KUALITAS DAN PREFERENSI INDUSTRI TERHADAP KECAP DARI VARIETAS UNGGUL KEDELAI HITAM Erliana Ginting dan Rahmi Yulifianti Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi PO Box 66 Malang 65101; Telp. 61-034180148; email:
[email protected]
ABSTRAK Kedelai hitam disukai sebagai bahan baku kecap karena memberi warna hitam alami dan rasa yang sedap dan gurih. Untuk keperluan tersebut telah dilepas beberapa varietas unggul kedelai hitam yang selanjutnya perlu disosialiasikan kepada industri sebagai pengguna. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi, respons, dan preferensi industri terhadap kualitas kecap manis yang dihasilkan dari biji kedelai varietas Detam 1, Detam 3 Prida, dan Detam 4 Prida yang diolah oleh dua produsen kecap di Probolinggo dan Yogyakarta pada bulan Juni–November 2013. Pengamatan sifat fisik dan kimia dilakukan terhadap biji kedelai, koji, moromi, filtrat dan kecap. Uji sensoris juga dilakukan terhadap kecap, baik oleh industri maupun panelis. Sebagai pembanding digunakan lima sampel kecap komersial yang beredar di pasaran. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ukuran biji (sedang sampai besar) dan warna biji ketiga varietas kedelai sangat disukai oleh kedua produsen kecap. Kadar protein biji yang berkisar 38,32–42,33% bk menghasilkan koji, moromi, filtrat dan kecap yang relatif sama kadar proteinnya. Kecap manis yang dihasilkan produsen di Yogyakarta memiliki warna sedikit lebih gelap dan lebih kental dibanding kecap dari Probolinggo, namun kadar proteinnya lebih rendah (masing-masing 0,80–0,83% bb dan 1,12–1,22% bb). Berdasarkan warna, kekentalan, aroma, dan rasa, kedua produsen paling menyukai kecap yang diolah dari Detam 1, diikuti Detam 4 Prida, dan Detam 3 Prida. Warna, viskositas, kadar air dan protein serta aroma dan rasa kecap manis yang diperoleh dari kedua produsen masih berada dalam kisaran lima kecap komersial yang dijual di pasaran, bahkan tidak kalah kualitasnya dengan dua kecap yang diproduksi secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga varietas unggul kedelai hitam tersebut prospektif dikembangkan sebagai bahan baku kecap yang dapat diterima, baik oleh industri maupun konsumen. Kata kunci: kecap, kedelai hitam, kualitas, industri.
ABSTRACT The quality and industry preferences on soy sauce prepared from improved varieties of black seeded-soybean. Black-seeded soybean is prefered for the ingredient of soy sauce due to its natural black colour and savory/umami taste. A number of improved varieties had been released to meet the needs of black-seeded soybean and these varieties need to be socialized in order to get be adopted by industries as the users. Therefore this study aimed to obtain information, response, and preference of industry on the quality of sweet soy sauce prepared from black-seeded soybean of Detam 1, Detam 3 Prida, and Detam 4 Prida varieties by two soy sauce processor in Probolinggo and Yogyakarta that was conducted from June until November 2013. Physical and chemical observations were done for soybean seed, koji, moromi, filtrate, and soy sauce. Sensory evaluation of soy sauce was also also performed both by producers and panelists. As a control, five commercial soy sauce brands collected from the market were used. The results showed that the seed colours and medium to large seed sizes were considerably liked by both processors. The soybean seed protein content that ranged from 38,32–42,33% dw gave similar protein content to those of koji, moromi, filtrate, and soy sauce.
452
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
The sweet soy sauce prepared from Yogyakarta had darker colour and more viscous than soy sauce prepared from Probolinggo, however the protein contents were lower (0,80–0,83% ww and 1,12–1,22% ww, respectively). Based on the colour, viscosity, aroma, and taste attributes, both processors prefered the soy sauce prepared from Detam 1, followed by Detam 4 Prida, and Detam 3 Prida. The colour, viscosity, moisture and protein contents, aroma, and taste of sweet soy sauce prepared by both processors were within the range values of five commercial soy sauce brands, even had similar quality to those of two national brands. This suggests that the three varieties of black-seeded soybean are promising to be used as soy sauce ingredients that can be accepted both by processors/industries and consumers. Keywords: soy sauce, black-seeded soybean, quality, industry.
PENDAHULUAN Kecap merupakan produk olahan kedelai yang digunakan sebagai bahan penyedap dan pemberi warna pada makanan. Indonesia memiliki dua rasa kecap, yakni manis dan asin. Kecap manis rasanya khas dan menjadi kekayaan kuliner Indonesia karena kecap dari negara-negara Asia pada umumnya merupakan kecap asin (Apriyantono et al. 2004). Proporsi penggunaan kedelai untuk kecap dan tauco menempati urutan kedua (14,7%) atau setara dengan 325.220 ton kedelai setelah tempe dan tahu (83,7%) (Siadari 2012). Laju peningkatan produksi kecap dalam kurun waktu 2001–2007 dilaporkan 5,7% per tahun (Anonim 2004 dalam Kristiani 2013). Tercatat sekitar 100-an merk kecap yang dijual di pasaran (Kompas 2014b) dan beberapa diantaranya diproduksi oleh industri besar, seperti ABC, Unilever, dan Indofood. Meskipun bersaing di pasaran, masing-masing kecap memiliki pangsa dan area pasar sendiri sesuai dengan preferensi konsumen yang dipengaruhi oleh citarasa/kualitas, kebiasaan menggunakan merk (loyalitas), kesesuaian penggunaan untuk masakan tertentu, harga, dan citra merk/brand kecap (Hamka 2012, Kristiani 2013, Nurlisa dan Sofiyah 2013, Kompas 2014a). Sebagai contoh kecap ‘Piring Lombok’ disukai oleh masyarakat Semarang dan Solo. Kecap cap ‘Jual Sate’ populer di daerah Malang, Jawa Timur bagian timur sampai Bali. Kecap ‘Zebra’, ‘Benteng HS’, ‘Laron’, ‘Tawon’ dan ‘Hati Angsa’ masing-masing terkenal sebagai kecap lokal di Bogor, Tangerang, Tuban, Madiun, dan Medan, sementara kecap yang diproduksi industri besar dipasarkan ke seluruh wilayah Indonesia (Lie 1996 dalam IPB 2012, Kompas 2014b). Citarasa sebagai salah satu parameter kualitas kecap manis (Suprapti 2005) sangat ditentukan oleh jenis kedelai, proses fermentasi, kualitas gula dan racikan bumbu yang digunakan (Kompas 2014a). Kedelai berbiji kuning maupun hitam dapat digunakan sebagai bahan baku kecap. Namun, kedelai berbiji hitam lebih disukai karena dapat memberi warna hitam alami dan berkilau pada produk dengan citarasa yang sedap dan gurih (Damardjati et al. 1996, Pelita 2013, Kompas 2014a). Kedelai hitam juga mengandung antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan (Astadi et al. 2009, Astadi dan Paice 2011). Namun jumlah varietas unggul kedelai berbiji hitam sangat terbatas dibandingkan dengan kedelai berbiji kuning (Balitkabi 2012). Akibatnya, ketersediaan kedelai hitam semakin berkurang karena petani beralih menanam varietas kedelai berbiji kuning yang lebih tinggi produksi dan lebih besar ukuran bijinya dibandingkan dengan kedelai hitam yang umumnya berbiji kecil, seperti Merapi, Cikuray, dan Mallika (Ginting et al. 2009). Pada kondisi demikian, industri kecap yang loyal menggunakan kedelai hitam harus melakukan impor bahan baku. PT Unilever sebagai produsen kecap ‘Bango’ bekerjasama dengan UGM mengembangkan kedelai hitam varietas Mallika (dilepas tahun 2007)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
453
dengan melibatkan sekitar 9000 petani binaan di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk menjamin pasokan bahan baku (Pelita 2013). Merespon kebutuhan akan kedelai hitam, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 2008 telah melepas varietas unggul Detam 1 dan Detam 2 yang memiliki ukuran biji besar (14,8 g dan 13,5 g per 100 biji), kadar protein tinggi (45% bk), potensi hasil tinggi (3,0–3,5 t/ha), dan sesuai untuk bahan baku kecap (Ginting et al. 2009). Pada tahun 2013 juga dilepas varietas Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida yang ukuran bijinya sedang (11,8 g/100 biji dan 11,0 g/100 biji), kadar protein 36,4% bk dan 40,3% bk, potensi hasil 3,2 t/ha dan 2,9 t/ha. Kedua varietas ini berumur genjah (75 hari dan 76 hari). Detam 4 Prida juga toleran terhadap kekeringan (Adie 2013) sehingga prospektif untuk dikembangkan di daerah yang rentan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim. Selain citarasa, kadar protein biji kedelai juga merupakan kriteria penting karena akan menentukan kadar protein kecap yang dihasilkan sebagai salah satu persyaratan SNI untuk mutu kecap. DSN (1994) menetapkan kadar protein minimal 2% bb untuk kecap manis yang kemudian ditingkatkan menjadi 2,5% bb (DSN 1999). Oleh karena itu, untuk bahan baku kecap, diperlukan biji kedelai dengan kadar protein > 35% (Suprapti 2005). Berdasarkan kadar proteinnya, empat varietas Detam di atas sesuai untuk bahan baku kecap. Sosialisasi varietas unggul kedelai hitam perlu dilakukan untuk memacu adopsinya oleh petani dan pengrajin/industri sebagai pengguna. Kegiatan temu lapang untuk demo keragaan tanaman kepada petani, penyuluh, dan Dinas Pertanian telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balitkabi maupun di lahan petani, seperti di Pilang Kenceng, Madiun (2012) dan Trenggalek (2013) dan mendapatkan respon yang baik dari petani. Namun sosialisasi varietas unggul ini kepada industri kecap sebagai pengguna belum dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan sosialiasi varietas unggul kedelai hitam kepada dua industri kecap skala menegah di Jawa Timur dan Yogyakarta yang biasa menggunakan kedelai hitam untuk mendapatkan informasi, respon dan preferensi mereka mengenai kualitas kecap yang dihasilkan. Diharapkan, hasil penelitian ini berguna sebagai masukan dalam pengembangan varietas unggul kedelai hitam sekaligus mendukung peningkatan produksi kedelai nasional.
BAHAN DAN METODE Biji kedelai hitam varietas Detam 1, Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida ditanam di KP Genteng pada bulan Januari-April 2013. Biji kering yang sudah disortir selanjutnya dibawa ke Balitkabi, Malang. Pengolahan biji ketiga varietas tersebut (masing-masing 10 kg) menjadi kecap dilakukan oleh produsen kecap ‘Jual Sate’ di Probolinggo dan ‘Primarasa” di Mlati, Sleman, Yogyakarta (Juni–November 2013) menggunakan metode yang biasa mereka lakukan. Proses pengolahan kecap merupakan rahasia dan berbeda untuk masing-masing produsen, namun secara garis besar disajikan pada Gambar 1. Produsen kecap di Probolinggo melakukan proses fermentasi I secara spontan (tanpa inokulasi jamur) dan lama fermentasi II satu bulan. Sementara produsen kecap di Yogyakarta, melakukan inokulasi jamur tempe (R. oligosporus) pada fermentasi I dan lama fermentasi II tiga bulan. Analisis fisik dan kimia biji, meliputi bobot 100 biji, kadar air, abu, protein, dan lemak; komposisi kimia koji, meliputi kadar air dan protein; komposisi kimia moromi dan 454
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
filtratnya, meliputi warna, kadar air dan protein serta komposisi kimia kecap (warna, viskositas, kadar air, dan protein) masing-masing tiga ulangan. Analisis dilakukan di Laboratorium Kimia dan Teknologi Pangan, Balitkabi, Malang, menggunakan colour reader untuk warna, viskosimeter Brookfield untuk viskositas, metode gravimetri untuk kadar air dan abu (BSN 1992), metode ekstraksi pelarut langsung untuk kadar lemak (BSN 1992) dan metode mikro Kjeldhal untuk kadar protein (AOAC 2005). Selain itu, juga diamati tingkat kesukaan produsen kecap terhadap kualitas biji kedelai dan kecap yang dihasilkan. Sebagai data dukung, dilakukan uji sensoris kecap manis (warna, aroma, kekentalan dan rasa) dengan uji Hedonic yang melibatkan 20 panelis. Tingkat kesukaan dinyatakan dengan skor 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat suka). Sebagai pembanding, digunakan lima kecap manis komersial yang dijual di pasaran dan dianalisis warna, viskositas, kadar air, abu, dan protein serta sifat sensorisnya.
Gambar 1. Diagram alir pengolahan kecap manis. Sumber: Ginting dan Suprapto (2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Biji Kedelai Varietas Detam 1 memiliki ukuran biji besar dengan bobot 100 biji >13 g (Susanto dan Saneto 1994), sementara biji Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida tergolong sedang (10–13 g/100 biji) (Tabel 1). Produsen kecap di Probolinggo menyatakan sangat suka terhadap
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
455
warna dan ukuran biji kedelai varietas Detam 1 dan suka untuk Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida. Mereka juga sangat suka dengan kualitas biji kedelai yang digunakan dalam kegiatan ini karena seragam, tidak rusak dan bersih (tidak bercampur dengan kotoran atau bahan ikutan) seperti pasokan bahan baku yang biasa mereka terima dari agen (pedagang pengumpul). Hal yang sama juga disampaikan oleh produsen kecap di Yogyakarta untuk ukuran, warna dan kualitas fisik biji dari ketiga varietas tersebut. Pasokan kedelai hitam yang mereka terima biasanya berukuran kecil dan masih harus dibersihkan dan disortir dari bahan ikutan yang kadang-kadang dapat mencapai 10–20% dari berat total kedelai. Menurut Santoso (1994) dalam IPB (2012), untuk mendapatkan kecap yang kualitasnya baik, biji kedelai harus bersih dari bahan campuran (kulit, polong, ranting, batu, atau tanah), tidak luka dan keriput serta bebas dari serangan hama dan penyakit karena dapat mempengaruhi citarasa kecap. Produsen kecap tampaknya menyukai biji kedelai yang berukuran besar karena lebih seragam dan mudah dibersihkan/disortir. Kadar air biji kedelai berkisar 6,77–9,72% (Tabel 1), sudah memenuhi standar SNI (< 12%) (DSN 1995) untuk aman disimpan. Variasi kadar abu biji relatif kecil dengan kisaran 5,51–6,33% bk (Tabel 1). Kadar abu biji dipengaruhi oleh kandungan mineral seperti kalsium, fosfat, dan besi (Fe) yang berbeda antar varietas dan lingkungan tumbuh tanaman (Saxena dan Singh 1997). Kadar abu ini tidak banyak berbeda dengan 12 galur kedelai hitam set umur genjah dengan nilai 5,18–6,07% bk (Adie et al. 2011). Tabel 1. Sifat fisik dan kimia biji dari tiga varietas kedelai berbiji hitam. Varietas kedelai
Bobot 100 biji (g)
Kadar air (%)
Kadar abu (% bk)
Protein (% bk)
Lemak (% bk)
Detam 1 Detam 3 Prida Detam 4 Prida
13,75 10,60 10,76
9,72 8,91 6,77
6,33 5,60 5,51
42,17 38,32 42,33
18,29 19,18 18,03
bk = basis kering.
Kadar protein biji Detam 1 dan Detam 4 Prida cukup tinggi (> 40% bk) dan relatif sama nilainya, sedangkan Detam 3 sedikit lebih rendah (Tabel 1). Ketiganya sesuai untuk bahan baku kecap yang menghendaki kadar protein > 35% (Suprapti 2005). Kadar protein ketiga varietas ini relatif lebih tinggi dibanding 12 galur kedelai hitam yang nilainya 34,45–42,07% bk (Adie et al. 2011). Kadar protein Detam 1 sedikit lebih rendah dibanding hasil penelitian sebelumnya (45,4% bk) (Ginting et al. 2009), namun Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida lebih tinggi sekitar 2% (Adie 2013). Kedelai berbiji hitam lainnya seperti varietas Cikuray, Merapi, dan Mallika masing-masing memiliki kadar protein 42,4% bk, 42,6% bk, dan 37% bk (Ginting et al. 2009). Perbedaan ini disebabkan oleh varietas/galur kedelai, umur panen, kesuburan tanah dan iklim (Susanto dan Saneto 1994) serta cara pemupukan dan pengairan (Kuntiyastuti et al. 1999). Kisaran kadar lemak biji juga relatif sempit (18,03–19,18% bk) (Tabel 1). Varietas Detam 3 Prida, yang kadar proteinnya terendah, memiliki kandungan lemak tertinggi. Adie et al. (2011) melaporkan kadar lemak 18,50–20,10% bk pada 12 galur kedelai berbiji hitam, relatif mirip dengan ketiga varietas Detam yang diteliti.
456
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
Sifat Fisik dan Kimia Koji, Moromi, Filtrat dan Kecap Koji Kedua produsen kecap menyatakan bahwa biji kedelai varietas Detam 1 relatif lebih mudah diolah karena cepat tanak/matang pada saat direbus (± 45 menit) sehingga memerlukan waktu lebih singkat dibandingkan dengan Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida (±1 jam). Pada produsen kecap di Probolinggo, waktu fermentasi I relatif lebih lama (1 minggu) dari biasanya 3–5 hari karena berlangsung secara spontan dengan mengandalkan spora jamur yang sudah terdapat di ruang fermentasi. Biji koji hasil fermentasi yang disebarkan di atas tampah dan diletakkan di atas rak-rak di dalam ruang fermentasi juga cenderung kering. Hal ini tampak dari kadar air koji yang relatif rendah dan sama untuk ketiga varietas kedelai (Tabel 2). Tabel 2. Sifat fisik dan kimia koji, moromi, dan flitrat yang diolah dari tiga varietas kedelai berbiji hitam oleh produsen kecap di Probolinggo Varietas kedelai
Kadar air (%)
Protein (% bk)
Tingkat kecerahan warna (L*)
Koji Detam 1 Detam 3 Detam 4
11,56 11,16 11,56
46,78 44,69 45,91
----
Moromi Detam 1 Detam 2 Detam 3
55,40 56,30 54,06
28,76 27,93 28,21
----
Filtrat Detam 1 Detam 3 Detam 4
63,91 65,44 65,80
25,52 23,94 25,19
35,70 35,17 32,07
bk = basis kering, -- = tidak diamati. L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap/hitam (0) sampai terang/putih (100).
Kadar air koji asal Yogyakarta berkisar antara 61,15–61,57% (Tabel 3), jauh lebih tinggi daripada koji yang diperoleh dari Probolinggo (Tabel 2). Pada fermentasi I dilakukan inokulasi jamur tempe (Rhizopus oligosporus) dan ditutupi selama tiga hari untuk mencegah kontaminasi, sehingga biji koji cenderung basah (seperti tempe busuk). Seperti diketahui, jamur yang aktif, baik Aspergillus spp maupun Rhizopus spp, memproduksi enzim-enzim protease, lipase, dan amilase untuk menghidrolisis protein, lemak dan pati menjadi senyawa yang lebih sederhana (asam amino, asam lemak, gula reduksi) agar dapat digunakan oleh mikroorganisme yang aktif berikutnya (bakteri dan yeast) pada fermentasi II (Rahayu 1985, Damardjati et al. 1996). Proses hidrolisis tersebut juga menghasilkan air dan panas sehingga meningkatkan kadar air koji yang diinkubasi dalam kondisi tertutup. Kadar protein koji asal Probolinggo berkisar antara 44,69–46,78% bk (Tabel 2). Detam 1 dan Detam 4 yang memiliki kadar protein biji lebih tinggi (Tabel 1) juga menunjukkan koji dengan kadar protein sedikit lebih tinggi daripada Detam 3 Prida. Sementara koji yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
457
berasal dari Yogyakarta, kadar proteinnya berkisar antara 47,13–48,03% bk (Tabel 3), sedikit di atas kadar protein koji asal Probolinggo (Tabel 2). Kadar protein koji dari Detam 4 Prida sedikit di atas Detam 1 (1,1%), meskipun kadar protein bijinya relatif sama (Tabel 1). Hal ini sangat bergantung pada aktivitas jamur selama fermentasi yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan. Kadar protein koji dari Detam 3 tidak dapat diperoleh karena kondisi sampel telah busuk sebelum dianalisis. Gambaran di atas menunjukkan bahwa dengan inokulasi jamur, waktu fermentasi menjadi lebih singkat (tiga hari) dibandingkan dengan fermentasi spontan yang memerlukan waktu sampai tujuh hari dan kadar protein koji yang dihasilkan juga sedikit lebih tinggi (Tabel 2 dan 3). Tabel 3. Sifat fisik dan kimia koji dan flitrat yang diolah dari tiga varietas kedelai berbiji hitam oleh produsen kecap di Yogyakarta. Varietas kedelai
Kadar air (%)
Protein (% bk)
Tingkat kecerahan warna (L*)
Koji Detam 1
61,57
47,13
--
Detam 3
ta
ta
--
Detam 4
61,15
48,03
--
Filtrat Detam 1 Detam 3 Detam 4
71,90 74,06 73,64
10,64 8,75 9,98
32,2 30,5 30,7
bk = basis kering; ta = tidak ada data; -- = tidak diamati; L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap/hitam (0) sampai terang/putih (100).
Moromi dan Filtrat Moromi merupakan hasil fermentasi II berupa campuran biji dan larutan garam. Kadar air moromi asal Probolinggo relatif sama untuk ketiga varietas (Tabel 2). Demikian juga kadar proteinnya yang mengikuti kadar protein biji dan koji masing-masing varietas. Kadar protein moromi tampak berkurang karena hidrolisis protein oleh enzim yang dihasilkan pada fermentasi I masih terus berlangsung, meskipun jamurnya telah mati dalam larutan garam, termasuk enzim protease yang menghasilkan asam amino pemberi citarasa enak pada moromi. Hal ini berpengaruh terhadap kadar total nitrogen (N)/kadar protein, nitrogen terlarut dan gula reduksi moromi. Selama fermentasi I jumlah N terlarut berkisar antara 50–70% dari total N dan meningkat menjadi 72–82% selama 2 bulan fermentasi II (Sastrodipuro et al. 1994). Sampel moromi tidak diperoleh dari produsen kecap di Yogyakarta. Filtrat asal Probolinggo yang merupakan hasil perasan moromi, memiliki kadar air lebih tinggi daripada moromi sehingga kadar proteinnya per satuan berat juga lebih rendah (Tabel 2). Kadar protein filtrat dari ketiga varietas kedelai juga mengikuti kadar protein koji dan morominya. Tingkat kecerahan warna (L*) filtrat Detam 1 dan Detam 3 Prida relatif sama dan lebih cerah dibandingkan dengan filtrat Detam 4 Prida yang nilai L*-nya lebih kecil. Filtrat asal Yogyakarta dari tiga varietas kedelai memiliki kadar air 71–74% (Tabel 3), lebih tinggi dibandingkan dengan filtrat yang berasal dari Probolinggo (Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan konsentrasi dan volume larutan garam yang digunakan 458
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
per satuan berat koji serta lama fermentasi II. Namun informasi tersebut merupakan rahasia masing-masing produsen kecap sehingga tidak dapat dijelaskan. Kadar protein filtrat Detam 1 dan Detam 4 Prida asal Yogyakarta relatif sama dan sedikit lebih tinggi daripada Detam 3 Prida (Tabel 3) yang kadar protein bijinya paling rendah (Tabel 1). Kadar protein filtrat ini (8,75–10,64% bk) jauh lebih rendah dibandingkan dengan flitrat dari Probolinggo (Tabel 2) meskipun waktu fermentasinya lebih lama (3 bulan). Menurut Wijaya (1988) dalam IPB (2012), jumlah N terlarut meningkat selama satu bulan fermentasi II, namun tidak banyak berubah jika fermentasi dilanjutkan. Oleh karena itu, perbedaan kadar protein filtrat tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan jenis mikroflora yang terdapat pada moromi karena fermentasi II berlangsung secara spontan (tanpa inokulasi), volume larutan dan konsentrasi garam yang digunakan oleh masing-masing produsen kecap seperti yang diamati Roling et al. (1994) pada beberapa pengrajin kecap tradisional Indonesia. Menurut Kasmidjo (1990) dalam Setiawati (2008), konsentrasi garam yang optimal adalah 17–19% karena berpengaruh terhadap hidrolisis protein dan kecepatan pembentukan asam laktat dan alkohol sebagai komponen citarasa kecap. Selain itu juga dapat disebabkan oleh lebih sedikitnya bobot koji kering yang diperoleh karena kadar airnya yang tinggi (Tabel 3), sehingga selama fermentasi jumlah protein yang terlarut juga lebih rendah. Hal ini berlaku jika patokan yang digunakan adalah volume larutan garam per berat awal biji kedelai. Sementara bagi produsen di Probolinggo, patokan yang digunakan adalah volume larutan garam per bobot koji kering sehingga dapat dipahami jika kandungan protein filtratnya lebih tinggi. Warna (L*) filtrat dari Detam 1 asal Yogyakarta sedikit lebih pucat dibandingkan dengan Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida (Tabel 3). Namun ketiga filtrat tersebut tampak lebih gelap (nilai L* lebih kecil) daripada filtrat yang berasal dari Probolinggo (Tabel 2). Hal ini berkaitan dengan waktu fermentasi yang lebih lama (3 bulan) sehingga lebih banyak senyawa-senyawa yang terdapat pada biji dan kulit kedelai hitam (protein, antosianin, fenol) yang larut ke dalam filtrat sehingga warnanya menjadi lebih gelap. Kecap Kadar air kecap manis dari ketiga varietas kedelai asal Probolinggo relatif sama (Tabel 4) karena formula bahan dan prosesnya sama. Kadar air kecap manis pada penelitian ini (32,90–33,40%) jauh lebih tinggi (kecap lebih encer) dibandingkan dengan kecap manis dari 12 galur kedelai hitam (22,07–27,36%) (Adie et al. 2011). Kecap ’Jual Sate’ relatif lebih encer dibandingkan dengan kecap merk lain yang dijual di pasaran. Formula (jumlah moromi, gula, air, bumbu) dan lama pemasakan/perebusan yang sama juga digunakan untuk menghasilkan kecap yang cenderung encer pada penelitian ini. Tabel 4. Sifat fisik dan kimia kecap manis yang diolah dari tiga varietas kedelai berbiji hitam oleh produsen di Probolinggo. Varietas kedelai Detam 1 Detam 3 Detam 4
Kadar air (%)
Protein (% bb)
Protein (% bk)
Tingkat kecerahan warna (L*)
Viskositas (cps)
33,40 32,90 32,91
1,13 1,12 1,22
1,70 1,67 1,82
21,0 21,0 20,9
800 808 842
bb = basis basah; bk = basis kering; cps = centipoise L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap/hitam (0) sampai terang/putih (100)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
459
Kadar protein kecap manis dari ketiga varietas juga relatif sama karena perbedaan kadar protein filtratnya juga kecil (Tabel 3). Perbedaan kadar protein biji sekitar 4% (Tabel 1) tampaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar kecap. Fenomena ini juga diamati pada kecap manis dari 12 galur kedelai hitam yang kisaran kadar proteinnya relatif sempit (1,87–2,19% bb) dibandingkan dengan kadar protein bijinya (34,45–42,07% bk) (Adie et al. 2011). Tingkat kelarutan protein dan kemudahannya dihidrolisis oleh jamur maupun bakteri selama proses fermentasi juga berperan menentukan kadar protein kecap. Kecap manis dari ketiga varietas ini memiliki kadar protein lebih rendah dibandingkan dengan kecap dari 12 galur kedelai hitam (1,87–2,19% bb) yang kadar airnya lebih rendah (22,07–27,36%) (Adie et al. 2011), sehingga per satuan berat kadar proteinnya menjadi lebih tinggi. Kadar protein kecap manis dari ketiga varietas belum memenuhi batas minimal yang ditetapkan oleh SNI, yakni 2,5% bb (DSN 1999). Tingkat kecerahan (L*) warna kecap manis dari ketiga varietas tersebut relatif sama (Tabel 4). Selain warna biji kedelai, penambahan gula pasir yang digosongkan (karamel) dan bumbu turut menentukan warna akhir kecap. Viskositas kecap manis untuk ketiga varietas sedikit berbeda mengikuti kadar airnya (Tabel 4). Jumlah padatan terlarut, terutama gula dan lama pemasakan sangat menentukan viskositas kecap. Tabel 5. Sifat fisik dan kimia kecap manis yang diolah dari tiga varietas kedelai berbiji hitam oleh produsen kecap di Yogyakarta. Varietas kedelai
Kadar air (%)
Protein (% bb)
Protein (% bk)
Tingkat kecerahan warna (L*)
Viskositas (cps)
Detam 1 Detam 3 Detam 4
24,99 25,97 25,59
0,80 0,83 0,83
1,07 1,12 1,12
20,5 20,5 21,0
4300 3650 3500
bb = basis basah; bk = basis kering; cps = centipoise L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap/hitam (0) sampai terang/putih (100).
Kecap manis asal Yogyakarta memiliki kadar air yang relatif sama untuk ketiga varietas kedelai (Tabel 5) karena formula dan proses perebusannya menjadi kecap juga sama. Kadar air kecap ini relatif lebih rendah (lebih kental) dibandingkan dengan kecap manis asal Probolinggo (Tabel 4). Tingkat kekentalan yang berbeda ini juga menjadi ciri khas masing-masing produsen kecap. Kadar air kecap ini mendekati kecap manis dari 12 galur kedelai hitam yang berkisar antara 22,07–27,36% (Adie et al. 2011). Kadar protein kecap manis juga relatif sama untuk ketiga varietas kedelai (1,07–1,12% bk) (Tabel 5) karena perbedaan kadar protein filtratnya juga kecil (Tabel 3). Angka ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein kecap manis asal Probolinggo (Tabel 4) karena kadar protein filtratnya juga lebih rendah (Tabel 2 dan 3). Kadar protein kecap manis ini (0,80– 0,83% bb) masih belum memenuhi persyaratan SNI, yakni minimum 2,5% bb (DSN 1999). Tingkat kecerahan warna kecap manis (L*) juga relatif sama untuk ketiga varietas kedelai (Tabel 5) dan tidak berbeda dengan kecap manis asal Probolinggo (Tabel 4). Warna kecap manis yang dihasilkan kedua produsen tersebut relatif lebih gelap dibandingkan dengan kecap manis dari 12 galur kedelai hitam dengan nilai L* 23,3 hingga 24,0 (Adie et al. 2011). Selain jenis kedelai hitam, warna kecap juga dipengaruhi oleh warna dan jenis gula, bumbu, diantaranya kluwak yang berwarna coklat kehitaman (Suprapti 2005) dan lama perebusan kecap. Pemanasan gula menghasilkan karamel yang 460
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
aromanya enak dan warnanya coklat gelap. Demikian pula reaksi Maillard antara gugus amino dan gula reduksi pada saat pemanasan kecap menghasilkan komponen aroma dan citarasa serta pigmen melanoidin yang berwarna coklat (Wiratma 1995 dalam IPB 2012). Kecap manis Detam 1 asal Yogyakarta sedikit lebih tinggi viskositasnya dibandingkan Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida mengikuti kadar airnya (Tabel 5). Ketiga kecap manis ini jauh lebih tinggi viskositasnya (lebih kental) dibandingkan dengan kecap manis asal Probolinggo (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan konsentrasi gula, perbandingan volume moromi dengan volume larutan gula serta lama perebusan kecap. Produsen di Yogyakarta tampaknya lebih banyak menggunakan gula merah sehingga kecap yang dihasilkan lebih kental. Sementara produsen di Probolinggo hanya menggunakan karamel dari gula pasir, sehingga kecap yang dihasilkan lebih encer (Tabel 4). Sebagai pembanding juga diamati sifat fisik dan kimia lima kecap manis komersial yang dijual di pasaran (Tabel 6). Kecap komersial 1 dan 2 dipasarkan secara nasional, sedangkan tiga sisanya merupakan kecap lokal. Kecap manis dari ketiga varietas kedelai asal Probolinggo (Tabel 4) tampak mendekati kecap komersial 5 ditinjau dari kadar air, kecap komersial 1, 3, dan 5 dari segi warna dan sedikit lebih kental daripada kecap komersial 3. Namun kadar protein ketiga kecap tersebut lebih tinggi daripada kecap komersial 3 dan 5 dan relatif sama dengan kecap komersial 1 dan 2. Kecap manis dari tiga varietas kedelai asal Yogyakarta (Tabel 5) memiliki kadar air relatif sama dengan kecap komersial 1, 2, dan 4, dan kecap komersial 4 untuk aspek viskositas serta sedikit lebih gelap warnanya dari kecap komersial 1, 3, dan 5. Namun kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan kecap komersial 1 dan 2, relatif sama dengan kecap komersial 3 dan 5 serta lebih tinggi daripada kecap komersial 4. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kecap manis yang diolah oleh produsen di Probolinggo dan Yogyakarta memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda, namun keduanya masih berada dalam kisaran sifat fisik dan kimia lima kecap komersial yang terdapat di pasaran, sehingga akan lebih mudah diterima oleh pasar/konsumen bila diproduksi secara komersial. Semua kecap manis yang diamati (termasuk kecap komersial) memiliki kadar protein di bawah batas minimal yang ditetapkan SNI, yakni 2,5% bb (DSN 1999). Tampaknya industri kecap masih memprioritaskan citarasa, warna, dan kekentalan sebagai tolok ukur kualitas kecap daripada kadar protein. Tabel 6. Sifat fisik dan kimia lima kecap manis komersial Kecap manis Kecap komersial 1 Kecap komersial 2 Kecap komersial 3 Kecap komersial 4 Kecap komersial 5
Kadar air (%)
Protein (% bb)
Protein (% bk)
Tingkat kecerahan warna (L*)
Viskositas (cps)
25,62 24,91 28,39 22,55 32,46
1,23 1,16 0,93 0,44 0,90
1,66 1,54 1,30 0,57 1,33
20,96 21,97 20,87 21,63 20,97
1400 1400 400 3250 1350
bb = basis basah; bk = basis kering; cps = centipoise L * : tingkat kecerahan dengan kisaran gelap/hitam (0) sampai terang/putih (100).
Sifat Sensoris Kecap Produsen kecap dari Probolinggo cukup menyukai warna dan kekentalan kecap dari ketiga varietas kedelai hitam. Aroma dan rasa kecap manis yang diolah dari varietas
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
461
Detam 1 sangat disukai karena gurih, sedangkan Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida cukup disukai. Jika diurutkan berdasarkan warna, rasa, aroma, dan kekentalan, kecap yang paling disukai adalah yang berasal dari Detam 1, diikuti Detam 4 Prida dan Detam 3 Prida. Kualitas kecap dari ketiga kedelai hitam ini dinilai sangat baik, setara dengan kecap kualitas premium yang mereka miliki saat ini. Pabrik ini menghasilkan beberapa merk kecap dengan tujuan penggunaan (kecap meja dan kecap masak) dan kualitas yang berbeda. Produsen kecap di Yogyakarta juga menyatakan bahwa kecap dari varietas Detam 1 paling gurih/disukai rasanya, sedangkan Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida cukup disukai. Untuk kriteria warna dan kekentalan, kecap dari ketiga varietas tersebut juga cukup disukai. Berdasarkan respon kedua kedua produsen kecap tersebut tampak bahwa varietas Detam 1 paling disukai untuk bahan baku kecap. Selain preferensi produsen kecap, juga diamati tingkat kesukaan panelis sebagai representatif konsumen terhadap kecap dari ketiga varietas kedelai hitam yang diolah oleh dua produsen tersebut dan lima kecap komersial sebagai pembanding (Tabel 7). Warna kecap dari ketiga varietas kedelai asal Yogyakarta paling gelap dan relatif sama dengan kecap komersial 5. Sementara kecap komersial 2 memiliki warna paling pucat/cerah. Ketiga kecap asal Probolinggo memiliki warna mendekati gelap dan relatif sama dengan kecap komersial 1, 3, dan 4. Hasil pengamatan ini relatif sama dengan pengamatan tingkat kecerahan (L*) warna kecap (Tabel 6). Semua kecap yang warnanya gelap disukai oleh panelis, kecuali kecap komersial 2 yang warnanya agak gelap, kurang disukai. Tabel 7. Hasil uji sensoris kecap manis yang berasal dari produsen di Probolinggo dan Yogyakarta serta lima kecap manis komersial Jenis/asal kecap manis Probolinggo
Detam 1 Detam 3 Prida Detam 4 Prida
3,45 b 3,50 b 3,40 b
Kesukaan terhadap warna a 3,85 ab 3,85 ab 3,80 ab
Yogyakarta
Detam 1 Detam 3 Prida Detam 4 Prida
4,15 a 4,25 a 4,30 a
4,05 a 4,00 a 4,00 a
3,30 a 3,40 a 3,50 a
2,85 abcd 2,50 cd 2,35 d
4,20 a 3,90 ab 3,85 b
3,95 a 3,95 a 3,80 ab
3,50 b 2,50 c 3,55 b 3,25 b 4,20 a 14,06 0,3
3,65 b 3,05 c 3,85 ab 3,75 ab 4,05 a 14,53 0,34
3,55 a 3,75 a 3,45 a 3,45 a 3,55 a 20,92 0,46
2,85 abcd 3,25 ab 2,80 bcd 3,00 abc 2,75 bcd 30,45 0,56
3,15 cd 2,85 de 2,15 f 3,80 b 3,45 c 17,33 0,35
3,70 abc 3,35 bc 2,60 d 3,75 ab 3,40 bc 21,78 0,48
Kecap komersial 1 Kecap komersial 2 Kecap komersial 3 Kecap komersial 4 Kecap komersial 5 KK (%) BNT (%)
Warna b
Aroma a
Rasa a
Kekentalan c
3,65 a 3,55 a 3,60 a
3,40 a 3,25 ab 3,40 a
2,70 e 2,60 e 2,75 e
Kesukaan terhadap kekentalan a 3,45 bc 3,25 c 3,35 bc
a
Skor penilaian warna, aroma, rasa dan kekentalan: 1: Sangat tidak suka, 2: Tidak suka, 3: Agak suka, 4: Suka, 5: Sangat suka Warna/kenampakan: 1: Sangat pucat/cerah, 2: Pucat/cerah, 3: Agak gelap, 4: Gelap, 5: Sangat gelap. c Kekentalan: 1: Sangat encer, 2: Encer, 3: Agak kental, 4: Kental, 5: Sangat kental. Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. b
Aroma kecap, baik hasil penelitian ini maupun kecap komersial, cukup disukai meskipun bahan baku dan proses pengolahannya berbeda. Aroma karamel dan bumbu dominan terdeteksi pada kecap manis dan semua panelis tampaknya menyukai aroma tersebut. 462
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
Untuk rasa, panelis memberi skor agak suka untuk semua kecap, kecuali kecap Detam 4 Prida asal Yogyakarta yang tidak disukai. Ketiga kecap asal Probolinggo, kecap komersial 2 dan 4 sebenarnya memiliki skor >3 (antara agak suka dan suka), namun tidak berbeda nyata dengan kecap Detam 1 asal Yogyakarta dan kecap komersial 1. Sementara kecap Detam 3 Prida, Detam 4 Prida, kecap komersial 3 dan 5 relatif sama rasanya (antara tidak suka dan agak suka). Selain jenis kedelai, rasa kecap manis sangat ditentukan oleh jenis, kualitas dan jumlah gula, bumbu, dan komponen citarasa yang terbentuk selama fermentasi II (Setiawati 2008). Menurut Lioe et al. (2004), rasa gurih (umami) kecap terutama disebabkan oleh asam glutamat dan garam natrium. Dari aspek panelis, penerimaan rasa kecap juga dipengaruhi oleh kebiasaan menggunakan jenis kecap tertentu, tingkat kesukaan terhadap kombinasi rasa manis dan asin kecap serta rasa gurih (umami) yang dihasikan dari proses fermentasi. Oleh karena itu banyak kecap yang diproduksi secara lokal mampu bertahan di tengah persaingan merk kecap yang beragam karena memiliki citarasa spesifik yang sesuai dengan preferensi konsumen lokal. Hal ini tampak dari kecap asal Yogyakarta yang kurang disukai rasanya dibandingkan dengan kecap yang berasal dari Probolinggo karena terdeteksi aroma alkohol yang memberi rasa sedikit pahit, mirip dengan kecap yang berasal dari Jepang atau Cina. Waktu fermentasi kecap ini lebih panjang (3 bulan) sehingga komponen citarasa yang terbentuk dari hasil hidrolisis substrat (termasuk etanol dan gliserol) juga lebih banyak. Ketiga kecap asal Yogyakarta dan kecap komersial 4 tergolong kental, sedangkan kecap komersial 4 encer dan sisanya agak kental. Kecap yang kental disukai panelis, sedangkan yang encer kurang disukai. Berdasarkan warna, aroma, rasa, dan kekentalan, ketiga kecap yang dihasilkan dari Probolinggo unggul dari aspek warna dan rasa, namun kekentalannya kurang disukai (agak kental). Sedangkan ketiga kecap yang berasal dari Yogyakarta unggul dari aspek warna dan kekentalan. Secara keseluruhan, sifat sensoris enam kecap tersebut masih berada dalam kisaran lima kecap komersial yang dijual di pasaran, berarti tidak kalah kualitasnya termasuk jika dibandingkan dengan kecap komersial 1 dan 2 yang diproduksi secara nasional.
KESIMPULAN 1. Kedua produsen kecap, baik di Probolinggo dan Yogyakarta sangat suka terhadap ukuran dan warna biji kedelai varietas Detam 1, Detam 3 Prida dan Detam 4 Prida sebagai bahan baku kecap. Berdasarkan warna, aroma, rasa, dan kekentalan, kecap yang dihasilkan dari varietas Detam 1 paling disukai kedua produsen, terutama karena rasanya lebih gurih, diikuti Detam Prida 4 dan Detam Prida 3. 2. Kecap manis dari ketiga varietas tersebut yang diolah oleh kedua produsen kecap memiliki kadar air, kadar protein, warna, kekentalan, aroma dan rasa yang masih berada dalam kisaran lima kecap komersial yang dijual di pasaran, sehingga prospektif diproduksi secara komersial.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yusuf Efroyi dan Bapak Ainul Yakin dari PT Aneka Food Tatarasa Industri, Probolinggo dan Bapak Rudy Purwanto serta Ibu Ninik dari PT Kharisma Prima Abadi, Yogyakarta atas kerjasamanya dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kebun Percobaan Genteng, Sdr. Suprapto, SP, Lina Kusuma-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
463
wati, S.Si., Ismiyati, SP, Ninik Wahyuni dan Purwanindyah yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M., G.W.A. Susanto, E. Ginting, dan Arifin. 2011. Sifat fisik dan kimia 12 galur kedelai berbiji hitam dan berumur genjah serta pemanfaatannya untuk kecap. Laporan Teknis Penelitian RISTEK. Balitkabi Malang. 12 hlm. Adie, M.M. 2013. Kedelai hitam suger genjah dan toleran kekeringan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 35(6):1–2. AOAC. 2005. Microchemical determination of nitrogen using microKjeldhal method (12.1.07). Official Methods of Analysis of AOAC International. Vol. I. Agricultural Chemicals, Contaminants, Drugs. AOAC International. Gaithersburs, Maryland, USA. Apriyantono, A., D. Setyaningsih, P. Hariyadi, dan L. Nuraida. 2004. Sensory and peptides characteristics of soy sauce fractions obtained by ultrafiltration. Advances in Experimental Medicine and Biology 542:213–226. Astadi, IR., M. Astuti, U. Santoso and P. Sih Nugrahaeni. 2009. In vitro antioxidant activity of anthocyanins of black soybean seed coat in human low density lipoprotein (LDL) oxidation. Food Chemistry 112:659–663. Astadi, I.R. and A.G. Paice. 2011. Black soybean (Glycine max L. Merril) seed’s antioxidant capacity. p. 229–236. In V.G. Reddy, R.S. Watson and V.B. Patel (eds). Nuts and Seeds in Health and Disease Prevention. Academic Press of Elsevier. London, UK. Balitkabi. 2012. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 185 hlm. BSN. 1992. Cara uji makanan dan minuman. SNI 01–2891–1992. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 36 hlm. Damardjati, D.S.,S. Widowati dan H. Taslim. 1996. Soybean processing and utilization in Indonesia. Indon. Agric. Res. Devel. J. 18(1):13–25. DSN. 1994. Standar nasional Indonesia untuk kecap kedelai. SNI 01-3543-1994. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 4 hlm. DSN. 1995. Standar nasional Indonesia untuk biji kedelai. SNI 01-3830-1995. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 4 hlm. DSN. 1999. Standar nasional Indonesia untuk kecap kedelai. SNI 01-3543-1999. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 4 hlm. Ginting, E dan Suprapto. 2004. Kualitas kecap yang dihasilkan dari kedelai hitam dan kuning. hlm. 267–276. Dalam S. Hardaningsih, J. Soejitno, A.A. Rahmianna, Marwoto, Heriyanto, I.K. Tastra, E. Ginting, M.M. Adie dan Trustinah (eds). Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Puslitbangtan Bogor. Ginting, E., S.S. Antarlina dan S. Widowati. 2009. Varietas kedelai unggul untuk bahan baku industri pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(3):79–87. Hamka. 2012. Analisis ekuitas merek kecap di kota Ternate. Jurnal Agrilan 1(1):29–42. IPB. 2012. Karakterisasi sifat fisiko-kimia kecap manis komersial Indonesia. www.dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/karakterisasi-sifat-fisikokimia-kecap-manis-komersial-indonesia.pdf (tanggal akses 9 April 2014). Kompas. 2014a. Perkecapan: Tiada loyalitas seperti penikmat kecap. Kompas, 6 April 2014. Kompas. 2014 b. Politik dagang kecap: Selalu nomor satu!. Kompas, 6 April 2014. Kristiani, H. 2013. Pengaruh diferensiasi produk terhadap loyalitas pelanggan. Skripsi S1. Jurusan Managemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan, Bandung. Kuntyastuti, H., S.S. Antarlina, E.Ginting dan J.S. Utomo. 1999. Pengaruh pemupukan dan
464
Ginting dan Yulifianti: Kualitas dan Preferensi Industri terhadap Kecap dari Varietas Unggul Kedelai Hitam
pengairan terhadap kadar protein dalam biji kedelai. hlm. 228–236. Dalam F.R Zakaria, M. Astawan, S. Koswara dan M. Suhartono (eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Jakarta, 12–13 Oktober 1999. PATPI. Bogor. Lioe, H.N., A Apriyantono, K. Takara, K. Wada, M. Yasuda. 2004. Low molecular weight compounds responsible for savory taste of Indonesian soy sauce. J Agric Food Chem 52:5950–5956. Nurlisa dan F.R. Sofiyah. 2013. Pengaruh harga, kualitas produk, dan citra merek terhadap keputusan pembelian kecap manis merek Bango (Studi kasus pada ibu rumah tangga di kompleks Villa Mutiara Johor II dan Taman Johor Mas). Media Informasi Managemen 1(2):1–10. Pelita. 2013. Kedelai hitam Mallika memiliki banyak keunggulan. Pelita, 8 Februari 2013. htpp://harian-pelita-pelitaonline.com/cetak/2013/02/08/kedelai-hitam-mallika-memiliki-banyak-keunggulan#.Uz5dmaJMjGg (tanggal akses 4 April 2014). Rahayu, E.S. 1985. Hidrolisis protein kedelai oleh Aspergillus sojae, Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Tesis S 2 . Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Roling, W.F.M., K.H. Tomotius, A.B. Prasetyo, A.H. Stouthamer and H.W. van Verseveld. 1994. Changes in microflora and biochemical composition during the Baceman stage of traditional Indonesian kecap (soy sauce) production. J of Fermentation and Bioengineering 77(1):62–70. Sastrodipuro, D., Marzempi dan K. Iswari. 1994. Pengaruh campuran kedelai dengan kacang tunggak dan waktu fermentasi terhadap mutu kecap. hlm. 135–142. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tahun 1994 Vol. III. Balitan Sukarami, Solok. Saxena, S. and G. Singh. 1997. Suitability of new soybean cultivars in production of soymilk. Journal of Food Science and Technology 34(2): 150–152. Setiawati B.B. 2008. Penentuan komponen kualitas dan bahan baku optimal produk kecap organik berbasis off line quality control. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 49(1):8–19. Siadari, E.E. 2012. Industri kecap dan tauco konsumen kedua terbesar kedelai. www.jaringnews.com/ekonomi/umum/20353/industri-kecap-tauco-konsumen-kedua-terbesar-kedelai (tanggal akses 8 April 2014). Suprapti, L. 2005. Kecap Tradisional. Kanisius. Yogyakarta. 69 hlm. Susanto, T dan B. Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT Bina Ilmu. Surabaya.
DISKUSI 1. 2.
Pertanyaan Mimin (STPP): Rasa gurih, apa dikecap apa rasa gurihnya yang diuji? Jawaban: Cita rasa gurih itu termasuk kategori indra G/ umami. Asam glutamat yang ada di dalam larutan garam
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
465