaimana kini yang sering dijadikan “pedoman hidup” oleh anak muda moderen. Kebiasaan pun harus mulai dilatih di masa muda. Kalau masa muda sudah suka minum-minuman keras, merokok tak kenal tempat, maka di masa tua akan sulit menghilangkan kebiasaan ini. Banyak para penekun spiritual, termasuk mereka yang mau menjadi pendeta (sulinggih), yang berjuang setengah mati untuk menghilangkan kebiasaan merokok karena merokok itu sudah dijalani sejak muda. Mereka menyebutkan kalau tak merokok rasanya tak bisa kerja, malah tak bisa berpikir jernih, serba tak enak dan sebagainya. Itu karena sudah kecanduan. Apa pun kalau sudah kecanduan maka sulit untuk menghilangkan. Tapi bukannya tak bisa. Mencari ilmu di masa muda adalah wajib. Otak kita masih bisa mudah menghafal dan mengingat berbagai pelajaran. Coba kita perhatikan anak-anak kecil, mereka mudah sekali menghafal sesuatu yang kemudian ditirukan. Anak-anak usia sekolah termasuk mudah menghafal mantram. Coba kalau sudah tua, sulit. Banyak orangtua yang tak hafal mantram Tri Sandhya yang hanya enam bait, misalnya. Padahal mantram itu sudah dihafal anakanak sekolah dasar. Bahkan murid Taman Kanak-Kanak. Artinya, kemampuan otak menghafal di masa muda itu jauh lebih unggul dan akan membekas ke masa tua. Sarasamuccaya menyebut ini sebagai kiasan dalam sloka 27: “Bagaikan keberadaan ilalang muda yang tajam, akan tidak tajam lagi di masa tuanya. Demikianlah hendaknya ilmu pengetahuan itu dikejar sedini mengkin, pada masa muda yang sehat.” Pentingnya mengejar ilmu pengetahuan sedini mungkin juga disebabkan oleh ketidak-pastian akan kapan saat kematian itu datang. Kematian adalah misteri, tak pernah ada pemberitahuan sebelumnya, dan kalau memakai bahasa politik kematian itu adalah hak prerogatif Tuhan. Karena itu setiap orang dianjurkan 78
untuk selalu berbuat baik, selalu berjalan di atas kebenaran berdasarkan dharma, sehingga pada saat kematian tiba kita tidak menyimpan utang, baik berupa kesalahan dan berbagai kealpaan, maupun dosa-dosa yang menumpuk. Sloka 31 kitab Sarasamuccaya menyebutkan: “Karena kematian tidak bisa di prediksi kedatangannya, pun tidak ada yang memberi tahu kapan datangnya, selagi masih hidup, lakukanlah dengan segera kebajikan itu.” Dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan, janganlah menunda untuk berbuat baik. Jangan menunda untuk melakukan ibadah suci. Jangan menunda untuk melakukan roitual yadnya. Sepanjang kesempatan itu datang dan segala sesuatunya mendukung, misalnya, ada dana, ada hari baik dan sebagainya. Kita sering menunda-nunda pekerjaan yang seharusnya bisa kita lakukan dengan cepat. Misalnya berjanji: bulan depan mau sembahyang ke Pura Besakih. Tahun depan mau adakan upacara potong gigi untuk anak-anak. Pas bulan depan dan tahun depannya datang, ditunda lagi. Ah, masih ada waktu, itu dijadikan alasan. Kalau tiba-tiba kematian itu datang dengan berbagai sebab, maka keinginan kita itu akan menjadi utang yang tak pernah bisa dibayar. Mari jangan kita sia-siakan waktu, apa yang bisa dikerjakan sekarang tak usah ditunda sampai besok.
79
Carilah Kekayaan dengan Benar Yo durlabhataram ptapya manusyam lobhato narah, dharmayamanta kamat sakalavancitahma bhavet
S
LOKA Sarasamuccaya nomor 9 ini terjemahan bebasnya: “Mereka yang memanfaatkan kelahirannya hanya untuk mengejar kekayaan, kesenangan, nafsu-nafsu kotor dan rakus, mereka yang tidak melakukan kebajikan di bumi, mereka inilah manusia yang tersesat dan pergi menjauh dari jalan kebenaran.” Petuah kebajikan yang dihimpun oleh Bhagawan Wararuci ini menarik untuk dibahas, ketika orang berlomba-lomba mengejar kekayaan dengan rakus. Kerakusan ini ada dengan berbagai cara, tergantung profesi masing-masing orang. Kalau dia pedagang maka dia bisa saja menggunakan berbagai muslihat. Misalnya, dengan mengutak-atik timbangan sehingga berat yang tertera pada timbangan tidak pas dengan keadaan sebenarnya. Beras yang tercantum dalam karung 25 kilogram, kalau ditimbang bisa hanya 23 kilogram. Mengoplos elpiji 3 kilogram dimasukkan ke tabung 12 kilogram, karena elpiji 3 kilogram itu adalah subsidi, tentu keuntungannya banyak. Kalau dia pegawai bisa dengan menyulap tanda bukti pem80
belian barang. Bahkan bisa berkomplot dengan pedagang untuk mempermainkan kwitansi. Kalau dia pemegang kekuasaan yang berkaitan dengan anggaran, maka korupsinya bisa lebih besar lagi. Kalau dia pemegang kekuasaan yang menentukan kebijakan, maka suap pun bisa diterimanya. Minimal hadiah-hadiah yang dikatagorikan gratifikasi. Bahkan para anggota dewan pun bisa memainkan anggaran hibah dan bantuan sosial untuk mengejar kekayaan dengan rakus. Ia dengan rajin dan seolah-olah membantu masyarakat menyiapkan proposal bantuan sosial yang akan diajukan ke eksekutif. Dan jika proposal itu diterima, anggota dewan itulah yang dengan berbagai cara supaya dirinya yang menerima, meski sebagai perantara. Bantuan itu dipotong sehingga masyarakat yang menerimanya kurang dari angka yang tertera. Itu pun masih dengan celoteh: “Ini hasil perjuangan saya, maka pilihlah saya dan partai saya pada saat pemilu”. Jadi, bantuan sosial itu banyak dijadikan alat kampanye politik, masyarakat pun jadi terbelah, seolah-olah bantuan itu terkait dengan partai. Maka, ketika pemerintah mulai menghentikan bantuan lewat anggota dewan ini, para anggota dewan jadi ngambek. Sebaliknya kalau eksekutif main obral, maka akan kena sanksi karena dikatagorikan penyelewengan. Banyak ada bupati dan gubernur yang bermasalah karena pembagian bantuan sosial. Kitab Sarasamuccaya jelas menyebutkan bahwa perbuatan seperti itu adalah rakus dan tidak sesuai dengan jalan dharma. Resikonya pun disebutkan, bahwa kelak kelakuan seperti ini akan menimbulkan bencana. Kalau pedagang mengoplos elpiji, bisa saja bencana itu berupa meledaknya tabung elpiji. Tentu kalau polisi jeli dan mengetahui perbuatan jahat itu maka sang pedagang akan ditangkap. Akan halnya urusan korupsi, cepat atau lambat akan ketahuan. Apalagi jika pelakunya itu, karena saking rakusnya tak bisa menahan diri dengan kekayaannya, masyarakat curiga. Kok dia hanya jadi pegawai seperti itu, rumah 81
dan mobilnya bagus. Kok anggota dewan seperti itu, bisa foyafoya. Masyarakat bisa melaporkan ke aparat hukum karena saat ini keterbukaan informasi begitu luas, orang bisa melapor lewat media sosial yang sulit dilacak. Itu masih hukuman duniawi, artinya dihukum kasat mata seperti ditahan, diadili dan masuk penjara. Habislah sudah karier dan kehormatan keluarga. Sehari-hari kelihatan alim, rajin sembahyang, bahkan suka mengisi dharmawacana, eh, kini masuk pernjara. Padahal Sarasamuccaya menyebutkan pula hukuman yang jauh lebih berat, yakni setelah kematian tiba. Manusia mati tak membawa harta benda, tak membawa mobil mewah dan kenikmatan lainnya. Karma akan dibawa ke dunia sana. Sloka 11 Sarasamuccaya menyebutkan: “Lakukanlah pencarian kekayaan dan kesenangan hanya berlandaskan pada kebajikan dan kebenaran yang pasti akan mengantar ke surga. Janganlah melakukan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan kebenaran. Manusia yang mudah melakukan kejahatan pastilah neraka pahalanya.” Nah, apakah neraka yang ingin dihuni setelah kematian tiba? Mencari kekayaan boleh, mari lakukan dengan benar.
82
Menuju Makanan yang Satwik
M
AKANAN sangat mempengaruhi kehidupan seseorang, baik itu kehidupan phisik maupun rohani. Apa yang dimakan merefleksikan karakter seseorang dan itu akan tercermin dalam prilaku kerohaniannya sehari-hari. Betapa sulit untuk menutupi hal itu. Pemerintah sudah campur tangan dalam banyak hal mengenai makanan dan minuman ini. Salah satu peringatan yang sangat mencolok belakangan ini adalah untuk menghisap rokok. Jika sebelumnya peringatan dari pemerintah tergolong lunak, kini peringatan itu sangat keras dan harus dicantumkan di bungkus rokok. Peringatan itu berbunyi: “Rokok Membunuhmu”. Betapa keras peringatan ini, orang bisa mati terbunuh hanya karena mengisap rokok. Tapi itulah cara pemerintah melindungi masyarakat dari bahaya merokok selain dibuatnya berbagai aturan yang melarang orang merokok di kawasan tertentu, karena pengasuh asapnya juga mengena orang yang tidak merokok. Di luar rokok pemerintah juga sering mengadakan razia terhadap makanan yang kedaluwarsa tetapi masih dijual di pasaran. Makanan kedaluwarsa ini dalam versi Bali adalah makanan yang sudah basi (pasil). Makanan seperti ini memang tak boleh dimakan. Selain itu minuman yang beralkohol tinggi termasuk 83
minuman yang tak boleh dijual bebas. Di Bali pun minuman seperti arak memiliki alcohol tinggi dan sering mendatangkan korban, apalagi kalau dioplos dengan minuman lain yang juga beralkohol. Jika pemerintah turun tangan dalam mengatur masalah makanan dan minuman, kitab-kitab agama Hindu pun mengatur banyak masalah makanan yang harus dihindari. Berbagai ajaran Hindu sudah menjelaskan bahwa minuman yang memabukkan harus dijauhi. Dalam hal makanan, Bhagawad Gita memuatnya lebih rinci. Dalam Bhagawad Gita Percakapan XVII ada empat sloka yang menjelaskan hal itu. BG XVII sloka 7 menyebutkan,, makanan dan minuman terdiri dari tiga jenis. Dan perincian jenis itu dijelaskan dalam sloka selanjutnya. Di sloka 8 disebutkan, makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, makanan yang manis, lembut, penuh dengan gizi, itulah makanan yang bersifat satwik (sattvik), makanan yang utama. Sloka 9 menyebutkan, makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, adalah makanan yang menimbulkan penderitaan, kesusahan. Makanan ini bersifat rajasik. Sedang sloka 10 menyebutkan, makanan yang tak segar, basi, cacat, tidak bersih adalah jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat tamasik. Mari kita kupas lebih jauh makanan yang satwik (BG XVII.8), makanan suci utama yang dianjurkan oleh Bhagawad Gita lewat wejangan Krisna kepada Arjuna. Sloka itu lengkapnya berbunyi: ayuhsattva balarogya, sukha priti vivardhanah, rasyah snigdhah sthira hridya, aharah sattvika priyah. Ada sebelas syarat makanan yang tergolong satwik (satvika ahara). Yaitu, (1) ayuhsattwa, yang menyucikan hidup. (2) Bala, yang menguatkan tubuh. (3) Arogya, yang menyehatkan atau yang tidak membuat sakit. (4) Sukha, yang memberikan kegembi84
raan. (5) Priti, yang memberikan kepuasan. (6) Vivardhanah, yang meningkatkan kehidupan. (7) Rasyah, yang penuh sari (nutrisi). (8) Snigdhah, yang halus dan lembut. (9) Sthirah, yang bertahan lama, maksudnya terasa kenyang lebih lama. (10) Hridyah, yang menyenangkan. (11) Priyah, yang enak. Kesebelas urutan ini pun mengatur pula tentang mana yang lebih didahulukan. Misalnya, makanan yang membuat kehidupan kita lebih suci, lebih kuat, memberikan kegembiraan dan seterusnya tentulah lebih penting dari makanan yang enak dirasakan. Demikian pentingnya masalah makanan ini sehingga diatur dalam sebuah “percakapan” yang khusus di dalam kitab Bhagawad Gita. Watak seseorang dipengaruhi oleh apa yang dimakannya. Tak perlu makanan itu mewah dan mahal, namun yang lebih dipentingkan adalah makanan yang suci dan menyehatkan. Bhagawad Gita kemudian mengatur makanan yang tidak suci dan tidak menyehatkan, termasuk makanan yang basi. Jika di agama lain diatur makanan yang halal dan haram, maka sesungguhnya umat Hindu pun punya pegangan, bahkan ada tiga: satwik, rajasik dan tamasik. Demikian rincinya ajaran Hindu, mari kita menuju makanan yang satwik.
85
Tiga Gerbang Menuju Neraka Trividam narakasyedam, dharam nasanam atmanah, kamah krodhas tatha lobhas, tasmad etat trayam tyajet. (Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka, jalan menuju kehancuran jiwa, nafsu amarah dan loba, setiap orang harus menutupi sifat ini).
K
ITAB Bhagawad Gita (BG) percakapan XVI sloka 21 ini memberikan peringatan kepada manusia bahwa pintu menuju neraka terbuka selebar-lebarnya. Ada tiga pintu itu. Yang pertama sifat buruk yang diakibatkan oleh nafsu yang berlebih yang tidak ditunjang oleh kemampuan diri. Yang kedua sifat pemarah jauh dari welas asih. Yang ketiga keserakahan yang sampai merugikan hak orang lain. Ketiga sifat buruk ini apalagi saling menyatu dan tak ada upaya untuk menutupinya, maka jalan menuju neraka ibarat menempuh jalan tol bebas hambatan. Meski neraka begitu ditakuti, jalan menuju pintu gerbang itu masih saja terbuka luas dan sering tidak disadari oleh umat manusia. Nafsu berlebihan menjadi musuh utama manusia masa kini. Nafsu yang dikekang oleh panca indria dalam batas-batas tertentu, bukannya tidak boleh. Bahkan menjadi keharusan. 86
Bagaimana orang bisa hidup dengan baik kalau tidak ada nafsu untuk hidup. Bagaimana orang bisa menuntut ilmu dengan baik jika tidak ada nafsu untuk belajar. Bagaimana kita bisa hidup berkecukupan untuk keluarga dan anak jika kita tak punya nafsu untuk bekerja sekeras-kerasnya di jalan dharma. Kama (kamah) dalam sloka ini juga berarti keinginan yang berlebihan. Manusia harus punya keinginan tertentu, tetapi jika itu berlebihan dan dicari dengan jalan yang tidak baik, maka itulah yang harus dihindari. Ingin punya mobil dan rumah mewah tetapi dengan cara korupsi. Neraka akan ditemui, bahkan “neraka duniawi” bisa lebih cepat ditemui, ditangkap dan masuk penjara. Krodha (krodhas) artinya pemarah. Manusia dibekali sifat marah, welas asih, polos dan sebagainya. Tetapi marah yang berlebihan harus dihindari. Marah harus ditakar dengan melihat situasi dan kondisi, juga mempertimbangkan kepada siapa marah itu diberikan. Memarahi anak kecil dan orang dewasa tentu berbeda. Marah di depan umum harus dilihat kepentingannya. Walikota Surabaya Tri Rismaharini suka marah di depan umum karena tujuannya untuk memperbaiki keadaan yang kepentingannya juga untuk umum. Ini bisa ditolerir, apalagi hanya dengan kata-kata. Konon ada tokoh penting yang suka marah dengan melempar asbak ke arah orang yang dimarahi. Lobha (lobhas) dalam BG ini rupanya yang paling penting untuk diingat karena situasi sekarang banyak godaannya. Globalisasi memunculkan konsumerisme sehingga nafsu serakah mudah datang. Manusia masa kini banyak yang jor-joran, pamer kekayaan dan harta tanpa malu. Ibu-ibu pejabat membawa tas merek Hermes yang harganya ratusan juta rupiah, sesuatu yang sulit dibayangkan oleh orang-orang desa yang masih membawa tas plastik kresek. Yang paling celaka tentu saja keserakahan itu diperoleh dengan cara mencuri atau korupsi. Lihatlah beritaberita di televisi bagaimana pejabat yang korup itu hartanya 87
melimpah, rumahnya ada di mana-mana, mobilnya berpuluhpuluh, semuanya hasil keserakahan. Dan kini semuanya disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alih-alih menuju pintu neraka di alam sana, “neraka duniawi” sudah datang menghukum mereka. Jika kitab BG mengingatkan ada tiga unsur yang bisa membawa orang ke pintu neraka yakni Kama, Kroda dan Lobha, maka tuntunan yang dibuat para leluhur kita di masa lalu dengan mengambil intisari Weda, lebih luas lagi. Yakni Sad Ripu, enam musuh utama. Ketiga unsur dalam BG itu dimasukkan ke dalam Sad Ripu, lalu ditambah tiga unsur lagi yaitu: Moha, Mada dan Matsarya. Moha adalah kebingungan yang menyebabkan pikiran kita kacau sehingga tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mada adalah kemabukan. Orang mabuk tentu pikirannya tak berfungsi dengan baik, bahkan bisa mencelakakan orang lain. Matsarya artinya dengki dan iri hati. Sifat ini harus bisa ditangkal karena kalau kedengkian itu disalurkan dengan tidak baik juga merugikan orang lain. Nampaknya Sad Ripu lebih mengarah kepada tuntunan bagaimana harus berbuat baik. Sedangkan tiga unsur Sad Ripu yang diambil dari BG bukan lagi sekedar tuntunan, tetapi keharusan yang dijalankan. Kalau itu tetap dilakukan neraka yang dituju, karena pintu gerbangnya sudah dibuka.
88
Profesor Renang Nyaris Tenggelam Ye yatha mam prapadyante, tams tathai ‘va bhajamy aham, mama vartmanuvartante, manusyah partha sarvasah
S
LOKA di atas diambil dari Bhagawad Gita percakapan 4 ayat 11 (BG IV.11) yang terjemahan bebasnya adalah: “Jalan manapun ditempuh manusia ke arah Ku, semuanya Kuterima. Dari mana-mana semua mereka, menuju jalanKu, oh Partha.” Apakah yang dimaksud dengan “jalan” itu? Para penerjemah BG mengartikan “jalan” itu sebagai “jalan karma” atau Karma Yoga dan “jalan ilmu pengetahuan” atau Jnana Yoga. Apapun yang dipilih oleh seseorang, apakah memuja Tuhan lewat kerja atau memuja Tuhan lewat ilmu pengetahuan, semuanya diterima, karena semua jalan itu menuju ke arah Tuhan. Penafsiran yang lebih luas adalah orang bisa memuja Tuhan dengan tekun melakukan pekerjaan tanpa pamrih, berprilaku baik sehari-hari, namun tidak menguasai ajaran agama secara “ilmu” atau tak menguasai tatwa. Di lain sisi orang memuja Tuhan dengan tekun melafalkan mantra-mantra dari kitab suci secara teratur. Namun, lebih penting mana yang dilakukan? Sebelum sampai pada jawaban itu, ada anekdot yang bisa 89
dijadikan cermin, “jalan” mana yang terbaik dilakukan. Ada seorang profesor yang ahli tentang teori renang. Profesor itu sudah melakukan penelitian untuk mendapatkan teori bagaimana berenang sehingga ia pun dijuluki “profesor renang”. Nah, tibalah saatnya sang profesor mempublikasikan temuan teorinya di suatu pantai. Pengunjung terkagum dengan teori temuan sang profesor tersebut. Sedang asyik dia bercerita, datanglah gelombang besar sehingga panggung tempat profesor duduk ditelan gelombang. Semua orang termasuk sang profesor hanyut ke tengah laut. Sang profesor yang hanya menguasai teori tentang renang ternyata tidak bisa berenang. Ia nyaris tenggelam kalau saja tidak diselamatkan oleh anak nelayan yang pinter berenang tetapi tak tahu teori berenang. Sang anak tentu bangga. Namun alangkah idealnya jika anak kecil yang menolong sang profesor itu kemudian membaca teori renang di buku buatan profesor itu. Demikian pula alangkah idealnya umat Hindu jika sudah melaksanakan praktek kehidupan dengan baik membekali diri pula dengan ajaran agama yang tertulis dalam kitab-kitab suci. Sebaliknya ilmu pengetahuan yang tak pernah dipraktekkan akan menjadi sia-sia dan tak bisa menolong dalam keadaan bahaya di tengah kehidupan. Umat yang hafal dengan berjenis-jenis mantra tetapi tidak tahu maknanya, tak ada manfaatnya. Rajin bersembahyang ke berbagai pura, tetapi tidak tahu siapa yang dipuja di pura itu, juga tak bermakna. Setiap malam membaca kekawin yang penuh pesan moral, apakah itu Ramayana, Mahabharata, Sutasoma, dan lainnya, tetapi dalam kehidupan seharihari banyak menyimpang dari jalan dharma, tak ada manfaatnya pula. Ia hanya tahu sekedar “kulit”, tak bisa menerjemahkan ke dalam kehidupan nyatanya. Marilah beragama tak sekedar “kulit” tetapi juga “isi”. Karma Yoga sama pentingnya dengan Jnana Yoga, tetapi memadukan keduanya sangatlah bagus. Kita tahu banyak mantra dan kita 90
tahu bagaimana menggunakannya di tempat yang benar. Bila kita bersembahyang ke pura kita tahu pura itu statusnya apa, siapa yang dipuja di sana, apakah kita memuja leluhur, istadewata atau Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita menghaturkan bhakti dengan sembah, siapa yang disembah, apa permohonan kita, apa arti simbol-simbol yang kita gunakan dalam sembah itu. Kalau terus-menerus hal ini tidak kita ketahui, maka kita hanya sebatas “tiru-meniru” saja, kita tidak tahu maknanya dan lamalama akan menjadi pertanyaan yang mengusik ke dalam diri: “sebenarnya saya melakukan apa saja, ya?” Nah, kembali kepada pertanyaan, apakah lebih diutamakan praktek atau teori, sudah tentu prakteklah yang paling penting. Banyak orangtua kita di pedesaan yang begitu polos, jujur, tak pernah menipu, tutur katanya bagus, namun dia tak hafal mantra Tri Sandhya. Ini lebih baik ketimbang setiap saat Tri Sandhya tetapi tetap suka berbohong dan menipu. Yang paling ideal tentulah prakteknya bagus, teorinya pun diketahui.
91
Sad Ripu dan Sapta Timira
S
AD Ripu dan Sapta Timira adalah ajaran yang harus dihindari oleh seseorang untuk mendapatkan perilaku yang ideal dalam kehidupan di masyarakat. Sad Ripu adalah sifat-sifat yang dikatagorikan sebagai musuh yang harus dilawan. Artinya sifat itu belum kita miliki. Sedangkan Sapta Timira adalah yang menyebabkan seseorang menjadi gelap dan sifat itu sudah ada dalam diri kita. Sad Ripu sesuai namanya, sad berarti enam dan ripu berarti musuh, adalah enam musuh yang harus dilawan. Keenamnya itu adalah kama, lobha, krodha, moha, mada dan matsarya. Kama adalah nafsu yang negatif. Tentu seseorang boleh punya nafsu, tetapi nafsu negatif haruslah dihindari. Misalnya nafsu untuk menjegal seseorang untuk menjadi pemimpin. Kalah dalam pemilihan pejabat lalu merekayasa berbagai kasus agar pejabat yang terpilih batal dilantik. Ini nafsu buruk yang harus dihindari. Lobha berarti rakus yang merugikan orang lain. Contohnya korupsi dan mencari keuntungan dari berbagai kesempatan. Krodha berarti kemarahan. Banyak pemimpin yang tak bisa mengendalikan amarahnya. Bicara ngawur dan main tuduh macam-macam. 92
Moha berarti kebingungan atau suka bingung terhadap sesuatu yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Orang seperti ini mudah stress padahal ia banyak tahu masalah. Mada adalah sifat mabuk karena pikiran kotor sehingga kata-kata yang keluar tidak terkontrol. Orang harus mengendalikan perilakunya sejak ada dalam pikiran. Yang terakhir Matsarya berarti dengki. Tak pernah menghargai orang lain betapa pun orang lain itu jauh lebih baik. Nah, keenam sifat buruk ini harus dilawan sebelum merasuki kehidupan kita agar pikiran, perkataan dan perbuatan sesuai dengan Tri Kaya Parisudha. Akan halnya Sapta Timira, ini adalah tujuh sifat yang sudah merasuk ke dalam diri kita yang kalau tidak kita manfaatkan dengan benar maka sifat itu menjadi gelap atau memabukkan. Sepanjang sifat itu dimanfaatkan dengan baik tidak akan menimbulkan masalah. Rincian Sapta Timira yang pertama adalah Surupa. Arti kata ini adalah wajah (rupa) yang bagus. Kalau dia lelaki disebut ganteng kalau perempuan disebut cantik. Tetapi janganlah rupa yang ganteng dan cantik ini dijadikan alat untuk menyombongkan diri, lalu mencela setiap orang yang ditemui. Jadikan wajah yang bagus itu untuk hal yang positif yang bisa memikat orang. Cantik di wajah cantik pula di hati. Yang kedua Dhana berarti harta atau kekayaan yang melimpah. Gunakan harta ini dengan baik, membantu orang miskin, memberi dana punia ke panti asuhan atau untuk memperbaiki pura. Janganlah kekayaan ini dihambur-hamburan untuk foyafoya apalagi dipamerkan saat banyak orang menderita. Yang ketiga Guna, berarti kepintaran atau kepandaian yang dimiliki. Jika kepintaran ini dipakai untuk menipu dan kepandaian itu dipakai untuk menyengsarakan orang lain, itulah kegelapan yang harus dicegah. Tak ada gunanya orang pintar tetapi merusak lingkungan. 93
Yang keempat Kulina, berarti memiliki keturunan yang dianggap tinggi di masyarakat feodal atau sering disebut kebetulan lahir dalam keluarga bangsawan. Kalau kebangsawanan ini diagung-agungkan, masyarakat akan tidak bersimpati karena yang dilihatnya adalah “kegelapan”. Namun kalau sifat rendah hati dan tak mau mengagungkan status sosial itu, niscaya akan semakin dihormati masyarakat. Yang kelima Yohana, punya sifat atau wujud seperti anak muda atau prilaku seperti anak muda. Kalau sifat ini ditonjolkan akan kelihatan seperti labil, umumnya sifat orang muda. Orang itu akan dicap tak pernah dewasa. Di Bali ada ungkapan “tua-tua tuwuh” hanya usia saja yang tua, prilaku tidak. Yang keenam Sura adalah sifat yang buruk diakibatkan oleh kegemaran minum minuman keras. Orang boleh saja berkata, uang-uangnya sendiri kenapa dilarang beli minuman keras, tetapi akibat sampingannya besar. Orang lain yang kecipratan akan ikut merasakan mabuk. Betapa banyak korban akibat minuman keras oplosan saat ini, padahal sumbernya adalah satu dua orang. Yang terakhir Kasuruan, sifat yang mengagungkan keberanian. Mungkin merasa punya ilmu bela diri yang tinggi lalu memamerkan keberanian itu tidak semestinya. Orang berani itu bagus, tetapi harus diletakkan dalam porsinya yang memberi manfaat bagi orang lain yang belum berani. Mari kita berperang melawan Sad Ripu dan mari kita kendalikan Sapta Timira.
94
Tri Hitakarana dalam Keseharian
S
UDAHKAH kita melaksanakan ajaran Tri Hitakarana, suatu hal yang sering digembar-gemborkan dan sebuah istilah yang suka dijadikan slogan? Mari kita telusuri lebih jauh. Tri Hitakarana adalah ajaran yang menciptakan hubungan harmonis untuk tiga hal penting menyangkut kehidupan manusia. Yang pertama, hubungan harmonis manusia dengan Tuhan (parahyangan). Yang kedua hubungan harmonis antarsesama manusia (pawongan). Yang terakhir hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan (palemahan). Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan bisa diciptakan oleh pribadi-pribadi yang sesungguhnya tidak harus melibatkan orang lain. Berbagai cara bisa dilakukan. Bisa dengan cara meditasi, samadi, japa, yoga, bhakti, atau datang ke pura. Keharmonisan ini sulit diukur dan tak bisa dilihat dengan kasat mata. Ada orang yang jarang datang ke pura, tetapi tekun melakukan persembahyangan di kamar suci rumahnya. Masalah menjadi lain jika dalam konsep mencari keharmonisan parahyangan itu, berbenturan dengan pihak lain. Karena cara-cara yang ditempuhnya tidak lazim untuk lingkungan sekitar. Misalnya, mau melakukan yadnya pada piodalan di pura dengan cara agni hotra. Tak semua pengempon pura setuju. 95
Itu tak bisa dipaksakan. Kalau untuk urusan pribadi seperti tiga bulanan anak (seperti yang banyak dilakukan saat ini), itu masih bisa dimengerti. Mempersembahkan daging hewan untuk bhuta yadnya (mecaru), misalnya, terjadi polemik. Ada yang tak mau memakai hewan dengan alasan ahimsa (anti kekerasan), ada yang tetap mengikuti tradisi karena hewan itu justru dijadikan korban untuk “meningkatkan kehidupannya”. Lalu yang satu menyalahkan, yang satu ngotot melaksanakan. Tak tercapai keharmonisan. Maka gagalnya keharmonisan di bidang pawongan akan menjadi sia-sia menemukan keharmonisan di bilang parahyangan. Hubungan antar sesama manusia (pawongan) banyak menimbulkan masalah di kalangan umat Hindu, khususnya yang berada di Bali. Ini disebabkan terdapat lembaga yang mengambil peran, yakni adat. Manusia Bali yang beragama Hindu mau tak mau harus diikat oleh sistem adat, karena tanpa menjadi warga adat mereka kehilangan pengayoman meski mereka termasuk penduduk sah di sebuah desa dinas. Jika adat kaku maka akan menjadi penghambat dan merusak keharmonisan pawongan. Orang Bali tidak bisa meningkatkan prestasi kerjanya, jika mereka bekerja di sektor yang bukan pertanian, karena adat di Bali yang tradisional itu sesungguhnya lahir dari komunitas petani. Bagaimana mungkin sebuah pimpinan bank, misalnya, setiap saat harus pulang ke desanya untuk urusan adat, ngayah ke pura, kerja bhakti, melayat orang meninggal yang waktunya telah ditetapkan, dan sebagainya. Jika kewajiban adat ini dilanggar, resikonya sangat tinggi, dia bisa dikeluarkan dan tak bisa menggunakan fasilitas adat. Ini fatal, karena kuburan di Bali masih berstatus milik adat, belum ada (kecuali di Denpasar) kuburan berstatus milik Hindu. Maka lembaga adat harus menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi dan meninggalkan pola adat agraris. Misalnya, tak harus warga adat didenda jika tak ikut mengantar jenazah 96
ke kuburan, karena terbentur pekerjaan kantor. Toh di waktu sore atau malam bisa datang ke rumah duka sambil membawa “punia kematian”. Tentu banyak contoh lain yang bisa diberikan di sini. Yang paling parah dilanggar dari ajaran Tri Hitakarana ini tentu saja masalah ketiga, pelemahan. Lingkungan di Bali sudah sangat rusak dan upaya untuk terus merusaknya tak pernah berhenti. Tempat-tempat suci sudah dikepung oleh sarana bisnis, meski pun Parisada sudah mengeluarkan bhisama tentang kesucian pura. Sementara penataan kawasan wisata yang bersentuhan dengan pura justru malah dicurigai. Tanah di Bali sudah banyak yang beralih ke tangan orang luar, dan mereka tentu saja bukan Hindu. Bali menjadi padat dengan membanjirnya pendatang, sementara ada bupati di Bali yang senang mendapat penghargaan karena berhasil mengirim transmigran Bali ke luar daerah. Jadi, di satu pihak pendatang diundang, di pihak lain petani Bali disuruh transmigrasi. Bagaimana konsep Tri Hitakarana akan ajeg di Bali jika dalam hidup kesehariannya begitu berbeda? Tri Hitakarana masih berupa slogan.
97
Pemimpin Harus Memberi Teladan Yad-yad acharati sreshthas, tad-tad eve taro janah, sa yat pramanam kurute, lokas tad anuvartate
S
LOKA ini dikutip dari Percakapan Ketiga butir 21 dari Bhagawad Gita (BG III.21) yang terjemahan bebasnya begini: “Apapun juga yang dilakukan oleh orang besar (pemimpin), maka orang lain (masyarakat) akan mengikutinya. Contoh (teladan) apapun yang diberikannya, orang lain (masyarakat) akan meniru dan menurutinya. Kita membicarakan kembali masalah pemimpin dan seni kepemimpinan pada saat menjelang Pemilu ini dan pada saat calon legislator atau wakil rakyat dan calon senator (Dewan Perwakilan Daerah) sedang asyik memperkenalkan dirinya. Kali ini bukan tentang syarat-syarat seorang pemimpin dan juga bukan tentang apa yang harus dikuasai seorang pemimpin. Tetapi, apa yang patut dilakukan oleh seorang pemimpin sehingga ia bisa menjadi panutan atau teladan di masyarakat. Untuk itulah wejangan Sri Krishna kepada Arjuna dalam kitab Bhagawad Gita layak untuk dicamkan. Ini hanya satu wejangan saja dari begitu banyak wejangan tentang kepemimpinan yang ada dalam kitab Bhagawad Gita. 98
Pemimpin itu jelas harus memberi contoh dalam berperilaku, karena masyarakat akan segera mengikuti perilakunya itu. Atau setidak-tidaknya masyarakat mencari pembenaran di dalam perilaku pemimpinnya. Jika pemimpinnya berprilaku buruk, masyarakat bisa berkata: “Wow dia saja berperilaku begitu, masak kita tidak boleh?” Masyarakat ibarat menggunakan pemimpin itu sebagai cermin. Karena itu seharusnya pemimpin menjaga tingkah lakunya di masyarakat dan seluruh aktifitasnya bisa memberikan kesejukan pada masyarakat. Karena tugas pemimpin adalah memberikan rasa damai kepada masyarakat dan bukan menyakiti hati masyarakat. Dalam Yajur Weda sloka XIII. 30 disebutkan: “Seorang pemimpin melindungi warganya tanpa menyakiti hati masyarakat” (acchinan napatrah praja anuviksasva). Masyarakat memilih seorang pemimpin untuk meningkatkan kesejahtraan warga. Bukan dengan memberikan uang pada saat minta suara dukungan untuk dipilih tetapi setelah itu masyarakat ditinggalkan. Karena itu pemimpin harus menyatu dengan masyarakat sehingga tahu apa kebutuhan masyarakat yang harus diperjuangkan. Sudah tahu jalan di pedesaan banyak yang rusak, seorang pemimpin harus memperjuangkan anggaran untuk memperbaiki jalan itu. Bukan memperjuangkan anggaran untuk bisa jalan-jalan ke luar negeri atau daerah lain dengan alasan study banding. Kini togel yang konon sumbernya di Malaysia (orang desa bilang togel Malaysia) setiap hari mencecoki rakyat desa, hanya libur sekali dalam seminggu. Orang-orang desa asyik membahas kertas yang berisi angka-angka untuk dijadikan “ramalan menebak”. Ini jelas suatu gerakan pembodohan di masyarakat. Kalau polisi tidak bertindak padahal itu sudah terang-benderang di depan mata, seorang pemimpin harus mendidik masyarakat agar menjauhi judi yang diliputi dunia mistik itu. Janganlah kemudian pemimpin itu yang ikut memasang judi togel. 99
Memberi teladan ini adalah hal yang paling penting ditekankan dalam Bhagawad Gita. Bagaimana kita menyuruh orang lain berhenti berjudi kalau pemimpin itu sendiri ikut berjudi? Bagaimana meminta warga untuk tidak merokok di depan umum sementara pemimpinnya tak berhenti merokok? Contoh ini semakin nyata ketika Perda tentang pembatasan merokok sudah dihasilkan oleh DPRD Bali, tetapi karena tidak ada teladan dari pemimpinnya, masyarakat tetap saja merokok di tempat umum. Jangan-jangan masyarakat malah tidak tahu ada Perda itu. Nah, kitab Sama Weda sloka 733 ada menyebutkan: “Wahai para pemimpin, datangilah masyarakat dan bebaskan mereka dari penderitaan.” Penderitaan itu bukan saja masalah kemiskinan, tetapi juga kebodohan karena kurangnya pendidikan dan informasi, serta nafsu berjudi yang jelas-jelas jauh dari ajaran agama.
100
Belajar Menghargai Kekalahan
M
ENANG dan kalah adalah pergantian babak dalam perjuangan. Tetapi karena perjuangan itu tak akan ada habisnya, ada saatnya menang dan kalah tiba. Orang bijak menyebut kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda. Menghargai kekalahan adalah tindakan yang bijak, karena dari kekalahan ini akan muncul semangat untuk memperbaiki diri agar suatu saat bisa menang. Memperbaiki diri itu bisa dilakukan dengan banyak cara, belajar lebih giat, berlatih lebih tekun, dan yang paling utama adalah introspeksi diri, kenapa kalah. Kekalahan bukan untuk diratapi seterusnya. Kitab-kitab Purana dan Ithiasa banyak memberikan contoh bahwa kekalahan itu harus dihargai agar kita bisa bangkit dari kekalahan. Dalam ephos Mahabharata yang dalam susastra Hindu dikenal sebagai kitab Ithiasa, ada kekalahan telak kaum Pandawa yang harus dijadikan pelajaran berharga dalam kehidupan bangsa Kuru itu. Yakni ketika Pandawa kalah bermain dadu melawan Korawa. Suatu permainan yang melambangkan pertarungan dasyat antara nafsu baik dan buruk. Pandawa yang dimotori Yudistira selalu kalah. Meski mereka tahu ada kecurangan dan “wasit” yang tidak netral, Pandawa Lima tetap saja bertaruh untuk memuaskan nafsunya berjudi. 101
Harta benda ludes di meja judi. Pada akhirnya istri mereka, Drupadi, dijadikan taruhan. Ternyata juga kalah. Akhirnya semua dilucuti pakaiannya, termasuk pakaian Drupadi. Untungnya, Drupadi yang tak tahu kalau dirinya dijadikan bahan pertaruhan dilindungi Hyang Kuasa sehingga ketika pakaiannya dilucuti Duryodana, kain yang dikenakannya tak ada habis-habisnya. Pandawa menerima kekalahan itu dengan hukuman yang sangat berat, 12 tahun masuk ke hutan dan setahun dalam penyamaran. Pandawa menghargai kekalahan ini. Mereka tidak melawan, misalnya, melakukan protes. Mereka tidak melakukan pembangkangan, apalagi merusak aset kerajaan. Mereka rela dibuang ke hutan Kamyaka. Apa yang dilakukan di hutan? Introspeksi. Yudistira sebagai orang yang paling tua dan mengayomi adik-adiknya melakukan perenungan yang mendalam dengan bimbingan para Bhagawan. Pandawa sadar bahwa judi adalah perbuatan buruk yang mewakili nafsu jahat. Dari Bhagawan Sonaka dan Bhagawan Domya, juga Bhagawan Byasa, kelima Pandawa belajar tentang kebenaran. Bhagawan Waka bahkan menasehati Yusdistira agar mempelajari sesana (etika dan pengetahuan) kebrahmanaan, bukan hanya kekesatryaan. Pernah suatu kali, entah itu menguji atau memprovokasi, Drupadi meminta agar Yudistira dan adik-adiknya pulang ke kerajaan dan berperang melawan Korawa. Marah sebagai salah satu sifat manusia, haruslah disalurkan jika ada ketidak-adilan. Tapi apa jawab Yudistira? Kemarahan sebisa mungkin harus ditahan karena kemarahan adalah pangkal kemalangan. Drupadi mengeluh kepada Yudistira: “Kanda sudah banyak berbuat kebajikan selama di kerajaan, tetapi kenapa nasib kita begini?” Yudistira menjawab: “Berbuat kebajikan adalah kewajiban. Tetapi orang yang berbuat kebajikan dengan mengharapkan hasil itu namanya pedagang kebajikan.” Drupadi kemudian berkata lagi: “Nasib manusia tak akan berubah jika manusia 102
tak mengubah sendiri nasibnya.” Bima yang mendengar ini sependapat dan dia berkata: “Perang adalah kebajikan bagi seorang kesatria dan musuh-musuh harus kita perangi.” Bima setuju untuk pulang dan berperang. Tapi Yudistira menjawab: “Kita harus taat menjalani pembuangan ini karena sudah sesuai dengan perjanjian. Kita harus hargai kekalahan itu, harus dihargai perjanjian itu, dan harus dihargai pembuangan ini. Kesatrya sejati bukan saja harus mengalahkan musuh-musuhnya yang ada di luar, tetapi wajib membasmi musuh-musuhnya di dalam hati.” Pergolakan bathin ini akhirnya kian mereda karena para Pandawa siap belajar menghargai kekalahan. Arjuna lebih banyak melakukan tapa yoga samadi, begitu pula saudara-saudaranya yang lain, menjalankan tugasnya di jalan dharma (kebenaran). Pembaca Mahabharata tahu pasti, Pandawa akhirnya selamat dari pembuangan dan kembali ke istana dengan kemenangan. Para caleg yang kalah dalam pemilu sebaiknya menerima kekalahan dengan tulus sambil instrospeksi, apa ada yang salah dalam berjuang untuk diperbaiki lain kali. Jangan dipengaruhi nafsu buruk yang hanya membuat stress dan berobat ke RS Jiwa.
103
Jangan Pilih Pemimpin Congkak
P
ADA setiap pemilihan pemimpin dari level paling rendah sampai level tertinggi, dari Kepala Dusun sampai presiden, kita selalu dianjurkan untuk tidak memilih pemimpin yang congkak, sombong, merendahkan martabat dan karya orang lain. Pemimpin haruslah rendah hati dan menghargai pendapat maupun perbuatan orang lain, meski pun itu kurang memenuhi harapan. Kitab Yajur Weda Sloka XIII.30 menyebutkan: Acchinannapatrah praja anuviksasva yang artinya seorang pemimpin melindungi warganya tanpa menyakiti mereka. Menyakiti bukan hanya sakit phisik, tetapi juga tidak menyakiti dalam arti lebih luas, misalnya melukai perasaan orang lain. Karena itu pemimpin harus berbicara dengan hati yang jernih. Dalam Ithiasa ada kisah yang menarik tentang kecongkakan seorang pemimpin yang membuat dia justru jadi malu. Dalam kisah ini kebetulan Arjuna yang dijadikan simbol pemimpin sombong, dan episode ini disebut Arjuna Pramada. Alkisah, Arjuna lagi diajak berjalan-jalan oleh Krishna di pinggir pantai Kanyakumari, ujung selatan anak benua India. Keduanya sangat mengagumi puing-puing jembatan Setubandha yang dibangun para kera anak buah Sugriwa, pada saat pasukan 104
Rama menyeberang laut menuju Alengka, merebut kembali Dewi Sita. Krishna menceritakan kepada Arjuna betapa pembangunan jembatan itu penuh dengan perjuangan. Para kera membangun jembatan dengan semangat pengabdian kepada pemimpinnya untuk bisa menyeberang ke Alengka dan bertempur dengan raja angkara Rahwana. Untuk lebih meyakinkan Arjuna betapa Setubandha itu proyek yang luar biasa, dia memanggil Anoman dengan kekuatan batinnya. Anoman pun muncul di hadapan mereka. Tentu Anoman kaget kenapa dia dipanggil mendadak. Dan Krishna meminta kepada Anoman untuk menceritakan bagaimana jembatan laut itu dibangun. Dengan rendah hari Anoman menyebut, ribuan kera dikerahkan untuk mengangkut batu-batu besar itu. Setelah selesai Anoman bercerita, Arjuna diminta pendapatnya. Dengan congkaknya Arjuna berkata: “Wah, kalau jembatan seperti ini saja dikerjakan dengan mengerahkan ribuan kera berarti Rama tidak hebat dan tak punya kesaktian. Padahal Rama bisa membuat jembatan yang sangat kokoh dengan satu panahnya saja. Saya pun bisa melakukan itu.” Anoman kaget dan berkata dengan rendah hati: “Tuan begitu hebat. Coba tunjukkan kemampuan Tuan agar saya bisa lebih yakin lagi dengan kesaktian putra ketiga Pandawa ini.” Krishna juga memberi isyarat kepada Arjuna untuk menunjukkan kesaktiannya. Langsung Arjuna mengeluarkan satu anak panah bernama Nagapasa. Ketika panah itu keluar dari busurnya dengan secepat kilat, berdiri jembatan yang sangat megah, tak kalah megahnya dengan jembatan Setubandha yng sudah ditelan usia. Anoman kemudian ingin mencoba berjalan di atas jembatan itu. Arjuna memberi izin. Ketika kera putih mungil itu berjalan di atasnya, jembatan itu langsung ambruk. Anoman berkata: “Jembatan Tuan yang megah seperti ini ternyata ambruk dilewati oleh kera bengil kecil. Bagaimana bisa ribuan kera anak buah Rama menyeberang ke Alengka kalau mengandalkan jembatan 105
yang rapuh begini?” Arjuna yang diliputi pramada (artinya congkak) sangat malu dan segera menyembah kepada Anoman sambil berjanji untuk selalu mengenang kera putih bekas abdi Rama ini. Sejak itu kalau Arjuna bepergian apalagi menghadapi tugas penting seperti peperangan, dia memakai bendera (kober) yang bergambar Anoman. Kecongkakan Arjuna dijadikan simbol untuk pemimpin agar tidak mengikuti cara-cara Arjuna melecehkan pekerjaan orang lain. Begitulah cara kita bercermin setiap membaca kitab-kitab Ithiasa, apakah itu Ramayana maupun Mahabharata. Selalu ada simbol-simbol baik dan buruk dari kitab ini. Setiap pekerjaan besar haruslah dipuji oleh para pemimpin agar rakyat yang mengerjakannya tidak merasa dilecehkan. Apalagi kalau karya besar itu dihina, tentulah pemimpin yang sombong itu tak mendapat tempat di hari rakyatnya. Menjadi pemimpin tidak mudah. Tetapi memilih pemimpin juga tidak mudah. Salah dalam memilih yang waktunya hanya sekejap, maka penyesalan akan bertahun-tahun dialami, sesuai periode kepemimpinan itu. Sebentar lagi kita memilih presiden, pilihlah yang terbaik. Kadang pilihan itu terbatas, kalau semuanya terlihat kurang, mari kita pilih yang bukan paling buruk.
106
Pemimpin Menurut Kitab Suci Weda
P
EMIMPIN di masa kini harus bertingkah dengan baik, tak lagi bisa petantang-petenteng di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin adalah mereka yang bisa bekerja dan menyatu dengan masyarakat, seperti Joko Widodo pada saat masih menjadi Gubernur di Jakarta yang bisa masuk ke dalam got untuk memeriksa saluran air. Syarat menjadi pemimpin dalam Hindu sudah banyak diuraikan. Misalnya, tentang syarat kepemimpinan menurut ajaran Asta Bhrata dan bagaimana pemimpin harus mengikuti ajaran Sad Warnaning Rajaniti. Keduanya bersumber Ithiasa dan Purana. Untuk melengkapi itu saya ingin membahas masalah kepemimpinan yang dikaitkan langsung dengan sumber kitab suci Hindu, yakni Weda. Saya kira ini penting untuk menambahkan apa yang sudah saya uraikan sebelumnya. Apalagi lagi marakmaraknya pemilihan, baik pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pilkada yang memilih bupati dan gubernur. Maksudnya tentu untuk mendidik masyarakat agar tidak sembarangan memilih pemimpin karena dampak langsungnya nanti kita sebagai masyarakat yang akan menerimanya. Kalau kita sembarangan memilih pemimpin hanya karena diberi uang, diberi janji ban107
tuan ini dan itu, apalagi dasarnya adalah pertemanan, maka masyarakat tak akan maju. Pemimpin seperti itu tak bisa memperjuangkan nasib rakyat. Dia bisa ngomong memperjuangkan nasib rakyat, tetapi tak tahu caranya. Tahu caranya, namun kurang strategis dalam menyampaikan langkah. Pengalaman ini bisa kita saksikan, di pusat ada sembilan wakil rakyat (DPR) dan empat DPD, lalu apa yang dia hasilkan? Dan berapa orang yang betul-betul aktif berjuang untuk masyarakat Bali? Kitab Yajur Weda X.21 menyebutkan: avyathayai tva svadhayai tva. Arti bebasnya: “kita memilih seorang pemimpin untuk mengentaskan kemelaratan dan memperoleh kesejahtraan”. Jadi, kita tak bisa sembarangan memilih pemimpin, karena pemimpin itu haruslah punya arti bagi rakyat, yakni bisa meningkatkan tarap hidup rakyat dari keadaan yang belum mencukupi (miskin) menjadi sejahtra. Kalau pemimpinnya saja yang sejahtra dan rakyat tak ikut sejahtra, apalagi tetap miskin, maka gagallah pemimpin itu. Artinya juga kita gagal menempatkan orang sebagai pemimpin. Seorang pemimpin pun harus bertekad memperjuangkan kehidupan masyarakat. Yajur Weda XXX.5 menyebutkan: ksatraya rajanyam. Artinya: “seorang pemimpin atas rahmat Tuhan melindungi masyarakat.” Dalam bahasa sekarang ini sering disebutkan bahwa menjadi pemimpin itu adalah amanah untuk mengayomi umat. Bukan saja mensejahtrakan rakyat tetapi juga melindungi rakyat dari berbagai kesulitan. Dalam kitab Sama Weda, hal itu terus-menerus diulangi untuk lebih menekankan tugas seorang pemimpin. Sama Weda sloka 753 menyebutkan: visam visam hi gacchathah. Arti bebasnya: “wahai para pemimpin, datangi masyarakat dan bebaskanlah mereka dari penderitaan.” Hal ini dipertegas kembali dalam Sama Weda sloka 971: panca ksitinam dyumnam di bhara. Arti bebasnya: “wahai pemimpin, usahakan semua wargamu berbahagia, berikan kesejahtraan dan tolonglah mereka.” 108
Kalau pemimpin sudah melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan kitab Weda seperti yang dikutip dalam Yajur Weda dan Sama Weda tadi, maka tugas masyarakat adalah patuh kepada pemimpin itu. Ajaran Hindu menyebutkan bahwa umat harus setia kepada negara, karena itu pemimpin yang sudah dipilih sesuai dengan aturan negara, haruslah tetap dihormati. Kitab Rg Weda VIII.25.16 menyebutkan apa yang harus dilakukan oleh warga negara. Disebutkan: tasya vratani anu vas caramasi. Artinya: “kami semua taat dan patuh kepada peraturan pemerintah atau patuh kepada pemimpin.” Parisada Hindu Dharma pernah merumuskan dua hal penting dalam kehidupan umat, apa yang disebut dharma negara dan dharma agama. Dalam urusan berbangsa kita tunduk kepada aturan pemerintah, peraturan negara, dan pemimpin negara, meski itu berbeda keyakinan agama. Namun dalam urusan ritual keagamaan kita tunduk kepada aturan yang ditetapkan majelis agama, lembaga-lembaga agama, juga kepada pelaksana ritual itu sendiri seperti pemangku, pandita dan sebagainya. Jika seorang pemimpin bisa melaksanakan ajaran sesuai kitab Weda ini dan masyarakat ikut pula melaksanakan swadharma sesuai bidangnya, maka negara akan menjadi maju dan aman tentram. Ketentraman ini yang akan membuahkan kesejahtraan pada umat. Untuk itu pemimpin haruslah dipuji. Dan Kitab Rg Weda V. 37. 4 menulis: kseti ksitih subhargo nama pusyam. Artinya, “pemimpin yang berbudi luhur membuat namanya harum karena memberikan kemakmuran kepada warganya.” Nah, sekarang kembali kepada kita sendiri, apakah kita akan memilih pemimpin yang benar sebagaimana disebutkan dalam kitab suci atau masih asal-asalan seperti di masa lalu. Begitu pula orang yang akan menjadi pemimpin, apakah akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan kitab suci, sehingga namanya pun harum. Tentu sebelumnya, seorang calon pemimpin itu harus mengukur dirinya terlebih dahulu, apakah dia betul-betul 109
mampu menjadi pemimpin atau hanya ingin gengsi-gengsian dan menegakkan ego yang salah kaprah. Mengukur diri itu bisa berpedoman pada Asta Bhrata maupun Sad Warnaning Rajaniti, sedangkan melaksanakan tugasnya bisa mengikuti inti sari dari kitab suci Weda. Semoga pada setiap pemilu dan pilkada memiliki arti penting untuk bangsa, negara, dan umat. Sehingga apa yang dikatakan dalam Atharva Weda XII. 3. 10 yang berbunyi: uttaram rastram prajaya uttara vat (bangsa yang tangguh akan lebih hebat lagi bila warganya sejahtra), benar-benar menjadi kenyataan.
110
Pandita Budha Bukan Beragama Buddha
K
ETIKA pujawali di Pura Samuan Tiga beberapa hari yang lalu, ada orang yang bertanya kepada saya, kenapa upacara dipuput Tri Sadhaka yang terdiri dari Pandita Siwa, Pandita Budha dan Pandita Bujangga. Dia membacanya dari koran dan di berita itu tak dijelaskan sama sekali tentang fungsi ketiga pendeta itu. Karena itu dia bertanya: kenapa ritual agama Hindu harus dipuput juga oleh Pandita Budha? Bagaimana sejarahnya? Ternyata banyak orang yang tak paham soal ini. Kalau orang Bali saja tidak paham, bagaimana orang luar Bali yang bisa paham? Mereka pasti mengira bahwa Pandita Budha itu beragama Budha. Berdasarkan perkiraan itu orang luar Bali biasanya lebih banyak kagum akan kerukunan beragama di Bali. Tetapi bagi orang Bali yang tak paham mereka bingung apa urusannya pendeta yang beragama Buddha ikut-ikutan ritual dalam agama Hindu? Sebenarnya bukan hanya saat pujawali di Samuan Tiga saja dipuput Pandita Budha. Setiap upacara besar di Besakih pasti dipuput Tri Sadhaka yang unsurnya ada Pandita Budha. Bahkan pada ritual ngenteg linggih dan tawur yang besar seringkali harus membutuhkan Pandita Budha untuk muput. Yang harus 111
dipahami adalah Budha (dengan satu huruf “d”) adalah paham atau aliran atau di masa lalu sering disebut sekte, yang ada di dalam agama Hindu. Jadi bukan Buddha (dengan dua huruf “d”) sebuah agama resmi yang berdasarkan ajaran Sidharta Gautama atau Sang Buddha itu sendiri. Jadi Pandita Budha yang muput di Samuan Tiga, di Pura Besakih dan ritual besar lainnya, ya, pendeta yang beragama Hindu. Orang Bali juga sering tak paham atau sengaja membuat dirinya keliru tentang Tri Sadhaka. Dikiranya Tri Sadhaka itu adalah tiga pendeta berdasarkan keturunan atau klan. Sehingga muncul kemudian istilah Sarwa Sadhaka, artinya sadhaka (Pandita atau sulinggih) dari klan apa saja. Tidak, Tri Sadhaka ini adalah fungsi (di Bali sering disebut agem-ageman) sang sulinggih, apakah dia punya ageman Siwa, Budha atau Bujangga. Pandita Siwa, Pandita Budha, Pandita Bujangga dimuat dalam lontar Eka Pramana, yang tugasnya amrestistha Tri Bhuwana (membersihkan tiga alam) yaitu Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Dalam lontar itu tak dikenal istilah Tri Sadhaka. Jadi sebuah ritual besar dibutuhkan tiga jenis pendeta Hindu, yaitu satu atau lebih pendeta yang mengupacarai alam Bhur, satu atau lebih lagi mengupacarai alam Bhuwah, satu atau lebih lagi yang muput upacara di alam Swah. Nah, sulinggih Hindu itu dari manapun asalnya, dari manapun warganya, kalau memang menguasai muput upacara di kelompok-kelompok itu, silakan memuja. Kata Budha di Bali memang sudah sangat populer. Ada hari dalam bahasa Bali bernama Buda, hanya penulisannya yang beda, ucapannya sama saja. Selain itu, para pengikut agama Buddha di Bali sulit dibedakan sepintas lalu dengan umat Hindu. Semuanya membaur, baik secara budaya maupun kesehariannya. Kalau terjadi interaksi atau dialog, paling yang membedakan adalah umat Buddha lebih banyak diisi oleh warga keturunan. Tapi banyak juga orang Bali yang memeluk agama Buddha, 112
bahkan memegang posisi penting di wilayah agama itu. Bhiksu Girirakhito Mahatera yang kini telah tiada, adalah putra Bali asal Singaraja yang pernah memegang posisi tertinggi di Walubi (Perwalian Umat Budhha Indonesia). Tutur katanya begitu halus, dan selalu memakai bahasa Bali jika berbicara dengan orang Bali, meskipun beliau tinggal di Jakarta. Oka Diputhera, bekas direktur agama Buddha yang kemudian menjadi Sekjen Walubi, juga orang Bali kelahiran Negara. Kesehariannya tak bisa dibedakan dengan orang Bali yang Hindu, karena tutur bahasa dan guyonannya khas Bali. Begitu pula, misalnya, dengan pakar meditasi Merta Ada. Bahasa Balinya halus, logatnya pun Bali asli, stafnya banyak orang Bali yang Hindu, tapi Pak Merta Ada sendiri penganut Buddha yang taat. Hanya para pendeta (bikshu) Buddha yang jelas-jelas beda penampilannya, kepalanya plontos dan pakaiannya dengan warna dan corak yang khas. Interaksi Hindu dan Buddha di Bali selama ini berjalan harmonis. Namun umat Hindu tetap harus diberi pencerahan bahwa Pandita Budha yang muput upacara Hindu itu betul-betul beragama Hindu. Bukan yang lain.
113
Bagaimana Berpihak dalam Ithiasa
P
EMILIHAN presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 di negeri ini oleh beberapa tokoh diibaratkan sebagai perang. Karena yang bertarung adalah dua pasangan yang saling berhadap-hadapan, tidak ada pasangan ketiga. Amien Rais bahkan menyebutnya sebagai Perang Badar, perang suci umat Islam. Pernyataan ini banyak mendapat cemohan. Karena ini “perang tanding” tentu menarik diamati ke mana orang-orang berpihak, termasuk partainya. Partai Demokrat yang tadinya menyebut netral ternyata di banyak daerah sudah mulai memihak. Begitu pula ada tokoh partai tertentu menyeberang ke pihak lawan. Keberpihakan ini banyak penyebabnya, entah merasa lebih cocok secara ideologi atau karena mengincar jabatan. Sah-sah saja. Sebagai selingan di masa kampanye yang riuh ini, menarik untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh dalam ephos Mahabharata dan Ramayana melakukan pemihakan dan apa motifasi keberpihakan itu dalam perang. Karena kedua ephos itu di dalam Hindu dikatagorikan sebagai Ithiasa (kisah perjuangan), barangkali kita bisa bercermin dari sana. Di Mahabharata kita bisa melihat tokoh Karna dan Bhisma, misalnya. Karna lahir dari rahim Kunti, ibu para Pandawa. Kunti 114
mendapat ilmu dari seorang maharsi, kelak jika sedang bercinta, berdoalah pada dewa sesuai sifat anak yang diinginkan. Saat Kunti bercinta dengan “pacarnya”, ia membayangkan Dewa Surya. Lahir seorang bayi tampan sebelum Kunti menikah. (Dalam versi yang “lebih asli” Kunti itu benar-benar dikawini oleh Dewa Surya). Karena Kunti akan segera menikah dengan Pandu, maka bayi lelaki itu dibuang ke Sungai Gangga. Namun Kunti mengawasi anaknya sampai ada orang memungutnya. Di telinga anak itu dipasang anting-anting sebagai tanda. Bayi itukah kelak disebut Karna, artinya telinga. Namun, Atiratha, kusir dokar yang memungut bayi itu, memberi nama Radheya untuk sang bayi. Istri Atiratha, seorang perajut benang bernama Radha, mengasuh sang bayi dengan telaten karena dia tak punya anak. Syahdan, Radheya remaja tumbuh dengan kekar. Tapi dia ditolak belajar di padepokan Bagawan Drona karena anak seorang kusir. Radheya tak putus asa, ia mencari guru lain, Bagawan Bhargawa. Sementara itu, Kunti menikah dengan Pandu melahirkan tiga putra. Putra pertama karena ia memuja Dewa Dharma saat bercinta lahir Yudistira. Putra kedua dia memuja Dewa Bayu lahir Bima. Putra bungsu Kunti memuja Dewa Indra lahir Arjuna. Istri Pandu yang kedua, Madri, oleh Kunti diajari memuja Dewa Asmin, lahirlah anak kembar: Nakula dan Sahadewa. Ketika Pandu meninggal dunia, Madri yang memilih ritual satya (menceburkan diri pada api yang membakar Pandu). Imbalannya Kunti mengasuh ke lima anak lelaki itu tanpa pilih kasih. Kelima anak ini kemudian disebut Panca Pandawa. Ketika Radheya menginjak dewasa dan tahu asal-usulnya bahwa dia anak Kunti pertama, dia menuntut haknya. Kelima Pandawa menolak karena mereka tak pernah mendengar ibunya punya anak lain. Kunti tetap pegang rahasia, tapi dalam hati dia 115
mengakui Radheya anaknya, terbukti dari anting-anting yang dibawanya. Radheya kesal dan sejak itu ia memakai nama Karna untuk meyakinkan orang bahwa ia benar anak Kunti. Kekesalan ini didengar pihak Kurawa. Duryodana membujuk Karna agar bergabung ke Kurawa dengan jabatan Adipati. Karna setuju dan siap berlaga dalam perang Bharatayudha dengan tandingannya Arjuna. Pada hari ke 17 Bharatayudha, Adipati Karna dinobatkan sebagai “Senopati Perang” dengan kusir Prabru Salya melawan Arjuna yang dikusiri Krishna. Jadi, keberpihakan Karna dalam perang semata-mata untuk membalas sakit hati kepada Pandawa dan memamerkan kedudukannya yang tinggi di Korawa. Bagaimana dengan Bhisma? Tokoh yang bersumpah tidak kawin ini adalah seorang Rsi, bukan lagi kesatria. Seorang Rsi adalah brahmana dan tidak boleh ke medan laga. Bahkan Krishna sendiri mengatakan, berperang adalah tugas kesatria, bukan tugas brahmana. Namun, pemimpin Kurawa yakni Duryodana terus-menerus menekan Bhisma agar terlibat dalam peperangan. Setiap orang, dewasa atau anak-anak, harus ikut berperang. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Rsi Bhisma pun ikut dalam kancah Bharatayudha. Jadi, keberpihakan Rsi Bhisma dalam perang di pihak Korawa melawan Pandawa bisa disebutkan karena keterpaksaan sampai meninggalkan sesana kebrahmanaan. Itu contoh dua tokoh di ephos Mahabharata. Bagaimana dengan tokoh di ephos Ramayana? Ada Kumbakarna, tokoh sakti mandraguna, adik Rahwana. Kumbakarna tak setuju dengan kakaknya, Rahwana, yang menculik Dewi Sinta. Menurut Kumbakarna, Alengka menjadi morat-marit dan tercela gara-gara sifat kakaknya yang sombong dan doyan cewek. Kerajaan hancur karena wanita yang diculiknya di tengah hutan. Tetapi saat Kumbakarna dibangunkan untuk berperang melawan pasukan Rama, Kumbakarna siap bertempur. Apa alasannya? Dalang Cenk Blonk (Wayan Nardayana) dalam lakon Kumbakarna 116
Lina, menyebutkan alasan itu, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia intisarinya begini: “Saya bertempur tidak membela kakak saya, tidak membela pemimpin yang congkak, tetapi saya membela tanah air saya. Saya tak ingin ada musuh yang menyerang tanah air saya,” katanya. Jadi, Kumbakarna ingin negerinya aman dan damai, rakyat tidak menderita karena dijajah oleh musuh, dan untuk itu dia siap berperang. Kumbakarna bukan berperang untuk membela pemimpin kerajaan, yaitu kakaknya sendiri. Kita semua tahu, Karna, Rsi Bhisma, dan Kumbakarna, gugur dalam peperangan. Ketiganya gugur dengan kesedihan dari kedua belah pihak yang berperang. Karna ditangisi oleh ibu biologisnya, Kunti. Kelima Pandawa juga ikut menangis karena baru yakin Karna saudaranya. Rsi Bhisma bahkan sebelum ajal, pada saat panah masih menyangga tubuhnya, ditangisi oleh kubu Pandawa dan Korawa. Kumbakarna pun ditangisi rakyatnya. Berpedoman pada perang dalam Ithiasa ini, maka pada pilpres sekarang ini kita pun harus bisa menggunakan akal sehat. Apakah kita berpihak karena sakit hati kepada kubu lain, atau berpihak karena dipaksa, atau karena idealisme tinggi tapi tak mempertimbangkan sosok pemimpin. Ke manapun keberpihakan itu hendaknya dipikirkan matang-matang. Tetapi sebenarnya pilpres ini jangan diandaikan sebagai perang. Ini hanya pesta demokrasi, menang dan kalah adalah milik bersama untuk bangsa.
117
Jangan Dikaitkan Dengan Kali Yuga
K
APANKAH Kali Yuga dimulai? Kitab-kitab Weda sepertinya tak pernah memerinci. Orang hanya bisa menduga. Dugaan ini tentu berdasarkan tafsir dari beberapa kitab. Dan seperti halnya tafsir, orang bebas untuk tidak sepakat atau sepakat. Ada yang bilang, Kali Yuga dimulai pada hari kesepuluh Bharatayuda. Nah kapan itu persisnya? Tak ada seorang pun yang bisa menghitung dengan tepat, karena adanya perubahan sistem kalender. Kalau sejarah Mahabharata saja terjadi pro dan kontra tentang kapan terjadinya – ini pun masih diperdebatkan apakah itu sejarah atau fiksi -- bagaimana menghitung hari kesepuluh Bharatayuda? Ada yang menyebutkan Kali Yuga dimulai pada penobatan Raja Parikesit. Penafsiran ini lebih banyak muncul di Jawa, karena tokoh Parikesit lebih “hidup” di Jawa. Yang jelas, Kali Yuga adalah zaman yang tergelap dari zaman (yuga) yang lainnya. Kitab Weda menyebutkan empat Yuga, tanpa merinci kapan dimulai dan kapan berakhir. Satya Yuga adalah zaman yang paling baik, menyusul Treta Yuga, Dvara Yuga dan terakhir Kali Yuga. Umur masing-masing Yuga ribuan tahun, bahkan Satya Yuga berumur 1,8 juta tahun. Apa ini bisa dibayangkan oleh manusia-manusia zaman globalisasi? 118
Pergantian Yuga dicirikan oleh sejauh mana empat tiang penyangga dharma itu kokoh. Empat tiang penyangga dharma itu adalah pengendalian diri (tapah), kesucian (saucam), sifat karunia (daya) dan kejujuran (satyam). Di zaman Satya, keempat tiang penyangga dharma ini kokoh kuat, di zaman Treta mulai berkurang, di zaman Dvara mulai keropos, di zaman Kali sudah ambruk. Inilah zaman terburuk dalam sejarah waktu yang tak terbayangkan oleh kemampuan berpikir manusia. Sudah ribuan tahun berjalan. Kalau sudah ribuan tahun berjalan kenapa baru belakangan ini – katakanlah separoh abad terakhir– orang ribut dengan Kali Yuga? Kenapa kejelekan Kali Yuga baru diumbar sekarang ini? Bukankah di zaman keemasan Kerajaan Majapahit, zaman Kali itu sudah berlangsung atau di masa pemerintahan Dalem Waturenggong, zaman Kali sudah ada? Kenapa Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha yang menata kehidupan agama Hindu di Bali tak pernah menyebut-nyebut Kali Yuga? Sekarang ini apa pun kejelekan dikaitkan dengan Kali Yuga. Ahli agama ditahan gara-gara korupsi, disebut itu pengaruh zaman Kali. Bupati menjadi tersangka dikaitkan dengan Kali Yuga. Anak membunuh orang tuanya disebut imbas zaman Kali. Padahal di masa lalu Bali tenteram, sepeda digeletakkan di halaman rumah tanpa pagar tak ada yang mencuri. Pejabat yang korupsi jarang, karena proyek juga sedikit. Bukankah itu juga zaman Kali? Karena itu, yang salah bukan zaman Kali, yang jadi “kambing hitam” bukan Kali Yuga, tetapi memang mutu manusia semakin merosot karena kurang baik menyelaraskan diri dengan alam. Dulu orang-orang masih taat pada Tri Kaya Parisudha, janji-janji semua ditepati, tidak seperti janji politisi sekarang ini. Dulu orang-orang masih taat pada Tri Hita Karana, sungai punya wilayah bebas yang disebut telajakan, sekarang pinggir sungai sudah dibangun villa. Dulu konsep Tri Sadaka betul-betul ber119
dasarkan paham: Siwa, Buddha, Waisnawa. Sekarang dibelokkan ke soroh. Dulu Tri Kahyangan dibangun dengan konsep menyatukan desa pekraman, sekarang Tri Kahyangan diperebutkan untuk memecah desa pekraman, gara-gara ada bantuan dari Pemda. Pokoknya segala ketimpangan terjadi. Kenapa Kali Yuga dibawabawa, bukankah Kali Yuga sudah berumur ribuan tahun? Nah, sejatinya yang terjadi adalah orang-orang masa kini kurang bisa mengendalikan diri, sedangkan di masa lalu pengendalian diri itu sangat kuat. Maka mulailah berlatih mengendalikan diri. Lakukan pengendalian lidah, jangan bicara yang tak perlu, termasuk memberi janji-janji yang tak mungkin ditepati. Dalam ajaran Dasa Niyama Brata ada monabrata, pengendalian ucapan. Jika perlu “puasa bicara” kalau memang tak paham masalahnya. Dulu orang Bali rajin melakukan tapa, meditasi, perenungan dan sebagainya. Itu baik untuk mengendalian diri. Ini yang mesti ditiru dan ditularkan. Bukannya bersikap masa bodoh lalu kalau ada kasus: “Ah, ini Kali Yuga”. Jangan-jangan perlu penafsiran baru, Kali Yuga dan Yuga yang lainnya adalah proses kehidupan seorang manusia yang bisa berbeda-beda pada setiap orang dan bisa datang kapan saja.
120
Beri Teladan yang Baik
Z
AMAN Kali Yuga, kata orang-orang bijak, adalah zaman di mana nilai moral terjungkir balik. Yang salah bisa jadi benar, yang benar tiba-tiba jadi salah. Tapi, bukankah Kali Yuga itu sudah berlangsung berabad-abad yang lalu? Kenapa baru belakangan ini nilai moral terjungkir balik, kenapa tidak dari dulu? Saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Pertanyaan itu muncul saat ada diskusi di Pura Kepasekan Karanganyar, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. Dulu pertanyaan seperti itu sering pula saya dengar. Saya hanya bisa mengatakan, meski zaman Kali itu buruk, tidak berarti tidak ada yang baik. Hanya saja kalau diprosentase baik dan buruk dalam sepanjang Kali Yuga, keburukan yang lebih dominan. Apalagi menjelang peralihan zaman, yang diyakini sedang kita lalui saat ini, adalah klimak dari sifat Kali. Kalau benar saat-saat ini puncak dari keburukan Kali Yuga, maka yuga akan berganti dengan munculnya gerakan kesadaran baru. Tapi lupakan soal itu, yang penting bagaimana kita menghindar dari keburukan Kali Yuga. Sesuatu yang sulit, tetapi bukan suatu hal yang tak bisa kita hindari. Salah satu cara adalah menegakkan nilai-nilai moral. Tak usah terlalu menggebu-gebu untuk menegakkan nilai moral bangsa, sesuatu yang amat luas. 121
Juga jangan berambisi menegakkan moral untuk komunitas yang lebih besar. Kalau itu bisa kita lakukan, ya, tentu saja baik. Menegakkan nilai moral yang sangat penting adalah dari lingkungan yang terkecil, yakni keluarga. Orangtua harus bisa menanamkan moral yang baik kepada anak-anaknya. Orangtua harus bisa mejadi panutan dari anak-anaknya. Kalau moral dalam keluarga baik dan banyak orang melakukan hal itu, maka lingkungan yang lebih luas akan baik pula moralnya. Pamer kemewahan, pamer kekayaan, pamer pengetahuan, dan segala kecongkakan lainnya memang sudah gentayangan tanpa diimbangi nilai moral. Seorang ibu membanggakan anaknya: “Anakku pinter sekali, matematika dapat nilai sepuluh, selalu ranking satu di kelasnya.” Tetapi apakah anaknya dibekali nilai moral yang universal? Sang anak membuang sampah seenaknya di dalam rumah. Makan sembarangan, kadang sambil duduk di depan televisi memainkan handphone, kadang sambil berteriak-teriak kepada pembantu rumah tangganya. Tidak ada kesopanan apapun yang ditanamkan kepada anak itu. Sang ibu juga tak ambil pusing. Kalau rumah kotor toh ada pembantu yang akan membereskan kebersihan rumah. Akan menjadi apa anak itu di kemudian hari? Dia akan menjadi orang yang tidak peduli terhadap lingkungan sosial. Dia bisa tetap pinter, tetapi mungkin akan menjadi koruptor kalau dia menjabat, karena sejak kecil diperkenalkan dengan budaya mewah dan gampang cari uang. Akan menjadi pemimpin yang hanya bisa memerintah, karena sejak kecil memerintah pembantu rumah tangga keluarganya. Akan tumpul nuraninya karena tidak pernah menghargai setiap kehidupan. Kalau ada konflik akan dihadapi dengan kekerasan, karena tidak terbiasa berdialog, sejak kecil sudah main sms (pesan pendek) bersama temannya. Mari kita pelajari masyarakat Jepang. Sekarang Jepang sudah membuka diri kepada masyarakat luar. Setengah abad yang lalu, 122
penunjuk jalan dan berbagai informasi masih sangat minim menggunakan ejaan latin dan bahasa Inggris. Jepang sangat konsisten mempertahankan budaya tradisionalnya, termasuk bahasa. Saat ini, dalam hal bahasa, mereka sudah membuka diri karena globalisasi mengharuskan terjadinya interaksi dan kita hidup dalam satu planet bumi. Tapi, ada yang tetap mereka pertahankan: nilai moral. Nilai-nilai lama yang membuat bangsa ini menjadi terhormat. Datanglah ke pedesaan Jepang, anak-anak makan dengan tertib, tak ada yang berdiri, apalagi berlari. Anak begitu hormat kepada orangtuanya, setiap pergi pasti pamit, dan orangtua tahu ke mana anaknya pergi. Apalagi budaya malu yang kebanyakan berakhir dengan hara-kiri (bunuh diri) masih terjadi. Di negeri kita orang yang dipermalukan karena korupsi, misalnya, masih bisa tersenyum ria di pengadilan. Tetua kita di Bali di masa lalu pun menanamkan nilai moral yang luhur kepada anaknya, meskipun dibalut dengan simbulsimbul yang sekarang mungkin disebut takhayul. Makan harus tertib, tak boleh ada sisa nasi di piring, nanti siap selem (ayam hitam) bisa mati. Tujuannya agar membiasakan diri untuk menghargai makanan. Tak boleh menduduki bantal, nanti bisul. Bantal adalah sandaran untuk kepala, agar mereka tahu apa yang harus dihormati. Kalau tidur, kepala di arah gunung atau arah matahari terbit, supaya tahu bahwa gunung dan terbitnya matahari adalah lambang kesucian, ke arah itulah kita melakukan persembahyangan. Sekarang hal itu jadi takhayul. Masalahnya adalah simbul harus direvisi pada saat pendidikan membaik. “Jangan menduduki bantal, nanti bisulan.” Anak-anak zaman sekarang tentu tertawa, apa hubungan bantal dengan bisul? Akhirnya mereka menganggap pesan moral leluhur orang Bali di masa lalu semuanya takhayul. Padahal inti dari pesan itu tetap universal, bagaimana kita memfungsikan sebuah benda pada kegunaannya. Sekarang larangan itu harus dilakukan dengan lebih berterus-terang. 123
Kalau kita bisa memberi teladan baik pada lingkungan terkecil, mulai dari keluarga, meningkat ke lingkungan banjar, lalu ke desa, bisa diteruskan ke lingkungan organisasi atau pemerintahan. Sekarang ini banyak pemimpin yang tak memberi teladan baik. Misalnya, selalu berkoar-koar taat hukum, tetapi ketika ada warganya ditahan mereka mengerahkan aksi massa melakukan demo, menuntut warga itu dilepaskan. Mestinya kalau taat hukum, biarkan hukum yang bicara. Ada pemimpin yang sering mendengungkan ajeg Bali, tetapi selalu memberikan informasi yang memecah-belah masyarakat. Mestinya, jika betul ingin ada keajegan, justru perbedaan yang ada dicarikan jalan keluar dalam musyawarah menyaba-braya, sesuai konsep orang Bali. Memang sulit memberi teladan yang baik. Antara apa yang dikemukakan dan apa yang dilaksanakan haruslah sejalan. Namun, teladan itu harus kita berikan, karena ini menyangkut integritas kita sebagai manusia, apalagi pada saat menjadi pemimpin. Tentu syarat utama adalah kita sendiri yang berbuat baik lebih dahulu, kita sendiri yang harus taat pada apa yang kita katakan, setelah itulah kita sebarkan teladan baik itu. Kalau kita tak mampu berbuat itu, ya, jangan menjadi pemimpin, bahkan menjadi orangtua yang baik pun mungkin masih jauh.
124
Mari Menyelamatkan Lontar Warisan
P
ADA Hari Raya Galungan yang lalu, saya menemui sebuah keluarga yang menaruh lontar di samping sesajen yang diletakkan di balai yadnya. Selain lontar ada juga keris. Keluarga itu mengatakan hal ini biasa dilakukan sebagai memuliakan warisan leluhurnya. Bagi mereka Galungan adalah memuja Hyang Guru yang tiada lain adalah leluhur mereka para Hyang Pitara yang sudah menyatu dengan Tuhan. Sebagian tentu benar karena ini artinya mereka memuja leluhur. Karena itu semua warisan leluhur seperti lontar dan keris ikut ditaruh di samping sesajen. Sayangnya mereka tak melakukan itu pada Hari Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan. Apakah isi lontar itu? Saya tidak tahu. Salah satu keluarga itu saya tanya, mereka juga tidak tahu apa isinya. Bagi mereka, isi itu tak penting. Yang sangat penting dan selalu dijaga adalah ini warisan leluhur yang tak boleh dipindah tangan atau dipinjam orang lain. Bahkan untuk dibaca orang lain juga sulit mendapatkan izin. Artinya, lontar itu dikeramatkan. Saya teringat masa kecil ketika dibebaskan untuk membaca lontar milik orang tua. Ternyata isinya tak semua hal-hal yang sakral. Ada lontar yang isinya tembang dengan tema bagaimana cara menang dalam berjudi. Ada juga lontar yang berisi perim125
bon, semacam kalau ada gempa hari Sabtu, apa artinya, kapan hari baik cukur rambut dan sebagainya. Entah kalau ayah menyembunyikan lontar-lontar yang sakral. Setelah saya amati kemudian, sesungguhnya lontar itu hanyalah sarana untuk menulis pada zamannya. Pada saat belum ditemukan kertas dan alat tulis lain, lontar pun digunakan. Sebelum lontar dikenal tulisan di batu-batu. Pada saat alat tulis kertas ada, orang tentu menulis di kertas. Bahkan kini pada saat ada komputer orang menulis di komputer dan disimpan lewat CD (compact disc) atau flashdisk. Maka CD dan flashdisk saat ini adalah “lontar yang moderen”. Tentu banyak lontar yang keramat lantaran dijadikan semacam “pratima”. Nah, ini biasanya berisi aksara suci dalam tulisan Bali. Bisa berupa mantram, bisa pula berupa gambar-gambar simbol suci, atau kombinasi keduanya. Lontar jenis ini memang harus dikeramatkan dalam arti disucikan. Saat ini kalau kita datang ke Tenganan Pegringsingan, banyak sekali dijual ornamen yang berbentuk lontar yang isinya tergantung kita. Ada tentang kelahiran atau gambar-gambar dari kisah wayang. Bahkan pengrajin “lontar” di sana mengerjakannya di depan para tamu. Lontar-lontar masa lalu harusnya diselamatkan. Artinya, dibaca dan dikaji apa isinya. Kalau manfaatnya banyak bisa disalin. Orang cukup membaca salinannya, kalau mau yang aslinya datang ke museum. Gedong Kirtya Singaraja dan Museum Lontar milik Fakuktas Sastra dan Budaya Universitas Udayana termasuk yang banyak menyimpan lontar. Sayang pengunjungnya kurang dan dari sudut pemeliharaan pun sepertinya kurang memadai. Pemerintah harus memberi anggaran lebih untuk pemeliharaan lontar supaya jangan lapuk dimakan usia. Beberapa tahun lalu, Dr. Mantra — yang saat itu masih menjadi eksekutif di USI/IBM —men-scan banyak lontar di Bali ke dalam perangkat komputer. Saya tak tahu sudah seberapa banyak lontar yang dipindahkan ke dalam perangkat komputer 126
itu. Namun, yang kurang sekali saya dengar adalah perhatian pemerintah daerah untuk membantu usaha seperti ini. Sesungguhnya kita harus segera menggugah masyarakat Bali — dari yang awam sampai para elitenya — untuk bersama-sama menyelamatkan warisan budaya kita di masa lalu dengan memanfaatkan teknologi yang ada sekarang. Orang awam, misalnya, kita beritahu bagaimana menyimpan lontar yang baik, termasuk bagaimana memperlakukan lontar itu sendiri. Gedong Kirtya bukan saja harus dibantu sarana menyimpan koleksinya, tetapi juga dibantu peralatan untuk mengganti “lontar dari daun rontal” menjadi “lontar moderen” yang bernama compact disc alias CD. Di Jakarta, berbagai perpustakaan sudah mulai menyelamatkan koleksi masa lalu yang rentan terhadap kerusakan, seperti koran, majalah, buku, termasuk bahan sejenis lontar. Bagaimana mengatur suhu ruangan, bagaimana agar tidak ada secuil debu pun bisa masuk. Bahkan kini memindahkan isi buku, majalah, koran dan sebagainya itu, ke dalam bentuk mikrofilm dan CD. Apa upaya untuk menyelamatkan lontar kita di Bali?
127
Asap Rokok di Pura
B
ARU-BARU ini di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar sejumlah orang ditangkap karena merokok di lingkungan rumah sakit. Mereka tak sekedar diberi peringatan, tetapi sudah mulai didenda. Orang yang kena denda itu kaget, karena mereka tidak tahu ada peraturan yang sudah memberikan denda bagi siapa saja yang merokok di tempat umum. Larangan merokok di rumah sakit sudah sejak lama. Bahkan ada atau tidak ada larangan merokok, rumah sakit seharusnya seteril dari asap rokok. Tetapi sudah umum para penunggu pasien mengepulkan asap rokok di lorong-lorong zal. Apalagi kalau sudah berada di taman sekitar zal-zal, hampir semua lelaki merokok. Hanya di ruang VIP saja larangan merokok itu diperhatikan pengunjung dan keluarga pasien. Larangan merokok di tempat umum sudah dijadikan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali sejak 2011. Peraturan Daerah ini melarang orang merokok di tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, perkantoran, terminal, termasuk di tempat ibadah. Meski Peraturan Daerah ini disahkan DPRD Bali tahun 2011 namun baru diberlakukan dendanya pada bulan Juni 2012. Alasannya adalah sosialisasi karena ada unsur pidananya. Tapi 128
apa yang terjadi di lapangan? Perda ini seperti macam ompong. Baru awal bulan ini terdengar ada sanksi buat pelanggar larangan merokok di RSUP Sanglah. Di tempat lain tak pernah terdengar. Di tempat umum seperti terminal, apalagi pura, pelanggaran seperti hal yang biasa. Tak ada pengawasan untuk menegakkan peraturan ini. Apalagi di pura-pura yang letaknya di pegunungan, di mana udara dingin membuat orang banyak merokok, Perda itu sudah sama sekali tak berlaku. Beberapa orang bahkan menyebutkan, lebih baik tidak datang bersembahyang ke pura kalau dilarang merokok. Apakah ini karena masih “belum terbiasa” atau karena umat kurang terlatih mengekang dirinya? Bisa kedua-duanya. Di daerah lain Perda larangan merokok sudah lama ada dan pengawasan ketat. Apalagi di Jakarta, semua tempat ibadah termasuk pura tak boleh ada orang merokok. Bahkan sebelum ada Perda larangan merokok ini, di Pura Aditya Jaya Rawamangun tidak ada yang merokok di Jaba Tengah, apalagi di jeroan. Padahal tidak ada tulisan “Dilarang Merokok” namun umat tertib untuk tidak merokok. Mereka tahu dari berbagai dharmawacana, asap yang ada di dalam pura hanyalah asap dupa dan asap pengasepan di hadapan Pinandita atau Sulinggih. Jangan lagi ada asap lain, apalagi asap rokok. Nah, setelah adanya Perda, maka larangan merokok ini secara otomatis berlaku di seluruh kawasan pura termasuk di Jaba Pura sebagai areal milik umum. Di Bali, jangankan umat sebagai pemedek, para pemangku pun saat menunggu atau selesai nganteb banten, biasanya merokok. Ini dilakukan di mana saja di wilayah pura itu, termasuk di piasan (balai pewedan). Apalagi pura yang terletak di pegunungan, dengan alasan dingin, sebagian besar umat Hindu merokok di dalam pura. Dalam kitab Weda memang tidak ada larangan merokok. Bahkan kata rokok itu sendiri juga tak pernah ditemukan. Namun ada dijumpai kata-kata yang menyebutkan bahwa asap 129
mengepul dari tempat-tempat persembahyangan, dan asap itu datangnya dari api yadnya (dipa dan dupa), tidak dari yang lainnya. Artinya, tidak diperbolehkan ada asap lain yang menyertai asap dari api pemujaan. Di India semua tempat ibadah Hindu tidak memperbolehkan orang merokok. Begitu pula di ashramashram. Ashram Gandhi yang didirikan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka di Candi Dasa, Karangasem, termasuk yang ketat menjalankan tradisi dilarang merokok, sejak memasuki ashram itu di pekarangan. “Kalau kalian terbiasa merokok, cobalah tahan beberapa jam saja keinginan merokok itu selama di ashram ini,” begitu Ibu Gedong biasanya menegor tamunya yang kecanduan rokok. Di pasraman saya tak bisa ketat seperti itu, orang masih merokok di halaman. Kecuali di merajan dan di aula di mana saya menerima tamu sehari-hari. Tapi kalau ada acara seperti diskusi atau penataran di aula, orang pun merokok, sudah capek melarang. Saya yang mengalah. Sulinggih memang seharusnya pantang merokok, namun dijumpai satu dua – memang tidak banyak – sulinggih yang ternyata merokok, tetapi bukan saat melaksanakan yadnya. Tidak merokok termasuk pengendalian diri. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin dipikirkan oleh pemuka agama Hindu, bagaimana supaya umat tidak merokok selama berada di pura. Ini selain untuk menegakkan Perda yang sudah dibuat, juga untuk menjaga kesucian pura itu sendiri dari asap yang bukan dari sarana yadnya. Umat haruslah diberi penyadaran bahwa asap yang bukan dari dipa dan dupa di dalam pura, fungsinya hanya mengotori kesucian pura. Namun, kalau memang tak bisa dilarang secara drastis sebagaimana bunyi Perda, saya usulkan secara bertahap dan juga kawasan yang betul-betul steril dari asap rokok. Misalnya hanya di jeroan (mandala utama) saja yang tak boleh merokok. Toh waktunya tidak lama di jeroan. Di Jaba Tengah (mandala madya) dibolehkan. Kalau tidak tahan ingin merokok, 130
termasuk Jro Mangku, keluar dulu ke jaba, merokoklah di sana. Setelah selesai merokok masuk lagi ke jeroan. Kalau jeroan itu luas dan larangan merokok tak bisa dilakukan dengan ketat, orang yang duduk di piasan atau balai pewedan sama sekali tidak boleh merokok. Ini sudah harga mati. Kalau umat dan apalagi pemangku masih merokok selama duduk di piasan, itu pertanda mereka tidak bisa mengendalikan indriyanya. Kalau mengendalikan indriya saja tak bisa, bagaimana mengendalikan pikiran dan hal-hal lain sebagaimana yang diatur dalam sesana kepemangkuan? Nah, nanti kalau sudah terbiasa tidak merokok di jeroan, barulah ditingkatkan tidak boleh merokok di Jaba Tengah. Itu pun dengan catatan, jika saat muspa (biasanya dengan panca sembah) ada pemedek yang muspa dari Jaba Tengah, rokok harus dimatikan. Ingat, sebagaimana dicantumkan dalam Weda, dalam pemujaan jangan sampai ada asap lain selain dipa dan dupa. Sudah saatnya kita memperbaiki sikap memuja dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan. Termasuk untuk tidak merokok di kawasan tempat suci. Seharusnya umat mulai menyadari pengendalian diri ini, apalagi pemerintah ikut campur mengatur masalah kesucian asap di pura ini dengan melahirkan Perda larangan merokok. Mari kita patuhi dan pemerintah seharusnya mulai ketat menjalankan Perda ini. Untuk apa Perda dilahirkan kalau tidak dilaksanakan.
131
“Cuntaka” Karena Kematian
M
ELALUI media sosial ada umat Hindu di Sulawesi Barat yang bertanya, bagaimana sesungguhnya masalah cuntaka jika ada kematian. Siapa saja yang cuntaka, apakah batasannya keluarga ataukah suatu wilayah. Yang jadi soal adalah komunitas umat Hindu di rantauan itu datang dari berbagai desa di Bali yang semuanya punya pengalaman yang berbeda-beda sesuai tradisi yang dibawanya dari Bali. Jadi ada banyak versi. Memang, masalah cuntaka (disebut juga sebel dan leteh) bagi umat Hindu di Bali masih belum ada keseragaman. Terutama cuntaka dalam hal kematian. Bisa terjadi di desa adat yang berbeda, versi cuntaka juga berbeda. Di luar Bali, semestinya perbedaan bisa diatasi karena masyarakatnya majemuk dan tidak berasal dari satu desa di Bali, sehingga jangan memakai tradisi dari daerah asal tertentu. Yang dijadikan pegangan adalah Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu yang pernah dihasilkan pemuka agama di Bali. Seminar Kesatuan Tafsir mengenai cuntaka merujuk pada Lontar Catur Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya berlaku untuk keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon. Tidak ada suatu wilayah di luar pekarangan 132
rumah duka yang menjadi “kotor” hanya karena ada kematian. Jadi, yang cuntaka (arti rohaninya adalah kotor sehingga tak boleh melakukan sesuatu) hanyalah rumah duka, tempat di mana jenazah disemayamkan dan keluarga yang meninggal sampai pada garis mindon. Namun, tradisi di Bali begitu kuat, hasil Seminar Kesatuan Tafsir bisa tidak mempan. Jika di suatu desa masyarakatnya tak mau mengubah tradisi, maka kebiasaan masa lalu yang tak jelas rujukannya itu tetap saja dipakai. Tetapi jauh lebih banyak desa-desa adat yang sudah menyesuaikan dengan perkembangan baru yang merujuk kepada sastra agama termasuk hasil seminar itu. Di desa saya di masa lalu, tradisi cuntaka juga begitu ketat. Setiap ada orang meninggal dunia, membatalkan piodalan di pura yang ada di desa, apakah itu pura panti, paibon, atau tri kahyangan. Dulu, penduduk yang sedikit, tidak ada masalah. Paling hanya sesekali saja piodalan batal karena cuntaka. Tetapi, dengan jumlah penduduk yang besar, melebihi seribu kepala keluarga, akan membuat masalah. Bayangkanlah kalau persiapan piodalan sudah dilakukan jauh-jauh hari, banten sudah dibuat lengkap, teruna-teruni siap untuk ngayah, ada orang meninggal dunia, lalu piodalan batal. Bukankah ini kerugian yang sangat besar? Mengubah tradisi memang tidak mudah, perlu memberi pemahaman kepada orang-orang tua “penjaga tradisi”. Jika berhasil, dalam beberapa hal perlu ada masa transisi. Misalnya, kalau ada kematian sementara akan ada piodalan, dicarikan akal agar desa dianggap tidak cuntaka. Apa akal itu? Jenazah dikuburkan malam hari setelah matahari terbenam, pada kesempatan pertama. Tidak boleh jenazah diinapkan di rumah, tidak boleh memukul kentongan, tidak boleh ada upacara apapun di rumah duka, semua upacara dilakukan di kuburan. Dengan akal-akalan seperti ini desa tetap dianggap “bersih” (bebas dari cuntaka) karena penguburan itu disebut “memaling” (mencuri atau di 133
luar aturan). Piodalan tetap berlangsung, hanya keluarga yang kematian saja tak boleh ke pura. Namun, sekarang hal seperti itu pun sudah dihilangkan juga. Tak ada penguburan malam hari karena hal ini sangat merugikan keluarga yang berduka. Bagaimana kalau keluarga itu belum kumpul, masih ada yang ditunggu karena tinggal di rantauan, bukankah kesempatan untuk menyaksikan penguburan itu tidak mungkin? Akhirnya ditetapkan, penguburan seperti biasa. Piodalan pun tetap berlangsung, yang kena cuntaka dan tidak boleh ke pura hanya keluarga yang kematian. Artinya, hasil seminar kesatuan tafsir sudah dipakai. Bahwa ada desa adat yang masih memberlakukan cuntaka dengan ketat seperti di masa lalu, itu karena sosialisasi Seminar Kesatuan Tafsir tidak dilakukan dengan baik. Jika pun ada sosialisasi, penjelasannya tidak banyak dilakukan, sehingga tak mampu mengubah pikiran para “penjaga tradisi” yang umumnya orang-orang tua. Ada sebuah desa adat di Bali yang jarang sekali melakukan piodalan, hanya karena terkena cuntaka. Jenis cuntaka yang bisa membatalkan piodalan itu banyak sekali, bukan sekedar kematian, tetapi juga kelahiran. Bahkan ada yang menyebutkan, piodalan juga batal hanya karena ada anjing beranak. Bisa bertahun-tahun tak ada piodalan di pura desa itu. Cobalah lantas dibayangkan, bagaimana umat Hindu menjalankan ritual agamanya kalau dikekang dengan tradisi cuntaka seperti ini? Untuk apa pula membangun pura kalau tidak digunakan sebagai tempat bersembahyang? Mengubah tradisi sangat pelik, karena sejumlah orang tua menganggap tradisi itu sebuah “agama”. Dengan menyebutkan “nak mula keto” (sudah begitu dari dulu) mereka agak sulit diyakinkan bahwa agama yang benar mempunyai ajaran yang baku. Kalau tradisi itu melanggar ajaran agama, ya, harus diperbaiki. Masalahnya bagaimana menunjukkan dan kemudian meyakinkan umat di lapisan bawah bahwa ada ajaran Hindu 134
yang harus dijadikan pedoman di luar tradisi. Saat ini masih ada mayat yang lama tak bisa dikuburkan karena ada upacara piodalan di desa. Apalagi kalau piodalan itu besar pula, misalnya, ngenteg linggih dan sebagainya. Kalau jenazah itu dikuburkan artinya cuntaka, karena masih memberlakukan sistem cuntaka berdasarkan wilayah, yaitu wilayah desa adat. Bukan dibatasi oleh wilayah rumah duka. Jadi orang yang meninggal itu tetap tak bisa dikuburkan dan dibiarkan di rumah dengan status “masih tidur”. Tidak ada upacara kematian apapun. Bagi orang yang hidup sederhana, apalagi masih serba kekurangan, jelas ini sangat berat karena harus merawat jenazah di rumah. Belum lagi faktor kesehatan jika penanganan jenazah kurang baik. Bagi orang kaya tak masalah, bahkan kalau meninggalnya di rumah sakit, sekalian menyewa tempat jenazah di rumah sakit. Mari kita berpikir yang lebih jernih soal cuntaka kematian ini. Kalau pemuka agama Hindu sudah membuat tafsir yang menyebutkan cuntaka itu hanya terbatas pada rumah duka dan keluarga sampai garis mindon, kenapa hal itu tidak kita pakai rujukan.
135
Catur Guru yang Tak Terpisahkan
S
EBUAH bangsa yang maju pasti karena di sana ada guru-guru bermutu. Ungkapan ini seringkali dilontarkan oleh berbagai tokoh. Artinya, peran dan peranan guru sangat menentukan maju mundurnya sebuah bangsa. Karena generasi yang terdidik bagus hanya bisa dilakukan oleh guru yang baik. Tentu pula ada sistem di dalamnya sehingga guru punya pegangan dalam mengajar. Demikian pentingnya guru sudah diantisipasi sejak dulu kala, bahkan ketika di awal peradaban ini dengan berbagai ajaran tentang guru. Dalam Hindu guru itu bukan saja pendidik yang secara formal mendapatkan sertifikat mengajar sebagai guru, tetapi di setiap lingkungan ada guru. Hindu mengenal ada Catur Guru, yakni Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa dan Guru Swadyaya. Keempat guru ini tak terpisahkan dan saling melengkapi untuk mendidik dan membimbing seseorang agar mencapai kecerdasan dan perilaku yang baik. Guru Rupaka adalah orang tua yang melahirkan kita. Kedua orang tua inilah yang memberikan pendidikan awal untuk seorang anak sejak dilahirkan. Guru yang mengajarkan anak berjalan, berbicara, mengenal lingkungan dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada seorang anak. Kalau orang tua salah 136
dalam mendidik anak sejak kecil maka resikonya akan diterima anak itu setelah dewasa. Kalau teladan yang diberikan orang tua buruk, maka buruklah anak itu. Kalau orang tuanya perokok anak itu besar kemungkinan juga perokok. Kalau orang tuanya rajin sembahyang dan melantunkan sloka-sloka suci, si anak pasti akan mengikutinya. Di era sekarang ini anak usia tiga tahun sudah bisa melafalkan Gayatri Mantram dengan benar karena orang tuanya rajin melantunkan mantram itu. Tentu karena berbagai keterbatasan, orang tua tak bisa mendidik anak seterusnya. Seirama dengan usia, anak itu pun masuk sekolah. Ia dibina oleh guru yang kedua, yakni Guru Pengajian. Guru formal di sekolah, bisa pula disebut Guru Parampara. Guru di sekolah inilah yang perannya lebih banyak memberikan pendidikan sesuai dengan kurikulum yang disediakan pemerintah. Dalam bahasa yang populer guru di sekolah ini membuat seseorang memiliki kecerdasan dalam kehidupan berbangsa. Tapi tak cukup dengan itu. Seorang anak yang meningkat menjadi remaja, apalagi menjadi dewasa, harus belajar bermasyarakat dan belajar pula hidup dalam komunitas bangsa. Maka ada guru yang ketiga disebut Guru Wisesa. Wisesa yang dimaksud adalah pemerintah dari tingkatan yang terendah sampai yang tertinggi. Orang pasti banyak belajar dari pemerintah dan pemerintah wajib memenuhi kebutuhan masyarakatnya secara material dan spiritual. Guru keempat yang terakhir adalah Guru Sejati, Guru Maha Agung. Tak lain adalah Tuhan itu sendiri. Dalam istilah Catur Guru ini disebut Guru Swadyaya. Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati adalah Maha Guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti Guru. Semua ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari Tuhan. Keempat guru ini harus kita hormati. Seorang anak yang tidak menghormati orang tuanya akan menyebabkan anak itu kehilangan keseimbangan. Ia menjadi anak yang durhaka. Dalam berb137
agai agama disebutkan bahwa sorga itu letaknya di telapak kaki ibu. Artinya seorang anak wajib sujud bhakti kepada ibunya. Anak yang tidak menghormati guru di sekolahnya juga bukan anak yang baik. Sekarang ini banyak terjadi, anak-anak sekolah hanya menghormati guru ketika berada di dalam kelas. Begitu di luar kelas apalagi di luar sekolah, guru itu kurang dihormati lagi. Jarang misalnya anak yang menawarkan kepada gurunya untuk dibonceng atau diajak naik mobil. Kalau kepada guru sekolah saja tak hormat, bagaimana menghormati pemerintah sebagai guru Wisesa? Berbagai peraturan pemerintah dilanggar seenaknya oleh anak-anak muda. Tentu yang paling tragis jika seorang anak tak lagi hormat dan bhakti kepada Guru Swadyaya. Jarang sembahyang. Setiap purnama memang betul pergi ke Pura Jagatnatha, tetapi di sana hanya sembahyang seadanya lalu kencan bersama temantemannya. Memuja kebesaran-Nya kalah oleh memuja pacar. Mari kita menghayati ajaran Catur Guru tanpa pernah membedakan kasih kepada empat guru itu. Apalagi dalam Hindu adanya Hyang Guru atau Bethara Guru menjadi tumpuan kita memuja setiap hari. Jadilah anak yang utama, suputra.
138
Ormas Keagamaan
S
EORANG teman yang juga seorang aktifis di Jakarta bertanya pada saya, apakah ormas-ormas yang muncul di Bali belakangan ini termasuk ormas keagamaan atau ormas biasa saja yang bergerak di bidang sosial budaya. Dia menyebut beberapa nama, antara lain, Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika yang posternya banyak bertebaran di jalan-jalan. Dia bertanya begitu karena dalam poster ada pajangan pengurusnya yang semuanya memakai kain adat Bali. Saya menjawab bahwa ormas itu bukan ormas keagamaan. Tapi akhirnya kami sepakat pula bahwa sesungguhnya sulit untuk memilah apakah sebuah ormas yang membawa-bawa label agama bisa disebutkan sebagai ormas keagamaan. Laskar Bali dan sejenisnya itu bisa disamakan levelnya dengan ormas semacam Forum Betawi Rembug di Jakarta. Apakah itu ormas keagamaan? Tentu tidak. Tetapi apakah Forum Pembela Islam (FPI) adalah ormas keagamaan untuk umat Muslim? Apakah pagayuban yang memakai nama Hindu adalah ormas keagamaan untuk umat Hindu? Susah mengelompokkan demikian. Karena kaitannya sering tidak nyambung dengan majelis keagamaan. Apakah majelis agama yang dimiliki oleh semua agama yang ada di Indonesia, 139
bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu? Mengayomi dalam maksud memberikan bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan karena organisasi kemasyarakatan itu jelasjelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas, mereka bisa menegur ormas keagamaan yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa karena tak “mampu dibina”, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan. Tentu tak bisa seperti itu. Majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan tidak menjadi “bawahan” majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya itu hanyalah organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298). Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya) mereka lantas disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rembug atau Laskar Bali – dengan catatan kalau ormas itu terdaftar di Kemendagri, karena ada ribuan ormas yang tak terdaftar. FPI sering melakukan aksi-aksi yang dianggap meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Islam (MUI) menegurnya, bukankah tak ada hubungan organisatoris? Demikian pula di Hindu, jika ada paguyuban yang memakai label Hindu berbuat yang meresahkan masyarakat, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tentu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi yang tak berlabel agama seperti misalnya bentrok antarormas di Bali, PHDI tak bisa berbuat apa-apa. Karena sejatinya semua ormas itu bukanlah dalam payung majelis agama yang sah. Tentu kita berharap, ormas-ormas yang membawa label 140
agama betul-betul menerapkan ajaran agama yang luhur dalam setiap langkahnya. Jika perlu dipikirkan adanya peraturan atau perundangan yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Majelis dan forum ini belum dipayungi oleh undang-undang. FKUB misalnya lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 dalam kaitan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus pun bermunculan. Ada wilayah yang sulit mendirikan tempat ibadah untuk kaum minoritas, misalnya, sulit membangun pura di Sumatra Barat dan lainnya. Namun sebaliknya ada wilayah yang gampang membuat tempat ibadah, seperti pembangunan masjid-masjid di pedesaan Bali. Akan halnya organisasi kemasyarakatan disesuaikan dengan gerak langkahnya. Yang betul-betul bersentuhan dengan agama dan jelas dari namanya sudah memakai nama agama tertentu, diresmikan saja sebagai ormas keagamaan. Kemudian diatur bagaimana hubungannya dengan majelis agama. Bagi yang tidak berlabel agama, sebut saja ormas sosial budaya, karena kalau disebut ormas sosial politik tentu tak mungkin karena itu wilayahnya sudah ada di partai politik. Dengan demikian akan menjadi jelas, apakah ormas yang tumbuh di Bali belakangan ini seperti Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika dan lain-lainnya itu bergerak di bidang sosial budaya atau keagamaan. Namun, kalau kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya untuk apa sih ormas-ormas itu? Dan untuk apa pula memajang baliho yang banyak di jalanan? Lebih baik membuat paguyuban suka duka atau pesemetonan yang banyak bekerja ke masyarakat, tetapi tidak banyak pamer.
141
Membangun Jalan Layang
M
EMBANGUN jalan layang di Bali itu sudah tidak mungkin, karena mengganggu ritual orang melasti ke laut. Pratima yang merupakan simbol Tuhan di dalam ritual melasti tak boleh berjalan di bawah jalan yang dilalui mobil. Karena tidak suci lagi, siapa yang menjamin kalau mobil yang lewat di atasnya tidak membawa orang yang sedang cuntaka, entah itu cuntaka kematian atau wanita datang bulan. Begitulah cerita yang saya dengar ketika jalan bypass Prof. Mantra tengah dibangun. Di setiap persimpangan jalan ini pada awalnya dirancang ada jalan layang, sehingga jalan bypass itu betul-betul bebas hambatan di perempatan jalan, jadi mirip jalan tol. Tetapi jalan layang itu batal dan tak mungkin dilaksanakan karena pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat Bali tidak setuju, dengan alasan kesucian ritual melasti menjadi tercemar. Saya pun mendengar cerita – entah benar atau tidak – persimpangan di patung Dewa Ruci yang terkenal dengan nama Simpang Siur, tadinya juga dirancang flyover (jalan layang). Juga di pertigaan Tuban (menuju bandara dari Kuta) tadinya dirancang jalan layang. Tapi tak mungkin karena alasan yang sama. Umat Hindu di Bali sangat percaya hal itu dan sudah menjadi 142
tradisi bahwa mengarak pratima yang merupakan benda sangat sakral tak boleh “mesulub” (berjalan di bawah bangunan). Harus berjalan paling atas. Bahkan, ini lagi-lagi cerita entah benar atau tidak, atau hanya guyonan saja, ada pendeta Hindu yang diundang ke Yogya tak mau menginap di Hotel Ambarukmo. Karena kamar sudah disediakan dan hari sudah malam, pengundang tak mungkin mencarikan hotel lain. Pendeta pun “mengalah”, beliau tidur di mobil. Supirnya yang masuk ke hotel dan tidur di kamar mewah hotel bertingkat itu. Tentu saja ini cerita sudah lama karena sekarang ini pendeta Hindu semuanya mau menginap di hotel. Rapat-rapat pendeta (Sabha Pandita) acapkali berlangsung di hotel. Tradisi melasti di kampung saya di masa lalu tak boleh naik kendaraan bermotor. Ada orang yang kerauhan (susup Ida Bethara) yang melarang naik motor, siapa melanggar akan celaka. Jadi dari Pujungan ke Pantai Soka sepanjang 29 km berjalan kaki, ditempuh selama dua hari pulang pergi. Tahun 1990-an mulai berubah, boleh naik mobil dan motor. Rupanya Ida Bethara sudah maklum, daripada susah-susah berjalan dua hari lebih enak naik mobil. Cuma saja, setiap ketemu “abangan” (saluran air yang melintang di jalan), mobil berhenti. Pratima diturunkan dulu dan dibawa naik ke tebing agar tidak “mesulub” di saluran air. Pemedek juga begitu. Ini agar kesuciannya tetap terjaga. Ada dua “abangan” yaitu di Desa Belimbing dan Desa Ampadan, jadi memang repot sekali. Sejak lima tahun lalu terjadi perubahan. Terjadi diskusi. Kalau sulinggih (pandita) muput yadnya dibuatkan “pemiosan” (bale tempat memuja). “Pemiosan” itu pasti beratap supaya sulinggih tidak kepanasan atau kehujanan. Di pura pun kalau ada pemiosan atau balai pewedan yang permanen, pasti beratap. Nah, bukankah sulinggih juga “mesulub”, kok tetap suci? Ternyata penyebab tetap suci “pemiosan” itu adalah ada kain putih di bawah atap, persis di atas sang sulinggih. Kain putih itu meru143
pakan perlambang langit atau bisa juga diartikan perlambang tembus ke langit, sehingga apa pun yang ada di atas itu tidak mengganggu kesuciannya. Kalau begitu, kenapa “abangan” (saluran air) di Belimbing dan Ampadan tidak diisi kain putih saja di bawahnya, sehingga pratima saat melasti tetap bisa berjalan di bawahnya? Nah, itu yang dilakukan sampai sekarang. Ternyata ini sudah diikuti oleh seluruh desa-desa di Kecamatan Pupuan yang melasti ke Pantai Soka. Pratima dan pemedek tak turun di “abangan”, kerepotan pun berkurang sementara kesuciannya tidak luntur. (Namun luntur atau tidaknya itu masalah perasaan saja, tapi bukankah yadnya itu masalah rasa?) Siapa yang sudah pernah melintas dari Tabanan ke Bajera sekarang ini? Ada tiga proyek raksasa yaitu membangun jalan layang yang menghindari kelokan tajam. Jalan layang dari Penyalin tembus ke Samsam, jalan layang dari Meliling melintas di ketinggian sungai tembus ke Bantas, satu lagi di kelokan tajam Bantas tembus ke Megati. Jalan Penyalin-Samsam ada kuburan di samping bawahnya. Jalan Meliling-Bantas ada sungai yang dikeramatkan dan tempat mengambil air suci di bawahnya. Di jalan Bantas-Megati ada pura juga di bawahnya. Apakah Ida Bethara tidak cemar dan takut tidak suci lagi? Diskusi sebelum jalan-jalan layang itu dibangun melibatkan sulinggih yang kesimpulannya tak ada kesucian yang berkurang karena semuanya ada cara untuk menjaga kesucian itu. Justru kalau ada ritual atau iringan-iringan ritual melewati jalan itu, Ida Bethara akan senang karena tidak macet. Sekarang ini, satu saja truck dari Jawa yang besar itu mogok, macetnya bisa berjam-jam. Kalau ketiga jalan layang itu selesai, kemacetan yang parah bisa lebih teratasi. Sebuah cerita ringan ketika saya “muput” di Desa Ungasan. Ketika saya dijemput di Griya Pedungan, jalan sekitar Benoa macet. Supir menanyakan apakah saya boleh diajak melintas di underpass (jalan bawah tanah) di Simpang Siur. Saya memancing dengan pertanyaan, kenapa tak boleh? “Kan Ida Mpu membawa 144
siwakrama sakral, nanti kesuciannya berkurang,” kata supir. Saya bilang lewat saja. Pandita itu kalau “munggah” yang pertama dilakukannya adalah membersihkan (menyucikan) semua peralatan yadnya, lalu membersihkan diri, baru memuja. Sekarang ini lagi banyak ada wacana pembangunan infrastruktur di Bali. Ada rencana membangun berbagai jalan, baik itu jalan arteri sampai jalan tol. Ada rencana membangun jalan tol dari Kuta menuju Pekutatan lewat laut, ada pula rencana jalan tol itu dari Soka berbelok ke Seririt di atas kebun dan sawah. Belum lagi ada wacana membangun rel kereta api keliling Bali. Saya tak tahu apakah wacana itu tetap wacana atau ada realisasinya. Tapi yang pasti, cepat atau lambat, pembangunan jalan itu pasti akan ada, jika tidak Bali akan krodit luar biasa dan macet total karena pertumbuhan mobil dan motor yang demikian cepat tak diimbangi pembangunan jalan. Jika demikian halnya dan untuk antisipasi dari sekarang, kenapa kita takut membangun jalan layang di Bali, yang dikaitkan dengan kesucian? Saya kira tak masalah karena semua kesucian itu bisa kita jaga sesuai sastra yang ada, karena prinsip dalam yadnya adalah tidak menjadi beban oleh berbagai hal. Yadnya tak boleh jadi beban karena kurangnya dana, karena bisa memakai yadnya yang sederhana. Yadnya tak boleh jadi beban karena kondisi lingkungan, karena bisa diharmoniskan dengan berbagai sarana ritual. Tentu saja tinjauan saya ini adalah dari sisi kesucian semata, bukan dari sisi keindahan, tata ruang, maupun hal teknis lainnya.
145
I
da Pandita Mpu Jaya Prema Ananda melaksanakan diksa dwijati pada 21 Agustus 2009, dengan Guru Nabe, Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Griya Nataran, Kayumas Kelod, Denpasar. Semasa walaka bernama Putu Setia, lebih dari 30 tahun tinggal di luar Bali (Yogyakarta dan Jakarta). Kini menetap di Bali, lebih banyak di Pasraman namun sesekali berada di Denpasar. Kontak selengkapnya: Pasraman Dharmasastra Manikgeni Banjar Taman Sari, Desa Pujungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan 82163 Telepon (0362) 71116 Griya Alit Manikgeni Jalan Pulau Belitung Gg. II/3 - Desa Pedungan Denpasar 80222. Telepon (0361) 723765 Email:
[email protected] Web: http://www.mpujayaprema.com Facebook: Mpu Jaya Prema Ananda Twitter: @mpujayaprema
146