perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERBANDINGAN PENERAPAN MODEL GENERALIZED SPACE TIME AUTOREGRESSIVE DENGAN PEMBOBOT INVERS JARAK DAN NORMALISASI KORELASI SILANG PADA LAJU INFLASI DI KOTA SURAKARTA, YOGYAKARTA, DAN SURABAYA Kurniawati, Sri Sulistijowati Handajani, dan Purnami Widyaningsih Program Studi Matematika FMIPA UNS
Abstrak. Laju inflasi adalah kenaikan atau penurunan inflasi dari periode ke periode yang terus berjalan sesuai urutan waktu. Data laju inflasi memiliki efek waktu dan spasial. Oleh karena itu, laju inflasi dapat diterapkan dalam model ruang waktu. Salah satu model ruang waktu adalah generalized space time autoregressive (GSTAR). Orde model GSTAR diidentifikasikan dengan orde spasial 1 serta orde autoregressive menggunakan orde dari vector autoregressive (VAR) yang ditentukan dengan Akaike information criterion (AIC ). GSTAR mengasumsikan lokasi tersampel heterogen. Ketergantungan lokasi diidentifikasikan dalam pembobot lokasi. Penelitian ini bertujuan membandingkan penerapan model GSTAR pada laju inflasi Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya dengan pembobot invers jarak dan normalisasi korelasi silang. Model yang diterapkan ke dalam data tersebut adalah GSTAR (21 ). Model dengan pembobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibandingkan dengan pembobot invers jarak yang dilihat dari nilai root mean square error (RMSE ). Kata Kunci: laju inflasi, GSTAR, invers jarak, normalisasi korelasi silang.
1. Pendahuluan Inflasi merupakan suatu permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Perekonomian di suatu negara dapat dikatakan baik apabila kebijakan yang diambil pemerintahnya bisa mengendalikan laju inflasi. Laju inflasi adalah kenaikan atau penurunan inflasi dari periode ke periode yang terus berjalan dalam urutan waktu. Laju inflasi yang rendah menunjukkan adanya kelesuan ekonomi. Pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa laju inflasi di Kota Surakarta mencapai 6,65% sedangkan Kota Yogyakarta laju inflasinya 7,38%. Selain itu, laju inflasi Kota Surabaya sebesar 7,33%. Oleh karena itu, nilai laju inflasi perlu diperhatikan untuk mengendalikan kestabilannya. Laju inflasi memiliki efek waktu karena setiap periode waktu mengalami perubahan. Data yang memiliki efek waktu dapat diterapkan dalam model runtun waktu. Salah satunya model autoregressive (AR) yang memiliki asumsi data stasioner. Selain data yang memiliki efek waktu, terdapat data yang memiliki ketergantungan lokasi (spasial). Data yang memiliki efek spasial dapat diterapkan dalam model spasial. Terdapat data yang memiliki efek waktu dan spasial seperti halnya laju inflasi. Menurut Naf’an [4], inflasi dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa (komoditas) yang dikonsumsi masyarakat di suatu daerah. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, setiap daerah membutuhkan daerah lain untuk menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Hal ini menimbulkan ketergantungan lokasi dalam pemenuhan kebutuhan komoditas sehingga laju inflasi memiliki efek spasial. Model ruang waktu adalah model menggabungkan unsur ketergancommityang to user tungan waktu dan lokasi pada suatu data runtun waktu multivariat. Model ruang waktu pertama kali diperkenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch [5] yaitu space 1
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
time autoregressive (STAR). Borovkova et al.[1] memperkenalkan model generalized space time autoregressive (GSTAR) yang merupakan perluasan model STAR. Model STAR memiliki keterbatasan semua lokasi tersampel homogen sedangkan model GSTAR mengasumsikan lokasi tersampel heterogen. Menurut Ruchjana [6], prosedur dalam penentuan model GSTAR dilihat dari kestasioneran data. Ketergantungan lokasi dalam model ruang waktu diidentifikasikan dalam pembobot lokasi. Suhartono dan Subanar [7] menyatakan berbagai metode yang dapat digunakan untuk menentukan pembobot lokasi dalam model GSTAR antara lain pembobot seragam, binary, invers jarak, dan pembobot normalisasi korelasi silang. Penelitian yang telah dilakukan Ruchjana [6] dalam membentuk kurva produksi minyak bumi menggunakan model generalisasi STAR dengan pembobot seragam yang ternyata kurang sesuai dengan karakteristik lokasi yang heterogen. Pembobot biner kurang tepat digunakan dalam model GSTAR. Pembobot ini mengandung subjektivitas karena lokasi yang lebih dekat diberi nilai 1 dan lokasi yang lebih jauh diberi nilai 0. Model GSTAR telah banyak diterapkan diberbagai bidang antara lain kesehatan, geologi, dan lingkungan. Model GSTAR dalam penelitian ini diterapkan dalam bidang ekonomi yaitu pada laju inflasi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan penerapan model GSTAR dengan pembobot invers jarak dan normalisasi korelasi silang pada laju inflasi di Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penerapan model GSTAR menggunakan data laju inflasi perbulan Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya mulai bulan Juli 2008 sampai bulan Desember 2013 yang diperoleh dari BPS [11]. Data untuk penerapan model mulai bulan Juli 2008 sampai bulan Juni 2013 sedangkan data untuk validasi model mulai bulan Juli 2013 sampai Desember 2013. Dalam penelitian ini Kota Surakarta dinotasikan Zs , Yogyakarta dinotasikan Zy , serta Surabaya dinotasikan Zsb . Tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah memeriksa kestasioneran data. Setelah data stasioner, ditentukan orde autoregressive (p) dalam model GSTAR menggunakan model VAR orde p. Penentuan orde ini dengan melihat nilai AIC terkecil. Kemudian dihitung pembobot invers jarak dengan melihat koordinat lintang dan bujur setiap lokasi dan pembobot normalisasi korelasi silang untuk setiap lokasi dihitung berdasarkan data laju inflasi. Setelah itu dilakukan pendugaan parameter dengan metode kuadrat terkecil (MKT) dan uji signifikansinya sesuai orde autoregressive (p) dan orde spasial (λs ) yaitu 1 untuk masing-masing pembobot lokasi. Pada tahapan tersebut terbentuk model GSTAR. Kemudian dilakukan validasi model GSTAR untuk masing-masing pembobot lokasi menggunakan nilai root mean square error (RMSE ). Tahapan terakhir penelitian ini adalah menentukan model GSTAR yang lebih baik, ditinjau dari nilai RMSE serta memiliki sisaan white noise dan berdistribusi normal. 3. Uji Stasioneritas Data Data laju inflasi sebelum diidentifikasi dengan model GSTAR harus ditinjau kestasionerannya. Gambar 1 commit menunjukkan to user bahwa secara visual pola data fluktuatif. Menurut Makridakis et al.[3], data yang berfluktuasi di sekitar ratarata merupakan data stasioner. Karena hanya melihat secara visual, diperlukan 2
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
Gambar 1. Data laju inflasi Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya
pengujian secara empiris dengan augmented Dickey Fuller (ADF ), yaitu ΣT t=1 Zt−1 Zt 2 ΣT t=1 Zt−1
t= √
−1
2 ΣT t=1 (Zt −ηZt−1 ) T −1
dengan T adalah banyaknya data dan Zt data pengamatan ke-t. Daerah kritis uji ini adalah jika nilai t ADF kurang dari nilai kritis tabel Mackinnon, maka hipotesis (H0 ) ditolak yang berarti data stasioner. Nilai uji ADF dengan α (tingkat kesalahan) yang dipilih adalah 0,05 ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai uji ADF untuk masing-masing kota
Lokasi Zs Zy Zsb nilaiADF -6,439180 -5,058734 -6,008041 tabel Mackinnon -2,912631 -2,912631 -2,912631 Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa semua data laju inflasi masing-masing kota sudah stasioner karena semua nilai uji ADF lebih kecil dari tabel Mackinnon. 4. Vector Autoregressive(VAR) Setelah data laju inflasi stasioner, dilakukan identifikasi ke dalam model VAR orde p. Widarjono [9] menyatakan bahwa pengidentifikasian orde model VAR ditentukan dengan panjang lag optimal. Kriteria menentukan panjang lag optimal menggunakan nilai Akaike information criterion (AIC ) terkecil. Menurut Tsay [8] nilai AIC dapat dirumuskan sebagai 2k 2 i JKS )+ (4.1) T T dengan JKS jumlah kuadrat sisaan, T banyaknya observasi, dan k jumlah parameter pada model. Oleh karena itu, nilai AIC untuk masing-masing lag disajikan pada Tabel 2. AIC(i) = ln(
Tabel 2. Nilai AIC masing-masing lag pada model VAR
Lag 0 1 commit 2 to user 3 4 5 ∗ AIC 1,996 1,772 1, 701 1,869 2,040 2,281 3
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
Berdasarkan Tabel 2, nilai AIC terkecil yaitu 1,701 dimiliki lag kedua maka orde model VAR adalah 2. Wutsqa et al. [10] mengidentifikasi orde autoregressive dalam model GSTAR menggunakan orde dari model VAR. Oleh karena itu, orde autoregressive model GSTAR adalah 2. 5. Model Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) Borovkova et al. [2] menyatakan model GSTAR (pλs ) sebagai s Zi,t = Σpk=1 Σλl=0 Σni=1 Φikl Wkl Zt,k + ei,t
(5.1)
dengan Φikl merupakan matriks diagonal ruang waktu dengan lag spasial l dan lag waktu ke-k pada daerah i (ϕ1k0 , ...., ϕnkl ), W l (k) yaitu matriks pembobot ukuran (n×n), ei,t yaitu sisaan (n×1) yang berdistribusi normal, Zi,t yaitu nilai observasi pada daerah i dan waktu ke-t. Menurut Wutsqa et al. [10], model GSTAR memiliki orde spasial 1 karena orde tinggi sulit diintepretasikan. Karena memiliki orde autoregressive 2, terbentuk model GSTAR (21 ). Pembentukan model GSTAR (21 ) dengan pembobot lokasi invers jarak dan normalisasi korelasi silang diterapkan pada data laju inflasi Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. 5.1. GSTAR dengan Pembobot Invers Jarak. Pembobot lokasi invers jarak merupakan pembobot lokasi dengan melihat jarak sebenarnya di lokasi. Pembobot invers jarak dapat diterapkan untuk model GSTAR karena pembobot ini mempertimbangkan koordinat lintang dan bujur. Koordinat yang berderajat desimal dikonversikan menjadi kilometer. Pembobot lokasi invers jarak dinyatakan sebagai 1 ′ wij = (5.2) dij dan √ dij = (ui − uj )2 + (vi − vj )2 dengan dij merupakan jarak dari lokasi i ke-j, (ui , uj ) koordinat dari garis lintang dan (vi , vj ) koordinat dari garis bujur. Sesuai persamaan (5.2) diperoleh matriks pembobot lokasi invers jarak yaitu 0 0, 00001804 0, 00000462 0 0, 00000371 . W = 0, 00001804 0, 00000462 0, 00000371 0 Selanjutnya dengan matriks pembobot tersebut, data laju inflasi diduga parameter modelnya menggunakan MKT. Kemudian terhadap parameter tersebut dilakukan uji signifikansi. Uji signifikansinya memiliki hipotesis (H0 ) yaitu parameter tidak signifikan dan daerah kritis H0 ditolak apabila nilai |thitung | > t α2 ;n . ϕi
Nilai thitung = s(ϕkli ) dengan ϕikl adalah nilai duga parameter dan s(ϕikl ) merupakkl an simpangan baku dari (ϕikl ). Tabel 3 menunjukkan hasil pendugaan parameter dan uji signifikansinya dengan α = 0, 05 sehingga nilai t0,025;180 = 1, 96. Karena terdapat parameter yang tidak signifikan, semua parameter diestimasi kembali dengan regresi stepwise untuk memperoleh modelnya. Tabel 4 menunjukkan hasil pendugaan parameter dan uji signifikansi menggunakan regresi stepwise dengan α = 0, 05. commit to user Semua parameter yang telah diestimasi kembali dengan regresi stepwise signifikan karena nilai |thitung | > t0,025;180 = 1, 96. Oleh karena itu, sesuai persamaan 4
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
Tabel 3. Pendugaan parameter dan uji signifikansi GSTAR 21 dengan pembobot invers jarak
Parameter Nilai penduga |thitung | 0,152 0.97 ϕ110 2 ϕ10 0,38 1,97 ϕ310 0,094 0,5 ϕ111 24877 2,86 ϕ211 2395 0,3 ϕ311 56243 2,56 ϕ120 -0,131 -0,83 ϕ220 -0,098 -0,51 3 ϕ20 -0,332 -1,85 ϕ121 -21129 -2,5 2 ϕ21 -2512 -0,32 ϕ321 11332 0,47
Tabel 4.
Kesimpulan tidak signifikan signifikan tidak signifikan signifikan tidak signifikan signifikan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan signifikan tidak signifikan tidak signifikan
Pendugaan parameter dan thitung GSTAR 21 dengan pembobot invers jarak menggunakan regresi stepwise
Parameter Nilai penduga thitung Kesimpulan ϕ210 signifikan 0,328 3,35 ϕ111 31307 5,65 signifikan ϕ311 68078 5,27 signifikan ϕ320 -0,234 -2,29 signifikan ϕ121 -26336 -4,83 signifikan (5.1), parameter yang signifikan dapat diidentifikasikan ke model GSTAR (21 ) dengan pembobot invers jarak sebagai cs = 0, 565Zy (t − 1) + 0, 145Zsb (t − 1) − 0, 475Zy (t − 2) − 0, 122Zsb (t − 2) Z cy = 0, 328Zy (t − 1) Z Zc sb = 0, 315Zs (t − 1) + 0, 253Zy (t − 1) − 0, 234Zsb (t − 2). 5.2. GSTAR dengan Pembobot Normalisasi Korelasi Silang. Pembobot lokasi normalisasi korelasi silang merupakan pembobot lokasi dengan menggunakan hasil normalisasi korelasi silang antar lokasi pada lag yang bersesuaian. Jadi, identifikasi pembobot normalisasi korelasi silang menggunakan data laju inflasi. Menurut Suhartono dan Subanar [7], pembobot normalisasi korelasi silang dinyatakan sebagai rij (k) wij (k) = (5.3) Σk=i |rik (k)| dengan i ̸= j, k = 1,...,p, dan nilai rij (k ) merupakan korelasi silang yang mengikuti persamaan Σn [Zi (t) − Z¯i ][Zj (t − k) − Z¯j ] rij (k) = √ t=k+1 . (Σnt=1 [Zi (t) − Z¯i ]2 )(Σnt=1 [Zj (t) − Z¯j ]2 ) Model GSTAR yang diterapkan pada data laju inflasi memiliki orde autoregressive 2. Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.3), matriks pembobot lokasi normalisasi korelasi silang pada Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya yaitu 0 0, 64 0, 36 0 −0, 838 −0, 162 commit to user 0 0, 515 , W 1 (2) = 0, 633 0 −0, 367 . W 1 (1) = 0, 485 0, 421 0, 579 0 0, 507 0, 493 0 5
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
Selanjutnya data laju inflasi dengan matriks pembobot tersebut diduga parameter modelnya dengan MKT. Kemudian dilakukan uji signifikansi terhadap parameter tersebut. Uji signifikansinya memiliki hipotesis (H0 ) yaitu parameter tidak signifikan dan daerah kritis H0 ditolak apabila nilai |thitung | > t α2 ;n . Tabel 5 menunjukkan hasil pendugaan parameter dan uji signifikansinya dengan α = 0, 05 sehingga nilai t0,025;180 = 1, 96. Tabel 5.
Pendugaan parameter dan uji signifikansi GSTAR 21 dengan pembobot normalisasi korelasi silang
Parameter Nilai penduga 0,175 ϕ110 ϕ210 0,370 3 0,026 ϕ10 ϕ111 0,537 2 ϕ11 0,064 ϕ311 0,554 1 ϕ20 -0,014 ϕ220 -0,155 3 ϕ20 -0,356 ϕ121 0,472 2 ϕ21 0,021 ϕ321 0,107
thitung 1,110 1,710 0,130 2,660 0,290 2,870 -0,880 -1,160 -1,960 2,470 0,080 0,530
Kesimpulan tidak signifikan tidak signifikan tidak signifikan signifikan tidak signifikan signifikan tidak signifikan tidak signifikan signifikan signifikan tidak signifikan tidak signifikan
Karena terdapat parameter yang tidak signifikan, semua parameter diestimasi kembali dengan regresi stepwise untuk memperoleh modelnya. Tabel 6 menunjukkan hasil pendugaan parameter dan uji signifikansi dengan α = 0, 05. Tabel 6. Pendugaan parameter dan thitung GSTAR 21 dengan pembobot normalisasi korelasi silang menggunakan regresi stepwise
Parameter Nilai penduga thitung Kesimpulan signifikan ϕ210 0,331 3,59 1 ϕ11 0,710 5,54 signifikan ϕ311 0,605 5,45 signifikan 3 ϕ20 -0,262 -2,53 signifikan ϕ121 -0,598 4,77 signifikan Semua parameter yang telah diestimasi kembali dengan regresi stepwise signifikan karena nilai |thitung | > t0,025;180 = 1, 96. Oleh karena itu, sesuai persamaan (5.1), parameter yang signifikan dapat diidentifikasikan ke model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang sebagai cs = 0, 454Zy (t − 1) + 0, 256Zsb (t − 1) − 0, 501Zy (t − 2) − 0, 097Zsb (t − 2) Z cy = 0, 331Zy (t − 1) Z Zc sb = 0, 255Zs (t − 1) + 0, 35Zy (t − 1) − 0, 262Zsb (t − 2). 6. Validasi Model Model GSTAR untuk data laju inflasi di Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya memiliki orde autoregressive 2 dan commit to orde user spasial 1. Kemudian dilakukan validasi model untuk GSTAR dengan pembobot invers jarak dan normalisasi korelasi silang. Validasi model dilakukan sebagai pengukuran kebaikan model 6
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
dan ketepatan prediksi data laju inflasi dengan melihat nilai root mean square error (RMSE ), yaitu √ Σnt=1 (Zt − Zˆt )2 (6.1) RM SE = n dengan n adalah banyaknya data laju inflasi, Zt adalah data laju inflasi, dan Zˆt adalah data prediksi laju inflasi. Sesuai persamaan (6.1) untuk setiap model dengan masing-masing pembobot dapat dilakukan perhitungan nilai RMSE. Nilai RMSE GSTAR (21 ) dengan pembobot invers jarak sebesar 0,495 sedangkan pembobot normalisasi korelasi silang sebesar 0,493. Oleh karena itu, nilai RMSE yang lebih kecil terletak pada GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang lebih baik digunakan untuk memprediksi laju inflasi. Nilai prediksi laju inflasi menggunakan model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang dapat ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Nilai prediksi dan aktual laju inflasi
Gambar 2 menunjukkan nilai aktual dan prediksi laju inflasi pada Kota Surakarta pada waktu 1 hingga 6, Kota Yogyakarta pada waktu 7 hingga 12, dan Kota Surabaya pada waktu 13 hingga 18. Model tersebut memiliki ratarata sisaan 0,46 dan memiliki simpangan baku sisaan 1,09 yang menunjukkan nilai prediksi laju inflasi tidak berbeda jauh dengan nilai aktualnya. Kemudian dilakukan pemeriksaan asumsi sisaan white noise dan berdistribusi normal. Pemeriksaan white noise pada penelitian ini menggunakan uji Ljung and Box (LB ) dengan statistik uji sebagai ρˆ2 LB = n(n + 2)Σnk=1 k (6.2) n−k dengan n adalah banyaknya pengamatan, k adalah banyaknya lag, dan ρˆk adalah autokorelasi duga pada lag ke-k. Berikut hasil uji LB sesuai persamaan (6.2) untuk model GSTAR (21 ) pembobot normalisasi korelasi silang yang ditunjukkan Tabel 7. Tabel 7. Nilai LB pada GSTAR (21 ) pembobot normalisasi korelasi silang
Lag 1 2 3 Nilai LB 0,43 2,11 2,69 0,004 0,103 0,352 χ20,95;k Kesimpulan white noise white noise white noise
commit to user Berdasarkan Tabel 7, model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi telah menunjukkan bahwa sisaan white noise. Kemudian dilakukan uji 7
2015
perpustakaan.uns.ac.id Perbandingan penerapan model generalized space . . .
digilib.uns.ac.id Kurniawati, S.S.Handajani, P.Widyaningsih
Jarque Bera (JB ) untuk menguji sisaan berdistribusi normal. Statistik ujinya yaitu (K − 3)2 n ) (6.3) JB = (S 2 + 6 4 dengan n menunjukkan banyaknya observasi. S dan K adalah estimasi dari skewness dan kurtosis. Daerah kritis uji ini jika nilai JB < tabel χ22,α maka sisaan berdistribusi normal. Berdasarkan persamaan (6.3) sisaan model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang memiliki nilai JB sebesar 2,430 yang lebih kecil dari tabel χ2(2,0,05) = 5, 991 sehingga sisaan berdistribusi normal. 7. Kesimpulan (1) Model GSTAR untuk data laju inflasi Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya adalah GSTAR (21 ). Model GSTAR (21 ) dengan pembobot invers jarak, yaitu cs = 0, 565Zy (t − 1) + 0, 145Zsb (t − 1) − 0, 475Zy (t − 2) − 0, 122Zsb (t − 2) Z cy = 0, 328Zy (t − 1) Z Zc sb = 0, 315Zs (t − 1) + 0, 253Zy (t − 1) − 0, 234Zsb (t − 2) sedangkan model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang, yaitu cs = 0, 454Zy (t − 1) + 0, 256Zsb (t − 1) − 0, 501Zy (t − 2) − 0, 097Zsb (t − 2) Z cy = 0, 331Zy (t − 1) Z Zc sb = 0, 255Zs (t − 1) + 0, 35Zy (t − 1) − 0, 262Zsb (t − 2). (2) Model GSTAR (21 ) dengan pembobot normalisasi korelasi silang lebih baik dibandingkan dengan pembobot invers jarak pada data laju inflasi Kota Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Daftar Pustaka [1] Borovkova, S.A., H. P. Lopuhaa, and B. N. Ruchjana, Generalized STAR Model with Experimental Weight, Proceedings of the 17th Internasional Workshop on Statistical Modeling (2002), 139-147. [2] Borovkova, S.A., H. P. Lopuhaa, and B. N. Ruchjana, Consistency and Asymptotic Normality of Least Squares Estimators in Generalized STAR Models, Statistica Neerlandica 62 (2008), no.4,482-508. [3] Makridakis, S.,S. C. Whellwright, dan V. E. Mc Gree, Metode dan Aplikasi Peramalan, Erlangga, Jakarta, 1995. [4] Naf’an, Tinjauan Ekonomi Syariah, Graha Ilmu, 2014. [5] Pfeifer , P. E. and S. J. Deutsch, A Three Stage Iterative Procedure for Space Time Modeling, Technometrics 22 (1980), no.1, 35-47. [6] Ruchjana, B. N, Pemodelan Kurva Minyak Bumi Menggunakan Model Generalisasi S-TAR, Forum Statistika dan Komputasi, Institut Pertanian Bogor, 2002. [7] Suhartono dan Subanar, The Optimal Determination of Space Weight in GSTAR Model by Using Cross-Correlation Inference,Journal of Quantitive Methods 2 (2006), no.2, 45-53. [8] Tsay, R.S.,Analysis of Financial Time Series, John Wiley dan Sons, New Jersey, 2005. [9] Widarjono, A., Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya, Ekonisia, Yogyakarta, 2009. [10] Wutsqa, D.U., Suhartono and S. Brodjol, Generalized Space Time Autoregressive Modelling, Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (2010), 752-761. commit to user [11] http://www.bps.go.id
8
2015