KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
KRISMANTI TRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktorfaktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Krismanti Tri Wahyuni NRP. H151090204
ABSTRACT KRISMANTI TRI WAHYUNI. Convergence and the Factors that Influence Regional Inequality of District Level in Java. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and WIWIEK RINDAYATI. Java is the centre of governance and also economic activity, so then its growth is faster than other islands in Indonesia. Implementation of fiscal decentralization policy since 2001 placing the district government as the important position on regional growth. The purpose of this study is analyse the income convergency using Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditure. Those two proxy variable was used to compare convergency. The result finds that no income convergency when using GDRP, meanwhile there is convergency process when using household expenditure with FD-GMM estimation technique. The biggest speed of convergence for provinces in Java happened in West Java, that was influenced on manufacture sector. Applying static panels, we obtain that Java income inequality is affected by manufacture share, labour education rate, number of public health centre, electricity energy and water infrastructure. On the other hand, increasing household expenditure is only affected by a rise of labour education. Keywords: Convergence, Inequality, GMM Panel Data
RINGKASAN KRISMANTI TRI WAHYUNI. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan WIWIEK RINDAYATI. Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia dengan perkembangan yang pesat sehingga menyebabkan bias pembangunan Jawa – luar Jawa semakin besar. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menempatkan kebijakan fiskal pada level kabupaten/kota pada posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah. Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB yang menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Penelitian ini pada intinya bertujuan (1) menggambarkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa; (2) menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga; dan (3) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta, dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data sehingga analisis penelitian diagregasi menjadi 105 wilayah. Periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 – 2009. Hasil penghitungan koefisien variasi Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat tinggi, berada pada kisaran 0,94 sampai dengan 0,98 selama periode penelitian. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Provinsi Banten dan yang terendah terjadi di D.I. Yogyakarta. Koefisien variasi PDRB per kapita Jawa Timur tidak berada pada kisaran nilai antara 0 dan 1. Sementara itu nilai koefisien variasi Jawa Tengah dan Jawa Barat semakin melebar selisihnya karena ketimpangan Jawa Barat semakin menurun, sedangkan Jawa Tengah semakin meningkat. Besarnya ketimpangan wilayah-wilayah di Pulau Jawa didominasi adanya ketimpangan antar kota dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten. Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi (pendapatan kabupaten/kota di Pulau Jawa divergen) dengan metode data panel dinamis FDGMM. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa disebabkan adanya pusat-pusat
industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian dengan locus kabupaten/kota menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah. Estimasi konvergensi kabupaten/kota di provinsi-provinsi Pulau Jawa dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga semuanya konvergen, dengan tingkat konvergensi tertinggi di Jawa Barat dan terendah di Jawa Timur. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat. Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah dilakukan dengan model data panel statis. Model yang terpilih pada pendekatan PDRB adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur, peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai upaya memacu produktivitas ekonomi dan penambahan jumlah sarana kesehatan yang dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah serta merata ke seluruh wilayah. Namun, ketimpangan justru semakin meningkat dengan peningkatan penggunaan energi listrik dan air bersih. Pengguna energi listrik didominasi oleh industri dan bisnis yang berada di kota-kota besar. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang dipadati oleh pemukiman. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Artinya, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi pada level rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut, disarankan adanya peningkatan kegiatan ekonomi di bidang manufaktur khususnya industri yang lebih merata ke seluruh wilayah, agar meningkatkan pemerataan pendapatan dan kecepatan konvergensi serta mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya di sekitarnya. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, misalnya dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah. Investasi infrastruktur diarahkan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dan merata di seluruh wilayah, khususnya sarana kesehatan. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah tangga. Oleh karena itu peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai upaya memutuskan lingkaran setan kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan konvergensi pendapatan wilayah Kata Kunci: Konvergensi, Ketimpangan, Data Panel GMM
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
KRISMANTI TRI WAHYUNI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
: Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Nama
: Krismanti Tri Wahyuni
NRP
: H151090204
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 21 Mei 2011
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Bambang Heru Santosa, M.Ec
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktorfaktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Heru Santosa, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekanrekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Demikian pula kepada Kepala Pusdiklat beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada temanteman BPS dan mahasiswa pascasarjana khususnya PS Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang baik kepada berbagai pihak.
Bogor, Mei 2011
Krismanti Tri Wahyuni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 14 Oktober 1981 dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu Suyanti Magdalena. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN I Pengasih kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Pengasih pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1997. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Wates pada tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Selanjutnya penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah selama kurang lebih satu tahun dan pada awal tahun 2006 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS dan IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xix
I.
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4. Ruang Lingkup Penelitian..............................................................
1 1 8 13 13
II.
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ......................... 2.2. Konvergensi ................................................................................... 2.3. Ketimpangan Wilayah ................................................................... 2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah ............. 2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ......................... 2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi ........................................ 2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja ................................................... 2.4.4. Infrastruktur ........................................................................ 2.5. Tinjauan Empiris ............................................................................ 2.6. Kerangka Pemikiran....................................................................... 2.7. Hipotesis ........................................................................................
15 15 21 22 24 26 31 31 32 35 38 41
III. METODE PENELITIAN...................................................................... 3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 3.2. Metode Analisis ............................................................................. 3.2.1. Koefisien Variasi Williamson ............................................. 3.2.2. Data Penel Statis ................................................................. 3.2.3. Data Panel Dinamis............................................................. 3.3. Spesifikasi Model........................................................................... 3.3.1. Konvergensi Wilayah.......................................................... 3.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah .. 3.4. Prosedur Analisis ...........................................................................
43 43 45 45 45 51 57 57 60 61
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................... 4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson 4.2. Konvergensi Wilayah..................................................................... 4.2.1. Konvergensi Pulau Jawa ..................................................... 4.2.2. Konvergensi Jawa Barat ..................................................... 4.2.3. Konvergensi Jawa Tengah .................................................. 4.2.4. Konvergensi Jawa Timur ....................................................
63 63 71 71 74 77 79
4.2.5. Perbandingan Konvergensi di Pulau Jawa .......................... 4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah ............. 4.4. Implikasi Kebijakan........................................................................
82 85 88
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
93
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
95
LAMPIRAN ..................................................................................................
99
V.
xiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002 – 2009 .........
5
2 Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ................................................................
64
3 Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ....................
67
4 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............
72
5 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .................................................................................
73
6 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .....................
75
7 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .................................................................................
76
8 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ..................
78
9 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...................................................................
79
10 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ....................
80
11 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ..................................................................................
82
12 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ..............................................................................
83
13 Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM .................................
84
xv
14 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ..................................
86
15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ......
87
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1 PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001 – 2009 (Juta Rupiah)...........................................
2
2 Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun 2001 – 2007 (Persen).............................................................
3
3 Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun 2001 – 2009 (Ribu Jiwa)...................................................................
4
4 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009..................................................................
7
5 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2001 – 2009..........................................................
7
6 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun 2007 – 2009....................................
9
7 Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun 2001 – 2009...................................................................................................
11
8 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Milyar Rupiah)............................................................
12
9 Investasi Aktual dan Break-even.......................................................
17
10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence).....
22
11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan....
24
12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi..................
32
13 Kerangka Pemikiran Penelitian.........................................................
40
14 Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Persen) ……..………………………………..
64
15 Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ...............................................................................
65
16 Tren Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ............................................................
66
xvii
17 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 .............................................................
68
18 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 .............................................................
69
19 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 .............................................................
69
20 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 ................................................
70
21 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 .............................................................
71
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .....................................................
101
2 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .....................
102
3 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .....................................................
103
4 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ....................
104
5 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ........................................
105
6 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ..................
106
7 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .......................................................
107
8 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ....................
108
9 Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ....................
109
10 Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ................................................................................
110
xix
Halaman ini sengaja dikosongkan.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia. Di antara 17.504 pulau lainnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, luas wilayah Pulau Jawa hanya mencapai 6,95 persen dari luas nasional. Namun pendapatan Pulau Jawa mendominasi PDB atas dasar harga berlaku nasional sebesar 62,04 persen (dihitung dari PDB migas) atau 65,44 persen (dihitung dari PDB non migas) pada tahun 2009. Demikian pula jika dilihat dari trend PDRB Pulau Jawa menurut harga konstan, kontribusinya terhadap PDB nasional sangat tinggi, selalu di atas 50 persen sejak tahun 2001 (Gambar 1). Ketergantungan nasional terhadap aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyebabkan besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini menjadi lingkaran setan terjadinya penumpukan sumber daya produksi terutama modal dan tenaga kerja. Daya tarik pendapatan yang besar dan segala fasilitas yang mendukungnya membuat Pulau Jawa khususnya ibukota DKI Jakarta menjadi tujuan migrasi terbesar hingga kepadatan penduduknya tertinggi di dunia, yaitu mencapai 12,5 ribu penduduk per kilometer persegi. Bukan sesuatu yang aneh apabila tenaga kerja di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan kemajuan perekonomian yang relatif lebih cepat meningkat dibandingkan dengan wilayahwilayah lainnya. Tak dapat dipungkiri, Pulau Jawa mempunyai pengaruh yang besar dalam memberikan pengaruh pertumbuhan ekonomi yang penting untuk daerah sekitarnya, baik teknologi dan informasi, ilmu pengetahuan, kemampuan dan skill dalam hal entrepreneurship serta kemudahan akses terhadap produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Kuncoro (2002) dalam studinya menemukan bahwa pusat konsentrasi industri Indonesia berlokasi di pulau Jawa dengan konsentrasi yang membentuk pola dua kutub (bipolar pattern). Pola konsentrasi tersebut berada di ujung barat Pulau Jawa yang meliputi Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung. Sedangkan di ujung timur Pulau Jawa berpusat di kawasan Surabaya.
2
2.500.000.000 2.000.000.000 1.500.000.000 1.000.000.000 500.000.000 0 2001
2002
2003
2004
PDB Indonesia
2005
2006
2007
2008
2009
PDRB Pulau Jawa
Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah) Gambar 1
PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001 – 2009 (Juta Rupiah)
Pesatnya perkembangan perekonomian di Pulau Jawa disebabkan besarnya investasi baik PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Dengan kontribusi investasi Pulau Jawa yang selalu berada di atas 60 persen sejak tahun 2001 (Gambar 2), pertambahan jumlah barang modal di wilayah ini akan menghasilkan lebih banyak barang dan jasa pada tahun-tahun berikutnya sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat jika faktor-faktor lain tetap. Didukung oleh over head social yang relatif memadai, investasi di Pulau Jawa mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Fenomena ini menyebabkan bias pembangunan Jawa – luar Jawa semakin besar. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonominya, tetapi juga tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan bukanlah merupakan hal yang bertentangan. Oleh karena itu, muncul paradigma baru pembangunan ekonomi yang menuntut adanya keserasian dan keseimbangan
3
antara pertumbuhan dan pemerataan. Strategi ini merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu yang dikenal dengan trickle down effect, yang mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian pemerataan.
2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
Kontribusi Investasi di Pulau Jawa
Sumber: BKPM, 2001 – 2007 (diolah) Gambar 2
Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun 2001 – 2007 (Persen)
Evaluasi keberhasilan pembangunan di Pulau Jawa harus pula dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin. Data kemiskinan yang diolah dari Susenas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia secara absolut telah mengalami penurunan sebesar 6,70 persen, yaitu 34,87 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 32,53 juta jiwa pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Penurunan penduduk miskin di Pulau Jawa lebih sedikit dibandingkan angka nasional, yaitu mencapai 4,69 persen (dari 19,34 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 18,43 juta jiwa pada tahun 2009) seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Mayoritas penduduk miskin yang berada di Pulau Jawa menyebabkan pola jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa menentukan jumlah penduduk miskin nasional.
4
45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 2001
2002
2003
2004
Pulau Jawa
2005
2006
2007
2008
2009
Indonesia
Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah) Gambar 3
Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun 2001 – 2009 (Ribu Jiwa)
Jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, yaitu peningkatan pada tahun 2002 dan 2006. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2001 (penduduk miskin pada tahun 2000 adalah sebesar 22,47 juta jiwa di Pulau Jawa dan 38,74 juta jiwa di seluruh Indonesia), disebabkan adanya isu perubahan kebijakan pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Sistem pemerintahan ini memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk memutuskan setiap urusan pemerintahan termasuk prioritas pembangunan kepada daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Sayangnya, program-program yang dilaksanakan daerah belum didukung oleh sistem administrasi dan keuangan yang memadai sehingga pada tahun berikutnya justru terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin, yang juga dipicu oleh tingginya tingkat inflasi pada tahun tersebut sebesar 10,03 persen dan tahun sebelumnya yang mencapai 12,55 persen. Demikian juga peningkatan persentase penduduk miskin selama tahun 2005 – 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia.
5
Peningkatan inflasi akan menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami peningkatan. Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang berbeda. Distribusi pendapatan yang merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio gini Indonesia tidak menurun sampai dengan tahun 2009, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Daerah urban mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah rural. Dengan nilai gini rasio di atas 0,3, dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan terus terjadi di Indonesia. Wilayah urban yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum bersinergi dengan kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegrasi dan ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan sosial tidak bisa tercapai. Tabel 1 Tahun
Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002 – 2009
Urban 2002 0,33 2003 0,32 2004 0,31 2005 0,32 2006 0,32 2007 0,36 2008 0,37 2009 0,37 Sumber: BPS, 2002 – 2009
Indeks Gini Rural 0,24 0,25 0,24 0,25 0,27 0,26 0,29 0,29
Total 0,33 0,32 0,32 0,33 0,33 0,36 0,37 0,37
6
Ketimpangan antar daerah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) dalam Tambunan (2001) menemukan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, ketimpangan pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa menjadi masalah yang kompleks dengan adanya perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah terjadi. Jumlah penduduk yang terpusat di Pulau Jawa (57,99 persen) menjadi faktor produksi tenaga kerja yang penting sekaligus menjadi sasaran pemasaran produksi barang dan jasa yang selanjutnya mendorong economies of scale. Di sisi lain, kualitas faktor produksi tenaga kerja di wilayah ini memicu besarnya bias keberhasilan pembangunan. Aglomerasi yang terjadi di Pulau Jawa karena adanya perusahaan-perusahaan yang dominan juga dapat mengubah pola perekonomian. Pola perubahan struktur perekonomian di Pulau Jawa sama seperti struktur perekonomian nasional secara keseluruhan, namun mempunyai kontribusi sektoral yang berbeda. Kontribusi sektor jasa dalam perekonomian terjadi di kedua wilayah, tetapi dominasinya di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan tingkat nasional. Sebaliknya untuk sektor pertanian, kontribusinya dalam perekonomian secara nasional lebih besar dibandingkan kontribusi sektor pertanian di Pulau Jawa (Gambar 4 dan 5). Sedangkan kontribusi sektor manufaktur relatif masih konstan bahkan mengalami penurunan pada tahun 2009. Struktur perekonomian dapat digunakan untuk melihat apakah suatu daerah telah mengalami transformasi pembangunan ke arah industrialisasi (perubahan tingkat pembangunan ekonomi) atau belum.
7
60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 2001
2002
2003
2004
Pertanian
2005
2006
Manufaktur
2007
2008
2009
Jasa
Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah) Gambar 4
Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009
50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 2001
2002
2003
2004
Pertanian
2005
2006
Manufaktur
2007
2008
2009
Jasa
Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah) Gambar 5
Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2001 – 2009
Keberhasilan pembangunan tak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah dalam menentukan arah pembangunan di bidang ekonomi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Salah satu bentuk peran pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui sisi penerimaan
8
(perpajakan), kebijakan bukan pajak, kebijakan anggaran belanja negara dan kebijakan pembiayaan anggaran. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai sasaran ekonomi makro yang lebih luas, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai keseimbangan perekonomian. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mulai diterapkan pada tahun 2001 menyebabkan perubahan intensitas peranan pemerintah dalam pembangunan dan perekonomian. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengalokasikan anggaran secara lebih efisien pada berbagai potensi dan kebutuhan publik lokal.
1.2. Perumusan Masalah Sejak
desentralisasi
fiskal
diimplementasikan,
pemerintah
daerah
kabupaten/kota di Pulau Jawa diharapkan bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai sebagai penyangga dalam pembiayaan barang publik yang sangat dibutuhkan dalam perekonomian. Kewenangan keuangan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat telah “didaerahkan” kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Sektor-sektor ekonomi yang penting di daerah diharapkan akan lebih berkembang sesuai dengan potensinya. Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja pemerataan pendapatan sebagai pencerminan peningkatan kegiatan ekonomi seluruh lapisan masyarakat. Peranan sektor-sektor ekonomi yang penting di suatu daerah menjadi fokus penting bagi pemerintah daerah karena pengembangannya didasarkan pada keanekaragaman sumber daya yang tersedia. Kajian pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah implementai kebijakan fiskal yaitu level kabupaten/kota perlu menjadi prioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat yang tepat sasaran.
Pengembangan
kabupaten/kota
berfungsi
sebagai
penentu
arah
pengembangan fisik ruang dan pengembangan pelayanan publik, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan dalam mendukung peningkatan kualitas masyarakat. Kedudukan kabupaten/kota juga menempati posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota
9
sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah. Peranan pemerintah dalam meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatnya ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU kurang efektif.
90.000.000.000 80.000.000.000 70.000.000.000 60.000.000.000 50.000.000.000 40.000.000.000 30.000.000.000 20.000.000.000 10.000.000.000 0 DAU
DAK
2007
DBH
2008
Dana Perimbangan
2009
Sumber: BPS, 2007 – 2009 (diolah) Gambar 6
DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun 2007 – 2009
Gambar 6 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan. Fakta ini
10
menjelaskan bahwa tujuan pemberian dana perimbangan untuk memeratakan pembangunan wilayah tidak tercapai. Berdasarkan data empiris dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 0,4777 (Gambar 7). Ketimpangan wilayah yang terjadi di Pulau Jawa lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi. Indeks Theil yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi berada pada kisaran nilai 0,25 sedangkan ketimpangan dalam provinsi berada pada kisaran nilai 0,21. Kebijakan otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota dan provinsi harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat. Peningkatan kegiatan perekonomian tersebut menimbulkan dominasi ketimpangan antar provinsi terhadap ketimpangan secara keseluruhan. Mobilisasi sumber daya antar kabupaten/kota yang berada di bawah kendali pemerintahan lokal dan provinsi menyebabkan persentase ketimpangan dalam provinsi lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan antar provinsi. Ketimpangan wilayah dapat dilihat dari sisi positif karena dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Namun ketimpangan yang ekstrim dapat menimbulkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketidakadilan. Inefisiensi ekonomi terjadi karena dengan ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah. Hal ini disebabkan tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah ke atas. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marjinal mereka (Todaro dan Smith, 2006). Dampak negatif inilah yang menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi
salah
satu
masalah
kesejahteraan di suatu wilayah.
dalam
pembangunan
dalam
menciptakan
11
0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0,0000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Ketimpangan dalam provinsi Ketimpangan antar provinsi Ketimpangan total (Indeks Theil)
Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah) Gambar 7
Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun 2001 – 2009
Ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi fenomena penting yang masih terus perlu dikaji dan dianalisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, namun juga bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja. Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan
data
PDRB
(Produk
Domestik
Regional
Bruto)
yang
mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi, namun kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung
12
sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias dan pola yang berbeda (Gambar 8). Oleh karena itu analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Mengingat sulitnya data tersebut, penghitungan pendapatan masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. 1.800.000 1.600.000 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: BPS (diolah) Gambar 8
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Milyar Rupiah)
Permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana konvergensi wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah terjadi perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Pulau Jawa?
2.
Apakah pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat saling mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya?
13
3.
Bagaimanakah
konvergensi
wilayah
kabupaten/kota
dikaji
dari
pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga? 4.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah di Pulau Jawa?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1.
Menggambarkan dinamika ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.
2.
Menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta karena DKI Jakarta bukan merupakan daerah otonom, yang pengaturan keuangannya dilakukan oleh pemerintah pusat secara langsung. Analisis penelitian dilakukan dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data. Oleh karena itu, analisis penelitian diagregasi menjadi 105 kabupaten/kota, dengan periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 sampai dengan 2009.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006). Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh HarrodDomar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal
dengan
model
pertumbuhan
Harrod-Domar
merupakan
model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran
ganda
investasi
dalam
proses
pertumbuhan
ekonomi.
Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital
dan
meningkatkan
kapasitas
produksi
sehingga
investasi
juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
16
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: ∆Y ∆K ∆I s ...................................................................................... (2.1) = = = Y K I k
Dimana:
∆Y Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output ∆K K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
∆I I = laju peningkatan investasi Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
17
Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) .................................................................................................... (2.2) Dimana: y
= output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k
= kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y
= output
K
= kapital
L
= tenaga kerja
A
= efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Investasi break-even, (δ+n+g)k
Investasi aktual dan Investasi break-even
Investasi aktual, sf(k)
0
k*
Modal per pekerja efektif, k
Sumber: Mankiw (2007) Gambar 9
Investasi Aktual dan Break-even
Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
18
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 9, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
19
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. Selanjutnya
model
pertumbuhan
endogen
dikembangkan
untuk
memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik
berargumen
bahwa
pertumbuhan
output
didorong
oleh
tingkat
perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1.
Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi.
2.
Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian.
Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi dalam model Romer. Dengan demikian variabel modal
20
dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu: 1.
Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
2.
Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
3.
Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset.
Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: �
𝑌�� = 𝐾��� 𝐿��� �� 𝐾�
𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 0 < 𝛼 < 1; 0 < 𝛽 < 1 ....................….. (2.3)
Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: 𝑌� = 𝐴𝐾�� (𝑢� 𝐻� 𝐿� )��� 𝐻�� .............................................................….. (2.4)
Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale
21
dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
2.2. Konvergensi Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1995), tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan: γ� =
�̇ �
=𝑠∙
�(�) �
− (𝑛 + 𝛿) ...............................................................….(2.5)
Dengan k negatif, maka: ̇̇ � �(�) ��
= 𝑠 ∙ �𝑓 ′ (𝑘) −
�(�) �
� /𝑘 < 0 ..............................................................(2.6)
Jika nilai k semakin kecil maka nilai 𝑘̇/k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini
menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan memiliki tingkat pertumbuhan 𝑘̇/k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa
ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional convergence). Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 10, kondisi steady state ditentukan oleh persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana spoor < srich dan k*poor < k*rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi awal k(0)poor < k(0)rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama, maka jarak antara si . f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah
22
yang miskin dan berlaku (𝑘̇/k)poor > (𝑘̇/k)poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya
memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995).
n+δ srich . f(k)/k spoor . f(k)/k
k(0)poor k*poor
k(0)rich
k*rich
Sumber: Barro dan Sala-i-Martin (1995) Gambar 10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) 2.3. Ketimpangan Wilayah Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses
23
pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran komposisi
sektor-sektor
pembangunan
karena
aktivitas
ekonomi.
Tidak
mengherankan bila di setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah. Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Todaro dan Smith (2006) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 11. Ketimpangan di negara berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).
24
Koefisien Gini
Kurva Ketimpangan Regional
Pendapatan nasional bruto per kapita
Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah.
2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktorfaktor sebagai berikut: (1) Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya.
25
(2) Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya. (3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya lebih lambat. (4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat. (5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan). Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan swasta. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Murty (2000), yang menyatakan bahwa ketimpangan disebabkan oleh: (1) Faktor geografi: pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumber daya alam, sumber daya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. (2) Faktor sejarah: tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan entrepreneurship. (3) Faktor politik: politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbgaai bidang terutama ekonomi, terutama keraguan dalam berusaha atau berinvestasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya crowding out ke luar daerah. (4) Faktor kebijakan: kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor dan lebih menekankan pertumbuhan ekonomi untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertentu akan menyebabkan kesenjangan, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi maupun antar daerah. (5) Faktor administrasi: wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju.
26
(6) Faktor sosial: masyarakat yang tertinggal umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian karena masih percaya pada kepercayaan yang primitif, tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. (7) Faktor ekonomi, yang terkait dengan: i. Kuantitas dan kualitas faktor produksi: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, perusahaan. ii. Akumulasi dari berbagai sektor: lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi yang rendah, konsumsi yang rendah, tabungan yang rendah, investasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya dengan masyarakat maju, mereka semakin meningkatkan taraf hidupnya. iii. Kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect: tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju. iv. Distorsi pasar: immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik.
2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan
27
pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa, kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian, antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas
28
pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
29
pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi titik tolak perubahan paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik
30
(Political
Decentralization),
Decentralization),
Desentralisasi
Desentralisasi
Fiskal
Administratif
(Fiscal
(Administrative
Decentralization);
dan
Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1985). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah
31
dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai
pengeluaran rutin.
Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pusat – daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis.
2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya. Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan keuangan publik optimal suatu wilayah.
2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja Pendidikan merupakan faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan dari tenaga kerja karena menentukan kualitas tenaga kerja. Modal dan sumber daya alam hanyalah merupakan faktor produksi pasif, sedangkan manusia merupakan agen yang aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya
32
alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO (2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut: (1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan, (2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi, (3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup, (4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih baik.
2.4.4. Infrastruktur Infrastruktur penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya (Gambar 12). Infrastruktur
Pendapatan Dunia Usaha
Pendapatan Rumah Tangga
Peningkatan Kesejahteraan
Pengembangan Pasar
Penurunan Biaya
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002) Gambar 12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi
33
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di
34
suatu daerah atau populasi. Infrastruktur penting yang akan dianalisis dalam peneltian ini adalah infrastruktur sosial berupa sarana kesehatan dan infrastruktur ekonomi yang penting khususnya di Pulau Jawa yaitu listrik, air bersih dan panjang jalan. Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang sehat dan merupakan input penting dalam kegiatan ekonomi. Negara-negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam penelitian ini diharapkan dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di seluruh Pulau Jawa. Kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi seiring dengan kemajuan pembangunan, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta kegiatan produksi yang mengandalkan sumber energi dari listrik karena praktis. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Selain listrik, infrastruktur ekonomi yang penting adalah air bersih, yang merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia. Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri. Kebutuhan air domestik digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
35
sehari-hari. Air untuk sektor pertanian digunakan untuk irigasi dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Dan dalam bidang industri, air bersih merupakan faktor penting dalam proses produksi. Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur pengangkutan yang berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi dan distribusi. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena tidak tersedianya infrastruktur.
2.5. Tinjauan Empiris Ding dan Knight (2008) melakukan penelitian dengan model Solow yang diperluas dengan memasukkan variabel modal manusia dan perubahan struktural selama periode tahun 1980 – 2000 dengan interval waktu analisis 5 tahunan untuk mengurangi sensitifitas siklus bisnis dari data tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah PDB riil per pekerja di Cina dan negara-negara pembandingnya yang diteliti. Sedangkan variabel dependen meliputi saham tabungan diproksi dengan investasi di PDB riil, data penduduk usia 15-64 tahun untuk menghitung penduduk usia kerja, modal manusia diproksi dengan rata-rata lama sekolah di atas usia 15 tahun, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi internasional bervariasi, dimana investasi modal fisik, perubahan struktur kerja, konvergensi bersyarat dan pertumbuhan penduduk merupakan sumber utama perbedaan pertumbuhan Cina dan negara-negara lainnya.
36
Penelitian konvergensi pendapatan dilakukan oleh Ralhan dan Dayanandan (2005) dengan level data 10 provinsi di Kanada selama periode tahun 1981 – 2001, dengan menggunakan interval waktu analisis 5 tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah NPDP (Net Provincial Domestic Product) per kapita riil dan variabel independennya adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja pada usia 15 – 64 tahun dan investasi riil. Analisis dilakukan dengan mengadopsi model pertumbuhan
Solow
dinamik
dengan
teknik
estimasi
GMM
dan
membandingkannya dengan model data panel lainnya yaitu pendekatan fixed effect dan random effect. Hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa tingkat kemajuan teknologi dan fungsi produksi provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat tertentu dan homogen. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita mencapai 1,5 persen jika dilakukan dengan OLS dan teknik lainnya, namun meningkat hingga mencapai 6 sampai dengan 6,5 persen jika dilakukan dengan teknik GMM. Konvergensi personal disposible income di antara provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat 2,89 persen. Selanjutnya Badinger et al. (2002) melakukan penelitian konvergensi regional menggunakan sampel 196 negara-negara Eropa selama periode tahun 1985 – 1999 dengan variabel pendapatan dan investasi. Analisis dilakukan dengan memperhitungkan efek spasial dalam model data panel dinamis karena daerah yang diamati tidak menerapkan ekonomi tertutup, sehingga harus menunjukkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial. Oleh karena itu diperlukan spatial filtering untuk menghilangkan hubungan spasial tersebut sebab ketidaktahuan spasial dapat mengakibatkan hasil yang berpotensi menyesatkan. Dengan menerapkan estimasi GMM terhadap variabel filter, didapatkan kecepatan mencapai konvergensi 6,9 persen dan elastisitas modal sebesar 0,43. Penelitian berikutnya juga dilakukan di negara-negara Eropa yang meliputi 206 daerah NUTS II EU15 selama kurun waktu 1989 – 2000 dengan menggunakan variabel pendapatan, penduduk, tingkat investasi daerah, share sektor pertanian sebagai proksi tingkat teknologi daerah, dan pembayaran dana transfer. Penelitian ini dilakukan oleh Bussoletti dan Esposti (2004) menggunakan model ekonometrik konvergensi bersyarat dalam bentuk data panel dinamis karena model ini lebih konsisten daripada model statis. Estimasi GMM diterapkan
37
untuk memperoleh perkiraan dari parameter konvergensi yang mencapai 5 sampai 7,5 persen. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kebijakan regional berupa dana transfer memberikan pengaruh yang positif sedangkan share sektor pertanian berdampak negatif terhadap pendapatan. Identifikasi konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga tahun 1983 untuk crosssection 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 – 2001. Konvergensi β diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial. Pemodelan dilakukan dengan statistik GI* untuk melihat cluster daerah berpenghasilan tinggi di bagian tengah dan timur serta cluster berpenghasilan rendah di bagian barat Jawa Timur. Regresi OLS dan GLS pada model konvergensi absolut tidak menemukan proses konvergensi. Proses konvergensi ini hanya ditemukan dalam model spasial konvergensi mutlak regresif untuk kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin tidak. Model cross-regresif spasial konvergensi mutlak β menemukan bahwa koefisien lag spasial pendapatan awal adalah positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan ruang yang dapat menjelaskan pertumbuhan pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur, dimana pertumbuhan dipengaruhi oleh pendapatan awal tetangganya. Wilayah yang dikelilingi oleh tetangga kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bila dikelilingi oleh tetangga miskin. Hal ini disebabkan spillover teknologi dan keuangan, artinya teknologi dan biaya produksi suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kawasan tetapi juga tingkat teknologi tetangganya (adanya eksternalitas dari sisi penawaran). Belajar dari negara Cina dalam mengurangi kemiskinan, de Janvry et al. (2005) meneliti bahwa tanpa kegiatan non pertanian, kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta ketimpangan akan meningkat, artinya kegiatan non pertanian memiliki pengaruh spillover yang positif terhadap produksi rumah tangga pertanian. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah pendidikan, jarak yang dekat dengan kota, wilayah sekitarnya dan pengaruh perdesaan untuk mendapatkan akses di bidang pertanian. Penelitian lainnya mengkaji ketimpangan
38
pendapatan dari sektor non pertanian dipengaruhi oleh pendidikan, upah dan wirausaha (Liu dan Sicular, 2008). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan walaupun pendapatan di sektor pertanian menurunkan ketimpangan (Oyekale et al., 2006). Peningkatan ketimpangan dipengaruhi oleh urbanisasi, tempat tinggal yang berada di daerah yang miskin, ukuran rumah tangga, pendidikan formal kepala rumah tangga, lamanya sakit, keterlibatan dalam pekerjaan yang dibayar dan bisnis non pertanian, adanya kredit formal dan informal. Sementara itu Omilola (2009) meneliti fenomena ketimpangan pendapatan yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu penghasilan rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi, tadah hujan dan non pertanian. Ketimpangan terkecil berada pada rumah tangga yang pendapatannya berasal dari non pertanian, sedangkan yang terbesar adalah rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi.
2.6. Kerangka Pemikiran Pembangunan perekonomian di suatu wilayah diupayakan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang optimal walaupun pada tingkat pembangunan berbeda. Penelitian perekonomian di Pulau Jawa ini memasukkan variabel tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share (kontribusi) sektor pertanian dan sektor manufaktur karena menentukan output produksi setiap daerah. Adanya keseimbangan umum dalam setiap input produksi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini menggabungkan peranan pemerintah dan swasta (termasuk di dalamnya rumah tangga) dalam meningkatkan output perekonomian, yang merupakan proksi dari pendapatan regional. Peranan pemerintah dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran, sesuai dengan format APBD sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Variabel yang dikaji dalam sisi penerimaan adalah pajak, sedangkan dari sisi pengeluran adalah belanja rutin yang merupakan belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan dan belanja pembangunan yang merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal
39
dan belanja penunjang. Selanjutnya peranan swasta dilihat menurut faktor-faktor produksi, meliputi investasi, tenaga kerja dan pendidikan tenaga kerja. Ukuran kesejahteraan yang biasanya digunakan dalam penelitian-penelitian kewilayahan adalah PDRB, yang menunjukkan output regional yang dihasilkan, tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksinya. Sekalipun pemilik faktor produksinya berasal dari luar wilayah, namun jika kegiatan ekonominya dilakukan di wilayah tersebut, tetap dihitung dalam PDRB. Oleh karena itu sebagai ukuran kesejahteraan rakyat, PDRB mempunyai kelemahan karena kurang mampu merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Ukuran kesejahteraan masyarakat yang seyogyanya digunakan adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi seluruh masyarakat. Karena ukuran ini sangat sulit diperoleh, penelitian ini menggunakan proksi jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Angka ini diharapkan lebih menjelaskan seberapa besar kebutuhan masyarakat telah terpenuhi jika dilihat dari sisi konsumsi. Agar dapat melihat konvergensi dari sisi pendapatan regional dan pendapatan rumah tangga, penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan melalui total output yang dihasilkan setiap wilayah yang tercermin dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Data yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000 sehingga menghilangkan pengaruh inflasi. Kedua, pendekatan pendapatan rumah tangga secara agregat, yang diproksi dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga yang diperoleh dari data Susenas. Data pengeluaran juga telah dideflasi dengan menggunakan deflator PDRB. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut, diharapkan adanya implikasi kebijakan yang lebih dapat diaplikasikan secara nyata demi kesejahteraan masyarakat.
40
Perekonomian Pulau Jawa Tingkat Pembangunan Ekonomi
Share Pertanian
Pemerintah
Penerimaan
Share Manufaktur
Swasta
Pengeluaran
Rutin
Pembangunan
Investasi
Tenaga Kerja
Pendidikan Tenaga Kerja
Konvergensi
Infrastruktur Puskesmas Listrik Air Bersih Jalan
Analisis Ketimpangan Wilayah
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Pendekatan PDRB
Implikasi Kebijakan
Gambar 13 Kerangka Pemikiran Penelitian
41
2.7. Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1.
Ketimpangan between dan within provinsi terjadi di Pulau Jawa.
2.
Konvergensi yang dihitung dari pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga terjadi di Pulau Jawa secara keseluruhan dan di tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).
3.
Pengeluaran rutin pemerintah dapat mengurangi ketimpangan wilayah sesuai dengan tujuannya.
4.
Tingkat pembangunan ekonomi dan transformasi perekonomian di daerah menentukan keberhasilan pemerataan pembangunan regional.
5.
Tingkat pendidikan tenaga kerja yang mendorong peningkatan produktivitas ekonomi diharapkan juga mengurangi ketimpangan wilayah.
6.
Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mengurangi kesenjangan wilayah.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2001 – 2009, yang terdiri dari: 1.
PDRB kabupaten/kota atas dasar harga konstan 2000.
2.
Pengeluaran rumah tangga yang diagregasi dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota dan telah dideflasi dengan menggunakan tahun dasar 2000, yang diperoleh dari deflator PDRB.
3.
Investasi kabupaten/kota, yang merupakan penggabungan dua variabel: i. Investasi pemerintah berupa belanja barang modal pemerintah kabupaten/kota ii. Investasi perumahan yang dilakukan oleh rumah tangga, yang diperoleh dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota.
4.
Jumlah tenaga kerja kabupaten/kota.
5.
PDRB perkapita kabupaten/kota dan provinsi atas dasar harga konstan 2000, yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk.
6.
Pengeluaran rumah tangga perkapita kabupaten/kota dan provinsi, yang dihitung dengan cara membagi pengeluaran rumah tangga dengan jumlah penduduk.
7.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis ketimpangan.
8.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis ketimpangan.
9.
Tingkat pendidikan tenaga kerja kabupaten/kota dan provinsi, yang diproksi dengan share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja. Alasan penggunaan variabel ini
44
digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi adalah adanya hubungan yang langsung antara kualitas tenaga kerja dengan produktivitas dalam kegiatan produksi. Sedangkan dalam analisis ketimpangan, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas digunakan untuk menghilangkan bias yang disebabkan adanya lag variabel pendidikan dalam kegiatan ekonomi. 10. Pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota yang digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis ketimpangan. Variabel ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja bunga, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja tak terduga dan belanja lain-lain. 11. Pajak daerah kabupaten/kota, hanya digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi. 12. Jumlah puskesmas pada level provinsi, sebagai proksi variabel infrastruktur kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat sampai ke level kecamatan. 13. Jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen pada level provinsi. Pemilihan variabel ini mengacu pada konsumsi konsumen, bukan pada jumlah energi listrik yang diproduksi. 14. Volume air bersih PDAM yang disalurkan kepada konsumen pada level provinsi. Pemilihan variabel ini juga mengacu pada konsumsi konsumen, bukan pada volume air bersih yang diproduksi. 15. Panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Kondisi jalan yang baik dan sedang diharapkan lebih menentukan kelancaran kegiatan ekonomi dibandingkan jalan yang rusak, sehingga panjang jalan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memasukkan jalan yang rusak.
45
Sumber data yang digunakan tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan, PLN, PDAM, Dinas Kesehatan, BKPM dan data-data pendukung lainnya.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Koefisien Variasi Williamson Koefisien variasi Williamson digunakan untuk mengukur perbedaan nilai output rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah. Ukuran ini biasanya menggunakan data PDRB perkapita untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah, yang dinyatakan dengan rumus:
Dimana:
𝐶𝑉� =
� � � ∑� (� ���)� � ��� �
��
, 0 < CVw < 1…………….............................(3.1)
𝑦�
: PDRB perkapita wilayah ke-i
𝑓�
: jumlah penduduk wilayah ke-i
𝑦�
: PDRB perkapita seluruh wilayah
𝑛
: jumlah penduduk seluruh wilayah
Penelitian ini juga menghitung koefisien variasi Williamson untuk mengukur perbedaan nilai pengeluaran rumah tangga rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah secara agregat. Selanjutnya pengeluaran rumah tangga tersebut dibagi dengan jumlah penduduk untuk mendapatkan nilai pengeluaran rumah tangga perkapita dan digunakan sebagai variabel y.
3.2.2. Analisis Data Panel Statis Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu, yang merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang
lebih
banyak
dan
beragam,
meminimalkan
masalah
kolinieritas
46
(collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi serta mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. Meskipun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan
keterbatasan
dalam
penggunaannya
khususnya
apabila data
panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan yit merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan �
sebagai 𝑋�� , yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada
waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
47
�
𝑋 𝑦�� ⎡ �� � 𝑦�� 𝑦� = � �; 𝑋� = ⎢𝑋�� ⋮ ⎢ ⋮ 𝑦�� � ⎣𝑋��
� 𝑋�� ⋯ � 𝑋�� ⋯ ⋮ ⋱ � 𝑋�� ⋯
� 𝑋�� 𝜀�� ⎤ � 𝑋�� ⎥; 𝜀 = �𝜀�� � ..................................(3.2) � ⋮ ⋮ ⎥ 𝜀�� � 𝑋�� ⎦
dengan 𝜀�� menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:
𝑦� 𝑋� 𝜀� 𝑦� 𝜀� 𝑋� 𝑦 = � ⋮ �; 𝑋 = � �; 𝜀 = � ⋮ � ...............................................................(3.3) ⋮ 𝑦� 𝜀� 𝑋�
dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y = X 'β + ε ................................................................................................(3.4) dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai 𝛽� 𝛽 𝛽 = � � � ..................................................................................................(3.5) ⋮ 𝛽�
Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut:
48
𝑦�� = 𝑋��′ 𝛽 + 𝜀�� ....................................................................................(3.6)
dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut: 𝜀�� = 𝛼� + 𝑢�� .........................................................................................(3.7)
dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan Xit . Sedangkan αi disebut sebagai efek individual (time invariant person specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual. Pertama, bila αi diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1,2,…, N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel independen r. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai 𝑦�� = 𝛼� + 𝑋��′ 𝛽 + 𝑢�� ........................................................................(3.8)
dengan asumsi bahwa uit ~ iid (0,𝜎�� ). Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000), dugaan untuk paremeter β dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai � �� (∑� ∑� (𝑋 � � 𝛽��� = (∑� �� ) .....(3.9) ��� ∑���(𝑋�� − 𝑋� )′ ) ��� ��� �� − 𝑋� )(𝑦�� − 𝑦
Sedangkan estimasi untuk intersep α dituliskan sebagai
𝛼�� = 𝑦�� − 𝑋��′ 𝛽��� ; 𝑖 = 1, . . , 𝑁 ..............................................................(3.10)
Matriks kovarian untuk fixed effect estimator 𝛽��� , dengan uit ~ iid (0,𝜎�� )
diberikan oleh:
� �� � � 𝑉 [𝛽��� ] = 𝜎�� (∑� ��� ∑���(𝑋�� − 𝑋� )(𝑋�� − 𝑋� )′ ) ..............................(3.11)
dengan
𝜎�� =
�
�(���)
� ∑� �� − (𝑋�� − 𝑋�� )′ 𝛽��� )� ……….….....…(3.12) ��� ∑���(𝑦�� − 𝑦
Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana 𝑦�� berbeda dari 𝑦�� , dan tidak menjelaskan kenapa
𝑦�� berbeda dari 𝑦�� ). Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β, menekankan
49
bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu lainnya. Kedua, bila 𝛼� diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut
sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam model. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai: 𝑦�� = 𝛼 + 𝑋��′ 𝛽 + 𝑢�� + 𝜏� .................................................................(3.13)
dengan 𝛼� = 𝛼 + 𝜏� dan memiliki rata-rata nol. Di sini, 𝜏� merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain: 𝐸 (𝑢�� |𝜏� ) = 0 .........................................................................................(3.14) � 𝐸 (𝑢�� �𝜏� ) = 𝜎�� .....................................................................................(3.15)
𝐸 (𝜏� |𝑥�� ) = 0; ∀ 𝑖, 𝑡 ..............................................................................(3.16)
� 𝐸 (𝜏�� �𝑥�� ) = 𝜎�� ....................................................................................(3.17)
𝐸 �𝑢�� 𝜏� � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗 ...........................................................................(3.18) 𝐸 �𝑢�� 𝑢�� � = 0; 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 ....................................................... (3.19) 𝐸 �𝑢�� 𝜏� � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗 ...........................................................................(3.20)
Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada persamaan (3.13) dituliskan menjadi 𝑤�� = 𝑢�� + 𝜏� , dengan
𝐸 (𝑤�� ) = 0 ...........................................................................................(3.21)
𝐸 (𝑤��� ) = 𝜎�� + 𝜎�� ; ∀ 𝑖, 𝑡 ....................................................................(3.22) 𝐸 �𝑤�� 𝑤�� � = 𝜎�� ; ∀ 𝑡 ≠ 𝑠 ....................................................................(3.23) 𝐸 �𝑤�� 𝑤�� � = 0; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 ...........................................(3.24)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor 𝑤� = (𝑤�� , 𝑤�� , … , 𝑤�� )’ maka dapat dituliskan bahwa
𝐸 �𝑤� 𝑤�′ � = Ω ........................................................................................(3.25)
dengan
50
𝜎��
𝜎�� + 𝜎�� 𝜎�� � � � ⎛𝜎� 𝜎� + 𝜎� Ω = ⎜𝜎�� 𝜎�� ⋮ ⋮ � 𝜎�� ⎝𝜎�
𝜎�� 𝜎�� + 𝜎�� ⋮ 𝜎��
⋯ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯
𝜎��
𝜎�� ⎞ 𝜎�� ⎟ .............................(3.26) ⋮ � 𝜎� + 𝜎�� ⎠
Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error 𝑤 = (𝑤� , 𝑤� , … , 𝑤� )′ dapat diturunkan sebagai
Ω 0 ⎛0 Ω 𝑉 = ⎜0 0 𝑁𝑇𝑥𝑁𝑇 ⋮ ⋮ ⎝0 0
0 0 Ω ⋮ 0
⋯ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯
0 0⎞ 0 ⎟ = 𝐼� ⊗ Ω .....................................(3.27) ⋮ Ω⎠
dengan 𝐼� menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan Kronecker product. Misalkan Y pada persamaan (3.14) direpresentasikan sebagai vektor stack dari 𝑦�� yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan
struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y = Xβ + w ..........................................................................................(3.28) dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.28) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian 𝐸(𝑤 ′ 𝑤) = 𝑉. Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang 𝑃 = 𝑉 ��/� dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.38) diperoleh hasil transformasi sebagai berikut:
atau
𝑃𝑌 = 𝑃𝑋𝛽 + 𝑃𝑤 ....................................................................................(3.29) 𝑌 ∗ = 𝑋 ∗ 𝛽 + 𝑤 ∗ ......................................................................................(3.30)
sekarang
𝐸(𝑤 ∗ 𝑤 ∗� ) = 𝐸(𝑃𝑤𝑤 ′ 𝑃) = PE (ww’)P = PVP = 𝐼��
Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (3.38) dapat dituliskan sebagai 𝛽���� = (𝑋′𝑉 �� 𝑋)�� 𝑋′𝑉 �� 𝑌 ............…...................................................(3.31)
51
3.2.3. Data Panel Dinamis Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: ′ 𝑦�� = 𝛿𝑦�,��� + 𝑥�� 𝛽 + 𝑢�� ; 𝑖 = 1, … , 𝑁; 𝑡 = 1, . . , 𝑇 ...............................(3.32)
′ dengan 𝛿 menyatakan suatu skalar, 𝑥�� menyatakan matriks berukuran 1xK dan 𝛽
matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini, 𝑢�� diasumsikan mengikuti model oneway error component sebagai berikut:
𝑢�� = 𝜇� + 𝑣�� ........................................................................................(3.33)
dengan 𝜇� ~ 𝑖𝑖𝑑 (0, 𝜎�� )
menyatakan pengaruh individu dan 𝑣�� ~ 𝑖𝑖𝑑 (0, 𝜎�� )
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap 𝜇� . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena 𝑦�� merupakan fungsi dari 𝜇� maka 𝑦�,��� juga merupakan fungsi dari 𝜇� . Karena 𝜇� adalah fungsi
dari 𝑢�� maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor 𝑦�,��� dengan 𝑢�� . Hal
ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila 𝑣�� tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: 𝑦�� = 𝛿𝑦�,��� + 𝑢�� ; |𝛿| < 1; 𝑡 = 1, . . , 𝑇 .................................................(3.34)
dengan 𝑢�� = 𝜇� + 𝑣�� di mana 𝜇� ~ 𝑖𝑖𝑑 (0, 𝜎�� ) dan 𝑣�� ~ 𝑖𝑖𝑑 (0, 𝜎�� ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi 𝛿 diberikan oleh �
�
∑ ∑ (� ��� )(� ��� ) 𝛿��� = ��� ���� � �� � �,��� ��,�� ...........................................................(3.35) ∑��� ∑���(��,��� ����,�� )
52
dengan 𝑦�� = 1/𝑇 ∑���� 𝑦�� dan 𝑦��,�� = 1/𝑇 ∑���� 𝑦�,��� . Untuk menganalis sifat dari 𝛿��� , dapat disubstitusi persamaan (3.44) ke (3.45) untuk memperoleh: 𝛿��� = 𝛿 +
(
� � � � )(��,��� ����,�� ) ) ∑� ��� ∑���(��� �� �� � � � � ( ) ∑��� ∑���(��,��� ����,�� ) ��
..............................................(3.36)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk 𝑁 → ∞ dan T tetap, bentuk
pembagian pada persamaan (3.46) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila 𝑁 → ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan bahwa:
� � (���)����� � 𝑝𝑙𝑖𝑚 � ∑� ∑� (𝑣 ≠ 0 ....(3.37) � � ��� ��� �� − 𝑣̅� )�𝑦�,��� − 𝑦��,�� � = − �� (���)� � 𝑁 → ∞ ��
sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: (i) First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM); dan (ii) System GMM (SYS-GMM). Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan First-difference GMM (FDGMM atau AB-GMM) yaitu menggunakan transformasi first difference untuk pendekatan variabel instrumen untuk mendapatkan estimasi 𝛿 yang konsisten di
mana 𝑁 → ∞ dengan T tertentu dengan mengeliminasi pengaruh individual (𝜇� ) sebagai berikut:
53
𝑦�� − 𝑦�,��� = 𝛿�𝑦�,��� − 𝑦�,��� � + �𝑣�� − 𝑣�,��� �; 𝑡 = 2, . . , 𝑇...............(3.38)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga 𝛿 yang
inkonsisten karena 𝑦�,��� dan 𝑣�,��� berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila 𝑇 → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen (Baum, et al., 2003). Sebagai contoh, 𝑦�,��� akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, 𝑦�,��� berkorelasi
dengan �𝑦�,��� − 𝑦�,��� � tetapi tidak berkorelasi dengan 𝑣�,��� , dan 𝑣�� tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi 𝛿 disajikan sebagai �
�
∑ ∑ � (� �� ) 𝛿��� = ∑����∑� ��� �,��� �� �,��� .............................................................(3.39) ���
��� ��,��� (��,��� ���,��� )
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
𝑝𝑙𝑖𝑚 � � 𝑁 → ∞ ��(���)� ∑� ��� ∑����𝑣�� − 𝑣�,��� �𝑦�,��� = 0 ..............................(3.40) 𝑇→∞
Penduga (3.39) merupakan penduga alternatif dimana 𝑦�,��� − 𝑦�,��� digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi 𝛿 disajikan sebagai �
�
∑ ∑ (� �� )(� �� ) 𝛿���(�) = ∑����∑� ��� �,��� �,��� �� �,��� ..............................................(3.41) ���
���(��,��� ���,��� )(��,��� ���,��� )
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
𝑝𝑙𝑖𝑚 � � 𝑁 → ∞ ��(���)� ∑� ��� ∑����𝑣�� − 𝑣�,��� �(𝑦�,��� − 𝑦�,��� ) = 0 .............(3.42) 𝑇→∞
Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa � 𝑝𝑙𝑖𝑚 � 1 � � ��𝑣�� − 𝑣�,��� �𝑦�,��� = 𝐸��𝑣�� − 𝑣�,��� �𝑦�,��� � = 0 𝑁 → ∞� 𝑁(𝑇 − 1) ��� 𝑇→∞ ���
.......................(3.43)
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
54
𝑝𝑙𝑖𝑚 � � 𝑁 → ∞ ��(���)� ∑� ��� ∑���(𝑣�� − 𝑣�,��� )(𝑦�,��� − 𝑦�,��� ) 𝑇→∞
= 𝐸[(𝑣�� − 𝑣�,��� )(𝑦�,��� − 𝑦�,��� )] = 0 ..................................……….…….(3.44)
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV(2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000) menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh 𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ] = 0, untuk t = 2
𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ] = 0, untuk t = 3
𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ] = 0, 𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸[(𝑣�� − 𝑣�� )𝑦�� ], untuk t = 4
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan 𝑣�� − 𝑣�� ⋮ ∆𝑣� = � � ..............................................................................(3.45) 𝑣�,� − 𝑣�,��� sebagai vektor tranformasi error, dan [𝑦 ] ⎡ �� 0 𝑍� = ⎢ ⎢ ⋮ ⎣ 0
0 [𝑦�� , 𝑦�� ] ⋮ 0
⋱ ⋯
⋯ ⋯
0 ⎤ 0 ⎥ .......................................(3.46) ⋮ ⎥ �𝑦�� , … , 𝑦�,��� �⎦
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks 𝑍� berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai 𝐸�𝑍�′ ∆𝑣� � = 0 ..........................................................................................(3.47)
yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, persamaan (3.47) dituliskan sebagai 𝐸�𝑍�′ (∆𝑦� − ∆𝑦�,�� )� = 0 ........................................................................(3.48)
55
Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, 𝛿 akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni
′ � ′ min [1/𝑁 ∑� ��� 𝑍� (∆ 𝑦� − ∆𝑦�,�� )]′𝑊� [1/𝑁 ∑��� 𝑍� (∆𝑦� − ∆𝑦�,�� )] ....(3.49)
dengan 𝑊� adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan persamaan (3.59) terhadap 𝛿 akan diperoleh penduga GMM sebagai
�� ′ � ′ ′ � ′ 𝛿���� ((∑� 𝑥 ((∑� ��� ∆𝑦�,�� 𝑍� )𝑊� (∑��� 𝑍� ∆𝑦�,�� )) ��� ∆𝑦�,�� 𝑍� )𝑊� (∑��� 𝑍� ∆𝑦� ))
................(3.50)
Sifat dari penduga GMM (3.50) bergantung pada pemilihan 𝑊� yang konsisten selama 𝑊� definit positif, sebagai contoh 𝑊� = 𝐼 yang merupakan matriks identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi 𝛿���� . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi 𝑝𝑙𝑖𝑚 𝑊 = 𝑉[𝑍�′ ∆𝑣� ]�� = 𝐸[𝑍�′ ∆𝑣� 𝑣�′ 𝑍� ]�� ........................................(3.51) 𝑁→∞ �
Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian 𝑣� , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi 𝛿 dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel yakni two step estimator
�� ′ ����� = [1/𝑁 ∑� 𝑊 �� ∆𝑣��′ 𝑍� ] .........................................................(3.52) ��� 𝑍� ∆𝑣
Dengan ∆𝑣�� menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa 𝑣�� ~ 𝑖𝑖𝑑 pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi
tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat
56
dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada 𝑣�� dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi 2 −1 𝐸�∆𝑣� 𝑣�′ � = 𝜎�� 𝐺 = 𝜎�� � 0 ⋮
−1 2 ⋱ 0
0 … ⋱ 0 � .......................................(3.53) ⋱ −1 −1 2
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)
�� ′ ����� = [1/𝑁 ∑� 𝑊 ..................................................................(3.54) ��� 𝑍� 𝐺𝑍� ]
Sebagai catatan bahwa (3.54) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error 𝑣�� diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
persamaan (3.34) dapat dituliskan kembali menjadi ′ 𝑦�� = 𝑥�� 𝛽 + 𝛿𝑦�,��� + 𝜇� + 𝑣�� ..............................................................(3.55)
Parameter persamaan (3.55) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap 𝑥�� , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila 𝑥�� strictly exogenous dalam arti 𝑥�� tidak berkorelasi dengan sembarang error 𝑣�� , akan diperoleh
𝐸[𝑥�� , ∆𝑣�� ] = 0; untuk setiap s dan t .....................................................(3.56)
sehingga 𝑥� , … , 𝑥�� dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada 𝑍� menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen
𝐸[∆𝑥�� , ∆𝑣�� ] = 0; untuk setiap t ............................................................(3.57)
Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai ⎡ ⎢ 𝑍� = ⎢ ⎢ ⎣
′ �𝑦�� , ∆𝑥�� �
0 ⋮ 0
0
′ �𝑦�� , 𝑦�� , ∆𝑥�� �
⋮ 0
⋱ ⋯
⋯
0
⎤ ⎥ ⎥ .............(3.58) ⎥ �𝑦�� , … , 𝑦�,��� , ∆𝑥�� �⎦ ⋯
0 ⋮
Bila variabel 𝑥�� tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus
di mana 𝑥�� dan lag 𝑥�� tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh 𝐸[𝑥�� , ∆𝑣�� ] = 0, untuk s ≥ t. Dalam kasus dimana hanya 𝑥�,��� , … , 𝑥��
57
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai 𝐸�𝑥�,��� ∆𝑣�� � = 0; 𝑗 = 1, … , 𝑡 − 1, ∀𝑡 ...................................................(3.59)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks 𝑍� kemudian dapat disesuaikan.
3.3. Spesifikasi Model 3.3.1. Konvergensi Wilayah Kajian ini dilakukan dengan mengasumsikan fungsi Cobb-Douglas constant return to scale dengan output (Y) dan tiga input, yaitu kapital (K), tenaga kerja (L) dan Labor augmenting technological progress (A): 𝑌(𝑡) = 𝐾(𝑡)� (𝐴(𝑡)𝐿(𝑡))��� , 0 < α < 1 ................................................(3.60)
Angkatan kerja dan pertumbuhan teknologi pada tingkat konstan dan eksogen:
𝐿(𝑡) = 𝐿(0)𝑒 �� ......................................................................................(3.61) 𝐴(𝑡) = 𝐴(0)𝑒 �� ....................................................................................(3.62)
Dimana n adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan g adalah tingkat pertumbuhan kemajuan teknologi. L(0) adalah kondisi semula dari tenaga kerja dan A(0) adalah kondisi semula dari teknologi. Jika: 𝑦�� =
�� = 𝐾
�(�)
adalah output per efektif dari unit tenaga kerja
�(�)
adalah kapital per efektif dari unit tenaga kerja
�(�)�(�) �(�)�(�)
Maka: 𝑦�(𝑡) = 𝑓 �𝑘�(𝑡)� = 𝑘� (𝑡)� .....................................................................(3.63) Sehingga evolusi dari kapital dinotasikan dengan:
𝑘�(𝑡)𝑠𝑘� � (𝑡) − 𝑘�(𝑡)(𝑛 + 𝑔 + 𝛿) ............................................................(3.64)
Dimana s adalah saving rate dan δ adalah tingkat depresiasi kapital.
� ∗ ) dapat ditentukan dengan membuat The steady state capital stock (𝐾
persamaan (3.64) sama dengan nol, sehingga: � ∗ (𝑡) = ( 𝐾
�
�����
�
)���
...........................................................................(3.65)
58
Dengan mensubstitusikan persamaan (3.65) ke dalam fungsi produksi, maka the steady state output per effective unit tenaga kerja dapat diturunkan. Dalam bentuk logaritma natural dapat dituliskan sebagai berikut: ln 𝑦� ∗ = �
�
���
� [ln 𝑠 − ln (𝑛 + 𝑔 + 𝛿)] ..................................................(3.66)
Tingkat konvergensi (λ) adalah tingkat dimana output per efektif unit tenaga kerja mendekati nilai steady state-nya, dan dinyatakan dengan: � �� ��(�) ��
= 𝜆[ln( 𝑦� ∗ ) − ln 𝑦�(𝑡)] .............................................................(3.67)
ln 𝑦�(𝑡� ) = (1 − 𝜍) ln 𝑦� ∗ − (1 − 𝜍)𝑙𝑛 𝑦�(𝑡� )] ......................................(3.68)
Dimana λ = (1 − α)(n + t + δ), 𝜍 = 𝑒 �� 𝑑𝑎𝑛 𝜏 = (𝑡� − 𝑡� ).
Persamaan (3.46) mewakili proses partial adjustment dimana nilai target
optimal variabel dependen ditentukan oleh variabel independen periode saat ini. Jika output dihitung dalam per efektif unit, persamaan tersebut dapat ditulis: ln 𝑦�(𝑡) = ln(
ln y(t) = ln[
�(�)
�(�)�(�)
�(�) �(�)
) = ln(
�(�)
�(�)� �� �(�)
) atau
] − 𝑙𝑛𝐴(0) − 𝑔𝑡 ........................................................(3.69)
Jika ln y(t) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.68) dan kedua ruas dikurangkan dengan 𝑙𝑛𝑦�(𝑡� ) maka diperoleh:
ln y(t � ) − ln y(t� ) = −(1 − 𝜍) ln 𝑦(𝑡� ) + (1 − 𝜍) ln 𝐴(0) + 𝑔(𝑡� − 𝜍𝑡� ) + 𝛼 𝛼 (1 − 𝜍) (𝑛 + 𝑔 + 𝛿) ln(𝑠) − (1 − 𝜍) ln 1−𝛼 1−𝛼 z
Dimana 𝑦(𝑡) =
�(�) �(�)
...............(3.70)
sama dengan output perkapita dan z sebagai log output
perkapita pada steady state. Misalkan β = – (1 – ς) sebagai parameter pendapatan pada t1, maka kecepatan konvergensi dapat ditulis: 𝜆 =
�� (���) �
........................................(3.71)
Persamaan (3.70) dapat ditulis sebagai model autoregressive dari model
pertumbuhan menjadi: ln y(t � ) = 𝜍 ln 𝑦(𝑡� ) + (1 − 𝜍) ln 𝐴(0) + 𝑔(𝑡� − 𝜍𝑡� ) + (1 − 𝜍) − (1 − 𝜍) ln
�
���
𝛼 ln(𝑠) 1−𝛼
(𝑛 + 𝑔 + 𝛿) ...........................................(3.72)
Atau dalam literatur data panel ditulis:
59
ln 𝑦�� = 𝛾 ln 𝑦�,��� + 𝛽� ln 𝑠�,��� + 𝛽� ln(𝑛 + 𝑔 + 𝛿)�,� + 𝜂� + 𝜐�,� .....(3.73)
Dimana
𝑥�� = (ln(𝑠�� ), ln(𝑛�� + 𝑔 + 𝛿), 𝜃 = ((1 − 𝜍)
𝛾 = 1 + 𝛽 = 𝜍.
�
���
, −(1 − 𝜍)
�
���
)
dan
Persamaan akhir untuk (3.73) merupakan model yang digunakan dalam
literatur tentang konvergensi pendapatan yang dilakukan oleh Firdaus (2006), ditulis sebagai berikut: ∆z�� = (1 − 𝛼) ∆ 𝑧�,��� + 𝛽′ ∆ 𝑥�� + 𝐷� + ∆𝑢 .......................................(3.74)
Dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T.
Penelitian ini membandingkan dua model yang masing-masing variabel independennya sama, sedangkan variabel dependennya berbeda untuk melihat konvergensi dari pendekatan pendapatan wilayah dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian tersebut adalah: ln 𝑦�� = (1 − 𝛼) ln 𝑦�,��� + 𝛽� ln 𝑖𝑛𝑣�� + 𝛽� ln 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑢𝑟�� + 𝜐�� ..............(3.75)
Dimana yit dalam masing-masing model adalah variabel dependen yaitu:
(i) PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 untuk melihat pendapatan wilayah setelah meniadakan unsur inflasi. (ii) Pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000, yang merupakan proksi untuk melihat pendapatan rumah tangga. Proses konvergensi terjadi apabila koefisien dari (1 – α) kurang dari satu, dengan tingkat konvergensi dinyatakan sebagai – ln (α). Adanya lag variabel dependen (𝑦�,��� ) pada ruas kanan menunjukkan bahwa
model yang digunakan adalah model dinamis. Tambahan variabel instrumen yang
dipilih selain yang dilakukan program Stata v.10 juga menggunakan data kabupaten/kota, yaitu pajak, investasi, pendidikan tenaga kerja dan share sektor pertanian. Variabel independen yang diteliti adalah investasi dan tenaga kerja. Variabel investasi merupakan gabungan investasi yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk pembangunan dan investasi rumah tangga untuk perumahan yang diagregatkan untuk wilayah kabupaten/kota. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan cross section sebanyak 105 kabupaten/kota di Pulau Jawa, dengan menggabungkan daerah-daerah yang dimekarkan setelah tahun 2001 agar dapat dilakukan analisis balance panel. Kabupaten/kota di DKI Jakarta tidak
60
dapat dimasukkan dalam analisis karena bukan merupakan daerah otonomi. Keuangan daerah bahkan sampai pada tingkat kabupaten/kota di DKI Jakarta ditentukan oleh pemerintah pusat.
3.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Permasalahan ketiga penelitian ini dijawab menggunakan dua model dengan variabel independen yang sama namun variabel dependennya berbeda, dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan regional dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian dinyatakan dengan: ln 𝑦�� = 𝛾 + 𝜃� ln 𝑔𝑜𝑣𝑒𝑥𝑝�� + 𝜃� ln 𝑎𝑔𝑟𝑖�� + 𝜃� ln 𝑚𝑎𝑛𝑢�� + 𝜃� ln 𝑒𝑑𝑢�� +
𝜃� ln 𝑝𝑢𝑠𝑘𝑒𝑠�� + 𝜃� ln 𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑖𝑐�� + 𝜃� ln 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟�� + 𝜃� ln 𝑟𝑜𝑎𝑑�� + 𝑣�� (3.76)
Dimana: y
: koefisien
variasi
Williamson,
yang
dihitung
dengan
menggunakan dua pendekatan: (i) cvpdrb
: PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000
(ii) cvcons
: pengeluaran rumah tangga yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000
govexp
: pengeluaran rutin pemerintah
agri
: share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000
manu
: share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000
edu
: share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja
puskes
: jumlah puskesmas
electric
: jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen
water
: volume air bersih PDAM yang disalurkan kepada konsumen
road
: panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada di masing-masing provinsi
i
: provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta)
t
: tahun penelitian, yaitu dari 2001 – 2009.
61
3.4. Prosedur Analisis Parameter model pada persamaan (3.76) akan diestimasi dengan menggunakan data panel statis. Pemilihan model yang terbaik dilakukan dengan uji Hausman. Ide dasar uji Hausman adalah pengomparasi dua penduga, yaitu penduga FEM dan REM. Hipotesis nol menyatakan bahwa Xit dan αi tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif menyatakan yang sebaliknya (berkorelasi). Uji Hausman mengasumsikan bahwa 𝐸(𝑢�� 𝑋�� ) = 0 untuk setiap s dan t sedemikian
sehingga penduga REM (𝛽��� ) akan konsisten dan efisien jika Xit dan αi tidak berkorelasi dan penduga penduga FEM (𝛽��� ) konsisten bagi β jika kondisi penduga REM (𝛽��� ) yang konsisten tidak berlaku.
Pendugaan uji Hausman dilakukan dengan pembedaan (difference) antara
penduga FEM dan penduga REM yang dinyatakan sebagai vektor difference (𝛽��� − 𝛽��� ). Suatu kovarian bagi vektor difference tersebut diperlukan untuk mengevaluasi signifikansinya. Secara umum, hal ini memerlukan suatu estimasi
kovarian antara 𝛽��� dan 𝛽��� . Karena penduga bersifat efisien jika kondisinya seperti pada hipotesis nol, dapat ditunjukkan bahwa matriks kovarian bagi vektor difference (𝛽��� − 𝛽��� ) adalah:
𝑉(𝛽��� − 𝛽��� ) = 𝑉�𝛽��� � − 𝑉(𝛽��� ) ...................................................(3.77)
Nilai statistik uji Hausman menggunakan statistik Wald sebagai berikut:
�� 𝜉 = (𝛽��� − 𝛽��� )′�𝑉� �𝛽��� � − 𝑉� �𝛽��� �� (𝛽��� − 𝛽��� ) ......................(3.78)
dengan 𝑉� menyatakan penduga bagi matriks kovarian. Pada kondisi hipotesis nol, statistik 𝜉 mengikuti sebaran Chi-square (χ2) dengan derajat bebas k, dimana k merupakan jumlah parameter dalam β.
Analisis model pada persamaan (3.75) dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis pendekatan First Difference Generalized Method of Moment (FDGMM). Kriteria pemeriksaan model yang dilakukan adalah validitas dan konsistensi model. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi masalah validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid), artinya variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM. Nilai statistik uji Sargan dihitung sebagai berikut:
62
�
�
�
��� � ................................(3.79) ��� � 𝑊�� � ∑� 𝑆 = 𝑁 � ∑� ��� 𝑍� ′∆𝑣 ��� 𝑍� ′∆𝑣 �
�
Pada kondisi hipotesis nol, nilai statistik tersebut mengikuti sebaran Chi-square 𝜒�� , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model.
Uji autokorelasi untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan FD-GMM dilakukan dengan statistik Arellano-Bond (AB) m1 dan m2. Model yang konsisten ditunjukkan dengan p-value m1 yang signifikan dan p-value m2 yang tidak signifikan (Arellano dalam Verbeek, 2000).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya perbedaan sumber daya. Demikian pula ketimpangan pembangunan di Pulau Jawa
masih sangat tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,94 sampai dengan 0,98, artinya pendapatan antar wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian (Tabel 2). Ketimpangan
kabupaten/kota
dalam
provinsi
relatif
lebih
rendah
dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota Pulau Jawa. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Banten, berada pada range yang paling lebar di antara provinsi-provinsi lainnya, yaitu pada kisaran antara 0,77 sampai 0,92. Angka ini sangat menyolok karena mengalami peningkatan yang cepat dari tahun ke tahun. Provinsi Banten merupakan pemekaran dari Jawa Barat pada tahun 2000, sehingga masih dalam proses awal pembangunan. Kabupaten/kota di wilayah ini masih sedikit, terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota pada tahun 2009 dan masingmasing memiliki sumber daya yang berbeda. Tangerang merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta – Bogor – Tangerang – Bekasi) yang mempunyai potensi ekonomi yang besar pada sektor industri dan perdagangan. Kemajuan wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari pintu gerbang transportasi baik udara (Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta) maupun laut (pelabuhan Merak). Ketimpangan terendah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, berada pada kisaran antara 0,38 sampai dengan 0,42 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah Daerah Tingkat II semakin kecil. Hal ini berbeda dengan wilayah terdekatnya. Koefisien variasi Williamson Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,71 sampai dengan 0,76 dan mengalami tren meningkat.
64
Tabel 2
Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009
Wilayah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten
0,97 0,68 0,72 0,41 NA 0,78
0,98 0,67 0,73 0,42 NA 0,79
0,95 0,67 0,73 0,43 NA 0,81
0,95 0,66 0,74 0,43 NA 0,82
0,95 0,65 0,75 0,40 NA 0,84
0,94 0,65 0,76 0,40 NA 0,85
0,95 0,65 0,76 0,40 NA 0,85
0,95 0,65 0,75 0,40 NA 0,91
0,95 0,65 0,75 0,40 NA 0,91
Kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa. Jawa Tengah memainkan peranan penting sebagai pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 34,12 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Pulau Jawa secara keseluruhan pada tahun 2009. Oleh karena itu kegiatan industri di Jawa Tengah lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKRT (Industri Kerajinan Rumah Tangga). 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
2008
2009
Gambar 14 Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Persen) Selanjutnya ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berada pada kisaran antara 0,64 sampai dengan 0,69 dan mengalami tren yang menurun. Angka ini masih tergolong tinggi, karena pertumbuhan kawasan-
65
kawasan industri yang besar berada di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah penting yang mendukung perekonomian DKI Jakarta. Sebagai dampaknya, perekonomian wilayah ini pun semakin cepat berkembang, ditandai dengan pemekaran wilayah, munculnya kawasan perkotaan dan metropolitan. Pemekaran provinsi terjadi pada tahun 2000 dengan adanya Provinsi Banten, sedangkan pemekaran kabupaten/kota sejak tahun 2001 antara lain Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi dari Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dari Kabupaten Ciamis. 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0,0000 2001
2002
Jawa
2003
2004
Jawa Barat
2005
2006
Jawa Tengah
2007
2008
DIY
2009
Banten
Gambar 15 Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Jawa Barat mempunyai tiga kawasan metropolitan, yang merupakan kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa publik dan pemerintahan, pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Dominasi kegiatan kota-kota di Jawa Barat adalah industri, pemukiman, perdagangan dan jasa. Kawasan metropolitan Bandung Raya terdiri dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi (Bodebek)
merupakan
Selanjutnya
kawasan
bagian
dari
metropolitan
kawasan Cirebon
metropolitan difungsikan
Jabodetabek. sebagai
pusat
66
pertumbuhan Jawa Barat bagian timur. Pertumbuhan perkotaan diharapkan mampu menciptakan aglomerasi yang berdampak positif terhadap wilayahwilayah di sekitarnya. Tingginya ketimpangan di Pulau Jawa didominasi oleh ketimpangan antar kota, dipicu oleh pembangunan kota sebagai pusat pertumbuhan. Apalagi dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam menentukan pembangunan di wilayahnya dan berlomba membangun pusat pertumbuhan. Koefisien variasi Williamson antar kota di Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,84 sampai dengan 0,88, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten/kota. Ketimpangan antar kabupaten lebih rendah lagi, berada pada kisaran antara 0,65 sampai dengan 0,68. Namun angka ini masih relatif tinggi dalam range penghitungan koefisien variasi Williamson. 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0,0000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Kabupaten di Pulau Jawa Kota di Pulau Jawa Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Gambar 16 Tren Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Besaran ketimpangan antar kota dan antar kabupaten lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota seluruh Pulau Jawa, artinya perbedaan kabupaten dan kota meningkatkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Pendapatan per kapita yang tinggi di perkotaan disebabkan semakin meningkatnya perusahaan-perusahaan industri yang besar
serta
kegiatan
perdagangan,
akomodasi dan jasa. Namun penghitungan ini masih dalam skala makro, karena
67
dihitung secara agregat dari pendapatan wilayah (termasuk perusahaan asing yang berada dalam wilayah tersebut). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut bias, artinya tidak sebesar pendapatan rata-rata jika dihitung secara makro. Hal ini dibuktikan dengan koefisien variasi yang dihitung dari data pengeluaran rumah tangga. Tabel 3
Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayahwilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009
Wilayah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten
0,39 0,34 0,22 0,29 0,29 0,39
0,35 0,32 0,25 0,37 0,30 0,32
0,29 0,30 0,17 0,30 0,25 0,28
0,30 0,29 0,23 0,31 0,26 0,22
0,39 0,27 0,26 0,35 0,37 0,37
0,33 0,31 0,25 0,34 0,29 0,28
0,33 0,32 0,28 0,31 0,24 0,29
0,44 0,40 0,32 0,30 0,40 0,36
0,37 0,31 0,29 0,27 0,26 0,37
Ketimpangan wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan ketimpangan dengan menggunakan PDRB per kapita. Ketimpangan tertinggi dan terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Pulau Jawa tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,16 sampai dengan 0,44. Ketimpangan dalam wilayah selama periode penelitian relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan ketimpangan dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita. Berdasarkan hasil penghitungan ketimpangan wilayah dengan menggunakan koefisien variasi Williamson tersebut, pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dapat dibandingkan menurut wilayah. Secara umum, tingkat ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB jauh lebih tinggi dibandingkan ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga (Gambar 17). Hal ini menunjukkan
bahwa
produksi
barang
dan
jasa
yang
dihasilkan
oleh
kabupaten/kota di Pulau Jawa hanya sedikit yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Artinya, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi masih banyak yang digunakan oleh penduduk di luar wilayah, mungkin DKI Jakarta, luar Jawa, atau luar negeri.
68
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
Pendekatan PDRB
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 17 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 Tingkat ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok, meskipun dalam penghitungannya inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun 2000. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan ketimpangan pada tahun 2005 dan tahun 2008. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 menyebabkan harga-harga kebutuhan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah menurun tajam. Di sisi lain, masyarakat yang berpenghasilan tinggi tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan primer yang mereka anggap penting. Akibatnya ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga meningkat. Fenomena ini terjadi juga di seluruh provinsi di Pulau Jawa yang termasuk dalam penelitian, kecuali Jawa Barat. Dampak kenaikan harga minyak terhadap kegiatan ekonomi di wilayah yang didominasi oleh sektor manufaktur terhadap peningkatan ketimpangan baru dirasakan pada tahun sesudahnya, terus meningkat sampai dengan tahun 2008, dan baru dapat diturunkan pada tahun berikutnya. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008 juga berdampak terhadap peningkatan ketimpangan yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa. Namun,
69
ketimpangan di D.I. Yogyakarta justru dapat diturunkan dari tahun sebelumnya karena struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor jasa, hingga mencapai 57,70 persen pada tahun 2009, yang menyebabkan sedikitnya pengaruh kenaikan harga minyak dalam kegiatan ekonomi.
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
Pendekatan PDRB
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 18 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
Pendekatan PDRB
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 19 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009
70
Jika ketimpangan antar provinsi di Pulau Jawa dibandingkan, selisih terbesar adanya perbedaan tingkat ketimpangan dengan dua pendekatan terjadi di Jawa Tengah, meskipun masih lebih rendah dibandingkan selisih ketimpangan di Pulau Jawa secara keseluruhan. Ketimpangan wilayah berdasarkan pengeluaran rumah tangga di Jawa Tengah memang lebih rendah dibandingkan provinsiprovinsi lainnya, artinya kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah relatif merata. Namun, angka ini berbeda dengan tingkat ketimpangan berdasarkan pendekatan PDRB, yang lebih tinggi dibandingkan D.I. Yogyakarta dan Banten. Perbedaan ini menyebabkan besarnya selisih ketimpangan dengan dua pendekatan tersebut. Fenomena yang sebaliknya terjadi di D.I. Yogyakarta. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB merupakan yang terkecil di seluruh Pulau Jawa, sedangkan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga relatif tinggi, sehingga selisih perbedaan ketimpangan merupakan yang terkecil.
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
Pendekatan PDRB
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 20 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 Perbedaan hasil penghitungan koefisien variasi Williamson dengan dua pendekatan dapat menggambarkan bagaimana pendapatan wilayah didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Semakin besar selisih hasil penghitungan dengan dua pendekatan, menunjukkan bahwa semakin besar pula pendapatan yang digunakan oleh orang lain yang tidak tinggal di
71
wilayah tersebut atau dapat dikatakan terjadi transfer pendapatan ke wilayah lain. Adanya investasi yang berasal dari luar daerah juga menjadi pemicu utama terjadinya transfer pendapatan karena pemiliknya akan mengambil pendapatan yang diperoleh dari wilayah tersebut dan dibelanjakan di luar daerah. Oleh karena itu penanaman modal dari luar daerah perlu mengkaji pengaruh negatif adanya pengurasan sumber daya lokal dan aliran pendapatan pemilik modal ke luar daerah.
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
Pendekatan PDRB
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 21 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 4.2. Konvergensi Wilayah 4.2.1. Konvergensi Pulau Jawa Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi secara makro yaitu di level wilayah kabupaten/kota dan secara mikro yaitu di level rumah tangga. Tingginya pendapatan wilayah tidak secara otomatis menyebabkan tingginya kesejahteraan masyarakatnya karena mungkin pendapatan di wilayah tersebut
72
dimiliki oleh orang asing atau dengan kata lain hasil produksi dibawa ke wilayah lain dan digunakan untuk kesejahteraan masyrakat lain. Proses konvergensi pendapatan dapat dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel PDRB. Nilai dari koefisien dari yt-1 yang kurang dari 1 menunjukkan adanya proses konvergensi, sedangkan nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota persisten. Model data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien yt-1 adalah 1,2722 dan signifikan pada level 5 persen, artinya proses konvergensi tidak terjadi di Pulau Jawa. Dengan kata lain, pendapatan di Pulau Jawa divergen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan pvalue 0,9870, artinya variabel instrumen yang digunakan valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. Tabel 4
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln pdrbt-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients 1,2722 0,0039 -0,0419 NA 596,6900 -4,0375 0,8011 14,0256
Standard Error 0,0645 0,0007 0,0132
P-value 0,0000 0,0000 0,0020 0,0000 0,0001 0,4231 0,9870
Catatan: variabel pajak digunakan sebagai instrumen Penghitungan konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa berbeda dengan hasil penelitian Bussoletti dan Esposti (2004) yang menghitung konvergensi pendapatan per kapita di daerah-daerah negara Eropa (berada pada kisaran 5 sampai dengan 7,5 persen). Penelitian antar provinsi di Kanada juga berada pada kisaran 6 sampai dengan 6,5 persen (Ralhan dan Dayanandan, 2005), sedangkan konvergensi provinsi-provinsi berpenghasilan tinggi yang letaknya berdekatan satu sama lain di Rusia yang mencapai 2,8 sampai 3,8 persen (Kholodilin et al., 2009). Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
73
ketimpangan masih berada pada tingkat yang relatif tinggi dan dengan tingkat konvergensi yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian Firdaus (2006), konvergensi antar provinsi di Indonesia sudah terjadi, namun hanya mencapai 1,01 persen dengan metode FD-GMM. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota di Pulau Jawa justru tidak terjadi. Hal ini disebabkan faktor yang cenderung berimplikasi terhadap pemerataan (spread effect) adalah berkembangnya sektor primer di wilayah sekitarnya (Pravitasari, 2009). Berdasarkan struktur perekonomian, sektor primer di Pulau Jawa lebih kecil dibandingkan dengan nasional. Fenomena ini disebabkan adanya pusat-pusat industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian yang berada pada Daerah Tingkat II menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah mempunyai potensi menyesatkan hasil penelitian jika tidak memperhitungkan efek spasial (spatial filtering) dalam model data panel dinamis (Badinger, et al., 2002). Tabel 5
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln const-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients
Standard Error
P-value
0,3421
0,0098
0,0000
0,2967 107,2755 1538,8200 -5,7980 -1,4747 61,6225
0,0351
0,0000 0,0000 0,0000 0,1403 0,0003
Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen Estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel pengeluaran rumah tangga per kapita. Nilai dari koefisien dari yt-1 sebesar 0,3421; mengindikasikan adanya konvergensi pengeluaran rumah tangga di antara kabupaten/kota di Pulau Jawa, dengan tingkat konvergensi sebesar 107,28 persen. Berdasarkan statistik uji
74
Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid ditolak, dengan p-value 0,0003. Hal ini menunjukkan bahwa variabel instrumen yang digunakan tidak valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi
dibandingkan
dengan
tingkat
konvergensi
pendapatan
wilayah
kabupaten/kota di Pulau Jawa, berbeda dengan hasil penelitian Ralhan dan Dayanandan (2005), yang menghitung konvergensi antar provinsi di Kanada. Konvergensi disposible income justru lebih kecil (2,89 persen) dibandingkan dengan konvergensi pendapatan per kapita (6 sampai 6,5 persen). Tingginya konvergensi pada level rumah tangga di Pulau Jawa karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.
4.2.2. Konvergensi Jawa Barat Perekonomian di Provinsi Jawa Barat didominasi oleh kegiatan industri pengolahan, dengan kontribusi mencapai 42,20 persen pada tahun 2009. Sektor ini mampu menjadi penopang utama perekonomian karena didukung oleh bahan baku dari sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Kontribusi sektor pertanian di Jawa Barat pada tahun 2009 mengalami peningkatan, berbeda dengan pola sektor pertanian di provinsi-provinsi lainnya, bahkan Pulau Jawa secara keseluruhan (Gambar 14). Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai 4,29 persen, yang kecepatannya menurun dari tahun sebelumnya sebesar 5,84 persen karena penurunan pada sektor utama.
75
Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat relatif stabil dengan peningkatan rata-rata berada pada kisaran angka 5 persen. Wilayah yang mengalami pertumbuhan yang fluktuatif disebabkan ketergantungan pertumbuhan wilayah terhadap minyak bumi, yaitu Kabupaten Indramayu yang pertumbuhan ekonominya turun hingga -7,51 persen pada tahun 2004 dan -7,82 pada tahun 2006.
Sebaliknya
Kabupaten
Karawang
justru
mengalami
peningkatan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 hingga mencapai 13,73 persen. Perkembangan
kota
dapat
menyebabkan
peningkatan
kecepatan
pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya, atau sebaliknya terjadi pengurasan sumber daya, baik tenaga kerja maupun bahan baku. Secara empiris, proses konvergensi pendapatan regional di Jawa Barat disajikan pada Tabel 6. Koefisien yt-1 sebesar 0,7908 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi pendapatan wilayah di Jawa Barat sebesar 23,47 persen. Hasil uji Sargan dengan statistik sebesar 1,2228 (p-value 0,9904), artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Namun model tidak konsisten karena masih ada serial correlation, dilihat dari signifikansi m1 yang seharusnya menolak hipotesis nol. Uji AB m2 sudah sesuai dengan teori untuk uji kekonsistenan model. Tabel 6
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln pdrbt-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients 0,7908 0,0007 0,0008 23,4694 1701,1400 -1,0005 0,9972 1,2228
Standard Error 0,0201 0,0035 0,0039
P-value 0,0000 0,8340 0,8300 0,0000 0,3170 0,3187 0,9904
Catatan: variabel pendidikan tenaga kerja digunakan sebagai instrumen Estimasi konvergensi dengan pendekatan pendapatan wilayah berbeda dengan hasil penelitian konvergensi Pulau Jawa. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat menuju ke satu titik tertentu (konvergen) karena pengaruh sumber daya alam yang mendorong besarnya kontribusi sektor manufaktur
76
terutama industri pengolahan. Posisi Jawa Barat yang dekat dengan pusat pertumbuhan terbesar di Indonesia menyebabkan wilayah-wilayah di Jawa Barat berkembang dengan cepat sebagai penopang kegiatan perekonomian DKI Jakarta sekaligus mendapat keuntungan adanya akses terhadap fasilitas yang tersedia dan informasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perusahaanperusahaan yang berpusat di DKI Jakarta yang sudah crowded biasanya mengembangkan usahanya di Jawa Barat. Ukuran kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan pengeluaran rumah tangga per kapita dapat lebih mencerminkan daya beli penduduk yang tinggal di wilayah tersebut karena pengukuran pendapatan wilayah dengan menggunakan PDRB melibatkan penduduk di luar wilayah yang memiliki kegiatan ekonomi di dalam wilayah. Proses konvergensi pengeluaran rumah tangga terjadi, ditandai dengan koefisien yt-1 yang kurang dari 1 pada model yaitu sebesar 0,2658. Tingkat konvergensi yang dihasilkan sebesar 132,52 persen, jauh lebih besar daripada estimasi konvergensi dengan menggunakan PDRB per kapita. Kriteria model data panel dinamis ditentukan oleh validitas dan konsistensi telah memenuhi syarat. Berdasarkan uji Sargan dengan statistik 15,2286 (p-value 0,9759), model FDGMM ini mempunyai variabel instrumen yang valid. Uji konsistensi dengan melihat m1 dan m2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten. Tabel 7
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln const-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients
Standard Error
P-value
0,2658
0,0024
0,0000
0,0032 132,5194 98129,7800 -2,8186 -1,5658 15,2286
0,0053
0,5410
Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen
0,0000 0,0048 0,1174 0,9759
77
4.2.3. Konvergensi Jawa Tengah Perkembangan wilayah di Jawa Tengah relatif stabil, tanpa adanya pemekaran wilayah administratif baik kabupaten maupun kota selama kurun waktu penelitian. Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota. Pusat pemerintahan di Kota Semarang, yang merupakan satu-satunya kota metropolitan di Jawa Tengah. Kegiatan ekonomi di kota ini didominasi oleh perdagangan dan pemukiman. Kota-kota pendukungnya adalah Surakarta, Cilacap, Tegal dan Pekalongan. Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah penghubung antara dua kutub (bipolar pattern) konsentrasi industri utama di Pulau Jawa yaitu Jabodetabek dan Surabaya. Namun nilai tambah sektor industri pengolahan Jawa Tengah pada tahun 2009 (124 trilyun rupiah) justru lebih besar dibandingkan dengan Jawa Timur (82 trilyun rupiah), walaupun nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jawa Barat (275 trilyun rupiah). Pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah di Jawa Tengah mengalami proses menuju ke satu titik tertentu. Nilai koefisien yt-1 pada lag variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif. Tingkat konvergensi mencapai 3,14 persen berdasarkan hasil empiris koefisien yt-1 sebesar 0,9691. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Penggunaan share sektor pertanian yang tepat dalam estimasi konvergensi di Jawa Tengah ini menunjukkan peranan sektor ini dalam perekonomian wilayah-wilayah di Jawa Tengah yang cukup besar, bahkan mendominasi kegiatan ekonominya. Sedangkan uji m1 dan m2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten. Trend laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 kabupaten/kota di Jawa Tengah secara deskriptif menuju ke suatu nilai tertentu, yaitu pada kisaran 5 persen. Wilayah yang perekonomiannya mengalami pertumbuhan ekstrim adalah Kabupaten Cilacap mencapai 8,59 persen pada tahun 2003 dan Kabupaten Kudus pada tahun 2005, walaupun pada tahun-tahun berikutnya mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kawasan indusri di Jawa Tengah, sehingga tidak mengherankan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah ini didominasi oleh
78
sektor industri pengolahan. Industri besar yang diselenggarakan antara lain pertamina, pabrik semen Holcim Indonesia Pabrik Cilacap, pabrik tepung Penganmas Inti Persada, dan pengolahan ikan PT. Juifa Internasional. Selain itu perekonomian Kabupaten Kudus juga didominasi oleh sektor manufaktur, dengan memanfaatkan keberadaan wilayah pada jalur pantai utara timur Jawa Tengah, yang menghubungkan Semarang dan Surabaya. Nilai tambah perekonomian pada sektor industri dihasilkan dari industri rokok, konveksi dan industri kertas. Kabupaten Kudus juga disebut Kota Kretek karena keberadaan industri rokok yang cukup terkenal, antara lain PT. Djarum, Sukun dan Notorono. Tabel 8
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln pdrbt-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients 0,9691 -0,0097 -0,0303 3,1434 12198,9600 -2,7410 -0,0415 17,4749
Standard Error 0,0090 0,0004 0,0204
P-value 0,0000 0,0000 0,1380 0,0000 0,0061 0,9669 0,7366
Catatan: variabel share sektor pertanian digunakan sebagai instrumen Kemampuan kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam memproduksi barang dan jasa tidak jauh berbeda, mencapai tidak lebih dari 5 trilyun rupiah dalam satu tahun kecuali tiga wilayah, yaitu Kabupaten Cilacap, Kota Semarang dan Kabupaten Kudus. Kota Semarang merupakan satu-satunya kota metropolitan di Jawa Tengah dan sebagai ibukota provinsi, merupakan pusat pemerintahan. Kota Semarang menempati urutan ketujuh kota terpadat di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi dan Tangerang. Proses konvergensi pendapatan wilayah terjadi di Jawa Tengah karena dipengaruhi oleh kemampuan wilayah-wilayahnya yang relatif homogen. Penelitian di Rusia juga menunjukkan bahwa konvergensi akan lebih cepat terjadi di wilayah yang lokasinya berdekatan dengan wilayah-wilayah yang berpenghasilan relatif sama (Kholodilin et al., 2009).
79
Estimasi konvergensi pendapatan wilayah di Jawa Tengah sejalan dengan peningkatan pemerataan kesejahteraan penduduk. Hal ini dibuktikan dengan penghitungan
konvergensi
pendekatan
pengeluaran
rumah
tangga
yang
menghasilkan koefisien yt-1 kurang dari 1 sehingga tingkat konvergensi yang terjadi positif. Lag pertama dari variabel dependen signifikan pada level 5 persen dengan koefisien sebesar 0,2892. Tingkat konvergensi yang diperoleh dari penghitungan tersebut adalah 124,09 persen. Kriteria pengujian model dilakukan dengan uji Sargan untuk melihat validitas variabel instrumen. Statistiknya sebesar 24,2029 (p-value 0,6708), menunjukkan bahwa instrumen variabel valid. Demikian pula pengujian konsistensi model dari statistik m1 dan m2 menunjukkan bahwa model sudah terbebas dari serial correlation. Kecepatan konvergensi di Jawa Tengah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga menghasilkan angka yang besar dibandingkan dengan pendekatan pendapatan regional, artinya ketimpangan kesejahteraan rakyat semakin mengecil dalam tingkat yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan wilayah. Tabel 9
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln const-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients
Standard Error
P-value
0,2892
0,0056
0,0000
0,2722 124,0683 2724,9300 -3,0629 0,7803 24,2029
0,1382
0,0490 0,0000 0,0022 0,4352 0,6708
Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen 4.2.4. Konvergensi Jawa Timur Jawa Timur merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dan menjadi pusat perekonomian di bagian timur Pulau Jawa. Tak mengherankan apabila kegiatan ekonomi pada sektor jasa mendominasi aktivitas ekonomi dan menghasilkan nilai tambah paling besar dalam perekonomian, hingga mencapai
80
51,51 persen pada tahun 2009. Kegiatan perdagangan dan akomodasi mempunyai peranan paling penting dalam sektor jasa, dengan kontribusi sebesar 31,63 persen. Sektor manufaktur juga memegang peranan penting terutama kegiatan industri pengolahan. Beberapa industri besar di Jawa Timur antara lain galangan pembuatan kapal terbesar di Indonesia (PT. PAL di Surabaya), industri besar kereta api terbesar di Asia Tenggara (PT. INKA di Madiun), pabrik kertas (PT. Tjiwi Kimia di Tarik-Sidoarjo, PT. Leces di Probolinggo), pabrik rokok (Wismilak di Surabaya, Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya dan Pasuruan, serta Bentoel di Malang) dan pabrik semen Gresik dan Petrokimia di Gresik. Kawasan industri estate meliputi Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Surabaya, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) di Pasuruan, Madiun Industrial Estate Balerejo (MIER) di Madiun, Ngoro Industrial Park (NIP) di Mojokerto, Kawasan Industri Jabon di Sidoarjo dan Lamongan Integrated Shorebase (LIS) di Lamongan. Jawa Timur merupakan provinsi yang mempunyai kabupaten/kota paling banyak di Indonesia, yaitu sebanyak 38 Daerah Tingkat II, terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Wilayah administratif relatif stabil seperti Jawa Tengah, hanya satu kabupaten dimekarkan sejak diselenggarakan otonomi daerah, yaitu Kota Batu dari Kabupaten Malang. Kemampuan perekonomian di wilayahwilayah tersebut juga relatif sama bila dilihat dari jumlah nilai tambah yang dihasilkan setiap tahun, kecuali Kota Surabaya, Kota Kediri dan Kabupaten Sidoarjo. Tabel 10
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln pdrbt-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients 1,2961 0,0254 -0,1629 NA 269,4500 -2,9982 -0,4872 11,5207
Standard Error 0,0904 0,0029 0,0191
P-value 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0027 0,6261 0,9051
81
Pola kecepatan pertumbuhan dari semua kabupaten/kota di Jawa Timur diuji untuk melihat proses konvergensi yang terjadi secara empiris (Tabel 10). Proses konvergensi pendapatan di Jawa Timur dilihat dari koefisien dari yt-1 yang lebih dari satu, mengindikasikan bahwa konvergensi tidak terjadi atau pendapatan di wilayah ini persisten (divergen). Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,9051. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial pada model atau model konsisten. Penelitian Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga tahun 1983 untuk cross-section 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 – 2001 menunjukkan hasil yang sama walaupun dengan metode yang berbeda. Proses konvergensi tidak ditemukan pada model absolut dengan menggunakan regresi OLS dan GLS, namun ditemukan dalam model spasial untuk wilayah-wilayah yang termasuk dalam kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin juga tidak ditemukan. Demikian juga berdasarkan penghitungan koefisien variasi Williamson, angka Jawa Timur tidak berada pada range antara 0 dan 1. Jawa Timur memiliki kabupaten/kota yang paling banyak di Indonesia dan perbedaan pendapatan antar wilayah sangat besar. PDRB per kapita tertinggi berada di Kota Kediri, mencapai 79,32 juta per kapita per tahun, 12 kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB per kapita terendah di Pulau Jawa (Kabupaten Grobogan sebesar 2,19 juta per kapita per tahun) atau 10 kali lebih besar dibandingkan dengan PDRB per kapita terendah di Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan sebesar 2,20 juta per kapita per tahun). Pendapatan wilayah Kota Kediri merupakan peringkat kedua di seluruh Pulau Jawa setelah Jakarta Pusat (106,61 juta per kapita per tahun). Tidak seperti Jawa Barat yang menjadi penopang pusat pertumbuhan, letak Jawa Timur yang relatif jauh dari DKI Jakarta membuatnya menjadi pusat pertumbuhan di kawasan timur Pulau Jawa. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan kabupaten/kota di Jawa Timur secara umum berada pada kisaran 5 persen. Pola pertumbuhan Kabupaten Bojonegoro berbeda dari wilayah lainnya karena dipengaruhi oleh hasil minyak
82
bumi yang tidak teratur dan tidak stabil. Nilai tambah perekonomian di kabupaten ini didominasi oleh sektor pertambangan dengan kontribusi sebesar 29,38 persen pada tahun 2009. Kecepatan pertumbuhan yang relatif sama ini justru membuat wilayah-wilayah tidak mengalami proses konvergensi, wilayah yang terbelakang tidak mampu mengejar perkembangan wilayah yang telah lebih dahulu maju. Tabel 11
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
ln const-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2 Sargan Test
Estimated Coefficients
Standard Error
P-value
0,4466
0,0495
0,0000
0,1852 80,6167 82,8100 -3,1811 -0,8532 21,8297
0,1344
0,1680 0,0000 0,0015 0,3935 0,7891
Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen Estimasi konvergensi dengan pendekatan pendapatan wilayah harus dibandingkan dengan pendekatan rumah tangga sehingga pola konvergensi yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dapat terlihat (Tabel 11). Berbeda dengan pendekatan PDRB, proses konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga terjadi di Jawa Timur, ditunjukkan dengan nilai koefisien yt-1 sebesar 0,4466 dan menghasilkan tingkat konvergensi 80,62 persen. Berdasarkan uji Sargan, variabel instrumen valid (p-value 0,7891). Model juga konsisten dilihat dari signifikansi m1 (p-value 0,0015) dan m2 (p-value 0,3935). Terjadinya proses konvergensi dari penghitungan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita di Jawa Timur menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga semakin merata dan tingkat ketimpangannya semakin mengecil serta terjadi pemerataan kecepatan pada level rumah tangga.
4.2.5. Perbandingan Konvergensi di Pulau Jawa Penghitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan kriteria validitas dan konsistensi. Uji Sargan merupakan suatu pendekatan untuk
83
mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (variabel instrumen valid), artinya instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara itu untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statistik m1 yang signifikan dan nilai statistik m2 yang tidak signifikan. Tabel 12
Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Uraian Pendekatan PDRB Jawa Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Uji Validitas valid valid valid valid
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Jawa tidak valid Jawa Barat valid Jawa Tengah valid Jawa Timur valid
Uji Konsistensi konsisten tidak konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten
Perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah dapat menyebabkan ketimpangan wilayah apabila daerah yang telah maju tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih tertinggal. Namun, ketimpangan akan berkurang apabila terjadi sebaliknya dan daerah yang kurang maju dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah yang sebelumnya lebih dahulu maju. Ketimpangan pendapatan wilayah di Pulau Jawa sangat tinggi dan proses konvergensi tidak terjadi, artinya wilayah yang kaya semakin besar pendapatannya dan yang miskin tidak mampu mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang telah maju. Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada level rumah tangga, ketimpangan kesejahteraan rumah tangga telah berkurang, dibuktikan dengan koefisien lag variabel pengeluaran rumah tangga yang positif dan menghasilkan konvergensi pada tingkat yang relatif besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Proses konvergensi pendapatan kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi karena PDRB
84
meliputi konsumsi, investasi dan semua aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seluruh pelaku ekonomi, baik rumah tangga, perusahaan swasta maupun pemerintah. Sedangkan pendekatan pengeluaran hanya melibatkan unsur rumah tangga dalam penghitungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan akan lebih cepat terjadi apabila fokus pembangunan diarahkan pada level rumah tangga dan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut kemampuan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 13
Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM Uraian
Koefisien yt-1
Pendekatan PDRB Jawa Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Pendekatan Pengeluaran Jawa Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Implied λ
1,2722 0,7908 0,9691 1,2961
NA 23,4694 3,1434 NA
0,3421 0,2658 0,2892 0,4466
107,2755 132,5194 124,0683 80,6167
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa tingkat konvergensi pendapatan paling tinggi terjadi di Jawa Barat, selanjutnya Jawa Tengah. Tingkat konvergensi dalam provinsi ini lebih besar dibandingkan seluruh pulau karena spillover aktivitas ekonomi suatu wilayah akan lebih dirasakan wilayah lain dalam satu provinsi dibandingkan seluruh pulau. Hal ini didukung oleh kebijakan desentralisasi fiskal memberi dampak semakin besarnya kewenangan daerah untuk mengatur keuangan daerah sesuai dengan prioritas daerahnya. Provinsi Jawa Barat mempunyai tingkat konvergensi yang paling besar di antara wilayah lainnya, baik pendekatan
pendapatan
regional
maupun
pengeluaran
rumah
tangga.
Ketimpangan yang terjadi di Jawa Barat juga merupakan yang terkecil dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur dilihat dari koefisien variasi Williamson. Walaupun koefisien variasi Williamson Jawa Tengah menunjukkan ketimpangan wilayah yang semakin meningkat, namun ada upaya untuk
85
mengurangi tingkat pembangunan wilayahnya sehingga semakin merata, ditunjukkan dengan konvergensi yang terjadi. Selain itu struktur perekonomian Jawa Tengah yang relatif didominasi sektor pertanian daripada sektor manufaktur seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur menyebabkan perekonomian yang stabil karena persaingan antar wilayah belum mengarah pada sektor manufaktur. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita Jawa Tengah sebesar 3,14 persen berada pada range penelitian Kholodilin et al. (2009) yang menghitung konvergensi provinsi-provinsi berpenghasilan tinggi yang letaknya berdekatan satu sama lain di Rusia (2,8 sampai dengan 3,8 persen).
4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Ketimpangan wilayah sering terjadi di negara-negara berkembang karena perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kesempatan dan peluang pembangunan pada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisinya sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (Sjafrizal, 2008). Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis ketimpangan ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4780. R-square sebesar 0,8685 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 86,85 persen variasi ketimpangan wilayah, sedangkan 13,35 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model. Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa dipengaruhi oleh share manufaktur secara negatif, share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas secara negatif, jumlah puskesmas secara negatif, jumlah energi listrik yang terjual secara positif dan volume air bersih yang disalurkan secara positif. Peningkatan kegiatan ekonomi di sektor manufaktur dan peningkatan pendidikan tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Demikian juga peningkatan infrastruktur sarana kesehatan puskesmas juga menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Namun, peningkatan energi listrik yang terjual dan volume air
86
bersih yang disalurkan kepada konsumen justru meningkatkan ketimpangan wilayah. Tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share sektor ekonomi memengaruhi ketimpangan PDRB dengan elastisitas 0,78. Jika kontribusi manufaktur meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan akan menurun sebesar 0,78 persen. Arah yang sama terjadi pada variabel pendidikan karena ketimpangan di Pulau Jawa dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia. Jika kontribusi tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan pendapatan menurun 1,93 persen. Tabel 14
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis Variable C LOG(GOVEXP) LOG(AGRI) LOG(MANU) LOG(EDU) LOG(PUSKES) LOG(ELECTRIC) LOG(WATER) LOG(ROAD) R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
8,7488 0,1269 -0,4061 -0,7784 -1,9334 -1,6334 0,9488 0,2696 0,1382 0,8924 0,8685 37,3326 0,0000 1,7757
2,8058 0,0645 0,3800 0,3277 0,2660 0,2713 0,2443 0,1055 0,1281
Prob. 0,0036 0,0569 0,2923 0,0230 0,0000 0,0000 0,0004 0,0150 0,2880
Selanjutnya infrastruktur di Pulau Jawa menjadi penentu kesenjangan pembangunan wilayah, meliputi sarana kesehatan berupa puskesmas, listrik dan air bersih. Selain pendidikan, sarana kesehatan mempunyai elastisitas yang tinggi dalam upaya menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Jika jumlah puskesmas di suatu provinsi naik sebesar 1 persen, maka ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan sebesar 1,63 persen. Data yang digunakan untuk mengukur variabel kesehatan adalah jumlah puskesmas karena merupakan pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja),
87
sehingga penggunaan data jumlah puskesmas dalam variabel ini dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif. Sebaliknya dengan infrastruktur listrik dan air bersih, kenaikan variabel ini justru meningkatkan ketimpangan wilayah, dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,95 dan 0,27. Pengguna energi listrik yang terjual didominasi oleh industri dan bisnis walaupun jumlah pelanggan paling besar adalah rumah tangga. Ketidakmerataan keberadaan industri di Pulau Jawa menyebabkan variabel listrik meningkatkan ketidakmerataan pembangunan wilayah. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di kota-kota besar. Selain karena sulitnya mendapatkan air bersih yang alami, daerah perkotaan biasanya dipadati dengan pemukiman sehingga penggunaannya tidak merata di Pulau Jawa. Tabel 15
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis Variable C LOG(GOVEXP) LOG(AGRI) LOG(MANU) LOG(EDU) LOG(PUSKES) LOG(ELECTRIC) LOG(WATER) LOG(ROAD) R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
Prob.
-10,5350 0,6262 -0,0532 0,0976 0,6953 -0,6160 0,1906 -0,2351 0,2220 0,6809 0,4985 3,7341 0,0011
10,1538 0,6349 0,4206 0,3464 0,3049 0,4641 0,2612 0,1580 0,1417
0,3084 0,3324 0,9003 0,7801 0,0304 0,1951 0,4715 0,1478 0,1284
Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa dilakukan juga dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis ketimpangan ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,0098. R-square sebesar 0,4985 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 49,85 persen variasi ketimpangan pengeluaran rumah tangga, sedangkan 50,15 persen sisanya dijelaskan oleh
88
variabel lainnya yang tidak ada dalam model. Kecilnya nilai R-square ini disebabkan sedikitnya variabel independen yang signifikan dalam model, hanya variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas yang memengaruhi variabel dependen. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas justru meningkatkan ketimpangan dalam rumah tangga dengan elastisitas 0,70 artinya setiap kenaikan share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas sebesar 1 persen, akan meningkatkan ketimpangan pengeluaran rumah tangga sebesar 0,70 persen. Tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas dan penghasilan rumah tangga, selanjutnya pengeluaran rumah tangga. Pada level rumah tangga, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi.
4.4. Implikasi Kebijakan Ketimpangan antar wilayah merupakan fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat mengakibatkan masalah-masalah ekonomi yang berkepanjangan dan juga tantangan sosial dan politik bahkan dapat memicu disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab penting dalam mewujudkan pemerataan dan distribusi hasil-hasil pembangunan ke arah keseimbangan proporsional sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Setiap wilayah diharapkan dapat mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang cukup untuk kesejahteraan masyarakatnya, tidak hanya peningkatan pendapatan regional secara makro, tetapi juga meso dan mikro. Pemenuhan kebutuhan pada tingkat mikro bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil industri atau pertaniannya, untuk mendukung perekonomian nasional (Soedjito, 1997). Pada tingkat meso dilakukan pengembangan wilayah dengan
89
jalan mengaitkan antar-wilayah agar tercipta pusat-pusat pertumbuhan, yang seyogyanya diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 1. Memperjelas hierarki kota dengan menghindari dominasi kota inti terhadap daerah belakangnya sehingga timbul keserasian pembangunan dan arus urbanisasi dapat dikurangi. 2. Wilayah yang telah memiliki sarana dan prasarana lebih lengkap diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan agar tidak terjadi pengurasan sumber daya dan eksploitasi daerah-daerah di sekitarnya. 3. Alokasi dana pembangunan lebih diarahkan untuk pembangunan investasi yang mendorong perkembangan ekonomi jangka panjang, terutama pembangunan infrastruktur. Koordinasi pembangunan antar wilayah bukan berarti memperbesar wilayah metropolitan sebagai pusatnya, namun adanya interaksi saling menguntungkan yang tidak bertentangan dengan kebijakan di tingkat nasional sekaligus mewujudkan visi dan misi kebijakan regional. Kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 ternyata tidak berjalan sesuai dengan tujuan utama yaitu memeratakan pembangunan pada tingkat pemerintahan yang kecil yaitu kabupaten/kota. Hasil penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
ketimpangan
pendapatan
wilayah
kabupaten/kota di Pulau Jawa masih sangat tinggi dan tidak mengalami proses konvergensi, artinya wilayah yang perekonomiannya tertinggal belum dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang sudah lebih maju. Jika dilihat menurut provinsi, Jawa Timur mengalami masalah yang sama yaitu terjadinya proses divergensi, yang disebabkan adanya pusat pertumbuhan yang tidak mampu memberdayakan potensi ekonomi wilayah di sekitarnya. Masalah mendasar yang berhubungan dengan ketimpangan wilayah adalah adanya konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan manufaktur, terutama industri pengolahan. Hal ini disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dengan adanya cluster beberapa kegiatan produksi di suatu wilayah yang disebut aglomerasi. Beberapa keuntungan aglomaerasi yang disebutkan dalam Sjafrizal (2008) dan Capello (2007) adalah:
90
1. Keuntungan skala besar, merupakan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata per unit karena produksi dilakukan dalam skala besar. Hal ini merupakan keuntungan eksternal yang menimbulkan daya tarik bagi investor untuk datang dan mengembangkan produksi di pusat pertumbuhan tersebut. 2. Keuntungan lokalisasi, merupakan keuntungan dalam bentuk penghematan ongkos angkut, baik untuk bahan baku dan hasil produksi, yang timbul karena berlokasi secara terkonsentrasi dengan perusahaan terkait lainnya di pusat pertumbuhan. 3. Keuntungan urbanisasi, merupakan keuntungan yang muncul karena penggunaan fasilitas dalam sebuah pusat pertumbuhan secara bersama seperti listrik, pergudangan, telepon, air minum dan fasilitas lainnya yang menunjang kegiatan operasional perusahaan. Keuntungan wilayah tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan jaringan. Sebuah jaringan usaha adalah hubungan kerja sama antara dua atau lebih perusahaan yang saling berkaitan untuk berbagi informasi, teknologi, pengetahuan pasar, pengembangan produk dan kualitas produk untuk melakukan kegiatan produksi. Kerja sama antar perusahaan terbukti sangat menguntungkan karena terjadi peningkatan kemampuan dan daya saing melalui akses pada pelanggan baru, pasar dan pengaruh imbas pengetahuan. Di sisi lain, aglomerasi akan mengarah pada pemusatan pertumbuhan di wilayah-wilayah tertentu dan selanjutnya dapat meningkatkan ketimpangan wilayah apabila tidak mampu direspon oleh wilayah-wilayah terbelakang dan jauh dari pusat pertumbuhan. Kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketimpangan di Pulau Jawa dengan meningkatkan akses wilayah terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi dan kemajuan teknologi. Pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh wilayah merupakan salah satu cara penting yang dapat dilakukan, karena pemerataan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk kebutuhan rutin dan operasional terbukti tidak mampu mengurangi ketimpangan wilayah. Alokasi pengeluaran pemerintah perlu dikaji ulang dengan mengutamakan pembangunan investasi jangka panjang yang lebih merata dan dapat dinikmati masyarakat luas, khususnya untuk fasilitas
91
kesehatan dan pendidikan. Pemerataan pembangunan manufaktur terutama industri pengolahan dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan bukan di pusat pertumbuhan, dengan tetap melihat potensi lokal.
Halaman ini sengaja dikosongkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa masih sangat tinggi dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota dalam provinsi dan didominasi oleh ketimpangan antar kota. 2. Konvergensi pendapatan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi (divergen), demikian juga di Jawa Timur. Tingkat konvergensi tertinggi terjadi di Jawa Barat karena kontribusi sektor manufaktur. Sementara itu konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga sangat tinggi di setiap provinsi dan keseluruhan Pulau Jawa. 3. Faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan adalah share manufaktur, pendidikan tenaga kerja, infrastruktur kesehatan, energi listrik dan air bersih. Ketimpangan pengeluaran rumah tangga hanya dipengaruhi tingkat pendidikan tenaga kerja.
5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, disarankan adanya kebijakan industri yang lebih bijaksana, agar tidak terjadi pengurasan sumber daya di sekitarnya dan tidak meningkatkan ketimpangan wilayah antar kabupaten/kota. Namun sektor manufaktur secara umum perlu ditingkatkan dan dimeratakan di seluruh Pulau Jawa karena dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar provinsi. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, yaitu dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah, sehingga tidak hanya rumah tangga yang menjadi pelaku ekonomi mempercepat proses pemerataan pembangunan wilayah. Input tenaga kerja dalam perekonomian tidak hanya berperan dari segi kuantitasnya, namun juga dari sisi kualitas. Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia terutama angkatan kerja dapat menjadi kebijakan strategis untuk mengurangi ketimpangan wilayah. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah
94
tangga. Peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai upaya memutuskan lingkaran setan kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan konvergensi pendapatan wilayah. Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat ketimpangan di Pulau Jawa. Infrastruktur kesehatan yang berhubungan dengan produktivitas tenaga kerja menjadi solusi yang penting, terutama pelayanan kesehatan yang merata ke seluruh wilayah. Selanjutnya kebijakan infrastruktur yang berkaitan dengan industri khususnya masalah energi perlu mendapat perhatian agar perkembangan sektor ini tidak meningkatkan ketimpangan pembangunan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang menganjurkan lokasi industri digeser dari daerah urban yang padat ke daerah rural, tanpa mengesampingkan lokasi bahan baku industri agar berdaya saing lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Badinger, H., W. G. Muller, and G. Tondl. 2002. Regional Convergence in the European Union (1985 – 1999). IEF Working Papers 47:7-17. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Ed ke-3. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Barro, R. dan X. Sala-i-Martin. 1995. Economic Growth. New York: McGrawHill. Baum, C., M. Schaffer and S. Stillman. 2003. Instrumental Variables and GMM: Estimation and Testing. Working Paper 545:14-28. Blanchard, O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. Bose, N., J. Holman and K. Neanidis. 2005. The Optimal Public Expenditure Financing Policy: Does the Level of Economic Development Matter?. Centre for Growth and Business Cycle Research 057:1-4. Bussoletti, S. dan R. Esposti. 2004. Regional Convergence, Struktural Funds and The Role of Agriculture in The EU. Dipartimento Di Economia 220:2-23. Capello, R. 2007. Regional Economics. New York: Routledge. Chenery, H. B. 1980. Structural Change and Development Policy. World Bank Reserch Publication. De Janvry, A., E. Sadoulet and N. Zhu. 2005. The Role of Non-Farm Incomes in Reducing Rural Poverty and Inequality in China. Department of Agricultural & Resource Economics UC Berkeley Working Paper 80207:1318. Ding, S. dan J. Knight. 2008. Can The Augmented Solow Model Explain China’s Economic Growth? A Cross-Country Panel Data Analysis. Department of Economics Discussion Paper Series 380:18-32. Dornbusch, R., S. Fischer, R. Startz. 2008. Macroeconomics. Ed ke-8. New York: McGraw-Hill. Firdaus, M. 2006. Impact of Investment Inflows on Regional Disparity in Indonesia [disertasi]. Malaysia: Universiti Putra Malaysia. Ikhsan. 2004. Hubungan Antara Infrastruktur dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan. Jakarta: LPEM.
96
Jhingan. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Kholodilin, K., A. Oshchepkov and B. Siliverstovs. 2009. The Russian Regional Convergence Process: Where Does It Go?. Discussion Papers 861:12-18. Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Liu, X. and T. Sicular. 2008. Non-agricultural Employment Determinants and Income Inequality Decomposition. EPRI Working Paper 6:7-9. Mangkosoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE. Mankiw, G., D. Romer and D. Weil. 1990. A Contribution to The Empirics of Economic Growth. NBER Working Papers Series 3541:17-24. Mankiw, G. 2007. Makroekonomi. Ed ke-6. Jakarta: Erlangga. Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Makalah disampaikan dalam seminar pendalaman ekonomi rakyat. Murty. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balanced Development. New Delhi: Kanishka Publishers. Omilola, B. 2009. Rural Non-farm Income and Inequality in Nigeria. IFPRI Discussion Paper 00899:18-20. Oyekale, A. S., A. I. Adeoti and T. O. Oyekale. 2006. Measurement and Sources of Income Inequality among Rural and Urban Households in Nigeria. PMMA Working Paper 20:12-22. Pontoh, N. dan I. Kustiawan. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB. Pravitasari, A. E. 2009. Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi Daerah [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Quah, D. 1995. Empirics for Economic Growth and Convergence. Centre for Economic Performance Discussion Paper 253:10-23. Ralhan, M. dan A. Dayanandan. 2005. Convergence of Income Among Provinces in Canada – An Application of GMM Estimation. Econometrics Working Paper EWP 0502:13-21.
97
Rumayya, W. W. dan E. A. Laandiyanto. 2005. Growth in East Java: Convergence or Divergence?. EconWPA 0508:15-16. Sibarani. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Sumatera Barat: Pranita Offset. Soedjito, B. B. 1997. Strategi Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dalam Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Stiglitz, J. 2000. Economics of The Public Sector. Ed ke-3. New York: WW Norton. Sukirno, S. 1995. Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta: LPFE-Universitas Indonesia. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia. Todaro, M. dan S. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga. UNESCO. 2008. Overcoming Inequality: Why Governance Matters. Paris: United Nations Educational, Science and Cultural Organization. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. New York: Oxford University Press.
LAMPIRAN
101
Lampiran 1 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(tax) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
31
Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
735 105
min = avg = max =
7 7 7
= =
596.69 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------pdrb | L1. | 1.272203 .0645141 19.72 0.000 1.145758 1.398648 inv | .0038608 .0006943 5.56 0.000 .0025 .0052216 labour | -.0419221 .0132086 -3.17 0.002 -.0678106 -.0160337 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour tax . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-4.0375 0.0001 | | 2 | .80113 0.4231 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(28) Prob > chi2
= =
14.02562 0.9870
102
Lampiran 2 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond cons labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
30
Wald chi2(2) Prob > chi2
= =
735 105
min = avg = max =
7 7 7
= =
1538.82 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------cons | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------cons | L1. | .3420649 .0097708 35.01 0.000 .3229144 .3612154 labour | .2966782 .0350747 8.46 0.000 .2279332 .3654233 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).cons Standard: D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 | -5.798 0.0000 | | 2 |-1.4747 0.1403 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(28) Prob > chi2
= =
61.62246 0.0003
103
Lampiran 3 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(edu) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
10
Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
154 22
min = avg = max =
7 7 7
= =
1701.14 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------pdrb | L1. | .7908129 .0201494 39.25 0.000 .7513209 .830305 inv | .0007387 .0035167 0.21 0.834 -.0061539 .0076313 labour | .0008255 .0038542 0.21 0.830 -.0067287 .0083796 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour edu . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-1.0005 0.3170 | | 2 | .9972 0.3187 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(7) Prob > chi2
= =
1.222773 0.9904
104
Lampiran 4 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond cons labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
30
Wald chi2(2) Prob > chi2
= =
154 22
min = avg = max =
7 7 7
= =
98129.78 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------cons | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------cons | L1. | .2657513 .0023791 111.70 0.000 .2610885 .2704142 labour | .0032119 .0052579 0.61 0.541 -.0070934 .0135171 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).cons Standard: D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.8186 0.0048 | | 2 |-1.5658 0.1174 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(28) Prob > chi2
= =
15.22856 0.9759
105
Lampiran 5 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(agri) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
25
Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
245 35
min = avg = max =
7 7 7
= =
12198.96 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------pdrb | L1. | .9690546 .0089665 108.08 0.000 .9514807 .9866286 inv | -.0097309 .0003609 -26.96 0.000 -.0104383 -.0090235 labour | -.0302975 .020401 -1.49 0.138 -.0702827 .0096878 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour agri . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 | -2.741 0.0061 | | 2 |-.04146 0.9669 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(22) Prob > chi2
= =
17.47494 0.7366
106
Lampiran 6 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond cons labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
30
Wald chi2(2) Prob > chi2
= =
245 35
min = avg = max =
7 7 7
= =
2724.93 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------cons | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------cons | L1. | .2891866 .0055555 52.05 0.000 .278298 .3000753 labour | .2722497 .1381658 1.97 0.049 .0014498 .5430497 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).cons Standard: D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-3.0629 0.0022 | | 2 | .7803 0.4352 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(28) Prob > chi2
= =
24.20292 0.6708
107
Lampiran 7 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
22
Wald chi2(3) Prob > chi2
= =
259 37
min = avg = max =
7 7 7
= =
269.45 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------pdrb | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------pdrb | L1. | 1.296053 .0904012 14.34 0.000 1.11887 1.473236 inv | .0254245 .0028944 8.78 0.000 .0197516 .0310974 labour | -.1629341 .0191343 -8.52 0.000 -.2004367 -.1254315 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-2.9982 0.0027 | | 2 |-.48717 0.6261 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(19) Prob > chi2
= =
11.52072 0.9051
108
Lampiran 8 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2001 to 2009 1 unit
. xtabond cons labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
30
Wald chi2(2) Prob > chi2
= =
259 37
min = avg = max =
7 7 7
= =
82.81 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------cons | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------cons | L1. | .4465664 .0494846 9.02 0.000 .3495784 .5435544 labour | .1851766 .1343795 1.38 0.168 -.0782024 .4485556 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).cons Standard: D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-3.1811 0.0015 | | 2 |-.85323 0.3935 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(28) Prob > chi2
= =
21.82968 0.7891
109
Lampiran 9 Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis log(cvpdrb) c log(govexp) log(agri) log(manu) log(edu) log(puskes) log(electric) log(water) log(road) Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test period random effects
Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
Period random
7.556099
8
0.4780
Dependent Variable: LOG(CVPDRB) Method: Panel EGLS (Period random effects) Date: 04/30/11 Time: 21:38 Sample: 2001 2009 Periods included: 9 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 45 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(GOVEXP) LOG(AGRI) LOG(MANU) LOG(EDU) LOG(PUSKES) LOG(ELECTRIC) LOG(WATER) LOG(ROAD)
8.748794 0.126920 -0.406062 -0.778394 -1.933437 -1.633430 0.948843 0.269558 0.138175
2.805826 0.064518 0.379958 0.327651 0.266021 0.271338 0.244344 0.105508 0.128111
3.118082 1.967212 -1.068702 -2.375678 -7.267988 -6.019900 3.883227 2.554852 1.078551
0.0036 0.0569 0.2923 0.0230 0.0000 0.0000 0.0004 0.0150 0.2880
Effects Specification S.D. Period random Idiosyncratic random
4.40E-07 0.127927
Rho 0.0000 1.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.892428 0.868524 0.127136 37.33263 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.282400 0.350626 0.581887 1.775738
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.892428 0.581887
Mean dependent var Durbin-Watson stat
4.282400 1.775738
110
Lampiran 10 Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis log(cvcons) c log(govexp) log(agri) log(manu) log(edu) log(puskes) log(electric) log(water) log(road) Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test period random effects
Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
Period random
20.149914
8
0.0098
Dependent Variable: LOG(CVCONS) Method: Panel Least Squares Date: 04/30/11 Time: 22:43 Sample: 2001 2009 Periods included: 9 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 45 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(GOVEXP) LOG(AGRI) LOG(MANU) LOG(EDU) LOG(PUSKES) LOG(ELECTRIC) LOG(WATER) LOG(ROAD)
-10.53499 0.626169 -0.053177 0.097645 0.695269 -0.615969 0.190641 -0.235106 0.222016
10.15378 0.634878 0.420567 0.346386 0.304890 0.464083 0.261170 0.157954 0.141687
-1.037544 0.986283 -0.126442 0.281898 2.280395 -1.327280 0.729952 -1.488442 1.566941
0.3084 0.3324 0.9003 0.7801 0.0304 0.1951 0.4715 0.1478 0.1284
Effects Specification Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.680893 0.498546 0.124080 0.431087 40.73019 3.734054 0.001131
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.387380 0.175222 -1.054675 -0.372158 -0.800240 2.286825