KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
ARBA’IN NUR BAWONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011 Arba’in Nur Bawono NRP A156070071
ABSTRACT ARBA’IN NUR BAWONO. Spatial Dependence of Labour Productivity Disparities of Districts/Cities at Java Island. Under Direction of SETIA HADI, KOMARSA GANDASASMITA and DIDIT OKTA PRIBADI Using 115 districts/cities at Java Island and 9 sectors on the 2001-2008, this study use Esteban’s shift share analysis to investigate the extent to which the existing interregional disparities in labour productivity can be attributed. The different between labour productivity of districts/cities and Java Island average is regressed on the three shift share components: industrial mix, productivity different, and allocative. However, labour productivity is not only influenced by three shift share components as explanatory variables but also by aspects related to surrounding districts/cities (neighborhood). Therefore, this research employed spatial econometric models, i.e. spatial lag model and spatial error model. We observed significant spatial effect for productivity different and the industrial mix component, productivity different as well as allocative components. The result found that labor productivity disparities across districts/cities in Java Island could be attributed to the industry mix, productivity different and allocative components. Whereas the highest coefficient regression value indicated by industrial mix component. Therefore, policies are needed not only for the transformation of labor from one sector (eg. primary sector) to other sectors (eg. secondary sector). It’s necessary to promote policy emphasis on increasing sectoral labour productivity, for example through empowering labor skills and improving of socioeconomic infrastructure. Keywords: labour productivity, shift share analysis, spatial regression
RINGKASAN ARBA’IN NUR BAWONO. Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SETIA HADI, KOMARSA GANDASASMITA dan DIDIT OKTA PRIBADI Terdapat tiga macam ukuran yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan penelitian. Penggunaan ouput per pekerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah penduduk (pekerja) dibanding dengan penggunaan output yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output per kapita (PDRB perkapita). Penggunaan unit spasial (misalnya, kabupaten/kota) sebagai unit analisis perlu mempertimbangkan efek spasial, yaitu kemungkinan terjadinya nilai yang mirip pada wilayah yang berdekatan sebagaimana dinyatakan hukum geografi I (Tobler’s first law of geography). Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: (i) Apakah terdapat efek spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga di sekitarnya (neighborhood)? (ii) Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa? Sehubungan dengan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan model regresi spasial. Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota secara sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kamarianakis dan Le Gallo yang memformulasikan penyebab perbedaan produktivitas antar wilayah dengan menggunakan analisis shift share yang dikembangkan Esteban. Dengan teknik dekomposisi, Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu megara dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: (i) struktur ekonomi masingmasing negara secara sektoral, (ii) perbedaan produktivitas tenaga kerja pada sektor yang sama di negara yang berbeda, dan (iii) perbedaan alokasi tenaga kerja di masing-masing sektor. Analisis spasial dalam penelitian ini difokuskan untuk menguji keberadaan efek spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten-kabupaten/kota-kota tetangga di sekitarnya (neighborhood). Autokorelasi spasial dapat didefinisikan sebagai kejadian suatu nilai yang mirip berada pada lokasi yang mirip. Autokorelasi spasial akan bernilai positif jika terdapat pengelompokan (clustering) kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama, yaitu kabupaten/kota dengan tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah). Sebaliknya nilai autokorelasi spasial akan
negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi). Keberadaan pola spasial tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perlunya menyusun sebuah model ekonometri spasial kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2001 sampai dengan 2008 relatif tidak terdapat perubahan yang signifikan pada peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota terhadap rata-rata produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Pengujian menggunakan uji beda peringkat Kendall (Kendall concordance test) menghasilkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) sebesar < 0,05 dan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 yang berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan. Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya. Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang. Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Sedangkan pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata lebih tersebar, sebagian berada pada rata-rata ditambah standar deviasi bahkan sampai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah. Hasil analisis menggunakan regresi spasial dengan data panel yang menggabungkan sekaligus antara data 115 kabupaten/kota selama 8 tahun (dari 2001 sa,pai 2008) menyimpulkan bahwa ketiga komponen shift share berpengaruh secara nyata terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian dengan menggunakan Lagrange Multiplier (LM), uji Hausman dan membandingkamn antara R2 dan Corr2 dapat disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component (μi) dan the Productivity Differential Component (πi) model terbaik yang didapatkan adalah spatial lag atau spatial autoregressive (SAR) fixed effect. Sementara untuk variabel penjelas the Allocative Component (αi) model terbaiknya adalah spatial error (SEM) fixed effect.
Model regresi spasial yang dikembangkan juga memperlihatkan signifikansi efek spasial pada hubungan antara masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut berarti perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh perubahan komponen shift share (alokasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja sektoral) di kabupaten/kota tetangga. Oleh karena itu, disarankan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya memperhatikan transformasi tenaga kerja dari suatu sektor ke sektor lain, misalnya dari sektor primer ke sektor sektor sekunder. Tetapi perlu untuk memperhatikan produktivitas tenaga kerja secara sektoral, misalnya melalui peningkatan ketrampilan tenaga kerja, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi pendukung, dan lain-lain. Peningkatan keahlian dan ketrampilan tersebut juga dapat menjadi solusi adanya hambatan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya. Berdasarkan temuan adanya keterkaitan spasial maka disarankan koordinasi antar kabupaten/kota yang bertetangga untuk bersinergi meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Misalnya, untuk peningkatan infrastruktur sosial ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektoral perlu memperhatikan skala layanan dan efek limpahan manfaat (spillover effect) sehingga dapat dirancang lebih efisien dalam pembiayaan dan pemanfaatan barang publik.
Kata kunci : produktivitas tenaga kerja, analisis shift share, autokorelasi spasial, regresi spasial data panel
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
ARBA’IN NUR BAWONO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc
Judul Tesis
:
Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Nama
:
ARBA’IN NUR BAWONO
NRP
:
A156070071
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Anggota
Didit Okta Pribadi, SP, M.Si Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 23 September 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dapat diselesaikan. Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Didit Okta Pribadi, SP, M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing serta Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc selaku penguji luar komisi atas motivasi, arahan dan masukan terhadap penulis untuk terus berusaha menyempurnakan karya ini. Terimaksih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan jajaran manajemen, segenap dosen pengajar, asisten dan staf kependidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPs IPB. Rekan-rekan Mahasiswa SPs PWL Angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan dorongan semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Dede Rosdiana perlu disebut secara khusus bukan saja karena menjadi teman “seperjuangan” hingga deadline, tetapi juga atas kontribusinya membantu karya ini lebih rapi dan enak dibaca. Terakhir, secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada ayah H. Nurul Huda (alm), ibu Hj. Sumini, dan seluruh keluarga terutama untuk Evi, Izzan, dan Hanan (istri dan kedua anak penulis) atas segala doa, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kesabarannya yang menjadi motivasi lebih bagi penulis untuk tetap terus melangkah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2011 Arba’in Nur Bawono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1969 dari ayah H. Nurul Huda (Alm) dan ibu Hj. Sumini. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 1 Surakarta pada tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Program Studi yang dipilih adalah Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Selama mengikuti perkulihan, penulis tetap bekerja sebagai konsultan dan terlibat pada berbagai kegiatan di beberapa instansi, diantaranya Bappeda Kota Depok, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Bappenas. Penulis juga merupakan anggota tim penulisan buku “Melayani Rakyat Menjaga Negara: Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi PT Pos Indonesia (Persero)” yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh Lspeu Indonesia (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia) dan PT Pos Indonesia (Persero).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Perumusan Masalah ........................................................................................ Tujuan Penelitian ............................................................................................ Manfaat Penelitian .......................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... Kerangka Pemikiran ........................................................................................
1 4 4 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah ........................................... Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan ............. Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia ...................... Interaksi dan Keterkaitan Spasial (Spatial Dependence) ................................. Permodelan Ekonometri Spasial ..................................................................... Kajian Penelitian Terdahulu ............................................................................
9 11 13 17 20 25
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data .................................................................................... Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift Share Analysis)...... Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) ................ Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) .................................. Analisis Regresi Spasial Data Panel ...............................................................
29 32 35 37 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum .............................................................................................. Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota ...................... Perhitungan Komponen Shift Share ................................................................ Komponen Industrial Mix .......................................................................... Komponen Productivity Different .............................................................. Komponen Allocative ................................................................................. Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ...................................... Matrik Kontiguitas Spasial ........................................................................ Pengujian Autokorelasi Spasial ................................................................. Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaaan Produktivitas Tenaga Kerja ........................................................................................................... Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ....................... Spesifikasi Model dengan Spasial Data Panel ............................................
41 51 54 55 58 60 61 61 63 64 68 68
Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan Fixed Effect Spasial ......................................................................................................... 73 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .......................................................................................................... 79 Saran ................................................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83 LAMPIRAN ......................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen) ......................... 1 2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian ............... 32 3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya ................................ 37 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha, Tahun 2001-2008 ................................................................................ 44 5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan PDRB Terhadap PDRB Pulau Jawa, 2001-2008 ..................... 45 6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008 ....................................................................................................... 46 7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Terhadap Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja di Pulau Jawa, 2001-2008 ..................................................................... 47 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 – 2008 ..................................................................................................... 49 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ............................................................. 50 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001 – 2008.................................................................................. 51 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall .......................................... 54 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Industrial Mix (μ = Σ(Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 – 2008 ................ 55 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan Tahun 2008 ................................................................................... 56 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon Tahun 2001 dan 2008 ................................................................................................................. 57 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Productivity Differential πi = Σj pjjawa(xji – xjjawa) Tahun 2001 – 2008 ........... 59 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora serta Perbandingannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2008 ......................................................................... 60 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Allocative αi = Σj(xji – xjjawa)(pji – pjjawa) Tahun 2001 – 2008 ......................... 61 18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran’s I ......................................................... 63 19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Industry-Mix Componen ........................ 70
20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Productivity Differential Component ..... 70 21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Allocative Component ............................ 70 22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Industry-Mix Component ....................................................... 71 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Productivity Differential Component .................................... 71 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Allocative Component ........................................................... 71 25. Nilai R2 dan Corr2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Industry-Mix Component ................................................... 72 26. Nilai R2 dan Corr2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Productivity Differential Component ................................ 72 27. Uji Nilai R2 dan Corr2 Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: the Allocative Component ........................................................... 72 28. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spasial Lag Model ............................... 73 29. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spasial Error Model ............................ 75
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................. 7
2.
Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia, 1993-2003 (berdasar Indeks Williamson) ....................................................................... 13
3.
Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial ...................................... 18
4.
Tipe Keterkaitan antar Wilayah .................................................................... 38
5.
Diagram Alir Algoritma Penentuan Model Regresi Spasial Data Panel ....... 41
6.
Perkembangan Agregat Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 20012008 ............................................................................................................... 49
7.
Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2001 dan 2008......... 52
8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001 .................................................. 64 8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa 2008 ............................................................. 65 9.
Klaster Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja............................................................................................................... 66
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ....................................................................... 88 2. Rangking dan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 .................................................... 91 3. Rangking dan Nilai Komponen Industry-Mix Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 ............................................................................................. 94 4. Rangking dan Nilai Komponen Productivity Different Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 ................................................................................... 97 5. Rangking dan Nilai Komponen Allocative Kabupaten/Kota, 2001-2008 ....... 100 6.a.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2001 ............................................................... 103 6.b.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2002 ............................................................... 106 6.c.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2003 ................................................................ 109 6.d.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2004 ............................................................... 112 6.e.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2005 ............................................................... 115 6.f.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2006 ................................................................ 118 6.g.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2007 ............................................................... 121 6.h.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan Komponen Shift Share, Tahun 2008 ............................................................... 124 7. Output Hasil Regresi Spasial Lag dan Spatial Error ...................................... 127
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi struktural yang mendorong pergeseran alokasi sumberdaya. Model pembangunan ekonomi dengan penawaran buruh yang tidak terbatas (unlimited labour supply) misalnya, menjelaskan bahwa pembangunan akan berlangsung apabila sumberdaya terakumulasi sebagai akibat peralihan surplus kapital dari sektor pertanian yang subsisten ke sektor kapitalis. Atas nama pembangunan, terjadilah pengalihan surplus melalui penarikan tenaga kerja, modal dan sumberdaya-sumberdaya lainnya. Gagasan yang dikemukan oleh Lewis (1954, diacu dalam Jhingan 1990) tersebut didasarkan pada pandangan bahwa di sektor subsisten tersedia buruh dalam jumlah yang tak terbatas dan bersedia menerima upah sekadar cukup untuk hidup. Karena penawaran buruh tersedia tidak terbatas, maka suatu industri dapat terus didirikan dan dikembangkan tanpa batas dengan cara menarik buruh dari sektor subsisten (pertanian) ke sektor industri. Pada kenyataannya, pemikiran di atas tidak sepenuhnya tepat untuk menggambarkan proses transformasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen) Sektor
Pangsa PDB
Pangsa Tenaga Kerja
1987
1997
2007
1987
1997
2007
Primer
35.49
23.78
24.90
55.55
42.08
42.24
Sekunder
18.34
24.84
27.10
0.15
0.27
12.38
Tersier
46.18
51.39
48.00
44.31
57.65
45.40
Sumber : BPS (diolah)
Kontribusi sektor primer cenderung mengalami penurunan dari 35,5 persen pada tahun 1987 menjadi 24,9 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, sektor sekunder justru memperlihatkan kecenderungan memberikan kontribusi semakin besar. Jika pada tahun 1987 baru mencapai 18,3 persen, yang berarti masih di
bawah kontribusi sektor primer, pada tahun 2007 telah mencapai lebih dari 27 persen, melampaui kontribusi sektor primer. Sementara jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, sektor primer dan tersier masih menjadi sektor yang menyerap tenaga paling besar. Meskipun cenderung menurun, sampai dengan tahun 2007 masih diatas 40 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Sektor sekunder yang memiliki pertumbuhan pangsa terbesar terhadap PDB justru kurang memperlihatkan kemampuan menyerap tenaga kerja. Gambaran data tersebut menyajikan bahwa pertumbuhan sektor industri modern tidak mengakibatkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang diserap ke dalam proses produksi karena proses tersebut bersifat hemat tenaga kerja (Arief dan Sasono 1984). Transformasi stuktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang kurang seimbang dikuatirkan menyebabkan proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer (Kariyasa 2003). Lebih lanjut, perbedaan pola transformasi ekonomi dengan ketenagakerjaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan tingkat produktivitas tenaga kerja secara sektoral. Karena terdapat perbedaan struktur perekonomian antar wilayah, perbedaan produktivitas tenaga kerja secara sektoral tersebut akan menyebabkan disparitas pembangunan antar wilayah. Dinamika
spasial
pembangunan
Indonesia
memperlihatkan
ketidakseimbangan pertumbuhan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Perkembangan antar daerah memperlihatkan bahwa daerah di Pulau Jawa umumnya mengalami perkembangan ekonomi jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya di luar Jawa (Bhinadi 2002). Bhakti (2004) melakukan kajian tentang kecenderungan disparitas antar wilayah di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis koefisien variasi tertimbang (weighted coefficient of variation) yang diformulasikan oleh Williamson dengan menggunakan
PDRB
perkapita
tahun
1983-2001.
Penelitian
tersebut
menggunakan PDRB harga konstan dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa sebagai unit analisis. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada rentang waktu pengamatan kesenjangan antar daerah di Pulau Jawa relatif meningkat.
Penelitian tersebut juga digunakan untuk mengetahui sektor mana yang memberikan kontribusi terhadap disparitas wilayah dengan mengestimasi weighted coefficient of variation (CV) masing-masing sektor dan covariation (COV) antar sektor. Perekonomian dikelompokan menjadi tiga sektor, yaitu: (i) sektor pertanian, yang terdiri dari pertanian tanaman bahan makanan dan perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan; (ii) sektor industri, yang mencakup pertambangan dan pengglian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, dan bangunan; (iii) sektor jasa, yaitu perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta pemerintahan umum dan jasa-jasa kemasyarakatan. Hasil estimasi menunjukkan nilai CV sektor pertanian relatif lebih kecil dibanding sektor industri maupun jasa. Artinya, sektor pertanian tidak signifikan memberikan kontribusi gejala terjadinya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa. Sebaliknya, nilai CV sektor industri dan sektor jasa relatif jauh lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan antar wilayah di kedua sektor tersebut. Perhitungan covariation (COV) antara sektor industri dan sektor jasa menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa sektor jasa merupakan derived demand atas sektor industri. Sedangkan nilai covariation (COV) antara sektor pertanian dan sektor industri maupun sektor pertanian dan sektor jasa bernilai negatif, yang menunjukkan pergeseran PDRB sektor pertanian ke sektor industri maupun sektor jasa. Uraian di atas menggambarkan beberapa hal, yaitu: (i) terdapat kecenderungan
ketidakseimbangan
proses
transformasi
ekonomi
dan
ketenagakerjaan yang ditandai oleh perbedaan perubahan struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja secara sektoral, (ii) disparitas spasial di Pulau Jawa yang cenderung meningkat diukur dari perbedaan pembangunan antar kabupaten/kota, dan (iii) terdapat kontribusi sektoral dalam disparitas pembangunan antar wilayah. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai disparitas atau perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan
mempertimbangkan
kabupaten/kota-kota tersebut.
keterkaitan
spasial
di
antara
kabupaten-
Perumusan Masalah Memahami karakterisik pertumbuhan suatu wilayah, merupakan hal yang penting untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan output dan pergeseran alokasi tenaga kerja. Analisis dekomposisi pertumbuhan menyediakan teknik analisis yang sangat berguna untuk melihat dinamika pertumbuhan secara sektoral maupun spasial. Pendekatan
ekonometri
spasial
mempertegas
pengakuan
bahwa
pertumbuhan yang terjadi bukan berlangsung tanpa ruang (spaceless), akan tetapi menempati ruang/wilayah tertentu bahkan memiliki keterkaitan secara spasial (spatial dependence). Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan (disparitas) produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa? 2. Apakah terdapat pola spasial (klaster) antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota lain di sekitarnya (kabupaten/kota tetangga)? 3. Bagaimanakah
model
ekonometeri
spasial
kontribusi
masing-masing
komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa? Tujuan Penilitian Penelitian ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa melalui analisis dekomposisi shift share. 2. Mengidentifikasi
keberadaan
pola
spasial
dalam
bentuk
klaster
kabupaten/kota berdasarkan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja, 3. Mengembangkan model regresi spasial untuk mengestimasi kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memahami kondisi ketenagakerjaan kabupaten/kota di Pulau Jawa, khususnya alokasi tenaga kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja secara agregat pada masing-masing sektor perekonomian. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perencana pembangunan dalam merumuskan perencanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Kontribusi penting yang juga dapat disumbangkan oleh penelitian ini adalah memasukkan pertimbangan keterkaitan spasial untuk memperdalam pemahaman sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja. Menyadari keterkaitan spasial tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan di suatu kabupaten/kota untuk dapat merancang program peningkatan produktivitas tenaga kerja bersama-sama dengan kabupaten/kota lain disekitarnya secara sinergis sehingga program yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien. Ruang lingkup Penelitian Lingkup lokasi penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan unit analisa sebanyak 115 kabupaten/kota keadaan tahun 2001-2008. Kabupaten/Kota tersebut tersebar di 6 provinsi, yaitu sebanyak 6 wilayah administrasi di Provinsi DKI Jakarta, 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, 5 kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta, 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, dan 6 kabupaten/kota di Provinsi Banten (Lampiran 1). Pemilihan Pulau Jawa sebagai wilayah kajian didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (i) merupakan pusat aktifitas perekonomian dengan pangsa ekonomi sekitar 59% terhadap PDRB Nasional berdasarkan data Pendapatan Nasional Indonesia 2004-2007; (ii) berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005, dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia, mencapai hampir 60% dari jumlah penduduk; (iii) secara sektoral, industri manufaktur cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz 1994). Demikian juga jika diamati dari sisi ketenagakerjaan, Pulau Jawa menyumbang
lebih dari 80 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor Industri dari tahun 1975 sampai dengan 1995 (Kuncoro 2004). Lingkup subtansi adalah produktivitas tenaga kerja yang diukur secara agregat (makro) yaitu rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha atau sektor perekonomian. Atribut Pulau Jawa untuk setiap indikator yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penjumlahan agregat dari seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. PDRB Pulau Jawa misalnya, dengan demikian merupakan hasil penjumlahan PDRB seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. Demikian juga dengan jumlah tenaga kerja Pulau Jawa juga merupakan hasil penjumlahan agregat seluruh tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Perhatian ditekankan pada mengkaji perbedaan alokasi tenaga kerja antar kabupaten/kota dan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota pada masing-masing lapangan usaha. Kedua hal tersebut, yaitu perbedaan jumlah alokasi tenaga kerja pada masing-masing sektor dan perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral di setiap kabupaten/kota diduga menjadi penyebab perbedaan produktivitas tenaga kerja. Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial antar kabupaten/kota tersebut. Perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan struktur ekonomi maupun alokasi tenaga kerja untuk masing-masing sektor ekonomi yang berbeda antara suatu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian, perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut perlu dikenali melalui analisis dekomposisi untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkannya. Pentingnya memasukkan analisis spasial didasari pemikiran bahwa suatu unit spasial, dalam hal ini suatu kabupaten/kota melakukan interaksi dan dipengaruhi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota yang menjadi tetangganya (neighbors). Hubungan atau pengaruh antara suatu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota yang menjadi tetangganya dapat bersifat positif maupun negatif.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Fenomena Pembangunan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Transformasi struktur perekonomian (PDRB Sektoral) Pergeseran penyerapan tenaga kerja secara sektoral
Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i (Xi)
Produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa (XJAWA)
Perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i (Xi - XJAWA) Keterkaitan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga (spatial weight matrix) Analisis keterkaitan spasial (ESDA/Exploratory Spatial Data Analysis) Uji global Moran’s I statistic
Uji lokal Moran scatterplot
Local indicator of spatial association
Moran significant maps
Analisis dekomposisi (Shift Share Analysis) Komponen industry mix μi = Σj(pji – pjJAWA).xjJAWA
Komponen productivity different πi = Σj pjJAWA(xji – xjJAWA)
Komponen allocative
αi = Σj(xji – xjJAWA)(pji – pjJAWA)
Klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa Model ekonometri spasial Estimasi pengaruh komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah Kuznets (1955) mengawali penelitian yang melihat perubahan kesenjangan distribusi pendapatan. Menggunakan data beberapa negara (cross section) secara runtun waktu (time series), Kuznets menemukan hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk huruf U terbalik (inverted U hypothesis). Penamaan itu sesuai dengan pola distribusi pendapatan yang karena perubahan longitudinal (time series) tampak seperti kurva berbentuk huruf U yang terbalik. Pada awal proses pembangunan, disparitas distribusi pendapatan akan naik sebagai akibat proses industrialisasi dan urbanisasi. Akhirnya, pada tahap pembangunan lebih lanjut ketimpangan tersebut akan menurun, yaitu ketika sektor industri di perkotaan sudah menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang dari sektor pertanian di perdesaan. Hasil kajian Williamson (1965) yang menggunakan data GDP berbagai negara juga mendukung hipotesa U terbalik tersebut. Nilai indeks Williamson menggambarkan disparitas yang terjadi akibat pertumbuhan output dan jumlah penduduk di negara-negara yang menjadi wilayah kajian. Pengukuran disparitas didasarkan pada penyimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah dengan pendapatan per kapita nasional. Dengan kata lain, indeks Williamson merupakan modifikasi dari standar deviasi. Semakin besar nilainya menunjukkan tingkat disparitas antar wilayah yang semakin lebar. Salah satu penjelasan terhadap ketidakmerataan pembangunan antar wilayah adalah distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Kekhasan sumberdaya alam di suatu wilayah yang digunakan sebagai input produksi menjadi salah satu penentu corak aktivitas ekonomi wilayah. Terlebih lagi, pada kenyataannya terdapat hambatan yang menjadikan ketidaksempurnaan interaksi antar wilayah (Hoover and Giarratani 1999), yang meliputi: (i) imperfect factor mobility (ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi); (ii) imperfect factor divisibility (ketidaksempurnaan pemisahan antar faktor produksi); dan (iii) imperfect mobility of goods and services (ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa). Perbedaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu daerah (endowment factor)
dan
hambatan
mobilitasnya
tersebut
mendorong
setiap
daerah
mengembangkan skala ekonomi (economies of scale) dan mengambil keuntungan dari peningkatan spesialisasi ekonomi. Proses akumulasi dan mobilisasi sumberdaya berdasarkan kekhasan masing-masing daerah tersebut, baik berupa akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan kepemilikan sumberdaya alam merupakan pemicu laju pembangunan daerah bersangkutan. Heterogenitas sumberdaya
dan
keragaman
karakteristik
suatu
wilayah
menyebabkan
kecenderungan terjadinya disparitas antar daerah dan antar sektor di wilayah tersebut (Kuncoro 2004). Perroux 1955, diacu dalam Sjafrizal (2008) mengemukakan konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Dasar teorinya adalah adanya ketidakseimbangan pada interaksi antar industri. Pembangunan diawali oleh sektor industri manufaktur yang dinamis, penggunaan teknologi modern yang secara relatif berskala besar. Sektor ini biasanya disebut sebagai leading sector, yang kemudian menjalar ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, perkembangan tidak terjadi secara serentak di berbagai daerah. Model
basis ekspor
(export-base
model)
dapat
digunakan
untuk
menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Model yang diperkenalkan oleh North 1956, diacu dalam Sjafrizal (2008) tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) daerah bersangkutan. Suatu daerah yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor (engine of growth), maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan (Sjafrizal 2008; Blair 1995). Perbedaan keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sebagai engine of growth dapat menjelaskan kenyataan laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bervariasi. Terdapat daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan ada pula laju pertumbuahan ekonomi daerah yang sangat rendah. Model basis ekonomi menjadi landasan analisis terjadinya spesialisasi di suatu daerah. Permintaan eksternal terhadap output daerah akan memiliki efek dominan dalam pertumbuhan daerah yang bersangkutan. Proses tersebut bersifat kumulatif, karena stimulus ekspor selain memiliki dampak pengganda (multiplier effect) terhadap pendapatan, juga akan mendorong investasi di daerah tersebut.
Proses akumulasi dan mobilisasi faktor produksi baik akumulasi modal, tenaga kerja dan sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah merupakan pemicu dalam
laju
pertumbuhan
ekonomi
daerah
bersangkutan.
Heterogenitas
karakteristik suatu wilayah mendorong perbedaan pertumbuhan antar sektor, dan selanjutnya menyebabkan ketimpangan antar daerah. Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan Terdapat tiga macam ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja pembangunan suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan analisis dalam penelitian (Armstrong and Taylor 1993). Pertumbuhan output, biasanya digunakan untuk mengukur kapasitas produksi yang bergantung pada kemampuan suatu wilayah untuk menarik modal dan tenaga kerja dari wilayah lain. Pertumbuhan output per kapita dianggap dapat menggambarkan perubahan kesejahteraan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output per pekerja digunakan sebagai indikator perubahan tingkat keunggulan wilayah melalui pertumbuhan produktivitas. Perbandingan antara ouput dan tenaga kerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja dipandang paling dapat menggambarkan fenomena transformasi ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan transformasi struktur ekonomi. Penggunaan produktivitas tenaga kerja sebagai ukuran disparitas juga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah pekerja dibanding dengan penggunaan output total yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output perkapita (PDRB perkapita). Pada dasarnya ada dua pengertian produktivitas tenaga kerja, yaitu dari pendekatan mikro dan pendekatan makro. Pengertian produktivitas tenaga kerja dengan pendekatan mikro lebih mudah karena dikaitkan langsung dengan produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Misalnya pada usaha pembuatan batu bata maka produktivitas tenaga kerja diukur dengan jumlah batu
bata yang dihasilkan dalam satu satuan waktu tertentu (misalnya, satu bulan) dibagi dengan jumlah pekerja pada waktu yang sama. Pendekatan makro produktivitas tenaga kerja tidak semudah menghitung dari segi mikro. Angka produktivitas yang diperoleh merupakan produktivitas rata-rata pada suatu sektor ekonomi secara agregat. Ukuran produksi yang digunakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dalam suatu perekonomian, yaitu menggunakan output ekonomi (PDRB). Sehingga produktivitas tenaga kerja diukur berdasarkan besaran nilai output di suatu sektor dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut. Pengukuran produktivitas tenaga kerja tersebut memang mengandung kelemahan karena tidak memasukkan perhitungan faktor produksi lainnya. Perubahan produktivitas pada kenyataannya dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan/mesin yang lebih canggih, penggunaan teknologi baru, dan lain-lain. Meskipun demikian, cara pengukuran di atas masih memadai untuk menunjukkan perbandingan dan kecenderungan perubahan produktivitas tenaga kerja (BPS DKI Jakarta 2008). Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: perbedaan produktivitas sektor yang sama di daerah yang berbeda, dan perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Dengan demikian, kedua hal tersebut menyebabkan suatu daerah memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding rata-rata wilayahnya. Pertama, produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut, untuk seluruh atau sebagian besar sektor, memiliki tingkat yang lebih tinggi di banding daerah-daerah lain di sekitarnya. Kedua, meskipun tidak memiliki keunggulan produktivitas sektoral, tetapi daerah tersebut melakukan spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Esteban (2000) memformulasikan pandangan di atas dengan menggunakan analisis shift share. Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu region dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: komposisi atau struktur masing-masing wilayah secara sektoral, perbedaan
produktivitas sektor yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi tenaga kerja di sektor-sektor yang lebih efisien. Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia Perbedaan kinerja pembangunan antar wilayah merupakan salah satu topik kajian yang telah mendapat banyak perhatian di Indonesia. Akita dan Lukman (1995) menggunakan koefisien Williamson tertimbang untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah tahun 1975 – 1992. Selain itu, untuk mengetahui kontribusi sektor-sektor ekonomi dilakukan analisis dekomposisi sektoral. Temuan pentingnya adalah bahwa meskipun ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan data PDRB non migas relatif stabil, terdapat perubahan yang signifikan pada pengamatan kontribusi secara sektoral. Sektor tersier masih memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan tetapi terlihat penurunan secara gradual. Kontribusi sektor sekunder terhadap ketimpangan antar wilayah mengalami peningkatan, seiring dengan peningkatan perannya dalam PDRB. Sjafrizal (2008) memaparkan hasil penelitian ketimpangan pembangunan dan tendesinya pada tahun 1993-2003. Penelitian ini juga melihat pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, ketimpangan berdasarkan indeks Wiliamson diukur dengan menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan tanpa DKI Jakarta (Gambar 2).
Sumber: diolah dari Sjafrizal (2008)
Gambar 2. Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia, 1993-2003
Temuan yang menarik adalah bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar. Sjafrizal juga membandingkan antara indeks Williamson Indonesia dengan beberapa negara. Hasilnya
perhitungan
dengan
mengeluarkan
data
DKI
Jakarta
masih
menghasilkan angka indeks Williamson di Indonesia yang tinggi dibanding negara-negara lain dan tendensinya terus meningkat sepanjang waktu. Akita (2003) membandingkan pola disparitas wilayah antara Indonesia dan China. Temuan pentingnya adalah terdapat
hubungan yang paralel antara
disparitas perekonomian (output) dan disparitas tenaga kerja. Artinya, pada saat disparitas tinggi, disparitas tenaga kerja juga tinggi. Sebaliknya, jika disparitas tenaga kerja rendah maka disparitas perekonomian juga rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan kontribusi penting tenaga kerja terhadap pembentukan output (GDP) di kedua negara yang menjadi wilayah penelitian. Signifikansi tenaga kerja dibanding faktor produksi modal (kapital) kemungkinan disebabkan kemiripan perekonomian di kedua negara yang labor intensive, sehingga penyerapan tenaga kerja cukup besar. Hubungan antara produksi (output) dan faktor produksi tenaga kerja bersifat kausalitas, yang berarti terjadi hubungan timbal balik sebagai faktor penyebab maupun
akibat.
Disparitas
perekonomian
dapat
menjadi
sebab
yang
mengakibatkan disparitas tenaga kerja, karena muncul kecenderungan mobilitas arus tenaga kerja dari daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan rendah ke tinggi. Sebaliknya, ketersediaan faktor produksi tenaga kerja di suatu daerah menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Kataoka (2007) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan teknik dekomposisi yang diperkenalkan oleh Duro dan Esteban (1998). Melalui analisis dekomposisi, Kataoka mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada periode tahun 1983-2006, sebelum dan setelah krisis ekonomi. Indeks Theil yang dibobot dengan jumlah penduduk (Theil L index) didekomposisi menjadi empat komponen, yaitu: (i) produktivitas tenaga kerja, (ii) tingkat penggunaan tenaga
kerja, (iii) rasio tenaga kerja yang benar-benar bekerja terhadap penduduk usia kerja, dan (iv) rasio penduduk usia kerja terhadap total penduduk. Temuannya menunjukkan terdapat perbedaan kecenderungan disparitas antar wilayah antara perhitungan menggunakan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas. Perhitungan dengan PDRB dengan migas menunjukkan kenaikan disparitas dibanding dengan PDRB tanpa migas. Hal ini mengindikasikan peran penting migas dalam perekonomian Indonesia. Lebih lanjut, kajian tersebut diperluas dengan analisis dekomposisi sektoral produktivitas tenaga kerja. Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah, didekomposisi menjadi dua komponen, yaitu komponen dalam sektor (withinsector component) dan komponen antar sektor (between sector component). Hasil analisis dekomposisi sektoral menunjukkan penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja pada periode penelitian. Kecenderungan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan disparitas antar sektor (between sector component), yang turun dari 628,6 pada tahun 1989 menjadi 308,4 pada 2006. Penurunan kontribusi komponen antar sektor terhadap disparitas antar daerah tersebut, terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan, konstruksi dan jasa keuangan, yang secara nasional memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata yang tinggi. Di sisi lain, analisis terhadap komponen dalam sektor (within sector) menunjukkan faktor yang menyebabkan fluktuasi disparitas produktivitas tenaga kerja berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja sektor primer, kontruksi, utilitas, transportasi dan komunikasi, dan keuangan mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya berkurang. McCulloch dan Sjahrir (2008) menemukan beberapa kesimpulan menarik terkait dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan kabupaten/kota di Indonesia pada era desentralisasi. Pertama, secara umum terjadi proses konvergensi pendapatan antar wilayah. kabupaten/kota yang memiliki PDRB rendah cenderung tumbuh lebih cepat dan relatif tidak terkena dampak krisis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan. Kedua, terdapat kecenderungan proses klaster, yaitu kabupaten/kota yang tumbuh dengan tinggi akan memberikan dampak pertumbuhan yang tinggi pula terhadap kabupaten/kota disekitarnya.
Ketiga, terjadi dampak komposisi sektoral meskipun sulit diidentifikasi karena tidak cukup bukti bahwa secara sistemik distibusi sektoral
yang lebih
terkonsentrasi akan memberikan dampak pertumbuhan yang lebih cepat. Keempat, kuantitas dan kualitas tenaga kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Susanti (2005) meneliti proses konvergensi produktivitas tenaga kerja pada tingkat sektoral antar provinsi di Indonesia selama periode 1987-2003. Metode yang dipakai untuk mengukur konvergensi adalah konvergensi sigma (σconvergence) dan konvergensi beta (β-convergence). Konvergensi sigma berhubungan dengan proses dispersi antar daerah yang umumnya diukur dengan standar deviasi terhadap log PDB riil per kapita, semakin menurun sepanjang waktu. Sedangkan konvergensi beta merupakan indikasi seberapa cepat suatu indikator, misalnya output per tenaga kerja mendekati nilai steady state-nya. Analisis
konvergensi
sigma
(σ-convergence)
memperlihatkan
hasil
konvergensi produktivitas tenaga kerja terjadi secara kuat pada sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan produktivitas tenaga kerja agregat. Artinya, terjadi penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut. Sebaliknya sektor bangunan, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi, atau disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut semakin melebar. Sementara analisis konvergensi absolute dari produktivitas tenaga kerja sektoral dengan menggunakan konvergensi beta (β-convergence). menunjukkan variasi selama periode penelitian. Kecepatan perubahan konvergensi absolute produktivitas agregat lebih rendah jika dibandingkan dengan pengukuran secara sektoral. Menggunakan regresi dengan metode panel data yang memungkinkan perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, maka sektor industri dan jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki kecepatan konvergensi paling tinggi. Hal tersebut dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian sektor industri dan jasa tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di daerah lainnya menyebar relatif tidak merata.
Interaksi dan Keterkaitan Spatial (Spatial Dependence) Keragaman karakteristik merupakan faktor penting yang menjadi penyebab perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Latar belakang sejarah, komposisi sosial demografi, kondisi geografi, sebaran sumberdaya alam, kelembagaan dan kebijakan politik adalah komponen yang menentukan perbedaan perkembangan struktural wilayah (Todaro & Smith 2003). Kekhasan karakteristik wilayah secara substantial (unique substances) tersebut ketika berpadu dengan keterkaitan fungsional (functional interaction) dengan wilayah lain merupakan sumber perubahan ke arah berbagai bentuk kemajuan, atau sebaliknya justru memunculkan output yang tidak tepat secara ruang dan waktu (Saefulhakim, 2008). Myrdal 1957, diacu dalam Jhingan (1990) dengan menggunakan konsep dampak balik (backwash effect) dan dampak sebar (spread effect) menganalisis pola hubungan antar wilayah. Dampak balik didefinisikan sebagai semua perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu wilayah karena sebab-sebab di luar wilayah tersebut. Sedangkan dampak sebar merujuk pada dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pembangunan ke wilayah-wilayah lainnya. Masalahnya adalah dampak balik dan dampak sebar tersebut tidak mungkin berjalan seimbang. Merujuk pada hasil kajian Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, Myrdal menyimpulkan bahwa keterbelakangan suatu negara terletak pada lemahnya dampak sebar dan kuatnya dampak balik. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa proses pertumbuhan suatu daerah selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah itu sendiri juga ditentukan oleh karakteristik wilayah di sekitarnya dan pola interaksi atau keterkaitan yang terjadi secara spasial. Aziz (1994) menyatakan bahwa analisis yang mengabaikan unsur spasial layak untuk dipertanyakan karena mempostulatkan bahwa segala proses dan mekanisme terjadi di alam tanpa ruang (spaceless). Akibat lebih lanjut, hasil pelaksanaan kebijakan yang didukung oleh kajian yang mengabaikan unsur spasial berdeviasi terlalu besar dari hipotesa yang diharapkan. Saefulhakim (2008) mengilustrasikan bahwa intensitas serangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi pada suatu petak sawah, tidak hanya ditentukan
oleh karakteristik dan pola budidaya yang dilakukan di petak sawah tersebut. Intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik lingkungan dan pola budidaya yang dilakukan di petak-petak sawah sekitarnya dan petak-petak sawah lain yang terkait dalam satu sistem jaringan irigasi/drainase juga turut mempengaruhinya. Terdapat banyak bukti terhadap keterkaitan antar wilayah seperti perdagangan antar wilayah, dampak eksternalitas infrastruktur dan mobilitas tenaga kerja. Fenomena keterkaitan antar wilayah tersebut, dalam teori ilmu wilayah diformulasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (i) interaksi spasial (spatial interaction); (ii) difusi spasial (spatial diffusion); (iii) hirarki spasial (spatial hierarchy); dan (iv) aliran antar daerah (interregional spillover). Pola interaksi dan keterkaitan spasial tersebut, terkait dengan kinerja pembangunan suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen daerah tersebut tetapi juga merupakan hasil dari pengaruh dan interaksi dengan kinerja pembangunan, karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan di daerah-daerah lain di sekitarnya. Ilustrasi keterkaitan antar wilayah tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.
Gambar 3. Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial (Saefulhakim, 2008)
Dengan demikian, mengabaikan aspek spasial dalam penelitian wilayah yang menggunakan unit spasial, misalnya kabupaten/kota sebagai unit analisis dapat memberikan hasil yang bias. Akibat lebih lanjut, formulasi kebijakan yang ditarik dari temuan penelitian tersebut juga menjadi tidak tepat. Kajian yang memadukan antara analisis dekomposisi dan analisis spasial dilakukan Nazara (2003) yang menggunakan teknik dekomposisi untuk melihat pengaruh region tetangga terhadap kesenjangan antar provinsi di Indonesia. Untuk keperluan tersebut, Nazara memodifikasi analisis dekomposisi shift share standar yang diperkenalkan Dunn (1960) untuk analisis spasial. Modifikasi tersebut diperlukan untuk mempertimbangkan terjadinya interaksi antara suatu region dengan tetangganya. Interaksi tersebut, dapat memberikan manfaat posisif maupun negatif terhadap region bersangkutan. Teknik dekomposisi shift share spasial tersebut diimplementasikan terhadap data PDRB provinsi untuk tahun 1976-1998. Pengertian region, didasarkan pada sistem konfigurasi provinsi di Indonesia, yaitu 26 provinsi dikelompokkan ke dalam 5 super region: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Interaksi diasumsikan hanya terjadi antar provinsi di dalam super region yang sama. Asumsi ini didasarkan pada hasil perhitungan matrik Input-Output antar regional (Interregional IO) tahun 1999 yang menunjukkan transaksi input antara lebih banyak terjadi dalam region di banding antar region. Nazara mengemukakan beberapa temuan penting. Pertama, terdapat kecenderungan ketimpangan spasial yang makin besar dalam lima super region tersebut selama tahun 1990-an dibanding tahun-tahun awal pengamatan. Kedua, sektor tersier merupakan sektor yang paling kecil menunjukkan perbedaan antara satu region dengan region yang lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perkembangan Indonesia yang belum berorientasi pada sektor jasa/tersier. Jawa sebagai super region yang paling maju, sehingga dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling berorientasi pada sektor jasa, fluktuasi efek sektor tersebut yang paling besar terutama pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Sedangkan di region lain yang sektor jasa belum memberikan kontribusi signifikan terhadap PDRB, fluktuasinya relatif kecil.
Ketiga, kecenderungan ketimpangan spasial lebih stabil setalah akhir 1980an. Pola yang menarik terjadi selama masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada periode itu, Ketimpangan spasial super region Kalimantan dan Indonesia Timur menjadi semakin besar, sementara ketimpangan spasial super region Sumatera dan Jawa sebaliknya justru semakin menurun. Sedangkan di dalam super region Sulawesi relatif tidak terjadi perubahan ketimpangan spasial. Hal tersebut diduga sebagai akibat krisis ekonomi yang lebih berdampakn pada wilayah perkotaan di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa krisis ekonomi yang ditandai depresiasi rupiah justru memberikan keuntungan nilai pada barang-barang ekspor khususnya produksi minyak dan gas, dan juga perdagangan komoditas perkebunan. Permodelan Ekonometri Spasial Suatu model regresi linier menyatakan hubungan antara satu atau lebih variabel independen yang dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Drapper dan Smith 1992). Adapun model regresi linier secara umum sebagai berikut. y 0 1 x1 p x p
dengan y adalah variabel respon, 0 , 1 p adalah koefisien parameter yang diestimasi, dan adalah nilai error regresi. Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi, yaitu
IIDN ~ 0, 2 I
(suatu variable random yang identik, independen, dan
berdistribusi normal). Uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah sebagai berikut: Asumsi Berdistribusi Normal Asumsi residual berdistribusi normal harus terpenuhi. Cara pengujian residual berdistribusi normal atau tidak salah satunya dapat dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov test. Apabila pengujian residual berdistribusi normal tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat dilakukan transformasi data, pendeteksian data outlier (pencilan), dan regresi bootstrap.
Asumsi Homoskedastisitas Asumsi homoskedastisitas adalah variansi residual bersifat identik atau konstan, artinya varian setiap residual i Apabila varians residual tidak identik maka disebut heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk melihat ada tidaknya pola heterokedastisitas dapat dilakukan dengan membuat plot antara residual yang dikuadratkan dengan y taksiran. Selain itu juga dapat dilakukan dengan uji Glejser yaitu meregresikan nilai mutlak residual dengan variable independen. Bentuk umum persamaannya adalah εˆ Xβ μ (Gujarati, 2004). Jika parameter variabel independen signifikan berarti varian residual cenderung tidak homogen. Asumsi Independen Asumsi independen menunjukkan tidak terdapat autokorelasi. Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara residual yang tersusun dalam rangkaian waktu (time series) atau dalam rangkaian ruang (data crossection). Salah satu metode untuk mendeteksinya dengan cara melihat plot Autocorrelation Function (ACF). Bila lag-nya tidak keluar dari garis batas maka tidak terjadi kasus autokorelasi. Asumsi Tidak Ada Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan korelasi atau hubungan yang kuat diantara variabel-variabel prediktor. Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas, diantaranya dengan : 1. Variance Inflation Factor (VIF) yang tinggi, biasanya > 10 2. Korelasi antar variabel prediktor tinggi 3. Koefisien determinasi (R2) tinggi tetapi tidak ada variabel prediktor yang signifikan Model Regresi Spasial Data Panel Dalam model regresi spasial data panel, data yang digunakan adalah data gabungan antara time series dan crossection atau disebut juga dengan data panel. Unit crossection dapat berupa individu, rumah tangga, perusahaan, negara, ataupun lainnya yang berulang selama beberapa waktu. Dalam penelitian ini
digunakan data panel seimbang (balance panel data) dimana setiap unit crossection memiliki jumlah observasi time series yang sama. Secara umum model regresi spasial data panel dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut. n
y it δ Wij y jt x it β μ i φ it , j 1 n
φ it ρ Wij φ it ε it j 1
dimana i adalah indeks pada dimensi crossection dengan i = 1,….,n dan t adalah indeks pada dimensi waktu dengan t = 1,…,T. y it adalah unit pengamatan pada variabel dependen unit ke – i dan waktu ke – t, Wij adalah matriks pembobot/penimbang spasial dengan elemen-elemen diagonalnya sama dengan nol. δ adalah koefisien spasial lag, φ adalah autokorelasi spasial pada error dan ρ adalah koefisien autokorelasi spasial. x it menunjukkan vektor observasi pada variabel prediktor pada unit spasial ke-i untuk periode waktu ke-t, β adalah vektor parameter dan ε it adalah error berdistribusi IIDN ~ 0, 2 untuk setiap i dan t. μ i menunjukkan efek spasial.
Efek spasial dibedakan menjadi dua bagian yaitu dependensi spasial dan heterogenitas spasial (Anselin 1988). Dependensi spasial terjadi akibat adanya dependensi dalam data wilayah, sedangkan heterogenitas spasial terjadi akibat adanya perbedaan antara satu wilayah dengan lainnya. Model spasial dengan efek dependensi spasial terdiri atas spasial lag dan spasial error. Interaksi diantara unitunit spasial pada data panel juga akan memiliki variabel dependen lag spasial atau spasial proses pada error yang biasa disebut model spatial lag dan model spatial error (Elhorst 2009). a. Model Spasial Lag (SAR) Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut. n
y it δ Wij y jt x it β μ i ε it j 1
δ adalah koefisien spasial lag. b. Model Spasial Error (SEM)
Model spasial error dinyatakan dengan persamaan berikut. n
y it x it β μ i φ it ; φ it ρ Wij φ it ε it j1
φ adalah autokorelasi spasial pada error dan ρ koefisien autokorelasi spasial.
Estimasi Model Spasial Data Panel Berdasarkan Elhorst (2009) estimasi model pada data panel meliputi model fixed effect dan random effect. Model fixed effect adalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk mendapatkan adanya perbedaan intercept. Model ini tergantung asumsi yang dibuat tentang intercept, koefisien slope, dan residualnya. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul yaitu: 1. Diasumsikan intercept dan slope adalah tetap sepanjang waktu 2. Diasumsikan slope adalah tetap tetapi intercept berbeda antar individu 3. Diasumsikan slope tetap tetapi intercept berbeda baik antar waktu maupun antar individu 4. Diasumsikan intercept dan slope berbeda antar individu 5. Diasumsikan intercept dan slope berbeda antar waktu dan antar individu Model Fixed Effect a. Fixed Effect Spatial Lag Model Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut. n
y it δ Wij y jt x it β μ i ε it j 1
δ adalah koefisien spasial lag. Anselin dan Hudak (1992) menyajikan estimasi parameter β , dan 2 pada model spasial lag dengan menggunakan Maksimum likelihood data crossection. Prosedur estimasi pada persamaan (2) juga dapat menggunakan fungsi loglikelihood dengan memperhatikan β , dan 2 . Perbedaannya adalah bahwa data tersebut diperpanjang dari n pengamatan ke panel n x T pengamatan.
b. Fixed Effect Spatial Error Model Anselin dan Hudak (1992) menyajikan parameter β , dan 2 dari model regresi linier termasuk error autokorelasi dengan data crossection. Likelihood Ratio (LR) Test Pengujian likelihood Ratio dilakukan untuk mengetahui apakah fixed effect dan random effect memberikan pengaruh secara bersama-sama. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Elhorst 2009). a. Fixed Effect H0 : μ 0 H1 : μ 0 b. Random Effect H0 : θ 1 H1 : θ 1 Statistik uji yang digunakan adalah -2s, dimana s adalah selisih antara loglikelihood model restricted dan model unrestricted. Keputusan yang digunakan adalah tolak H0 jika p-value < Hausman Test Untuk mengetahui apakah suatu model termasuk fixed effect atau random effect pada model panel data digunakan uji Hausman. Model fixed effect mengasumsikan variabel prediktor berkorelasi dengan residualnya, sedangkan random effect mengasumsikan variabel prediktor tidak berkorelasi dengan residualnya. Random Effect akan menghasilkan suatu estimasi yang tidak konsisten bila terdapat korelasi. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji Hausman sebagai berikut. H0 : h 0 H1 : h 0 Statistik Uji yang digunakan adalah
1 h d ' vard d, d βˆ FE βˆ RE
2 dimana var d σˆ RE X *' X *
1
2 σˆ FE X *' X *
1
Keputusan adalah tolak H0 jika p-value < Goodness of Fit Koefisien determinasi (R2) pada regresi spasial data panel lebih sulit dilakukan karena R2 pada regresi OLS dengan disturbance covariance σ 2 I ke bentuk umum model regresi dengan matriks disturbance covariance σ 2 ΩΩ 1 . Persamaan yang sering digunakan : R 2 e, Ω 1
e ' Ωe
Y Y ' Y Y
atau R 2 ~e 1
~e ' ~e
Y Y ' Y Y
Y adalah rata-rata variabel respon dan e adalah residual model. Cara lain e' Ωe dapat digantikan dengan jumlah kuadrat ~e ' ~e
Sementara itu, perhitungan corr2 menggunakan persamaan sebagai berikut.
Y Y Y Y ˆ corr Y, Y Y Y Y YYˆ Y Yˆ Y '
2
'
2 '
ˆ adalah vektor dari nilai taksiran. Berbeda dengan R2 perhitungan corr2 tanpa Y
melibatkan variasi pada spasial effect sehingga selisih antara R2 dan corr2 menunjukkan variasi yang dapat dijelaskan oleh spasial effect. Kajian Penelitian Terdahulu Penggunaan produktivitas tenaga kerja untuk menjelaskan variasi disparitas antar daerah telah dilakukan di beberapa negara. Kamarianakis (2003) mengaplikasikan untuk kasus negara-negara Uni Eropa. Kajian tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut analisis shift share yang dilakukan Esteban dengan menambahkan dua analisis. Pertama, menguji persamaan produktivitas antar Negara yang perbedaannya ditentukan setiap komponen shift share untuk beberapa tahun pengamatan antara 1975 - 2000. Hal tersebut dilakukan untuk menangkap evolusi perbedaan produktivitas antar negara untuk setiap komponen
shift share. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada alasan mengasumsikan tidak terdapat hubungan antar tahun yang berbeda. Kedua, Kamarianakis memasukkan pertimbangan spasial dalam analisis disparitas produktivitas tenaga kerja Negara-negara Uni Eropa dengan menguji keberadaan spatial autocorrelation. Hasil temuannya menujukkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan perbedaan produktivast tenaga kerja antar Negara. Dibanding komponen lainnya, komponen industrial mix merupakan komponen yang lebih signifikan menjadi faktor penyebab perbedaan antar Negara-negara Uni Eropa. Shkurpat
(2006)
mengaplikasikan
analisis
dekomposisi
perbedaan
produktivitas tenaga kerja di Ukraina. Kajian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab utama terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja di Ukraina dan mencari bukti keberadaan klaster wilayah berdasarkan perbedaan produktivitas tenaga kerja. Secara statistik ditemukan dua klaster di Ukraina, yaitu di bagian barat merupakan wilayah yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah dan klaster di bagian timur yang merupakan wilayah dengan produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Berdasarkan keberadaan klaster tersebut selanjutnya dilakukan pengujian model kontribusi komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja dengan memasukkan pertimbangan spasial. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk kasus Ukraina pada komponen productivity differential dan allocative perlu memasukkan analisis spasial dalam bentuk model spasial error. Model Esteban dengan pendekatan spasial dari Kamarianakis juga diimplementasikan oleh Salim (2006) untuk kasus kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan data tahun 2003. Temuannya menegaskan pentingnya pengaruh kabupaten/kota yang menjadi tetangga untuk dimasukkan dalam analisis perbedaan produktivitas tenaga kerja. Salim
memodelkan
interaksi
spasial
dengan
pendekatan
matrik
ketetanggaan (contiguity) dan membandingkan orde 1 dengan orde 4. Hasilnya menunjukkan bahwa di Jawa, region-region berkelompok secara positif, yaitu region-region yang memiliki perbedaan produktivitas regional yang besar (kecil) berkelompok dengan yang bernilai besar (kecil). Penggunaan orde yang lebih
tinggi, yaitu orde 4 yang menghitung interaksi sampai dengan empat lapis ketetanggaan menguatkan kesimpulan terjadinya klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja di Jawa. Klaster positif tersebut terjadi pada komponen industry-mix maupun productivity different. Sedangkan pada komponen allocative klaster tersebut tidak terlalu dapat didefinisikan. Pengaruh ketetanggaan tersebut juga muncul pada semua hubungan hubungan antara perbedaan produktivitas tenaga kerja dengan satu per satu komponen shift share. Penelitian ini melengkapi kajian tersebut dengan mengambil rentang waktu tidak hanya satu titik tahun. Diharapkan model ekonometri spasial yang terbentuk lebih dapat menggambarkan kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa, baik secara ruang antar kabupaten/kota (cross section) maupun antar waktu (time series).
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan metode kepustakaan bersumber dari berbagai publikasi BPS. Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pendapatan regional menurut lapangan usaha dan data tenaga kerja menurut lapangan usaha. Data-data tersebut merupakan data sekunder yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan DKI Jakarta. Data pendapatan regional adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa yang dirinci menurut lapangan usaha. Untuk menghilangkan pengaruh harga, digunakan PDRB harga konstan. Data tenaga kerja menurut lapangan usaha merupakan data jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau jawa dan dirinci menurut lapangan usaha. Lapangan usaha sebagai rincian data PDRB maupun jumlah tenaga kerja dirinci menjadi sembilan sektor yang meliputi: 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan dan Kontruksi 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi 8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan Secara praktis, produktivitas merupakan konsep yang mengukur efisiensi penggunaan input terhadap output yang dihasilkan. Sesuai dengan definisi tersebut, produktivitas tenaga kerja dapat diukur menggunakan data nilai tambah suatu daerah, yaitu PDRB dibandingkan dengan jumlah pekerja. Dengan demikian, produktivitas tenaga kerja masing-masing kabupaten/kota secara
sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha. Perbedaan produktivitas tenaga kerja dalam penelitian ini didefinisakan sebagai selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja agregat Pulau Jawa. Jika xi dan xjawa berturut-turut merupakan tingkat produktivitas
tenaga kerja di suatu kabupaten/kota i dan
produktivitas tenaga kerja agregat Pulau Jawa, maka perbedaan produktivitas tenaga kerja dirumuskan sebagai xi – xjawa. Referensi cakupan waktu analisis dengan menggunakan data PDRB dan tenaga kerja dari tahun 2001 – 2008 dimaksudkan untuk dapat memperoleh suatu gambaran perkembangan dan transformasi sektoral tenaga kerja. Perlu diberikan beberapa catatan terkait dengan data-data yang digunakan. Pertama, untuk data PDRB menurut lapangan usaha relatif mudah didapatkan dan tersedia untuk seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada setiap tahun penelitian, 2001 sampai dengan 2008. Untuk perbandingan antar kabupaten/kota dipilih nilai PDRB tanpa migas karena kabupaten/kota yang memiliki PDRB yang berasal dari sub-sektor migas hanya kurang dari 10 persen dari total kabupaten/kota di Pulau Jawa. Sementara untuk perbandingan antar waktu digunakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000. Pada beberapa kabupaten/kota, terutama data tahun 2000, 2001 dan 2003, data PDRB yang dipublikasikan menggunakan tahun dasar 1993. Perbedaan tahun dasar tersebut memerlukan untuk dilakukan penyeragaman terhadap nilai PDRB menjadi atas dasar harga konstan 2000. Metode untuk penyesuaian nilai PDRB itu adalah dengan mencari satu titik tahun yang PDRB-nya dihitung atas dasar harga konstan 1993 maupun 2000. Selanjutnya dicari angka pembanding, yaitu dengan membagi antara PDRB atas dasar harga konstan 2000 dengan PDRB atas dasar harga konstan 1993. Angka pembanding tersebut selanjutnya digunakan untuk mengalikan nilai PDRB yang masih bertahun dasar 1993 sehingga didapat PDRB atas dasar harga konstan 2000.
Kedua, untuk data jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama, untuk beberapa kasus perlu dilakukan penyesuian sebagai berikut: a. Pada beberapa kabupaten/kota selain 9 (Sembilan) lapangan pekerjaan utama terdapat klasifikasi sektor “Lainnya” untuk tenaga kerja yang sulit diklasifikasikan ke dalam sektor yang ada. Jumlah tenaga kerja sektor ini untuk keperluan penelitian ini diabaikan mengingat selain karena tidak semua kabupaten/kota mengakomodir klasifikasi tersebut juga secara total jumlahnya sedikit. b. Pada beberapa kasus
lainnya, data
yang tersedia untuk beberapa
kabupaten/kota hanya memuat 5 (lima) sektor yaitu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, dan sektor lainnya. Untuk menyamakan klasifikasi lapangan pekerjaan maka klasifikasi lainnya yang merupakan gabungan tenaga kerja sektor pertambangan, sektor LGA, sektor konstruksi, sektor angkutan, dan sektor keuangan dibagi secara proporsional sesuai dengan proporsi tenaga kerja di antara kelima sektor tersebut berdasarkan data tahun sebelum atau sesudahnya. c. Data tenaga kerja di Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, dan Kota Banjar untuk tahun 2001 dan 2002 tidak tersedia karena masih menyatu di kabupten induk sebelum pemekaran, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Ciamis. Untuk mengatasi hal tersebut, dihitung proporsi data tenaga kerja tahun 2003 di ketiga Kota tersebut terhadap tenaga kerja di masing-masing kabupaten induknya. Proporsi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah tenaga kerja di ketiga Kota tersebut sekaligus sebagai “koreksi” jumlah tenaga kerja di masing-masing kabupaten induk dengan mengurangkannya secara proporsional. Ringkasan variabel, definisi dan indikator yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian Variabel PDRB
Definisi Jumlah nilai barang dan jasa (output) atau nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu daerah (kabupaten/kota) dalam periode tertentu, biasanya satu tahun.
Indikator PDRB menurut lapangan usaha di masingmasing kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan harga konstan 2000. Data PDRB yang dikumpulkan dari publikasi BPS Provinsi atau kabupaten/kota memiliki satuan juta rupiah. PDRB Jawa dalam penelitian ini merupakan penjumlahan agregat dari seluruh PDRB kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa.
Tenaga Kerja
Input tenaga kerja untuk menghasilkan output (PDRB).
Penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan usaha masing-masing Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa. Data tenaga kerja dikumpulkan dari publikasi BPS Provinsi atau kabupaten/kota memiliki satuan orang. Sampai dengan tahun 2006, data Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menggunakan batas usia 10 tahun ke atas untuk klasifikasi penduduk yang bekerja. Tenaga kerja Jawa dalam penelitian ini merupakan penjumlahan agregat dari seluruh tenaga kerja kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa.
Produktivitas Tenaga Kerja
Efisiensi penggunaan input (tenaga kerja) terhadap output (PDRB) yang dihasilkan
Rasio atau hasil dari nilai PDRB dibagi dengan jumlah tenaga kerja masing-masing Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa. Misalkan, produktivitas sektor pertanian di suatu kabupaten/kota sebesar 2,5 berarti di kabupaten/kota tersebut rata-rata tenaga kerja di sektor pertanian menghasilkan output sebesar Rp. 2,5 juta per tahun. Produktivitas Jawa dalam penelitian ini merupakan rasio antara PDRB Jawa dibagi dengan Tenaga Kerja Jawa.
Ketimpangan Produktivitas Tenaga Kerja
Perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu daerah (kabupaten/kota) dibanding tingkat produktivtas agregat di Pulau Jawa
Selisih atau hasil pengurangan antara produktivitas tenaga kerja Jawa dengan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota.
Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift share Analysis) Perbedaan produktivitas tenaga kerja dapat didekomposisi dengan menggunakan analisis shift share sebagaimana yang dilakukan oleh Esteban (2000). Menurut Esteban, sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja di suatu wilayah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) komponen, yaitu: komposisi atau struktur masing-masing wilayah secara sektoral, perbedaan produktivitas sektor
yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi tenaga kerja di sektorsektor yang lebih efisien. Pendekatan Esteban telah diaplikasikan oleh Kamarianakis (2003) dan Ezcurra, et. al (2005) untuk mengukur disparitas produktivitas tenaga kerja di Uni Eropa. Kamarianakis menganalisis disparitas produktivitas 205 region (NUTS 2) terhadap produktivitas Uni Erupa (EU). Formulasi pendekatan Esteban yang dipaparkan dalam penelitian ini dimodifikasi dengan mengganti notasi EU dengan Jawa untuk memudahkan dalam analisis selanjutnya. pji
= pangsa tenaga kerja sektor j di kabupaten/kota i, sehingga Σjpji = 1 untuk seluruh kabupaten/kota i.
pjjawa = pangsa tenaga kerja sektor j di Jawa, sehingga Σjpjjawa = 1 xji
= produktivitas tenaga kerja sektor j di kabupaten/kota i
xjjawa = produktivitas tenaga kerja sektor j di Jawa Berdasarkan formula di atas, produktivitas tenaga kerja di kabuten/kota i merupakan hasil penjumlahan antara pangsa tenaga kerja per sektor dikalikan dengan produktivitas di sektor yang sama. Demikian juga produktivitas di Jawa, sehingga dapat dituliskan: xi
= Σpji . xji
xjawa = Σjpjjawa . xjjawa Disparitas produktivitas tenaga kerja antara kabupaten/kota i dengan Jawa dapat dituliskan sebagai: xi - xjawa Selanjutnya, sumber disparitas produktivitas tenaga kerja tersebut dapat diuraikan lebih lanjut berdasarkan analisis dekomposisi Shift share sebagai berikut: 1. The Industry-Mix Component (μi) Komponen industrial mix kabupaten/kota i mengukur disparitas produktivitas antara kabupaten/kota i dan Jawa berdasarkan komposisi tenaga kerja secara sektoral di masing-masing kabupaten/kota. Diasumsikan bahwa produktivitas antara kabupaten/kota i dengan
Jawa adalah sama untuk masing-masing
sektor, sehingga dapat diformulasikan sebagai: μi = Σj(pji – pjjawa).xjjawa
Nilai μi akan positif jika kabupaten/kota I memiliki spesialisasi (pji > pjjawa) pada sektor yang mempunyai produktivitas tinggi atau sebaliknya tidak berspesialisasi (pji < pjjawa) pada sektor yang mempunyai produktivitas rendah. 2. The Productivity Differential Component (πi) Komponen Perbedaan Produktivitas
sektoral kabupaten/kota i mengukur
perbedaan produktivitas di masing-masing sektor di kabupaten/kota i dan Jawa, sehingga dapat dirumuskan sebagai: πi = Σj pjjawa(xji – xjjawa) nilai πi akan positif jika kabupaten/kota memiliki produktivitas sektoral yang lebih besar dibanding produktivitas sektoral Jawa. 3. The Allocative Component (αi) Komponen Alokatif αi merupakan gabungan dari kedua komponen yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dituliskan sebagai: αi = Σj(xji – xjjawa)(pji – pjjawa) Komponen ini akan bernilai positif jika suatu kabupaten/kota melakukan spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding tingkat produktivitas rata-rata di Jawa. Nilai αi akan maksimum jika suatu kabupaten/kota i berspesialisasi secara penuh pada sektor yang memiliki produktivitas paling tinggi. Dengan demikian, komponen ini merupakan ukuran efisiensi masing-masing kabupaten/kota dalam mengalokasikan sumberdaya (tenaga kerja) pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas yang berbeda. Perbedaan produktivitas kabupaten/kota dengan produktivitas Pulau Jawa secara lengkap dapat didefinisikan sebagai: xi – xjawa = μi + πi + αi Persamaan di atas dapat dibaca sebagai perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa merupakan hasil penjumlahan dari nilai komponen industry-mix, productivity different, dan allocative. Analisis shift share yang dikembangkan Esteban juga memungkinkan untuk dilakukan pengujian disparitas produktivitas tenaga kerja dengan menggunakan model satu komponen tunggal untuk masing-masing komponen dekomposisi.
Untuk tujuan tersebut, dilakukan analisis regresi cross-section terhadap modelmodel berikut: xi – xjawa = aμ + bμμi + εμ,i
i = 1, …, N
xi – xjawa = aπ + bμπi + επ,i
i = 1, …, N
xi – xjawa = aα + bμ αi + εσ,i
i = 1, …, N
Keterangan: N adalah banyaknya kabupaten/kota di Jawa. Pengujian komponen secara tunggal ini dimaksudkan untuk melihat lebih jauh terhadap peran masing-masing komponen shift share sebagai sumber disparitas antar wilayah yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja secara sektoral antar kabupaten/kota. Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) Autokorelasi spasial dapat didefinisikan sebagai kejadian suatu nilai yang mirip berada pada lokasi yang mirip. Autokorelasi spasial akan bernilai positif jika terdapat pengelompokan (clustering) kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama, yaitu kabupaten/kota dengan tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah). Sebaliknya nilai autokorelasi spasial akan negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi). Analisis eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) merupakan teknik analisis untuk menampilkan penyebaran data secara spasial, mengidentifikasi ketidakteraturan lokasi, mendeteksi pola hubungan spasial dan menyajikan kelompok spasial yang berbeda (Anselin, 1999). ESDA terdiri dari serangkaian analisis yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengujian Global Pengujian terhadap keterkaitan spasial (spatial autocorrelation) akan menggunakan uji statistik Moran’s I. It =
Nilai zi adalah vektor dari n observasi kabupaten/kota di Pulau Jawa yang berbeda dari nilai rata-ratanya. Nilai S0 adalah faktor yang telah distandarisasi atau ΣjΣiwij. Statistik Moran’s I memberikan indikasi umum derajat hubungan antara nilai observasi vektor zi dengan nilai rata-rata tertimbang tetangga yaitu vector Wzi (vector spatial lag). Nilai Moran’s I yang lebih besar dari nilai rataratanya E(I) = -1/(n-1) menunjukkan spatial autocorrelation positif sebaliknya jika lebih kecil berarti terjadi autokorelasi spasial negatif. Pengujian Lokal Uji statistik Moran’s I merupakan uji global yang belum dapat menggambarkan struktur wilayah terkait dengan autokeralasi spasial secara parsial. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran
pengelompokan dan
penyebaran wilayah yang memilki pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi atau rendah perlu dilakukan uji statistik korelasi spasial secara lokal menggabungkan antara Moran scatterplot dan Local Indicator of Spatial Association (LISA) sebagaimana digunakan oleh Anselin (1999). Pengujian autokorelasi spasial secara lokal menggunakan Local Moran’s I untuk kabupaten/kota i dan tahun t adalah sebagai berikut: m0 = Σj(Xij - t)2/n
Iij =
dimana xi adalah variabel observasi di kabupaten/kota i, adalah rata-rata variabel observasi dan mo adalah jumlah dari kuadrat selisih nilai variabel tetangganya
dengan
rata-ratanya.
pengelompokan spasial Sebaliknya
jika
nilainya
Nilai
positif
dari
Ii berarti
terjadi
kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama. negatif
maka
pengelompokan
terjadi
antara
kabupaten/kota yang memiliki nilai yang berbeda antara kabupaten/kota yang diamati dengan kabupaten/kota tetangganya. Dengan menggabungkan informasi dari Moran Scatterplots dan uji LISA yang signifikan dapat dibuat Moran Significance Map. Pemetaan dengan menggunakan Moran scatterplot akan menyajikan empat kuadran yang menggambarkan empat tipe hubungan suatu wilayah dengan wilayah-wilayah lain disekitarnya sebagai tetangga (neighbors), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya Tipe
Keterangan
HH
Suatu wilayah yang memiliki nilai tinggi dan dikitari oleh wilayahwilayah tetangga yang juga berilai tinggi
HL
Suatu wilayah yang memiliki nilai tinggi dan dikitari oleh wilayahwilayah tetangga yang mempunyai nilai yang rendah
LH
Suatu wilayah yang memiliki nilai rendah dan dikitari oleh wilayahwilayah tetangga yang mempunyai nilai yang tinggi
LL
Suatu wilayah yang memiliki nilai rendah dan dikitari oleh wilayahwilayah tetangga yang juga mempunyai nilai yang rendah
Keterangan: H = High/Tinggi L = Low/Rendah Matrik Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) Interaksi spasial antar kabupaten/kota dihitung dengan menggunakan matriks W, yang mengukur tingkat keterkaitan spasial antara kabupaten/kota r dengan kabupaten/kota s untuk r, s = 1, …, n. Pola interaksi spasial tersebut mengikuti pendekatan yang merupakan implementasi analisis spasial dari Hukum Geografi I (Tobler’s
first law of geography) yang menyatakan:
”Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”. Pembentukan matriks keterkaitan spasial yang sering disebut matrik W dapat menggunakan berbagai teknik pembobotan berdasarkan matriks jarak, biaya perjalanan,
waktu
tempuh,
aliran
sumberdaya,
maupun
aturan
umum
ketetanggaan. Anselin (2002) mengusulkan 3 (tiga) pendekatan untuk mendefinisikan matriks W, yaitu contiguity, distance, dan general. Matriks W berdasarkan persentuhan batas wilayah (contiguity) menyatakan bahwa interaksi spasial terjadi antar wilayah yang bertetangga, yaitu yang memiliki persentuhan batas wilayah (common boundary). Matriks W berdasarkan aturan umum ketetanggaan (contiguity) antar kabupaten/kota, dimana jika berbatasan langsung diberi nilai 1, dan 0 untuk lainnya. Pada prakteknya, definisi batas wilayah tersebut memiliki beberapa alternatif. Secara umum terdapat berbagai tipe interaksi, yaitu Rook contiguity, Bishop contiguity dan Queen contiguity. Gambar 4 menjelaskan pengertian masing-masing kontiguitas berdasarkan jenis dan arah batas wilayah.
Pengujian autokorelasi spasial dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa orde ketetanggaan. Metode orde ke-1 (kesatu), berarti hanya kabupaten/kota yang berbatasan langsung yang dianggap sebagai tetangga. Metode orde ke-2 (kedua) mengasumsikan tetangga dari kabupaten/kota tetangga yang berbatasan langsung juga termasuk kabupaten/kota tetangga yang masih terjadi efek spasial, dan seterusnya untuk orde yang lebih tinggi.
Rook Contiguity
Bishop Contiguity
Queen Contiguity
Kabupaten/kota pengamatan bersentuhan langsung dengan sisi-sisi kabupaten/kota tetangga sehingga akan memiliki 4 tetangga
Kabupaten/kota pengamatan bersentuhan langsung dengan sudut diagonal kabupaten/kota tetangga sehingga akan memiliki 4 tetangga
Merupakan gabungan antara Rook dan Bishop, sehingga akan memiliki 8 tetanga
Gambar 4. Tipe Keterkaitan antar Wilayah. Sedangkan
berdasarkan
jarak
(distance),
interaksi
ketetanggaan
ditentukan oleh jarak antar dua wilayah. Sesuai dengan hukum gravitasi, semakin dekat jarak antar dua wilayah yang bertetangga maka semakin kuat interaksi yang terjadi. Sebaliknya semakin jauh jarak antar dua wilayah yang bertetangga maka semakin lemah interaksinya. Terdapat dua variasi matriks W berdasarkan jarak yaitu dengan menggunakan jarak antara dua wilayah (distance band) dan sejumlah tertentu wilayah yang ditentukan sebagai tetangga (k-nearest neighbors). Pendekatan jarak (distance) mengasumsikan semakin dekat jarak antar kabupaten/kota akan memiliki hubungan yang lebih kuat (Arbia, et. al.). Oleh karena itu, digunakan perhitungan inverse distance matrices, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Wij (d) = 0 jika i = j Wij (d) = 1/dij2 jika i ≠ j, dan d ij ≤ D Wij (d) = 0 jika i ≠ j, dan d ij > D
dimana
dij
merupakan
jarak
ekludian
antara
titik
tengah
(centroids)
kabupaten/kota i dan j, dan D adalah cutoff atau batas jarak terjauh yang diasumsikan sudah tidak terjadi interaksi. Matriks W dalam pengertian yang lebih umum (general) dapat berupa jarak dalam pengertian tidak sesungguhnya, yang lebih merepresentasikan daya tarik suatu wilayah dan hambatan mobilitas antar wilayah (Anselin 2002). Asumsi yang terlalu ketat yang menganggap keterkaitan hanya terjadi pada wilayah yang berbatasan seringkali tidak relevan. Pergerakan penduduk dan perdagangan misalnya, dalam banyak kasus terjadi antar wilayah yang meskipun kedua wilayah tersebut tidak berbatasan langsung. Misalkan, jarak ekonomi interaksi ketenagakerjaan antar dua wilayah dapat dituliskan sebagai [ri – rj], sehingga bobot interaksi antara kedua wilayah tersebut dapat dituliskan sebagai 1/[ri – rj], di mana r adalah jumlah tenaga kerja. Analisis Regresi Spasial Data Panel Model ekonometri yang digunakan dalam penelitian merupakan regresi data panel yang menggabungkan antara data cross section 115 kabupaten/kota dan data time series 8 tahun pengamatan dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Langkahlangkah yang digunakan dalam analisis regresi spasial untuk data panel dapat diringkas sebagai berikut: 1. Menentukan data yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja setiap kabupaten/kota di Pulau Jawa dan ketiga komponen shift share. 2. Menentukan matriks interaksi spasial, yang dalam penelitian ini menggunakan queen contiguity untuk memodelkan aspek ketetanggaan antar kabupaten/kota. 3. Menentukan pengaruh dependensi spasial lag model dan error model dengan uji likelihood ratio 4. Membatasi effect spasial terhadap fixed effect dan random effect 5. Menentukan nilai LR – test untuk melihat adanya efek spasial 6. Menentukan apakah model yang akan digunakan merupakan fixed effect atau random effect dengan Hausman test
7. Melakukan estimasi parameter dari model tersebut dengan metode Maksimum Likelihood Estimator (MLE) 8. Melakukan interpretasi dari hasil yang diperoleh Algoritma pemilihan model fixed effect dan random effect regresi spasial data panel dengan menggunakan bantuan software Matlab adalah sebagai berikut: 1. Mulai 2. Load data penelitian yang sudah disimpan dalam bentuk data.dat 3. Load matriks pembobot yang sudah disimpan dalam bentuk matriks.dat 4. Input nilai periode waktu (T) yaitu T = 8, dan jumlah wilayah n = 115 5. Lakukan Proses Uji Likelihood Rasio untuk spasial lag model Asumsi – asumsi : a. Spatial fixed effect dengan Spatially dependent variable. Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial lag model dengan fixed effect variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah f. b. Spatial random effect dengan Spatially dependent variable. Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial lag model dengan random effect variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah f. 6. Lakukan uji Hausman pada spasial lag model Asumsi jika nilai probabilitas Hausman < 0.05 tolak spatial random effect 7. Lakukan Proses Uji Likelihood Rasio untuk spasial error model Sama seperti langkah e, dengan asumsi - asumsi a. Spatial fixed effect dengan Spatially dependent variable. Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial error model dengan fixed effect variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah h. b. Spatial random effect dengan Spatially dependent variable. Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial error model dengan random effect variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah h. 8. Lakukan uji Hausman pada spasial error model Asumsi jika nilai probabilitas Hausman > 0.05 tolak spatial random effect 9. Selesai. Diagram alir untuk menentukan model regresi spasial dapat dilihat pada Gambar 5.
Mulai
Load Data Load Matrik Bobot
Input waktu dan jumlah unit (T, N)
LR test Lag Model + Fixed Effect (SAR fixed effect)
LR test Lag Model + Random Effect (SAR random effect) Tidak
LR-test (α < 0,05)?
LR test Error Model + Fixed Effect (SEM fixed effect) Tidak
Tidak LR-test (α < 0,05)?
Ya
LR test Error Model + Random Effect (SEM random effect)
LR-test (α < 0,05)?
LR-test (α < 0,05)?
Ya
Hausman test
Ya
Hausman test
Ya
H-test (α < 0,05)?
Tidak
H-test (α < 0,05)?
Tidak
Ya Lag Model + Fixed Effect (SAR fixed effect)
Tidak
Ya Lag Model + Random Effect (SAR random effect)
Error Model + Fixed Effect (SEM fixed effect)
Error Model + Random Effect (SEM random effect)
Selesai
Gambar 5. Diagram Alir Algoritma Penentuan Model Regresi Spasial Data Panel
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi dalam pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Produktivitas tenaga kerja dapat memberikan gambaran tentang seberapa besar nilai tambah yang diberikan oleh tenaga kerja pada suatu kegiatan ekonomi. Sebagaimana telah didefinisikan pada bagian sebelumnya, dalam penelitian ini produktivitas tenaga kerja dihitung dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada suatu tahun dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja (tenaga kerja) pada tahun yang sama. Oleh karena itu, sebelum membahas produktivitas tenaga kerja perlu dipaparkan gambaran umum komponen penentu produktivitas tenaga kerja, yaitu nilai PDRB dan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Data PDRB yang disajikan adalah data PDRB tanpa Migas atas dasar harga konstan 2000. PDRB Pulau Jawa dalam penelitian ini dihitung sebagai penjumlahan agregat dari seluruh PDRB kabupaten/kota di Pulau Jawa. Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan kontribusi sektoral PDRB menurut lapangan usaha pada tahun 2001-2008. Penggunaan PDRB tanpa Migas mengingat bahwa jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki output dari sub-sektor Migas kurang dari 10 persen dari total 115 kabupaten/Kota yang ada di Pulau Jawa. Selama tahun pengamatan 2001 – 2008, lapangan usaha atau sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling dominan, hampir 30 persen dari total PDRB. Dikuti kemudian dengan sektor perdagangan (rata-rata 23 persen) dan sektor keuangan dengan kontribusi rata-rata sebesar 12,37 persen. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar seperlima terhadap pembentukan PDRB, sementara sektor pertambangan hanya 0,74 persen salah satunya karena tidak memasukkan hasil pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Tabel 4 menyajikan perkembangan dan rata-rata kontribusi PDRB secara sektoral.
Tabel 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008 Tahun
1 2 2001 13,10 0,83 2002 12,83 0,81 2003 12,21 0,69 2004 11,94 0,67 2005 11,65 0,67 2006 11,35 0,68 2007 11,07 0,69 2008 10,59 0,84 Rata-rata 11,84 0,74 Sumber: Data diolah (2011)
Lapangan Usaha (dalam persentase) 3 4 5 6 7 29,25 1,44 5,90 21,57 5,67 28,97 1,48 5,85 22,05 5,89 29,31 1,54 5,88 22,51 6,16 29,26 1,57 5,86 22,83 6,40 29,50 1,60 5,81 22,90 6,50 29,17 1,59 5,86 23,43 6,75 28,96 1,59 5,87 23,74 7,00 28,59 1,55 5,90 24,31 7,33 29,13 1,54 5,87 22,92 6,46
8 12,77 12,71 12,45 12,37 12,40 12,18 12,10 11,94 12,37
9 9,48 9,41 9,24 9,10 8,98 8,99 8,98 8,95 9,14
Kontribusi sektoral selama periode pengamatan tidak menunjukkan perubahan yang mencolok. Meskipun demikian, dari tahun 2001 ke tahun 2008 terdapat kecenderungan penurunan kontribusi pada sektor pertanian, sebaliknya kenaikan kontribusi terjadi pada sektor perdagangan. Sementara jika dilihat dari nilainya, selama tahun 2001-2008 terdapat kecendrungan kenaikan PDRB Pulau Jawa. Jika pada tahun 2001 nilainya sebesar 787.226.346,46 (juta rupiah) dengan rata-rata 6.845.446,49 (juta rupiah), maka pada tahun 2005 meningkat menjadi 978.286.387,54 (juta rupiah) dengan rata-rata sebesar 8.506.838,15 (juta rupiah). Tahun 2008 nilai PDRB Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi 1.164.876.028,25 (juta rupiah) dengan nilai ratarata 10.129.356,77 (juta rupiah). Ditinjau dari nilai PDRB kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki PDRB di bawah rata-rata PDRB Pulau Jawa, sementara 26 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB di atas nilai rata-rata PDRB Pulau Jawa. Komposisi tersebut tidak banyak berubah, pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota nilai PDRB-nya berada dibawah rata-rata PDRB Pulau Jawa sedangkan 25 kabupaten/kota sisanya memiliki PDRB lebih tinggi dari rata-rata PDRB Pulau Jawa. Peringkat atas didominasi kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya di bagian barat serta Kota Surabaya dan sekitarnya di bagian timur Pulau Jawa. Sementara Kepulauan Seribu yang juga merupakan wilayah administratif Provinsi
DKI Jakarta justru berada pada peringkat terbawah. Hal tersebut terkait dengan karakteristik geografisnya sebagai kepulauan sehingga menyulitkan jangkauan layanan infrastruktur yang tersedia. Selain itu posisinya yang terpisah dari wilayah administratif Provinsi DKI Jakarta lainnya juga menyebabkan kurang dapat menikmati fasilitas infrastruktur yang ada di ibu kota. Tabel 5 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai PDRB tahun 2001, 2005 dan 2008. Tabel 5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat PDRB Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001-2008
1
2001 2005 2008 Kabupaten/ PDRB Kabupaten/ PDRB Kabupaten/ PDRB Kota (Juta Rp) Kota (Juta Rp) Kota (Juta Rp) Jakarta Pusat 62.426.503,46 Jakarta Pusat 75.964.763,00 Jakarta Pusat 91.228.665,00
2
Kota Surabaya
53.512.601,88 Jakarta Selatan
65.946.353,00 Kota Surabaya
79.820.021,93
3
Jakarta Selatan
53.333.764,00 Kota Surabaya
65.717.925,51 Jakarta Selatan
78.997.462,00
4
Jakarta Utara
46.053.817,35 Jakarta Utara
55.829.604,00 Jakarta Utara
66.535.642,00
5
Jakarta Timur
41.495.509,09 Jakarta Timur
50.495.912,00 Jakarta Timur
60.123.979,00
6
Jakarta Barat
35.780.192,00 Jakarta Barat
44.169.682,00 Jakarta Barat
52.734.937,93
7
Bekasi
31.888.777,57 Bekasi
40.750.989,09 Bekasi
49.302.484,59
8
Bogor
19.424.213,96 Bogor
25.056.365,22 Kota Tangerang 44.688.789,00
9
Kota Kediri
17.894.726,11 Bandung
22.548.518,20 Bogor
29.271.000,00
10
Sidoarjo
17.486.943,05 Sidoarjo
22.099.391,51 Kota Bandung
26.986.877,00
Peringkat
… ……….. RATA-RATA PDRB PULAU JAWA … ………..
……….. ……….. 6.845.446,49 ……….. ………..
……….. ……….. 8.506.838,15 ……….. ………..
……….. 10.129.356,77 ………..
106
Kota Tegal
814.469,18 Pacitan
1.213.211,65 Pacitan
1.397.218,01
107
Kota Batu
811.597,84 Kota Batu
1.048.847,78 Kota Batu
1.279.668,05
108
Kota Mojokerto
810.713,09 Kota Tegal
1.002.822,00 Kota Tegal
1.166.546,89
109
Kota Magelang
759.504,24 Kota Madiun
891.355,19 Kota Madiun
1.071.013,56
110
Kota Madiun
735.182,21 Kota Magelang
890.399,02 Kota Pasuruan
1.047.157,44
111
Kota Pasuruan
695.724,34 Kota Pasuruan
878.136,23 Kota Magelang
993.863,83
112
Kota Salatiga
611.506,08 Kota Salatiga
722.063,95 Kota Salatiga
832.154,87
113
Kota Banjar
496.598,85 Kota Blitar
594.668,37 Kota Blitar
723.858,61
114
Kota Blitar
468.853,10 Kota Banjar
588.216,00 Kota Banjar
677.455,67
115
Kep. Seribu
153.109,00 Kep. Seribu
134.087,00 Kep.Seribu
152.073,00
Sumber: Data diolah (2011)
Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Data tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini juga disajikan dalam bentuk rinci menurut lapangan usaha utama, yaitu 9 (sembilan) sektor
sebagaimana yang digunakan dalam PDRB. Perlu dicatat bahwa untuk beberapa kabupaten/kota terdapat klasifikasi lain-lain, yaitu untuk tenaga kerja yang sulit dimasukkan dalam klasifikasi Sembilan sektor. Pada penelitian ini, klasifikasi tersebut diabaikan dengan alasan hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memiliki sehingga jumlahnya relatif sedikit. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Rata-rata tenaga kerja sektor pertanian tahun 2001-2008 sebesar 36 persen dari total tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama periode tersebut. Tabel 6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008 Tahun
1 39,7 37,0 39,5 36,2 34,5 32,6 34,4 35,0
2 0,5 0,7 0,6 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8
Lapangan Usaha (dalam persentase) 3 4 5 6 7 15,7 0,2 4,6 20,7 5,5 17,0 0,2 5,4 19,5 6,6 15,2 0,3 4,4 20,6 5,9 16,1 0,3 5,1 21,2 6,5 16,5 0,2 5,6 21,8 6,2 17,2 0,5 5,7 22,1 6,3 15,5 0,2 6,1 22,3 5,7 13,7 0,3 6,1 23,9 6,5
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata36,1 0,7 15,9 Rata Sumber: Data diolah (2011) Keterangan:
0,3
5,4
21,5
6,1
8 2,2 1,6 1,4 1,6 1,8 1,8 1,5 2,0
9 10,9 12,0 12,0 12,5 12,8 13,2 13,4 11,7
1,7
12,3
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2. Pertambangan & Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Bersih; 5. Bangunan dan Kontruksi; 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel; 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi; 8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan; 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan
Tenaga kerja juga banyak terkonsentrasi di sektor perdagangan, selama periode pengamatan 2001-2008 rata-rata berjumlah lebih dari seperlima (21,5 persen) dari total penduduk yang bekerja. Sektor perindustrian menjadi sektor berikutnya yang banyak menyerap tenaga kerja dengan rata-rata sebanyak 15,9 persen. Sedangkan sektor yang sedikit menyerap tenaga kerja adalah sektor pertambangan, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor keuangan. (Tabel 6). Sementara jika dilihat dari besarnya penduduk yang bekerja, selama tahun 2001-2008 terdapat kecenderungan kenaikan jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa.
Jika pada tahun 2001 jumlah tenaga kerja sebesar 58.345.450 orang dengan nilai rata-rata 507.352 orang, maka pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja meningkat menjadi 60.109.456 dengan rata-rata sebesar 522.691 orang. Tahun 2008 jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa terus mengalami peningkatan menjadi 60.339.089 orang dengan nilai rata-rata sebanyak 524.688 tenaga kerja. Ditinjau dari jumlah tenaga kerja kabupaten/kota terhadap nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, pada tahun 2001 sebanyak 61 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja di bawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa, sementara 54 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di atas nilai rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Pada tahun 2005 sebanyak 60 kabupaten/kota yang memiliki jumlah tenaga kerja berada dibawah rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa sedangkan 55 kabupaten/kota sisanya memiliki jumlah tenaga kerja di lebih tinggi dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Sedangkan pada tahun 2008, komposisi tersebut tidak banyak berubah dengan sebanyak 63 Kabupaten/Kota memiliki jumlah tenaga kerja di bawah ratarata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa dan 52 kabupaten/kota lainnya jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Tabel 7 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan jumlah tenaga kerja dibanding rata-rata jumlah tenaga kerja di Pulau Jawa. Tabel 7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001-2008 Peringkat
2001 Kabupaten/ Kota
2005 Tenaga Kabupaten/ Kerja Kota (orang) 1.500.360 Bandung
2008 Tenaga Kabupaten/ Kerja Kota (orang) 1.452.378 Bogor
Tenaga Kerja (orang) 1.470.340
1
Bandung
2
Kota Surabaya
1.354.191 Bogor
1.426.408 Tangerang
1.405.901
3
Malang
1.317.093 Malang
1.265.426 Kota Surabaya
1.249.314
4
Bogor
1.283.998 Kota Surabaya
1.253.922 Malang
1.237.577
5
Jember
1.225.429 Jember
1.170.028 Jember
1.183.197
6
Tangerang
1.062.312 Tangerang
1.086.574 Bandung
1.182.854
7
Jakarta Timur
951.900 Jakarta Timur
926.792 Jakarta Timur
1.091.139
8
Pasuruan
895.294 Kota Bandung
889.973 Jakarta Barat
1.013.159
9
Sukabumi
877.028 Banyuwangi
888.715 Jakarta Selatan
10
Banyuwangi
…
…………
871.847 Garut ………… ……….
979.454
871.919 Kota Bandung
952.752
……….. ……….
………..
RATA-RATA TENAGA KERJA PULAU JAWA
507.352
522.691
524.688
Tabel 7. (Lanjutan) Peringkat
2001 Kabupaten/ Kota
2005 Tenaga Kabupaten/ Kerja Kota (orang) ……….. ………..
2008 Tenaga Kabupaten/ Kerja Kota (orang) ……….. ……….. Kota 85.426 Probolinggo 83.824 Kota Batu
Tenaga Kerja (orang) ………..
…
………..
106
Kota Batu
94.149 Kota Sukabumi
107
Kota Pasuruan
84.323 Kota Probolinggo
108
Kota Madiun
77.777 Kota Pasuruan
73.870 Kota Salatiga
78.668
109
Kota Sukabumi
77.114 Kota Madiun
73.407 Kota Pasuruan
76.569
110
Kota Salatiga
66.028 Kota Salatiga
71.292 Kota Madiun
75.180
111
Kota Blitar
61.618 Kota Banjar
59.668 Kota Banjar
66.424
112
Kota Banjar
60.736 Kota Magelang
54.475 Kota Blitar
61.992
113
Kota Mojokerto
55.412 Kota Blitar
53.999 Kota Magelang
56.107
114
Kota Magelang
49.000 Kota Mojokerto
51.126 Kota Mojokerto
53.661
115 Kepulauan Seribu Sumber: Data diolah (2011)
7.038 Kepulauan Seribu
7.028 Kep. Seribu
96.976 88.555
6.981
Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan kedua data yang telah dipaparkan di atas, yaitu dengan membagi nilai PDRB kabupaten/Kota dengan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota maka diperoleh nilai produktivitas tenaga kerja kabupaten/Kota. Berdasarkan ketersediaan data, produktivitas tenaga kerja dapat dihitung secara rinci untuk masing-masing sektor di setiap Kabupaten/Kota pada setiap tahun, yaitu tahun 2001 sampai dengan 2008. Secara agregat produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa cenderung meningkat. Pada tahun 2001 rata-rata seorang tenaga kerja menghasilkan output sebesar Rp. 13,49 juta rupiah per tahun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 19,31 juta rupiah per tahun (Gambar 6). Sementara secara sektoral, sektor Keuangan merupakan sektor dengan produktivitas tenaga kerja terbesar. Setiap tenaga kerja sektor keuangan secara rata-rata menghasilkan Rp. 119,6 juta rupiah/tahun, disusul dengan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih/LGA (Rp. 97,48 juta rupiah/tenaga kerja/tahun), sektor Industri Pengolahan (30,65 juta rupiah/tenaga kerja/tahun). Perhatian perlu diberikan kepada sektor LGA karena beberapa Kabupaten/Kota tidak memiliki tenaga kerja di sektor ini. Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan
masalah kesulitan klasifikasi jenis perkejaan ataupun karena sektor ini memang hemat tenaga kerja.
Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2001 2008 Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah, rata-rata setiap tenaga kerja menghasilkan output Rp. 5,43 juta rupiah/tahun (Tabel 8). Sedangkan di sektor pertambangan rata-rata setiap tenaga kerja memberikan output sebesar Rp. 18,44 juta rupiah/tahun. Perlu diingat bahwa PDRB yang digunakan pada analisis ini adalah PDRB tanpa migas sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan hanya mencakup PDRB dari subsektor Pertambangan tanpa migas dan Penggalian, tidak termasuk dari sub-sektor Migas. Tabel 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 - 2008 Sektor/Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Produktivitas Tenaga Kerja (Juta Rp/TK/Tahun) 5,43 18,44 30,65 97,48 18,17 17,65 17,55 119,60
Jasa-Jasa Sumber: Data diolah (2011)
12,29
Rendahnya produktivitas di sektor pertanian menjadi salah satu indikasi terjadi
masalah dalam
transformasi
ketenagakerjaan. Seharusnya
ketika
permintaan tenaga kerja di sektor pertanian telah lebih rendah dibanding dengan penawarannya maka kelebihan penawan tenaga kerja tersebut diserap oleh sektorsektor lainnya. Kenyataannya terdapat hambatan (barrier) yang menghalangi perpindahan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian ke sektor lainnya, misalnya pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang harus dimiliki tenaga kerja. Kondisi sektor pertanian yang over supply jumlah tenaga kerja tersebut merupakan penjelas tertekannya produktivitas sektor pertanian pada tingkat yang rendah. Tabel 9 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai produktivitas tenaga kerja pada tahun 2001, 2005 dan 2008. Secara umum tidak terdapat perubahan yang berarti pada peringkat kabupaten/kota di Pulau Jawa. Tabel 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 2001 PeringProduktivitas kat Kabupaten/ (Juta Rp/TK/ Kota Tahun) 1 Jakarta Pusat 174,30 2 Kota Kediri 143,73 3 Jakarta Utara 80,06 4 Jakarta Selatan 72,89 5 Kota Cilegon 67,76 6 Bekasi 48,94 7 Jakarta Barat 45,09 8 Jakarta Timur 43,59 9 Kota Surabaya 39,52 10 Kota Cirebon 39,01 … ……….. ……….. PRODUKTIVITAS 13,49 PULAU JAWA … ……….. ……….. 106 Tegal 3,81 107 Wonogiri 3,78 108 Trenggalek 3,78 109 Wonosobo 3,62 110 Pasuruan 3,59 111 Blora 3,53 112 Bondowoso 3,46
2005 Kabupaten/ Kota Jakarta Pusat Kota Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kota Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kota Cirebon Kota Surabaya ………..
2008
Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) 204,39 147,10 91,13 86,12 78,67 56,53 54,10 52,50 46,07 46,03 ………..
Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Jakarta Pusat 215,12 Kota Kediri 178,64 Jakarta Utara 98,26 Kota Cilegon 86,82 Jakarta Selatan 80,65 Kota Tangerang 69,60 Kota Surabaya 63,89 Bekasi 57,70 Jakarta Timur 55,10 Jakarta Barat 52,05 ……….. ……….. Kabupaten/ Kota
16,28 ……….. Trenggalek Pemalang Wonogiri Tegal Bondowoso Wonosobo Pamekasan
……….. 4,67 4,63 4,61 4,45 4,23 3,93 3,88
19,31 ……….. Pemalang Trenggalek Wonogiri Kebumen Pekalongan Wonosobo Pamekasan
……….. 5,54 5,49 5,03 4,88 4,58 4,57 4,39
113 114 115
Grobogan Pamekasan Pacitan
Sumber: Data diolah (2011)
3,33 3,25 2,80
Blora Grobogan Pacitan
3,86 3,69 3,58
Blora Grobogan Pacitan
4,33 4,09 3,81
Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota Perbedaan produktivitas tenaga kerja adalah selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih besar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa akan memiliki nilai perbedaan yang positif. Sebaliknya untuk kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja lebih kecil dari produktivitas Pulau Jawa maka perbedaan produktivitasnya akan bertanda negatif. Semakin besar nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja menunjukkan kabupaten/kota tersebut memiliki produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi. Hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2001 sampai dengan 2008 dapat diringkas sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 Nilai Tahun Rata-rata Standar Deviasi Nilai Maximum Minimum 2001 1,02 23,63 160,81 -10,70 2002 0,96 2003 0,91 2004 0,52 2005 0,67 2006 0,64 2007 3,11 2008 -0,21 Sumber: Data diolah (2011)
25,38 26,43 26,90 26,68 28,14 42,76 29,39
168,86 169,87 177,73 188,12 197,53 343,00 195,81
-13,07 -12,22 -13,32 -12,69 -13,51 -14,90 -15,50
Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan
pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang. Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya (Gambar 7).
2001
2008 Gambar 7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun
2001 dan 2008
Tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 26 kabupaten/kota berada di atas rata-rata. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 25 kabupaten/kota yang lain berada di atas rata-rata. Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata, baik berdasarkan data tahun 2001 maupun 2008 memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Hasil perhitungan tahun 2001 pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas di atas rata-rata meskipun hanya berjumlah 26, memiliki nilai yang lebih tersebar. Sebanyak 16 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, sedangkan 5 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi berada pada nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi. Data tahun 2008 menghasilkan 25 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata. Kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar sebanyak 15. Sedangkan 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, dan 5 kabupaten/kota sisanya memiliki perbedaan produktivtas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi. Jakarta Pusat merupakan wilayah yang memiliki selisih perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tertinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Produktivitas tenaga kerja Jakarta Pusat pada tahun 2008 sebesar Rp. 215,12 juta rupiah /tahun sementara produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa Rp. 19,31 juta rupiah/tahun sehingga perbedaanya sebesar Rp. 195,81 juta rupiah/tahun. Kabupaten Pacitan dengan nilai produktivitas tenaga kerja terendah
menempati posisi paling bawah karena memiliki selisih negatif terbesar dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Nilai dan peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengujian perbedaan peringkat selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilakukan dengan melakukan uji keselarasan
Kendall (Kendall
Concordance Test). Ringkasan hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall N
8
Kendall's W
a
.975
Chi-Square
889.214
df
114
Asymp. Sig.
.000
a. Kendall's Coefficient of Concordance Sumber : Data diolah (2011) Berdasarkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) yang hasilnya < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan ditolak, sehingga kesimpulannya tidak terdapat perbedaan di antara peringkat kabupaten/kota dari tahun 2001 sampai 2008. Berdasarkan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan. Perhitungan Komponen Shift share Nilai
perbedaan
produktivitas
tenaga
kerja
kabupaten/kota
dapat
didekomposisi atau diuraikan menjadi tiga komponen, yaitu industrial mix, productivity different dan allocative. Komponen-komponen tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja dikarenakan perbedaan alokasi tenaga kerja atau perbedaan produktivitas sektoral
antar kabupaten/kota. Hasil perhitungan masing-masing komponen tersebut dipaparkan pada bagian selanjutnya. Komponen Industrial Mix Komponen industrial mix menggambarkan senjang produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi tenaga kerja di masing-masing kabupaten/kota terkait dengan produktivitas tenaga kerja di wilayah yang lebih luas (Pulau Jawa). Nilai komponen industrial mix akan tinggi jika terjadi konsentrasi tenaga kerja di suatu kabupaten/kota (Pji > PjJawa) pada sektor yang memiliki produktivitas agregat yang tinggi. Sebaliknya jika terjadi konsentrasi yang rendah (Pji < PjJawa) pada sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa yang tinggi, maka nilai komponen industrial mix kabupaten/kota tersebut akan rendah. Ringkasan hasil perhitungan komponen industrial mix yang menunjukkan peringkat masing-masing kabupaten/kota ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Industrial Mix (μ = Σ(Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 – 2008 PeringKat
2001 Kabupaten/ Kota
2005 μ
Kabupaten/ Kota
2008 μ
Kabupaten/ Kota
μ
1
Kota Cirebon
20,72
Kota Depok
11,71
Jakarta Selatan
10,96
2
Kota Bekasi
18,32
Jakarta Selatan
10,03
Kota Depok
10,66
3
Kota Depok
18,09
Kota Tangerang
9,88
Kota Tangerang
10,24
4
Kota Bandung
17,82
Kota Bogor
8,98
Jakarta Timur
9,90
5
Kota Bogor
16,34
Tangerang
8,75
Kota Surabaya
9,90
6
Kota Sukabumi
15,90
Kota Bandung
8,50
Jakarta Barat
9,30
7
Kota Tangerang
8,33
Kota Cimahi
8,45
Jakarta Pusat
9,15
8
Kota Cimahi
7,86
Jakarta Barat
8,29
Kota Bekasi
9,02
9
Jakarta Timur
7,72
Kota Bekasi
8,13
Kota Cilegon
8,81
10
Jakarta Selatan
7,71
Jakarta Pusat
8,01
Sidoarjo
8,81
…..
…..
…..
…..
…..
…..
…..
106
Ngawi
-4,82
Sumenep
-5,64
Kuningan
-6,46
107
Lebak
-5,05
Bondowoso
-5,72
Cianjur
-6,51
108
Temanggung
-5,34
Probolinggo
-5,76
Subang
-6,60
Tabel 12. (Lanjutan) 2001
PeringKat
Kabupaten/ Kota
2005
2008
Kabupaten/ Kota
μ
μ
Kabupaten/ Kota
μ
109
Grobogan
-5,47
Bangkalan
-5,79
Grobogan
-6,63
110
Ponorogo
-5,58
Blora
-6,09
Wonogiri
-6,71
111
Pacitan
-5,59
Pamekasan
-6,12
Blora
-6,79
112
Pamekasan
-5,64
Kepulauan Seribu
-6,31
Gunung Kidul
-6,99
113
Gunung Kidul
-5,65
Pacitan
-6,36
Ngawi
-7,25
114
Blora
-5,95
Ngawi
-6,79
Sampang
-7,37
115
Sampang
-6,45
Sampang
-7,97
Pamekasan
-9,47
Sumber: Data diolah (2011)
Fenomena perbedaan nilai industrial mix di atas dapat dipahami lebih lanjut dengan membandingkan struktur ketenagakerjaan antar kabupaten/kota. Sebagai contoh dibandingkan antara Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan yang masing-masing merupakan wilayah dengan nilai komponen industrial mix tertinggi dan terendah. (Tabel 13). Tabel 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan Tahun 2008 (dalam persen) Sektor Keuangan Listrik, Gas dan Air Industri Pengolahan Angkutan dan Komunikasi Pertambangan Perdagangan Bangunan Jasa-jasa Pertanian Sumber: Data diolah (2011)
Tenaga Kerja (Persen) Jakarta Kabupaten Selatan Pamekasan
Produktivitas TK Pulau Jawa (juta Rp/orang/tahun)
10,47
0,08
116,18
0,35
0,00
96,49
7,58
4,76
40,25
8,91
3,38
21,68
0,68
0,42
19,80
37,98
6,63
19,66
5,63
1,53
18,76
27,76
6,31
14,72
0,65
76,89
5,85
Jakarta Selatan yang memiliki perbedaan produktivitas positif terbesar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa memiliki konsentrasi tenaga
kerja pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Sebaliknya Kabupaten Pamekasan yang memiliki perbedaan negatif terbesar tenaga kerjanya kurang terkonsentrasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi tetapi justru terkonsentrasi pada sektor yang produktivitasnya rendah. Tenaga kerja di Jakarta Selatan pada sektor Keuangan yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi (Rp. 116 juta rupiah/tahun) jauh lebih terkonsentrasi (10,47 persen) dibanding dengan Kabupaten Pamekasan yang hanya 0,08 persen pada sektor yang sama. Demikian juga dengan sektor Industri, sektor Angkutan, sektor Perdagangan dan sektor Jasa yang juga memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi konsentrasi tenaga kerja di Jakarta Selatan relatif lebih besar disbanding dengan tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan. Sebaliknya, tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan sebagian besar (lebih dari 75 persen) terkonsentrasi di sektor Pertanian yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah (Rp. 5,8 juta rupiah/tahun). Gambaran menarik lainnya adalah terkait dengan transformasi tenaga kerja pada kurun waktu pengamatan. Sebagai contoh adalah Kota Cirebon yang pada tahun 2001 memiliki nilai komponen industrial mix terbesar (20,72) sehingga berada pada peringkat pertama, pada tahun 2008 tergeser kedudukannya dan berada pada peringkat 17 dengan nilai komponen industrial mix sebesar 7,33. Hal tersebut dapat ditelusuri dari pergesaran konsentrasi tenaga kerja di Kota Cirebon sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon pada Tahun 2001 dan 2008 2001
Sektor Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa
2008
Pangsa (persen)
Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun)
Pangsa (persen)
Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun)
1,78 0,73 11,94 0,63 4,71 37,17 10,05 28,38 4,61
4,46 21,20 25,18 110,14 17,31 14,04 13,92 78,63 11,69
3,62 1,03 3,22 2,27 9,06 51,37 13,80 5,56 10,07
5,85 19,80 40,25 96,49 18,76 19,66 21,68 116,18 14,72
Nilai Komponen Industrial Mix
20,72
7,33
Sumber: Data diolah (2011) Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor Keuangan dari tahun 2001 (sebesar 28,38 persen) menjadi 5,56 persen pada tahun 2008, padahal sektor tersebut memiliki produktivitas tinggi (bahkan pada tahun 2008 menjadi sektor yang paling produktif) menjadi salah satu penyebab penurunan nilai komponen industrial mix. Demikian juga pergeseran konsentrasi tenaga kerja yang terjadi di sektor Industri Pengolahan juga turut menyumbang penurunan nilai komponen industrial mix di Kota Cirebon. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi tenaga kerja di sektor perdagangan yang juga mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi kondisi tersebut tidak dapat mengkompensasi penurunan nilai komponen nilai industrial mix. Komponen Productivity Differential Nilai komponen productivity differential menyumbang pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa melalui perbedaan produktivitas masing-masing sektor. Suatu sektor di kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama, akan memiliki nilai komponen productivity differential yang besar. Sebaliknya jika produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota pada suatu sektor lebih rendah dari produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa untuk sektor tersebut maka nilai komponen nilai komponen productivity differential juga akan rendah. Dengan kata lain, komponen ini menggambarkan kondisi spesifik suatu wilayah yang bersifat kompetitif. Suatu kabupaten/kota memiliki tingkat produktivitas yang tinggi pada suatu sektor karena mendapat dukungan kebijakan, sumberdaya manusia dan investasi di sektor tersebut. Oleh karena itu perbedaan kemampuan SDM, tingkat teknologi, alokasi investasi, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain dapat menjadi penyebab perbedaan produktivitas sektoral antar kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Hasil perhitungan komponen productivity defferential yang disajikan dalam bentuk ringkasan sepuluh teratas dan terbawah nilai salah satu komponen shift share tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Productivity Differential πi = Σj pjjawa(xji – xjjawa) Tahun 2001 – 2008
1
2001 Kabupaten/ Kota Jakarta Pusat
2
Kota Kediri
85,14 Kota Kediri
89,59 Jakarta Pusat
97,41
3
Jakarta Utara
48,10 Jakarta Utara
57,65 Bekasi
89,07
4
Kota Cilegon
33,41 Kota Cilegon
51,16 Kota Cirebon
68,04
5
Jakarta Timur
29,43 Kepulauan Seribu
51,12 Jakarta Utara
59,77
6
Kepulauan Seribu
27,88 Jakarta Selatan
41,63 Kota Cilegon
47,69
7
Jakarta Selatan
27,28 Kota Cirebon
39,36 Jakarta Timur
28,32
8
Kota Cirebon
27,20 Jakarta Timur
29,11 Jakarta Selatan
26,15
9
Bekasi
19,60 Bekasi
21,15 Kota Tangerang
25,45
19,38 Jakarta Barat
20,34 Karawang
25,36
….. …………..
….. ………...
Peringkat
2005 Kabupaten/ πi Kota 87,88 Jakarta Pusat
2008 Kabupaten/ πi Kota 101,73 Kota Kediri
πi 102,38
10
Jakarta Barat
…..
…………..
106
Brebes
-8,29 Sampang
-10,70 Temanggung
-12,38
107
Demak
-8,31 Demak
-10,72 Pacitan
-12,64
108
Pacitan
-8,37 Grobogan
-10,72 Banyumas
-12,72
109
Wonogiri
-8,67 Purbalingga
-10,73 Tegal
-12,80
110
Pemalang
111
Purbalingga
-8,82 Kebumen -8,88 Wonosobo
-10,74 Pemalang -11,17 Grobogan
-12,81 -12,86
112
Pasuruan
-8,94 Brebes
-11,17 Pekalongan
-13,28
113
Wonosobo
-8,95 Tegal
-11,39 Wonogiri
-13,32
114
Tegal
-9,49 Blora
-11,63 Wonosobo
-13,84
115
Bondowoso
-9,63 Bondowoso
-12,06 Blora
-14,14
…..
Sumber: Data diolah (2011)
Perbedaan nilai komponen productivity differential di atas dapat dijelaskan lebih lanjut dengan membandingkan tingkat produktivitas tenaga kerja sektoral di Kota Kediri dan Kabupaten Blora yang masing-masing pada tahun 2008 merupakan wilayah dengan nilai komponen productivity differential tertinggi dan terendah. (Tabel 16). Kota Kediri yang memiliki nilai komponen productivity differential paling besar mempunyai nilai produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa kecuali untuk sektor
Pertambangan, sektor LGA, sektor Bangunan, dan sektor Jasa. Sektor-sektor yang memiliki produktivitas yang tinggi tersebut juga didukung oleh konsentrasi tenaga kerja yang tinggi juga, misalnya sektor Perdagangan dan sektor Industri. Sebaliknya di Kabupaten Blora seluruh sektor perekonomian memiliki nilai produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa, bahkan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor Pertanian dan sektor Perdagangan. Tabel 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora Tahun 2008 Sektor
ProdukTivitas
Kota Kediri
Kabupaten Blora
Perbedaan dengan Produktivitas Jawa
Perbedaan dengan Produktivitas Jawa
Tenaga Kerja
ProdukTivitas
Tenaga Kerja
Produk tivitas Pulau Jawa
Pertanian
6,06
0,21
7.630
3,84
-2,00
278.500
5,85
Pertambangan
3,69
-16,11
472
15,04
-4,76
4.688
19,80
558,27
518,02
26.980
8,47
-31,78
14.947
40,25
58,92
-37,57
932
30,70
-65,78
329
96,49
3,07
-15,69
11.247
3,52
-15,25
18.835
18,76
140,40
120,74
41.271
3,85
-15,80
74.793
19,66
23,54
1,86
8.438
6,49
-15,19
9.126
21,68
Keuangan 320,62 Jasa-jasa 10,28 Sumber: Data diolah (2011)
204,44 -4,45
2.349 24.966
27,71 2,85
-88,47 -11,87
5.140 51.144
116,18 14,72
Industri Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan
Keterangan: Produktivitas
: Juta Rp/Orang/Tahun
Perbedaan dengan produktivitas jawa
: Juta Rp/Orang/Tahun
Tenaga kerja
: Orang
Komponen Allocative Komponen allocative merupakan gabungan kedua komponen sebelumnya, yaitu nilai yang menyebabkan perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding wilayah yang lebih luas (produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa) baik yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral maupun alokasi tenaga kerja secara sektoral. Oleh karena itu nilai komponen allocative ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah untuk mentransformasi tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.
Bentuk ringkas peringkat sepuluh teratas dan terbawah kabupaten/kota berdasarkan komponen allocative
dapat dilihat pada Tabel 17. Sedangkan
selengkapnya nilai dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan komponen allocative selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Sepuluh Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen Allocative αi = Σj(xji – xjjawa)(pji – pjjawa) Tahun 2001, 2005 dan 2008 2001 Kabupaten/ Kota 1 Jakarta Pusat 2 Kota Kediri 3 Jakarta Selatan 4 Kota Cilegon 5 Jakarta Utara 6 Bekasi 7 Jakarta Barat 8 Kota Surabaya 9 Sampang 10 Kota Cimahi ….. ………… 106 Jakarta Timur 107 Kota Magelang 108 Kepulauan Seribu 109 Kota Bogor 110 Kota Bandung 111 Kota Bekasi 112 Kota Pekalongan 113 Kota Depok 114 Kota Cirebon 115 Kota Sukabumi Sumber: Data diolah Peringkat
αi 66,05 40,75 24,41 16,36 13,25 12,16 6,51 5,57 3,78 3,66 …… -7,05 -8,30 -14,97 -15,29 -17,61 -18,71 -18,73 -19,19 -22,40 -30,55
2005 Kabupaten/ Kota Jakarta Pusat Kota Kediri Jakarta Selatan Bekasi Jakarta Utara Jakarta Barat Sampang Bondowoso Blora Kota Surabaya ………… Kota Pasuruan Kota Magelang Jepara Kota Bekasi Lebak Tangerang Kota Cirebon Kota Depok Kota Pekalongan Kepulauan Seribu
αi 78,37 36,20 18,19 13,33 10,98 7,59 6,91 5,36 5,29 4,39 …… -5,70 -6,63 -7,96 -8,15 -8,42 -9,89 -13,01 -14,20 -18,60 -42,14
2008 Kabupaten/ Kota Jakarta Pusat Kota Kediri Jakarta Selatan Kota Tangerang Kota Cilegon Jakarta Utara Kota Surabaya Blora Wonogiri Garut ………… Purwakarta Kota Bogor Bogor Kota Depok Kota Bekasi Karawang Subang Kepulauan Seribu Kota Cirebon Bekasi
αi 89,26 51,51 24,24 14,61 11,02 10,47 9,44 5,95 5,75 4,72 …… -12,26 -13,05 -13,23 -14,37 -18,42 -18,85 -22,07 -22,08 -49,01 -50,21
Lampiran 6.a. sampai dengan 6.h. menyajikan hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kontribusi masing-masing komponen analisis shift share (yi – yJAWA = μi + πi + αi) dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008. Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Matrik Kontiguitas Spasial Perbedaan produktifitas tenaga kerja antara suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa perlu dilihat lebih lanjut secara spasial.
Fokus pembahasan akan diarahkan pada meneliti apakah terdapat pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan pada nilai produktivitas tenaga kerja maupun komponen shift share yang merupakan penyusun nilai produktifitas tenaga kerja. Untuk keperluan tersebut maka perlu dibangun suatu model keterkaitan spasial di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa dengan menggunakan spatial weight matrix (matrik W). Sesuai dengan fokus pembahasan untuk melihat pola pengelompokan , maka digunakan pendekatan ketetanggaan sebagai matrik W. Artinya keterkaitan spasial diasumsikan terjadi pada kabupatenkabupaten/kota-kota yang berbatasan dan berdekatan. Secara umum tidak ada hambatan mobilitas antar kabupaten/kota yang bertetangga dan diasumsikan interaksi tidak hanya terjadi antar kabupaten/kota yang berbatasan langsung tetapi juga pada beberapa kabupaten/kota lainnya yang menjadi tetangga dari kabupaten/kota yang berbatasan langsung. Oleh karena itu matrik W yang digunakan untuk keperluan analisis spasial pada penelitian ini adalah queen contiguity orde 4. Pemilihan orde 4 juga dapat mengatasi masalah ketetanggan pada sebuah kabupaten/kota yang berlokasi di dalam kabupaten/kota lainnya. Kota Bogor misalnya, jika menggunakan orde 1 maka hanya bertetangga dengan Kabupaten Bogor saja tetapi dengan menggunakan orde 4 akan bertetangga dengan 22 kabupaten/kota lainnya. Perlakuan khusus perlu diberikan untuk Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep di Provinsi Jawa Timur karena wilayah-wilayah tersebut berada di kepulauan/pulau yang terpisah dari dataran utama Pulau Jawa. Kepulauan Seribu misalnya, Karena tidak memiliki batas bersama dengan wilayah lain dianggap tidak memiliki keterkaitan ketetanggaan. Kondisi tersebut dikoreksi dengan menganggap ada ketetanggaan dengan wilayah-wilayah administratif lainnya di Provinsi DKI Jakarta, sehingga Kepulauan Seribu yang semula tidak memiliki tetangga menjadi memiliki 5 (lima) tetangga. Sedangkan kabupaten-kabupaten yang berada di Pulau Madura semula dikonstruksikan hanya bertetangga dengan sesama kabupaten lain di Pulau Madura sehingga masing-masing memiliki 3 (tiga) tetangga. Kondisi tersebut juga
dikoreksi dengan menambahkan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik sebagai wilayah tetangga kabupaten-kabupaten di Pulau Madura sehingga Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep menjadi memiliki 5 (lima) tetangga. Pengujian Autokorelasi Spasial Anselin (2003) mengusulkan beberapa langkah untuk menguji keberadaan pengelompokan spasial atau mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Langkah pertama adalah dengan menggunakan perhitungan Moran’s I statistik (Tabel 18). Tabel 18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran’s I Model Komponen Model Komponen Productivity Allocative Tahun Diffferential Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value Moran’s-I p-value 2001 0,0923 0,010 0,1599 0,001 0,0969 0,009 0,0039 0,287 2002 0,0907 0,003 0,1459 0,001 0,0497 0,037 0,0184 0,129 2003 0,0899 0,012 0,0140 0,001 0,0811 0,015 0,0158 0,188 2004 0,0879 0,006 0,1095 0,002 0,1829 0,002 -0,0808 0,013 2005 0,1125 0,012 0,1771 0,001 0,1077 0,030 0,0201 0,112 2006 0,1099 0,007 0,1413 0,002 0,1034 0,007 0,0148 0,123 2007 0,1236 0,004 0,1856 0,001 0,0986 0,007 0,0592 0,024 2008 0,0905 0,009 0,0611 0,044 0,1605 0,001 -0,0102 0,529 Sumber: Data diolah (2011) Perbedaan Produktivitas
Model Komponen Industrial Mix
Terjadinya autokorelasi spasial dilihat melalui nilai p-value, yaitu Jika pvalue < 0,05 maka secara statistik dugaan terjadi autokorelasi menjadi signifikan (Anselin, 2010). Pada perhitungan di atas, perbedaan produktivtas tenaga kerja antar kabupaten/kota, komponen industrial mix, dan komponen productivity different menunjukkan signifikansi terjadinya autokorelasi, dan hanya komponen allocatove yang tidak signifikan kecuali pada tahun 2007. Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan terjadinya autokorelasi yang positif. Dalam penelitian ini, hal tersebut dapat dibaca terdapat kecenderungan kabupaten-kabupaten/kota-kota dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan mengelompok dan demikian juga sebaliknya terjadi pengelompokan di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota yang memiliki produktivitas rendah.
Berdasarkan hasil perhitungan Moran’s I maka perbedaan produktivitas antara kabupaten/kota di Jawa dengan produktivitas Pulau Jawa menunjukkan sebagian besar berkorelasi spasial secara positif. Demikian juga dengan komponen industrial mix dan productivity different juga menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial. Sementara pada komponen allocative tidak terdapat konsistensi hubungan pada beberapa tahun pengamatan. Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Moran’s I merupakan ukuran global yang belum dapat menunjukkan di kabupaten-kabupaten/kota-kota mana terjadi klaster. Oleh karena itu, pengujian diteruskan dengan menggunakan Moran scatterplots (Gambar 8.a. dan 8.b.). Hasilnya menunjukkan sebagian besar kabupaten/kota berada pada kuadran LL, yaitu memiliki produktivitas rendah dan dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Kondisi tersebut terjadi baik pada tahun 2001 maupun 2008.
WXi - XJAWA
Xi - XJAWA
WXi - XJAWA
Gambar 8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa Tahun 2001
Xi - XJAWA Gambar 8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa Tahun 2008 Meskipun demikian, tidak setiap kabupaten/kota memiliki signifikansi posisi dalam kuadran Moran scatterplot tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian melalui Local Indicator Spatial Analysis (LISA) significant maps. Hasil penggabungan antara Moran scatterplot dan Moran significant maps adalah LISA cluster maps yang menggambarkan posisi masing-masing kabupaten/kota. Berdasarkan LISA cluster maps baik pada tahun 2001 maupun 2008 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8, terdapat klaster High-High, Low-Low, High-Low, Low-High maupun kabupaten/kota yang tidak memiliki signifikansi pengelompokan.
TAHUN 2001
TAHUN 2008
Gambar 9. Klaster Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja
Klaster High-High terjadi pada kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi di Jakarta dan sekitarnya (High – High). DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi terutama berasal dari sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja sektoral yang tinggi seperti sektor keuangan, perdagangan dan jasa-jasa. Tetapi pada wilayah yang sama juga ditemukan outlier yaitu kabupatenkabupaten/kota-kota yang justru memiliki produktivitas tenaga kerja rendah meskipun bertetangga dengan kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi (Low – High). Pola autokorelasi negatif tersebut dapat dipahami melalui pengertian PDRB menurut lapangan usaha yang merupakan penjumlahan nilai tambah yang dihasilkan seluruh kegiatan unit ekonomi di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Nilai tambah tersebut terdiri dari upah/gaji. pajak, dan surplus usaha. Rendahnya produktivitas kota-kota di sekitar DKI Jakarta seperti Kota Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor dapat dilihat dari distribusi nilai tambah yang diterima masing-masing wilayah. Penduduk di kota-kota tersebut merupakan tenaga kerja komuter di Provinsi DKI Jakarta sehingga nilai tambah yang diterima kota-kota tersebut berasal dari penerimaan upah/gaji. Sementara nilai tambah yang lebih besar yang berasal dari pajak dan surplus usaha tetap terakumulasi di kota-kota di Provinsi DKI Jakarta. Sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah berada pada klaster Low – Low, yang artinya memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah dan berkelompok dengan kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang menjadi tetangga yang juga memiliki produktivitas rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah. Kota Semarang dan Kabupaten Kudus merupakan kabupaten/kota outlier di Provinsi Jawa Tengah, yang justru memiliki rpoduktivitas tenga kerja yang relatif tinggi dibanding kabupaten/kota disekitarnya (Kuadran High – Low). Sayangnya kedua wilayah tersebut belum dapat menjadi pusat pertumbuhan yang dapat memberikan kontribusi peningkatan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di sekitarnya.
Pola keterkaitan yang tidak signifikan yang menunjukkan tidak terdapat pengelompokan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja terjadi di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Kediri di bagian timur Pulau Jawa yang merupakan kabupaten/kota dengan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi tidak memiliki signifikansi
klaster
mengindikasikan
dengan
kabupaten/kota
tetangganya.
penyebaran
kabupaten/kota
yang
Hal
memiliki
tersebut perbedaan
produktivitas tenaga kerja yang tinggi tetapi belum cukup signifikan untuk berperan sebagai pusat-pusat pertumbuhan bagi wilayah di sekitarnya. Pola interaksi yang menunjukkan terjadinya autokorelasi spasial negatif (klaster HL dan LH) mengindikasikan interaksi spasial yang tidak sehat. Kondisi ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Myrdal yang menunjukkan lemahnya dampak sebar (spread effect) dibanding dengan dampak balik (backwash effect). Hal tersebut berarti pusat-pusat pertumbuhan belum dapat memberikan dampak positif terhadap wilayah di sekitarnya. Sedangkan kabupaten-kabupaten/kota-kota yang lain tidak menujukan signifikansi pengelompokan. Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Spesifikasi Model dengan Spasial Data Panel Permodelan spasial digunakan untuk mengestimasi kontribusi masingmasing komponen shift share:
Industry-Mix Component (μi), Productivity
Differential Component (πi), dan Allocative Component (αi) terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Estimasi parameter pada masing-masing komponen shift share sebagai variabel bebas (independent variable) akan dilakukan secara terpisah dengan variabel terikat (dependent variable) sebagai varibael penjelas (explanatory variable) yaitu perbedaan produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) model persamaan tunggal (single equation model), yaitu pengaruh komponen industry-mix terhadap perbedaan
produktivitas
tenaga
kerja,
pengaruh
komponen
productivity
differential terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja, dan pengaruh komponen allocative terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja.
Permodelan
dilakukan
dengan
menggunakan
data
panel,
yaitu
menggabungkan antara data cross section 115 kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan data time series 8 (delapan) titik tahun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008. Langkah awal dalam pemodelan spasial data panel adalah menguji adanya efek spasial Fixed Effect dan Random Effect menggunakan uji Likelihood Ratio (LR). Spesifikasi model ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan persamaan yang tidak bias sehingga penaksiran pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tidak bias. Adapun hipotesis yang digunakan untuk uji Likelihood Ratio sebagai berikut. 1. SAR Fixed Effect H0 : Lag model tidak berpengaruh H1 : Paling tidak ada satu lag model yang berpengaruh 2. SAR Random Effect H0 : 1 (Lag model tidak berpengaruh) H1 : 1 (Lag model berpengaruh) 3. SEM Fixed Effect H0 : Error model tidak berpengaruh H1 : Paling tidak ada satu error model yang berpengaruh 4. SEM Random Effect H0 : 1 (Error model tidak berpengaruh) H1 : 1 (Error model berpengaruh) Uji likelihood Ratio (LR test) dilakukan pada masing-masing model, yaitu kontribusi komponen Industry-Mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, kontribusi komponen Productivity Different terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota, dan kontribusi komponen Allocative terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota. Pengujian hipotesis menggunakan tingkat signifikasi ( ) sebesar 5%. Hasil uji likelihood Ratio dapat dilihat pada Tabel 19, 20, dan 21.
Tabel 19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: The Industry-Mix Component (μi) Chi-Square
DF
P-value
SAR Fixed Effect
2566,5592
115
0,000
SAR Random Effect
1892,5523
1
0,000
SEM Fixed Effect
2579,4085
115
0,000
SEM Random Effect
1913,4178
1
0,000
Model
Sumber: Data diolah (2011) Tabel 20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa: The Productivity Differential Component (πi) Chi-Square
DF
P-value
SAR Fixed Effect
1168,3821
115
0,000
SAR Random Effect
572,5636
1
0,000
SEM Fixed Effect
1227,1336
115
0,000
SEM Random Effect
618,1747
1
0,000
Model
Sumber: Data diolah (2011) Tabel 21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa: The Allocative Component (αi) Chi-Square
DF
P-value
SAR Fixed Effect
2324,9766
115
0,000
SAR Random Effect
1646,3492
1
0,000
SEM Fixed Effect
2338,7662
115
0,000
SEM Random Effect
1658,9157
1
0,000
Model
Sumber: Data diolah (2011) Berdasarkan Tabel 19, 20, dan 21 diketahui nilai p-value untuk setiap model kurang dari = 5%. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa pengaruh efek spasial baik fixed effect maupun random effect signifikan pada model SAR maupun SEM. Oleh karena belum dapat ditentukan model yang paling sesuai maka perlu dilakukan uji Hausman untuk menentukan apakah model tersebut termasuk model fixed effect atau random effect.
Hipotesis yang digunakan dalam uji Hausman sebagai berikut. H0 : h 0 (random effect) H1 : h 0 (fixed effect) Hasil uji Hausman dapat dilihat pada Tabel 22, 23, dan 24 berikut ini. Tabel 22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Industry-Mix Component (μi) Model SAR Fixed Effect SAR Random Effect SEM Fixed Effect SEM Random Effect Sumber: Data diolah (2011)
Chi-Square
DF
P-value
29,6942
2
0,000
40,8053
2
0,000
Tabel 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Productivity Differential Component (πi) Model SAR Fixed Effect SAR Random Effect SEM Fixed Effect SEM Random Effect Sumber: Data diolah (2011)
Chi-Square
DF
P-value
876,5984
2
0,000
127,6984
2
0,000
Tabel 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja untuk Allocative Component (αi) Model SAR Fixed Effect SAR Random Effect SEM Fixed Effect SEM Random Effect Sumber: Data diolah (2011)
Chi-Square
DF
P-value
15,4034
2
0,0005
6,5328
2
0,0381
Hasil p-value Tabel 22, 23, dan 24 setiap model SAR dan SEM menunjukkan nilai kurang dari 5%, sehingga model efek spasial yang terbentuk adalah fixed effect. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan untuk model
perbedaan produktivitas dengan masing-maisng variabel penjelas yang ada yaitu model SAR fixed effect dan SEM fixed effect. Pemilihan model terbaik (goodness of fit) adalah dengan menggunakan kriteria R2 dan Corr2. Nilai kedua kriteria R2 dan Corr2 untuk semua kemungkinan model dapat dilihat pada Tabel 25, 26, dan 27. Tabel 25. Nilai R2dan Corr2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Industry-Mix Component (μi) Model
R2
Corr2
SAR Fixed Effect
0,9557
0,0514
SEM Fixed Effect
0,9517
0,0502
Sumber: Data diolah (2011) Tabel 26. Nilai R2dan Corr2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Productivity Differential Component (πi) Model
R2
Corr2
SAR Fixed Effect
0,9719
0,4080
SEM Fixed Effect
0,9699
0,4086
Sumber: Data diolah (2011) Tabel 27. Nilai R2 dan Corr2 Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Allocative Component (αi) Model
R2
Corr2
SAR Fixed Effect
0,9662
0,3108
SEM Fixed Effect
0,9641
0,2941
Sumber: Data diolah (2011) Tabel 25, 26, dan 27 menunjukkan pemilihan model terbaik antara SAR dan SEM dengan fixed effect spatial. Kriteria terbaik adalah memilih model yang memiliki nilai R2 terbesar dan Corr2 terkecil sehingga didapat selisih keduanya yng paling besar. Hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component (μi) dan the Productivity Differential Component (πi) model terbaik yang didapatkan adalah SAR fixed effect.
Sementara
untuk variabel penjelas the Allocative Component (αi) model
terbaiknya adalah SEM fixed effect. Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan Fixed Effect Spasial Permodelan perbedaan produktivitas tenaga kerja pada masing-masing untuk setiap variabel prediktor dengan fixed effect spatial terdiri dari Spatial Lag Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM). Spatial Lag Model Pada Spatial Lag Model akan dilakukan uji parsial dengan statistik uji t untuk melihat pengaruh masing-masing variabel prediktor yang ada di setiap model terhadap variabel respon. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut. H0 : i 0 H1 : i 0 , i = 1,2,…,n Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 28 berikut. Tabel 28. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spatial Lag Model Koefisien Parameter The Industry-Mix Component μi 0,9263 0,4449 δ The Productivity Differential Component πi 0,735 0,3489 δ The Allocative Component αi 0,6631 0,3469 δ Variabel
Sumber: Data diolah (2011)
thit
p-value
6,772 8,0052
0,000 0,000
24,6678 7,0739
0,000 0,000
18,798 6,2836
0,000 0,000
Pada Tabel 28 yang menyajikan hasil pengujian koefisien parameter secara parsial diketahui bahwa nilai p-value variabel untuk masing-masing model kurang dari sehingga keputusannya adalah tolak H0 yang artinya masing-masing variabel prediktor The Industry-Mix Component, The Productivity Differential Component, The Allocative Component berpengaruh signifikan terhadap
perbedaan produktivitas tenaga kerja. Dengan demikian masing-masing model fixed effect spatial lag yang terbentuk adalah sebagai berikut. n
y it 0,4449 Wij y ij 0,9263 μ it ε i i 1 n
y it 0,3489 Wij y ij 0,735 π it ε i i 1 n
y it 0,3469 Wij y ij 0,6631 α it ε i i 1
Koefisien spasial lag menunjukkan besarnya interaksi pada indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota sepulau jawa. Besarnya interaksi antar variabel respon sepulau jawa untuk masing-masing model sebesar 0,4449; 0,3489; 0,3469 sehingga indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja di setiap kabupaten/kota akan dipengaruhi oleh indeks perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga. Untuk masing-masing variabel prediktor The Industry-Mix Component, The Productivity Differential Component, dan The Allocative Component memiliki tingkat elastisitas yang berbeda yaitu masing-masing 0,9263; 0,735; dan 0,6631. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan The Industry-Mix Component, The Productivity Differential Component, dan The Allocative Component sebesar 1% akan berdampak pada kenaikan perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja masing-masing sebesar 0,4449%; 0,3489%; dan 0,3469%. Adapun untuk nilai R2 dan corr2 untuk masing-masing model dapat dilihat pada Tabel 24, 25, dan 26. Sehingga persentase keragaman yang mampu dijelaskan oleh SAR spatial fixed effect masing-masing sebesar 90,43%; 56,39%; dan 65,54%. Spatial Error Model Seperti halnya Spatial Lag Model, pada Spatial Error Model juga akan dilakukan uji parsial dengan statistik uji t untuk melihat pengaruh masing-masing variabel prediktor yang ada di setiap model terhadap variabel respon. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut.
H0 : i 0 H1 : i 0 , i = 1,2,…,n Tabel 29. Hasil Pengujian Koefisien Parameter Spatial Error Model Koefisien Parameter The Industry-Mix Component μi 0,9335 φ 0,4549 The Productivity Differential Component πi 0,7405 φ 0,4389 The Allocative Component αi 0,6617 φ 0,3509 Sumber: Data diolah (2011) Variabel
thit
p-value
6,6911 8,0852
0,000 0,000
24,8964 7,6051
0,000 0,000
18,4755 5,3637
0,000 0,000
Tabel 29 yang merupakan hasil pengujian koefisien parameter Spatial Error Model secara parsial. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai p-value variabel untuk masing-masing model kurang dari sehingga keputusannya adalah tolak H0 yang artinya masing-masing variabel prediktor, yaitu the Industry-Mix Component, the Productivity Differential Component, dan the Allocative Component berpengaruh signifikan terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Dengan demikian masing-masing model fixed effect spatial error yang terbentuk adalah sebagai berikut. n
y it 0,9335 μ it 0,4549 Wijφ jt ε i i 1 n
y it 0,7405 π it 0,4389 Wijφ jt ε i i 1 n
y it 0,6617 α it 0,3509 Wijφ jt ε i i 1
Koefisien spasial error ρ menunjukkan besarnya interaksi spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Besarnya interaksi antar variabel respon kabupaten/kota di Pulau Jawa untuk masingmasing model sebesar 0,4549; 0,4389; 0,3509 yang menunjukkan perbedaan
produktivitas tenaga kerja di setiap kabupaten/kota yang dipengaruhi oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga. Masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component, the Productivity Differential Component, dan the Allocative Component memiliki tingkat elastisitas yang berbeda yaitu masing-masing 0,9335; 0,7405; dan 0,6617. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan the Industry-Mix Component, the Productivity Differential Component, dan the Allocative Component sebesar 1% akan berdampak pada kenaikan perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja masing-masing sebesar 0,4549%; 0,4389%; dan 0,3509%. Adapun untuk nilai R2 dan corr2 untuk masing-masing model dapat dilihat pada Tabel 25; 26; dan 27. Sehingga persentase keragaman yang mampu dijelaskan oleh SEM spatial fixed effect masing-masing sebesar 90,15%; 56,13%; dan 67%. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, model yang paling sesuai untuk masing-masing komponen shift share adalah sebagai berikut. Estimasi pengaruh atau kontribusi komponen industry mix terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja menggunakan model SAR fixed effect, sehingga diperoleh persamaan: n
y it 0,4449 Wij y ij 0,9263 μ it ε i i 1
Persamaan tersebut menunjukan jika suatu kabupaten/kota mampu melakukan transformasi ketenagakerjaan dalam arti “memindahkan” tenaga kerja dari sektor yang kurang produktif ke sektor yang lebih produktif maka akan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di kabupaten/kota tersebut. Peningkatan komponen industry mix sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun akan meningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa sebesar 0,93 juta rupiah/orang/tahun. Sedangkan signifikansi pada variabel interaksi spasial menunjukan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh kenaikan atau penurunan alokasi tenaga kerja di kabupaten-kabupaten/kota-kota di sekitarnya yang menjadi tetangga. Sementara untuk pengaruh komponen productivity differential, persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai:
n
y it 0,3489 Wij y ij 0,735 π it ε i i 1
Persamaan tersebut juga menunjukan hubungan positif antara komponen productivity
differential
dengan
perbedaan
produktivitas
tenaga
kerja
kabupaten/kota. Artinya, suatu kabupaten/kota dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja wilayahnya dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara sektoral sehingga dapat lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama. Kenaikan nilai komponen productivity differential sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tersebut sebesar 0,74 juta rupiah/orang/tahun, jika produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa dianggap tetap. Hubungan positif yang signifikansi pada variabel interaksi spasial menunjukan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh kenaikan atau penurunan produktivitas sektoral kabupaten-kabupaten/kota-kota di sekitarnya yang menjadi tetangga. Sedangkan pada komponen allocative model yang paling sesuai adalah dengan menggunakan SEM fixed effect sehingga terbentuk persamaan sebagai berikut: n
y it 0,6617 α it 0,3509 Wijφ jt ε i i 1
Nilai parameter yang ditunjukan persamaan tersebut dapat dibaca sebagai jika di suatu kabupaten/kota terjadi peningkatan alokasi tenaga kerja pada sektor yang lebih produktif dan disertai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja secara sektoral sehingga nilai komponen allocative meningkat sebesar 1 juta rupiah/orang/tahun maka akan memberikan kontribusi kenaikan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tersebut terhadap produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa sebesar 0,67 juta rupiah/orang/tahun. Signifikan efek spasial pada error mengindikasikan bahwa masih ada komponen atau hal-hal lain di wilayah sekitarnya yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota, misalnya alokasi modal yang ditentukan oleh daya tarik suatu kabupaten/kota dalam menarik investasi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dipengaruhi oleh perbedaan alokasi tenaga kerja maupun perbedaan produktivitas di masing-masing kabupaten/kota. Sebagai contoh, di Jakarta Selatan sebagai wilayah yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja terbesar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa menurut perhitungan komponen industry-mix, alokasi tenaga kerja terkonsentrasi di sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi seperti keuangan, industri, angkutan, dan perdagangan. Sedangkan di Kabupaten Pamekasan sebagian besar tenaga kerja terkonsentrasi di sektor pertanian yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah. Perbedaan produktivitas tenaga kerja juga
disebabkan
oleh
perbedaan
produktivitas
tenaga
kerja
setiap
sektor/lapangan usaha. Sebagai contoh, Kota Kediri yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tertinggi menurut perhitungan productivity different mempunyai produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding rata-rata produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. 2. Gambaran spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja di Pulau Jawa menunjukkan keberadaan klaster kabupaten/kota, baik pengelompokan sesama kabupaten/kota yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi (Klaster High-High), keberadaan kabupaten/kota dengan perbedaan produktivitas tenaga kerja yang rendah dan bertetangga dengan kabupatenkabupaten/kota-kota lain yang juga memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang rendah (Klaster Low-Low). Selain itu juga ditemukan pola autokorelasi negatif, yaitu keberadaan kabupaten/kota yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi dikitari oleh kabupatenkabupaten/kota-kota tetangga yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang rendah (Klaster High-Low) dan sebaliknya juga terdapat kabupaten/kota dengan perbedaan produktivitas tenaga kerja rendah berada di antara kabupaten/kota tetangga yang memiliki perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tinggi (Klaster Low-High).
3. Pengujian Moran’s I menunjukkan perlunya memasukkan efek spasial dalam model regresi pengaruh komponen shift share sebagai variabel penjelas perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian menggunakan model regresi spasial dengan data panel, baik koefisien spatial lag maupun koefisien spatial error menegaskan kontribusi masing-masing komponen shift share maupun terjadinya efek spasial (spatial effect) terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Model terbaik untuk komponen Industry-Mix dan Productivity Differential adalah SAR fixed effect. Sementara
komponen Allocative (αi) model terbaiknya
adalah SEM fixed effect. Berdasarkan nilai parameter yang didapatkan maka besarnya kontribusi perbedaan produktivitas tenaga kerja secara berturut-turut terutama disebakan oleh perbedaan pangsa tenaga kerja antar kabupaten/kota (komponen industry mix), kemudian perbedaan tingkat produktivitas tenaga antar kabupaten/kota pada sektor yang sama (komponen productivity differential), dan interaksi antara perbedaan pangsa tenaga kerja maupun perbedaan produktivitas tenaga kerja secara sektoral (komponen allocative). Signifikansi efek spasial pada ketiga persamaan komponen shift share menunjukan bahwa produktivitas tenaga kerja di suatu kabupaten/kota dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota lain disekitarnya yang menjadi tetangga. Saran 1. Ketiga komponen shift share berpengaruh secara nyata terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Oleh karena itu, disarankan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya memperhatikan transformasi tenaga kerja dari suatu sektor (misalnya sektor primer) ke sektor lain (misalnya sektor sekunder). Tetapi masing-masing kabupaten/kota perlu untuk memperhatikan peningkatan produktivitas tenaga kerja secara sektoral, misalnya
melalui
peningkatan
ketrampilan
tenaga
kerja,
perbaikan
infrastruktur sosial ekonomi pendukung, dan lain-lain. Peningkatan keahlian dan ketrampilan tersebut juga dapat menjadi solusi adanya hambatan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya.
2. Model regresi spasial yang dikembangkan menunjukkan signifikansi efek spasial pada hubungan antara masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut berarti perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh perubahan komponen shift share (alokasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja sektoral) di kabupaten/kota tetangga. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan koordinasi antar kabupaten/kota yang bertetangga untuk bersinergi meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Misalnya, untuk peningkatan infrastruktur sosial ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektoral perlu memperhatikan skala layanan dan efek limpahan manfaat (spillover effect) sehingga dapat dirancang lebih efisien dalam pembiayaan maupun pemanfaatan. 3. Secara teknis, pembentukan model spasial perlu disempurnakan dengan menggunakan berbagai model interaksi spasial yang lain, baik yang berdasarkan pada pertimbangan jarak antar kabupaten/kota maupun aliran barang dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya. Perlu juga dilakukan pengembangan model regresi spasial yang menggabungkan ketiga komponen shift share tersebut dalam satu persamaan (simultaneous equation model) sehingga kontribusi ketiga komponen tersebut baik secara individual maupun bersama-sama dapat lebih diperjelas.
DAFTAR PUSTAKA
Akita T dan RA Lukman. Interregional Inequality in Indonesia: A Sectoral Decomposition Analysis, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 31(2):61-81 Akita T. 2003. Decomposing Regional Income Inequality in China and Indonesia Using Two-Stage Nested Theil Decomposition Method, Annals of Regional Science Vol.37, No.1:55-77. Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. ________. 1999. Spatial Econometric, Bruton Center School of Social Sciences, Dallas: University of Texas. ________. 2002. Spatial Weight, http://www.dpi.inpe.br/gilberto/tutorials/ software/geoda/tutorials/w8_weights.pdf [28 Okober 2009] ________. 2003. GeoDA 0.9 User’s Guide, Spatial Analysis Laboratory (SAL), Department of Agricultural and Consumer Economics, University of Illinois, Urbana-Champaign, IL. [28 Okober 2009] Anselin L and Hudak S. 1992. Spatial Econometrics in Practice : A review of Software Options. Regional science and Urban Economics 22:509-36. Arbia G, Michele B, and GD Vaio. (tt). Space, Institutions and Growth: Empirical Tests Using Weighted Distance Matrices for the EU25 Regions, www.ecomod.org/files/papers/82.pdf [28 Okober 2009] Arief S dan A Sasono. 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Lembaga Studi Pembangunan. Armstrong H and J Taylor. 1993. Regional Economics and Policy, Second Edition, New York: Harvester Wheatsheaf. Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Bhakti. 2004. Kesenjangan Antar Daerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional [tesis]. Jakarta: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Bhinadi A. 2002. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia [tesis]. Yogyakarta: Program Studi Magister Sains, Universitas Gadjah Mada.
Blair JP. 1995. Local Economic Development Analysis and Practice. California: SAGE Publication. [BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2008. Tinjauan Angkatan Kerja di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007. Jakarta: BPS DKI Jakarta. Drapper N.R dan H Smith. 1992. Applied Regression Analysis. Edisi II, New York: John Wiley&Son,Inc. Dunn ES. 1960. A Statistical and Analytical Technique for Regional Analysis, Paper and Proceeding of the Regional Science Association, 6:97-112. Elhorst J.P. 2009. Spatial Panel Data Models. In Fischer MM, Getis A (Eds.) Handbook of Applied Spatial Analysis, Ch. C.2. Berlin Heidelberg New York: Springer Esteban. 2000. Regional Convergence in Europe and the Industry Mix: A Shift Share Analysis. Regional Science and Urban Economics 30:353-364. Ezcurra R, Carlos G, Pedro P and Manuel R. 2005. Regional Inequality in the European Union: Does Industry Mix Matter?. Regional Studies, Vol. 39.6, August 2005, pp 679-697. GeoDa Center for Geospatial Analysis and Computation, Arizona State University, http://geodacenter.asu.edu/software/downloads [28 Oktober 2010] Gujarati D. 2004. Ekonometrika Dasar, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hoover EM and Frank F. 1999. An Introduction of Regional Economics, web book. http://rri.wvu.edu/WebBook/Giarratani/contents.htm [5 April 2011] Jhingan, ML. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: Rajawali Pers. Kamarianakis Y and Julie LG. 2003. The Evolution of Regional Productivity Disparities in the European Union, 1975 – 2000, Article Submitted for Publication. Previous versions were presented at the North American Regional Science Association Conference, Philadelphia, November 2003 and the 17th Panhellenic Conference in Statistics, Leukada Greece, April 2004, http://www.iacm.forth.gr/regional/papers/yiannis_Julie_EU_75_0.pdf [28 Okober 2009] Kariyasa K. 2003. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia, http://www.scribd.com/ doc/29743371/2-Soca-kariyasa-strktr-Ek-Dan-Kesmpt-Kerja-1 [16 Maret 2011]
Kataoka M. 2007. Identifying Some Factors of Regional Income Inequality in Pre and Post Economic Crisis in Indonesia, http://test3.nakamotohonten.co.jp/RSAI2009/pdf/rC01-2_Kataoka.pdf [16 Maret 2011] Kuncoro M. 2004. Analisa Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, Yogyakarta: UPP-AMP YKPN. Kuznets S. 1955. Economic Growth and Income Inequality, American Economic Review, 45:1-28. Lewis WA. 1954. “Economic Development with Unlimited Supplies of Labor”, Manchester School of Economic and Social Studies, Vol. 22, pp. 139-91. McCulloch N and BS Syahrir. 2008, “Endowments, Location or Luck? Evaluating the Determinants of Sub-National Growth in Decentralized Indonesia”, Policy Research Working Paper 4769, World Bank, Washington D.C. Myrdal G. 1956. Economic Theory and Under-Developed Regions, London: Gerald Duckworth & Co.Ltd. Nazara S. 2003. Spatial Inequality Within A Regional Growth Decomposition Technique: Indonesian Case 1976-1998, The Regional Economics Applications Laboratory (REAL), Illinois, USA, www.real.uiuc.edu/dpaper/03/03-t-21.pdf Saefulhakim S. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah: Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi, Bogor: CORDIA. Salim A. 2004. Pengaruh Produktivitas Region Tetangga terhadap Produktivitas Region. [tesis]. Jakarta: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Shkurpat O. 2006. Regional Labor productivity Disparities in Ukraina: Main causes and Spatial Patern [thesis], Ukraina: Economic Education and Research Consortium, National University Kyiv-Mohyla Academy. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi, Padang: Baduose Media. Susanti BH. 2005. Konvergensi Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral antar Provinsi di Indonesia, 1987-2003 [tesis]. Jakarta: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia. Todaro MP and SC Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan, Jakarta: Penerbit Erlangga. Williamson. 1965. Regional inequality and the Process of National Development, Economic Development and Cultural Change, 14:3-45.
87
LAMPIRAN
88 Lampiran 1. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Kode Provinsi 31 31 31 31 31 31 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
Kode Kab/Kota 1 71 72 73 74 75 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 71 72 73 74 75 76 77 78 79 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Provinsi DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah
Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati
89 Lampiran 1. (lanjutan) Kode No Provinsi 50 33 51 33 52 33 53 33 54 33 55 33 56 33 57 33 58 33 59 33 60 33 61 33 62 33 63 33 64 33 65 33 66 33 67 34 68 34 69 34 70 34 71 34 72 35 73 35 74 35 75 35 76 35 77 35 78 35 79 35 80 35 81 35 82 35 83 35 84 35 85 35 86 35 87 35 88 35 89 35 90 35 91 35 92 35 93 35 94 35 95 35 96 35 97 35 98 35
Kode Kab/Kota 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 34 34 34 34 34 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
Provinsi Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah DI Yogyakarta DI Yogyakarta DI Yogyakarta DI Yogyakarta DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur
Kabupaten/Kota Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Magelang Surakarta Salatiga Semarang Pekalongan Tegal Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Yogyakarta Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Sidoarjo Kab. Mojokerto Jombang Nganjuk Kab. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang
90 Lampiran 1. (lanjutan) Kode No Provinsi 99 35 100 35 101 35 102 35 103 35 104 35 105 35 106 35 107 35 108 35 109 35 110 36 111 36 112 36 113 36 114 36 115 36
Kode Kab/Kota 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 36 36 36 36 36 36
Provinsi Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur Banten Banten Banten Banten Banten Banten
Kabupaten/Kota Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Surabaya Kota Batu Pandeglang Lebak Tangerang Serang Tangerang Cilegon
Lampiran 2. Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja, 2001-2008 Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
2001 Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Jakarta Timur Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Malang Kep. Seribu Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Bekasi Purwakarta Gresik Kt. Magelang Bogor Karawang Kt. Sukabumi Kt. Mojokerto Kt. Surakarta Kt. Pekalongan Tangerang Cilacap Serang Bandung Kt. Tasikmalaya Kt. Probolinggo Kt. Bogor Kendal Sleman Kt. Madiun Indramayu Kt. Salatiga Garut Kt. Depok
Lampiran 2. (lanjutan)
2002 160.8 130.2 66.6 59.4 54.3 35.4 31.6 30.1 26.0 25.5 17.9 13.6 10.3 9.8 9.5 8.3 6.6 6.1 3.5 3.0 2.6 2.0 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0 0.1 -1.3 -1.4 -1.9 -2.2 -2.3 -3.0 -3.4 -3.9 -3.9 -4.0 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Malang Kt. Cimahi Kudus Sidoarjo Kep. Seribu Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Purwakarta Bogor Karawang Kt. Bekasi Sumedang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Kt. Madiun Cilacap Kt. Tangerang Tangerang Serang Kt. Tasikmalaya Bandung Tulungagung Kt. Batu Indramayu Kt. Pasuruan Sleman
2003 168.9 141.6 69.1 63.7 60.9 40.0 35.9 34.2 32.5 26.1 14.4 14.4 13.5 10.3 10.2 8.6 8.0 6.6 6.3 3.0 2.2 1.0 0.8 0.0 -0.1 -0.1 -0.3 -0.5 -0.7 -1.2 -2.2 -2.4 -2.7 -2.9 -3.0 -3.2 -3.3 -3.6 -4.2 -4.2 -4.3 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Yogyakarta Kep. Seribu Kt. Mojokerto Kt. Probolinggo Purwakarta Karawang Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Kt. Tasikmalaya Bandung Kt. Madiun Tangerang Serang Kt. Bogor Tulungagung Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Blitar Sleman
2004 169.9 158.3 71.3 63.0 59.2 36.3 35.1 33.7 33.7 27.3 20.4 15.6 15.1 10.3 10.1 9.0 7.5 6.8 6.4 4.2 4.1 2.6 1.2 1.0 1.0 0.9 0.4 0.4 -0.6 -1.7 -2.3 -2.5 -2.8 -2.8 -3.0 -3.6 -4.0 -4.3 -4.3 -4.4 -5.0 -5.1
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Kt. Surabaya Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Karawang Kt. Probolinggo Kep. Seribu Purwakarta Kt. Bekasi Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Tangerang Bandung Tulungagung Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Kt. Madiun Serang Kt. Batu Banyuwangi Sleman Kt. Pasuruan
2005 177.7 153.5 70.0 65.3 62.3 36.6 36.1 34.7 33.2 26.8 20.4 15.0 13.4 12.1 10.3 10.2 9.7 8.2 6.0 3.2 2.2 2.2 1.8 1.4 0.1 -0.2 -0.6 -1.0 -1.1 -1.4 -2.7 -2.9 -3.4 -3.7 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5 -4.5 -4.8 -5.0 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Surabaya Kt. Tangerang Kt. Cimahi Kt. Malang Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Kt. Bandung Kt. Mojokerto Sidoarjo Karawang Purwakarta Gresik Kep. Seribu Bogor Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Bandung Cilacap Kt. Tasikmalaya Kt. Pekalongan Kt. Bogor Serang Tangerang Kendal Kt. Madiun Sumedang Sleman Tulungagung Kt. Batu
2006 188.1 130.8 74.9 69.8 62.4 39.2 37.8 36.2 29.8 29.8 21.0 13.9 11.6 10.8 9.3 9.1 8.2 8.2 7.2 4.9 4.2 3.5 2.7 1.6 0.6 0.1 -0.1 -0.3 -0.4 -1.1 -1.1 -2.6 -2.6 -3.2 -3.5 -3.6 -4.6 -5.1 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Yogyakarta Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Mojokerto Gresik Karawang Purwakarta Kep. Seribu Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Bekasi Cilacap Kt. Sukabumi Kt. Magelang Bandung Kt. Pekalongan Tangerang Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Indramayu Sleman Tulungagung Garut Kt. Madiun Karanganyar Kt. Pasuruan
2007 197.5 136.8 78.4 73.3 69.4 41.1 39.6 37.9 33.5 33.3 25.0 13.7 12.8 9.9 9.1 8.7 8.3 8.2 6.6 5.5 3.6 3.6 2.3 1.1 0.4 0.2 0.1 -0.1 -1.2 -1.4 -1.7 -2.0 -3.1 -4.3 -4.5 -5.6 -5.7 -5.7 -5.9 -5.9 -6.2 -6.2
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Jakarta Timur Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Sidoarjo Kt. Cimahi Kt. Mojokerto Kt. Bandung Kep. Seribu Kt. Semarang Kudus Gresik Kt. Yogyakarta Bandung Karawang Kt. Probolinggo Purwakarta Bogor Kt. Magelang Kt. Bekasi Kt. Surakarta Cilacap Sleman Tangerang Kt. Sukabumi Kt. Madiun Kt. Pekalongan Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Bogor Banyuwangi Tulungagung Kt. Tasikmalaya Indramayu
2008 343.0 162.3 143.5 114.0 69.2 69.2 65.5 64.5 43.9 28.8 24.6 15.6 12.3 11.6 11.4 9.4 9.2 8.9 8.8 8.3 4.6 2.0 1.5 0.8 -0.1 -0.7 -1.5 -2.0 -2.0 -3.0 -3.7 -3.9 -3.9 -3.9 -4.2 -4.8 -5.2 -5.8 -5.9 -6.5 -6.7 -7.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Kt. Cilegon Jakarta Selatan Kt. Tangerang Kt. Surabaya Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Malang Sidoarjo Kt. Mojokerto Kudus Kt. Bandung Gresik Kt. Semarang Kt. Cimahi Kt. Yogyakarta Karawang Kep. Seribu Purwakarta Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Magelang Cilacap Bandung Kt. Bekasi Kt. Tasikmalaya Kt. Batu Kt. Sukabumi Kt. Madiun Tangerang Kt. Pekalongan Kt. Pasuruan Banyuwangi Tulungagung Garut Mojokerto Karanganyar
195.8 159.3 79.0 67.5 61.3 50.3 44.6 38.4 35.8 32.7 26.4 16.4 12.6 10.6 9.3 9.0 8.4 7.9 7.6 4.7 2.8 2.5 0.9 0.6 0.5 -0.9 -1.6 -2.3 -2.7 -3.7 -4.5 -4.9 -4.9 -5.1 -5.1 -5.3 -5.7 -6.2 -6.3 -7.4 -7.5 -7.5
88 Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
2001 Semarang Kt. Tangerang Kt. Batu Tulungagung Sumedang Kt. Tegal Sukoharjo Banyuwangi Kt. Pasuruan Kt. Banjar Karanganyar Subang Kt. Blitar Cianjur Lebak Sukabumi Mojokerto Probolinggo Lumajang Malang Pandeglang Cirebon Bantul Ciamis Jombang Situbondo Kulon Progo Jepara Tuban Bojonegoro Batang Kuningan Kediri Boyolali Jember Klaten Nganjuk Blitar Majalengka Purworejo Pati Pekalongan Rembang
2002 -4.7 -4.8 -5.0 -5.0 -5.1 -5.2 -5.3 -5.3 -5.3 -5.4 -5.4 -5.6 -5.9 -6.0 -6.1 -6.1 -6.2 -6.2 -6.2 -6.4 -6.6 -6.7 -6.9 -7.1 -7.2 -7.2 -7.2 -7.3 -7.4 -7.5 -7.5 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0
Banyuwangi Jombang Kt. Bogor Kendal Probolinggo Garut Kt. Depok Mojokerto Semarang Kt. Salatiga Kt. Blitar Malang Lumajang Sukoharjo Karanganyar Kt. Banjar Kt. Tegal Sukabumi Tuban Sumenep Situbondo Subang Blitar Cianjur Nganjuk Lebak Cirebon Jember Magetan Bojonegoro Pandeglang Ciamis Kediri Bantul Bangkalan Pasuruan Kuningan Madiun Klaten Lamongan Pekalongan Kulon Progo Boyolali
2003 -5.0 -5.4 -5.5 -5.5 -5.5 -5.5 -5.6 -5.6 -6.0 -6.0 -6.1 -6.2 -6.2 -6.3 -6.4 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.5 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.2 -8.2 -8.2 -8.2 -8.3 -8.3 -8.4 -8.4 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -9.0
Banyuwangi Mojokerto Indramayu Probolinggo Garut Kendal Malang Kt. Tegal Jombang Kt. Salatiga Sukoharjo Sumedang Kt. Depok Semarang Karanganyar Lumajang Sukabumi Magetan Situbondo Kt. Banjar Tuban Subang Jember Pandeglang Cianjur Nganjuk Lebak Bantul Bojonegoro Cirebon Jepara Kediri Ciamis Pasuruan Sumenep Madiun Kuningan Klaten Boyolali Gunung Kidul Bangkalan Pekalongan Batang
2004 -5.3 -5.6 -5.7 -5.8 -5.8 -5.9 -6.0 -6.3 -6.4 -6.4 -6.4 -6.6 -6.6 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.8 -7.9 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.5 -8.5 -8.6 -8.7 -8.7 -8.7 -8.7 -8.8 -8.9 -9.1 -9.2 -9.2 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7
Probolinggo Mojokerto Kt. Blitar Indramayu Lumajang Jombang Sumedang Garut Kendal Malang Kt. Salatiga Magetan Kt. Tegal Kt. Banjar Sukabumi Sukoharjo Semarang Subang Kt. Depok Tuban Cianjur Pandeglang Bojonegoro Ciamis Blitar Kediri Situbondo Nganjuk Bangkalan Pasuruan Klaten Lebak Cirebon Bantul Karanganyar Madiun Boyolali Kuningan Sumenep Jepara Pekalongan Purworejo Jember
2005 -5.6 -5.8 -5.9 -6.2 -6.3 -6.4 -6.4 -6.5 -6.6 -6.8 -7.1 -7.2 -7.2 -7.3 -7.5 -7.5 -7.8 -8.0 -8.2 -8.2 -8.3 -8.4 -8.8 -8.8 -8.8 -8.9 -9.0 -9.0 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.9 -10.1 -10.2 -10.2 -10.3
Indramayu Kt. Pasuruan Garut Kt. Blitar Kt. Banjar Kt. Salatiga Sukoharjo Kt. Depok Banyuwangi Karanganyar Kt. Tegal Mojokerto Lumajang Subang Probolinggo Semarang Magetan Jombang Sukabumi Malang Cianjur Tuban Pandeglang Situbondo Cirebon Bantul Kuningan Blitar Jember Bojonegoro Nganjuk Gunung Kidul Boyolali Klaten Majalengka Purworejo Kediri Lebak Rembang Pasuruan Jepara Pekalongan Madiun
2006 -6.0 -6.1 -6.2 -6.3 -6.4 -6.5 -6.6 -6.7 -6.8 -6.8 -6.9 -7.0 -7.2 -7.3 -7.4 -7.4 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.1 -8.2 -8.6 -8.6 -8.7 -8.9 -9.2 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7 -9.8 -9.9
Serang Kt. Blitar Kt. Tegal Kt. Batu Sumedang Sukoharjo Semarang Kt. Depok Subang Kendal Kt. Banjar Banyuwangi Mojokerto Lumajang Tuban Sukabumi Pandeglang Probolinggo Kt. Salatiga Malang Magetan Situbondo Jombang Cirebon Jember Cianjur Lebak Bantul Kulon Progo Pasuruan Rembang Bojonegoro Blitar Nganjuk Purworejo Boyolali Kediri Jepara Gunung Kidul Majalengka Sumenep Pekalongan Madiun
2007 -6.6 -6.6 -6.9 -7.1 -7.1 -7.2 -7.3 -7.4 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.7 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.1 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.6 -8.9 -9.1 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -10.0 -10.1 -10.1 -10.1 -10.2 -10.3 -10.4 -10.4 -10.5
Mojokerto Lumajang Serang Tuban Kt. Blitar Malang Karanganyar Garut Probolinggo Semarang Kt. Salatiga Kt. Tegal Sukoharjo Sumedang Magetan Jombang Situbondo Kt. Banjar Kt. Depok Kediri Cianjur Kendal Blitar Jember Bojonegoro Pandeglang Nganjuk Cirebon Pasuruan Lebak Kulon Progo Bantul Sumenep Madiun Bangkalan Sukabumi Klaten Gunung Kidul Lamongan Boyolali Purworejo Jepara Kuningan
2008 -7.4 -7.4 -7.4 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.9 -8.0 -8.2 -8.2 -8.2 -8.5 -8.9 -9.1 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -10.0 -10.0 -10.3 -10.5 -10.6 -10.8 -10.8 -10.9 -10.9 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6
Kt. Blitar Lumajang Kt. Tegal Probolinggo Tuban Kt. Bogor Malang Sleman Serang Sukoharjo Semarang Kt. Salatiga Subang Sumedang Indramayu Kt. Banjar Kendal Kediri Situbondo Bojonegoro Blitar Jombang Cirebon Nganjuk Ciamis Pandeglang Kt. Depok Sukabumi Jember Pasuruan Magetan Cianjur Sumenep Purworejo Bantul Klaten Kulon Progo Lebak Majalengka Bangkalan Madiun Boyolali Lamongan
-7.6 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.0 -8.1 -8.2 -8.3 -8.5 -8.5 -8.7 -8.9 -8.9 -9.0 -9.1 -9.4 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -9.9 -10.2 -10.3 -10.4 -10.5 -10.5 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.0 -11.3 -11.4 -11.4 -11.4 -11.5 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7
89
Lampiran 2. (lanjutan) Rangking 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
2001 Gunung Kidul Magetan Tasikmalaya Sumenep Madiun Magelang Lamongan Bangkalan Banjarnegara Banyumas Temanggung Demak Brebes Ngawi Sragen Purbalingga Sampang Ponorogo Pemalang Kebumen Tegal Trenggalek Wonogiri Wonosobo Blora Pasuruan Bondowoso Grobogan Pamekasan Pacitan
2002 -8.0 -8.0 -8.1 -8.1 -8.4 -8.6 -8.6 -8.6 -8.7 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -8.9 -8.9 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -10.0 -10.0 -10.1 -10.2 -10.3 -10.7
Purworejo Batang Gunung Kidul Rembang Jepara Pati Ngawi Tasikmalaya Sampang Ponorogo Banjarnegara Demak Banyumas Sragen Brebes Trenggalek Magelang Purbalingga Temanggung Kebumen Pamekasan Pemalang Bondowoso Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pacitan Blora Majalengka
2003 -9.0 -9.0 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.8 -10.0 -10.2 -10.2 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.6 -10.6 -10.8 -10.8 -11.1 -11.1 -11.3 -11.3 -11.6 -11.7 -13.1
Ngawi Purworejo Ponorogo Blitar Rembang Lamongan Majalengka Pati Magelang Tasikmalaya Temanggung Banjarnegara Brebes Banyumas Trenggalek Demak Sampang Kulon Progo Purbalingga Bondowoso Sragen Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2004 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -9.9 -10.0 -10.3 -10.3 -10.4 -10.4 -10.6 -10.6 -10.7 -10.8 -10.8 -10.9 -11.1 -11.1 -11.1 -11.2 -11.2 -11.2 -11.3 -11.4 -11.5 -11.6 -11.8 -12.0 -12.0 -12.2
Lamongan Majalengka Rembang Gunung Kidul Tasikmalaya Batang Ponorogo Pati Ngawi Sampang Trenggalek Banyumas Banjarnegara Brebes Magelang Demak Temanggung Bondowoso Kulon Progo Sragen Kebumen Pemalang Purbalingga Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pamekasan Blora Pacitan
2005 -10.4 -10.4 -10.4 -10.4 -10.6 -10.7 -10.7 -10.7 -11.0 -11.3 -11.4 -11.5 -11.5 -11.5 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -11.9 -12.0 -12.1 -12.2 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.8 -13.0 -13.3
Tasikmalaya Sumenep Kulon Progo Ciamis Batang Pati Magelang Bangkalan Lamongan Banjarnegara Sragen Demak Ngawi Banyumas Ponorogo Temanggung Purbalingga Brebes Kebumen Trenggalek Wonogiri Pemalang Sampang Tegal Wonosobo Pamekasan Bondowoso Blora Grobogan Pacitan
2006 -9.9 -10.0 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.7 -10.9 -10.9 -11.0 -11.0 -11.0 -11.2 -11.3 -11.3 -11.4 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -12.3 -12.4 -12.4 -12.4 -12.6 -12.7
Pati Batang Kuningan Klaten Ciamis Bangkalan Lamongan Banyumas Tasikmalaya Brebes Banjarnegara Ponorogo Magelang Ngawi Sragen Temanggung Purbalingga Demak Kebumen Pemalang Tegal Wonogiri Trenggalek Sampang Bondowoso Wonosobo Grobogan Pamekasan Blora Pacitan
2007 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.2 -11.3 -11.3 -11.3 -11.4 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.9 -12.2 -12.2 -12.3 -12.3 -12.4 -12.6 -12.7 -12.8 -13.1 -13.3 -13.5 -13.5
Pekalongan Rembang Pati Majalengka Batang Ciamis Banyumas Brebes Ngawi Ponorogo Subang Magelang Banjarnegara Tasikmalaya Sragen Bondowoso Purbalingga Temanggung Sampang Trenggalek Demak Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2008 -11.7 -11.7 -12.0 -12.2 -12.5 -12.6 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -12.8 -12.9 -12.9 -13.0 -13.0 -13.1 -13.1 -13.1 -13.1 -13.4 -13.5 -13.5 -13.6 -13.8 -14.1 -14.1 -14.2 -14.7 -14.8 -14.9
Gunung Kidul Kuningan Jepara Pati Rembang Ngawi Batang Tasikmalaya Brebes Ponorogo Magelang Banjarnegara Banyumas Temanggung Sragen Bondowoso Demak Sampang Purbalingga Tegal Pemalang Trenggalek Wonogiri Kebumen Pekalongan Wonosobo Pamekasan Blora Grobogan Pacitan
-11.7 -11.8 -12.0 -12.3 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -13.0 -13.2 -13.2 -13.4 -13.5 -13.5 -13.7 -13.7 -13.7 -13.7 -13.8 -13.8 -14.3 -14.4 -14.7 -14.7 -15.0 -15.0 -15.2 -15.5
90
Lampiran 3. Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Komponen Industry Mix Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
2001 Kt. Cirebon Kt. Bekasi Kt. Depok Kt. Bandung Kt. Bogor Kt. Sukabumi Kt. Tangerang Kt. Cimahi Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Pusat Tangerang Kt. Mojokerto Kt. Surabaya Jakarta Barat Kt. Pekalongan Kt. Semarang Jakarta Utara Sidoarjo Kt. Cilegon Kt. Salatiga Kt. Kediri Jepara Kt. Surakarta Kt. Malang Kt. Madiun Kt. Yogyakarta Kt. Pasuruan Kt. Tasikmalaya Bekasi Kudus Kt. Blitar Kt. Magelang Bantul Sleman Bandung Kt. Tegal Kt. Probolinggo Sukoharjo Klaten Bogor Pekalongan
2002 20.7 18.3 18.1 17.8 16.3 15.9 8.3 7.9 7.7 7.7 6.9 6.4 6.0 5.7 5.7 5.4 5.2 5.2 5.1 4.5 4.3 4.3 4.2 4.2 4.2 4.0 4.0 3.9 3.7 3.7 3.5 3.2 3.2 2.8 2.1 2.0 1.8 1.6 1.4 1.4 1.2 1.0
Jakarta Selatan Kt. Depok Kt. Tangerang Jakarta Timur Tangerang Jakarta Pusat Kt. Bandung Kt. Bekasi Kt. Cimahi Jakarta Barat Kt. Semarang Kt. Bogor Sidoarjo Majalengka Kt. Surabaya Kt. Surakarta Kt. Cilegon Kt. Kediri Kt. Madiun Jakarta Utara Kt. Pasuruan Kt. Cirebon Kt. Pekalongan Kt. Mojokerto Kudus Kt. Salatiga Kt. Yogyakarta Kt. Malang Sumedang Kt. Magelang Kt. Sukabumi Jepara Bekasi Bantul Kt. Tasikmalaya Kt. Tegal Kt. Blitar Sleman Bandung Sukoharjo Bogor Banyumas
2003 10.8 9.9 9.7 8.8 8.1 8.0 7.9 7.8 7.7 7.4 7.3 7.0 6.5 6.4 6.4 6.3 6.1 5.9 5.7 5.5 5.4 4.9 4.8 4.8 4.5 4.1 4.0 3.8 3.7 3.6 3.3 3.2 3.1 3.0 2.7 2.5 1.7 1.7 1.6 1.4 1.2 0.9
Jakarta Selatan Jakarta Pusat Kt. Tangerang Jakarta Timur Kt. Depok Jakarta Barat Kt. Bekasi Kt. Bogor Kt. Bandung Tangerang Kt. Cimahi Kt. Surakarta Kt. Cirebon Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Kt. Cilegon Kt. Surabaya Kt. Blitar Jakarta Utara Kt. Malang Kt. Pekalongan Kt. Mojokerto Kt. Pasuruan Sidoarjo Kt. Madiun Jepara Kudus Kt. Kediri Kt. Salatiga Bantul Kt. Magelang Bogor Kt. Sukabumi Bekasi Kt. Tegal Kt. Probolinggo Kt. Tasikmalaya Pekalongan Sleman Bandung Mojokerto Sukoharjo
2004 14.3 12.2 11.5 10.8 10.2 9.9 9.8 9.6 9.6 8.7 8.7 8.2 8.0 7.9 7.7 7.6 7.2 7.1 7.1 7.0 6.7 6.7 6.4 6.2 6.1 5.8 5.6 5.6 5.4 4.4 4.2 4.2 3.7 3.6 3.3 3.2 3.1 3.0 2.4 2.1 1.8 1.8
Kt. Depok Jakarta Selatan Kt. Tangerang Kt. Bekasi Kt. Bogor Kt. Bandung Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Timur Kt. Pasuruan Kt. Cimahi Jakarta Utara Kt. Salatiga Kt. Mojokerto Sidoarjo Kt. Cilegon Kt. Surakarta Kt. Surabaya Kt. Malang Tangerang Kt. Semarang Kt. Kediri Kt. Pekalongan Bekasi Jepara Kt. Cirebon Kudus Kt. Magelang Kt. Yogyakarta Kt. Tasikmalaya Kt. Blitar Bantul Kt. Sukabumi Kt. Tegal Kt. Madiun Gresik Bandung Pekalongan Kt. Probolinggo Sukoharjo Bogor Mojokerto
2005 14.6 12.1 11.9 11.2 10.6 10.4 9.6 9.6 9.1 8.7 8.6 7.2 6.9 6.7 6.7 6.6 6.6 6.4 6.2 6.2 6.1 5.6 5.2 5.0 4.9 4.5 4.2 4.1 4.1 3.7 3.5 3.4 3.4 3.3 3.2 2.8 2.6 2.4 2.3 2.1 2.1 1.8
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Surabaya Kt. Tangerang Kt. Cimahi Kt. Malang Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Kt. Bandung Kt. Mojokerto Sidoarjo Karawang Purwakarta Gresik Kep. Seribu Bogor Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Bandung Cilacap Kt. Tasikmalaya Kt. Pekalongan Kt. Bogor Serang Tangerang Kendal Kt. Madiun Sumedang Sleman Tulungagung Kt. Batu
2006 11.7 10.0 9.9 9.0 8.7 8.5 8.5 8.3 8.1 8.0 7.8 7.7 7.0 6.6 6.4 6.2 6.0 5.8 5.7 5.6 5.5 5.1 5.0 5.0 4.7 4.6 4.6 4.4 4.0 3.8 3.5 3.5 3.2 2.5 2.5 2.2 2.1 2.1 2.0 1.7 1.7 1.7
Jakarta Selatan Kt. Depok Kt. Bekasi Jakarta Pusat Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Bandung Jakarta Timur Kt. Tangerang Kt. Cimahi Kt. Cilegon Tangerang Jakarta Utara Kt. Mojokerto Kt. Malang Kt. Cirebon Kt. Semarang Kt. Surakarta Sidoarjo Kt. Bogor Kt. Pekalongan Kt. Salatiga Kt. Pasuruan Kudus Jepara Kt. Tasikmalaya Bekasi Kt. Blitar Kt. Kediri Kt. Madiun Serang Sukoharjo Kt. Magelang Kt. Yogyakarta Gresik Pekalongan Banyuwangi Bantul Kt. Sukabumi Kt. Tegal Klaten Bogor
2007 10.2 10.1 8.9 8.2 8.2 8.1 7.7 7.5 7.5 7.5 6.9 6.2 6.1 6.1 6.1 5.9 5.7 5.7 5.6 5.2 4.9 4.8 4.6 4.5 4.3 4.3 4.1 3.7 3.5 3.4 3.4 3.3 3.2 2.5 2.4 2.3 2.2 2.1 1.9 1.8 1.7 1.6
Jakarta Selatan Jakarta Pusat Jakarta Timur Kt. Depok Jakarta Barat Kt. Tangerang Kt. Cilegon Jakarta Utara Kt. Bekasi Kt. Semarang Kt. Cimahi Kt. Surabaya Tangerang Kt. Pasuruan Kt. Salatiga Kt. Mojokerto Kt. Surakarta Sidoarjo Kt. Magelang Kt. Pekalongan Kt. Malang Kt. Madiun Kudus Kt. Bandung Kt. Cirebon Jepara Kt. Tasikmalaya Kt. Bogor Kt. Yogyakarta Kt. Kediri Bekasi Pekalongan Kt. Sukabumi Bantul Bogor Bandung Sukoharjo Kt. Blitar Kt. Tegal Serang Kt. Probolinggo Kt. Banjar
2008 18.8 15.5 14.4 13.3 12.5 11.6 10.3 9.9 8.8 8.0 7.5 7.3 7.3 7.0 6.5 6.4 6.2 6.0 5.9 5.9 5.7 5.7 5.7 5.6 5.6 5.4 5.2 5.0 4.4 3.9 3.9 3.5 3.4 3.3 3.2 2.7 2.7 2.7 2.6 2.5 2.3 2.3
Jakarta Selatan Kt. Depok Kt. Tangerang Jakarta Timur Kt. Surabaya Jakarta Barat Jakarta Pusat Kt. Bekasi Kt. Cilegon Sidoarjo Jakarta Utara Kt. Mojokerto Kt. Semarang Kt. Pasuruan Kt. Malang Kt. Pekalongan Kt. Cirebon Jepara Tangerang Kt. Salatiga Kt. Tasikmalaya Kt. Surakarta Kt. Cimahi Kt. Bogor Kudus Kt. Magelang Kt. Bandung Kt. Kediri Pekalongan Gresik Kep. Seribu Kt. Blitar Kt. Madiun Kt. Yogyakarta Kt. Sukabumi Bantul Mojokerto Kt. Probolinggo Klaten Kt. Tegal Sukoharjo Banyumas
11.0 10.7 10.2 9.9 9.9 9.3 9.1 9.0 8.8 8.8 8.7 8.3 8.3 7.6 7.5 7.3 7.3 7.0 6.9 6.7 6.6 6.4 6.3 6.1 6.1 6.0 5.9 5.4 4.9 4.6 4.5 4.5 4.5 4.1 3.6 3.4 3.1 2.8 2.4 2.3 1.6 1.2
91
Lampiran 3. (lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
2001 Gresik Karawang Banyumas Mojokerto Tegal Cirebon Purwakarta Serang Purbalingga Tulungagung Pasuruan Kebumen Semarang Kulon Progo Karanganyar Jombang Sumedang Pemalang Cilacap Batang Magelang Demak Kt. Batu Malang Sukabumi Tasikmalaya Trenggalek Kediri Kt. Banjar Jember Pandeglang Garut Nganjuk Banyuwangi Majalengka Sragen Blitar Boyolali Banjarnegara Ciamis Pati Bondowoso Kendal
2002 0.8 0.4 0.1 0.0 0.0 -0.1 -0.1 -0.3 -0.5 -0.6 -0.7 -0.8 -1.1 -1.2 -1.3 -1.3 -1.3 -1.8 -1.8 -1.9 -1.9 -2.0 -2.0 -2.2 -2.4 -2.5 -2.6 -2.6 -2.6 -2.6 -2.7 -2.7 -2.8 -2.9 -3.0 -3.0 -3.1 -3.1 -3.1 -3.1 -3.2 -3.3 -3.3
Gresik Kt. Probolinggo Klaten Pekalongan Karawang Purbalingga Purwakarta Pasuruan Karanganyar Mojokerto Cirebon Serang Tegal Jombang Cilacap Kebumen Batang Kulon Progo Semarang Demak Kt. Batu Magelang Tulungagung Garut Kendal Purworejo Sukabumi Sragen Malang Kediri Pemalang Kt. Banjar Pati Kuningan Tasikmalaya Indramayu Jember Ciamis Boyolali Banjarnegara Subang Blitar Lumajang
2003 0.9 0.9 0.7 0.3 0.1 0.0 -0.2 -0.3 -0.3 -0.3 -0.6 -0.8 -0.8 -1.0 -1.2 -1.2 -1.3 -1.4 -1.4 -1.7 -1.7 -1.7 -1.9 -2.0 -2.1 -2.2 -2.2 -2.3 -2.3 -2.4 -2.6 -2.7 -2.8 -2.8 -3.0 -3.1 -3.2 -3.2 -3.3 -3.4 -3.5 -3.6 -3.9
Klaten Gresik Purwakarta Banyumas Purbalingga Pasuruan Tulungagung Kulon Progo Pemalang Tegal Batang Cirebon Karanganyar Semarang Karawang Jombang Demak Kt. Batu Sumedang Kt. Banjar Situbondo Magelang Kebumen Pati Majalengka Malang Serang Sragen Kediri Sukabumi Cilacap Garut Ciamis Kendal Kuningan Boyolali Banjarnegara Nganjuk Jember Banyuwangi Indramayu Trenggalek Tuban
2004 1.6 1.5 1.2 0.7 0.0 -0.4 -0.7 -0.9 -1.1 -1.1 -1.1 -1.1 -1.2 -1.2 -1.2 -1.5 -1.7 -1.8 -1.8 -2.0 -2.1 -2.1 -2.2 -2.2 -2.3 -2.3 -2.4 -2.4 -2.5 -2.7 -2.9 -2.9 -3.0 -3.3 -3.4 -3.4 -3.7 -3.7 -3.8 -3.9 -4.1 -4.2 -4.3
Klaten Sleman Purwakarta Banyumas Pasuruan Jombang Karawang Kebumen Purbalingga Serang Cirebon Cilacap Majalengka Semarang Tegal Sumedang Tulungagung Kulon Progo Batang Karanganyar Kt. Banjar Pemalang Ciamis Kt. Batu Demak Kediri Kendal Pati Malang Tasikmalaya Garut Sukabumi Nganjuk Banyuwangi Jember Boyolali Purworejo Kuningan Pandeglang Banjarnegara Magelang Madiun Magetan
2005 1.5 1.5 1.1 0.9 0.4 0.4 0.0 -0.3 -0.5 -0.7 -0.8 -0.8 -0.9 -1.2 -1.3 -1.3 -1.5 -1.7 -1.8 -1.8 -1.8 -2.2 -2.2 -2.3 -2.3 -2.4 -2.4 -2.7 -2.8 -2.9 -2.9 -3.1 -3.1 -3.1 -3.2 -3.2 -3.6 -3.7 -3.8 -3.9 -3.9 -3.9 -4.1
Indramayu Kt. Pasuruan Garut Kt. Blitar Kt. Banjar Kt. Salatiga Sukoharjo Kt. Depok Banyuwangi Karanganyar Kt. Tegal Mojokerto Lumajang Subang Probolinggo Semarang Magetan Jombang Sukabumi Malang Cianjur Tuban Pandeglang Situbondo Cirebon Bantul Kuningan Blitar Jember Bojonegoro Nganjuk Gunung Kidul Boyolali Klaten Majalengka Purworejo Kediri Lebak Rembang Pasuruan Jepara Pekalongan Madiun
2006 1.4 1.4 1.3 0.9 0.9 0.6 0.4 0.1 0.1 -0.1 -0.1 -0.2 -0.3 -0.3 -0.3 -0.6 -0.9 -1.3 -1.4 -1.6 -1.9 -2.0 -2.1 -2.2 -2.2 -2.3 -2.4 -2.4 -2.4 -2.7 -2.7 -2.9 -2.9 -3.0 -3.0 -3.1 -3.3 -3.3 -3.4 -3.5 -3.5 -3.6 -3.7
Kt. Probolinggo Bandung Mojokerto Karawang Banyumas Purwakarta Cirebon Purbalingga Jombang Sleman Tegal Karanganyar Kebumen Tulungagung Pasuruan Kt. Banjar Majalengka Semarang Batang Malang Ciamis Sumedang Cilacap Purworejo Sragen Magelang Temanggung Magetan Kulon Progo Sukabumi Demak Pemalang Jember Boyolali Kediri Kt. Batu Subang Tasikmalaya Kendal Pati Garut Kuningan Indramayu
2007 1.5 1.3 1.3 1.3 0.8 0.5 0.4 0.3 -0.1 -0.1 -0.2 -0.3 -0.5 -0.7 -0.8 -1.0 -1.0 -1.1 -1.2 -1.5 -1.5 -1.9 -2.1 -2.2 -2.2 -2.3 -2.3 -2.3 -2.4 -2.4 -2.7 -2.8 -2.8 -2.8 -2.9 -3.0 -3.0 -3.1 -3.1 -3.1 -3.2 -3.7 -3.8
Klaten Gresik Mojokerto Sleman Karanganyar Karawang Purwakarta Banyumas Pasuruan Tegal Jombang Semarang Cirebon Purbalingga Batang Temanggung Pati Sumedang Kebumen Malang Tulungagung Boyolali Majalengka Pemalang Ciamis Demak Cilacap Magetan Kt. Batu Tasikmalaya Sukabumi Kulon Progo Banyuwangi Nganjuk Sragen Kediri Magelang Purworejo Jember Indramayu Subang Situbondo Lumajang
2008 2.0 2.0 1.8 1.1 0.7 0.7 0.6 0.6 0.0 -0.1 -0.3 -0.3 -0.3 -0.4 -0.6 -0.9 -1.3 -1.5 -1.6 -1.7 -2.0 -2.1 -2.2 -2.4 -2.4 -2.6 -2.6 -2.6 -2.6 -2.7 -2.7 -2.7 -2.8 -2.8 -2.9 -3.1 -3.3 -3.3 -3.4 -3.4 -3.5 -3.7 -3.9
Sleman Kt. Banjar Serang Jombang Tulungagung Pasuruan Karanganyar Semarang Batang Bogor Bekasi Tegal Purbalingga Cirebon Malang Tasikmalaya Temanggung Kebumen Magetan Pati Cilacap Kulon Progo Pemalang Purwakarta Boyolali Demak Purworejo Magelang Bandung Kediri Jember Sragen Majalengka Kt. Batu Wonosobo Banyuwangi Sumedang Kendal Ciamis Karawang Banjarnegara Tuban Blitar
1.1 1.1 0.7 0.7 0.6 0.4 0.3 0.3 0.1 0.1 -0.5 -0.5 -0.7 -0.9 -1.1 -1.1 -1.4 -1.4 -1.7 -1.7 -1.8 -1.8 -1.9 -2.0 -2.1 -2.3 -2.6 -2.7 -2.9 -3.0 -3.1 -3.1 -3.3 -3.4 -3.5 -3.6 -3.6 -3.6 -3.7 -3.7 -4.1 -4.2 -4.2
92 Lampiran 3. (lanjutan) Rangking 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
2001 Purworejo Kuningan Magetan Subang Wonosobo Lumajang Situbondo Brebes Indramayu Rembang Probolinggo Cianjur Lamongan Madiun Tuban Kep. Seribu Wonogiri Sumenep Bangkalan Bojonegoro Ngawi Lebak Temanggung Grobogan Ponorogo Pacitan Pamekasan Gunung Kidul Blora Sampang
2002 -3.5 -3.6 -3.6 -3.7 -3.7 -3.7 -3.7 -3.9 -3.9 -3.9 -4.0 -4.1 -4.4 -4.5 -4.5 -4.6 -4.7 -4.7 -4.8 -4.8 -4.8 -5.1 -5.3 -5.5 -5.6 -5.6 -5.6 -5.7 -5.9 -6.5
Bondowoso Nganjuk Wonosobo Banyuwangi Trenggalek Brebes Magetan Tuban Cianjur Probolinggo Situbondo Pandeglang Grobogan Bojonegoro Pamekasan Madiun Rembang Lamongan Bangkalan Wonogiri Temanggung Lebak Ponorogo Ngawi Kep. Seribu Sumenep Blora Gunung Kidul Pacitan Sampang
2003 -3.9 -4.2 -4.2 -4.3 -4.4 -4.4 -4.5 -4.7 -4.8 -4.8 -4.9 -4.9 -4.9 -5.1 -5.1 -5.2 -5.2 -5.4 -5.4 -5.5 -5.6 -5.9 -6.0 -6.0 -6.2 -6.2 -6.2 -6.2 -6.7 -6.8
Madiun Subang Wonosobo Tasikmalaya Blitar Magetan Rembang Probolinggo Cianjur Brebes Bondowoso Lumajang Ponorogo Lamongan Wonogiri Grobogan Lebak Purworejo Temanggung Bojonegoro Ngawi Pandeglang Gunung Kidul Bangkalan Blora Sumenep Kep. Seribu Pacitan Pamekasan Sampang
2004 -4.4 -4.4 -4.5 -4.5 -4.6 -4.6 -4.8 -4.9 -4.9 -5.0 -5.0 -5.0 -5.2 -5.4 -5.4 -5.6 -5.7 -5.7 -5.9 -5.9 -6.0 -6.2 -6.4 -6.5 -6.6 -6.7 -6.8 -6.9 -8.0 -8.9
Sragen Wonosobo Indramayu Rembang Trenggalek Probolinggo Grobogan Brebes Cianjur Subang Lumajang Blitar Situbondo Lamongan Lebak Bondowoso Bojonegoro Ngawi Ponorogo Bangkalan Wonogiri Kep. Seribu Temanggung Tuban Sumenep Blora Gunung Kidul Pamekasan Pacitan Sampang
2005 -4.1 -4.3 -4.5 -4.6 -4.7 -4.9 -4.9 -4.9 -5.0 -5.1 -5.2 -5.4 -5.4 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8 -5.9 -5.9 -5.9 -6.2 -6.4 -6.4 -6.6 -6.7 -6.8 -7.0 -7.8 -8.9 -9.2
Tasikmalaya Sumenep Kulon Progo Ciamis Batang Pati Magelang Bangkalan Lamongan Banjarnegara Sragen Demak Ngawi Banyumas Ponorogo Temanggung Purbalingga Brebes Kebumen Trenggalek Wonogiri Pemalang Sampang Tegal Wonosobo Pamekasan Bondowoso Blora Grobogan Pacitan
2006 -3.7 -3.8 -4.1 -4.2 -4.2 -4.3 -4.4 -4.5 -4.6 -4.8 -4.8 -4.9 -5.0 -5.1 -5.1 -5.2 -5.2 -5.3 -5.3 -5.3 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8 -5.8 -6.1 -6.1 -6.3 -6.4 -6.8
Blitar Nganjuk Lamongan Brebes Tuban Bondowoso Pacitan Trenggalek Cianjur Madiun Ponorogo Wonosobo Probolinggo Situbondo Lumajang Pandeglang Rembang Bojonegoro Banjarnegara Grobogan Bangkalan Sumenep Gunung Kidul Lebak Blora Wonogiri Ngawi Sampang Kep. Seribu Pamekasan
2007 -3.9 -4.0 -4.1 -4.1 -4.1 -4.2 -4.4 -4.4 -4.7 -4.8 -4.8 -4.9 -4.9 -4.9 -4.9 -4.9 -5.1 -5.3 -5.4 -5.5 -5.5 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8 -5.8 -6.3 -6.6 -6.8 -8.2
Garut Kendal Kuningan Wonosobo Banjarnegara Ponorogo Blitar Cianjur Grobogan Brebes Madiun Bojonegoro Pandeglang Lamongan Probolinggo Rembang Kep. Seribu Lebak Tuban Gunung Kidul Pacitan Bondowoso Trenggalek Wonogiri Blora Bangkalan Ngawi Pamekasan Sumenep Sampang
2008 -3.9 -3.9 -4.0 -4.0 -4.4 -4.6 -4.8 -4.9 -5.0 -5.1 -5.3 -5.3 -5.3 -5.6 -5.7 -5.7 -5.8 -5.9 -6.1 -6.1 -6.3 -6.3 -6.4 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.4 -7.7 -8.5
Bondowoso Pacitan Trenggalek Lamongan Nganjuk Sukabumi Pandeglang Rembang Madiun Brebes Situbondo Probolinggo Indramayu Ponorogo Lumajang Sumenep Lebak Bojonegoro Bangkalan Garut Kuningan Cianjur Subang Grobogan Wonogiri Blora Gunung Kidul Ngawi Sampang Pamekasan
-4.3 -4.3 -4.4 -4.4 -4.4 -4.5 -4.8 -5.0 -5.3 -5.3 -5.4 -5.4 -5.4 -5.4 -5.6 -5.8 -5.8 -5.9 -6.1 -6.3 -6.5 -6.5 -6.6 -6.6 -6.7 -6.8 -7.0 -7.2 -7.4 -9.5
93
Lampiran 4. Peringkat Kabupaten Kota Berdasarkan Perbedaan Komponen Productivity Different Tahun 2001-2008 Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
2001 Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Jakarta Timur Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Malang Kep. Seribu Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Bekasi Purwakarta Gresik Kt. Magelang Bogor Karawang Kt. Sukabumi Kt. Mojokerto Kt. Surakarta Kt. Pekalongan Tangerang Cilacap Serang Bandung Kt. Tasikmalaya Kt. Probolinggo Kt. Bogor Kendal Sleman Kt. Madiun Indramayu Kt. Salatiga Garut Kt. Depok
2002 160.8 130.2 66.6 59.4 54.3 35.4 31.6 30.1 26.0 25.5 17.9 13.6 10.3 9.8 9.5 8.3 6.6 6.1 3.5 3.0 2.6 2.0 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0 0.1 -1.3 -1.4 -1.9 -2.2 -2.3 -3.0 -3.4 -3.9 -3.9 -4.0 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Malang Kt. Cimahi Kudus Sidoarjo Kep. Seribu Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Purwakarta Bogor Karawang Kt. Bekasi Sumedang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Kt. Madiun Cilacap Kt. Tangerang Tangerang Serang Kt. Tasikmalaya Bandung Tulungagung Kt. Batu Indramayu Kt. Pasuruan Sleman
2003 168.9 141.6 69.1 63.7 60.9 40.0 35.9 34.2 32.5 26.1 14.4 14.4 13.5 10.3 10.2 8.6 8.0 6.6 6.3 3.0 2.2 1.0 0.8 0.0 -0.1 -0.1 -0.3 -0.5 -0.7 -1.2 -2.2 -2.4 -2.7 -2.9 -3.0 -3.2 -3.3 -3.6 -4.2 -4.2 -4.3 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Yogyakarta Kep. Seribu Kt. Mojokerto Kt. Probolinggo Purwakarta Karawang Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Kt. Tasikmalaya Bandung Kt. Madiun Tangerang Serang Kt. Bogor Tulungagung Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Blitar Sleman
2004 169.9 158.3 71.3 63.0 59.2 36.3 35.1 33.7 33.7 27.3 20.4 15.6 15.1 10.3 10.1 9.0 7.5 6.8 6.4 4.2 4.1 2.6 1.2 1.0 1.0 0.9 0.4 0.4 -0.6 -1.7 -2.3 -2.5 -2.8 -2.8 -3.0 -3.6 -4.0 -4.3 -4.3 -4.4 -5.0 -5.1
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Kt. Surabaya Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Karawang Kt. Probolinggo Kep. Seribu Purwakarta Kt. Bekasi Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Tangerang Bandung Tulungagung Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Kt. Madiun Serang Kt. Batu Banyuwangi Sleman Kt. Pasuruan
2005 177.7 153.5 70.0 65.3 62.3 36.6 36.1 34.7 33.2 26.8 20.4 15.0 13.4 12.1 10.3 10.2 9.7 8.2 6.0 3.2 2.2 2.2 1.8 1.4 0.1 -0.2 -0.6 -1.0 -1.1 -1.4 -2.7 -2.9 -3.4 -3.7 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5 -4.5 -4.8 -5.0 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Surabaya Kt. Tangerang Kt. Cimahi Kt. Malang Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Kt. Bandung Kt. Mojokerto Sidoarjo Karawang Purwakarta Gresik Kep. Seribu Bogor Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Bandung Cilacap Kt. Tasikmalaya Kt. Pekalongan Kt. Bogor Serang Tangerang Kendal Kt. Madiun Sumedang Sleman Tulungagung Kt. Batu
2006 188.1 130.8 74.9 69.8 62.4 39.2 37.8 36.2 29.8 29.8 21.0 13.9 11.6 10.8 9.3 9.1 8.2 8.2 7.2 4.9 4.2 3.5 2.7 1.6 0.6 0.1 -0.1 -0.3 -0.4 -1.1 -1.1 -2.6 -2.6 -3.2 -3.5 -3.6 -4.6 -5.1 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Yogyakarta Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Mojokerto Gresik Karawang Purwakarta Kep. Seribu Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Bekasi Cilacap Kt. Sukabumi Kt. Magelang Bandung Kt. Pekalongan Tangerang Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Indramayu Sleman Tulungagung Garut Kt. Madiun Karanganyar Kt. Pasuruan
2007 197.5 136.8 78.4 73.3 69.4 41.1 39.6 37.9 33.5 33.3 25.0 13.7 12.8 9.9 9.1 8.7 8.3 8.2 6.6 5.5 3.6 3.6 2.3 1.1 0.4 0.2 0.1 -0.1 -1.2 -1.4 -1.7 -2.0 -3.1 -4.3 -4.5 -5.6 -5.7 -5.7 -5.9 -5.9 -6.2 -6.2
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Jakarta Timur Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Sidoarjo Kt. Cimahi Kt. Mojokerto Kt. Bandung Kep. Seribu Kt. Semarang Kudus Gresik Kt. Yogyakarta Bandung Karawang Kt. Probolinggo Purwakarta Bogor Kt. Magelang Kt. Bekasi Kt. Surakarta Cilacap Sleman Tangerang Kt. Sukabumi Kt. Madiun Kt. Pekalongan Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Bogor Banyuwangi Tulungagung Kt. Tasikmalaya Indramayu
2008 343.0 162.3 143.5 114.0 69.2 69.2 65.5 64.5 43.9 28.8 24.6 15.6 12.3 11.6 11.4 9.4 9.2 8.9 8.8 8.3 4.6 2.0 1.5 0.8 -0.1 -0.7 -1.5 -2.0 -2.0 -3.0 -3.7 -3.9 -3.9 -3.9 -4.2 -4.8 -5.2 -5.8 -5.9 -6.5 -6.7 -7.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Kt. Cilegon Jakarta Selatan Kt. Tangerang Kt. Surabaya Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Malang Sidoarjo Kt. Mojokerto Kudus Kt. Bandung Gresik Kt. Semarang Kt. Cimahi Kt. Yogyakarta Karawang Kep. Seribu Purwakarta Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Magelang Cilacap Bandung Kt. Bekasi Kt. Tasikmalaya Kt. Batu Kt. Sukabumi Kt. Madiun Tangerang Kt. Pekalongan Kt. Pasuruan Banyuwangi Tulungagung Garut Mojokerto Karanganyar
195.8 159.3 79.0 67.5 61.3 50.3 44.6 38.4 35.8 32.7 26.4 16.4 12.6 10.6 9.3 9.0 8.4 7.9 7.6 4.7 2.8 2.5 0.9 0.6 0.5 -0.9 -1.6 -2.3 -2.7 -3.7 -4.5 -4.9 -4.9 -5.1 -5.1 -5.3 -5.7 -6.2 -6.3 -7.4 -7.5 -7.5
94 Lampiran 4. (lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
2001 Semarang Kt. Tangerang Kt. Batu Tulungagung Sumedang Kt. Tegal Sukoharjo Banyuwangi Kt. Pasuruan Kt. Banjar Karanganyar Subang Kt. Blitar Cianjur Lebak Sukabumi Mojokerto Probolinggo Lumajang Malang Pandeglang Cirebon Bantul Ciamis Jombang Situbondo Kulon Progo Jepara Tuban Bojonegoro Batang Kuningan Kediri Boyolali Jember Klaten Nganjuk Blitar Majalengka Purworejo Pati Pekalongan Rembang
2002 -4.7 -4.8 -5.0 -5.0 -5.1 -5.2 -5.3 -5.3 -5.3 -5.4 -5.4 -5.6 -5.9 -6.0 -6.1 -6.1 -6.2 -6.2 -6.2 -6.4 -6.6 -6.7 -6.9 -7.1 -7.2 -7.2 -7.2 -7.3 -7.4 -7.5 -7.5 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0
Banyuwangi Jombang Kt. Bogor Kendal Probolinggo Garut Kt. Depok Mojokerto Semarang Kt. Salatiga Kt. Blitar Malang Lumajang Sukoharjo Karanganyar Kt. Banjar Kt. Tegal Sukabumi Tuban Sumenep Situbondo Subang Blitar Cianjur Nganjuk Lebak Cirebon Jember Magetan Bojonegoro Pandeglang Ciamis Kediri Bantul Bangkalan Pasuruan Kuningan Madiun Klaten Lamongan Pekalongan Kulon Progo Boyolali
2003 -5.0 -5.4 -5.5 -5.5 -5.5 -5.5 -5.6 -5.6 -6.0 -6.0 -6.1 -6.2 -6.2 -6.3 -6.4 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.5 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.2 -8.2 -8.2 -8.2 -8.3 -8.3 -8.4 -8.4 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -9.0
Banyuwangi Mojokerto Indramayu Probolinggo Garut Kendal Malang Kt. Tegal Jombang Kt. Salatiga Sukoharjo Sumedang Kt. Depok Semarang Karanganyar Lumajang Sukabumi Magetan Situbondo Kt. Banjar Tuban Subang Jember Pandeglang Cianjur Nganjuk Lebak Bantul Bojonegoro Cirebon Jepara Kediri Ciamis Pasuruan Sumenep Madiun Kuningan Klaten Boyolali Gunung Kidul Bangkalan Pekalongan Batang
2004 -5.3 -5.6 -5.7 -5.8 -5.8 -5.9 -6.0 -6.3 -6.4 -6.4 -6.4 -6.6 -6.6 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.8 -7.9 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.5 -8.5 -8.6 -8.7 -8.7 -8.7 -8.7 -8.8 -8.9 -9.1 -9.2 -9.2 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7
Probolinggo Mojokerto Kt. Blitar Indramayu Lumajang Jombang Sumedang Garut Kendal Malang Kt. Salatiga Magetan Kt. Tegal Kt. Banjar Sukabumi Sukoharjo Semarang Subang Kt. Depok Tuban Cianjur Pandeglang Bojonegoro Ciamis Blitar Kediri Situbondo Nganjuk Bangkalan Pasuruan Klaten Lebak Cirebon Bantul Karanganyar Madiun Boyolali Kuningan Sumenep Jepara Pekalongan Purworejo Jember
2005 -5.6 -5.8 -5.9 -6.2 -6.3 -6.4 -6.4 -6.5 -6.6 -6.8 -7.1 -7.2 -7.2 -7.3 -7.5 -7.5 -7.8 -8.0 -8.2 -8.2 -8.3 -8.4 -8.8 -8.8 -8.8 -8.9 -9.0 -9.0 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.9 -10.1 -10.2 -10.2 -10.3
Indramayu Kt. Pasuruan Garut Kt. Blitar Kt. Banjar Kt. Salatiga Sukoharjo Kt. Depok Banyuwangi Karanganyar Kt. Tegal Mojokerto Lumajang Subang Probolinggo Semarang Magetan Jombang Sukabumi Malang Cianjur Tuban Pandeglang Situbondo Cirebon Bantul Kuningan Blitar Jember Bojonegoro Nganjuk Gunung Kidul Boyolali Klaten Majalengka Purworejo Kediri Lebak Rembang Pasuruan Jepara Pekalongan Madiun
2006 -6.0 -6.1 -6.2 -6.3 -6.4 -6.5 -6.6 -6.7 -6.8 -6.8 -6.9 -7.0 -7.2 -7.3 -7.4 -7.4 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.1 -8.2 -8.6 -8.6 -8.7 -8.9 -9.2 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7 -9.8 -9.9
Serang Kt. Blitar Kt. Tegal Kt. Batu Sumedang Sukoharjo Semarang Kt. Depok Subang Kendal Kt. Banjar Banyuwangi Mojokerto Lumajang Tuban Sukabumi Pandeglang Probolinggo Kt. Salatiga Malang Magetan Situbondo Jombang Cirebon Jember Cianjur Lebak Bantul Kulon Progo Pasuruan Rembang Bojonegoro Blitar Nganjuk Purworejo Boyolali Kediri Jepara Gunung Kidul Majalengka Sumenep Pekalongan Madiun
2007 -6.6 -6.6 -6.9 -7.1 -7.1 -7.2 -7.3 -7.4 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.7 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.1 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.6 -8.9 -9.1 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -10.0 -10.1 -10.1 -10.1 -10.2 -10.3 -10.4 -10.4 -10.5
Mojokerto Lumajang Serang Tuban Kt. Blitar Malang Karanganyar Garut Probolinggo Semarang Kt. Salatiga Kt. Tegal Sukoharjo Sumedang Magetan Jombang Situbondo Kt. Banjar Kt. Depok Kediri Cianjur Kendal Blitar Jember Bojonegoro Pandeglang Nganjuk Cirebon Pasuruan Lebak Kulon Progo Bantul Sumenep Madiun Bangkalan Sukabumi Klaten Gunung Kidul Lamongan Boyolali Purworejo Jepara Kuningan
2008 -7.4 -7.4 -7.4 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.9 -8.0 -8.2 -8.2 -8.2 -8.5 -8.9 -9.1 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -10.0 -10.0 -10.3 -10.5 -10.6 -10.8 -10.8 -10.9 -10.9 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6
Kt. Blitar Lumajang Kt. Tegal Probolinggo Tuban Kt. Bogor Malang Sleman Serang Sukoharjo Semarang Kt. Salatiga Subang Sumedang Indramayu Kt. Banjar Kendal Kediri Situbondo Bojonegoro Blitar Jombang Cirebon Nganjuk Ciamis Pandeglang Kt. Depok Sukabumi Jember Pasuruan Magetan Cianjur Sumenep Purworejo Bantul Klaten Kulon Progo Lebak Majalengka Bangkalan Madiun Boyolali Lamongan
-7.6 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.0 -8.1 -8.2 -8.3 -8.5 -8.5 -8.7 -8.9 -8.9 -9.0 -9.1 -9.4 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -9.9 -10.2 -10.3 -10.4 -10.5 -10.5 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.0 -11.3 -11.4 -11.4 -11.4 -11.5 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7
95 Lampiran 4. (lanjutan) Rangking 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
2001 Gunung Kidul Magetan Tasikmalaya Sumenep Madiun Magelang Lamongan Bangkalan Banjarnegara Banyumas Temanggung Demak Brebes Ngawi Sragen Purbalingga Sampang Ponorogo Pemalang Kebumen Tegal Trenggalek Wonogiri Wonosobo Blora Pasuruan Bondowoso Grobogan Pamekasan Pacitan
2002 -8.0 -8.0 -8.1 -8.1 -8.4 -8.6 -8.6 -8.6 -8.7 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -8.9 -8.9 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -10.0 -10.0 -10.1 -10.2 -10.3 -10.7
Purworejo Batang Gunung Kidul Rembang Jepara Pati Ngawi Tasikmalaya Sampang Ponorogo Banjarnegara Demak Banyumas Sragen Brebes Trenggalek Magelang Purbalingga Temanggung Kebumen Pamekasan Pemalang Bondowoso Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pacitan Blora Majalengka
2003 -9.0 -9.0 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.8 -10.0 -10.2 -10.2 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.6 -10.6 -10.8 -10.8 -11.1 -11.1 -11.3 -11.3 -11.6 -11.7 -13.1
Ngawi Purworejo Ponorogo Blitar Rembang Lamongan Majalengka Pati Magelang Tasikmalaya Temanggung Banjarnegara Brebes Banyumas Trenggalek Demak Sampang Kulon Progo Purbalingga Bondowoso Sragen Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2004 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -9.9 -10.0 -10.3 -10.3 -10.4 -10.4 -10.6 -10.6 -10.7 -10.8 -10.8 -10.9 -11.1 -11.1 -11.1 -11.2 -11.2 -11.2 -11.3 -11.4 -11.5 -11.6 -11.8 -12.0 -12.0 -12.2
Lamongan Majalengka Rembang Gunung Kidul Tasikmalaya Batang Ponorogo Pati Ngawi Sampang Trenggalek Banyumas Banjarnegara Brebes Magelang Demak Temanggung Bondowoso Kulon Progo Sragen Kebumen Pemalang Purbalingga Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pamekasan Blora Pacitan
2005 -10.4 -10.4 -10.4 -10.4 -10.6 -10.7 -10.7 -10.7 -11.0 -11.3 -11.4 -11.5 -11.5 -11.5 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -11.9 -12.0 -12.1 -12.2 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.8 -13.0 -13.3
Tasikmalaya Sumenep Kulon Progo Ciamis Batang Pati Magelang Bangkalan Lamongan Banjarnegara Sragen Demak Ngawi Banyumas Ponorogo Temanggung Purbalingga Brebes Kebumen Trenggalek Wonogiri Pemalang Sampang Tegal Wonosobo Pamekasan Bondowoso Blora Grobogan Pacitan
2006 -9.9 -10.0 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.7 -10.9 -10.9 -11.0 -11.0 -11.0 -11.2 -11.3 -11.3 -11.4 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -12.3 -12.4 -12.4 -12.4 -12.6 -12.7
Pati Batang Kuningan Klaten Ciamis Bangkalan Lamongan Banyumas Tasikmalaya Brebes Banjarnegara Ponorogo Magelang Ngawi Sragen Temanggung Purbalingga Demak Kebumen Pemalang Tegal Wonogiri Trenggalek Sampang Bondowoso Wonosobo Grobogan Pamekasan Blora Pacitan
2007 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.2 -11.3 -11.3 -11.3 -11.4 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.9 -12.2 -12.2 -12.3 -12.3 -12.4 -12.6 -12.7 -12.8 -13.1 -13.3 -13.5 -13.5
Pekalongan Rembang Pati Majalengka Batang Ciamis Banyumas Brebes Ngawi Ponorogo Subang Magelang Banjarnegara Tasikmalaya Sragen Bondowoso Purbalingga Temanggung Sampang Trenggalek Demak Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2008 -11.7 -11.7 -12.0 -12.2 -12.5 -12.6 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -12.8 -12.9 -12.9 -13.0 -13.0 -13.1 -13.1 -13.1 -13.1 -13.4 -13.5 -13.5 -13.6 -13.8 -14.1 -14.1 -14.2 -14.7 -14.8 -14.9
Gunung Kidul Kuningan Jepara Pati Rembang Ngawi Batang Tasikmalaya Brebes Ponorogo Magelang Banjarnegara Banyumas Temanggung Sragen Bondowoso Demak Sampang Purbalingga Tegal Pemalang Trenggalek Wonogiri Kebumen Pekalongan Wonosobo Pamekasan Blora Grobogan Pacitan
-11.7 -11.8 -12.0 -12.3 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -13.0 -13.2 -13.2 -13.4 -13.5 -13.5 -13.7 -13.7 -13.7 -13.7 -13.8 -13.8 -14.3 -14.4 -14.7 -14.7 -15.0 -15.0 -15.2 -15.5
96
Lampiran 5. Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Komponen Allocative Tahun 2001-2008 Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
2001 Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Jakarta Timur Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Malang Kep. Seribu Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Bekasi Purwakarta Gresik Kt. Magelang Bogor Karawang Kt. Sukabumi Kt. Mojokerto Kt. Surakarta Kt. Pekalongan Tangerang Cilacap Serang Bandung Kt. Tasikmalaya Kt. Probolinggo Kt. Bogor Kendal Sleman Kt. Madiun Indramayu Kt. Salatiga Garut Kt. Depok
2002 160.8 130.2 66.6 59.4 54.3 35.4 31.6 30.1 26.0 25.5 17.9 13.6 10.3 9.8 9.5 8.3 6.6 6.1 3.5 3.0 2.6 2.0 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0 0.1 -1.3 -1.4 -1.9 -2.2 -2.3 -3.0 -3.4 -3.9 -3.9 -4.0 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Yogyakarta Kt. Malang Kt. Cimahi Kudus Sidoarjo Kep. Seribu Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Purwakarta Bogor Karawang Kt. Bekasi Sumedang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Kt. Madiun Cilacap Kt. Tangerang Tangerang Serang Kt. Tasikmalaya Bandung Tulungagung Kt. Batu Indramayu Kt. Pasuruan Sleman
2003 168.9 141.6 69.1 63.7 60.9 40.0 35.9 34.2 32.5 26.1 14.4 14.4 13.5 10.3 10.2 8.6 8.0 6.6 6.3 3.0 2.2 1.0 0.8 0.0 -0.1 -0.1 -0.3 -0.5 -0.7 -1.2 -2.2 -2.4 -2.7 -2.9 -3.0 -3.2 -3.3 -3.6 -4.2 -4.2 -4.3 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Jakarta Timur Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Gresik Kt. Bandung Kt. Yogyakarta Kep. Seribu Kt. Mojokerto Kt. Probolinggo Purwakarta Karawang Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Kt. Tasikmalaya Bandung Kt. Madiun Tangerang Serang Kt. Bogor Tulungagung Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Blitar Sleman
2004 169.9 158.3 71.3 63.0 59.2 36.3 35.1 33.7 33.7 27.3 20.4 15.6 15.1 10.3 10.1 9.0 7.5 6.8 6.4 4.2 4.1 2.6 1.2 1.0 1.0 0.9 0.4 0.4 -0.6 -1.7 -2.3 -2.5 -2.8 -2.8 -3.0 -3.6 -4.0 -4.3 -4.3 -4.4 -5.0 -5.1
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Kt. Surabaya Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Sidoarjo Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Gresik Kt. Bandung Kt. Mojokerto Karawang Kt. Probolinggo Kep. Seribu Purwakarta Kt. Bekasi Bogor Kt. Surakarta Kt. Sukabumi Kt. Magelang Kt. Pekalongan Cilacap Tangerang Bandung Tulungagung Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Kt. Madiun Serang Kt. Batu Banyuwangi Sleman Kt. Pasuruan
2005 177.7 153.5 70.0 65.3 62.3 36.6 36.1 34.7 33.2 26.8 20.4 15.0 13.4 12.1 10.3 10.2 9.7 8.2 6.0 3.2 2.2 2.2 1.8 1.4 0.1 -0.2 -0.6 -1.0 -1.1 -1.4 -2.7 -2.9 -3.4 -3.7 -4.1 -4.2 -4.3 -4.5 -4.5 -4.8 -5.0 -5.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Surabaya Kt. Tangerang Kt. Cimahi Kt. Malang Kudus Kt. Semarang Kt. Yogyakarta Kt. Bandung Kt. Mojokerto Sidoarjo Karawang Purwakarta Gresik Kep. Seribu Bogor Kt. Bekasi Kt. Magelang Kt. Surakarta Kt. Probolinggo Kt. Sukabumi Bandung Cilacap Kt. Tasikmalaya Kt. Pekalongan Kt. Bogor Serang Tangerang Kendal Kt. Madiun Sumedang Sleman Tulungagung Kt. Batu
2006 188.1 130.8 74.9 69.8 62.4 39.2 37.8 36.2 29.8 29.8 21.0 13.9 11.6 10.8 9.3 9.1 8.2 8.2 7.2 4.9 4.2 3.5 2.7 1.6 0.6 0.1 -0.1 -0.3 -0.4 -1.1 -1.1 -2.6 -2.6 -3.2 -3.5 -3.6 -4.6 -5.1 -5.5 -5.6 -5.7 -5.8
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Kt. Cimahi Kt. Semarang Kudus Kt. Yogyakarta Sidoarjo Kt. Bandung Kt. Mojokerto Gresik Karawang Purwakarta Kep. Seribu Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Bekasi Cilacap Kt. Sukabumi Kt. Magelang Bandung Kt. Pekalongan Tangerang Kt. Bogor Kt. Tasikmalaya Indramayu Sleman Tulungagung Garut Kt. Madiun Karanganyar Kt. Pasuruan
2007 197.5 136.8 78.4 73.3 69.4 41.1 39.6 37.9 33.5 33.3 25.0 13.7 12.8 9.9 9.1 8.7 8.3 8.2 6.6 5.5 3.6 3.6 2.3 1.1 0.4 0.2 0.1 -0.1 -1.2 -1.4 -1.7 -2.0 -3.1 -4.3 -4.5 -5.6 -5.7 -5.7 -5.9 -5.9 -6.2 -6.2
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Jakarta Selatan Kt. Cilegon Jakarta Timur Bekasi Jakarta Barat Kt. Surabaya Kt. Cirebon Kt. Tangerang Kt. Malang Sidoarjo Kt. Cimahi Kt. Mojokerto Kt. Bandung Kep. Seribu Kt. Semarang Kudus Gresik Kt. Yogyakarta Bandung Karawang Kt. Probolinggo Purwakarta Bogor Kt. Magelang Kt. Bekasi Kt. Surakarta Cilacap Sleman Tangerang Kt. Sukabumi Kt. Madiun Kt. Pekalongan Kt. Batu Kt. Pasuruan Kt. Bogor Banyuwangi Tulungagung Kt. Tasikmalaya Indramayu
2008 343.0 162.3 143.5 114.0 69.2 69.2 65.5 64.5 43.9 28.8 24.6 15.6 12.3 11.6 11.4 9.4 9.2 8.9 8.8 8.3 4.6 2.0 1.5 0.8 -0.1 -0.7 -1.5 -2.0 -2.0 -3.0 -3.7 -3.9 -3.9 -3.9 -4.2 -4.8 -5.2 -5.8 -5.9 -6.5 -6.7 -7.0
Jakarta Pusat Kt. Kediri Jakarta Utara Kt. Cilegon Jakarta Selatan Kt. Tangerang Kt. Surabaya Bekasi Jakarta Timur Jakarta Barat Kt. Cirebon Kt. Malang Sidoarjo Kt. Mojokerto Kudus Kt. Bandung Gresik Kt. Semarang Kt. Cimahi Kt. Yogyakarta Karawang Kep. Seribu Purwakarta Bogor Kt. Probolinggo Kt. Surakarta Kt. Magelang Cilacap Bandung Kt. Bekasi Kt. Tasikmalaya Kt. Batu Kt. Sukabumi Kt. Madiun Tangerang Kt. Pekalongan Kt. Pasuruan Banyuwangi Tulungagung Garut Mojokerto Karanganyar
195.8 159.3 79.0 67.5 61.3 50.3 44.6 38.4 35.8 32.7 26.4 16.4 12.6 10.6 9.3 9.0 8.4 7.9 7.6 4.7 2.8 2.5 0.9 0.6 0.5 -0.9 -1.6 -2.3 -2.7 -3.7 -4.5 -4.9 -4.9 -5.1 -5.1 -5.3 -5.7 -6.2 -6.3 -7.4 -7.5 -7.5
97
Lampiran 5. (lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
2001 Semarang Kt. Tangerang Kt. Batu Tulungagung Sumedang Kt. Tegal Sukoharjo Banyuwangi Kt. Pasuruan Kt. Banjar Karanganyar Subang Kt. Blitar Cianjur Lebak Sukabumi Mojokerto Probolinggo Lumajang Malang Pandeglang Cirebon Bantul Ciamis Jombang Situbondo Kulon Progo Jepara Tuban Bojonegoro Batang Kuningan Kediri Boyolali Jember Klaten Nganjuk Blitar Majalengka Purworejo Pati Pekalongan Rembang
2002 -4.7 -4.8 -5.0 -5.0 -5.1 -5.2 -5.3 -5.3 -5.3 -5.4 -5.4 -5.6 -5.9 -6.0 -6.1 -6.1 -6.2 -6.2 -6.2 -6.4 -6.6 -6.7 -6.9 -7.1 -7.2 -7.2 -7.2 -7.3 -7.4 -7.5 -7.5 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0
Banyuwangi Jombang Kt. Bogor Kendal Probolinggo Garut Kt. Depok Mojokerto Semarang Kt. Salatiga Kt. Blitar Malang Lumajang Sukoharjo Karanganyar Kt. Banjar Kt. Tegal Sukabumi Tuban Sumenep Situbondo Subang Blitar Cianjur Nganjuk Lebak Cirebon Jember Magetan Bojonegoro Pandeglang Ciamis Kediri Bantul Bangkalan Pasuruan Kuningan Madiun Klaten Lamongan Pekalongan Kulon Progo Boyolali
2003 -5.0 -5.4 -5.5 -5.5 -5.5 -5.5 -5.6 -5.6 -6.0 -6.0 -6.1 -6.2 -6.2 -6.3 -6.4 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.5 -7.8 -7.8 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.2 -8.2 -8.2 -8.2 -8.3 -8.3 -8.4 -8.4 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -9.0
Banyuwangi Mojokerto Indramayu Probolinggo Garut Kendal Malang Kt. Tegal Jombang Kt. Salatiga Sukoharjo Sumedang Kt. Depok Semarang Karanganyar Lumajang Sukabumi Magetan Situbondo Kt. Banjar Tuban Subang Jember Pandeglang Cianjur Nganjuk Lebak Bantul Bojonegoro Cirebon Jepara Kediri Ciamis Pasuruan Sumenep Madiun Kuningan Klaten Boyolali Gunung Kidul Bangkalan Pekalongan Batang
2004 -5.3 -5.6 -5.7 -5.8 -5.8 -5.9 -6.0 -6.3 -6.4 -6.4 -6.4 -6.6 -6.6 -6.8 -6.8 -6.8 -7.0 -7.1 -7.1 -7.3 -7.4 -7.8 -7.9 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.5 -8.5 -8.6 -8.7 -8.7 -8.7 -8.7 -8.8 -8.9 -9.1 -9.2 -9.2 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7
Probolinggo Mojokerto Kt. Blitar Indramayu Lumajang Jombang Sumedang Garut Kendal Malang Kt. Salatiga Magetan Kt. Tegal Kt. Banjar Sukabumi Sukoharjo Semarang Subang Kt. Depok Tuban Cianjur Pandeglang Bojonegoro Ciamis Blitar Kediri Situbondo Nganjuk Bangkalan Pasuruan Klaten Lebak Cirebon Bantul Karanganyar Madiun Boyolali Kuningan Sumenep Jepara Pekalongan Purworejo Jember
2005 -5.6 -5.8 -5.9 -6.2 -6.3 -6.4 -6.4 -6.5 -6.6 -6.8 -7.1 -7.2 -7.2 -7.3 -7.5 -7.5 -7.8 -8.0 -8.2 -8.2 -8.3 -8.4 -8.8 -8.8 -8.8 -8.9 -9.0 -9.0 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.9 -10.1 -10.2 -10.2 -10.3
Indramayu Kt. Pasuruan Garut Kt. Blitar Kt. Banjar Kt. Salatiga Sukoharjo Kt. Depok Banyuwangi Karanganyar Kt. Tegal Mojokerto Lumajang Subang Probolinggo Semarang Magetan Jombang Sukabumi Malang Cianjur Tuban Pandeglang Situbondo Cirebon Bantul Kuningan Blitar Jember Bojonegoro Nganjuk Gunung Kidul Boyolali Klaten Majalengka Purworejo Kediri Lebak Rembang Pasuruan Jepara Pekalongan Madiun
2006 -6.0 -6.1 -6.2 -6.3 -6.4 -6.5 -6.6 -6.7 -6.8 -6.8 -6.9 -7.0 -7.2 -7.3 -7.4 -7.4 -7.8 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.1 -8.2 -8.6 -8.6 -8.7 -8.9 -9.2 -9.2 -9.3 -9.3 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.4 -9.5 -9.5 -9.6 -9.7 -9.7 -9.8 -9.9
Serang Kt. Blitar Kt. Tegal Kt. Batu Sumedang Sukoharjo Semarang Kt. Depok Subang Kendal Kt. Banjar Banyuwangi Mojokerto Lumajang Tuban Sukabumi Pandeglang Probolinggo Kt. Salatiga Malang Magetan Situbondo Jombang Cirebon Jember Cianjur Lebak Bantul Kulon Progo Pasuruan Rembang Bojonegoro Blitar Nganjuk Purworejo Boyolali Kediri Jepara Gunung Kidul Majalengka Sumenep Pekalongan Madiun
2007 -6.6 -6.6 -6.9 -7.1 -7.1 -7.2 -7.3 -7.4 -7.6 -7.6 -7.6 -7.6 -7.7 -7.7 -7.8 -7.9 -8.1 -8.1 -8.1 -8.1 -8.2 -8.4 -8.5 -8.6 -8.9 -9.1 -9.5 -9.6 -9.7 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -10.0 -10.1 -10.1 -10.1 -10.2 -10.3 -10.4 -10.4 -10.5
Mojokerto Lumajang Serang Tuban Kt. Blitar Malang Karanganyar Garut Probolinggo Semarang Kt. Salatiga Kt. Tegal Sukoharjo Sumedang Magetan Jombang Situbondo Kt. Banjar Kt. Depok Kediri Cianjur Kendal Blitar Jember Bojonegoro Pandeglang Nganjuk Cirebon Pasuruan Lebak Kulon Progo Bantul Sumenep Madiun Bangkalan Sukabumi Klaten Gunung Kidul Lamongan Boyolali Purworejo Jepara Kuningan
2008 -7.4 -7.4 -7.4 -7.6 -7.6 -7.7 -7.8 -7.9 -8.0 -8.2 -8.2 -8.2 -8.5 -8.9 -9.1 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.8 -9.9 -10.0 -10.0 -10.3 -10.5 -10.6 -10.8 -10.8 -10.9 -10.9 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6
Kt. Blitar Lumajang Kt. Tegal Probolinggo Tuban Kt. Bogor Malang Sleman Serang Sukoharjo Semarang Kt. Salatiga Subang Sumedang Indramayu Kt. Banjar Kendal Kediri Situbondo Bojonegoro Blitar Jombang Cirebon Nganjuk Ciamis Pandeglang Kt. Depok Sukabumi Jember Pasuruan Magetan Cianjur Sumenep Purworejo Bantul Klaten Kulon Progo Lebak Majalengka Bangkalan Madiun Boyolali Lamongan
-7.6 -7.8 -7.9 -7.9 -8.0 -8.0 -8.1 -8.2 -8.3 -8.5 -8.5 -8.7 -8.9 -8.9 -9.0 -9.1 -9.4 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -9.9 -10.2 -10.3 -10.4 -10.5 -10.5 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.0 -11.3 -11.4 -11.4 -11.4 -11.5 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7
98 Lampiran 5. (lanjutan) Rangking 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
2001 Gunung Kidul Magetan Tasikmalaya Sumenep Madiun Magelang Lamongan Bangkalan Banjarnegara Banyumas Temanggung Demak Brebes Ngawi Sragen Purbalingga Sampang Ponorogo Pemalang Kebumen Tegal Trenggalek Wonogiri Wonosobo Blora Pasuruan Bondowoso Grobogan Pamekasan Pacitan
2002 -8.0 -8.0 -8.1 -8.1 -8.4 -8.6 -8.6 -8.6 -8.7 -8.8 -8.8 -8.9 -8.9 -8.9 -8.9 -9.0 -9.2 -9.3 -9.3 -9.5 -9.7 -9.7 -9.7 -9.9 -10.0 -10.0 -10.1 -10.2 -10.3 -10.7
Purworejo Batang Gunung Kidul Rembang Jepara Pati Ngawi Tasikmalaya Sampang Ponorogo Banjarnegara Demak Banyumas Sragen Brebes Trenggalek Magelang Purbalingga Temanggung Kebumen Pamekasan Pemalang Bondowoso Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pacitan Blora Majalengka
2003 -9.0 -9.0 -9.1 -9.2 -9.3 -9.3 -9.3 -9.4 -9.5 -9.8 -10.0 -10.2 -10.2 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.6 -10.6 -10.8 -10.8 -11.1 -11.1 -11.3 -11.3 -11.6 -11.7 -13.1
Ngawi Purworejo Ponorogo Blitar Rembang Lamongan Majalengka Pati Magelang Tasikmalaya Temanggung Banjarnegara Brebes Banyumas Trenggalek Demak Sampang Kulon Progo Purbalingga Bondowoso Sragen Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2004 -9.8 -9.8 -9.9 -9.9 -9.9 -10.0 -10.3 -10.3 -10.4 -10.4 -10.6 -10.6 -10.7 -10.8 -10.8 -10.9 -11.1 -11.1 -11.1 -11.2 -11.2 -11.2 -11.3 -11.4 -11.5 -11.6 -11.8 -12.0 -12.0 -12.2
Lamongan Majalengka Rembang Gunung Kidul Tasikmalaya Batang Ponorogo Pati Ngawi Sampang Trenggalek Banyumas Banjarnegara Brebes Magelang Demak Temanggung Bondowoso Kulon Progo Sragen Kebumen Pemalang Purbalingga Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pamekasan Blora Pacitan
2005 -10.4 -10.4 -10.4 -10.4 -10.6 -10.7 -10.7 -10.7 -11.0 -11.3 -11.4 -11.5 -11.5 -11.5 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -11.9 -12.0 -12.1 -12.2 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.8 -13.0 -13.3
Tasikmalaya Sumenep Kulon Progo Ciamis Batang Pati Magelang Bangkalan Lamongan Banjarnegara Sragen Demak Ngawi Banyumas Ponorogo Temanggung Purbalingga Brebes Kebumen Trenggalek Wonogiri Pemalang Sampang Tegal Wonosobo Pamekasan Bondowoso Blora Grobogan Pacitan
2006 -9.9 -10.0 -10.2 -10.3 -10.3 -10.3 -10.4 -10.5 -10.7 -10.9 -10.9 -11.0 -11.0 -11.0 -11.2 -11.3 -11.3 -11.4 -11.6 -11.6 -11.7 -11.7 -11.8 -11.8 -12.3 -12.4 -12.4 -12.4 -12.6 -12.7
Pati Batang Kuningan Klaten Ciamis Bangkalan Lamongan Banyumas Tasikmalaya Brebes Banjarnegara Ponorogo Magelang Ngawi Sragen Temanggung Purbalingga Demak Kebumen Pemalang Tegal Wonogiri Trenggalek Sampang Bondowoso Wonosobo Grobogan Pamekasan Blora Pacitan
2007 -10.6 -10.6 -10.6 -10.9 -11.0 -11.1 -11.1 -11.2 -11.3 -11.3 -11.3 -11.4 -11.4 -11.5 -11.6 -11.6 -11.7 -11.9 -12.2 -12.2 -12.3 -12.3 -12.4 -12.6 -12.7 -12.8 -13.1 -13.3 -13.5 -13.5
Pekalongan Rembang Pati Majalengka Batang Ciamis Banyumas Brebes Ngawi Ponorogo Subang Magelang Banjarnegara Tasikmalaya Sragen Bondowoso Purbalingga Temanggung Sampang Trenggalek Demak Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
2008 -11.7 -11.7 -12.0 -12.2 -12.5 -12.6 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -12.8 -12.9 -12.9 -13.0 -13.0 -13.1 -13.1 -13.1 -13.1 -13.4 -13.5 -13.5 -13.6 -13.8 -14.1 -14.1 -14.2 -14.7 -14.8 -14.9
Gunung Kidul Kuningan Jepara Pati Rembang Ngawi Batang Tasikmalaya Brebes Ponorogo Magelang Banjarnegara Banyumas Temanggung Sragen Bondowoso Demak Sampang Purbalingga Tegal Pemalang Trenggalek Wonogiri Kebumen Pekalongan Wonosobo Pamekasan Blora Grobogan Pacitan
-11.7 -11.8 -12.0 -12.3 -12.4 -12.5 -12.6 -12.7 -12.7 -12.8 -13.0 -13.2 -13.2 -13.4 -13.5 -13.5 -13.7 -13.7 -13.7 -13.7 -13.8 -13.8 -14.3 -14.4 -14.7 -14.7 -15.0 -15.0 -15.2 -15.5
Lampiran 6.a. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2001 Perbedaan Komponen Shift Share RangKabupaten/Kota Produktivitas Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 160.81 6.88 87.88 66.05 1 Kota Kediri 130.24 4.35 85.14 40.75 2 Jakarta Utara 66.57 5.22 48.10 13.25 3 Jakarta Selatan 59.40 7.71 27.28 24.41 4 Kota Cilegon 54.27 4.49 33.41 16.36 5 Bekasi 35.45 3.69 19.60 12.16 6 Jakarta Barat 31.60 5.71 19.38 6.51 7 Jakarta Timur 30.10 7.72 29.43 -7.05 8 Kota Surabaya 26.02 5.74 14.70 5.57 9 Kota Cirebon 25.52 20.72 27.20 -22.40 10 Kota Yogyakarta 17.86 3.96 18.47 -4.57 11 Kota Cimahi 13.60 7.86 2.08 3.66 12 Kota Semarang 10.26 5.24 6.94 -1.92 13 Kudus 9.78 3.51 6.16 0.11 14 Kota Malang 9.48 4.20 3.00 2.28 15 Kepulauan Seribu 8.26 -4.65 27.88 -14.97 16 Sidoarjo 6.56 5.06 1.89 -0.39 17 Kota Bandung 6.07 17.82 5.86 -17.61 18 Kota Bekasi 3.48 18.32 3.87 -18.71 19 Purwakarta 3.03 -0.10 6.94 -3.81 20 Gresik 2.60 0.77 3.06 -1.24 21 Kota Magelang 2.01 3.22 7.08 -8.30 22 Bogor 1.64 1.16 0.08 0.40 23 Karawang 1.36 0.41 0.69 0.26 24 Kota Sukabumi 1.21 15.90 15.85 -30.55 25 Kota Mojokerto 1.14 6.00 -1.51 -3.35 26 Kota Surakarta 0.97 4.20 -1.24 -2.00 27 Kota Pekalongan 0.09 5.43 13.38 -18.73 28 Tangerang -1.31 6.44 -1.52 -6.24 29 Cilacap -1.42 -1.82 0.47 -0.07 30 Serang -1.86 -0.35 -0.85 -0.66 31 Bandung -2.20 1.98 -4.00 -0.18 32 Kota Tasikmalaya -2.31 3.69 -1.64 -4.36 33 Kota Probolinggo -2.97 1.56 -2.50 -2.04 34 Kota Bogor -3.41 16.34 -4.47 -15.29 35 Kendal -3.87 -3.31 -1.26 0.70 36 Sleman -3.92 2.12 -0.34 -5.70 37 Kota Madiun -4.04 4.04 -3.18 -4.90 38 Indramayu -4.10 -3.91 1.04 -1.23 39 Kota Salatiga -4.23 4.35 -4.50 -4.08 40 Garut -4.29 -2.69 -3.43 1.83 41 Kota Depok -4.53 18.09 -3.43 -19.19 42
Lampiran 6.a. (Lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Semarang Kota Tangerang Kota Batu Tulungagung Sumedang Kota Tegal Sukoharjo Banyuwangi Kota Pasuruan Kota Banjar Karanganyar Subang Kota Blitar Cianjur Lebak Sukabumi Mojokerto Probolinggo Lumajang Malang Pandeglang Cirebon Bantul Ciamis Jombang Situbondo Kulon Progo Jepara Tuban Bojonegoro Batang Kuningan Kediri Boyolali Jember Klaten Nganjuk Blitar Majalengka Purworejo Pati Pekalongan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -4.72 -4.82 -4.99 -5.01 -5.12 -5.21 -5.25 -5.26 -5.26 -5.40 -5.44 -5.59 -5.88 -5.95 -6.06 -6.13 -6.18 -6.19 -6.23 -6.40 -6.59 -6.70 -6.86 -7.09 -7.15 -7.18 -7.18
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -1.06 -4.01 0.35 8.33 -8.04 -5.10 -2.00 -4.79 1.80 -0.61 -4.08 -0.32 -1.32 -4.69 0.89 1.80 -2.65 -4.36 1.44 -5.46 -1.24 -2.92 -3.45 1.11 3.86 -5.02 -4.11 -2.63 -4.09 1.33 -1.27 -3.25 -0.93 -3.67 -3.15 1.23 3.23 -4.60 -4.51 -4.13 -1.67 -0.16 -5.05 -1.03 0.02 -2.39 -4.62 0.88 0.05 -6.21 -0.02 -4.03 -3.51 1.34 -3.71 -2.39 -0.13 -2.19 -4.77 0.57 -2.68 -4.68 0.77 -0.10 -4.66 -1.95 2.85 -5.59 -4.12 -3.13 -4.51 0.56 -1.29 -7.04 1.18 -3.71 -5.00 1.53 -1.23 -6.34 0.39
-7.34 -7.37 -7.46
4.23 -4.54 -4.77
-5.48 -3.76 -4.74
-6.09 0.93 2.06
-7.55 -7.58 -7.58 -7.59 -7.61 -7.61 -7.68 -7.75 -7.80 -7.83 -7.92 -7.94
-1.87 -3.60 -2.60 -3.08 -2.65 1.39 -2.76 -3.08 -2.99 -3.47 -3.24 1.01
-6.49 -5.93 -6.68 -3.82 -7.15 -7.67 -6.64 -6.51 -5.30 -6.72 -6.61 -7.09
0.82 1.96 1.70 -0.69 2.19 -1.34 1.72 1.84 0.49 2.35 1.93 -1.85
Lampiran 6.a. (Lanjutan) Rangking 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Rembang Gunung Kidul Magetan Tasikmalaya Sumenep Madiun Magelang Lamongan Bangkalan Banjarnegara Banyumas Temanggung Demak Brebes Ngawi Sragen Purbalingga Sampang Ponorogo Pemalang Kebumen Tegal Trenggalek Wonogiri Wonosobo Blora Pasuruan Bondowoso Grobogan Pamekasan Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -7.95 -8.01 -8.03 -8.09 -8.09 -8.44 -8.59 -8.63 -8.65 -8.67 -8.80 -8.83 -8.86 -8.87 -8.91
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -3.92 -7.43 3.40 -5.65 -3.74 1.38 -3.64 -7.02 2.62 -2.49 -7.28 1.68 -4.70 -6.40 3.01 -4.50 -6.85 2.91 -1.88 -7.92 1.21 -4.40 -7.72 3.49 -4.77 -7.10 3.22 -3.13 -6.76 1.21 0.14 -8.28 -0.65 -5.34 -3.93 0.43 -1.99 -8.31 1.44 -3.87 -8.29 3.28 -4.82 -7.13 3.05
-8.95 -8.99 -9.20 -9.32
-3.01 -0.46 -6.45 -5.58
-7.81 -8.88 -6.52 -6.20
1.87 0.36 3.78 2.45
-9.33 -9.46 -9.69 -9.71 -9.73 -9.90 -9.98 -9.99 -10.06 -10.21 -10.28 -10.70
-1.77 -0.78 -0.03 -2.58 -4.67 -3.68 -5.95 -0.75 -3.30 -5.47 -5.64 -5.59
-8.82 -7.42 -9.49 -7.72 -8.67 -8.95 -7.22 -8.94 -9.63 -8.10 -7.83 -8.37
1.27 -1.25 -0.17 0.59 3.61 2.73 3.19 -0.30 2.86 3.36 3.19 3.25
Lampiran 6.b. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2002 Perbedaan Komponen Shift Share RangProduktivitas Kabupaten/Kota Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 168.86 8.03 97.97 62.87 1 Kota Kediri 141.58 5.86 113.88 21.83 2 Jakarta Utara 69.08 5.47 54.51 9.10 3 Jakarta Selatan 63.69 10.77 37.09 15.83 4 Kota Cilegon 60.91 6.07 33.34 21.49 5 Bekasi 39.96 3.07 22.91 13.99 6 Jakarta Barat 35.91 7.42 24.49 4.00 7 Kota Surabaya 34.19 6.38 19.85 7.97 8 Jakarta Timur 32.48 8.81 32.45 -8.77 9 Kota Cirebon 26.12 4.95 31.31 -10.14 10 Kota Yogyakarta 14.37 4.04 13.73 -3.40 11 Kota Malang 14.35 3.78 8.37 2.20 12 Kota Cimahi 13.50 7.69 1.73 4.08 13 Kudus 10.34 4.47 5.02 0.86 14 Sidoarjo 10.24 6.54 5.15 -1.46 15 Kepulauan Seribu 8.60 -6.18 26.62 -11.84 16 Kota Semarang 7.97 7.33 4.33 -3.68 17 Gresik 6.57 0.91 4.90 0.76 18 Kota Bandung 6.32 7.93 1.53 -3.13 19 Kota Mojokerto 2.95 4.77 -0.17 -1.65 20 Purwakarta 2.19 -0.17 3.40 -1.04 21 Bogor 0.99 1.18 1.61 -1.80 22 Karawang 0.80 0.07 -0.16 0.89 23 Kota Bekasi -0.01 7.80 -0.97 -6.84 24 Sumedang -0.08 3.69 16.38 -20.15 25 Kota Surakarta -0.13 6.30 -3.58 -2.85 26 Kota Probolinggo -0.29 0.89 0.51 -1.68 27 Kota Sukabumi -0.48 3.28 -2.97 -0.79 28 Kota Magelang -0.67 3.63 7.14 -11.44 29 Kota Pekalongan -1.23 4.82 10.79 -16.85 30 Kota Madiun -2.19 5.75 0.51 -8.44 31 Cilacap -2.37 -1.19 -1.62 0.44 32 Kota Tangerang -2.74 9.70 -4.98 -7.46 33 Tangerang -2.92 8.14 -1.86 -9.19 34 Serang -3.02 -0.80 -1.91 -0.32 35 Kota Tasikmalaya -3.18 2.74 -1.95 -3.96 36 Bandung -3.26 1.55 -4.69 -0.12 37 Tulungagung -3.59 -1.91 -0.18 -1.50 38 Kota Batu -4.17 -1.69 -3.27 0.79 39 Indramayu -4.19 -3.12 1.65 -2.71 40 Kota Pasuruan -4.32 5.42 -3.86 -5.88 41 Sleman -4.95 1.65 -1.52 -5.09 42
Lampiran 6.b. (Lanjutan) Rang -king 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Banyuwangi Jombang Kota Bogor Kendal Probolinggo Garut Kota Depok Mojokerto Semarang Kota Salatiga Kota Blitar Malang Lumajang Sukoharjo Karanganyar Kota Banjar Kota Tegal Sukabumi Tuban Sumenep Situbondo Subang Blitar Cianjur Nganjuk Lebak Cirebon Jember Magetan Bojonegoro Pandeglang Ciamis Kediri Bantul Bangkalan Pasuruan Kuningan Madiun Klaten Lamongan Pekalongan Kulon Progo
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -4.98 -5.39 -5.46 -5.51 -5.54 -5.54 -5.60 -5.63 -6.00 -6.01 -6.14 -6.16 -6.18 -6.30 -6.35 -6.80 -6.81 -6.82 -7.05 -7.05 -7.14 -7.29 -7.45 -7.55 -7.75 -7.79 -7.83 -7.94 -8.07 -8.09 -8.17 -8.17 -8.18 -8.22 -8.31 -8.33 -8.40 -8.44 -8.79 -8.84 -8.89 -8.95
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.28 -2.57 1.87 -1.02 -4.60 0.23 7.02 -8.18 -4.30 -2.12 -3.86 0.47 -4.80 -1.02 0.28 -1.99 -5.72 2.16 9.86 -2.08 -13.39 -0.32 -5.25 -0.06 -1.44 -5.48 0.92 4.14 -6.00 -4.15 1.66 -6.42 -1.38 -2.33 -4.07 0.23 -3.87 -3.23 0.92 1.41 -6.25 -1.46 -0.28 -6.08 0.01 -2.74 -3.06 -1.00 2.46 -4.93 -4.34 -2.23 -5.77 1.19 -4.71 -2.89 0.56 -6.18 -2.47 1.60 -4.92 -2.92 0.71 -3.55 -5.62 1.88 -3.62 -6.52 2.69 -4.76 -3.86 1.07 -4.17 -5.81 2.23 -5.90 -2.18 0.30 -0.59 -5.10 -2.13 -3.16 -5.72 0.95 -4.52 -5.84 2.29 -5.07 -4.69 1.67 -4.94 -4.63 1.40 -3.22 -3.00 -1.96 -2.38 -6.90 1.10 3.02 -7.03 -4.21 -5.43 -4.92 2.05 -0.26 -7.56 -0.51 -2.84 -8.08 2.51 -5.16 -6.13 2.85 0.66 -8.32 -1.13 -5.36 -6.98 3.50 0.28 -3.55 -5.61 -1.44 -7.86 0.35
Lampiran 6.b. (Lanjutan) Rang -king 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Boyolali Purworejo Batang Gunung Kidul Rembang Jepara Pati Ngawi Tasikmalaya Sampang Ponorogo Banjarnegara Demak Banyumas Sragen Brebes Trenggalek Magelang Purbalingga Temanggung Kebumen Pamekasan Pemalang Bondowoso Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pacitan Blora Majalengka
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -8.98 -9.00
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -3.27 -7.36 1.65 -2.18 -8.52 1.70
-9.01 -9.11 -9.19
-1.29 -6.22 -5.25
-8.47 -3.72 -7.48
0.75 0.83 3.54
-9.30 -9.32 -9.33 -9.36 -9.46 -9.78 -9.95 -10.18 -10.22
3.15 -2.83 -6.01 -3.03 -6.76 -6.00 -3.40 -1.68 0.92
-6.09 -8.32 -5.49 -8.18 -6.94 -4.30 -7.11 -9.99 -9.93
-6.36 1.84 2.17 1.86 4.24 0.52 0.57 1.49 -1.21
-10.25 -10.25 -10.30 -10.32 -10.39 -10.49
-2.28 -4.41 -4.38 -1.69 0.02 -5.61
-9.72 -9.33 -7.14 -10.02 -9.50 -7.53
1.75 3.49 1.22 1.39 -0.92 2.66
-10.58 -10.58
-1.24 -5.12
-8.68 -9.67
-0.65 4.21
-10.80 -10.83 -11.09 -11.09 -11.26 -11.32 -11.59 -11.65 -13.07
-2.64 -3.93 -0.81 -5.51 -4.95 -4.16 -6.74 -6.22 6.39
-9.82 -9.84 -10.80 -10.05 -9.51 -10.50 -8.57 -9.87 -9.76
1.66 2.94 0.52 4.46 3.20 3.34 3.73 4.44 -9.70
Lampiran 6.c. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2003 Perbedaan Komponen Shift Share RangProduktivitas Kabupaten/Kota Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 169.87 12.22 131.22 26.43 1 Kota Kediri 158.30 5.60 106.29 46.41 2 Jakarta Utara 71.32 7.07 52.01 12.24 3 Jakarta Selatan 62.97 14.26 31.52 17.19 4 Kota Cilegon 59.15 7.59 36.18 15.39 5 Bekasi 36.26 3.64 21.20 11.42 6 Jakarta Barat 35.13 9.91 19.01 6.20 7 Kota Surabaya 33.74 7.21 16.99 9.54 8 Jakarta Timur 33.74 10.76 20.18 2.79 9 Kota Cirebon 27.28 7.96 28.08 -8.75 10 Kota Tangerang 20.42 11.54 6.70 2.18 11 Kota Malang 15.65 6.97 8.04 0.63 12 Kota Cimahi 15.14 8.66 1.89 4.59 13 Sidoarjo 10.34 6.17 3.10 1.07 14 Kudus 10.15 5.61 5.04 -0.50 15 Kota Semarang 8.97 7.93 3.28 -2.24 16 Gresik 7.45 1.47 6.26 -0.28 17 Kota Bandung 6.77 9.62 1.09 -3.94 18 Kota Yogyakarta 6.44 7.70 5.58 -6.84 19 Kepulauan Seribu 4.20 -6.83 34.38 -23.34 20 Kota Mojokerto 4.14 6.67 -1.23 -1.30 21 Kota Probolinggo 2.63 3.16 1.35 -1.88 22 Purwakarta 1.20 1.17 0.33 -0.30 23 Karawang 1.00 -1.25 1.09 1.17 24 Bogor 0.98 4.20 -2.48 -0.74 25 Kota Surakarta 0.89 8.18 -3.63 -3.66 26 Kota Sukabumi 0.45 3.74 -0.23 -3.06 27 Kota Bekasi 0.44 9.82 -1.42 -7.96 28 Kota Magelang -0.60 4.22 3.89 -8.72 29 Kota Pekalongan -1.70 6.71 8.66 -17.06 30 Cilacap -2.31 -2.87 0.50 0.06 31 Kota Tasikmalaya -2.50 3.11 6.79 -12.41 32 Bandung -2.76 2.12 -4.64 -0.23 33 Kota Madiun -2.81 6.06 -1.85 -7.02 34 Tangerang -2.99 8.70 -4.21 -7.49 35 Serang -3.61 -2.38 5.09 -6.31 36 Kota Bogor -4.02 9.64 -7.62 -6.04 37 Tulungagung -4.27 -0.69 -1.33 -2.25 38 Kota Batu -4.34 -1.78 -4.52 1.96 39 Kota Pasuruan -4.37 6.35 -4.01 -6.71 40 Kota Blitar -5.00 7.13 -4.31 -7.83 41 Sleman -5.12 2.37 -1.80 -5.69 42
Lampiran 6.c. (Lanjutan) Rang -king 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Banyuwangi Mojokerto Indramayu Probolinggo Garut Kendal Malang Kota Tegal Jombang Kota Salatiga Sukoharjo Sumedang Kota Depok Semarang Karanganyar Lumajang Sukabumi Magetan Situbondo Kota Banjar Tuban Subang Jember Pandeglang Cianjur Nganjuk Lebak Bantul Bojonegoro Cirebon Jepara Kediri Ciamis Pasuruan Sumenep Madiun Kuningan Klaten Boyolali Gunung Kidul Bangkalan Pekalongan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -5.32 -5.61 -5.73 -5.76 -5.80 -5.95 -6.00 -6.32 -6.39 -6.40 -6.43 -6.63 -6.63 -6.81 -6.83 -6.83 -6.98 -7.06 -7.08 -7.33 -7.41 -7.82 -7.90 -8.14 -8.19 -8.37 -8.51 -8.54 -8.54 -8.62 -8.68 -8.71 -8.73 -8.74 -8.83 -8.86 -9.12 -9.15 -9.22 -9.53 -9.62 -9.69
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -3.93 1.26 -2.65 1.84 -5.96 -1.49 -4.12 -1.51 -0.11 -4.86 -1.57 0.68 -2.87 -5.09 2.16 -3.28 -3.52 0.84 -2.32 -4.68 1.01 3.33 -4.50 -5.16 -1.45 -5.97 1.03 5.38 -7.27 -4.51 1.82 -5.42 -2.83 -1.78 -5.60 0.76 10.17 -5.23 -11.58 -1.23 -6.22 0.64 -1.15 -7.03 1.36 -5.01 -1.51 -0.31 -2.72 -0.91 -3.35 -4.65 -2.84 0.43 -2.07 -5.85 0.84 -2.02 -6.11 0.79 -4.34 -4.50 1.43 -4.43 -4.80 1.40 -3.76 -4.92 0.77 -6.16 -1.93 -0.05 -4.90 -7.28 3.98 -3.72 -7.59 2.94 -5.73 -3.66 0.89 4.38 -7.36 -5.56 -5.89 -4.74 2.09 -1.13 -7.61 0.12 5.82 -2.47 -3.04 -0.36 -6.68 -4.38 -3.38 1.62 -3.43 -6.43 -6.49 3.00
-6.42 -8.03 -7.74 -8.31 -7.35 -8.06 -8.45 -9.30 -6.67 -4.77 -5.68 -8.61
-8.07 1.79 2.05 -0.07 5.20 3.58 2.71 -1.48 0.88 1.67 2.55 -4.09
Lampiran 6.c. (Lanjutan) Rang -king 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Batang Ngawi Purworejo Ponorogo Blitar Rembang Lamongan Majalengka Pati Magelang Tasikmalaya Temanggung Banjarnegara Brebes Banyumas Trenggalek Demak Sampang Kulon Progo Purbalingga Bondowoso Sragen Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -9.74 -9.79 -9.84 -9.86 -9.88 -9.89 -10.00 -10.26 -10.28 -10.40 -10.42 -10.56 -10.57 -10.70 -10.75 -10.83 -10.90 -11.08 -11.11 -11.12 -11.23
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -1.10 -9.28 0.63 -6.02 -6.66 2.89 -5.75 -5.44 1.34 -5.15 -6.57 1.86 -4.58 -7.77 2.46 -4.78 -8.92 3.81 -5.38 -8.55 3.93 -2.32 -9.14 1.20 -2.22 -9.45 1.39 -2.14 -9.78 1.52 -4.53 -3.78 -2.12 -5.86 -4.00 -0.70 -3.70 -9.77 2.90 -4.98 -9.87 4.15 0.72 -10.64 -0.83 -4.23 -8.98 2.39 -1.70 -10.23 1.02 -8.91 -6.69 4.52 -0.88 -10.44 0.20 -0.02 -10.54 -0.56 -4.99 -10.06 3.82
-11.23 -11.25 -11.29 -11.42
-2.44 -1.07 -5.40 -1.09
-10.69 -10.99 -10.43 -10.86
1.90 0.82 4.54 0.53
-11.55 -11.65 -11.76 -12.01 -12.05 -12.22
-2.16 -8.00 -4.50 -5.57 -6.57 -6.94
-11.21 -8.77 -10.86 -10.51 -10.63 -9.41
1.82 5.12 3.59 4.07 5.15 4.13
Lampiran 6.d. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2004 Perbedaan Komponen Shift Share RangKabupaten/Kota Produktivitas Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 177.75 9.60 90.66 77.49 1 Kota Kediri 153.54 5.60 93.60 54.34 2 Jakarta Utara 69.98 7.20 51.97 10.81 3 Jakarta Selatan 65.32 12.07 38.59 14.66 4 Kota Cilegon 62.27 6.65 35.80 19.82 5 Bekasi 36.57 5.01 20.72 10.84 6 Kota Surabaya 36.12 6.43 21.48 8.21 7 Jakarta Timur 34.70 9.11 27.82 -2.22 8 Jakarta Barat 33.17 9.65 16.73 6.79 9 Kota Cirebon 26.85 4.48 29.36 -6.99 10 Kota Tangerang 20.43 11.88 21.69 -13.14 11 Kota Malang 15.01 6.27 5.78 2.96 12 Kota Cimahi 13.45 8.62 1.41 3.41 13 Sidoarjo 12.06 6.68 5.76 -0.38 14 Kudus 10.34 4.21 4.58 1.54 15 Kota Semarang 10.23 6.11 4.70 -0.58 16 Kota Yogyakarta 9.71 4.07 7.79 -2.15 17 Gresik 8.18 2.82 6.61 -1.26 18 Kota Bandung 6.05 10.40 0.37 -4.72 19 Kota Mojokerto 3.23 6.74 1.61 -5.11 20 Karawang 2.23 -0.04 1.62 0.66 21 Kota Probolinggo 2.20 2.33 1.06 -1.18 22 Kepulauan Seribu 1.84 -6.38 45.69 -37.47 23 Purwakarta 1.42 1.07 2.02 -1.67 24 Kota Bekasi 0.10 11.24 1.78 -12.92 25 Bogor -0.23 2.08 -3.17 0.86 26 Kota Surakarta -0.57 6.62 -3.92 -3.26 27 Kota Sukabumi -0.97 3.37 -3.25 -1.09 28 Kota Magelang -1.10 4.17 2.34 -7.61 29 Kota Pekalongan -1.41 5.19 14.34 -20.94 30 Cilacap -2.67 -0.85 -1.98 0.16 31 Tangerang -2.91 6.25 -3.64 -5.52 32 Bandung -3.35 2.57 -5.12 -0.79 33 Tulungagung -3.73 -1.45 1.65 -3.92 34 Kota Bogor -4.10 10.65 -8.13 -6.62 35 Kota Tasikmalaya -4.17 3.68 -3.37 -4.48 36 Kota Madiun -4.32 3.25 -2.27 -5.30 37 Serang -4.49 -0.67 -4.04 0.23 38 Kota Batu -4.54 -2.26 -4.41 2.12 39 Banyuwangi -4.82 -3.13 -1.84 0.15 40 Sleman -5.00 1.51 -1.12 -5.38 41 Kota Pasuruan -5.05 8.67 -2.84 -10.88 42
Lampiran 6.d. (Lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Probolinggo Mojokerto Kota Blitar Indramayu Lumajang Jombang Sumedang Garut Kendal Malang Kota Salatiga Magetan Kota Tegal Kota Banjar Sukabumi Sukoharjo Semarang Subang Kota Depok Tuban Cianjur Pandeglang Bojonegoro Ciamis Blitar Kediri Situbondo Nganjuk Bangkalan Pasuruan Klaten Lebak Cirebon Bantul Karanganyar Madiun Boyolali Kuningan Sumenep Jepara Pekalongan Purworejo
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -5.57 -5.80 -5.89 -6.21 -6.33 -6.36 -6.42 -6.51 -6.58 -6.76 -7.08 -7.18 -7.22 -7.35 -7.47 -7.51 -7.83 -7.97 -8.18 -8.19 -8.29 -8.37 -8.80 -8.80 -8.81 -8.91 -8.96 -8.96 -9.02 -9.17 -9.31 -9.31 -9.45 -9.46 -9.52 -9.55 -9.68 -9.80 -9.89 -10.13 -10.19 -10.22
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.92 -1.86 1.21 1.83 -5.94 -1.69 3.47 -5.46 -3.90 -4.46 1.95 -3.69 -5.26 -1.31 0.24 0.35 -6.24 -0.47 -1.30 -5.29 0.17 -2.88 -5.66 2.02 -2.41 -5.12 0.96 -2.76 -4.59 0.60 6.91 -7.23 -6.76 -4.12 -3.73 0.66 3.27 -4.37 -6.12 -1.79 -6.51 0.95 -3.06 -4.70 0.30 2.08 -7.64 -1.96 -1.22 -7.52 0.91 -5.08 -0.69 -2.19 14.66 -4.71 -18.13 -6.64 0.05 -1.60 -5.05 -7.55 4.32 -3.77 -6.37 1.77 -5.83 -5.88 2.92 -2.24 -7.21 0.64 -5.40 -8.24 4.83 -2.41 -6.77 0.27 -5.44 -4.85 1.33 -3.09 -8.22 2.35 -5.94 -6.19 3.11 0.36 -9.08 -0.45 1.51 -9.10 -1.72 -5.65 -5.80 2.13 -0.78 -8.95 0.29 3.39 -8.36 -4.50 -1.77 -5.99 -1.75 -3.94 -8.85 3.24 -3.20 -7.53 1.05 -3.70 -9.27 3.17 -6.76 -0.14 -3.00 4.93 2.40 -3.59
-6.67 -9.65 -9.14
-8.39 -2.94 2.51
Lampiran 6.d. (Lanjutan) Rangking 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Jember Lamongan Majalengka Rembang Gunung Kidul Tasikmalaya Batang Ponorogo Pati Ngawi Sampang Trenggalek Banyumas Banjarnegara Brebes Magelang Demak Temanggung Bondowoso Kulon Progo Sragen Kebumen Pemalang Purbalingga Tegal Wonogiri Grobogan Wonosobo Pamekasan Blora Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -10.28 -10.39 -10.39 -10.43 -10.43 -10.62
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -3.20 -9.31 2.23 -5.55 -9.23 4.39 -0.88 -9.58 0.06 -4.58 -10.23 4.37 -6.99 -4.91 1.47 -2.86 -9.35 1.59
-10.67 -10.67 -10.70 -11.00 -11.32 -11.40 -11.53 -11.53 -11.55 -11.60 -11.67 -11.69 -11.83 -11.85
-1.76 -5.89 -2.74 -5.89 -9.22 -4.71 0.86 -3.86 -4.96 -3.94 -2.35 -6.47 -5.76 -1.66
-10.03 -7.68 -10.02 -8.62 -7.52 -10.41 -11.50 -8.67 -10.23 -10.27 -11.35 -7.86 -9.69 -10.89
1.12 2.90 2.06 3.51 5.41 3.72 -0.89 1.00 3.64 2.61 2.02 2.64 3.61 0.71
-11.85 -12.05 -12.06 -12.23 -12.37 -12.53 -12.59 -12.72 -12.83 -13.05 -13.30
-4.14 -0.31 -2.19 -0.50 -1.27 -6.21 -4.94 -4.35 -7.87 -6.79 -8.93
-10.24 -11.85 -11.37 -11.11 -11.86 -11.25 -11.74 -12.09 -10.89 -10.68 -9.58
2.52 0.10 1.50 -0.62 0.76 4.93 4.09 3.72 5.92 4.42 5.22
Lampiran 6.e. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2005 Perbedaan Komponen Shift Share RangProduktivitas Kabupaten/Kota Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 188.12 8.01 101.73 78.37 1 Kota Kediri 130.82 5.03 89.59 36.20 2 Jakarta Utara 74.86 6.23 57.65 10.98 3 Jakarta Selatan 69.85 10.03 41.63 18.19 4 Kota Cilegon 62.40 6.96 51.16 4.27 5 Bekasi 39.18 4.70 21.15 13.33 6 Jakarta Timur 37.83 7.71 29.11 1.01 7 Jakarta Barat 36.22 8.29 20.34 7.59 8 Kota Cirebon 29.80 3.45 39.36 -13.01 9 Kota Surabaya 29.76 7.76 17.60 4.39 10 Kota Tangerang 21.01 9.88 12.44 -1.30 11 Kota Cimahi 13.94 8.45 4.10 1.39 12 Kota Malang 11.57 5.78 5.45 0.34 13 Kudus 10.76 4.00 4.37 2.39 14 Kota Semarang 9.31 5.56 5.79 -2.04 15 Kota Yogyakarta 9.08 3.51 7.26 -1.70 16 Kota Bandung 8.16 8.50 2.29 -2.63 17 Kota Mojokerto 8.16 6.01 5.52 -3.37 18 Sidoarjo 7.24 6.38 2.90 -2.05 19 Karawang 4.89 0.12 4.58 0.19 20 Purwakarta 4.20 0.92 3.98 -0.69 21 Gresik 3.47 4.62 0.66 -1.81 22 Kepulauan Seribu 2.66 -6.31 51.12 -42.14 23 Bogor 1.63 1.34 -1.40 1.68 24 Kota Bekasi 0.58 8.13 0.59 -8.15 25 Kota Magelang 0.11 4.64 2.09 -6.63 26 Kota Surakarta -0.06 5.69 -3.71 -2.03 27 Kota Probolinggo -0.32 1.75 -0.46 -1.61 28 Kota Sukabumi -0.38 1.66 -3.11 1.07 29 Bandung -1.07 2.16 -3.44 0.20 30 Cilacap -1.14 -1.59 2.65 -2.20 31 Kota Tasikmalaya -2.62 3.24 -2.59 -3.28 32 Kota Pekalongan -2.65 5.45 10.50 -18.60 33 Kota Bogor -3.18 8.98 -6.88 -5.28 34 Serang -3.52 -0.29 -2.57 -0.67 35 Tangerang -3.57 8.75 -2.44 -9.89 36 Kendal -4.58 -2.99 -1.07 -0.52 37 Kota Madiun -5.11 3.80 -5.02 -3.90 38 Sumedang -5.52 -1.34 -4.36 0.17 39 Sleman -5.64 0.86 -2.06 -4.44 40 Tulungagung -5.70 -0.27 -5.02 -0.41 41 Kota Batu -5.82 -1.90 -5.26 1.34 42
Lampiran 6.e. (Lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Indramayu Kota Pasuruan Garut Kota Blitar Kota Banjar Kota Salatiga Sukoharjo Kota Depok Banyuwangi Karanganyar Kota Tegal Mojokerto Lumajang Subang Probolinggo Semarang Magetan Jombang Sukabumi Malang Cianjur Tuban Pandeglang Situbondo Cirebon Bantul Kuningan Blitar Jember Bojonegoro Nganjuk Gunung Kidul Boyolali Klaten Majalengka Purworejo Kediri Lebak Rembang Pasuruan Jepara Pekalongan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -5.98 -6.11 -6.24 -6.31 -6.45 -6.52 -6.57 -6.73 -6.81 -6.84 -6.88 -7.02 -7.17 -7.33 -7.37 -7.39 -7.81 -7.82 -7.86 -7.93 -7.98 -8.13 -8.17 -8.57 -8.59 -8.71 -8.92 -9.16 -9.23 -9.30 -9.34 -9.38 -9.39 -9.40 -9.41 -9.44 -9.48 -9.53 -9.62 -9.72 -9.72 -9.79
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.84 1.00 -2.13 5.04 -5.46 -5.70 -3.50 1.14 -3.88 1.66 -5.70 -2.27 -2.33 -4.96 0.84 4.44 -6.46 -4.50 2.15 -5.48 -3.24 11.71 -4.24 -14.20 -4.17 -4.65 2.00 0.12 -7.27 0.31 2.54 -5.90 -3.53 1.42 -7.07 -1.37 -5.21 -3.44 1.48 -5.35 1.75 -3.73 -5.76 -0.56 -1.05 -0.22 -7.68 0.50 -5.33 -0.13 -2.35 0.37 -7.99 -0.20 -2.70 -6.03 0.87 -2.40 -6.25 0.72 -5.21 -6.59 3.82 -4.96 -4.73 1.57 -4.24 -5.53 1.59 -4.33 -6.26 2.02 2.02 -7.98 -2.63 2.47 -7.68 -3.50 -3.27 -8.44 2.79 -3.77 -7.96 2.58 -4.11 -8.19 3.07 -4.76 -6.90 2.35 -3.35 -8.68 2.69 -5.13 -6.30 2.04 -2.11 -8.94 1.67 1.37 -9.27 -1.49 -0.58 -6.89 -1.95 -3.02 -7.90 1.48 -2.24 -9.21 1.97 6.63 -7.74 -8.42 -3.73 -9.07 3.17 -0.07 -8.84 -0.81 5.06 2.09
-6.83 -8.64
-7.96 -3.23
Lampiran 6.e. (Lanjutan) Rangking 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Madiun Tasikmalaya Sumenep Kulon Progo Ciamis Batang Pati Magelang Bangkalan Lamongan Banjarnegara Sragen Demak Ngawi Banyumas Ponorogo Temanggung Purbalingga Brebes Kebumen Trenggalek Wonogiri Pemalang Sampang Tegal Wonosobo Pamekasan Bondowoso Blora Grobogan Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -9.87 -9.95 -9.97 -10.23 -10.28
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.61 -8.85 3.59 -2.94 -9.22 2.21 -5.64 -5.67 1.34 -2.05 -9.04 0.86 -2.45 -9.02 1.19
-10.29 -10.30 -10.39 -10.46 -10.72 -10.93
-1.45 -2.44 -2.90 -5.79 -4.46 -3.51
-9.92 -9.29 -9.91 -7.17 -9.91 -9.66
1.07 1.43 2.42 2.50 3.65 2.24
-10.95 -11.00 -11.00 -11.04 -11.20 -11.26 -11.30 -11.44
-3.55 -2.25 -6.79 0.63 -4.89 -4.45 -0.34 -3.05
-9.54 -10.72 -7.14 -10.02 -9.09 -9.61 -10.73 -11.17
2.14 1.97 2.93 -1.65 2.78 2.80 -0.23 2.79
-11.56 -11.62 -11.67
-2.70 -3.71 -5.27
-10.74 -9.99 -10.04
1.87 2.08 3.64
-11.69 -11.76 -11.85 -12.35 -12.39 -12.41 -12.44 -12.64 -12.69
-3.42 -7.97 -0.14 -5.11 -6.12 -5.72 -6.09 -5.55 -6.36
-10.09 -10.70 -11.39 -11.17 -7.75 -12.06 -11.63 -10.72 -10.21
1.82 6.91 -0.31 3.93 1.48 5.36 5.29 3.63 3.87
Lampiran 6.f. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2006 Perbedaan Komponen Shift Share RangProduktivitas Kabupaten/Kota Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 197.53 8.17 108.27 81.09 1 Kota Kediri 136.84 3.53 101.67 31.64 2 Jakarta Utara 78.45 6.11 63.35 8.99 3 Jakarta Selatan 73.27 10.16 42.36 20.75 4 Kota Cilegon 69.43 6.91 49.32 13.19 5 Bekasi 41.11 4.08 26.14 10.89 6 Jakarta Timur 39.62 7.54 29.96 2.12 7 Jakarta Barat 37.94 8.16 21.99 7.80 8 Kota Surabaya 33.47 8.13 19.98 5.36 9 Kota Cirebon 33.28 5.94 38.51 -11.17 10 Kota Tangerang 25.02 7.52 11.00 6.50 11 Kota Malang 13.66 6.06 8.84 -1.24 12 Kota Cimahi 12.82 7.48 7.44 -2.10 13 Kota Semarang 9.92 5.68 6.01 -1.77 14 Kudus 9.12 4.52 3.94 0.66 15 Kota Yogyakarta 8.65 2.48 6.95 -0.78 16 Sidoarjo 8.26 5.56 3.36 -0.66 17 Kota Bandung 8.16 7.66 2.09 -1.59 18 Kota Mojokerto 6.65 6.11 3.88 -3.35 19 Gresik 5.45 2.37 2.68 0.39 20 Karawang 3.64 1.27 3.36 -0.99 21 Purwakarta 3.62 0.46 4.62 -1.47 22 Kepulauan Seribu 2.30 -6.79 52.37 -43.28 23 Bogor 1.13 1.59 -0.47 0.01 24 Kota Probolinggo 0.44 1.50 -0.65 -0.41 25 Kota Surakarta 0.23 5.66 -2.97 -2.46 26 Kota Bekasi 0.10 8.92 0.20 -9.02 27 Cilacap -0.08 -2.08 3.55 -1.56 28 Kota Sukabumi -1.19 1.89 -1.06 -2.02 29 Kota Magelang -1.42 3.24 3.29 -7.94 30 Bandung -1.66 1.32 -3.79 0.81 31 Kota Pekalongan -2.00 4.95 4.94 -11.89 32 Tangerang -3.14 6.18 -1.00 -8.32 33 Kota Bogor -4.33 5.16 -7.29 -2.21 34 Kota Tasikmalaya -4.50 4.29 -2.64 -6.15 35 Indramayu -5.64 -3.78 0.74 -2.59 36 Sleman -5.68 -0.15 -1.94 -3.59 37 Tulungagung -5.75 -0.73 -3.08 -1.94 38 Garut -5.90 -3.18 -4.99 2.27 39 Kota Madiun -5.92 3.43 -5.79 -3.56 40 Karanganyar -6.19 -0.34 -6.75 0.90 41 Kota Pasuruan -6.24 4.59 -4.23 -6.59 42
Lampiran 6.f. (Lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Serang Kota Blitar Kota Tegal Kota Batu Sumedang Sukoharjo Semarang Kota Depok Subang Kendal Kota Banjar Banyuwangi Mojokerto Lumajang Tuban Sukabumi Pandeglang Probolinggo Kota Salatiga Malang Magetan Situbondo Jombang Cirebon Jember Cianjur Lebak Bantul Kulon Progo Pasuruan Rembang Bojonegoro Blitar Nganjuk Purworejo Boyolali Kediri Jepara Gunung Kidul Majalengka Sumenep Pekalongan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -6.57 -6.64 -6.94 -7.05 -7.11 -7.24 -7.30 -7.42 -7.57 -7.61 -7.61 -7.63 -7.70 -7.71 -7.81 -7.88 -8.07 -8.08 -8.10 -8.10 -8.22 -8.39 -8.54 -8.59 -8.90 -9.10 -9.54 -9.60 -9.68 -9.82 -9.82 -9.82 -9.88 -9.89 -10.00 -10.08 -10.11 -10.13 -10.18 -10.30 -10.39 -10.40
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different 3.38 -7.32 -2.64 3.69 -5.58 -4.76 1.83 -4.80 -3.97 -2.96 -5.89 1.80 -1.89 -6.43 1.21 3.26 -6.93 -3.56 -1.07 -7.00 0.77 10.10 -1.13 -16.38 -2.97 -5.59 0.99 -3.11 -5.60 1.11 -0.98 -6.63 0.00 2.21 -3.28 -6.56 1.31 -7.42 -1.58 -4.93 -4.81 2.02 -4.10 -5.93 2.22 -2.42 -6.66 1.19 -4.93 -3.78 0.65 -4.87 -4.09 0.87 4.76 -8.18 -4.68 -1.47 -5.97 -0.66 -2.34 -4.87 -1.01 -4.92 -5.23 1.76 -0.06 -8.54 0.06 0.43 -1.77 -7.24 -2.81 -5.81 -0.28 -4.73 -8.42 4.05 -5.69 -5.89 2.04 2.09 -8.70 -2.99 -2.41 -8.00 0.73 -0.84 -8.97 0.00 -5.05 -8.65 3.88 -5.29 -6.84 2.31 -3.89 -9.99 4.01 -3.99 -8.88 2.98 -2.15 -9.23 1.38 -2.84 -8.52 1.28 -2.95 -9.13 1.96 4.32 -5.59 -0.98 -5.47 2.30
-7.32 -6.96 -9.35 -7.39 -9.32
-7.12 2.37 0.03 2.47 -3.39
Lampiran 6.f. (Lanjutan) Rangking 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Madiun Pati Batang Kuningan Klaten Ciamis Bangkalan Lamongan Banyumas Tasikmalaya Brebes Banjarnegara Ponorogo Magelang Ngawi Sragen Temanggung Purbalingga Demak Kebumen Pemalang Tegal Wonogiri Trenggalek Sampang Bondowoso Wonosobo Grobogan Pamekasan Blora Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -10.47 -10.58
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.76 -8.41 2.70 -3.15 -9.69 2.26
-10.62 -10.63 -10.87 -11.02 -11.05 -11.11 -11.21 -11.28 -11.28 -11.31 -11.39 -11.42 -11.47
-1.24 -3.66 1.70 -1.50 -5.46 -4.06 0.79 -3.06 -4.08 -5.41 -4.85 -2.28 -6.29
-9.96 -9.76 -9.36 -10.95 -8.75 -10.55 -10.92 -10.85 -9.44 -7.11 -9.22 -11.02 -8.84
0.58 2.79 -3.20 1.43 3.17 3.50 -1.08 2.64 2.25 1.22 2.67 1.89 3.66
-11.56 -11.61 -11.67 -11.90
-2.20 -2.33 0.26 -2.70
-11.23 -10.45 -10.29 -11.29
1.87 1.17 -1.64 2.09
-12.22 -12.23 -12.27 -12.28 -12.40 -12.60 -12.68 -12.75 -13.12 -13.34 -13.48 -13.51
-0.53 -2.81 -0.15 -5.81 -4.39 -6.65 -4.21 -4.87 -5.45 -8.17 -5.79 -4.38
-11.82 -11.40 -12.04 -10.28 -10.78 -10.07 -10.25 -11.90 -10.90 -7.26 -12.99 -10.73
0.13 1.98 -0.07 3.81 2.77 4.12 1.78 4.02 3.23 2.09 5.31 1.59
Lampiran 6.g. Rangking Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dan Kontribusi Masing-masing Komponen Shift Share Tahun 2007 Perbedaan Komponen Shift Share RangProduktivitas Kabupaten/Kota Industrial Productivity king Allocative (Xi – Xjawa) Mix Different Jakarta Pusat 343.00 15.48 184.00 143.52 1 Kota Kediri 162.32 3.94 127.78 30.60 2 Jakarta Utara 143.46 9.95 100.57 32.95 3 Jakarta Selatan 113.96 18.75 47.09 48.11 4 Kota Cilegon 69.22 10.27 58.65 0.30 5 Jakarta Timur 69.18 14.44 55.34 -0.60 6 Bekasi 65.45 3.87 32.42 29.16 7 Jakarta Barat 64.53 12.50 37.98 14.06 8 Kota Surabaya 43.94 7.33 28.57 8.03 9 Kota Cirebon 28.82 5.56 47.26 -24.00 10 Kota Tangerang 24.60 11.58 9.40 3.62 11 Kota Malang 15.64 5.74 6.05 3.85 12 Sidoarjo 12.31 5.99 5.41 0.90 13 Kota Cimahi 11.64 7.53 2.09 2.01 14 Kota Mojokerto 11.44 6.38 11.51 -6.46 15 Kota Bandung 9.43 5.60 4.97 -1.14 16 Kepulauan Seribu 9.18 -5.78 35.32 -20.36 17 Kota Semarang 8.86 7.95 4.03 -3.12 18 Kudus 8.76 5.67 2.52 0.57 19 Gresik 8.26 1.98 34.54 -28.26 20 Kota Yogyakarta 4.63 4.44 2.13 -1.95 21 Bandung 2.02 2.73 -1.78 1.08 22 Karawang 1.47 0.65 -0.36 1.18 23 Kota Probolinggo 0.80 2.33 -1.22 -0.31 24 Purwakarta -0.11 0.60 -1.07 0.36 25 Bogor -0.69 3.22 -3.20 -0.70 26 Kota Magelang -1.51 5.90 5.14 -12.55 27 Kota Bekasi -1.96 8.77 -2.16 -8.57 28 Kota Surakarta -2.00 6.21 -5.07 -3.14 29 Cilacap -2.97 -2.60 -0.22 -0.15 30 Sleman -3.70 1.10 0.76 -5.57 31 Tangerang -3.86 7.25 -3.09 -8.02 32 Kota Sukabumi -3.93 3.44 -6.32 -1.06 33 Kota Madiun -3.95 5.69 -1.56 -8.08 34 Kota Pekalongan -4.18 5.86 -0.88 -9.16 35 Kota Batu -4.82 -2.63 -4.27 2.08 36 Kota Pasuruan -5.16 7.00 -4.07 -8.09 37 Kota Bogor -5.80 5.02 -7.78 -3.04 38 Banyuwangi -5.95 -2.84 38.83 -41.93 39 Tulungagung -6.46 -2.01 -2.71 -1.75 40 Kota Tasikmalaya -6.68 5.23 -4.71 -7.20 41 Indramayu -7.04 -3.44 -0.42 -3.18 42
Lampiran 6.g. (Lanjutan) Rangking 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kabupaten/Kota Mojokerto Lumajang Serang Tuban Kota Blitar Malang Karanganyar Garut Probolinggo Semarang Kota Salatiga Kota Tegal Sukoharjo Sumedang Magetan Jombang Situbondo Kota Banjar Kota Depok Kediri Cianjur Kendal Blitar Jember Bojonegoro Pandeglang Nganjuk Cirebon Pasuruan Lebak Kulon Progo Bantul Sumenep Madiun Bangkalan Sukabumi Klaten Gunung Kidul Lamongan Boyolali Purworejo Jepara
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -7.36 -7.36 -7.41 -7.60 -7.61 -7.72 -7.79 -7.90 -7.97 -8.16 -8.17 -8.19 -8.45 -8.86 -9.08 -9.08 -9.19 -9.26 -9.32 -9.51 -9.76 -9.77 -9.78 -9.81 -9.84 -9.87 -10.00 -10.01 -10.28 -10.54 -10.61 -10.76 -10.79 -10.85 -10.85 -10.88 -10.98 -11.09 -11.13 -11.44 -11.50 -11.59
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different 1.85 -7.68 -1.52 -3.85 -5.74 2.23 2.52 -8.30 -1.63 -6.08 -0.94 -0.58 2.68 -7.08 -3.21 -1.66 -5.95 -0.10 0.68 -8.31 -0.16 -3.89 -8.33 4.32 -5.66 -3.59 1.28 -0.27 -8.29 0.39 6.47 -8.36 -6.28 2.64 -8.01 -2.82 2.69 -7.92 -3.22 -1.51 -8.02 0.67 -2.61 -4.63 -1.83 -0.26 -9.17 0.35 -3.72 -8.41 2.94 2.30 -9.50 -2.06 13.31 -6.61 -16.01 -3.11 -8.38 1.98 -4.92 -9.47 4.63 -3.94 -7.62 1.80 -4.83 -9.29 4.34 -3.37 -6.01 -0.43 -5.35 -7.72 3.22 -5.35 -6.04 1.52 -2.84 -9.28 2.13 -0.34 -6.92 -2.75 -0.04 -10.02 -0.22 -5.88 -7.64 2.98 -2.74 -8.59 0.71 3.30 -9.91 -4.15 -7.67 -5.87 2.75 -5.26 -9.14 3.55 -7.03 -7.04 3.22 -2.73 -9.80 1.65 2.04 -11.02 -2.00 -6.14 -6.51 1.56 -5.57 -9.80 4.23 -2.12 -10.67 1.35 -3.32 -10.43 2.25 5.38
-9.94
-7.02
Lampiran 6.g. (Lanjutan) Rangking 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Kabupaten/Kota Kuningan Pekalongan Rembang Pati Majalengka Batang Ciamis Banyumas Brebes Ngawi Ponorogo Subang Magelang Banjarnegara Tasikmalaya Sragen Bondowoso Purbalingga Temanggung Sampang Trenggalek Demak Pemalang Wonogiri Tegal Kebumen Pamekasan Wonosobo Grobogan Blora Pacitan
Perbedaan Produktivitas (Xi – Xjawa) -11.63 -11.68 -11.73 -11.98 -12.19
Komponen Shift Share Industrial Productivity Allocative Mix Different -4.05 -9.86 2.27 3.48 -10.87 -4.29 -5.68 -10.83 4.78 -1.33 -11.64 0.98 -2.16 -11.49 1.46
-12.50 -12.57 -12.60 -12.68 -12.72 -12.78 -12.84 -12.87 -12.93 -13.00
-0.59 -2.42 0.56 -5.05 -7.10 -4.64 -3.47 -3.28 -4.39 -2.72
-12.04 -12.10 -12.12 -11.30 -10.28 -10.82 -6.83 -12.10 -11.42 -11.58
0.13 1.94 -1.03 3.68 4.66 2.68 -2.55 2.51 2.88 1.30
-13.04 -13.05 -13.06 -13.09 -13.14 -13.42 -13.45
-2.87 -6.34 -0.41 -0.87 -8.54 -6.38 -2.59
-12.49 -9.62 -10.78 -12.32 -6.80 -8.95 -12.92
2.32 2.90 -1.87 0.10 2.21 1.92 2.06
-13.50 -13.58 -13.84
-2.38 -6.78 -0.14
-12.43 -11.80 -13.15
1.31 5.01 -0.55
-14.10 -14.12 -14.16 -14.66 -14.75 -14.90
-1.59 -7.36 -4.05 -5.00 -6.82 -6.32
-13.37 -12.07 -13.49 -13.62 -13.67 -12.56
0.86 5.31 3.38 3.96 5.74 3.98
Lampiran 7. Output Hasil Regresi Spasial Lag dan Spatial Error OUTPUT SPATIAL LAG (SAR) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Industry-Mix Component Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9557 corr-squared = 0.0514 sigma^2 = 37.4964 Nobs,Nvar,#FE = 920, 2, 116 log-likelihood = -2979.8949 # of iterations = 1 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 0.4060 time for optimiz = 0.0000 time for lndet = 0.3120 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability IM 0.926265 6.772003 0.000000 W*dep.var. 0.444993 8.005170 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2566.5592, 115, 0.0000 Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9492 corr-squared = 0.2659 sigma^2 = 42.9848 Nobs,Nvar = 920, 3 log-likelihood = -3316.8984 # of iterations = 4 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 1.8120 time for optimiz = 1.7350 time for lndet = 0.2960 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan 0.313157 0.133011 0.894185 IM 1.088032 7.770143 0.000000 W*dep.var. 0.433968 7.738106 0.000000 teta 0.091837 10.757641 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1892.5523, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 29.6942, 2, 0.0000
Lampiran 7. (Lanjutan) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Productivity Differential Component Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9719 corr-squared = 0.4080 sigma^2 = 23.7584 Nobs,Nvar,#FE = 920, 2, 116 log-likelihood = -2766.8304 # of iterations = 1 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 0.3910 time for optimiz = 0.0160 time for lndet = 0.2970 time for t-stats = 0.0320 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability PD 0.735032 24.667837 0.000000 W*dep.var. 0.348983 7.073978 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 1168.3821, 115, 0.0000 Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9671 corr-squared = 0.8609 sigma^2 = 27.8361 Nobs,Nvar = 920, 3 log-likelihood = -3064.7397 # of iterations = 100 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 45.1090 time for optimiz = 45.0160 time for lndet = 0.2820 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan 0.416515 0.333182 0.738997 PD 0.864143 29.584994 0.000000 W*dep.var. 0.273970 5.565107 0.000000 teta 0.139179 10.801410 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 572.5636, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 876.5984, 2, 0.0000
Lampiran 7. (Lanjutan) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Allocative Component Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9662 corr-squared = 0.3108 sigma^2 = 28.6327 Nobs,Nvar,#FE = 920, 2, 116 log-likelihood = -2852.6196 # of iterations = 1 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 0.5310 time for optimiz = 0.0160 time for lndet = 0.3910 time for t-stats = 0.0470 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability AL 0.663100 18.798001 0.000000 W*dep.var. 0.346999 6.283612 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2324.9766, 115, 0.0000 Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9612 corr-squared = 0.5307 sigma^2 = 32.8061 Nobs,Nvar = 920, 3 log-likelihood = -3191.9333 # of iterations = 4 min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 1.8440 time for optimiz = 1.7500 time for lndet = 0.2970 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan 0.157622 0.075236 0.940027 AL 0.709702 19.096330 0.000000 W*dep.var. 0.347999 6.323666 0.000000 teta 0.090170 10.756439 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1646.3492, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 15.4034, 2, 0.0005
Lampiran 7. (Lanjutan) OUTPUT SPATIAL ERROR (SEM) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Industry-Mix Component Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9517 corr-squared = 0.0502 sigma^2 = 37.5210 log-likelihood = -2980.4779 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 17 min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 14.3130 time for optimiz = 13.6720 time for lndet = 0.4680 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability IM 0.933516 6.691140 0.000000 spat.aut. 0.454993 8.085214 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2579.4085, 115, 0.0000 Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9492 corr-squared = 0.2426 sigma^2 = 42.9508 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3313.4732 # of iterations = 4 min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 1.7960 time for optimiz = 1.5000 time for eigs = 0.1100 time for t-stats = 0.0780 *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan 1.076345 0.500654 0.616615 IM 1.087751 7.682388 0.000000 spat.aut. 0.451695 7.472841 0.000000 teta 13.973105 9.544906 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1913.4178, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 40.8053, 2, 0.0000
Lampiran 7. (Lanjutan) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Productivity Differential Component Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9699 corr-squared = 0.4086 sigma^2 = 23.5359 log-likelihood = -2765.4708 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 17 min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 13.1090 time for optimiz = 12.7820 time for lndet = 0.2970 time for t-stats = 0.0150 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability PD 0.740538 24.896437 0.000000 spat.aut. 0.438969 7.605079 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 1227.1336, 115, 0.0000 Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9680 corr-squared = 0.8778 sigma^2 = 27.0957 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3069.9502 # of iterations = 5 min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 0.3750 time for optimiz = 0.2970 time for eigs = 0.0160 time for t-stats = 0.0320 *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan -1.285059 -0.980169 0.327003 PD 0.814515 28.071363 0.000000 spat.aut. 0.432466 6.942489 0.000000 teta 8.102066 9.478253 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 618.1747, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 127.6984, 2, 0.0000
Lampiran 7. (Lanjutan) Data Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja dengan The Allocative Component Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9641 corr-squared = 0.2941 sigma^2 = 29.0627 log-likelihood = -2859.4397 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 16 min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 13.9220 time for optimiz = 13.5620 time for lndet = 0.3130 time for t-stats = 0.0320 No lndet approximation used *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability AL 0.661686 18.475513 0.000000 spat.aut. 0.350993 5.363660 0.000000 LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2338.7662, 115, 0.0000 Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas R-squared = 0.9607 corr-squared = 0.5100 sigma^2 = 33.2388 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3199.365 # of iterations = 4 min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 0.3750 time for optimiz = 0.2650 time for eigs = 0.0160 time for t-stats = 0.0470 *************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability konstan 1.122040 0.561615 0.574379 AL 0.689778 18.410311 0.000000 spat.aut. 0.347695 4.950022 0.000001 teta 15.762693 9.535938 0.000000 LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1658.9157, 1, 0.0000 Hausman test-statistic, degrees of freedom and probability = 6.5328, 2, 0.0381