Krisis air bersih di Indonesia mulai terlihat dari tidak berfungsinya sumur sebagai sum-
ber air bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menurunnya debit air permukaan tanah, berkurangnya pasokan air tanah, serta berkurangnya daerah resapan air sehingga menimbulkan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Air sebagai salah satu komponen lingkungan memiliki peran penting dan untuk menjaga keseimbangannya, dapat dilakukan pemanfaatan yang tepat. Pemanfaatan air yang tepat adalah menggunakan air dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, seperti membuang air limbah pada tempatnya, memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain, tidak membiarkan air mengalir ketika sedang tidak digunakan, serta perilaku lainnya yang sifatnya menghemat penggunaan air. Perilaku hemat air perlu dikampanyekan lebih intensif lagi dan menyangkut semua lapisan masyarakat. Selain itu, juga diperlukan upaya penyelamatan air dari tindakan eksploitatif yang melewati batas-batas kewajaran dan pencemaran air, baik air tanah maupun air sungai, danau dan rawa, bahkan air laut. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (The Sustainable Development Goals), atau dikenal sebagai Global Goals (Tujuan Global) yang dibangun berdasarkan Millenium Development Goals (MDGs) yang memiliki delapan target anti kemiskinan dan dunia telah berkomitmen untuk mencapainya pada 2015. MDGs, yang diadopsi pada 2000, yang ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah termasuk pengurangan kemiskinan, kelaparan, penyakit, ketidaksetaraan gender, serta akses terhadap air dan sanitasi. Kemajuan besar telah dibuat pada MDGs, yang ditunjukkan oleh nilai agenda sebagai pemersatu didukung oleh tujuan dan target. Meskipun telah mencatat sejumlah keberhasilan ini, pengentasan kemiskinan
belum berakhir. SDGs memiliki agenda keberlanjutan yang lebih luas dan jauh dibandingkan dengan MDGs dengan tujuan untuk mengatasi akar penyebab kemiskinan dan kebutuhan terpenuhinya kebutuhan universal untuk pembangunan yang ditujukan bagi semua orang. SDGs memiliki 17 tujuan dan terkait dengan pemanfaatan air seperti tercantum dalam tujuan 6.4 yang menargetkan pada 2030, secara substansial meningkatkan efisiensi penggunaan air di semua sektor, memastikan pemanfaatan air secara berkelanjutan, pasokan air tawar untuk mengatasi kelangkaan air, dan secara substansial mengurangi jumlah orang yang menderita kelangkaan air (ICSU, ISSC (2015).
Air merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki peran penting. Keseimbangan air dapat dijaga melalui pemanfaatannya yang tepat, misalnya melalui pembangunan area tangkapan hujan atau ruang terbuka hijau dan lubang biopori. Pemanfaatan air yang tepat adalah menggunakan air dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, seperti membuang air limbah pada tempatnya, memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain, tidak membiarkan air mengalir ketika sedang tidak digunakan, serta perilaku lainnya yang sifatnya menghemat penggunaan air. Air memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut BPS, tahun 2007 sekitar 3 persen rumah tangga di Indonesia menjadikan sungai sebagai sumber air minum. Kondisi itu menandakan bahwa krisis air bersih telah mulai mengancam kehidupan. Krisis air bersih juga terlihat dari tidak berfungsinya sumur sebagai sumber air sebagian besar masyarakat Indonesia, menurunnya debit air permukaan tanah, berkurangnya pasokan air tanah, serta berkurangnya daerah resapan air sehingga menimbulkan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Untuk itu, kebiasaan pemanfaatan air menjadi indikator penting dalam melihat tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Persediaan air untuk rumah tangga tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dasar, seperti minum dan kebersihan badan, tetapi juga untuk kegiatan produktif, seperti irigasi tanaman dan konstruksi bangunan. Oleh sebab itu, upaya konservasi air pada tingkat rumah tangga menjadi sangat relevan dan penting (Sharma, et.al., 1996; Whittington & Swarna, 1994 dalam Nyong, A.O. & Karanoglau, P.S., 1999). Salah satu metode konservasi air dalam rumah tangga adalah perubahan perilaku pemakaian air yang sebelumnya tidak efisien menjadi perilaku pemakaian air yang efisien. Secara tradisional upaya mempromosikan konservasi lingkungan melalui perubahan perilaku didasarkan pada dua pola perilaku manusia berikut. 1) Model rasional-ekonomi dan 2) model sikap-perilaku (MacKenzie-Mohr, et.al. 1995; Rolls 2001). Model rasional-ekonomi (the rational-economic model) juga dikenal sebagai model pilihan rasional (the rational choice). Model ini menyatakan bahwa untuk memengaruhi keputusan konservasi, konsumen membutuhkan informasi yang berkaitan dengan keuntungan finansial dan kinerja dari pilihan alternatif agar dapat memutus-
kan pilihan. Model sikap-perilaku (the attitude-behavior model) didasarkan pada gagasan bahwa perilaku individu ditentukan oleh sikap mereka terhadap isu-isu khusus, seperti konservasi, dan perilaku mereka dapat diubah dengan memengaruhi sikap atau pandangan mereka. Jackson (2005) juga mengidentifikasi dua pendekatan untuk memahami perilaku manusia terhadap lingkungan. Pertama, pendekatan dengan model perilaku sebagai fungsi dari proses dan karakteristik yang berasal dari dalam (internal) diri individu, seperti sikap, nilai-nilai, kebiasaan, dan norma-norma pribadi. Kedua, pendekatan yang mempelajari perilaku sebagai fungsi dari proses dan karakteristik yang berasal dari luar (eksternal) individu, seperti fiskal, UU, peraturan lembaga, dan praktik-praktik sosial. Pengaruh elemen eksternal ini tidak sekuat pengaruh elemen internal dalam membentuk formasi perilaku individu. Namun kedua kategorisasi ini mampu memberi penjelasan tentang perilaku individu dalam konservasi. Model perilaku manusia terhadap lingkungan merupakan teori yang integratif yang memiliki sudut pandang multidimensional yang mengintegrasikan elemen internal dan eksternal. Secara aplikatif konservasi air dalam rumah tangga memerlukan komitmen masyarakat sebagai pemakai air untuk mengubah perilaku pemakaian air yang tidak efisien menjadi perilaku pemakaian air yang efisien. Dalam konteks ini, faktor internal yang mendorong perubahan perilaku individu untuk mau melakukan efisiensi pemakaian air dalam rumah tangga adalah pertimbangan rasional tentang keuntungan yang akan diperoleh. Efisiensi pemakaian air dalam rumah tangga secara ekonomi akan menghemat biaya, waktu, dan energi yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan terhadap air. Sementara itu, secara ekologis konversi air akan menjaga keberlanjutan air dan keberlanjutan lingkungan pada umumnya. Namun sering kali pengetahuan dan tidak sejalan dengan perilaku individu. Mengubah suatu kebiasaan/perilaku individu yang telah dilakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah mendarah daging membutuhkan waktu yang sangat lama, motivasi yang kuat, dan kedisiplinan tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan faktor pendorong yang sangat kuat, misalnya intervensi dari pemerintah. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pengelolaan air terutama dalam hal pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum melalui Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2005. Pasal 23 dalam peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa pengembangan sarana penyediaan air minum harus diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan (untuk menjamin keberlanjutan penyediaan air minum dan mencegah pencemaran akibat sampah dan air limbah). Pertama, penjabaran peraturan pemerintah ini adalah dalam bentuk kebijakan, yaitu Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air minum yang dilegalkan melalui Permen PU No. 20/PRT/M/2007. Permen ini menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam Penyusunan Kebijakan dan Strategi Daerah Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Kedua, pemerintah pusat mempunyai Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Ma-syarakat yang dikeluarkan atas persetujuan bersama antara Bappenas, Departemen PU, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, dan Departemen Keuangan pada 26 Juni 2009 (Praptiwi, 2011). Pemanfaatan Air Bersih oleh Masyarakat Berdasarkan hasil survei, diketahui secara nasional sumber air minum utama yang paling banyak digunakan adalah air ledeng atau PAM (32,2 persen). Hal ini menunjukkan fakta bahwa akses terhadap air bersih telah tergolong baik karena banyak rumah tangga yang telah menikmati air PAM. Di samping itu, persentase rumah tangga yang menggunakan air mineral sebagai sumber utama air minum juga cukup besar, yaitu mencapai 29,3 persen. Menurut wilayah, dapat diketahui sumber utama air minum yang digunakan masyarakat di Pulau Jawa dan Su-
lawesi adalah air mineral, masing-masing sebesar 42,2 persen dan 31,9 persen. Sementara itu, wilayah yang penduduknya sebagian menggunakan air ledeng adalah Sumatera (49,6 persen), Bali-Nusa Tenggara (35,9 persen), dan Maluku-Papua (36,4 persen). Kemudian wilayah yang menggunakan sumber utama air minum selain air mineral dan air ledeng adalah Kalimantan yang banyak menggunakan air hujan (45,8 persen). Pelayanan air minum dan sanitasi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan berbasis lembaga melalui dinas, badan, dan perusahaan daerah, serta swasta.
Tabel 1 Sumber Utama Air Minum menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Rumah tangga yang menggunakan air bersih yang bersumber dari air ledeng sebanyak 47,9 persen. Bagi rumah tangga yang menggunakan air ledeng, sebagian besar penggunaan airnya dalam satu tahun terakhir tetap, yaitu mencapai 76,6 persen. Sementara itu, sekitar 19,6 persen mengaku penggunaan air ledengnya meningkat. Hanya 3,8 persen rumah tangga yang penggunaan air ledengnya menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti penghematan pengeluaran, gangguan PAM, berkurangnya jumlah anggota rumah tangga, dan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan.
Perilaku manusia sering kali berperan terhadap terjadinya kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah dalam penanganan limbah rumah tangga yang justru menyebabkan banyaknya air bersih berubah menjadi air kotor. Perilaku tersebut, di antaranya, adalah membuang sampah cair dan sampah padat ke kumpulan air bersih, seperti ke sungai, danau, dan laut. Dengan demikian, sangat wajar ketika air di sungai, danau, dan laut tidak layak lagi digunakan manusia untuk menunjang hidupnya.
Tabel 2 Penggunaan Air Ledeng Setahun Terakhir menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Tabel 3 Tempat Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Hasil survei memperlihatkan sebagian besar rumah tangga (56 persen) membuang air limbah rumah tangga melalui selokan/got. Hal ini berarti perilaku rumah tangga dalam membuang limbah air rumah tangga telah tergolong baik. Namun permasalahan yang sering muncul adalah tidak berfungsinya selokan/got tersebut secara baik yang disebabkan oleh terjadinya penyumbatan saluran karena banyaknya sampah. Aliran yang tidak lancar tersebut menyebabkan terjadinya banjir atau genangan air karena selokan/got tersebut tidak mampu mengalirkan air. Kondisi ini umumnya terjadi di wilayah perkotaan karena selokan/got tersebut juga menjadi tempat pembuangan limbah selain air. Berdasarkan wilayah, hampir di semua lokasi survei masyarakat membuang air limbah rumah tangga dengan cara dialirkan melalui selokan/got, yaitu Sumatera (69
persen), Jawa (70,1 persen), Kalimantan (57,3 persen), Sulawesi (66,7 persen), dan Maluku-Papua (39,8 persen). Satu-satunya wilayah yang tempat pembuangan air limbah rumah tangga tidak dialirkan ke selokan/got adalah Bali-Nusa Tenggara, yaitu dengan cara dialirkan di sekitar rumah yang mencapai 54 persen. Membuang air limbah di sekitar rumah disebabkan oleh ketiadaan sarana sanitasi lingkungan yang baik yang ditandai dengan tidak adanya saluran berupa selokan, got, ataupun parit. Perilaku ini jelas akan memberikan dampak kurang baik kepada kebersihan lingkungan dan terjadinya penyebaran penyakit melalui kotoran yang terkumpul di tanah di sekitar rumah. Hal ini juga berpengaruh pada kualitas air bersih karena kuman penyakit yang ada dapaT secara tidak sengaja masuk ke saluran atau kumpulan air bersih yang akan digunakan warga.
Perilaku Hemat Air Jumlah air bersih semakin lama semakin terbatas serta butuh waktu dan sebuah proses yang rumit untuk membuat air yang tidak layak minum dapat diminum oleh manusia. Kebutuhan air terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang juga terus menambah. Perilaku manusia dalam pemanfaatan air sering kali kurang bijaksana karena ketika air melimpah, maka kebiasaan buruk tidak mau berhemat air muncul. Saat air bersih sulit didapat, masyarakat mulai sadar dengan kebiasaan buruknya. Untuk itu, perlu diperlukan kearifan dari masyarakat dalam penggunaan air agar selalu efisien agar dapat menghemat air. Salah bentuk perilaku dalam menghemat penggunaan air adalah dengan memanfaatkan air bekas cucian sayur/ buah/daging/wudu. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia belum terbiasa memanfaatkan air bekas cucian tersebut untuk kebutuhan lainnya. Rumah tangga cenderung membuang air bekas cucian dan tidak memanfaatkannya. Dari data yang diperoleh, diketahui setidaknya tujuh dari sepuluh rumah tangga terbiasa membuang air bekas cucian (75,7 persen). Sementara itu, hanya sekitar sembilan dari 100 rumah tangga yang sering atau selalu menggunakan air bekas cucian untuk kebutuhan lainnya, seperti menyiram halaman dan menyiram kandang ternak piaraan. Tabel 4 Perilaku Rumah Tangga dalam Pemanfaatan Air Bekas Cucian
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Demikian juga jika dilihat menurut wilayah pola yang terjadi, hal yang sama tampak, yaitu paling banyak masyarakat tidak pernah memanfaatkan air bekas cucian untuk kepentingan lain. Wilayah yang paling sering atau selalu memanfaatkan air bekas cucian adalah masyarakat Bali-Nusa Tenggara yang persentasenya mencapai 33,4 persen. Sementara itu, wilayah paling rendah adalah Kalimantan yang hanya mencapai 0,4 persen. Kondisi ini harus disikapi dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat melalui berbagai media untuk menekankan pentingnya melakukan penghematan penggunaan air. Salah satunya adalah dengan cara memanfaatkan air bekas cucian yang dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Penggunaan fasilitas mandi sangat memengaruhi banyaknya air yang digunakan. Kebiasaan mandi yang banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kurang tepat sehingga menyebabkan terjadinya pemborosan air bersih. Untuk menghemat air, sebaiknya memakai cara
mandi dengan pancuran air menyebar di atas kepala (shower) agar dapat menghemat air dalam jumlah besar. Jika memakai gayung, dikhawatirkan jumlah air yang terbuang lebih banyak daripada air yang mengenai tubuh. Gayung berisi air yang berat juga menjadi penyebab banyak orang yang terburu-buru mengguyur air sehingga banyak air bersih yang tidak tepat sasaran dan akhirnya masuk ke dalam got menjadi air kotor. Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia (96,5 persen) menggunakan gayung sebagai fasilitas utama yang digunakan untuk mandi. Penggunaan pancuran masih sangat rendah, yakni hanya mencapai 2,5 persen dan bathtub mencapai 0,1 persen. Kedua jenis fasilitas tersebut baru terbatas pada rumah tangga di wilayah perkotaan. Pancuran masih dinilai sebagai barang yang mewah dan harganya mahal sehingga masyarakat cenderung memilih gayung.
Tabel 5 Fasilitas yang Digunakan untuk Mandi oleh Rumah Tangga menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Perilaku mencuci dengan air juga sangat memengaruhi penggunaan air karena mencuci membutuhkan air dalam jumlah yang banyak. Penggunaan mesin cuci dewasa ini dirasa sangat efektif dalam mengontrol penggunaan air untuk mencuci, tetapi tidak semua mesin cuci ramah lingkungan. Dalam hal ini mesin cuci satu tabung dianggap lebih dapat mengontrol penggunaan air daripada mesin cuci dua tabung. Di Indonesia, rumah tangga yang mencuci menggunakan mesin cuci satu tabung hanya sekitar 8,7 persen, sedangkan masyarakat yang menggunakan mesin cuci dua tabung sebanyak 10,8 persen. Umumnya masyarakat terbiasa mencuci secara manual (tanpa mesin) yang besarnya mencapai 79,8 persen. Hal yang menarik adalah besarnya persentase masyarakat di Maluku-Papua yang mencuci menggunakan mesin cuci mencapai 31 persen, ini yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
Tabel 6 Cara Mencuci Pakaian yang Dilakukan oleh Rumah Tangga menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Aktivitas mencuci membutuhkan air dalam jumlah banyak, terutama saat membilas. Seperti diuraikan pada pembahasan sebelumnya, kebiasaan paling banyak masyarakat di Indonesia adalah mencuci tanpa mesin. Kebiasaan tersebut tentunya membawa konsekuensi penggunaan air yang banyak saat membilas. Perilaku membilas pakaian paling banyak adalah membilas antara 3-4 kali yang besarnya mencapai 54,4 persen. Fakta ini memperlihatkan bahwa perilaku masyarakat dalam menggunakan air untuk membilas air masih tergolong boros. Untuk melakukan penghematan penggunaan air saat membilas, dapat digunakan deterjen yang telah ada pelembut dan pewanginya sehingga cukup membilas pakaian sekali saja di mesin cuci. Tabel 7 Perilaku Rumah Tangga dalam Membilas Pakaian menurut Wilayah
Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012
Agenda Kebijakan untuk Mendorong Perilaku Hemat Air Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan air untuk keperluan minum, mandi, dan mencuci masih tergolong boros. Selain itu, perilaku membuang air limbah rumah tangga masih banyak yang hanya dibuang di sekitar rumah maupun langsung dibuang ke sungai. Perilaku lain yang juga belum memanfaatkan air secara baik adalah membilas cucian lebih dari tiga kali dan belum memanfaatkan air bekas cucian. Beberapa agenda kebijakan yang perlu dilakukan untuk mendorong masyarakat agar lebih berperilaku hemat air, antara lain, adalah sebagai berikut.
1. melindungi sumber-sumber air dari pencemaran dan kerusakan daerah tangkapan airnya dengan menerbitkan aturan untuk tidak memberikan izin pembangunan di sekitar wilayah tersebut 2. membangun kolam penampungan air hujan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air, terutama di musim kemarau 3. perlu adanya langkah-langkah penghematan air dengan cara mengampanyekan perilaku hemat air untuk mengurangi pengeluaran rumah tangga 4. perlu upaya penyelamatan air yang masuk dalam aspek publik untuk dapat terus dimanfaatkan oleh semua pihak. DAFTAR PUSTAKA ICSU, ISSC (2015): Review of the Sustainable Development Goals: The Science Perspective. Paris: International Council for Science (ICSU).
Jackson, T. 2005. “Motivating Sustainable Consumption: A Review of Evidence on Consumer Behaviour and Behaviour Change”. Laporan dipresentasikan pada the Sustainable Development Research Network. Centre of Environmental Strategy, University of Surrey. Guilford, Surrey. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2012. Laporan Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan. Jakarta. Levi, Purwanti Asih Anna. 2012. “Efisiensi Pemakaian Air Melalui Perubahan Perilaku Individu”. http://green. kompasiana.com/iklim/2012/09/21/efisiensi-pemakaian-air-melalui-perubahan-perilaku-individu-495248.html. Diunduh pada 30 Oktober 2013 pukul 20:14 WIB. Praptiwi, Hani Eko. 2011. “Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dalam Mengubah Perilaku Masyarakat dalam Rangka Penurunan Diare di Kabupaten Temanggung (di Desa Purwodadi, Kecamatan Tembarak dan Desa Tepusen Kecamatan Kaloran)”. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.
Policy Brief ini ditulis oleh Eddy Kiswanto dan Agus Joko Pitoyo berdasarkan hasil penelitian “Indeks Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan di Indonesia” yang dibiayai oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jl. Tevesia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Tlp. (0274) 547867, 556564, 6491154 Faks. (0274) 556563 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.cpps.ugm.ac.id