Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
Mentalitas bangsa yang lemah telah membuat bangsa kita kehilangan jatidiri, berkarakter dan mandiri. Akibat mentalitas bangsa yang lemah menyebabkan kita gandrung pada hal-hal berbau asing. Melalui modal dan produk, Tenaga Kerja Indonesia (TKI), teknologi dan utang memperosokkan diri kita menjadi ‘bangsa klien’ (bergantung pada patron asing). Agar tidak mengganggu kesehatan mental elite dan massa, kita harus melakukan perubahan dari bangsa klien menjadi bangsa mandiri.
Kuntowidjoyo menguraikan ada empat penyakit yang merusak mental bangsa Indonesia:
1.Komplex inferioritas. Yakni sebagai bangsa klien kita tidak bangga bila belum mengkonsumsi barang-barang impor yang tampaknya buatan luarnegeri atau setidak-tidaknya barang-barang produk franchise.
2.Komplex selebritis. Dalam tayangan televisi kita suka meniru acara; ‘American Idol‘, gemerlap bintang hadiah ‘Oscar’, ‘Miss Amerika’, ‘Miss Universe’ (Termasuk acara bagi-bagi duit; cewek bahenol memperebutkan jutawan ganteng untuk memperoleh hadiah ‘Warisan’; Acara uji nyali makan ulat dan berenang sama buaya, serta menghadap tantangan dan marabahaya lain (Fear Factor). Meski ada tayangan bermanfaat, tetapi ada pula yang menyakitkan hati, mengingat masih banyaknya kemiskinan di negeri ini.
1 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
3.Komplex Mistifikasi. Yakni menganggap sesuatu sebagai misteri. Kebanyakan mistifikasi ini dilakukan oleh rakyat bawah. Pencapaian kemakmuran yang tidak dipahami secara rasional, akhirnya upaya penyelesaiannya ditempuh melalui perdukunan, pesugihan, penggandaan uang, minta restu dan bertapa ke gunung.
4.Komplex Xenomani. Yakni kegandrungan pada produk asing yang dialami oleh semua tingkatan. Kelas atas belanja, berobat, membeli rumah dan menyekolahkan anak keluar negeri. Kelas menengah makan di Pizza Hut, Mc. Donald, Dunkins Donat. Sementara, kelas bawah beli Jean Levi's buatan Bandung, sepatu Gucci buatan Magetan, T-sirt ‘Man’ buatan Tangerang.
Selain itu, kita juga harus mewaspadai kungkungan budaya feodalisme (paternali sme ) yang telah menggerogoti nilai-nilai egaliter dan demokrasi berbangsa dan bernegara. Sapaan bung dan saudara berganti menjadi bapak dan ibu. Orang masih muda kita panggil bapak karena pangkatnya lebih tinggi. Terhadap sesama teman sejawat kita rikuh menyebut saudara karena takut menyinggung perasaan. Termasuk, bangkitnya neofeodalisme berupa penelusuran identitas pribadi sebagai keturunan bangsawan, dianggap penting bagi seseorang untuk mengangkat harkat dan kewibawaan. Di masa kini prilaku feodal dilegitimasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
2 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
Bagi Alfan Alfian, lembaga KPU yang notabene anggotanya berunsur dari kalangan akademis semestinya mampu membuat model debat kandidat yang transparan guna mendidik calon pemimpin bangsa dan masyarakat agar terbiasa dengan sikap demokratis. Unsur kontra dan stracking (menyerang) yang seharusnya hadir secara proporsional dalam sebuah debat atau dialog tersia-siakan. Menyerang lawan politik secara terbuka didepan publik masih dianggap tabu dan bertentangan dengan budaya ketimuran, yang menganjurkan agar sebaiknya saling memuji, 'pantun berbalas pantun' dan 'ewuh pakewuh' .
Akibat kungkungan budaya feodalisme dan minimnya pendidikan demokrasi menjadikan pola pikir dan prilaku masyarakat cenderung lebih mengedepankan hirarki daripada nilai persamaan dan kesamaan. Semisal dalam menggunakan hak pilih ternyata sosok figur lebih menentukan daripada program dan jejak rekam (track record) calon pemimpin. Dalam suasana yang masih berlangsung diatas membuat pemimpin yang bersikap demokratis acap dipandang enteng oleh bawahan. Karena takut dianggap enteng banyak membuat pemimpin bersikap 'gila hormat'. Tidak berlebihan jika Mochtar Lubis menganggap manusia Indonesia masa kini disebutnya sebagai manusia munafik. Disatu pihak mendengung-dengungkan persamaan dan demokrasi, namun dalam prakteknya memupuk perbedaan status dan sekat-sekat sosial.
Dalam pandangan Tan Malaka, bahwa feodalisme inilah sebagai biang kerok yang menjerumuskan bangsanya sampai datangnya kaum penjajah. Feodalisme telah menyuburkan dengan apa yang disebutnya orang ‘bermental budak’. Menjadikan orang berpikir pasif dan pasrah. Orang bermental budak mudah percaya pada hal-hal irrasional dan mistis (takhyul) , sehingga mempermudah 3 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
dirinya dieksploitasi oleh orang-orang yang berpikir aktif dan rasional. Itulah sebabnya bangsa Indonesia mudah dijajah dan diperbudak bangsa asing. Petuah Tan Malaka, untuk menjadi bangsa maju, bangsa Indonesia haruslah mempelajari ilmu bukti (science).
B. Manunggaling Kawulo Lan Gusti
Penguasa feodal mengejahwantahkan rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam sosok pribadinya, bukan terpantul pada aturan main atau sistem. Dalam filsafat kraton Jawa, paham ini dikenal dengan sebutan ‘manunggaling kawulo gusti’ (paham penyatuan diri dengan Tuhan). Sultan Mataram Jawa memakai gelar kekuasaan atas dirinya ‘Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Senopati Ing Ngalugo’ (Wakil Tuhan, Pemuka Agama dan Panglima Perang). Sultan Mataram Jawa merefleksikan dirinya sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Ada beberapa faktor paham feodal-mistis mempengaruhi alam pikir kraton Mataram, pertama, adanya percampuran ajaran agama dengan paham lokal (sink retisme ). Dikatakan Simuh, gagasan-gagasan mistis memang mendapat sambutan hangat di Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama Islam di nusantara, tradisi kebudayaan Hindu-Budha yang terdapat di pulau Jawa sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.
4 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
Kedua, pada masa kemunduran pemikiran Islam, ajaran tasawuf amat disenangi oleh alam pikir umat Islam saat itu. Dalam tradisi Kejawen, ajaran sastra suluk yang dijiwai ajaran tasawuf heteredoks amat dikeramatkan oleh pujangga dan sastrawan Istana Mataram. Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta yang sudah pudar kekuasaan sosial-politiknya, bahkan telah menjadi bawahan pemerintahan kolonial Belanda, membuat tradisi istana kejawen semakin terbenam dalam alam pikir mistis, mengeramatkan kekuatan magis, serta penuh mitos. Bahkan, ajaran ketuhanan dalam sastra suluk yang sangat dikeramatkan itu disebut ngelmu sangkan-paran atau ngelmu kasampurnaan hurip . Artinya, orang belum bisa mencapai penghayatan makrifat pada Tuhan secara mistis, hidupnya belumlah dipandang sempurna, masih dipandang kekanak-kanakan atau seperti hewan ternak.
Selanjutnya, Simuh mengatakan kemunduran pemikiran dari dalam itu diikuti dengan berbagai macam praktek korup yang berakibat fatal bagi kehidupan umat Islam. Bangsa-bangsa Eropa Barat yang mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan, akhirnya dengan mudah merampas kekuasaan politik-ekonomi umat Islam dan menjajahnya. Jadi, dampak kebobrokan tersebut telah memancing kesempatan bangsa Barat mencaplok umat Islam. Lalu timbul kesadaran, kebobrokan dari dalam itulah menyebabkan terhinanya umat 5 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
Islam. Oleh karena itu, awal timbulnya kebangkitan kembali Umat Islam merupakan reaksi menentang terhadap praktek korup dari dalam ini, sebelum munculnya gerakan modernis untuk menyetarakan diri dengan kemajuan peradaban Barat.
Sedangkan DR. Adnan Buyung Nasution mendeskripsikan kepemimpinan feodal tersebut yang merasuki sistem tatanegara republik kita sebagai berikut: Hak-hak Asasi Manusia sedunia, demokrasi yang termasuk di dalamnya, negara konstitusional dengan ketentuan yang membatasi penggunaan kekuasaan pemerintah dan kontrol yang efektif terhadapnya, sejak tahun 1950-an dianggap sebagai konsep Barat yang tidak sesuai dengan budaya dan identitas bangsa Indonesia. Dalam budaya Indonesia kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan perorangan, sebagai akibatnya yang berlaku disini adalah hak-hak yang khas (partikularistik), berlainan daripada hak-hak asasi universal yang berlaku bagi manusia sedunia karena ia adalah manusia. Karena itu, konflik terbuka dianggap tidak patut, oposisi dianggap
6 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
tabu, dan pemungutan suara atas pilihan alternatif diganti dengan musyawarah yang berakhir dengan perumusan konsensus oleh seorang pemimpin yang bijaksana.
Sistem pemerintahan yang dipengaruhi feodalisme tersebut cenderung mematikan nilai-nilai kemajemukan (pluralisme) dan intelektual lokal (local genuine) , yaitu nilai-nilai yang tidak saja hanya diperlukan untuk kebebasan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga dibutuhkan untuk menciptakan nilai-nilai baru dalam kebudayaan . Bahayanya, pemimpin feodal enggan dikritik. Kritik sering dianggap sebagai tindakan merongrong kekuasaan, bertentangan dengan kepribadian dan budaya bangsa. Kontrol dan kritik acap dihadapi dengan kontra kritik yang tidak mempersoalkan substansi, tetapi lebih menitik beratkan pada bentuk kritik. Padahal, antara kesetiaan (loyalty) 7 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
dan pembangkangan (disobidience) atas pengakuan otoritas, penguasa tidaklah selalu benar. Patut kita garis bawahi, dalam mencari jawaban atas problematika yang dapat membahayakan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pembangkangan bukan saja sekedar hak, melainkan oleh karena sebuah bentuk ‘tanggungjawab.
C. Pembangkangan Sipil
Keadilan sebuah negara bukan hanya diukur dengan toleransi terhadap ketidaksepahaman, melainkan juga toleransi terhadap pembangkangan otoritas. Demokrasi tidak saja memberikan kepemimpinan kepada seorang 8 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
tokoh istimewa untuk memerintah, tetapi juga memberikan kepemimpinan yang sama kepada masyarakat biasa untuk mengawasi. Prinsip "raja adil raja disembah" tidak berlaku lagi pada masa kini, yang berlaku adalah "raja adil karena disanggah.
Oleh karena itu, kita harus mensukuri anugerah kehadiran orang-orang yang kritis. Dunia memang dipenuhi orang-orang yang anti ketidakadilan, akan tetapi sedikit saja dari mereka yang mau memperjuangkan. Mengenai hal ini dapat kita percontohkan tentang aspirasi dan aksi FPI (Front Pembela Islam) menentang tempat hiburan malam. Tempat-tempat seperti itu acap menjadi ajang terselubung bisnis perjudian, prostitusi dan narkoba. Selain tidak dibenarkan norma-norma agama dan hukum, diyakini mayoritas masyarakat Indonesia sepakat segala tempat-tempat maksiat diberantas. Dari survei NDI, JIL yang dikutip oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai pandangan warga NU tentang masalah kebangsaan, demokrasi dan sosial lainnya, ternyata terdapat sekitar enam juta dari warga ‘kaum 9 / 10
Mentalitas Bangsa dan Feodalisme Monday, 10 August 2009 08:24
sarungan’ ini mendukung gerakan antimaksiat yang dipelopori oleh kelompok FPI.
Dukungan masyarakat luas terhadap FPI dapat dipakai menjadi tolak ukur sikap masyarakat Indonesia yang mendukung langkah tegas pemerintah menutup tempat-tempat maksiat. Mengingat, akibat perjudian, prostitusi dan narkoba telah mendistorsi nilai-nilai keluarga dan meruntuhkan moral masyarakat, yang membahayakan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan ini seharusnya direspon oleh Pemerintah dalam menyikapi kondisi riel yang terjadi ditengah masyarakat. Bukannya mendiamkan, apalagi memenjarakan pemimpin Ormasnya.
Sumber: mbazly76.multiply.com
10 / 10