Krisis Politik Timur Tengah Serta Implikasinya Terhadap Perdagangan dan Fluktuasi Harga Minyak Dunia Andistya Oktaning Listra dan Ferry Prasetyia
Sebagai sumber utama energi dunia, fluktuasi harga minyak dunia akan sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi global. Hal ini juga sejalan dengan ketergantungan dunia atas minyak bumi sebagai sumber energi masih sangat besar. Kondisi krisis politik di Timur Tengah telah menimbulakan kekhawatiran bagi perekonomian Global. Hal tersebut mudah dipahami sebab hampir 65% dari seluruh cadangan minyak bumi berada di Timur Tengah (Rikandi, 2007). Dalam hal ini perilaku harga minyak dunia dipengaruhi baik dari faktor fundamental (permintaan, pasokan, stok mínyak, kapasítas produksí cadangan dunía, kemampuan kílang dunia) maupun non fundamental (geopolitik, kebíjakan pemerintah, cuaca, bencana alam, pemogokan, kerusakan instalasi rantai produksi, pelemahan nilai dollar, spekulasí) serta kebíjakan pasokan OPEC (Rahman, 2008). Menurut Hamilton (2011), ketidakstabilan politik kawasan Timur Tengah pasca Perang Dunia II berimplikasi pada perdagangan dan persentase kenaikan harga minyak dunia mulai dari Krisis Suez tahun 1956-57, embargo minyak perang Arab – Israel tahun 1973-1974, revolusi Iran 1978-1979, Perang Iran – Irak tahun 1980, Perang Teluk I tahun 1990-91, dan Perang Teluk II tahun 2003. Hamilton juga menunjukkan bahwa kondisi demand – supply dan strike pada perdagangan minyak tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dalam fluktuasi harga minyak dibandingkan kondisi politik Timur Tengah. Fluktuasi harga minyak akibat krisis politik Timur Tengah sebenarnya merefleksikan kebenaran Peak Oil Theory, yaitu kondisi produksi minyak bumi yang sudah atau akan segera mencapai titik puncak kemudian stagnan hingga akhirnya mengalami penurunan produksi dengan cepat secara permanen (Rikandi, 2007 dalam Hubber). Hal ini dibuktikan bahwa selama tahun 1968 s/d 1988 cadangan mínyak dunìa meningkat sekítar 110%, namun selanjutnya sampai 2008 hanya 30%, lebih lambat dari pertumbuhan permintaan energí dunia sehingga menunjukkan lapangan minyak yang potensial makin langka dan sulit ditemukan sehingga dunia dianggap sudah melewatì peak oil (Rahman, 2008).
Kebijakan moneter internasional sangat diperlukan untuk mengatasi masalah fluktuasi harga minyak dunia salah satunya melalui dynamic stochastic general equilibrium model (DSGE Model) yang memperhitungkan perdagangan minyak dan non minyak internasional dengan asumsi dua negara (domestik – asing) melalui penggabungan kekakuan nominal dan riil. Dari hasil estimasi DSGE Model ditemukan fakta bahwa evolusi inflasi dan output riil dalam pelaksanaan kebijakan moneter dipengaruhi oleh berbagai macam guncangan struktural yang mampu menggeser harga riil minyak dan perekonomian domestik (Bodenstein et.al, 2010). Di satu sisi, berkurangnya cadangan minyak dunia mempengaruhi tingkat demokrasi di negara tersebut. Jika suatu negara memiliki persediaan minyak yang melimpah maka tingkat demokrasi di negara tersebut akan lebih rendah dibandingkan negara yang memiliki persediaan minyak lebih sedikit hal ini dibuktikan melalui metode descriptive statistics with political entry dengan regresi time series yang menunjukkan fakta bahwa kelebihan persediaan minyak secara signifikan mengurangi perubahan demokrasi suatu negara selama 30 tahun, yang diukur dengan Indeks Polity. Adapun persediaan minyak rata – rata 100 milyar per barel sebenarnya mendorong tingkat demokrasi suatu negara 30 persen di bawah tren (Tsui, 2006 dalam Mulligan dan Tsui). Hal ini sangat menarik ditelaah untuk mengetahui cara mendeteksi pengaruh pasar minyak dunia yang diakibatkan krisis politik Timur Tengah dimana memasukkan unsur kebijakan moneter yang mampu mengatasi implikasi fluktuasi harga minyak yang diperkirakan sejalan dengan Peak Oil Theory, dan di satu sisi mengetahui pengaruh persediaan minyak terhadap tingkat demokrasi di suatu negara.
Krisis Politik Timur Tengah dan Fluktuasi Harga Minyak Dunia Penurunan persediaan minyak yang diakibatkan krisis politik Timur Tengah sebenarnya bersifat temporal, sehingga sisi kekhawatiran konsumen terhadap suplai minyak tidak memiliki bukti akan munculnya dampak yang luar biasa disebabkan keterbatasan cadangan dan gangguan distribusi minyak. Di satu sisi, krisis politik Timur yang mengurangi persediaan minyak justru menyokong perubahan demokrasi di Timur Tengah kelebihan persediaan minyak secara signifikan mengurangi perubahan demokrasi suatu negara yang
menyebab bkan
transisi
politikk
yang
mempenga aruhi
pembagian
allokasi
sumberda aya dan disstribusi pendapatan ya ang lebih adil a bagi rakkyat di kaw wasan Timur Ten ngah yang selama s ini dikuasai d dikttaktor. Tab bel 1. Kejad dian dan Pe ersentase Kenaikan Harga H Miny yak Dunia Cadangan C Minyak Novv 47-Des 47 Mei 52 Novv 56-Des 56 (Eropa) Nihil Nihil Juni 73 Dess 73-Mar 74
Me ei 79-Jul 79 Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil
Kenaika an Harga
Kontrol Harga
Faktor Kuncci
Nov 47--Jan 48 (37 7%) Juni 53 3 (10%)
Tidak (terancam m) Ya
Jan 57--Feb 57 (9% %) Nihil Feb 69 9 (7%) Nov 70 0 (8%) Apr 73--Sep 73 (16 6%) Nov 73--Feb 74 (51%) Mei 79--Jan 80 (57 7%) Nov 80--Feb 81 (45 5%) Agu 90-Okt 90 (93 3%) Des 99--Nov 00 (38 8%) Nov 02--Mar 03 (28 8%) Feb 07--Jun 08 (145 5%)
Ya (Eropa a)
Pe ermintaan ku uat, Penawaran Terb batas S Strike, Kontro ol Ditingkatkan n Krisis Suez
Tidak Tidak
Pu uncak Siklus Bisnis Nov 48 Jul 53 Agu 57
Strike e, Permintaan n kuat, Penawaran Terb batas Pe ermintaan ku uat, Pena awaran Terb batas, Embargo OPE EC
Apr 60 Des 69
Ya
Revolusi Iran n
Jan 80
Ya
Jul 81
Tidak
Peran ng Iran-Irak, K Kontrol Ditingkatkan n P Perang Telukk I
Tidak
Pe ermintaan ku uat
Mar 01
Tidak
Vene ezuela Menyyerah, P Perang Telukk II Pe ermintaan ku uat, Pen nawaran stag gnan
Nihil
Ya
Tidak
Nov 73
Jul 90
Des 07
(Sumber: Tssui, 2010)
Kejadian n dan Perssentase Ke enaikan H Harga Minyak 160%
Nov 47‐Jan 48
140%
145%
120%
Jan 57‐Feb 5 57
93%
100%
Feb‐69
80% 60%
51% 57%
3 37%
40% 20% 0%
Juni 53
10% 9%
% 16% 7% 8%
Nov‐70
45 5% 38%
2 28%
Apr 73‐Sep 73 Nov 73‐Feb 74 Mei 79‐Jan 80 Nov 80‐Feb 81 Agu 90‐Okt 90 Des 99‐Nov 00
Terjadinya
penurunan
persediaan
minyak
juga
menstimulasi
munculnya energi alternatif yang berdampak pada penurunan konsumsi minyak. Penurunan konsumsi minyak secara tidak langsung juga akan dapat menghemat devisa negara sehingga diharapkan dapat meningkatkan ekspor minyak mentah dan mengurangi impor minyak mentah maupun minyak solar. Sebagai contoh energi alternative yang sekarang sudah dilirik oleh berbagai negara termasuk Indonesia salah satunya melalui kebijakan BBG, hal ini dikarenakan gas alam lebih murah dan relatif lebih bersih daripada minyak. Selain itu, penggunaan BBM menjadi penyumbang besar terhadap polusi udara karena di dalam bahan bakar tersebut terkandung bahan yang membahayakan terhadap kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Kenaikan harga minyak yang selama ini diduga memberikan efek negatif pada IHSG dan indeks LQ 45 ternyata terbantahkan. Berdasarkan data tahun 2005 (Tabel 1) yaitu ketika harga minyak berkisar 40 - 60 dolar AS per barel yang terjadi dua kali yaitu 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005 yang diperhitungkan pada tanggal 3 Oktober 2005 akibat libur telah menyebabkan kenaikan IHSG dan indeks LQ 45 yang cukup signifikan.
Tabel 2. IHSG dan Indeks LQ 45, 5 hari sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM Kenaikan Harga 1 Maret 2005 Tanggal IHSG LQ 45 22-02-2005 1,099.913 239.077 23-02-2005 1,102.926 239,792 24-02-2005 1,102.019 239,703 25-02-2005 1,083.376 235,152 28-02-2005 1,073.828 233,071 Rata – rata 5 1,092.412 237,359 hari sebelum kenaikan 01-03-2005 1,093.281 237,449 Indeks Setelah Kenaikan 02-03-2005 1,082.747 234,150 03-03-2005 1,094.596 236,474 04-03-2005 1,103.008 238,604 07-03-2005 1,105.298 239,572 08-03-2005 1,114.207 241,533 Rata – rata 5 1,099.971 238,067 hari setelah kenaikan
Kenaikan Harga 3 Oktober 2005 Tanggal IHSG LQ 45 26-09-2005 1,034.585 225.479 27-09-2005 1,037.634 226.261 28-09-2005 1,027.888 223.725 29-09-2005 1,048.302 228.410 30-09-2005 1,079.275 235.810 Rata – rata 5 1,045.537 227.937 hari sebelum kenaikan 01-10-2005 Libur Indeks Setelah Kenaikan 03-10-2005 1,083.414 237.323 04-10-2005 1,101.166 242.084 05-10-2005 1,104.055 241.891 06-10-2005 1,096.376 238.138 07-10-2005 1,094.652 236.663 Rata-rata 5 1,095.933 239.220 hari setelah kenaikan
(Sumber: Modifikasi dari Pojok BEJ JSX, 2005; dalam Setyawan, 2006)
Dalam hal ini kenaikan IHSG dan indeks LQ 45 akibat kenaikan harga minyak mungkin dikarenakan pemerintah telah berhasil mengadakan real capital inflow dan membiarkan uang panas masuk ke dalam deposito perbankan, pasar modal, atau instrument lain meskipun sifat investasinya dalam jangka pendek, namun kenyataannya hal ini cukup mampu mendinamiskan pasar modal dan perbankan. Uang panas juga berimplikasi positif terhadap perbaikan neraca pembayaran yang akhirnya mampu memperkuat nilai tukar mata uang yang merupakan salah satu faktor yang menstimulasi peningkatan IHSG dan indeks LQ 45. Namun untuk menjaga keberadaan uang panas yang dikendalikan oleh spekulator maka negara dan pemerintah harus memiliki kebijakan yang tegas untuk mencegahnya, misalnya ketika terjadi kenaikan harga minyak maka negara menetapkan untuk mengunci semua investasi luar negeri selama waktu tertentu untuk menghindari dampak negative dari uang panas tersebut. Krisis politik Timur Tengah yang telah menciptakan kelangkaan produksi minyak sehingga harga minyak dunia meningkat sebenarnya sejalan dengan Peak Oil Theory dimana sebelum terjadinya krisis politik Timur Tengah produksi minyak bumi dunia berada pada titik puncak hingga ketika krisis politik Timur Tengah terjadi, produksi minyak menurun dengan cepat hingga berlangsung secara permanen. Secara tidak langsung hal ini merupakan pertanda terjadinya kelangkaan minyak di dunia yang dapat menghambat aktivitas ekonomi di suatu negara khususnya negara industri dimana tingkat pertumbuhan ekonominya akan menurun dalam jangka panjang kecuali bila negara tersebut mulai berpaling ke energi alternative. Dari segi implikasi kebijakan moneter terhadap fluktuasi harga minyak yang mengadopsi kebijakan moneter ketat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat/menurun. Disatu sisi, kenaikan harga minyak kurang mempengaruhi penurunan konsumsi minyak masyarakat sehingga pertumbuhan tingkat pendapatan domestik akan melambat/menurun di kemudian hari. Kenaikan harga minyak juga berimplikasi pada peningkatan tarif jasa angkutan penumpang dan barang. Hal ini dibuktikan bahwa kenaikan harga minyak meningkatkan tarif jasa angkutan penumpang yang menyedot sekitar 15% - 25 % DOC (direct operating cost) dan dari sektor industri kenaikan harga minyak mempengaruhi proses produksi dan distribusi hasil produksi akibat peningkatan biaya produksi yang
akhirnya menciptakan inflasi barang dan jasa di negara tersebut (Setyawan, 2006). Fakta berdasarkan hasil estimasi DSGE Model terkait guncangan struktural
seperti
krisis
politik
Timur
Tengah
secara
tidak
langsung
mempengaruhi evolusi inflasi dan output riil yang mampu menggeser harga riil minyak dan perekonomian domestik secara tidak langsung meningkatkan beban subsidi pemerintah apalagi sejak tahun 2005 Indonesia lebih mendominasi impor minyak dari luar negeri daripada ekspor minyak ke luar negeri maka subsidi untuk bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Selama ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi negara maka sejak tahun 2005 telah menjadi sumber pengeluaran utama bagi negara. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga ini pasti akan mempengaruhi beban fiskal (defisit anggaran) negara dikarenakan pemerintah Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi BBM namun dilematisnya keberadaan BBM bersubsidi yang sebenarnya ditujukan pada rakyat miskin dan menengah ternyata masih banyak yang tidak tercover secara adil karena masih banyaknya kalangan menengah atas yang menggunakan BBM bersubsdi bukan BBM non subsidi (Pertamax). Menteri Keuangan memperkirakan beban tambahan subsidi karena lonjakan harga sebesar Rp 7 trilyun, ketika konsumsi BBM bersubsidi mencapai 42 juta kilo liter, melebihi kuota BBM bersubsidi sebanyak 38,5 juta kilo liter (Santosa, 2011). Subsidi BBM juga dianggap turut mendorong peningkatan konsumsi BBM oleh karena itu, subsidi BBM juga dijadikan alasan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong konservasi energi dan pengembangan energi alternatif terbarukan. Akan tetapi dampak tersebut relatif tidak terlalu besar atau cenderung netral, hal ini disebabkan karena sejak tahun 2005 subsidi BBM untuk bensin dan solar sebagian besar sudah dihapuskan dan yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah. Dilematisnya jika subsidi BBM diturunkan maka dapat menimbulkan efek spiral akibat adanya kenaikan harga semua barang dan jasa (Nugroho, 2005). Penurunan subsidi BBM di Indonesia juga bisa menimbulkan disparitas harga BBM yang terlalu besar, antara harga jual di dalam negeri dengan harga jual di negara-negara tetangga, memunculkan kerawanan dalam bentuk penyelundupan BBM (dan minyak mentah) dari dalam negeri ke luar. Disparitas
harga yang besar antara berbagai jenis BBM, memunculkan sejumlah kasus “pengoplosan BBM” di berbagai tempat. Hal ini secara tidak langsung telah menciptakan kombinasi antara penurunan produksi dan peningkatan konsumsi yang menurunkan kemampuan ekspor minyak mentah Indonesia, sebaliknya impor minyak mentah maupun produk minyak justru meningkat cepat yang menyebabkan Indonesia tergelincir menjadi importir neto. Bila situasi Indonesia menjadi importir neto ini tidak bisa diperbaiki dalam waktu dekat, atau bahkan terjerumus ke dalam ketergantungan impor yang sangat besar, maka penghapusan subsidi BBM merupakan keputusan yang tidak bisa dihindarkan hal ini dikarenakan perdagangan minyak Indonesia tidak bisa lagi menghasilkan surplus untuk membiayai subsidi BBM.
Penutup Kawasan Timur Tengah merupakan penyedia minyak terbesar di dunia sehingga memiliki andil baik dari faktor fundamental dan non fundamental dalam perdagangan dan fluktuasi harga minyak dunia dimana. Salah satu faktor non fundamental yang memiliki pengaruh terkuat dalam perdagangan dan fluktuasi harga minyak dunia seperti kondisi politik Timur Tengah. Krisis politik Timur Tengah sebenarnya sudah tercermin pasca Perang Dunia II yang menyebabkan penurunan persediaan minyak dunia sehingga terjadi kenaikan harga minyak. Oleh karena itu diperlukan peran negara non Timur Tengah sehingga produksi minyak dunia tidak mengalami penurunan drastis akibat terjadinya kelangkaan adapun hal ini menciptakan tingkat inflasi ringan pada harga minyak. Krisis politik Timur Tengah yang secara tidak langsung mencerminkan kebenaran estimasi Peak Oil Theory sebenarnya dapat diantisipasi dengan mekanisme pasar minyak yang masih berjalan sesuai fungsinya. Dalam hal ini krisis politik Timur Tengah yang rata – rata bersifat lokal dan temporal dapat direspons melalui sistem harga yang jujur yaitu ketika masalah mereda maka harga minyak pun turun kembali. Penyesuaian harga dapat berjalan sesuai dengan mekanisme pasar dengan sedikit distorsi yang dilakukan oleh OPEC. Terkait Peak Oil Theory yang diakibatkan krisis politik Timur Tengah yang menciptakan persediaan minyak dunia menurun, di satu sisi justru menyokong perubahan demokrasi di Timur Tengah. Perubahan demokrasi Timur Tengah menyebabkan transisi politik yang diharapkan mencerminkan keadilan bagi
rakyat dimana selama ini kawasan Timur Tengah rentan terhadap kepemimpinan yang diktaktor. Persediaan minyak yang menurun pun menciptakan energi alternatif yang berdampak pada penurunan konsumsi minyak sehingga penghematan devisa negara dapat terwujud. Cadangan devisa yang tinggi merefleksikan peningkatan ekspor minyak mentah dan penurunan impor minyak. Beberapa langkah lain yang bisa dilakukan ketika terjadi penurunan persediaan minyak adalah mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak melalui pencarian harga minyak yang lebih murah, perluasan kilang dalam negeri, serta menurunkan biaya distribusi dan pemberian kemudahan untuk pengusahaan BBM. Menghemat konsumsi final BBM akan berarti pula mengurangi impor BBM dan minyak. Demikian pula, meningkatkan produksi minyak mentah di dalam negeri melalui penambahan lapangan baru akan memperbesar suplai yang dapat diberikan ke kilang dalam negeri, yang dapat berarti dapat mengurangi biaya impor minyak mentah. Bagi Indonesia kenaikan harga minyak akibat krisis politik Timur Tengah telah menambah beban subsidi pemerintah. Hal ini dikarenakan semakin banyak dana APBN yang digunakan untuk mengurangi harga minyak sebenarnya, sedangkan di satu sisi pemerintah harus dihadapkan permintaan konsumsi minyak yang terus meningkat dari tahun ke tahun oleh masyarakat. Namun apabila kenaikan harga minyak berlangsung secara permanen maka pemerintah tetap harus menurunkan subsidi BBM karena bisa menyebabkan defisit APBN meskipun tentu saja menimbulkan efek spiral yaitu kenaikan pada semua barang dan jasa lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi efek spiral perlu kebijakan kontrol inflasi yang turut melibatkan instansi dan juga penguatan instrumen operasi pasar.
Daftar Bacaan Hamilton, James D. “Historical Oil Shocks” . 12 April 2012. dss.ucsd.edu Martin Bodenstein, dkk. “Monetary Policy Responses to Oil Price Fluctuations”. 12 April 2012. cepr.org Nosami Rikandi. “Mendeteksi Pengaruh Pasar Minyak Dunia terhadap Krisis Harga”. 12 April 2012. ubm.ac.id Nugroho, Hanan. “Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen
energi nasional, dan pembangunan infrastruktur energy”. 6 Mei 2012. bappenas.go.id Rahman, Maizar. “Perilaku Harga Minyak Dunia Pengaruh Faktor Fundamental dan Non Fundamental”. 12 April 2012. isjd.pdii.lipi.go.id Santosa, Awan. “Dimensi Kerakyatan Dalam Subsidi BBM”. 6 Mei 2012. infopublik.kominfo.go.id Setyawan, Tri Adi. “Analisis Reaksi Pasar Modal Terhadap Kenaikan BBM (Studi Kasus: di Bursa Efek Jakarta untuk Saham-Saham LQ 45)”. 27 April 2012. eprints.undip.ac.id Tsui, Kevin K. “More Oil, Less Democracy: Theory and Evidence from Crude Oil Discoveries”. 12 April 2012. are.berkeley.edu