KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA GAGALGINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RSUDdr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh : Dewi Putri Mardyaningsih NIM. S10011
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Dewi Putri Mardyaningsih NIM
: S10011
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan dari Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.
Surakarta, Juli 2014 Yang membuat pernyataan,
Dewi Putri Mardyaningsih NIM. S10011
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta karuniaNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta
2.
Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan Kepala Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Ibu Ariyani, S.Kep.,Ns. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Ibu Wahyuningsih Safitri, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Penguji yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. iv
6.
Bapak Waluyo, selaku kepala ruang Unit Hemodialisis RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang telah membantu dan mengarahkan peneliti dalam proses penelitian.
7.
Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu penulis.
8.
Bapak Sobirin dan Ibu Maryati, Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu mengajarkan arti kesabaran dan kekuatan, yang tak henti – hentinya mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan maksimal. Skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak dan Ibu tercinta, meskipun belum sebanding dengan pengorbanan dan perjuangan Bapak dan Ibu dalam merawat dan membesarkan penulis.
9.
Adik tercinta Retno Mardyanti atas doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis dan telah berjuang bersama – sama dalam membahagiakan dan membanggakan Bapak dan Ibu tercinta.
10. Kakek, nenek serta saudara – saudara yang terkasih atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 11. Teman – teman kost Matic dan kost Mawar Berduri yang telah memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis serta telah berjuang bersama – sama dalam penyelesaian skripsi. 12. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan (S10) Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang tak pernah berhenti memberikan
v
dukungan kepada penulis dan telah berjuang bersama dalam penyelesaian skripsi. 13. Seluruh partisipan yang telah berkenan menjadi partisipan dalam penelitian ini dan telah membantu peneliti dalam memberikan informasi. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta,
Juli 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
SURAT PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR SKEMA
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
DAFTAR SINGKATAN
xiv
ABSTRAK ABSTRACT BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
1
1.2.Rumusan Masalah
9
1.3.Tujuan
9
1.4. Manfaat Penelitian
10
1.5.Keaslian Penelitian
11
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik 2.1.1. Pengertian
14 14
vii
2.1.2. Etiologi
15
2.1.3. Manifestasi Klinis
15
2.1.4. Patofisiologi
16
2.1.5. Klasifikasi
18
2.1.6. Penatalaksanaan
18
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
19
2.2. Hemodialisis
20
2.2.1. Pengertian
20
2.2.2. Tujuan
20
2.2.3. Indikasi Hemodialisis
21
2.2.4. Adekuasi Hemodialisis
21
2.2.5. Peran Perawat Hemodialisis
22
2.3. Kualitas Hidup
BAB III
25
2.3.1. Pengertian
25
2.3.2. Model Konsep Kualitas Hidup
26
2.3.3. Dampak Hemodialisis terhadap kualitas hidup
28
2.3.4. Status fungsional
32
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Fokus Penelitian
36
3.2. Desain Penelitian
37
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian
38
3.4. Populasi dan Sampel
39
viii
3.5. Pengumpulan Data
BAB IV
41
3.5.1. Cara Pengumpulan Data
41
3.5.2. Alat Pengumpul Data
42
3.5.3. Tahap Pengumpul Data
42
3.6. Analisa Data
46
3.7. Validitas dan Reliabilitas
47
3.8. Etika Penelitian
49
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Tempat Penelitian
50
4.2. Gambaran Karakteristik Partisipan
51
4.3. Hasil Penelitian
72
4.3.1. Tema dari Dimensi Fisik
72
4.3.2. Tema dari Dimensi Psikologis
81
4.3.3. Tema dari Dimensi Hubungan sosial
87
4.3.4. Tema dari Dimensi Lingkungan
90
4.4. Pembahasan
94
4.4.1. Dimensi Fisik
94
4.4.2. Dimensi Psikologis
108
4.4.3. Dimensi Hubungan sosial
110
4.4.4. Dimensi Lingkungan
115
4.5. Keterbatasan Penelitian
ix
117
BAB V
PENUTUP 5.1. Kesimpulan
119
5.2. Saran
120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ..................................................................... 12 Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit .......................... 18
xi
DAFTARSKEMA Halaman Skema 2.1 Skala Pengukuran kualitas hidup menurut WHOQOL-Bref ..... 28 Skema 3.1 Fokus Penelitian .........................................................................
xii
36
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: F-1 Usulan topik penelitian
Lampiran 2
: F-2 Pengajuan persetujuan judul
Lampiran 3
: F-4 Pengajuan izin studi pendahuluan
Lampiran 4
: Surat izin studi pendahuluan
Lampiran 5
: Surat Rekomendasi Kesbangpol Wonogiri
Lampiran 6
: Surat pengantar RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
Lampiran 7
: F-7 Pengajuan surat penelitian
Lampiran 8
: Surat izin penelitian
Lampiran 9
: Surat rekomendasi Kesbangpol Wonogiri
Lampiran 10 : Surat pengantar RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri Lampiran 11 : Surat pernyataan selesai penelitian Lampiran 12 : Surat permohonan menjadi partisipan Lampiran 13 : Persetujuan menjadi partisipan Lampiran 14 : Pedoman wawancara Lampiran 15 : Jadwal penelitian Lampiran 16 : Lembar biodata partisipan Lampiran 17 : Lembar konsultasi Lampiran 18 : Transkrip wawancara Lampiran 19 : Tema – tema Lampiran 20 : Kata kunci dan makna - makna
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AVF
: Akses Vaskular Fistula
Av-Shunt
: Akses Vaskular-Shunt
BAK
: Buang Air Kecil
BUN
: Blood Urea Nitrogen
CKD
: Chronic Kidney Disease
CRF
: Chronic Renal Failure
ESRD
: End Stage Renal Disease
ESRF
: End Stage Renal Failure
FGD
: Focus Group Discussion
GGK
: Gagal ginjal kronik
GFR
: Glomerulus Filtration Rate
HB
: Hemoglobin
HD
: Hemodialisis
ICU
: Intensive Care Unit
LFG
: Laju Filtrasi Glomerulus
Ml
: Mili Liter
Mg
: Mili Gram
NKF
: The National Kidney Foundation
PH
: Pangkat Hidrogen
QB
: Quick Of Blood
RSUD
: Rumah Sakit Umum Daerah
xiv
SD
: Sekolah Dasar
USRDS
: The United States Renal Data System
WHO
: World Health Organization
WHOQoL
: World Health Organization Quality of Life
YGDI
: Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia
xv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 Dewi Putri Mardyaningsih Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri Abstrak
Penyakit ginjalmencakup berbagaipenyakit dan gangguan yangmempengaruhi ginjal. Jika penyakit ginjal tidak segera diobati dan ditangani maka akan terjadi gagal ginjal. Gagal ginjal akan mengakibatkan terganggunya kualitas hidup penderita. Hemodialisis merupakan tindakan pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap 5 partisipan yang menjalani terapi hemodialisis satu tahun terakhir. Data dianalisa menggunakan metode Colaizzi. Kemudian data dianalisa dan didapatkan kata kunci, makna – makna dan tema – tema. Hasil penelitian didapatkan beberapa tema. (1) Tema dimensi fisik : (a) kelemahan fisik; (b) sesak nafas; (c) BAK tidak lampias; (d) kulit hitam; (e) kualitas tidur dan (f) perubahan pola nutrisi. (2) Tema dimensi psikologis : (a) perasaan positif dan (b) perasaan negatif. (3)Tema dimensi hubungan sosial : (a) kurang bersosialisasi; (b) disfungsi seksual dan (c) butuh dukungan. (4) Tema dimensi lingkungan : (a) perubahan status ekonomi; (b) butuh informasi dan (c) puas dengan akses kesehatan dan transportasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak rumah sakit khususnya pelayanan hemodialisis untuk lebih meningkatkan asuhan keperawatan yang menyeluruh terhadap penderita gagal ginjal. Kata Kunci : Gagal Ginjal Kronik, Kualitas Hidup, Hemodialisis Daftar Pustaka : 42 (2001-2013)
xvi
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA 2014
Dewi Putri Mardyaningsih Life Quality of Chronic Renal Failure Clients Undergoing Hemodialysis Therapy at dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency Abstract
Kidney disease includes various diseases and disorders that affect kidneys. If the kidney disease is not immediately medicated and handled, the renal failure will occur. The renal failure will disrupt the life quality of its sufferer. Hemodialysis is an intervention to substitute the renal functions to discharge the wastes of metabolism. The objective of this research is to investigate the life quality of chronic renal failure clients undergoing hemodialysis therapy at dr.Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri regency. This research used the qualitative research method with the phenomenological approach. The data of the research were were gathered through in-depth interview to five participants who underwent hemodialysis therapy for the last one year. The data of the research were analyzed by using the Colaizzi method. The result of the research includes several themes as follows: (1) physical dimension theme which includes (a) physical weakness, (b) difficulty in breathing, (c) incomplete emptying of the bladder when urinating, (d) black skin, (e) sleep quality, and (f) nutrition pattern change; (2) psychological dimension theme which comprises (a) positive feeling and (b) negative feeling; (3) social relation dimension theme which includes (a) lack of socialization, (b) sexual dysfunction, and (c) support need; and (4) environmental dimension theme which covers (a) economic status change, (b) information need, and (c) satisfaction to health access and transportation. The result of this research is expected to provide information to the hospital particularly to the department which provides hemodialysis services to improve nursing care thoroughly for the sufferers of renal failure. Keywords: Chronic renal failure, life quality, and Hemodialysis References: 42 (2001-2013)
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Penyakit ginjal mencakup berbagai penyakit dan gangguan yang mempengaruhi ginjal. Sebagian besar penyakit ginjal menyerang unit penyaringan ginjal, nefron dan merusak kemampuan untuk menghilangkan limbah dan kelebihan cairan (Corrigan 2011). Jika penyakit ginjal tidak segera diobati dan ditangani maka kemungkinan akan terjadi gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan akibat dari beberapa penyakit ginjal yang sudah menahun. Disebut gagal ginjal akut jika kurang dari tiga bulan dan gagal ginjal kronik jika lebih dari tiga bulan. The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Hal ini dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD) disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal / gagal ginjal (End Stage Renal Disease / End Stage Renal Failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan 2011) Kasus gagal ginjal kronik laporan The United States Renal Data System (USRDS 2013) menunjukkan prevalensi rate penderita penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat pada tahun 2011 sebesar 1.901 per 1 juta
1
2
penduduk. Treatment of End-Stage Organ Failure in Canada, 2000 sampai 2009 menyebutkan bahwa hampir 38.000 warga Kanada hidup dengan penyakit gagal ginjal kronik dan telah meningkat hampir 3x lipat dari tahun 1990, dari jumlah tersebut 59% (22.300) telah menjalani hemodialisis dan sebanyak 3000 orang berada dijadwal tunggu untuk transplantasi ginjal (Corrigan 2011).
Sedangkan di Indonesia setiap tahunnya cukup tinggi,
mencapai 200–250/1 juta penduduk. Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Timur, prevalensi penderita gagal ginjal kronik mencapai 192 pasien pada bulan Desember 2011 (Rahman 2013). Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit disembuhkan, biaya perawatan dan pengobatannya yang terhitung mahal (Supriyadi 2011). Ada beberapa treatment untuk menghadapi kasus gagal ginjal kronik. Saat ini ada tiga terapi modalitas pengobatan yang tersedia untuk gagal ginjal kronik yang telah mencapai derajat V (End Stage Renal Disease) yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal (Corrigan 2011). Terbatasnya jumlah donor ginjal yang tersedia untuk transplantasi, dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) cenderung menjadi metode yang paling umum dari pengobatan (Corrigan 2011). Menurut USRDS (2013) pada tahun 2011, jumlah pasien baru yang memulai hemodialisis mulai turun sebanyak 1,5%, total kejadian pasien yang menjalani dialisis adalah sebanyak 112.788 orang, sementara 2,855 orang telah menerima dan melakukan transplantasi, total dari semua pasien yang menjalani terapi pada end stage renal disease pada tahun 2011adalah sebanyak 115,643 orang. Sedangkan di RSUD dr.
3
Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang menjalani terapi hemodialisis mencapai 40 orang. Hemodialisis adalah suatu bentuk tindakan pertolongan dengan menggunakan alat yaitu dializer yang bertujuan untuk menyaring dan membuang sisa produk metabolisme toksik yang seharusnya dibuang oleh ginjal. Hemodialisis merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal pada orang- orang dengan gagal ginjal kronik (Rahman 2013). Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 30 November 2013 melalui wawancara dengan kepala ruang Unit Hemodialisis RSUD Wonogiri yaitu Bp. Waluyo menyatakan bahwa ruang hemodialisis RSUD Wonogiri memiliki kapasitas 6 tempat tidur dengan 2 shift pagi dan siang hari yang berdiri 2 tahun terakhir, dengan jumlah perawat 5 orang. Shift pagi dan siang selalu penuh dalam satu minggu. Terhitung sebanyak 40 orang yang menjalani hemodialisis, baik satu minggu satu kali maupun satu minggu dua kali dan lamanya hemodialisis selama 4 – 5 jam. Pemeriksaan laboratorium (ureum, kreatinin, hemoglobin, dll) dilakukan pada saat awal pasien terdiagnosa penyakit gagal ginjal kronik. Pemeriksaan saat perawatan hanya pada saat diperlukan ketika pasien mengalami kondisi yang mulai memburuk. Dari wawancara yang dilakukan kepada 3 pasien yang menjalani hemodialisis, diapatkan data mengenai dimensi fisik, dimensi psikologi, dimensi lingkungan dan dimensi sosial. Data yang diperoleh dari dimensi fisik, semua pasien (3 pasien) mengungkapkan merasakan nyeri pada seluruh tubuh dan merasa lemas pada
4
awal penyakitnya. Nyeri dirasakan ketika aktivitas. Semua pasien juga mengungkapkan ketika dipasang AV Fistula (Akses Vaskular Fistula) akan merasakan nyeri dan setelah hemodialisis selesai akan merasakan pusing dan sakit kepala serta lemas yang terkadang mengganggu untuk perjalanan pulang. Semenjak harus menjalani hemodialisis, aktivitas fisik dari ketiga pasien akan terganggu dan tidak maksimal seperti dahulu sebelum menjalani hemodialisis. Dua pasien yang baru menjalani hemodialisis selama 1 bulan harus istirahat total dan tidak bekerja, namun teman kerjanya sudah bisa mengerti, kemudian 1 pasien yang sudah menjalani hemodialisis selama 1 tahun dapat melakukan pekerjaan rumah tangga secara mandiri. Ketiga pasien mengungkapkan tidak dapat pergi jauh dan berlama – lama karena mereka mempunyai jadwal hemodialisis yang tidak mungkin untuk ditinggalkan. Ketiga pasien mengalami nutrisi yang tidak adekuat dikarenakan setelah hemodialisis mengalami mual dan muntah. Satu pasien mengatakan setelah dilakukan hemodialisis keadaan tubuhnya semakin membaik dalam satu minggu setelahnya. Satu pasien menyebutkan mengalami gangguan tidur satu hari menjelang hemodialisis. Data yang diperoleh dari dimensi psikologi, 2 pasien mengatakan bahwa pada awal didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis, mereka selalu berfikir negatif tentang hidupnya, seperti (kenapa saya sakit seperti ini, padahal saya masih muda?). Satu pasien mengatakan bahwa dirinya sudah menerima kondisinya semenjak awal diagnosa. Ketiga pasien memiliki harga diri yang positif seperti mereka dapat dihargai oleh orang lain.
5
Ketiga pasien saat ini menerima kondisinya karena memang sudah jalan yang ditentukan Tuhan, ini membuat mereka semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun 2 pasien mengatakan, bahwa dirinya merasa sehat dan tidak perlu dilakukan hemodialisis lagi. Data yang diperoleh dari dimensi hubungan sosial, ketiga pasien mengatakan masih dapat berhubungan dengan orang lain secara baik. Satu pasien mengatakan teman kantor sudah dapat menerima kondisi saat ini dan membantu pekerjaannya. Ketiga pasien sudah mendapat dukungan yang penuh dari beberapa anggota keluarga dan teman. Tiga pasien menyebutkan tidak dapat berhubungan seksual dengan pasangannya dikarenakan kondisi saat ini yang tidak memungkinkan. Data yang diperoleh dari dimensi lingkungan, ketiga pasien mengatakan bahwa pembiayaan hemodialisis ditanggung oleh pemerintah, mereka terdaftar sebagai peserta jamkesmas. Hanya saja untuk transportasi harus menggunakan uang sendiri. Pada awalnya 2 pasien belum mengetahui alur untuk hemodialisis dengan program jamkesmas, kemudian dijelaskan oleh perawat ruangan. Akses kesehatan yang tidak terlalu jauh dari rumah membuat ketiga pasien mudah untuk mendapatkan pelayanan hemodialisis atau pelayanan kesehatan. Hampir dari seluruh kualitas kehidupan pasien berubah semenjak harus menjalani hemodialisis. Mereka telah mengetahui hemodialisis akan dilakukan seumur hidupnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari wawancara terhadap 3 orang pasien adalah ketiga pasien mengalami masalah mengenai hidupnya, hampir
6
seluruh dari aspek kehidupannya berubah semenjak harus hemodialisis. Ketiga pasien harus bertahan dengan kondisi saat ini dan sebisa mungkin tetap beraktivitas. Hal ini menjadi suatu perhatian khusus, karena penyakit gagal ginjal kronik akan menimbulkan berbagai macam gangguan lainnya. Pada gagal ginjal kronik akan terjadi penurunan fungsi ginjal dalam proses eritropoesis yang dapat menyebabkan anemia, terjadinya hipertensi dan edema yang berakibat pada penurunan kualitas hidup pasien baik dari segi fisik, mental, sosial dan lingkungan (Rahman 2013). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis masih merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Pasien bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi hemodialisis, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak
dari
terapi
hemodialisis.
Hemodialisis
bertujuan
untuk
mempertahankan kualitas hidup penderita (Brunner & Suddart 2002). Mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronik itu sendiri (Togatorop 2011). World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa sehat tidak hanya terbebas dari penyakit dan kelemahan, tetapi juga terdapatnya kesejahteraan fisik, mental dan sosial. Hal–hal tersebut merupakan hal yang menjadi masalah pada pasien dengan gagal ginjal kronik karena pada
7
penyakit tersebut terjadi penurunan kualitas hidup yang meliputi aspek aspek tersebut (Lacson 2010). World Health OrganizationQuality of Life mengemukakankualitas hidup adalah persepsi individu dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta sifat psikososial hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk menjalankan peran dan fungsinya (WHOQoL dikutip dalam Nurchayati 2010). Perubahan fisik yang berasal dari gagal ginjal kronik yang sudah mencapai stage V tidak hanya terbatas pada sistem ginjal. Sistem tubuh lain juga dapat dipengaruhi dan menyebabkan penurunan status kesehatan dan kualitas hidup. Banyak perubahan yang terjadi pada penderita gagal ginjal kronik yaitu, perubahan fisik, secara terpisah, masing-masing perubahan fisik memiliki potensi untuk menurunkan kualitas hidup, perubahan psikologi (Psychological Changes), respon psikologis pasien terhadap penyakit dapat bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual atau potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan. Salah satu bentuknya adalah depresi, diketahui bahwa depresi dapat menurunkan respon kekebalan tubuh, dan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stage V penambahan depresi ke dalam pikirannya dapat semakin memperburuk keadaan (Tallis 2005). Selain perubahan pada fisik dan psikologis, Tallis juga menyebutkan pada penyakit gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan sosial (social changes), nutrisi merupakan komponen penting dan utama dalam kehidupan setiap orang. Untuk orang dengan gagal ginjal kronik pentingnya gizi
8
mengingat dampak negatif dari manajemen diet yang buruk. Efek samping tersebut termasuk hiperkalemia, hiperfosfatemia, protein yang berhubungan dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian besar dari interaksi sosial antara orang melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang untuk pasien dengan gagal ginjal kronik untuk mengurangi keterlibatan sosial mereka karena pembatasan makanan dan cairan yang ketat (Tallis 2005). Hasil penelitian Kusumawardani (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan kualitas hidup dimensi fisik pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. Hal ini menunjukkan semakin tinggi karakteristik seseorang maka akan semakin baik pula kualitas hidupnya. Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudut pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya. Sebagai care provider dan pemberi layanan kepada pasien maka perawat khusunya spesialis hemodialisis berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik, yaitu dalam ranah primer, sekunder dan tersier. Perawat berperan dalam memberikan edukasi kepada pasien tentang penyakit, prognosis serta perawatannya, sehingga penyakit ginjal
9
tidak mengalami progesifitas dan menyebabkan komplikasi serta kematian (World Kidney Day dikutip dalam Nurchayati 2010). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis.
1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas dan fenomena yang muncul mengenai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “bagaimana kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis ditinjau dari berbagai dimensi kehidupan ?”
1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk menjelaskan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis. 1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi kesehatan fisik.
10
2. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi kesehatan psikologis. 3. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi hubungan sosial. 4. Menganalisa kualitas hidup pasien dilihat dari dimensi lingkungan.
1.4. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1.4.1. Institusi keperawatan / rumah sakit 1. Dapat
menambah
wawasan
perawat
tentang
pentingnya
mengetahui kualitas hidup klien gagal ginjal kronik
yang
menjalani hemodialisis dengan ranah tindakan memberikan pendidikan mengenai awal diagnosis, terapi rutin hemodialisis dan pemberian motivasi. 2. Memberikan pengetahuan dan dapat diaplikasikan dalam praktik layanan keperawatan kepada klien khusunya gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. 1.4.2. Ilmu keperawatan 1. Mengembangkan intervensi keperawatan bagi pasien gagal ginjal kronik yang memiliki semangat dan motivasi rendah untuk bisa menerima kondisinya.
11
2. Mengembangkan intervensi keperawatan pemberian pendidikan mengenai kualitas hidup bahwa pasien gagal ginjal dengan terapi hemodialisis dapat bertahan hidup lebih panjang. 1.4.3. Bagi institusi pendidikan keperawatan 1. Dapat dijadikan kepustakaan mengenai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis. 2. Dapat dijadikan acuhan bagi penelitian selanjutnya. 1.4.4. Bagi peneliti lain Dapat dijadikan penelitian selanjutnya mengenai penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis terutama di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. 1.4.5. Bagi peneliti Menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penderita penyakit gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis
1.5. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis dengan menekankan aspek dan dimensi dari kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.
12
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Nama Peneliti Sofiana Nurchayati (2010)
I Gusti Ayu Puja Astuti Dewi (2010)
Judul Penelitian Faktor – faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodislisis di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas
Metode Penelitian Deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional study.
Hubungan antara Quick of Blood (QB) dengan adekuasi hemodialisis pada pasien yang menjalani terapi
Kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study.
Hasil Penelitian Kualitas hidup penderita tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, anemia, adekuasi hemodialisis dan akses vaskular; lama hemodialisis berhubungan dengan kualitas hidup artinya responden yang belum lama menjalani hemodialisis beresiko 2.6 kali hidupnya kurang berkualitas; faktor dominan yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah tekanan darah. Tidak ada hubungan yang bermakna antara Qb dengan adekuasi hemodialisis menggunakan rumus
Penelitian Sekarang Judul : Kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Metode : Kualitatif dengan pendekatan fenomenologis
Judul : Kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD
13
hemodialisis di ruang HD BRSU Dareah Tabanan Bali
Aditya Rizky Arief Rahman (2013)
Hubungan antara adekuasi hemodialisis dan kualitas hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin.
Kuantitatif dengan pendekatan cross sectional.
penghitungan Kt/V dan URR. Dari variabel perancu, hanya jenis kelamin yang memiliki hubungan bermakna dengan adekuasi hemodialisis. Nilai adekuasi yang adekuat yaitu 22,72% dan pasien yang memiliki nilai adekuasi yang inadekuat adalah sebesar 77,28%. nilai kualitas kesehatan fisik (PCS) pasien memiliki proporsi nilai yang terdiri atas kualitas fisik rendah 43,3%, kualitas fisik sedang 47,8%, kualitas fisik baik 9 %; nilai kualitas kesehatan mental (MCS) pasien memiliki proporsi nilai yang terdiri atas kualitas mental rendah 20,5 %
dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri Metode : Kualitatif dengan pendekatan fenomenologis Judul : Kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri Metode : Kualitatif dengan pendekatan fenomenologis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONSEP PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK 2.1.1. Pengertian Gagal ginjal kronik (chronic kidney disease) adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit penyerta, akan terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif (Corwin 2009). The National Kidney Foundation (2002) mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai adanya kerusakan ginjal, atau menurunnya tingkat fungsi ginjal untuk jangka waktu tiga bulan atau lebih. Gagal ginjal kronik ini dapat dibagi lagi menjadi 5 tahap, tergantung pada tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi ginjal. Tahap 5 Chronic Kidney Disease (CKD) disebut sebagai stadium akhir penyakit ginjal (end stage renal disease / end stage renal failure). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja kurang dari 15% dari normal (Corrigan 2011). Chronic Renal Failure (CRF) atau gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang irreversibel yang diakibatkan karena berbagai
14
15
macam cidera pada ginjal yang mengakibatkan sindrom klinis yang disebut uremia (Emanuelsen & Rosenlicht 2010). Gagal ginjal kronik (GGK) yang mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <15 mL/menit. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang disebut dengan uremia. Pada keadaa uremia dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang lebih berat (Cahyaningsih 2008). 2.1.2. Etiologi Beberapa penyakit yang dapat merusak nefron dapat mengakibatkan gagal ginjal yang kronik. Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik adalah
diabetes
melitus
yaitu
sebesar
30%,
hipertensi
24%,
glomerulonhepritis 17%, chronic pyelonephritis 5% dan yang terakhir tidak diketahui penyebabnya sebesar 20% (Milner 2003). 2.1.3. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala pada pasien gagal ginjal kronik dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajatnya. Berikut adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronik (Black & Hawks dikutip dalam Nurchayati 2010) : 1. Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis
16
2. Derajat II Umumnya
asimptomatik,
berkembang
menjadi
hipertensi
dan
munculnya nilai laboratorium yang abnormal. 3. Derajat III Asimptomatik, nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ. 4. Derajat IV Munculnya manifestasi klinis penyakit ginjal kronik berupa kelelahan dan penurunan rangsangan. 5. Derajat V Peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan anemia. 2.1.4. Patofisiologi Patofisiologi pada gagal ginjal kronik tergantung dari penyakit yang menyebabkannya. Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan dan penimbunan produksi sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%, manifestasi gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron – nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang rusak meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan semakin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron – nefron tersebut menglami kerusakan dan akhirnya mati. Siklus kematian ini tampaknya
17
berkaitan dengan nefron – nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein. Seiring dengan progesif penuyusutan dari nefron, akan terjadi pembentukan jaringan parut dan penurunan aliran darah ke ginjal (Corwin 2009). Proses kegagalan ginjal selanjutnya masuk ketahap insufisiensi ginjal. Sisa akhir metabolisme mulai terakumulasi dalam darah sebab nefron sehat yang tersisa tidak cukup untuk mengkompensasi nefron yang tidak berfungsi, yang akan mengakibatkan tertimbunnya produk sisa metabolisme di dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal akan menggangu kerja dari sistem tubuh lainnya. Kerja sistem tubuh yang terganggu meliputi sistem gastrointestinal, integumen, hematologi, syaraf dan otot, kardiovaskuler serta endokrin. Pasien gagal ginjal kronik sering menunjukkan manifestasi klinis berbagai keadaan patologis disfungsi organ baik yang disebabkan oleh penyakit primer (diabetes melitus) dan efek patologis intrinsik uremia atau keduanya (Milner 2003). Uremia
mengacu
pada
banyak
efek
yang
dihasilkan
dari
ketidakmampuan untuk mengekskresikan produk dari metabolisme protein dan asam amino. Beberapa produk metabolisme tertentu menyebabkan disfungsi organ (Milner 2003). Efek multiorgan uremia juga disebabkan oleh gangguan dari berbagai metabolisme dan fungsi endokrin yang biasanya dilakukan oleh ginjal (Milner 2003). Dari urutan kejadian diatas akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. Semakin banyak
18
tertimbun sisa akhir metabolisme, maka gejala akan semakin berat. Klien akan merasa kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari – hari akibat timbulnya berbagai macam manifestasi klinis tersebut. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan akan berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup (Corwin 2009). 2.1.5. Klasifikasi Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dibedakan seperti dibawah ini :
Tabel 2.1 Klasifikasi gagal ginjal kronik menurut derajat penyakit Derajat
Deskripsi
I
Kerusakan ginjal dengan GFR normal Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan Penurunan GFR tingkat sedang Penuruna GFR tingkat berat Gagal ginjal
II
III IV V
Nama lain
risiko
GFR (ml/menit/1,73m2) >90
Chronic renal insufisiensi
60 - 89
Chornic renal failure (CRF) CRF
30 - 59
End-stage renal disease (ESDR)
15 - 29 <15
Sumber : (Levey et al. 2010) 2.1.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan gagal ginjal kronik (stage V) adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan tersebut meliputi penanganan konservatif, yaitu :
19
1.
Menghambat perburukan fungsi ginjal / mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dengan diet seperti pembatasan asupan protein dan fosfat.
2.
Terapi farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap komplikasi,
bertujuan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan memperkecil resiko terhadap penyakit kardiovascular seperti diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, asidosis, neuropati perifer, kelebihan cairan dan keseimbangan elektrolit (Price & Wilson 2005). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et al. 2008). 2.1.7. Pemeriksaan Penunjang Pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan pemeriksaan salah satunya dengan ultrasonografi gagal ginjal. Ultrasonografi saat ini digunakan sebagai pemeriksaan rutin dan merupakan pilihan pertama pada penderita gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal tahap awal ukuran ginjal masih terbilang normal sedangkan pada gagal ginjal kronik ukuran ginjal pada umunya mengecil, dengan penipisan parenkim, peninggian ekogenitas parenkim dan batas kartikomedular yang sudah tidak jelas/mengecil. Ultrasonografi juga dapat digunakan untuk menilai ukuran serta ada tidanya obstruksi ginjal (Andika 2003).
20
2.2. HEMODIALISIS 2.2.1. Pengertian Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh, darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam sebuah mesin besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena. Hemodialisis memerlukan waktu selama 3 – 5 jam dan dilakukan sekitar 3x dalam seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara terapi, keseimbangan garam, air dan pangkat hidrogen (PH) sudah tidak normal lagi dan penderita biasanya merasa tidak sehat (Corwin 2009). Price & Wilson (2005) hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah dan menuju kompartemen lainnya yaitu cairan dyalisat melalui membran semipermeabel dalam dialiser. 2.2.2. Tujuan Tujuan
dilaksanakannya
terapi
hemodialisis
adalah
untuk
menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Selain itu, memungkinkan kehidupan untuk dijalani dan
21
memberikan kehidupan yang layak untuk dijalani, tidak hanya menjaga pasien agar tetap hidup dengan dialisis (Tallis 2005). 2.2.3. Indikasi Hemodialisis Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang / permanen (Smeltzer et al. 2008). Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah : 1.
Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit
2.
Hiperkalemia
3.
Kegagalan terapi konservatif
4.
Kadar ureum lebih dari 200mg/dl
5.
Kreatinin lebih dari 65mEq/L
6.
Kelebihan cairan
7.
Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali.
2.2.4. Adekuasi Hemodialisis Adekuasi atau kecukupan dosis hemodialisis dicapai setelah proses hemodialisis selesai selama kurang lebih 5 jam. Adekuasi hemodialisis tercapai ababila pasien merasa nyaman dan keadaan menjadi lebih baik, dan dapat menjalani hidup yang lebih panjang meskipun harus dengan penyakit gagal ginjal kronik.
22
2.2.5. Peran Perawat Hemodialisis Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam sebuah sistem dan dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan (Farida 2010). Perawat berperan dalam meningkatkan kesehatan dan pencegahan penyakit, serta memandang klien secara komprehensif. Peran perawat adalah sebagai pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advocad, manajer kasus, rehabilitator, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry 2005). Penyedia pelayanan yang komprehensif untuk pasien yang membutuhkan perawatan yang komprehensif telah berkembang menjadi upaya multidisiplin komplek yang melibatkan perawat (Rajeswari & Sivamani 2010). Kallenbach (dikutip dalam Dewi 2010) menyatakan bahwa peran dan fungsi perawat hemodialisis adalah sebagai care provider, educator, dan researcher. Perawat dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai care provider dan educator sesuai dengan tahap proses hemodialisis. Tahapan tersebut dimulai dari persiapan hemodialisis, pre hemodialisis, intra hemodialisis dan post hemodialisis. 1. Persiapan Hemodialisis Tahap ini perawat dapat memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan mengenai penyakit ginjal tahap akhir dan manfaat terapi hemodialisis. Perawat memberikan dukungan kepada pasien dalam mengambil keputusan untuk mengikuti terapi hemodialisis dengan
23
memfasilitasi pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang telah mengikuti terapi hemodialisis, selanjutnya perawat memberikan penjelasan tentang cara pemasangan akses vascular sementara dan permanen
(kolaborasi
dengan
dokter),
perawatan
akses
dan
penanganan komplikasi akses vascular. 2. Intra Hemodialisis Peran perawat pada tahap ini yang terpenting adalah penanganan komplikasi akut yang sering terjadi misalnya hipotensi, hipertensi, mual muntah, sakit kepala, kejang kram, demam disertai menggigil, nyeri dada dan gatal – gatal. Perawat melakukan kolaborasi dengan tim dokter. Penanganan komplikasi intra hemodialisis antara lain pengaturan Quick Blood, pemberian oksigen, pemberian medikasi, dan pemantauan cairan dialisat. 3. Post Hemodialisis Tahap ini perawat melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap (ureum, kreatinin), dan elektrolit darah. Perawat dapat memberikan edukasi tentang diet, intake cairan dan pencapaian berat badan yang ideal selama pasien dirumah sebelum menjalani terapi hemodialisis selanjutnya. Setelah selesai hemodialisis pastikan akses tidak terjadi perdarahan sebelum membiarkan pasien pulang dan melakukan (Rajeswari & Sivamani 2010)
aktifitas
kembali
24
Perawat dapat menghabiskan waktu dengan pasien sehingga dengan hal itu pasien akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini tidak hanya cukup untuk memperpanjang umur pasien tetapi juga penting untuk merehabilitasi pasien sebaik mungkin. Penting bahwa perawat dapat mengidentifikasi area rejimen pengobatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan mengembangkan strategi untuk mengurangi kualitas hidup yang negatif (Tallis 2005). Headley &
Wall
(dikutip
dalam
Farida
2010) praktek
keperawatan hemodialisis merupakan praktik keperawatan lanjutan yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis. Praktik keperawatan di Indonesia, unit hemodialisis umumnya diberikan oleh perawat dengan tingkat pendidikan diploma baik yang sudah mengikuti maupun yang belum mengikuti pelatihan dialisis. Peran perawat adalah menangani prosedur dialisis seluruhnya dengan sedikit pengawasan langsung dari dokter. Perawat memiliki kontak yang paling sering dengan pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan demikian perawat harus memiliki pegetahuan yang lebih banyak dan menyeluruh tentang patofisiologi gagal ginjal, mekanik dan aspek dialiser dari hasil yang diharapkan dan komplikasi hemodialisis khususnya kebutuhan pasien mengenai hemodialisis. Perawat yang bekerja di unit hemodialisis dapat
menikmati
banyak
kepuasan
dalam
membantu
pasien
25
hemodialisis mempertahankan kehidupannya yang produktif dan dapat hidup dalam jangka panjang dengan gagal ginjal kronik, perawat dapat merubah kehidupan pasien (Rajeswari & Sivamani 2010). Perawat mempunyai tanggung jawab untuk semua bentuk terapi hemodialisis. Asuhan keperawatan berfokus pada penilaian dan pemantauan pasien selama proses dialisis (Rajeswari & Sivamani 2010). Berapa prioritas keperawatan dalam kaitannya dengan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis yaitu, promosi homeostasis; menjaga kenyamanan; mencegah komplikasi; dukungan / perawatan diri pasien; dan memberikan informasi tentang proses penyakit / prognosis dan pengobatan (Rajeswari & Sivamani 2010)
2.3.KUALITAS HIDUP 2.3.1. Pengertian Nurchayati (2010) menyebutkan bahwa kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup merupakan suatu yang bersifat subyektif. WHOQoL menyatakan kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tersebut hidup, dan hubungan terhadap tujuan, harapan, standar dan keinginan. Hal ini merupakan suatu konsep yang dipadukan dengan berbagai cara seseorang untuk mendapat kesehatan
26
fisik, keadaan psikologis, tingkat independen, hubungan sosial, dan hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Kinghron (dikutip dalam Farida 2010) pengertian kualitas hidup masih menjadi suatu permasalahan, belum ada suatu pengertian tepat yang dapat digunakan sebagai acuhan untuk mengukur kualitas hidup seseorang. Kualitas hidup merupakan suatu ide yang abstrak yang tidak terkait oleh tempat dan waktu, bersifat situasional dan meliputi berbagai konsep yang saling tumpang tindih. Kualitas hidup merupakan suatu model konseptual, yang bertujuan untuk menggambarkan perspektif klien dengan berbagai macam istilah. Dengan demikian kualitas hidup akan berbeda bagi orang sakit dan orang sehat. Kinghron (dikutip dalam Farida 2010), terdapat dua komponen dasar dari kualitas hidup yaitu subyektifitas dan multidimensi. Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari satu sudut pandang klien itu sendiri dan ini hanya dapat diketahui dengan bertanya langsung kepada klien. Sedangkan multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologi / fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. 2.3.2. Model Konsep Kualitas Hidup Kualitas hidup sangat berhubungan dengan aspek / dominan yang dinilai meliputi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Model konsep kualitas hidup dari WHOQoL-Bref (The World Health
27
Organization Quality of Life - Bref) mulai berkembang sejak tahun 1991. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan yang terdiri dari 4 domain (Skevington et al. 2004), yaitu : 1.
Dimensi kesehatan fisik yang terdiri dari rasa nyeri, energi, istirahat, tidur, mobilitas, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan;
2.
Dimensi psikologis yang terdiri dari perasaan positif dan negatif, cara berfikir, harga diri, body image, spiritual.
3.
Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan individu, dukungan sosial, aktivitas seksual.
4.
Dimensi lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi dan ketrampilan, rekreasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses ke perawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik, transportasi.
28
Skema 2.1. Skala pengukuran kualitas hidup menurut WHOQoL-Bref Rasa nyeri, energi, istirahat, tidur, mobilitas, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan Perasaan positif, perasaan negatif, cara berfikir, harga diri, spiritual dan body image Hubungan individu dan sosial, dukungan sosial, aktivitas seksual Sumber keuangan, informasi dan ketrampilan, rekerasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses ke perawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik, transportasi
Fisik
Psikologi
Hubungan sosial
Kualitas Hidup
Lingkungan
2.3.3. Dampak hemodialisis terhadap kualitas hidup Dampak hemodialisis akan berakibat terhadap respon pasien. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu, pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping. Masing – masing dimensi mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup. 1. Dimensi fisik Dimensi fisik mempunyai beberapa dampak terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik. Dimensi fisik merujuk pada gejala
29
– gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani. Pada penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan fisik. Kelemahan merupakan hal utama yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik. Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada kondisi fisik, termasuk malnutrisi, anemia uremia. Kelemahan fisik dapat menurunkan motivasi. Kelemahan secara signifikan berhubungan dengan timbulnya gejala gangguan masalah tidur, status kesehatan fisik yang menurun dan depresi yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya (Farida 2010). Tallis (2005), menyatakan bahwa perubahan fisik pada pasien dengan gagal ginjal kronik tidak terbatas pada sistem ginjal, sistem tubuh lain juga dapat dipengaruhi dan dapat mengakibatkan penurunan status kesehatan dan kualitas hidup. Farida (2010) mengenai kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik dalam konteks asuhan keperawatan didapatkan hasil bahwa kualitas hidup secara fisik akan menurun setelah mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis. Seluruh aktivitasnya terbatas dikarenakan kelemahan, respon fisik dirasakan menurun, merasa mudah capek, dan keterbatasan dalam asupan cairan dan nutrisi serta merasakan kurang tidur. Hal ini mempengaruhi semua kesehatan fisik penderita gagal ginjal kronik sehingga tidak dapat melakukan kegiatan seperti saat sebelum menjalani hemodialisis. Adaptasi yang dilakukan penderita dalam mengatasi kesehatan fisik yang menurun berupa membatasi aktivitas
30
fisik seperti tidak melakukan pekerjaan yang berat, membatasi pemasukan cairan dan nutrisi sesuai yang dianjurkan berdasarkan kesehatannya. 2. Dimensi psikologi Tallis (2005) respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronik dapat bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual maupun potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan. Depresi merupakan respon psikologis yang paling umum dan telah dilaporkan berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah yang berhubungan dengan kesehatan. Kemarahan dan penolakan yang sering dilakukan oleh pasien untuk melindungi diri dan emosi tak terkendali, ini dapat memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan penurunan kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan dan mengurangi komunikasi yang efektif antara pasien dan tim kesehatan. Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan dalam hal
spiritual.
dibandingkan
Pasien sebelum
lebih
mendekatkan
terkena
gagal
diri
ginjal
kepada dan
Tuhan
melakukan
hemodialisis. Mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang agama. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Kualitas hidup secara spiritual dirasakan lebih meningkat dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan berbuat baik (Farida 2010).
31
Inti dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang percaya dan tidak percaya kepada Tuhan. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Selain dampak spiritual, penderita akan merasa mudah putus asa, malu, merasa bersalah, hal ini dapat menyebabkan depresi. Rasa kehilangan pekerjaan, peran dalam keluarga dan kehilangan teman, serta tingkat pendidikan yang rendah merupakan resiko utama terjadinya depresi. Depresi merupakan hal yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Adaptasi psikologi yang dilakukan adalah menjadi lebih sabar, menerima keadaan dan ikhlas (Farida 2010) 3. Dimensi hubungan sosial Nutrisi merupakan komponen penting dalam kehidupan pasien dengan gagal ginjal kronik. Efek samping jika mengalami gangguan nutrisi
adalah
hiperkalemia,
hiperfosfatemia,
protein
yang
berhubungan dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian besar dari interaksi orang, melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang untuk pasien dengan ESRF untuk mengurangi keterlibatan sosial mereka karena pembatasan makanan dan minuman yang ketat. Masalah sosial lainnya dapat dipengaruhi oleh penyakit kronis dan termasuk status kerja pasien, hubungan antara keluarga dan temanteman, dan bahkan keinginan untuk melakukan kegiatan rekreasi.
32
Perubahan aspek sosial dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan / atau psikologis dan bisa ada siklus negatif yang jika dipelihara maka penyebabnya juga dapat menjadi efek (Tallis 2005). Pasien hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa disfungsi seksual. Dusfungsi seksual terjadi pada klien gagal ginjal kronik tahap akhir
dengan hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal
kronik, umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini dapat berefek menurunkan libido dan menunda orgasme pada wanita, menurunkan ereksi dan ejakulasi pada laki – laki. Selain faktor depresan hal lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah body image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal (Diaz et al. 2006). 4. Dimensi lingkungan Penelitian yang dilakukan oleh Chang (dikutip dalam Farida 2010) mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kemampuan dalam melakukan koping pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian mengatakan penyebab stres utama adalah yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan ketidakmampuan untuk mendapatkan uang. 2.3.4. Status fungsional yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik National Kidney Foundation, dalam menilai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisis, faktor yang dinilai adalah akses vaskular, dyalisis adequacy, anemia, nutrisi, hipertensi, serta
33
penyakit tulang (kontrol phospat dan kalsium) (Clarkson & NKF dikutip dalam Nurchayati 2010) : 1. Anemia Brunner & Suddart (2002), menyatakan derajat anemia yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik sangat bervariasi, mayoritas terjadi pada pasien dengan nitrogen urea dalam darah (BUN) > 10 mg/dl. Hematokrit turun antara 20 – 30%, sedangkan pada pemeriksaan apusan darah tepi sel darah merah tampak normal. Anemia tersebut terjadi karena penurunan ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritropoetin. Dampak anemia terhadap kualitas hidup, adalah sebagai berikut : a.
Dampak anemia terhadap fungsi fisik Pada pasien dialisis dengan anemia memiliki nilai volume O2 maximal 50% dibandingkan dengan orang sehat ataupun yang sesuai. Level oksigen yang rendah akan menyebabkan pasien keusulitan untuk melakukan aktivitas harian atau bekerja sesuai dengan keadaan normal (Gregory 2005).
b.
Dampak anemia terhadap fungsi kognitif Pada pasien dengan dialisis mengalami penurunan fungsi kognitif yang dimanifestasikan dengan kebingungan, gangguan memori, tidak mampu berkonsentrasi, dan penurunan kesadaran mental (Gregory 2005).
c.
Dampak anemia terhadap fungsi psikologis dan sosial
34
Percobaan klinis telah menemukan adanya efek anemia terhadap kesehatan psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis, dengan meningkatkan level hemoglobin dapat meningkatkan kesehatan psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis yang mengalami anemia (Gregory 2005). 2. Adekuasi hemodialisis NKF-KDOQi (2001) adekuasi hemodialisis adalah kecukupan dosis hemodialisis yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Nurchayati (2010) secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila keadaan umum pasien dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi uremia dan usia hidup pasien lebih panjang. Akan tetapi ketergantungan pasien pada mesin dialisis seumur hidupnya mengakibatkan terjadinya perubahan pada perubahan untuk menjalani fungsi kehidupan sehari – hari yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. 3. Hipertensi Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi akibat kelainan glomerulus maupun kelainan vascular diginjal (Nurchayati 2010). Soni et al. (2010) penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Afrika selama 7 tahun dengan jumlah responden sebanyak 1094 orang yang memiliki Mean Arterial Pressusre (MAP) 102 – 107 mmHg, yang telah mendapat terapi antihipertensi dan setelah dilakukan pengukuran
35
kualitas hidup menggunakan SF-36 didapatkan hasil adanya efek negatif yang signifikan antara MAP dengan kualitas hidup. 4. Akses vascular Wasse et al. (2007) yang telah melakukan penelitian mengenai akses vascular hemodialisis didapatkan adanya hubungan antara akses vascular (pada pasien yang menggunakan AVF) dengan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis. 5. Nutrisi Malnutrisi pada pasien gagal ginjal kronik sangat berkaitan, dan secara umum dengan berbagai tipe yaitu berat badan rendah, kehilangan protein tubuh (massa otot berkurang), tingkat serum albumin rendah (Nurchayati 2010). 6. Kontrol kalsium dan phospat Abnormalitas lain dari pasien gagal ginjal kronik adalah gangguan metabolisme kalsium dan phospat. Kadar serum kalsium dan phospat tubuh memiliki hubungan timbal balik, jika salah satu meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus di ginjal terjadi peningkatan kadar phospat serum dan sebaliknya (Nurchayati 2010).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Fokus Penelitian
Skema 3.1 Fokus Penelitian
Peran perawat hemodialisis
Fisik
Kualitas Hidup penderita gagal ginjal kronik
Psikologi
Faktor yang mempengaruhi : - Anemia - Adekuasi hemodialisis - Hipertensi - Akses vascular - Nutrisi - Kontrol phospat dan kalsium
Hubungan sosial
Lingkungan
Keterangan :
Tidak diteliti Diteliti
36
37
3.2. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya dapat memahami tentang bagaimana dan makna apa yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari – harinya (Sutopo 2006). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri sesuai dengan pengalaman pasien. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengungkapkan hal – hal yang selama ini terjadi dalam hidupnya setelah didiagnosa gagal ginjal kronik dan harus menjalani hemodialisis.
38
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat ditentukan benar – benar menggambarkan kondisi informan yang sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraeni 2010). 3.3.1. Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Unit Hemodialisis Ruamh Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri terhadap pasien yang menjalani hemodialisis dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai kualitas hidup pasien penderita gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri telah berdiri sejak tahun 2010, dalam satu bangsal berkapasitas 9 tempat tidur. 3.3.2. Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Mei 2014.
39
3.4. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam 2011). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada (Nursalam 2011).Saryono & Anggraeni (2010) konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan terpercaya mengenai elemen – elemen yang ada yang akan diteliti. Pada penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti.Dalam penelitian kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan / informan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien dengan gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Pengambilan dan rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling, yang mana penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang dihadapi. Dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi
40
sumber data yang akurat (Sutopo 2006). Kekhususan penelitian ini adalah pasien
yang
menjalani
hemodialisis
yang
dapat
mengungkapkan
pengalamannya mengenai kualitas hidup. Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Pasien dewasa dengan gagal ginjal kronik yang sedang menjalani terapi hemodialisis. 2. Menjalani hemodialisis dengan frekuensi 1 – 2 kali dalam seminggu. 3. Berusia 30 – 50 tahun. 4. Telah menderita gagal ginjal kronik selama 1 tahun terakhir. 5. Mampu berkomunikasi secara verbal dan baik. 6. Pasien yang kooperatif. 7. Menyetujui informed consent. 8. Bersedia menjadi partisipan selama penelitian berlangung. Rekruitmen partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama – nama partisipan yang didapatkan di rekam medik atau catatan nama – nama pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah minimal 5 orang sesuai dengan krteria yang telah dibuat. Dimana hal ini sesuai pendapat Saryono & Anggraeni (2010) bawah fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan yang sedikit. Pertemuan dengan masing – masing partisipan dilakukan secara bertahan.
41
3.5. Pengumpulan Data Saryono & Anggraeni (2010) dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia berfungsi seabagi instrumen utama penelitian. Meskipun demikian, pada pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman pengumpulan data. 3.5.1. Cara pengumpulan data Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) : 1. Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi
terhadap
informasi
atau
keterangan
yang diperoleh
sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In dept interview). Wawancara mendalam (In dept interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Pedoman wawancara dalam penelitian ini dibuat sesuai dengan indikator – indikator kualitas hidup. 2. Dokumen Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Dalam penelitian ini mengambil sumber data dari
42
dokumen rekam medik di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang bertujuan untuk mengetahui data nama pasien dan lama menjalani hemodialisis. 3. Observasi Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari partisipan. Dalam penelitian ini pengumpulan data secara onbservasi dilakukan untuk
mengetahui
indikator
-
indikator
seperti
mobilisasi,
pengungkapan nyeri, pembatasan energi dan perubahan fisik. 3.5.2. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data penelitian ini terdiri dari : 1.
enghasilan per bulan.
2.
Lembar alat pengumpulan data mengenai nama, umur, alamat dan pLembar transkrip wawancara dan pertanyaan.
3.
Alat tulis.
3.5.3. Tahap Pengumpulan Data 1. Tahap Orientasi Peneliti melakukan pengumpulan data segera dilakukan setelah peneliti memperoleh izin dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri dan selanjutnya peneliti melihat data identitas calon partisipan di dokumen rekam medik. Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai dengan
43
kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan perawat di Unit hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Peneliti bertemu langsung dengan calon partisipan sesuai dengan jadwal hemodialisis atau menghubungi lewat telepon untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, hak – hak partisipan serta peran partisipan dalam penelitian. Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti menanyakan kesediaan calon partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Jika calon partisipan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat dan waktu dilakukannya wawancara. Calon partisipan / informan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). 2. Tahap Pelaksanaan Setelah peneliti membuat perjanjian dengan calon partisipan dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini serta telah menandatangani informed consent, selanjutnya adalah wawancara mendalam terhadap partisipan. Peneliti memberikan pertanyaan kepada partisipan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat pada saat persiapan sebelum penelitian dilakukan. Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkripsi hasil wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang pertanyaan yang mungkin perlu untuk dikembangkan dan ditambahkan. Pertanyaan
44
sesuai dengan pedoman wawancara dibuat berdasarkandata yang telah dikumpulkan pada saat studi pendahuluan dan sesuai dengan kategori – kategori
dimensi
pengembangan
kualitas
sesuai
hidup,
dengan
dengan
keadaan
berbagai
partisipan.
macam
Wawancara
dilakukan dengan pedoman wawancara namun tidak bersifat kaku karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan teori yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari pengaruh orang lain baik dari keluarganya maupun orang terdekat dari partisipan, mengingat kualitas hidup merupakan hal subyektif yang hanya dapat diungkapkan oleh partisipan penderita gagal ginjal kronik, informasi tersebut diperoleh langsung dari sumbernya. Pada saat tahap pengumpulan data, peneliti melakukan analisa data dengan metode Colaizzi yang sesuai dengan transkrip wawancara yang telah dibuat, setelah menemukan kata kunci dan makna serta tema sementara dari analisa yang dilakukan peneliti melakukan wawancara terhadap partisipan selanjutnya. Peneliti menggunakan alat perekamsebagai alat bantu perekaman wawancara. Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan berbeda - beda anatar satu hingga dua kali pertemuan. Peneliti selalu memperhatikan kondisi partisipan sehingga jika pada saat pertemuan pertama belum
45
tercapai semua tujuan penelitian maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya, mengingat partisipan tidak selalu dalam kondisi yang baik pada saat dilakukan wawancara dan pengambilan data sehingga wawancara disesuaikan dengan kondisi partisipan. Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data serta telah ditetapkan kata kunci, makna dan tema sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema – tema yang sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka mengenai kualitas hidup berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat oleh peneliti. Pada wawancara kedua ini juga penting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan verifikasi / konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi mereka dari pengalaman – pengalaman mereka mengenai kualitas hidup untuk lebih menambah keakuratan dari penelitian ini. Setelah wawancara kedua selesai dan dilakukan transkrip wawancara, transkrip dirujuk kedalam kata kunci dan makna serta tema – tema yang telah dibuat sebelumnya sehingga setelah wawancara kedua ini tema – tema sudah ditetapkan sebagai pernyataan yang tegas.
46
3.6. Analisa Data Analisa
data
dalam
penelitian
ini
menggunakan
metode
fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006), metode Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan metode Colaizzi fenomena – fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai dengan makna – makna yang didapat. Adapun langkah – langkah analisa data adalah sebagai berikut : 1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan yang diteliti yaitu mengenai kualitas hidup penderita hemodialisis. 2. Peneliti
mengumpulkan
gambaran
fenomena
partisipan
berupa
pengalaman pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis terhadap kualitaas hidup. 3. Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang – ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan – pernyataan mengenai kualitas hidup. 4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema. Setelah tema dianalisa, merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol asli untuk memvalidasi 5. Peneliti mengintegrasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti mengenai kualitas hidup.
47
6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali. 7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema – tema segera setelah proses verbatim dilakukan
dan peneliti tidak
mendapatkan data tambahan baru mengenai kualitas hidup selama verifikasi.
3.7. Validitas dan Reliabilitas
Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasipeneliti, data, metodologi dan teoritis. Alasan menggunakan triangulasi tersebut dikarenakan focus group discussion tidak dapat dilakukan mengingat masing – masing partisipan tidak memungkinkan dilakukan FGD dalam penelitian ini.
3.8. Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit & Hungler 2005).
48
Peneliti
meyakini
bahwa
partisipan
harus
dilindungi
dengan
memperhatikan aspek – aspek : self determination, privacy, anonymity, informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler 2005) : 1. Self determination Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela. Peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut berpartisipasi. Peneliti memberikan penjelasan kepada calon partisispan mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan bahwa partisipan yang mengikuti penelitian tidak dipungut biaya apapun, seluruh biaya sudah ditanggung peneliti. 2. Informed consent Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk menganalisa kualitas hidup dilihat dari dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi lingkungan. Setelah partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar Informed consent kepada partisipan. 3. Privacy Selama dan sesudah penelitian, privacy partisipan dijaga secara benar, semua partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya digunakan untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin dari partisipan.
49
4. Anonymity Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data. Berikut kode partisipan yang digunakan dalam penelitian ini : Partisipan I (P01), Partisipan II (P02), Partisipan III (P03), Partisipan IV (P04) dan Partisipan V (P05). 5. Protections for discomfort Selama pengambilan data penelitian, peneliti memberi kenyamanan pada partisipan dengan mengambil tempat wawancara sesuai dengan keinginan partisipan. Sehingga partisipan dapat leluasa tanpa ada pengaruh lingkungan untuk mengungkapkan masalah yang alami. Pada penelitian ini, penelitian dilakukan dirumah masing – masing partisipan karena penelitian tidak memungkinkan dilakukan di ruang Hemodialisis.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai karakteristik seluruh partisipan dan berbagai pengalaman kehidupan pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Soemarso Kabupaten Wonogiri. Pada penelitian ini telah ditemukan tema – tema yang memberikan sebuah gambaran mengenai kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. 4.1.GAMBARAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soediran Mangun Sumarso. RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri telah lama menemani masyarakat Kabupaten Wonogiri dalam memberikan pelayanan dibidang kesehatan dan juga dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat diluar kabupaten Wonogiri, sehingga memuaskan masyarakat dalam jasa pelayanan rumah sakit. RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri telah ditetapkan izin operasionalnya oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 13 Januari 1956 sebagai rumah sakit tipe D. Seiring dan sejalan tuntutan publik, maka pembenahan pelayanan dilakukan dengan kerja keras oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang membawa peningkatan tipe rumah sakit menjadi tipe C pada tanggal 11 Juni 1983. Setelah itu, RSUD
50
51
dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri melakukan perbaikan lagi dan ditetapkan menjadi tipe Non B pendidikan. Unit hemodialisis RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri telah berdiri sejak tahun 2010 dengan kapasitas 6 tempat tidur, namun sering berjalannya waktu kapasitas bertambah menjadi 9 tempat tidur dan 5 perawat spesialis hemodialisis.
4.2.GAMBARAN KARAKTERISTIK PARTISIPAN 4.2.1. Partisipan I (P01) Ny.ST umur 44 tahun berjenis kelamin perempuan merupakan partisipan pertama yang diwawancarai untuk pertama kalinya pada hari Jumat, 31 Januari 2014 pukul 17.00 WIB dirumah Ny.ST yang beralamat di Desa Tanjung Belikuirp Baturetno. Jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dilakukan pada hari sabtu, 17 Mei 2014 pukul 15.30 WIB di rumah Ny.ST. Saat wawancara kedua kondisi Ny.ST sudah membaik. Jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Ny.ST merupakan pasien gagal ginjal kronik sejak satu tahun yang lalu. Ny.ST harus menjalani terapi hemodialisis 2x dalam satu minggu yang dilaksanakan pada hari selasa pagi dan jumat pagi. Ny.ST memiliki riwayat darah tinggi sejak 15 tahun yang lalu. Ny.ST juga menggunakan KB pil selama 15 tahun. Oleh bidan setempat, Ny.ST sudah diberi
52
pengertian mengenai resiko penderita hipertensi jika menggunakan pil KB, namun Ny.ST siap untuk menerima resiko. Pada awal penyakitnya Ny.ST tidak merasakan gejala yang khas. Jauh sebelum didiagnosa gagal ginjal kronik, Ny.ST mengkonsumsi minuman rebusan daun sirih. Konsumsi rebusan daun sirih dilakukan 3 tahun terakhir dan konsumsi 2 – 3x dalam sehari untuk mengobati keputihan. Selain itu, Ny.ST sering menahan BAK setiap harinya dikarenakan Ny.ST bekerja di pabrik roti yang mengharuskan Ny.ST untuk selalu bekerja cepat. Pada awal penyakit gagal ginjal kronik, tiba – tiba Ny.ST mengalami penurunan kesadaran, perut bengkak dan badan lemas sehingga tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Kemudian oleh keluarga Ny.ST dibawa ke Rawat Inap daerah Baturetno, di Rawat Inap tidak dilakukan pemeriksaan apapun. Sebagai orang yang sakit saat itu, Ny.ST tidak menghindari makanan apapun. Saat itu Ny.ST belum mengetahui mengenai penyakitnya. Beberapa hari setelah dibawa pulang dari rawat inap, kondisi Ny.ST kembali buruk dan oleh keluarga dibawah ke Rumah Sakit Medika Mulya Wonogiri, Rumah sakit tersebut tidak mampu menangani Ny.ST, akhirnya Ny.ST dirujuk ke Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk mendapat pengobatan yang lebih lanjut. Di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta Ny.ST
dilakukan
pemeriksaan
–
pemeriksaan
penunjang
untuk
memperjelas penyakitnya. Ny.ST lalu masuk ke ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Dr.Moewardi karena kondisi yang tidak sadar,
53
keadaan itu berlangsung hingga 9 hari. Kemudian oleh dokter disarankan untuk dilakukan cuci darah, setelah dilakukan cuci darah 2x selama 5 jam, Ny.ST kemudian sadar. Beberapa saat setelah sadar Ny.ST tidak dapat mengingat siapa namanya, nama suami dan anaknya. Ny.ST hanya merasakan pikirannya seperti orang yang ling lung dan bingung tidak tahu siapa – siapa serta lupa apa yang telah terjadi padanya. Namun oleh keluarga selalu dibantu untuk mengingat dan selalu diajak untuk berbincang – bincang. Setelah beberapa saat, Ny.ST sedikit demi sedikit dapat mengingat orang – orang yang berada disekitarnya. Ny.ST merasakan perut yang sakit dan badan panas setiap kali diberikan obat. Ny.ST tidak pernah betah tinggal di ruang Intensive Care Unit (ICU) dikarenakan setiap kali ingin mandi atau sibin yang melakukan tindakan adalah perawat laki – laki, sehingga Ny.ST merasa malu selain itu Ny.ST juga takut banyak alat dan kabel yang terpasang ditubuhnya. Perasaan Ny.ST pada saat itu adalah perasaan takut dan ingin cepat pulang serta ingin cepat sembuh. Pada saat kondisi yang sudah membaik, Ny.ST dipindah ke ruang biasa untuk menstabilkan kondisinya. Diruangan biasa Ny.ST merasakan kondisi yang kurang lebih baik daripada di Intensive Care Unit (ICU) dikarenakan kondisi ruangan yang panas dan banyak pasien. Beberapa saat setelah kondisi sudah membaik, Ny.ST diperbolehkan untuk pulang, namun tetap harus menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta sebanyak 1x dalam
54
satu minggu. Tidak ada pilihan lain Ny.ST dan keluarga harus mentaati perintah dari dokter mengingat kondisi Ny.ST yang harus tetap menjalani hemodialisis. Pada saat dilakukan hemodialisis 1x dalam seminggu, kondisi Ny.ST kurang baik, lalu oleh dokter disarankan untuk menambah frekuensi hemodialisis menjadi 2x dalam seminggu. Dengan hemodialisis yang dilakukan 2x dalam seminggu kondisi Ny.ST jauh lebih baik. Pada awal diagnosa gagal ginjal, ada perasaan menyesal, sedih, pasrah dan bingung. Mengingat kondisi keuangan Ny.ST yang merupakan keluarga menengah kebawah, sehingga Ny.ST dan keluarga harus berfikir 2x untuk mendapatkan uang. Tindakan hemodialisis yang dijalani Ny.ST sudah termasuk dalam jamkesmas, keluarga Ny.ST hanya memikirkan untuk transportasi. Akses yang tidak mudah dan jarak yang terlalu jauh yang harus dijangkau oleh Ny.ST untuk melakukan tindakan hemodialisis membuat Ny.ST selalu merasa lelah sebelum dan sesudah hemodialisis. Hal itu akan tetap dilakukan oleh Ny.ST mengingat unit hemodialisis di Rumah Sakit Dr.Moewardi merupakan unit hemodialisis yang terdekat. Selama ½ tahun Ny.ST menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Dr.Moewardi, Ny.ST meminta pindah tempat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonogiri, mengingat pada saat itu RSUD Wonogiri sudah membuka unit hemodialisis. Ny.ST dapat meminimalkan biaya transportasi dan tidak mengeluarkan banyak tenaga. Sejak saat itu, Ny.ST melakukan terapi
55
hemodialsisi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri hingga saat ini. Kondisi Ny.ST tidak selalu baik, Ny.ST sering keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama. Pada saat wawancara yang pertama kondisi Ny.ST sedang membaik dan kondisinya sudah stabil. Namun perut Ny.ST tetap membesar. Ny.ST tidak pernah mentaati diit yang dianjurkan oleh dokter dan perawat di rumah sakit. Ny.ST selalu minum banyak air putih yang dingin, jika Ny.ST tidak minum air dingin maka kondisi badan tidak stabil. Ny.ST akan merasakan badan tidak nyaman dan badan lemas jika minumnya hanya sedikit, menurut Ny.ST lebih baik minum daripada makan. Hal ini yang membuat Ny.ST selalu dilakukan pengeluaran cairan dalam perut, sekali tindakan dapat mengeluarkan sebanyak 5 – 6 liter. Ny.ST tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya semenjak mengidap gagal ginjal. Ny.ST tidak dapat bekerja dan susah untuk bersosialisasi karena kondisi badan yang sudah tidak seperti dahulu. Ny.ST selalu merasakan badan lemah dan lemas ketika melakukan aktivitas yang berlebih, Ny.ST sudah tidak dapat melakukan aktivitas secara maksimal. Karena penyakitnya Ny.ST merasa malu jika harus bepergian jauh dan bertemu dengan orang lain yang belum mengenalnya. Semenjak sakit Ny.ST tidak melakukan aktivitas rekreasi dengan keluarga dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan. Ny.ST selalu mengeluhkan bahwa tidak bisa buang air kecil (BAK) dengan puas dikarenakan fungsi ginjal yang tidak maksimal lagi, buang air kecil (BAK)
56
hanya menetes pada saat pagi dan malam hari. Ny.ST selalu mengharapkan ingin cepat sembuh dari sakitnya agar tidak merepotkan keluarga yang lain. Semenjak hemodialisis dilakukan 2x dalam seminggu Ny.ST selalu merasakan badan yang enak setelah terapi hemodialisis selesai, namun pada saat terapi dilakukan badan terasa capek dan lemas serta kadang – kadang ingin muntah. Manfaat dari terapi hemodialisis dirasakan Ny.ST setelah 1 hari melakukan terapi. Satu sampai dua hari menjelang hemodialisis berikutnya, Ny.ST mengeluhkan badan yang kurang enak dan kurang stabil, perut terasa sesak dan tidak dapat buang air kecil (BAK). Saat ini Ny.ST tetap rutin menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Akses vaskular yang digunakan Ny.ST adalah akses vaskular biasa. Saat ini kondisi Ny.ST sudah mulai membaik dan terhitung dari awal tahun 2014 Ny.ST belum pernah dirawat dirumah sakit dengan sakit yang sama. 4.2.2. Partisipan II (P02) Tn.ST
umur
54
tahun
merupakan
partisipan
kedua
yang
diwawancarai pada hari Rabu tanggal 5 Februari 2014 pukul 13.00 WIB. Tn.ST bertempat tinggal di Dusun Kajar, Blembem Pokoh Kidul Kabupaten Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada hari Minggu, 18 Mei 2014, jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Tn.ST menjalani terapi hemodialisis sejak tanggal 28 Agustus 2012, sejak saat itu Tn.ST mengalami perubahan yang drastis pada kehidupannya.
57
Awal mula penyakit gagal ginjal tidak dirasakan oleh Tn.ST, mengingat selama hidupnya Tn.ST tidak pernah mengalami sakit yang separah ini. Sebelum Tn.ST sakit gagal ginjal, Tn.ST berprofesi sebagai supir truk di luar jawa selama hampir seumur hidupnya. Tn.ST merupakan orang yang mempunyai banyak teman, terbukti pada saat Tn.ST sakit, banyak teman – teman Tn.ST yang turut simpati dan prihatin. Pada awal sakitnya, Tn.ST tidak merasakan hal yang khas sebagai penderita gagal ginjal. Riwayat penyakit yang diderita Tn.ST yaitu penyakit diabetes melitus sejak 6 tahun yang lalu, penyakit diabetes melitus tidak terlalu diperhatikan oleh Tn.ST dan juga Tn.ST jarang memeriksakan penyakitnya tersebut. Selain itu, Tn.ST juga jarang melakukan aktivitas olahraga, akibat dari penyakit diabetes melitus yang tidak pernah diperhatikan, Tn.ST terdiagnosa gagal ginjal. Pada awal terdeteksi penyakit diabetes melitus adalah ketika Tn.ST mencangkul dibelakang rumah dan jari kaki terkena cangkul, setelah 3 hari, lukanya tak kunjung sembuh dan semakin menghitam. Lalu oleh keluarga dibawa ke Rumah Sakit Dr.Moewardi. di Rumah Sakit Dr.Moewardi Tn.ST dilakukan amputasi pada jari kaki kanan. Pada saat dirawat, setiap harinya Tn.ST dilakukan cek gula darah oleh perawat ruangan, gula darah saat itu mencapai 500mg/dl. Tn.ST merasa tidak nyaman dirawat diruangan, lalu dengan inisiatif sendiri Tn.ST melarikan diri untuk pulang. Selang beberapa bulan, jari kiri Tn.ST
58
juga terkena cangkul, luka tidak kunjung sembuh dan menjalar ke punggung kaki sampai kelima jari kaki. Oleh dokter umum, Tn.ST disarankan untuk amputasi seluruh kaki, namun Tn.ST dan keluarga tidak setuju. Tn.ST dan keluarga lalu membawanya ke Rumah Sakit Medika Mulya, di Rumah Sakit tersebut Tn.ST dilakukan amputasi pada satu jari kaki kiri, serta jaringan – jaringan yang sudah mati dibersihkan. Tn.ST memanggil perawat home care untuk merawat luka bekas operasi amputasi. Perawatan luka selama kurang lebih 3 bulan, setelah itu kondisi luka mulai membaik dan perawatan luka dilanjutkan oleh istri Tn.ST. Awal diagnosa Tn.ST merasakan badan yang tidak enak, seluruh badan seperti berisi air, namun saat itu Tn.ST masih melakukan pekerjaan seperti biasanya. Tn.ST tidak langsung dibawa ke rumah sakit melainkan melakukan cek darah ke laboratorium Prodia dan didapatkan hasil bahwa Tn.ST harus cuci darah dan harus dirawat inap, kemudian oleh keluarga dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Tn.ST tidak mengalami penurunan kesadaran, hanya saja pada saat itu Tn.ST merasakan badannya lemas dan tidak mampu untuk beraktivitas. Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri Tn.ST dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memperjelas penyakitnya. Tn.ST didiagnosa gagal ginjal. Tn.ST juga harus menjalani terapi hemodialisis 2x dalam satu minggu. Mulai dari saat itu kondisi dan keadaan Tn.ST naik turun, terkadang stabil dan terkadang
59
tidak stabil, karena kondisi dan keadaan tersebut Tn.ST berkali – kali keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama. Kehidupan Tn.ST mulai berubah, Tn.ST tidak dapat bekerja seperti dulu dan tidak dapat bersosialisasi dengan bebas. Kebutuhan keuangan keluarga Tn.ST juga ikut terpengaruh, Tn.ST sudah terdaftar sebagai peserta jamkesmas, namun Tn.ST harus mempersiapkan biaya transportasi untuk mencapai layanan kesehatan. Setiap harinya Tn.ST merasakan badannya lemas, tidak mampu untuk berkativitas seperti biasanya, badan mudah lelah dan terkadang sesak nafas. Pada awal diagnosa, Tn.ST tidak dapat menerima kondisinya dikarenakan gagal ginjal merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun berkat dukungan keluarga, Tn.ST sedikit demi sedikit telah mampu untuk menerima kondisinya. Banyak keluhan yang dirasakan Tn.ST semenjak sakit, Tn.ST mengeluhkan tidak dapat buang air kecil (BAK) dengan puas. Satu hari menjelang hemodialisis, Tn.ST selalu merasakan badannya tidak enak dan pikiran tidak tenang, namun setelah hemodialisis selesai, Tn.ST merasakan badannya enak, dapat buang air kecil (BAK) meskipun hanya menetes. Tn.ST ingin segera sembuh dari sakitnya dan ingin kembali beraktivitas seperti dahulu. Tn.ST harus mentaati diit dari rumah sakit untuk menjaga cairan supaya seimbang antara masukan dan pengeluaran. Namun Tn.ST tidak pernah taat diit dari rumah sakit, minum tidak pernah patuh, Tn.ST minum sehari minimal dua gelas. Pada saat awal Tn.ST melakukan terapi hemodialisis, Tn.ST merasakan tidak nyaman
60
dengan akses yang digunakan untuk hemodialisis. Tn.ST selalu merasa kesakitan setelah hemodialisis, kemudian oleh perawat ruangan disarankan untuk dilakukan operasi pemasangan Akses Vaskular-Shunt(AV-Shunt). Akses vaskular yang digunakan Tn.ST saat ini adalah Akses VaskularShunt(AV-Shunt Akses Vaskular-Shunt(AV-Shunt) dirasakan lebih baik daripada menggunkan akses vascular biasa. 4.2.3. Partisipan III (P03) Ny. SL berumur 40 tahun merupakan partisipan yang ketiga. Wawancara pertama dilakukan pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2014 pukul 13.00 WIB di rumah Ny.SL yang beralamat di Dusun Semen Rt 02 / 01 Nguntoronadi Kabupaten Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada hari minggu, 18 Mei 2014 pukul 09.45 WIB jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Kondisi saat dilakukan wawancara yang pertama adalah Ny.SL sedang dalam keadaan kurang baik dan sesak nafas. Kondisi pada saat wawancara kedua adalah Ny.SL dalam keadaan yang lebih sehat daripada wawancara yang pertama. Pendidikan terakhir Ny.SL adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Sebelum sakit, Ny.SL berprofesi sebagai penjaga warung miliknya yang berada didekat rumah. Ny.SL merupakan pasien penderita gagal ginjal kronik sejak 19 Juli 2012. Ny.SL memiliki riwayat darah tinggi sejak masih berusia muda. Jika darah tingginya kambuh Ny.SL hanya membeli obat – obatan warung dan apotek. Namun terkadang juga memeriksakan kondisinya ke dokter umum terdekat.
61
Pada awal diagnosa gagal ginjal, Ny.SL tidak begitu merasakan tanda dan gejala yang khas, hanya saja selama berbulan – bulan Ny.SL merasakan badan yang tidak enak, sulit tidur, badan terasa panas dan tidak dapat bergerak dengan bebas, badan berubah warna menjadi hitam, dengan inisiatif sendiri Ny.SL melakukan cek darah ke laboratorium. Pada saat itu dokter mendiagnosa bahwa Ny.SL hanya terlalu capek karena pekerjaan. Setelah beberapa kali melakukan cek darah, kondisi Ny.SL tidak kunjung membaik. Terapi – terapi lain juga dilakukan oleh Ny.SL diantaranya terapi alternatif dan dukun, pada saat itu kondisi Ny.SL hampir putus asa, lalu Ny.SL melakukan cek darah yang kesekian kalinya untuk memastikan kondisinya. Oleh dokter selanjutnya, Ny.SL didiagnosa gagal ginjal. Ny.SL lalu dibawa kerumah sakit oleh keluarganya untuk mendapatkan pengobatan. Ny.SL dibawa ke Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta untuk melakukan rawat inap yang pertama. Rawat inap yang pertama selama 13 hari. Di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta Ny.SL dilakukan pemeriksaan – pemeriksaan penunjang lainnya untuk membenarkan diagnosa. Setelah didiagnosa gagal ginjal, Ny.SL tidak langsung dilakukan cuci darah. Ny.SL selalu merasa tidak nyaman ketika dirumah sakit, setiap kali diberikan obat selalu merasa perut sebah dan kembung, pernafasan terasa sesak, kaki dan badan terasa panas, tidak nyaman dan keluar keringat. Ny.SL menghendaki untuk pulang ke rumah, kemudian oleh keluarga Ny.SL dibawa pulang. Kondisi Ny.SL tidak lebih baik dan masih
62
sama
seperti
sebelumnya,
Ny.SL menghendaki
untuk
dilakukan
pemeriksaan ke dokter lainnya, oleh dokter tersebut Ny.SL harus melakukan kuretase. Atas saran dokter Ny.SL melakukan kuretase. Setelah kuretase, kondisi Ny.SL tidak kunjung sembuh, kondisi tidak membaik dan masih sama dengan kondisi semula. Untuk yang kedua kalinya Ny.SL dibawa kerumah sakit, Ny.SL dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri karena kondisi kembali drop dan memburuk, setelah melihat hasil laboratorium dan pemeriksaan – pemeriksaan lainnya yang telah dilakukan oleh Ny.SL serta melihat kondisi dan gejala – gejala Ny.SL. Oleh dokter, Ny.SL disarankan untuk dilakukan terapi hemodialisis, hemodialisis pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri mengingat akses yang mudah dicapai dan tidak terlalu jauh. Pada awalnya Ny.SL melakukan cuci darah 1x dalam seminggu, saat itu kondisi Ny.SL merasa kurang baik, perut sebah, kaki bengkak dan sebelum tiba waktu untuk hemodialisis (HD) selanjutnya sudah merasa badan tidak enak dan kaku, kemudian Ny.SL meminta untuk ditambah jam hemodialisis (HD). Ny.SL merasa ada perbedaan antara hemodialisis (HD) 1x dalam seminggu dengan 2x dalam seminggu, kaki menjadi tidak bengkak, dan badan terasa nyaman. Ny.SL merasa menyesal dengan
63
penyakit yang sekarang sedang dideritanya namun saat ini sudah bisa menerima kondisinya dengan ikhlas dan sabar. Pada awal diagnosa penyakit gagal ginjal Ny.SL tidak pernah mematuhi diitnya. Ketika Ny.SL tidak mematuhi diit, maka kondisi badannya akan drop, sesak nafas dan tidak bisa tidur nyenyak. Ny.SL juga tidak pernah mendengar nasehat dari suami dan anak – anaknya, namun setelah sekian lama harus mengidap penyakit gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis dan efek yang ditimbulkan akibat tidak mentaati diit, Ny.SL mulai merubah kebiasaannya yang kurang baik. Ny.SL mulai mentaati diit sedikit demi sedikit, hingga saat ini Ny.SL sudah bisa menerima kondisinya dan mentaati diit terutama minum. Keluhan yang diungkapkan Ny.SL adalah tidak puas dalam buang air kecil (BAK), buang air kecil (BAK) hanya pagi hari saja dan menetes, selain itu Ny.SL selalu tidak bisa tidur pada malam hari, karena merasakan kaki yang terasa pegal – pegal. Ny.SL tidak mampu dalam melakukan aktivitas sehari – hari, badan selalu terasa capek dan lemah serta kondisi yang tidak seperti dahulu. Kegiatan sehari – hari dari Ny.SL hanya menonton televisi dan sekedar bersantai dengan keluarga, namun sesekali Ny.SL melakukan kegiatan menyapu dan memasak. Ny.SL tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai penjaga warung dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan. Ny.SL hanya bisa pasrah dan bersabar, Ny.SL percaya bahwa akan ada hikmah dibalik setiap cobaan. Semenjak harus melakukan terapi
64
hemodialisis, kondisi keuangan Ny.SL berubah, perubahan tersebut dirasakan untuk transportasi dan yang lainnya, tetapi untuk terapi hemodialisis Ny.SL sudah terdaftar sebagai peserta jamkesmas. Saat ini Ny.SL menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri 2x dalam seminggu. 4.2.4. Partisipan IV (P04) Tn.SG umur 30 tahun merupakan partisipan yang keempat dilakukan wawancara. Tn.SG berjenis kelamin laki – laki dan merupakan penderita gagal ginjal kronik, pekerjaan Tn.SG sebagai buruh pabrik di Jakarta. Wawancara pertama dilakukan pada hari Minggu tanggal 9 Februari 2014 pukul 11.00 WIB dirumah Tn.SG yang beralamat di Klepu Karanganom Donorojo Pacitan Jawa Timur. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 1 jam, jarak partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Tn.SG memiliki riwayat hipertensi sejak masih muda dan awal – awal pernikahan. Selain itu, Tn.SG selalu menkonsumsi minuman – minuman berenergi selama kurang lebih tiga tahun untuk menunjang kesehatannya mengingat Tn.SG bekerja sebagai pekerja pabrik yang selalu dituntut untuk bekerja lebih keras. Pada awal penyakit gagal ginjal, Tn.SG sering muntah jika kelelahan, namun setelah muntah Tn.SG merasa badan membaik. Hal ini tidak pernah diperiksakan dan hanya dianggap penyakit sepele, Tn.SG juga sering keluar keringat dingin. Hal itu dibiarkan begitu saja dan tidak pernah dirasa sebagai penyakit yang serius.
65
Kemudian Tn.SG merasakan badan yang begitu lemas dan tidak mampu beraktivitas. Tn.SG memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dan berhenti bekerja. Tn.SG tidak mengalami penurunan kesadaran namun tetap harus dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan dan didapatkan hasil bahwa Tn.SG mengidap gagal ginjal, selanjutnya Tn.SG juga harus menjalani terapi hemodialisis 2x dalam seminggu. Tn.SG menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri selama kurang lebih 10 hari, kemudian setelah membaik, Tn.SG dibawa pulang oleh keluarganya. Kondisi pada saat wawancara Tn.SG dalam keadaan yang sedang stabil dan tidak sesak nafas, Tn.SG akan merasa sesak nafas dan lelah jika duduk yang terlalu lama. Semenjak terkena gagal ginjal, Tn.SG harus rutin melakukan hemodialisis. Akses yang terlalu jauh membuat Tn.SG merasa cepat lelah jika ingin hemodialisis. Tn.SG mengalami perubahan dalam aktivitas, merasa cepat lelah, capek jika aktivitas yang terlalu berat. Akibat dari gagal ginjal, Tn.SG kehilangan pekerjaannya sebagai pekerja pabrik di Jakarta yang merupakan sumber penghasilan selama ini. Semenjak Tn.SG harus pulang dari jakarta dan menjalani terapi hemodialisis Tn.NG menjalani hari – harinya dirumah orang tua. Tn.SG juga
mengeluhkan
masalah
ekonomi
yang
semakin
bertambah
kebutuhannya, mengingat biaya transportasi yang harus dikeluarkan 2x
66
dalam satu minggu. Tn.SG tidak pernah melakukan rekreasi keluar rumah dengan keluarga mengingat kondisi yang tidak memungkinkan. Keluhan lain yang diungkapkan oleh Tn.SG yaitu mengeluhkan tidak puas dalam buang air kecil (BAK), buang air kecil (BAK) hanya menetes pada pagi hari dan sore hari. Tn.SG bisa tidur lelap pada malam hari jika kondisinya sedang baik dan tidak sesak nafas, namun jika kondisinya tidak baik, maka Tn.SG tidak dapat tidur dengan nyenyak dan selalu terbangun. Jika terbangun di malam hari, aktivitas yang dilakukan Tn.SG adalah berdoa dan pasrah kepada Tuhan. Tn.SG merasa tidak pernah melakukan dosa besar, namun selalu bertanya – tanya mengapa dirinya yang diberikan sakit sampai seperti ini, sehingga membuat Tn.SG selalu sabar dengan kondisinya. Pada awal diagnosa Tn.SG tidak dapat menerima keadaannya, dan selalu menyalahkan dirinya sendiri, Tn.SG merasa menyesal. Tn.SG juga sempat putus asa dengan pengobatan yang dijalani, karena tidak pernah ada hasilnya. Banyak pengobatan alternatif yang telah diikutinya namun kondisinya tidak membaik dan tidak ada perubahan. Saat ini Tn.SG sudah mulai menerima kondisinya dan hanya pasrah kepada yang diatas berharap bisa sembuh dari penyakitnya. Tn.SG mengaku mengalami gangguan dalam bersosialisasi dengan orang lain sehingga dalam kesehariannya Tn.SG jarang kelaur rumah. Tn.SG juga merasa malu dengan orang yang belum dikenalnya. Saat ini Tn.SG sedang menjalani terapi hemodialisis dengan frekuensi 2x dalam
67
seminggu di unit hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. 4.2.5. Partisipan V (P05) Tn.SO umur 51 tahun yang berprofesi sebagai penjahit adalah partisipan terakhir yang dilakukan wawancara. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 12 Februari 2014 pukul 17.00 WIB dirumah Tn.SO yang berlamat di Desa Gambiranom, Baturetno Wonogiri. Jarak partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dilakukan pada hari Sabtu, 17 Mei 2014 pukul 17.30 WIB. Tn.SO merupakan pasien penderita gagal ginjal kronik sejak agustus 2012. Tn.SO memiliki riwayat darah tinggi sejak masih muda selain itu Tn.SO juga memiliki riwayat penyakit stroke. Jika Tn.SO merasakan badan yang kurang enak, kepala pusing dan darah tingginya kambuh maka Tn.SO akan membawa dirinya ke dokter umum area Baturetno. Tidak ada tindakan khusus yang dilakukan Tn.SO untuk mengobati penyakit strokenya tersebut. Tn.SO merupakan seorang pekerja keras, terbukti dengan banyaknya orderan jahitan yang membuat Tn.SO selalu begadang setiap harinya. Selain hal tersebut, Tn.SO juga sering menahan buang air kecil (BAK), setiap kali Tn.SO merasa ingin buang air kecil (BAK) selalu ditahan terlebih dahulu sampai akhirnya sudah tidak bisa untuk menahan lagi. Pada awal penyakitnya, tidak ada gejala yang diketahui mengenai gagal ginjal yang diderita Tn.SO. Tn.SO merasa sering kelelahan dan
68
badan tidak lagi sekuat dahulu, Tn.SO juga tidak kuat lagi untuk mengerjakan pekerjaan yang kasar – kasar. Aktivitas Tn.SO sudah mulai mengalami penurunan dan energi tidak sekuat dulu, gejala – gejala mual muntah juga sering dirasakan Tn.SO, namun hal tersebut tidak pernah dirasa sebagai penyakit yang parah. Awal sakit pada bulan puasa tahun 2012, Tn.SO tidak dapat melaksanakan ibadah puasa dengan maksimal dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan. Awalnya Tn.SO tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap gagal ginjal, kemudian oleh keluarga disarankan untuk melakukan cek darah ke laboratorium Pramesti. Hasil cek lab tersebut dibawa ke dokter umum, oleh dokter umum Tn.SO hanya disarankan untuk istirahat, setelah beberapa hari istirahat kondisi Tn.SO tidak kunjung sembuh, lalu Tn.SO memeriksakan dirinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri, niat hanya untuk periksa namun Tn.SO dianjurkan untuk rawat inap, kemudian Tn.SO menunjukkan hasil laboratorium yang telah dilakukannya. Setelah beberapa saat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri dicurigai Tn.SO mengidap gagal ginjal, selama 4 hari Tn.SO dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Tn.SO tidak mengalami penurunan kesadaran, namun harus merasakan badan yang lemas, tidak kuat untuk aktivitas, makan dan minum tidak enak dan rasanya seperti melayang – layang. Merasakan
69
badan
yang terlalu
panas. Tn.SO disarankan untuk melakukan
hemosdialisis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonogiri 1x dalam satu minggu. Dengan alasan ingin mendapatkan kesehatan seperti dahulu, maka keluarga Tn.SO mengisi lembar persetujuan dilakukan tindakan hemodialisis. Setelah kondisi membaik Tn.SO diperbolehkan untuk pulang. Selama harus menjalani hemodialisis 1x dalam satu minggu, kondisi Tn.SO tidak menunjukkan perbaikan, selalu merasa badan tidak enak, badan panas dan perut sesak sebelum tiba waktu hemodialisis selanjutnya, lalu oleh dokter disarankan untuk hemodialisis 2x dalam seminggu. Semenjak didiagnosa gagal ginjal dan harus menajalani hemodialisis, kehidupan Tn.SO harus berubah total. Tn.SO kehilangan pekerjaan sebagai penopang hidupnya. Keluhan yang dirasakan Tn.SO adalah tidak bisa beraktivitas seperti dahulu, badan tidak sekuat dahulu, tidak mampu untuk bekerja dan tidak mampu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dukungan yang dilakukan istri Tn.SO adalah selalu memberikan motivasi kepada Tn.SO bahwa penyakit itu adalah cobaan dari Tuhan. Namun Tn.SO merasa jika anak – anaknya tidak pernah memberikan perhatian, Tn.SO selalu ingin mendapat dukungan dan perhatian dari orang – orang terdekatnya. Pada awal sakitnya dan banyak mengalami perubahan, Tn.SO merasa malu dan merasa tidak berguna.
70
Tn.SO tidak percaya jika harus sakit gagal ginjal dan harus hemodialisis seumur hidupnya. Tn.SO merasa tidak berguna bagi istri dan anak – anaknya terlebih lagi Tn.SO sebagai kepala keluarga. Saat sakit, Tn.SO jarang melakukan ibadah sholat, namun yang dilakukan hanya berdoa kepada Tuhan semoga diberi kesembuhan dan ketabahan. Tn.SO merasakan ada sedikit perubahan dalam hal ekonomi, kebutuhan ekonomi semakin bertambah seiring dengan biaya transportasi hemodialisis yang dijalaninya namun hal itu masih bisa diatasi oleh keluarga. Tindakan hemodialisis sepenuhnya sudah termasuk jamkesmas sehingga Tn.SO hanya butuh biaya untuk transportasi. Hemodialisis pertama kali dilakukan oleh Tn.SO adalah pada saat hari pertama lebaran tahun 2012. Transportasi yang digunakan Tn.SO adalah menggunakan bus, namun sekarang Tn.SO sudah menggunakan sepeda motor miliknya sendiri. Banyak perubahan yang dialami oleh Tn.SO. Keluhan lain yang dirasakan Tn.SO adalah tidak bisa buang air kecil (BAK) dengan puas. Tn.SO selalu mengeluhkan tidak puas dalam buang air kecil (BAK). Buang air kecil (BAK) hanya menetes pada saat pagi dan sore. Awal penyakitnya, Tn.SO tidak mengerti mengenai penyakit gagal ginjal, Tn.SO menyatakan kurang mendapat informasi dari petugas kesehatan mengenai penyakitnya. Tn.SO selalu ingin mendapatkan informasi khususnya mengenai konsumsi air. Sampai peneliti melakukan wawancara yang pertama Tn.SO mengeluhkan tidak pernah mendapat informasi mengenai konsumsi air. Konsumsi air yang dilakukan Tn.SO
71
saat ini hanya belajar dari pengalami dirinya sendiri. Jika Tn.SO banyak minum, maka Tn.SO tidak nyaman, akan merasa sesak nafas dan perut penuh. Namun jika Tn.SO membatasi cairan yang masuk, badan akan terasa enak dan lebih baik. Kondisi Tn.SO semakin meburuk ditambah dengan penyakit strokenya. Tn.SO tidak mampu melakukan toileting dengan mandiri, toileting dibantu oleh keluarga. Tn.SO mengeluhkan tidak berani ke toilet sendiri dikarenakan takut jika jatuh dan akan memperburuk kondisinya. Tn.SO juga mengeluhkan, pada saat akan dilakukan hemodialisis, kondisinya kurang baik, karena itu pada saat malam menjelang hemodialisis Tn.SO akan merasa gelisah dan ingin cepat menjelang pagi lalu berangkat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. Kondisi Tn.SO akan membaik lagi selang beberapa jam setelah hemodialisis dilakukan, karena menurut Tn.SO seluruh kotoran dan racun didalam darah sudah dikeluarkan pada saat hemodialsis. Pada saat hemodialisis berlangsung, Tn.SO selalu merasakan badan lemas dan ingin muntah, hemodialisis dilakukan selama kurang lebih 4 – 5 jam. Tn.SO sudah dapat menerima kondisinya dengan berserah kepada yang diatas. Saat dilakukan wawancara kondisi Tn.SO sedang membaik, namun hanya merasakan sedikit sesak nafas, jika Tn.SO terlalu lama berbincang – bincang maka akan merasakan sesak nafas, sehingga wawancara menyesuaikan dengan kondisi Tn.SO.
72
Wawancara berlangsung selama kurang lebih 1 jam, Tn.SO sangat antusias dilakukan wawancara oleh peneliti dan bersedia menandatangani surat persetujuan menjadi partisipan.
4.3.HASIL PENELITIAN Dalam analisa tematik akan dijelaskan mengenai tema yang telah didapat dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara. Tema – tema yang telah dihasilkan tersebut mengacu pada tema dimensi fisik, dimensi psikologis, dimensi hubungan sosial dan dimensi lingkungan. Masing – masing dimensi akan menghasilkan beberapa tema. Tema – tema yang telah dihasilkan dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara tersebut akan secara rinci dibahas untuk mengungkapkan makna – makna atau arti dari berbagai pengalaman hidup penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis, yang telah dilakukan dan dijalani oleh partisipan dalam kehidupan sehari – hari. Tema – tema dan makna – makna yang telah dihasilkan akan saling berhubungan satu per satu dengan yang lain. Berikut penjelasan mengenai masing – masing tema dari empat macam dimensi kualistas hidup : 4.3.1. Tema dari dimensi fisik Tema – tema yang telah dihasilkan dari dimensi fisik adalah : 1) kelemahan fisik; 2) sesak nafas; 3) Buang air kecil (BAK) tidak lampias; 4) kulit hitam; 5) kualitas tidur; dan 6) perubahan pola nutrisi. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori – kategori yang didapat dari
73
ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut : 1) Kelemahan fisik Kelemahan fisik dirasakan oleh seluruh partisipan sebagai akibat dari capek dan penurunan aktivitas akibat dari hemodialisis yang dijalaninya. Kelemahan fisik meliputi : 1) gangguan aktivitas; 2) pembatasan energi; 3) tidak puas aktivitas; 4) gangguan mobilitas dan 5) kehilangan pekerjaan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kelemahan fisik dan gangguan aktivitas : “...pas nyambut damel kesel, duduk lama nggih kesel... sesek mboten saget aktivitas...” (P01) “...kalau untuk aktivitas jalan ya sakit... saya itu kalau mau jalan lama jadinya kesel...” (P02) “...mencuci terlalu berat... kalau untuk jalan suka lelah...” (P03) “...pokoknya kegiatan yang nguras tenaga akan ngerasain sakit... seperti nyuci terlalu berat...” (P04) “...kalau mau jalan harus dituntun... susah karena stroke...untuk jalan dada sesek, capek, udah nggak bisa nglakuin apa – apa...kadang bisa kadang nggak...” (P05). Berikut ungkapan partisipan mengenai energi yang terbatas pada saat aktivitas : “...tetap ada...ya tidak bisa melakukan aktivitas cuma tidur, tiap harinya duduk didepan, cari panas matahari didepan rumah, tidak bisa aktivitas lain seperti nyari rumput untuk kambing...” (P02) “...paling kalau capek saya istirahat tapi sekarang saya sudah benar – benar istirahat. Energinya kurang mbak, soalnya makan
74
dan minum juga dibatasi kalau untuk jalan gitupun sudah lelah...seperti kalau nyapu sebentar saya sudah capek, duduk lama juga capek, buat mandi saja kadang capek mbak apa lagi buat jualan seperti dulu, yuhh nggak pernah dilakukan lagi” (P03) “...saya ngirit energi mbak, kalau jalan 100 meter saja sudah capek, tenaga tidak seperti dulu, sering lelah, ngerasain tenaga kurang pembatasan energi jelas ada mbak...misalnya dulu bisa kemana – mana sekarang nggak, dulu mau main bisa – bisa saja, sekarang nggak bisa...” (P04) “...ya itu capek banget, menggeh – menggeh...” “...tenaga jelas kurang...semuanya mbak, mandi kalau kesumur minta tolong, kalau jatuh itukan bahaya. Kalau untuk jalan – jalan nggak berani mbak. Nyapu saya kesel capek mbak. Sedilit ngone capek. Semuanya capek mbak...” (P05) Berikut adalah ungkapan kepuasan dan ketidakpuasan partisipan mengenai aktivitas yang dijalaninya sebagai akibat dari kelemahan yang dirasakan. “...nggih alhamdulillah kula puas sak enteni niki...”(P01) “...yo ndak puas, puas dulu sebelum sakit, tapi sekarang kan udah tua karena usianya sudah tua yo terserah gitu aja...” (P02) “...tetap puas mbak, apapun itu saya tetap puas meskipun harus ada banyak perubahan...saya tetep kuat mbak, masih bisa melakukan aktivitas kecil seperti nyapu dan masak...” (P03) “...nggak puas, ya jelas nggak puas mbak. Mau gimana lagi. Kalau saya aktivitas berat sering capek. Mau ngapa – ngapain dipikirkan dulu. Ya nggak puas...” (P04) “...tidak...dulu bisa kok sekarang tidak...” (P05) Berikut ungkapan partisipan yang mengalami gangguan mobilitas atau perpindahan dikarenakan ketidakmampuan untuk mobilitas : “...namung sebatas HD saja mbak, saya pergi...kula mboten mbak, kerumah saudara harus siap – siap lebih awal...kalau merasa takut untuk bepergian niku mboten mbak, namung malu,
75
malunya perutnya gedhe...iya mbak,karena malu perutnya gedhe...” (P01) “...saya itu kalau mau pergikakinya berat, jadi nggak pernah...hanya waktu HD... ya kadang direncanakan kadang tidak...sudah ndak pernah, sekarang ndak pernah lagi. Saya ndak takut untuk pergi...” (P02) “...nggih ada, rasanya capek, kalau mau pergi harus direncanakan dulu...nggak mbak, tapi saya sudah nggak mau pergi kemana - mana” (P03) “...ya gangguan pasti ada,badannya pasti berat, capek, nggak seringan dulu, nggak nyaman lah badannya, juga merasa takut bepergian...takutnya karena sesek biasanya, kondisi nggak kuat, tenaga nggak kuat, orang tua juga nggak ngebolehin...” (P04) “...umpama mau beli apa gitu ke Batu, ya suruh ngeterke... nggak mbak, trimo. Nggak mau merepotkan anak. Kalau takut saya nggak takut mbak. Kalau mau pergi harus direncanakan dulu, misalnya dirumah saudara ada acara, ya harus direncanakan dulu...” (P05) Ungkapan lain yaitu partisipan merasa kehilangan pekerjaan setelah menderita sakit gagal ginjal. Partisipan merasa tidak mampu dalam menjalankan pekerjaannya. Berikut ungkapan ketiga partisipan : “...mbak saya sekarang udah nggak memikirkan pekerjaan yang penting saya sehat dulu...” (P01) “...dulu itu sebelum HD saya mengemudi mobil dump, ngaspal jalan sampai terminal, buat pasar dan sebagainya...” “...lha saya terus sakit ini...” (P02) “...sudah nggak bekerja setaun yang lalu mbak, saya sudah nggak kerja, nggak bisa kerja seperti dulu...” (P04) Ungkapan diatas merupakan ungkapan dari kelima partisipan mengenai kelemahan fisik. Kelemahan fisik akan mengakibatkan partisipan melakukan pembatasan energi. Pembatasan energi akan
76
dilakukan oleh partisipan pada setiap harinya. Hal tersebut akan berdampak terhadap mobilitas dan pekerjaan. Partisipan mengalami gangguan mobilitas diakibatkan karena fisik yang tidak mendukung dan tidak memungkinkan. Keseluruhan partisipan mengungkapkan bahwa karena penyakit gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis yang membuat partisipan merasakan lemah untuk aktivitas. Kelemahan fisik dirasakan pada saat untuk bekerja berat, berjalan lama dan untuk aktivitas yang berat seperti mencuci dan menyapu. Akibat dari kelemahan fisik yang dirasakan, keseluruhan dari partisipan akan merasa capek dan kurang tenaga. Keseluruhan dari partisipan tidak mampu untuk beraktivitas dengan maksimal dan merasa mempunyai energi yang terbatas. Dengan kata lain, keseluruhan dari partisipan akan melakukan pembatasan energi setiap harinya. Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa merasa puas dengan aktivitas yang dijalani meskipun harus dengan perubahan yang sangat berbeda dengan keadaan sehat. Namun, partisipan lain juga mengungkapkan bahwa tidak merasa puas
dan belum bisa
menyesuaikan aktivitas yang harus dijalani dengan kondisinya saat ini.
77
2) Sesak nafas Gangguan pola nafas yaitu sesak nafas ditemukan pada penelitian ini. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai sesak nafas : “...kalau banyak kadang sesek, rasanya penuh diperut...” (P02) “...minumnya banyak rasanya mual dan senep...” (P03) “...rasanya ya jelas nggak enak.gimana ya, rasanya sesek kalau kebanyakan minum...” (P04) “...niku keluhan tiap hari nggih sesek. Aktivitas sehari – hari sering sesek...” (P05) Sesak nafas diungkapkan tiga partisipan akibat dari konsumsi air yang berlebih dan tidak dibatasi selain itu sesak nafas juga dirasakan oleh satu partisipan pada saat aktivitas yang berlebih. Akibat dari sesak nafas tersebut partisipan akan mengalami gangguan pada saat tidur malam yang mengakibatkan partisipan tersebut tidak dapat tidur kembali dan akhirnya tidurnya akan kurang. Selain gangguan tidur, sesak nafas juga akan berakibat partisipan tidak dapat melakukan aktivitas yang berat – berat. 3) Buang air kecil (BAK) tidak lampias Gangguan eliminasi BAK diungkapkan oleh kelima dari partisipan dan merupakan masalah yang terjadi pada partisipan. Berikut ungkapan dari kelima partisipan mengenai BAK tidak lampias : “...nggak bisa puas.” (P01) “...siang dan sore cuma tes - tes saja. Tidak puas.”(P02)
78
“...nggak bisa mbak, ya keluarnya dengan dicuci itu mbak” (P03) “...pagi hari hanya sedikit, netes saja” (P04) “...rasanya anyang – anyangan mbak, sakit. Pipisnya sedikit” (P05). Keseluruhan dari partisipan mengatakan bahwa sudah tidak bisa lagi untuk BAK / kencing. BAK dilakukan hanya pada saat pagi hari itupun hanya menetes dan tidak bisa puas. Jumlah urin yang dikeluarkan jauh lebih sedikit daripada sebelum sakit gagal ginjal. 4) Kulit hitam Perubahan pada kulit yang menjadi hitam diungkapkan oleh dua partisipan. Perubahan warna kulit tersebut menjadi hitam, bersisik dan gatal – gatal. Berikut ungkapan dari dua partisipan mengenai perubahan warna kulit : “...mau ketemu sama orang lain aja susah, masalahnya malu kok aku dadi kaya ngene rupaku (kulit hitam dan kurus)...” (P01) “...malu dengan kondisi (hitam, kurus)...”“...dulu kan seger, nggak item...” (P04) Menurut dua partisipan perubahan tersebut dikarenakan proses hemodialisis
yang
dilakukan
2x
dalam
seminggu
dengan
menggunakan cairan kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh. Itulah yang mengakibatkan kulit mengalami perubahan warna menjadi hitam dan bersisik serta gatal – gatal. Perubahan kulit tersebut menjadikan partisipan malu untuk melakukan aktivitas seperti dahulu. Malu untuk keluar rumah dan tidak mampu dalam bersosialisasi. Dari hasil
79
observasi yang telah dilakukan pada saat wawancara, keseluruhan dari partisipan mengalami perubahan warna kulit, kulit menjadi hitam, kering dan bersisik. Kulit yang terlihat mengalami perubahan warna adalah bagian kulit kaki. 5) Kualitas tidur Keluhan tidur ditemukan dalam penelitian ini, keluhan kurang tidur diungkapkan oleh 3 partisipan. Berikut ungkapan dari ketiga partisipan : “...iya nggak bisa tidur, malam – malam itu saya malah nyapu nggak bisa tidur, jam 11 – 12 saya kebangun...istirahat cukup mbak, orang saya nggak ngapa – ngapain, Cuma tidurnya saja yang kurang...” (P03) “...kadang cukup kadang enggak, soalnya tidurnya juga susah, kalau nggak bisa tidur ya istirahatnya nggak banyak. Nggak enak rasanya badan, panas...””...Kalau tidurnya cukup berarti istirahatnya cukup...””...nggak nyenyak tidurnya nggak nyenyak. Ya karena kondisi panas, terutama panas, terus ya badannya pada sakit, nggak enak, nggak nyaman, apalagi sekarang gusinya itu sering berdarah. Gelisah juga kalau tidur, gelisahnya nggak tenang pokoknya...””...kalau terlalu turun kebawah kebangun soalnya sesek...” (P04) “...dulu – dulu sering kaya gitu. Kan baru sekali seminggu, belum sampai saatnya untuk HD, malam senin sudah merasakan. Rasanya kadang – kadang sebah, sesek, campur semuanya...sering, ya cuma duduk, kadang nggak bisa tidur. Ya pokoknya sengsara nggak ada enaknya...istirahate cukup wong tiap hari istirahat...” (P05) Mereka mengungkapkan bahwa jika tidurnya cukup maka istirahatnya juga akan cukup. Namun ada 2 partisipan yang mengatakan tidur cukup tetapi istirahatnya tidak cukup. Tidur malam selalu terbangun dan tidak bisa tidur kembali. Beberapa partisipan
80
merasakan kaki panas, perut kembung, kondisi badan panas, rasanya sakit, tidak enak, tidak nyaman, gelisah saat tidur dan gusi berdarah. Satu partisipan mengatakan tidak mengetahui perasaan apa yang menyebabkan dirinya tidak bisa tidur. 6) Perubahan pola nutrisi Perubahan pola nutrisi merupakan hal yang diungkapkan oleh partisipan mengenai asupan makan dan minum pasien dengan gagal ginjal kronik. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perubahan pola nutrisi : “...tidak mbak, wong saya kalau tidak minum malah rasanya lemas, jadi saya minum sesuka saya. Pakai air es. Kalau nggak es rasanya nggak enak. Arepo mati kakean banyu es mbok ben mbak...mendingan minum daripada makan. Kalau makan secukupnya saja, makanan protein mboten angsal kaleh sayuran lan buah – buahan...” (P01) “...dari petugas saya menyuruhnya melakukan pembatasan, aturane dikit sekali kalau minum, tapi sekarang gimana lagi kalau makan nggak minum, rasanya nggak enak, ya nyolong – nyolong, tidak pernah patuh...ya mungkin dua gelas, makan boleh banyak, tapi maemnya 3x sedikit sekali...kalau banyak kadang sesek, rasanya diperut penuh...” (P02) “...tetap dibatasi mbak untuk minumnya, kalau nggak banyak kondisinya lebih baik, kalau misal minumnya banyak rasanya mual dan senep. Saya minum hanya 2 gelas, sore satu gelas, siang juga minum pas makan siang itu mbak, paling setengah gelas. Makan nggak boleh buah – buahan sama protein...” (P03) “...kalau satu hari minum dua gelas saja, itu anjuran dari dokter tapi kan nggak ditaati, mungkin 1 liter saya habis sehari...””...Kalau nggak minum kondisinya panas, kalau nggak hujan malah tanbah panas dan dehidrasi, pengennya minum es, kalau minum es malah tambah bengkak, paling nggak boleh minum es...””...ya boleh banyak sih, protein sama buah – buahan, yang dianjurkan ikan sama daging, tapi paling ya dikit – dikit nggak terlalu banyak....””...ya dulu – dulu sih ngikutin,
81
tapi kan namanya orang nggak tentu, bosen juga, sekarang makan tempe tahu dibacem itu kan berani dikit – dikit juga sih nggak terlalu banyak...” (P04) “...yen esuk segelas, awan segelas, sore kat bengi 3 gelas. Dibatasi dewe mbak minumnya. Dari pengalaman...maemnya kalau mau okeh yo ra kepenak. Yen niki tak sedikitke kok mbak, yen akeh – akeh dilit – dilit BAB. (P05) Ketiga partisipan tidak menjalani aturan diit dari rumah sakit mengenai konsumsi air. Konsumsi air pada penderita gagal ginjal harus dibatasi, namun pada penelitian ini ditemukan tiga orang partisipan tidak melakukan pembatasan diit terutama konsumsi air. Satu orang partisipan menungkapkan bahwa melakukan pembatasan diit minuman atas dasar pengalamannya sendiri.
4.3.2. Tema dari dimensi psikologis Tema – tema yang dihasilkan dari dimensi psikologis mengenai adaptasi psikologis dibagi menjadi 2 yaitu perasaan positif diantaranya adalah : 1) banyak berdoa dan beribadah; 2) sabar. Sedangkan perasaan negatif diantaranya adalah : 1) putus asa; 2) sedih; 3) menyesal; 4) kecewa dan 5) malu. Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan perasaan positif dan negatif. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan mengenai dirinya semenjak harus menderita sakit gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis seumur hidupnya. Berikut penjelasan masing – masing tema :
82
1) Perasaan positif a. Banyak berdoa dan beribadah Berdoa dan beribadah merupakan tindakan yang selalu dilakukan dan dilaksanakan oleh keseluruhan dari partisipan. berikut ungkapan dari kelima partisipan mengenai hal ini : “...alhamdulillah mbak, sehari – hari semakin meningkat. saya jalankan sholat 5 waktu, menjalankan ibadah, berdoa kepada Tuhan...” (P01) “... selama ini saya menjalankan yang ringan – ringan saja, dulu waktu masih sehat saya ke masjid, berdzikir itu selalu, berbuat baik juga dilakukan, rajin beribadah. Pas jam 12 malam cuma berdoa sama Tuhan bahwa diri saya dikasih kesehatan lagi. Sholat udah nggak, nggak bisa bungkuk...” (P02) “...ya sholat ngaji, berbuat kebaikan, tetap jalankan ibadah mbak, saya suka dzikir pas malem – malem nggak bisa tidur, semakin mendekatkan diri sama yang diatas...” (P03) “...ikhatiar, tetap harus itu, kalau malam nggak bisa tidur mungkin berdzikir atau merenung, banyak berdoa, sudah diterima keadaan ini, agama saya semankin meningkat mbak...” (P04) “...sekarang nggak bisa sholat. Sebelum sakit masih bisa mbak, masih ke masjid. Sekarang nggak bisa. Beribadah kepada Tuhan hanya berdoa cuma biasa. Dzikir pas malam – malam. Pasrah juga mbak, mau gimana lagi mbak, kalau mau wudlu kalau malam takut jatuh...” (P05) Berdoa dan beribadah dilakukan setiap hari oleh partisipan meskipun tidak dengan menjalankan sholat. Karena suatu alasan tertentu seperti badan tidak bisa membungkuk dan tidak tahan untuk berdiri lama maka partisipan tidak dapat melaksanakan sholat 5 waktu. Jika partisipan tidak dapat melaksanakan sholat 5
83
waktu, maka partisipan akan melakukan ibadah yang ringan – ringan seperti mengaji. Partisipan selalu meminta kepada Tuhan untuk sembuh dari penyakitnya. Selain itu, partisipan selalu berdzikir pada malam hari. b. Sabar Sabar merupakan hal yang sering diungkapkan oleh keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari kelima partisipan : “...pasti bisa sembuh, bersyukur.tapi buat apa disesali, orang ini sudah takdir, disyukuri alhamdulillah saja, tetap sabar...” (P01) “...saya juga nggak malu, biasa saja...saya sabar, ikhlas menerima keadaan dan nggak nyesel dengan kondisi sekarang...” (P02) “...saya selalu sabar mbak berusaha untuk nerima keadaan dan tabah. Saya nggak malu mbak, mau badan saya item, perut buncit, badan kururs seperti ini, nggak malu mbak. Saya bersyukur mudah – mudahan Allah memberikan yang terbaik...” (P03) “...positifnya ya apa ya? Ya jadi tetap perfikir positif, dulu suka ngeluh sekarang sudah nggak, sudah bisa nerima keadaan, kesabaran meningkat, dulu sempat putus asa tapi sekarang nggak lagi, ikhtiar juga kan masih tetep cuci darah, harapannya semoga ada kemajuan...” (P04) “...Cuma pasrah mbak...” (P05) Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan perasaan yang sabar dalam menghadapi penyakitnya. Perasaan sabar diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan seperti tetap bersyukur dengan keadaan, perasaan ikhlas dan perasaan tidak menyesal.
84
2) Perasaan negatif a. Putus asa Perasaan putus asa diungkapkan oleh tiga partisipan penderita gagal ginjal kronik. Seperti yang diungkapkan oleh ketiga partisipan : “...kadang putus asa kok nggak sembuh – sembuh, merasa bersalah dengan keadaan, tapi ya mau gimana lagi...” (P02) “...putus asa juga mbak, kok nggak sembuh – sembuh padahal sudah berobat bertahun – tahun...” (P03) “...karena sakitnya nggak sembuh – sembuh, kalau cuci darah kan bukan obat, cuma ngebersihin darah atau sampah yang habis dikonsumsi... minum obat diikutin, berobat kesana diikutin, tapi kok lama – lama nggak ada perubahan, udah capek iya tapi nggak ada perubahan...” (P04) Putus asa dirasakan ketiga partisipan yang sudah menjalani bermacam – macam pengobatan namun kondisinya tetap tidak membaik dan belum mendapat kesembuhan. b. Sedih Perasaan sedih yang dialami oleh partisipan terutama pada saat awal harus didiagnosa gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis sepanjang hidupnya. Berikut ungkapan perasaan sedih dari 4 partisipan : “...saya takut mbak, takutnya itu suntuk jarum. Capek juga mbak...” (P01) “...tapi kadang saya nangis mbak kalau sakit sama kambuh itu...” (P03) “...dulu selalu berfikir positif, mungkin iya mbak, sekarang dengan kondisi seperti ini ada sedikit gangguan, gimana sih
85
kondisi orang sakit, pasti macam – macam pikirannya...” (P04) “...ya umpamanya kadang menangis, sedih. Karena kalau kumat nggak ada yang ngurusi...” (P05) Partisipan merasa sedih dengan perubahan kondisinya yang jauh berbeda dengan kondisi sebelum sakit. Perasaan sedih diungkapkan oleh 4 partisipan c. Menyesal Perasaan menyesal diungkapkan oleh kedua partisipan. Berikut ungkapan dari kedua partisipan : “...ya menyesalnya dulu kok, pernah kan awal – awalnya gejala dulu kok nggak langsung diobati...” (P04) “...menyesal mbak dengan kondisi ini, takut juga. Kalau pas kumat sering emosi. Minta apa – apa harus dituruti...” (P05) Ungkapan menyesal dikarenakan partisipan ketika sehat tidak menjaga kesehatannya, mereka mengabaikan masalah kesehatan dan akhirnya sampai saat ini harus terkena sakit gagal ginjal kronik dan harus hemodialisis sepanjang hidupnya Namun
partisipan
yang
lain
tidak
mengungkapkan
rasa
menyesalnya dengan kondisi yang saat ini sedang dialaminya. Perasaan menyesal tersebut diungkapkan oleh bermacam – macam karakter dari partisipan. Karena cara berfikir masing – masing partisipan akan berbeda.
86
d. Kecewa Perasaan kecewa diungkapkan oleh dua dari partisipan. Partisipan mengungkapkan perasaan kecewanya terhadap kondisi saat ini. Berikut ungkapan dari kedua partisipan : “...nggak ada puasnya malahan, adanya kecewa kecewa dan kecewa...kalau awal – awalnya nggak nerima dengan kondisi kaya gini, kok bisa ya aku kan kayaknya nggak berbuat terlalu buruk, kok bisa begini jadi nggak nerima tapi ya untungnya ada orang sekeliling yang support, kasih semangat jadi tambah kuat lagi...”(P04) “...belum bisa nerima keadaan karena usianya masih muda,masih 54 tahun...” (P05) Apa yang dialami partisipan merupakan sebuah kondisi yang membuat partisipan merasa kecewa. Kecewa kepada diri sendiri maupun kecewa kepada Tuhan. Satu partisipan merasa bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan yang besar namun diberikan sakit yang begitu parah e. Malu Rasa malu diungkapkan oleh tiga partisipan. Berikut ungkapan dari ketiga partisipan : “...tetap ada rasa malu mbak, mau ketemu sama orang lain aja susah, masalahnya malu kok aku dadi kaya ngene rupaku, kok perutku jadi gedhe, misal mau bertemu sama orang lain niku isin...” (P01) “...kadang – kadang ada malu juga sih sama temen, malunya karena dengan kondisi badan yang seperti ini, dulu kan nggak keliatan orang sakit gitu lho, sekarang udah kaya gini, kan cuci darah kan kulitnya jadi item, terus kurus, pokoknya nggak ada nyaman – nyamannya...” (P04)
87
“...menerima, tapi saya malu jika ketemu sama orang yang belum dikenal karena badan berubah, kulit item perut besar akhir – akhir ini...bersosialisasi nggak bisa...umpamanya ada kematian itu sudah nggak bisa, sudah dirumah aja. Kalau ada arisan juga sudah nggak...” (P05) Rasa malu dikarenakan partisipan merasakan jika dirinya mengalami perubahan dalam bentuk fisik tubuhnya. Kulit menjadi hitam dan bersisik serta perut yang membuncit. Partisipan malu untuk bersosialisasi dengan orang lain yang belum pernah bertemu dengan partisipan. Rasa malu tersebut membuat partisipan jarang bersosialsisasi dengan orang lain 4.3.3. Tema dari dimensi hubungan sosial Tema yang didapat dari dimensi hubungan sosial adalah 1) kurang sosialisasi; 2) disfungsi seksual; 3) butuh dukungan. Keseluruhan dari partisipan mengalami gangguan dalam bersosialisasi dengan orang lain yang diakibatkan karena kondisi yang tidak memungkinkan dan mengalami perubahan kulit menjadi hitam dan kurus akibat dari hemodialisis yang dijalani. Berikut penjelasan masing – masing tema : 1) Kurang sosialisasi Kurang mampu bersosialisasi diungkapkan oleh empat dari partisipan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kurang sosialisasi : “...nggih mbak, tapi kurang sosialisasi, isin niku wau mbak...” (P01) “...kalau untuk sosial, saya kurang sosialisasi dengan tetangga, jarang keluar rumah...” (P03)
88
“...tidak bebas dalam bersosialisasi...” (P04) “...orang lain ya biasa, kalau menarik diri nggak mbak, saya biasa. Bersosialisasi nggak bisa. Umpamanya ada kematian itu sudah nggak bisa, sudah dirumah saja...” (P05) Kurang mampu sosialisasi diungkapkan oleh empat partisipan. Partisipan mengungkapkan bahwa mengalami perubahan dalam bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain. Keluar rumah jarang dilakukan oleh partisipan dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan. Keseluruhan dari partisipan juga tidak mampu melakukan akivitas rekreasi seperti yang dilakukan sebelum sakit. 2) Disfungsi seksual Disfungsi seksual dirasakan dan diungkapkan oleh keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari keseluruhan partisipan mengenai disfungsi seksual : “...insyaAllah mboten...sama sekali sudah tidak mbak...kalau saya ngerasain capek mbak...” (P01) “...kalau saya sudah nggak pernah melakukan, rasanya capek, rasanya nggak puas, nggak ada gairah karena penyakit gulanya apalagi sekarang ini...” (P02) “...sudah ndak dilakukan, dari sekitar tiga tahunan yang lalu. Rasanya ndak ada gairah, sudah lama mbak, tidak kuat juga...” (P03) “...udah nggak bisa, udah nggak dilakukan, orang istri juga nggak ada disini, kalaupun ada saya juga nggak mbak, capek, nggak ada gairah sama sekali. Nanti takutnya kalau sesek...” (P04) “...sudah nggak bisa, otomatis itu, berhenti total. Nggak bisa ereksi, capek tentu, nggak bergairah itu juga...” (P05)
89
Keseluruhan berhubungan
dari
suami
partisipan istri
dengan
mengungkapkan pasangannya.
tidak
lagi
Partisipan
mengungkapkan bahwa tidak lagi melakukan hubungan seksual dikarenakan sudah tidak bergairah, mengalami penurunan kekuatan dan tidak bisa ereksi. 3) Butuh dukungan Diperhatikan dan didukung merupakan sesuatu hal yang selalu diharapkan oleh keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai dukungan yang diperoleh : “kalau informasi sudah terpenuhi mbak, dari ruangan HD...ada dukungan mbak, sebenarnya HD itu saya capek mbak, tapi dukungan dari orang tua harus tetap ada. HD dan harus berangkat HD...lingkunganHD nyaman – nyaman saja, teman – teman pada kompak...” (P01) “...ada mereka selalu menyuruh saya untuk tidak putus asa dalam HD ini. mereka nggak pernah putus memberikan semangat kepada saya. Saya juga tambah kuat. Setiap mau HD mereka mengantar saya ke rumah sakit. Dari rumah sakit juga ada kok. Pokoke saya disuruh nurut sama pihak rumah sakit...””...ya temen saya kalau hadir kesini sering ninggali uang gitu aja, tapi mereka juga mendukung...””...waduh itu termasuk nyaman, saya sudah puas itu...” (P02) “...kalau sama bapak dan kelaurga baik mbak malah semakin dekat, setiap hari selalu berkomunikasi...kalau dari keluarga ada dukungan mbak, kalau saya mau HD itu mereka selalu mendukung, biar saya cepet sembuh. Kalau misal tidak mentaati dietnya mereka mengingatkan saya supaya makan dan minum tetap terjaga...dari tetangga mereka selalu memberikan dukungan...”(P03) “...hubungannya kalau orang tua sendiri malah semakin erat mbak, siapa lagi kalau bukan mereka selalu memberikan support..””...mereka selalu kasih support, yang sabar, semoga cepat sembuh. Jadi nggak ada perubahan mbak, maksudnya mereka nggak menjauh...””... orangnya baik – baik ramah,
90
ruangannya nyaman, AC juga, kalau alat pas mati lampu, sama jensetnya rusak, terus diganti sama batre yang ada alatnya itu...” (P04) Dukungan sosial diungkapkan oleh kelima partisipan. Dukungan sosial merupakan kebutuhan dari partisipan dalam penelitian ini. Partisipan ingin selalu mendapatkan kenyamanan fisik, ingin selalu dicintai oleh keluarganya dan oleh semua orang, ingin dihargai oleh orang lain. Dukungan yang dibutuhkan partisipan dalam penelitian ini adalah dukungan dari keluarga untuk selalu berangkat hemodialisis, dukungan untuk tetap kuat menjalani penyakit gagal ginjal, dan dukungan dari perawat ruangan. Satu partisipan mengungkapkan bahwa kurang mendapat dukungan dari anaknya, namun tetap mendapat dukungan dari istri dan tetangga, selain itu partisipan juga kurang mendapat informasi dari pihak rumah sakit. Berikut ungkapan dari partisipan tersebut. “...ya biasa, biasa saja nggak ada bedanya. Tapi kalau dengan ibu ya dekat kan yang merawat saya sehari – hari...umpamanya anak? Ya biasa saja, nggak mendukung. Anak saya cuek saja...tetangga? iya mereka memberi dukungan, masih baik, tanya kalau ketemu, po jik HD, masih, yuh mbok gek mari. Gitu mbak...belum, penyakit gagal ginjal itu nggak boleh begini nggak boleh begini itu nggak ada penjelasannya...” (P05) 4.3.4. Tema dari dimensi lingkungan Tema yang telah didapat dari dimensi lingkungan adalah 1) perubahan status ekonomi; 2) butuh informasi dan 3) puas dengan akses kesehatan dan transportasi. Keseluruhan dari partisipan mengalami perubahan dalam hal ekonomi. Kelima dari partisipan akan tetap
91
mebutuhkan iformasi mengenai penyakitnya setiap saat. Selain dua hal tersebut, partisipan mengungkapkan mengenai transportasi dan akses yang ingin dicapai untuk mendapat layanan kesehatan. Empat partisipan mengaku mudah untuk mencapai akses ke pelayanan kesehatan, namun satu pasien mengatakan susah dan jauh untuk mencapai akses layanan kesehatan, dikarenakan berbeda provinsi. Berikut penjelasan beberapa tema dari partisipan : 1) Perubahan status ekonomi Perubahan status ekonomi dirasakan oleh semua partisipan. Empat dari partisipan mengungkapkan bahwa kebutuhan ekonomi semakin meningkat seiring dengan hemodialisis yang dijalani saat ini. Berikut ungkapan dari partisipan : “...ya cukup nggak cukup harus cukup mbak. Alhamdulillah tetap ada dan terpenuhi. Hanya untuk transportasi dan sebagainya. Kalau HD sudah dari jamkesmas...” (P01) “...saya menggunakan jamkesmas, kalau untuk sehari – hari belum cukup, harus lebih ngirit, untuk transportasi HD saya dikasih sama anak dan istri. Kalau untuk kebutuhan lain, harus cari uang pinjaman juga, intinya masih kurang. Kalau sudah gini, mau sambat ke siapa, mau minta siapa. Orang seperti saya cuma adane itu ya itu...” (P02) “...kadang yo kurang kadang yo nggak mbak. Kadang cukup dan harus cukup mbak. Harus bisa membagi – bagi antara kebutuhan rumah untuk makan...” (P03) “...kalau HD jamkesmas mbak, jadi lumayan ringan nggak terlalu berat – berat banget. Paling untuk transportasi...ya kasian orang tua yang cari uang, apalagi dikampung gini kan penghasilannya juga minim. Kalau saya sudah nggak dapet penghasilan sama sekali. Kadang ngerasanya pingin cepet – cepet bisa kerja lagi. Harus bagi – bagi uang buat transportasi...” (P04)
92
Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk trasnportasi. Partisipan harus mempersiapkan uang untuk setiap kali hemodialsisi. Belum lagi ditambah jika partisipan harus rawat inap jika kondisi badannya
kurang
baik.
Namun
ada
satu
partisipan
yang
mengungkapkan bahwa tidak mengalami perubahan dalam kebutuhan ekonomi. Satu partisipan mengungkapkan bahwa tidak mengalami perubahan dalam hal ekonomi. Kebutuhan tetap terpenuhi dan tidak merasakan adanya kebutuhan yang meningkat. Berikut ungkapan dari partisipan : “...ya dikasih beli bensin sama mbah yang sudah pensiun...ibu yang bekerja. Nggak merasa kurang mbak, nggak merasa meningkat juga kebutuhannya, sudah cukup seperti ini...” (P05) 2) Butuh informasi Mendapat informasi dan butuh informasi mengenai penyakit gagal ginjal kronik dan hemodialisis diungkapkan oleh keseluruhan dari partisipan. Berikut ungkapan dari partisipan : “...kalau informasi sudah terpenhui mbak dari ruangan HD...” (P01) “...sudah, mereka memberikan informasi mengenai makan dan minum, aktivitas yang boleh dilakukan, kalau saya bertanya mereka menjawab. Ya sebatas itu – itu saja. Tapi saya cukup. Mereka meberikan informasi mengenai obat juga...” (P02) “...diberikan mbak mengenai makan dan minum dan juga aktivitas...” (P03) “...sudah mbak, sudah mendapat informasi, paling tentang asupan makan dan minum...” (P04)
93
Semua dari partisipan tetap membutuhkan informasi dari petugas kesehatan mengenai sakit yang dideritanya. Empat partisipan mengungkapkan bahwa sudah mendapat informasi yang dibutuhkan dari
petugas
kesehatan,
namun
ada
satu
partisipan
yang
mengungkapkan bahwa belum mendapat informasi dari petugas kesehatan mengenai sakitnya. “...belum, penyakit gagal ginjal itu nggak boleh begini nggak boleh begini itu nggak ada penjelasannya... ya cuma sedikit, tapi sedikitnya itu seberapa, nggak ada penjelasannya. Ada yang menerangkan kalau pipis suruh nadahi, nanti minumnya ditambahi sedikit, ya jalau nggak pipis bisa pipis beberapa hari ngene iki opo kon ra minum... iya belum jelas semua... iya masih, masih sekali... ya cuma setiap hari ditanya cuma gitu – gitu aja jawabannya...” (P05) Partisipan
tersebut
belum
mendapatkan
informasi
yang
dibutuhkan mengenai penyakit gagal ginjal dan tindakan hemodialisis. 3) Puas dengan akses kesehatan dan transportasi Puas dengan akses dan transportasi yang digunakan untuk mencapai ke pelayanan kesehatan. Berikut ungkapan partisipan mengenai akses dan transportasi yang dibutuhkan untuk mencapai pelayanan kesehatan : “...gampil menggunakan sepeda motor...tidak mbak (tidak ada keluhan) kula biasa saja apa adanya (menerima jika menggunakan sepeda motor untuk HD)...” (P01) “...mudah, kalau saya itu termasuk mudah...menggunakan sepeda motor (untuk HD), dengan itu sudah cukup...tidak pernah ngeluh. Sepeda motor jelek ya ndak apa – apa...” (P02) “...mudah mbak, sudah termasuk dekat kalau mau HD... kadang – kadang menggunakan mobil, kadang – kadang juga
94
bersepeda...ini pun saya sudah dapat sampai di rumah sakit mbak. Yang penting saya hadir (HD)...” (P03) “...ya sudah, sudah cukup, mudah saja. Orang Cuma deket kok mbak...saya pakai sepeda motor udah biasa mbak...nggak, ngapain ngeluh, sudah cukup (dengan menggunakan sepeda motor untuk HD)...” Keempat dari partisipan menungkapkan bahwa mudah dalam mencapai pelayanan kesehatan dan puas dengan transportasi yang digunakan untuk mencapai akses tersebut. Namun satu partisipan mengungkapkan bahwa sulit untuk mencapai akses yang dibutuhkan mengingat jarak rumah dengan rumah sakit sangat jauh. Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan bahwa sudah puas dengan transportasi yang digunakan untuk mencapai layanan kesehatan. Berikut ungkapan dari satu partisipan mengenai akses yang terlalu jauh : “...terlalu jauh, di Pacitan sendiri sini kan nggak ada ya... ya jelas pinginnya pakai mobil, tapi uang nggak cukup...motor aja udah puas dan cukup mbak, yang penting bisa sampai sana (Rumah sakit)...” (P05).
4.4.PEMBAHASAN 4.4.1. Dimensi Fisik 1) Kelemahan fisik Kelemahan
fisik
dirasakan
oleh
keseluruhan
dari
partisipan.
Kelemahan fisik akan mempengaruhi aktivitas dari partisipan, partisipan akan melakukan pembatasan energi untuk menyesuaikan dengan kondisinya. Kelemahan fisik tersebut juga akan mempengarui mobilitas dan partisipan akan kehilangan pekerjaan Sebagai akibatnya,
95
partisipan tidak dapat melakukan kegiatan tersebut seperti dahulu sebelum sakit. Menurut Widodo (2006) kelemahan fisik pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat terjadi akibat adanya anemia, hal tersebut disebabkan karena menurunnya produksi eritropoetin akibat kerusakan fungsi ginjal. Anemia merupakan suatu keadaan dimana sel darah merah dari tubuh kurang dari normal. Gejala – gejala dari anemia adalah lelah, letih dan lesu. Hal tersebut yang membuat keseluruhan dari partisipan merasa kurang tenaga, merasa lelah dalam beraktivitas dan merasa kurang energi untuk beraktivitas. Nurchayati (2010) mengemukakan bahwa anemia dapat terjadi pada hampir semua pasien dengan gagal ginjal kronik, menyebabkan kematian dini serta mengurangi kualitas hidup karena menyebabkan kelelahan, penurunan kemampuan kapasitas latihan, penurunan kemampuan kognitif serta gangguan imunitas. Target HB yang tinggi direkomendasikan karena dari berbagai studi observasi ditemukan bahwa HB yang tinggi dapat meningkatkan ketahanan pasien dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan demikian anemia dapat mempengaruhi aktivitas fisik pederita gagal ginjal kronik. Painter (2005) mengungkapkan bahwa tingkat aktivitas fisik adalah prediktor kematian pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Painter juga mengungkapkan sebagian besar pasien dengan dialisis tidak pernah melakukan aktivitas fisik di luar dasar dari activity dailiy
96
living (ADL). Johansen (dikutip dalam Painter 2005) melaporkan sebanyak 39 orang pasin hemodialisis memiliki aktivitas rendah yang dikur dengan akselerometri. Survey yang dilakukan oleh USRDS Morbidity and Mortality Study dari 4024 pasien hemodialisis, 12,4% tidak dapat melakukan ambulasi dan transfer / perpindahan. Painter (2005) mengungkapkan bahwa ada beberapa latihan fisik untuk penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Latihan kardiovascular telah meyakinkan terbukti menghasilkan dan meningkatkan volume O2. Penelitian – penelitian yang telah dilakukan mengenai hal ini menyebutkan bahwa pasien – pasien dengan hemodialisis yang mengikuti latihan termasuk pasien berfungsi tinggi. Rendahnya volume O2 menunjukkan beberapa keterbatasan fisiologi pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Salah satu keterbatasan tersebut adalah anemia. Dalam studi yang dilakukan melaporkan bahwa satu – satunya faktor yang signifikan dalam perubahan volume O2 pada pasien yang dilakukan latihanadalah hematokrit yang tidak normal. Sedangkan kelompok hematokrit normal dengan latihan volume O2 dapat meningkat sebanyak 21%. Latihan fisik secara teratur telah terbukti dalam studi observasional untuk meperpanjang umur dan untuk mengurangi risiko cacat fisik dikemudian hari. Latihan – latihan tersebut antara lain latihan kekuatan otot dan latihan fungsi vascular. Akibat dari kelemahan fisik dan pembatasan energi yang dilakukan partisipan juga
97
akan kehilangan pekerjaan, mengalami gangguan hubungan dengan orang lain dan gangguan berinteraksi dengan orang lain. Studi yang dilakukan oleh Ritma (dikutip dalam Nurchayati 2010) melalui studi fenomenologi mengemukakan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami perubahan peran dalam hubungan dengan orang lain akibat ketergantungan terknologi medis. Pada penelitian tersebut ditemukan adanya penurunan independen dan otonomi, kehilangan identitas peran keluarga, terpisah dari keluarga, perasaan terisolasi dan membutuhkan pertolongan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) yaitu bahwa penderita gagal ginjal kronik mengalami perubahan kebutuhan fisiologis, penderita gagal ginjal kronik
selalu
mengalami
kelemahan
fisik
untuk
beraktivitas
dikarenakan adanya anemia. Akibat dari kelemahan fisik dan akibat dari hemodialisis yang dilakukan, partisipan mengalami gangguan dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Asri (dikutip dalam Nurchayati 2010) mengatakan bahwa 2/3 pasien yang mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktivitas atau pekerjaan seperti sediakala sehingga banyak pasien kehilangan pekerjaannya. Menurut Warnick (dalam Farida 2010) melaporkan rasa kehilangan pekerjaan, peran dalam keluarga dan kehilangan teman
98
serta tingkat pendidikan yang rendah merupakan risiko utama terjadinya depresi. 2) Sesak nafas Sesak nafas yang diungkapkan oleh partisipan dikarenakan banyak minum / kelebihan asupan cairan sehingga menyebabkan perut menjadi senep selain itu sesak nafas juga diakibatkan karena aktivitas yang terlalu berat dan berlebih. Purcell (dikutip dalam Farida 2010) sesak juga terjadi akibat adanya komplikasi dari penyakit ginjal kronik berupa penyakit jantung yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis. Mavanur (2010) gangguan pernafasan dikaitkan dengan gangguan kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. Lebih lanjut lagi Mavanur menjelskan bahwa gangguan pernafasan pada pasien gagal ginjal lebih banyak disebabkan karena penyakit kardiovaskular, hipertrofi ventrikel kiri akan dikaitkan dengan kejadian hipoksemia. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian terhadap 3 orang partisipan, pada penelitian ini partisipan mengeluhkan sesak nafas dikarenakan konsumsi air minum yang terlalu banyak. Namun ada 1 partisipan yang dicurigai mengidap penyakit jantung hanya saja tidak terdiagnosa akibat tidak dilakukan pemeriksaan – pemeriksaan. Partisipan tersebut mengungkapkan sesak nafas untuk segala aktivitas dan merupakan keluhan sehari – hari.
99
Sesak nafas diakibatkan karena banyak minum dan tidak membatasi asupan cairan menyebabkan pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami penumpukan cairan di perut. Cairan tersebut tidak dapat diproses melalui ginjal dikarenakan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik. Jika pasien tidak membatasi asupan cairan maka hal tersebut akan mengakibatkan perut semakin membesar. Perut yang membesar akan semakin mendesak bagian epigastrium dan semakin mendesak bagian paru – paru akibatnya
paru – paru tidak dapat
berkembang dengan baik dan penderita akan mengalami sesak nafas. 3) BAK tidak lampias Keseluruhan
dari
partisipan
tetap
membutuhkan
terapi
pengobatan untuk kencing selain dari terapi hemodialisis yang dijalaninya sat ini. Rasa puas untuk BAK tidak pernah dirasakan oleh seluruh dari partisipan. Perubahan inipun yang paling sering dirasakan oleh keseluruhan dari partisipan. Namun setelah partisipan menjalani terapi hemodialisis, partisipan sedikit mampu untuk BAK dikarenakan racun yang ada diseluruh tubuh sudah dikeluarkan pada saat hemodialisis. Ketidakmampuan BAK yang dialami oleh partisipan dapat disebut sebagai anuria. Nurcahayti (2010) gangguan eliminasi berupa anuria, yaitu suatu keadaan tidak ada produksi urin selain itu anuria diartikan sebagai suatu keadaan dimana produksi urin dalam 24 jam kurang dari 100ml. Sebagai akibat dari gangguan eliminasi anuria akan timbul
100
gangguan keseimbangan didalam tubuh yaitu berupa penumpukan cairan, elektrolit, dan sisa – sisa metabolisme tubuh yang seharunya keluar bersama – sama dengan keluarnya urin. Hal ini diakibatkan karena fungsi ginjal yang sudah tidak maksimal. Corwin (2009) pada awal penyakit gagal ginjal, manifestasi anuria mungkin minimal karena nefron – nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang rusak akan meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa akan menghadapi tugas yang banyak dan semakin berat, sehingga nefron – nefron tersebut mengalami kerusakan
dan
akhirnya
mati.
Sehingga
ginjal
tidak
dapat
tersebut
mulai
mengeluarkan sisa metabolisme dengan maksimal. Milner
(2003)
sisa
akhir
metabolisme
terakumulasi dalam darah sebab nefron yang sehat tidak mampu untuk mengkompensasi nefron – nefron yang tidak berfungsi, yang akan mengakibatkan tertimbunnya produk akhir metabolisme di dalam darah yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal termasuk produksi urin. Pada penelitian ini keseluruhan dari partisipan mengalami keluhan anuria setiap harinya. 4) Kulit hitam Perubahan warna kulit menjadi kehitaman ditemukan dalam penelitian ini. Partisipan mengalami perubahan warna kulit menjadi
101
hitam dikarenakan akibat dari hemodialisis dan proses pembersihan darah dengan zat kimia yang dilakukan satu minggu 2 kali. Hal ini sesuai
dengan
penelitian
yang
dilakukan
Farida
(2010)
mengungkapkan bahwa pada pasien dengan hemodialisis didapatkan adanya rasa yang tidak nyaman berupa gangguan pada kulit. Gangguan pada kulit seperti rasa gatal, kulit kering dan kulit belang / hitam. Thomas (dikutip dalam Farida 2010) mengungkapkan bahwa penyebab gatal pada kulit dikarenakan kulit kering, tingginya kadar kalsium dan fosfat serta meningkatnya kadar histamin dan penumpukan zat besi, hal tersebut diakibatkan karena ginjal tidak dapat mengeluarkan sisa – sisa metabolisme. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah memberikan pengertian kepada partisipan atau penderita gagal ginjal kronik untuk menggunakan lotion setiap kali sehabis mandi. Lotion
tersebut
diharapkan
mampu
melembabkan
kulit
dan
menghilangkan rasa gatal serta bersisik. Dengan tujuan untuk mempertahankan kelembapan kulit, agar terbebas dari kerusakan akibat hemodialisis. 5) Kualitas tidur Kualitas tidur dalam penelitian ini didapatkan bahwa partisipan mengalami gangguan tidur pada saat malam hari. Tidur tidak dapat terpenuhi dikarenakan suatu sebab yaitu merasakan kaki panas, perut kembung, kondisi badan panas, rasanya sakit, tidak enak, tidak
102
nyaman, gelisah saat tidur dan gusi berdarah. Satu partisipan mengatakan tidak mengetahui perasaan apa yang menyebabkan dirinya tidak bisa tidur. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) mengemukakan bahwa perubahan pemenuhan kebutuhan pola istirahat dan tidur dialami oleh partisipan dalam penelitian. Dalam penelitian tersebut partisipan mengungkapkan bahwa tidak bisa tidur dengan alasan yang tidak jelas. Benz (2012) keluhan tidur pasien gagal ginjal dilaporkan mencapai 50%, gangguan tidur tersebut termasuk sleep apnea syndrome dan gelisah. Tidak jauh berbeda, Holley (dikutip dalam Farida 2010) melaporkan bahwa sleep disorder disturbance pada klien yang menjalani hemodialisis dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kecemasan, kesedihan dan nyeri tulang. Benz (2012) mengungkapkan bahwa penyebab terbanyak gangguan tidur yang dialami oleh pasien gagal ginjal kronik adalah apnea tidur. Gangguan tidur pada pasien gagal ginjal kronik telah dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular termasuk penyakit arteri koroner, hipertrofi ventrikel kiri dan hipertensi. Pada penelitian yang dilakukanya, Benz menyebutkan keluhan tidur subyektif yang umum diungkapkan oleh pasien dialisis adalah kesulitan memulai dan mempertahankan tidur, merasa gelisah, kaki tidak nyaman, gatal – gatal, nyeri tulang, peningkatan stres, kecemasan, dan depresi. Gangguan tidur yang dialami pasien dialisis
103
yang sangat tidak nyaman akan mempengaruhi kegiatan sehari – hari. Kebanyakan dari pasien percaya bahwa menghilangkan gangguan tidur akan meningkatkan kualitas hidup. Dalam penelitiannya tersebut Benz melaporkan bahwa pasien laki – laki lebih banyak mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu 2 orang pasien berjenis kelamin laki – laki dan hanya 1 orang pasien berjenis kelamin perempuan mengalami gangguan tidur. Parker (dikutip dalam Benz 2012) menyebutkan faktor – faktor yang menyebabkan ganguan tidur pada pasien dengan gagal ginjal kronik antara lain faktor psikologis (ansietas, depresi, stres, khawatir), faktor penyakit (status kesehatan umum, anemia, uremia, perubahan metabolik),
faktor
gaya
hidup
(peningkatan
konsumsi
kopi,
penggunaan rokok) dan faktor demografi (bertambahnya usia, jenis kelamin dan warna kulit putih). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rompas, dkk (2013) menyebutkan bahwa banyak pasien gagal ginjal kronik yang mengalami gangguan tidur terkait dengan kadar hemoglobin yang dimiliki oleh pasien, kadar hemoglobin pada pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami penurunan dan penurunan itu akan berdampak pada kualitas tidur pasien dikarenakan komplikasi seperti anemia dan keluhan badan lemah, mual dan kurang nafsu makan. Pada penelitian
tersebut
dijelaskan
bahwa
semakin
kurang
kadar
104
hemoglobin yaitu <9,7 gr/dl semakin cenderung mengalami kualitas tidur buruk dan sebaliknya semakin tinggi kadar hemoglobin yaitu ≥9,76 gr/dl semakin baik pula kualitas tidurnya. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada 2 partisipan yang mengatakan tidak bisa tidur dimalam hari dikarenakan alasan yang tidak jelas. Sedangkan 1 partisipan mengatasi gangguan tidur dengan melakukan aktivitas seperti menyapu ruangan meskipun hanya sebentar. Hal yang dilakukan partisipan pada saat terbangun dimalam hari adalah berdoa. 6) Perubahan pola nutrisi National Kidney Foundation (2006) Pada pasien dengan gagal ginjal kronik diet adalah bagian terpenting dalam perawatan sehari – hari. Diet dapat berubah – ubah seiring dengan berjalannya waktu dan seiring dengan bertambahnya keparahan penyakit. Pemasukan cairan harus disesuaikan dengan berapa banyak fungsi ginjal yang dimiliki. Laju filtrasi glomerulus adalah cara terbaik untuk melacak fungsi ginjal. Keseluruhan dari partisipan mengungkapkan bahwa mengalami perubahan pola nutrisi setiap harinya karena harus melakukan pembatasan makan dan minum, jika tidak dibatasi maka badan terasa tidak enak. Beberapa cara yang dilakukan untuk menjaga nutrisi pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah dengan menjaga asupan kalori karena kalori dapat memberikan dan menambah energi, dapat
105
mempertahankan
berat
badan
dan
membantu
tubuh
untuk
menggunakan protein sebagai penguat otot dan jaringan. Pada penderita gagal ginjal dianjurkan untuk membatasi asupan protein. Selain menjaga asupan kalori dan protein, pada pasien dengan gagal ginjal perlu menjaga berat badan. Meskipun pada pasien gagal ginjal kronik dibatasi untuk konsumsi protein, namun pada pasien tersebut masih berhak untuk mendapatkan asupan protein yang seimbang, protein tersebut berguna untuk membangun otot / memperkuat otot, memperbaiki jaringan dan memerangi infeksi. Pada tahap awal penyakit ginjal, pasien tidak perlu membatasi cairan, namun jika penyakit ginjal sudah mendekati tahap akhir, pembatasan cairan sangat penting dilakukan, karena ginjal sudah tidak mampu untuk memproses cairan yang didalamnya. Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa jika banyak minum maka badan rasanya tidak enak dan sesak nafas serta perut sebah terasa penuh. Namun ada satu pasien jika tidak minum banyak badan akan terasa tidak enak dan merasa lemas. Ketidakpatuhan terhadap asupan cairan yang terjadi pada partisipan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) mengungkapkan bahwa klien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis lebih banyak yang tidak patuh dibandingkan dengan yang patuh. Asupan cairan / air pada penyakit gagal ginjal kronik sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovascular.
106
YGDI (2008) mengontrol asupan cairan merupakan salah satu masalah utama bagi pasien dialisis. Karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan. Namun bagi penderita gagal ginjal kronik
harus
melakukan
pembatasan
asupan
cairan
untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Mayoritas klien yang menjalani terapi hemodialisis di Indonesia menjalani terapi 2x dalam seminggu antara 4 – 5 jam pertindakan. Itu artinya tubuh harus menanggung kelebihan cairan diantara waktu dialisis. Kontrol asupan cairan sangat diperlukan untuk penderita gagal ginjal kronik. Brunner & Suddart (2002) air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan yang keluar, baik melalui urin maupun IWL. Dalam melakukan pembatasan asupan cairan, cairan yang masuk bergantung pada haluaran urin. Lewis dalam Farida (2010) untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis, asupan cairan harus diatur sehingga berat badan yang diperoleh tidak lebih dari 1 sampai 3 kg diantara waktu dialisis. Apabila pasien tidak membatasi jumlah asupan cairan maka cairan akan menumpuk didalam tubuh dan akan menimbulkan edema di sekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Seperti yang terjadi pada partisipan yang tidak melakukan pembatasan cairan, partisipan tersebut akan terkena dampaknya yaitu edema disekitar kaki. Karena itulah pentingnya melakukan pembatasan dan pengontrolan cairan.
107
Pembatasan tersebut penting agar pasien tetap merasa nyaman pada saat waktu antara hemodialisis selanjutnya. Ketidakpatuhan partisipan dalam melakukan pembatasan asupan cairan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah informasi dan dukungan keluarga. Menurut Notoatmodjo (dikutip dalam Sari 2009) dengan adanya kemudahan memperoleh informasi mengenai pentingnya pembatasan asupan cairan pada penderita gagal ginjal kronik sehingga dapat memfasilitasi terjadinya perilaku kepatuhan dalam melakukan pembatasam asupan cairan. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat atau pendorong terjadinya perilaku. Dukungan keluarga diperlukan karena pasien gagal ginjal kronik akan mengalami sejumlah perubahan bagi hidupnya, diharapkan dengan adanya dukungan keluarga dapat menunjang kepatuhan penderita. Namun masih saja aturan diit tersebut ada yang mentaati dan ada juga yang tidak mentaati. Keseluruhan dari partisipan mengalami perubahan pola makan, makan tetap 3x dalam sehari namun hanya sedikit. Partisipan tidak mengungkapkan rasa mual dan muntah. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) mengatakan bahwa partisipan mengalami penurunan nafsu makan dapat disebabkan karena adanya mual. Mula dapat disebabkan karena adanya uremic, yaitu suatu keadaan meningkatnya kadar ureum didalam darah akibat dari kerusakan ginjal yang progresif.
108
4.4.2. Dimensi Psikologis 1) Perasaan positif Perasaan positif merupakan adaptasi psikologis yang baik dari partisipan pada penelitian ini. a. Banyak berdoa dan beribadah Partisipan selalu mengharapkan dirinya dapat sembuh dan lepas dari tindakan hemodialisis yang dijalaninya saat ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Farida (2010) mengatakan kondisi pasien membuat pasien menjadi lebih meningkat dalam menjalankan ibadah. Dengan kondisi yang dihadapi, membuat partisipan lebih giat dalam beribadah dan berdoa. Potter & Perry (2005) seseorang akan memperoleh manfaat yang besar ketika seseorang menggunakan kepercayaannya sebagai kekuatan yang dapat memberikan dukungan pada kesehatannya. Keseluruhan dari partisipan selalu menjalankan ajaran agama seperti berdoa kepada Tuhan untuk meminta kesembuhan. b. Sabar Sabar merupakan akibat dari keadaan yang saat ini sedang dialami oleh partisipan yang menderita sakit gagal ginjal dan harus menjalani
terapi
hemodialisis
selama
hidupnya.
Beberapa
partisipan mengungkapkan bahwa dirinya tetap sabar dalam menerima kondisinya saat ini. Selain itu, bersyukur juga merupakan hal yang dilakukan partisipan untuk menerima kondisi.
109
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) ekspresi spiritual yang terjadi pada klien hemodialisis berupa bersyukur, pasrah, dan rasa ikhlas menerima kondisi apa adanya. 2) Perasaan negatif Perasaan negatif merupakan adaptasi psikologis yang kurang baik dari partisipan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa setiap partisipan memiliki perasaan yang negatif dan memiliki perasaan positif sebagai adaptasi psikologis. Perasaan negatif yang didapat dalam penelitian ini adalah 1) putus asa; 2) sedih; 3) menyesal; 4) kecewa; 5) malu. Kualitas psikologis partisipan menurun diungkapkan dengan rasa putus asa menjalani pengobatan, perasaan sedih, meyesal, kecewa dan malu hal ini akan dapat menyebabkan depresi dan cemas pada partisipan. Penelitian yang dilakukan oleh William (dikutip dalam Farida 2010) mengungkapkan bahwa kualitas hidup juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, seperti adanya cemas. Cemas dialami oleh pasien hemodialisis sampai 36%, sedangkan prevalensi depresi sekitar 28%. Cemas dan depresi memiliki korelasi negatif terhadap kualitas hidup, artinya semakin tinggi kejadian cemas dan depresi maka kualitas hidup semakin rendah. Depresi merupaka satu – satunya faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
110
4.4.3. Dimensi Hubungan Sosial 1) Kurang bersosialisasi Kurang bersosialisasi sebagai akibat dari penyakit gagal ginjal dan dampak dari hemodialisis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) mengungkapkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis mengalami perubahan dalam interaksi sosial. Sebelum menjalani hemodialisis, pasien aktif melakukan aktivitas, seperti bekerja diluar rumah, namun setelah menjalani hemodialisis aktivitas pasien menjadi terbatas, pasien lebih banyak dirumah, sehingga pola interaksi sosial juga berubah. Hal ini seperti yang terjadi pada partisipan, sebelum terkena gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis partisipan tidak mengalami gangguan dalam sosialisasi namun setelah terkena gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis aktivitas partisipan berubah dan terganggu sehingga mengakibatkan kurang mampu untuk bersosialisasi dan interaksi sosial. Tallis (2005) Sebagian dari interaksi orang, melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang untuk pasien dengan gagal ginjal kronik
untuk
mengurangi
keterlibatan
sosial
mereka
karena
pembatasan makanan dan minuman yang ketat. Tallis juga mengaitkan asupan nutrisi dengan pola interaksi sosial. Nutrisi merupakan komponen penting dalam kehidupan pasien dengan gagal ginjal kronik. Efek samping gangguan nutrisi adalah hiperkalemia,
111
hiperfosfatemia dan kelebihan cairan. Masalah sosial lainnya adalah hubungan antara keluarga dan teman – teman, bahkan untuk melakukan kegiatan rekreasi. Perubahan aspek sosial dapat disebabkan oleh perunahan fisik dan atau psikologis. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang mana partisipan mengalami perubahan dalam proses sosialisasi. 2) Disfungsi seksual Disfungsi seksual sebagai akibat dari kondisi kekuatan yang tidak memungkinkan dan kondisi badan yang tidak sehat. Tallis (2005) pada pasien dengan hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa disfungsi seksual. Disfungsi seksual terjadi pada pasien gagal ginjal kronik tahap akhir dengan hemodialisis, pada pasien ini umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini dapat berefek menurunkan libido dan ejakulasi pada laki – laki. Diaz et al. (2006) selain faktor depresan lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah body image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian. 3) Butuh dukungan Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh partisipan yang menjalani hemodialisis. Dukungan sosial yang dibutuhkan partisipan dalam penelitian ini adalah dukungan dari keluarga untuk selalu berangkat hemodialisis, dukungan untuk tetap kuat menjalani penyakit
112
gagal ginjal, dan dukungan dari perawat ruangan. Hubungan antara manusia dan lingkungan sosial adalah suatu keadaan yang dinamis yang sangat kompleks dan dapat memberikan kontribusi yang berbeda terhadap kesehatan (Burton et al. dalam Corrigan 2011). Dukungan sosial adalah sebuah konsep umum yang dapat dipahami dalam arti intuitif sebagai bantuan dari orang lain dalam situasi kehidupan yang sulit (Corrigan 2011). Dukungan sosial juga diartikan sebagai keyakinan individu yang mendapat perawatan, dicintai dan dihargai oleh orang lain (Cobb dalam Corrgigan 2011). Peran perawat hemodialisis dalam memberikan dukungan sangat berpengaruh terhadap kondisi pasien mengingat perawat adalah orang kedua setelah keluarga yang sering dijumpainya selama seminggu. Pada tahap awal pasien dengan gagal ginjal dan harus hemodialisis, perawat dapat memberikan dukungan kepada pasien dalam mengambil keputusan untuk mengikuti terapi hemodialisis dengan memfasilitasi pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang sebelumnya telah mengikuti terapi hemodialisis. Dengan dukungan sosial tersebut partisipan akan merasa lebih kuat dan merasa dihargai. Selain dari perawat, dukungan dan perhatian dari keluarga merupakan hal yang perlu dilakukan mengingat pasien hemodialisis kadang mengalami masalah psikologi terkait dengan penyakit yang dideritanya. Kutner et al. dalam Corrigan (2011) kepatuhan terhadap pengobatan merupakan masalah besar dalam manajemen yang efektif dari pasien yang
113
menjalani hemodialisis. Kimmel et al. dalam Corrgigan (2011) studi yang telah dilakukan untuk mengevaluasi hubungan dukungan sosial dan kepatuhan terhadap pengobatan telah dilakukan, beberapa dari studi yang dilakukan telah menunjukkan bahwa dukungan sosial dikaitkan dengan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan menjalani hemodialisis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dianalisa menunjukkan bahwa partisipan akan lebih semangat dalam menjalani hemodialisis ketika mendapat dukungan dan support dari keluarganya. Studi yang dilakukan Oka & Chaboyer dalam Corrigan (2011) untuk mengidentifikasi hubungan antara dukungan sosial dan kepatuhan terhadap pembatasan diet. Oka et al. dalam Corrigan (2011) semua studi mendukung bahwa kepatuhan diet meningkat seiring dengan tingkat dukungan sosial. Studi ini juga menunjukkan bahwa kepatuhan diet meningkat seiring dengan meningkatnya dukungan sosial, selain itu pasien yang lebih tua membutuhkan lebih banyak dukungan untuk perilaku kepatuhan diet. Pasien yang menjalani hemodialisis juga membutuhkan peran orang lain untuk bisa beradaptasi dan menerima kondisinya. Hal ini sangat membantu mengatasi masalah – masalah yang terjadi pada pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronik harus menghadapi masalah dan tantangan sehari – hari akibat dari kelelahan yang dirasakan, pembatasan cairan dan diet, perubahan status ekonomi, tingginya biaya
114
perawatan kesehatan, ketergantungan kepada orang lain, hilangnya peran keluarga, harga diri dan dinamika keluarga (Corrigan 2011). Selain hal tersebut, dukungan informasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan partisipan untuk mengetahui penyakitnya. Farida (2010) dalam penelitian kualitatifnya, menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik tetap membutuhkan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan informasional dan dukungan instrumental). Dalam penelitian ini keempat dari partisipan mendapat informasi yang dibutuhkan mengenai penyakitnya, namun ada satu partisipan yang mengungkapkan jika tidak mendapat informasi yang dibutuhkan mengenai penyakitnya dari petugas kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farida (2010) menyatakan bahwa partisipan menerima dukungan sosial belum sesuai dengan harap partisipan. Kebutuhan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien HD lebih tinggi dari yang diterima. Dukungan sosial berhubungan positif dengan kualitas hidup yang lebih tinggi pada pasien dengan hemodialisis (Kimmel et al. dalam Corrigan 2011).
115
4.4.4. Dimensi Lingkungan 1) Perubahan status ekonomi Kebutuhan ekonomi yang semakin bertambah seiring dengan terapi hemodialisis yang dilakukan ditambah lagi dengan kondisi partisipan yang sudah tidak mampu untuk bekerja. Hal ini membuat partisipan
mengungkapkan
kebutuhan
ekonomi
yang
semakin
meningkat. Perubahan tersebut diperparah dengan kondisi pasien yang saat ini sudah total tidak bekerja. Akibat dari kehilangan pekerjaan, membuat partisipan berfikir 2x lipat untuk mendapatkan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hemodialisis dan kebutuhan sehari – hari. Kring & Crane (dikutip dalam Farida 2010) mengatakan pada tahun 2006 biaya yang dibutuhkan untuk pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik melebihi 23 miliar atau 6,4% dari seluruh biaya kesehatan di Amerika. Biaya untuk hemodialisis dari kelima partisipan keseluruhnnya menggunakan fasilitas jamkesmas. Dengan demikian tindakan terapi hemodialisis dirasakan mempengaruhi status ekonomi partisipan. Namun satu partisipan mengungkapkan bahwa ekonominya tidak berubah, hal itu dikarenakan sumber penghasilan dan cara mendapatkan uang masing – masing partisipan yang berbeda . Penyesuaian keadaan ekonomi harus dapat dilakukan oleh keseluruhan dari partisipan terutama 4 partisipan yang mengatakan mengalami parubahan ekonomi. Hal tersebut dilakukan untuk bertahan
116
dengan kondisi yang mengharuskan keempat partisipan harus melakukan terapi hemodialisis setiap minggunya. 2) Butuh informasi Rajeswari & Sivamani (2010) perawat mempunyai tanggung jawab untuk semua bentuk terapi hemodialisis. Beberapa prioritas keperawatan dalam kaitannya dengan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis yaitu mencegah komplikasi, menjaga keamanan, promosi homeostasis, dukungan / perawatan diri pasien, dan memberikan informasi tentang proses penyakit / prognosis dan pengobatan. Tallis (2005) perawat memiliki kontak yang paling sering dengan pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan demikian perawat harus memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan menyeluruh tentang patofisiologi gagal ginjal, dan pengetahuan – pengetahuan lainnya mengenai gagal ginjal dan hemodialisis. Keseluruhan dari partisipan tetap mebutuhkan informasi – informasi dari petugas kesehatan yang berfungsi untuk menunjang kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik. 3) Puas dengan akses kesehatan dan transportasi Akses layanan yang dibutuhkan partisipan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah untuk melakukan terapi hemodialisis. Partisipan mengungkapkan bahwa mudah dalam mencapai akses ke pelayanan kesehatan dikarenakan jarak rumah dengan unit hemodialisis tidak terlalu jauh. Berbeda
117
dengan pasien yang tinggal di Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Pacitan), mengungkapkan bahwa terlalu jauh untuk mencapai layanan kesehatan (hemodialisis). Untuk mencapai akses pelayanan kesehatan, seluruh partisipan tetap membutuhkan transportasi. Kepuasan terhadap transportasi diungkapkan oleh 4 partisipan. Namun 1 partisipan merasa kuang puas dengan transportasi yang digunakan mengingat jarak yang terlalu jauh antara rumah dengan layanan kesehatan.
4.5.KETERBATASAN PENELITIAN 4.5.1. Peneliti memiliki keterbatasan kemampuan untuk melakukan penelitian kualitatif mengingat baru pertama kali melakukan penelitian kualitatif, dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen utama yang mana pada saat wawancara dan hasil wawancara akan sangat mempengaruhi hasil penelitian. 4.5.2. Saat pengisian kuesioner untuk melakukan studi pendahuluan dan pengambilan data, kuesioner tidak seluruhnya diisi oleh calon partisipan dikarenakan pada saat pengambilan data kondisi calon partisipan tidak memungkinkan untuk menulis sendiri mengingat saat itu calon partisipan sedang menjalani terapi hemodialisis. Untuk itu, pertanyaan kuesioner diisi oleh keluarga partisipan. 4.5.3. Pada saat penelitian, peneliti harus mendatangi satu per satu rumah pasien di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Pacitan, jarak yang terlalu jauh
118
membuat peneliti tidak melakukan wawancara yang kedua kepada salah satu partisipan. 4.5.4. Situasi dan kondisi pada saat wawancara kurang mendukung diantara beberapa partisipan dikarenakan kondisi partisipan saat itu sedang tidak stabil yaitu sesak nafas, sehingga wawancara menyesuaikan dengan kondisi partisipan. 4.5.5. Pada penelitian ini belum mampu mengungkap mengenai beberapa indikator dari dimensi lingkungan yaitu lingkungan rumah, keamanan fisik, lingkungan fisik dan ketrampilan. Mengingat hal tersebut merupakan suatu indikator yang didapatkan melalui observasi yang mendalam dan kontinyu. Dalam penelitian ini tidak dilakukan observasi secara mendalam mengenai hal tersebut sehingga data – data yang dibutuhkan tidak dapat ditemui.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian yang telah didapat mengenai tema – tema yang telah dianalisa. Kesimpulan akan menjelaskan dan menjawab dari tujuan – tujuan khusus dan masalah – masalah yang sudah dirumuskan. Selain itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai saran – saran bagi institusi yang bersangkutan.
5.1.KESIMPULAN Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapatkan dalam penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 5.1.1. Dimensi fisik Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas hidup dari dimensi fisik didapatkan tema sebagai berikut : 1) kelemahan fisik meliputi gangguan aktivitas, pembatasan energi, tidak puas aktivitas dan gangguan mobilitas; 2) sesak nafas; 3) BAK tidak lampias; 4) kulit hitam; 5) kualitas tidur dan 6) perubahan pola nutrisi. 5.1.2. Dimensi psikologis Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas hidup dari dimensi psikologis didapatkan tema mengenai adaptasi psikologis. Adaptasi psikologis tersebut adalah 1) perasaan positif meliputi banyak berdoa dan beribadah serta sabar; 2) perasaan negatif meliputi
119
120
putus asa menjalani pengobatan, sedih, menyesal, kecewa dan malu. Masing – masing dari partisipan mengungkapkan perasaan positif dan negatif sebagai adaptasi psikologis terhadap kondisi penyakitnya. 5.1.3. Dimensi hubungan sosial Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas hidup dari dimensi hubungan sosial didapatkan tema 1) kurang bersosialisasi; 2) disfungsi seksual dan 3) butuh dukungan. 5.1.4. Dimensi lingkungan Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian ini, kualitas hidup dari dimensi psikologis didapatkan tema 1) perubahan status ekonomi; 2) butuh informasi dan 3) puas dengan akses kesehatan dan transportasi.
5.2.SARAN 5.2.1. Institusi keperawatan / rumah sakit Bagi institusi keperawatan / rumah sakit khususnya keperawatan medikal bedah yang menangani tindakan hemodialisis diperlukan pelayanan yang lebih maksimal mengingat pasien hemodialisis sangat membutuhkan informasi mengenai penyakit gagal ginjal kronik, terapi hemodialisis dan diit yang dijalani bagi penderita gagal ginjal kronik. Selain itu, dukungan sosial dari perawat ruangan hemodialisis sangat diperlukan oleh pasien mengingat kontak pasien dengan perawat adalah yang paling sering dilakukan dengan jadwal hemodialisis dalam satu minggu. Sehingga
121
asuhan keperawatan yang diberikan akan bersifat holistik dan menyeluruh dengan mempertimbangkan segi psikologis, kultural, sosial dan spiritual. 5.2.2. Ilmu keperawatan dan institusi pendidikan keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan yang tepat pada penderita gagal ginjal kronik serta kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. 5.2.3. Bagi peneliti lain / selanjutnya Pada penelitian ini belum mampu mengungkap mengenai indikator dari dimensi lingkungan yaitu lingkungan rumah, keamanan fisik, lingkungan fisik dan ketrampilan. Indikator tersebut sangat penting untuk diketahui dikarenakan hal tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hal ini dengan metode penelitian yang berbeda, misalnya dengan metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif dengan analisa data jalinan dikarenakan indikator – indikator tersebut membutuhkan observasi secara kontinyu dan mendalam. 5.2.4. Bagi penderita gagal ginjal kronik Bagi penderita gagal ginjal kronik diharapkan penelitian ini dapat membantu memberikan informasi mengenai kebutuhan – kebutuhan dasar dan segala tentang kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis sehingga kehidupan yang dijalani menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Andika, H 2003, Ketebalan parenkim ginjal pada penderita gagal ginjal kronik dengan pemeriksaan ultrasonografi, Laporan Penelitian, SMF Radiologi RSUP Dr.Kariadi, Semarang. Benz, RL, Pressman, MR & Masood, I 2012, “Sleep disorders associated with chronic kidney disease”, Department of Nephrology Department of Sleep Medicine Lankenau Medical Center and Lankenau Institute for Medical Research, Wynnewood, USA Brunner & Suddart, 2002, “Keperawatan Medikal Bedah”, EGC, Jakarta Cahyanignsih, ND 2008, Hemodialisis (cuci darah) panduan praktis perawatan gagal ginjal, Mitra Cendekia Pres, Yogyakarta Corrigan, RM 2011, “The experience of the older adult with end-stage renal disease on hemodialysis”, Thesis, Queen’s University, Canada Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta Dewi, IGAPA 2010, “Hubungan antara quick of blood (Qb) dengan adekuasi hemodialisis pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang HD BRSU Daerah Tabanan Bali”, Tesis, Universitas Indonesia, Depok Diaz, FM, Ferrer, AR & Cascales, FR 2006, “Sexual functioning and quality of life of male patients on hemodialysis”, Nephrologia Journal, vol. 26, no. 4, hal. 453-458 Emanuelsen, KL & Rosenlicht, JM 2010, Handbook Of Critical Care Nursing, Bethary Connecticut, New York Farida, A 2010, “Pengalaman klien hemodialisis terhadap kualitas hidup dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta”, Universitas Indonesia, Tesis, Depok Gregory, N 2005, “Quality of life in patients on dyalisis benefits of maintaining a hemoglobin of 11 to 12 g/dl”, Nephrol Nursing Journal, vol. 32, no. 3, hal. 7-10, diakses 21 November 2013, http: // www. ncbi. nlm. nig. gov/pubmed/16035472
Kusumawardani, AN 2009, “Hubungan karakteristik individu dengan kualitas hidup imensi fisik pasien gagal ginjal ronik di RS. Dr.Kariadi Semarang”, Tesis, Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang, diakses 7 November 2013, http://digilib.unimus.ac.id Lacson, EJR, Xu, J, Lin, SF, Dean, SG, Lazarus, JM & Hakim, RM 2010, “ A comparasion of SF-36 and SF-12 composite score and subsequent hospitalization and mortality risks in long-term dialysis patient”, Clinical Sciences, USA Levey, AS, Jong, DED, Coresh, J, Nahas, ME, Astor, BC, Matsushita, K, Gansevoort, RT, Kasiske, BL & Eckardt, KU 2010, “The definition, classification and prognosis of chronic kidney disease : a KDIGO Controversies Conference Report”, International Society Of Nephrology, Germany Mavanur, M, Sanders, M & Unruh, M 2010, “Sleep disordered breathing in patients with chronic kidney disease, Renal-Electrolyte Division, University of Pittsburgh School of Medicine, vol.131, hal.277 – 284 Milner, Q 2003, “Pathophysiology of chronic renal failure”, British Journal Of Anesthesia, vol. 3, no. 5 National Kidney Foundation, 2001, “Gidelines for vascular acces update 2000, diakses 21 November 2013, http://www.kidney.org/profesionals/kdoqi/ National Kidney Foundation, 2006, “Anemia and chronic kidney disease”, diakses 21 November 2013, http://www.kidney.org Nurchayati, S 2010, “Analisa faktor – faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Islam Fatmawati Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas”, Tesis, Universitas Indonesia, Depok Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta Painter, P 2005, “Physical functioning in end-stage renal disease patients: Update 2005, Hemodialysis International, vol.9, hal. 218 - 235 Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal, and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia Polit, DF & Hungler, BP 2005, Nursing Research : Principles and Methods, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Potter, PA & Perry, AG 2005, Fundamental of Nursing concept, Process and Practice, 4th edition, Mosby Company, St Louis Price, ST & Wilson, LMC 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Edisi 6, vol. 2, Alih Bahasa oleh Brahm U.Pendith, EGC, Jakarta Rahman, ARA, Rudiansyah, M & Triawanti 2013, “Hubungan antara adekuasi hemodialisis dan kualitas hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin”, vol. 9, no. 2, hal. 151-160, diakses 7 November 2013, http://unnes.ac.id/ Rajeswari, RR & Sivamani, L 2010, Nursing care dialysis, Laporan Artikel, Government General Hospital Rompas, AB, Tangka, J & Rotti J 2013,”Hubungan kadar hemoglobin dengan kualitas tidur pasien penyakit ginjal kronik Di PoliGinjal Dan Hipertensi Blu RsupProf. Dr. R. D. KandouManado”, Ejournal Keperawatan, vol.1, no.1 Sari, KL 2009, “Faktor – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada Klien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Ruangan Hemodialisa RSUP Fatimah Jakarta”, Skripsi, Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Saryono & Anggraeni, MD 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta Shagholian, N, Ghafourifard, M, Rafiedian, M & Mortazavi, M 2008, “Impact of two types of sodium and ultrafiltration profiles on hemodialysis hypertention in hemodialysis Patients”, International Journals of Nephrology Autumn, vol. 13, hal. 135-136 Skevington, SM, Lotfy, M & O’Connell, KA 2004, “The world health organizations WHOQOL-Bref quality of life assesment : psycometric properties and result of the international field trial a report from the WHOQOL Group, Departement Psikology Netherlands, vol. 13, hal. 299 – 310 Supriyadi, Wagiyo& Widowati, SR 2011, “Tingkat kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik terapi hemodialisis”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, vol. 6, no. 2, hal. 107-112 Sutopo, HB 2006, Metodologi Dasar Teori danTerapannya Dalam Penelitian, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
Soni, KK, Porter, AC, Lash, JP & Unrih, ML 2010, “Health - releated quality of life In hypertention, chronic kidney disease and coexisten chronic health conditions, Journal Of Elsevier Helath, vol. 17, no. 14, hal. 17-26, diakses pada 21 November 2013, http://journals.elsevierhealth.com/ Tallis, K 2005, “How to improve the quality of life in patients living with end stage renal failure, Renal Nursing Society of Australian Journal, vol. 1, no. 1 Togatorop, L 2011, “Hubungan perawat pelaksana dengan kualitas hidup pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik Medan”, Universitas Sumatera Utara, Medan USRDS 2013, Incidence, prevalence, patient characteristik and treatmen modalities, vol. 2, USA, diakses 15 November 2013, http://usrds.go.org USRDS 2013, Chronic kidney disease in the general population, vol. 1, USA, diakses 15 November 2013, http://usrds.go.org Wasse,H, Nancy, K, Rebbeca, Z & Yijian, H 2007, “Association of initial hemodialysis vascular access with patient-reported health status and quality of life”, Clin J Am Soc Nephrol, vol.2, hal 708 – 714 Widodo 2006, Zat besi dan peranannya pada pasien penyakit ginjal kronik, diakses 3 Juni 2014, http://ika.or.id/print,php?id=325 YGDI, 2008, Yayasan ginjal diatrans Indonesia, cuci darah demi Kualitas hidup” diakses 3 Juni 2014, http://ygdi.org.