KPK vs Budi Gunawan http://www.gatra.com/fokus-berita/131582-denny-indrayana-kpk-vs-budi-gunawan.html
29 January 2015 09:49 Denny Indrayana (ANTARA/Rosa Panggabean) Jakarta, GATRAnews - Hukum itu memperjuangkan keadilan, karena itu dia berpihak. Jika memilih tidak berpihak, padahal di depan mata kita sedang ada pertarungan telanjang antara kebaikan dan kemungkaran, itu adalah pilihan cari selamat, pilihan pengecut. Juga sikap yang tidak bertanggung jawab dan sikap yang haram dimiliki oleh siapa pun. Apalagi seorang pemimpin. Jika kemudian kemungkaran itu dalam prosesnya seakan-akan menang, kita ikut berkontribusi atas kebaikan yang seolah-olah kalah. Meskipun, yakinlah, pada ujungnya kebenaran insya Allah akan menang. Itu sebabnya, dalam kisruh KPK vs Budi Gunawan ini kita harus memilih menyelamatkan KPK (dan tentu juga institusi Polri). Ini bukan persoalan KPK Vs Polri; bukan soal Bambang Widjojanto (BW) vs Polri; ini jelas-jelas adalah soal KPK dengan tersangka korupsi Budi Gunawan, karena rekening tambunnya. Karena itu, kisruh yang sekarang terjadi mesti dibaca sebagai bentuk perlawanan oleh tersangka Budi Gunawan akibat korupsi yang menjeratnya. Dalam kasus semacam ini sikap hukum kita harus jelas, harus tegas berpihak. Kita tidak boleh terjebak oleh logika hukum yang sesat, misalnya mengatakan, biarkan proses hukum yang menentukan kasus BW dan Budi Gunawan. Pernyataan itu seolah-olah benar, padahal menyesatkan. Mengapa demikian? Berikut penjelasannya: Masalah hukum yang dipaksakan kepada Wakil Ketua KPK BW berbeda dengan kasus korupsi yang disangkakan pada pribadi Budi Gunawan. Masalah hukum BW adalah kriminalisasi, sedangkan kasus Budi Gunawan adalah sangkaan korupsi dengan rekening tambunnya. Karena itu, memberikan perlakuan yang sama untuk proses hukum keduanya adalah pilihan sikap yang salah kaprah. Jamak terjadi, jika ada oknum petinggi Polri yang terendus masalah hukum oleh KPK,
1
pola baku yang selalu berulang adalah serangan balik berupa kriminalisasi pimpinannya atau pegawainya. Ketika perwira bintang tiga Komjen Susno Duadji, saat itu Kabareskrim Polri, terendus kasus korupsi oleh KPK, dua pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dikriminalisasi. Ketika perwira bintang dua Irjen Djoko Susilo terjerat kasus korupsi simulator SIM, penyidik KPK Novel Baswedan juga ditersangkakan. Jika sekarang perwira bintang tiga Komjen Budi Gunawan menjadi tersangka kasus korupsi, tidaklah aneh kalau kemudian KPK mendapatkan serangan balik lagi melalui kriminalisasi kepada Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (dan pelaporan polisi pimpinan KPK yang lain). Inilah pengulangan sejarah: corruptors fight back. Begitu seharusnya cara kita memandang persoalan ini, KPK diserang balik para koruptor. Kesimpulannya: pertama, masalah yang dipaksakan kepada Wakil Ketua KPK BW harus dibaca terkait dengan upaya membela diri tersangka korupsi Budi Gunawan alias tidak boleh dipisahkan. Kedua, kasus korupsi yang dilakukan Budi Gunawan adalah persoalan pribadi, karena itu Polri sebagai institusi harus kita pisahkan dan selamatkan; sebaliknya, kasus yang dijeratkan kepada BW justru adalah serangan kepada institusi KPK, sebagai simbol utama gerakan antikorupsi di Tanah Air. Ketiga, kasus tersangka Budi Gunawan adalah murni korupsi, sedangkan persoalan yang dipaksakan kepada BW jelas kriminalisasi. Keempat, karena KPK dikriminalisasi melalui BW, Presiden Jokowi harus mencermati dengan sangat hati-hati status "tersangka" BW. Untuk itu, kewenangan menerbitkan Keppres pemberhentian sementara kepada BW, sebaiknya setelah melalui proses yang cermat dan kajian hukum yang mendalam. Meskipun kita sama-sama paham bagaimana dengan jiwa besar BW telah mengajukan pengunduran diri sementara, yang tentu sangat kontras dengan sikap tersangka Budi Gunawan yang menolak mundur meskipun telah didesak untuk
2
menyelamatkan institusi Polri. Berangkat dari keberpihakan pada Indonesia yang harus bebas dari korupsi, kita harus selamatkan KPK dari serangan balik dan Polri dari penyalahgunaan oleh tersangka korupsi Budi Gunawan. Presiden Jokowi, yang merupakan pimpinan Polri, tentu mempunyai ruang untuk mengambil kebijakan yang solutif, berikut beberapa alternatif yang bisa dipikirkan. Tidak cukup hanya melepaskan. Seharusnya kasus yang dipaksakan pada BW segera di-SP3-kan. Wakapolri yang tidak mengetahui langkah penyidikan untuk pejabat negara selevel pimpinan KPK tentunya dapat bersikap tegas, melihat tindakan liar itu sebagai kesalahan. Harap dicatat, tim yang bergerak menangkap BW disinyalir mempunyai benturan kepentingan karena diisi polisi yang mungkin terkait dengan kasus korupsi Budi Gunawan. Kalau kelompok Budi Gunawan, yang tengah memanfaatkan institusi Polri cengkeramannya ternyata lebih kuat sehingga SP3 tidak dapat diterbitkan, Presiden Jokowi sebaiknya membentuk tim independen pencari fakta untuk mencari kebenaran terhadap persoalan yang dijeratkan pada BW. Tim independen itu harus diberikan mandat penuh. Tim tujuh yang telah bertemu Presiden Jokowi sebaiknya segera diterbitkan keppres, sehingga mempunyai dasar hukum bertugas yang jelas. Selama kerja dari tim independen, keppres pemberhentian sementara BW jangan dulu diterbitkan. Di era Presiden SBY, dalam waktu dua minggu, tim independen pencari fakta kriminalisasi kasus dua pimpinan KPK Chandra-Bibit selesai melaksanakan tugasnya. Selanjutnya, pelemahan sistematis kepada KPK harus terus dilawan, dan segera dihentikan. Menyikapi persoalan itu, harus ada solusi untuk menghadapi situasi krisis di KPK. Dulu, Presiden SBY menerbitkan perpu dan mengangkat pimpinan KPK sementara. Saat itu yang terpilih adalah orang-orang yang kapabel dan beritegritas. Saat ini, jikalau perpu dikeluarkan, ada kekhawatiran yang menjadi pimpinan KPK sementara justru adalah orang-orang yang disisipkan untuk makin melemahkan KPK.
3
Selain itu, Perpu Pimpinan KPK sementara, demikian juga, telah ditolak oleh DPR sehingga tidak layak diajukan kembali. Karena itu, kalaupun perpu akan diterbitkan, isinya harus dibatasi agar menjadi solusi, yaitu: mengatur pemberian perlindungan sementara dari persoalan hukum kepada para pimpinan KPK, hanya selama mereka menjabat dan menjalankan tugasnya. Jika perpu demikian segera diterbitkan dan berlaku, dalam jangka pendek, persoalan pidana yang dipaksakan kepada BW (dan pimpinan KPK lainnya) dapat segera dihentikan, dan dalam jangka panjang, tidak ada lagi kriminalisasi kepada pimpinan KPK. Soal perlunya imunitas bagi pimpinan antikorupsi ini sudah menjadi kesepakatan internasional. Dengan mengadopsi Paris Principles, Samuel De Jaegere (2012) jelas mengatakan lembaga independen semacam KPK harus dikokohkan dengan, antara lain, kewenangan yang kuat dan jelas; pemberhentian komisioner yang tidak mudah; dan imunitas dari persoalan hukum bagi pimpinan komisi. Bahkan, tentang imunitas untuk lembaga antikorupsi ini juga telah dikuatkan dengan Jakarta Principles yang disepakati di Indonesia pada akhir November 2012. Soal imunitas hukum terbatas demikian sebenarnya sudah diatur untuk anggota DPR (Undang-Undang MD3), komisioner Ombudsman (Pasal 10 UU Ombudsman), bahkan pejuang lingkungan hidup (Pasal 66 UU Lingkungan Hidup). Secara internasional aturan antikorupsi itu telah diadopsi negara Afrika lainnya. Karena tentu sangat layak diberikan, hukum.
perlindungan terbatas bagi pimpinan lembaga oleh Malaysia, Australia, Nigeria, dan beberapa itu, perlindungan sementara untuk pimpinan KPK agar tidak terus-menerus diganggu kriminalisasi
Langkah lain yang juga perlu segera dilakukan adalah membatalkan pencalonan tersangka korupsi Budi Gunawan selaku calon Kapolri. Sebenarnya, Presiden Jokowi dapat langsung melakukannya dengan argumentasi
4
moral konstitutional yang jelas. Namun, jika Presiden khawatir langkahnya berbenturan dengan perlawanan politik DPR, saat ini kami sedang mengajukan uji materi Pasal 11 UU Polri terkait dengan frasa "persetujuan DPR" dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Jika Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat persetujuan DPR tersebut, Jokowi dapat langsung mengangkat Kapolri baru, tentu dengan memastikan rekam jejak terbaik, termasuk bersih dari korupsi. Akhirnya, mari kita semua bersikap tegas, tidak ambivalen. Dalam kasus KPK vs Budi Gunawan, hentikan kriminalisasi pimpinan KPK, segera penjarakan tersangka korupsi rekening gendut.
Denny Indrayana Guru besar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [Kolom, Majalah GATRA, Beredar Kamis, 29 Januari 2015]
5