KRITIK KONSEPTUALISASI PEMEGANG HAK DAN PEMEGANG KEWAJIBAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK ASASI MANUSIA Muktiono Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang Email:
[email protected]
Abstract: The Act No.39 of 1999 on Human Rights has strategic position due to its position as reference law for every lower legislation in the area of human rights, and therefore to some extent will influence the State complience in promoting human rights. One of the most central issues in the Act No. 39 of 1999 on Human Rights is about the conceptualization of human rights’ elements that are ‘rights holder’ and ‘duties-bearer’. There has been contradiction in terminological use of ‘rights holder’ and ‘duties-bearer’ by both state apparatus and community members. This research will conduct criticism to the conceptualization of ‘rights holder’ and ‘dutiesbearer’ in the Human Rights Act by means of interpretative study based on the relation between law and language. The output of this study is intended to contribute in enriching conceptual reference for legal interpretation conducted by the judge in the court in relation to human rights case; giving theoretical framework for legislature and government in establishing laws and regulation, policy, program, and plan as efforts to respect, protect, fulfil, and promote human rights. Key words: rights, duties, human rights
Abstrak Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memiliki posisi strategis karena menjadi dasar dan rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan oleh karena itu akan menentukan kualitas kebijakan dan tindakan negara terkait penegakan Hak Asasi Manusia. Salah satu elemen esensial dalam penormaan definiendum HAM adalah “Pemegang Hak (rights holder)” dan “Pemegang Kewajiban (duties-bearer)”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif konseptual yang ditujukan untuk melakukan pengujian secara kritis terhadap konstruksi norma “Pemegang Hak (rights holder)” dan “Pemegang Kewajiban (duties-bearer)” yang ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Latar belakang faktual diselenggarakannya penelitian ini adalah karena terjadinya kontradiksi penggunaan terminologi “Pemegang Hak (rights holder)” dan “Pemegang Kewajiban (duties-bearer)” di ruang-ruang publik antara lain oleh otoritas negara, aktivis Hak Asasi Manusia, dan masyarakat. Kontribusi dari luaran penelitian (output) adalah pengayaan basis atau acuan interpretasi dalam ratio decidendi maupun obiter dictum para hakim terkait penanganan perkara pelanggaran (violation) maupun penyalahgunaan (abuse) Hak Asasi Manusia; selain itu, memberikan asistensi kepada otoritas legislatif dan eksekutif dalam menyusun kebijakan, program, rencana, dan tindakan terkait Hak Asasi Manusia sehingga mempunyai tingkat fisibilitas tinggi karena kejelasan pada aspek pelaksana kewajiban oleh lembaga-lembaga negara serta penargetan yang lebih jelas terkait siapa yang menerima manfaatnya. Kata kunci: hak, kewajiban, HAM 342
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
343
Latar Belakang
yang juga sama, tetapi pada lembaga negara
Pasca terungkapnya pelaku penembakan
yang berbeda memiliki pandangan yang
Lembaga
berbeda pula. Kepentingan dan sudut pandang
Pemasyarakat Cebongan, Yogyakarta, oleh
kelembagaan yang berbeda tentu menjadi
sekelompok oknum anggota pasukan elit
titik awal perbedaan tersebut dimana Menteri
Komando Pasukan Khusus (Kopassus), ruang
Pertahanan mempunyai kepentingan untuk
publik kemudian diramaikan oleh pendapat
menjaga harmoni hubungan kerja dengan
yang pro dan kontra terkait ada atau tidaknya
jajaran TNI sedangkan Komnas HAM berada
pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya
pada posisi yang moderat di antara korban
disebut
tersebut.
dan pelaku. Situasi tersebut tentu dapat
Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro,
dimaklumi dalam konteks masing-masing
menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran
pihak mempunyai orientasi kepentingan dan
HAM dengan alasan karena kasus tersebut
karakter kelembagaan yang berbeda; tetapi
bukan
sistematis
menjadi problematik ketika pandangan yang
oleh pimpinan lembaga melainkan inisiatif
berbeda tersebut bersumber pada kerancuan
dari para oknum pelaku sehingga tidak
aturan hukum yang seharusnya mempunyai
perlu dibentuk dewan kehormatan militer
karakter kepastian dalam implementasinya
melainkan peradilan militer biasa1. Sikap
serta
berbeda diberikan oleh Komisi Nasional HAM
merupakan norma umum yang berlaku secara
(Komnas HAM) yang menyatakan bahwa
setara bagi setiap orang sesuai dengan prinsip
dalam kasus Cebongan tersebut berdasarkan
kesetaraan di depan hukum (equality before
beberapa indikator dari hasil investigasinya
the law). Tanpa kepastian, hukum tidak lagi
menunjukkan telah terjadinya pelanggaran
layak untuk disebut sebagai hukum karena
hak untuk hidup, hak mendapatkan keadilan,
telah kehilangan karakter perlindungannya
dan hak untuk tidak mendapat perlakuan
dan rentan terhadap penyalahgunaan oleh
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
kekuasaan.
terhadap
empat
HAM)
tahanan
dalam
merupakan
di
kasus
kebijakan
martabat manusia2.
tidak
multi-interpretasi.
Hukum
Pada kasus yang berbeda, Susilo Bambang
Contoh di atas menunjukan bahwa
Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia,
meskipun pada kasus yang sama dan
menyatakan bahwa peran dominan dalam
menggunakan dasar acuan undang-undang
menjaga kerukunan antar umat beragama
1 BBC Indonesia, Kasus Cebongan, tidak Melanggar HAM, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_ indonesia/2013/04/130411_menhan_kasus_cebongan.shtml, diakses 25 Maret 2014 pukul 10.00 WIB. 2 Hukum Online, Komnas HAM Temukan Pelanggaran HAM Kasus Cebongan, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt51c18e3b23ff9/komnas-ham-temukan-pelanggaran-ham-kasus-cebongan, diakses 25 Maret 2014 pukul 12.30 WIB.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
344
adalah berada di tangan Majelis Ulama
demikian, pengertian HAM dalam Pasal 1
Indonesia (MUI)3. MUI sebagai lembaga
dalam Undang-Undang tersebut menyatakan
non-negara dan menjadi perwakilan satu
bahwa “ HAM adalah seperangkat hak
kelompok agama saja, yaitu Islam, tentu
yang…wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
memiliki
untuk
dilindungi oleh negara, hukum Pemerintah,
mengambil alih fungsi-fungsi negara yang
dan setiap orang…” yang menyuratkan
karakter utamanya adalah bersifat netral.
adanya pembagian beban (burden sharing)
Selain itu, MUI juga mempunyai keterbatasan
terkait aspek penghormatan, perlindungan,
dalam hal sumber daya organisasi, keuangan
dan pemenuhan HAM.
banyak
keterbatasan
dan kewenangan. Dalam perspektif hak atas
Kontradiksi yang terjadi baik secara
perlindungan terhadap kebebasan beragama
internal dalam konseptualisasi norma UU
dan berkeyakinan, tentu pernyataan presiden
HAM, antara UU HAM dengan Konstitusi,
tersebut menyiratkan adanya pembagian
maupun antara norma tersebut dengan praktik
beban kewajiban negara, yaitu perlindungan
sosial oleh aparatur negara dan kegiatan
hak, kepada lembaga non-negara.
masyarakat, telah menjadi fenomena terkait
Dua kasus di atas dapat menjadi titik awal
hukum dan HAM. Yang menjadi pertanyaan
untuk mempermasalahkan tentang bagaimana
besar adalah terkait prospek tercapainya tujuan
sebenarnya
Indonesia
dari keberlakuan hukum yaitu kemanfaatan,
pemangku
kepastian, dan keadilan dimana satu aspek
kewajiban (duties-bearer) dan pemegang
dengan aspek yang lain bersifat saling
hak (rights holder) serta bagaimana relasi
menguatkan4 baik secara yuridis, sosiologis
di antara keduanya. Secara normatif, secara
maupun filosofis5.
mengatur
hukum tentang
HAM
di
eksistensi
tegas Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang
Berdasarkan latar belakang di atas maka
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai
menyatakan bahwa negara, dan terutama
berikut:
Pemerintah, adalah pihak yang mempunyai
1. Bagaimanakah eksistensi dan interelasi
menghormati,
pemegang
melindungi, dan memenuhi HAM. Ketentuan
pemegang
serupa juga diatur dalam Pasal 8 Undang-
dalam UU HAM?
beban
kewajiban
untuk
hak
(right
kewajiban
holder)
dan
(duty-bearer)
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
2. Bagaimanakah konstruksi kritik atas
(selanjutnya disebut UU HAM). Namun
perumusan pemegang hak (right holder)
3 Novy Lumanauw, Presiden Minta MUI Dominan Tingkatkan Kerukunan Umat Beragama, http://www. beritasatu.com/nasional/105759-presiden-minta-mui-dominan-tingkatkan-kerukunan-umat-beragama.html. diakses 25 Maret 2014 pukul 15.15 WIB. 4 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 77-81. 5 Ibid., hlm. 82-95.
345
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
dan pemegang kewajiban (duty-bearer) dalam perspektif UU HAM sebagai komunikasi hukum? Sebagai
upaya
untuk
Pembahasan A. Eksistensi dan Interelasi Antara Pemegang Hak (Right Holder)
menjawab
dan Pemegang Kewajiban (Duty-
permasalahan di atas maka dalam studi ini
Bearer) dalam UU HAM
akan dilakukan metode pendekatan konseptual normatif.
1.
Konseptualisasi
Hal pertama dalam penelitian ini adalah
dengan aspek materialisasinya yang mencakup konteks legitimasi formal dan historisnya serta aspek aplikasinya dalam praktik sosial baik oleh aparatur negara maupun kegiatan masyarakat. Kerangka kerja kritik yang digunakan sebagai proses tindak lanjut dari proses identifikasi tersebut adalah kerangka kerja konsep tiga pihak (tripartite conceptual framework) dalam pandangan ‘pelembagaan hukum’ (Ruiter, 2001) . Langkah akhir dari 6
proses kritik adalah dengan melakukan kategorisasi terhadap rumusan ‘pemegang hak’ dan ‘pemegang kewajiban’ dalam UU HAM dalam posibilitas tiga kategori yaitu ideal, tidak efektif (ineffective), atau tidak legal (illegal).
dan
kewajiban dalam definien HAM
melakukan identifikasi terhadap rumusan norma dalam UU HAM yang disertai juga
hak
menurut UU HAM Pada tahap awal untuk mengetahui eksistensi dan posisi pemegang hak dan pemegang kewajiban dalam UU HAM maka perlu dikaji terlebih dahulu tentang eksistensi hak dan kewajiban itu sendiri. Nomenklatur ‘hak’ dan ‘kewajiban’ secara khusus tidak menjadi definiendum (kata yang didefinisikan)7 dalam UU HAM. Eksistensi keduanya secara dasar melekat pada definien HAM
(definien
adalah
rangkaian
kata
pengertian yang menjelaskan definiendum) yang ada dalam Pasal 1 UU HAM, yaitu “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”8 Dari sini jelas bahwa pemaknaan ‘hak’ dan ‘kewajiban”
6 Dick W.P. Ruiter, Legal Institutions, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, 2001, page 24-25. Sebagaimana disadur dalam: Anne Wagner, Wouter Werner, dan Deboran Cao, Interpretation, Law, and the Construction of Meaning, Springer, Doordrecht, 2007. 7 Bruggink, J.J. H. B. Arief Sidharta (Penerjemah), Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 72. 8 Undang-undang HAM (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 3-4.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
346
terbatasi dalam kerangka diskursus atau
yang pertama dikonsepkan bahwa ‘hak’ itu
paradigma
HAM
yang
digambarkan sebagai plural atau jamak yang
dibedakan
misalkan
pengertian
diwakili oleh terma ‘seperangkat’. Jadi,
‘hak’ dan ‘kewajiban’ dalam hukum perdata
meskipun kata ‘hak’ itu secara makna umum
yang
perjanjian
atau asli (ordinary meaning) diartikan sebagai
keperdataan yang bersifat kontraktual ataupun
bentuk tunggal tetapi dalam konteks HAM dia
non-kontraktual. Sebagai tambahan, untuk
yang bermakna ‘seperangkat’, yang artinya
kata ‘kewajiban’ tidak tertulis secara langsung
jamak atau plural. Sebagai pembanding dan
dan khusus dalam terma kata benda melainkan
penjelas, dalam istilah bahasa Inggris hak
menggunakan kata sifat ‘wajib’.
dalam konteks HAM selalu ditulis sebagai
tertuang
Sebagai
(human
rights)
dengan
dalam
pembanding
suatu
lainnya,
dalam
‘human rights’ dimana hak selalu ditulis
makna yang standar atau secara leksikal,
dalam bentuk jamak ‘rights’, bukan bentuk
hak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
singular ‘right’.
(KBBI)9 diartikan sebagai: 1. benar (mereka
Karakter berikutnya dari ‘hak’ adalah
telah dapat menilai mana yg hak dan mana yg
‘yang melekat’. Hal ini berarti ‘hak’ secara
batil); 2. milik; kepunyaan (barang-barang
ontologis adalah sesuatu yang ada atau ‘being’
ini bukan hakmu); 3. Kewenangan (dng
dan eksistensinya bersifat melekat (inherent).
ijazah itu ia mempunyai hak untuk mengajar);
Inherent sendiri mempunyai makna asli
4. kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn
sebagai “that is a basic or permanent part of
telah ditentukan oleh undang-undang, aturan,
sb/sth and that cannot be removed (Oxford
dsb), (semua warga negara yg telah berusia 18
Advanced Learner’s Dictionary, 8th edition,
tahun ke atas mempunyai hak untuk memilih
Oxford University Press, 2010)”. Kepada
dan dipilih dl pemilihan umum); 5. kekuasaan
entitas apakah ‘hak’ tersebut dilekatkan
yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut
(inherent)? Frasa berikutnya setelah ‘melekat’
sesuatu: (menantu tidak ada hak atas harta
adalah
peninggalan mertuanya); 6. derajat atau
manusia’.
martabat: (orang Melayu pd waktu itu tidak
‘hak’ itu melekat (inherent) pada eksistensi
sama haknya dng orang Eropa; 7. wewenang
‘hakikat dan keberadaan’ dari ‘manusia’.
menurut hukum;
Menurut KBBI10, Hakikat mempunyai makna
‘pada
hakikat
Dengan
dan
demikian,
keberadaan eksistensi
Identifikasi atas definien HAM di atas
‘intisari atau dasar’ atau ‘kenyataan yang
akan membantu untuk memunculkan karakter
sebenarnya’, sedangkan ‘keberadaan’ sendiri
dari ‘hak’ dan ‘kewajiban’ dalam konteks
berarti ‘ada (being)’ atas diri manusia secara
sistem hukum HAM Indonesia. Pada ciri
ontologis.
9 KBBI Offline Versi 1.5.1. 10 Ibid.
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
347
‘Hak’ yang melekat dalam kedirian
agama atau kepercayaan untuk menjadi
manusia oleh UU HAM diberikan status
dasar
penganugerahan
(entitlement)
dan
sebagai ‘mahkluk Tuhan Yang Maha Esa’ yang
pengakuan (recognitian) ‘hak’, melainkan
posisinya sebagai ‘anugerah’ (entitlement),
secara take it for granted menerima sebagai
yaitu pemberian atau ganjaran atau karunia11.
sebuah fakta objektif tentang eksistensi
Dengan demikian maka posisi ‘hak’ atau lebih
semua agama yang plural dalam masyarakat
luas lagi HAM bersifat insaniah yang profan
dan lalu menempatkannya sebagai ‘hak’
dan bukan ajaran teologis. Hal ini perlu
untuk dihormati, dilindungi, dimajukan, dan
ditegaskan sejak awal karena HAM sendiri
dipenuhi.
akan diberikan kepada seluruh manusia
UU HAM menjabarkan secara tandan
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
(cluster) masing-masing hak dari ‘seperangkat
justru memiliki keyakinan tentang agama atau
hak’ dalam Sepuluh Bagian dari Bab III
kepercayaan yang beragam (plural). Dalam
(Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
perspektif sistem nilai, bila dihubungkan antara
Manusia) mulai dari Pasal 9 sampai dengan
posisi HAM dengan agama atau keyakinan,
Pasal 66, yaitu sebagai berikut:
maka HAM memandang praktek teologisme
1. Hak untuk hidup;
seperti
2. Hak
keberagamaan
atau
sejenisnya
(termasuk ketidakberagamaan atau atheisme)
berkeluarga
dan
melanjutkan
keturunan;
salah satu ‘hak’ atau klaim yang
3. Hak mengembangkan diri;
dimiliki oleh setiap manusia. Dengan demikian
4. Hak memperoleh keadilan;
maka posisi HAM adalah memberikan
5. Hak atas kebebasan pribadi;
pengakuan secara eksistensial (recognition)
6. Hak atas rasa aman;
terhadap semua jenis sistem keagamaan/
7. Hak atas kesejahteraan;
kepercayaan tanpa perlu melakukan validasi
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
atau verifikasi untuk menentukan sistem mana
9. Hak wanita;
yang lebih baik atau lebih buruk dibanding
10. Hak anak.
sebagai
sistem
lainnya
(theological
judgement).
Eksistensi
‘hak’
dalam
UU
HAM
Posisi HAM mempunyai makna pengakuan
memberikan konsekuensi lahir dan eksisnya
eksistensi teologis yang bersifat universal
terma ‘wajib’ yang dalam kata benda
dan equal yang dapat menjadi dasar atau
menjadi ‘kewajiban’ (obligation atau duty).
acuan bagi pengakuan terhadap semua bentuk
‘Wajib’ sendiri secara makna asali bahasanya
agama atau kepercayaan. Lebih jauh lagi,
berarti ‘harus dilakukan; tidak boleh tidak
HAM dalam perspektif epistemologis tidak
dilaksanakan (ditinggalkan)’12. ‘Wajib’ atau
melakukan kajian semacam perbandingan
‘kewajiban’ (selanjutnya disebut kewajiban)
11 Ibid. 12 Ibid.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
tersebut
muncul
sebagai
akibat
atau
konsekuensi atas eksistensinya ‘hak’ sehingga
348
‘wajib’, ‘menghormati’, ‘menjunjung tinggi’, dan ‘melindungi’.
keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
Selain pemaknaan ‘kewajiban’ yang ada
dapat dipisahkan. ‘Kewajiban’ mencakup
dalam definien HAM dari Pasal 1, UU HAM
area tindakan (obligation of action) berupa
juga mengenalkan ketentuan yang disebut
‘penghormatan’,
‘penjunjungtinggian’,
‘kewajiban dasar’ yang diartikan sebagai
dan ‘perlindungan’, yang kesemuanya itu
“…seperangkat kewajiban yang apabila
ditujukan terhadap eksistensi ‘hak’. Jadi,
tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terhadap esksitensi ‘hak’, timbul sejumlah
terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.”
‘kewajiban’ yang berupa tindakan-tindakan
Jelas disini bahwa kewajiban dasar yang
berupa ‘menghormati’, ‘menjunjung tinggi’,
berbentuk jamak tersebut, yaitu ‘seperangkat
dan ‘melindungi’. Secara leksikal, pertama,
kewajiban’, diposisikan menjadi prasyarat
‘menghormati’ berarti “menaruh hormat
untuk melaksanakan dan menegakan HAM.
kpd; hormat (takzim, sopan) kpd: anak-anak
Berbeda dengan pengertian ‘kewajiban’
wajib ~ orang tua; 2 menghargai; menjunjung
dalam definien HAM yang juga menjadi
tinggi: kita harus ~ pendapat dan keyakinan
komponen atau bagian dari pengertian HAM
orang lain; 3 mengakui dan menaati (tt
itu sendiri, ‘kewajiban dasar’ merupakan
aturan, perjanjian): kita akan ~ persetujuan
entitas terpisah dari HAM sebagaimana
dan perjanjian yg telah kita buat;”; kedua,
ditegaskan dalam konsideran menimbang
‘menjunjung tingi’ artinya “memuliakan;
(c) UU HAM, yaitu
menghargai dan menaati (nasihat, perintah,
asasi, manusia juga mempunyai kewajiban
dsb); sedangkan, ketiga, ‘melindungi’ berarti
dasar antara manusia yang satu terhadap
“1 menutupi supaya tidak terlihat atau tampak,
yang lain dan terhadap masyarakat secara
tidak kena panas, angin, atau udara dingin, dsb:
keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,
anak itu ~ dirinya dng daun pisang supaya tidak
berbangsa, dan bernegara”. ‘Kewajiban
kehujanan; 2 menjaga; merawat; memelihara:
dasar’ digambarkan sebagai seperangkat
pemerintah ~ binatang yg hampir punah; 3
tindakan tertentu yang wajib dilakukan oleh
menyelamatkan (memberi pertolongan dsb)
seorang individu ketika berhubungan dengan
supaya terhindar dr mara bahaya: induk ayam
individu yang lain, dengan publik, dan dengan
itu ~ anaknya thd serangan burung elang”.13
negara. Penggunaan kata ‘manusia’ sebagai
Pemaknaan leksikal tersebut dilakukan karena
pemilik ‘kewajiban dasar’ mengindisikasikan
UU HAM sendiri tidak memberikan definisi
aspek universalitas dari ‘kewajiban dasar’
khusus terhadap terma atau definiendum
tersebut, dan tidak eksklusif sebagaimana jika
“bahwa selain hak
menggunakan kata ‘warga negara’. 13 Ibid.
349
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
Selanjutnya,
bentuk
dari
‘kewajiban
secara melekat oleh ‘manusia’ (human being),
dasar’ tersebut diurai dalam Pasal 67-70, Bab
atau dapat dimengerti bahwa ‘manusia’ adalah
IV tentang ‘Kewajiban Dasar Manusia’, UU
entitas yang menjadi Pemegang Hak (rights
HAM. Dari substansi ketentuan tersebut dapat
holder). Terma ‘manusia’ dalam UU HAM
disusun sebuah daftar ‘seperangkat kewajiban
tidak menjadi definiendum, atau dengan kata
dasar’ sebagai berikut:
lain tidak mempunyai batasan-batasan tertentu
1. Kewajiban setiap orang untuk patuh
atau kualifikasi kepada ‘manusia’ siapa saja
terhadap hukum HAM baik dalam lingkup
seperangkat ‘hak’ tersebut dianugerahkan.
hukum nasional maupun internasional
Hal ini berbeda misalkan dengan penggunaan
(Pasal 67);
terma ‘warga negara’ (citizen) yang berarti
2. Kewajiban (bagi warga negara) untuk ikut bela negara (Pasal 68);
ada batas jurisdiksi kepada siapa ‘hak’ diberikan dengan indikator yang lebih definitif
3. Kewajiban bagi setiap orang untuk
secara hukum seperti bukti kepemilikan KTP
menghormati HAM orang lain, moral,
atau Passport dan lain sejenisnya. Hal tersebut
etika dan tata tertib publik (Pasal 69 ayat
menunjukan bahwa UU HAM menganut
(1));
prinsip universal terkait dengan kepada
4. Kewajiban
Pemerintah
untuk
siapakah ‘seperangkat hak’ itu akan diberikan
menghormati, melindungi, menegakkan,
atau dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha
dan memajukan HAM (Pasal 69 ayat (2);
Esa. Dengan demikian maka setiap orang yang
dan
tinggal di Indonesia menurut hukum akan
5. Kewajiban setiap orang untuk tunduk
masuk dalam cakupan pemegang ‘hak’ (rigts
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
holder) yang wajib ‘dihormati’, ‘dijunjung
Undang-undang dengan maksud untuk
tinggi’, dan ‘dilindungi’. Hal ini juga sejalan
menjamin pengakuan serta penghormatan
dengan konsideran ‘menimbang’ huruf (b) UU
atas hak dan kebebasan orang lain dan
HAM yang menyatakan “bahwa hak asasi
untuk memenuhi tuntutan yang adil
manusia merupakan hak dasar yang secara
sesuai
moral,
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
keamanan, dan ketertiban umum dalam
universal dan langgeng, oleh karena itu
suatu masyarakat demokratis (Pasal 70).
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,
dengan
pertimbangan
2. Konseptualisasi
pemegang
hak
dan pemegang kewajiban dalam definien HAM menurut UU HAM Sampai disini dapat dimengerti bahwa menurut UU HAM, ‘seperangkat hak’ (rights) sebagai suatu entitas yang eksis dimiliki
dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”. Lalu
siapakah
yang
memegang
kewajiban untuk menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi ‘hak’ yang dimiliki oleh setiap ‘manusia´ yang berada dalam
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
350
jurisdiksi Indonesia? Pasal 1 UU HAM
Sampai disini, apabila disederhanakan
menyebutkan secara eksplisit bahwa yang
dalam bentuk diagram, maka konseptualisasi
memegang ‘kewajiban’ untuk ‘menghormati’,
‘hak’, ‘kewajiban’, ‘pemegang hak’, dan
‘menjunjung adalah:
tinggi’,
“…negara,
dan
‘melindungi’
‘pemegang kewajiban’ dalam definien HAM
hukum,
Pemerintah,
menurut UU HAM adalah sebagai berikut:
dan setiap orang…”. Jadi secara hukum yang mendapat status sebagai ‘pemegang kewajiban’ (duty-bearers) adalah ‘Negara’, ‘Hukum’, ‘Pemerintah’, dan ‘Setiap orang’. Dengan demikian maka terhadap setiap hak yang dimiliki oleh ‘setiap orang’ di Indonesia secara hukum akan dihormati, dijunjungtinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan ‘setiap orang’. UU HAM tidak mendefinisikan secara khusus tentang makna dari terma ‘Negara’, ‘Hukum’, ‘Pemerintah’, dan ‘Setiap orang’. Selain itu, untuk ‘kewajiban dasar’, yang mempunyai pemegang kewajiban yaitu ‘setiap orang’, ‘warga negara’, dan ‘pemerintah’. Diagram 1. Konseptualisasi HAM
Sumber: Data diolah, 2014
Pada pusat diagram terdapat ‘harkat dan martabat manusia’ sebagai inti tujuan mengapa HAM itu harus ada. ‘Harkat dan martabat
manusia’
diupayakan
melalui
penganugerahan ‘hak-hak’ atau ‘seperangkat hak’ kepada setiap ‘manusia’ yang bersifat universal. Penganugerahan hak yang bersifat universal kepada seluruh umat manusia tersebut
langsung
berasal
dari
‘Tuhan
Yang Maha Esa’. Keberadaan ‘hak-hak’ yang melekat pada eksistensi ‘manusia’ tersebut membawa konsekuensi lahirnya ‘kewajiban’ kepada pihak-pihak tertentu atau ‘duty-bearers’, yaitu ‘Negara’, ‘Hukum’,
351
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
‘Pemerintah’, dan ‘setiap orang’, agar ‘hak-
masyarakat dan otoritas negara, UU HAM
hak’ tersebut dihormati, dijunjungtinggi, dan
terbangun dan terekspos dalam struktur teks
dilindungi. Dalam siklus itulah maka ‘hak-
bahasa. Penggunaan teks bahasa tidak lepas
hak’ dapat menjadi sejumlah klaim yang
dari eksistensi asali dari hukum yang selalu
dimiliki oleh individu atau kelompok individu
melekat pada eksistensi masyarakat sebagai
untuk diajukan kepada pemegang kewajiban.
pengguna bahasa, ius societas ubi ius, di mana
memasukan
ada masyarakat di situ terdapat hukum. Artinya,
‘kewajiban dasar’ karena dia berada di luar
substansi hukum agar dipahami sehingga
definien HAM dan di sisi lain ‘kewajiban
berlaku secara efektif dalam mempengaruhi
dasar’ tersebut diposisikan sebagai entitas
perilaku sosial maka kandungan norma yang
yang menjadi prasyarat agar HAM (yang
terangkai dalam teks (kata dan kalimat) harus
termasuk di dalamnya komponen ‘hak’
dapat dikomunikasikan oleh para pihak,
dan ‘kewajiban’) dapat dilaksanakan dan
khususnya antara otoritas negara
ditegakan. Jadi, ‘kewajiban dasar’ mempunyai
setiap
penekanan pada aspek perealisasian dari ‘hak’
antara teks hukum dalam UU HAM dengan
dan ‘kewajiban’, dan bukan untuk menjelaskan
para stakeholderdes (otoritas negara dan
tentang eksistensi HAM itu sendiri, termasuk
anggota masyarakat) bertujuan agar perilaku
komponen-komponenya.
sosial masyarakat dan tindakan negara seiring
Diagram
B.
tersebut
tidak
Konstruksi Kritik atas Perumusan Pemegang Hak (Rights Holder) dan Pemegang Kewajiban (DutyBearer) dalam UU HAM
1. Membingkai norma
hak
masyarakat.
Komunikasi
dan sejalan dengan pemajuan, pemenuhan, perlindungan,
dan
penghormatan
HAM
demi harkat dan martabat manusia. Dengan demikian maka UU HAM secara formal adalah instrumen berbentuk simbol bahasa
konseptualisasi
pemegang
anggota
dengan
(rights
holder) dan pemegang kewajiban
(fenomena bahasa hukum) di satu sisi dan fenomena praktek sosial (social practices) pada sisi objek sasaran intervensinya.
(duty-bearer) dalam UU HAM
Interelasi antara hukum sebagai fenomena
menurut kerangka kerja konsep
linguistik yang supersensible (tidak terperi
tiga pihak (tripartite conceptual
dalam dunia fisik)14 dengan aspek praktik
framework)
sosial akan membentuk kerangka kerja konsep
Sebagai salah satu produk hukum yang berisi standar perilaku atau norma bagi
tiga pihak (tripartite conceptual framework) sebagai berikut:
14 Olivecrona, Karl, Las as Fact Stevens and Sons, London, 1971, page 223 sebagaimana dikutip dalam Anne Wagner, Wouter Werner, dan Deboran Cao, Interpretation, Law, and the Construction of Meaning, Springer, Doordrecht, 2007.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
352
1. Hukum sebagai bentuk aturan formal
fisik, semisal kursi, rumah, atau mobil, maka
yang sah dan diterima (legitimate) dan
seseorang dengan relatif mudah untuk mencari
berisi pesan-pesan (dimensi material)15;
realitas imajinernya.
2. Tindakan aplikasi aturan formal oleh
Berbeda dengan sub-sistem pertama,
pejabat berwenang (official) atau oleh
subsistem kedua dan ketiga dapat terlihat
hakim melalui putusannya menyangkut
secara jelas dan mudah dipahami (discernible).
suatu perkara di pengadilan;
Tindakan para pejabat berwenang dalam
3. Suatu
tingkatan
tertentu
dari
pola
mengaplikasikan suatu aturan atau ketika
penyelarasan perilaku terhadap aturan
hakim
(rule-conforming pattern of behaviour)
menangani suatu perkara di pengadilan relatif
dalam praktik sosial16.
mudah dipersepsikan. Demikian juga pola
Pada
sub-sistem
pertama,
menggunakan
hukum
dalam
aturan
perilaku individu dan masyarakat dalam
hukum yang formal, sah dan diterima,
praktek-praktek sosial yang terkait dengan
seperti ketentuan UU HAM menyangkut
penyesuaian aturan termasuk mudah untuk
pemegang hak dan pemegang kewajiban,
diamati (observable).
merupakan suatu konstruksi yang tidak dapat
Dari kerangka kerja tiga pihak atau
terlihat secara jelas dan mudah dimengerti
subsistem tersebut, tercermin adanya relasi
(indiscernible)17 dan berbentuk pemikiran
resiprokal antara aturan hukum sebagai
atau ide gagasan yang menjadi dasar bagi
sebuah fenomena bahasa atau linguistik
subsistem kedua dan ketiga. Setiap rangkaian
dengan fenomena hukum sebagai bagian dari
kata atau teks dalam aturan hukum berisi
praktik-praktik sosial. Hukum yang sah dan
suatu proyeksi dari gambaran atau citra
diterima (legitimate) sudah pasti mempunyai
tertentu yang ditujukan untuk menjadi realitas
konstruksi sebagai rangkaian ungkapan kata-
dalam dunia nyata. Pesan substantif yang ada
kata (utterance) yang mempunyai potensi
dalam hukum mempunyai konstruksi mental,
kekuatan untuk mengatur perilaku sosial
bukan fisik, yang menjadi objek pemikiran
masyarakat. Akan tetapi, tidak serta merta
ideal,
realitas
suatu aturan hukum mempunyai dampak
imajinernya seseorang harus melakukan suatu
terhadap praktik sosial sampai saatnya dia
pemikiran. Hal ini berbeda misalnya ketika
diaplikasikan melalui tindakan hukum pejabat
suatu rangkaian kata atau teks mempunyai
publik, digunakan sebagai konsideran dalam
pesan substantif yang mengacu pada objek
putusan atau penetapan hakim, atau menjadi
sehingga
untuk
mencari
15 Materiil atau material disini berarti menjadikan suatu ide atau nilai yang abstrak menjadi norma hukum yang lebih nampak dan eksis. 16 Dick W.P. Ruiter, Legal Institutions (Dordrecht: Kluwer Academic Publisher, 2001), page 24-25. Anne Wagner, Wouter Werner, dan Deboran Cao, Interpretation, Law, and the Construction of Meaning, Springer, Doordrecht, 2007. 17 Ibid., hlm. 25.
353
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
acuan bagi pola perilaku sosial masyarakat.
Selanjutnya, hasil penilaian akan bermuara
Terhadap situasi ini, secara kategoritatif maka
pada penentuan posisi alternatif di antara tiga
akan terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
kategori, apakah konstruksi idenya termasuk
1. Ideal, artinya gambaran atau citra
ideal, tidak efektif, atau ilegal.
yang dihasilkan oleh hukum secara keseluruhan adalah bentuk materialisasi
2.
materialisasi
yang sebangun dengan pola perilaku
meskipun aturan hukumnya sah dan diterima (legitimate), tetapi bukan bagian dari keyakinan bersama yang melandasi praktik hukum. 3. Ilegal (illegal), artinya terdapat suatu realitas imajiner sebagai bagian dari keyakinan bersama yang melandasi praktik hukum, tetapi bukan merupakan hasil proyeksi dari suatu aturan hukum yang sah dan diterima (legitimate)18. Terhadap eksistensi UU HAM khususnya terkait norma pemegang hak (rights holder) dan pemegang kewajiban (duty-bearer) dapat dianalisis secara kritis (kritisisme) dengan menggunakan kerangka analisa tripartite conceptual
framework
tersebut.
Tujuan
utama dari kritisisme tersebut adalah untuk mengukur derajat lejitimasi legal formal dari UU HAM khususnya terkait pemaknaan HAM, lalu sejauh mana fisibilitas norma tersebut untuk diaplikasikan baik oleh aparatur negara maupun melalui perilaku masyarakat.
pemegang
dalam UU HAM
2. Tidak efektif (ineffective), artinya realitas yang dihasilkan oleh aturan hukum,
norma
hak dan pemegang kewajiban
sosial; imajiner sebagai gambaran atau citra
Mengukur derajat legitimasi atas
UU HAM secara historis lahir sebagai salah satu penanda penting bagi datangnya era reformasi yang berkehendak menempatkan hak asasi manusia sebagai bagian terpenting dari sistem hukum Indonesia. Setelah disahkan pada 23 September 1999 dan dicantumkan dalam Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 165 maka UU HAM mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap setiap otoritas negara dan anggota masyarakat. Sekitar satu tahun sebelumnya, tepatnya 13 November 1998,
penguatan isu HAM
sudah dimulai melalui pengesahan Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM (selanjutnya disebut TAP Piagam HAM) yang di dalamnya memperkenalkan istilah Piagam HAM. TAP Piagam HAM tersebut lalu menjadi salah satu konsideran ‘mengingat’ dalam UU HAM meskipun kemudian pada tahun 2003 dicabut melalui ketentuan Pasal 1
Ketetapan
MPR/1/MPR/2003
tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun
18 Hanneke Van Schooten dalam Bab Law as Fact, Las as Fiction: A Tripartite Model of Legal Communication, Wagner et al (eds.), Interpretation, Law and the Construction of Meaning, Dordrecht, Netherland, 2007, hlm. 3-20.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
354
2002. Teks HAM lalu muncul secara eksplisit
referensi pada aspek non-yuridis dalam proses
dalam konstitusi Indonesia yang secara
materialisasi konsep normatif HAM termasuk
nomenklatur menjadi judul dari Bab XA, dan
elemen
karenanya menjadi hak dasar, sebagai hasil
kewajiban. Substansi dari konsideran tersebut
Perubahan Kedua terhadap Undang-Undang
secara singkat meliputi:
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
a. HAM adalah anugerah dari Tuhan untuk
(selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) pada tahun 2000.
pemegang
hak
dan
pemegang
menjamin harkat dan martabat manusia; b. HAM bersifat melekat pada eksistensi
Teks ‘hak’ sebelum muncul dalam UU
manusia,
langgeng,
dan
universal
HAM dan TAP Piagam HAM ternyata telah
yang
diintrodusir dalam Pembukaan (Preambule)
dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
Konstitusi Indonesia Alinea Ke-1 yang
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
menyatakan
“Bahwa
sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…”. Kemudian,
sebagaimana
dikutip
harus
dilindungi,
dihormati,
c. Manusia selain memiliki HAM juga mempunyai kewajiban dasar manusia;
dalam
d. Indonesia mempunyai tanggung jawab
konsideran ‘mengingat’ UU HAM, batang
moral dan hukum sebagai anggota
tubuh UUD NRI Tahun 1945 pra-amandemen
PBB untuk menjunjung tinggi dan
telah juga mengatur beberapa ‘hak’ yang pada
melaksanakan Deklarasi Universal Hak
saat itu meliputi: hak atas persamaan dalam
Asasi Manusia (Universal Declaration of
hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat
Human Rights) beserta instrumen HAM
(1)); hak atas pekerjaan dan penghidupan
internasional lainnya yang telah diteirma
yang layak (Pasal 27 ayat (2)); jaminan
oleh Indonesia.
hukum terhadap kemerdekaan berserikat,
Demikian
juga
secara
historis
berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara
konstitusional Indonesia, ternyata Undang-
lisan maupun tertulis (Pasal 28); jaminan
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
terhadap hak beragama dan beribadah (Pasal
(UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u.
29 ayat (2)); kewajiban negara terhadap
15 Ag 1950) pada saat itu juga telah memuat
pemajuan kebudayaan (Pasal 32); jaminan
ketentuan
alokasi penguasaan negara atas kekeyaan
masuk dalam Bagian 5 tentang Hak-hak Dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan publik
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia. Hal
(Pasal 33 ayat (3)); dan jaminan pemeliharaan
ini menunjukan bahwa sudah sejak awal era
oleh negara terhadap masyarakat miskin dan
kemerdekaan isu tentang HAM telah menjadi
terlantar (Pasal 34).
perhatian penting bagi para pendiri negara.
Konsideran
‘menimbang’ UU
normatif
tentang
‘hak’ yang
HAM
Dan hal tersebut juga dapat menjadi indikator
pada poin (a), (b), (c), dan (d) memberikan
bahwa mereka para perumus pada saat itu
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
355
telah berinteraksi dengan aktivisme hak asasi
C. Prospek aplikasi otoritatif oleh
manusia pada level dunia internasional saat
lembaga negara dan adaptasi oleh
era pasca kolonialisasi dan perang dunia
praktik sosial atas konstruksi
kedua.
normatif pemegang hak (rights
Selain mempunyai rujukan sejarah, hukum, sosial, dan filosofis, semenjak disahkan UU HAM belum pernah secara formal menjadi objek suatu uji konstitusionalitas (judiciil review) ke Mahkamah Konstitusi. Kritik yang ditujukan terhadap UU HAM masih dibawah tingkat kehendak untuk mengubahnya baik secara sebagian maupun keseluruhan sehingga secara praktis dan yuridis masih valid dan diterima (legitimate). Bahkan setelah amandemen konstitusi kedua pada tahun 2000, ketentuan ‘hak’ baik secara substansi maupun formal semakin kuat karena munculnya Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal-pasalnya mengatur lebih detail dan lengkap tentang ‘seperangkat hak’. ‘Seperangkat hak’ yang diakui dalam bentuk cluster oleh UU HAM secara substantif mencakup semua hak-hak dasar yang diatur dalam Bab XA UUD NRI Tahun 1945, dari Pasal 28A - 28J. Proses materialisasi secara substantif hak-hak dasar tersebut apabila dilihat secara garis waktu (timeline) justru semuanya diadopsi dari ketentuan yang ada dalam UU HAM yang setahun lebih awal dibentuk daripada amandemen kedua konstitusi pada tahun 2000. Namun secara hirarkhi sudah pasti kemudian ‘seperangkat hak dan kewajiban’ dalam konstitusi menjadi lebih tinggi derajat normanya terhadap ‘seperangkat hak dan kewajiban ’ yang ada dalam UU HAM.
holder) dan pemegang kewajiban (duty-bearer) dalam UU HAM Konstruksi normatif pemegang hak dan pemegang kewajiban bersifat indiscernible (tak mudah digambarkan sebagai realitas imajiner) yang membutuhkan peran otoritas negara yang relevan agar dapat terwujud sebagai sesuatu yang lebih riil (discernible). Pejabat eksekutif dan yudikatif merupakan pihak yang paling relevan untuk mengaplikasikan konsep gagasan normatif tersebut dalam suatu peristiwa hukum yang nyata. Pada sisi yang lain, muatan dari konsep norma pemegang hak dan pemegang kewajiban tersebut juga akan bisa diidentifikasi secara lebih melalui pola perilaku masyarakat dalam merespon dan menerjemahkannya dalam praktik-praktik kehidupan sosial. Konstruksi definien HAM menurut Pasal 1 UU HAM menempatkan pemegang hak dan pemegang kewajiban sebagai bagian dari sebuah kesatuan sistem. Makna HAM yang tergambar dari Diagram 1. Pemegang hak (rights holder) dalam siklus di atas adalah manusia secara universal sebagai makhluk Tuhan dengan tanpa adanya suatu batasan tertentu seperti kewarganegaraan, status sosial, jenis kelamin, paham politik, warna kulit, ras, suku, agama dan lain sebagainya. Terjadi transformasi penggunaan terma ‘manusia’ yang bersifat universal
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
356
menjadi frasa ‘Setiap orang…’ dalam UU
dalam praktik sosial, ‘manusia’ atau ‘setiap
HAM. Hal tersebut mengacu pada batasan
orang’ sebagai subjek hukum dapat berupa
jurisdiksi sistem hukum Indonesia sebagai
tindakan pengajuan klaim kepada ‘pemegang
tempat dibentuk dan berlakunya UU HAM.
kewajiban’ untuk menghormati, menjunjung
Dengan demikian, terma ‘manusia’ sebagai
tinggi, memenuhi, dan melindungi.
pemegang hak yang bersifat universal lebih
Konsep normatif terma ‘manusia/setiap
kuat aspek moralitasnya dibandingkan dengan
orang’ sebagai pemegang hak dalam UU
penggunaan teks ‘setiap orang’ yang kuat
HAM mempunyai hasil proyeksi hukum yang
sekali nuansa teknis yuridisnya. Keduanya
fisibel untuk diaplikasikan dalam tindakan
tidak bertentangan namun lebih kepada
administratif aparatur pemerintah maupun
konsekuensi legalisasi HAM dalam sebuah
oleh hakim melalui suatu putusan atau
konteks sistem hukum yang bersifat domestik.
penetapan pengadilan. Demikian juga ketika
Dalam kerangka kerja konsep tiga pihak
terma tersebut dituangkan dalam bentuk
(tripartite conceptual framework), konkritisasi
aktivitas klaim melalui tindakan konkrit oleh
pemegang hak berada dalam subsistem
masyarakat. Dengan demikian sangat relevan
kedua (aplikasi otoritatif oleh pemerintah
untuk
atau hakim) dan subsistem ketiga (pola
komponen pemegang hak yaitu ‘manusia
penyelarasan perilaku terhadap aturan dalam
atau setiap orang’ dalam kategori ideal. Ideal
praktik sosial). Pemerintah merupakan pejabat
dalam artian gambaran yang dihasilkan dari
administrasi yang bertugas menjalankan
proyeksi materialisasi ‘pemegang hak’ yaitu
kebijakan-kebijakan
pemerintahan
‘manusia atau setiap orang’ kompatible atau
berdasarkan arahan undang-undang dengan
bersesuaian dengan sistem (hukum) perilaku
menggunakan
berupa
sosial dari tindakan administratif aparatur
kebijakan umum administratif dan keputusan-
pemerintah, mekanisme pembuatan putusan
keputusan
konkrit.
atau penetapan oleh hakim di pengadilan,
Sedangkan hakim bertugas menerapkan dan
dan pola perilaku penyesuaian aturan oleh
menemukan hukum terhadap suatu kasus di
masyarakat.
umum
instrumen
administratif
yuridis yang
pengadilan, termasuk yang bersifat penetapan.
menempatkan
aspek
eksistensial
Terhadap status ‘manusia’ atau ‘setiap
Objek dari keputusan administratif pejabat
orang’
pemerintah dan putusan atau penetapan hakim
menempatkannya sebagai situasi alami tanpa
di pengadilan selalu kompatibel dengan proses
suatu predikat kekuasaan dalam suatu struktur
aplikasi konsep normatif pemegang hak, yaitu
negara. Artinya, ‘manusia’ atau ‘setiap orang’
‘manusia’ atau ‘setiap orang’ sebagai subjek
itu secara spesifik adalah warga negara atau
hukum (naturlijkpersoon). Sedangkan terkait
penduduk yang mendiami yurisdiksi sistem
pola perilaku penyelarasan terhadap aturan
hukum Indonesia. Sedangkan ketika seseorang
sebagai
pemegang
hak,
HAM
357
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
sudah menjadi bagian dari kekuasaan negara
sebagai pemegang hak dan bagaimana cara
karena pilihan pekerjaan yang dengannya dia
mengaplikasikan kata ‘setiap orang’ dalam
dianugerahi seperangkat kewenangan atau
praktik-praktik sosial maupun pelaksanaan
kekuasaan yang bersifat publik, maka secara
kewenangan negara.
hukum dia sudah bukan lagi bagian dari
Dari
analisis
sebelumnya
dapat
‘manusia’ atau ’setiap orang’ yang dilekati
disimpulkan bahwa status sebagai pemegang
status sebagai pemegang hak. Pelekatan ‘hak’
suatu hak tertentu itu sifatnya hanya eksis
kepada aparatur negara akan tetap ada atau
dan dimiliki oleh ‘orang’ atau ‘manusia’ jika
eksis sebagai sebuah potensi yang tidak hilang,
dan hanya jika yang bersangkutan bukan atau
dan akan muncul lagi ketika dalam situasi
tidak sedang menjalankan fungsi kewenangan
‘bebas’, ‘lepas’ atau tidak lagi menyandang
atau kekuasaan publik atas hak tertentu itu.
status sebagai pihak berwenang dalam
Konsep ini terkait dengan aspek fisibilitas
kehidupan publik. Sejauh kewenangan publik
atau dapat dijalankannya ‘hak’, karena HAM
itu masih melekat pada diri seorang pejabat
bukanlah suatu konsep utopis atau filosofis
negara dalam kurun tempat dan waktu tertentu
semata, tapi juga lahir dan menjadi bagian
sesuai dengan karakter Tupoksi jabatan (tugas
dari praktik kehidupan keseharian manusia.
pokok dan fungsi), maka akan menegasikan
Dari sini, lalu siapakah yang berposisi sebagai
statusnya sebagai pemegang ‘hak’. Jenis
‘yang memenuhi hak’ tersebut?
‘hak’ yang hilang juga mesti satu karakter
Sebagaimana digambarkan dalam diagram
atau relevan dengan jenis ‘kewenangan’
tentang makna HAM di atas, pelekatan
yang melekat, contoh, seorang polisi akan
‘seperangkat hak’ pada ’manusia’ atau ‘setiap
kehilangan hak atas keamanan saat sedang
orang’
menjaga demonstrasi, seorang guru atau
terhadap eksisnya sebuah entitas yang disebut
dosen akan hilang hak untuk mendapatkan
‘pemegang kewajiban’. UU HAM menentukan
pengajaran ketika sedang bertugas di sekolah
bahwa pemegang kewajiban (duty-bearer)
atau kampus, hak untuk hidup seorang tentara
terdiri dari: Negara, Hukum, Pemerintah, dan
akan hilang ketika dia sedang bertempur, hak
Setiap-orang. Secara sederhananya, semua
untuk banding dalam sistem peradilan yang
entitas yang terkait aktivitas masyarakat
terbuka akan hilang dari seorang hakim ketika
dan tata kelola kekuasaan negara yang ada
dia sedang memerika kasus di pengadilan,
di Indonesia mempunyai status sebagai
dan lain sebagainya. Sayang sekali, hal ini
‘pemegang kewajiban’, sebab di Indonesia
tidak dijelaskan secara otoritatif (dalam
sudah tidak ada lagi entitas di luar ‘negara,
bagian penjelasan) oleh UU HAM sehingga
hukum,
masih sering terungkap kerancuan tentang
Makna dari ‘negara’ sendiri sudah mencakup
pemahaman siapa yang harus dilekati status
elemen Pemerintah, Rakyat atau setiap-orang,
membawa
pemerintah,
konsekuensi
dan
tuntutan
setiap-orang’.
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
358
serta hukum itu sendiri sebagai dasar adanya
sebagainya. Memang benar bahwa negara,
eksistensi negara, semisal konstitusi. Secara
pemerintah, hukum, dan setiap orang harus
pelembagaan dan pengembanan kekuasaan,
menyadari akan eksistensi ‘hak’ dan masing-
negara juga mencakup eksekutif, legislatif, dan
masing mempunyai peran dan kontribusi.
yudikatif beserta lembaga-lembaga kuasi-nya.
Tapi jika tidak ada suatu peran yang jelas di
Dalam beberapa literatur HAM, kata Negara
antara para pemegang kewajiban, artinya
(State)
maknanya
pembebanan kewajiban tersebut menjadi
menjadi entitas pemegang kekuasaan yang
sulit untuk ditindaklanjuti dalam tataran yang
kedudukannya dilawankan dengan warga
lebih konkrit seperti dalam bentuk kebijakan
negara sebagai pihak yang tidak mempunyai
pemerintah, keputusan administratif, maupun
otoritas atau kewenangan untuk mengatur
putusan atau penetapan pengadilan.
biasanya
dipersempit
kehidupan publik. Cakupan kelembagaan
Pembebanan
‘seperangkat
kewajiban’
negara juga dibuat sedemikian fleksibel
kepada negara, pemerintah, dan hukum adalah
menyangkut organ apa saja dan bagaimana
hal yang masih relevan karena semua elemen
kualifikasinya untuk dapat dianggap sebagai
itu adalah bagian dari kekuasaan negara.
bagian dari kekuasaan negara. Kata negara
Kekuasaan negara mempunyai daya paksa
dalam konteks diskursus HAM tentu tidak
yang legal untuk mewujudkan pemajuan,
mencakup rakyat atau penduduk sebagaimana
perlindungan, dan pemenuhan ‘seperangkat
diskursus tentang asal-usul berdirinya negara
hak’. Negara dilengkapi dengan instrumen
beserta elemen-elemennya dalam ilmu negara.
hukum sebagai legitimasi untuk melaksanakan
Memaknai ‘kewajiban’ sebagai beban
program-programnya yang mungkin dilekati
yang
harus
diselenggarakan
para
dengan paksaan dan sanksi di dalamnya atas
‘pemegang kewajiban’ terhadap setiap klaim
nama kepentingan bersama atau publik. Beban
yang dilakukan oleh para ‘pemegang hak’,
kewajiban yang ditanggung oleh negara
maka
mekanisme
adalah bentuk konsekuensi atas diserahkannya
pelaksanannya jika semua entitas kemudian
sebagian kedaulatan pribadi warga negara
menjadi pemegang kewajiban? Oleh siapa
yang
dan kepada siapa kewajiban tersebut akan
kewenangan-kewenangan
dilaksanatujukan?
hak’
rule of law. Nampak disini bahwa hukum
merupakan sekian klaim yang menyangkut
bukanlah berfungsi sebagai subjek pelaksana
kehidupan nyata dari para pemegangnya, seperti
dari suatu ‘kewajiban’, melainkan law as an
salah satunya adalah hak atas pendidikan yang
instrument of an end, hukum sebatas menjadi
secara aplikasinya membutuhkan anggaran
alat dari suatu tujuan yaitu memberikan beban
yang besar, pelembagaan kementerian yang
kewajiban HAM kepada para pemangkunya.
kompleks, penyusunan kurikulum, dan lain
Karena ‘hukum’ bukan merupakan suatu
bagaimanakah
terkait
oleh
‘Seperangkat
dimanifestasikan
dalam
bentuk
yang
berbasis
359
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
subjek hukum (rechtpersoon) yang dapat
tersebut terasa sulit untuk dapat dipahami
melakukan suatu perbuatan hukum maka
secara jelas. Memang, dalam konsep ‘setiap
menjadi terasa janggal jika kemudian oleh
orang’ mengandung arti dan menuntut bahwa
UU HAM diberi status sebagai pemangku
setiap individu yang satu perlu menyadari
kewajiban.
(awareness) akan eksisnya ‘seperangkat hak’
Entitas terakhir yang menjadi pemegang
yang dimiliki oleh individu yang lain. Tetapi
kewajiban dalam konsep normatif UU HAM
awareness tersebut bukan merupakan bagian,
adalah ‘setiap orang’. Terma ‘setiap orang’
dan perlu dibedakan, dari ‘seperangkat
tidak menjadi definiendum dalam UU HAM
kewajiban’. ‘Seperangkat hak’ eksis dan
dan dianggap sebagai kata umum yang
melekat pada keberadaan manusia karena
setiap orang tahu artinya. Setiap-orang dapat
semata-mata anugerah dari Tuhan, dan
mengacu pada setiap individu yang ada dalam
bukan sebagai hadiah kepada manusia karena
jurisdiksi UU HAM, yaitu seluruh teritori
telah melakukan ‘seperangkat kewajiban’
Indonesia, baik statusnya sebagai warga negara
tertentu. Contoh paling mudah adalah tentang
maupun penduduk. ‘Setiap orang’ sebagai
‘seperangkat hak’ yang dimiliki oleh seorang
pemegang kewajiban dalam kerangka definien
anak semata-mata statusnya sebagai manusia
HAM berarti setiap-orang yang bukan bagian
dan bukan diberikan karena anak tersebut
dari pemangku kekuasaan negara, pemerintah
telah menyelesaikan ‘seperangkat kewajiban
maupun hukum. Dengan demikian, ‘setiap
tertentu’. Demikian juga dengan hak hidup
orang’ disini merupakan entitas yang sama
yang diberikan kepada setiap orang bukan
dengan ‘setiap orang’ yang statusnya sebagai
karena manusia pada awalnya telah melakukan
‘pemegang hak’ sebagaimana yang telah
‘seperangkat kewajiban’ tertentu, melainkan
diterangkan sebelumnya.
bentuk kemurahan dari Tuhan Yang Maha
Pertanyaan mendasar atas status ganda
Esa.
bagi ‘setiap orang’ sebagai pemegang hak
Terkadang terdapat fakta bahwa jika
sekaligus pemegang kewajiban adalah tentang
seseorang ingin menjalankan, mendapatkan,
fisibilitasnya,
keterlaksanaannya.
atau menikmati ‘hak’-nya, maka dia sebagai
Karakter eksistensial ‘hak’ di satu sisi
‘pemegang hak’ bersama dengan otoritas
adalah sebagai dasar pengajuan suatu klaim,
publik sebagai ‘pemegang kewajiban’ harus
sedangkan karakter eksistensial ‘kewajiban’
melakukan suatu tindakan tertentu secara
di sisi yang lain adalah sebagai yang
resiprokal seperti melakukan pembayaran,
mengabulkan klaim tersebut. Lalu, bagaimana
pendaftaran, mengikuti kegiatan tertentu
kedua hal yang harusnya dilaksanakan oleh
dan lain sebagainya. Semisal, jika seseorang
dua entitas berbeda kemudian dijalankan oleh
ingin mendapatkan hak untuk bekerja maka
entitas yang tunggal? Konstruksi relasional
dia harus melakukan suatu pendidikan atau
daya
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
360
pelatihan tertentu yang mana di dalamnya bisa
pendidikan, hearing ke DPRD, mengajukan
juga menuntut prasyarat berupa pembayaran
gugatan ke pengadilan dan lain sebagainya.
iuran
sejenisnya.
Dan sebaliknya, aspek kekurangan sumber
Hal seperti melakukan pembayaran dan
daya dalam proses penyelenggaraan ‘hak’ tidak
pendidikan tersebut yang dilakukan oleh
kemudian menghapus beban ‘kewajiban’ yang
‘pemegang
dari
dimiliki oleh para pemangku ‘seperangkat
kewajiban’,
kewajiban’. Tingkat ketersediaan sumber
pendidikan
dan
lain
hak’ bukanlah
pelaksanaan melainkan
bagian
‘seperangkat pemenuhan
dari
‘syarat
daya
tidak
berkorelasi
terhadap
aspek
penyelenggaraan’ suatu ‘hak’. Pelaksanaan
eksistensialnya ‘kewajiban’, namun hanya
atau pemenuhan ‘Syarat penyelenggaraan’
berpengaruh pada tingkat kualitas atau
bisa dilakukan secara bersamaan atau sharing
kuantitas hasil pelaksanaan ‘kewajiban’.
antara pemegang hak dengan pemegang
Dari
penjelasan
sebelumnya
dapat
kewajiban. Korelasi ‘syarat penyelenggaraan’
dirumuskan pendapat bahwa materialisasi
dengan eksistensi hak adalah bahwa ‘syarat
‘pemegang
kewajiban’
penyelenggaraan’ akan menentukan sejauh
contradictio
in
mana kualitas atau kuantitas ‘hak’ dapat
menyangkut status dari ‘setiap orang’ sebagai
dihormati, dilindungi dan dipenuhi. ‘Syarat
‘pemegang kewajiban’ yang sekaligus juga
penyelenggaraan’ tidak mempunyai korelasi
menjadi
causa prima dengan eksistensi ‘seperangkat
dari materialisasi tersebut adalah terjadinya
hak’. Berhasil atau gagalnya, terpenuhi atau
kekaburan proyeksi gambaran imajiner yang
tidaknya suatu ‘syarat penyelenggaraan’
dihasilkan oleh UU HAM sehingga tidak
tidak
suatu
sesuai dengan atau sulit diterapkan dalam
‘hak’ yang telah melekat pada diri seorang
praktik sosial yang dilakukan oleh pemangku
‘pemegang hak’. Seorang wali murid yang
kewenangan
tidak mampu membayar biaya pendidikan
dalam masyarakat. Fakta ini menyebabkan
bagi
kemudian
materialisasi
menghilangkan eksistensi hak atas pendidikan
berkontribusi
yang dimiliki oleh anaknya, melainkan
(ineffectiveness) penegakan UU HAM sebagai
akan mengganggu atau mengurangi kadar
pedoman dalam perilaku sosial di lingkup
kualitas penyelenggaraan pendidikan yang
pemerintahan, peradilan, dan kehidupan sosial
akan dinikmati oleh sang anak. Dengan tetap
masyarakat.
mempengaruhi
sekolah
anaknya
eksistensi
tidak
eksisnya hak atas pendidikan yang dimiliki
‘pemegang
mengandung khusunya
terminis
hak’.
negara
Konsekuensi
ataupun
‘pemegang terhadap
individu kewajiban’
ketidakefektifan
Pada sisi yang lain, Pasal 8 UU HAM
oleh anak tersebut maka proses klaim haknya
mentransformasikan
terhadap pemegang kewajiban masih dapat
menjadi lingkup ‘tanggung jawab’ sembari
dilakukan seperti melakukan tuntutan ke dinas
menegaskan
bahwa
beban diantara
‘kewajiban’ ‘pemegang
361
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
kewajiban’ maka Pemerintah menempati posisi utama sebagai pemegang ‘tanggung jawab’. Lebih jelasnya, ketentuan Pasal 8 UU HAM tersebut menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Jadi dengan pasal tersebut proses transformasi pemaknaan definien HAM terkait ‘kewajiban’ dan ‘pemegang kewajiban’ diawali dari pengubahan
nomenklatur
‘kewajiban’
menjadi ‘tanggung jawab’ yang diikuti dengan penempatan pemerintah sebagai ‘pemegang tanggung jawab’ yang utama. Namun demikian, Bab V UU HAM membedakan antara kewajiban dan tanggung jawab tanpa merinci lebih jauh faktor-faktor apa saja yang menjadi pembedanya. Judul dari Bab V adalah “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah” yang meliputi Pasal 71 dan Pasal 72 dengan isi ketentuan: Pasal 71 “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia”. Pasal 72 “Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam 19 KBBI Offline 1.5.
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”. Kata penghubung ‘dan’ menunjukan bahwa kedua terma tersebut adalah entitas yang berbeda. Namun demikian, substansi ‘kewajiban’ dan ‘tanggung jawab’ dalam Pasal 71 dan 72 tidak berbeda sama sekali alias sebangun sehingga timbul pertanyaan mengapa digunakan terma yang berbeda jika substansinya sama. Lebih lanjut, amandemen kedua Konstitusi pada tahun 2000 juga menegaskan proses transformasi tersebut melalui Pasal 281 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Jika dibandingkan dengan UU HAM, ketentuan konstitusi tersebut lebih jelas dan tidak mengandung contradictio in terminis karena menempatkan pemangku kekuasaan negara, khususnya pemerintah, sebagai entitas tunggal pemegang ‘tanggung jawab’. Yang menjadi persamaan adalah keduanya berbagi dalam penggunaan terma ‘tanggung jawab’ yang menggantikan kata ‘kewajiban’. Secara
leksikal,
‘tanggung
jawab’
mempunyai arti sebagai: 1 keadaan wajib menanggung
segala
sesuatunya
(kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb): pemogokan itu menjadi -- pemimpin serikat buruh; 2 Hukum fungsi menerima pembebanan, sbg akibat sikap
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
362
pihak sendiri atau pihak lain.19 Sedangkan
Contoh praktek penggunaan tanggung jawab
‘kewajiban’ mempunyai arti: 1 (sesuatu) yg
dan kewajiban adalah terkait pemenuhan
diwajibkan; sesuatu yg harus dilaksanakan;
hak
keharusan: tugas penelitian sudah merupakan
pemajuan, dan penghormatan hak anak adalah
~ bagi setiap calon sarjana; 2 pekerjaan;
menjadi beban kewajiban negara khususnya
tugas: aku akan melaksanakan tugas ~ ku
pemerintah sehingga kalau tidak terpenuhi
dng saksama; 3 Huk tugas menurut hukum;~
maka dikatakan negara khususnya pemerintah
manusia segala sesuatu yg menjadi tugas
telah melakukan suatu pelanggaran terhadap
manusia (membina kemanusiaan); ~ moral
hak anak. Sedangkan orang tua dan masyarakat
kewajiban atas dasar norma benar dan salah sebagaimana diterima dan diakui oleh masyarakat; ~ sosial kewajiban atas dasar norma dan tingkah laku lingkungan sosial.20
‘Tanggung
jawab’ pada
aspek
pelaksanaannya lebih banyak menekankan kepada kesadaran internal sehingga terhadap ketidakterlaksanaannya maka si pemegang tanggung
jawab
mendapat
status
telah
melakukan sebuah kelalaian. Penegakan tanggung
jawab
lebih
bersumber
dari
dorongan moral, etika serta kesadaran diri, dan bukan karena paksaan ketentuan suatu aturan hukum. Pada sisi lain, ‘kewajiban’ lahir
karena
sebelum
si
‘pemegang
mendapatkan
beban
kewajiban’ kewajiban
terlebih dahulu pada dirinya dilekati suatu kewenangan yang bersifat publik oleh hukum.
anak.
Perlindungan,
pemenuhan,
dikatakan sebagai pemegang tanggung jawab untuk memelihara, menjaga, dan memenuhi hak-hak anak. Tanpa adanya tanggung jawab tersebut maka pemenuhan hak-hak anak tidak dapat terselenggara secara optimal, efektif dan berkemajuan.21 Jadi, dalam konteks relasional ‘pemegang hak’ dan ‘pemegang kewajiban’, penggunaan tanggung jawab dan kewajiban tidak dapat dipersamakan meskipun dalam konteks linguistik secara umum terdapat persamaan elemen diantara keduanya.
Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakuan dengan mengacu pada rumusan masalah serta hasil temuannya, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: a. Materialisasi konsep norma pemegang
Jadi, kewajiban lahir sebagai konsekuensi
hak dan pemegang kewajiban dalam
atas
diberikan
UU HAM mengandung contradictio
sebelumnya oleh hukum. Ketika si ‘pemegang
in terminis khususnya terkait dengan
kewajiban’ tidak menjalankan apa yang telah
kedudukan
dibebankan kepadanya maka dia dikatakan
definien HAM. Di satu sisi ‘setiap
telah
orang’ adalah pemegang hak yang
kewenangan
melakukan
yang
sebuah
telah
‘pelanggaran’.
‘setiap
orang’
dalam
20 Ibid. 21 Unicef, Kewajiban dan Tanggung Jawab, http://www.unicef.org/indonesia/id/03_kewajiban_tanggung_ jawab.pdf., diakses 1 Desember 2014 pukul 13.00 WIB.
363
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
denganya dapat melakukan sejumlah
betapa kuat dan dinamisnya kebutuhan
klaim kepada pemegang kewajiban yaitu
akan diskursus HAM sehingga pada
para pemangku kewenangan negara.
level tertentu masih bisa menolelir
Akan tetapi pada saat yang sama ‘setiap
dan menerima kekaburan makna yang
orang’ juga dilekati status sebagai
ada dalam definien HAM menurut UU
pemegang kewajiban yang karena sifat
HAM. Aktivisme di bidang HAM yang
eksistensialnya justru akan menegasikan
cukup tinggi di Indonesia memberikan
seperangkat hak yang secara pre-eksis
mekanisme substitusi kekurangjelasan
sudah dimilikinya. Selain itu, UU HAM
materialisme konsep normatif deniniens
tidak memberikan ketentuan yang jelas
HAM semisal melalui perujukan konten
tentang cakupan dari kewajiban yang
norma yang ada dalam sekian banyaknya
dibebankan kepada ‘setiap orang’ untuk
perjanjian HAM internasional yang telah
dibedakan dari yang dibebankan kepada
diratifkasi Indonesia.
para pemangku kewenangan negara.
Meskipun ideal di tingkat legal formal;
Padahal antara entitas ‘setiap orang’
tetapi pada tingkat aplikasi administratif
dengan entitas pemangku kewenangan
oleh aparatur pemerintah, aplikasi ajudikatif
negara mempunyai karakter eksistensial
oleh hakim dalam putusan atau penetapan
yang sangat berbeda. ‘Setiap orang’adalah
di
manusia biasa yang telah menransfer
pola perilaku penyesuaian aturan dalam
sebagian kedaulatan individunya kepada
praktek kehidupan sosial oleh setiap orang;
entitas aparatur negara melalui instrumen
materialisasi
rule of law demi mencapai tujuan
sekali untuk mengalami inefektifitas dalam
bersama. Dengan demikian, kewenangan
aplikasinya.
hukum merupakan dasar dari lahirnya
diakibatkan oleh kekaburan realitas imajiner
beban kewajiban sehingga tidak mungkin
yang diproyeksikan oleh definien HAM
untuk dimiliki oleh ‘setiap orang’ yang
sehingga berpotensi munculnya tumpang
memang secara asali merupakan manusia
tindih (overlap), kekaburan makna (vague
biasa (penduduk atau warga negara) yang
norm) , kerancuan sehingga mempersulit
merupakan entitas pemegang hak.
dan
b. Secara formal ketentuan pemegang hak
pengadilan,
maupun
definien Kategori
mereduksi
aplikasi
HAM
berpotensi
inefektifitas
derajat
dalam
efektifitas
ini
pada
tingkat perilaku sosial dalam pemerintahan,
dan pemegang kewajiban dalam UU
pengadilan, dan masyarakat.
HAM mempunyai tingkat keabsahan
a. Pada tataran ideal, para legislator jika
dan keterterimaan (legitimacy) yang
mempunyai momen untuk melakukan
cukup
dikategorikan
perubahan terhadap UU HAM maka
sebagai ideal. Hal ini menjadi refleksi
harus menghapus kedudukan ‘setiap
kuat
sehingga
Muktiono, Kritik Konseptualisasi Pemegang Hak dan Pemegang ...
364
orang’ sebagai pemegang kewajiban
dalam definien HAM; pada wilayah
dan
menekankan
pemerintahan maupun pengadilan dapat
peran pemegang kewenangan negara
menggunakan ketentuan-ketentuan yang
sebagai pemegang kewajiban dengan
ada dalam perjanjian internasional HAM
konstruksi
yang telah diratifikasi Indonesia beserta
sebaliknya
teks
lebih
yang
lebih
lugas,
jelas dan tidak tumpang tindih. Peran
prinsip-prinsipnya
‘setiap
pemegang
dalam membuat putusan dan tindakan
hak adalah ikut berpartisipasi dalam
administratif. Penafsiran hukum (legal
proses
dapat
interpretation) dapat menjadi instrumen
dibebani tanggung jawab tertentu secara
penting bagi para aparatur penegak
relevan tanpa perlu menransformasika
hukum khususnya hakim dalam proses
kedudukannya sebagai pemegang hak
penemuan hukum (rechtsvinding) yang
menjadi pemegang kewajiban.
diakibatkan oleh kekaburan norma yang
sebagai
orang’
penyelenggaraan
dan
b. Terhadap potensi inefektifitas aplikasi
dihasilkan
UU HAM karena contradictio in terminis
dari
sebagai
proses
pedoman
materialisasi
elemen HAM dalam UU HAM.
DAFTAR PUSTAKA Buku Anne Wagner, Wouter Werner, dan Deboran Cao,
Interpretation,
2007,
Ian Ward, 1998, An Introduction to Critical Legal Theory, Cavendish Publishing
Law,
Limited, London & Sydney.
and the Construction of Meaning,
James W. Nickel, 2007, Making Sense of
Springer, Doordrecht.
Human Rights. Second Edition,
Austin Sarat dan Thomas R. Keams (Eds),
Blackwell Publishing, Massachusetts.
1995, Law’s Violence, The University John
of Michigan Press, Michigan.
Bowring,
2013,
The
Works
of
Sidharta
Jeremy Bentham, 1843, Volume II.
(Penerjemah), 1999, Refleksi tentang
Edinburgh (William Tait). 1838-
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
1843. Direproduksi secara e-book oleh
Bruggink,
Denise
J.J.
H.
B.
Meyerson,
Arief
2006,
Essential
Liberty Fund Inc., Indianapolis, USA.
Jurisprudence, Routledge Cavendish,
KBBI Offline 1.5.
New South Wales.
Michel Rosenfeld, 1998, Just Interpretation:
Guyora
Binder
dan
Robert
Weisberg,
Law between Ethics and Politics,
2000, Literary Criticisms of Law,
University
of
California
Princenton University Press, Princeton.
Berkeley, Los Angeles, London.
Press,
ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 3, Desember 2015, Halaman 300-463
365
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Hukum Online, Komnas HAM Temukan Pelanggaran HAM Kasus Cebongan,
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal
http://www.hukumonline.com/berita/
Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
baca/lt51c18e3b23ff9/komnas-ham-
Yogyakarta.
temukan-pelanggaran-ham-kasus-
Tom Campbell, 2004, Prescriptive Legal Positivism:
Law,
Rights
Democracy,
Cavendish
and
Publishing
Novy Lumanauw,
Presiden Minta MUI
Dominan Tingkatkan Kerukunan Umat
Limited, New South Wales.
Beragama,
http://www.
General
beritasatu.com/nasional/105759-
Jurisprudence: Understanding Law
presiden-minta-mui-dominan-
from a Global Perspective, Cambridge
tingkatkan-kerukunan-umat-beragama.
University Press, Cambridge.
html.
William
Twining,
2009,
Unicef, Kewajiban dan Tanggung Jawab,
Jurnal
http://www.unicef.org/indonesia/
Cecile Fabre, 2000, The Dignity of Rights, Oxford Journal of Legal Studies, Volume 20, No.2, Oxford. Naskah Internet BBC
cebongan.
Indonesia, tidak
id/03_kewajiban_tanggung_jawab.pdf.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Kasus
melanggar
Cebongan,
HAM,
http://
www.bbc.co.uk/indonesia/berita_ indonesia/2013/04/130411_menhan_ kasus_cebongan.shtml.
Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Sementera 1950. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.