Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan Bisecting K-Means Dila Fitriani Azuri*, Zulhanif, Resa Septiani Pontoh Departemen Statistika, FMIPA Universitas Padjadjaran *E-mail:
[email protected] Abstrak Pemaknaan gender pada pembangunan manusia berbasis gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan serta atribut yang dikontruksikan secara sosial. Perbedaan ini tidak menjadi masalah bila disertai keadilan, namun dalam kenyataannya terjadi ketidakadilan gender. Indikator untuk evaluasi pembangunan berbasis gender, yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Nilai IPG dan IDG pada setiap Kabupaten/Kota di pulau Jawa masih terjadi ketimpangan yang menandakan belum terjadinya pemerataan pembangunan yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Salah satu prasyarat keberhasilan program pembangunan bergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Pada penelitian ini digunakan Bisecting K-means untuk pengelompokkan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dari penelitian didapatkan 3 klaster yang terbentuk baik pada laki-laki ataupun perempuan. Pada klaster laki-laki, klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai silhouette coefficient pada klaster laki-laki yaitu 0,3. Sedangkan pada klaster perempuan yaitu dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai silhouette coefficient pada klaster perempuan yaitu 0,26. Baik pada klaster perempuan ataupun laki-laki, klaster yang terbentuk masih tergolong lemah. Kata Kunci: Bisecting K-means, Metode Elbow, Pembangunan Manusia Berbasis Gender, Radial Plot, Silhouette Coefficient
1.
kebijakan dan strategi pembangunan bisa tepat sasaran dan tepat guna. Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat bergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area (Basri, 1995, seperti dikutip Yulianto, 2014). Salah satu teknik pengelompokkan yaitu clustering. Clustering merupakan proses mengelompokkan objek ke dalam sebuah klaster, objek yang berada pada klaster sama memiliki kemiripan tinggi (Hair dkk., 2010). Dalam clustering terdapat dua metode, yaitu metode hirarki dan metode non hirarki. Metode hirarki memiliki kelemahan yaitu tidak cocok untuk data dengan jumlah observasi yang besar (Hair dkk., 2010). Sedangkan metode non hirarki dapat digunakan untuk data yang berjumlah besar (Johnson dan Wichern, 2007:696). Salah satu pendekatan dari metode non hirarki adalah Bisecting K-means. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai metode ini. Bisecting Kmeans merupakan jenis lain dari K-means. Bisecting K-means lebih baik daripada K-means dan sama baik atau lebih baik daripada metode hirarki (Steinbatch dkk., 2000:1). Bisecting Kmeans menghasilkan klaster yang seragam (memiliki ukuran yang sama), tidak menghasilkan empty cluster, waktu perhitungan lebih cepat, tingkat akurasi lebih baik, dan lebih efisien jika jumlah klaster bertambah (Patil dan Khan, 2015:40).
Pendahuluan
Pembangunan manusia berbasis gender merupakan salah satu indikator yang menjadi perhatian dunia. Pemaknaan gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan ini tidak menjadi masalah bila disertai keadilan antar keduanya. Namun kenyataannya telah terjadi ketidakadilan gender, dimana salah satu jenis kelamin mengalami diskriminasi. Untuk menghilangkan ketidakadilan gender maka diperlukan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses bermasyarakat dan bernegara (BPS, 2015). Indikator untuk evaluasi pembangunan berbasis gender yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). IPG dapat mengukur kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan serta IDG dapat mengukur persamaan peranan perempuan dan lakilaki dalam pengambilan keputusan, politik, dll. Namun pada kenyataannya masih terjadi ketimpangan IPG dan IDG, dimana masih terdapat Kabupaten/Kota yang memiliki IPG atau IDG tertinggi atau terendah. Hal ini menandakan belum adanya pemerataan pembangunan manusia berbasis gender yang tentu bertentangan dengan tujuan pembangunan di Indonesia, yaitu adanya pemerataan hasil pembangunan yang dapat dirasakan oleh seluruh penduduk. Untuk melaksanakan program pembangunan perlu adanya identifikasi berdasarkan indikator pembangunan manusia berbasis gender agar dalam mengambil 78
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
dengan menggunakan K-means dan mengikuti aturan dibawah ini:
2. Metode 2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data dari publikasi Badan Pusat Statistik dengan judul Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2015. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa berjumlah 119 dan variabel yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah enam variabel, yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, pengeluaran per kapita, keterwakilan di parlemen, dan profesi sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, dan teknisi.
3. Hitung centroid dari ML dan MR, yaitu . 4. Jika
dan
Namun, jika ulangi langkah ke-2.
berhenti. dan
dan
2.2.3 Silhouette Coefficient Setelah dilakukan pengelompokkan, maka selanjutnya mengevaluasi hasil pengelompokkan menggunakan validasi klaster. Validasi klaster dilakukan untuk mengukur seberapa baik hasil pengelompokkan yang didapat. Dalam penelitian ini digunakan salah satu internal validation index yaitu Silhouette Coefficient. Dengan langkah sebagai berikut (Kaufman dan Rousseeauw, 2005):
2.2 Metode Analisis Data 2.2.1 Metode Elbow Sebelum melakukan pengelompokkan, sama seperti K-means, pada Bisecting K-means jumlah klaster ditentukan terlebih dahulu. Penentuan jumlah klaster menggunakan metode Elbow. Penentuan jumlah klaster pada metode ini dapat dihasilkan dari perbandingan hasil SSE (Sum of Square Error) pada masing-masing jumlah klaster dengan rumus SSE sebagai berikut (Irwanto dkk., 2012, seperti dikutip Merliana, 2015:17):
1. Hitung nilai silhouette dengan rumus sebagai berikut:
dengan, a(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek di klaster A b(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek pada klaster lain Nilai silhouette berada pada interval −1 ≤ s(i) ≤ 1. Tabel berikut menyajikan interpretasi nilai silhouette yang mengindikasikan derajat kepemilikan tiap objek.
dengan, = Nilai atau data pada objek ke-i = Centroid pada klaster 2.2.2 Bisecting K-means Setelah menentukan jumlah klaster lalu dilakukan pengelompokkan menggunakan Bisecting K-means. Bisecting K-means menggunakan centroid sebagai pusat klaster dan menggunakan nila rata-rata sebagai centroidnya. Misalkan terdapat set data matriks (dimana setiap kolom M, , adalah titik data) dibagi menjadi dua submatriks (subklaster) yaitu dan dan . Berikut merupakan langkah-langkah Bisecting K-means (Savaresi dkk., 2000:2): 1. Inisialisasi. Pilih point atau titik data, misal ; lalu hitung centroid (w) dari matriks M,
dan
Tabel 1. Interpretasi Nilai Silhouette
Silhouette Nilai s(i) mendekati -1 Nilai s(i) berada di sekitar 0 Nilai s(i) mendekati 1
Interpretasi Menunjukkan bahwa jarak a(i) lebih besar daripada b(i). Sehingga objek i seharusnya berada di klaster B. Menunjukkan bahwa a(i) dan b(i) sama. Artinya objek i bisa masuk ke klaster A atau B. Menunjukkan bahwa jarak dalam a(i) lebih kecil dibanding jarak b(i). Hal ini menandakan bawah objek i memang berada pada klaster A.
Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:85
dan
hitung sebagai . Dimana rumus untuk menghitung centroid (w) adalah sebagai berikut:
2.
3. dengan, N = Jumlah objek = Kolom ke-j pada M 2. Bagi matriks menjadi dua subklaster, yaitu ML dan MR 79
Menghitung nilai silhouette width, yaitu nilai rata-rata silhouette pada semua objek yang berada dalam masing-masing klaster. Menghitung nilai Silhouette Coefficient.
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
Tabel 2. Interpretasi Nilai Silhouette Coefficient
Silhouette Coefficient 0,71-1,00 0,51-0,70 0,26-0,50 ≤ 0,25
Tabel 3. Hasil Pengelompokkan menggunakan Bisecting Kmeans untuk Jenis Kelamin Laki-laki
Interpretasi Klaster yang kuat Klaster telah layak atau sesuai Klaster yang lemah Tidak dapat dikatakan sebagai klaster
Sum Square Error Jumlah Anggota Anggota
Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:88
2.2.4 Interpretasi dan Profiling Klaster Setelah validasi klaster yang telah terbentuk, selanjutnya dilakukan interpretasi dan profiling klaster. Tahap interpretasi klaster merupakan tahap memberikan label yang dapat mendeskripsikan klaster tersebut dan tahap profiling klaster yaitu memahami karakteristik yang membedakan masing-masing klaster (Hair dkk., 2010: 513). Untuk tahap profiling dari klaster yang telah terbentuk dapat menggunakan Radial Plot. Radial Plot merupakan cara yang paling efektif untuk menampilkan profil klaster (Williams, 2014:29).
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
75.0314
98.5433
105.1935
32
43
44
Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Kota Bogor Kota Sukabumi
Sukabumi
Kep. Seribu
Cianjur
Bogor
Bandung
Ciamis
Garut
Kuningan
Tasikmalaya
Sumedang
Cirebon Majalengka
Bekasi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Cilacap Banyumas Purworejo Boyolali
Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi
4.
Hasil dan Pembahasan Satuan pada variabel yang digunakan berbedabeda. Oleh karena itu perlu dilakukan standarisasi data, salah satunya menggunakan z-score. Setelah proses standarisasi dilakukan selanjutnya menentukan jumlah klaster. Dalam penelitian ini jumlah klaster yang akan dibentuk yaitu sebanyak 3 klaster. Dimana akan dibedakan klaster untuk jenis kelamin laki-laki dan klaster untuk jenis kelamin perempuan. Adapun dalam komputasinya menggunakan software R dan Python.
Karanganyar Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Tegal Bantul Sleman Kota Yogyakarta Sidoarjo Gresik Kota Kediri Kota Malang
4.1 Klaster untuk Jenis Kelamin Laki-laki Dengan menggunakan algoritma Bisecting Kmeans maka didapatkan hasil pengelompokkan Seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat anggota pada masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai sum sequared error terbesar yaitu pada klaster 3 dan terkecil yaitu pada klaster 1. Setelah melakukan pengelompokkan selanjutnya lakukan validasi klaster menggunakan silhouette coefficient untuk melihat hasil dari pengelompokkan yang telah dilakukan. Pada Gambar 1 dapat dilihat hasil dari Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient yaitu sebesar 0,3. Hal ini menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster yang lemah. Dapat dilihat pada masing-masing klaster masih terdapat nilai silhouette Kabupaten/Kota yang bernilai negatif, yang artinya masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada pada klaster tersebut namun berada klaster itu.
Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan
Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bandung Barat Pangandaran Purbalingga Banjarnegara Kebumen Wonosobo Magelang Blora Rembang Temanggung Batang Pemalang Tegal Brebes Pacitan Trenggalek Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Ngawi Bojonegoro Tuban Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Pandeglang Lebak Serang
80
Klaten Sukoharjo Wonogiri Sragen Grobogan Pati Kudus Jepara Demak Semarang Kendal Pekalongan Kota Pekalongan Kulon Progo Gunung Kidul Ponorogo Tulungagung Blitar Kediri Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Lamongan Kota Blitar Kota Probolinggo Kota Pasuruan Tangerang Kota Cilegon Kota Serang
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
4.2 Klaster untuk Jenis Kelamin Perempuan Berikut merupakan hasil pengelompokkan dengan menggunakan algoritma Bisecting Kmeans untuk data jenis kelamin perempuan yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengelompokkan menggunakan Bisecting Kmeans untuk Jenis Kelamin Perempuan
Sum Square Error Jumlah Anggota Anggota
Gambar 1. Plot Silhouette untuk Klaster Laki-laki
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
99.0563
95.4478
82.9358
42
42
35
Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara
Kota Sukabumi Kota Bandung
Kota Jakarta Selatan
Kota Cirebon
Karanganyar Kota Magelang
Kota Bogor Kota Semarang Kota Malang Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya
Gambar 2. Radial Plot untuk Klaster Laki-laki
Dapat dilihat pada Gambar 2 menunjukkan Kabupaten/Kota yang tergabung dalam klaster 1 memiliki angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada klaster 1 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu ratarata lama sekolah. Artinya bahwa pada Kabupaten/Kota tersebut penduduk laki-laki banyak yang menempuh pendidikan. Sedangkan variabel yang memiliki nilai terkecil yaitu ketenagakerjaan sebagai profesional, teknisi, administrasi walaupun tidak paling kecil dibandingan dengan klaster lain. Jadi pada klaster 1 ini berisi Kabupaten/Kota yang memiliki angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita tertinggi dibanding klaster lain, namun memiliki keterwakilan di parlemen yang paling rendah dibanding Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada klaster 2 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu ratarata lama sekolah. Artinya bahwa memang pada laki-laki Kabupaten/Kota yang berada pada klaster 2 lebih berminat dalam dunia politik daripada bersekolah. Sedangkan pada klaster 3, variabel keterwakilan ketenagakerjaan merupakan variabel dengan nilai yang tertinggi dibandingkan dengan variabel lain dan dibandingan dengan nilai keterwakilan di parlemen pada klaster lain. Sedangkan yang terendah yaitu variabel keterwakilan di parlemen.
Kota Batu Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Bandung Barat Pangandaran Banjarnegara Tegal Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Ngawi Bojonegoro Tuban Bangkalan Pamekasan Sumenep Boyolali Wonogiri Semarang Gunung Kidul Ponorogo Tulungagung Blitar Kediri Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Kota Pasuruan Tangerang Kota Serang
81
Kota Depok Kota Cimahi Kota Surakarta Kota Salatiga
Kota Bekasi
Sidoarjo Sukabumi Cianjur
Kota Tegal Bantul Sleman Kota Yogyakarta
Garut Majalengka Indramayu
Gresik
Karawang
Kota Kediri
Purbalingga
Bandung Tasikmalaya Cirebon Subang Magelang Blora Trenggalek Lumajang Jember Banyuwangi Sampang Pandeglang Kuningan Sumedang Bekasi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Cilacap Banyumas Purworejo Kudus Jepara Kendal Pekalongan Kota Pekalongan Kulon Progo Magetan Lamongan Kota Probolinggo
Kebumen Wonosobo Rembang Temanggung Batang Pemalang Brebes Pacitan Malang Lebak Serang Kep. Seribu Bogor Ciamis Klaten
Purwakarta
Sukoharjo Sragen Grobogan Pati Demak Kota Blitar Kota Cilegon
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
Pada Tabel 4 dapat dilihat anggota pada masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai sum squared error terbesar yaitu pada klaster 1 dan terkecil yaitu pada klaster 3. Setelah melakukan pengelompokkan selanjutnya lakukan validasi klaster menggunakan silhouette coefficient untuk melihat hasil dari pengelompokkan yang telah dilakukan.
klaster 1, variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah serta variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen. Sedangkan kondisi pada klaster 2 merupakan kebalikan dari klaster 1. Dimana variabel keterwakilan di parlemen merupakan variabel yang memiliki nilai paling besar dan variabel yang memiliki nilai paling kecil yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu variabel harapan lama sekolah dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan perempuan diparlemen. Tabel 5. Perbandingan Variabel yang Memiliki Nilai Tertinggi dan Terendah pada Masing-masing Klaster Berdasarkan Jenis Kelamin Klas ter 1
35 | 0.26
2
3
Gambar 3. Plot Silhouette untuk Klaster Perempuan
Klaster Laki-laki Tertinggi Terendah Rata-rata Ketenagalama kerjaan sekolah KeterwakilRata-rata an di lama parlemen sekolah KetenagaKeterwakilkerjaan an di parlemen
Klaster Perempuan Tertinggi Terendah Rata-rata Keterwakillama an di sekolah parlemen KeterwakilRata-rata an lama diparlemen sekolah Harapan Keterwakillama an di sekolah parlemen
Dapat dilihat dalam Tabel 5 bahwa terdapat kesamaan variabel tertinggi ataupun terendah pada klaster walaupun Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam klaster yang berdasarkan jenis kelamin berbeda-beda. Pada klaster 1 baik itu klaster lakilaki atau perempuan, variabel yang memiliki nilai tertinggi adalah rata-rata lama sekolah. Pada klaster 2 baik itu untuk klaster laki-laki ataupun perempuan memiliki kesamaan pada variabel yang memiliki nilai tertinggi atau terendah. Variabel yang memiliki nilai tertinggi adalah keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu rata-rata lama sekolah. Pada klaster 3 memiliki kesamaan pada variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen.
Pada Gambar 3 dapat dilihat hasil dari Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient yaitu sebesar 0,26. Hal ini menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster yang lemah. Hal ini disebabkan karena masih terdapat nilai silhouette Kabupaten/Kota pada masing-masing klaster yang bernilai negatif. Artinya masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada pada klaster tersebut namun berada klaster itu.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan baik hasil pengelompokkan pada jenis kelamin perempuan ataupun laki-laki memiliki nilai silhouette yang tidak terlalu baik. Dimana nilai tersebut menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk adalah klaster yang lemah. Hal ini dikarenakan masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada dalam klaster tersebut yang akan menyebabkan nilai silhouette yang didapat menjadi kecil. Pada klaster laki-laki terbentuk 3 klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Pada klaster 1 variabel yang
Gambar 4. Radial Plot untuk Klaster Perempuan
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa klaster 1 memiliki nilai tertinggi pada semua variabel apabila dibandingkan dengan klaster 2 dan 3. Artinya Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam klaster 1 ini memiliki nilai angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, pengeluaran per kapita, keterwakilan di parlemen, dan ketenagakerjaan paling baik bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada 82
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016 “Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan” Jatinangor, 27-28 Oktober 2016 ISBN 978-602-72216-1-1
memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan variabel yang memiliki nilai terkecil yaitu ketenagakerjaan sebagai profesional, teknisi, administrasi. Pada klaster 2 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3, variabel keterwakilan ketenagakerjaan merupakan variabel dengan nilai yang tertinggi dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu variabel keterwakilan di parlemen. Pada klaster perempuan terbentuk 3 klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Pada klaster 1, variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah serta variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen. Pada klaster 2, variabel keterwakilan di parlemen memiliki nilai paling besar dan variabel yang memiliki nilai paling kecil yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu variabel harapan lama sekolah dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan perempuan diparlemen. Dengan diketahuinya nilai variabel yang masih kurang pada masing-masing klaster, diharapkan pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan nilai variabel tersebut. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu mencoba menggunakan validasi klaster yang lain, tidak hanya bergantung pada satu metode validasi klaster agar dapat dibandingkan. Serta untuk profiling klaster dapat dicobakan analisis diskriminan.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistika dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak. 2015. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2015. Pulau Jawa: CV. Lintas Khatulistiwa. Hair, Joseph F., Ronald L. Tatham, Rolph E. Anderson, dan William Black. 2010. Multivariate Data Analysis seventh edition. New Jersey: Prentice-Hall. Johnson, Richard, dan Dean Wichern. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis (6th ed.). New Jersey: Person Prentice Hall. Kaufman, L., & Rousseeauw, P. J. 2005. Finding Groups in Data: An Introduction to Cluster Analysis. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Merliana, Ni Putu Eka. 2015. Perbandingan Metode K-means dengan Fuzzy C-means untuk Analisa Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Kunjungan ke Perpustakaan. Tesis. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Patil, Ruchika R., dan Amreen Khan. 2015. Bisecting K-means for Clustering Web Log Data. International Journal of Computer Applications, Volume 116- No.19. Savaresi, Sergio M., Daniel L. Boley, Sergio Bittanti, dan Giovanna Gazzaniga. 2000. Choosing the Cluster to Split in Bisecting Divisive Clustering Algorithm. Steinbatch, M., George Karypis, dan Vipin Kumar. 2000. A Comparison of Document Clustering Techniques. Proceedings of World Text Mining Conference, KDD2000, Boston. Williams, Graham. 2014. Data Science with R Cluster Analysis. Springer Yulianto, Safa’at, dan Kishera H. Hidayatullah. 2014. Analisis Klaster untuk Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat. Statistika, Vol.2, No.1
Ucapan Terima Kasih Terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu secara substansi maupun finansial.
83