KSK; SEBAGAI PENGUNGKIT DAERAH Oleh Kusman Kusumanegara Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) adalah kawasan di wilayah kabupaten yang dinilai memiliki potensi dan prospek untuk dapat mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi lokal di kabupaten dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan memacu pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Bisakah KSK setiap Kabupaten kita bisa menjadi pengungkit daerah untuk menuju ketertinggalannya? Bayangkan suatu kawasan di negeri ini, yang pada umumnya subur, makmur, dengan panorama alam pegunungan, ataupun hamparan samudera yang indah. Kesuburan dan keindahan seperti ini yang kerap mengilhami para pujangga, penyair, dan pelukis ternama, mengekspresikan karya-karya monumental mereka, memuji-muji kekayaan dan keindahan “untaian zamrud khatulistiwa” sejak ratusan tahun yang lalu. Bayangkan pula, penduduk di kawasan nan permai, dengan sumber daya alam yang kaya raya tersebut, malah dihimpit beban hidup berkepanjangan, didera masalah yang berhubungan dengan sandang, pangan, papan (perumahan), pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pendek kata, ada masalah kemiskinan di kawasan indah dan kaya tersebut. Kontradiksi seperti ini, bukan hanya dalam bayangan banyak kita temui kenyataan seperti ilustrasi di atas di beberapa bagian tanah air kita. Bagaimana kekayaan alam dan keindahan suatu kawasan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada penduduk, serta kepada daerah sekitarnya secara berkelanjutan, telah mengusik para perencana daerah (regional planner), khususnya ahli ekonomi regional, memperkenalkan konsep
1
pengembangan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-Pengembangan Infrastruktur Sosial-Ekonomi Wilayah
(PISEW),
yang
kemudian
dikenal
dengan
PNPM-PISEW.
Untuk
mengembangkan kawasan ini maka diperlukan jurus jitu agar bisa segera terwujud. JURUS PERTAMA: KEGIATAN BISNIS DI KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN (KSK). Kawasan dalam suatu wilayah administratif kabupaten dikatakan strategis dalam konsep PNPM PISEW salah satu cirinya: 1)kawasan itu memiliki komoditas atau sektor unggulan yang dapat dikelola dalam suatu kegiatan bisnis .2) bisa menghidupkan kegiatan ekonomi lokal di kawasan dan wilayah tersebut. Artinya, jika kawasan dan aktifitas bisnis di kawasan tersebut dikelola dengan baik, dapat memberikan iuran yang signifikan terhadap pendapatan daerah, yang pada gilirannya dimanfaatkan untuk meningkatkan program-program pembangunan yang bermuara pada pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan pengembangan wilayah untuk mereduksi kesenjangan antar wilayah. Dalam hal menetapkan komoditas atau sektor unggulan, serta kaitannya dengan menumbuh-kembangkan kegiatan bisnis yang dapat mengungkit aktifitas ekonomi lokal, antara lain harus dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Komoditas yang dipilih adalah komoditas dominan dalam hamparan kawasan tersebut, atau yang mempunyai produksi dan nilai produksi terbesar di kawasan tersebut; 2. Komoditas yang banyak diminta/dibutuhkan di luar kawasan/wilayah, atau dapat dikategorikan sebagai “substitusi import” (yaitu yang selama ini banyak didatangkan dari luar 2
kawasan/wilayah ke dalam kawasan/wilayah tersebut); 3. Komoditas yang sudah berkembang dari hulu ke hilir (produksi, pasca produksi); 4. Mayoritas penduduk cukup familiar dalam mengelola (membudi-dayakan atau memproduksi) komoditas tersebut, serta bersifat padat karya, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja dalam pengelolaannya; 5. Sudah ada dukungan pengembangan oleh pemerintah daerah kabupaten, provinsi, maupun pemerintah pusat. Untuk penetapan komoditas unggulan pada tahapan yang lebih “advance”, kelima butir kriteria di atas, perlu dikaji lagi dengan hal-hal yang bersifat externality, misalnya bagaimana market share komoditas unggulan tersebut dalam konstelasi penetapan komoditas unggulan secara nasional. Jangan sampai komoditas unggulan yang diproduksi di tingkat yang lebih tinggi (nasional) menjadi over supply, dan dapat mengakibatkan lemahnya harga pasar. Hal lain, misalnya komoditas unggulan tersebut terlalu sensitive terhadap nilai tukar uang asing atau krisis ekonomi global, yang juga dapat menjatuhkan harga jual di pasar internasioanal. Dalam hal menetapkan komoditas unggulan yang di saat ini belum eksis atau yang dianggap masih “tersembunyi” (hidden commodity), tentu saja perlu dilakukan studi kelayakan dan rencana pengusahaan yang lebih mendalam terhadap rencana bisnis dari komoditas tersebut. Harapannya
melalui
kegiatan
bisnis
komoditas
unggulan
tersebut
akan
membangkitkan serangkaian kegiatan ke belakang (backward), yaitu kegiatankegiatan yang terkait dengan memproduksi atau membudidayakan komoditas
3
tersebut. Demikian juga serangkaian kegiatan-kegiatan kedepan (foreward), yaitu yang bersangkut-paut dengan kebutuhan/demand, dan yang terkait dengan aspek pasar dan pemasaran dari komoditas unggulan tersebut seyogyanya juga akan terbangkitkan. Siapa dan bagaimana berbagi peran dalam mengelola bisnis di KSK? Setidaknya ada tiga (3) unsur utama yang harus berkomitmen untuk berperan dalam mengelola bisnis di KSK, yaitu: 1. Pemerintah: pusat, provinsi, kabupaten. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten harus bersinergi dalam menetapkan alokasi dana: antara lain Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat; juga dana Activity Sharing dari Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Dana-dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana yang langsung ataupun tidak, terkait dengan kegiatan bisnis di KSK. PNPM-PISEW mengalokasikan juga dana sebesar Rp. 2 Milyard per tahun, selama tiga tahun, untuk setiap KSK, ditambah Rp 1,5 Milyard per tahun, selama tiga tahun, untuk setiap kecamatan peserta PNPM-PISEW yang ada dalam Kawasan Strategis Kabupaten (KSK). Selain soal dana, pemerintah harus berperan dalam hal pembinaan, serta menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong iklim dan kepastian berusaha yang kondusif,
4
misalnya melalui kemudahan perijinan, keringanan pajak dan bunga, serta kemudahan dan penyediaan fasilitas lainnya (misalnya penyediaan lahan, jaminan kepada pihak perbankan jika dibutuhkan modal kerja atau modal investasi). Sekali lagi, koordinasi (vertikal, dan horizontal) dan sinkronisasi kegiatan sungguh sangat penting. 2. Pelaku bisnis, termasuk perbankan, dan pemanfaatan dana CSR (Corporate Social Responsibility=Dana dari Perusahaan2 Besar yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat, lingkungan, dan pembinaan pengusaha kecil/mikro). Para pelaku bisnis skala besar-menengah-kecil-mikro harus bersinergi, sesuai peran dan kemampuan masing-masing, agar tercipta kemitraan yang produktif dari masingmasing pihak, dengan prinsip: win-win sollution. Hal penting yang harus menjadi prinsip utama dalam kemitraan ini adalah bahwa pembinaan, advokasi, inkubasi dan pelatihan-pelatihan bisnis kepada pengusaha kecil dan mikro, oleh pengusaha menengah, dan besar, harus secara bertahap dapat meningkatkan skala usaha mereka. 3. Masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan bisnis di KSK ini, anggota masyarakat secara perorangan dan kelompok harus diberi kesempatan untuk terlibat dan berperan serta, sesuai dengan kemampuan mereka. Harus dijadwalkan juga suatu program terhadap peningkatan-peningkatan kemampuan teknis dan manajerial mereka. Mereka tidak
5
hanya sebagai pekerja, tetapi memiliki saham juga dari kegiatan bisnis di KSK tersebut. Jika dikelola secara profesional, peluang pengembangan usaha di KSK tersebut sangat menjanjikan, jika terpenuhinya unsur-unsur kegiatan usaha yang sehat, yaitu: adanya komoditas unggulan dengan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang sesuai dengan kebutuhan pasar, adanya dukungan pengembangan infrastruktur, dukungan keuangan, dan iklim berusaha yang kondusif, serta dukungan yang masif dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Jadi kata kuncinya adalah: Komitmen yang tinggi dan koordinasi yang baik dari semua pihak.
JURUS KEDUA: PEMBENTUKAN KELOMPOK PEMANFAAT DAN PEMELIHARA (KPP) “Tak kenal maka tak sayang”, itulah pepatah yang sering kita dengar, namun menimbulkan rasa sayang tidaklah cukup dengan hanya mengenal tetapi perlu rasa memiliki terhadap sesuatu yang kita miliki agar dapat dimanfaatkan dan terpelihara dengan baik. Begitupula hal nya dengan infrastruktur (prasarana) yang telah dibangun selama ini banyak yang tidak terpelihara dengan baik dan tidak mempunyai daya tahan yang lama, sehingga apa yang dibangun sekarang terkadang tidak dapat dimanfaatkan oleh anak cucu kita. Lalu bagaimana caranya menumbuhkan rasa memiliki dalam masyarakat sebagai pemanfaat hasil kegiatan pembangunan prasarana di wilayahnya? PNPM – PISEW melalui konsep Community Driven Development (CDD)/pembangunan berbasis
6
masyarakat,
melibatkan
masyarakat
tidak
hanya
dalam
tahapan
proses
pembangunan tetapi juga sampai pada tahap pasca pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan. Sebagai bentuk implementasi dari konsep CDD ini maka terbentuklah Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) yang terdiri dari unsur masyarakat desa yang dibentuk dan ditetapkan melalui Musyawarah Desa dan disahkan oleh Kepala Desa atas sepengetahuan Camat. Dalam Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP), masyarakat tidak hanya berperan sebagai penerima manfaat (beneficiaries) melainkan juga sebagai pemelihara hasil kegiatan pembangunan prasarana di wilayahnya. Kelompok
Pemanfaat
dan
Pemelihara
(KPP)
merupakan
kunci
strategis
keberlanjutan di tingkat masyarakat karena melalui KPP ini masyarakat dapat menentukan setiap rencana kegiatan dan anggaran pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur, membatasi setiap kegiatan pemeliharaan dan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan PNPM-PISEW, mengelola setiap kontribusi dari pihak lain, dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa. Esensi yang hendak dipetik dari terbentuknya KPP adalah sebagai salah satu kegiatan yang menunjang keberlanjutan pembangunan infrastruktur/prasarana dalam PNPM-PISEW dan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat sehingga prisnsip dasar partisipatif dan berkelanjutan dapat tercapat secara optimal.
JURUS KETIGA: DISAIN MIKRO KREDIT PERDESAAN Mikro Kredit Perdesaaan sebagai katalisator perekonomian pedesaan Padi, kedelai, kacangan-kacangan, cabai, lada, dan rempah – rempah merupakan hasil pertanian dari alam Indonesia yang sangat melimpah ruah. Jika kita melihat 7
kekayaan alam dari sector pertanian tersebut dan berpaling kepada kehidupan para petani di pedesaan maka kita akan dihadapkan kepada kenyataan yang pahit dimana para petani tersebut justru hidup dalam ketergantungan pada rentenir dan tengkulak sebagai pemasok modal. Padahal perekonomian pedesaan sangat bergantung kepada sector pertanian dan pelaku ekonomi perdesaan yang umumnya berskala mikro dan kecil.sedangkan perekonomian perdesaan merupakan salah satu basis pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi kesenjangan wilayah. PNPM-PISEW melalui komponen ke 2, yaitu komponen Mikro Kredit Perdesaan berupaya memperkuat dan mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan daya saing dan produk unggulan daerah sehingga kesenjangan wilayah dapat berkurang. Komponen mikro kredit perdesaan dari kegiatan PNPM-PISEW focus pada peningkatan akses permodalan dalam pengembangan usaha mikro pedesaan, sehingga permasalahan keterbatasan modal yang dapat menghambat ruang gerak dan aktivitas para pelaku sector pertanian dan pelaku usaha berskala mikro dan kecil di perdesaan dapat teratasi. Selanjutnya, bagaimana penyaluran kredit mikro yang disediakan melalui Program PNPM-PISEW tersebut? Melalui kegiatan peningkatan peran lembaga pemberdayaan kredit mikro (LPKM), peningkatan kapasitas kelompok usaha masyarakat, peningkatan dan pengembangan kemitraan, peningkatan jaringan pendampingan, penyaluran kredit mikro perdesaan diwujudkan guna terjaganya kesinambungan akses usaha mikro terhadap modal tersebut, Selain melalui terbangunnya peningkatan peran LPKM, PNPM-PISEW melalui komponen mikro kredit turut berupaya agar kredit yang disalurkan kepada para pelaku kegiatan perekonomian di perdesaan dapat berperan sebagai mata rantai yang tidak terputus melalui peran Kelompok Usaha Mikro (KUM) sebagai kelompok usaha mikro masyarakat yang ada di perdesaan yang mampu membangun dana bersama dalam
8
kelompok dan menumbuhkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan modal anggotanya. Dengan tersedianya mikro kredit perdesaan melalui program PNPM-PISEW maka daya saing dan produk unggulan daerah dapat meningkat sehingga pertumbuhan perekonomian perdesaan dapat tumbuh dengan cepat dengan adanya mikro kredit pedesaan sebagai katalisator.
9