KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA
TANTI NOVIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “Kualitas Infrastruktur Transportasi dan Kelembagaan serta Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2013
TANTI NOVIANTI NRP. H363080031
ABSTRACT TANTI NOVIANTI. The Quality of Transportation Infrastructure and Institution and Their Impacts on The Indonesian International Trade. (YUSMAN SYAUKAT as the principal supervisor, MANGARA TAMBUNAN and PANTJAR SIMATUPANG as Members of The Advisory Committee). The quality of transportation infrastructure and institution are important factors which determine trade performances through their costs, trade volumes and competitiveness. However, Indonesian infrastructure and institution performances tend to decrease. The two factors expected contribute to the low Indonesian trade competitiveness and economy. Although Indonesian trade growth tends to increase, the growth can be different among ASEAN countries. The differences depend on the quality of infrastructure and institution. This study aims to analyze the quality of Indonesian transportation infrastructure and institution and their impacts on the Indonesian trade. Panel using 6 years series and cross section data from 72 countries are used in the research. The fixed effect model is the main model. The results of this study show that the Indonesian quality of transportation infrastructure and institution has influenced the costs of production and trade volume. The quality of the Indonesian ports and the law efficiency are determinant factors of trade. Improvement of the ports quality especially ports capacities, handling efficiencies, delay times and integrated ports management will reduce trade costs and improve trade volumes. Moreover, improvement of law efficiencies or government bureaucracy by simplifying customs rules and institution coordination will reduce trade costs and increase trade volumes. These in turn will improve Indonesian trade competitiveness. Improvement of infrastructure quality particularly ports can be achieved when the increased national budget allocation and the effectiveness of national infrastructure budget through National Budget (APBN), Regional Budget (APBD) and private budgets are well identified. Hence, there will be priority scales on the Indoesian national development.
Keywords : transportation infrastructure and Institutional qualities, trade cost, trade volumes
RINGKASAN TANTI NOVIANTI. Kualitas Infrastruktur Transportasi dan Kelembagaan serta Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia. (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan PANTJAR SIMATUPANG sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Perekonomian dunia yang semakin berkembang sejak akhir abad ke-20 semakin membuka hubungan perdagangan dan investasi antar negara, yang ditandai dengan semakin terbuka dan cepatnya aliran barang dan jasa antar negara, sehingga pertumbuhan perdagangan dunia semakin meningkat. Sementara perdagangan sendiri merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian, walaupun pertumbuhan perdagangan dunia cenderung meningkat, tidak semua negara mengalami pertumbuhan dan manfaat perdagangan yang sama. Hal ini duduga terkait dengan kualitas infrastruktur dan kelembagaan yang ada di setiap negara tersebut. Kualitas infrastruktur dan kelembagaan merupakan faktor penting yang menentukan kinerja perdagangan baik biaya maupun volume perdagangan serta daya saing perekonomian. Namun demikian kondisi infrastruktur dan kelembagaan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang rendah dan karena kondisi kedua hal tersebut juga yang diduga berkontribusi pada masih rendahnya daya saing perdagangan dan perekonomian Indonesia. Dilihat dari sisi kualitas infrastruktur secara keseluruhan, Indonesia hanya menempati peringkat ke-86 dari 134 negara yang diteliti. Peringkat tersebut jauh tertinggal dari Singapura yang menempati peringkat ke-4, Malaysia di peringkat ke-23, dan Thailand di peringkat ke-29. Begitu pula, berdasarkan Laporan World Economic Forum 2011-2012, perkembangan infrastruktur Indonesia walaupun sudah menunjukkan kemajuan berada pada peringkat ke-76, masih tetap tertinggal dibandingkan Singapura yang menempati peringkat ke-2, Malaysia di peringkat ke-26 dan Thailand di peringkat ke-42. Demikian halnya dengan kualitas kelembagaan, peringkat Indonesia juga masih relatif tertinggal dibanding negara tetangga terutama Singapuran, Malaysia, dan Thailand. Dengan kondisi geografis dan kelembagaan seperti Indonesia, kajian yang mampu menganalisis pengaruh kualitas infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan terhadap terhadap perdagangan baik ekspor maupun impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transport laut dan udara menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena pergerakan barang dari produsen ke konsumen, baik nasional maupun internasional melibatkan kedua moda transportasi tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan data panel yang merupakan gabungan dari time series tahun 2006-1011 dan cross section 72 negata. Metode yang digunakan adalah dengan fixed Effect Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan negara Indonesia lebih memengaruhi biaya dan volume perdagangan internasional Indonesia. Dari berbagai indikator kualitas infrastruktur transportasi, kualitas pelabuhan (port quality) merupakan indikator yang paling memengaruhi biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya impor maupun volume impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda
transportasi laut. Sementara untuk moda transporasi udara kualitas bandara sangat menentukan biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya ekspor maupun volume impor Indonesia. Semakin baik kualitas pelabuhan dan bandara Indonesia akan menurunkan biaya ekspor maupun impor Indonesia sehingga akan meningkatkan volume ekspornya dan mampu meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional. Faktor penentu kualitas pelabuhan diantaranya adalah kapasitas pelabuhan, tersedianya pelabuhan hub intrenasional, sarana prasarana bongkar muat, waktu tunggu, SDM pengelola pelabuhan dan bongkar muat, serta peraturan terkait pelabuhan dan pelayaran. Sementara indikator kualitas kelembagaan yang lebih memengaruhi biaya ekspor maupun impor Indonesia adalah terkait dengan efisiensi terkait peraturan dan birokrasi pemerintah (burden of government regulatory) khususnya terkait kepabeanan serta indikator terkait keamanan dari kejahatan yang terorganisir (organized crime). Penurunan biaya perdagangan khususnya biaya transportasi dan peningkatan volume perdagangan baik ekspor maupun impor dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas infrastruktur transportasi khususnya kualitas pelabuhan (port quality) dengan cara meningkatkan kapasitas pelabuhan dan pengembangan pelabuhan, termasuk sarana dan prasarana fisik lainnya yang akan mendukung efisiensi dan kinerja pelabuhan. Peningkatan kualitas infrastruktur terutama infrastruktur pelabuhan (port quality) dapat dilakukan melalui peningkatan alokasi anggaran dan efektivitas anggaran infrastruktur baik melalui APBN, APBD maupun peran swasta, dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi kondisi infrastruktur yang ada Dalam rangka mendukung pengembangan logistik untuk meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia menghadapi Integrasi Logistik ASEAN 2013, Integrasi Pasar ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 serta Integrasi Pasar Global 2020, ketersediaan Pelabuhan Hub Internasional perlu segera difasilitas pemerintah dan swasta, sehingga pengangkutan Indonesia dalam kapasitas besar tidak lagi harus melewati Singapura maupun Malaysia. Mengingat produktivitas dan kapasitas pelabuhan nasional semakin tidak mampu mengimbangi peningkatan arus barang baik domestik maupun internasional, hal yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah mengurangi waktu tunggu dan meningkatkan efektifitas dan efesiensi bongkar muat. Belum terintegrasinya manajemen pelabuhan yang berimplikasi pada birokrasi yang masih dirasakan berbelit dan tidak efisien seringkali dikeluhkan para importir dan eksportir perlu segera difasilitasi pemerintah, sehingga dengan birokrasi yang efisien dapat mendukung meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional. Hal ini bisa dilakukan dengan koordinasi yang terintegrasi antar instansi terkait dan kejelasan pengaturan pelabuhan. Mengingat perkembangan jasa angkutan kargo udara cenderung meningkat, sementara kapasitas yang ada masih terbatas, peningkatan kualitas penanganan kargo udara perlu mendapat perhatian untuk menghindari peningkatan biaya terkait kerusakan dan keamanan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA
Oleh :
TANTI NOVIANTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A Staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Harianto, M.S Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Y. Bayu Krisnamurthi, MSi Wakil Menteri Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Pos M. Hutabarat Staf Pengajar Pascasarjana Universitas Indonesia Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI
: Kualitas
Judul Penelitian
Infrastruktur
Kelembagaan
serta
Transportasi Pengaruhnya
dan
Terhadap
Perdagangan Internasional Indonesia Nama Mahasiswa
: Tanti Novianti
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok
:
H363080031
Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Prof (Riset). Dr. Ir. Pantjar Simatupang, M.Sc. Anggota Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu ? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (namamu) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS 94 : 1-8)
Persembahan Disertasi ini kupersembahkan kepada ytc : Suamiku Rizal Ahmad Fauzi, Anak-anakku Akmal Shidqi Addauly, Azhar Rahmatilah Addzikri, dan Arif Muhamad Iqbal, Mamih dan Papa, Mamah dan Bapa, serta adik-adikku
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Ridho, Rahmat dan Karunia-Nyalah kepada penulis sehingga dapat menyelesaian disertasi ini.
Disertasi ini
berjudul “Kualitas Infrastruktur
Transportasi dan Kelembagaan serta Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia”. Ide penelitian ini didasarkan begitu pentingnya kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan dalam mendukung daya saing perdagangan dan perekonomian suatu negara. Sementara kondisi yang ada menunjukkan kualitas infrastruktur transportasi khususnya infrastruktur pelabuhan masih rendah. Demikian halnya dengan kualitas kelembagaan juga masih relatif tertinggal dibandingkan negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang menyebabkan menurunnya daya saing perekonomian Indonesia. Disertasi ini bertujuan untuk menganalisis kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan serta pengaruhnya terhadap perdagangan internasional Indonesia baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara, serta implikasi kebijakan terkait infrastruktur transportasi dan kelembagaan dalam mendukung daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional yang semakin kompetitif. Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik atas bimbingan, arahan, dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1.
Komisi pembimbing yang terdiri dari Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua komisi, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Prof (Riset) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing atas atas segala arahan, masukan, saran, bimbingan serta motivasi yang diberikan.
2.
Prof. Bonar M Sinaga, Dr. Harianto, M.Si, sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, atas pertanyaan, saran dan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan dan penyusunan disertasi ini
3.
Dr. Sri Hartoyo, M.Si, selaku penguji wakil program studi pada ujian tertutup maupun terbuka atas segala motivasinya, saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan disertasi ini
ii
4.
Dr. Yeti Lis P, selaku pimpinan sidang pada ujian tertutup, atas pertanyaan, saran, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan disertasi ini, dan terimakasih juga atas segala perhatian dan bantuannya kepada penulis untuk menggantikan tugas di Departemen Ilmu Ekonomi selama penulis menyelesaikan disertasi ini.
5.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, atas pertanyaaan, masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi ini, serta atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S3 ini sehingga untuk sementara waktu tidak dapat menyelesaikan tugas di Departemen Ilmu Ekonomi.
6.
Dr. M. Firdaus, S.P, dan Prof. Dr. Bonar M. Sinaga sebagai penguji pada ujian prelim, atas pertanyaaan, masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi ini.
7.
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M,S selaku moderator seminar atas masukan dan sarannya yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan disertasi ini.
8.
Pimpinan IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen periode , 2007-2010 (Dr. Sri Hartoyo, M.S dan Dr. Eka Intan K. Putri) dan periode 2011-2014 (Dr. Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. Muhamad Firdaus, M.S), serta Ketua Departemen Ilmu Ekonomi periode 2007-2010 (Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S) dan periode 2010-2013 (Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec), atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 dan dukungannya untuk menyelesaikan studi S3.
9.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan (BPPS).
10.
Prof. Dr. Noer Azam Achsani atas dorongan, semangat dan diskusinya yang sangat membantu penulis.
11.
Dian Verawati Panjaitan, S.E,M.Si, yang selalu siap membantu kapan pun dan selalu memotivasi penulis untuk selalu bersemangat dalam menyelesaikan disertasi ini.
12.
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S atas dorongan, semangat dan perhatiannya dari mulai penulis menyelesaikan pendidikan sarjana sampai saat ini.
13.
Dr. Alla Asmara, dan Widyastutik. M.Si yang telah meluangkan waktu untuk diskusi yang relevan dengan disertasi ini
iii
14.
Dr. Lukytawati Anggraeni, Dr.Eka Puspitawati, Dr. Sahara, Ranti Wiliasih, M.Si, Dr. Sri Mulatsih, Dr. Wiwiek Rindayanti, dan seluruh kolega dosen di Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas semua masukan, dorongan semangat, dukungan, bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis
15.
Sri Retno Wahyu Nugraheni, S.E yang telah membantu dalam pengumpulan data dan editing disertasi ini
16.
Agus yang membantu mencarikan dan menyiapkan data yang dibutuhkan dalam disertasi ini.
17.
Asti Istiqomah, S.P, M.Si, Susan Lusiana, S.P, M.Sc, serta Dita, S.E yang telah membantu dalam pengumpulan data.
18.
Suami dan anak-anakku tercinta, H. Rizal Ahmad Fauzi, S.T, M.M, Akmal Shidqi Addauly, Azhar Rahmatilah Addzikri, dan Arif Muhamad Iqbal, atas doa, perhatian, kasih sayang, dukungan, dan pengertiannya yang tulus terhadap penulis sehingga selalu menjadi sumber kekuatan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan doktor ini.
19.
Orang tua tercinta, Papa H. Usep Halim, Mamih Hj. Betty Korhayati, Mamah Hj. Tuti Huto’ah, Bapak H. Soso Warso, Bapak H. Uus Kusmana, Ema Hj. Mimi Sarodji, serta adik-adik dan seluruh ipar atas segala doa, perhatian, dukungan, dan bantuannya yang sangat berarti bagi penulis.
20.
Teman-teman satu angkatan EPN 2008, atas kerjasama, diskusi, dorongan, semangat, dukungan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan dan penyusun disertasi pada Program Studi EPN ini.
21.
Staf Kependidikan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan
perhatian,
membantu
memperlancar
administrasi
proses
pendidikan selama kuliah sampai menyelesaikan disertasi ini dengan baik. 22.
Seluruh Staf Kependidikan Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas perhatian, dukungan, bantuan dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan disertasi ini.
23.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tetap memberikan kontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian disertasi ini.
iv
Disertasi ini merupakan karya maksimal yang telah penulis susun. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya pengetahuan serta menjadi inspirasi dalam penelitian berikutnya.
Bogor, Agustus 2013
Penulis
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan dari pasangan Bapak H. Usep Halim dan H. Betty Korhayati pada tanggal 17 November 1972 di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai anak pertama dari empat bersaudara.
Penulis menikah dengan Rizal
Ahmad Fauzi, S.T, M.M dan dikarunia tiga orang anak laki-laki bernama Akmal Shidqi Addauly, Azhar Rahmatilah Addzikri, dan Arif Muhamad Iqbal. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kota Tasikmalaya yaitu SDN Nagarasari 1 Tasikmalaya lulus tahun 1985, SMPN 1 Tasikmalaya lulus tahun 1988, dan SMAN 2 Tasikmalaya lulus tahun 1991. Pada tahun 1991, penulis diterima di IPB melalui jalur undangan (PMDK) dan menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada tahun 1996 dari Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Pendidikan program magister (S2) diikuti penulis mulai tahun 1999 dan lulus pada tahun 2003 dari Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana IPB. Selanjutnya jenjang pendidikan program Doktor (S3) diikuti penulis sejak tahun 2008 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN). Selama mengikuti pendidikan S2 dan S3 penulis mendapat bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Sejak lulus S1 (1996) sampai 1997, penulis menjadi asisten di Laboratorium Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Kemudian pada tahun 1998 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Pada tahun 2000, saat IPB melakukan penataan diantaranya mulai berdirinya Departemen Ilmu Ekonomi, sejak itu pula penulis mulai bergabung menjadi salah satu staf pengajar, walaupun pada saat yang sama masih menjadi staf pengajar dan menjadi Sekretaris Program Studi di Program Studi EPS. Namun sejak tahun 2003-sampai saat ini, penulis menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
vi
Selama menjadi staf pengajar, penulis pernah mengemban beberapa tugas di lingkungan IPB, yaitu : (1) Komisi Pendidikan program sarjana Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian periode tahun 1998-2000, (2) Sekretaris Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS) periode tahun 2000-2003, (3) Komisi Kemahasiswaan Departemen Ilmu Ekonomi periode 2005-2006, (4) Komisi Pendidikan Departemen Ilmu Ekonomi periode 2006-2008, (5) Sekretaris Bagian Ekonomi Perdagangan, Industri dan Pembangunan periode 2008-2010, dan (6) Sekretaris Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB selama periode 2010-saat ini.
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xv PENDAHULUAN ...................................................................................................1 1.1.
Latar Belakang .......................................................................................1
1.2.
Perumusan Masalah .............................................................................12
1.3.
Tujuan Penelitian .................................................................................15
1.4.
Kegunaan Penelitian ............................................................................15
1.5.
Kebaruan Penelitian (Novelty).............................................................16
1.6.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .........................................16
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................18
2.1.
Peranan Jasa Transportasi dalam Perdagangan ....................................18
2.2.
Peranan Infrastruktur Transportasi Terhadap Perdagangan .................21
2.3.
Peranan Kelembagaan dalam Perdagangan ........................................23
2.3.1 Overview dan Pengertian ....................................................................23 2.3.2 Perspektif The New Institutional Economics ......................................25 2.3.3. Kelembagaan, Biaya Transaksi dan Perdagangan ..............................26 2.4.
Tinjauan Studi Terdahulu ....................................................................27
2.4.1. Permintaan, Penawaran dan Efisiensi Jasa Transportasi Laut............28 2.4.2. Biaya Transportasi, Faktor-faktor yang Memengaruhinya, dan Perdagangan .......................................................................................29 2.4.3. Kelembagaan dan Perdagangan ..........................................................34 BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................36 3.1.
Kerangka Teoritis .................................................................................36
3.1.1. Skala Ekonomis, Infrastruktur, Biaya Transportasi dan Perdagangan ... ................................................................................................................ ............................................................................................................37 3.1.2. Kelembagaan, Biaya Transaksi dan Perdagangan ..............................45 3.1.3. Perdagangan Internasional sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................................................48
viii
3.2.
Kerangka Pemikiran ............................................................................ 50
BAB IV. METODE PENELITIAN ................................................................ 55 4.1.
Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 55
4.2.
Metode Analisis ................................................................................... 55
4.2.1 Metode Data Panel ............................................................................. 56 4.2.2.
Uji Kesesuaian Model ...................................................................... 60
4.2.3. Model Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya Perdagangan ....................................................................................... 64 4.2.4. Model Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Volume Perdagangan Indonesia ...................................................................... 66 BAB V.
KONDISI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN INDONESIA........................................................ 69
5.1.
Infrastruktur Transportasi .................................................................... 69
5.1.1. Moda Transportasi Laut ..................................................................... 69 5.1.2. Moda Transportasi Udara................................................................... 88 5.2.
Kelembagaan ....................................................................................... 99
5.2.1. Tatalaksana Kegiatan Perdagangan Internasional ............................ 100 5.2.2. Keamanan Perdagangan ................................................................... 103 5.2.3. Indikasi Korupsi ............................................................................... 103 BAB VI. KONDISI PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA .. 105 6.1.
Moda Transportasi Laut..................................................................... 105
6.1.1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan .................................................................................. 108 6.1.2. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Indonesia ......................... 111 6.2.
Moda Transportasi Udara .................................................................. 114
6.2.1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Indonesia ....................... 114 6.2.2. Volume dan Nilai Impor Indonesia .................................................. 117 BAB VII. PENGARUH KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN TERHADAP PERDAGANGAN ............ 123 7.1.
Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia ............................................................................... 124
7.1.1. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia ......................................................... 124
ix
7.1.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia ........130 7.2.
Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia .................................................................................144
7.2.1. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia ...........................................................144 7.2.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia ..........149 BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................................165 8.1.
Kesimpulan ........................................................................................165
8.2.
Rekomendasi ......................................................................................166
8.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan .......................................................167
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................169
x
Halaman ini sengaja dikosongkan
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Pertumbuhan Perdagangan Dunia, Tahun 2005-2011 (%) ....................2
Tabel 2.
Nilai Ekspor dan Impor Indonesia, Tahun 2000-2011 (US$) ................3
Tabel 3.
Kontribusi Nilai Ekspor dan Nilai Impor Terhadap GDP Indonesia (%) 4
Tabel 4.
Perbandingan Kualitas Pilar Infrastruktur Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN, Tahun 2009-2011 .......................................................6
Tabel 5.
Perbandingan Kualitas Pilar Kelembagaan Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN, Tahun 2009-2011 .......................................................8
Tabel 6.
Beban Biaya Logistik Terhadap Biaya Produksi dan Produk Domestik Bruto (%) ...............................................................................................9
Tabel 7.
Peringkat dan Skor Daya Saing Logistik ASEAN+3, 2007-2012 .........9
Tabel 8.
Kinerja Komponen Logistik ASEAN+3, Tahun 2012 .........................10
Tabel 9.
Jumlah Kumulatif Armada Pelayaran Nasional dan Asing .................70
Tabel 10. Perum Pelabuhan Indonesia : Cakupan Geografis ...............................74 Tabel 11. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2008-2012 ............................................................................................75 Tabel 12. Angkutan Laut Kargo Ekspor/Impor Indonesia (Ton/tahun)...............76 Tabel 13. Indeks Konektivitas Pelayaran Laut (LSCI), Tahun 2004-2009..........77 Tabel 14. Arus Kontainer yang Dikelola PT. Pelabuhan Indonesia I-IV, Tahun 2005-2009 ............................................................................................80 Tabel 15. Arus Bongkar/ Muat Barang Angkutan Luar Negeri di Empat PelabuhanUtama, Tahun 2005-2009 ....................................................81 Tabel 16. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Udara Indonesia, Tahun 2008-2012 .................................................................................90 Tabel 17. Jumlah Bandara di Indonesia berdasarkan Panjang Landasan, Tahun 2010......................................................................................................91 Tabel 18. Prasarana CNS Konvensional dan CNS/ATM Mendatang .................94 Tabel 19. Daftar Perusahaan Maskapai Niaga Berjadwal dan Niaga Berjadwal Kargo....................................................................................................94 Tabel 20. Lalu Lintas Penerbangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2003 - 2011 .96 Tabel 21. Jumlah Keberangkatan Penumpang dan Barang di Indoensia, Tahun 1999-2010 ............................................................................................98 Tabel 22. Perkembangan Kualitas Kelembagaan Indonesia, Tahun 2008-2012 ... .......................................................................................................100
xii
Tabel 23. Perdagangan Lintas Batas Indonesia, Tahun 2009-2011................... 101 Tabel 24. Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 .................................................................... 108 Tabel 25. Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Per Komoditi Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2010-2011 ................................................ 110 Tabel 26. Volume dan Nilai Impor Indonesia dari Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 ..................................... 111 Tabel 27. Volume dan Nilai Impor Indonesia Per Komoditi Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2010-2011 ................................................ 113 Tabel 28. Ekspor Indonesia Melalui Moda Transportasi Udara ........................ 114 Tabel 29. Ekspor Jasa Indonesia Per Komoditi Berdasarkan Moda Transportasi Udara, Tahun 2010-2011 ................................................................... 117 Tabel 30.
Impor Indonesia Melalui Moda Transportasi Udara, 2000-2011 .. 118
Tabel 31.
Impor Indonesia Berdasarkan Kelompok Komoditi melalui Transportasi Udara,Tahun 2010-2011 ............................................ 121
Tabel 32.
Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan (Keseluruhan) Terhadap Biaya Ekspor Indonesia .......................... 125
Tabel 33.
Hasil Estimasi Dampak Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Volume Ekspor Indonesia .............................................. 129
Tabel 34.
Hasil Estimasi Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Ekspor Indonesia .................................................. 132
Tabel 35.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Terhadap Volume Ekspor Indonesia .............................................................. 133
Tabel 36.
Indeks Konektivitas Pelayaran Laut (LSCI), Tahun 2004-2009 .... 136
Tabel 37.
Kondisi Jalan Nasional, Tahun 2005-2009..................................... 138
Tabel 38.
Prosedural Ekspor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 ..... 139
Tabel 39.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Ekspor Indonesia .................................................................. 142
Tabel 40.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Volume Ekspor Indonesia .............................................................. 143
Tabel 41.
Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan (Keseluruhan) Terhadap Biaya Impor Indonesia ........................... 145
Tabel 42.
Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Volume Impor Indonesia........................... 148
Tabel 43.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Impor Indonesia .............................. 150
Tabel 44.
Prosedural Impor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 ....... 155
xiii
Tabel 45.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Volume Impor Indonesia ..........................157
Tabel 46.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Impor Indonesia ....................................................................158
Tabel 47.
Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Volume Impor Indonesia ................................................................161
xiv
Halaman ini sengaja dikosongkan
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Pembiayaan Infrastruktur Melalui APBN, Tahun 2005-2013 ............8
Gambar 2.
Komponen Biaya Perdagangan di Negara Industri ...........................30
Gambar 3.
Pengaruh Infrastruktur Terhadap Perdagangan.................................43
Gambar 4.
Keterkaitan Infrastruktur Terhadap Perekonomian...........................45
Gambar 5.
Kerangka Pemikiran Penelitian.........................................................53
Gambar 6.
Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel ............62
Gambar 7.
Pangsa Pasar Angkutan Laut Luar Negeri Oleh Armada Nasional dan Asing, Tahun 2004-2008............................................................71
Gambar 8.
Pengembangan Pelabuhan hubungan Internasional ..........................78
Gambar 9.
Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan Tahun 2006 – 2010......91
Gambar 10. Realisasi Pembangunan Fasilitas Terminal Tahun 2006 – 2010 ......92 Gambar 11. Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan Tahun 2006 – 2010 .....93 Gambar 12. Aliran Kargo Nasional ....................................................................106 Gambar 13. Pola Pergerakan Kontainer Ekspor-Impor Indonesia Tahun 2007 .107 Gambar 14. Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 ......................109 Gambar 15. Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 ......................109 Gambar 16. Volume Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 ...................................112 Gambar 17. Nilai Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 ...................................112 Gambar 18. Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011 ...................115 Gambar 19. Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011 ...................116 Gambar 20. Volume Impor Indonesia Menurut Kelompok Negara Asal Melalui Moda Transportasi Udara Tahun 2000-2011 ..................................119 Gambar 21. Nilai Impor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Asal Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011 .................................120 Gambar 22. Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2011 ...........140 Gambar 23. Waktu Tunggu (Dwell Time) Tahun 2010 ......................................152 Gambar 24. Komponen Waktu Tunggu (Dwell Time) Indonesia, Tahun 2010 ..152
xvi
Halaman ini sengaja dikosongkan
1
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perekonomian dunia yang semakin berkembang sejak akhir abad ke-20
semakin membuka hubungan perdagangan dan investasi antar negara, yang ditandai dengan semakin terbuka dan cepatnya aliran barang dan jasa antar negara, sehingga pertumbuhan perdagangan dunia semakin meningkat. Selama periode 1950-2004, pertumbuhan perdagangan dunia meningkat rata-rata sebesar 5.9 persen per tahun. Selama tahun 2005-2011 pertumbuhan ekspor dunia ratarata mencapai 10 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan impornya mencapai 9 persen per tahun. Dari total perdagangan dunia yang mencapai 17,816 milyar US$, sekitar 65 persennya (11,511 milyar US$) merupakan perdagangan manufaktur (World Trade Report, 2012), disusul kemudian dengan jasa komersial, mesin dan peralatan transportasi, minyak dan tambang, dan barang kimia. Sementara produk pertanian mencapai 1,660 bilyar US$ atau sekitar 9.31 persen (International Trade Statistics, 2012). Demikian halnya dengan kontribusi perdagangan terhadap GDP dunia juga terus meningkat dari 25 persen pada tahun 1960 menjadi 46 persen pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan semakin pentingnya perdagangan internasional bagi setiap negara di dunia. Krugman (2002) menyebutkan bahwa liberalisasi perdagangan dan menurunnya biaya perdagangan khususnya biaya transportasi merupakan faktor yang mendorong pertumbuhan perdagangan dunia. Sementara menurut Baier dan Bergstrand (2001), pertumbuhan pendapatan, penurunan tarif dan penurunan biaya transportasi berkontribusi terhadap pertumbuhan perdagangan dunia. Sementara penurunan biaya transportasi diduga karena adanya perubahan teknologi terkait moda transportasi yang digunakan seperti perkembangan mesin jet (transportasi udara), jenis kapal dan kontainer (transportasi laut) (Harley 1980; Mohamed dan Williamson 2004).
2
Tabel 1.
Pertumbuhan Perdagangan Dunia, Tahun 2005-2011 (%)
Negara
20052011 10 8
Ekspor 2009 2010
Dunia -23 Amerika -21 Utara Amerika 13 -23 Selatan dan Pusat Eropa 7 -22 Afrika 11 -30 Timur 15 -31 Tengah Asia 12 -18 Sumber : World Trade Report, 2012
22 23
Impor 2005- 2009 2010 2011 20 9 -23 21 16 5 -25 23
26
27
16
-25
30
24
12 29 27
17 17 37
7 14 12
-25 -15 -15
13 15 13
17 18 16
31
18
13
-20
33
23
2011
2011 19 15
Krugman (1991), Deardorff (1995), Henderson et al (2001), Hummels et al (2001), Limao dan Anthony (2001), menyebutkan bahwa biaya transportasi semakin berperan penting sejak munculnya liberalisasi perdagangan dimana hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif dikurangi bahkan dihapuskan. Salvatore (2004) menyebutkan bahwa biaya transportasi memberikan pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap perekonomian. Pangaruh langsungnya
terhadap perdagangan yaitu melalui peningkatan harga maupun
komoditi yang diperdagangkan, sementara pengaruh tidak langsungnya adalah terhadap lokasi penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri. Demikian halnya dengan Behar dan Anthony (2010) yang menyebutkan bahwa biaya transportasi merupakan salah satu faktor yang membentuk volume dan pola perdagangan. Indonesia sebagai negara kecil yang menganut perekonomian terbuka tidak terlepas dari hubungan perdagangan dengan negara lain baik ekspor dan impor. Perdagangan barang dan jasa Indonesia di pasar dunia, seperti terlihat pada Tabel 2 secara umum memiliki pertumbuhan positif pada periode 2000 sampai 2011. Nilai ekspor memiliki tren positif setiap tahun, kecuali pada tahun 2002 dan 2009. Penurunan ekspor pada tahun 2002 sebesar 1,22 persen, antara lain disebabkan penurunan pangsa pasar ekspor Indonesia akibat ketatnya persaingan dengan negara-negara Asia lain yang memiliki struktur ekspor mirip dengan
3
Indonesia, seperti China, Korea, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Bapenas 20041). Sementara penurunan ekspor pada tahun 2009 sebesar 9.69 persen disebabkan adanya krisis keuangan global yang menyebabkan lesunya perdagangan internasional. Pertumbuhan nilai ekspor Indonesia yang cukup tinggi terjadi pada periode 2004 sampai 2008 yang disebabkan meningkatnya harga produk turunan primer di pasar dunia, dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mengekspor produk turunan primer (Yanti 20112). Tabel 2. Tahun
Nilai Ekspor dan Impor Indonesia, Tahun 2000-2011 (US$) Ekspor berdasar kan harga konstan tahun 2000 (Juta US$)
Tren (%)
2000 67,621 26.48 2001 68,057 0.64 2002 67,229 -1.22 2003 71,186 5.89 2004 80,816 13.53 2005 94,233 16.60 2006 103,096 9.41 2007 111,904 8.54 2008 122,572 9.53 2009 110,695 -9.69 2010 127,594 15.27 2011 144,913 13.57 Sumber: World Bank, 2012
Impor berdasar kan harga konstan tahun 2000 (Juta US$)
Tren (%)
50,264 52,365 50,140 50,924 64,497 75,958 82,477 89,953 98,950 84,130 98,722 111,877
25.93 4.18 -4.25 1.56 26.65 17.77 8.58 9.06 10.00 -14.98 17.34 13.33
Net Ekspor berdasar kan harga konstan tahun 2000 (Juta US$) 17,356 15,691 17,088 20,261 16,319 18,275 20,619 21,950 23,621 26,564 28,871 33,035
Tren (%)
28.11 -9.59 8.90 18.57 -19.46 11.99 12.83 6.46 7.61 12.46 8.69 14.42
Demikian halnya dengan nilai impor Indonesia memiliki tren yang secara umum mirip dengan tren nilai ekspor. Pada periode 2000 sampai 2011, pertumbuhan impor perdagangan Indonesia memiliki nilai negatif hanya pada tahun 2002 dan 2009. Nilai ekspor total perdagangan Indonesia selalu berada di atas nilai impor total, sehingga Indonesia memiliki net ekspor yang selalu bernilai positif pada periode 2000 sampai 2011. Net ekspor memiliki tren negatif pada 1
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/823/ http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53167/BAB%20IV%20G ambaran%20Umum.pdf 2
4
tahun 2001 dan 2004. Pada tahun 2009, ketika terjadi krisis keuangan global, walaupun nilai ekspor dan impor masing-masing memiliki pertumbuhan negatif, tetapi pertumbuhan nilai net ekspor tetap mampu menunjukkan angka positif, yakni tumbuh 12.46 persen. Kontribusi nilai ekspor barang dan jasa terhadap GDP Indonesia selama sepuluh tahun terakhir cenderung berfluktuatif yakni berkisar antara 24 sampai 41 persen . Namun kontribusi nilai ekspor tersebut diimbangi dengan kontribusi nilai impor yang juga tinggi terhadap GDP yang berkisar antara 21 sampai 31 persen. Keterangan lebih jelasnya terkait kontribusi nilai ekspor dan nilai impor terhadap GDP Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Kontribusi Nilai Ekspor dan Nilai Impor Terhadap GDP Indonesia (%)
Tahun Nilai Ekspor (%) 2000 40.977 2001 39.032 2002 32.688 2003 30.478 2004 32.217 2005 34.067 2006 31.035 2007 29.436 2008 29.808 2009 24.159 2010 24.621 2011 26.327 Sumber: World Bank, 2012
Nilai Impor (%) 30.460 30.761 26.392 23.139 27.545 29.921 25.622 25.394 28.753 21.353 22.942 24.915
Kualitas infrastruktur dan kelembagaan merupakan faktor penting yang menentukan kinerja perdagangan baik biaya maupun volume perdagangan serta daya saing perekonomian. Infrastrukur merupakan prasarana publik primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara yang efektif dan efisien. Sementara kelembagaan merupakan kerangka administratif dimana individu, perusahaan, dan
pemerintah
berinteraksi
untuk
menghasilkan
kesejahteraan.
Salah
satu
infrastruktur yang besar perannya dalam pengembangan dan pembangunan ruang, baik dalam lingkup negara ataupun lingkup wilayah adalah infrastruktur transportasi, yaitu infrastruktur yang mampu menciptakan mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar (perdagangan/ trade). Infrastruktur
5
transportasi ini pun berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti perdagangan antar wilayah, antar negara dan perluasan pasar baik domestik maupun internasional. Kualitas infrastruktur transportasi yang baik dapat mengurangi efek jarak antar negara maupun antar daerah, mengintegrasikan pasar nasional maupun dunia, dan menghubungkannya dengan biaya yang rendah. Selain itu, kuantitas dan kualitas infrastruktur dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Dengan kata lain, kualitas infrastruktur transportasi dapat mereduksi biaya perdagangan yang akan memengaruhi kinerja perdagangan dan perekonomian (Kelejian dan Robinson, 2006). Reduksi
biaya
perdagangan khususnya biaya
transportasi
akan
menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih murah sehingga biaya produksi barang yang menggunakan barang impor sebagai input intermediate menjadi lebih murah dan menjadi kompetitif di pasar internasional. Demikian juga dengan produk final, dengan biaya transportasi yang lebih murah akan menyebabkan harga produk yang diterima konsumen pun menjadi lebih murah. Radelet dan Sachs (1998) mencatat pentingnya biaya transportasi terhadap perdagangan dan pertumbuhan melalui tiga saluran. Pertama, biaya transportasi yang tinggi mengurangi ekspor dan pertumbuhan. Kedua, biaya transportasi yang lebih tinggi mengurangi manfaat atau kentungan dari sumber daya alam sehingga menurunkan tabungan untuk investasi. Ketiga, negara-negara dengan biaya transportasi yang lebih tinggi mengurangi perdagangan dan juga mengurangi investasi asing langsung (FDI), sementara perdagangan dan FDI adalah sumber utama dari transfer teknologi. Demikian halnya dengan kelembagaan, kualitas kelembagaan yang baik adalah yang mampu memberikan pasar yang efesien dengan biaya yang serendahrendahnya, sehingga akan menimbulkan efesiensi dalam perekonomian. Namun demikian efesiensi dalam perekonomian sangat tergantung kepada lembaga yang senantiasa memberikan fleksibilitas ekonomi dan politik dari waktu ke waktu. Lembaga yang bersifat adaptif dan efesien harus mampu memberikan insentif, mendorong inovasi dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang kreatif (North 1992).
6
Berdasarkan World Economic Forum 2012-2013, kualitas infrastruktur Indonesia secara keseluruhan, hanya menempati peringkat 78 dari 144 negara yang diteliti. Peringkat tersebut jauh tertinggal dari Singapura yang menempati peringkat ke-2, Malaysia di peringkat ke-32, dan Thailand di peringkat ke-46. Bahkan peringkat ini cenderung menurun dibanding tahun sebelumnya (20112012) yang mencapai peringkat 76. Penjelasan lebih detailnya dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 4, apabila lebih ditelaah lebih lanjut terhadap unsurunsur pembentuk infrastruktur keseluruhan terutama yang terkait dengan infrastruktur transportasi baik jalan, pelabuhan maupun bandara, secara keseluruhan menunjukkan penurunan dari tahun 2011. Secara umum peringkat Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan Filipina. Tabel 4. Perbandingan Kualitas Pilar Infrastruktur Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN, Tahun 2009-2011 Infrastruktur Indonesia Viet Thai Phi Mly Sing 2012
2012
2012
2012
2012
2012
82 76 78 (3.56) (3.77) (3.75) 84 83 90 (3.5) (3.5) (3.4) 96 103 104 (3.6) (3.6) (3.6) 69 80 89 (4.6) (4.4) (4.2)
95 (3.34) 120 (2.7) 113 (3.4) 94 (4.1)
46 (4.62) 39 (5.0) 56 (4.6) 33 (5.7)
96 (3.19) 37 (3.4) 120 (3.3) 112 (3.6)
32 (5.09) 27 (5.4) 21 (5.5) 24 (5.9)
2 (6.50) 3 (6.5) 2 (6.8) 1 (6.8)
2010 Infrastruktur Keseluruhan Infrastruktur Jalan Infrastruktur pelabuhan Infrastruktur Bandara
2011
Sumber : World Economic Forum 2009-2012 Hasil penelitian LPEM UI (2005) menunjukkan bahwa biaya transportasi laut di Indonesia sangat tidak efisien, padahal transportasi laut ini merupakan pendukung utama perdagangan internasional, mengingat lebih dari 95 persen perdagangan internasional dilakukan melalui moda transportasi laut. Rata-rata biaya transportasi laut mencapai US$ 0.54 per kilometer.
Tingginya biaya
transportasi laut ini diantaranya disebabkan karena kondisi logistik yang juga kurang mendukung, termasuk kualitas infrastruktur transportasi. Biaya logistik di Indonesia dari kawasan industri ke pelabuhan lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Apabila dibandingkan dengan jarak tempuh yang hampir sama, biaya logistik di Indonesia mencapai US$ 750, sedangkan di Malaysia mencapai US$ 4503. 3
Henry Sandee, Senior Trade Specialist World Bank
7
Masih rendahnya kualitas infrastruktur Indonesia berkaitan dengan permasalahan ketersediaan dan pemeliharaan. Hal ini disebabkan oleh kelembagaan, sumberdaya manusia dan terbatasnya kemampuan pembiayaan pemerintah terutama sejak krisis ekonomi 1997/1998. Sebelum krisis 1997/1998 alokasi pembiayaan infrastruktur sudah mencapai lebih dari 8 persen PDB, namun sejak krisis 1997/1998 terus mengalami penurunan. Walaupun saat ini sudah mengalami peningkatan kembali, namun belum bisa mencapai angka sebelum krisis 1997/1998. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pembiayaan infrastruktur yang berasal dari APBN cenderung terus mengalami peningkatan dari Rp 26.1 trilyun (0.94% PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp 174.9 trilyun (2.05% PDB) pada tahun 2012. Pada 2013, direncanakan total investasi mencapai Rp 438.1 triliun atau 4.72 persen dari PDB. Dari alokasi belanja modal sebesar Rp 216.1 triliun, sebanyak Rp 203.9 triliun merupakan belanja untuk infrastruktur dan angka ini lebih tinggi dari keseluruhan belanja pegawai untuk kegiatan produktif, sementara sisanya sekitar Rp 225 triliun berasal dari badan usaha milik negara (BUMN/BUMD) dan swasta. Walaupun kecenderungan pembiayaan infrastruktur terus meningkat, namun besarnya pembiayaan infrastruktur di Indonesia ini relatif masih lebih rendah dibandingkan India dan China. Sejak tahun 2009, investasi infrastruktur India sudah di atas 7 persen dari PDB, sedangkan di Cina sejak 2005 sudah mencapai 911 persen dari PDB (Kementerian Keuangan, 2013).
Sumber : Kementerian Keuangan, 2013
8
Gambar 1.
Pembiayaan Infrastruktur Melalui APBN, Tahun 2005-2013
Sementara berdasarkan kualitas kelembagaan, sama halnya dengan kualitas infrastruktur, peringkat Indonesia masih relatif jauh tertinggal dengan Negara-negara ASEAN terutama Singapura dan Malaysia. Menurut Laporan Global Competitiveness Forum tahun 2012-2013, Indonesia berada pada peringkat 72, sementara Singapura dan Malaysia berada pada peringkat 1 dan 29. Walaupun kualitas kelembagaan Indonesia pada tahun 2012-2013 cenderung meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada pada peringkat 76, akan tetapi masih tetap relatif jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Karena kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan ini pulalah yang diduga turut memengaruhi turunnya daya saing Indonesia di dunia Internasional menjadi berada pada peringkat 50 dengan nilai 4.4 dari skala 7 pada tahun 20122013 dari tahun sebelumnya (tahun 2011-2012) yang berada pada peringkat 46. Tabel 5.
Perbandingan Kualitas Pilar Kelembagaan Indonesia Dibandingkan Negara ASEAN, Tahun 2009-2011
Kelembagaan
Kualitas Kelembagaan Keseluruhan Burden of Government Regulation Organized Crime
Indonesia
Vietnam
Thailand
Philipina
Malaysia
Singapura
2009
2010
2011
2011
2011
2011
2011
2011
58
82
76
87
67
117
30
1
23
36
44
113
45
126
8
1
81
96
109
91
73
102
54
6
Sumber : World Economic Forum 2009-2012 Kualitas infrastruktur dan kelembagaan Indonesia yang relatif masih rendah menyebabkan tingginya biaya logistik dan tidak efisiennya pola perdagangan internasional. Logistik perdagangan yang baik merupakan prasyarat yang sangat penting bagi suatu negara agar memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional dan agar pasokan barang dalam pasar domestik dapat terjaga dengan baik. Berdasarkan data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada tahun 2011, beban biaya logistik Indonesia mencapai 17 persen dari biaya produksi keseluruhan atau sekitar 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh relatif lebih tinggi dibandingkan biaya logistik di Jepang yang
9
mencapai 5 persen (10% dari PDB), Singapura 6 persen (8% dari PDB), Malaysia 8 persen (13% dari PDB), Thailand 10 persen (15% dari PDB) dan China 12.5 persen (19% dari PDB). Sementara komponen biaya logistik sendiri meliputi biaya transportasi sebesar 66.8 persen, biaya penanganan dan biaya administrasi masing-masing sebesar 27.56 dan 5.64 persen4. Tabel 6.
Beban Biaya Logistik Terhadap Biaya Produksi dan Produk Domestik Bruto (%) Negara Terhadap Terhadap Biaya produksi PDB Jepang
10
5
Singapura
8
6
Malaysia
13
8
Indonesia
27
17
Thailand
15
10
China
19
12.5
Sumber : Kadin dan LPEM UI dalam www.indii.co,id/upload_file/201206210835460/Transportasi Laut yang MurahTak Dikembangkan Berdasarkan peringkat daya saing logistik (LPI) pada tahun 2012, dari 155 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 59 dengan skor 2.94, mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang berada pada peringkat 75 dengan skor 2.76. Namun demikian walaupun sudah mengalami peningkatan namun masih relatif tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Vietnam (Tabel 7). Tabel 7.
4
Peringkat dan Skor Daya Saing Logistik ASEAN+3, 2007-2012 Negara
2007
2010
2012
Singapura
1 (4.19)
2 (4.11)
1 (4.13)
Malaysia
27 (3.48)
29 (3.44)
29 (3.49)
Indonesia
43 (3.01)
75 (2.76)
59 (2.94)
Thailand
31 (3.31)
35 (3.29)
38 (3.18)
Philipina
65 (2.69)
44 (3.14)
52 (3.02)
www.indii.co,id/upload_file/201206210835460/Transportasi Laut yang Murah Tak Dikembangkan.pdf diakses 12 Maret 2013
10
Vietnam
53 (2.89)
53 (2.96)
53 (3.00)
China
8 (4.00)
13 (3.88)
2 (4.12)
Jepang
6 (4.02)
7 (3.97)
8 (3.93)
Korea
25 (3.52)
23 (3.64)
21 (3.70)
Sumber : World Bank 2007, 2010 dan 2012 Logistic Performance Index (LPI) mengukur berbagai aspek yang mencerminkan tingkat efisiensi logistik di suatu negara. Terdapat enam dimensi yang merupakan indikator kinerja logistik dalam LPI yaitu : efisiensi proses “clearance” (kepabeanan); kualitas infrastruktur dan transportasi perdagangan; kemudahan memperoleh harga pengiriman yang kompetitif, termasuk kemudahan dalam menyusun jadwal pelayaran; kompetensi logistik dan kualitas jasa logistic termasuk jasa pergudangan; fasilitas tracking dan tracing (penelusuran dan pencarian), fasilitas ini akan sangat membantu untuk membuat perkiraan kedatangan barang di negara tujuan; serta ketepatan waktu (timeliness). Berdasarkan enam kategori yang diukur dalam LPI, kinerja sektor logistik Indonesia lebih buruk daripada kelima negara ASEAN hampir di semua kategori, kecuali pada indikator ketepatan waktu (timeliness), posisi
Indonesia masih
sedikit lebih baik daripada Philipina. Kepabeanan (customs) dan infrastruktur merupakan dua indikator dengan nilai terendah untuk Indonesia. Berdasarkan LPI tahun 2012, kualitas infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 85 dengan skor 2.54, sementara kepabeanan berada pada peringkat 75 dengan skor 2.53, relatif jauh dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Selain memperkuat daya saing Indonesia di pasar Internasional, pembenahan sistem logistik perdagangan akan memperlancar perdagangan antara pasar-pasar di dalam negeri di berbagai daerah. Logistik perdagangan yang baik akan mengurangi selisih antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga mendorong peningkatan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi logistik. Pembenahan sistem logistik juga akan memperkecil disparitas harga barang di pasar-pasar domestik di seluruh wilayah Indonesia dan memperlancar arus perdagangan domestik Tabel 8.
Kinerja Komponen Logistik ASEAN+3, Tahun 2012
11
Negara
Kepabeanan (Custom)
Infrastruktur (Infrastructure)
Singapura
1 (4.10)
2 (4.15)
Pelayaran Internasional (Internasional Shipmens) 2 (3.99)
6 (4.07)
Pelacakan (Tracking and Tracing) 6 (4.07)
Malaysia
29 (3.28)
27 (3.43)
26 (3.40)
30 (3.45)
28 (3.54)
28 (3.86)
Indonesia
75 (2.53)
85 (2.54)
57 (2.97)
62 (2.85)
52 (3.12)
42 (3.61)
Thailand
42 (2.96)
44 (3.08)
35 (3.21)
49 (2.98)
45 (3.18)
39 (3.63)
Philipina
67 (2.63)
62 (2.80)
56 (2.97)
39 (3.14)
39 (3.30)
69 (3.30)
Vietnam
63 (2.65)
72 (2.68)
39 (3.14)
62 (2.68)
47 (3.16)
38 (3.64)
Jepang
11 (3.72)
9 (4.11)
14 (3.61)
9 (3.97)
9 (4.03)
6 (4.21)
Korea
23 (3.42)
22 (3.74)
12 (3.67)
22 (3.65)
22 (3.68)
21 (4.02)
China
3 (3.97)
7 (4.12)
1 (4.18)
5 (4.08)
5 (4.09)
4 (4.28)
Daya Dukung Logistik
Ketepatan Waktu (Timeliness) 1 (4.39)
Sumber : World Bank, 2011 Faktor logistik, infrastruktur dan kelembagaan akan menjadi semakin penting ketika Indonesia masuk dalam jaringan produksi dan pasar regional dan kondisi perdagangan dunia yang semakin kompetitif seperti ASEAN, ekspor impor di wilayah ASEAN diperkirakan akan terus meningkat. Terlebih lagi dengan posisi Indonesia yang berada pada lintasan antara dua benua dan dua samudera serta terletak pada jalur perdagangan dunia, lalu lintas perdagangan di Indonesia akan semakin meningkat. Dalam waktu dekat ini Indonesia akan menghadapi Integrasi Logistik ASEAN pada tahun 2013, Integrasi Pasar Regional ASEAN pada tahun 2015, dan Integrasi Pasar Global tahun 2020, sehingga Indonesia harus mempersiapkan diri khususnya dalam hal infrastruktur transportasi dan kelembagaan yang mendukung supaya dapat bersaing di pasar global. Hummels
(2007) menyebutkan bahwa walaupun
sebagian besar
pengangkutan barang dilakukan melalui moda transportasi laut, namun perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengangkutan barang melalui moda transportasi udara pun semakin meningkat. Selama periode 1975-2004 barang-barang yang diperdagangkan melalui transportasi udara tumbuh sebesar 7.4 persen per tahun, sementara barang yang diperdagangkan melalui moda transportasi laut tumbuh relatif lebih kecil, yaitu sebesar 4.4 persen per tahun.
12
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penting untuk mengkaji sejauh mana kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan memengaruhi perdagangan Internasional Indonesia, baik secara total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara.
Kualitas
infrastruktur yang dimaksud adalah kualitas infrastruktur keseluruhan yang meliputi infrastruktur transportasi, komunikasi dan energi, dan indikator kualitas infrastruktur transportasi yang meliputi kualitas jalan, pelabuhan, bandara dan tingkat konektivitas pelayaran Indonesia dengan jaringan pelayaran global (LSCI). Sementara kualias kelembagaan yang dimaksud adalah kualitas kelembagaan keseluruhan, dan indikator kelembagaan berupa kebebasan korupsi, efisiensi/hambatan terkait peraturan dan birokrasi pemerintah (burden of government regulatory), dan kejahatan terorganisitr (organized crime).
1.2.
Perumusan Masalah Dengan semakin berkembangnya perdagangan dan perekonomian dunia
dan integrasi ekonomi dimana hambatan tarif dan non tarif telah diturunkan bahkan dihapuskan, peranan biaya perdagangan khususnya biaya transportasi semakin penting. Kondisi logistik suatu negara merupakan salah satu faktor yang berperan dimana kualitas infrastruktur merupakan salah satu faktor penentunya. Berdasarkan daya saing logistik 2012, Indonesia masih relatif jauh tertinggal dari negara ASEAN terutama Singapura, Malaysia dan Thailand terutama dalam hal infrastruktur dan kepabeanan yang berada pada peringkat 85 dan 75. Demikian halnya dengan kualitas kelembagaan Indonesia yang berada pada peringkat 72 (2012) yang juga relatif tertinggal dibanding Singapura, Malaysia dan Thailand. Walaupun perkembangan perdagangan menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun ternyata manfaat perdagangan yang dirasakan setiap negara yang terlibat perdagangan tidaklah sama sekalipun negara tersebut berdekatan maupun mirip secara geografis. Kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan diduga turut menentukan hal tersebut. Kedua faktor ini pulalah yang juga diduga turut memengaruhi peringkat Global Competitiveness Index Indonesia turun dari peringkat 46 (2011-2012) menjadi peringkat 50 (2012-2013). Buruknya kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan akan meningkatkan biaya transportasi
13
dan biaya transaksi perdagangan yang pada akhirnya akan memengaruhi biaya produksi secara keseluruhan sehingga membuat harga barang meningkat dan memengaruhi daya saingnya di pasar global. Kualitas infrastruktur transportasi juga akan memengaruhi waktu ekspor maupun waktu impor yang pada akhirnya memengaruhi biaya ekspor maupun biaya impor. Biaya transportasi yang tinggi juga akan menurunkan investasi domestik maupun asing dalam kegiatan ekonomi, sehingga mengurangi laju transfer teknologi dan pertumbuhan ekonomi (Chasomeris 2003). Sementara kualitas kelembagaan akan memengaruhi biaya informasi, biaya kontrak dan biaya penegakan hukum serta peraturan.
Hasil penelitian
Borrman, Matthias dan Silke (2006) menunjukkan bahwa negara-negara dengan kualitas kelembagaan yang rendah belum mampu mengambil keuntungan dari perdagangan selama ini. Kualitas kelembagaan yang baik akan menurunkan biaya perdagangan dengan mengurangi biaya transaksi pelaku pasar dan meningkatkan efisiensi pasar (WTO, 2004). Apabila biaya logistik dan biaya transportasi perdagangan, serta biaya produksi secara keseluruhan tidak segera diatasi akan berdampak pada defisitnya neraca perdagangan Indonesia terhadap beberapa negara di dunia. Hal ini diakibatkan dengan biaya logistik yang tinggi maka biaya untuk melakukan perdagangan internasional terutama biaya ekspor dan biaya impor akan meningkat, sehingga hal tersebut akan menyebabkan defisit pada neraca perdagangan jika biaya impor lebih tinggi dari pada biaya ekspor. Selain itu, kesepakatan perdagangan bebas antara beberapa negara terutama antar negara-negara ASEAN akan memberikan efek negatif jika masalah biaya logistik yang mahal tidak segera diatasi. Dengan disepakatinya Integrasi Logistik ASEAN tahun 2013 dan Integrasi Pasar ASEAN dan ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, maka pintu perdagangan untuk masuk ke kawasan Indonesia akan dibuka bebas dan negara manapun di Asia Tenggara akan bebas mengirimkan barang dengan tarif nol rupiah, sehingga, dengan keadaan biaya logistik yang tinggi maka akan menyebabkan produk dari Indonesia akan kalah bersaing dengan produk negaranegara Asia Tenggara lainnya dan produk impor akan menguasai pasar domestik.
14
Oleh karena itu penelitian mengenai kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan terhadap perdagangan Internasional Indonesia baik berdasarkan moda total maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara perlu dilakukan. Penelitian mengenai kualitas inftrastruktur dan kelembagaan terhadap perdagangan internasional dengan kasus Indonesia masih belum banyak dilakukan. Beberapa yang sudah dilakukan terutama terkait infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi.
Demikian halnya dengan kajian mengenai kaitan
infrastruktur dan kelembagaan terhadap perdagangan berdasarkan moda transportasi laut dan udara relatif masih sangat jarang. Beberapa penelitian terkait yang sudah dilakukan adalah mengenai Pengaruh Port Efficiency dalam Perdagangan Bilateral Indonesia Uni Eropa (Fandi, UGM), Biaya Transportasi Barang: Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia (LPEM-FEUI dan The Asia Foundation 2008). Kajian lainnya lebih terfokus pada transportasi barang melalui darat. Dengan kondisi geografis dan kelembagaan seperti Indonesia, kajian yang mampu menganalisis kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kelembagaan terhadap perdagangan Internasional Indonesia berdasarkan moda transportasi laut dan udara menjadi sangat penting, karena pergerakan barang dari produsen ke konsumen, baik nasional maupun internasional lebih banyak melibatkan kedua moda transportasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Siapkah infrastruktur transportasi dan kelembagaan Indonesia menghadapi persaingan perdagangan yang semakin kompetitif ? terutama yang dalam waktu dekat akan menghadapi integrasi logistik ASEAN, konektivitas ASEAN dan terciptanya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 ? 2. Mengapa biaya perdagangan Indonesia masih relatif lebih tinggi ? sejauh mana kualitas infrastruktur dan kelembagaan memengaruhi hal tersebut ? 3. Sejauhmana kualitas infrastruktur dan kelembagaan memengaruhi perdagangan baik volume ekspor maupun impor Indonesia menghadapi persaingan yang semakin kompetitif ?
15
4. Implikasi penting apakah yang perlu diperhatikan, khususnya bagi pemerintah terkait kualitas infrastruktur dan kelembagaan Indonesia dalam rangka meningkatkan perdagangan internasional menghadapi persaingan yang semakin ketat ?
1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis “Kualitas
Infrastruktur Transportasi dan Kelembagaan serta Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia”. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalis kinerja infrastruktur transportasi khususunya infrastruktur transportasi laut dan udara, serta kelembagaan Indonesia menghadapi persaingan perdagangan yang semakin kompetitif terutama dalam menghadapi integrasi logistik 2013, konektivitas ASEAN dan terciptanya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 2. Menganalisis sejauh mana kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan memengaruhi biaya perdagangan Indonesia 3. Menganalisis
sejauhmana
kualitas
infrastruktur
dan
kelembagaan
memengaruhi volume perdagangan Indonesia berdasarkan menghadapi persaingan yang semakin ketat 4. Menyusun
rekomendasi
kebijakan
bagi
peningkatan
perdagangan
Internasional Indonesia terkait infrastruktur transportasi dan kelembagaan.
1.4.
Kegunaan Penelitian 1. Dari segi pengembangan ilmu : studi ini diharapkan dapat menjadi inspiring bagi penelitian berikutnya, khususnya mengenai pentingnya infrastruktur dan kelembagaan kaitannya dengan perdagangan yang relatif masih terbatas. 2. Dari segi informasi : dapat dijadikan informasi awal yang dapat menjelaskan kondisi infrastruktur transportasi khususnya transportasi laut dan udara dan kelembagaan internasional
Indonesia kaitannya dalam perdagangan
16
1.5.
Kebaruan Penelitian (Novelty) 1. Dari segi objek penelitian, studi ini yang pertama menganalisis kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan terhadap perdagangan Indonesia baik ekspor maupun impor, yang didasarkan pada moda transportasi laut dan udara. 2. Dari segi metodologi, studi ini adalah yang pertama menganalisis kualitas infrastruktur dan kelembagaan baik keseluruhan maupun masing-masing indikator dari negara yang terlibat perdagangan terhadap kinerja perdagangan, dalam hal ini biaya dan volume ekspor dan impor Indonesia yang berdasarkan dua moda transportasi yaitu laut dan udara. Indikator kualitas
infrastruktur
dan
kelembagaan
berdasarkan
Global
Competetiveness Report, World Economic Forum dan Economic Freedom. 1.6.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Karena terbatasnya data time series yang tersedia terutama terkait kualitas
infrastruktur dan kelembagaan, maka penelitian ini menggunakan metode ekonometrika yang diterapkan terhadap panel data. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan periode waktu 2006-2011 dengan 72 cross section negara tujuan ekspor dan asal impor Indonesia. Beberapa informasi penting akan luput dari model yang digunakan terutama terkait struktur pasar dan kondiri riil moda transportasi.
Keterbasan ini akan dicoba diatasi
semaksimal mungkin dengan analisis kualitatif.
Penelitian lanjutan dengan
menggunakan data primer akan sangat berharga untuk memperkaya penelitian ini. Keterbatasan data juga yang menyebabkan ruang lingkup kinerja perdagangan hanya dilihat secara agregat tanpa membedakan komoditi. Beberapa informasi penting terkait komditi akan luput dari model yang digunakan, namun akan dicoba untuk diatasi semaksimal mungkin dengan analisis kualitatif. Bagaimanapun hasilnya, penelitian lanjutan akan menjadi pelengkap yang sangat berharga untuk menegaskan, memperkaya dan menjawab berbagai aspek yang tidak dapat dijelaskan oleh model dan data yang digunakan dalam peneltiian ini.
17
Karena terbatasanya data, kualitas infrastruktur dan kelembagaan baik keseluruhan maupun masing-masing indikator yang digunakan merupakan indeks yang bersumber dari Global Competitiveness Index, Global Competitiveness Forum dan Economic Freedom, serta UNCTAD. Kualitas infrastruktur yang dimaksud meliputi infrastruktur keseluruhan mencakup infrastruktur transportasi, komunikasi dan energi, serta indikator infrastruktur transportasi dengan beberapa indikator pembentuknya yaitu kualitas jalan, kualitas pelabuhan, kualitas bandara, dan tingkat konektivitas terhadap jaringan pelayaran internasional (LSCI). Sementara kualitas kelembagaan meliputi kelembagaan keseluruhan baik publik maupun swasta, dan beberapa indikator kelembagaan yaitu kebebasan korupsi, efisiensi peraturan (burden of government regulatory), kualitas terkait keamanan terkait kejahatan terorganisir (organized crime).
18
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peranan Jasa Transportasi dalam Perdagangan Transportasi merupakan salah satu aktivitas jasa yang sangat penting
dalam perekonomian. Transportasi adalah pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Proses pengangkutan merupakan gerakan dari tempat asal, dari mana kegiatan angkutan dimulai, ke tempat tujuan, kemana kegiatan pengangkutan diakhiri. Peranan transportasi sangat penting untuk saling
19
menghubungkan daerah sumber bahan baku, daerah produksi, daerah pemasaran dan daerah pemukiman sebagai tempat tinggal konsumen. Transportasi merupakan salah satu bentuk jasa (services) yaitu sesuatu yang umum di dunia modern dan berkaitan dengan berbagai kegiatan ekonomi. Menurut Kotler (2000) jasa (services) adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip sifatnya tidak berwujud dan tidak menyebabkan kepemilikan sesuatu. Sementara Zethmal dan Bitner (2000), menyebutkan bahwa jasa adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk (dalam pengertian fisik), dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah, dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya. Dari kedua definisi di atas, maka jasa pada dasarnya sesuatu yang memiliki ciri sebagai berikut : 1. Sesuatu yang tidak berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen. 2. Proses produksi jasa dapat menggunakan/tidak menggunakan bantuan suatu produk fisik. 3. Jasa tidak mengakibatkan peralihan hak/kepemilikan, dan 4. Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Dalam perdagangan jasa ada empat (4) mode yang digunakan yaitu : Mode 1 (Cross Border Supply), yaitu kebebasan pemasok jasa asing untuk memberikan jasanya secara lintas batas tanpa harus hadir di negara tersebut. Mode 2 (Consumption Abroad), yaitu kebebasan bagi konsumen untuk menggunakan jasa di negara lain dengan cara berada pada negara tempat penyedia jasa tersebut. Mode 3 (Commersial Presence), yaitu kebebasan perusahaan asing untuk hadir dan mendirikan badan usahanya di negara lain. Mode 4 (Movement of Natural Person), yaitu kebebasan bagi orang pribadi untuk memberikan jasanya maupun untuk bekerja di perusahaan di negara lain. Sektor jasa ini merupakan salah sektor yang semakin berkembang dengan semakin berkembangnya perekonomian dunia, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Perdagangan Jasa berbeda dengan barang dalam dua hal utama. Pertama, perdagangan barang melibatkan pengiriman barang antar negara, sedangkan jasa memerlukan hubungan personal antara produsen dan konsumen,
20
sehingga salah satu dari produsen atau konsumen harus melakukan perjalanan antar negara. Kedua, jasa memiliki regulasi yang ketat karena banyak jenis layanan publik diproduksi secara monopoli, sehingga regulasi liberalisasi perdagangan jasa tidak bisa sesederhana regulasi liberalisasi perdagangan barang. Karena jasa bersifat intangible, maka aturan-aturan perdagangan terkait dengan sektor jasa umumnya lebih bersifat non tarif terutama terkait dengan kebijakankebijakan pemerintah. Oleh karena itu liberalisasi perdagangan di sektor jasa pun umumnya terkait dengan reformasi struktural terkait dengan kebijakan. Unsur-unsur jasa transportasi meliputi : (1) ada muatan yang diangkut, (2) tersedia kendaraan sebagai pengangkutnya, (3) ada jalanan yang dapat dilalui, (4) ada terminal asal dan terminal tujuan, dan (4) sumber daya manusia dan organisasi atau manajemen yang menggerakkan kegiatan transportasi tersebut. Transportasi memberikan jasa kepada masyarakat, yang disebut jasa transportasi. Jasa transportasi merupakan keluaran (output) perusahaan angkutan yang bermacam-macam jenisnya sesuai banyaknya jenis alat angkutan (seperti jasa pelayaran, jasa kereta api, jasa penerbangan, jasa angkutan bus dan lain-lain). Sebaliknya, jasa angkutan merupakan salah satu faktor masukan (input) dari kegiatan produksi, perdagangan, pertanian dan kegunaan lainnya (Nasution 2003). Jasa transportasi berfungsi sebagai faktor penunjang dan perangsang pembangunan (the promoting sector) dan pemberi jasa (the service sector) bagi perkembangan ekonomi. Fasilitas pengangkutan harus dibangun mendahului proyek-proyek
pembangunan
lainnya.
Perluasan
dermaga
di
pelabuhan
didahulukan daripada pembangunan pupuk yang akan dibangun, guna melancarkan pengiriman peralatan pabrik dan bahan baku serta penyaluran hasil produksi ke pasar setelah pabrik beroperasi (Nasution 2003). Pada awalnya peran transportasi lebih pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat untuk mengakomodasi aktivitas sosial dan ekonomi.
Namun
demikian perkembangan selanjutnya transportasi berperan sebagai fasilitas bagi sistem produksi dan investasi yang memberikan dampak positif bagi kondisi ekonomi. Dari sisi makro ekonomi, transportasi memegang peranan strategis dalam meningkatkan PDB nasional, karena sifatnya sebagai derived demand,
21
yang artinya apabila penyediaan jasa transportasi meningkat maka akan meningkatkan pendapatan nasional (Bappenas 2012). 2.2.
Peranan Infrastruktur Transportasi Terhadap Perdagangan Infrastruktur merupakan prasarana publik primer dalam mendukung kegiatan
ekonomi suatu negara. Ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur merupakan Public Service Obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah.
infrastruktur ekonomi merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta infrastruktur transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu, (1). Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya), (2) Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain), (3) Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Selain itu infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,
22
telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu wilayah/negara akan berjalan seiring dengan perkembangan outputnya.
Setiap peningkatan stok
infrastruktur sebesar 1 persen akan meningkatkan GDP sebesar 1 persen. Eksistensi infrastruktur dalam konteks dinamika suatu negara akan mengalami perubahan-perubahan dasar seiring dengn perkembangan atau perubahan kebutuhan. Semakin maju suatu negara kebutuhan jenis infrastruktur juga akan mengalami perubahan, dimana kontribusi dari infrastruktur energi (listrik), transportasi, dan telekomunikasi akan semakin dominan, relatif terhadap infrastruktur dasar lainnya seperti air bersih dan irigasi (World Bank 1994). Infrastruktur menciptakan
transportasi
mobilitas
sosial
merupakan dan
infrastruktur
ekonomi
yang
masyarakat
mampu (barang,
manusia/penumpang), dan menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar. Infrastruktur transportasi pun berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti perdagangan antar wilayah, perluasan pasar, terciptanya kompetisi, penyebaran pengetahuan dan teknologi, meningkatkan aksesibilitas pendudukan terhadap sarana kesehatan dan pendidikan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan (World Bank 2009). Menurut Yanuar (2006), ada dua kendala dalam pengadaan infrastruktur. Pertama, kemungkinan terjadi kegagalan pasar. Hal ini terkait manfaat infrastruktur yang tidak hanya dinikmati secara pribadi tetapi juga bagi orang lain. Kedua,
terkait
dengan
pembiayaan.
Pengadaan
infrastruktur
umumnya
memerlukanm biaya yang sangat besar dan merupakan investasi jangka panjang. Dengan adanya kedua kendala tersebut, maka pengadaan infrastruktur dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pemerintah dengan dana yang terdapat dalam APBN. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan infrastruktur diantaranya, panjang jalan, panjang rel kereta api, dan jumlah telepon (Limao and Venables 2001); Franccois (2006) menggunakan persentase jalan yang beraspal dari total jalan, jumlah pelanggan fixed and mobile telephone (per 1000 orang), kapasitas angkut transportasi udara (juta ton per km); efisiensi pelabuhan (port
23
efficiency), indeks kualitas infrastruktur yang meliputi keseluruhan infrastruktur (overall infrastructure), kualitas infrastruktur jalan (road infrastructure), kualitas infrastruktur pelabuhan (port infrastructure), dan kualitas infrastruktur bandara (air infrastructure). Berdasarkan data yang ada sekitar 90 persen volume perdagangan dunia didistribusikan melalui moda transportasi laut, sisanya sekitar 10 persen didistribusikan melalui moda transportasi udara dan darat. Oleh karena itu infrastruktur terkait transportasi laut khususnya sangatlah diperlukan terutama bagi negara-negara berkembang yang sangat sensitif terhadap perbandingan harga barang
dagangnya
terhadap
ekspor
potensialnya.
Kualitas
infrastruktur
transportasi yang terkoneksi dengan sangat baik akan berimplikasi pada perputaran barang dagang yang sangat cepat sehingga akan berdampak pada peningkatan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. 2.3.
Peranan Kelembagaan dalam Perdagangan
2.3.1
Overview dan Pengertian Kelembagaan (institution) merupakan aturan dan rambu-rambu
yang
digunakan para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan kelembagaan atau institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985). Sementara menurut North (1990) kelembagaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal (undang-undang tertulis) atau dalam bentuk informal (kebiasaan atau tradisi yang disepakati bersama). North membedakan antara kelembagaan atau institusi dari organisasi. Institusi adalah aturan mainnya, sedangkan organisasi adalah para pemainnya. Rutherford (1994) menyatakan bahwa kelembagaan adalah regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas
24
luar. Sementara Robinson (2008) mengidentifikasi tiga pentingnya kelembagaan, yaitu, 1) kendala yang dirancang secara manusiawi, 2) aturan main dengan ketentuan penegakan hukum tertentu, dan 3) menjelaskan struktur insentif. Semenjak kelembagaan ini menjadi insentif, maka kelembagaan ini dapat memengaruhi kinerja ekonomi termasuk ekonomi pembangunan, pertumbuhan dan kemiskinan dan selanjutnya berkembang menjadi “The New Institutional Economics”. Lembaga bersifat dinamis, mengikuti perubahan pola interaksi, nilai, kultur, serta selera masyarakat seiring dengan perubahan waktu. Menurut Ostrom (1990), Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan menjadi tiga level, yaitu 1) Operational rule yang berada pada operational choice level, 2) Collective choice rule yang berada pada level collective choice, dan 3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional choice. Operational rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian, yaitu aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi.
Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan
sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya diatur dalam operational rule. Operational rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi, dan lain-lain. Walaupun operational rule berubah secara spontan, namun dalam pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan atau kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana operational rule tersebut berubah. Collective choice rule, yaitu aturan mengenai bagaimana operational rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada operational rule (Ostrom 1990). Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya, mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice danbagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice
25
rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama. 2.3.2
Perspektif The New Institutional Economics Selama periode tahun 1950-1960, mainstreams para ahli ekonomi lebih
bertumpu dan mengembangkan ekonomi neoklasik (Neoclassical Economics). Terkait dengan kelembagaan, dalam ekonomi neoklasik asumsi kelembagaan adalah netral, setiap transaksi bebas biaya (free of cost). Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi kelembagaan baru (The New Institutional Economics) yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan sempurna apabila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa suatu
transaksi dapat berjalan apabila ada informasi.
Pengumpulan informasi memerlukan biaya. Oleh karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting dalam ekonomi kelembagaan. Menurut Williamson (1985), biaya transaksi merupakan biaya untuk menjalankan sistem ekonomi. North (1990) menyebut biaya transaksi sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup biaya organisasi politik dan ekonomi. Sementara Coase (1960) menyebut biaya transaksi sebagai biaya untuk menentukan dan memberlakukan hak-hak kepemilikan atas barang dan jasa. Biaya transaksi meliputi, Pertama, biaya mencari informasi, yaitu biaya yang ditimbulkan untuk mencarfi informasi mengenai barang yang diinginkan di pasar, misalnya biaya informasi untuk mencari biaya termurah, kualitas terbaik, variasi jenis barang, dan lain-lain. Kedua, biaya membuat kontrak/negosiasi, yaitu biaya yang diperlukan untuk menerima suatu persetujuan/kontrak dengan pihak lain tas suatu transaksi. Ketiga, biaya monitoring, yaitu biaya yang ditimbulkan karena danya kegiatan untuk mengawasi pihak lain dalam melaksanakan kontrak seperti biaya cek kualitas dan kuantitas, cek harga, ketepatan waktu kirim, kemanan, dan lain-lain. Keempat, biaya adaptasi (selama kesepakatan berlangsung), yaitu biaya
26
yang ditimbulkannya karena dilakukannya penyesuaian-penyesuaian pada saat suatu kesepakatan transaksi dilakukan. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur kualitas kelembagaan, diantaranya indeks persepsi korupsi dari Index Transparancy Internationmal, indeks dari unsur-unsur kelembagaan yang berasal dari Global Competitiveness Report (Word Economic Forum) yang meliputi kelembagaan pemerintah dan kelembagaan swasta, indeks unsur-unsur kelembagaan dari Worldwide Governance Indicator (World Bank), unsur-unsur kelembagaan dari Economic Freedom yang berasal dari World Bank. 2.3.3. Kelembagaan, Biaya Transaksi dan Perdagangan Kelembagaaan menurut North (1992) terdiri dari atas Aturan-aturan formal, aturan informal (norma perilaku, konvensi, kode etik yang ditetapkan sendiri, dll) serta karakteristik penegakan keduanya. Sedangkan organisasi merupakan pelaku/aktor dari kelembagaan-kelembagaan tersebut. Kelembagaan yang dibutuhkan dalam sebuah sistem perekonomian dalam rangka regulasi perekonomian ternyata tidak selamanya membuahkan hal yang bersifat positif. Menurut North tidak ada jaminan bahwa struktur kelembagaan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, ataupun cenderung menghasilkan ekonomi biaya tinggi. Fenomena umum menunjukkan bahwa negara-negara dengan biaya produksi dan biaya transaksi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kelembagaan yang baik akan mendorong transaksi dilakukan dengan efektif dan efisien sehingga mampu mengurangi biaya transaksi dengan memperbaiki akses dan kualitas informasi dan mendorong tegaknya aturan. Namun demikian efesiensi dalam perekonomian itu sangat tergantung kepada lembaga yang senantiasa memberikan fleksibilitas ekonomi dan politik dari waktu ke waktu. Lembaga yang bersifat adaptif dan efesien harus mampu memberikan insentif, mendorong inovasi dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang kreatif. Kelembagaan yang baik akan menimbulkan biaya transaksi yang tidak terlalu besar sehingga akan menimbulkan efesiensi dalam perekonomian (North 1992). Institusi dikatakan efisien jika biaya transaksi rendah, adanya kepastian aturan main (certainty) dan hubungan yang sepadan antara principal dan agent
27
(equal
relationship).
Institusi
dapat
dikatakan
efektif
apabila
dapat
menginvestasikan keterampilan dan ilmu pengetahuan dengan tujuan efisiensi biaya dalam rangka meningkatkan produktivitas. Institusi yang baik haruslah memiliki aturan yang jelas, dikenal secara luas, masuk akal atau logis, dapat diterima secara luas, dapat diperkirakan (predictable), dapat dipercaya, disusun dengan benar dan juga dilaksanakan dengan benar Secara umum biaya transaksi meliputi, (1) biaya pencarian informasi yaitu biaya yang terjadi untuk pencarian barang yang diperlukan di pasar guna mencari harga yang paling rendah, (2) biaya perundingan, adalah biaya yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan (agreement) dengan pihak yang dimana transaksi dilakukan, dan (3) biaya pelaksanaan, adalah biaya untuk menjaga agar pihak lain tetap berada dalam kontrak kesepakatan yang telah disetujui dan membuat tindakan lanjutan. Tingkat biaya transaksi sangat tergantung pada institusi dalam suatu negara, sistem hukum dan politik, budaya dan sebagainya. Pemerintah sebagai salah satu institusi dituntut untuk dapat berperan dengan baik. Holden (2004) menyatakan bahwa pemerintahan yang lemah dalam regulasi perekonomian dan cenderung berbelit-belit akan mengakibatkan biaya transaksi menjadi tinggi. Lembaga yang lemah dan tinggi biaya transaksi memberikan lahan subur bagi korupsi yang memiliki dampak korosif pada aktivitas bisnis. Holden (2004) menjelaskan bahwa biaya transaksi adalah biaya dalam pengaturan dan pelaksanaan kegiatan usaha. Biaya transaksi tinggi juga akan menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar bahkan kegagalan pasar total - dimana pasar tidak berfungsi secara efisien. Beberapa faktor yang akan menyebabkan terjadinya biaya transaksi tersebut, diantaranya :
1. Biaya dalam usaha-usaha pencarian sumber modal/keuangan baru 2. Biaya dalam pemeliharaan dan penegakan Property Right (Kepemilikan) 3. Biaya pembuatan dan penegakan kontrak
2.4.
Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian mengenai jasa transportasi dan perdagangan yang dikaitkan
dengan infrastruktur transportasi dan kelembagaan di berbagai negara telah
28
banyak dilakukan, namun penelitian terkait dengan kasus Indonesia masih relatif sangat jarang. Dalam sub bab ini akan dijelaskan berbagai penelitian terkait jasa transportasi dan perdagangan terutama yang dikaitkan dengan infrastruktur transportasi dan kelembagaan, baik jasa transportasi laut maupun jasa transportasi udara. 2.4.1. Permintaan, Penawaran dan Efisiensi Jasa Transportasi Laut Ristianingrum (1999) dalam penelitiannya terkait permintaan, penawaran dan efisiensi jasa transportasi laut sebagai upaya mengurangi defisit transaksi berjalan menunjukkan masih rendahnya daya saing pelayaran nasional yang ditunjukkan dengan pangsa muatan luar negeri yang sangat rendah yaitu sekitar 2.5 persen (1995). Rendahnya daya saing ini terkait dengan terbatasnya armada pelayaran, rendahnya teknologi kapal, tingginya ongkos angkut, terbatasnya jaringan pelayaran, dan rendahnya kualitas pelayaran yang meliputi frekuensi pelayaran yang murah, regulasi yang kurang mendukung, skedul yang belum tepat, waktu transit lama dan rendahnya keterampilan awak kapal. Hasil lainnya menunjukkan bahwa kebijakan Inpres No. 4 Tahun 1985 telah mengakibatkan menurunnya permintaan jasa pelayaran nasional, sementara penawaran jasa pelayaran nasional dipengaruhi oleh kebijakan scrapping kapal dan nilai tukar. Hasil pengujian efisiensi industri jasa pelayaran nasional menunjukkan bahwa alokasi penggunaan input belum optimal. Dengan kata lain penggunaan input belum efisien. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya muatan yang diangkut dan rendahnya kualitas tenaga kerja, sehingga industri jasa pelayaran nasional berada pada kondisi decreasing return to scale. Hasil lainnya menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor, peningkatan pendapatan nasional, dan penurunan nilai tukar akan berdampak pada peningkatan jumlah ekspor dan impor yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan jasa pelayaran nasional, namun penawaran jasa pelayaran nasional menurun. Teteng (2009) dalam penelitiannya mengenai efisiensi kinerja dan biaya pelabuhan terhadap ekspor barang melalui angkutan laut menunjukkan peran pelabuhan sebagai mata rantai transportasi laut sangat penting sehingga seyogyanya dapat menekan biaya di pelabuhan yang akan menurunkan biaya ekspor barang sehingga dapat meningkatkan daya saingnya di luar negeri.
29
Kemampuan pelabuhan sendiri agar dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi perdagangan dan industri sangat tergantung dari kemampuannya dalam mengelola dan menyediakan fasilitas pelabuhan itu sendiri yang berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan. Dengan kata lain, kinerja dan efisiensi pelabuhan merupakan kemampuan pelabuhan dalam memberikan pelayanan secara efektif dan efisien yang akan mempengaruhi pada turunnya biaya transportasi. 2.4.2. Biaya Transportasi, Faktor-faktor yang Memengaruhinya, dan Perdagangan De (2006) menyebutkan bahwa biaya perdagangan merupakan semua biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang sampai ke pengguna akhir yang meliputi, biaya transportasi (freight cost and time costs), biaya terkait kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya penegakan kontrak, biaya terkait nilai tukar yang berbeda, hukum dan aturan, dan biaya distribusi (whole sale and retail). Menurut De (2006) untuk negara industri biaya perdagangan terdiri dari biaya transportasi (21%), biaya perbatasan (44%) dan biaya distribusi pedagang besar dan retail (35%) (Gambar 2). Dalam kasus perdagangan melalui laut, biaya transportasi mencakup biaya pengiriman dan asuransi dari pelabuhan ekspor ke pelabuhan impor ataupun sebaliknya. Demikian halnya menurut Salvatore (2004) biaya transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan, premi asuransi, dan berbagai macam pungutan pada saat komoditi yang diperdagangkan disimpan di suatu tempat sementara (transit).
Limao dan Anthony (2001) menemukan bahwa peningkatan biaya transportasi akan mengurangi volume impor Amerika Serikat.
Sementara
penelitian Baier dan Bergstrand (2001) menunjukkan bahwa biaya transportasi akan mengurangi volume ekspor-impor di sebagian besar negara-negara di dunia. Untuk mengestimasi biaya perdagangan maupun biaya transportasi, ada beberapa pendekatan yang digunakan, diantaranya
dengan menggunakan
perbedaan antara nilai cif (cost, insurance and freight) dan fob (free on board), baik yang berasal dari IMF, UNCTAD, maupun International Transport Data Base (BTI), seperti yang digunakan Limao and Venables (2001), Baier and Jeffrey
30
(2001), Radelet and Sachs (1998). Proksi lainnya menggunakan jarak maupun biaya pengapalan (shipping cost).
Biaya Perdagangan
Biaya Transport (21%)
Biaya Pengiriman
Biaya Perbatasan (44%)
Biaya Transit
Tarif dan Non Tarif
Hambatan Bahasa
Bahasa nilai tukar
Biaya Distribusi (35%)
Biaya Informasi
Sumber : De (2006) Gambar 2.
Komponen Biaya Perdagangan di Negara Industri
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penentu biaya perdagangan khususnya biaya transportasi, diantaranya Hummels (1999), Limao and Anthony (2001), Radelet and Sachs (1998), Micco and Perez (2001), Fink et al (2001), Sanchez et al (2002), Kumar and Hoffman (2002), Zarzoso et al (2006), dan Korinek and Patricia (1999). Variabel penjelas yang digunakan dalam analisis ini pada umumnya terkait dengan jarak dan konektivitas. Variabel lainnya yang diduga turut memengaruhi biaya transportasi adalah kualitas infrastruktur, nilai komoditi, rasio nilai ekspor dan berat, volume ekspor (ton), dan trade imbalance. Jarak geografis merupakan variabel yang umum digunakan dalam analisis perdagangan dengan menggunakan model gravitasi. Kuwamori (2006) dan Ramos LM, Inmaculada MZ, Eva PG, Zarzoso et al (2006), dan Gordon W (2007) menyebutkan bahwa biaya transportasi akan meningkat searah dengan peningkatan jarak. Artinya, semakin jauh jarak maka biaya transportasinya pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena peningkatan penggunaan input seperti bahan bakar. Jarak juga memengaruhi waktu yang diperlukan untuk mendistribusikan barang. Untuk barang yang bersifat perishabel, kemungkinan
Biaya keamanan
31
sampainya barang dalam keadaan utuh berbanding terbalik dengan waktu pengiriman. Namun jarak saja tidak cukup, karena hanya mampu menjelaskan keragaman biaya sebesar 10 persen. Hasil penelitian Limao dan Anthony (2001) terkait kontainer dari Baltimore menunjukkan bahwa setiap penambahan jarak sebesar 1000 km akan meningkatkan biaya transportasi sebesar $380. Penambahan jarak perjalanan laut sebesar 1000 km akan menambah biaya transportasi sebesar $190, sedangkan untuk penambahjan jarak perjalanan darat sebesar 1000 km akan menambah biaya transportasi sebesar $1380.
Negara
landlocked menghadapi biaya transportasi yang lebih tinggi daripada negaranegara coastal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa negara landlocked (terkurung daratan) menghadapi biaya transportasi yang lebih tinggi daripada negara-negara coastal (pesisir). Variabel konektivitas sebagai salah satu faktor penentu biaya transportasi umumnya terkait dengan kondisi atau kualitas infrastruktur dari negara yang melakukan perdagangan. Limao dan Anthony (1999) dalam penelitiannya mengenai infrastruktur, kondisi geografi yang merugikan dan biaya trasportasi, menunjukkan bahwa infrastruktur, baik infrastruktur sendiri maupun yang disediakan alam “landlocked country” signifikan negatif mempengaruhi biaya transportasi dan arus perdagangan bilateral. Perbaikan infrastruktur di negara tujuan satu standar deviasa akan mengurangi biaya transportasi setara dengan 6500 km perjalanan laut laut atau 1000 km perjalanan darat. Kondisi negara yang terkurung daratan “landlocked country” akan meningkatkan biaya transportasi sekitar 50 persen dibandingkan dengan negara pesisir (coastal country). Peningkatan infrastruktur di “landlocked country” akan mengurangi kerugian sebesar 12 persen. Sementara terkait dengan variabel lainnya yaitu nilai impor, hubungan biaya transportasi berbanding terbalik dengan nilai impor. Artinya, semakin murah biaya transportasi maka nilai impor akan semakin besar, atau sebaliknya. Dengan menambahkan kedua variabel ini yaitu variabel infrastruktur dan nilai impor dalam model akan menambah keragaman menjadi sekitar 50 persen. Selain jarak, Limao et al (2000) menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penentu penting dari biaya transportasi. Dengan rasio CIF/FOB,
32
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kenaikan kualitas infrastruktur dapat menurunkan biaya transportasi sebesar 40 persen untuk negara-negara tepi laut/pesisir (coastal country) dan 60 persen pada negara terkurung daratan (landlocked country). Penelitian lainnya terkait efisiensi pelabuhan (port efficiency) yang memengaruhi biaya transportasi perdagangan.
Perbaikan dalam hal efisiensi
pelabuhan dari 25 – 75 persen akan mengurangi biaya pengiriman lebih dari 12 persen atau setara dengan 5000 miles jarak. Selain itu ketidakefisienan di pelabuhan akan meningkatan biaya penanganan. Hal menarik lainnya adalah terkait dengan variabel kejahatan yang terorganisir (organized crime) berpengaruh signifikan negatif terhadap jasa pelabuhan sehingga meningkatkan biaya transportasi. Peningkatan kejahatan terorganisir dari 25-75 persen berimplikasi terhadap penurunan efisiensi pelabuhan dari 50 menjadi 25persen. Adanya pengurangan dalam inefisiensi (hubungannya dengan biaya transportasi) dari 25 hingga 75 percentil akan meningkatkan perdagangan bilateral hingga sekitar 25 persen (Micco dan Natalia, 2002; Clark, David dan Alejandro, 2004). Nordas dan Roberta (2004) dalam penelitiannya mengenai infrastruktur dan perdagangan dengan menggunakan model gravitasi menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur signifikan positif dan relatif besar dampaknya terhadap aliran perdagangan bilateral. Diantara indikator infrastruktur yang digunakan secara individu yaitu jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dan waktu yang dibutuhkan terkait kepabeanan, ternyata kualitas pelabuhan/efisiensi pelabuhan (port efficiency) memiliki dampak yang paling besar terhadap perdagangan bilateral. Variabel ketepatan watu dan akses terhadap informasi (telekomunikasi) relatif lebih penting untuk meningkatkan daya saing sector tekstil dan otomotif. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan Achmad (2011) mengenai pengaruh port efficiency dalam perdagangan bilateral Indonesia Uni Eropa dengan pendekatan model gravitasi, menyebutkan bahwa biaya transportasi merupakan salah satu hambatan dalam kerjasama perdagangan kedua pihak. Salah satu faktor yang menentukan biaya transportasi adalah port efficiency, sementara proksi yang digunakan dalam mengukur port efficiency adalah kualitas infrastruktur pelabuhan (quality of port infrastructure-QPI) dan kinerja logistik
33
(logistic performance index-LPI) beserta komponennya. Hasilnya menunjukkan bahwa port efficiency berpengaruh positif terhadap total perdagangan bilateral Indonesia dengan Uni Eropa. Kualitas infrastruktur, kualitas logistik pelabuhan dan ketepatan waktu pengiriman barang merupakan komponen detail port efficiency yang paling berpengaruh dalam total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa. Ramos LM, Inmaculada MZ, Eva PG, dan Gordon W (2007) dalam penelitiannya terkait dengan variabel rasio nilai perdagangan dengan berat dengan biaya transportasi menunjukkan bahwa semakin besar rasio nilai dengan berat dan semakin tidak seimbang perdagangan, maka biaya transportasi akan semakin besar. Sementara volume ekspor bertanda negatif yang artinya semakin banyak barang yang diekspor, maka biaya transportasinya akan semakin kecil. Hal ini terkait dengan skala usaha yang semakin efisien. Selain itu Ramos LM, Inmaculada MZ, Eva PG, dan Gordon W (2007) juga memasukkan variabel konektivitas yaitu number of lines, kapasitas vessel (TEUS), port throughput (TEUS) yang menghasilkan tanda negatif dan signifikan 1 persen. Artinya, semakin baik konektivitas antara negara asal ekspor dengan negara tujuan ekspor, maka biaya transportasi juga akan semakin menurun. Korinek dan Patricia (1999) menyebutkan bahwa ketidakseimbangan arah dalam perdagangan (tradeimbalance) antara negara-negara yang melakukan perdagangan menyiratkan bahwa banyak jasa pengangkutan dipaksa untuk mengangkut kontainer kosong pada perjalanan mereka kembali. Sebagai akibatnya, harga pengiriman dalam satu arah adalah tidak sama seperti pada perjalanan pulang. Fuchsluger (2000) menunjukkan bahwa fenomena ini diamati dalam perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Karibia. Pada tahun 1998, misalnya, 72 persen dari kontainer yang dikirim Karibia ke Amerika Serikat adalah kosong. Kelebihan pasokan kontainer pada rute ke utara menyiratkan bahwa eksportir Amerika Serikat membayar 83 persen lebih tinggi daripada importir Amerika Serikat untuk kapal membawa jenis barang dagangan yang sama antara Miami dan Port of Spain. Ketidakseimbangan arah perdagangan menjadi salah satu kekhususan dari industri perkapalan. Karena semua kontainer tidak hanya kapal harus kembali ketempat asal sehingga seringkali pengangkut
34
mau mengangkut barang dengan nilai tambah yang negatif untuk membantu menutupi biaya kembali ke tempat semula.
2.4.3. Kelembagaan dan Perdagangan Hasil studi Borrmann, Matthias dan Silke (2006) mengenai kualitas kelembagaan dan manfaat perdagangan menunjukkan bahwa negara-negara yang kualitas kelembagaannya rendah belum mampu mengambil keuntungan dari perdagangan secara optimal. Dengan demikian kualitas kelembagaan berperan penting dalam keberhasilan liberalisasi perdagangan. Diantara beberapa indikator kualitas kelembagaan terlihat bahwa kualitas regulasi penting untuk realokasi sumber daya yang efisien dalam perekonomian. Peraturan yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja, kemudahan masuk pasar, serta tingkat pajak dan efisiensi sistem pajak terkait erat dengan keuntungan dari perdagangan. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah trade, kualitas kelembagaan (good governance dan regulatory quality), jarak, ukuran pasar, dan dummy landlocked. Pendekatan yang digunakan adalah OLS dan instrumental variabel. Variabel Good governance yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Kauffman (2005) yang meliputi 6 indikator kelembagaan yaitu Voice and Accountability, Political Stability, Government Effectiveness, Regulatory Quality, Rule of Law, dan Control of Corruption. Sementara regulatory quality mengacu pada 10 indikator peraturan terkait bisnis yang berasal dari doing business yang meliputi kemudahan memulai usaha (starting a business), peraturan pasar tenaga kerja (labourmarket regulation), pembayaran pajak (paying taxes), perlindungan terhadap investor (protecting investors), perdagangan lintas batas (trading acrossborders), kemudahakan mendapatkan kredit
(getting credit), enforcing
contracts, closing a business,dealing with licences, registering property, dan aggregated Regulation Index. Fanta (2011) dalam studinya mengenai kualitas kelembagaan, kinerja ekspor dan pendapatan menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan, baik secara keseluruhan
maupun
masing-masing
indikator
kualitas
kelembagaan,
menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan negara pengekspor lebih signifikan positif memengaruhi kinerja ekspor dibanding kualitas kelembagaan negara
35
pengimpor. Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan di negara pengekspor, maka kinerja ekspornya akan semakin baik. Dari enam indikator pembentuk kualitas kelembagaan negara pengekspor, indikator yang paling signifikan memengaruhi kinerja ekspor adalah efektivitas pemerintah (government effectiveness-GE), disusul kemudian stabilitasi politik (political stability-PV), sementara kualitas kelembagaan yang relatif paling kecil dampaknya adalah voice and accountability variable-VA. Sementara bagi negara pengimpor, indikator pembentuk kelembagaan yang signifikan (pada taraf nyata 5%) adalah efektivitas pemerintah (government effectiveness-GE) dengan koefisien yang relatif kecil yaitu 0.09, sementara lima indikator lainnya tidak signifikan. Anderson dan Marcouiller (2002) dan De Grott et al (2003) menggunakan model gravitasi untuk memperlajari dampak kualitas kelembagaan pada aliran perdagangan bilateral. Kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa semakin baik kualitas kelembagaan, maka volume perdagangan akan semakin tinggi yang berimplikasi pada cenderung semakin tingginya volume perdagangan negaranegara maju dibandingkan negara berkembang. Dengan kata lain, kualitas kelembagaan di negara maju relatif lebih baik dibanding negara berkembang. Anderson dan Marcouiller (2002) juga sepakat bahwa perdagangan dipengaruhi oleh biaya transaksi yang tersembunyi yang berkaitan dengan keamanan pertukaran dalam perdagangan internasional, sulitnya kontrak dilaksanakan antar lintas batas, serta kemungkinan perkapalan dibajak dan disuap. Dengan menggunakan data panel negara 1920 dan 2000, Meon dan Sekkat (2006) menemukan bahwa ekspor manufaktur secara negatif dipengaruhi oleh tingkat korupsi yang tinggi, aturan hukum yang buruk, rendahnya efektifitas pemerintah, dan kekerasan politik. Namun, variabel kelembagaan di atas tidak memiliki dampak pada ekspor non manufaktur. Begitu pula, Francois dan Manchin (2006) menemukan bahwa kombinasi faktor geografis dan kualitas kelembagaan tidak hanya memengaruhi ekspor tetapi juga kecenderungan untuk ekspor. Desroches dan Francis (2006) mengembangkan model teoritis yang menunjukkan bahwa kelembagaan menentukan keunggulan komparatif suatu negara, dimana negara yang memiliki kelembagaan yang baik memiliki ekspor yang relatif lebih tinggi pada barang yang intensif kapital. Dari penjelasan-
36
penjelsan di atas menunjukkan bahwa perdagangan dapat menjadi ukuran dampak dari kualitas kelembagaan. Gani and Biman C.P (2006) dalam penelitiannya mengenai kualitas kelembagaan dan perdagangan di Negara-negara Kepulauan Pasifik menemukan bahwa dari empat indikator kelembagaan yang digunakan yaitu efektivitas pemerintahan, penegakan hukum, kualitas regulasi, dan pengendalian terhadap korupsi, efektifitas pemerintahan (government effectiveness) lebih penting bagi importir daripada eksportir, sedangkan perbaikan peraturan berpengaruh positif dalam meningkatkan perdagangan. Indikator kelembagaan lainnya yaitu korupsi cenderung mengurangi impor secara signifikan.
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN Teori dasar perdagangan yang diacu dalam penelitian ini adalah teori yang dikenalkan dan dikembangkan oleh Krugman terkait dengan biaya transportasi dan skala ekonomi yang dikenal dengan teori perdagangan baru (The New Trade Theory). Namun demikian untuk memahami perkembangan teori yang mendasari penelitian ini akan dijelaskan pada sub bab 3.1. 3.1.
Kerangka Teoritis
37
3.1.1. Skala Ekonomis, Infrastruktur, Biaya Transportasi dan Perdagangan Kajian
teori
ekonomi
pembangunan
menjelaskan
bahwa
untuk
menciptakan dan meningkatkan kegiatan perekonomian diperlukan sarana infrastruktur yang memadai. Teori yang mengkaitkan pentingnya infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi diantaranya Teori Pertumbuhan Harrod Domar, Solow, dan Teori Pertumbuhan Endogenous yang dimotori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988). Pada teori pembangunan modern yang dipelopori beberapa ekonom seperti Chenery, Hirshman, Laibenstein, Lewis, Myrdal, Rostow, Scitovsky dan Streeten mengenai
pentingnya
perdagangan
internasional
dalam
menstimulasi
pertumbuhan ekonomi. Konsep perdagangan internasional pertama kali muncul diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi suatu komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan hukum keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage) dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation. Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi yang memiliki kerugian
38
komparatif). Kedua teori di atas seringkali disebut sebagai teori perdagangan klasik. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Teori Perdagangan
H-O
internasional
yang
mengemukakan belum
mampu
penjelasan dijelaskan
mengenai dalam
teori
perdagangan keunggulan
komparatif.Teori Klasik Comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam productivity of labor antar negara. Namun teori ini tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaaan produktivitas tersebut. Teori H-O kemudian mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaaan produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu teori modern H-O ini dikenal sebagai ‘The Proportional Factor Theory”. Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi apabila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Namun demikian konsep perdagangan
internasional di atas, baik teori perdagangan
absolut Adam Smith, keunggulan komparatif Ricardo maupun teori H-O mengasumsikan tidak ada biaya transportasi. Seiring berkembangnya perekonomian, konsep perdagangan internasional pun terus berkembang, namun masih tetap menggunakan konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan sebelumnya. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa perdagangan antar negara terjadi karena adanya dua alasan, yaitu: (1) karena negara-negara tersebut berbeda satu sama lain, dan (2) negaranegara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi
39
(economies of scale) dalam produksi. Artinya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dengan segala sumberdaya yang dimilikinya sehingga dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar sehingga lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Perbedaan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan setiap negara berusaha menghasilkan produk yang bisa diproduksinya dengan biaya yang relatif lebih murah dibanding mengimpor. Perbedaan sumberdaya ini juga memungkinkan
untuk
menjualnya
produk
ke
negara
lain
yang
memproduksinya dengan biaya yang relatif lebih mahal. Hal ini akan menyebabkan timbulnya perbedaan harga, sehingga terdapat alternatif pilihan apakah negara akan menjual atau membeli produk dari negara lain. Pada gilirannya akan terjadi spesialisasi dalam perdagangan. Salah satu atau kedua negara yang terlibat dalam perdagangan akan memperoleh manfaat berupa keuntungan perdagangan. (Caves et. al., 1993; Chacoliades, 1978; Dunn dan Mutti (2000); dalam Salvatore, 2000). Skala ekonomis sendiri meliputi skala ekonomis eksternal dan skala ekonomis internal. Skala ekonomis eksternal (external economies of scale) akan tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, sementara skala ekonomis internal (internal economies of scale) terjadi jika biaya per unit tergantung pada besarnya satu perusahaan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan besarnya industri yang bersangkutan (Krugman and Maurice 2000). Skala ekonomis eksternal dan internal menimbulkan implikasi yang berbeda terhadap struktur suatu industri. Suatu industri dimana skala ekonomisnya bersifat eksternal yaitu tidak ada keunggulan khusus bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki skala besar, biasanya akan terdiri dari banyak perusahaan kecil, dan strukturnya akan berkembang menjadi persaingan sempurna. Namun sebaliknya, jika skala ekonomis internal memberikan perusahaan-perusahaan besar suatu keunggulan biaya atas perusahaan-perusahaan kecil, akan menciptakan struktur pasar persaingan tidak sempurna (Salvatore 1997).
40
Namun demikian perdagangan saja tidak cukup, walaupun perdagangan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, terdapat faktor lain yang turut menentukan yaitu infrastruktur dan kelembagaan. Infrastruktur merupakan salah satu faktor yang turut menentukan perdagangan. Salah satu infrastruktur yang sangat penting dalam perdagangan adalah infrastruktur transportasi yang akan memengaruhi biaya transportasi. Pentingnya biaya transportasi mulai diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 melalui teori perdagangan baru (New Trade Theory). Dalam teori perdagangan baru ini, tidak seperti dalam teori-teori sebelumnya, perdagangan antar negara tidak tergantung dari keunggulan komparatif. Menurut Krugman (1979) perdagangan antar negara dapat tetap terjadi dan menguntungkan walaupun tidak terdapat keunggulan komparatif. Teori ini mulai dikembangkan karena berdasarkan fakta, sebagian besar perdagangan internasional terjadi antar negara yang memiliki faktor produksi serupa. Teori perdagangan baru menjelaskan perdagangan intra industri yang umumnya terjadi antar negara dalam satu wilayah regional yang memiliki faktor produksi serupa (Muusa 2010). Teori ini menjelaskan bahwa perdagangan antar negara disebabkan masing-masing negara berusaha mencapai skala ekonomi. Karena adanya skala ekonomis, tidak ada negara yang dapat menghasilkan seluruh ragam produk, sehingga walaupun kedua negara tersebut bersama-sama menghasilkan sejumlah produk manufaktur misalnya, mereka akan menghasilkan barang-barang manufaktur yang berbeda. Selain itu, konsumen menyukai variasi pilihan dalam produk yang dikonsumsinya. Dibukanya perdagangan internasional akan meningkatkan ragam produk yang dapat dikonsumsi karena meningkatnya pasar. Meningkatnya pasar selanjutnya akan menguntungkan bagi produsen untuk meningkatkan produksinya. Jika suatu negara menghasilkan produk dengan ragam yang terbatas, maka negara itu dapat memproduksi dalam jumlah yang lebih besar. Dengan demikian akan lebih efisien jika dilakukan perdagangan dengan negara lain dibandingkan jika negara itu memproduksi semua ragam produk sendiri. Teori tersebut mengalami perkembangan pada tahun 1980, dimana menurut Krugman, peningkatan pasar tidak menyebabkan increasing return to
41
scale pada perusahaan produsen. Perdagangan internasional hanya terjadi akibat konsumen lebih menyukai ragam produk yang tinggi dalam konsumsinya. Asumsi dalam teori ini adalah masing-masing negara hanya memproduksi satu jenis barang. Suatu negara akan memproduksi barang yang memiliki tingkat permintaan tertinggi di negaranya dan mengimpor ragam barang lainnya. Perdagangan internasional yang melibatkan pertukaran produk-produk dari sektor industri yang sama disebut sebagai perdagangan intra-industri (intra-industry), sedangkan perdagangan antar-industri adalah melibatkan pertukaran produkproduk yang berbeda. Pada dasarnya perdagangan intra-industri didasari motif untuk meraih keuntungan yang bersumber dari skala ekonomis produksi. Artinya, persaingan internasional mendorong setiap perusahaan atau pabrik untuk membatasi model atau tipe produknya agar dapat mengerahkan sumberdayanya untuk menghasilkan produk yang terbatas dengan kualitas terbaik dan harga bersaing. Arti penting perdagangan intra industri semakin penting ketika tarif dan berbagai hambatan perdagangan lainnya dikurangi bahkan dihapuskan yang diawali di Kawasan Eropa tahun 1958 (Salvatore 1997). Tidak seperti pada teori perdagangan sebelumnya yang mengasumsikan biaya transportasi antar negara adalah “nol”, maka dalam teori perdagangan baru sudah memasukkan asumsi adanya biaya transportasi dalam perdagangan antar negara. Biaya transportasi memberikan pengaruh langsung yang sangat besar terhadap perdagangan baik perdagangan domestik maupun internasional, yakni dengan meningkatkan harga atau komoditi yang diperdagangkan, baik bagi negara pengekspor maupun bagi negara pengimpor. Selain itu biaya transportasi juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap lokasi penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat kegiatan industri terutama yang berskala internasional yang meliputi : pertama, industri yang berorientasi pada sumberdaya (resource oriented industries) yaitu industri yang cenderung berlokasi pada pusat sumber bahan baku yang diperlukan (industri pertambangan, industri baja, industri kimia dasar, dan industri alumunium). Industri ini umumnya memiliki biaya transportasi dalam penyediaan bahan bakunya relatif lebih tinggi dibandingkan biaya transportasi produk yang dihasilkannya ketika diantarkan ke konsumen.
Kedua, industri yang
42
berorientasi pasar (market oriented industries) yaitu industri-industri yang menghasilkan barang lebih berat daripada bahan bakunya. Dengan kata lain biaya transportasi bahan bakunya relatif lebih rendah daripada biaya transportasi produk jadinya seperti industri minuman dan makanan. Selama proses produksi bobot produknya terus bertambah.
Perusahaan induk
biasanya hanya mengirimkan sirup pekat yang merupakan bahan bakunya ke cabang-cabang produksi yang tersebar di berbagai tempat yang berdekatan dengan pasar, Di tempat itulah kemudian biang sirup tadi akan dicampur dengan
air
dalam
jumlah
yang
lebih
banyak
untuk
kemudian
dikemas/dibotolkan, sehingga produk jadinya yaitu minuman ringan yang sudah dikemas/dibotolkan jauh lebih berat daripada bahan bakunya yang hanya berupa biang sirup. Ketiga, industri yang bersifat lincah (footloose industries) yaitu sektor-sektor industri yang menghasilkan barang dengan biaya transportasi bahan baku dan biaya transportasi produk jadinya tidak terlalu berbeda. Industri-industri ini cenderung memiliki nilai investasi yang tinggi, cendedrung menyerap banyak tenaga kerja, dan mudah memasuki pasar mana saja dan mudah berpindah-pindah, karena tidak terikat dengan keharusan untuk dekat dengan sumber bahan baku maupun pasar, sehingga mobilitasnya relatif tinggi (Salvatore 1997). Menurut Salvatore (2004) keberadaan biaya transportasi tidak mengubah prinsip-prinsip dasar keunggulan komparatif atau keuntungan perdagangan.
Namun karena biaya transportasi merupakan suatu bentuk
penghambat dalam setiap pergerakan barang dan jasa, maka unsur biaya ini mengandung
implikasi-implikasinya
yang
sangat
penting
terhadap
mekanisme perekonomian dunia terbuka oleh berbagai faktor atau variabel ekonomi. Pengaruh infrastruktur terhadap biaya perdagangan khususnya biaya transportasi dan volume perdagangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Negara 2
Negara 1 S’x
Sx
43
Sx Ekspor 2 C
D
A
B
Impor 1
Ekspor 1
B
A C
D Impor 2
Dx D’x
Dx 100
E1 Gambar 3.
E’1
E’2
E2
100
Pengaruh Infrastruktur Terhadap Perdagangan
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa buruknya kualitas infrastruktur di suatu negara yang dalam hal ini di negara pengekspor (negara 1) akan meningkatkan biaya perdagangan khususnya biaya transportasi sehingga biaya produksi secara keseluruhan meningkat sehingga penawaran ekspor (Sx) menurun menjadi S’x. Demikian halnya di negara pengimpor (negara 2) karena harga barang-barang yang diimpor menjadi naik, maka jumlah yang diimpor juga akan menurun (dari Dx menjadi D’x).
44
Kualitas infrastruktur khususnya kualitas infrastruktur transportasi dapat memengaruhi biaya transportasi. Kualitas infrastruktur transportasi yang baik dapat mereduksi biaya transportasi perdagangan yang akan memengaruhi perdagangan dan perekonomian (Kelejian dan Robinson, 2006). Reduksi biaya transportasi akan menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih murah sehingga biaya produksi barang yang menggunakan barang impor sebagai input intermediate menjadi lebih murah. Demikian juga dengan produk final, dengan biaya transportasi yang lebih murah akan menyebabkan harga produk yang diterima konsumen pun lebih murah. Barang ekspor, barang intermediate maupun barang final yang diimpor yang lebih murah akan mengakibatkan peningkatan permintaan terhadap barang-barang tersebut (perdagangan meningkat), sehingga produksi meningkat yang pada akhirnya mempu menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Gambar 4). Kualitas
infrastruktur
juga
dapat
menciptakan
atau
memperkuat
keunggulan komparatif. Hasil studi Yeaple dan Golub (2002) menemukan bahwa perbedaan dalam kualitas infrastruktur publik antar negara dapat menjelaskan perbedaan dalam produktivitas faktor total. Selain itu, karena setiap sektor berbeda dalam bagaimana mereka menggunakan layanan intensif yang berkaitan dengan infrastruktur dan seberapa besar ketergantungan mereka pada infrastruktur yang baik, dampak kualitas infrastruktur terhadap produktivitas faktor total berbeda antar sektor. Yeaple dan Golup (2002) menemukan bahwa kualitas infrastruktur jalan tampaknya sangat penting bagi pertumbuhan produktivitas di sektor peralatan transportasi dan untuk mengkhususkan diri dalam produksi tekstil dan pakaian. Oleh karena itu, kualitas infrastruktur berdampak pada pola spesialisasi dan perdagangan internasional.
45
Kualitas Infrastruktur Biaya Transportasi
Barang Impor Harga Barang Ekspor
Intermediate
Peningkatan Permintaan
Peningkatan Permintaan
Barang Final
Peningkatan Permintaan
Peningkatan Produksi dan Lapangan Kerja
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : Kelejian and Robinson (2006 Gambar 4.
Keterkaitan Infrastruktur Terhadap Perekonomian
3.1.2. Kelembagaan, Biaya Transaksi dan Perdagangan Akhir-akhir ini para ekonom seperti James Anderson dan Douglas Marcoiller (2002), James Rauch (2001), dan Alan Deardorff (2004) sepakat bahwa kualitas kelembagaan yang buruk berpengaruh terhadap perdagangan secara negatif dengan meningkatnya biaya perdagangan. Dalam perspektif lain, ekonom melihat bahwa kualitas kelembagaan sebagai faktor yang penting bagi negara berkembang untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan dengan cara demikian mentransfer penemuan teknologi baru dalam memacu perekonomian dan mencapai ketertinggalan
46
pertumbuhan (Barro dan Salai-Martin 1997). Perdagangan pada dasarnya mencoba untuk mendesiminasi ide dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Kualitas kelembagaan memainkan peranan penting dan membantu negara berkembang untuk mengambil keunggulan dari ketertinggalan mereka dengan bergabung dengan perdagangan internasional. Lebih jauh lagi, kualitas kelembagaan yang lebih baik juga diperlukan untuk membuat struktur insentif untuk menarik investasi langsung asing dan untuk investor domestik untuk bergabung dengan kegiatan ekspor yang menguntungkan. Oleh karena itu, kualitas kelembagaan berperan sebagai penghubung antara perdagangan dan pertumbuhan. Selain itu juga dapat memfasilitasi ekspor untuk memiliki peran positif pada pertumbuhan dan dapat mempengaruhi pertumbuhan. Kualitas kelembagaan dapat menurunkan biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang harus ditanggung akibat adanya informasi yang tidak sempurna (imperfect information), banyak pelaku ekonomi yang berperilaku oportunistik, dan rasionalitas pelakunya terbatas (bounded rationaltity). Menurut Hoff dan Stiglitz (1993), biaya transaksi terjadi karena adanya informasi yang tidak simetris (asymetri information) yang mengakibatkan pasar tidak bersaing sempurna atau pasar mengalami kegagalan (market failure).
Pada kondisi market failure
tersebut, harga yang dihadapi oleh setiap pelaku dalam pasar bervariasi. Biaya transaksi meliputi biaya transportasi, pencarian, negosiasi, seleksi, koordinasi, monitoring dan pelaksanaan. Biaya transaksi pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas ekonomi menjadi tidak efisien atau mengalami inefisiensi. Dampak kualitas kelembagaan terhadap ekspor Berdasarkan Redding dan Venables (2004b), persamaan ekspor dapat dielaborasi lebih jauh dengan memasukkan sisi suplai. Dari sisi suplai, keuntungan perusahaan di negara i adalah sebagai berikut. …………………………………. Total output masing-masing perusahaan yaitu dari persamaan adalah biaya, dimana
(1)
. Sisi paling kanan
adalah biaya tetap, dan
adalah input
marjinal. Teknologi diasumsikan menjadi tipe Cob Douglas dimana terdapat 3 input yaitu (1) faktor primer immobile internasional yang diintrepetasikan dalam
47
tenaga kerja pada tingak harga w, (2) faktor primer mobile internasional dengan harga k, (3) input intermediet dengan harga
yang dikombinasikan dalam
produksi barang ekspor. Eksponen α, β, dan γ adalah faktor dimana α + β + γ = 1. Dihadapkan dengan fungsi permintaan, maksimisasi profit perusahaan akan membentuk harga (
fob yaitu
…………………………………………………………….
(2)
……………………………………………………
(3)
Dimana
Persamaan di atas menunjukkan bahwa harga penjualan antara perusahaan pengekspor di tiap negara berbeda tergantung pada biaya transportasi. Harga fob memiliki kenaikan harga yang sama melebihi biaya marjinal. Dengan menuliskan kembali persamaan ekspor ke dalam harga fob, dimana j ≠ i, maka ………………………………... Dimana
(4)
adalah total ekspor perusahaan di negara i dan dapat dituliskan
dalam dua konsep geografis akses pasar dan akses suplaier. Dengan mensubstitusikan persamaan di atas ke persamaan sebelumnya, maka nilai total ekspor adalah sebagai berikut. ……………………………………………..
(5)
Dimana SA adalah akses suplaier, FMA adalah akses pasar asing, dan . ……………………………………………………………
(6)
Dekomposisi di atas akan membantu dalam memahami perbedaan komponen biaya dari perusahaan eksportir. Hal ini juga akan membantu melengkapi penemuan awal Redding dan Venables (2004a) yang menyatakan bahwa kualitas kelembagaan akan mempengaruhi ekspor melalui pengaruhnya dalam biaya komparatif ( ), yang mana dianalogikan dengan akses suplaier lokal. Seperti yang dapat dilihat dalam hubungan sisi suplai, kualitas kelembagaan mempengaruhi performa ekspor juga secara langsung atau melalui akses suplaier lokal. Aspek kepastian dari kelembagaan dapat mempengaruhi biaya perdagangan dan
. Aspek lain dari kualitas kelembagaan dapat mempengaruhi ekspor secara
ekslusif melalui sejumlah barang yang diproduksi ( ) dan implikasinya secara
48
tidak langsung melalui akses suplaier (Elbadawi et al. 2006). Kelembagaan juga dapat mempengaruhi ekspor secara langsung. Pengaruh langsung dapat dilihat melalui sejumlah determinan atau pada produktifitas,
yang menunjukkan efek faktor harga
,
, dan
(Elbadawi et al. 2006). Oleh karena itu kualitas
kelembagaan mempengaruhi performa ekspor dalam beberapa cara yang memengaruhi kemampuan suplaier di negara eksportir. Beberapa pengaruh dapat diestimasi dengan persamaan perdagangan bilateral standar. Model di atas memberikan jutifikasi yang bagus dalam hal bagaimana kualitas kelembagaan berdampak pada performa ekspor. Model dapat menjadi pelengkap yang bagus bagi model Anderson dan Marcouiller (2002) yang menyatakan bahwa kualias kelembagaan yang buruk berpengaruh terhadap perdagangan internasional melalui peningkatan harga impor pada sisi permintaan. 3.1.3. Perdagangan Ekonomi
Internasional
sebagai
Pendorong
Pertumbuhan
Ahli ekonomi Klasik dan Neo Klasik percaya bahwa perdagangan internasional merupakan pendorong positif dan kuat terhadap pembangunan ekonomi. Untuk meningkatkan pembangunan perlu fokus pada kegiatan ekspor, terutama produk sektor industri yang disebut sebagai export promotion. Peningkatan ekspor membuka peluang bagi perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku dan penolong serta barang-barang kapital. Strategi ini dikenal dengan strategi kebijakan substitution import. Berdasarkan teori perdagangan, dengan melakukan perdagangan internasional dapat menimbulkan transfer knowledge yang dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input, sehingga akan mempercepat pembangunan ekonomi (Hogendorn, 1996; Cyper and Dietz, 1997) dalam Parningotan (2000). Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan bahwa sumberdaya sebuah negara dapat mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi. Pertumbuhan faktor ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan yang berarti kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Pertumbuhan yang terjadi ini kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam
49
negeri dan luar negeri menentukan efek akhir pada output, termasuk kegiatan perdagangan yaitu ekspor dan impor, dan term of trade. Apabila semua faktor produksi negara tumbuh pada tingkat yang sama dan semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak mengalami perubahan, maka pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama dan disebut sebagai pertumbuhan yang netral. Jika pada kondisi ini term of trade negara tidak mengalami perubahan dan elastisitas income of demand untuk kedua barang sama dengan satu, maka sebuah negara akan terus memproduksi kedua komoditi yang diperdagangkan dalam proporsi yang sama sehingga baik impor makanan dan ekspor pakaian negara tersebut akan meningkat sebanding dengan kenaikan output atau pertumbuhan ekonomi. Namun, jika permintaan negara tersebut untuk makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output, yang berarti pertumbuhan bias kepada perdagangan. Sebaliknya jika elastisitas income untuk makanan adalah inelastis maka pertumbuhan ekonomi dikatakan tidak memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan (Zhang, 2008; Dunn dan Mutti, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak selamanya memberikan dampak menguntungkan bagi sebuah negara. Feenstra (2002) dan juga Dunn dan Mutti (2004) menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan dalam term of trade negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi mendorong adanya peningkatan ekspor yang mana peningkatan ekspor tersebut mampu mendorong penurunan dalam term of trade sehingga penurunan harga ini menyebabkan penurunan dalam konsumsi yang menunjukkan bahwa masyarakat mengalami worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kondisi ini disebut sebagai "pertumbuhan immiserizing" dan sering terjadi pada negara-negara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan mengimpor produk-produk manufaktur dari negara-negara industri maju. Berbagai bukti empiris dijelaskan para peneliti tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perdagangan
50
internasional. Parningtan (2000) menjelaskan bahwa jenis dan jumlah komoditi ekspor dapat ditingkatkan berarti penurunan ekspor dalam produk primer akan dapat diantisipasi. Hal ini menunjukkan adanya keuntungan dinamis yang dapat dicapai di mana keuntungan tersebut akan mendorong terciptanya inovasi yang dapat meningkatkan skala ekonomi (economies of scale) yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan dan kinerja makroekonomi.
Hal ini menjelaskan
bahwa dengan berbagai metode yang digunakan oleh para peneliti disetiap negara untuk menguji hubungan antara perdagangan internasional denganpertumbuhan ekonomi, hasilnya dapat saja berbeda, yakni hasil analisis dapat saja positif dan juga negatif. Teknik untuk mengidentifikasi peranan penting dari pedagangan internasional adalah dengan memperhatikan keefektifan promosi ekspor (outward – looking strategy) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini dilakukan dengan cara meningkatkan ekspor produk-produk manufaktur, dan tetap mempertahankan ekspor komoditi primer.
Pertumbuhan ekspor dapat
mempengaruhi TFP melalui efek yang dinamis terhadap kemakmuran ekonomi. Pertumbuhan ekspor secara tidak langsung dapat memengaruhi jumlah devisa yang tersedia, yang dapat dipergunakan untuk peningkatan impor barang-barang kapital (Riezman, et. al, 1996). Peningkatan impor barang-barang kapital selanjutnya akan mendorong pertumbuhan output dan ekspor melalui peningkatan produktivitas, dan kemudian pertumbuhan ekonomi, dimana pengetahuan dan teknologi telah terkandung (embodied) dalam alat-alat dan mesin (Chen dan Kee 2005).
3.2.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dimotivasi oleh fenomena ekonomi yang telah terjadi
beberapa dekade terakhir dimana pertumbuhan perdagangan dunia semakin meningkat, hambatan perdagangan berupa tarif dan non tarif telah diturunkan bahkan dihapuskan, serta persaingan perdagangan yang semakin kompetitif. Pada kondisi ini peranan biaya perdagangan khususnya biaya transportasi semakin penting. Di sisi yang lain, walaupun pertumbuhan perdagangan dunia cenderung meningkat, namun demikian pertumbuhan perdagangan yang terjadi di setiap
51
negara tidaklah sama, Demikian halnya dengan manfaat dan keuntungan perdagangan yang diterima negara-negara di dunia pun tidak sama, sekalipun negara tersebut berdekatan dengan kondisi geografis yang hampir sama. Bagi Negara Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang menganut perekonomian terbuka yang berada pada lintasan dua benua dan dua samudera menunjukkan perkembangan perdagangan yang juga cenderung meningkat, baik dalam lingkup ASEAN maupun global. Sementara biaya logistik,
biaya
transportasi dan biaya perdagangan yang terjadi di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya terutama negara-negara ASEAN. Dari penjelesan di atas pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan apa yang menyebabkan perbedaan manfaat dan keuntungan perdagangan yang diterima setiap negara? Apa yang menyebabkan biaya logistik, biaya perdagangan maupun biaya transportasi di Indonesia relatif tinggi ?. Beberapa faktor yang diduga menentukan hal tersebut adalah kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan yang ada di masing-masing negara. Laporan Global Economic Forum tahun 2012-2103 menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur dan kelembagaan Indonesia berada pada peringkat yang relatif jauh tertinggal dibanding negara ASEAN terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand. Karena kedua faktor itu pula yang diduga menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia di dunia internasional berada pada peringkat 50, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang berada pada peringkat 47. Rendahnya kualitas infrastruktur maupun kualitas kelembagaan yang ada di suatu negara akan memengaruhi biaya perdagangan maupun biaya transportasi yang pada akhirnya akan menentukan biaya produksi secara keseluruhan dan daya saingnya di pasar internasional. Dengan kata lain, selain kualitas infrastruktur khususnya
infrastruktur
transportasi
dan
kualitas
kelembagaan
dapat
memengaruhi biaya perdagangan/biaya transportasi, tetapi juga dapat menentukan keunggulan komparatif negara tersebut untuk bersaing di pasar internasional. Dengan kondisi persaingan perdagangan yang semakin kompetitif, dan dalam waktu dekat, Indonesia akan menghadapi Integrasi Logistik ASEAN2013, Integrasi Pasar ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015, serta Integrasi Pasar Global tahun 2020, Indonesia yang berada pada lintasan dua benua
52
dan dua samudera perlu mempersiapkan diri diantaranya dalam hal kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan sehingga mampu meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional. Mengingat perdagangan internasional lebih banyak dilakukan melalui moda transportasi laut dan udara, maka dalam penelitian ini infrastruktur yang lebih banyak dibahas terkait dengan infrastruktur transportasi laut dan udara. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disusun kerangka pemikiran penelitian tentang kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan terhadap perdagangan internasional Indonesia seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5. Kerangka pemikiran ini memperlihatkan hubungan satu komponen dengan komponen lainnya yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Kerangka pemikiran ini juga menjadi dasar dalam penyusunan model penelitian dengan berlandaskan pada kerangka teori yang sudah dijelaskan sebelumnya.
53
SUMBERDAY A - ALAM - MANUSIA - MODAL
BIAYA PERDAGANGAN/ BIAYA TRANSPORTASI - LAUT - UDARA
ABSOLUT dan KOMPARATIF
INFRASTRUKTUR - PELABUHAN - BANDARA - JALAN - LSCI
KELEMBAGAAN - KEBEBASAN KORUPSI - BURDEN - BUSINESS - CRIME
KEUNGGULAN KOMPARATIF dan KOMPETETIF
LIBERALISASI PERDAGANGAN (BARANG/JASA)
PERTUMBUHAN PERDAGANGAN (X,M)
MESIN PERTUMBUHAN (ENGINE OF GROWTH)
Gambar 5.
Kerangka Pemikiran Penelitian
54
Halaman ini sengaja dikosongkan
55
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data panel 72 cross section negara tujuan ekspor dan negara asal impor Indonesia dan enam time series dengan rentang waktu 2006-2011 yang meliputi volume perdagangan baik ekspor maupun impor, nilai perdagangan, cif, fob, indeks kualitas infrastruktur, indek kualitas kelembagaan, GDP per kapita, GDP, dan harga bahan bakar baik solar maupun avtur. Penelitian ini akan menganalisis sejauh mana kualitas infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan terhadap perdagangan internasional Indonesia baik biaya maupun volume perdagangan (ekspor dan impor). Data perdagangan baik ekspor maupun impor Indonesia ke negara tujuan ekspor maupun negara asal impor diperoleh dari Badan Pusat Statistik berdasarkan moda transportasi laut dan udara dari tahun 2006-2011. Data biaya transportasi mengacu kepada apa yang dilakukan Limao dan Anthony (2001) yaitu menggunakan cif/fob baik moda transportasi laut dan udara. Sementara variabel lainnya yaitu GDP, GDP per kapita diperoleh dari World Bank, kualitas infrastruktur (overall infrastructure, road quality, port quality, air quality), kualitas kelembagaan diperoleh dari Global Competetiness Report, World Econonomic Forum dan Economic Freedom. Variabel kualitas infrastruktur lainnya yaitu LSCI (Linear Shipping Connectivity International) atau tingkat konektivitas pelayaran nasional dengan pelayaran global dari World Bank.
4.2.
Metode Analisis Data yang telah didapat dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif untuk menggambarkan kinerja moda transportasi laut dan udara Indonesia serta kinerja perdagangan Indonesia berdasarkan moda transportasi. Sedangkan data kuantitatif digunakan untuk melihat dampak kualitas infrastruktur dan kelembagaan terhadap kinerja perdagangan berdasarkan moda
56
transportasi laut dan udara. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik estimasi model menggunakan data panel (pooled data). 4.2.1
Metode Data Panel Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal
merupakan kombinasi antara data time-series dan cross-section. Metode data panel merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time-series maupun data cross-section. Kriteria data panel yang baik adalah ketika jumlah N cross section relatif lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah T time series. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series saja atau data cross section saja. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan, diantaranya : 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section. 2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien. 3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models) yang lebih kompleks.
57
Namun demikian, analisis data panel data juga memiliki keterbatasan diantaranya adalah: 1. Masalah dalam disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity. Permasalahan ini muncul karena data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse. Permasalahan ini muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden. c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada survey lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi. 4. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference). Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model data panel, yaitu pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik menggunakan uji-F, uji LM dan uji Hausman. a. Metode Pooled OLS Metode Pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhanaantara data time-series dan data cross-section dan selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil sederhana (OLS). MetodePooled OLS dapat dispesifikasikan kedalam model berikut: Ŷit = α + β X it dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data crosssection,sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun, pada
58
metode iniasumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikanbahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap individu yangdiobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akanmembawa perubahan pada intersep time-series dan cross-section. b. Metode Fixed Effect Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanyaasumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiapindividu yang diobservasi. Sementara pada fixed effect, perbedaan individu data diakomodasi dalam intersep masing-masing individu data. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unitcross-section, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda padatiap unit individu. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama untuk setiapindividu yang diobservasi. Model estimasi ini seringkali disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV). Metode ini dapat dispesifikasikan kedalam modelberikut: Yit = α + βXit + βDi + εit Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-covarians residual, model fixed effect menggunakan tiga metode, yaitu: 1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matrik variankovarian residualnya diasumsikan bersifat homoskedastisitas dan tidak cross sectional correlation 2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): jika struktur matriks varian-kovarian residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastistik dan tidak ada cross sectional correlation 3. Feasible Generalized Least Square (FGLS/Seemeingly Uncorrelated Regression (SUR), jika struktur matriks varian-kovarian residualnya diasumsikan bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional correlation. Terdapat beberapa masalah penggunaan metode fixed effect. Pertama, penggunaan variabel dummy tidakdapat mengidentifikasikan secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada periode dan individu. Kedua, teknik variabel dummy akan mengurangi jumlah derajat bebas (Pyndick, 1998).
59
c. Metode Random Effect Pada metode random effect, terdapat perbedaan intersep untuk setiap individu data. Intersep tersebut merupakan variabel random dan stokastik. Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect masih menghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh karena itu,kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui komponen galat (disturbance atau error term).Pada metode random effect dimasukkan komponen galat (error term) ke dalam model untuk menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yang tidak masuk ke dalam model, komponen non linearitas hubungan variabel bebas dan variabel tidak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan serta kejadianyang sifatnya acak. Metode random effect dapat dispesifikasikan kedalam model berikut: Yit = α + βXit + βDi + Vit dimana Vit = εit + μit Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi model ini diantaranya: 1. Nilai harapan variabel gangguan nol, yaitu (Vit) = 0 2. Varian variabel gangguan homoskedastisitas, yaitu Var (Vit) = σμ2 + σε2 3. Variabel gangguan individu data yang sama dalam periode yang berbeda saling berkorelasi, yaitu Cov (Vit, Vis) (t≠s) 4. Variabel gangguan dari individu data yang berbeda tidak berkorelasi Cov (Vit, Vjs) = 0, dengan j≠s
Formulasi dari metode random effect diperoleh dari model fixed effect dengan mengasumsikan bahwaefek rata-rata dari variabel-variabel time-series dan cross-section yang acak termasuk dalam intersep dan deviasi acak rata-rata tersebut sama dengan komponen galat, ui dan vt. Pada metode random effect diasumsikan bahwa komponen galat individu tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara setiap unit cross-section dan time-series (Pyndick, 1998). Karena adanya korelasi antara variabel gangguan, maka metode OLS tidak bias digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien (Greene, 1997).
60
Metode yang tepat untuk mengestimasi metode random effect adalah Generalizrd Least Squares (GLS).
4.2.2.
Uji Kesesuaian Model Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode pada
teknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F, uji LM, dan uji Hausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yangdiperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman terhadap model terbaik yang diperolehdari hasil fixed effect dengan model yang diperoleh dari metode random effect. Sementara uji LM Test untuk menguji metode random effect dengan pooled least square. Uji-F (Chow Test) Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0: Model PLS (Restricted) H1: Model Fixed Effect (Unrestricted). Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
CHOW
( RRSS URSS) /( N 1) URSS /( NT N K )
dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square URSS = Unrestricted Residual Sum Square N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas,
61
Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai CHOW Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter (stability test). Uji Hausman Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0: Random Effects Model H1: Fixed Effects Model. Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman dan membandingkannya dengan chi square. Statistik hausman dirumuskan dengan: m b' M 0 M1 1 b
~ X 2 K
dimana adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M 0 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan (M 1 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan REM. LM Test LM Test atau lengkapnya The Breusch – Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect versus Pooled Least Square. H0: PLS H1: Random Effect. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi Squre .
62
Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model pooled. FIXED EFFECT
Hausman Test
Chow Test
RANDOM EFFECT
LM Test
POOLED LEAST SQUARE
Gambar 6.
Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel
Strategi Pengujian Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel diperlukan sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menguji: a) RE vs FE (Hausman Test), b) PLS vs FE (Chow Test). Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang digunakan adalah sebagai berikut:
Jika (b) tidak signifikan maka kita menggunakan Pooled Least Square.
Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita menggunakan Random Effect Model .
Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
63
Evaluasi Model Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, fleksibel dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau gangguan asumsi model, yaitu gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) dan gangguan akibat keduanya. Pengestimasian terhadap model tersebut hasilnya diharapkan memperoleh konstanta intersep yang berbeda-beda untuk masing-masing moda transportasi di masing-masing tahun. a. Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil uji t dan uji F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien paramater dari t statistik diduga tidak signifikan sementara hasil dari F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weight, sehingga baik t statistik maupun F hitung menjadi signifikan. b. Autokorelasi Autkorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1)atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang kita gunakan. c. Heteroskedastisitas Dalam regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ2 (konstan), semua mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata
64
lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka hasil regresi akan terjadi “misleading” (Gujarati, 2003). Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas,digunakan uji White Heteroskedasticity yang diperoleh dalam program E-Views.Dengan uji White, dibandingkan Obs* RSquared dengan X (Chi-Squared) tabel, Jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada X (Chi-Squared) table, maka tidakada heteroskedastisitas pada model. Data panel dalam E-Views 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistic dengan Sum Square Resid UnweightedStatistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistic < Sum Square Resid Unweighted Statistic, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelaggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroskedasticity.
4.2.3. Model Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya Perdagangan Untuk transportasi laut maupun udara digunakan model ekonometrika dasar sebagai berikut: TCij,t = ai + a1Ln_Hij,t + a2Ln_BBKRij,t + a3INFRAi,t + a4INFRAij,t + a5INSTi,t + a6INSTij,t + eij,t …………………………………………………….. (7) a1 > 0, a2 > 0, a3 < 0, a4 < 0, a5 < 0, a6 < 0 Untuk mengetahui sejauh mana masing-masing indikator kualitas infrastruktur maupun kelembagaan memengaruhi biaya perdagangan, maka model yang digunakan adalah: Moda Transportasi Laut : TCij,t = bi + b1Ln_Hij,t + b2Ln_BBKRij,t + b3PORTi,t + b4PORTj,t + b5INSTi,t + b6INSTj,t + b7LSCIi,t + b8LSCIj,t + b9ROADi,t + b10ROADj,t + eij,t … (8) TCij,t = ci + c1Ln_Hij,t + c2Ln_BBKRij,t + c3INFRAi,t + c4INFRAij,t + c5CORRUPTi,t + c6CORRUPTj,t + c7CRIMEi,t + c8CRIMEj,t + c9BURDENi,t + c10BURDENj,t + eij,t ………………………………………………... (9) b1 > 0, b2 > 0, b3 < 0, b4 < 0, b5 < 0, b6 < 0, b7 < 0, b8 < 0, b9 < 0, b10 < 0 c1 > 0, c2 > 0, c3 < 0, c4 < 0, c5 < 0, c6 < 0, c7 < 0, c8 < 0, c9 < 0, c10 < 0
65
Moda Transportasi Udara : TCij,t = di + d1Ln_Hij,t + d2Ln_BBKRij,t + d3INSTi,t + d4INSTij,t + d5AIRPORTi,t + d6AIRPORTj,t + d7ROADi,t + d8ROADj,t + eij,t …………………… (10) TCij,t = ei + e1Ln_Hij,t + e2Ln_BBKRij,t + e3INFRAi,t + e4INFRAj,t + e5CORRUPTi,t + e6CORRUPTj,t + e7CRIMEi,t + e8CRIMEj,t + e9BURDENi,t + e10BURDENj,t + eij,t ………………………………. (11) d1 > 0, d2 > 0, d3 < 0, d4 < 0, d5 < 0, d6 < 0, d7 < 0, d8 < 0 e1 > 0, e2 > 0, e3 < 0, e4 < 0, e5 < 0, e6 < 0, e7 < 0, e8 < 0, e9, e10 < 0 dimana : TCij,t
= Biaya ekspor/impor Indonesia ke dan dari 72 tujuan ekspor dan asal impor melalui moda transportasi laut maupun udara
LnVOLij,t
= Volume ekspor/impor Indonesia ke dan dari 72 tujuan ekspor dan asal impor melalui moda transportasi laut maupun udara
Ln_GDPcapi,t
= GDP per kapita Indonesia
Ln_GDPcapj,t
= GDP per kapita dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
Ln_Trdopnnsi, t
= Indeks keterbukaan ((X+M)/GDP) perdagangan Indonesia
Ln_Trdopnnsj,t
= Keterbukaan perdagangan dari 72 negara tujuan ekspor atau asal impor Indonesia
INFRAi,t
= Indeks kualitas infrastruktur (keseluruhan) Indonesia
INFRAj,t
= Indeks kualitas infrastruktur (keseluruhan) dari 72 negara tujuan ekspor atau asal impor Indonesia
INSTi,t
= Indeks kualitas institusi (keseluruhan) Indonesia
INSTj,t
= Indeks kualitas institusi (keseluruhan) dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
JLNi,t
= Indeks kualitas jalan di Indonesia
JLNj,t
= Indeks kualitas jalan dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
PORTi,t
= Indeks kualitas pelabuhan Indonesia
PORTj,t
= Indeks kualitas pelabuhan dari 72 negara ekspor atau negara asal impor Indonesia
LSCIi,t
= Linier Shipping Connectivity Index (LSCI) Indonesia
LSCIj,t
= Linier Shipping Connectivity Index (LSCI) dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
CORRUPTi,t
= Indeks kebebasan korupsi Indonesia
66
CORRUPTj,t
= Indeks kebebasan korupsi dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
BURDENi,t
= Indeks kualitas peraturan pemerintah Indonesia
BURDENj,t
= Indeks kualitas peraturan pemerintah 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
CRIMEi,t
= Indeks kualitas kemanan terhadap kejahatan terorganisir di Indonesia
CRIMEj,t
= Indeks kualitas kemanan terhadap kejahatan teroraganisir dari 72 negara tujuan ekspor atau negara asal impor Indonesia
4.2.4. Model Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Volume Perdagangan Indonesia Model yang digunakan untuk menganalis sejauh mana pengaruh variabel kualitas infrastruktur dan variabel kualitas kelembagaan secara keseluruhan terhadap volume perdagangan Indonesiaadalah : Volume Ekspor Laut/Udara:
maupun
Impor
Berdasarkan
Moda
transportasi
VOLij,t = fi + f1Ln_GDPcapi,t + f2Ln_GDPcapj,t + f3Ln_Trdopnnsi,t + f4Ln_Trdopnnsj,t + f5INFRAi,t + f6INFRAj,t + f7INSTi,t + f8INSTj,t + eij,t……...................................................................................….... (12) Untuk mengetahui sejauh mana masing-masing indikator kualitas infrastruktur dan kelembagaan terhadap volume perdagangan baik ekspor maupun impor Indonesia digunakan model sebagai berikut : Moda Transportasi Laut, baik ekspor maupun impor : VOLij,t = gi + g1Ln_GDPcapi,t + g2Ln_GDPcapij,t + g3Ln_Trdopnnsi,t + g4Ln_Trdopnnsij,t + g5INSTi,t + g6INSTi,t + g7JLNi,t + g8JLNj,t+ g9PORTi,t+ g10PORTj,t + g11LSCIi,t+ g12LSCIj,t + eij,t ………... (13) VOLij,t = hi + h1Ln_GDPcapi,t + h2Ln_GDPcapij,t + h3Ln_Trdopnnsi,t + h4Ln_Trdopnnsij,t + h5INFRAi,t + h6INFRAi,t + h7CORRUPTi,t +h8CORRUPTij,t+ h9BURDENi,t+ h10BURDENij,t + h11CRIMEi,t+ h12CRIMEij,t + eij,t ………..................................................... (14)
67
Moda Transportasi Udara, baik ekspor maupun impor : VOLij,t = ii + i1Ln_GDPcapi,t + i2Ln_GDPcapj,t + i3Ln_Trdopnnsi,t + i4Ln_Trdopnnsj,t + i5INSTi,t+ i6INSTj,t + i7JLNi,t + i8JLNj,t+ i9AIRPORTi,t+ i10AIRPORTj,t + eij,t ……………………….......….. (15) VOLij,t = ji + j1Ln_GDPcapi,t + j2Ln_GDPcapij,t + j3Ln_Trdopnnsi,t + j4Ln_Trdopnnsj,t + j5INFRAi,t + j6INFRAj,t + j7CORRUPTi,t + j8CORRUPTj,t+ j9BURDENi,t+ j10BURDENj,t + j11CRIMEi,t+ j12CRIMEj,t + eij,t ………………………………………………. (16)
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
69
BAB V. KONDISI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN INDONESIA
5.1.
Infrastruktur Transportasi Kemajuan pelaksanaan pembangunan dan perdagangan serta daya saing
perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur penunjangnya terutama infrastruktur transportasi yang mencakup jalan raya, sungai, laut, udara dan jalan kerata api. Namun karena dalam perdagangan internasional moda transportasi yang banyak digunakan adalah laut dan udara, maka dalam pembahasan ini akan lebih difokuskan pada infrastruktur terkait moda transportasi laut dan udara. 5.1.1. Moda Transportasi Laut Moda transportasi laut merupakan salah satu moda transportasi yang mendominasi (> 95%) transportasi perdagangan internasional baik ekspor maupun impor, sisanya kurang dari 5 persen (< 5%) diangkut dengan menggunakan moda transportasi udara dan darat. Salah satu kelebihan dari moda transportasi laut adalah kapasitasnya yang sangat besar yang memungkinkan mengangkut suatu produk dalam jumlah yang sangat besar, mampu melintasi jarak yang sangat jauh dengan biaya yang relatif lebih murah. Namun demikian walaupun biaya transportasi moda transportasi laut relatif lebih murah dibandingkan moda transportasi udara, angkutan laut ini relatif lambat dan aksesibilitasnya terbatas. Selain itu tidak semua pelabuhan dapat disandari semua jenis kapal. Armada Pelayaran dan Struktur Pasar Industri Pelayaran Armada Pelayaran Armada pelayaran dalam transportasi laut Indonesia meliputi armada nasional dan armada asing. Sampai tahun 2010 secara umum armada pelayaran nasional masih didominasi (86%) armada nasional walaupun dengan kapasitas yang relatif kecil (Tabel 9).
70
Tabel 9.
Jumlah Kumulatif Armada Pelayaran Nasional dan Asing
Tahun
Armada Nasional
Armada Asing
Total
2006
6428
1448
7876
2007
7154
1154
8308
2008
8165
977
9142
2009
9164
865
10029
2010
8313
1632
9945
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2011 Sebelum diterapkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional (Asas Cabotage), pangsa kapal-kapal berbendera Indonesia per Desember 2004 sebesar 54 persen atau sekitar 101.3 juta ton dari total 187.6 juta ton muatan angkutan laut dalam negeri. Namun sejak diterapkannya Inpres No. 5/2005 tersebut, penguasaan pangsa industri pelayaran nasional menunjukkan kecenderungan yang meningkat menjadi 99.65 persen atau sebanyak 359.67 juta ton muatan pada tahun 2012. Tidak hanya terjadi peningkatan pangsa muatan kapal, tetapi jumlah armada niaga nasional juga naik signifikan. Jumlah dan kapasitas armada niaga nasional sebelum diterapkannya Inpres No. 5/2005 berjumlah 6,041 unit atau 5.67 juta gross tonnage (GT) menjadi 12,047 unit atau sekitar 17.10 juta GT pada Maret 2013.5. Sementara untuk pangsa pasar angkutan luar negeri, armada nasional hanya mampu menyerap pangsa pasar kurang dari 10 persen, dengan kecenderungan yang meningkat walaupun relatif kecil (Gambar 7). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut 2012, pangsa muatan pelayaran nasional untuk angkutan luar negeri sebesar 9.86 persen dari total 532.5 juta ton atau pelayaran nasional hanya mampu mengangkut 52.5 juta ton.
5
www.indi.co.id/upload_file/201304161239000.Pelayaran Nasional kuasai 99.65%
71
Sumber : Bappenas (2012) Gambar 7.
Pangsa Pasar Angkutan Laut Luar Negeri Oleh Armada Nasional dan Asing, Tahun 2004-2008
Struktur Pasar Industri Pelayaran Hingga saat ini jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri perkapalan di Indonesia tercatat sekitar 240 perusahaan, dimana 9 perusahaan dikategorikan sebagai galangan kapal besar dengan kapasitas diatas 10.000 ton. Kapal barang yang beroperasi di Indonesia masih didominasi oleh kapal asing yang dikelola oleh shipping/operators Indonesia. Pola perdagangan internasional Indonesia saat ini sekitar 90 persen menganut system FOB untuk ekspor dan sistem CIF untuk impor, sehingga “bargaining power” armada nasional menjadi lemah. Ada beberapa faktor lainnya yang menyebabkan lemahnya struktur pasar palayaran nasional yaitu rendahnya potensi armada dan teknologi kapal serta biaya angkut yang relatif tinggi dibanding armada asing.
Hal lainnya adalah karena lemahnya posisi
eksportir/importir apabila transaksi perdagangan dilakukan dengan negara pemberi bantuan kredit. Khususnya untuk transaksi impor yang dibeli dengan
72
bantuan kredit, negara yang member
bantuan biasanya mengharuskan
pengangkutan barang dilakukan oleh kapal-kalap mereka. Lemahnya struktur pasar pelayaran nasional juga disebabkan masih kurangnya kesadaran para eksportir/importir untuk menggunakan armada pelayaran nasional. Selain itu, tarif yang berlaku di pelabuhan, yang sangat ditentukan oleh Pemerintah Pusat, dikenakan secara standar terhadap pelabuhan-pelabuhan sehingga mengurangi peluang persaingan. Hal ini sangat signifikan apabila dua perum pelabuhan Indonesia berbagi daerah yang saling bersaing, seperti misalnya Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang dan Tanjung Perak di Surabaya, yang keduanya dijalankan oleh Perum Pelabuhan Indonesia III. Tanpa persaingan, harga akan lebih tinggi dan produktivitas bisa menjadi lebih rendah. Harga yang lebih tinggi berarti importir dan eksportir akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk menggunakan pelabuhan yang dimonopoli. Produktivitas yang lebih rendah berarti kapal akan bersandar lebih lama di pelabuhan. Hal ini dianggap sebagai waktu menganggur, ketika kapal tidak menghasilkan pendapatan. Jadi, semakin lama waktu bersandar, semakin tinggi biaya operasional langsung dan juga biaya kesempatan. Selain itu, kondisi di atas menyebabkan masyarakat membeli barang impor dengan harga lebih mahal, dan ekspor Indonesia menjadi lebih mahal dari ekspor dari negara-negara yang pelabuhannya lebih efisien. Peningkatan persaingan memerlukan koordinasi. Misalnya, ketika perluasan pelabuhan perlu dilakukan, fasilitas dan konsesi dapat direncanakan sehingga menarik minat operator baru, dan menimbulkan persaingan dengan operator yang ada. Meskipun UU Pelayaran mengharuskan adanya peningkatan persaingan, masih ada beberapa hambatan. BUMN Pelabuhan (Pelindo) masih menguasai lahan, dan operator terminal swasta hanya boleh menawarkan jasa penanganan kargo umum dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Pembatasan investasi asing di sektor pelabuhan di Indonesia dapat mengurangi minat operator global untuk berinvestasi di terminal. Pelindo, di sisi lain, dikecualikan dari UU Persaingan Usaha Indonesia. Regulator persaingan usaha dibentuk untuk memastikan perusahaan berperilaku secara kompetitif. Jika ada pengaduan, regulator seringkali memulai langkahnya dengan memeriksa sejauh mana pasar didominasi oleh hanya
73
beberapa perusahaan. Pasar di negara-negara yang memiliki program Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam sektor pelabuhan tersukses di dunia umumnya hanya memiliki satu atau sedikit perusahaan yang dominan. Dengan demikian, meski Indonesia mengurangi hambatan terhadap persaingan, kemungkinan hasilnya adalah pasar yang didominasi oleh beberapa perusahaan saja. Jika regulator akhirnya menangani suatu kasus, fokus penyelidikan terutama tertuju pada keadaan, apakah konsumen atau pengguna jasa ekspedisi memiliki pilihan. Lingkungan oligopolistik yang akan muncul di Indonesia menunjukkan perlunya kerangka peraturan untuk mengawasi persaingan di pelabuhan. Kebijakan pelabuhan Indonesia mendukung regulasi dengan minimal intervensi. Kementerian Perhubungan dapat memegang tanggung jawab untuk meningkatkan persaingan pelabuhan dan memantau perilaku yang sesuai dengan persaingan usaha. Pelabuhan Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 69 tahun 2001, pelabuhan adalah tempat baik berupa daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang digunakan sebagai tempat bersandarnya kapal, berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini diatur berdasarkan UU Pelayaran tahun 1992 dan peraturan-peraturan pendukung lainnya. Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah sistem hierarkis yang terdiri atas sekitar 1700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan ‘strategis’ utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial yang dikelola oleh empat BUMN yaitu, Perum Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III and IV dengan cakupan geografis sebagaimana diuraikan dalam Tabel 10. Selain itu, terdapat juga 614 pelabuhan diantaranya berupa Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau pelabuhan non komersial yang cenderung tidak menguntungkan dan hanya sedikit bernilai strategis.
74
Tabel 10. Perum Pelabuhan Indonesia : Cakupan Geografis Perum Pelabuhan Pelindo I
Cakupan (Provinsi) Aceh, Sumatera Utara, Riau
Pelindo II
Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jakarta
Pelindo III
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (sebelumnya Timor Timur) Sulawesi (S,SE,Tengah dan Utara), Maluku, Irian Jaya
Pelindo IV
Pelabuhan-Pelabuhan Yang Diatur Belawan, Pekanbaru, Dunai, Tanjung Pinang, Lhokseumawe Tanjung Priok, Panjang, Palembang, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon, Jambi, Bengkulu, Banten, Sunda Kelapa, Pangkal Balam, Tanjung Pandan Tanjung Perak, Tanjung Emas, Banjarmasin, Benoa, Tenau/Kupang
Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon, Sorong, Biak, Jayapura
Berdasarkan Pengaturan Sistem Kepelabuhan Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), 25 (dua puluh lima) Pelabuhan strategis utama yang dianggap sebagai pelabuhan komersial adalah : a. 8 pelabuhan di Sumatera b. 6 pelabuhan di Jawa/Bali c. 4 pelabuhan di Kalimantan d. 3 pelabuhan di Sulawesi, e. 1 pelabuhan di Nusa Tenggara, f. 1 pelabuhan di Maluku g. 2 pelabuhan di Papua Sementara jumlah pelabuhan nasional ada 47 pelabuhan yang mencakup : a. 18 pelabuhan di Sumatera, b. 2 pelabuhan di Jawa/Bali, c. 8 pelabuhan di Kalimantan, d. 5 pelabuhan di Sulawesi, e. 5 pelabuhan di Nusa Tenggara, f. 4 pelabuhan di Maluku, dan g. 5 pelabuhan di Papua.
75
Dari 25 pelabuhan strategis, terdapat 4 pelabuhan utama nasional yaitu Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar, yang semuanya mengendalikan angkutan barang melalui kontainer untuk kegiatan ekspor dan impor. Dari keempat pelabuhan utama nasional tersebut, Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar yang mempunyai total 78 tempat sandar kapal dan 14 untuk kontainer. Jumlah lalu lintas barang di Tanjung Priok mencapai 36 MT, setengah diantaranya merupakan angkutan domestik, dengan kapasitas kontainer sebesar 3,6 juta TEUs. Perkembangan angkutan kargo dunia saat ini sekitar 80 persen diangkut menggunakan kontainer, dengan kapasitas kapal terus meningkat dari ukuran 1.500 TEUs hingga 9.000 TEUs. Kapal dengan ukuran 9.000 TEUs membutuhkan kedalaman sandar minimal 13 meter. Bahkan pada tahun 2013 kapal pengangkut kontainer ukuran 12.000 TEUs diperkirakan akan beroperasi yang membutuhkan kedalaman sandar minimal 18 meter. Agar dapat menampung kebutuhan lalu lintas kargo dan kapal seperti tersebut di atas, Indonesia harus meningkatkan kapasitas pelabuhan nasionalnya, termasuk membangun pelabuhan hub internasional. Berdasarkan laporan World Bank dalam Global Competitiveness Report (2008-2011) kualitas infrastruktur transportasi Indonesia khususnya kualitas pelabuhan masih jauh dari yang diharapkan , belum mengalami perkembangan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu berada pada peringkat 104 pada tahun 2008 dan tahun 2012, dari 155 negara yang disurvei. Tabel 11. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2008-2012 Infrastruktur Indonesia 2008 2009 2010 2011 2012 Infrastruktur 86 84 82 76 78 Keseluruhan (2.95) (3.20) (3.56) (3.77) (3.75) Infrastruktur 105 94 84 83 90 Jalan (2.5) (2.9) (3.5) (3.5) (3.4) Infrastruktur 104 95 96 103 104 pelabuhan (3.0) (3.4) (3.6) (3.6) (3.6) Sumber : Global Competitiveness Report, World Bank 2008-2012 Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia pada tahun yang sama melayani sekitar 3.69 juta TEUs, atau 50 persen dari keseluruhan pergerakan kontainer di Indonesia. Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan
76
terbesar di Indonesia Timur pada tahun yang sama melayani 1 juta TEUs, atau 34 persen dari keseluruhan pergerakan kontainer di Indonesia. Namun demikian, sebagian besar dari kontainer tersebut harus transhipment ke pelabuhan di Singapura dan Malaysia, termasuk kontainer untuk perdagangan intra ASEAN walaupun beberapa direct ship call telah dapat dilayani untuk pelayaran ke Asia Timur dan China. Ditinjau dari armada pengangkutnya, angkutan kargo laut Internasional didominasi oleh kapal dan armada asing, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Angkutan Laut Kargo Ekspor/Impor Indonesia (Ton/tahun) No 1 2
Pengangkut Perusahaan Nasional Perusahaan Asing
2004
2005
2006
2007
2008*
16,277,341 24,599,718
29,363,757
31,381,870
38,061,415
448,789,548 468,370,236
485,789,846
500,514,225
515,684,903
Total
465,066,889 492,969,954
515,153,603
531,896,095
553,746,318
Keterangan : *)angka perkiraan Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut-Ditjen Hubla (diolah kembali), 2011 Selain memenuhi aspek teknis, Pelabuhan Utama juga harus memenuhi kriteria lain seperti: mampu melaksanakan volume bongkar/muat barang minimal 6.000.000 (enam juta) ton/tahun atau 5.000.000 (lima juta) TEUs/tahun, mendukung hinterland yang luas dan memiliki pusat pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya, perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas implementasi azas cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim (Maritim State), meningkatkan daya saing produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “Unusual Business Growth”, memiliki kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, dan mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif. Selain itu juga lokasi Pelabuhan Utama ini diharapkan terhubung dengan Hubungan Ekonomi (kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan sebagainya), Hubungan Logistik, dan Hubungan Pelabuhan Internasional. Alternatif pelabuhan utama yang perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan berbagai
77
kriteria tersebut adalah Sabang, Belawan, Kuala Tanjung, Batam, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Makasar, Bitung, Kupang, Sorong, dan Biak. Infrastruktur dan Jaringan Transportasi Global merupakan bagian dari konektivitas
global
(global
connectivity)
yang
diharapkan
mampu
menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama (national gate way) ke pelabuhan hub internasional baik di wilayah barat Indonesia maupun wilayah timur Indonesia, serta antara Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia dengan Pelabuhan hub internasional di berbagai negara yang tersebar pada lima benua. Indeks konektivitas pelayaran laut (LSCI) Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional dari tahun 2004-2009 cenderung menurun sebesar 1.3 persen. Sementara LSCI negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina menunjukkan peningkatan. Vietnam menunjukkan kecenderungan peningkatan yang terbesar yaitu sebesar 13.9 persen (Tabel 13). Tabel 13. Indeks Konektivitas Pelayaran Laut (LSCI), Tahun 2004-2009 Negara
2004
Indonesia
2005
2006
2007
2008
2009
Trend
25.9
28.8
25.8
26.3
24.9
25.7
-1.3
62.8
65.0
69.2
81.6
77.6
81.2
5.8
31.0
31.9
33.9
35.3
36.5
36.8
3.8
Vietnam
12.9
14.3
15.1
17.6
18.7
26.4
13.9
Philipina
15.5
15.9
16.5
18.4
30.3
15.9
6.5
Malaysia Thailand
Sumber : UNCTAD, 2012
Pada tahun 2025 diharapkan Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik global, melalui jaringan infrastruktur multimoda sebagaimana disajikan pada Gambar 8.
78
Gambar 8.
Pengembangan Pelabuhan hubungan Internasional
Aktivitas dan Instansi Pelabuhan Terdapat berbagai aktivitas di pelabuhan termasuk jasa yang diberikan terkait dengan pelabuhan, yaitu Jasa pelayanan kapal (labuh, pandu, tunda, tambat), pelayanan barang (dermaga, gudang, lapangan, tangki timbun, silo), handling bongakr muat ( peti kemas, general cargo, curah cair, curah kering, roro dan hewan), pelayanan penumpang (terminal penumpang), lapangan parker, garbarata), jasa persewaan (inland container depo, sewa lahan, sewa alat, sewa gedung), jasa bunkering (bungker BBM, air kapal). Mengingat aktivitas di pelabuhan relatif beragam terutama terkait bisnis, maka hal tersebut tentunya akan menimbulkan lingkungan persaingan di antara pelaku-pelaku tersebut seperti : persaingan antar pelabuhan termasuk berbagai jasa yang diberikannya, persaingan antar terminal/seluruh jasa kecuali labuh, pandu dan tunda, dan persaingan antar perusahaan bongkar muat dalam satu terminal (handling). Bentuk persaingan yang terjadi dalam bentuk kualitas jasa yang diberikan, biaya, dan waktu pelayanan (delivery). Sementara instansi pemerintah yang memegang fungsi pelaksanaan kegiatan di pelabuhan umum adalah : (1) Instansi perhubungan laut (Syahbandar), (2) Bea Cukai/Pabean. (3) Imigrasi, (4) Karantina, dan (5) Kesehatan. Bea Cukai berwenang melakukan pengawasan terhadap[ lalu lintas barang yang keluar masuk wilayah pabean Indonesia serta memungut bea terhadap barang-barang yang menurut aturan dikenakan bea. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bea Cukai
79
melakukan pelayanan melalui Kantor-Kantor Pabean yang memberikan pelayanan selama 24 (dua puluh empat) jam setiap hari terhadap kegiatan : (1) penanganan manifes; (2) pemeriksaan sarana pengangkut; (3) pemantauan kegiatan pembongkaran, pemuatan, dan penimbunan barang; (4) pengeluaran barang yang telah mendapat persetujuan pengeluaran; (5) penanganan barang penumpang, awak sarana pengangkut dan barang impor yang mendapat fasilitas pelayanan segera. Pelaksanaan pelayanan ini ditetapkan dalam Standar Pelayanan Publik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/20/M.PAN/04/2006. Sementara karantina berwenang memeriksa setiap hewan dan tumbuhan yang masuk ke wilayah Indonesia dan dapat menahan untuk mengkarantina apabila diketahui ada gejala penyakit menular.
Lalu Lintas Barang Antar Pelabuhan Arus kontainer yang dikelola oleh PT. Pelabuhan Pelindo I–IV tiap tahunnya mengalami peningkatan dari segi volume. PT. Pelindo II dan PT. Pelindo III mengelola jumlah kontainer yang cukup banyak jika dibandingkan PT. Pelindo I dan PT Pelindo IV. Hal ini dikarenakan PT. Pelindo II dan PT. Pelindo III merupakan pintu gerbang kegiatan ekspor impor di Indonesia. Pada tahun 2009 misalnya, PT. Pelindo II menangani 4.75 juta TEUs dan 3.56 juta Box, jauh meningkat dari tahun 2005 yang menangani 3.7 TEUs dan 2.79 juta Box, sementara PT. Pelindo 3 pada tahun yang sama menangani 2.47 juta TEUs dan 2.99 juta box dari 1.92 juta TEUs dan 2.41 juta Box. Pada tahun yang sama PT. Pelindo I menangani 1.34 juta TEUs dan 1.19 Box dari 281 ribu TEUs dan 217 ribu Box pada tahun 2005, sementara PT. Pelindo IV menangani 1.18 juta TEUs dan 1.08 juta Box dari 735 ribu TEUs dan 715 ribu Box pada tahun 2005.
80
Tabel 14. Arus Kontainer yang Dikelola PT. Pelabuhan Indonesia I-IV, Tahun 2005-2009 No 1
2
3
4
5
Uraian PT. Pelindo 1
PT. Pelindo 2
PT. Pelindo 3
PT. Pelindo 4
Jumlah Total
Satuan
2005
2006
2007
2008
2009
TEUs
281,106
304,002
319,202
Box
217,629
237,703
249,585
735,134
TEUs
3,733,380
3,920,049
4,116,045
4,527,650 4,754,031
Box
2,798,545
2,938,472
3,085,346
3,393,880 3,563,559
TEUs
1,916,494
1,994,534
2,213,353
2,388,827 2,468,310
Box
2,408,984
2,506,258
2,755,574
2,931,166 2,989,653
TEUs
735,215
544,058
571,261
1,031,450 1,185,024
Box
715,023
612,298
692,913
978,354
TEUs
6,666,195
6,762,643
7,219,861
8,848,590 9,747,702
Box
6,140,181
6,294,731
6,783,418
8,038,534 8,748,196
900,623 1,340,337 1,118,810
1,076,174
Sumber : Statistik Kementerian Perhubungan, 2010 Sementara kegiatan arus bongkar/muat barang untuk angkutan luar negeri di
pelabuhan utama, yaitu Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya) dan Makasar (Makasar) dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa dari empat pelabuhan utama, Tanjung Priok merupakan pelabuhan yang melakukan aktivitas muat dan bongkar tertinggi, disusul kemudian dengan Pelabuhan Belawan. Pada tahun 2009, jumlah muat di Tanjung Priok mencapai 9.71 juta ton, dan jumlah bongkarnya sebesar 186.67 juta ton. Sementara di Pelabuhan Belawan pada tahun yang sama, jumlah muat mencapai 5.16 juta ton dan jumlah bongkarnya mencapai 2.50 juta ton.
81
Tabel 15. Arus Bongkar/ Muat Barang Angkutan Luar Negeri di Empat PelabuhanUtama, Tahun 2005-2009 No
Uraian
1
Belawan
2
3
4
5
Satuan
2005
2006
2007
2008
2009
Muat
Ton
5,525,676
4,505,600
4,730,880
5,203,958
5,158,945
Bongkar
Ton
2,759,586
2,192,030
2,301,632
2,531,795
2,496,561
Tanjung Priok Muat
Ton
Bongkar
Ton
7,622,715
8,003,851
8,404,043
9,244,447
9,706,669
11,738,888 72,825,832 72,948,124 80,242,536 186,673,906
Tanjung Perak Muat
Ton
736,509
679,074
680,163
973,890
815,982
Bongkar
Ton
3,374,417
3,386,851
4,077,549
3,615,516
3,116,887
Muat
Ton
1,036,423
1,036,423
1,085,204
434,289
374,277
Bongkar
Ton
690,222
690,222
724,735
800,580
813,533
16,055,873
Makasar
Jumlah Muat
Ton
14,921,323 14,224,948 14,900,290 15,856,394
Bongkar
Ton
18,563,113 79,094,935 80,052,040 87,190,727 193,100,887
Sumber : Statistika Kementerian Perhubungan, 2010
Permasalahan Infrastruktur Moda Transportasi Laut Permasalahan utama infrastruktur laut terkait pelabuhan menyangkut tiga hal pokok, yaitu:(1) belum tersedianya pelabuhan hub internasional, (2) rendahnya produktivitas dan kapasitas pelabuhan, serta(3) belum terintegrasinya manajemen kepelabuhanan. Belum Adanya Pelabuhan Hub Internasional Salah satu faktor penting bagi pengembangan logistik suatu negara adalah adanya pelabuhan hub Internasional baik laut maupun udara sebagai pusat pengendalian arus barang nasional, maupun internasional. Keberadaan pelabuhan hub internasional merupakan prasyarat bagi peningkatan daya saing nasional. Pelabuhan hub internasional adalah sebuah pelabuhan internasional yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul di mana kapal induk (mother vessel) yang dioperasikan oleh main line operator (MLO) yang melakukan kunjungan langsung
82
(direct call) guna menaikkan/menurunkan barang, untuk selanjutnya diteruskan ke pelabuhan pengumpan oleh feeder operator. Kedalaman minimal pelabuhan harus mencapai 12 meter LWS. Walaupun saat ini Indonesia memiliki beberapa pelabuhan utama namun belum memiliki pelabuhan hub internasional, sehingga sebagian besar perdagangan Indonesia (ekspor dan impor) non curah (peti kemas) dipindahmuatkan melalui Pelabuhan Singapura, dan semakin banyak yang melalui Pelabuhan Port Klang dan Tanjung Pelepas (Malaysia).
Hal ini dikarenakan
Indonesia tidak memiliki pelabuhan pindah muat (trans-shipment) yang mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua (large trans oceanic vessels).
Bahkan sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus
dipindahmuatkan melalui pelabuhan penghubung di tingkat daerah. Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dijadikan sebagai pelabuhan penghubung utama untuk Kawasan Timur Indonesia (dari Kalimantan ke Papua). Hingga tahun 2012 diperkirakan kapal dengan kapasitas angkut lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) kontainer akan melintasi alur pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini menuntut kesiapan pelabuhan dan infrastruktur penunjangnya untuk dapat melayani kapal yang lebih besar. Pemerintah telah merencanakan untuk menetapkan dua alternatif pelabuhan hubungan internasional di kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia. Dalam MP3EI menyebutkan bahwa Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan hubungan internasional di kawasan Barat dan Bitung sebagai pelabuhan hubungan internasional di kawasan Timur.
Rendahnya Produktivitas dan Kapasitas Pelabuhan Produktivitas dan kapasitas pelabuhan nasional semakin tidak mampu mengimbangi peningkatan arus barang, baik arus domestik maupun internasional. Bangunan transit minim, kapasitas parkir yang kecil, jumlah dermaga yang terbatas dan dangkal, alat bongkar muat peti kemas yang tidak kompeten sehingga menyebabkan lamanya waktu siklus bongkar muat masing-masing kapal barang. Beberapa pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Makasar sudah sangat membutuhkan pengembangan kawasan pelabuhan untuk mengantisipasi penanganan arus barang yang semakin meningkat.
83
Keterlambatan waktu seperti yang seringkali terjadi di Pelabuhan Jakarta, merupakan salah satu dari gambaran rendahnya produktivitas pelabuhan Indonesia. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas sekitar 30-40 peti kemas/jam. Pada tahun 2007 kemudian mengalami peningkatan menjadi 60 peti kemas/jam. Akan tetapi dengan semakin meningkatknya lalu lintas peti kemas dan kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok serta keterlambatan Pabean menyebabkan penurunan kembali produktivitas menjadi 40-45 peti kemas pada tahun 2008. Produktivitas tersebut hanya setengah dari tingkat produktivitas pelabuhan di Singapura dan pelabuhanpelabuhan pemindahmuatan (trans-shipment) utama di Malaysia yang memiliki produktivitas sekitar 100-110 peti kemas per jam. Akibat dari keterlambatan penanganan kargo tersebut, perusahaan-perusahaan angkutan laut yang besar seringkali harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati karena harus menepati jadwal yang telah dibuat. Hal ini berimplikasi terhadap berbagai biaya pemulihan di samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga serta kerugian karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri para pengusaha jasa angkutan laut internasional Indonesia menikmati pelayanan pemindahmuatan (trans-shipment) yang sangat bersaing di Singapura dan Malaysia, namun harus membayar jasa bongkar muat yang tinggi karena tingginya biaya pelabuhan di Indonesia (Ray 2008).
Belum Terintegrasinya Manajemen Pelabuhan Pengurusan pergerakan barang dan dokumen saat ini masih dilakukan berbasis transaksi. Hal ini karena belum adanya pelayanan jasa logistik yang terpadu antara badan pengatur pelabuhan, pengusahaan pelabuhan, pengguna jasa pelabuhan, karantina, dan kepabeanan serta stakeholders lain yang terkait yang berorientasi kepada kelancaran arus barang dan kepuasan pelanggan. Selain itu belum ada sistem atau mekanisme kerjasama antara otoritas pengelola pelabuhan dengan kawasan industri yang berorientasi kelancaran arus barang ekspor dan impor untuk keperluan industri. Sistem administrasi yang berbelit-belit. Selain instansi pemerintah, di pelabuhan juga terdapat instansi lainnya yaitu Badan Usaha pelabuhan (BUP), perusahaan bongkar muat (PBM), ekspedisi
84
muatan kapal laut (EMKL), koperasi tenaga kerja bongkar muat (TKBM), perusahaan pelayaran, eksportir/importir, perbankan, dan lainnya. Sementara Permasalahan lainnya adalah saat ini pelabuhan di dunia sedang dihadapkan pada ancaman kongesti (penumpukan) yang disebabkan oleh volume yang meningkat dan juga yang menyulitkan bahwa peningkatan volume tersebut hanya terjadi satu arah yang menyebabkan ketidakseimbangan ketersediaan kontainer dan peralatannya di semua titik. Angkutan laut juga menghadapi kenaikan biaya energi yang tinggi dan peningkatan persyaratan keamanan. Kenaikan biaya ini pada akhirnya harus ditanggung oleh pelanggan. Untuk meningkatkan kualitas pelabuhan Indonesia dan meningkatkan daya saing perdagangan dan perekonomian, pemerintah sudah merencanakan akan membangun pelabuhan hub internasional yaitu di Kuala Tanjung (Barat) dan Bitung (Timur). Selain memenuhi persyaratan aspek teknis pelabuhan internasional, lokasi Pelabuhan Hub Internasional dipilih dengan kriteria diantaranya berada di wilayah depan atau dilalui ALKI, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya, perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas azas cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim, meningkatkan daya tahan dan daya saing produk domestik, filtering barang impor yang mengancam produsen produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “unusual business growth”, memiliki kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif. Berdasarkan konsep wilayah depan dan wilayah dalam, maka diharapkan pintu-pintu masuk (pelabuhan) untuk barang-barang impor, terutama komoditas pokok dan strategis dan barang impor yang berpotensi merugikan industri domestik, hanya akan diperbolehkan masuk Indonesia melalui wilayah depan Negara Indonesia. Pintu wilayah depan ini memiliki peranan sebagai sarana untuk menyaring barang masuk, yang dilaksanakan melalui proses clearance pabean, karantina, dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia dengan tidak melanggar azas kesepakatan (agreement) baik ASEAN 2015 maupun WTO 2020.
85
Wilayah depan adalah wilayah yang langsung berbatasan dengan negara lain atau wilayah yang berbatasan dengan perairan internasional, sedangkan wilayah dalam adalah wilayah yang berupa daratan dan lautan yang dikelilingi oleh wilayah depan. Wilayah dalam menjadi kedaulatan penuh NKRI, walaupun demikian di Wilayah Dalam, kapal berbendera asing masih diperbolehkan untuk melintasi perairan Indonesia sepanjang lintasan ALKI sampai sejauh 25 (dua puluh lima) mil di sebelah kiri dan kanan garis ALKI dan memenuhi ketentuan Internasional (innocent passage), namun tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan perikanan. Selain itu juga lokasi pintu-pintu masuk ini diharapkan menjadi Hub Ekonomi dan Hub Logistik yang menjadi fasilitator kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga dalam kerangka kerjasama segitiga IMT (Indonesia, Malaysia dan Thailand), IMS (Indonesia, Malaysia dan Singapura), BIMP (Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philipina) dan AIDA (Australia dan Indonesia). Sesuai dengan MP3EI untuk Wilayah Barat Indonesia adalah Kuala Tanjung, sedangkan untuk Wilayah Timur Indonesia yang menjadi Hub Internasional berdasarkan atas kriteria tersebut adalah Bitung. Adapun pergerakan barang dari pintu-pintu masuk ke wilayah dalam Indonesia akan diperlakukan sebagai pergerakan barang-barang dalam negeri. Dengan demikian tujuan strategis yang ingin dicapai adalah agar kelancaran barang ekspor bisa dijamin dan distribusi produk nasional dapat menjangkau seluruh pelosok secara efektif dengan biaya logistik yang rendah dan menjamin keberlangsungan pasokan.
Kebijakan Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan moda transportasi laut adalah : Instruksi Presiden (INPRES) RI No. 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional Kebijakan ini terkait dengan Azas Cabotage, yaitu memberi hak perusahaan angkutan dalam negeri beroperasi komersial secara ekslusif menggunakan bendera Indonesia.
Dengan kata lain, muatan angkutan dalam
negeri harus dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Hal ini akan
86
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan juga mampu menghemat penggunaan devisa negara. Kebijakan Inpres ini diharapkan dapatmenjadi titik awal kebangkitan industry pelayaran nasional, karena dengan kebijakan ini diarahkan untuk mengimbangi industry pelayaran asing yang telah lama menikmati dan memonopoli jasa transportasi laut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Undang-undang Nomor 17 ini merupakan hasil revisi dari Undang-undang Nomor 21 tahun 1992. Undang-undang Nomor 17 mengandung sekitar 355 pasal mencakup berbagai macam masalah yang terkait dengan kelautan seperti pelayaran, navigasi, perlindungan lingkungan, kesejahteraan pelaut, kecelakaan maritim, pengembangan sumberdaya manusia, keterlibatan masyarakat. Undangundang pelayaran tahun 2008 memberikan fondasi untuk reformasi pelabuhan di Indonesia secara menyeluruh. Undang-undang tersebut menghapus monopoli sektor negara atas pelabuhan dan membuka peluang untuk partisipasi baru sektor swasta. Hal ini dapat mengarah pada masuknya persaingan di sektor pelabuhan, yang dapat memberikan tekanan untuk menurunkan harga dan meningkatkan pelayanan pelabuhan. Undang-undang ini juga menyediakan pemisahan yang jelas antara operator dan pengatur (regulator). Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 Tahun 2002 Tentang Tatanan Kepelabuhanan Keputusan Menteri Perhubungan No. 53
menjelaskan
mengenai
bagaimana tatanan pelabuhan dalam hal pengaturan, pengawasan, dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan pendayagunaan dan pengembangan pelabuhan, dimana pelabuhan nasional. Selain itu, dalam keputusan menteri ini menjelaskan juga mengenai jenis-jenis pelabuhan, peran dan fungsi masingmasing jenis pelabuhan dan klasifikasi penentuan jenis pelabuhan di Indonesia. KM Perhubungan No. 54 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut Keputusan Menteri ini menjelaskan mengenai bagaimana penyelenggaraan pelabuhan laut, bagaimana penetapan lokasi pelabuhan laut, siapa saja pelaksana dari pelabuhan laut, dan pelayanan jasa yang dilayani di pelabuhan laut. Selain itu, dalam keputusan menteri ini dijelaskan mengenai penetapan pelabuhan laut yang terbuka bagi perdagangan internasional, bukan hanya untuk perdagangan nasional saja.
87
KM Perhubungan No. 55 Tahun 2002 Tentang Pelabuhan Khusus Keputusan Menteri Perhubungan No. 55, menjelaskan mengenai pengaturan pelabuhan khusus. Pelabuhan khusus merupakan pelabuhan yang dikelola untuk menunjang kegiatan usaha pokok tertentu di bidang pertambangan, perindustrian, pertanian, dan kegiatan pokok lainnya yang membutuhkan fasilitas pelabuhan. Selain itu, fungsi dari pelabuhan khusus yaitu untuk menunjang kegiatan pemerintahan, penelitian, pendidikan, dan pelatihan serta sosial. Dalam Keputusan Menteri ini juga dijelaskan mengenai penetapan wilayah bagi pembangunan pelabuhan khusus, yaitu berada diluar daerah lingkungan kerja dan terpisah dengan pelabuhan umum. Persyaratan pembangunan pelabuhan khusus, tarif yang berlaku dalam penggunaan pelabuhan khusus juga ditetapkan dalam keputusan menteri ini. KM Perhubungan No. 50 Tahun 2003 Tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Dan Pelabuhan Laut Keputusan Menteri Perhubungan No. 50 Tahun 2003 menjelaskan mengenai tarif yang ditetapkan bagi jasa pelabuhan yang telah diberikan. Jasa pelabuhan yang dimaksud adalah jasa untuk kapal, barang, penumpang, alat maupun jasa pelabuhan lainnya. Tarif yang ditetapkan, besarannya tergantung pada jenis jasa pelabuhan yang diakses, klasifikasi, dan fasilitas yang tersedia di pelabuhan. KM Perhubungan No. 39 Tahun 2004 Tentang Mekanisme Penetapan Tarif Dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang Diselenggarakan Oleh Badan Usaha Pelabuhan Keputusan Menteri Perhubungan No. 39 ini merupakan revisi dari Keputusan Menteri Perhubungan No. 30 tahun 1999. KM Perhubungan No. 39 ini membahas mengenai bagaimana mekanisme penetapan tarif pelabuhan yang akan diberlakukan. Besaran tarif kemudian dikonsultasikan dengan menteri perhubungan yang meliputi tarif pelayanan jasa kapal, jasa barang, dan jasa penumpang. Tarif yang ditentukan, kemudian akan berlaku sekurang-kurangnya dua tahun semenjak penetapannya.
88
KM Perhubungan No.72 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Perhubungan No. 50 Tahun 2003 Tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Dan Pelabuhan Laut. KM Perhubungan No. 72 yang merupakan revisi dari KM sebelumnya, yaitu KM perhubungan No. 50 tahun 2003. Tarif yang akan diambil akan dibedakan berdasarkan jenis kapal angkutan laut dalam negeri dan luar negeri. Dalam KM ini, hanya merevisi sebagian dan menambah beberapa pasal. Namun, pada intinya isi pasal ini hamper sama dengan KM sebelumnya. 5.1.2. Moda Transportasi Udara Pada awalnya angkutan udara dipandang sebagai angkutan yang mahal dan hanya digunakan dalam keadaan yang mendesak. Namun kemajuan e-commerce, perkembangan global supply chain, dan segala upaya untuk menurunkan tingkat inventory yang relatif mahal serta memperpendek order cycle time telah merubah hal tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong kenaikan volume angkutan udara akhir-akhir ini. Walaupun dari segi tonase barang yang diangkut melalui moda transportasi udara ini relatif kecil, namun dari segi nilai barang dari tahun ke tahun terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Selain waktu tempuh perjalanan yang cepat menjadi keunggulan moda ini dibandingkan dengan moda lainnya, juga sangat mudah diprediksi jadwal kedatangannya karena terbang berdasarkan jadwal yang sudah tertentu. Selain itu moda transportasi udara juga merupakan moda yang relatif cukup seamless dibandingkan moda lainnya sehingga menambah keunggulan moda ini. Namun kelemahannya adalah harga yang relatif tinggi dan keterbatasan kapasitas angkut. Oleh karena itu, moda transportasi udara tidak efisien untuk mengangkut barang-barang yang relatif murah dan volumetric (besar, ringan, dan makan tempat). Mengingat keterbatasan moda angkutan udara yang hanya mampu mengangkut/mengirim barang-barang dengan volume kecil (karena keterbatasan kapasitas pesawat angkut), relatif tidak terlalu berat dan mempunyai nilai komersial yang tinggi, maka komoditas yang diangkutnya pun relatif terbatas, diantaranya barang-barang elektronik seperti komputer, obat-obatan, barangbarang mudah busuk, majalah, koran, dan barang-barang fashion. Perusahaan produsen biasanya berani membayar mahal karena barang-barang tersebut peka waktu (time delivery) dan membutuhkan pengamanan tinggi selama perjalanan.
89
Sarana Prasarana Prasarana angkutan udara berperan penting dalam perdagangan Internasional Indonesia. Direktur Jenderal Perhubungan Udara menetapkan prasarana untuk angkutan udara meliputi : a. Jumlah bandar udara b. Realisasi pembangunan fasilitas landaan c. Realisasi pembangunan fasilitas terminal d. Realisasi pembangunan fasilitas banguna e. Fasilitas komunikasi, navigasi dan pengamatan f. Jumlah peralatan keamanan bandara Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. Di Indonesia bandar udara dimiliki oleh dua pihak yaitu pemerintah dan swasta atau peruahaan tertentu. 1) Dimiliki oleh Pemerintah, a. Pemerintah Pusat, yang otoritas pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT. (Persero) Angkasa Pura I dan II; serta bandar udara yang berada dibawah pengawasan Departemen Perhubungan, Dirjen Perhubungan Udara sebagai Unit Pelaksana Teknis; b. Pemerintah Daerah, pada umumnya bandara yang dimiliki oleh, pemerintah Daerah sudah berkembang untuk kepentingan komersial; c. Bandar Udara Militer. 2) Dimiliki oleh komunitas/perusahaan tertentu, pada umumnya berupa bandar udara kecil (privat airstrips). Kepemilikan bandar udara olehpihak swasta di Indonesia, belum terlalu banyak, biasanya hanyadimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di wilayah-wilayah terpencil
90
Indonesia untuk memperlancar sistem pengangkutanperusahaan swasta mereka. Berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bandara dibedakan menjadi tiga yaitu, bandara internasional, domestik, dan bandara perintis. Di Indonesia, tiga jenis bandar udara tersebut berjumlah sebanyak 514 bandara yang tersebar di provinsi di Indonesia. Jumlah bandara terbesar terdapat di Provinsi Papua yang mencapai 202 bandara termasuk bandara perintis dan Papua Barat sebanyak 36 bandara. Moda transportasi udara merupakan alat transportasi utama untuk daerah dengan kondisi alam pegunungan dan kepulauan seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Bandar udara perintis saat ini tidak dikenal di Dirjen
Perhubungan
Udara
karena
pengkalsifikasiannya
telah
diubah
(Kementerian Keuangan, 2012). Untuk bandar udara, yang menjadi skala prioritas adalah mengembangkan dan meningkatkan fasilitas penanganan kargo sebagai hub setidaknya untuk lima bandara internasional, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Menado, dan Denpasar. Kelima bandara tersebut selain secara infrastruktur sudah relatif cukup baik, juga berperan menjadi pusat-pusat mobilitas orang dan barang yang cukup prospektif. Berdasarkan World Bank dalam Global Competitivenss Report (20082012) menunjukkan bahwa peringkat kualitas bandara Indonesia terus menurun sejak tahun 2008 sampai saat ini. Walaupun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2009 dari 75 menjadi 68, namun kemudian terus menurun pada tahun 2011 menjadi peringkat 80, bahkan pada tahun 2012 ini terus menurun kembali menjadi peringkat 89 dengan skor 4.2. Tabel 16. Perkembangan Kualitas Infrastruktur Transportasi Udara Indonesia, Tahun 2008-2012 Infrastruktur Indonesia 2008 2009 2010 2011 2012 Infrastruktur 86 84 82 76 78 Keseluruhan (2.95) (3.20) (3.56) (3.77) (3.75) Infrastruktur 105 94 84 83 90 Jalan (2.5) (2.9) (3.5) (3.5) (3.4) Infrastruktur 75 68 69 80 89 Bandara (4.4) (4.7) (4.6) (4.4) (4.2) Sumber : Global Competitiveness Report, World Bank 2008-2012
91
Berdasarkan panjang landasannya, jumlah bandar udara di Indonesia tahun 2010 adalah sebanyak 219 (Tabel 17). Angka ini tidak termasuk bandar udara perintis yang dikelola oleh perusahaan swasta. Jumlah bandara tersebut telah melayani jutaan penumpang baik dari domestik maupun mancanegara. Tabel 17. Jumlah Bandara di Indonesia berdasarkan Panjang Landasan, Tahun 2010 Panjang Landasan (m) Tipe Pesawat Jumlah Bandara < 1800 < B.737 175 1800 < x < 2250 B.737 - F.100 25 2250 < x < 3000 A.330, A.300, B.762 6 > 3000 B.747 10 Total 219 Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Infrastruktur lainnya adalah indikator landas pacu dan Gambar 9 menunjukkan
bahwa
landasan
pacu
telah
mengalami
rehabilitasi
dan
pembangunan. Pembangunan landas pau tertinggi terjadi di tahun 2009 yang mencapai hampir 8 juta m2, dan pembangunan tersebut turun di tahun 2010 menjadi hanya sekitar 1 juta m2. Pembanguan dan rehabilitasi landas pacu ini merupakan salah satu peningkatan kualitas infrastruktur bandara seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap angkutan udara.
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 9.
Realisasi Pembangunan Fasilitas Landasan Tahun 2006 – 2010
92
Salah satu bagian utama dari bandar udara adalah adanya terminal. Terminal merupakan bangunan utama dengan fasilitas lengkap untuk melayani arus penumpang dan bagasi. Fasilitas lengkap tersebut terdiri dari tempat untuk kedatangan atau keberangkatan penumpang, pengecekan keberangkatan, tempat pemriksaan barang bawaan, ruang tunggu untuk penumpang yang akan berangkat, kantor perusahaan penerbangan, Kantor Bea dan Cukai serta pertokoan. Semakin berkembangnya industri transportasi udara, maka kebutuhan akan fasilitas terminal semakin tinggi untuk menampung lalu lintas penumpang. Pembangunan terminal di bandar udara dari tahun 2006 mengalami penurunan drastis ke tahun 2007 dan semakin menurun di tahun 2008 sebagai imbas dari adanya krisis di Eropa. Tahun 2009 pembangunan terminal meningkat dan terus naik di tahun 2010. Total luas terminal yang dibangun di tahun 2010 adalah seluas 12 ribu m2 (Gambar 10).
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 10. Realisasi Pembangunan Fasilitas Terminal Tahun 2006 – 2010 Sejalan dengan pembangunan terminal maka fasilitas bangunan diperlukan untuk mendukung agar bandar udara semakin nyaman dan tidak hanya berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang saja. Realisasi pembanguan dan rehabilitasi fasilitas bangunan secara umum memiliki tren meningkat. Di tahun 2010 pembangunan fasilitas bangunan mencapai 199 ribu
93
m2dan rehabilitasi seluas 76 ribu m2 (Gambar 11). Pembangunan fasilitas ini mutlak dilaksanakan mengingat pengguna bandar udara semakin meningkat setiap tahunnya.
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Gambar 11. Realisasi Pembangunan Fasilitas Bangunan Tahun 2006 – 2010 Dalam industri jasa transportasi udara, prasarana komunikasi, navigasi dan pengamatan mutlak diperlukan. Peralatan komunikasi digunakan untuk menghubungkan antar stasiun (point to point) maupun antara pilot (pesawat udara) dengan unit Air Traffic Service (ATS). Sedangakan fasilitas navigasi dan pengamatan merupakan prasarana penunjang operasi bandara untuk mendeteksi dan menetahui posisi pesawat serta mmberikan informasi arah dan jarak pesawat. Secara umum, saat ini infrastruktur pelayanan Air Traffic Management (ATM) di Indonesia sudah kuno (obsolete), baik dalam hal teknologi maupun kebutuhan operasional. Teknologi radar pengawasan sekunder (SSR, secondary surveillance radar) mulai digunakan namun perlu dilengkapi dengan konsep operasi yang komprehensif mengenai bagaimana kemampuan pengawasan tersebut dapat dalam digunakan dalam penyediaan layanan ATM. Teknologi Automatic Dependent Surveillance/Broadcast (ADS/B) telah diuji coba tetapi belum diimplementasikan (Martodihardjo, 2011). Oleh karena itu pemerintah telah merencanakan prasarana dengan teknologi yang lebih baik di masa mendatang
(Tabel
18).
Telekomunikasi
penerbangan
masa
depan
menggabungkan semua jaringan melalui ATN (Aeronautical Telecommunication Network). Navigasi penerbangan masa depan adalah navigasi satelit dengan tingkat akurasi yang tepat dalam menentukan posisi dan memiliki jaringan luas.
94
Tabel 18. Prasarana CNS Konvensional dan CNS/ATM Mendatang CNS / ATM
Saat ini
Mendatang
Komunikasi
HF, VHF, AFTN
HF/VHF SATCOM
Navigasi
NDB, DVOR/DME, ILS, ALS
GNS S
PSR, SSR, MSSR
ADS (Automatic Dependent Surveilance) & MSSR Mode S
Pengamatan Manajemen Lalu Lintas Penerbangan
-
(Data&Voice),
Air Traffic Management
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2010 Industri Transportasi Udara Pasar jasa transportasi udara semakin meningkat di dunia termasuk di Indonesia. Peningkatan permintaan yang tinggi juga diimbangi dari sisi penawarannya. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2013 terdapat 12 perusahaan atau maskapai penerbangan nasional yang melayani jasa penerbangan untuk penumpang maupung barang ke berbagai rute penerbangan baik domestik maupun internasional (Tabel 19). Tabel 19. Daftar Perusahaan Maskapai Niaga Berjadwal dan Niaga Berjadwal Kargo No Maskapai Niaga Berjadwal dan Niaga Kargo Berjadwal 1 PT. Garuda Indonesia 2 PT. Merpati Nusantara Airlines 3 PT. Mandala Airlines 4 PT. Metro Batavia 5 PT. Indonesia Airasia 6 PT. Lion Mentari Airlines 7 PT. Wings Abadi Airlines 8 PT. Sriwijaya Air 9 PT. Kal Star Aviation 10 PT. Travel Express Aviation 11 PT. Transnusa Aviation Mandiri 12 PT. Cardig Air (Kargo) Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2013
95
Lalu Lintas Penumpang dan Barang melalui Moda Transportasi Udara Hingga saat ini, transportasi udara telah mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut dapat dilihat salah satunya dari meningkatnya lalu lintas penerbangan Luar Negeri Indonesia (Tabel 20). Lalu lintas pesawat baik yang berangkat maupun yang datang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Tahun 2003 jumlah lalu lintas pesawat sebanyak 41 ribu dan di tahun 2011 telah mencapai hampir 80 ribu unit. Kenaikan lalu lintas pesawat tersebut diiringi dengan kenaikan penumpang, barang, bagasi dan pos serta paket yang diangkut. Jumlah penumpang yang berangkat memiliki angka yang hampir sama yaitu sekitar 4,2 juta di tahun 2003. Angka tersebut kemudian meningkat lebih dari dua kali lipatnya di tahun 2011 mencapai hampir 11 juta. Kenaikan bagasi yang dimuat juga terlihat signifikan, hal ini sejalan dengan kenaikan jumlah penumpang baik yang tiba maupun yang berangkat dengan masing-masing bagasi yang dibawa. Transportasi udara untuk kargo baik barang maupun pos dan paket juga mengalami kenaikan, akan tetapi tidak sebesar persentase kenaikan jumlah penumpang. Hal ini karena pengangkutan barang melalui pesawat untuk tujuan luar negeri masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan kapal laut. Secara keseluruhan kenaikan volume barang yang diangkut sejak tahun 2003 sebanyak 130 ton (barang yang dimuat) dan 100 ton (barang yang dibongkar) masingmasing menjadi 178 dan 162 ton di tahun 2011. Begitu pula dengan volume pos dan paket (muat) meningkat dari 475 ton di tahun 2003 menjadi 501 ton di tahun 2011, sedangkan paket (bongkar) meningkat dari 1061 ton menjadi 1197 ton di tahun 2011.
96
Tabel 20. Lalu Lintas Penerbangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2003 - 2011 Deskripsi 1. Pesawat Berangkat Datang 2. Penumpang Berangkat Datang Transit 3. Barang Muat Bongkar 4. Bagasi Muat Bongkar 5. Pos/Paket Muat Bongkar
Unit
2003
2004
2005
2006
Unit Unit
41.149 41.176
54.481 54.233
56.322 56.203
56.453 55.610
Orang Orang Orang
4.281.049 4.214.278 192.482
5.359.675 5.380.779 212.387
5.744.631 5.812.458 301.269
5.672.214 5.748.730 277.033
Ton Ton
130.323 100.026
132.447 100.094
135.156 94.876
141.676 107.567
Ton Ton
56.529 71.719
69.105 83.363
74.282 92.718
Ton Ton
475 1.061
463 1.116
588 1.171
2007 49.406 47.971
2008
2009
2010
56.255 55.786
62.266 61.680
70.201 70.011
7.298.373 7.303.343 137.241
8.016.229 8.068.039 229.027
9.465.611 9.559.458 219.789
174.418 148.450
169.181 150.814
157.904 133.043
178.895 165.554
71.226 96.708
83.792 105.785
90.730 116.091
96.713 122.337
113.968 139.954
789 1.696
812 1.939
1.297 1.947
1.259 1.974
1.070 2.360
6.581.348 6.552.583 236.943
Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I dan II, Kementerian Perhubungan, dan BPS, 2013
98
Peningkatan jumlah penumpang tersebut tenyata tidak hanya untuk tujuan luar negeri saja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013) terlihat bahwa selama sepuluh tahun terakhir telah terjadi kenaikan penumpang untuk keberangkatan domestik sekitar tujuh kali lipat dari 8.6 juta di tahun 2000, menjadi 59 juta di tahun 2011 (Tabel 21). Tabel 21. Jumlah Keberangkatan Penumpang dan Barang di Indoensia, Tahun 1999-2010 Keberangkatan Dalam Negeri Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Penumpang (000)
7,046 8,654 10,394 13,535 19,286 27,853 29,817 32,687 34,865 36,144 41,691 48,872 59,276
K eberangkatan Luar Negeri
Barang
Penumpang
Barang
(Ton)
(000)
(Ton)
161,033 161,201 164,135 172,336 194,878 275,397 260,354 265,940 297,683 300,170 288,651 375,760 463,507
3,924 4,728 4,675 4,791 4,281 5,360 5,745 5,672 6,581 7,298 8,016 9,466 10,745
165,600 146,340 147,008 156,032 130,323 132,447 135,156 141,676 174,418 169,181 157,904 178,895 178,797
Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I dan II, Kementerian Perhubungan, dan BPS, 2013
Peningkatan jumlah penumpang yang cukup tinggi ini salah satunya disebabkan meningkatnya jumlah penerbangan yang menerapkan Low Cost Carrier (LCC) sehingga semua lapisan masyarakat dapat menggunakan angkutan udara sebagai sarana kegiatan ekonomi. Boomingnya angka kenaikan permintaan terhadap fasilitas angkutan udara di domestik, tidak hanya untuk penumpang saja akan tetapi juga untuk kategori angkutan udara kargo. Volume barang yang diantar menggunakan pesawat mengalami kenaikan 2 kali lipatnya. Di tahun 1999 barang yang diantar menggunakan jasa kargo sebesar 161 ribu ton dan meningkat lebih dari 2 kali lipatnya di tahun 2011 menjadi 463 ribu ton. Kenaikan volume angkutan udara, terutama untuk untuk jenis kargo didorong oleh kemajuan ecommerce, perkembangan global supply chain, dan upaya untuk menurunkan
99
biaya inventori yang mahal serta memperpendek order cycle time (Dirjen Perhubungan Udara 2010). Perkembangan pengangkutan kargo tidak sepesat pengangkutan penumpang karena memang pada mulanya pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak menghalangi para perekayasa pesawat udara untuk tetap mengembangkan pesawat-pesawat yang mampu mengangkut kargo sesuai dengan kecenderungan yang terjadi yaitu dengan penggunaan kontainer-kontainer standar (Suriaatmadja 2005).
5.2.
Kelembagaan Lingkungan
kelembagaan
ditentukan
oleh
hukum
dan
kerangka
administratif dimana individu, perusahaan, dan pemerintah berinteraksi untuk menghasilkan kesejahteraan. Kualitas institusi memiliki pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan dan daya saing perekonomian suatu negara. Meskipun literatur ekonomi lebih banyak difokuskan terutama pada kelembagaan publik, namun kelembagaan swasta juga merupakan elemen penting dalam proses menciptakan kesejahteraan (World Bank 2012). Berdasarkan World Bank dalam Global Competitiveness Report (20082012) dan Transparency International (2008-2012), sama halnya dengan kualitas infrastruktur, kualitas kelembagaan Indonesia cenderung berfluktuatif dengan kecenderungan yang menurun. Dari beberapa indikator kelembagaan, terlihat bahwa indikator terkait keamanan dan persepsi korupsi berada pada peringkat paling rendah untuk tahun 2011 dan tahun 2012, yaitu berada pada peringkat lebih dari 100. Sementara indikator yang relatif lebih baik adalah indikator terkait dengan hambatan/efisiensi ijin dan peraturan pemerintah yang berada pada peringkat 44 (tahun 2011) dan 48 (tahun 2012).
100
Tabel 22. Perkembangan Kualitas Kelembagaan Indonesia, Tahun 2008-2012 Kelembagaan 2008 68
Indonesia 2009 58
2010 82
2011 76
Kualitas Kelembagaan Keseluruhan Hambatan/efisiensi peraturan (Burden of 45 23 36 44 Government Regulation) Biaya Kejahatan dan 47 62 75 95 Kekerasan (Business Cost of Crime and Violence) Kejahatan Terorganisir 61 81 96 109 (Organized Crime) Korupsi* 126 111 110 100 Sumber : Global Competitiveness Report, World Bank (2008-2012) * : Tranparency International (2008-2012)
2012 72
48
121
116 118
5.2.1. Tatalaksana Kegiatan Perdagangan Internasional Instansi pemerintah yang terkait dalam kegiatan perdagangan internasional adalah Bea Cukai, Karantina, Imigrasi dan Kesehatan. Jenis pelayanan Bea Cukai diantaranya penanganan manifest, pemeriksanaan sarana pengangkut, pemantauan kegiatan pembongkaran, pemuatan, dan penimbunan barang, pengeluaran barang yang telah mendapat persetujuan pengeluaran, penanganan barang penumpang, awak sarana pengangkut dan barang impor yang mendapat fasilitas pelayanan segera. Pelaksanaan pelayanan ini ditetapkan dalam Standar Pelayanan Publik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/20/M.PAN/04/2006. Dalam perdagangan lintas batas baik ekspor maupun impor, Laporan Doing Business (2009-2011) menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi perubahan secara admintrasi, namun dibandingkan negara lain terutama Singapura dan Malaysia masih relatif jauh, dan hal ini juga yang masih dikeluhkan para pengusaha Indonesia (eksportir/importir) diantaranya banyaknya (lebih dari lima), pengurusan yang berbelit, dan waktu pengurusan yang masih relatif lama (lebih dari 20 hari).
101
Tabel 23. Perdagangan Lintas Batas Indonesia, Tahun 2009-2011 Keterangan
2009
2010
2011
Dokumen Ekspor
8
5
5
Waktu Ekspor
26
21
20
Dokumen Impor
10
6
6
Waktu Impor
42
27
27
Sumber : Doing Business (2009-2011)
Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Ekspor Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 488/KMK.05/1996 Tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Ekspor barang yang akan diekspor wajib diberitahukan ke kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang dapat dibuat dengan mengisi formulir atau dikirim melalui media elektronik. Eksportir wajib mengisi PEB dengan lengkap dan benar. Barang ekspor wajib diberitahukan dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu (PEBT). Pemasukan barang ekspor ke Kawasan Pabean atau ke tempat Penimbunan Sementara dilakukan dengan menggunakan PEB, PEBT, atau dokumen pelengkap pabean dalam hal pelaksanaan ekspor dilakukan dengan PEB Berkala. Pengangkutan barang ekspor dilakukan dengan menggunakan peti kemas Less Container Load (LCL). Seluruh PEB dan/atau PEBT dari barang ekspor dalam peti kemas yang bersangkutan harus diajukan secara bersamaan dan diberitahukan oleh konsolidator dalam dokumen konsolidasi ekspor. Kelengkapan dokumen pabean berupa : (1) LPS-E dalam hal barang ekspor wajib diperiksa oleh Surveyor, (2) Copy Surat Tanda Bukti Setor (STBS) atau copy Surat Sanggup Bayar (SSB) dalam hal barang ekspor dikenakan pungutan ekspor, (3) Copy invoice dan copy packing list, (4) Copy dokumen pelengkap pabean lainnya yang diwajibkan sebagai pemenuhan ketentuan kepabeanan di bidang ekspor. Pengangkut yang sarana pengangkutnya meninggalkan Kawasan Pabean dengan tujuan ke luar Daerah Pabean, wajib memberitahukan barang yang diangkutnya dengan menggunakan pemberitahuan berupa manifes (outward
102
manifest) barang ekspor yang diangkutnya kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keberangkatan Sarana Pengangkut. Manifes sekurang-kurangnya mencantumkan : (1) nama sarana pengangkut, (2) nomor pengangkutan/Voyage No, (3) pelabuhan asal, (4) pelabuhan tujuan, (5) nomor B/L, (6) nama pengirim/shipper, (7) nama penerima/consignee/notify address, (8) nomor dan merek kemasan/container, (9) jumlah dan jenis kemasan, (10) uraian barang, (11) berat bruto atau ukuran/volume, (12) tanda tangan pengangkut. Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor Ketatalaksanaan kepabeanan di Bidang Impor meliputi : (1) kedatangan barang impor, (2) pembongkaran barang impor, dan (3) pengeluaran barang impor. Kedatangan Barang Impor Sebelum kedatangan wajib menyerahkan pemberitahuan berupa Rencana Kedatangan Srana Pengangkut (RKSP) kepada pejabat di setiap kantor pabean yang didatangi, kecuali yang dating dari luar daerah pebean melalui darat. RKSP ini sekurang-kurangnya mencantumkan : nama sarana pengangkut, nomor pengangkutan, nama pengangkut, pelabuhan asal, pelabuhan terakhir yang disinggahi di luar daerah pabean, pelabuhan tujuan berikutnya di dalam daerah pabean. Saat kedatangan, pengangkut juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan inward manifest dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kepada pejabat di Kantor Pabean yang dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah. Penyerahan Inward Manifest dilakukan mengenai system PDE, untuk Kantor Pabean yang menarapkan system PDE Kepabeanan; melalui Media Penyimpan Data Elektronik, untuk Kantor Pabean yang menerapkan system pertukaran data dengan Media penyimpan Data Elektronik; atau bisa juga dilakukan secara manual. Pembongkaran Barang Kegiatan ini dilaksanakan di Kawasan Pabean atau di tempat lain setelah mendapat ijin dari Kepala Kantor Kepabeanan yang mengawasi tempat tersebut, yang diikuti dengan kewajiban bagi pengangkut menyampaikan daftar kemasan
103
atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah dibongkar secara manual atau melalui media elektronik. Barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dilakukan penimbunan yang dapat dilaksanakan di tempat penimbunan sementara atau gudang atau lapangan penimbunan milik importir setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean. Pengeluaran Barang Impor Pengeluaran
barang
baru
dapat
terlaksana
setelah
dilakukan
pemeriksanaan pabean dan diberikan persetujuan pengeluaran barang oleh pejabat. Bentuk pemeriksanaan yang dilakukan adalah sebagai berikut : (1) untuk jalur merah dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksanaan fisik barang, (2) untuk jalur hijau dilakukan penelitian dokumen, (3) untuk jalur prioritas tidak dilakukan pemeriksanaan pabean. Pengeluaran barang impor dilakukan dengan tujuan : (1) diimpor untuk dipakai, diimpor sementara, ditimbun di tempat penimbunan berikat, diangkut terus atau diangkat lanjut atau diekspor kembali.
5.2.2. Keamanan Perdagangan Masalah
keamanan
perdagangan Indonesia.
perdagangan
masih
menjadi
kendala
dalam
Pengiriman kargo dari Indonesia umumnya menarik
premi asuransi 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidak hanya oleh perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok kejahatan terorganisir, pencurian umum dan pencurian kecil (pilferage) sekaligus pemogokan dan penghentian kerja (Ray, 2008).
5.2.3. Indikasi Korupsi Menurut Tansparency International, World Bank, dan International Monetary Fund, korupsi di sektor publik umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. United States Agency for International Development (USAID) (1999) menjelaskan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan unilateral oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, serta pelanggaran yang menghubungkan aktor publik dan privat seperti penyuapan, pemerasan, pengaruh penjajakan, dan penipuan.
104
Chetwynd et al (2003) menyebutkan bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi diantaranya melalui penurunan
kualitas infrastruktur
publik: sumberdaya publik dialihkan ke penggunaan pribadi, standar dihapuskan; dana untuk operasi dan pemeliharaan dialihkan untuk aktivitas pencarian keuntungan.
Hasil
penelitian
LPEM
Universitas
Indonesia
(2005)
mengindikasikan adanya penggunaan pungutan liar untuk mengurangi waktu antri yang disebabkan kurangnya sarana infrastruktur utama seperti Derek jembatan dan ruang penyimpanan.
105
BAB VI. KONDISI PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA
6.1.
Moda Transportasi Laut Moda transportasi laut merupakan moda transportasi yang dominan
digunakan dalam perdagangan Internasional Indonesia, yaitu sekitar 95 persen. Semua kargo, baik yang ukuran besar maupun yang ukuran kecil, mulai dari jenis tepung, curah, bijian, sampai dalam bentuk unit dapat diangkut melalui laut. Lalu lintas kargo dapat dikelompokkan atas aliran kargo konvensional dan aliran kargo kontainer.
Aliran kargo konvensional biasa digunakan untuk barang yang
diangkut tidak menggunakan kontainer, sedangkan barang yang menggunakan kontainer akan mengikuti aliran kargo kontainer. Gambar 12 merupakan skema aliran kargo di Indonesia baik untuk aliran kargo konvensional maupun aliran kargo kontainer. Menurut Bappenas (2012), perkembangan bongkar muat barang di dalam dan luar negeri masih bertumpu di Pulau Jawa. Riau dan Kalimantan Timur/Selatan menjadi wilayah di Luar Jawa dengan volume bongkar muat terbesar baik untuk angkutan dalam maupun luar negeri. Sementara pergerakan angkutan barang dapat dibagi menjadi tiga jenis komoditi yaitu, General Cargo, Container dan Dry Bulk Cargo.
Pergerakan
utama masih didominasi oleh pergerakan General Cargo. Surabaya merupakan tujuan distribusi barang dari luar negeri yang utama. Pergerakan barang yang berasal dari wilayah Pasifik dan Jepang menjadi negara asal tujuan utama. Dari titik inilah kemudian pergerakan dilanjutkan menuju Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau-pulau lainnya. Pergerakan kontainer tidak terdistribusi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Pengemasan dengan menggunakan kontainer diperlukan bagi barang-barang yang rentan kerusakan seperti halnya tekstil.
106
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2007 Gambar 12. Aliran Kargo Nasional Berdasarkan tujuan dan asal barang dari dan ke Indonesia, mayoritas pergerakan kontainer adalah intra Benua Asia sebesar 60.93 persen, Benua Amerika 12.49 persen, Eropa 11.45 persen, Australia 11.07 persen, dan Benua Afrika 3.61 persen. Untuk intra Asia, perdagangan didominasi oleh carrier
107
masing-masing negara tujuan. Untuk pergerakan peti kemas antar pulau (dalam negeri), terdapat 1.7 juta TEUs/tahun (tahun 2007). Pergerakan dalam negeri ini terdiri dari pergerakan kontainer antar pulau untuk tujuan dalam negeri serta untuk tujuan transhipment untuk dimuat ke kapal lebih besar dan tujuan ekspor/impor (Kementerian Perhubungan 2007).
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2007 Gambar 13. Pola Pergerakan Kontainer Ekspor-Impor Indonesia Tahun 2007 Berdasarkan volumenya, ekspor Indonesia melalui moda transportasi laut selama tahun 2000-2011 memiliki kecenderungan yang terus meningkat. Pada tahun 2000 volume ekspor Indonesia mencapai 223,59 juta kilogram dan terus meningkat sampai pada tahun 2011 mencapai 561,94 juta kilogram atau naik sekitar 60 persen. Namun tidak demikian halnya dengan nilai ekspornya yang cenderung berfluktuatif. Nilai ekspor mengalami penurunan di beberapa tahun yaitu tahun 2001 dan 2009. Pada tahun 2001 nilai ekspor menurun dari US$ 58,634.03 juta menjadi US$ 53,200.74 juta (-10.21%), demikian pula tahun 2009 karena pengaruh krisis global nilai ekspor juga menurun dari US$ 131,501.09 juta menjadi US$ 111,368.63 juta (-18.08%). Namun, sejak tahun 2010 hingga tahun 2011, nilai ekspor kembali mengalami peningkatan, seiring dengan semakin membaiknya perekonomian global. Untuk lebih jelasnya, perkembangan volume
108
dan nilai ekspor Indonesia berdasarkan moda transportasi laut dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 Ekspor Tahun Berat ( Juta Kg) Nilai (Juta US $) 2000 223.59 58,634.03 2001 267.99 53,200.74 2002 220.89 54,064.44 2003 216.07 57,804.54 2004 228.71 67,775.35 2005 254.08 81,766.18 2006 320.09 95,927.99 2007 335.53 108,928.55 2008 345.64 131,501.09 2009 375.37 111,368.63 2010 473.25 151,266.86 2011 561.94 195,005.01 Sumber : BPS, 2000-2011
6.1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Apabila dilihat berdasarkan kelompok negara, tujuan ekspor Indonesia
terutama ekspor non migas ditujukan untuk negara-negara Asia terutama Cina, Jepang, dan India.
Sementara dari kelompok negara-negara ASIA sendiri,
ASEAN merupakan tujuan ekspor yang cukup besar, terutama Malaysia dan Thailand.
Singapura,
109
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 14. Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 Demikian halnya dengan nilai ekspor Indonesia berdasarkan kelompok negara tujuan melalui moda transportasi laut juga cenderung meningkat, namun pada tahun 2009 nilai ekspor mengalami penurunan karena adanya krisis global. Sama halnya dengan volume, jika dilihat berdasarkan nilai ekspor, negara-negara Asia merupakan kelompok negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar. Keterangan lebih mengenai nilai Indonesia berdasarkan kelompok negara tujuan dapat dilihat pada Gambar 15.
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 15. Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011
110
Ekspor Berdasarkan Kelompok Komoditi Pada tahun 2010-2011, kelompok komoditi yang paling banyak diekspor adalah bahan bakar mineral, pelumas dan bahan terkait, dengan nilai ekspor mencapai 31.27 persen dari total nilai yang diekspor (2010) yang kemudian meningkat menjadi 35.17 persen pada tahun 2011. Menempati posisi kedua dan ketiga adalah barang-barang manufaktur dan barang-barang mentah, masingmasing sebesar 12.94 persen dan 12.32 persen dari total nilai yang diekspor. Sementara komoditi yang paling sedikit diekspor adalah minuman dan tembakau (0.4%). Untuk lebih jelasnya volume dan nilai ekspor Indonesia berdasarkan kelompok komoditi Tahun 2010-2011 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Per Komoditi Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2010-2011 No 1 2 3
4
5 6 7
8 9 10
Jenis Komoditi
2010
2011
Berat (Ribu Kg) Nilai (Ribu US $) Berat (Ribu Kg) Nilai (Ribu US $) Makanan dan hewan hidup 7,420,401.19 7,728,651.82 8,391,563.73 9,577,146.71 Minuman dan tembakau 198,672.79 705,487.39 242,603.69 792,883.41 Bahan mentah, dapat dimakan, kecuali 63,260,106.39 17,772,775.69 95,900,672.26 23,958,184.56 bahan bakar Bahan bakar mineral, pelumas dan bahan 350,729,905.39 45,779,247.94 411,872,321.75 68,349,305.55 terkait Minyak hewani dan nabati dan lemak 18,242,899.16 15,585,571.41 18,815,304.70 20,700,442.75 Bahan kimia Barang-barang manufakturterutamad iklasifikasikanoleh bahan Mesin dan peralatan transportasi Berbagai macam barang buatan pabrik Commod. & transacts. Not class. Accord. To kind (Komoditi lain) Total
Sumber : BPS, 2010-2011
8,493,658.64
14,852,124.68
1,858,211.44 1,831,628.19
0.72 466,887,608.59
8,145,020.19
21,147,052.23
16,701,407.40 12,790,067.84
21,864.01 146,377,145.91
10,773,038.31
12,485,432.62
14,110,288.43
25,156,218.71
1,859,621.68
18,479,681.68
1,747,760.81
14,835,301.56
2.92
1,543.27
563,713,178.30
194,336,140.823
111
6.1.2. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Indonesia Nilai impor Indonesia melalui moda transportasi laut pada tahun 2011 mencapai US$ 164,727.25 juta naik US$ 40,205.37 juta (24%) dibanding tahun 2010. Demikian halnya dengan volume impor juga mengalami peningkatan dari 110, 414.18 juta kilogram menjadi 127,793.07 juta kilogram (13.69%). Pada tahun 2001 volume dan nilai impor Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Volume impor menurun dari 66,485.78 juta kilogram menjadi 64,859.09 juta kilogram (-2.51%). Sementara nilai impor mengalami penurunan dari US$ 31,645 juta menjadi US$ 29,421.52 juta(-7.55%). Namun, setelah tahun 2001 volume dan nilai impor mengalami peningkatan hingga tahun 2008, sampai akhirnya pada tahun 2009 volume dan nilai impor mengalami penurunan kembali karena adanya pengaruh krisis global. Akan tetapi pada mulai tahun 2010-2011 volume dan nilai impor kembali meningkat. Tabel 26. Volume dan Nilai Impor Indonesia dari Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011 Impor
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Berat ( Juta Kg) 66,485.78 64,859.09 72,088.89 69,141.21 80,838.29 83,545.69 83,720.20 89,833.07 98,459.42 91,169.98 110,414.18 127,935.07
Nilai (US $) 31,645.57 29,421.52 29,572.97 30,672.02 43,502.77 55,019.36 58,093.19 70,180.86 119,445.22 88,840.38 124,521.88 164,727.25
Sumber : BPS, 2000-2011 Impor Menurut Negara Asal Impor Apabila dilihat perkembangan impor baik volume maupun nilai menurut kelompok negara asal impor, sama halnya seperti ekspor, negara asal impor Indonesia didominasi negara-negara Asia terutama China dan Jepang dan negaranegara ASEAN terutama Singapura, Malaysia dan Thailand. Perkembangan
112
volume dan nilai impor Indonesia melalui transportasi laut tahun 2000-2011 dari negara Asia, ASEAN, Eropa, dan Amerika dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 16. Volume Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 17. Nilai Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2000-2011
113
Impor Berdasarkan Kelompok Komoditi Impor produk yang paling banyak diimpor pada tahun 2010-2011 yaitu bahan bakar mineral, pelumas dan bahan terkait. Sedangkan apabila dilihat dari nilai impornya, maka yang terbesar yaitu mesin dan peralatan transportasi. Hal ini dikarenakan karena mesin dan peralatan transportasi yang bernilai tinggi. Dilihat secara keseluruhan, berat impor dan nilai impor untuk semua produk mengalami kecenderungan yang meningkat. Data mengenai impor Indonesia secara detail dapat dilihat pada Tabel 27. Pada tahun 2010 nilai impor tertinggi yaitu mesin dan peralatan transportasi mencapai 42.35 persen. Tabel 27. Volume dan Nilai Impor Indonesia Per Komoditi Melalui Moda Transportasi Laut, Tahun 2010-2011 No
2010
Jenis komoditi
Berat (Juta Kg) 1 2 3
4
5
6 7
8 9
10
Makanan dan hewan hidup Minuman dan tembakau Bahan mentah, dapat dimakan, kecuali bahan bakar Bahan bakar mineral, pelumas dan bahan terkait Minyak hewani dan nabati dan lemak Bahan kimia Barang-barang manufakturterutama diklasifikasikanoleh bahan Mesin dan peralatan transportasi Berbagai macam barang buatan pabrik Commod. & transacts. Not class. Accord. To kind (Komoditi lain) Total
Sumber : BPS, 2010-2011
2011
Nilai (Juta US $)
Berat (Juta Kg)
Nilai (Juta US $)
16,653.39
9,640.73
22,549.69
14,287.01
160.18
533.71
185.26
655.18
18,247.23
7,261.92
20,127.83
9,960.74
40,692.50
27,501.13
43,922.89
40,818.39
122.53
157.18
103.42
183.90
14,824.02
15,801.123
18,240.14
21,190.54
14,205.84
19,599.51
16,178.77
24,802.18
4,979.89
40,310.54
5,937.65
48,566.08
675.83
3,760.23
824.79
4,295.75
5.56
39.57
0.16
0.93
110,566.99
124,605.65
128,070.61
164,760.69
114
6.2.
Moda Transportasi Udara Moda transportasi udara merupakan salah satu moda transportasi yang
akhir-akhir
ini
semakin
berkembang
terutama
dalam
pengangkutan
barang/komoditi yang yang sensitif terhadap waktu, cepat rusak, dan bernilai tinggi. 6.2.1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan data ekspor dari tahun 2000-2011, terlihat bahwa volume ekspor melalui moda transportasi udara mengalami peningkatan selama tahun 2000 hingga 2008. Namun, pada tahun 2009, volume ekspor mengalami penurunan hingga sepertiga volume ekspor tahun 2008. Hal ini terkait dengan terjadinya krisis global. Namun pada tahun berikutnya, volume ekspor Indonesia melalui moda transportasi udara pun mulai mengalami peningkatan kembali. Bahkan pada tahun 2011 volume ekspor melalui moda ini meningkat cukup tinggi hingga empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Tabel 28. Ekspor Indonesia Melalui Moda Transportasi Udara Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ekspor Berat (Juta Kg) 1,086.39 1,535.01 1,890.19 3,071.05 3,400.03 4,507.43 7,074.85 7,245.23 9,353.36 3,634.43 5,582.39 20,281.46
Nilai (Juta US $) 3,397.19 2,854.46 2,970.94 3,166.39 3,727.42 3,810.27 4,870.62 5,172.34 5,516.54 5,140.12 6,500.64 8,489.44
Sumber : BPS, 2000-2011
Ekspor Berdasarkan Negara Tujuan Gambar 18 menunjukkan volume ekspor Indonesia terhadap negaranegara Asia, ASEAN, Eropa dan Amerika melalui moda transportasi udara pada tahun 2000-2011. Volume ekspor paling besar ditujukan untuk negara Asia yang menunjukkan kecenderungan terus meningkat hingga tahun 2008. Namun, pada tahun 2009 volume ekspor Indonesia terhadap negara-negara Asia menurun
115
hampir setengahnya, namun pada tahun berikutnya kembali meningkat hingga tahun 2011. Sedangkan untuk volume ekspor Indonesia untuk negara-negara Eropa dan Amerika sangat kecil serta cenderung menurun selama tahun 20002011.
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 18. Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011 Perkembangan nilai ekspor Indonesia melalui transportasi udara dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai ekspor Indonesia paling besar tetap diperoleh dari negara-negara Asia. Hal ini tentu saja dikarenakan volume ekspor yang sangat besar apabila dibandingkan negara-negara Eropa maupun Amerika. Namun, hal menarik ditunjukkan pada nilai ekspor Indonesia terhadap negara Eropa dan Amerika yang cukup tinggi nilainya, walaupun volume yang di ekspor tidak terlalu tinggi. Hal ini dimungkinkan karena harga barang ekspor Indonesia kepada negara-negara Eropa dan Amerika relatif tinggi bila dibandingkan harga barang ekspor Indonesia kepada negara-negara Asia.
116
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 19. Nilai Ekspor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Tujuan Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011 Ekspor Berdasarkan Kelompok Komoditi Berdasarkan data ekspor per komoditi melalui moda transportasi udara pada tahun 2010-2011, terlihat volume ekspor melalui transportasi udara tertinggi yaitu produk bahanmentah, dapat dimakan, kecualibahan bakar, dan pada tahun 2011, produk tersebut volumenya meningkat hampir tiga kali lipat. Sedangkan nilai ekspor tertinggi yaitu mesin dan peralatan transportasi (35.90%). Secara keseluruhan, volume ekspor semua produk mengalami penurunan kecuali minuman dan tembakau, bahan mentah, dapat dimakan kecuali bahan bakar dan komoditi lain. Keterangan lebih detailnya mengenai ekspor Indonesia Tahun 2010-2011 berdasarkan kelompok komoditi dapat dilihat pada Tabel 29.
117
Tabel 29. Ekspor Jasa Indonesia Per Komoditi Berdasarkan Moda Transportasi Udara, Tahun 2010-2011 No
2010
Jenis Komoditi
Berat (Ribu Kg) 1 2 3
4
5
6
Makanan dan hewan hidup Minuman dan tembakau Bahanmentah, dapat dimakan, kecualibahan bakar Bahan bakar mineral, pelumasdan bahan terkait Minyak hewani dan nabati dan lemak Bahan kimia
374,287.30 615.71
5,663,163.81
4,451,498.58
423,467.90 744,921.86
7
8
9
10
Barang-barang manufakturteruta madiklasifikasika noleh bahan Mesin dan peralatan transportasi Berbagai macam barang buatan pabrik Commod. & transacts. Not class. Accord. To kind (Komoditi lain) Total
205,199.26
45,339.92
50,652.14
34.78
11,959,181.28
2011
Nilai (Ribu US $) 547,695.33 8,958.84
2,497,963.28
985,548.93
374,152.93 666,857.39
799,883.50
2,925,012.98
1,441,115.23
1,154,724.44
11,401,912.85
Berat (Ribu Kg) Nilai (Ribu US $) 203,904.42 955.24
17,148,944.40
956,358.26
8,270.57 9,374.24
85,514.40
44,597.86
48,633.88
47.71
18,506,600.98
537,461.18 14,689.34
316,963.87
562,946.45
3,985.68 271,368.66
329,412.02
3,288,969.36
1,611,989.59
2.222.693.09
9,160,479.23
Sumber : BPS, 2010-2011 6.2.2. Volume dan Nilai Impor Indonesia Sementara, untuk volume impor Indonesia melalui transportasi udara berfluktuasi dari tahun 2000-2011. Begitu pula, nilai impor melalui transportasi udara juga mengalami fluktuasi, walaupun nilai impornya cenderung meningkat. Bahkan pada tahun 2010-2011, nilai impor melalui transportasi udara meningkat hampir setangah dari nilai impor tahun 2009.
118
Tabel 30. Impor Indonesia Melalui Moda Transportasi Udara, 2000-2011 Impor
Tahun Berat (Juta Kg) 689.94 446.21 181.47 51.57 199.61 82.99 88.66 102.51 204.92 184.42 286.83 286.57
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Nilai (Juta US $) 1,788.14 1,410.99 1,532.92 1,636.38 2,949.41 2,656.56 2,972.27 4,291.28 9,752.09 7,988.87 11,141.41 12,708.30
Sumber : BPS, 2000-2011 Impor Berdasarkan Negara Asal Impor Volume impor Indonesia paling besar berasal dari negara-negara Asia dimana setengah volume impornya berasal dari negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, nilai impor Indonesia cukup tinggi, baik itu berasal dari negaranegara Asia dan Amerika. Namun, pada tahun berikutnya, volume impor Indonesia terus mengalami penurunan dan nilainya berfluktuasi. Sementara untuk negara-negara Eropa volume ekspornya relatif kecil jika dibandingkan kawasan Asia maupun Amerika. Pada tahun 2011, volume impor Indonesia tetap saja paling besar berasal dari negara Asia, namun untuk negara-negara Amerika volume impornya terus menurun dan bahkan lebih kecil dari negara-negara Eropa. Hal ini mungkin saja dipengaruhi adanya krisis global yang terjadi di Amerika, sehingga permintaan barang impor Indonesia dialihkan kepada negara-negara Asia
dan
Eropa
karena
harga
barang
impor
Amerika
mengalami
peningkatan.Secara rinci, pada Gambar 20, dijelaskan mengenai perkembangan volume impor Indonesia tahun 2000-2011.
119
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 20. Volume Impor Indonesia Menurut Kelompok Negara Asal Melalui Moda Transportasi Udara Tahun 2000-2011 Sedangkan untuk nilai impor melalui moda transportasi udara memiliki tren yang terus meningkat. Pada tahun 2000, nilai impor Indonesia yang berasal dari Asia, Eropa, dan Amerika menunjukkan nilai yang relatif sama. Namun, pada periode berikutnya hingga tahun 2007 impor Indonesia yang berasal dari negaranegara Eropa terus mengalami peningkatan bahkan melebihi impor dari negaranegara Asia. Kemudian, pada tahun 2008, nilai impor Indonesia dari negaranegara Asia meningkat tajam, melebihi nilai impor negara-negara Eropa yang pada tahun sebelumnya memiliki nilai impor terbesar terhadap Indonesia. Walaupun pada tahun 2009 nilai impor dari negara-negara Asia sempat mengalami penurunan, namun pada tahun 2010 hingga tahun 2011 nilai impornya terus mengalami peningkatan. Walaupun nilai impor Indonesia yang berasal dari Amerika menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada tahun 2000-2011, namun nilai impor negara-negara Amerika tetap saja relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Asia maupun Eropa.
120
Sumber : BPS, 2000-2011 Gambar 21. Nilai Impor Indonesia Berdasarkan Kelompok Negara Asal Melalui Moda Transportasi Udara, Tahun 2000-2011
Impor Berdasarkan Kelompok Komoditi Data
impor
Indonesia
berdasarkan
kelompok
komoditi
melalui
Transportasi Udara Tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa terdapat dua produk yang nilai impornya menurun dan 3 produk yang volume impornya menurun, sedangkan yang lainya mengalami peningkatan dari tahun 2010-2011. Akan tetapi, secara keseluruhan impor melalui transportasi udara baik dari segi volume maupun nilai terus mengalami peningkatan. Berat dan nilai impor tertinggi yaitu mesin
dan
peralatan
transportasi.
Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
ketergantungan Indonesia terhadap produk tersebut cukup tinggi dan permintaan akan produk tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada urutan kedua tertinggi dalam volume maupun nilai impor melalui transportasi udara Indonesia yaitu untuk produk barang-barang manufaktur, yang menunjukkan Indonesia masih sangat tergantung terhadap barang manufaktur dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Secara rinci, data impor Indonesia berdasarkan kelompok komoditi melalui Transportasi Udara Tahun 2010-2011 dapat dilihat pada Tabel 31.
121
Tabel 31. Impor Indonesia Berdasarkan Kelompok Transportasi Udara, Tahun 2010-2011 No 1 2 3
4
5 6 7
8 9 10
Jenis komoditi Makanan dan hewan hidup Minuman dan tembakau Bahanmentah, dapat dimakan, kecualibahan bakar Bahan bakar mineral, pelumasdan bahan terkait Minyak hewani dan nabati dan lemak Bahan kimia Barang-barang manufakturterutamadi klasifikasikanoleh bahan Mesin dan peralatan transportasi Berbagai macam barang buatan pabrik Commod. & transacts. Not class. Accord. To kind (Komoditi lain) Total
Sumber : BPS, 2010-2011
Komoditi
2010 Berat (Ribu Kg)
melalui
2011 Nilai (Ribu US $)
Berat (Ribu Kg)
Nilai (Ribu US $)
1,925.04
34,702.80
16,690.78
48,336.43
167.09
1,289.98
163.34
1,598.26
665.23
26,190.54
732.90
33,146.87
5,529.83
4,642.27
197.25
2,650.78
123.10
2,940.71
90.60
2,729.56
10,929.27
897,620.84
10,744.49
1,047,289.38
31,441.89
861,623.25
33,329.81
1,062,525.26
67,446.90
8,213,705.71
70,759.49
9,221,581.01
15,774,.32
969,734.12
18,301.90
1,185,691.82
8.09
44,959.37
9.85
69,316.97
134,010.76
11,057,638.59
151,020.44
12,674,866.33
122
Halaman ini sengaja dikosongkan
123
BAB VII. PENGARUH KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN TERHADAP PERDAGANGAN Secara umum pembahasan pada Bab VII ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian kedua dan ketiga. Sistematika penyajian pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian yaitu, pertama, kualitas inftastruktur transportasi dan kelembagaan serta pengaruhnya terhadap biaya dan volume ekspor Indonesia. Kedua, kualitas inftastruktur transportasi dan kelembagaan serta pengaruhnya terhadap biaya dan volume impor Indonesia. Limao dan Anthony (2001) menjelaskan bahwa biaya perdagangan internasional meliputi empat hal. Pertama, biaya perpindahan barang secara internasional (biaya pengiriman langsung). Kedua, biaya informasi (biaya mengidentifikasi mitra dagang potensial). Ketiga, biaya manajemen dan pengawasan, dan keempat, biaya waktu. Dalam penelitian ini pengukuran biaya perdagangan mengacu kepada penelitian Limao dan Anthony (2001) yaitu perbandingan nilai cost of insurance and freight (cif) dengan free on board (fob) yang juga seringkali disebut sebagai biaya transportasi. Pembahasan akan dititikberatkan pada berbagai indikator kualitas infrastruktur
transportasi
dan
indikator
kualitas
kelembagaan
terhadap
perdagangan baik ekspor maupun impor, berdasarkan moda transportasi baik total (tanpa membedakan moda transportasi) maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara. Periode waktu yang dianalisis adalah tahun 20062011. Kualitas infrastruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kualitas infrastruktur keseluruhan (INFRA) dari negara pengekspor maupun pengimpor yang meliputi infrastruktur transportasi, komunikasi dan energi, serta indikator kualitas infrastruktur transportasi yang kemudian dijabarkan menjadi kualitas pelabuhan,
kualitas
bandara,
kualitas
konektivitas
terhadap
pelayaran
internasional (LSCI), dan kualitas jalan yang dinyatakan dalam indeks. Sementara yang dimaksud kualitas kelembagaan adalah kualitas kelembagaan secara keseluruhan (INST) dan beberapa indikator kualitas kelembagaan yang berasal dari
Global
Competitiveness
Indeks
dan
econonomic
freedom,
yaitu
124
efisiensi/kualitas regulasi yang ditetapkan pemerintah (burden of government regulatory), kejahatan yang terorganisir (organized crime), dan kualitas kelembagan publik dari indikasi korupsi (freedom of corruption). Sama halnya dengan indikator kualitas infrastruktur, kualitas kelembagaan yang dimasukkan ke dalam model adalah indikator kualitas kelembagaan dari negara pengekspor maupun pengimpornya. 7.1.
Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia Berdasarkan struktur nilai ekspor Indonesia terlihat bahwa selama periode
Januari-Desember 2012, kontribusi ekspor produk industri adalah paling besar yaitu mencapai 61.11 persen, disusul dengan produk migas, pertambangan dan produk pertanian, masing-masing sebesar sebesar 19.45 persen, 16.50 persen, dan 2.94 persen6. Sub bab ini akan difokuskan kepada pengaruh kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan baik secara keseluruhan maupun masing-masing indikator terhadap biaya dan volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor, baik secara total (tanpa membedakan moda transportasi) maupun berdasarkan moda transportasi laut maupun udara. Estimasi model dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan Uji Chow untuk memilih metode pendekatan terbaik antara Pooled Least Square (PLS) dan fixed effect. Hasil Uji Chow menunjukkan bahwa metode terbaik yang digunakan adalah metode fixed effect. Sementara untuk memilih model terbaik antara model fixed effect maupun model random effect dilakukan Uji Hausman. Dari hasil Uji Hausman model terbaik yang digunakan adalah model fixed effect. Hasil estimasi data panel dampak kualitas infrastruktur dan kelembagaan terhadap biaya dan volume ekspor dengan model fixed effect disajikan pada Tabel 32 sampai Tabel 33. 7.1.1. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia Hasil estimasi pengaruh kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan terhadap biaya dan volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan
6
Berita Resmi Statistik, BPS, No. 09/02/Th.XVI, 1 Februari 2013.
125
dapat dilihat pada Tabel 32 dan Tabel 33. Berdasarkan Tabel 32 terlihat bahwa hasil estimasi ketiga model memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.7645 (model 3), 0.9092 (model 1) dan 0.9111 (model 2). Artinya, sekitar 76.45 persen, 90.92 persen sampai 91.11 persen keragaman biaya ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor, baik total maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 8.89 persen sampai 23.55 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Tabel 32. Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan (Keseluruhan) Terhadap Biaya Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 0.8635*** 0.7009*** 3.4409*** Ln_H -0.0298 -0.0355** -0.1721*** Ln_BBKR 0.0908*** 0.1523*** 1.2392*** INFRAi -0.0427*** -0.0660*** -0.0314* INFRAj -0.0767*** -0.0674 -0.1280*** INSTi -0.0767*** -0.0484*** -0.4179*** INSTj 0.0800*** 0.0792** -0.1117 Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum
0.9092 0.3262 57.8344 0.0000 37.7910 1.6970
0.9111 0.3200 58.3656 0.0000 36.2559 1.7584
0.7645 0.4188 19.1714 0.0000 62.1024 1.7968
1.2366 (Kamboja) 1.2709 (Kamboja) -0.6063 (Brazil) -0.6358 (Australia)
1.45155 (Thailand) -0.6872 (Mauritius)
Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Dari ketiga model yang digunakan pada Tabel 32 terlihat bahwa pengaruh kualitas infrastruktur keseluruhan (INFRAi) Indonesia sebagai negara pengekspor yang meliputi infrastruktur transportasi, komunikasi dan energi berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor Indonesia, masing-masing sebesar -
126
0.0427 (model 1), -0.0660 (model 2), dan -0.314 (model 3). Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur keseluruhan Indonesia sebagai negara pengekspor akan menurunkan biaya ekspornya. Demikian halnya dengan dampak kualitas kelembagaan keseluruhan (INST) terhadap biaya ekspor Indonesia menunjukkan bahwa untuk ketiga model, kualitas kelembagaan keseluruhan Indonesia sebagai negara pengekspor (INSTi) juga berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor, yakni sebesar -0.0767 (model 1), -0.0484 (model 2) dan -0.4179 (model 3). Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan (keseluruhan) Indonesia sebagai negara pengekspor akan menurunkan biaya ekspornya. Variabel lainnya yang digunakan dalam model yang berpengaruh signifikan tarhadap biaya ekspor Indonesia adalah harga (agregat) barang yang diperdagangkan (Ln_H) dan harga bahan bakar (Ln_BBKR). Untuk moda transportasi laut maupun udara, variabel harga barang yang diekspor berpengaruh signifikan negatif. Artinya, semakin tinggi harga barang yang diperdagangkan maka biaya perdagangannya pun akan semakin rendah. Variabel harga bahan bakar, baik solar maupun avtur, dari hasil estimasi ketiga model menunjukkan hasil yang konsisten, yakni berpengaruh signifikan positif terhadap biaya ekspor. Artinya, semakin tinggi harga bahan bakar, baik solar (moda transportasi total dan laut) maupun avtur (moda transportasi udara) akan meningkatkan biaya ekspornya. Setiap terjadi kenaikan 10 persen harga bahan bakar baik solar maupun avtur akan meningkatkan biaya ekspor dalam hal ini biaya transportasi dalam kegiatan ekspor sebesar 0.9 persen (moda total), 1.5 persen (moda laut), dan 12 persen (moda udara). UNCTAD (2011) menyebutkan bahwa biaya bahan bakar bisa mencapai 60 dari biaya operasional pengapalan. Hasil kajian UNCTAD tersebut menyebutkan bahwa setiap terjadi kenaikan 10 persen harga bahan bakar, akan meningkatkan biaya pengapalan kontainer sekitar 1.9 persen sampai 3.6 persen. Apabila dilihat responsibiltas harga bahan bakar terhadap biaya ekspor terlihat bahwa biaya ekspor lebih responsif terhadap perubahan harga avtur dibandingkan dengan harga solar. Artinya, apabila terjadi perubahan harga bahan bakar, maka dampak yang ditimbulkan terhadap biaya ekspor akan lebih besar terjadi pada moda transportasi udara dibandingkan moda transportasi laut. Hal itu
127
terlihat dari koefisien harga bahan bakar avtur yang jauh lebih besar (elastis) yaitu sebesar 1.2392, sementara moda transportasi laut sebesar 0.1523. Kualitas infrastruktur dan kelembagaan selain diduga memengaruhi biaya perdagangan khususunya biaya transportasi,
juga memengaruhi volume
perdagangan. Hasil estimasi pengaruh kualitas infrastruktur dan kelembagaan terhadap volume ekspor Indonesia dapat dilihat pada Tabel 33. Berdasarkan Tabel 33, nilai koefisien determinasi (R2) model antara 0.9595 sampai 0.9930. Artinya, sekitar 95.95 persen sampai 99.30 persen keragaman volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 0.0070 sampai 0.0405 persen dijelaskan oleh faktor di luar model. Hasil estimasi dampak kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan terhadap volume ekspor Indonesia menunjukkan bahwa variabel infrastruktur keseluruhan (INFRA) Indonesia sebagai negara pengekspor yang meliputi infrastruktur transportasi, baik secara total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut, berpengaruh positif terhadap volume ekspor masing-masing sebesar 0.0955 (model 1) dan 0.0958 (Model 2). Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur keseluruhan di negara Indonesia sebagai negara pengekspor akan meningkatkan volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan, baik secara total tanpa membedakan moda transportasi maupun melalui moda transportasi laut. Berpengaruh signifikannya volume ekspor secara total (tanpa membedakan moda transportasi) maupun berdasarkan moda transportasi laut dikarenakan sebagian besar ekspor Indonesia (>95%) dilakukan melalui moda tranasportasi laut. Barang-barang yang diperdagangkan melalui moda transportasi laut umumnya bersifat bulky bernilai relatif rendah seperti minyak dan produk minyak bumi, besi dan bijih besi, batubara, dan biji-bijian (sereal).
Dilihat dari
kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan, pada Januari 2013, kontribusi ekspor produk industri sebesar 63.63 persen (meningkat 3.32% dibandingkan Januari 2012), produk pertanian sebesar 2.67 persen (meningkat 0.2% dibandingkan Januari 2012), dan produk pertambangan sebesar 16.70 persen (turun 0.35%
128
dibandingkan Januari 2012). Sementara kontribusi ekspor migas sebesar 17 persen (turun 3.18% dibandingkan Januari 2012)7. Sementara hasil estimasi dampak kualitas kelembagaan secara keseluruhan (INST) terhadap volume ekspor (Tabel 33) menunjukkan bahwa hanya pada model 3 yaitu moda transportasi udara, kualitas kelembagaan Indonesia sebagai negara pengekspor maupun kualitas kelembagaan negara tujuan ekspor Indonesia (negara pengimpor) berpengaruh signifikan positif terhadap volume ekspor Indonesia, masing-masing sebesar 0.5580 dan 0.2035. Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan di negara pengekspor maupun negara pengimpor akan meningkatkan volume perdagangan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan Rodrik et al (2002) bahwa kualitas kelembagaan signifikan positif mempengaruhi aliran perdagangan suatu negara. De Groot, et al (2003) juga menunjukkan hal yang sama bahwa baiknya kualitas kelembagaan formal cenderung meningkatkan perdagangan. Sementara hasil estimasi variabel lainnya yang diduga memengaruhi volume ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor yang digunakan dalam model ini adalah, pendapatan perkapita dan keterbukaan perdagangan dari negara yang melakukan perdagangan baik Indonesia sebagai pengekspor maupun negaranegara tujuan ekspor Indonesia (negara pengimpor). Hasil estimasi dari Tabel 33 menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut baik pendapatan perkapita maupun keterbukaan
perdagangan
dari
negara
pengekspor
maupun
pengimpor
berpengaruh signifikan. Pendapatan perkapita penduduk Indonesia sebagai negara pengekspor berpengaruh signifikan negatif, yang artinya, semakin tinggi pendapatan perkapita Indonesia sebagai negara pengekspor akan menurunkan volume yang diekspornya. Selama ini barang-barang yang diekspor Indonesia adalah barang-barang yang bernilai tambah rendah yang umumnya merupakan kebutuhan utama dengan tujuan utama untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Dengan semakin tingginya pendapatan perkapita penduduk Indonesia, kebutuhan terhadap barang-barang yang diproduksinya akan semakin besar, sehingga alokasi untuk tujuan ekspor akan semakin berkurang, karena diutamakan untuk ememnuhi kebutuhan domestiknya terlebih dahulu. Hal yang sebaliknya untuk negara 7
Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik No. 17/03/Th XVI, 1 Maret 2013.
129
pengimpor, hasil estimasinya menunjukkkan pengaruh yang signifikan positif. Artinya, semakin tinggi pendapatan per kapita dari negara pengimpor (negara tujuan ekspor Indonesia), mereka lebih berspesialisasi dengan barang-barang yang semakin bernilai tinggi, sehingga permintaan impor terhadap produk Indonesia akan semakin meningkat. Tabel 33. Hasil Estimasi Dampak Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Volume Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C)
7.8714***
7.8121***
3.5983**
Ln_GDPcapi
-1.8410***
-1.8447***
-2.3302***
Ln_GDPcapj
1.8363***
1.8397***
2.0352**
Ln_Trdopnnsi
0.6154***
0.6186***
2.2527***
Ln_Trdopnnsj
-1.2604***
-1.2623***
-2.7923***
INFRAi
0.0955***
0.0958***
-0.0775
INFRAj
0.0870***
0.0885***
-0.0560
INSTi
0.0155
0.0254
0.5580**
INSTj
0.0444
0.0452
0.2305**
Adjusted R2
0.9927
0.9930
0.9595
S.E of Regresion
0.2143
0.2143
0.4352
F-stat
745.7377
778.4094
130.5770
Prob (F-stat)
0.000000
527.3939
0.000000
16.1754
16.1656
66.6697
1.7197
1.7271
1.8445
Maksimum
4.1507 (India)
4.1598 (India)
7.9881 (Cina)
Minimum
-2.6810 (Qatar)
-2.6890 (Qatar)
-4.4066 (Finlandia)
Sum square resid Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersep)
Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Hasil estimasi variabel lainnya yaitu keterbukaan perdagangan (trade openness) yaitu kontribusi total perdagangan (ekspor dan impor) terhadap
130
pendapatan (GDP) negara pengekspor (Indonesia) maupun negara pengimpor (tujuan ekspor Indonesia) menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap volume
ekspor
Indonesia.
Keterbukaan
negara
pengekspor
(Indonesia)
berpengaruh signifikan positif terhadap volume yang diekspornya. Artinya, dengan semakin terbukanya perdagangan yang diindikasikan dengan semakin besarnya kontribusi total perdagangan (X+M) maka akan meningkatkan ekspor Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa memang Indonesia memiliki keunggulan kompartif dalam produk yang bernilai tambah rendah yang umumnya berbasis sumberdaya alam, sehingga volume ekspornya akan meningkat baik secara total maupun melalui moda transportasi laut maupun udara. Tapi di sisi yang lain, terjadi sebaliknya, untuk negara pengimpor (tujuan ekspor Indonesia) keterbukaan perdagangan berpengaruh signifikan negatif. Artinya, semakin terbukanya perdagangan, impor mereka terhadap produk Indonesia semakin berkurang. Dengan kata lain, semakin terbuka perdagangan, bagi negara pengimpor akan semakin banyak pilihan negara asal impornya, yang menyebabkan volume yang diimpor dari Indonesia menurun (volume ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor menurun. Mereka tentunya akan memilih produk-produk yang kompetitif. Hal ini mengindikasikan perlunya perhatian bagi Indonesia terhadap barang-barang yang diekspornya agar bisa bersaing di pasar internasional.
7.1.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia Pembahasan pada sub bab sebelumnya lebih menekankan pada kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan. Pada sub bab ini pembahasan akan lebih difokuskan pada indikator kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan terkait korupsi, kejahatan terorganisir dan hambatan peraturan/ birokrasi. Hasil estimasi sejauh mana pengaruh masing-masing indikator tersebut terhadap biaya dan volume ekspor Indonesia dapat dilihat pada Tabel Tabel 34 dan Tabel 35.
131
Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Berdasarkan Tabel 34 terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) pengaruh masing-masing indikator kualitas infrastruktur transportasi adalah sebesar 0.7494 (model 3), 0.8936 (model 1) dan 0.9036 (model 2). Artinya, sekitar 74.94 persen sampai 90.36 persen keragaman biaya ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 0.0964 sampai 0.2506 persen dijelaskan oleh faktor di luar model. Hasil estimasi model model 1 menunjukkan bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang paling berpengaruh signifikan terhadap biaya ekspor adalah kualitas pelabuhan (port quality) Indonesia sebagai negara pengekspor sebesar -0.3187. Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai negara pengekspor akan menurunkan biaya ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor. Demikian halnya dengan hasil estimasi pada model 2 yaitu berdasarkan moda transportasi laut menunjukkan
bahwa
kualitas
pelabuhan
merupakan
indikator
kualitas
infrastruktur yang paling besar pengaruhnya terhadap biaya ekspor Indonesia dengan koefisienya yaitu sebesar -0.2792. Sementara hasil estimasi pengaruh masing-masing indikator kualitas infrastruktur transportasi terhadap volume ekspor Indonesia ke negara tujuan dapat dilihat pada Tabel 35. Berdasarkan Tabel 35 terlihat nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0.9598 (model 3), 0.9927 (model 2) dan 0.9929 (model 1). Artinya, sekitar 95.98 persen sampai 99.29 persen keragaman volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 0.0071 sampai 0.0402 persen dijelaskan oleh faktor di luar model. Hasil estimasi dari Tabel 35 menunjukkan bahwa dari empat indikator kualitas infrastruktur transportasi yang digunakan dalam model terlihat bahwa indikator kualitas pelabuhan (port quality) yang paling berpengaruh signifikan positif terhadap volume ekspor Indonesia baik pada model total maupun model berdasarkan moda transportasi laut, masing-masing sebesar 0.6994 (model 1) dan 0.5821 (model 2). Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai negara pengekspor akan meningkatkan volume ekspor Indonesia, baik secara total maupun volume ekspor yang melalui moda transportasi laut. Dengan kata lain, kualitas infrastruktur pelabuhan akan menentukan daya saing ekspor Indonesia di pasaran
132
internasional melalui biaya yang pada akhirnya akan memengaruhi volume yang diekspornya. Tabel 34. Hasil Estimasi Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) -1.4707*** -1.8074*** 1.2490*** Ln_H 0.0380 0.0228 -0.1840*** Ln_BBKR -0.2341*** -0.1931*** 1.6002*** INSTi 0.1460*** 0.1502*** INSTj 0.0142 0.0437 PORTi -0.3187*** -0.2792*** PORTj 0.0297 0.0079 LSCIi 0.0856*** 0.0843*** LSCIj -0.0016*** -0.0014* AIRPORTi 0.0887*** -0.2752*** AIRPORTj ROADi 0.1289*** 0.1175*** -0.0943*** ROADj 0.1044** 0.1091** 0.0578 Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum
0.8936 0.2916 45.7257 0.0000 29.7616 1.6589
0.9036 0.3089 50.8968 0.0000 33.4606 1.7455
0.7494 0.42869 17.741 0.0000 65.0577 1.7670
1.2959 (Kamboja) -0.7633 (Jerman)
1.3673 (Kamboja) -0.7712 (Jerman)
1.5290 (Oman) -0.6984 (Turki)
Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Dari penjelasan di atas terlihat bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang lebih memengaruhi biaya maupun volume ekspor Indonesia adalah kualitas pelabuhan (port quality). Komponen-komponen yang menentukan kualitas/efisiensi pelabuhan diantaranya terkait sarana prasarana fisik pelabuhan itu sendiri maupun terkait non fisik pelabuhan seperti kelembagaan yang terkait dengan aktivitas di pelabuhan. Terkait sarana dan prasarana fisik diantaranya kondisi perairan/kedalaman pelabuhan untuk pergerakan lalu lintas kapal, penjangkaran dan penambatan, fasilitas untuk bongkar muat, pengurusan hewan,
133
gudang, lapangan penumpukkan peti kemas, terminal konvensional, peti kemas dan curah, dan terminal penumpang. Tabel 35. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Terhadap Volume Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 6.4617*** 6.0769*** 2.6695* Ln_GDPcapi -2.0791*** -2.1733*** -3.4861*** Ln_GDPcapj 1.9218*** 2.0409*** 1.8255* Ln_Trdopnnsi 0.6649*** 0.8399*** 2.0719** Ln_Trdopnnsj -1.3709*** -1.5214*** -2.6175*** INSTi 0.0832*** 0.1369** -6.9974*** INSTj 0.0339 0.2395** JLNi -0.2396*** -0.1993*** -0.3373*** JLNj 0.0939** 0.0275 PORTi 0.6994*** 0.5821*** PORTj 0.0024 AIRPORTi 0.0964* 7.9258*** AIRPORTj -0.0621 LSCIi 0.0201*** 0.0217*** LSCIj 0.0003 Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersep) Maksimum Minimum
0.9929 0.2160 762.2818 0.000000 16.3828 1.6789
0.9927 0.2154 716.4575 0.000000 16.1543 1.7167
4.1495 (India) -2.776 (Qatar)
4.5199 (India) -2.8873 (Qatar)
0.9598 0.4344 128.0856 0.000000 66.0679 1.8481
7.6221 (Cina) -4.2455 (Finlandia) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Kedalaman pelabuhan tampaknya menjadi masalah besar di hampir setiap pelabuhan di Indonesia. Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan perairan dalam alami yang relatif sedikit dan sistem sungai yang rentan terhadap pendangkalan yang membatasi kedalaman pelabuhan. Apabila pengerukan tidak segera dilakukan, kapal seringkali harus menunggu sampai air pasang sebelum memasuki pelabuhan, yang menyebabkan lebih banyak waktu non aktif bagi kapal. Demikian juga dengan kapal-kapal yang berkapasitas besar yang seringkali tidak
134
bisa berlabuh. Seringkali kapal-kapal besar berlabuh di pelabuhan Singapura dan Malaysia. Hal tersebut pada akhirnya seringkali memerlukan kapal kecil sebagai feeder. Kesemuanya ini pada akhirnya menyebabkan tambahan biaya yang harus dikeluarkan eksportir sehingga biaya transportasi perdagangan menjadi tinggi. Faktor lainnya yang menentukan kualitas dan efisiensi pelabuhan adalah struktur pasar penyedia jasa pelabuhan, penanganan kargo, gudang penyimpanan, fasilitas perbaikan, kepabeanan dan lain sebagainya. Banyak pelabuhan regional Indonesia kekurangan sarana peti kemas, yang mengharuskan perusahaan-perusahaan pelayaran untuk menggunakan peralatan sendiri. Masalah lainnya adalah kekuarangan tempat untuk penyimpanan dan pengisian peti kemas, belum semua pelabuhan memiliki fasilitas terpisah untuk kapal barang dan kapal penumpang. Selain itu hampir sebagian besar pelabuhan besar Indonesia berlokasi dekat dengan daerah perkotaan besar yang aksesnya melalui jalan-jalan raya kota yang padat, yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan, sehingga lebih banyak menyebabkan keterlambatan yang berarti menimbulkan biaya. Hal lainnya yang memengaruhi kualitas pelabuhan adalah terkait dengan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan yang belum efisien, seperti tenaga kerja yang tidak tersedia 24 jam. Umumnya mereka beristirahat dalam waktu yang bersamaan, padahal aktifitas di pelabuhan terus berlangsung (Ray 2008). Semua penjelasan di atas menyebabkan buruknya infrastruktur pelabuhan yang pada akhirnya seringkali mengganggu aktifitas di pelabuhan atau tidak produktifnya kegiatan di pelabuhan, sehingga menyebabkan keterlambatan waktu, seperti yang seringkali terjadi di Pelabuhan Jakarta. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas sekitar 30-40 peti kemas/jam. Pada tahun 2007 kemudian mengalami peningkatan menjadi 60 peti kemas/jam. Akan tetapi dengan semakin meningkatknya lalu lintas peti kemas dan kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok serta keterlambatan Pabean menyebabkan penurunan kembali produktivitas menjadi 40-45 peti kemas pada tahun 2008. Produktivitas tersebut hanya setengah dari tingkat produktivitas pelabuhan di Singapura dan pelabuhan-pelabuhan pemindahmuatan (trans-shipment) utama di Malaysia, yang memiliki produktivitas sekitar 100-110 peti kemas per jam.
135
Akibat dari keterlambatakan penanganan kargo tersebut, perusahaan-perusahaan angkutan laut yang besar seringkali harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati karena harus menepati jadwal yang telah dibuat. Hal ini berimplikasi terhadap berbagai biaya pemulihan di samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga serta kerugian karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri. Para pengusaha jasa angkutan laut internasional Indonesia menikmati pelayanan pemindahmuatan (trans-shipment) yang sangat bersaing di Singapura dan Malaysia, namun harus membayar jasa bongkar muat yang tinggi karena tingginya biaya pelabuhan di Indonesia (Ray 2008). Selain terkait sarana prasarana fisik, kualitas pelabuhan juga ditentukan oleh kelembagaan terkait efisiensi kepabeanan. Dalam tatalaksana perdagangan internasional, birokrasi/efisiensi kepabeanan memiliki peran yang sangat vital dalam menciptakan efektifitas dan efisiensi lalulintas perdagangan. Hasil estimasi indikator infrastruktur transportasi lainnya adalah tingkat konektivitas pelayaran dengan jaringan pelayaran global (LSCI) Indonesia sebagai negara pengekspor, baik pada model 1 maupun model 2 menunjukkan pengaruh yang signifikan positif terhadap biaya ekspor, masing-masing sebesar 0.0856 (model 1) dan 0.0843 (model 2). Artinya, semakin terkoneksi dengan baik pelayaran nasional justru akan meningkatkan biaya ekspornya. Hal ini diduga selain terkait dengan komponen pembentuk LSCI seperti jumlah kapal, teknologi kapal, kapasitas kapal yang belum efisien. Untuk pangsa pasar luar negeri yang dalam hal ini ekspor, masih banyak yang menggunakan jasa angkutan (armada) asing. Berbeda halnya dengan LSCI negara pengimpor (negara tujuan ekspor Indonesia) yang relatif jauh lebih baik. Hal ini diindikasikan dengan koefisien LSCI negara pengimpor yang berpengaruh signifikan negatif yaitu sebesar 0.0016 (model 1) dan -0.0014 (model 2). Sementara dampak LSCI terhadap volume ekspor berpengaruh signifikan positif baik untuk total maupun untuk moda transportasi laut, masing-masing sebesar 0.0201 dan 0.0217. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tingkat konektivitas pelayaran Indonesia terhadap jaringan pelayaran internasional akan meningkatkan volume ekspor Indonesia.
136
Indeks konektivitas pelayaran laut (LSCI) Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional dari tahun 2004-2009 cenderung menurun sebesar 1.3 persen. Sementara LSCI negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina menunjukkan peningkatan. Vietnam menunjukkan kecenderungan peningkatan yang terbesar yaitu sebesar 13.9 persen (Tabel 36). Tabel 36. Indeks Konektivitas Pelayaran Laut (LSCI), Tahun 2004-2009 Negara
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Trend
Indonesia
25.9
28.8
25.8
26.3
24.9
25.7
-1.3
Malaysia
62.8
65.0
69.2
81.6
77.6
81.2
5.8
Thailand
31.0
31.9
33.9
35.3
36.5
36.8
3.8
Vietnam
12.9
14.3
15.1
17.6
18.7
26.4
13.9
Philipina
15.5
15.9
16.5
18.4
30.3
15.9
6.5
Sumber : UNCTAD, 2012 Hampir
semua
perdagangan
non
curah
(seperti
peti
kemas)
dipindahmuatkan melalui Singapura dan Tanjung Pelepas dan Port Klang (Malaysia).
Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki pelabuhan muat
(trans-shipment) yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua (large trans-ocenic vessels). Bahkan sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus dipindahmuatkan melalui pelabuhan di tingkat daerah. Pelabuhan Tanjung Perak di Subaraya misalnya, dijadikan sebagai pelabuhan penghubung utama untuk Kawasan Timur Indonesia. Hasil estimasi indikator kualitas infrastruktur transportasi lainnya yaitu kualitas bandara menunjukkan bahwa
walaupun sampai saat ini peran moda
transportasi udara masih relatif kecil dibandingkan moda transportasi laut dalam angkutan barang, kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa peranan moda transportasi udara semakin meningkat terutama di negara berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan hasil estimasi dari Tabel 34 yang berpengaruh signifikan negatif sebesar -0.2752.
Artinya, semakin baik kualitas bandara akan
menurunkan biaya ekspor Indonesia melalui moda transportasi udara. Sementara
137
hasil estimasi terhadap volume ekspor pada Tabel 35 menunjukkan berpengaruh signifikan positif sebesar 0.0964 (total) dan sebesar 7.9258 (moda transportasi udara). Dengan demikian, kualitas bandara juga menentukan volume ekspor Indonesia. Hal-hal yang masih menjadi kendala dalam moda transportasi udara adalah terkait dengan belum tersedianya informasi angkutan kargo udara yang lengkap. Akibatnya biaya angkutan menjadi tinggi karena angkutan umumnya hanya satu arah yaitu berangkat, sedangkan kembalinya kosong, sehingga menurunkan daya saing produk. Demikian halnya dengan kapasitas kargo yang sudah tidak mencukupi lagi, terlebih dengan semakin berkembangnya angkutan barang melalui moda transportasi udara akhir-akhir ini, sehingga timbul penumpukkan barang, masalah keamanan dan ketidaknyamanan. Misalnya saja seringkali terjadi penumpukkan barang di gudang lini 1 Soekarno Hatta, terutama untuk penerbangan dini hari. Kapasitas pergudangan lini 1 sudah tidak memadai dengan kapasitas sekitar 300,000 ton per tahun, sementara volume kargo Bandara Soekarno Hatta tahun 2010 mencapai 510.442 ton. Pergerakan kargo di bandara Soekarno Hatta memberikan kontribusi sebesar 85 persen terhadap total pergerakan kargo di bandara-bandara Angkasa Pura 2. Apabila dibandingkan dengan Cina, pasar kargo internasional Indonesia masih kalah. Cina memegang 40 persen dari pasar kargo udara di Asia Pasifik, sementara Indonesia kurang dari 2 persen 8. Untuk kualitas jalan, hasil estimasi menunjukkan pengaruh yang signifikan positif terhadap biaya ekspor untuk negara pengekspor baik untuk model 1 dan model 2, masing-masing sebesar 0.1289 dan 0.1175, sementara untuk moda transportasi udara menunjukkan pengaruh signifikan negatif sebesar -0.0943. Artinya, bagi model 1 dan model 2, semakin baik kualitas jalan justru akan meningkatkan biaya ekspor Indonesia. Hal ini diduga terkait dengan masih terjadinya selain kemacetan menuju pelabuhan, juga karena masih ditemukannya berbagai pungutan baik yang resmi (retribusi) maupun pungutan-pungutan yang sifatnya tidak resmi, sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, maupun selama berada di pelabuhan (inland), dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar 8
http://www.dephub.go.id/read/berita/berita/badan penelitian dan pengembangan/5261
138
pelabuhan, yang akan meningkatkan biaya keseluruhan yang memberatkan eksportir. Hal tersebut pada akhirnya membuat biaya ekonomi tinggi yang akan menurunkan daya saing harga produk Indonesia dipasaran internasional maupun dibandingkan produk-produk impor. Untuk kualitas jalan, walaupun secara umum sudah relatif baik, namun terkait pemeliharaan masih perlu ditingkatkan.
Demikian halnya dengan
kemacetan yang akhir-akhir ini seringkali terjadi menuju bandara maupun di dalam bandara membuat waktu menjadi tidak efisien sehingga menambah biaya, harus segera dibenahi. Peranan infrastruktur jalan ini tetap penting karena proses perjalanan barang dari produsen/pengekspor sampai ke pelabuhan muat maupun ke bandara seluruhnya menggunakan moda transportasi darat berupa jalan, karena moda transportasi kereta api masih sangat terbatas. Tabel 37. Kondisi Jalan Nasional, Tahun 2005-2009 Kondisi Jalan
2005
2006
2007
2008
2009
%
%
%
%
%
Baik
49.2
30.9
30.8
49.7
48.2
Sedang
31.4
49.9
51.4
33.6
37.8
Rusak Ringan
8.3
11.1
13.1
13.3
11.6
Rusak Berat
11.1
8.1
4.7
3.4
0.9
Tidak Tembus
1.5
Sumber :Direktorat Jenderal Bina Marga, 2012 Prasarana jalan di Indonesia mempunyai peran yang vital dalam transportasi nasional dengan melayani sekitar 92 persen angkutan penumpang 90 persen angkutan barang pada jaringan jalan yang ada (Direktorat Jenderal Bina Marga, 2010). Kualitas jalan yang baik akan sangat membantu kelancaran distribusi barang dan jasa dari pelabuhan sampai ke konsumen (barang impor), maupun distribusi barang dari produsen ke pelabuhan (barang ekspor).
139
Menurut World Bank (2011), untuk perdagangan lintas perbatasan posisi Indonesia berada pada peringkat 47, relatif jauh dibanding Singapura, Thailand, dan Malaysia yang berada pada peringkat 1, 13 dan 37. Perdagangan lintas batas ini mengkompilasi persyaratan prosedural dalam kegiatan ekspor-impor melalui moda transportasi laut, yang meliputi jumlah dokumen, waktu dan biaya (Tabel 38). Berdasarkan Tabel 38, jumlah dokumen yang diperlukan dalam kegiatan ekspor pada tahun 2011 adalah 5, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor 20 hari, sedangkan biaya ekspor per kontainer mencapai US$ 704. Dibandingkan tahun 2006, berdasarkan jumlah dokumen dan waktu, sudah menunjukkan peningkatan menjadi relatif lebih sedikit dari 7 menjadi 5, dan dari 25 hari menjadi 20 hari, namun dilihat berdasarkan hari maupun biaya ekspor kontainer, Indonesia masih relatif jauh dibanding Negara ASEAN lainnya. Dari jumlah hari Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Vietnam, namun dari sisi biaya, biaya ekspor Indonesia paling mahal, sementara paling murah adalah Malaysia dan Singapura. Tabel 38. Prosedural Ekspor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 Negara
2010
2011
Dokumen
Waktu
Biaya
Dokumen
Waktu
Biaya
(jumlah)
(hari)
(US$/container)
(jumlah)
(hari)
(US$/container)
Indonesia
5
21
704
5
20
704
Singapura
4
5
456
4
5
456
Thailand
4
14
625
4
14
625
Malaysia
7
18
450
7
18
450
Philipina
8
16
816
8
15
675
756
6
22
555
Vietnam
6
22
Sumber : World Bank, 2010-2011 Apabila kita bandingkan dari setiap kualitas infrastruktur transportasi yang digunakan, hasil estimasi dari sisi biaya maupun volume secara total tanpa membedakan moda transportasi menunjukkan bahwa koefisien kualitas pelabuhan relatif lebih tinggi dibandingkan variabel kualitas infrastruktur lainnya yaitu bandara, jalan dan LSCI. Hal ini menunjukkan bahwa peranan kualitas pelabuhan relatif lebih penting dalam perdagangan antar negara mengingat moda transportasi laut merupakan moda transportasi yang dominan (> 95%) dalam perdagangan antar negara baik ekspor maupun impor. Sementara infrastruktur yang sangat
140
penting dalam moda transportasi laut selain kapalnya sendiri adalah pelabuhan. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan dalam penelitian Nordas dan Piermartini (2004) bahwa dari semua kualitas infrastruktur yang dianalisis ternyata kualitas infrastruktur pelabuhan (port infrastructure) yang memiliki dampak paling besar terhadap perdagangan. Dari
indikator
variabel
kualitas
infrastruktur,
peringkat
kualitas
infrastruktur transportasi Indonesia pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 22, dimana kualitas infrastruktur pelabuhan yang menempati ranking terendah yaitu 103 dari 142 negara yang dianalisis, dengan nilai indeks 3.6 dari skala 1-7. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan perlu mendapatkan prioritas utama untuk diperbaiki sesuai dengan hasil analisis ekonometrika yang menghasilkan koefisien terbesar.
Sumber : Global Competitiveness Report, 2011 Gambar 22. Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2011 Hasil estimasi lainnya dari Tabel 35 menunjukkan bahwa variabel penjelas lainnya selain kualitas infrastruktur transportasi yang diduga memengaruhi volume ekspor Indonesia adalah pendapatan per kapita dan keterbukaan perdagangan (trade openness) dari kedua negara yang terlibat perdagangan. Dari ketiga model yang digunakan, pendapatan per kapita dari negara-negara yang terlibat perdagangan berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor Indonesia. Pendapatan per kapita Indonesia sebagai negara pengekspor berpengaruh
141
signifikan negatif dan nyata (α = 1%) memengaruhi perdagangan. Sementara bagi negara pengimpor (negara tujuan ekspor) berpengaruh signifikan positif. Demikian halnya dengan variabel keterbukaan (trade openness) negara yang melakukan perdagangan baik pengekspor maupun pengimpor berpengaruh signifikan. Variabel keterbukaan negara pengekspor berpengaruh signifikan positif, sementara bagi negara pengimpor berpengaruh signifikan negatif. Variabel keterbukaan ini merupakan indikator umum yang biasa digunakan untuk melihat seberapa baik suatu negara terintegrasi dalam pasar internasional. Indikator Kualitas Kelembagaan Hasil analisis sebelumnya (Tabel 32) menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan keseluruhan Indonesia sebagai negara pengekspor berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor. Untuk mengetahui indikator kualitas kelembagaan mana yang paling memengaruhi biaya dan volume ekspor Indonesia, hasil estimasinya dapat dilihat pada Tabel 39 dan Tabel 40. Berdasarkan Tabel 39 terlihat bahwa hasil estimasi ketiga model menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) antara 0.7489 (moda udara) sampai 0.9130 (moda laut), yang berarti sekitar 74.89 persen sampai 91.30 persen keragaman biaya ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 6.50 persen sampai 24.09 persen dijelaskan oleh variabel di luar model. Hasil estimasi ketiga model menunjukkan bahwa dari ketiga indikator kualitas kelembagaan yang digunakan dalam model, yang konsisten (ketiga model) berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor adalah indikator efisiensi peraturan pemerintah (burden of government regulatory) Indonesia sebagai negara pengekspor.
Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan
Indonesia yang diindikasikan dengan semakin semakin baik/efisien peraturan atau birokrasi yang ditetapkan pemerintah Indonesia sehingga tidak membebani para eksportir, akan semakin menurunkan biaya ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor, sehingga akan meningkatkan daya saing harga produk Indonesia di pasar internasional. Besarnya koefisien indikator tersebut adalah -0.0431 (model 1), 0.0599 (model 2), dan -0.2124 (model 3).
142
Tabel 39. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 0.8462*** 0.7477 2.3074*** Ln_H 0.0028 0.0560 -0.1455** Ln_BBKR 0.1476*** 0.1575** 1.2370*** INFRAi -0.0110 -0.0070 -0.0318 INFRAj -0.0457* -0.0175 -0.1217*** CORRUPi -0.0081*** -0.0084* -0.0030 CORRUPj -0.0012 -0.0016 -0.0002 BURDENi -0.0431** -0.0599* 0.2124*** BURDENj CRIMEi 0.0266 0.0361 -0.0244 CRIMEj Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
0.9111 0.2930 56.9369 0.0000 30.2251 1.5962
0.9130 0.3111 58.3154 0.0000 34.0743 1.6903
0.7489 0.4153 17.2776 0.0000 60.7395 1.8065
Fixed Effect (Intersept) 1.1116 (Kamboja) 1.1782 1.1681 (Thailand) Maksimum -0.6134 (Brazil) (Kamboja) -0.6568 (Saudi Minimum -0.6220 (Brazil) Arab) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Memang prosedur kepabeanan untuk ekspor tidak serumit impor. Untuk kegiatan ekspor meliputi, (1) eksportir wajib memberitahukan barang yang akan diekspor ke kantor pabean pemuatan dengan menggunakan PEB disertai Dokumen Pelengkap Pabean, (2) PEB disampaikan paling cepat 7 hari sebelum tanggal perkiraan ekspor dan paling lambat sebelum barang ekspor masuk Kawasan Pabean, (3) Dokumen PelengkapPabean terdiri dari invoice dan Packing List, Bukti Bayar PNBP, Bukti Bayar Bea Keluar (dalam hal barang ekspor dikenai Bea Keluar), dan dokumen dari intansi teknis terkait (dalam hal barang ekspor terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan). Penyampaian PEB dapat dilakukan oleh eksportir atau dikuasakan kepada Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Pada Kantor Pabean yang sudah menerapkan sistem PDE
143
(Pertukaran Data Elektronik) kepabeanan, eksportir/PPJK wajib menyampaikan PEB dengan menggunakan sistem PDE Kepabeanan Demikian halnya dengan hasil estimasi indikator indikasi korupsi yang juga berpengaruh signifikan negatif untuk model 1 dan model 2 masing-masing dengan koefisen sebesar -0.0081 dan -0.0084. Artinya, semakin tidak ada indikasi korupsi yang ditunjukkan dengan indeks korupsi yang semakin besar akan menurunkan biaya ekspor Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan dalam penelitiannya Pomfret dan Patricia (2009). Tabel 40. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Volume Ekspor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 8.4641*** 8.4096*** 9.1109*** Ln_GDPcapi -1.5314*** -1.5749*** -1.1832 Ln_GDPcapj 1.5192*** 1.5663*** 0.9096 Ln_Trdopnnsi 0.3524 0.3804 1.4479 Ln_Trdopnnsj -1.0160** -1.0448** -2.0310* INFRAi 0.1012** 0.1094** 0.1241* INFRAj 0.0883*** 0.0890*** CORRUPTi -0.0052 -0.0060 -0.0707*** CORRUPTj BURDENi -0.0128 -0.0104 0.0627 BURDEN j 0.0699* 0.0600 -0.1342** CRIMEi -1.0064 -0.0037 -0.0296 CRIMEj Adjusted R2 0.9937 0.9940 0.9684 S.E of Regresion 0.2152 0.2145 0.4312 F-stat 846.1145 886.6160 166.1544 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000 Sum square resid 16.1678 16.0590 65.1067 Durbin Watson Stat 1.7018 1.7084 1.8280 Fixed Effect (Intersep) Maksimum Minimum
3.614 (India) -2.3710 (Qatar)
3.6829 (India) -2.4100 (Qatar)
6.3632 (Cina) -3.1472 (Finlandia) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Walaupun koefisien korupsi relatif kecil, hasil penelitian LPEM FE-UI (2005) menunjukkan masih ditemukannya pungutan liar untuk mengurangi waktu antri karena kurangnya sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan
144
ruang penyimpanan. Demikian juga dalam alokasi tambatan. Hasil estimasi indikator kualitas kelembagaan terhadap volume ekspor menunjukkan indikator kualitas
kelembagaan
yang
digunakan
dalam
penelitian
tidak
terlalu
mempengaruhi volume ekspor. 7.2. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia Analisis pengaruh infrastruktur dan kelembagaan berdasarkan moda transportasi selain dilakukan terhadap biaya ekspor, juga dilakukan untuk biaya impor. Hal ini dikarenakan sebagai negara yang menganut perekonomian terbuka tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan impor. Terlebih lagi dengan kondisi negara yang semakin mengglobal yang menyebabkan ketergantungan antar negara semakin tinggi. Menurut golongan barang HS 2 digit, sebagian besar barang yang diimpor Indonesia adalah mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta besi dan baja. Sementara berdasarkan golongan penggunaan barang, sebagian besar yang diimpor merupakan barang intermediate sebagai bahan baku/penolong industri, barang modal dan barang konsumsi9.
7.2.1. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia Hasil estimasi pengaruh kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan terhadap biaya impor Indonesia dapat dilihat pada Tabel 41. Berdasarkan Tabel 41 terlihat bahwa dari tiga model yang digunakan memiliki R2 yang cukup tinggi berkisar antara 0.7586 (model 2) sampai 0.9251 (model 3). Artinya variabel-variabel penjelas (explanatory variable) mampu menjelaskan sekitar 75.86 persen sampai 92.51 persen variasi variabel yang dijelaskan (dependent variable) yaitu biaya impor Indonesia dari negara asal impor. Sisanya sekitar 7.49 persen sampai 24.14 dijelaskan oleh variabel di luar model. Selain R2, ditunjukkan juga nilai F statistik yang menggambarkan pengaruh variabel penjelas secara bersama-sama terhadap variabel yang dijelaskan (dependent variable). Hasil uji F dari ketiga model menunjukkan bahwa model yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata kurang dari 1 persen, sehingga model dapat 9
Berita Resmi Statistik, BPS, No. 09/02/Th.XVI, 1 Februari 2013.
145
dianalisis lebih lanjut dengan menekankan pada kriteria ekonomi dari setiap variabel pada model. Tabel 41. Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan (Keseluruhan) Terhadap Biaya Impor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta 0.8407*** 0.7103*** 3.7670*** Ln_H 0.0679 0.1351*** -0.1561*** Ln_BBKR 0.0843*** 0.1351*** 1.3168*** INFRAi -0.0455*** -0.0656*** -0.0498** INFRAj -0.0648** -0.0464 -0.1259*** INSTi -0.0695** -0.0586*** -0.4605*** INSTj 0.0637*** 0.0617** -0.1499* R2 Adjusted S.E of Regression F-Statistic Prob (F-Statistic) Sum Squared Resid Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum
0.9241 0.2916 69.1763 0.0000 30.1050 1.7126
0.9111 0.3200 58.3656 0.0000 36.2559 1.7584
0.7586 0.4217 18.5973 0.0000 62.9720 1.7678
1.1967 (Kamboja) 1.1696 (Honduras) -0.5978 (Australi) -0.6358 (Australia)
1.5123 (Swedia) -0.7178 (Madagaskar) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Hasil estimasi pengaruh kualitas infrastruktur terhadap biaya impor menunjukkan bahwa untuk ketiga model kualitas infrastruktur keseluruhan Indonesia sebagai negara pengimpor, yang meliputi infrastruktur transportasi, komunikasi maupun energi berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya impor Indonesia Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur keseluruhan yang meliputi infrastruktur transportasi, komunikasi maupun energi di Indonesia sebagai negara pengimpor akan menurunkan biaya impornya. Tanda parameter dugaan kualitas infrastruktur (keseluruhan) sesuai dengan hipotesis. Hasil ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Limao dan Anthony
(2001) bahwa kualitas infrastruktur
secara kuantitatif penting dalam menentukan biaya perdagangan. Hasil estimasi Limao dan Venables (2001) menunjukkan bahwa buruknya kualitas infrastruktur
146
mempengaruhi 40 persen dari biaya transportasi negara-negara pantai (coastal) dan 60 persen untuk negara-negara yang terkurung daratan (Landlocked). Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2007) yang menunjukkan bahwa kondisi prasarana yang buruk, baik karena mutu atau alasan topografi, ternyata juga memiliki dampak sekunder. Sarana prasarana yang buruk berpengaruh terhadap kepastian pengiriman barang, tingkat kerusakan dan kebocoran akibat lamanya waktu tempuh. Demikian halnya dengan variabel kualitas infrastruktur (keseluruhan) negara asal impor Indonesia yang juga berpengaruh signifikan negatif. Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur negara asal impor Indonesia, akan menurunkan biaya impor Indonesia dari negara tersebut. Sama halnya dengan kualitas infrastruktur, hasil estimasi pengaruh variabel kualitas kelembagaan keseluruhan dari negara pengimpor (Indonesia) maupun negara asal impor (pengekspor) juga berpengaruh signifikan terhadap biaya impor Indonesia. Kualitas kelembagaan Indonesia sebagai negara pengimpor dari ketiga model berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya impor. Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan (keseluruhan) dari negara Indonesia sebagai negara pengimpor, akan menurunkan biaya impornya. Tidak demikian halnya dengan kualitas kelembagaan negara pengekspor baik secara total (tanpa dibedakan moda transportasi) maupun melalui moda transportasi laut yang berpengaruh signifikan positif. Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan (keseluruhan) negara pengekspor akan meningkatkan biaya impor Indonesia. Hal ini diduga terkaitnya dengan masih lemahnya kualitas kelembagaan pelabuhan negara Indonesia. Walaupun kualitas kelembagaan di negara pengekspor sudah baik, namun karena kualitas kelembagaan di Indonesia sebagai pengimpor yang masih kurang baik yang pada akhirnya menyebabkan masih relatif tingginya biaya impor Indonesia. Sementara hasil estimasi kualitas kelembagaan keseluruhan yang berpengaruh terhadap volume impor Indonesia adalah kualitas kelembagaan negara pengekspor (negara asal impor Indonesia) baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun yang melalui moda transportasi laut, dengan tanda koefisien yang negatif. Artinya semakin baik kualitas kelembagaan dari negara
147
pengekspor, akan menurunkan volume impor Indonesia. Hal ini diduga tujuan ekspor dari negara ekspor tidak hanya tergantung pada Indonesia, sehingga dengan semakin baik kualitas kelembagaan di negara pengekspor, peluang ekspor negara pengekspor ke selain Indonesia semakin tinggi. Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya terkait biaya ekspor, variabel lainnya yang diduga memengaruhi biaya impor Indonesia adalah harga bahan bakar baik solar maupun avtur dan harga barang (agregat) dari yang diperdagangkan. Hasil estimasi dari ketiga model menujukkan bahwa harga bahan bakar secara konsisten berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor, masing-masing sebesar 0.0843 (model 1), 0.1351 (model 2), dan 1.3168 (model 3). Artinya, semakin tinggi harga bahan bakar, baik solar maupun avtur, akan meningkatkan biaya impor Indonesia dari negara asal impor. Hal ini dikarenakan dengan naiknya harga bahan bakar maka biaya produksi pun akan meningkat sehingga biaya impor pun akan meningkat. Dari Tabel 41 terlihat bahwa biaya impor Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan harga bahan bakar avtur dibandingkan harga bahan bakar solar. Hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien bahan bakar avtur yang lebih besar (1.3168) dibandingkan harga bahan bakar solar dengan koefisien sebesar 0.1351 (model 2). Demikian halnya dengan harga barang yang berpengaruh signifikan. Untuk model 2 yaitu moda transportasi laut, harga barang berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor. Artinya, semakin tinggi harga barang yang diimpor akan meningkatkan biaya impornya. Sementara untuk moda transportasi udara berpengaruh signifikan negatif, yang artinya semakin tinggi harga barang yang diimpor, maka biaya impor melalui moda transportasi udara akan menurun. Demikian halnya dengan hasil estimasi variabel lainnya pada volume impor menunjukkan bahwa variabel keterbukaan perdagangan (Trade openness) Indonesia sebagai negara pengimpor berpengaruh negatif. Artinya, semakin terbuka perdagangan, maka volume impor Indonesia semakin menurun.
148
Tabel 42. Hasil Estimasi Pengaruh Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Keseluruhan Terhadap Volume Impor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 12.0214*** 12.0286*** 12.3430*** Ln_GDPcapi 2.4167*** 1.1697*** 4.6298*** Ln_GDPcapj -2.3974*** -1.6659*** -4.4956*** Ln_Trdopnnsi -2.3333*** -1.6659*** -5.6492*** Ln_Trdopnnsj 2.2068*** 0.5279*** 5.2029*** INFRAi 0.0870*** 0.0814*** 0.3549*** INFRAj 0.1302*** 0.0243* -0.3458 INSTi -0.3611** 0.0243* -0.3458 INSTj -0.1098*** -0.0737*** -0.0580 Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersep) Maksimum Minimum
0.9823 0.4442 305.4204 0.000000 69.4567 1.7946
0.9832 0.4083 321.9740 0.000000 58.7074 1.6731
0.9815 0.3314 291.0126 0.000000 38.6778 1.9512
3.5753 (Kuwait) -2.6455 (India)
1.8146 (Qatar)
5.8673 (Estonia) -7.7673 (Cina)
-2.0848 (Bangladesh) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Berdasarkan pendapat yang pro liberalisasi, tentunya kondisi ini kurang mampu dimanfaatkan, mengingat semakin terbuka perdagangan, pilihan produk akan semakin beragam dan persaingan harga akan semakin ketat sehingga peluang mendapatkan produk yang lebih murah akan lebih besar. Namun dari sisi lainnya, kondisi ini akan lebih baik dengan asumsi kebutuhan yang diperlukan dapat dipenuhi dari produksi domestik sehingga mengurangi mengalirnya devisa kita ke luar negeri. Faktor yang diduga memengaruhi belum dimanfaatkannya keterbukaan perdagangan terkait dengan faktor penentu lainnya seperti kondisi/kualitas infrastruktur maupun kualitas kelembagaan yang masih menjadi hambatan, yang pada akhirnya menyebabkan manfaat perdagangan yang diterima belum optimal. Hal ini diperkuat dengan apa yang ditemukan dari hasil penelitian penelitian Chen dan Gupta (2006) serta Chang et al. (2009) bahwa dampak positif keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh kondisi dan perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh setiap negara pada faktor-faktor lain
149
sebagai pendukungnya. Chang et al. (2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikan-perbaikan pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia, fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonomian dan harga. Perbaikan-perbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagangan dapat berlangsung efektif sehingga meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya, memungkinkan diseminasi pengetahuan dan teknologi, serta mendorong persaingan di pasar domestik dan internasional. 7.2.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Impor Indonesia Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya mengenai biaya dan volume ekspor, untuk mengetahui indikator kualitas infrastruktur transportasi mana yang lebih berpengaruh terhadap biaya dan volume impor Indonesia, baik secara total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara, dilakukan
analisis
untuk
masing-masing
indikator variabel
infrastruktur transportasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 43 dan Tabel 44. Berdasarkan Tabel 43 terlihat bahwa dari tiga model yang digunakan memiliki R2 yang cukup tinggi berkisar antara 0.7501 (model 3) sampai 0.9043 (model 1). Artinya variabel-variabel penjelas (explanatory variable) mampu menjelaskan sekitar 75.01 persen sampai 90.43 persen variasi variabel yang dijelaskan (dependent variable) yaitu biaya impor, sisanya sekitar 9.57 persen sampai 24.99 persen dijelaskan oleh variabel di luar model. Hasil estimasi untuk model 1 yaitu tanpa membedakan moda transportasi menunjukkan bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang relatif berpengaruh signifikan terhadap biaya impor adalah kualitas pelabuhan (port quality) Indonesia sebagai negara pengimpor dengan koefisien yang bertanda negatif sebesar 0.2329. Artinya, semakin kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia akan menurunkan biaya impor Indonesia. Demikian halnya untuk model 2 yaitu model untuk moda transportasi laut menunjukkan hal yang sama, bahwa kualitas pelabuhan Indonesia yang berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya impor yaitu sebesar -0.2795.
150
Infrastruktur pelabuhan ini diantaranya mencakup infrastruktur dasar seperti, alur pelayaran, kolam pelabuhan, penahan gelombang (breakwater), pelampung tambat (mooring buoy), dan infrastruktur penunjang berupa dermaga, gudang, lapangan penumpukan dan jalan, maupun infrastruktur non fisik terkait penanganan dan lain sebagainya. Menurut Global Competitiveness Report (20112012), indeks kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3.6 dari skala 7. Artinya, masih relatif jauh dari angka ideal. Di antara negara ASEAN sendiri, kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih dibawah Singapura (6.8), Malaysia (5.7), Thailand (4.7), dan Kamboja (4.0). Dengan kata lain dapat dikatakan infrastruktur pelabuhan Indonesia masih belum efektif dan efisien. Tabel 43. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Impor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) -1.1658*** -1.7994*** 2.5402*** Ln_H 0.0070 0.02143 -0.1604*** Ln_BBKR -0.1774*** -0.1935*** 1.4201*** INSTi 0.1470*** 0.2346 INSTj 0.0438 0.0450 -0.1921** PORTi -0.2329*** -0.2795*** PORTj AIRPORTi 0.0730*** -0.4008*** AIRPORTj 0.0322 LSCIi 0.0624*** 0.0842*** LSCIj -0.0015* -0.0014* ROADi 0.0930*** 0.1188*** -0.0840*** ROADj 0.0871* 0.1139** Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
0.9043 0.2818 51.2842 0.0000 27.8100 1.7015
0.9042 0.3084 51.8734 0.0000 33.4045 1.7464
0.75011 0.4278 17.8022 0.0000 64.7910 1.7537
Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum
1.3017 1.366 (Kamboja) 1.3687 (Swedia) (Kamboja) -0.7690 (Jerman) -0.6648 -0.7637 (Jerman) (Thailand) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Selama ini pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (freeder port). Hal ini lebih karena Indonesia tidak memiliki
151
pelabuhan Hub Internasional terutama dalam hal kurang memadainya kedalaman pelabuhan atau deep sea port. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa menjaga tingkat kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat memenuhi kriteria deep sea port. Sampai dengan tahun 2009, hampir setiap tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialihkapalkan melalui pelabuhan hubungan internasional yang berada di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kapasitas pelabuhan yang ada saat ini belum memadai untuk mengakomodasi pertumbuhan perdagangan curah (bulky) maupun peti kemas yang cenderung terus meningkat. Pada tahun 2011 Pelabuhan Tanjung Priok menangani hampir 6 juta TEU, padahal berdasarkan kapasitasnya hanya mampu sampai 5 juta TEU. Akibatnya, seringkali kapal-kapal mengantri menunggu giliran untuk berlabuh dan bongkar muat. Akibatnya, waktu tunggu (dwell time) pun menjadi lama yang pada akhirnya berakibat pada naiknya biaya. Seringkali waktu tunggu untuk berlabuh jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu berlayar, yang berimplikasinya pada tingginya biaya. Bahkan menurut laporan AUSAID (2012), diperkirakan pada tahun 2020 aliran peti kemas di Indonesia akan mencapai 30 juta TEU. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat 50 persennya. Apabila tidak segera dibenahi kapasitas dan kualitas pelabuhan yang ada saat ini tentunya akan semakin meningkatkan waktu tunggu dan semakin menurunkan daya saing perdagangan Indonesia. Waktu tunggu (dwell time) adalah waktu yang diperlukan mulai dari peti kemas turun dari kapal hingga akhirnya keluar dari pintu gerbang terminal. Pada Bulan Juli dan Agustus 2011, waktu tunggu di Jakarta International Container Terminal (JITC) Tanjung Priok, yang menangani lebih dari dua per tiga perdagangan internasional Indonesia adalah 6 hari. Jumlah ini mengalami peningkatan 22 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 4.9 hari. Bertambahnya waktu tunggu di pelabuhan memberikan dampak negatif pada perekonomian melalui dua hal. Pertama, bagi industri yang berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia di luar negeri. Bagi industri manufaktur “just in time”, sistem dimana perusahaan harus mengelola jadwal mengimpor bahan mentah dan mengekspor barang jadi secara ketat akan terpengaruh sehingga menganggu rantai
152
pasok yang efisien. Kedua, “waktu adalah uang”, waktu tunggu yang lebih lama akan meningkatkan biaya, sehingga harga yang akan dibayar konsumen menjadi lebih mahal.
Sumber : World Bank, 2010 Gambar 23. Waktu Tunggu (Dwell Time) Tahun 2010 Dari enam hari waktu tunggu yang diperlukan untuk menurunkan barang dari kapal sampai keluar pintu gerbang terminal meliputi 3 komponen, (1) pra penyelesaian prosedur kepabenan (waktu mulai saat kapal tiba hingga dokumen impor diajukan kepada bea cukai, (2) penyelesaian prosedur kepabenan, dan (3) pasca penyelesaian prosedur kepabeanan (waktu antara penyelesaian dokumen dan pengeluaran barang melalui pintu gerbang) JITC.
Sumber : World Bank, 2010 Gambar 24. Komponen Waktu Tunggu (Dwell Time) Indonesia, Tahun 2010
153
Menurut World Bank (2010), penyebab utama keterlambatan adalah pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan yang mencapai 58 persen (Gambar 24). Penyebab lamanya waktu pada tahap pra penyelesaian proses kepabeanan ini terkait peraturan termasuk metode pembayaran yang digunakan di Tanjung Priok. Sebagian besar importir dan produsen Indonesia wajib menunggu hingga kapal tiba dan harus membayar pajak dan bea masuk di muka sebelum mengajukan dokumen. Sementara umumnya di negara maju, mengijinkan pengajuan dokumen impor sebelum kapal tiba dan pada akhir proses dengan menyediakan satu faktur yang mencakup biaya pelabuhan, pajak dan bea masuk. Hal inilah diantaranya yang mempengaruhi dwell time di pelabuhan Indonesia. Keterlambatan akan semakin parah ketika kapal tiba hari kamis atau akhir pekan, karena administrasi baru bisa diselesaikan mulai hari senin. Akibat keterlambatan penanganan kargo tersebut banyak kapal menghindari Tanjung Priok untuk berlabuh. Bahkan untuk keperluan ekspor impor terutama kapal-kapal asing memilih berlabuh di Singapura dan Malaysia. Menurut Ray (2008), rata-rata waktu pulang pergi kapal (suatu ukuran yang menjumlahkan seluruh waktu yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk waktu tunggu, wakatu pelayanan, waktu tidak efektif, waktu kerja, dan lainnya) juga menandakan kualitas pelabuhan Indonesia terutama Tanjun Priok yang masih rendah, dimana kapal-kapal memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan (sekitar 3.5 hari). Walaupun jauh mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 79 hari, namun masih relatif tertinggal dibandingkan Singapura dan Malaysia yang bisa mencapai 1 hari. Hasil kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tahun 2012, biaya pelayaran masih relatif terbesar yaitu berkisar antara 52-60 persen dari total biaya angkutan, tergantung dari komoditas dan lokasinya. Biaya terbesar lainnya adalah biaya pelabuhan baik pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan sekitar 27-36 persen, sisanya adalah biaya angkutan darat sekitar 9-16 persen. Selama ini komponen tarif di pelabuhan Indonesia mencapai 60 persen dari total biaya angkutan laut. Apabila infrastruktur pelabuhan semakin baik sehingga kegiatan di pelabuhan menjadi efisien yang diindikasikan dengan biaya dan tarif pelabuhan bisa turun 50-70 persen, maka biaya perdagangan laut pun akan menurun secara
154
signifikan. Buruknya infrastruktur ini tentunya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan akan terus membebani industri, karena barang dan jasa yang dihasilkan tidak memiliki daya saing di pasar internasional dan tidak memiliki daya saing terhadap barang impor. Upaya yang sedang diupayakan untuk mengurangi dwell time diantaranya penerapan Auto Gate System (sistem pintu otomatis) di Jakarta Internasional Container Terminal (JICT), yang merupakan terobosan untuk meningkatkan kecepatan layanan pemasukan dan pengeluaran kontainer di pintu kawasan pelabuhan (TPS). Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan operasional tempat pemeriksaan fisik terpadu (TPFT) di CDC Banda dan di Graha Segara. Program ini merupakan upaya bersama antara Bea Cukai dengan Karantina untuk melakukan pemeriksaan fisik barang secara terpadu untuk meninkatkan kecepatan layanan.
Penerapan
integrated
cargo
release
(i-Care)
System
melalui
pengoperasian cargolink di TPK Koja yang melakukan integrasi secara elektronik seluruh layanan yang terkait dengan pengeluaran barang pasca persetujuan dari Bea Cukai (post-clearance) juga mulai diupayakan. Menurut World Bank (2011) untuk perdagangan lintas perbatasan khususnya kegiatan impor Indonesia menunjukkan bahwa jumlah dokumen yang diperlukan untuk mengimpor barang adalah 6, relatif lebih banyak dibanding Thailand (3), dan Singapura (4). Terkait dengan waktu, waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan impor barang di Indonesia paling lama (27 hari) dibanding negara ASEAN lainnya. Sementara untuk biaya impor mencapai US$ 660 per kontainer. Biaya ini mencakup biaya resmi untuk dokumen, biaya administrasi bea dan cukai, pengawasan teknis, dan biaya penanganan (terminal handling). Dari Tabel 44 terlihat bahwa kinerja prosedural kegiatan impor Philipina dan Vietnam tahun 2011 terus mengalami peningkatkan dibandingkan tahun 2010 terutama dalam hal waktu dan biaya impor per kontainer.
155
Tabel 44. Prosedural Impor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011 Negara
2010 Dokume Waktu Biaya n (hari) (US$/ (jumlah) kontainer) Indonesia 6 27 660 Singapura 4 3 439 Thailand 3 13 795 Malaysia 7 14 450 Philipina 8 16 819 Vietnam 8 21 940 Sumber : World Bank, 2010-2011
Dokume n (jumlah) 6 4 3 7 8 8
2011 Waktu (hari) 27 4 13 14 14 21
Biaya (US$/ kontainer) 660 439 795 450 730 645
Hasil estimasi indikator kualitas infrastruktur transportasi lainnya yaitu LSCI dan kualitas jalan serta kualitas bandara Indonesia sebagai negara pengimpor juga berpengaruh signifikan, walaupun dengan nilai koefisien yang relatif lebih kecil dibandingkan kualitas pelabuhan. LSCI Indonesia berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor Indonesia, baik untuk model 1 maupun model 2, masing-masing sebesar 0.0624 dan 0.0842. Hal ini dikarenakan belum efisiennya komponen pembentuk LSCI Indonesia sehingga tingkat konektivitas terhadap jaringan pelayaran internasional masih relatif rendah. Tidak demikian halnya dengan LSCI negara asal impor yang sudah relatif lebih baik. Hal ini diindikasikan dengan koefisien yang signifikan dan bertanda negatif, masingmasing dengan koefisien -0.0015 dan -0.0014. Sama halnya dengan hasil estimasi biaya ekspor, hasil estimasi kualitas jalan menunjukkan bahwa kualitas jalan Indonesia berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor (model 1 dan model 2). Artinya, semakin baik kualitas infrastruktur jalan (banyak yang beraspal sehingga semakin mudah diakses), justru akan meningkatkan biaya impornya. Hal ini diduga terkait dengan masih tingginya biaya-biaya perjalanan yang ilegal (pungutan liar) sepanjang perjalanan barang baik di sekitar pelabuhan maupun dari pelabuhan sampai ke tujuan (produsen/konsumen). Pentingnya infrastruktur jalan adalah dalam proses pengangkutan barang di sekitar pelabuhan, dari kapal ke gudang penyimpanan sementara, tempak cek fisik, maupun dari pelabuhan ke gudang importer (di luar pelabuhan) sampai ke konsumen akhir. Belum lagi sering terjadi kemacetan di
156
dalam bandara maupun sekitar bandara yang seringkali menimbulkan biaya. Sementara untuk model 3 berpengaruh signifikan negatif. Untuk moda transportasi udara, kualitas infrastruktur yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor adalah kualitas bandara Indonesia dengan koefisien yang bertanda negatif sebesar -0.4008. Sampai saat ini peran moda transportasi udara dalam angkutan barang masih relatif terbatas, terutama untuk barang-barang tertentu yang berkarakteristik ‘time delivery”, bernilai tinggi, dan relatif ringan. Peran utama moda transportasi udara masih didominasi untuk angkutan penumpang. Dengan demikian masalah infrastruktur bandara pun tidak serumit seperti yang terjadi di moda transportasi laut. Masalah yang seringkali terjadi dalam hal infrastruktur bandara diantaranya, pertumbuhan jumlah bandara yang relatif stagnan, kapasitas penyimpanan kargo sudah melebihi kapasitas yang ada. Sementara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan negatif sebesar -0.0840.
Masalah jalan menuju bandara tidak serumit seperti jalan
menuju pelabuhan. Sementara hasil estimasi pengaruh indikator kualitas infrastruktur terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 45. Berdasarkan hasil estimasi model 1 (total) dan model 2 (moda transportasi laut) terlihat bahwa kualitas pelabuhan Indonesia berpengaruh positif terhadap volume impor Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia akan mendorong peningkatan volume yang diimpornya. Hasil estimasi tingkat konektivitas pelayaran Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional Indonesia berpengaruh signifikan negatif untuk kedua model (1 dan 2). Artinya semakin terkoneksi dengan jaringan pelayaran intenasional maka impor Indonesia (volume ekspor dari negara pengekspor ke Indonesia) justru semakin menurun baik total maupun moda transportasi laut. Hal ini diduga terkait dengan armada domestik yang belum mampu menguasai pasar luar negeri.
157
Tabel 45. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Terhadap Volume Impor Indonesia Variabel Total Laut Konstanta (C) 13.1484*** 12.3760*** Ln_GDPcapi 1.3618*** 1.3337*** Ln_GDPcapj -1.2990*** -1.3614*** Ln_Trdopnnsi -1.7885*** -1.8427*** Ln_Trdopnnsj 0.6370*** 0.6277*** PORTi 0.2639** 0.5798*** PORTj LSCIi -0.0257*** -0.0205*** LSCIj -0.0020 -0.0021 JLNi -0.0321 -0.1952*** JLNj -0.0268 AIRINFRAi -0.13288** AIRINFRAj Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
0.9821 0.4124 294.0416 0.0000 59.5311 1.6554
0.9815 0.4169 284.4566 0.0000 60.8587 1.6400
Transportasi Udara 14.0264*** 5.2387*** -4.3353*** -5.4565*** 4.9996***
0.4506*** -4.5743
0.9828 0.3286 314.2882 0.000000 38.0284 2.0330
Fixed Effect (Intersep) Maksimum Minimum
1.8821 (Qatar) 1.9197 (Qatar) 5.6332 (Estonia) -2.2743 -2.3782 -7.4245 (Cina) (Bangladesh) (Bangladesh) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Untuk moda transportasi laut dan udara kualitas jalan negara pengimpor berpengaruh signifikan terhadap perdagangan. Untuk moda transportasi laut, kualitas jalan berpengaruh negatif. Artinya, semakin baik kualitas jalan di negara pengimpor akan menurunkan volume yang diperdagangkan. Hal ini diduga masih banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi selama perjalanan barang. Untuk melihat indikator kualitas kelembagaan mana yang lebih banyak memengaruhi biaya impor Indonesia dapat dilihat pada Tabel 46. Hasil estimasi menunjukkan untuk ketiga model yaitu tanpa membedakan moda transportasi, moda transportasi laut dan moda transportasi udara, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan terhadap biaya impor Indonesia adalah indikator terkait
158
efisiensi peraturan/birokrasi pemerintah dan indikator korupsi Indonesia. Kedua indikator tersebut untuk ketiga model konsisten berpengaruh signifikan negatif. Artinya, semakin efisien peraturan atau birokrasi pemerintah terkait perdagangan akan semakin menurunkan biaya. Demikian halnya dengan variabel korupsi, semakin tidk ada indikasi korupsi akan semakin menurunkan biaya. Tabel 46. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Impor Indonesia Variabel Total laut Udara Konstanta (C) 0.7007*** 0.6344** 2.4504*** Ln_H 0.0375 0.0594 -0.1353*** Ln_BBKR 0.1136*** 0.1703*** 1.2737*** INFRAi -0.0182 -0.0082 -0.0112 INFRAj -0.0485 -0;0196 -0.1430*** CORRUPi -0.0040*** -0.0078*** -0.0072** CORRUPj -0.0004 -0.0018 0.0017 BURDENi -0.0410* -0.0688*** -0.1766** BURDENj 0.0304 0.0371 -0.0884 CRIMEi 0.0243** 0.0380*** -0.0220 CRIMEj Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
0.9162 0.2853 59.8084 0.0000 28.5070 1.6382
0.9137 0.3122 57.9696 0.0000 34.1233 1.696
0.7343 0.4178 15.8599 0.0000 61.1022 1.7576
Fixed Effect (Intersep) Maksimum
1.1199 1.1554 1.1582 (Swedia) (Kamboja) (Kamboja) Minimum -0.5629 (Brazil) -0.6338 (Cina) -0.7057 (Brazil) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10% Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kelembagaan adalah adanya National Single Window (NSW) yang mulai diterapkan pada tahun 2007 di Pelabuhan Tanjun Priok. NSW ini merupakan sistem yang memungkinkan single submission dari data dan informasi, single and synchronous processing dari data dan informasi, serta a single decision making untuk pemeriksaan dan pengeluaran barang yang akan mempermudah DJBC dan pelaku perdagangan dalam kegiatan perdagangnnya
159
sehingga efektivitas dan kinerja lalulintas barang meningkat, minimisasi waktu dan biaya terutama terkait custom release dan clearance of cargoes, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing perdagangan. Ada 18 Kementerian dan Lembaga atau 21 instansi yang terintegrasi dalam memberikan izin pelayanan untuk ekspor dan impor. Sampai saat ini ada sembilan pelabuhan yang sudah menerapkan sistem INSW untuk 90 persen volume perdagangn luar negeri. Terkait dengan indikasi korupsi, beberapa temuan lapang survei Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan walaupun sudah relatif mengalami perbaikan, namun masih ditemukan adanya pungutan yang yang sifatnya ilegal terutama pada saat pengecekan dokumen dan cek fisik untuk jalur merah. Hal ini umumnya dilakukan atas inisiatif importir untuk mempercepat proses pengeluaran barang, karena biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Jalur merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang, dan dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Kriteria jalur merah meliputi : importir baru, importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi (high risk importir), barang impor sementara, barang Operasional Perminyakan (BOP) golongan II, barang re-impor, terkena pemeriksaan acak, barang impor tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi dan/atau berasal dari negara yang berisiko tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada akhir 2012, pemerintah sudah berupa membangun fasilitas pemeriksanaan fisik terpadu yang biasanya selain melibatkan DJBC juga instansi Karantina. Fasilitas ini akan dioperasikan mulai tahun 2013 ini. Hasil estimasi indikator indikator kejahatan terorganisir (organized crime) Indonesia yang berpengaruh signifikan positif untuk model 1 dan model 2. Artinya, semakin tidak ada biaya terkait kejahatan terorganisir justru akan meningkatkan biaya impor. Hal ini diduga walaupun secara resmi biaya untuk keamanan terkait kejahatan terorganisir semakin baik atau semakin tidak memberatkan, namun masih adanya biaya-biaya yang sifatnya tidak resmi yang yang harus dikelurkan para importir untuk mengatasi masalah keamanan atas barang-barang yang diimpornya, terutama apabila harus mengalami penyimpanan sementara di pelabuhan. Menurut Carana (2004) dalam Ray (2008), pengiriman
160
kargo dari Indonesia biasanya menarik premi asuransi sekitar 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidah hanya oleh perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok kejahatan terorganisisr, pencuraian umum dan pencuraian kecil sekaligus pemogokan dan penghentian kerja. Dari penjelasan ini terlihat bahwa masalah keamanan terutama di negara Indonesia sebagai negara pengekspor merupakan faktor penting yang harus mendapat perhatian. Sementara untuk moda transportasi udara, kejahatan terorganisir tidak serumit dengan apa yang terjadi di pelabuhan. Masalah keamanan di bandara lebih dikarenakan dalam hal gudang penyimpanan kargo yang sudah melebihi kapasitas sehingga seringklai terjadi kehilangan. Variabel lainnya yang digunakan dalam model yang diduga memengaruhi biaya impor adalah harga barang yang diperdagangkan, harga bahan bakar. Hasil estimasi ketiga variabel tersebut dapat dilihat juga di Tabel 46. Berdasarkan Tabel 46 terlihat bahwa variabel harga bahan bakar untuk ketiga model berpengaruh signifikan positif terhadap biaya impor. Koefisien harga bahan bakar tertinggi terlihat pada model 3, yaitu model moda transportasi udara yaitu sebesar 1.2657. Artinya apabila terjadi peningkatan harga bahan bakar avtur sebesar 1 persen akan meningkatkan biaya impor sebesar 1.2657. Dengan kata lain, apabila terjadi perubahan harga bahan bakar, biaya impor lebih responsif pada moda transportasi udara dibandingkan moda transportasi laut. Hasil estimasi pengaruh masing-masing indikator kualitas kelembagaan terhadap volume impor dapat dilihat pada Tabel 47. Untuk model 1 yaitu total tanpa
membedakan
moda
transportasi
terlihat
bahwa
ketiga
indikator
kelembagaan yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan. Variabel kebebasan korupsi dari kedua negara yang terlibat perdagangan baik negara pengimpor (Indonesia) maupun
negara pengekspor (asal impor) berpengaruh
positif terhadap perdagangan, masing-masing sebesar 0.0716 dan 0.0102. Artinya, semakin tidak ada indikasi korupsi baik di negara pengimpor maupun negara pengekspor akan meningkatkan volume perdagangan, meningkatkan impor oleh Indonesia dan sebaliknya. Demikian halnya dengan variabel efisiensi peraturan
161
pemerintah (burden of government regulatory) negara pengimpor berpengaruh signifikan positif,yaitu sebesar 0.1120. Untuk model 2 yaitu impor Indonesia melalui moda transportasi laut, indikator kelembagaan yang berpengaruh signifikan adalah efisiensi terkait peraturan pemerintah di negara Indonesia maupun terkait dengan kejahatan terorganisisr baik di negara Indonesia maupun negara asal impor Indonesia. Indikator kelembagaan terkait efisiensi peraturan pemerintah Indonesia sebagai negara pengimpor berpengaruh signifikan positif terhadap volume impor, yaitu sebesar 0.0626, sementara indikator kelembagaan terkait kejahatan terorganisir baik di negara Indonesia sebagai pengimpor maupun negara asal impor Indonesia berpengaruh signdifikan negatif, masing-masing sebesar -0.0849 dan -0.0604. Tabel 47. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Volume Impor Indonesia Variabel Total Laut Udara Konstanta (C) 10.8823*** 13.2101*** 10.2056*** Ln_GDPcapi 2.1710*** 1.5616*** 4.5425*** Ln_GDPcapj -2.1750*** -1.4964*** -4.4020*** Ln_Trdopnnsi -2.1098*** -1.9442*** -5.6838*** Ln_Trdopnnsj 2.0157*** 0.8160 5.2641*** CORRUPTi 0.0176*** 0.0021 0.0715*** CORRUPTj 0.0102*** BURDENi 0.1120*** 0.0626** -0.1118*** BURDEN j -0.0865** -0.0770 0.0243 CRIMEi -0.0809** -0.0849*** -0.0134 CRIMEj -0.1714*** -0.0604** Adjusted R2 S.E of Regresion F-stat Prob (F-stat) Sum square resid Durbin Watson Stat
(Intersep) Maksimum
0.9810 0.4411 275.5470 0.0000 67.9148 1.7614
0.9803 0.4036 268.9387 0.0000 57.0300 1.6266
3.5884 (Kuwait)
2.2922 (Qatar)
0.9889 0.3147 488.9777 0.0000 34.7655 1.9474
6.1200 (Mauritius) Minimum -2.3607 -2.4171 -7.7793 (Bangladesh) (Bangladesh) (Cina) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10%
162
Dari hasil estimasi dan pembahasan mengenai pengaruh kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan kualitas kelembagaan terhadap biaya maupun volume perdagangan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya bahwa kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan sangat menentukan perdagangan internasional baik terkait biaya maupun volume perdagangan, baik ekspor maupun impor. Mengingat infrastruktur transportasi sangat menentukan perdagangan, dari indikator transportasi yang dianalisis menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan (port quality) sangat menentukan perdagangan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien
kualitas pelabuhan yang relatif lebih besar. Terlebih lagi dengan perdagangan antar negara lebih banyak (> 95%) dilakukan melalui moda transportasi laut. Namun demikian bukan berarti moda transportasi udara tidak menjadi penting. Moda transportasi udara sangat diperlukan dalam perdagangan produk yang bersifat cepat rusak/busuk, “time delivery”, bernilai tinggi tidak bersifat bulky. Komponen pembentuk kualitas pelabuhan yang sangat menentukan lancarnya lalu lintas perdagangan sehingga diharapkan mampu meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia relatif sangat kompleks diantaranya terkait dengan kapasitas pelabuhan yang sudah tidak mencukupi lagi, terlebih lagi dengan semakin meningkatnya arus perdagangan yang terjadi saat ini yang diduga akan terus meningkat. Belum adanya pelabuhan yang berkapasitas pelabuhan hub internasional yang merupakan pelabuhan utama primer yang mampu melayani angkutan alih muat (transshipment) peti kemas nasional dan internasional dengan skala pelayanan transportasi laut dunia. Hal ini lebih dikarenakan masih terbatasnya kedalaman pelabuhan di Indonesia yang umumnya tidak bisa lebih dari 12 meter dan sangat rawan terhadap kedangkalan, yang pada akhirnya hanya kapal yang berkapasitas kecil dan menengah yang bisa berlabuh. Hal lainnya terkait dengan posisi pelabuhan utama yang umumnya berada di pusat kota sehingga seringkali menyebabkan kemacetan di sekitar pelabuhan maupun menuju atau dari pelabuhan yang berimplikasi pada biaya. Dari penjelasan di atas terlihat sangat diperlukan perluasan dan pengembangan pelabuhan. Namun hal ini tentunya akan memerlukan waktu yang lama sehingga prioritas yang harus
163
dilakukan adalah meningkatkan efektifitas kegiatan yang ada saat ini seperti mengurangi waktu tunggu (dwell time) dan efisiensi kepabenanan. Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah masih terbatasnya sarana bongkar muat dan SDM serta belum efektif dan efisiennya pengelolaan pelabuhan juga menyebabkan kualitas pelabuhan Indonesia belum menggembirakan. Terkait dengan indikator kelembagaan, walaupun hasil estimasi dan pembahasan kualitas kelembagaan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perdagangan, namun terlihat bahwa indikator kualitas kelembagaan terkait dengan efisiensi peraturan atau birokrasi pemerintahan terutama pada kegiatan impor yang memang dirasakan para importir dan industri lebih sulit dan berbelit.
164
Halaman ini sengaja dikosongkan
165
BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1.
Kesimpulan Beberapa kesimpulan penting yang dihasilkan dari penelitian ini, adalah :
1. Permasalahan dan tantangan infrastruktur transportasi laut adalah terkait regulasi yang mengatur pelayaran maupun pelabuhan, terbatasnya kapasitas pelabuhan, terbatasnya sarana dan prasarana pelabuhan untuk bongkar muat, gudang penyimpanan, serta kurangnya SDM yang berkualitas baik untuk penbelolaan pelabuhan maupun untuk bongkar. Sampai saat ini peran armada pelayaran nasional terutama untuk angkutan luar negeri masih sangat rendah (< 10%). Untuk angkutan dalam negeri kontribusi armada pelayaran nasional terus meningkat terutama sejak ditetapkannya Inpres No. 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Namun untuk angkutan ekspor impor, masih didominasi kapal asing (90%). 2. Kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan secara keseluruhan menentukan perdagangan internasional yaitu mampu menurunkan biaya ekspor maupun biaya impor dan mampu meningkatkan volume perdagangan baik ekspor maupun impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut dan udara. 3. Kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan (keseluruhan) negara Indonesia lebih memengaruhi perdagangan baik ekspor maupun impor Indonesia dibandingkan kualitas infrastruktur dan kualitas kelembagaan (keseluruhan) negara tujuan ekspor maupun negara asal impor Indonesia 4. Dari berbagai indikator kualitas infrastruktur transportasi, kualitas pelabuhan (port quality) merupakan indikator yang paling memengaruhi biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya impor maupun volume impor, baik total tanpa membedakan moda transportasi maupun berdasarkan moda transportasi laut.
Sementara untuk moda transporasi udara kualitas bandara sangat
menentukan biaya ekspor maupun volume ekspor serta biaya ekspor maupun volume impor Indonesia. Semakin baiknya kualitas pelabuhan dan bandara Indonesia akan menurunkan biaya ekspor maupun impor Indonesia sehingga
166
akan meningkatkan volume ekspornya dan mampu meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional. 5. Kualitas pelabuhan yang menentukan biaya dan volume perdagangan meliputi kapasitas pelabuhan, kapasitas gudang penyimpanan sementara, efisiensi waktu tunggu kapal (dwelling time), dan efisiensi bongkar muat, sedangkan kualitas bandara terutama terkait kapasitas gudang penyimpanan dan informasi jadwal kargo. 6. Indikator kualitas kelembagaan yang lebih memengaruhi biaya ekspor maupun impor Indonesia adalah terkait dengan efisiensi terkait peraturan dan birokrasi pemerintah (burden of government regulatory) dan indikator kejahatan yang terorganisir (organized crime), serta korupsi.
8.2.
Rekomendasi
1. Penurunan biaya perdagangan khususnya biaya transportasi dan peningkatan volume perdagangan baik ekspor maupun impor dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas infrastruktur transportasi khususnya kualitas pelabuhan (port
quality) dengan
cara meningkatkan
kapasitas
pelabuhan
dan
pengembangan pelabuhan, termasuk sarana dan prasarana fisik lainnya yang akan mendukung efisiensi dan kinerja pelabuhan. Peningkatan kualitas infrastruktur terutama infrastruktur pelabuhan (port quality) dapat dilakukan melalui peningkatan alokasi anggaran dan efektivitas anggaran infrastruktur baik melalui APBN, APBD maupun peran swasta, dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi kondisi infrastruktur yang ada 2. Dalam rangka mendukung pengembangan logistik untuk meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia menghadapi Integrasi Logistik ASEAN 2013, Integrasi Pasar ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 serta Integrasi Pasar Global 2020, ketersediaan Pelabuhan Hub Internasional perlu segera difasilitas pemerintah dan swasta, sehingga pengangkutan Indonesia dalam kapasitas besar tidak lagi harus melewati Singapura maupun Malaysia. 3.
Mengingat produktivitas dan kapasitas pelabuhan nasional semakin tidak mampu mengimbangi peningkatan arus barang baik domestik maupun internasional, hal yang harus dilakukan dalam jangka pendek adalah
167
mengurangi waktu tunggu dan meningkatkan efektifitas dan efesiensi bongkar muat. 4. Belum terintegrasinya manajemen pelabuhan yang berimplikasi pada birokrasi yang masih dirasakan berbelit dan tidak efisien seringkali dikeluhkan para importir dan eksportir perlu segera difasilitasi pemerintah, sehingga dengan birokrasi yang efisien dapat mendukung meningkatkan daya saing perdagangan Indonesia di pasar internasional. Hal ini bisa dilakukan dengan koordinasi yang terintegrasi antar instansi terkait dan kejelasan pengaturan pelabuhan. 5. Mengingat perkembangan jasa angkutan kargo udara cenderung meningkat, sementara kapasitas yang ada masih terbatas, peningkatan kualitas penanganan kargo udara perlu mendapat perhatian untuk menghindari peningkatan biaya terkait kerusakan dan keamanan.
8.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini belum memberikan hasil yang
maksimal didasarkan yang pada karakteristik produk terkait dengan moda transportasi laut dan udara. Hal ini disebabkan belum sempurnanya model yang dibangun karena keterbatasan data yang diperoleh yang masih agregat. Apabila tersedia data yang lebih lengkap terkait perdagangan menurut komoditi dan moda transportasi, tentunya akan melengkapi hasil penelitian ini. Demikian halnya dengan penambahan variabel lain terkait teknologi angkutan laut maupun udara, berbagai kebijakan baik kebijakan liberalisasi maupun kebijakan terkait infrastruktur dan moda transportasi, akan lebih menyempurnakan penelitian ini.
168
Halaman ini sengaja dikosongkan
169
DAFTAR PUSTAKA Anderson, J. E. 1979. A. Theorical Foundation for The Gravity Equation. American Economic Review, Vol. 69, No. 1, 106-116 Anderson, J. E. and van Wincoop, E. 2004. Trade Costs. Journal of Economic Literature, 42: 691-751. AUSAID. 2012. Pembangunan Pelabuhan. Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, 10 April 2012: 1-22. Jakarta. Austria, M. 2003. Liberalization and Deregulation in The Domestic Shipping Industry : Effects on Competiton and Market Structure. Philippine Journal of Development Number 55, 30 (1). [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012. Kajian Evalusi Pembangunan Bidang Transportasi di Indonesia. Bappenas. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik : Perkembangan Ekspor dan Impor Desember 2012. No.09/02/Th.XVI, 1 Februari 2013. http//:bps.go.id/brs_file/eksimp_01feb2013/.pdf accesed on 10 April 2013 Bendall, H. and Stent, A. (1987). On measuring cargo handling productivity. Maritime Policy and Management Journal, 14(4), 337-343. Bergstrand, J. H. 1985. The gravity equation in international trade: Some microeconomic foundations and empirical evidence. The Review of Economicsand Statistics, 67, 474-481. Bergstrand, J. H. 1989. The generalized gravity equation, monopolistic competition, and the factor-proportions theory in international trade. The Review ofEconomics and Statistics, 71, 143-153. Baier, S & Jeffrey B. 2001. The growth of world trade: tariffs, transport costs, and income similarity. Journal of International Economics, 53, 1–27. Baier, S & J Bergstrand. 2009. Bonus Vetus OLS: A simple method for approximating international trade-cost effects using the gravity equation. Journal of InternationalEconomics, 77, 77-85. Bougheas, S, Panicos, O.D, and Edgar L.W.M. 1999. Infrastructure, Transports Cost and Trade. Journal of International Economics, 47, 169-189. Borrmann, A, Matthias, B and Silke, N. 2006. Institutional Quality and Gains From Trade. Discussion Paper Hamburg Institute of International Economics. Hamburg.
170
Carana. 2004. Impact of Transport and Logistics on Indonesia’s Trade Competitiveness. USAID. Jakarta. Chang R, Linda K dan Norman KL. 2009. Openness Can Be Good for Growth: The Role of Policy Complementarities. Journal of Development Economics 90:33-49 Chen PP dan Rangan G. 2006. R&D, Openess Growth. Working Papers series 2003-2006. Department of Economics. University of Pretoria. Clark, X., Dollar, D. and Micco, A. 2004. Port efficiency, maritime transport costs, and bilateral trade. Journal of Development Economics, 75, 417450. Coase, R. 1998. The New Institutional Economics, American Economic Review, Vol. 88, pp. 72-74. D., Hummels. 2007. Transportation Costs and International Trade in The Second Era of Globalization. The Journal of Economic Perspectives 21: 3. De Groot, H.L.F, Gert J.L, Piet R, Umma S. 2003. The Institutional Determinants of Bilateral Trade Patterns. Tinbergen Institute Discussion Paper. Amsterdam. De Neufville, R. and Tsunokawa, K. 1981. Productivity and Returns to Scale of Container Ports. Maritime Policy and Management Journal, 8(2), 121129. Deonas, N. 2004. Logistical and Transportation Infrastructure In Asia : Potensial for Growth and Development to Support Inceasing Trade with Europe. Masschusset Institute og Technology. De, P., 2007. Impact of trade costs on trade: Empirical evidence from Asian countries, pp. 281-307, Chapter IX in ESCAP, Trade facilitation beyond the multilateral trade negotiations: Regional practices, customs valuation and other emerging issues – A study by the Asia-Pacific Research and Training Network on Trade, (United Nations, New York). Direktorat Jenderal Bina Marga. 2012. Rencana Strategis 2010-2014. Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum RI. Jakarta. Edwards, S. 1998. Openess, Productivity, and Growth : What Do We Realy Know ? Economic Journal, Vol. 108 383-398 Edwards, L and Martin, O. 2008. Infrastructure, Transports Cost and Trade. Small Grant Scheme Research Paper Series 2008. Esfahani, H.S., Maria, T.R. 2003. Institution, Infrastructure, and Economic Growth. Journal of Development Economics 70 : 443-447.
171
Falvey, R, Neil, F and David, G. 2004. Imports, Export, Knowledge Spillovers and Growth. Economics Letters 85: 209-213. Fanta, E.G. 2011. Institutional Quality, Export Performance and Income. Dissertation. Rurh University Bochum. Bochum. Firman, A. 2007. Dampak Sektor Transportasi terhadap Sektor Pertanian dan Peternakan. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Frankel, J & D Romer. 1999. Does Trade Cause Growth?. American Economic Review 89(3), 379-399. Francois, J, K Kepler & M Manchin. 2007. Institutions, Infrastructure, and Trade. World Bank Policy Research Working Paper 4152. Gani, A., Biman, C.P. 2006. Institutional Quality and Trade in Pasific Island Countries. Asia Pacific Research and Training Network on Trade. Working Paper Series, Np. 20, October 2006. Greenhuizen, M,. von. 2000. Interconnectivity of transport networks: a conceptual and empirical exploration. Transportation Planning and Technology, vol. 23. Helpman, E, M Melitz & Y Rubinstein. 2008. Estimating Trade Flows: Trading Partners and Trading Volumes. Quarterly Journal of Economics, 123(2), 441-487. Hoekman, B & A Nicita. 2008. Trade Policy, Trade Costs, and Developing Country Trade. World Bank Policy Research Working Paper 4797. Hoffmann, J., Micco, A., Pizzolotti, G., Sánchez, R., Sgut, M. and Wilmsmeier, G. 2003. Port Efficiency and International Trade: Port Efficiency as a Determinant of Maritime Transport Cost. Maritime Economics and Logistics, 5 (2). Hummels, D. 2009. Globalization and freight transport costs in maritime shipping and aviation..International Transport Forum Working Paper 3. Hummels, D & V Lugovskyy. 2006. Are Matched Partner Trade Statistics a Usable Measure of Transportation Costs?, Review of International Economics, 14(1), 69–86. Hummels, D. 2007. Transportation Costs and International Trade in The Second Era of Globalization. Journal of Economics Perspectives, Vol. 21. No. 3, 131-154. Hummels, D & G Schaur. 2009. Hedging price volatility using fast transport. National Bureau of Economic Research Working Paper 15154
172
Hummels, D, V Lugovskyy & A Skiba. 2009. The trade reducing effects of market power in international shipping. Journal of Development Economics, 89, 84–97 . Jansson and Shneerson. 1982. The Optimal Ship Size. Journal of Transport Economics and Policy, 16 (3) : 217-238. Kadin Indonesia dan European Union. 2012. Infrastruktur dan Logistik di Indonesia : Kondisi, Kendala dan Solusi Alternatif. Policy Paper No. 8, September 2012. Jakarta. Kadir, A. 2006. Transportasi : Peran dan Dampaknya dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Wahana Hijau. Vol. 1 No. 3 April 2006 hal 121-131. Kalejian HH and Robinson. 1997. Infrastructure Productivity Estimation and Its Underlying Econometric Specifications: A sensitivity Analysis. Papers in Regional Science, 76:115-131 Kementerian PPN/Bappenas. 2012. Kajian Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi Indonesia. Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral. Kementerian PPN/Bappenas RI. Jakarta. Kurmanalieva E. 2006. Transport Costs in International Trade. http://www.haveman.org/EITI07/Kurmanalieva.pdf accesed on 11 Jan 2012. Kuwamori, H. 2006. The role of distance in determining international transport costs: evidence from Philippine import data. Institute of Developing Economies Discussion Paper No 20, May, 2006. Krugman, P. 1980. Scale Economies, Product Differentiation, and the Pattern of Trade. American Economic Review, Vol. 70: 950-959 Krugman, P. 1991, Increasing Returns and Economic Geography. Journal of Political Economy 99 (3) : 483-499. Krugman, P. R and Maurice, O. 2003. International Economics : Theory and Policy. Sixth Edition. Pearson Education, Inc. Boston. Kuwamori, H. 2006. The Role of Distance in Determining International Transport Costs : Evidence from Philipina Import Data. Discussion Paper No. 60. Institute of Developing Economies (IDE), JETRO. Japan. Landes, D.S. 1990. Why Are We So Rich and They So Poor. The American Economic Review. 80 (2) : 1-13 Levchenko, A.A. 2004. Institutional Wuality and International Trade. IMF Working Papers. WP/04/231. IMF.
173
Lim, S.M. 1998. Economies of scale in container shipping. Maritime Policy and Management Journal, 25(4): 361-373. Limâo, N. and Venables, A. J. 2001. Infrastructure, geographical disadvantage, transport costs and trade, The World Bank Economic Review, 15 (3), 451479. Lloyd’s Register Technical Association. 2002. Ultra-Large Container Ships (ULCS): Designing to the limit of current and projected terminal infrastructure capabilities. Martínez-Zarzoso, I. and Nowak-Lehmann, F. 2003. Augmented Gravity Model: An empirical application to Mercosur-European Union trade flows. Journal of Applied Economics, 6 (2): 291-316. Martínez-Zarzoso, I. and Suárez-Burguet, C. 2003. Transport costs and trade: empirical evidence for Latin American imports from the European Union. Maritime Profile, ECLAC. Martínez-Zarzoso, I., García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2002. Maritime and Overland Transport Costs and Infrastructures: Do they influence exports?. University of Valencia. Spain (Working Paper). Martínez-Zarzoso, I., García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2003. The impact of transport costs on international trade: The case of Spanish ceramic exports. Maritime Economic and Logistics, 5 : 179-198. Martínez-Zarzoso, I., Pérez-García, E.M., San Juan-Lucas, M.E. and SuárezBurguet, C. 2004. How Important are Transport Costs for International Trade? An Empirical Study for Spanish Exporting Sectors. International Association of Maritime Economists – IAME Annual Conference 2004 Proceedings, Volume I, Dokuz Eylul Publications, 597-608. Mathee, M. 2007. Essays in domestic transport costs and Export regions in south Africa. North-West University Micco, A. and Pérez, N. 2002. Determinants of Maritime Transport Costs. WP441, Inter-American Development Bank. Muuse, A. 2010. Transport Infrastructure, Intraregional Trade, and Economic Growth. Jonkoping International Business School. Jonkoping University. Napitulu, M. 2011. Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Perekonomian JawaBali dan Sumatera : Suatu Analisis Inter Regional Social Accounting Matrix. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
174
Nordas, H and Roberta, P. 2004. Infrastructure and Trade. Staff Working Papers ERSD-2004-04. Agustus 2004. WTO. North, D, C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance, New York. Cambridge University Press. Pomfret R dan Patricia S. 2009. Why Do Trade Costs Vary?. Research Papers No 2008-08. The University of Adelaide School of Economics. Australia. Porto, G.G. 2005. Informal export Barriers and Poverty. Journal economics, 66(2): 447-470. Ray D. 2008. Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan UU Pelayaran Tahun 2008. USAID dan SENADA. Jakarta. Ristianingrum, A. 1999. Analisis Permintaan, Penawaran dan Efisiensi Jasa Transportasi Laut Sebagai Upaya Mengurangi Defisit Transaksi Berjalan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Romer, D, Jeffrey, A,F. 1999. The American Economic Review, Vol. 89, No. 3, (Jun., 1999), pp. 379-399 Rudiyanto, B, Y. 2011. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Rutherford, M. 2001. Institutional economics: then and now, Journal of Economic Perspectives 15(3): 173-94.
Sanchez, R., Jan, H., Alejandro, M., Georgina, V.P., Pizzolitto, Martin, S., and Gordon, W. 2003. “Port Efficiency and International Trade : Port Efficiency as a Determinant of Maritime Transport Costs,”. Maritim Economics and Logistics 5 (2003): 199-218. Teteng, A.K. 2009. “Efisiensi Kinerja dan Biaya Pelabuhan Terhadap Ekspor Barang Melalui Angkutan Laut”. JMT, 10(3) : 242-254. UNCTAD (2004), Review of Maritime Transport 2004, UNCTAD, Geneva. UNCTAD (2012), Review of Maritime Transport 2011, UNCTAD, Geneva. Wilson, J, C Mann & T Otsuki. 2005. Assessing the Benefits of Trade Facilitation: A Global Perspective. The World Economy, 841-871. Wooldridge, J. 2002. Econometric Analysis of Cross-Section and Panel Data, MIT Press.
175
WorldBank. 2008. A Handbook of International Trade In Services. Oxford University Press. Worldbank. 2011. Doing Business : Making a Difference for Entrepreneurs. The International Bank for Reconstruction and Development. Worldbank. World Economic Forum. Global Competitiveness Report. 2006-2011. WTO. 2010. International Trade Statistik 2010. WTO Switzerland.
176
Halaman ini sengaja dikosongkan