Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Tim Peneliti Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara 2016 i
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. © Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2016
Editor: Rusman Nurjaman Tim Penulis: Riyadi, Ani Suprihartini, Rusman Nurjaman, Suryanto, Widhi Novianto, Edy Sutrisno, Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat, Tri Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti Utami. Desain Sampul: Mustofa Layout: Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat
Diterbitkan oleh: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Jalan Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. 021 3868201-05 Ext. 112-116, Fax. 021 3866857 Email:
[email protected] Website: dkk.lan.go.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Rusman Nurjaman (Editor). Cetakan I, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah LAN RI, Jakarta ISBN: 978-979-1301-35-0 Ukuran buku : 17,6 x 25 cm ii
Sambutan
Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, selaku Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, saya menyambut baik dan menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para peneliti dan staf Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan, yang telah melaksanakan kajian tentang model dan instrumentasi kebijakan hubungan kewenangan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan daerah) dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. Distribusi uang negara (APBN) untuk desa, sebagaimana diamanatkan UU No. 6/2014 tentang Desa (UU Desa), merupakan stimulus untuk membangun desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Tugas pemerintah desa adalah bagaimana me nempatkan Dana Desa tersebut sebagai instumen untuk mewujudkan cita-cita di atas. Tentunya sebagai bagian dari hak keuangan desa, sebagaimana diatur dalam UU, pengelolaan Dana Desa bertumpu pada akuntabilitas lokal. Dengan memperhatikan kondisi desa yang beragam, pengelolaan Dana Desa harus disesuaikan juga dengan kapasitas pemerintah (perangkat) desa berdasarkan tipologi desa, baik antara desa-desa di Jawa maupun di luar Jawa. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem pengelolaan keuangan desa, termasuk Dana Desa, yang sederhana namun menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengelolaannya. Terkait dengan peran supradesa dalam pengelolaan Dana Desa, UU Desa sudah memberikan suatu pedoman umum. Namun menjadi penting untuk memeriksa kembali seluruh peraturan teknis pelaksanaan UU tersebut, terlebih ketika hendak melihat bagaimana hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan peme rintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. Dan, inilah yang menjadi sumbangan dari kajian ini. Setelah dua tahun, implementasi UU Desa memang perlu ditengok kembali dan direfleksikan ulang. Berbagai capaian penting tentu harus menjadi inspirasi dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan. Sebaliknya, berbagai hamiii
batan yang muncul karena satu dan lain hal, seperti fragmentasi regulasi, misalnya, maka jelas hal ini membutuhkan perbaikan segera agar pengelolaan Dana Desa dapat berjalan efektif-efisien, transparan dan akuntabel sehingga dapat mengakse lerasi terwujudnya cita-cita Undang-Undang. Semangat dan orientasi serupa itulah yang melatarbelakangi dilakukannya kajian ini. Akhirnya, melalui kajian ini, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah berusaha memberikan suatu rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah, serta para pihak terkait, untuk memperkuat pelaksanaan implementasi UU Desa, terutama dalam pengelolaan Dana Desa. Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat dan turut memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dan seluruh para pihak pemangku kepentingan lainnya. Jakarta, Desember 2016
iv
Dr. Muhamad Taufiq, DEA
Kata Pengantar Bismillahirrohmaanirrahiim. Assalamu’alakium warhmatullahi wabarakaatu. Genap dua tahun sudah implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa berjalan. Dalam rentang waktu tersebut, terdapat banyak capaian penting yang berharga terkait praktik-praktik implementasi UU Desa dari seluruh pelosok tanah air. UU No. 6/2014 tentang Desa menegaskan tentang eksistensi desa dan desa adat, sistem pemerintahan dan tatakelola desa, kewenangan, aset desa, keuangan desa, pembangunan, perencanaan dan penganggaran. Dari sekian banyak permasalahan tentang Desa, masalah keuangan Desa menjad salah satu hal yang sangat penting, mengingat Pemerintah saat ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap Desa, salah satunya dengan diberikannya Dana Desa secara signifikan. Karena itulah, maka fokus kajian PKDOD LAN kali ini menyangkut keuangan desa, khususnya yang berasal dari redistribusi uang negara melalui skema transfer langsung dari APBN untuk desa atau yang disebut Dana Desa sebagai salah satu amanat UU Desa. Dana Desa merupakan salah satu instrumen atau stimulan dari misi besar UU Desa untuk membangun desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Meskipun bersifat transfer dari APBN, namun Dana Desa bukan bersifat bantuan namun merupakan hak desa, yang dianggarkan ke dalam APBDes (“Rezim Desa”) untuk membiayai kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal desa, baik di bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Kajian ini menaruh perhatian pada pengelolaan Dana Desa, peran pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota), dan pengaturan teprkait pengelolaan dana tersebut, terutama dari sisi hubungan kewenangan antar level pemerintahan. Memang menjadi penting untuk melihat sejauhmana berbagai peraturan yang ada saat ini telah sejalan dengan semangat UU Desa yang bertumpu pada asas rekognisi dan subsidiaritas. Kajian ini juga berangkat dari suatu keaadaan terkait munculnya berbagai kesangsian publik tentang efektivitas pengelolaan Dana Desa (DD). Jika merujuk pada UU Desa, pengelolaan Dana Desa bertumpu pada akuntabilitas lokal. Oleh karena itu, dari sisi regulasi, menjadi penting untuk menelisik lebih jauh bagaimana konsistensi antara UU dan regulasi turunannya, baik di level Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah/Kepala Daerah. v
Adapun dari sisi kelembagaan, kajian ini menelisik bagaimana peluang untuk mengoptimalkan perangkat kecamatan dalam menjambatani relasi pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa, khususnya dalam pengelolaan Dana Desa. Untuk itu, penting dilihat sajauhmana mata rantai peraturan yang ada dari pusat hingga daerah dalam menempatkan dan mengoptimalkan peran kecamatan tersebut. Sebagai upaya dalam memberi rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah dan para pihak terkait isu di atas, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PKDOD), pada tahun ini melakukan kajian mendalam tentang hubungan kewenangan antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa. Kajian ini mengembangkan analisis dengan bertumpu pada berbagai konsepsi yang relevan, pemetaan regulasi, dan kondisi faktual hubungan kewenangan dalam pengelolaan dana desa. Untuk menjawab berbagai persoalan yang ada, baik di level substansi maupun implementasi kebijakan, kajian ini juga menawarkan suatu model ideal dalam pengelolaan Dana Desa berdasarkan perspektif hubungan kewenangan antar level pemerintahan, beserta instumentasi kebijakan untuk mewujudkan model tersebut. Sebagai bagian dari komitmen PKDOD dalam mengawal imlementasi UU Desa, kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak terkait dalam melaksanakan UU Desa. Sehubungan dengan hal tersebut, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada Kepala LAN, yang telah memberikan dukungan dan support kebijakannya dengan memberikan kesempatan kepada kami untuk mengkaji permasalahan ini. Terima kasih pula kepada Deputi Kajian Kebijakan, Bapak Dr. Muhammad Taufiq, DEA yang telah memberikan dorongan dan arahannya. Seluruh anggota Tim Kajian yang telah berupaya keras untuk mewujudkan dan melaksanakan kegiatan secara optimal, saya sampaikan penghargaan dan apresiasinya. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan pula kepada seluruh narasumber, lembaga mitra (lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil), dan para pihak lainnya yang, dengan caranya masing-masing, telah ikut berkontribusi dan membantu proses penyusunan laporan kajian ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat bagi upaya pencarian solusi atas berbagai isu dan tantangan dalam pelaksanaan UU Desa sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Amien. Jakarta, Desember 2016 Kepala Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara
vi
Daftar Isi
Sambutan Kepala LAN Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel dan Bagan Ringkasan Eksekutif
iv vi viii x xi
BAB I
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. PERTANYAAN PENELITIAN C. TUJUAN PENELITIAN D. MANFAAT DAN HASIL KAJIAN E. RUANG LINGKUP KAJIAN
BAB II
TINJAUAN KONSEPTUAL A. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Kedudukan dan Kewenangan Desa 2. Jenis-jenis Kewenangan 3. Sistem Rumah Tangga Otonom (RTO) 4. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (good village gov ernance) 5. Kebijakan Publik 6. Pemerintahan Desa dalam Perspektif Kebijakan Pu blik 7. Tipologi Desa B. KERANGKA PIKIR KAJIAN C. PENELITIAN TERDAHULU
11 11 11 13 15 18
METODOLOGI A. JENIS PENELITIAN B. METODE PENGUMPULAN DATA
31 31 32
BAB III
1 1 8 8 8 9
19 21 23 24 25
vii
BAB IV
BAB V
BAB VI
1. Kajian Literatur dan Pemetaan Kebijakan 2. Diskusi Terbatas 3. Wawancara Mendalam 4. Informan Kunci C. LOKUS DAN WAKTU PELAKSANAAN D. TEKNIK ANALISIS DATA E. DEFINISI OPERASIONAL
32 32 32 32 33 34 35
ANALISIS KEBIJAKAN DAN DATA LAPANGAN A. ANALISIS KEBIJAKAN B. ANALISIS DATA LAPANGAN 1. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa dan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa pada Desa Mandiri 2. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa dan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa pada Desa Pra Mandiri
37 38 55 56
MODEL DAN INSTRUMENTASI KEBIJAKAN HU BUNGAN KEWENANGAN PEMERINTAH DE SA DENGAN PEMERINTAH SUPRADESA DALAM PE NGELOLAAN DANA DESA A. ARAH PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLA AN DANA DESA 1. Desa Mandiri 2. Desa Pra-Mandiri B. INSTRUMENTASI KEBIJAKAN 1. Harmonisasi Kebijakan 2. Usulan Kebijakan (Policy Making Process)
79
PENUTUP A. KESIMPULAN B. USULAN REKOMENDASI
91 91 95
DAFTAR PUSTAKA Profil PKDOD viii
67
79 81 84 85 85 89
99
Daftar Tabel dan Bagan
Tabel 1.1 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Bagan 1.1 Bagan 2.1 Bagan 2.2 Bagan 4.1 Bagan 5.1
Prinsip dan Kewenangan Desa berdasarkan Periode Undang-Undang Lokus Kajian Tahapan Penelitian Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Keuangan Desa Menurut UU 6/2014 tentang Desa Tipologi Desa yang Menjadi Lokus Kajian Laporan Penggunaan Jalan Desa Ciburial Penggunaan Dana Desa tahun 2016 di 3 Kabupaten yang Menjadi Lokus Penggunaan Dana Desa Rangkasbitung Timur-Lebak, Banten Tahun 2016 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa (Mandiri) Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa (Pra-Mandiri) Matriks Harmonisasi Kebijakan tentang Pengelolaan Dana Desa
Peta Jalan (Road Map) Dana Desa 2015-2019 Hierarki Proses Kebijakan (The Policy Process as a Hierarchy) Kerangka Pikir Kajian Skema Analisis Kebijakan Hubungan Pemerintah Desa dan Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa Konstruksi Model Ideal Pengelolaan Dana Desa
4 35 36 47 57 66 76 79 84 86 90
2 21 24 50 82
ix
Executive Summary
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung misi besar membangun desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Amanat UU Desa kepada Pemerintah untuk memberikan alokasi dana dari APBN atau Dana Desa merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan misi itu. Jenis transfer dari APBN tersebut kemudian menjadi hak desa, yang dianggarkan dan diintegrasikan bersama jenis pendapatan desa lainnya ke dalam APBDes. Dengan demikian, Dana Desa digunakan untuk membiayai kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal desa dalam 4 bidang, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sebagai bagian dari rezim desa, pengelolaan Dana Desa seharusnya bertumpu pada akuntabilitas lokal. Hal ini juga ditegaskan dalam Desa juga (Pasal 18 dan Pasal 71 (1) b). Namun, berdasarkan telaah lebih lanjut atas pengaturan pengelolaan Dana Desa, terdapat ketidakselarasan (inkonsistensi) antara UU dan regulasi turunannya sehingga menimbulkan ambiguitas dalam pengelolaan Dana Desa itu sendiri. Pertama, PP No. 60/2014 mengatur prioritas penggunaan DD hanya untuk pembangunan dan pemberdayaan. Kedua, peran dan kewenangan kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa diatur secara berbeda antara PP No. 43/2014 dan Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Selain itu, muncul kerisauan publik terhadap efektivitas pengelolaan Dana Desa, yang sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah desa saja melainkan juga tanggung jawab pemerintah supra desa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). UU Desa menegaskan tanggung jawab dan peran pemerintah supradesa dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam pengelolaan Dana Desa. Salah satu pembelajaran penting dari pengalaman pengelolaan Alokasi Dana Desa, berdasarkan studi yang pernah ada sebelumnya, adalah bahwa efektivitas dan efisiensi pengelolaan Dana Desa akan sangat bergantung pada pola hubungan kewenangan yang terbangun antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa. UU Desa menegaskan bahwa dana desa menjadi salah satu sumber pendapatan desa, sekaligus menjadi hak dan kewajiban desa (“Rezim Desa”). UU Desa tidak memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang secara khusus mengatur Dana Desa. Kehadiran PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 secara khusus (eksklusif) mengatur hal ihwal tentang dana desa menyebabkan tidak terlaksananya mandat UU. Melalui PP 60/2014 dan Permendesa No 5/2015 dan Permendesa No. 21/2015, Pemerintah menentukan prioritas penggunaan Dana Desa hanya untuk pembangunan dan pemberdayaan. Padahal, menurut UU Desa, mandat kewenangan desa tidak hanya di bidang pembangunan dan pemberdayaan saja, melainkan juga menjalankan pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan desa. Dengan demikian, pengaturan pengelolaan Dana desa telah mendistorsi kewenangan desa. Hal ini karena penggunaan Dana Desa yang seharusnya ditentukan melalui proses deliberatif dalam musyawarah desa, telah ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat melalui Kemente x
rian Desa PDTT. Selain itu, juga terjadi perubahan paradigma dari “rezim desa” menjadi “rezim keuangan”, yang kemudian dikonstruksi menjadi proyek pemerintah masuk ke desa, dengan cara mengefektifkan (mengintegrasikan) seluruh program dan dana yang berbasis desa. Analisis terhadap hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan (regulasi), organisasi, dan operasional (empirik). Di tataran regulasi, selain peraturan yang sudah disebutkan di atas, juga muncul persoalan terkait pengaturan tentang kewenangan desa. Pertama, kewenangan desa belum berjalan optimal karena adanya dualisme pengaturan dari dua kementerian yang mengurusi desa, yaitu Permendesa PDTT No. 1 Tahun 2015 tentang Kewenang an berdasarkan hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dengan Permendagri No. 44 Tahun 2015 tentang Kewenangan Desa. Pada tataran organisasi, terdapat dualisme pengaturan tentang penggunaan dana desa. Selain mengacu pada RPJMDes dan APBDes dari hasil musyawarah desa yang bertumpu pada semangat self governing community, juga harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Prioritas penggunaan dana desa dibu at oleh Kemendes PDTT dan menjadi acuan utama pemdes dalam mengelola Dana Desa. Masalah lain muncul karena adanya dualisme pengaturan tentang kewenangan desa. Secara kelembagaan, pengaturan peran kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa hanya pada aspek perencanaan dan pertanggungjawaban. Sedangkan, pada aspek pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan tidak diatur. Kesemua fragmentasi itu kemudian bermuara pada tataran operasional/empiris. Rencana yang telah disusun oleh pemerintah desa tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT. Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa mengalami kesulitan dalam menyusun peraturan tentang daftar kewenangan desa. Alhasil, terdapat potensi penyimpangan pada perencanaan dan tahap pengelolaan Dana Desa selanjutnya (pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan). Ke depan, perlu dikembangkan suatu model yang memberi keleluasaan pada pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa sesuai dengan kewenangan, tantangan, dan kondisi empiris yang ada di desa. Hal ini seturut dengan asas UU Desa itu sendiri, yaitu rekognisi dan subsidiaritas, berdasarkan tipologi desa. Khusus untuk desa mandiri, pembinaan dan pengawasan (binwas) pemerintah supradesa diberikan secara proporsional. Sedangkan untuk desa pra mandiri, binwas dari kabupaten/kota harus diberikan secara intensif. Selain itu, perlu juga untuk memperkuat peran kecamatan dalam menjalankan binwas terhadap pengelolaan Dana Desa. Oleh karena itu, pendelegasian kewenangan kab/kota kepada kecamatan seharusnya juga diimbangi dengan penguatan kapasitas kecamatan itu sendiri, baik dalam aspek kelembagaan, anggaran, dan SDM. Sebagai instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan model ideal tersebut, perlu adanya penyelarasan atas sejumlah regulasi yang bermasalah sebagaimana dikemukakan di atas. Kemudian, perlu mendorong suatu kebijakan yang memberi keleluasaan pada pemerintah desa untuk memprioritaskan penggunaan Dana Desa berdasarkan prakarsa dan kondisi empiris di desa.[] xi
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Salah satu misi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) adalah memperkuat keuangan desa. Hal ini dilakukan antara lain melalui adanya kebijakan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk desa, atau yang disebut Dana Desa. Oleh karena itu, Dana Desa merupakan salah satu mandat UU sebagaimana tertuang dalam Pasal 72 yang berisi sumber-sumber pendapatan desa. Pasal 72 (1) menyebutkan tujuh sumber pendapatan desa, yaitu: 1) pendapatan asli desa; 2) alokasi APBN untuk desa atau Dana Desa; 3) bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota ; 4) alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota ; 5) bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota ; 6) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan; 7) lain-lain pendapatan desa yang sah. Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 72 (1) huruf b disebutkan bahwa Dana Desa diperuntukkan bagi “desa dan desa adat yang ditransfer melalui anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota yang digunakan untuk desa secara merata dan berkeadilan”. Mekanisme penyaluran Dana Desa tersebut, sejalan dengan logika peraturan perundang-undangan yang mengatur soal keuangan negara yang tidak memungkinkan Pusat melakukan transfer langsung ke desa, kecuali melalui penitipan pada APBD Kabupaten/Kota. Sementara itu, besaran alokasi anggaran Dana Desa tersebut ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah secara bertahap. Sayangnya dalam ketentuan lebih lanjut tentang Dana Desa, yaitu Peraturan Pemerintah No. 60/2014, tahapan besar an anggaran Dana Desa hingga mencapai 10% belum terakomodir. Namun, dalam dua tahun implementasi UU Desa memang besaran anggaran Dana Desa terus me ngalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2015, besaran Dana Desa mencapai Rp 20,7 triliun (3,23 %) yang disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Pada 2016, besaran Dana Desa adalah Rp 47,6 triliun (6,5 %). Sedangkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017, pagu Dana Desa tahun 2017 mencapai Rp 60 triliun, naik 27,7% dari pagu tahun 2016. Sehingga, rata-rata tiap desa pada tahun 2017 akan mendapat Rp 800 juta, meleset dari roadmap awal yang disusun oleh Kementerian Keuangan yang mengestimasi alokasi rerata per desa Rp 1 miliar (www.finansial.bisnis.com, 29 Agustus 2016). (Lihat Bagan 1.1) Masuknya dana yang berasal dari APBN ke desa sesungguhnya bukan hal baru. 1
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Bagan 1.1 Peta Jalan (Road Map) Dana Desa 2015-2019
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2015
Hanya saja, sebelumnya dana dari pusat masuk ke desa melalui berbagai macam saluran yang terfragmentasi dalam berbagai program K/L, sehingga menyulitkan baik pengawasan penggunaannya oleh masyarakat desa maupun mekanisme pengu kuran efektivitasnya (Zakaria, 2016; Sutoro Eko, 2015). Oleh karena itu, sebagai wujud komitmen negara dalam mensejahterakan desa, upaya memperkuat keuangan desa melalui Dana Desa setidaknya mengandung dua pengertian (Zakaria, 2016: 56). Pertama, selain memperbanyak sekaligus mengintegrasikan dana pembangunan yang masuk ke desa, Dana Desa dimaksudkan sebagai jawaban atas langka nya sumber-sumber pendanaan di desa sehingga menjadi sulit untuk meningkatkan kesejahteraan di desa. Tanpa akses pendanaan (baca: permodalan) yang memadai, masyarakat desa kesulitan untuk mengembangkan berbagai potensi ekonomi yang ada desa. Kedua, kebijakan Dana Desa dapat dimaknai sebagai bentuk kepercayaan kepada desa untuk mengelola sumber daya finansialnya secara lebih mandiri. Pertanyaanya yang muncul kemudian, seberapa besar kewenangan desa dalam mengelola sumber-sumber finansialnya secara mandiri? Terkait kewenangan desa, UU Desa berhasil membalikkan relasi desa dengan nega ra, termasuk di dalamnya aktor-aktor pemerintah supradesa (pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota ). Desa kini bukan lagi bagian dari rezim otonomi daerah sebagaimana diatur dalam regulasi sebelumnya mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU Desa, desa merupakan sebuah pemerintahan masyarakat yang bisa diatur melalui sistem yang beragam, termasuk desa adat (Shohibuddin, 2016). UU 2
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Desa memposisikan desa sebagai pemerintahan campuran (hibrid) dengan mema dukan semangat pemerintahan masyarakat (self governing community) dan pemerintahan lokal (local self government). Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang menempatkan kedudukan desa menurut prinsip local state government dimana desa secara hierarkis berada di bawah Kabupaten/Kota . Sehingga, karena desa tidak lagi berkedudukan di bawah Kabupaten/Kota , penugasan pemerintah supradesa kepada desa didasarkan pada asas kedudukan desa dalam sistem pemerintahan NKRI (FPPD, 2014). Selain itu, desa kini menyandang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Dengan kedudukan dan kewenangan baru yang diturunkan berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas tersebut, kini ada pengakuan dan penguatan terhadap eksistensi desa dan desa adat, serta penguatan kewenangan desa. Hal ini berarti terdapat kejelasan terkait status dan kedudukan desa yang perlu disambut sebagai suatu perubahan positif dalam riwayat pengaturan tentang desa dengan respon yang positif pula. Konstruksi pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan baru ini tentunya sangat berbeda dengan konstruksi peraturan perundang-undangan sebelumnya. Terhitung sejak UU No. 1 Tahun 1945 hingga UU No. 32 Tahun 2004 (PP No. 72 Tahun 2005), desa tidak memiliki posisi yang kuat. Hal ini karena pondasi yang mendasari kedudukan desa itu sendiri tidak kuat atau bahkan kabur. Sementara itu, pengaturan tentang desa memang tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Menurut Didik G. Suharto (2016: 252), implikasi dari ketidakjelasan kedudukan desa tersebut kemudian berpengaruh terhadap aspek-aspek lain, seperti kewenangan desa, hubungan desa denga supradesa, susunan pemerintahan desa, maupun akses terhadap sumber keuangan desa dan sumber-sumber daya lainnya. Dalam UU No. 32/2004, kedudukan desa berada dalam kesatuan hierarkis di bawah daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di Kabupaten/Kota. Dengan konstruksi residualitas yang menempatkannya sebagai bagian dari daerah, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Kabupaten/Kota. Konstruksi serupa ini bersifat residualitas karena hanya menempatkan desa sebagai penerima “sisa-sisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk alokasi Dana Desa. Sedangkan dalam UU No. 6/2014, desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota . Sebaliknya, UU No. 6/2014 tentang Desa mengatur kewenangan desa secara berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dalam dua hal pokok. Pertama, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan desa berdasarkan hak asal-usul desa, sedangkan UU No. 6/2014 menyatakan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul. Sekilas tampak bahwa kedua pengaturan tersebut mengandung substansi yang sama, hanya saja UU No. 32/2004 secara eksplisit membatasi pada urusan pemerintahan saja. Kedua, UU No. 32/2004 menyatakan urusan pemerintahan yang menjadi kewena ngan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, sedangkan UU No. 6/2014 menegaskan kewenangan lokal berskala desa. Selain itu, dalam UU No. 3
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
6/2014 desa juga mempunyai kewenangan yang ditugaskan pemerintah dan peme rintah supradesa, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah dan peme rintah supradesa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, serta kewenangan atributif. Dengan demikian, dari dua jenis kewenangan tersebut, kewenangan pertamalah yang membedakan secara jelas dan tegas antara kedua UU tersebut. (Selengkapnya lihat Tabel 1.1) Alokasi APBN untuk desa sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari kewenangan desa yang diakui dan ditetapkan dalam UU Desa dan dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, sejalan dengan asas rekognisi dan subsidi aritas, UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN dan APBD. Redistribusi uang negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi dan eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan negara terhadap desa (Sutoro Eko, 2015:41). Dilihat dari segi ini, keberadaan Dana Desa juga bukan bersifat “bantuan” melainkan mandat UU yang berupa distribusi uang negara untuk menjalankan kewenangan desa yang meliputi 4 bidang, yaitu: pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa, tidak bisa dipungkiri bahwa peTabel 1.1 Perbedaan Prinsip dan Kewenangan Desa berdasarkan Periode Undang-Undang Substansi
UU No. 5/1979 Prinsip penga Memperkuat turan tentang pemerintahan desa desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi yang meluas dan efektif
4
Periode Undang-Undang UU No. UU No. 22/1999 32/2004 Keanekaragam Keanekaragam an, partisipasi, an, partisipasi, otonomi asli, otonomi asli, demokratisasi, demokratisasi, dan pemberdan pemberdayaan masya dayaan masya rakat rakat
UU No. 6/2014 Rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyo ngan, kekelu argaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian partisipasi, ke setaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Substansi Kewenangan desa
Periode Undang-Undang UU No. UU No. UU No. 5/1979 22/1999 32/2004 Urusan di desa Kewenangan Urusan peyang bukan yang sudah ada merintahan urusan peme berdasarkan yang sudah ada rintah di atas hak asal usul berdasarkan hak nya dan tidak desa; kewena asal usul desa; bertentangan ngan yang dengan kepen oleh peraturan Urusan petingan umum. perundang-un- merintahan yang menjadi Melaksanakan dangan yang urusan-urusan berlaku belum kewenangan kabupaten/kota penugasan/ dilaksanakan yang diserahkan pendelegasian oleh daerah pengaturannya dari pemerintah dan pemerindi atasnya. tah; dan Tugas kepada desa; pembantuan Tugas pemdari pemerinbantuan dari tah, pemerintah Pemerintah, provinsi, dan/ pemerintah atau pemerintah provinsi, dan/ kabupaten. atau pemerintah kabupaten/ kota;
UU No. 6/2014 Kewenangan berdasarkan hak asal usul; Kewenangan lokal berskala desa; Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Peme rintah Kabupa ten/kota;
Kewenang an lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Peme Urusan peme rintah Daerah rintahan lainnya Kabupaten/ yang oleh pera- Kota sesuai turan perundengan ketendang-undangan tuan peraturan diserahkan perundang-unkepada desa dangan.
Sumber: PKDOD LAN RI, 2016.
r ubahan tentang status, prinsip atau asas, kedudukan, dan kewenangan desa, memun culkan persoalan: bagaimana kita harus mendefinisikan kembali hubungan pemerintah desa dan pemerintah supradesa (Kabupaten/Kota , provinsi, dan Pusat/K/L), khususnya dalam pengelolaan Dana Desa? Bagaimana peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung efektivitas pengelolaan Dana Desa? Dari sini tampak jelas adanya tuntutan untuk mereposisi kembali peran masing-masing aktor peme rintah supradesa dalam mendukung efektivitas pemerintahan desa, termasuk dalam pengelolaan Dana Desa..Kecuali kecamatan yang kini status kelembagaanya beru5
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
bah menjadi SKPD, peran masing-masing level pemerintahan supradesa sebenarnya telah jelas diatur dalam UU No. 6/2014. Namun bagaimana hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan lebih lanjut yang mengatur pelaksanaannya di lapangan? Dan apakah pengaturan hubungan desa-supradesa dalam pengelolaan Dana Desa tersebut sudah ideal? Persis pada titik inilah hubungan pemerintah desa dengan supradesa perlu ditengok kembali, terutama terkait aspek kewenangan dalam pengelolaan Dana Desa. Hal ini karena hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa akan berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, kejelasan terkait hubungan kewenangan tersebut akan memudahkan proses perumusan regulasi yang lebih baik dalam penge lolaan Dana Desa. Kedua, pada tataran regulasi, pengaturan tentang peran masingmasing aktor pemerintah supradesa dapat menggambarkan sejauh mana regulasi tersebut sejalan dengan amanat UU Desa. Terkait dengan hal itu, merebaknya kekhawatiran publik terhadap efektivitas pengelolaan Dana Desa merupakan hal wajar mengingat minimnya kapasitas pemerintah desa. Untuk menjawab pesimisme publik tersebut, penguatan kapasitas pemerintah desa merupakan agenda mendesak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Namun kekhawatiran ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah desa, melainkan juga pemerintah supradesa. Sebab, jika ditelisik lebih jauh, kondisi keterpurukan desa ini tidak lepas dari relasi yang terbangun antara desa dengan pemerintah supra desa dan aktor lainnya. Dalam konteks ini, persoalan yang muncul kemudian, bagaimana peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung penyelenggaraan peme rintahan desa? Survei data mikro tentang besaran uang masuk ke desa yang dilakukan para pegiat desa (STPMD, FPPD, IRE, dan ACCESS) berikut menarik untuk dicermati. Survei ini menemukan bahwa umumnya desa menerima dana sekitar Rp 1,1 M per tahun dari berbagai sumber (PAD, ADD, bantuan provinsi, bantuan pusat, bantuan CSR, dan lain-lain). Sebelum lahir UU Desa, Dana Desa merupakan dana utama yang dikelola oleh desa. Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh FPPD Yogyakarta, ditemukan variasi dalam kapasitas dan efektivitas pengelolaan dana tersebut (Sutoro Eko, 2015: 64). Pertama, desa yang tidak memperoleh pelatihan dan pendampingan secara memadai, kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola Dana Desa sa ngat rendah. Kedua, desa yang memperoleh pelatihan dan pendampingan, baik dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun organisasi non pemerintah, kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola dana relatif baik. Ketiga, desa-desa yang memiliki kepala desa progresif dan perangkat desa dedikatif secara mandiri mampu mengelola dana dengan kapasitas dan efektivitas yang memadai. Memang terdapat sejumlah kasus korupsi Dana Desa yang dilakukan oleh kepala desa. Akan tetapi tahun 2007, APDESI menunjukkan data bahwa angka korupsi kepala desa hanya sebesar 7,8%, dan sebagian besar terjadi karena maladministrasi yang disebabkan oleh kurangnya 6
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kemampuan administratif pemerintah desa. Kurangnya fasilitasi dan supervisi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentunya menjadi penyebab rendahnya kapasitas pemerintah desa. Dengan demikian, inti dari kekhawatiran terhadap efektivitas pengelolaan Dana Desa, sesungguhnya berpusat pada masalah SDM dan sistem yang tidak bekerja dengan baik. Tidak optimalnya sistem pembinaan pemerintah desa (fasilitasi, asistensi, dan supervisi) yang menjadi kewenangan pemerintah supradesa pada gilirannya bermuara pada keterpurukan perangkat desa. Kasus di atas menegaskan bahwa keri sauan publik terhadap efektivitas pengelolaan Dana Desa tidak semata-mata terkait dengan kapasitas pemerintah desa, melainkan juga terkait dengan peran pemerintah supradesa (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota ) dalam menjalankan kewenangan untuk memberikan pembinaan. Lalu, bagaimana sesungguhnya konstelasi hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa? Apakah berbagai pengaturan yang ada terkait dengan pengelolaan Dana Desa telah sejalan dengan semangat UU Desa yang bertumpu pada asas rekognisi dan subsidiaritas dan menekankan akuntabilitas lokal? Pertanyaan di atas bukan tanpa alasan. Dari segi regulasi, misal nya, tampak menunjukkan adanya ketidaksinkronan. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN. Kebijakan ini antara lain mengatur tentang prioritas penggunaan Dana Desa yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui kementerian/lembaga negara terkait. Apakah penetapan prioritas penggunaan Dana Desa oleh pemerintah supradesa tersebut sejalan dengan semangat UU No. 6/2014 yang mengamanatkan mandat kewenangan desa? Tidakkah hal tersebut berpotensi menggerus kewenangan desa yang bertumpu pada prinsip rekognisi dan subsidiaritas? Sinyal ketidaksinkronan regulasi juga terjadi pada pengaturan tentang kewenangan desa yang diatur oleh dua kementerian berbeda, yakni: Kementerian Dalam Negeri melalui Permendagri No. 44/2016 di satu sisi, dan Kementerian Desa PDTT melalui Permendesa No. 1/2015. Kendati kedua regulasi tersebut mengatur substansi yang sama, namun masalah muncul manakala pemerintah Kabupaten/Kota hendak menindaklanjuti peraturan tersebut. Mereka kebingungan ihwal peraturan menteri mana yang harus dirujuk ketika akan menyusun regulasi tingkat lokal (peraturan bupati) tentang daftar kewenangan desa. Terbukti hingga medio November 2015, berdasarkan data Kementerian Koordinator PMK/World Bank Diagnostic Survey (2015), jumlah pemerintah Kabupaten/Kota yang sudah menerbitkan regulasi terkait daftar kewenangan desa tidak lebih dari 15 % saja. Lalu bagaimana dengan peraturan pelaksanaan lainnya? Di sinilah letak urgensi kajian terkait hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa. Efektivitas dan efisiensi pengelolaan Dana Desa akan sangat bergantung pada pola hubungan kewenangan yang 7
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
terbangun antara pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa. Dengan berpijak pada urgensi dan nilai strategis hubungan kewenangan pemerintah desa dengan pemerintah supradesa seperti yang dipaparkan di atas, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PKDOD) LAN memandang perlu untuk melakukan kajian tentang model dan instrumentasi kebijakan hubungan pemerintah desa dengan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan Kabupaten/Kota) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya terkait dengan pengelolaan Dana Desa. Hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 6/2014, memang menyangkut banyak aspek. Namun, kajian ini hanya akan memfokuskan diri pada aspek pengelolaan Dana Desa sebagai salah satu isu krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. B. PERTANYAAN PENELITIAN Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan kewenangan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa? 2. Bagaimana model ideal hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa? 3. Instrumen kebijakan apa saja yang perlu diharmonisasikan dalam rangka mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa? C. TUJUAN 1. Menganalisis hubungan kewenangan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. 2. Menyusun model ideal hubungan kewenangan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. 3. Menganalisis instrumen kebijakan yang perlu diharmonisasikan dalam rangka mengatur hubungan kewenangan dan kelembagaan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. D. MANFAAT DAN HASIL KAJIAN Dengan dilaksanakannya kajian ini maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: a. Memperjelas hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerin8
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
tah desa dalam pengelolaan Dana Desa. b. Menghasilkan model ideal hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. c. Mewujudkan harmonisasi kebijakan terkait hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. Adapun hasil (output) kajian ini adalah sebagai berikut: a. Analisis hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. b. Model ideal hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. c. Rekomendasi kebijakan yang perlu diharmonisasikan terkait hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa. E. RUANG LINGKUP KAJIAN Ruang lingkup kajian ini meliputi: 1. Hubungan kewenangan antar level pemerintahan 2. Pengelolaan keuangan desa, khususnya terkait Dana Desa
9
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
10
BAB II TINJAUAN KONSEPTUAL
A. TINJAUAN KONSEPTUAL 1. Kedudukan dan Kewenangan Desa Lahirnya UU No. 6/2014 tentang Desa berimplikasi pada perubahan kedudukan dan kewenangan desa dalam bangunan tata negara Indonesia dan relasinya dengan negara dan warga. UU No. 6/2014 telah memastikan kedudukan dan wewenang desa jauh lebih jelas dan kuat daripada pengaturan dalam UU No. 32/2004. Dalam UU ini, kedudukan dan kewenangan desa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan NKRI diturunkan dari dua asas pengaturan desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas. Konstruksi mengenai kedudukan dan kewenangan desa ini tentunya sangat berbeda dengan konstruksi sebelumnya. Dalam konstruksi awal, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 tentang Desa, kedudukan desa merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di Kabupaten/Kota. Dengan konstruksi residualitas yang menempatkannya sebagai bagian dari daerah tersebut, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Kabupaten/Kota. Konstruksi serupa ini bersifat residualitas karena hanya menempatkan desa sebagai penerima “sisa-sisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk alokasi Dana Desa (Sutoro Eko, 2014: 23). Menurut Sutoro Eko (2014: 28), ditetapkannya konsep rekognisi sebagai asas pertama bagi kedudukan desa dalam UU Desa berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, dan sudah mempunyai susunan asli maupun membawa hak asal usul. Ketiga, desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak bisa serta merta diseragamkan. Keempat, dalam lintasan sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi terhadap tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil, mulai dari era kerajaan, pemerintahan kolonial, hingga pemerintah NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan amanat kepada 11
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Asas rekognisi berarti negara mengakui dan menghormati keragaman desa, kedudukan, kewenangan, dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan. Namun sesungguhnya rekognisi tidak hanya dilakukan melalui upaya-upaya yang mendorong pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman desa dalam mewujudkan keadilan politik dan keadilan budaya tersebut, melainkan juga, sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa, negara melakukan redistribusi sumber daya ekonomi melalui bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Redistribusi uang merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marjinalisasi yang dilakukan oleh negara selama ini terhadap desa. Dengan mengacu pada asas rekognisi, UU Desa juga melindungi desa dari berbagai bentuk imposisi (pemaksaan) dan mutilasi yang dilakukan oleh aktor-aktor supradesa, politisi, dan investor. Sedangkan asas subsidiaritas atau kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat berskala lokal lebih baik ditangani organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Sutoro Eko (2014: 31), dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa. Dalam hal ini, asas subsidiaritas hadir untuk mengkoreksi dan menggantikan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004, yang menempatkan desa sebagai hanya sebagai penerima sisa-sisa kewenangan yang dilimpahkan pemerintah supradesa (Kabupaten/Kota). Hal ini juga sekaligus meluruskan pemahaman keliru dari sebagian kelompok yang menganggap UU No. 6/2014 tentang Desa mempunyai kesamaan dengan PP No. 72/2005, yang merupakan regulasi turunan dari UU No. 32/2004. Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagaimana asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal usul desa, penjabaran subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan lokal berskala desa berarti bahwa UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari Kabupaten/Kota. Pemerintah juga tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa. Pemerintah supradesa sebagai lembaga yang lebih kuat dan lebih besar justru mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan dukungan, kepercayaan dan bantuan (fasilitasi) terhadap desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam konteks mendorong keadilan ekonomi dan politik (distribusi sumberdaya), skema alokasi keuangan dari APBN untuk desa juga merupakan salah satu wujud konkret dari pengakuan negara terhadap kewenangan berdasarkan hak asal usul (asas rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (asas subsidiaritas) 12
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
(Sudjatmiko dan Zakaria: 2014: 6). Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa adanya perubahan asas ini tidak hanya berimplikasi besar pada bentuk dan jenis kewenangan desa (yang sekarang mengakui kewenangan yang bersumber pada hak asal-usul), melainkan juga pada (pembesaran) keuangan desa. Hal lain yang tak kalah penting adalah berubahnya kedudukan desa (Zakaria, 2014; Eko, 2014b: 15). Kini desa tidak berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004. Menurut UU No.6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini sama dan sebangun dengan keberadaan Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi. 2. Jenis-jenis Kewenangan Dalam UU Desa, desa mempunyai empat jenis kewenangan, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah supradesa, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah supradesa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, apa sejatinya arti kewenangan itu? Terdapat sejumlah konsepsi dari para ahli tentang kewenangan. Philipus M. Hadjon (1997), seorang teoritisi hukum tata negara dan hukum administrasi pemerintahan, mendefinisikan kewenangan sebagai kekuasaan hukum. Kewenangan mempunyai kesejajaran makna dengan istilah bovoegdheid dalam konteks hukum Belanda. Namun berbeda dengan konsep bovoegdheid yang sering digunakan dalam ranah hukum publik maupun hukum privat, kewenangan selalu digunakan dalam ranah hukum publik kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi, dalam konsep hukum publik, wewenang selalu berkaitan dengan kekuasaan, atau malah justru kekuasaan itu sendiri. Sedangkan Tonner (dalam Ridwan HR, 2006: 100) berpendapat bahwa kewenangan pemerintah adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara. Adapun Ferrazi (dalam Ganjong, 2007: 93) mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu. Sedangkan menurut Sutoro Eko, ahli tentang desa: Kewenangan (authority) adalah kekuasaan dan hak seseorang atau lembaga untuk melakukan sesuatu, atau mengambil keputusan, atau memerintah orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Karena itu, kewenangan selalu merupa kan kekuasaan resmi atau kekuasaan legal yang diformalkan oleh peratur an perundang-undangan. Namun ada perbedaan tipis antara kekuasaan dan
13
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
kewenangan. Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu, sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan hak tersebut. Kewenangan bisa juga disebut sebagai kekuasaan yang memiliki keabsahan (legalitas), se dangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. (Sutoro Eko, 2014: 16) Senada dengan konsepsi dari para ahli tersebut, Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan kewenangan sebagai “kekuasaan badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik”. Lebih lanjut UU ini menyebutkan adanya tiga bentuk kewenangan. Pertama, kewenangan atribusi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuan 1945 atau Undang-Undang kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Kedua, kewenangan delegasi, yaitu kewenangan yang bersumber dari pelimpahan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Ketiga, kewenangan mandat, yaitu kewenangan yang bersumber dari pelimpahan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Menurut Hadjon, kewenangan terkait dengan setidaknya 3 (tiga) unsur pokok. Pertama, pengaruh, yaitu bahwa penggunaan kewenangan dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Kedua, dasar hukum sebagai landasan dari pelaksanaan suatu kewenangan. Ketiga, konformitas hukum, yang memberi standar kewenangan, baik berupa standar umum (semua jenis kewenangan) maupun dan standar khusus (jenis kewenangan tertentu). Dari segi karateristik dan kewenangannya, menurut Hadjon terdapat 3 sifat kewenangan, sebagai berikut (1) kewenangan terikat, yaitu kewenangan yang menurut peraturan dasarnya hanya dapat digunakan dalam konteks waktu dan situasi tertentu; (2) kewenangan fakultatif, yaitu kewenangan yang tidak wajib untuk menerapkannya atau sedikit banyak masih ada pilihan; dan (3) kewenangan bebas, yaitu kewenangan yang dalam peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan tata usaha negara untuk menentukan mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan. Dalam konteks relasi kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa, jenis-jenis kewenangan tersebut tentunya sangat relevan untuk ditengok ulang dan dikontekstualisasikan dengan konstelasi permasalahan yang ada, baik permasalahan dalam aspek kebijakan maupun permasalahan dalam aspek empiris (operasional). 14
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
3. Sistem Rumah Tangga Otonom (RTO) Meskipun dalam UU No. 6/2014 tentang Desa tidak disebutkan secara eksplisit tentang otonomi desa, akan tetapi beleid ini mengamanatkan kewenangan yang besar terhadap desa, beserta hak-hak keuangannya. Berpijak pada asas rekognisi dan subsidiaritas, yang menjadi dua asas utama UU No. 6/2014, desa kini mempunyai kewenangan yang lebih bersifat substantif, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Dengan demikian, desa mempunyai wewenang untuk berinisiatif dan mengambil keputusan dalam mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri bagi kepentingan masyarakatnya. Oleh karena itu, desa mempunyai kewenangan untuk menyusun regulasi internalnya sendiri selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi. Begitu pula dengan daerah yang lebih dulu mendapat kewenangan dalam beberapa urusan pemerintahan di daerah seiring dengan berlakunya kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 32/2004, dan yang terakhir UU No. 23/2014. Berdasarkan undang-undang yang mengaturnya, baik desa maupun daerah, tentunya mempunyai bentuk, ruang lingkup, skala dan derajat kewenangan yang berbeda satu sama lain, sesuai dengan karakteristik desa dan daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan bentuk-bentuk kewenangan, dalam semesta teori desentralisasi dalam konteks otonomi daerah yang juga relevan dalam dalam hubungannya dengan kewenangan desa, menurut Kertapraja (2012: 92-97) terdapat tiga bentuk hubungan kewenangan. Pertama, kewenangan berdasarkan sistem rumah tangga otonomi (RTO) materiil; kedua, kewenangan berdasarkan sistem RTO formiil; ketiga, kewenangan berdasarkan sistem RTO riil. a. Ajaran rumah tangga materiil Rumah tangga materiil merupakan suatu sistem dalam penyerahan urusan rumah tangga pemerintahan yang bersifat terbatas dan kaku. Sistem ini mensyaratkan adanya pembagian tugas yang rinci dan tegas antara pemerintah pusat dan daerah dalam undang-undang. Oleh karena itu, kewenangan setiap daerah yang meliputi tugas-tugas ditentukan satu per satu secara nominatif. Hal ini berarti urusan yang tidak termasuk dalam rincian tersebut maka tidak termasuk pula ke dalam urusan rumah tangga daerah. Daerah yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar urusan yang sudah diperinci atau ditetapkan dalam undang-undang. Pembagian tugas demikian didasarkan pada suatu pandangan bahwa ada suatu perbedaan tugas yang mendasar antara negara dan daerah-daerah otonom dalam menjalankan pemerintahan dan memajukan kesejahteraan mas15
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
yarakat. Sebagai masyarakat hukum yang lebih kecil daerah otonom mempunyai urusan-urusan sendiri yang secara prinsipil berbeda dengan dengan urusan negara sebagai kesatuan masyarakat hukum yang lebih besar dan berada di atasnya. Negara dan daerah-daerah otonom masing-masing mempunyai urusan sendiri yang spesifik. Singkatnya, setiap langkah daerah tidak dapat keluar dari apa yang sudah tercantum dalam undang-undang. Oleh karena itu, sistem berdasarakn ajaran ini menjadi terkesan kaku karena menyebabkan daerah tidak mempunyai ruang yang memberi keleluasaan untuk mengembangan inisiatifnya sendiri, kecuali yang terkait dengan urusan-urusan yang ditetapkan menjadi urusan rumah tangganya, sesuai dengan tingkatan dan ruang lingkup pemerintahannya. Umumnya kritik yang miuncul terhadap sistem ini didasarkan pada argumen bahwa sistem ini tidak mengajarkan kepada daerah untuk berani berinisiatif dan mengembangkan potensi wilayah di luar urusan yang tercantum di dalam undang-undang pembentukannya. Padahal, prinsip dan tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kebebasan dan berprakarsa dalam memilih alternatif dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan di daerah. b. Ajaran rumah tangga formil Berbeda dengan rumah tangga materiil, menurut ajaran rumah tangga formil tidak ada pembedaan sifat dalam pembagian urusan atau kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah otonom. Hal ini berdasarkan pada satu asumsi bahwa setiap urusan yang dapat dikerjakan oleh suatu masyarakat hukum, pada prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat hukum yang lain. Pembagian urusan lebih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis. Alih-alih karena materi yang diatur berbeda sifatnya, menurut ajaran rumah tangga formil, kepentingan daerah akan lebih efektif dan efisien bila diurus sendiri oleh setiap daerah dari pada oleh pemerintah pusat. Oeh karena itu, urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditetapkan secara apriori melainkan sepenuhnya tergantung pada pada inisiatif dan prakarsa daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, urusan rumah tangga daerah tidak diperinci secara nominatif di dalam undang-undang pembentukannya, tetapi ditentukan dalam suatu rumusan umum yang memuat prinsip-prinsipnya saja. Sedangkan, ketentuan lebih lanjut diserahkan kepada inisiatif daerah yang bersangkutan. Dari segi ini, tampak bahwa bentuk otonomi atau kewenangan dalam sistem rumah tangga formil memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengambil inisiatif, serta mengembangkan berbagai alternatif terkait pengambilan keputusan dalam segala bidang yang menjadi kepentingan daerah yang bersangkutan. Hanya saja, keleluasaan pemer16
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
intah daerah dalam sistem ini tetap ada pembatasan. Pertama, pemeritah daerah hanya boleh mengatur urusan yang tidak atau belum diatur dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, bila kemudian negara atau pemerintah daerah yang lebih tinggi mengatur suatu urusan yang semula sudah diatur oleh daerah yang lebih rendah, peraturan daerah yang lebih rendah tersebut dinyatakan gugur. Selain itu, meski memberi keleluasaan kepada daerah untuk berprakarsa mengembangkan potensj daerahnya, sistem model ini tetap tidak luput dari kelemahan. Kelemahan tersebut justru karena sistem ini tidak atau kurang memberi kesempatan kepada pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyeimbangkan pertumbuhan dan kemajuan antar daerah yang kondisi dan potensi ekonomi dan sosi-grafisnya beragam. Asumsi liberal dan sikap lepas tangan pemerintah dalam berhubungan dengan daerah ini pada gilirannya membawa bumerang. Sebab, alih-alih mendorong ketertinggalan suatu daerah dari daerah lain, sistem ini justru membiarkan ketimpangan antar daerah terus berlangsung bahkan semakin tajam. Hal ini karena pemerintah pusat membiarkan setiap daerah berinisiatif sendiri, tanpa melihat kondisi dan potensi riil daerahnya masing-masing. Alhasil, bagi daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan, keleluasaan dan inisiatif yang dimilikinya akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat. Sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan potensinya kurang menguntungkan, keleluasaan dan prakarsa yang dimilikinya tidak cukup memadai untuk mengatasi kendala yang dihadapinya. Oleh karena itu, intervensi pemerintah terhadap daerah tetap dipandang perlu. Namun, campur tangan pemerintah pusat harus diusahakan secara proporsional karena tujuannya untuk mencapai pemerataan dan memelihara keseimbangan laju pertumbuhan antar daerah. c. Ajaran rumah tangga riil Sistem ini merupakan sintesa antara ajaran rumah tangga materiil dan ajaran rumah tangga formiil. Konsep rumah tangga riil berpijak pada satu pandangan atau pemikiran yang mendasarkan diri pada kondisi dan faktor-faktor nyata di lapangan untuk mencapai keseimbangan antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik yang ada pada daerah maupun pusat. Dalam sistem ini, pemerintah pusat memperlakukan pemerintah daerah sebagai bagian dari pusat. Namun, meskipun pemerintah pusat mempunyai tanggung jawab yang besar, ia lebih lebih cenderung memberikan kepercayaan teknis kepada masyarakat. Oleh karena itu, menurut sistem ini, derajat intervensi pemerintah pusat terhadap daerah sangat tergantung kepada seberapa besar kemampuan daerah itu sendiri dalam mengemban suatu tugas. Dalam sejarah evolusi pemerintah daerah, penerapan sistem yang menyerupai sistem rumah tangga riil udah dilakukan melalui UU No. 1 Tahun 1957 dan UU 17
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
No. 18 Tahun 1965. Secara umum, menurut Koswara Kertapraja (2012), terdapat beberapa peluang dari sistem rumah tangga riil ini, yaitu: 1) Sistem rumah tangga riil memberikan kesempatan kepada daerah yang beragam untuk menyesuaikan pelaksanaan otonomi atau kewenangan yang dimilikinya dengan kondisi dan potensi daerahnya masing-masing. 2) Sistem ini berlandaskan kepada faktor-faktor yang nyata di daerah dan memperhatikan keadaan khusus (local spesific) daerah. 3) Sistem ini mengandung fleksibilitas tanpa mengurangi kepastian, sehingga daerah bebas berprakarsa mengembangkan modal pangkal yang sudah ada, dengan memperoleh bimbingan/pembinaan tanpa melepaskan pengawasan pusat. 4) Derajat pembinaan dan intervensi pemerintah pusat tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah sendiri. 5) Prakarsa untuk mengembangkan di luar modal pangkal bisa dilakukan selama tidak bertentangan dengan atau belum/tidak diatur oleh pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi. 6) Sistem ini memperhatikan pemerataan dan memelihara keseimbang an laju pertumbuhan antar daerah. Berdasarkan ketiga konsepsi bentuk-bentuk hubungan kewenangan di atas, untuk keperluan penelitian ini disederhanakan menjadi dua bentuk hubungan kewenangan saja, yaitu hubungan kewenangan berdasarkan sistem RTO materiil dan sistem RTO riil. Hal ini berdasarkan analisis yang menunjukkan bahwa kedua bentuk sistem RTO tersebut merupakan yang paling relevan untuk mengkerangkai atau memberi bingkai pada konstelasi hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam konteks sistem ketatanegaraan yang berlaku di republik ini pada masa sekarang. 4. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Good Village Governance) Dalam konsep ilmu politik, kata “penyelenggaraan” seringkali dipadukan dengan kata pemerintahan di belakangnya yang kemudian secara sederhana membentuk sebuah makna tertentu, yaitu menjalankan pemerintahan. Kata “pemerintahan” sendiri diartikan sebagai segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dalam usaha mencapai tujuan negara (C.F. Strong, 1960). Dalam arti sempit, pemerintahan sebenarnya dimaknai sebagai “organisasi”. Dalam organisasi negara itu sendiri, pemerintahan sebagai lingkungan jabatan terdiri dari alat-alat kelengkapan seperti jabatan eksekutif, jabatan legislatif, jabatan yudikatif dan jabatan supra struktur lainnya. jabatan-jabatan ini menunjukkan suatu lingkungan kerja tetap yang berisi wewenang tertentu. Kum18
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
pulan wewenang memberikan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena itu jabatan eksekutif, jabatan legislatif, jabatan yudikatif, dan lain-lain sering juga disebut kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif dan lain-lain (Manan, 2001). Namun, secara historis, penggunaan kata “penyelenggaraan pemerintahan” sebenarnya telah menimbulkan perdebatan yang cukup panjang, terutama dalam konstruksi ilmu hukum. Menurut M. Laica Marzuki, pengalihbahasaan kata “bestuur” (administation dalam bahasa Inggris atau pemerintahan dalam bahasa Indonesia) dengan penyelenggaraan pemerintahan dipandang kurang tepat, sebab dalam penyelenggaraan, yang dijalankan adalah fungsi-fungsi pemerintahan. Sedangkan, dalam bestuur, dimaknai sebagai asas. Namun demikian, dalam konstruksi ilmu hukum (tata negara), penyelenggaraan pemerintahan kerap pula disandingkan dengan kata asas di depannya. Hal ini menandakan bahwa para penyelenggara negara tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan atau norma yang harus ditaati dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan penyelenggaraan pemerintahan desa kemudian adalah sebuah organisasi desa, yang terdiri dari beberapa jabatan eksekutif dan legislatif, yang menjalankan fungsinya masing-masing. Mengacu pada pandangan Manan (2001: 59), penyelenggaraan pemerintahan meliputi tata cara penunjukkan jabatan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, hingga evaluasi pelaksanaannya. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sendiri, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pemerintah desa terikat dengan beberapa asas, yaitu (1) kepastian hukum, (2) tertib penyelenggara pemerintahan, (3) tertib kepentingan umum (4) keterbukaan, (5) proporsionalitas, (6) profesionalitas, (7) akuntabilitas, (8) efektivitas, (9) kearifan lokal, (10) keberagaman, (11) partisipatif. Kesebelas asas inilah yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan desa yang dalam UU tersebut pelaksanaannya ditujukan untuk membentuk sebuah pemerintahan desa yang mandiri dan demokratis. Penyelenggaraan pemerintahan desa meliputi beberapa aspek, seperti: perencanaan pembangunan desa, penataan aset desa, pemilihan kepala desa, musyawarah desa, pengelolaan keuangan desa, dan penyusunan peraturan desa, serta aspek lainnya. Namun demikian, fokus kajian ini hanya akan memfokuskan diri pada pengelolaan keuangan desa, khususnya Dana Desa, sebagai salah satu bagian integral dari penyelenggaraan pemerintahan desa. 5. Kebijakan Publik Kebijakan publik memiliki fungsi yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak sedikit ahli kebijakan telah mencoba mendefinisikan makna kebijakan publik. Anderson (1984, p. 3) menyatakan bahwa kebijakan merupakan “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing
19
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
with a problem or matter of concern”. Konsep ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan, tidak pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini sekaligus juga membedakan kebijakan dari keputusan yang diartikan sebagai pilihan dari beberapa alternatif. Menurut Anderson (1984), kebijakan publik dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah serta memiliki dampak secara substansial terhadap masyarakat. Kebijakan publik dikembangkan oleh para administrator yang bekerja dalam pelayanan publik dan menghadapi permasalahan-permasalahan kolektif. Kebijakan publik sendiri fokus pada apa yang disebut Dewey (1927) sebagai ‘the public and its problems’ (Hill dan Hupe, 2002, p. 5). Sementara itu, terdapat 5 (lima) kriteria (nilai atau standar) yang memengaruhi para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan suatu kebijakan (Anderson, 1984, p. 12-13), yaitu political values, organization values, personal values, policy values, dan ideological values. Davis dan North (1970) merujuk kebijakan publik dengan istilah kelembagaan (institution) adalah ‘the legal rules that define the economic relation between people (private property), and to a person or a position (the presidency)’. Lebih lanjut, Davis dan North (1970) menyebut institution dengan istilah institutional arrangement. Di sini, kelembagaan dilihat sebagai kesepakatan antar unit ekonomi yang menentukan ma sing-masing unit tersebut dapat bekerja sama ataupun bersaing. Dari pendapat tersebut sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan institution tidak merujuk pada definisi mengenai organisasi, melainkan sebagai ‘working rules’ (Common (1968) dalam Bromley (1989, p. 43). Menurut Bromley (1989, p. 49) terdapat 3 karakteristik kelembagaan, yaitu mampu (1) define the coice sets of independent economic actors; (2) define the relationship among individuals; dan (3) indicate who may do what to whom. Bromley melihat kelembagaan sebagai consensual arrangements atau pola perilaku yang disepakati melalui konvensi bersama (informal rules) dan peraturan (formal rule or entitlements) yang memberikan pendefinisian dengan jelas atas choice sets yang berlaku bagi individu dan kelompok. Makna kelembagaan tersebut mempunyai fungsi untuk menjamin sebuah interaksi/transaksi.
20
Dalam menjelaskan mengenai pentingnya institution, Bromley (1989) memberikan penjelasan secara umum mengenai proses kebijakan. Menurut Bromley (1989, p. 32), proses kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu hierarki yang memiliki 3 (tiga) tingkatan, yaitu policy level, organizational level, dan operational level (lihat Bagan 2.1). Kebijakan publik di masing-masing level diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement, yaitu peraturan yang sesuai dengan tingkat hierarkinya. Dalam demokrasi, policy level direpresentasikan oleh berfungsinya lembaga legislatif dan yudikatif, sedangkan organizational level direpresentasikan oleh lembaga eksekutif. Aturan dan hukum yang menghubungkan policy level dan organizational level tersebut disebut dengan institutional arrangements. Aturan dan hukum tersebut menentukan bagaimana organizational level dan selanjutnya operational level berop-
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
erasi menjalankan tugasnya. Oleh Karena itu, institutional arrangement tentunya harus dibuat dengan mempertimbangkan mekanisme yang akan dijalankan oleh operational level. Level ini merupakan unit kerja terdekat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga outcome kebijakan dapat diamati dan dievaluasi (assessment) oleh masyarakat sebagai baik atau buruk. Jika ternyata hasilnya belum mampu menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat, akan dilakukan respons kolektif (collective response) melalui proses politik sebagai bentuk upaya mengubah institutional arrangements berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat pada tataran operasional. Masukan dari masyarakat akan langsung diarahkan pada policy lev el untuk menemukan konstelasi aturan dan hukum (institutions) baru yang akan merubah domain pilihan tindakan bagi operational level. 6. Pemerintahan Desa dalam Perspektif Kebijakan Publik Kajian ini merupakan sebuah kajian analisis terhadap suatu kebijakan, dalam hal ini UU No. 6/2014 tentang Desa. Untuk memahami maksud serta tujuan penelitian ini, maka secara teoritik perlu kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dan analisis kebijakan publik. Dalam kajian ini kebijakan publik dipahami sebagai “suatu arah tindakan yang direncanakan dari seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan ter-
Bagan 2.1. Hierarki Proses Kebijakan (The Policy Process as a Hierarchy)
Sumber: Bromley, 1989, p. 33
21
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
tentu guna mengatasi kendala dan memanfaatkan peluang dalam upaya mencapai suatu tujuan, sasaran atau maksud tertentu” (Fredrich, 1967). Karena, kebijakan publik merupakan produk politis seseorang atau kelompok, maka ia merupakan hasil interaksi intensif antara para aktor. Namun, dalam konsepsi negara modern saat ini yang telah mengakui nilai-nilai demokrasi, perumusan kebijakan mulai menyertakan partisipasi masyarakat guna menghasilkan keputusan yang terbaik (Agustino, 2016: 1). Lalu apa yang menjadi alasan untuk mempelajari kebijakan publik? UU Desa merupakan sebuah produk perundangan yang sangat penting di Indonesia. Inilah undang-undang yang secara langsung mengatur tentang Desa. Alasan mengapa Desa perlu diatur sedemikan rupa tentu bukan tanpa alasan, tetapi atas pertimbangan banyak hal. Salah satunya tentang persepsi Desa selama ini yang hanya menjadi beban pemerintah karena menjadi pusat rantai kemiskinan. Namun apa yang menyebabkan hal itu terjadi, salah satunya dikarenakan selama ini pemerintah desa tidak pernah berdaya. Terjadi suatu gap antara pemerintah, pemerintah daerah, dengan desa. Meski desa berada dalam wilayah Kabupaten/Kota, tetapi perhatian terhadap desa sangatlah kecil. Oleh karena itu penting dirumuskan suatu aturan yang mengatur agar desa dapat berdaya secara mandiri, sejak perencanaan pembangunannya hingga pelaksanaannya. Merujuk pada alasan di atas, lahirnya UU Desa didasarkan pada adanya suatu masalah yang kemudian berkembang menjadi isu yang perlu ditangani bersama untuk mengatasinya. Oleh karena itulah sebuah rancangan kebijakan khusus tentang pemerintahan desa perlu dirumuskan. Proses perumusan pemecahan masalah inilah yang kemudian dipahami sebagai proses kebijakan. Proses kebijakan adalah serangkaian alur yang perlu dilalui untuk memahami gejala atau fenomena yang perlu diselesaikan oleh sebuah atau lebih kebijakan publik. Dalam arti lain, proses kebijakan meliputi asal atau akar masalah proses menyelesaikan masalah, perkembangan setelah masalah disikapi, dan akibat yang ditimbulkan oleh masalah bagi publik (Agustino, 2016: 3). Dengan demikian, proses kebijakan publik merupakan sebuah proses politik yang melibatkan banyak aktor. Relasi antar aktor memainkan peran tersendiri dalam penentuan kebijakan karena setiap aktor tersebut membawa pengaruh kepentingannya masing-masing. Dalam konteks pemerintahan desa, perlu dibentuk suatu kerangka proses kebijakan yang menggambarkan karakter pemerintahan desa di Indonesia. Menurut Parsons, kualitas kebijakan yang dirumuskan sangat berkaitan dengan relasi antar pembuat kebijakan (Parsons, 1995). Terdapat dua pendekatan proses penyusunan kebijakan, yaitu pendekatan top-down dan bottom-up. Pendekatan top-down menekankan pada supremasi elit atau pemerintah dalam proses kebijakan. Perencanaan kebijakan tidak didasarkan pada aspirasi dari bawah. Sedangkan pendekatan bottom-up adalah pendekatan kebijakan yang memandang proses kebijakan sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan kon22
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
sensus dari bawah yang pada akhirnya melahirkan suatu kebijakan. Jika dianalisis dalam kebijakan pemerintah desa, pendekatan bottom-up adalah pendekatan yang paling rasional dengan semangat UU Desa. Desa memiliki kearifan lokal sendiri dalam pemecahan permasalahan yang kerap tidak terakomodir dalam lembaga pemerintahan lebih tinggi. 7. Tipologi Desa Berdasarkan pada asas penerapan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik (good village governance), kajian ini membagi tipe pemerintahan desa ke dalam dua tipologi. Tipe pertama adalah Desa Pra-Mandiri dan; kedua, Desa Mandiri. Selama ini memang sudah ada tipologi desa yang didasarkan pada Indeks Pembangunan Desa dari Bappenas dan Indeks Desa Membangun dari Kementerian Desa PDTT. Namun, untuk keperluan kajian ini, penulis tidak mengacu kepada tipologi berdasarkan kedua jenis indeks tersebut, melainkan mencoba merumuskan tipologi desa berdasarkan indikator atau kriteria yang lebih sederhana, yaitu (1) tingkat kapasitas pemerintah desa, dan (2) tingkat keterlibatan (partisipasi) masyarakat desa. Dengan mengacu kepada dua indikator itulah kemudian penulis merumuskan tipologi desa. Pertama, tipe desa mandiri mengacu pada desa dengan kapasitas pemerintah desa yang sudah sepenuhnya mampu mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Suatu desa tergolong desa mandiri karena dua faktor berikut, yaitu: 1) Perangkat desa memiliki kapasitas atau kompetensi teknis memadai sehingga mampu menjadi kekuatan utama penggerak pemerintahan. Adapun kompetensi perangkat desa tersebut dapat dilihat dari sejumlah variabel, seperti mampu menyusun perencanaan anggaran dan pembangunan desa, melaksanakan pembangunan desa secara transparan dan akuntabel, menyusun laporan dengan baik, dan mampu memberikan pelayanan publik yang optimal; 2) Tingginya partisipasi masyarakat desa dalam setiap proses pengambilan keputusan strategis. Partisipasi masyarakat adalah basis kekuatan sosial, ekonomi, dan politik desa. Oleh karena itu, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pelaksanaan pembangunan desa, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Di satu sisi, partisipasi diperlukan untuk memastikan perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan sesuai dengan harapan publik, sedangkan di sisi yang lain, partisipasi masyarakat ini sangat berguna untuk memperkuat demokrasi komunitarian desa, dan memastikan bahwa penyelengaraan pemerintahan desa tidak untuk melayani kepentingan politik satu pihak tertentu saja. Apabila kedua faktor atau kriteria tersebut terpenuhi, maka hal tersebut menjadi basis kekuatan yang mendorong terciptanya desa mandiri Kedua, tipe desa pra mandiri yang mengacu pada jenis desa yang masih mengalami ketergantungan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahannya. Desa pra mandiri dicirikan dengan kapasitas pemerintah desa yang belum memadai, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa, 23
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan, maupun dalam mendorong dan memberi ruang pada keterlibatan masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan strategis. Oleh karena itu, desa pra mandiri masih mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap aktor-aktor supradesa untuk memastikan berjalannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa secara akuntabel, transparan dan partisipatif. B. KERANGKA PIKIR KAJIAN Setidaknya terdapat tiga pertimbangan utama yang menjadi bahan rujukan dalam kajian ini. Pertama, sebagaimana disampaikan di awal, kajian ini mempertimbangkan aspek regulasi (policy level) dengan memetakan dan menelaah substansi ketentuan beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan. Dalam hal ini terdapat dua peraturan perundang-undangan menjadi pertimbangan yaitu UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara substansi kedua ketentuan peraturan perundang-undangan ini merupakan dua produk hukum yang paling relevan karena masing-masing mengatur tentang pemerintahan daerah dan desa. Kedua, kajian ini mempertimbangkan aspek empiris (organizational dan operational level) yang mencerminkan kondisi objektif di lapangan. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya akan dijelaskan bagaimana gambaran pelaksanaan hubungan kewenangan dalam pengelolaan Dana Desa dari sejumlah lokus kajian ini. Ketiga, kajian ini juga mempertimbangkan aspek teoritis (konseptual) yaitu melalui tinjauan terhadap sejumlah konsep yang dianggap relevan, seperti desentralisasi, hubungan antar pemerintahan, bentuk-bentuk hubungan kewenangan, kedudukan dan kewenangan desa, dan teori-teori tentang penyeleng-
Bagan 2.2 Kerangka Pikir Kajian 24
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
garaan pemerintahan. Pertimbangan terhadap ketiga aspek tersebut menghasilkan satu benang merah yang dapat menjadi pijakan dalam merumuskan model. Model inilah yang kemudian dapat memberikan gambaran tentang hubungan kerja antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa, khususnya dari aspek hubungan kewenangan. Berdasarkan kerangka yang dibangun melalui model ideal tersebut, kemudian dapat disusun suatu peta kebijakan terkait yang menjadi dasar dalam menyusun instrumentasi kebijakan sehingga mampu menopang efektivitas pengelolaan Dana Desa, sebagaimana tampak dalam gambar bagan berikut. C. PENELITIAN TERDAHULU Kendati baru berjalan efektif sekitar 2 tahun, pengelolaan Dana Desa dalam konteks implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa telah menjadi bahan kajian beberapa peneliti atau institusi penelitian yang memiliki konsen baik terhadap isu desa atau pengelolaan dana publik. Oleh karena itu, untuk menunjukkan posisi kajian ini, penulis merasa perlu untuk melakukan tinjauan terhadap beberapa hasil kajian terdahulu yang dengan subjek permasalahan atau fokus kajian. Hal ini dilakukan untuk memberikan perspektif umum bagi penelitian, mengungkapkan penelitian-penelitian serupa, baik dari segi latar belakang permasalahan, teori, metode, maupun hasil penelitian. Salah institusi yang melakukan kajian tentang pengelolaan keuangan desa, dengan fokus pada Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2015). Kajian KPK ini dilakukan untuk mengawal tujuan kebijakan Dana Desa dengan memetakan potensi risiko dalam pengelolaan keuangan desa dan merumuskan solusi untuk meminimalkan risiko tersebut. KPK memfokuskan kajiannya tersebut pada onjek yang sangat spesifik, yaitu pengelolaan anggaran Dana Desa dan Alokasi Dana Desa sesuai dengan amanat UU Desa. Hasil kajian KPK tersebut berhasil memetakan adanya 4 (empat) potensi masalah sekaligus memberikan rekomendasi sebagai berikut. Pertama, potensi masalah dalam regulasi dan kelembagaan yang disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu 1) Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa. Solusi yang direkomendasikan oleh kajian ini kepada K/L terkait (Kementarian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kemendes PDTT) agar menyusun kesepakatan bersama antara Menkeu, Mendagri, Mendesa PDTT tentang Pengawasan, Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Dana untuk Desa (APBDesa); 2) Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri. Oleh karena itu, kajian ini merekomendasikan kepada Kemenko PMK, Kemenkopolhukam, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kemendes PDTT untuk membentuk Tim Pengendali Pelaksanaan UU Desa dipimpin Kemenko PMK/Kemenkopolhukam dan dilakukannya rakor berkala antara kementerian terkait, serta menyusun 25
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
kesepakatan bersama antara MenKeu, MenDagri, MenDesa PDTT tentang tata cara Pengawasan, Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Dana untuk Desa (APBDes); 3) Formula pembagian Dana Desa dalam Perpres No. 36 Tahun 2015 mengacu pada aturan yang belum ditetapkan dan hanya didasarkan pada aspek pemerataan. Rekomendasi atas permasalahan ini ditujukan pada Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemendes PDTT agar melakukan review penetapan proporsi alokasi dasar dan mencantumkan besaran bobot untuk tiap variabel sebagaimana pernah tercantum dalam PP No. 60 Tahun 2014; 4) Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADana Desayang diatur dalam PP No. 43 Tahun 2014 kurang berkeadilan. Oleh karena itu, rekomendasi kajian ini mengharuskan Kemendagri untuk mengevaluasi dan merevisi norma alokasi penghasilan tetap bagi perangkat desa pada PP No. 43 tahun 2014 agar lebih adil bagi perangkat desa di desa, serta menyusun pengaturan besaran pendapatan tetap perangkat desa sebagai acuan dasar setiap daerah dalam menetapkan penghasilan tetap perangkat desa; 5) Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien. Kajian ini merekomendasikan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemendesa PDTT untuk segera melakukan revisi Peraturan Pemerintah terkait agar kewajiban laporan pertanggungjawaban oleh desa dapat terintegrasi agar lebih mudah dan efisien namun tetap efektif dan akuntabel. Kedua, potensi masalah dalam tata laksana keuangan desa yang disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu 1) Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa. Rekomendasi kajian ini mengharuskan Kemendagri untuk mengevaluasi efektivitas PP terkait dengan siklus anggaran desa; 2) Belum adanya satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa. Usulan rekomendasinya kemudian mengharuskan pemerintah daerah agar menyusun Perbup/Perwali tentang pagu satuan harga barang dan jasa sebagai acuan penyusunan APBDesa dan melakukan pembinaan dan pendampingan dalam penyusunan APBDesa; 3) APBDesa yang disusun tidak menggambarkan kebutuhan desa. Solusi yang direkomendasikan mengharuskan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kemendes PDTT merevisi PP No. 43 Tahun 2014 dengan memasukkan ketentuan yang mewajibkan kepala desa mempublikasikan RAPBDesa agar dapat diawasi oleh masyarakat dan menyediakan saluran keluhan/umpan balik masyarakat atas RAPBDesa; menyusun panduan evaluasi RAPBDesa oleh kecamatan, dan; Kecamatan mengumumkan hasil evaluasi ke publik; 4) Rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa kurang transparan. Solusi yang direkomendasikan menyasar kepada dua institusi pemerintah supradesa, yaitu Kemendagri dan pemerintah daerah. Kemendagri harus merevisi Permendagri No. 113 tahun 2014 dengan memasukan ketentuan tata kelola keuangan desa mencakup kewajiban mengumumkan rencana penggunaan APBDesa dan realisasinya melalui berbagai media yang dapat diakses oleh masyarakat luas beserta batasan waktunya. Kemendagri juga harus merevisi Permendagri No. 07 Tahun 2008 tentang Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dengan memasukkan aspek pengawasan partisipatif 26
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
oleh masyarakat, audit sosial, dan transparansi. Sementara pemerintah daerah harus mewajibkan Kepala desa mempublikasikan RAPBDesa untuk di-review oleh masyarakat dan menyediakan saluran keluhan/umpan balik masyarakat atas RAPBDesa; 5) Laporan pertanggungjawaban desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Solusinya, BPKP dan Kemendagri harus segera menyusun sistem keuangan desa yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan desa, termasuk komponen pelaporan pertanggungjawaban keuangan desa. Selain itu, Pemerintah daerah perlu membangun dan mengembangkan sistem informasi desa yang mencakup modul keuangan sesuai yang disusun BPKP dan Kemendagri. Ketiga, potensi masalah dalam pengawasan. Hal ini disebabkan dua faktor, yaitu pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa oleh Inspektorat Daerah kurang efektif, tidak optimalnya saluran pengaduan masyarakat untuk melaporkan kinerja perangkat desa yang mal-administrasi, dan ketidakjelasan ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Camat. Oleh karena itu, rekomendasi yang ditawarkan kajian ini mencakup sejumlah hal: 1) Kemendagri perlu merevisi Permendagri No. 07 tahun 2008 tentang Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dengan memasukkan aspek pengawasan partisipatif oleh masyarakat, audit sosial, mekanisme pengaduan dan peran Inspektorat Daerah; 2) Pemerintah Daerah (Prov/Kab/Kota) menyediakan dukungan dana untuk peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan desa bagi aparat Pemda terkait, dan pengawasan oleh Inspektorat Daerah; 3) Hasil audit Inspektorat Daerah disampaikan pada desa yang tidak diaudit untuk menjadi acuan; 4) Kab/Kota menyediakan auditor berlatar belakang akuntansi/keuangan khusus untuk membantu proses pengelolaan keuangan desa; 5) Pemerintah Daerah membangun sistem pengaduan masyarakat yang handal dan mensosialiasikannya hingga tingkat desa; dan 6) Kemendagri menyusun aturan yang memperjelas fungsi evaluasi dan pengawasan Camat kepada desa, termasuk meminta Pemerintah Daerah untuk menyusun panduan evaluasi dan pengawasan oleh Camat dan mekanisme pengaduan di desa. Keempat, potensi masalah dalam sumber daya manusia berupa potensi korupsi (fraud) oleh tenaga pendamping akibat kelemahan aparat desa. Untuk mengatasi masalah tersebut, kajian ini merekomendasikan agar Pemerintah Daerah menyusun Perbup/ Walikota tentang Pengelolaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping, yang mencakup juga tata cara rekrutmen, kode etik, mekanisme evaluasi kinerja dan sanksi bagi pendamping yang lalai/melanggar aturan. Kajian yang kurang lebih sama juga dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi negara (LAN) (2015). Dengan berfokus pada pengelolaan keuangan desa, kajian ini menunjukkan adanya empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Keempat faktor tersebut dibagi ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi sistem yang terdiri atas 1) regulasi yang lengkap dan jelas dan 2) pengawasan yang efektif dan menyeluruh, serta dimensi SDM yang terdiri atas 3) kompetensi kepala desa beserta 27
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
perangkat desa dan 4) kompetensi pendamping desa. Tinjauan atas keempat faktor tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai kelemahan mendasar pada setiap faktornya. Dari sisi regulasi, berbagai revisi peraturan yang dihasilkan ternyata masih kurang lengkap dan dirasa kurang berkeadilan. Dari sisi pengawasan, belum ditemukan model pengawasan yang efektif sehingga semua desa bisa tercakup secara menyeluruh dan saksama. Dari sisi kompetensi kepala desa, ditemui fakta bahwa masih banyak kepala desa yang tidak kompeten dari sisi manajerial-teknis, salah satunya ihwal pengelolaan keuangan. Adapun dari sisi pendamping desa, keterlambatan penerjunan di lapangan dan sistem perekrutan yang terburu-buru juga membawa potensi permasalahan. Karena berbagai prasyarat untuk menjamin terkelolanya keuangan desa secara baik sebagaimana tercermin pada empat faktor di atas masih belum berada pada kondisi yang ideal, maka kebijakan pencairan Dana Desa hendaknya direkonsolidasi. Kajian ini merekomendasikan dua pilihan kebijakan untuk mencegah agar kebijakan Dana Desa tidak mengalami distorsi yang merugikan berbagai pihak di lapangan. Pertama, tetap melanjutkan kebijakan Dana Desa dengan melakukan perbaikan inkremental atas empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa, dengan memberikan berbagai kelonggaran yang memudahkan pemerintah desa dalam mengelolanya. Kedua, pemerintah melakukan moratorium kebijakan Dana Desa dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau kebijakan lain yang menyatakan bahwa Dana Desa baru dicairkan setelah empat faktor yang memengaruhi keberhasilan pengelolaannya berhasil diamankan kualitas dan kesiapannya. Sementara itu, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) melalui kajian bertajuk Praktik Baik Desa dalam Implementasi UU Desa (2015) melakukan analisis terkait isu pengelolaan keuangan dan aset desa. Kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa prosedur penerimaan anggaran desa di masing-masing daerah (Kabupaten/Kota ) berbeda. Dalam proses pencairan ADD, pemerintah desa terkendala proses verifikasi tim kecamatan yang memakan waktu dan terdapat inkonsistensi dalam memberikan catatan perbaikan dokumen desa. Selain itu, lembaga yang ditunjuk pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan pencairan dana tidak memiliki ketersediaan dana yang cukup sehingga terjadi penundaan. Selain permasalahan proses administrasi yang dihadapi oleh desa, kendala lainnya adalah dalam menerima Dana Desa dan ADD yang proses pencairannya tidak dalam waktu bersamaan. Dari perspektif kelembagaan, kajian ini juga melihat peran camat—sebagai kepanjangan tangan bupati/walikota—sangat signifikan dalam pembangunan desa. Namun demikian, sebagai verifikator dan evaluator, kecamatan tidak memiliki instrumen atau pedoman dalam melakukan tugasnya sehingga mekanisme yang dilakukan “serabutan” dalam memberikan catatan terhadap dokumen desa, termasuk dokumen perencanaan keuangan desa. Kabupaten/Kota dalam mendelegasikan tugas ke 28
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kecamatan tidak disertai dengan pemberian pedoman dalam melakukan verifikasi dan evaluasi dokumen pemerintah desa. Hal ini menjadi kendala, baik bagi pihak kecamatan maupun oleh pemerintah desa itu sendiri. Sementara itu, tanpa petunjuk yang diberikan oleh Kabupaten/Kota, dominasi camat dalam menentukan arah pembangunan desa menjadi kuat, sedangkan pembangunan desa merupakan pilar kemajuan bagi Kabupaten/Kota . Berdasarkan analisisnya tersebut, Pattiro kemudian menawarkan beberapa rekomendasi terkait isu pengelolaan keuangan dan aset desa. Pertama, pemerintah Kabupaten/Kota perlu mensinergikan penyaluran dana ke desa antara Dana Desa dan ADD, sehingga desa tidak disibukkan dalam pengajuan anggaran yang berbeda waktu, dan seyogyanya pemerintah desa difasilitasi secara intensif dalam mengelola pemerintahan desa. Kedua, sejalan dengan semangat pembangunan partisipatif, pembangunan desa harus mengakomodasi kebutuhan masyarakat desanya, alih-alih menjauhkannya dengan rencana pembangunan yang sudah dibuat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten/Kota perlu membuat pedoman teknis dalam melakukan musyawarah desa yang sinergi antara kebutuhan masyarakat dan target rencana pembangunan desa. Ketiga, mengingat keterlibatan camat dalam tata kelola pemerintahan desa sangat signifikan, mulai pemilihan perangkat desa, evaluasi APBDesa, pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan desa serta pengelolaan terhadap aset desa, sebagai kepanjangan tangan pemerintah Kabupaten/Kota , maka pemerintah Kabupaten/Kota perlu melakukan: a) Penguatan terhadap sumberdaya manusia yang ada di kecamatan dalam menjalankan tugas yang didelegasikan; b) Pembinaan yang dilakukan camat harus berbasis output, agar ke depan tidak ada lagi persoalan administratif yang tidak dijalankan oleh desa terutama dalam penerimaan anggaran desa; c) Pelaksanaan tugas camat harus dibarengi dengan kepastian tugas dan petunjuk dalam pelaksanaannya. Termasuk dalam melakukan evaluasi Peraturan Desa maupun APBDesa dan tugas lainnya untuk melakukan evaluasi, camat perlu memiliki panduan dalam melakukan evaluasi. Hal ini akan dapat meminimalisir penyimpangan kewenangan oleh kecamatan saat menjalankan tugas dari Kabupaten/Kota. Keempat, pemerintah Kabupaten/Kota harus mempercepat melakukan inventarisasi aset desa agar desa dapat menggunakan dan memanfaatkan potensi yang ada dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bersama masyarakat desa. Chrisye Mongilala dari Universitas Sam Ratulangi juga melakukan kajian tentang pengelolaan Dana Desa. Sebagaimana tampak dari tajuk kajiannya, Kajian Yuridis Mengenai Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Desa di Kabupaten/Kota Minahasa Se latan (2016), kajian Chrisye lebih menekankan pada dimensi yang lebih spesifik, yaitu aspek yuridis pengelolaan dan pertanggung jawaban kepala desa dalam pengelolaan keuangan desa. Dengan menggunakan metode normative-empiris, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengelolaan Dana Desa di Kabupaten/Kota Minahasa Selatan masih menemui masalah mulai dari perencanaan, pengalokasian, penyaluran, penggunaan hingga pertanggungjawaban. Proses perencanaan yang diawali 29
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
dengan musyawarah desa belum dilakukan secara maksimal. Hal tersebut tampak dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang tidak disusun dengan baik dan mengalami keterlambatan. Penyaluran Dana Desa juga tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dari aspek penggunaan, perencanaan yang kurang baik di awal tahap menyebabkan ketidaksesuaian alokasi dengan kondisi dan kebutuhan desa. Sumber daya manusia yang kurang memadai menjadi salah satu penyebab utama pengelolaan tidak berjalan sesuai aturan yang ada. Pemerintah Desa belum siap untuk mengolah Dana Desa yang mencapai ratusan juta rupiah tiap desa. Laporan realisasi yang disampaikan oleh Kepala Desa tiap semester tidak disampaikan tepat waktu dan belum mengikuti standar yang berlaku serta rawan manipulasi. Jika demikian maka potensi terjadinya penyalahgunaan sangat besar. Kepala Desa juga harus menginformasikan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat secara tertulis lewat media yang mudah diakses oleh masyarakat, misalnya lewat papan pengumuman. Namun, pada kenyataannya belum ada desa yang melakukannya padahal ini merupakan salah satu hak yang harus diperoleh oleh masyarakat yaitu mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintah Desa, Pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan, maka Pemerintah Kabupaten/Kota harus lebih meningkatkan sosialisasi dan pelatihan terkait teknis pengelolaan dan pertanggungjawaban Dana Desa serta memanfaatkan tenaga pendamping. Berdasarkan tinjauan atas beberapa studi terdahulu sebagaimana disampaikan di atas, masih terdapat dimensi tertentu yang belum menjadi objek kajian mengenai Dana Desa, yaitu berdasarkan sudut pandang hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa. Oleh karena itu, sebagai objek studi, aspek hubungan kewenangan antara pemerinta desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa menjadi sangat relevan untuk dijawab melalui kajian ini. Tinjauan kajian ini cukup jelas yakni memperoleh batasan dan gambaran yang jelas tentang hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa, sembari mencoba mengkonstruksi suatu model ideal tentang pengelolaan Dana Desa dengan berpijak pada beberapa konsepsi yang ada dan data kondisi lapangan tersebut sesuai dengan semangat Undang-Undang. Dengan demikian diharapkan kajian ini dapat mengisi ruang kosong yang belum terisi dalam khasanah studi tentang implementasi UU Desa, khususnya dalam pengelolaan Dana Desa.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Majchrzak (1990: 12) mendefinisikan penelitian kebijakan sebagai proses pelaksanaan penelitian pada atau analisis terhadap masalah social yang mendasar (fundamental) guna memberikan rekomendasi yang bersifat pragmatis dan berorientasi tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan kata lain, penelitian kebijakan berawal dari adanya masalah sosial, diolah dalam serangkaian proses penelitian yang di dalamnya termasuk mengembangkan alternatif tindakan untuk mengatasi masalah tersebut, serta mengomunikasikan alternatif-alternatif tersebut kepada para pembuat kebijakan. Rangkaian kegiatan dalam penelitian kebijakan dapat bervariasi, tidak hanya tergantung pada permasalahan yang dipilih, melainkan juga cara (style), kreativitas, dan keputusan (judgment) peneliti. Melalui serangkaian kegiatan yang eksploratif, penelitian ini berupaya untuk memberikan pemahaman mendalam terhadap masalah hubungan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota (supradesa) dan Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam aspek kewenangan, kelembagaan, pengelolaan keuangan, dan pengawasan. Selain itu, penelitian ini berupaya memberikan alternatif kebijakan berupa model ideal dan identifikasi kebijakan yang perlu diharmonisasikan ataupun perlu disusun lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan hubungan pemerintah supradesa dan desa yang lebih baik. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mempelajari subyek masalah dalam keadaan alaminya dan menginterpretasikannya. Menurut pendekatan ini, pada dasarnya realitas social dibentuk berdasarkan hasil pemaknaan manusia atas realitas social tersebut sehingga tidak ada realitas social yang bersifat pasti karena sangat tergantung pada cara pemaknaan realitas social tersebut. Karakteristik penelitian kualitatif adalah fleksibel sehingga jalannya penelitian dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Penelitian mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota (supradesa) dan Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa melibatkan banyak pemangku kepentingan yang memiliki perspektif yang beragam. Di sinilah peneliti memainkan perannya untuk dapat menentukan informasi yang relevan untuk dianalisis sehingga menghasilkan rekomendasi yang benar-benar dibu31
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
tuhkan. B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang melibatkan serangkaian kegiatan: 1. Kajian literatur dan Pemetaan Kebijakan (Regulatory Mapping). Kajian literatur dilakukan melalui eksplorasi data dan informasi dari buku-buku, surat kabar, penelusuran sumber-sumber online, maupun hasil riset terdahulu tentang problematika hubungan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya terkait dengan aspek kewenangan dalam pengelolaan Dana Desa. Sedangkan regulatory mapping digunakan dengan mengidentifikasi dan memetakan regulasi serta instrumen kebijakan yang ada, mulai dari level pusat, daerah, hingga desa, yang mengatur hubungan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Tahapan kegiatan ini sekaligus menggali sejauh mana dan bagaimana efektivitas kontruksi hubungan antara pemerintan desa dan supra desa yang terbangun selama ini. 2. Diskusi Terbatas. Kegiatan ini melibatkan narasumber yang memiliki keahlian terkait subyek yang sedang dikaji, terdiri dari ahli yang memiliki latar belakang akademis maupun para praktisi langsung, untuk memperoleh data dan informasi langsung dari subjek yang sedang dikaji. Selain itu, dalam diskusi terbatas yang terfokus ini, dilakukan pula proses klarifikasi maupun verifikasi atas konsep dan hasil temuan sebelumnya. Dengan demikian, diharapkan peneliti memperoleh gambaran yang komprehensif terkait dengan kondisi riil tentang hubungan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Diskusi terbatas dilaksanakan di level Pemerintahan Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa. 3. Wawancara Mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh informasi atau data untuk tujuan penelitian melalui tanya jawab dan tatap muka. Wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur dengan mengembangkan poin-poin pertanyaan sesuai kebutuhan kepada beberapa informan yang dipilih sebagai informan kunci. Wawancara mendalam dilakukan untuk memeroleh informasi lebih mendalam sebagai tindak lanjut dari kegiatan diskusi terbatas yang telah dilakukan, maupun untuk melengkapi data dan informasi yang belum diperoleh selama kegiatan diskusi terbatas. 4. Informan kunci. Adapun informan kunci dalam penelitian ini secara umum adalah sebegai berikut. 1. Pemerintah Pusat a. Kementerian Dalam negeri b. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan 32
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
2.
3.
4. 5.
Transmigrasi Provinsi: a. Kepala Biro Pemerintahan Umum Provinsi b. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi c. Perwakilan APDESI di tingkat Provinsi Kabupaten/Kota: a. Kepala Bagian Pemerintahan b. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten/Kota c. Perwakilan APDESI di tingkat Kabupaten Kecamatan a. Camat Desa a. Kepala Desa b. Ketua BPD c. Sekretaris Desa
C. LOKUS DAN WAKTU PELAKSANAAN Penelitian dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DI Yogyakarta, Banten, dan Jawa Barat. Lokus-lokus tersebut dipilih berdasarkan data dalam Indonesia Governance Index 2014 (Kemitraan, 2014) dan Indeks Desa Mandiri (Kemendesa, 2015), yang masing-masing mewakili daerah dan kondisi desa dengan karakteristik beragam, yaitu desa mandiri, desa, desa berkembang, dan desa tertinggal, serta kondisi daerah yang mewakili karakteristik khusus pula. Lebih detailnya sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 3.1 berikut: Tabel 3.1 Lokus Kajian No. 1. 2. 3.
Provinsi
Alasan Pembangunan Desa
Tata Kelola Peme rintahan Daerah Provinsi SuSedang Keterwakilan lokus wilayah luar Jawa (Sulawesi Selatan lawesi) dengan mayoritas desa berkembang (85,93 %) Provinsi DIY Baik Keterwakilan lokus wilayah Jawa dengan persentase desa mandiri paling tinggi (32,14 %) Provinsi Jawa Sedang Keterwakilan lokus wilayah Jawa dengan Barat mayoritas desa berkembang (86,88 %) 33
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
No.
Alasan Pembangunan Desa
Provinsi
Tata Kelola Peme rintahan Daerah 4. Provinsi KaliBuruk Keterwakilan lokus wilayah Kalimantan mantan Barat dengan mayoritas desa tertinggal (50,58 %) 5.. Provinsi BangSedang Keterwakilan lokus wilayah Sumatera denka Belitung gan mayoritas desa berkembang (93,20 %) 6. Provinsi Ban Sedang Keterwakilan lokus wilayah Jawa dengan ten persentase desa tertinggal paling tinggi (12,76 %) Sumber: diolah dari Indonesia Governance Index (Kemitraan), 2014; dan Indeks Desa Membangun (Kemendesa), 2015.
Penelitian dilakukan selama 10 bulan, yaitu Maret-Desember 2016. Berikut ini adalah tabel tahapan penelitian. Tabel 3.2 Tahapan Penelitian No. Tahapan Penelitian 1 Pengembangan TOR 2 3 4 5 6
Mar Apr Mei Jun
Jul
Aug Sep Okt Nov Des
Penyusunan Research Design & Instrumen Pengumpulan Data Pengolahan & Analisis Data Penyusunan Laporan Akhir Diseminasi Rekomendasi Kebijakan
D. TEKNIK ANALISIS DATA Analisis data merupakan proses pengolahan, penyajian, interpretasi dan analisis data yang diperoleh dari tahapan pengumpulan data. Analisis data kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dengan mengolah dan mempersiapkan data-data yang terkumpul untuk kemudian dianalisis. Data dari hasil diskusi terbatas dan wawancara mendalam disusun dalam bentuk notulensi ataupun transkripsi wawancara. Dalam rangka analisis data, peneliti melakukan triangulasi, yaitu memeriksa data dari berbagai sumber yang berbeda dan membangun justifikasi berdasarkan data tersebut secara koheren (Creswell, 2010: 286). Data yang diperoleh dijabarkan untuk kemudian dianalisis pada bagian yang penting dan relevan dalam rangka menjawab 34
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
pertanyaan penelitian. Kumpulan data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk narasi maupun kutipan langsung untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan. Dari kesimpulan tersebut, peneliti melakukan interpretasi atau pemaknaan data. Makna ini dapat berupa pelajaran atau informasi untuk melakukan perbandingan dengan penelitian lain dan pengalaman pribadi (Creswell, 2010: 347). E. DEFINISI OPERASIONAL Kajian hubungan antara pemerintahan supradesa dan pemerintah desa dalam penge lolaan Dana Desa ini hanya akan berfokus pada aspek hubungan kewenangan. Adapun definisi operasional dari kedua aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hubungan Kewenangan Hubungan kewenangan, dalam kajian ini, didefinsikan sebagai hubungan antar level pemerintahan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, maupun pemerintah desa dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya melalui koordinasi, pembinaan, dan pengawasan. 2. Pengelolaan Dana Desa Pengelolaan Dana Desa merupakan bagian dari pengelolaan keuangan desa meliputi keseluruhan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban realisasi penggunaan Dana Desa. 3. Instrumentasi Kebijakan Instrumentasi kebijakan, dalam kajian ini, didefinisikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi kebijakan yang perlu diharmonisasikan dan mengusulkan kebijakan yang perlu dibuat dalam rangka pengelolaan Dana Desa.
35
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
36
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN DAN DATA LAPANGAN
UU No. 6/2014 tentang Desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Batasan tentang desa tersebut berbeda dengan konsepsi desa menurut peraturan perundang-undangan sebelumnya, baik UU No. 23/2004 (dan PP No. 74/2005), UU No. 22/1999, terlebih dengan UU No. 5/1979. Menurut UU No. 32/2004, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Pengertian desa menurut UU No. 32/2004 ini hampir mirip dengan konsepsi desa menurut UU No. 22/1999. UU No. 22/1999 mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/ Kota. Sementara itu, dalam UU No. 5/1979, desa didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Didik G. Suharto (2016: 168), perbedaan batasan tentang desa dalam undang-undang berdampak pada peran pemerintah supradesa dalam pemerintahan desa. Lalu, seperti apakah peran pemerintah supradesa pasca implementasi UU No. 6/2014? Persis pada titik inilah penting untuk menyoal kembali pola hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) dengan Desa dalam implementasi UU Desa. Bagaimana peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. Bagaimanapun, selama puluhan tahun negara “membiarkan” desa tanpa kapasitas sebagai unsur penyelenggara negara. Sementara melalui UU No. 6/2014, diharapkan Desa mampu menjadi institusi negara yang modern dan mampu mendukung tugas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam usaha pembaharuan Desa tersebut, bagaimana sesungguhnya model relasi yang dibangun antara pemerintah pusat, provinsi, Ka37
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
bupaten/Kota dalam upaya mengembangkan penyelenggaraan pemerintahan desa yang efektif, akuntabel, transparan. Oleh karena itu, bagian ini akan menguraikan dua isu pokok. Pertama, memetakan substansi dari setiap aturan yang terkait dengan pengelolaan Dana Desa (policy level); Kedua, memetakan peran atau keterlibatan pemerintah supradesa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam pengelolaan keuangan (Dana Desa), sebagaimana yang tercantum dalam UU Desa dan peraturan perundang-undangan turunannya. A. ANALISIS KEBIJAKAN Selain UU No. 6/2014 tentang Desa, terdapat beberapa regulasi yang terkait dengan pengaturan pengelolaan keuangan desa, khususnya menyangkut Dana Desa yang berasal dari transfer pemerintah pusat (APBN). Beberapa peraturan tersebut antara lain: 1) PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN juncto PP No. 22 Tahun 2015 2) PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 juncto PP No. 47 Tahun 2015 3) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa 4) Peraturan Menteri Desa dan PDTT (Permendesa PDTT) No. 5 Tahun tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2015 5) Peraturan Menteri Desa dan PDTT (Permendesa PDTT) No. 21 Tahun tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2016 6) Peraturan Menteri Keuangan No. 247 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa juncto PMK No. 49 Tahun 2016 7) SKB 3 Menteri tentang percepatan penyaluran Dana Desa. Terkait dengan pengelolaan Dana Desa, UU No. 6/2014 memang belum mengatur secara rinci. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menelaah lebih jauh beberapa peraturan turunan, baik PP maupun peraturan menteri, yang terkait dengan desa untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci. UU No. 6/2014 sendiri menyebutkan bahwa Dana Desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa yang berasal dari belanja pemerintah pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah secara bertahap. Penghitungan anggaran yang bersumber dari APBN tersebut mengacu kepada jumlah desa dan pengalokasiannya memperhatikan 4 (empat) variabel, yaitu jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Setelah disalurkan ke kas desa, Dana Desa diintegrasikan dengan sumber pendapatan 38
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
desa yang lain dalam dokumen perencanaan anggaran desa (RAPBDes). Dan, setelah mendapat persetujuan Badan Permusyaratan Desa (BPD) melalui mekanisme musyawarah desa, dokumen perencanaan anggaran tersebut ditetapkan menjadi APBDes melalui Peraturan Desa (Perdes). UU Desa mengamanatkan agar belanja desa memperhatikan dua hal. Pertama, memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam musyawarah desa; kedua, mengikuti prioritas pemerintah daerah Kabupaten/Kota, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah pusat. Sementara itu, PP No. 60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang kemudian diperbaharui melalui PP No. 22/2015 menjelaskan secara lebih rinci pengaturan tentang Dana Desa. PP ini memuat sejumlah ketentuan tentang pengelolaan Dana Desa, yang meliputi penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pelaporan, pemantauan dan evaluasi. Dana Desa merupakan alokasi dana dari APBN untuk desa dalam rangka menunaikan hak keuangan desa sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 6/2014. Oleh karena itu, setiap tahun pemerintah menganggarkan Dana Desa dalam APBN, yang merupakan bagian dari belanja Pusat non K/L sebagai pos cadangan Dana Desa. PP Dana Desa juga menyatakan bahwa Dana Desa merupakan realokasi dari program kegiatan/program K/L yang berbasis desa. Sayangnya, PP ini belum mengatur secara rinci peta jalan atau tahapan alokasi Dana Desa hingga mencapai 10 %. Sementara itu, PP No. 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN Jika kita mencoba menelusuri alur penyaluran Dana Desa berdasarkan ketentuan PP No. 60/2014, maka akan didapatkan gambaran sebagai berikut. 1) Penyaluran Dana Desa dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Uang Negara ke Rekening Kas Uang Daerah (RKUN RKUD). Pemindahbukuan hanya dilakukan apabila pemerintah kabupaten/kota telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu adanya Peraturan Bupati/Walikota tentang tata cara pembagian dan penetapan Dana Desa yang telah disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan APBD yang telah ditetapkan. 2) Pemindahbukuan dari RKUD ke rekening desa, dengan persyaratan setelah APBDes ditetapkan. Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran DAU dan/atau DBH bagi kabupaten/kota yang tidak menyalurkan Dana Desa sesuai ketentuan. Dalam hal penggunaan Dana Desa, PP No. 60/2014 menyebutkan beberapa prioritas belanja, yaitu untuk pembangunan dan pemberdayaan. Rincian penggunaannya mengacu pada RPJMDes dan RKPDes yang sudah disusun oleh desa. Namun demikian, dalam ketentuan lebih lanjut, Menteri Keuangan mengatur soal prioritas penggunaan Dana Desa yang ditentukan setelah berkoordinasi K/L terkait, seperti Bappenas, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa, dan kementerian teknis. Aturan mengenai prioritas penggunaan Dana Desa ini dituangkan dalam suatu pedoman umum yang dibuat oleh kementerian terkait, dalam hal ini 39
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Kemendagri dan Kemendesa, dan diintegrasikan dalam Rencana Kerja Pemerintah. Pembuatan pedoman umum kegiatan yang didanai Dana Desa ini mengacu pada prioritas penggunaan Dana Desa. Dalam pelaksanaan di lapangan, format pengalokasian besaran Dana Desa untuk setiap desa sebagaimana diatur dalam PP No. 60/2014 menuai protes. Hal ini karena pengalokasian Dana Desa yang dilakukan berdasarkan empat indikator (jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis) dianggap menimbulkan kesenjangan (gap) pendapatan antar satu desa dan desa yang lain yang berdekatan, sehingga menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu, muncul PP No. 22 Tahun 2015 yang merupakan revisi terbatas atas PP No. 60/2014. Berdasarkan PP No. 22/2015, format pengalokasian besaran Dana Desa untuk masing-masing desa dilakukan menurut rumus: 90% sama rata + 10% berdasarkan empat indikator yang sudah disebutkan sebelumya. Adapun PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tidak mengatur soal pengelolaan Dana Desa. Namun, PP ini mengatur tentang pengelolaan keuangan dan aset desa, terutama untuk sumber-sumber pendapat desa yang bukan berasal dari Dana Desa, antara lain ketentuan mengenai Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota , bagian dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota , penyaluran bantuan keuangan yang berasal dari APBD provinsi atau APBD Kabupaten/Kota ke desa serta penggunaan belanja desa, penyusunan APB Desa, pelaporan dan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APB Desa, dan pengelolaan kekayaan desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memuat ketentuan yang terkait dengan keseluruhan kegiatan pengelolaan keuangan desa, meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Selanjutnya, Permen ini menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa adalah Kepala Desa, yang juga mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan Desa yang dipisahkan. Dalam mengelola keuangan, Kepala Desa dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTKD) yang dijabat oleh salah satu perangkat desa. Adapun Sekretaris Desa berkedudukan sebagai koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Secara umum, pengelolaan keuangan desa dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan: Pertama, tahapan perencanaan, yaitu penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang dilakukan oleh Kepala Desa bersama BPD melalui mekanisme musyawarah desa. Kedua, tahapan pelaksanaan. Dalam tahapan ini, semua penerimaan dan pengeluaran desa dalam rangka pelaksanaan kewenangan desa dilaksanakan melalui rekening kas desa. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan selain yang ditetapkan dalam peraturan desa. Ketiga, tahapan penatausahaan yang dilakukan oleh Bendahara Desa. Dalam hal ini, bendahara wajib melakukan 40
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir bulan secara tertib. Penatausahaan penerimaan dan pengeluaran dilakukan menggunakan buku kas umum, buku kas pembantu pajak, dan buku bank. Keempat, tahapan pelaporan. Kades melaporkan pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota berupa: laporan semester pertama dan laporan semester akhir tahun. Laporan semester pertama berupa laporan realisasi APBDesa (disampaikan pada bulan Juli tahun berjalan). Laporan semester akhir tahun berupa laporan realisasi APBDesa yang disampaikan pada Januari tahun berikutnya. Kelima, tahapan pertanggungjawaban. Kades menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota pada akhir tahun anggaran, meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Peraturan Menteri Desa PDTT (Permendesa PDTT) No. 5 Tahun 2015 dan Permendesa No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa secara khusus memuat ketentuan mengenai pengelolaan Dana Desa yang berupa transfer langsung dari APBN. Kedua peraturan ini mengatur prioritas peggunaan Dana Desa pada tahun yang berbeda, yaitu Permendesa No. 5/2015 mengatur prioritas penggunaan untuk tahun 2015, sedangkan Permendesa No. 21/2015 mengatur prioritas untuk tahun 2016. Pada tahun anggaran 2015 dan tahun 2016, prioritas penggunaan Dana Desa masih diutamakan untuk mendanai program atau kegiatan bidang pelaksanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Untuk program atau kegiatan selain pada dua bidang kewenangan tersebut, pendanaanya dapat bersumber pada sumber pendapatan desa lainnya seperti Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber pada APBD, bagi hasil pajak dan retribusi, dan Pendapatan Asli Desa (PADes). Kendati prioritas penggunaan Dana Desa telah diatur melalui Permendesa, namun pengaturan tersebut masih memberi ruang pada desa untuk menggunakan Dana Desa sesuai dengan karakteristik/tipologi, tantangan, dan tingkat perkembangan desa itu sendiri. Tipologi desa merupakan fakta, karakteristik dan kondisi nyata yang khas, keadaan terkini di desa, maupun keadaan yang berubah, berkembang dan, diharapkan terjadi di masa depan (visi desa). Pengelompokkan tipologi desa dapat diuraikan sekurang-kurangnya didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 1) berdasarkan kekerabatan, dikenal desa geneologis, desa teritorial dan desa campuran; 2) berdasarkan hamparan, dapat dibedakan desa pesisir/desa pantai, desa dataran rendah/lembah, desa dataran tinggi, dan desa perbukitan/pegunu ngan; 3) berdasarkan pola permukiman, dikenal desa dengan permukiman menyebar, melingkar, mengumpul, memanjang (seperti pada bantaran sungai/jalan); 4) berdasarkan pola mata pencaharian atau kegiatan utama masyarakat dapat dibedakan desa pertanian, desa nelayan, desa industri (skala kerajinan dan 41
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
atau manufaktur dengan teknologi sederhana dan madya), serta desa per dagangan (jasa-jasa); dan 5) berdasarkan tingkat perkembangan kemajuan desa dapat dikategorikan desa tertinggal atau sangat tertinggal, desa berkembang, serta desa maju atau mandiri. Kategorisasi ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang didukung data statistik sehingga didapatkan peringkat kategoris kemandirian atau kemajuan desa. Dengan demikian, setiap desa pasti memiliki karakteristik yang dapat didefinisikan secara bervariasi dari kombinasi karakteristik atau tipologi yang ada. Artinya, desa memiliki tipologi yang berbeda-beda atau beragam, dari desa satu dengan desa lainnya. Sebagai contoh, desa A mempunyai tipologi desa pesisir- nelayan-geneologis-maju, desa B tipologi desa lembah-pertanian/sawah-teritorial-berkembang, desa C tipologi desa perbukitan-perkebunan/perladangan-campuran-tertinggal, dan lain seterusnya. Untuk itu, pedoman umum prioritas penggunaan Dana Desa ini memberikan ruang atau terbuka pada karakteristik yang khas setiap desa. Perbedaanya adalah keharusan menjadikan rujukan karakteristik atau tipologi berdasarkan perkembangan atau kemajuan desa. Hal ini dilakukan, mengingat ke depan perkembangan desa ditargetkan secara nasional meningkat secara periodik dari waktu ke waktu, dari sangat tertinggal/tertinggal menjadi berkembang lalu menjadi maju dan mandiri. Pelaksanakan musyawarah desa untuk penyusunan RKPDesa 2016 dilaksanakan pada rentang waktu triwulan keempat Oktober sampai dengan Desember. Keluarannya, adalah dokumen perencanaan RKPDesa untuk tahun anggaran 2016. Pada musyawarah desa perencanaan pembangunan desa diharapkan seluruh informasi terkait dengan pembahasan dan pengambilan keputusan seperti informasi tentang pagu Dana Desa, Alokasi Dana Desa, perkiraan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah, program/proyek masuk desa, bantuan keuangan daerah dan tipologi berdasarkan perkembangan desa dengan menggunakan data Indeks Desa Membangun (IDM), sudah dapat disampaikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa-desa di wilayah masing-masing. Dari musyawarah desa ini akan didapatkan perencanaan program atau kegiatan prioritas desa baik yang berskala desa maupun berskala Kabupaten/Kota . Di samping itu, juga memetakan sumber-sumber pendanaan atas program/kegiatan yang dibahas dalam forum tersebut. Berdasarkan Permendesa No. 21/2015 disebutkan bahwa prioritas penggunaan Dana Desa didasarkan pada prinsip-prinsip: 1) keadilan, dengan mengutamakan hak atau kepentingan seluruh warga desa tanpa membeda- bedakan; 2) kebutuhan prioritas, dengan mendahulukan kepentingan Desa yang lebih mendesak, lebih dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentin42
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
gan sebagian besar masyarakat Desa; dan 3) tipologi desa, dengan mempertimbangkan keadaan dan kenyataan karakteristik geografis, sosiologis, antropologis, ekonomi, dan ekologi desa yang khas, serta perubahan atau perkembangan kemajuan desa. Penggunaan Dana Desa untuk prioritas bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa menjadi prioritas kegiatan, anggaran dan belanja desa yang disepakati dan diputuskan melalui Musyawarah Desa. Hasil keputusan Musyawarah Desa harus menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa dan APB Desa. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, prioritas penggunaan Dana Desa diarahkan pada pelaksanaan program dan kegiatan Pembangunan Desa, meliputi: 1) pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan infrasruktur atau sarana dan prasarana fisik untuk penghidupan, termasuk ketahanan pangan; 2) pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan, sosial dan kebudayaan; 3) pengembangan usaha ekonomi masyarakat, meliputi pembangunan dan pemeliharaan sarana prasarana produksi dan distribusi; dan/atau 4) pembangunan dan pengembangan sarana-prasarana energi terbarukan serta kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Pemerintah Desa bersama-sama dengan BPD dapat mengembangkan prioritas sesuai Daftar Kewenangan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang ditetapkan dalam Peraturan Desa. Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah kabupaten/kota adalah melakukan pendampingan terhadap penyusunan prioritas berdasarkan Daftar Kewenangan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota. Prioritas penggunaan Dana Desa untuk program dan kegiatan bidang pemberdayaan masyarakat desa, dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan desa, antara lain: 1) peningkatan investasi ekonomi desa melalui pengadaan, pengembangan atau bantuan alat-alat produksi, permodalan, dan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pemagangan; 2) dukungan kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa atau BUM Desa Bersama, maupun oleh kelompok dan atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya; 3) bantuan peningkatan kapasitas untuk program dan kegiatan ketahanan pangan Desa; 4) pengorganisasian masyarakat, fasilitasi dan pelatihan paralegal dan bantuan hukum masyarakat Desa, termasuk pembentukan Kader Pemberdayaan 43
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Masyarakat Desa (KPMD) dan pengembangan kapasitas Ruang Belajar Masyarakat di Desa (Community Centre) 5) dukungan terhadap kegiatan pengelolaan Hutan/Pantai Desa dan Hutan/ Pantai Kemasyarakatan; 6) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat untuk energi terbarukan dan pelestarian lingkungan hidup; dan/atau 7) bidang kegiatan pemberdayaan ekonomi lainnya yang sesuai dengan analisa kebutuhan desa dan telah ditetapkan dalam Musyawarah Desa. Bila dicermati, Peraturan Menteri ini disusun untuk mengefektifkan dan mengharmonisasikan langkah pencapaian visi misi program pembangunan secara nasional. Oleh karena itu, peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman umum penggunaan Dana Desa. Sebagai pedoman umum, peraturan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi prakarsa lokal dalam merancang program/kegiatan pembangunan prioritas yang dituangkan ke dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa, melainkan memberikan pandangan prioritas penggunaan Dana Desa, sehingga desa tetap memiliki ruang untuk berkreasi membuat program/kegiatan desa sesuai dengan kewenangannya dan analisa kebutuhan prioritas dan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga, berdasarkan konsepsi bentuk-bentuk kewenangan yang telah dibangun untuk memetakan posisi regulasi, maka dapat disimpulkan bahwa peraturan tersebut sudah mengarah kepada sistem rumah tangga riil. Begitu pula halnya dengan ketentuan terkait lainnya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 49 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa. Seperti halnya Permendesa No. 21/2015, Peraturan Menteri yang terakhirnya ini juga dimaksudkan sebagai pedoman umum penggunaan Dana Desa. Tujuannya tidak lain untuk mengefektifkan penggunaan Dana Desa dan sejalan dengan langkah dan pencapaian visi misi program pembangunan secara nasional. Dari sisi kelembagaan (organizational level), UU No. 6/2014 menyebutkan ejumlah peran dari pemerintahan supradesa dalam pengelolaan keuangan desa, yang di dalamnya mencakup pengelolaan Dana Desa. Pasal 112-115 secara jelas menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam hal ini, undang-undang mengatur peran pemerintahan supradesa untuk berperan sesuai jenjangnya masing-masing dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa tersebut sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan desa. Beberapa fungsi atau peran pembinaan dan pengawasan dari pemerintah supradesa yang relevan dengan pengelolaan keuangan desa (termasuk Dana Desa), diberikan pada tabel di halaman berikut. Mengacu pada rincian peran pemerintah supradesa di atas, fungsi pengawasan dan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa melekat pada masing-masing 44
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Tabel 4.1 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Keuangan Desa menurut UU No. 6/2014 tentang Desa Pemerintah Pusat (melalui K/L terkait) a. memberikan pedoman tentang dukungan pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa; b. memberikan bimbing an, supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusya waratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan; c. melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa; d. melakukan penelitian tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
Pemerintah Provinsi a.
b. c.
d.
Pemerintah Kabupaten/ Kota melakukan pembinaan a. melakukan fasilitasi peningkatan kapasipenyelenggaraan Petas Kepala Desa dan merintahan Desa; perangkat Desa, Badan b. mengawasi pengelolaan Permusyawaratan Desa, Keuangan Desa dan dan lembaga kemasyarpendayagunaan Aset akatan; Desa; melakukan pembinaan c. melakukan pembinaan manajemen Pemerintadan pengawasan penyehan Desa; lenggaraan Pemerintamelakukan bimbingan han Desa; teknis bidang tertentu d. menyelenggarakan yang tidak mungkin pendidikan dan peladilakukan oleh Pemertihan bagi Pemerintah intah Daerah KabupatDesa, Badan Permusyen/Kota; awaratan Desa, lembaga melakukan pembinaan kemasyarakatan, dan dan pengawasan atas lembaga adat; penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
Sumber: PKDOD, 2016
level pemerintahan, baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dengan substansi dan derajat yang berbeda satu sama lain. Dibanding dengan aturan terdahulu, yaitu UU No. 32/2004 (PP No. 72/2005), hampir tidak terdapat perbedaan terkait peran pemerintah supradesa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa. Baik dalam PP No. 72/2005 maupun UU No. 6/2014, peran fungsi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa melekat baik pada pemerintah maupun pemerintah kabupaten/kota. Sementara itu peran pengawasan hanya melekat pada pemerintah kabupaten/kota saja. Namun menurut UU No. 6/2014, pemerintah provinsi berperan dalam pembinaan dan pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota khususnya terkait pembiayaan 45
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
desa. Gambaran yang agak rinci tentang peran pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa terdapat dalam PP No. 60/2014. Menurut PP ini, bupati/walikota berwenang menentukan bobot/variabel tingkat kesulitan geografis desa. Bupati/walikota juga berwenang menyusun dan menetapkan indeks kesulitan geografis (IKG) berdasarkan pada beberapa faktor yang sudah ditentukan dalam ketentuan ini dengan menggunakan basis data resmi dari BPS. Dana Desa ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota untuk selanjutnya ditransfer ke APBDesa. Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2014, peran pemerintah supradesa, terutama pemerintah pusat, melalui Menteri Keuangan dan Menteri Desa dan PDTT (Kemendesa PDTT), dan bupati/walikota, relatif lebih besar. PP ini memberi mereka kewenangan yang sedemikian besar dalam pengelolaan keuangan desa, terutama untuk sumber/pos pendapatan desa yang berasal dari Dana Desa. Begitu pula dalam hal penggunaan Dana Desa, peran dari pemerintah supradesa juga masih sangat kuat. Bupati/walikota, misalnya, mempunyai kewenangan dalam membuat pedoman teknis kegiatan yang didanai Dana Desa dengan mengacu pada pedoman umum. Sedangkan dalam tahap pelaporan penggunaan Dana Desa, pemerintah desa wajib melaporkan realisasi penggunaan Dana Desa setiap semester kepada bupati. Dalam hal ini, camat berperan mengkoordinasikan laporan desa kepada bupati. Apabila terdapat desa yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan, bupati/walikota mempunyai kewenangan untuk menunda penyaluran Dana Desa pada desa yang bersangkutan sampai dengan disampaikannya realisasi penggunaan Dana Desa. Bupati kemudian melaporkan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa di seluruh desa yang berada dalam wilayahnya kepada Menteri Keuangan, Menteri Desa, dan Kementerian teknis serta pimpinan kementerian/lembaga lain yang terkait, dan gubernur pada tahun anggaran berikutnya. Jika bupati terlambat atau tidak melaporkan penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa, Menteri dapat menunda penyaluran Dana Desa. PP No. 60/2014 juga mengatur kewenangan pemerintah pusat (K/L terkait) untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa. Pemantauan dilakukan terhadap penerbitan peraturan bupati/ walikota tentang tata cara penetapan dan pembagian Dana Desa, penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas desa, penyampaian laporan realisasi, dan SiLPA Dana Desa. Sedangkan evaluasi dilakukan atas penghitungan pembagian Dana Desa untuk setiap desa oleh kabupaten/kota, dan realisasi penggunaan Dana Desa. Bupati/walikota mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi administratif kepada desa apabila terdapat SiLPA lebih dari 30%. Sanksinya berupa penundaan penyaluran Dana Desa tahap I tahun anggaran berjalan sebesar SiLPA Dana Desa. Apabila pada tahun berjalan masih terdapat SiLPA Dana Desa lebih dari 30%, bupa46
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
ti/walikota memberikan sanksi administratif kepada desa yang bersangkutan berupa pemotongan Dana Desa tahun anggaran berikutnya sebesar dana SiLPA Dana Desa tahun berjalan. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa tidak secara spesifik mengatur pengelolaan Dana Desa. Namun Permen ini memuat ketentuan tentang peran pemerintah supradesa dalam penyusunan APBDes, yang meliputi beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. Dalam tahap perencanaan, Permendesa No. 113/2014 menegaskan kembali peran bupati/walikota dalam mengevaluasi Rancangan APBDes yang dilakukan melalui camat. Menurut Permendesa ini, apabila hasil evaluasi Bupati/Walikota tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Kades dan Kades tetap menetapkan Ranperdes tersebut menjadi Perdes, Bupati/Walikota berwenang untuk membatalkan Perdes dengan Keputusan Bupati/Walikota. Jika Perdes tersebut dibatalkan, maka berlaku pagu APBDesa tahun sebelumnya dan Kades hanya dapat melakukan pengeluaran terhadap operasional penyelenggaraan pemerintah desa. Kades memberhentikan Perdes paling lama 7 hari kerja setelah pembatalan dan selanjutnya Kades bersama BPD mencabut Perdes dimaksud. Pada tahap pelaksanaan, Bupati/Walikota berwenang untuk menerbitkan peraturan mengenai jumlah uang dalam kas desa. Sedangkan dalam tahap pelaporan, Bupati/ walikota menerima laporan realisasi APBDes, yang dalam praktiknya dikoordinasikan melalui camat. Terakhir, dalam tahap pertanggungjawaban, Kades menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/ Walikota. Laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan lain. Peran Pemerintah Supradesa juga diatur dalam Permendesa No. 21/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Menurut peraturan ini, pemerintah Kabupaten/Kota bertugas melaksanakan fungsi pembinaan, monitoring, pengawasan dan evaluasi terhadap penggunaan Dana Desa sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pemanfaatannya. Pemerintah Kabupaten/ Kota harus menyediakan pendampingan dan fasilitasi, melalui pembentukan satuan kerja khusus pembinaan implementasi Undang-undang Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Tugas dan fungsi satuan kerja khusus pemerintah Kabupaten/Kota yang utama adalah melakukan sosialisasi kebijakan dan regulasi pusat dan daerah (Kabupaten/Kota ), pembinaan serta pengendalian implementasi Undang-undang Desa secara umum, dan secara khusus terkait penyaluran dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, serta penanganan pengaduan dan masalah terkait hal tersebut. Pembiayaan pendampingan, fasilitasi dan pembinaan, serta pengelolaan Satuan Kerja khusus Kabupaten/Kota dilakukan sesuai mekanisme penganggaran di daerah dan bersumber dari APBD Kabupaten/ Kota . 47
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, Bupati menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penggunaan Dana Desa dan dapat melimpahkan tugas kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berwenang. Pemerintah Desa dan BPD melaksanakan tugas pemantauan dan evaluasi penggunaan Dana Desa, dibahas dalam Musyawarah Desa, disesuaikan dengan format laporan Desa yang berlaku, secara berkala. Kemudian SKPD yang berwenang melakukan penilaian terhadap hasil pemantauan dan evaluasi. Hasil penilaian tersebut disampaikan kepada Bupati dan Menteri melalui sistem pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Desa mengkonstruksi desa sebagai organisasi campuran (hy brid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Desa juga tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, namun meliputi pemerintahan lokal dan sekaligus mengan dung masyarakat, yang keseluruhannya membentuk kesatuan hukum. Berikut ini akan disampaikan kondisi eksisting hubungan pemerintah desa dan pemerintah supra desa dalam pengelolaan Dana Desa. a. Perencanaan Dana Desa UU 6 Tahun 2014 memberi mandat kepada desa dalam menjalankan 4 kewenangannya, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan & pemberdayaan masyarakat
Bagan 4.1 Skema Analisis Kebijakan Hubungan Pemerintah Desa dan Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa Sumber: Diolah dari hasil analisis PKDOD LAN RI dan Pattiro, 2016. 48
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
desa. Mandat tersebut harus diturunkan dalam bentuk RPJM Desa yang juga harus mengacu pada dokumen perencanaan Kabupaten/Kota . Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Dalam PP No. 43 Tahun 2014 diatur bahwa RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa. RKP Desa disusun oleh pemerintah desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota . RKP Desa mulai disusun oleh Pemerintah Desa pada bulan Juli tahun berjalan. RKP Desa ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan.RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa. Dalam PP No. 60 Tahun 2014 disebutkan bahwa Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan, namun yang diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang justru menjelaskan bahwa Dana Desa dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan kewenangan dan kebutuhan Desa sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai Desa. Berdasarkan PP tersebut, kemudian dibuat aturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Menteri Desa dan PDTT Nomor 21 Tahun 2015 (c) tentang Penetapan Prioritas Pembangunan Dana Desa Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa prioritas penggunaan Dana Desa didasarkan pada prinsip-prinsip: a. keadilan, dengan mengutamakan hak atau kepentingan seluruh warga desa tanpa membeda-bedakan; b. kebutuhan prioritas, dengan mendahulukan yang kepentingan Desa yang lebih mendesak, lebih dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat Desa; dan c. tipologi desa, dengan mempertimbangkan keadaan dan kenyataan karakteristik geografis, sosiologis, antropologis, ekonomi, dan ekologi desa yang khas, serta perubahan atau perkembangan kemajuan desa. Lebih lanjut, Permendesa No. 21/2015 menyebutkan bahwa penggunaan dana desa diprioritaskan di bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa menjadi prioritas kegiatan, anggaran dan belanja desa yang disepakati dan diputuskan melalui Musyawarah Desa. Hasil keputusan Musyawarah Desa harus menjadi acuan bagi penyusunan RKP Desa dan APB Desa. Pemerintah Desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. 49
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Perencanaan Pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi: a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. RPJM Desa dan RKP Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa (Perdes). Perdes tentang RPJM Desa dan RKP Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa. RPJM Desa dan RKP Desa merupakan pedoman dalam penyusunan APB Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. Perencanaan Pembangunan Desa merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota . Pemerintah Desa dapat mengusulkan kebutuhan pembangunan desa kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota . Dalam hal tertentu, Pemerintah Desa juga dapat mengusulkan kebutuhan pembangunan desa kepada Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi. Usulan kebutuhan pembangunan desa harus mendapatkan persetujuan bupati/walikota. Dalam hal bupati/walikota memberikan persetujuan, usulan disampaikan oleh bupati/walikota kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah provinsi. Usulan Pemerintah Desa dihasilkan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrembangdes). Jika Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota menyetujui, maka usulan tersebut dimuat dalam RKP Desa tahun berikutnya. Terkait dengan peraturan teknis pelaksanaan UU Desa, tampak bahwa terdapat arah pengaturan yang berbeda. Penyebabnya tidak lain karena adanya dua kementerian penyusun PP yang memiliki sudut pandang berbeda pula. Hal ini terlihat dari dua PP sebagai aturan pelaksana UU Desa. PP No. 60 Tahun 2014 jo PP No 22 Tahun 2015 disusun oleh Kementerian Keuangan. PP ini lebih mengarah pada implementasi asas sentralisasi hak-hak desa dalam pengelolaan keuangan. Logika yang coba dibangun dalam peraturan ini bertumpu pada kenyataan bahwa Dana Desa merupakan anggaran transfer dari Pemerintah Pusat, sehingga dibuatlah aturan terkait prioritas penggunaan Dana Desa. Sedangkan PP No. 43 lebih mengarah pada desentralisasi fungsi-fungsi pemerintahan dan penguatan peran perangkat kecamatan. Sementara itu dalam dokumen RAPB Desa, agak sulit untuk menelaah penggunaan Dana Desa. Hal ini karena dalam RAPB Desa, Dana Desa sudah tercampur dengan sumber-sumber pendapatan desa lainnya (ADD, dana bagi hasil dan retribusi desa, dana hibah, dana bantuan, dan penghasilan asli desa) sebagai satu kesatuan anggaran desa. Lain halnya jika di dalam dokumen RAPB Desa disebutkan secara spesifik bahwa kegiatan tertentu bersumber dari Dana Desa. Dari sisi perencanaan, terlihat bahwa peran pemerintah supradesa sangat besar. 50
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Saking besarnya hingga mengarah pada intervensi dan kontrol dari atas dalam pengelolaan Dana Desa. Hal ini tampak dari adanya pengaturan tentang prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2014. Selain itu, pemerintah supradesa juga, melalui Permendesa No. 21/2015, telah mengunci keleluasaan pemerintah desa dalam penggunaan Dana Desa dengan menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa. Padahal menurut mandat UU Pemda disebutkan bahwa rekognisi dan subsidiaritas merupakan satu kesatuan. Ada rekognisi dan subsidiaritas desa dalam pengelolaan Dana Desa. Namun, dari dua peraturan turunan tersebut terlihat intervensi pemerintah supra desa dalam pengelolaan Dana Desa. RPJM Desa sendiri disusun dengan mempertimbangkan perencanaan pembangunan kab/kota. Dana Desa menjadi salah satu bagian dalam keuangan desa. Dalam konteks pengelolaan Dana Desa, pemerintah supra desa melakukan pendampingan pengelolaan dana tersebut. Pada titik inilah kiranya penting untuk mendorong peran aktif peramgkat kecamatan. Perangkat kecamatan menjalankan peran fasilitasi membangun sinergi antara RPJM Desa dengan RPJMD Kabupaten/Kota , dan RKPDes bersinergi dengan RKP Pemda. Campur tangan pemerintah supra desa dalam, hal ini Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2014 terhadap penggunaan Dana Desa, cukup tinggi. Mandat UU No. 6 Tahun 2014 justru terdistorsi dengan keberadaan PP ini karena membatasi penggunaan Dana Desa dengan mengatur prioritas penggunaannya. Padahal, jika mandatnya sudah ada, seharusnya pemerintah supradesa memberikan kepercayaan kepada desa. b. Penganggaran Dana Desa Rancangan Perdes tentang APB Desa yang telah disepakati bersama disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi. Bupati/Walikota menetapkan hasil evaluasi Rancangan APB Desa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Perdes tentang APB Desa. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu, maka peraturan desa tersebut berlaku dengan sendirinya. Dalam hal Bupati/Walikota menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perdes tentang APB Desa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Kepala Desa melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa, Bupati/Walikota membatalkan Perdes tersebut dengan Keputusan Bupati/Walikota. Pembatalan Perdes sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya. Dalam hal pembatalan Perdes, Kepala Desa hanya dapat melakukan pengeluaran terhadap operasional penyelenggaraan Pemerintah Desa. Kepala Desa memberhentikan pelaksanaan Peraturan Desa Paling lama 7 (tujuh) hari kerja 51
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
setelah pembatalan dan selanjutnya Kepala Desa bersama BPD mencabut peraturan desa dimaksud. Bupati/walikota dapat mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada camat atau sebutan lain. Camat menetapkan hasil evaluasi Rancangan APBDesa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa. Dalam hal Camat tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. Dalam hal Camat menyatakan hasil evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Kepala Desa melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa, Camat menyampaikan usulan pembatalan Peraturan Desa kepada Bupati/Walikota. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Camat diatur dalam Peraturan Bupati/Walikota. Pada proses penganggaran, ketika RAPBDes selesai dibuat berdasarkan RPJMDes yang harus didampingi oleh kecamatan. Camat akan me-review dokumen RKPDes/ RAPBDes. Sejauh mana RAPBDes ini mencerminkan RPJMDes yang sudah disesuaikan dengan perencanaan Kabupaten/Kota. Pasti ada target-target tertentu, mi salnya terkait pemberdayaan. c. Pelaksanaan Dana Desa Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2014 dijelaskan bahwa camat atau sebutan lain melakukan tugas pembinaan dan pengawasan Desa. Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
fasilitasi penyusunan peraturan desa dan peraturan kepala desa; fasilitasi administrasi tata Pemerintahan Desa; fasilitasi pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan aset desa; fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; fasilitasi pelaksanaan tugas kepala desa dan perangkat desa; fasilitasi pelaksanaan pemilihan kepala desa; fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa; rekomendasi pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa; fasilitasi sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah dengan pembangunan desa; 10) fasilitasi penetapan lokasi pembangunan kawasan perdesaan; 11) fasilitasi penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; 12) fasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasyarakatan; 13) fasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif; 14) fasilitasi kerja sama antar-desa dan kerja sama desa dengan pihak ketiga; 52
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
15) fasilitasi penataan, pemanfaatan, dan pendayagunaan ruang desa serta penetapan dan penegasan batas Desa; 16) fasilitasi penyusunan program dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa; 17) koordinasi pendampingan desa di wilayahnya; dan 18) koordinasi pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan di wilayahnya. Sedangkan dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 tidak menjelaskan tentang kewenangan kecamatan, namun hanya mengatur kewenangan provinsi dan Kabupaten/Kota kota dalam pengelolaan Dana Desa. Pemerintah Provinsi wajib membina dan mengawasi pemberian dan penyaluran Dana Desa, Alokasi Dana Desa, dan Bagi hasil Pajak dan Retribusi Daerah dari Kabupaten/Kota kepada Desa. Pemerintah Kabupaten/Kota wajib membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Ada pertentangan konten kebijakan antara PP No. 60 Tahun 2014 dengan Permendagri No. 113 Tahun 2014. PP No. 60/2014 mengatur bahwa camat melakukan pembinaan dan pengawasan, sedangkan Permendagri 113 Tahun 2014, justru Kabupaten/Kota yang melakukan pembinaan tersebut d. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Dalam PP No. 43 Tahun 2014, diatur bahwa selain penyampaian laporan realisasi pelaksanaan APB Desa, kepala desa juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran. Laporan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain setiap akhir tahun anggaran. Sedangkan, dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota berupa: 1) laporan semester pertama; dan 2) laporan semester akhir tahun. Laporan semester pertama berupa laporan realisasi APBDesa. Laporan realisasi pelaksanaan APBDesa disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Sedangkan laporan semester akhir tahun disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya. Dalam proses penyusunan pelaporan dan pertanggungjawaban juga terdapat pertentangan konten kebijakan antara PP No. 43 Tahun 2014 dengan Permendagri 113 Tahun 2014. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa PP No. 43 Tahun 2014 mengatur peran kecamatan yang cukup dominan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan sehingga dianggap kecamatan cukup berdaya. Kecamatan dipandang memiliki pengalaman dalam pengelolaan dana dan paling dekat dengan desa sehingga seluruh peran fasilitasi dilakukan oleh kecamatan. 53
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Sedangkan dalam PP No. 60 Tahun 2014, peran pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Dana Desa justru menjadi peran Pemerintah Pusat. Hal ini karena pengaturan pengelolaan Dana Desa dalam PP tersebut berbasis “rezim keuangan”. Memang terdapat pelaporan tersendiri pada proses evaluasi ini, yaitu desa melaporkan penggunaan Dana Desa. Pencairan Dana Desa dilakukan secara bertahap. Setiap tahapan pencairan dana, camat akan memantau proses realisasi penggunaan Dana Desa. Pada tahapan ini pula Pemerintah Pusat meminta bantuan pemerintah Kabupaten/Kota untuk terlibat dalam penyaluran Dana Desa secara tidak langsung langsung. Namun di lapangan, desa seringkali kesulitan ketika Kepala Seksi Pemerintah Desa di kecamatan tidak mempunya kapasitas yang memadai. Akibatnya, pendampingan yang diberikan oleh perangkat kecamatan kepada pemerintah desa tidak berjalan efektif-efisien. Sebagai contoh, pemerintah desa seringkali terpaksa harus merevisi dokumen perencanaan APB Des berkali-kali, dan hal ini memaksa mereka untuk sering bolak-balik bertandang ke kantor kecamatan. UU desa menegaskan bahwa Dana Desa menjadi salah satu sumber pendapatan desa sekaligus menjadi hak dan kewajiban desa dalam mengelolanya. Artinya, pengelolaan Dana Desa menjadi bagian dari “rezim desa”. UU Desa tidak memerintahkan pembentukan PP yang secara khusus mengatur Dana Desa. Kehadiran PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 secara khusus mengatur Dana Desa. Implikasinya, terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan Dana Desa, yaitu dari “rezim desa”menjadi “rezim keuangan”. Dana Desa menjadi seolah-olah bagian dari proyek pemerintah pusat yang didatangkan ke desa, bukan menjadi bagian dari hak dan kewajiban desa untuk mendorong pembangunan desa. Di sinilah kemudian semangat rekognisi dan subsidiaritas dalam pengelolaan Dana Desa terdistorsi. Sejak dari tahapan perencanaan, PP No. 60/2014 tidak sejalan dengan UU Desa. Dana Desa disalurkan melalui APBD Kabupaten/Kota. Konsep “melalui” ini sebenarnya berarti hanya transit saja. Namun ternyata menyebabkan penyaluran Dana Desa terjebak dan dianggap menjadi bagian dari sistem desentralisasi e. Pemantauan dan Evaluasi Sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2014, dijelaskan bahwa pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi atas pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa. Pemantauan dilakukan terhadap: 1) penerbitan peraturan Bupati/Walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa; 2) penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas Desa; 3) penyampaian laporan realisasi; dan 4) SiLPA Dana Desa. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap: 1) penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/ kota; dan 54
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
2) laporan realisasi penggunaan Dana Desa. B. ANALISIS DATA LAPANGAN Pengkajian hubungan kewenangan desa dengan supradesa dalam pengelolaan Dana Desa dilaksanakan pada 6 (enam) provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten/Kota Bantaeng), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Banten, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Jawa Timur. Tim Kajian berkunjung ke salah satu Kabupaten/Kota dan desa pada keenam provinsi tersebut. Masing-masing desa yang menjadi lokus kajian ini mewakili karakteristik atau perkembangan tipologi desa, yaitu desa mandiri dan desa pra mandiri sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bab 2). Pembedaan desa mandiri dan desa pra mandiri dilakukan berdasarkan pada tiga kriteria: 1) kapasitas perangkat desa; 2) tingkat partisipasi masyarakat dan keaktifan BPD; dan (3) kondisi infrastruktur. Adapun desa yang menjadi lokus kajian ini, berdasarkan tipologi desa tersebut di atas, adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Tipologi Desa yang Menjadi Lokus Kajian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Provinsi Provinsi Sula wesi Selatan Provinsi DIY
Kabupaten Kabupaten Bantaeng Kabupaten Bantul Provinsi Jawa Kabupaten Barat Bandung Provinsi Kalim- Kabupaten antan Barat Kubu Raya Provinsi Bangka Kabupaten Belitung Bangka Provinsi Banten Kabupaten Lebak
Sumber: Tim PKDOD, 2016.
Desa Desa Kaloling, Kec. Gantarang Keke. Desa Panggungharjo, Kec. Sewon Desa Ciburial, Kec. Cimenyan Desa Jeruju Besar, Kec. Sungai Kakap Desa Rebo, Kec. Sungailiat
Tipologi Desa Mandiri
Desa Rangkas Bitung Timur, Kec. Rangkas Bitung
Pra Mandiri
Mandiri Mandiri Pra Mandiri Pra Mandiri
Penentuan lokus kajian ini ditentukan berdasarkan tipologi desa, yaitu Desa Mandiri atau Desa Pra Mandiri, yang didasarkan pada tiga kekuatan kemandirian pemerintahan desa yaitu kompetensi perangkat desa, partisipasi masyarakat (demokrasi), dan infrastruktur. Apabila ketiga kekuatan ini terpenuhi, maka hal ini akan menjadi basis kekuatan untuk menciptakan pemerintahan desa yang mandiri. Kondisi empiris hubungan kewenangan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa terlihat pada uraian berikut. 55
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa dengan Pemerintah Desa Pada Desa Mandiri Elaborasi pelaksanaan hubungan kewenangan supradesa dengan desa pada Desa Mandiri menunjukkan kondisi yang ‘mengejutkan’ sekaligus menggembirakan, karena dari ketiga kekuatan kemandiran sebagaimana tersebut di atas berada dalam kondisi yang cukup memadai. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pengelolaan Dana Desa di tiga provinsi yang menjadi lokus kajian—Provinsi Sulawesi Selatan (Desa Kaloling), Provinsi DIY (Desa Panggungharjo), dan Provinsi Jawa Barat (Desa Ciburial)—sejak perencanaan sampai pelaporan & pertanggungjawaban a. Perencanaan Perencanaan desa tertuang dalam dokumen lima tahunan berupa RPJM Desa (di tingkat kabupaten disebut RPJM Daerah). Dalam penyusunan dokumen RPJM Desa dilakukan melalui musyawarah pembangunan desa (Musrenbang Desa) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stake holders) desa. Pemerintah Desa yang terkategori ke dalam desa mandiri secar umum memiliki dokumen RPJM Desa. Hal ini dikarenakan, dokumen ini yang akan dijabarkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPD). Desa Panggungharjo di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul merupakan satu dari sekian banyak desa yang telah memiliki dokumen RPJM Desa dan RKP Desa. Memang harus diakui tidak seluruh komponen masyarakat desa mendukung proses penyusunan dokumen perencanaan desa, seperti RPJM Desa dan RKP Desa. Hal ini sebagaimana disampaikan Kepala Desa Panggungharjo sebagai berikut: Kita berhadapan dengan masyarakat yang apatis. Mereka datang terpaksa. 90% usulan warga hampir semua infrastruktur yang tidak berdasarkan kebutuhan mer eka. Kami mengelola itu dengan prioritas. Tahun 2012 awal kita membuat seko lah partisipasi. Kita ingin membuktikan UU Desa bisa memberikan banyak hal. Salah satunya dengan menggagas sistem informasi geografis.1 Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 tahun 2007, dijelaskan bahwa RKP Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun dan merupakan penjabaran dari RPJM-Desa yang memuat rancangan kerangka ekonomi desa, dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutahirkan, program prioritas pembangunan desa, rencana kerja dan pendanaan serta prakiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi 1. Hasil wawancara mendalam dengan Sdr. Wahyudi, Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY pada tanggal 11 Mei 2016 di Kantor Desa Panggungharjo.
56
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
masyarakat dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan RPJM-Desa. Persoalannya, apa yang dituangkan dalam RKP Desa terkadang tidak sepenuhnya mengakomodir kebutuhan masyarakat desa. Hasil Musrenbangdes yang telah disepakati dan dituangkan dalam dokumen tersebut memang seharusnya telah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa, sebagaimana pernyataan Kepala Desa Panggungharjo berikut: Terkait kewenangan lokal skala desa, kita punya kepastian hukum tentang apaapa yang kita lakukan. Selama ini agak nekat kami. Sekarang posisi desa menjadi kuat, apalagi ketika ditambah dengan keuangan desa. Ada 120 kewenangan skala lokal desa (116+4). Salah satu jalan keluarnya mereka mengembangkan badan hukum.2 Hal senada juga disampaikan Kepala Desa Kaloling Kecamatan Gantarang Keke Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai berikut: Sejak terpilih menjadi Kepala Desa, kami langsung mempersiapkan RPJM Desa bersama-sama komponen pemerintah desa dan non pemerintah desa. Kami sebagai pimpinan dan aparat desa menyadari dokumen ini akan menjadi pedoman selama lima tahun ke depan. Terkait dengan perencanaan kegiatan-kegiatan di desa, kami menuangkan kegiatan tahunan dalam RKP Desa yang juga dibahas bersama-sama dalam Musrenbang. Menurut Kementerian Keuangan, pengelolaan Dana Desa diarahkan untuk kepentingan infrastruktur. Walaupun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Direktur Dana Perimbangan Kemenkeu – Rukijo - dalam berbagai kesempatan, bahwa penggunaan dana ini dimungkinkan juga untuk pelayanan dasar selain infrastruktur, dengan pertimbangan apabila infrastruktur desa telah memadai. Persoalannya memang, selama ini dan sampai sekarang kondisi infrastruktur desa masih jauh dari memadai hal ini sebagaimana dinyatakan oleh narasumber pada FGD di Provinsi Jawa Barat: Beberapa desa di Jawa Barat, kondisinya mungkin tidak sebaik kondisi desa lain yang tergolong maju. Kami mengakui hal itu dan tidak menyangkal bahwa memang belum seluruh desa memiliki infrastruktur yang baik. Bahkan beberapa desa di pedalaman memiliki kondisi infrastruktur yang mungkin lebih buruk dari kondisi desa di luar Jawa. Pada posisi yang demikian, maka penggunaan Dana Desa akan lebih banyak dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur. Tentu tidak salah, karena memang hal ini telah sesuai aturan. Namun demikian, ke depan mungkin Dana Desa dapat juga dialokasikan untuk selain keperluan perbaikan infrastruktur. 2. Hasil wawancara mendalam dengan Sdr. Wahyudi, Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY pada tanggal 11 Mei 2016 di Kantor Desa Panggungharjo.
57
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pada kesempatan diskusi di LAN Jakarta (2016), Kepala Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat, menyatakan sebagai berikut: Bagi kami, dokumen RKP Desa yang kemudian didanai dengan alokasi dalam APB Desa menjadi permasalahan yang tidak sederhana. Selama ini alokasi ang garan dalam APB Desa sebenarnya merupakan ‘pemantik’ bagi tumbuhnya parti sipasi masyarakat di perdesaan, dan itu betul. Intervensi pemerintah supradesa terhadap pemerintah desa dalam perencanaan Dana Desa terjadi pada tahapan transfer Dana Desa maupun prioritas penggunaan Dana Desa. Pernyataan Kades Kaloling (Kabupaten Bantaeng) sebagai berikut: Persoalan utama bagi desa dalam Dana Desa terletak pada saat transfer dana dari kabupaten. Adakalanya transfer tersebut tidak tepat waktu. Kami tidak mengeta hui penyebab keterlambatan. Namun apa yang kami lakukan di desa kaitannya dengan perencanaan desa, tidak/belum sepenuhnya sesuai dengan harapan kami karena adanya pengaturan prioritas dari Pusat. b. Penganggaran Penganggaran Dana Desa diawali dengan ketersediaan dokumen perencanaan desa yakni RKP Desa, yang dibiayai dengan APBDesa. Rancangan Perdes APBDesa disampaikan kepada Bupati/Walikota. Bupati/Walikota dapat mendelegasika kepada Camat atau sebutan lain untuk me-review Perdes APBDesa tersebut. Setelah di-review, Perda APBDesa tersebut dikembalikan kepada pemerintah desa maksimal 20 hari. Namun menarik apa yang terjadi di Desa Panggungharjo-Bantul: Belum ada Perbup soal kewenangan. Padahal ini penting sebagai dasar pengangga ran. Kami sudah medorong sejak 2014. Kami tunggu sampai akhir tahun ini, ka lau tidak kami akan mengeluarkan Perdes sendiri. Hampir setiap ketemu (pihak) kabupaten, kami sampaikan hal ini. Kabupaten ‘galau’ sebenarnya, karena kalau mengikuti UU Desa, mereka akan kehilangan pekerjaan….3 Yang dimaksud dalam pernyataan tersebut bukan Perbup tentang pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana tertuang dalam Perbup Bantul Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada Camat. Dalam Perbup 11/2011 disebutkan hal-hal sebagai berikut: 1) Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi : a) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b) mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ket3. Hasil wawancara mendalam dengan Sdr. Wahyudi, Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY pada tanggal 11 Mei 2016 di Kantor Desa Panggungharjo
58
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
c) d) e) f) g)
ertiban umum; mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan; membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kalurahan.
2. Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan Bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, meliputi: a) b) c) d) e) f) g) h) i)
perizinan; rekomendasi; koordinasi; pembinaan; pengawasan; fasilitasi; penetapan; penyelenggaraan; dan kewenangan lain yang dilimpahkan.
Review terhadap APBDesa oleh pemerintah supradesa pada hakikatnya menjadi bagian integral pembinaan kepada pemerintah desa. Ranperdes APBDesa yang telah di-review akan ditetapkan sebagai Perdes tentang APBDesa tahun berjalan. Review terhadapAPBDesa merupakan salah satu syarat pencairan Dana Desa, dimana review tersebut tidak harus dilakukan oleh BPMPD tetapi dapat didelegasikan kepada Camat. Dalam proses review oleh Camat, kendala yang muncul biasanya terkait dengan kekosongan pejabat Camat karena yang bersangkutan pensiun. Selanjutnya, era teknologi informasi saat ini memungkinkan perkembangan IT (information technology) dalam proses penganggaran. Sebagai contoh, dalam melakukan telaahan terhadap dokumen yang diajukan oleh pemerintah desa telah dikembangkn apa yang disebut dengan sistem keuangan desa (SisKeuDes) sebagaimana pernyataan narasumber sebagai berikut: Kita coba dengan pendekatan teknologi, IT perencanaan, system keuangan desa, sudah mengadopt system keuangan daerah. Kita cegah dari sisi administrasi dulu. Dengan siskeudes bisa diprediksi/dielaborasi sekitar 50%. Modus-modusnya: pe narikan anggaran oleh kades berakibat keterlambatan pertanggungjawaban. Se
59
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
karang sudah mulai diperbaiki dengan system (dipantau), bisa dilacak uang yang tidak disetorkan, penghitungan pajak juga otomatis.4 Dari pernyataan tersebut selain pemanfaatan IT dalam hal perencanaan, penggunaan IT juga dilakukan dalam sistem keuangan desa (SisKeuDes) yang mengadopsi sistem keuangan daerah (SisKeuDa). Adposi sistem keuangan daerah ke dalam sistem keuangan desa tersebut diharapkan akan membatasi ‘perilaku buruk’ proses penganggaran. “Ada gula ada semut” begitulah peribahasa yang sering terlihat dalam penganggaran. Bahwasannya pengelolaan anggaran memberikan daya tarik tersendiri bagi sebagian orang, bukan hanya untuk kepentingan mendukung proses namun justru menghambatnya. c. Pelaksanaan Tahap selanjutnya dalam hubungan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa adalah aspek pelaksanaan atau implementasi. Pertanyaan yang sering diajukan dalam kaitan penggunaan dasa desa adalah ‘apakah dana ini dapat dimanfaatkan untuk membiayai kewenangan yang dimiliki oleh Desa?’ Sebagaimana diketahui bersama, kewenangan pemerintah Desa sangat luas dan semuanya memerlukan anggaran untuk melaksanakannya. Pernyataan Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, DIY sebagai berikut menarik untuk dicermati: Kalau di Desa Panggungharjo, kita (aparat desa) hanya bisa melakukan 40 ke wenangan (dari 120 jenis kewenangan). Ada 80 kewenangan desa yang kami bagi kepada lembaga desa untuk membuka ruang partisipasi. Meningkatkan kapasitas desa cukup berat, sehingga yang kita lakukan adalah berbagi (sharing) kewenan gan, kami limpahkan kepada PKK untuk KB. Kita bekerja sama dengan pengu rus Muhammadiyah, NU untuk membina masyarakat desa khususnya di bidang agama. Harapannya, mereka menjadi bagian utuh di desa. Kita punya lembaga para legal untuk menyelesaikan masalah hukum di desa. Untuk itu digunakan konstruksi hukum positif di desa, penyelesaiannya melalui mekanisme non litigasi. Ini sekaligus untuk membuka ruang-ruang partisipasi.5 Pernyataan narasumber di atas sepertinya menegaskan bahwa tidak semua kewenangan yang dimiliki pemerintah desa harus dilaksanakan sendiri oleh perangkat/aparat desa, karena sebenarnya pemerintah desa dapat membuka ruang partisipasi bagi semua elemen masyarakat, baik elemen adat, agama, maupun elemen lain yang relevan dengan kebutuhan desa. Jika ditelaah de ngan seksama, pelaksanaan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berkaitan dengan aspek infrastruktur desa. 4. Hasil Wawancara Mendalam dengan Bpk Bambang di Kantor BPMPD Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 11 Mei 2016 di Kantor BPMPD Jawa Barat. 5. Hasil wawancara mendalam dengan Sdr. Wahyudi, Kepala Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY pada tanggal 14 September 2016 di Kantor Desa Panggungharjo.
60
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Di dalam pedoman pengelolaan Dana Desa di Kabupaten Bandung dengan jelas disebut bahwa tujuan Dana Desa tidak hanya untuk membiayai infrastruktur desa, tetapi juga meliputi beberapa tujuan, yakni: 1) meningkatkan upaya penanggulangan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan; 2) meningkatkan kapasitas perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat; 3) meningkatkan pembangunan infrastuktur desa; 4) meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat; 5) mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat; 6) meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa; 7) meningkatkan kemandirian desa; 8) meningkatkan daya saing desa (www.ciburial.desa.id). Dari 8 tujuan Dana Desa di atas, selain tujuan ke-3 untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur desa, Dana Desa juga dapat digunakan untuk membiayai tujuan lainnya. Hal ini sangat masuk akal, dikarenakan kondisi faktual desa di Indonesia sangat beragam, sehingga bagi desa-desa yang telah memiliki infrastruktur yang baik, tentu dapat memberikan pada prioritas lain sesuai kebutuhannya. Namun sebagaimana diketahui, dalam peraturan perundangan telah ditetapkan bahwa penggunaan Dana Desa diperuntukkan bagi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Kedua bidang tersebut – pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa – disusun, disepakati, dan ditetapkan dalam Perdes APBDesa, sehingga menjadi jelas bahwa pelaksanaan Dana Desa diperuntukkan bagi kedua bidang dimaksud. Sebagaimana pernyataan narasumber di BPMPD Bandung Provinsi Jawa Barat, sebagai berikut: Faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Dana Desa sesuai dengan tipologi desanya. Bagi desa maju dan/ desa mandiri, faktor-faktornya meliputi sa rana-prasarana yang berdampak pada ekonomi desa dan investasi desa, prakarsa desa membuka lapangan kerja, teknologi tepat guna, dan investasi melalui BUM Desa. Bagi desa berkembang (pra mandiri), faktor-faktornya sarana-dan prasarana pelayanan umum dan sosial dasar pendidikan, sarana dan prasarana sosial dasar kesehatan, sedang bagi desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, faktor-faktornya meliputi sarana dan prasarana pemenuhan kebutuhan, dan akses kehidupan mas yarakat desa. Tipologi desa yang digunakan dalam penelitian ini (hanya) meliputi desa mandiri dan desa pra mandiri, jadi desa berkembang dan tertinggal dan/ atau sangat tertinggal dikategorikan desa pra mandiri. Tipologi desa menjadi 61
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
salah satu prinsip penggunaan Dana Desa, selain prinsip keadilan dan kebutuhan prioritas. Persoalannya adalah pada saat menyusun APBDesa, program dan kegiatan yang prioritas bagi masyarakat desa belum tentu disetujui oleh pemerintah di atasnya (supradesa). Sebagaimana pernyataan narasumber di BPMPD Kabupaten Bantaeng sebagai berikut: Sebagian pemerintah desa menyampaikan program dan kegiatan untuk pencairan Dana Desa, tetapi ternyata program dan kegiatan tersebut tidak terdapat dalam dokumen perencanaannya (APBDesa), maka kami tolak supaya diperbaiki. Mun gkin (hal ini) terjadi karena adanya perubahan peraturan pemerintah, dari 3 tahap menjadi 2 tahap. Problematik semacam itu sebenarnya bukan hanya terjadi di Bantaeng, tetapi juga di daerah lain di seluruh Indonesia. Di Kabupaten Bantul misalnya, penggunaan Dana Desa untuk renovasi rumah tidak layak huni (RLTH) mungkin akan menjadi masalah karena confuse, apakah pembangunan rumah layak huni dapat dikategorikan sebagai pembangunan infrastruktur? Bagi Kades Panggungharjo, Wahyudi Anggorohadi, infrastruktur memiliki makna yang luas, termasuk infrastruktur pemukiman dan rumah tidak layak huni. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi, terutama bagi desa-desa yang memiliki infrastruktur dasar secara memadai. d. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Tahap lanjutan dari pelaksanaan Dana Desa adalah pelaporan dan pertanggungjawaban dana yang telah dikeluarkan/dibelanjakan. Pelaporan dan pertanggungjawaban merupakan konsekuensi logis yang harus dilakukan dari tahap pelaksanaan dengan tujuan untuk mewujudkan akuntabilitas. Tidak hanya bagi pemerintah di atasnya, akuntabilitas juga diperuntukkan bagi masyarakat/warga desa yang bersangkutan. Namun dengan semakin besarnya dana yang turun ke desa, ternyata tidak membuat seluruh aparat desa merasa “senang” karena dana tersebut harus dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar sesuai kaidah system akuntansi pemerintahan. Pernyataan BPMPD Jawa Barat sebagai berikut menarik untuk dicermati: Di saat bantuan begitu besar turun ke desa, baik melalui APBD maupun APBN, bagi desa merasa bersyukur. Di sisi lain, kami bingung cara mendapatkan dan mempertanggungjawabkan dana yang diperoleh. Dengan regulasi yang selalu beru bah, melalui kewenangan yang diterima tapi tidak begitu luas, kami selaku kepala desa merasa takut menggunakan Dana Desa. Kami mengharap pembinaan dari desa-desa terkait bisa terus gencar di desa, terutama penggunaan dan pertanggung jawaban.6 6. Hasil wawancara dalam FGD dengan Kepala Desa Ciburial, Bandung, Jawa Barat pada tanggal
62
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pemahaman perangkat desa terkait pelaporan dan pertanggungjawaban bagi desa-desa yang dikategorikan sebagai desa mandiri mungkin sedikit lebih baik dibandingkan desa pra mandiri. Meskipun demikian, “kegamangan” menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban masih terjadi, terlebih dengan adanya peraturan perundangan yang sering berubah. Pernyataan Kepala Desa Ciburial, Cimenyan Kabupaten Bandung sebagai berikut: Perubahan PP No. 60 (tahun 2014) ke PP No. 22 (tahun 2015) menurut he mat kami seperti makan buah simalakama, mengandung kelemahan dan kelebihan tersendiri. Ya, dikatakan memiliki kelemahan karena dengan berubahnya pera turan itu akan mempersulit kami dalam menyusun laporan dan pertanggungjawa ban nantinya. Kepala Desa harus benar-benar jeli dan hati-hati agar laporan yang dibuatnya tidak menyalahi PP baru. Sebaliknya, dikatakan memiliki kelebihan karena PP baru ini mengubah dari 3 tahap pencairan Dana Desa menjadi hanya 2 tahap. Di antara kebingungan dan kegamangan dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan Dana Desa, laporan penggunaan Dana Desa wajib dan tetap harus dilakukan. Lalu seperti apakah format pelaporan dan pertanggungjawaban tersebut? PATTIRO berpendapat sebagai berikut: Penyusunan (format) dokumen pelaporan dan pertanggungjawaban Dana Desa be lum diatur secara tegas dalam regulasi manapun. Namun menilik pelaporan yang lazim diamanatkan selama ini, pelaporan dan pertanggungjawaban tersebut disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Berikut disampaikan contoh pelaporan dan pertanggungjawaban Dana Desa di Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat., sebagaimana yang tercantum pada Boks 1 di halaman berikut. Dari Boks 1 terlihat jelas contoh penggunaan Dana Desa pada semester I di Desa Ciburial, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yakni untuk membiayai 4 kegiatan pembangunan infrastrukturnya. Namun keempatnya masih merupakan list kegiatan yang telah dilaksanakan. Tentu, pada laporan lengkap terdapat lampiran yang menunjukkan pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai SAP.
14 September di Kantor BPMPD Provinsi Jawa Barat.
63
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Boks 1. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Dana Desa Dana Desa Ciburial pada Tahun 2016 sebesar Rp.709.070.700,- dialokasikan untuk kegiatan bidang pembangunan desa, terdiri dari: Pembangunan Drainase Jalan Lebaksiuh sebesar Rp.134.070.700,Pembangunan Drainase Ruas Jalan Cibengang sebesar Rp.50.000.000,Pembanguan/Penambahan Ruang Polindes sebesar Rp.50.000.000,Peningkatan Kualitas Jalan Cikurutug sebesar Rp.60.000.000,Peningkatan Kualitas Jalan Cibengang (Lanj.) sebesar Rp.130.000.000,Peningkatan Kualitas Jalan Sekejolang sebesar Rp.135.000.000,Pembangunan Bak Penangkap Air dan Pipanisasi Sekepalita sebesar Rp.75.000.000,Pembuatan Sumur Bor sebesar Rp.75.000.000,Sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49/PMK.07/2016 Tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa bahwa mekanisme pencairan Dana Desa dilakukan secara bertahap. Berdasarkan ketentuan tersebut Dana Desa Ciburial 2016 diterima secara bertahap, yaitu: • Tahap I sebesar Rp.425.442.400,- (60%) • Tahap II sebesar Rp.283.628.300,- (40%) Mekanisme pencairan Dana Desa 2016 ini berbeda dari mekanisme pencairan pada tahun sebelumnya yang melalui 3 tahap, yaitu 40 %, 40 %, dan 20 %. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari mekanisme perubahan pencairan Dana Desa ini adalah untuk memudahkan penyerapan dan pelaporan serta pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa. Namun, mekanisme penyaluran Dana Desa masih sama, yaitu dari kementerian (RKUN) ke pemerintah desa (Rekening Desa) melalui kabupaten (RKUD). Dana Desa Ciburial 2016 Tahap I (60%), yaitu sebesar Rp.425.442.400,- dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: • Pembangunan Drainase Jalan Lebaksiuh sebesar Rp.100.442.400,• Peningkatan Kualitas Ruas Jalan Cikurutug sebesar Rp.60.000.000,• Peningkatan Kualitas Ruas Jalan Cibengang (Lanjutan) sebesar Rp.130.000.000,• Peningkatan Kualitas Ruas Jalan Sekejolang sebesar Rp.135.000.000,-
Tabel 4.3 Laporan Penggunaan Dana Pembangunan Jalan Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat No.
Volume Satuan Harga Sa tuan (Rp) A B c D E A. Hotmix Jalan Lingkungan RW. 07 @650 m2 1 Biaya Persiapan a. Rapat Persiapan 1 Keg 300.000 64
URAIAN
Jumlah Total (Rp) f =cxe
Jumlah
300.000
300.000
g
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
No. A 2.
3.
1
2.
1
URAIAN
Volume Satuan Harga Sa tuan (Rp) B c D E Sub Total 1) Biaya Pelaksanaan a. Hotmix 30 Ton 1.100.000 b. Pelinkut 4 Drum 2.400.000 c. Mesin Stoom 2 HK 500.000 d. Batu Split 4 MBL 1.500.000 e. Mobil Angkut 2 HK 1.000.000 Hotmix f. Mobil Pengaspal 2 HK 1.500.000 g. Tenaga Kerja 11 2 HK 3.300.000 Org Sub Total 2) Dokumentasi a. Dokumentasi Kegiatan
2
HK
150.000
Jumlah Total (Rp) f =cxe 300.000
Jumlah
33.000.000 9.600.000 1.000.000 6.000.000 2.000.000
33.000.000 9.600.000 1.000.000 6.000.000 2.000.000
3.000.000 3.300.000
3.000.000 3.300.000
57.900.000
57.900.000
300.000
300.000
Sub Total 3) 300.000 Total Biaya A) 58.500.000 B. Hotmix Jalan Kantor Desa @150 m2 Biaya Pelaksanaan a. Hotmix 8 Ton 1.100.000 8.800.000 b. Pelinkut 1 Drum 2.400.000 2.400.000 c. Mesin Stoom 1 HK 500.000 500.000 d. Mobil Angkut 1 HK 1.000.000 1.000.000 Hotmix e. Tenaga Kerja 4 1 HK 700.000 700.000 Org Sub Total 2) 13.400.000 Dokumentasi a. Dokumentasi 1 HK 100.000 100.000 Kegiatan Sub Total 3) 100.000 Total Biaya B) 13.500.000 C. Betonisasi Jalan Desa Rw. 08@96 m3 Biaya Persiapan a. Biaya Rapat Keg 1 Keg 150.000 150.000
g 300.000
300.000 58.500.000
8.800.000 2.400.000 500.000 1.000.000 700.000 13.400.000 100.000 100.000 13.500.000
150.000 65
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah No.
URAIAN
Volume Satuan Harga Sa tuan (Rp) A B c D E Sub Total 1) 150.000 2 Biaya Pelaksanaan a. Semen 260 zak 73.000 b. Pasir 35 m3 371.000 c. Batu Kali 28 m3 228.000 d. Besi 8" Full 10 Btg 30.000 e. Cincin Besi 150 Bh 1.000 f. Kawat Tali 3 Kg 12.000 g. Sewa Gerobag 8 Hk 30.000 h. Sewa Molen 3 1 Hk 1.050.000 i. Sekop 3 Bh 75.000 j. Slang 40 m 10.000 k. Kepala Tukang 5 HOK 3.000.000 5 Org l. Pekerja 10 Org 5 HOK 1.750.000 m. Tukang Batu 3 3 HOK 1.200.000 Org n. Mandor 1 Org 5 HOK 750.000 o. Prasasti 1 Bh 250.000 Sub Total 2) 3 Dokumentasi a. Biaya Pelaporan 1 Keg 150.000 Sub Total 3) Total Biaya C) Jumlah Total (A - C) Sumber: ciburial.desa.id (sebagai ilustrasi).
Jumlah Total (Rp) f =cxe 150.000
Jumlah
18.980.000 12.985.000 6.384.000 300.000 150.000 36.000 240.000 1.050.000 225.000 400.000 3.000.000
18.980.000 12.985.000 6.384.000 300.000 150.000 36.000 240.000 1.050.000 225.000 400.000 3.000.000
1.750.000 1.200.000
1.750.000 1.200.000
750.000 250.000 47.700.000
750.000 250.000 47.700.000
150.000 150.000 48.000.000 120.000.000
150.000 150.000 48.000.000 120.000.000
g 300.000
Volume, satuan, dan harga satuan sebagaimana tersebut di atas mengukuti standar yang berlaku sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. e. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan Dana Desa dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan menerbitkan peraturan bupati/walikota mengenai tatacara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa, penyaluran Dana Desa dari RKUD ke reke ning kas Desa, penyampaian laporan realisasi, dan SilPA Dana Desa. Dari 3 kabupaten – Bantul, Bantaeng, dan Bandung – ternyata tidak satu kabu66
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
paten pun yang memiliki perbup dimaksud. Namun demikian, pemantauan terhadap Dana Desa tetap dilakukan dengan berpedoman pada peraturan yang ada. Sebagai contoh, pemantauan dan evaluasi telah dilakukan dengan melibatkan kecamatan. Kuncinya ada di kecamatan. Kabupaten malah makin sedikit. Fungsi SKPD dengan kecamatan dan inspektorat, masih belum jelas, apakah pengawasan atau pengendalian. Inspektorat ini mereka intervensinya dalam.Camat dan BPMPD sebagai pengendali. Fungsi koordinasi antar SKPD masih absurd. Badan akan berubah menjadi dinas ini entah akan bagaimana ini nantinya (makin besar, ma kin banyak kerjaan). Inspektorat sebagai benteng terakhir. Belum ada keberanian untuk sama-sama memikul tanggung jawab, kita koordinasinya lemah.7 Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi Dana Desa pada dasarnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, sesuai dengan peraturan perundangan tentang peliimpahan sebagian kewenangan kepada kecamatan, maka tugas pemantauan (monitoring) dan evaluasi dapat dilakukan oleh kecamatan. Di tahun 2016, kecamatan untuk pengawasan saja 40 juta. Tapi kembali lagi kepada komitmen. Di seluruh kab/kota, kecamatan paling besar, karena dianggap beban kerjanya 24 jam. Tunjangannya lebih besar dan diberi dana sendiri. Pegawai di kecamatan masih lack education, lack innovation. Dengan koordinasinya untuk menutupinya. Di fungsi itu lebih banyak untuk pengendalian. Belum efektif untuk operasional 2016. Draf PP nya sudah ada, tapi regulasi2 sebelumnya masih jalan. (Dalam draft tersebut) Camat selain sebagai SKPD juag sebagai penguasa wilayah.8 Dalam kaitan pelaksanaan tugas tersebut kecamatan perlu memperoleh sumber-sumber daya (resources) yang memadai baik sumber daya manusia, sumber dana, maupun sumber kewenangan. Namun pada saat bersamaan nampaknya perlu peningkatan kompetensi SDM aparatur kecamatan (untuk mengatasi lack education, lack innovation). 2. Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa dengan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa pada Desa Pra Mandiri Pada lokus Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Banten, tipologi desa yang menjadi kajian ini merupakan desa pra mandiri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kategori desa mandiri-pra mandiri ditetapkan berdasarkan kemampuan aparat/perangkat, partisipasi masyarakat, dan infrastruktur desa. Dari penelitian lapangan dapat disampaikan bahwa sebenarnya 7. Hasil Wawancara Mendalam dengan Bapak Bambang di Kantor BPMPD Bandung, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 14 September 2016.7 8. Hasil Wawancara Mendalam dengan Bapak Bambang di Kantor BPMPD Bandung, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 14 September 2016.
67
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
belum ada desa yang memenuhi ketiga kriteria tersebut secara memadai. Desa berprestasi sekelas Panggungharjo (Bantul) sekalipun ternyata belum mampu mencapai level partisipasi yang ideal. Secara fisik, kehadiran masyarakat dalam Musrenbang desa memang sudah ada, namun sebagian besar masyarakat desa yang hadir belum ikut berbicara secara aktif dalam forum tersebut. Selanjutnya, terkait faktor kemandirian desa, salah satunya dilihat dari kondisi sumber daya yang dimiliknya. Berikut pernyataan pejabat BPMPD Kabupaten Pandeglang Banten: Perubahan paling mendasar bagi desa adalah kemandirian. Masalahnya adalah SDM (aparat pemdes) di desa, terkait dengan banyaknya bantuan yang turun ke desa. Mas alah di lapangan terkait SDM? Terkait dengan UU 6/2014 seharusnya ada turunan nya, Pergub, Perbup dsb tentang tata kelola pemerintah desa. Kami sudah mulai menata (membuat pedoman dsb).9 Untuk mewujudkan kemandirian diperlukan dukungan regulasi yang memadai berupa peraturan-peraturan turunan UU 6/2014 maupun PP terkait desa. Bentuk kemandirian desa, salah satunya didukung oleh kompetensi perangkat desa. Kondisi senada juga disinyalir oleh pejabat BPMPD Provinsi Kalimantan Barat, yang menyoroti pengangkatan perangkat desa, sebagaimana terlihat pada kutipan sebagai berikut: Masalah lain, terkait dengan hubungan kewenangan Pemerintah Desa-Pemerintah Su pradesa menyangkut pengangkatan perangkat desa. Masalah pengangkatan dan pem berhentian perangkat desa, Kades tidak mempunyai kewenangan yang leluasa karena terlalu diintervensi oleh pemerintah supradesa (camat yang mengatasnamakan kabupat en). Dalam aturannya, pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa merupakan kewenangan Kepala Desa, tetapi harus melalui koordinasi dengan Camat sebagai per wakilan Pemerintah Kabupaten/Kota yang memberikan rekomendasi atau persetujuan. Seringkali pemberian rekomendasi ini bersifat politis. Sementara Kepala Desa yang lebih tahu kebutuhan dan kualifikasi perangkatnya praktis kewenangannya tergerus karena diintervensi oleh Pemerintah Supradesa.10 Hubungan Desa dengan supradesa – dalam hal ini Camat – yang mengakibatkan kepala desa tidak berdaya dalam proses pengangkatan dan pemberhentian perangkatnya. Campur tangan Camat semestinya diwujudkan dalam bentuk fasilitasi dan supervisi, bukan intervensi. Dengan kondisi sebagaimana tersebut di atas, lalu bagaimana implementasi pengelolaan Dana Desa mulai perencanaan sampai pemantauan dan evaluasinya? 9. Wawancara dengan pejabat BPMPD Kabupaten Pandeglang di Kantor BPMPD Pandeglang-Provinsi Banten, tanggal 16 Agustus 2016. 10. Wawancara dengan pejabat BPMPD di Kantor BPMPD Provinsi Kalimantan Barat, tanggal 26 Juli 2016.
68
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Uraian berikut akan memberikan gambaran mengenai hal dimaksud. a. Perencanaan Sebelum membahas lebih jauh tentang perencanaan Dana Desa, penting untuk disampaikan terlebih dahulu mengenai kewenangan desa. Hasil analisis IRE (Institute for Research and Empowerment)--sebuah lembaga nirlaba yang concern terhadap isu Desa—menunjukkan bahwa tidak lebih dari 10 kabupaten di Indonesia yang telah menerbitkan perbup pelimpahan kewenangan kepada Desa. Hal ini sangat menarik untuk dicermati, karena masih terdapat ratusan kabupaten lainnya yang ternyata belum merespon pengaturan Desa dengan cepat. Pernyataan Sekretaris BPMPD Lebak Banten terkait kewenangan pengelolaan pasar desa, sebagai berikut: Terkait kewenangan, selama suatu kewenangan tersebut merupakan kewenangan desa maka itu tidak akan diambil alih oleh pemerintah supradesa, seperti hal nya kewenangan terkait pasar desa. Memang pemerintah kabupaten melakukan pengembangan fisik, tapi runtuk pengelolaannya tetap menjadi kewenangan desa. Tetapi mungkin karena Pemda ingin menarik pungutan untuk meningkatkan PAD, saya kira bisa dikoordinasikan dengan desa. Namun ini hanya terjadi pada beberapa desa saja. Umumnya pasar desa masih menjadi kewenangan desa secara penuh. Kami hanya melakukan pembinaan agar pengelolaan pasar desa ini dapat lebih ditingkatkan lagi. 11 Pernyataan tersebut menjelaskan dengan cukup ‘gamblang’ mengenai keberperanan pemerintah supradesa dalam kaitannya dengan kewenangan desa. Pengelolaan pasar desa misalnya, semestinya memang menjadi wewenang pemerintah desa secara penuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaannya adalah mengapa harus menunggu peraturan perundangan (regulasi), padahal di dalam undang-undang (6/2014) sendiri telah mengatur hal ini? Karena regulasi ‘turunan’ ini yang akan menjadi dasar bagi stakeholders di desa dalam melaksanakan program dan kegiatan yang dimilikinya. Kondisi senada pun terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Lebak-Banten, sebagaimana pernyataan perwakilan pejabat di BPMPD Kalbar sebagai berikut: Dana Desa disediakan untuk menjalankan kewenangan desa, tetapi pemanfaatan nya diatur. Sementara itu, desa belum dapat secara optimal menjalankan kewenan gannya karena di Kalbar belum ada yang memiliki perkada tentang kewenangan lokal skala desa. Yang sudah merancang adalah Kubu Raya.12 Sementara pada 11. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016. 12. Wawancara dengan pejabat BPMPD di Kantor BPMPD Provinsi Kalimantan Barat, tanggal 26
69
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
kondisi yang sama di Kabupaten Lebak juga belum ada Perbup tentang daftar kewenangan desa13 Pihak BPMPD mengakui bahwa Pemprov Kalimantan Barat sendiri belum semua kabupaten menyediakan peraturan perundangan mengenai kewenangan lokal skala desa. Hal ini pada akhirnya akan menyulitkan desa-desa yang akan menyusun dokumen perencanaan di desanya. Meskipun demikian, pemerintah desa tetap harus melakukan penyusunan karena hal tersebut merupakan perintah undang-undang maupun PP tentang keuangan desa. Pencairan Dana Desa hanya dapat dilakukan jika pemerintah desa telah memiliki RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa yang telah dilakukan review oleh pemerintah supradesa. Penyusunan dokumen perencanaan desa, oleh karena itu tetap dilakukan oleh stakeholders di desa meliputi perangkat desa, BPD, tokoh agama, tokoh masyarakat, perempuan, dan pemuda. Pernyataan perangkat desa Rebo Kabupaten Bangka sebagai berikut: Pada kenyataan, Musbang dalam penyusunan perencanaan desa dihadiri oleh se kelompok orang yang terbukti peduli dengan pembangunan desanya. Warga desa yang kebanyakan memiliki pekerjaan sebagai petani dan pedagang mungkin tidak memiliki waktu untuk hadir pada acara rembuk desa seperti itu. Apalagi kaum ibu dan pemuda mereka memiliki aktivitas sendiri yang menyita waktu mereka.14 Proses musyawarah pembangunan masih belum menjadi prioritas utama bagi stakeholders di desa. Tidak jarang urusan penyusunan dokumen perencanaan desa menjadi elitis. Hal ini sebenarnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya 100%, karena masyarakat lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan (ekonomi). Menjadi penting catatan kebijakan mengenai pembangunan desa yang disampaikan oleh KSI Indonesia-Knowledge Sector Inisiative15 (2016) sebagai berikut: Demi mengatasi permasalahan tentang posisi masyarakat dalam penganggaran pembangunan desa – dikembangkan ruang keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran desa. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan APBDesa secara partisipatif dilakukan di (1) kepanitiaan penyusunan Rencana Anggaran Juli 2016. 13. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, 15 Agustus 2016. 14. Wawancara dengan Kades Rebo Kabupaten Bangka di Kantor Bupati Bangka, tanggal 2 Juni 2016. 15. KSI Indonesia merupakan komitmen bersama antara pemerintah Indonesia dan Australia yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan rakyat Indonesia melalui penerapan kebijakan publik yang lebih berkualitas serta menggunakan penelitian, analisis, dan bukti secara lebih baik.
70
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Biaya (RAB) atau RAPBDesa, (2) pembahasan RAPBDesa, dan (3) sosialisasi APBDesa. Di tahap pembahasan RAPBDesa, teridentifikasi empat model partisi pasi masyarakat yang dikembangkan di sejumlah desa. Model-model tersebut adalah : perwakilan BPD, perlibatan masyarakat di dalam tahapan pembahasan RAPB Desa, pembahasan RAPBDesa melalui forum konsultasi publik atau musyawarah anggaran desa, dan pembahasan RAPBDesa di dalam musrenbang desa. Dalam pandangan KSI Indonesia, perencanaan desa sejatinya merupakan satu entitas yang sangat penting dalam penerapan kebijakan publik yang lebih baik. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen perencanaan misalnya, menjadi salah satu milestone dalam implementasi kebijakan di pemerintah supra desanya. Perencanaan partisipatif di level desa, jika dapat disebut demikian, dapat ditentukan proses-proses mana saja dimana masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan perencanaan desa, serta model-model yang dapat dikembangkan di masa depan. Sebagai contoh, masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam kepanitiaan penyusunan RAPBDesa, pembahasan RAPBDesa dan sosialisasinya. Ketiga proses tersebut memang dibuka seluas-luasnya bagi partisipasi warga desa. Pada tahap pembahasan APBDesa (tahapan kedua) dapat dikembangkan model perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), forum konsultasi publik, dan musrenbangdesa. b. Penganggaran Tahapan pencairan Dana Desa baru dapat dilakukan setelah pemerintah desa melengkapi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi meliputi review terhadap RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa. Pada desa yang tergolong desa pra mandiri, proses penganggaran desa – pengelolaan keuangan desa – banyak melibatkan pemerintah supradesa atau terkadang pemerintah pusat. Pernyataan pejabat kecamatan di Kabupaten Bangka sebagai berikut: Di Kalimantan Barat, pengelolaan keuangan desa melibatkan peran Kemendagri, Kemendesa, dan BPKP. Mereka memberikan fasilitasi dalam pengelolaan keuan gan. Sementara itu, Pemerintah Provinsi hanya memberikan pembinaan umum dan pengawasan pengelolaan keuangan desa. Pemprov baru turun tangan jika ada ma salah dalam pengelolaan Dana Desa, dan memediasi antara kabupaten dan desa. (Terkait pengelolaan) Dana Desa, kami sering melakukan bimtek. Perangkat desa sudah paham. Sekarang sudah ada SisKeuDes, tapi aplikasinya belum mewadahi semuanya (perbedaan istilah), karena aplikasinya masih baru. Kami konsultasi ke DPPKAD. Sekcam menjadi fasilitator. Membuat rekomendasi terkait anggaran desa.16 16. Wawancara dengan Ibu Rismy, Sekcam Sungailiat, Kabupaten Bangka-Provinsi Bangka Belitung, tanggal 2 Juni 2016.
71
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Namun demikian, menjadi sangat menarik pernyataan narasumber dari Kecamatan Rebo Kabupaten Bangka-Provinsi Babel, bahwa di daerahnya sering dilaksanakan bimbingan teknis (bimtek) dalam pengelolaan keuangan desa (Dana Desa). System keuangan desa sudah tersedia, meskipun belum mencakup secara keseluruhan karena adanya perbedaan istilah yang digunakan, akan tetapi SDM sudah memahami cara mengoperasikannya. Persoalan penganggaran terlihat pada penempatan program dan kegiatan yang disusun oleh setiap desa. Peraturan mengenai prioritas Dana Desa, bagi desa pra mandiri, sebenarnya tidak ada masalah, justru mendukung kondisi di desa-desa yang masih minim infrastruktur. Pernyataan narasumber di Kabupaten Bangka, sebagai berikut: Kami juga memahami adanya prioritas (penggunaan dasa) pembangunan desa. Ke tika saya menyampaikan bahwa kondisi kantor desa memprihatinkan, memang kondisinya tidak layak. Kalau sudah memprihatinkan begini kan kasihan Pak, karena bangunan desa representatif.17 Kondisi kantor desa di sebagian desa di luar Jawa berada dalam kondisi yang kurang memadai. Oleh karenanya, ketersediaan Dana Desa ini diharapkan dapat memberikan perbaikan sarana-prasarana kantor desa di masa-masa mendatang. Tetapi Dana Desa tidak diperuntukkan untuk perbaikan kantor desa, karena perbaikan kantor tidak termasuk dalam prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Lalu, sebenarnya dimana kedudukan prioritas penggunaan Dana Desa dalam kontes pembangunan desa itu sendiri? Pernyataan pejabat BPMPD Provinsi Babel bahwa prioritas penggunaan Dana Desa diatur juga oleh Pusat, mestinya bisa langsung. Prioritas bisa dilihat dari hasil musrenbang. Perbedaan ini bisa menjadi hal yang bias.18 c. Pelaksanaan Kendala utama dalam pelaksanaan pengelolaan Dana Desa ternyata bukan pada buruknya infrastruktur maupun rendahnya partisipasi masyarakat, tetapi pada kompetensi perangkat desa. Dalam kaitan itu, terdapat banyak usulan untuk meningkatkan kompetensi para perangkat desa tersebut. Salah satu rekomendasi dimaksud adalah dengan mengatur atau membatasi kekuasaan kepala desa ketika mereka akan mengganti perangkat desanya melalui pemberian Nomor Induk Perangkat Desa (bisa disingkat NIPD), sebagaimana pernyataan narasumber di BPMPD Kabupaten Lebak, Provinsi Banten se17. Wawancara dengan Ibu Rismy, Sekcam Sungailiat, Kabupaten Bangka-Provinsi Bangka Belitung, tanggal 2 Juni 2016. 18. Wawancara dengan Bapak Yulizar, BPMPD Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung, tanggal 2 Juni 2016.
72
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
bagai berikut: Melalui Perbup 19/2014 tentang Nomor Induk Perangkat Desa. Perbup ini men gatur tentang pembatasan kekuasaan kepala desa, karena selama ini mereka sering secara sewenang-wenang mengganti perangkat desa dengan tidak melalui prosedur yang baku. Sehingga pada tahun 2014, perangkat lama otomatis kita angkat den gan mempunyai Nomer Register Prangkat Desa agar Kades tidak sembarang meng ganti.19 Pengaturan tentang NIPD merupakan inovasi yang telah dilakukan oleh Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Lebak No. 19 Tahun 2014, sebagai berikut: Hal ini dituangkan dalam peraturan bupati tentang Nomer Induk Perangkat Desa. Ini salah satu kebijakan kami untuk mengantisipasi gejolak pergantian perangkat desa yang sering terjadi. Jika ada perangkat yang pensiun karena faktor usia, maka perlu ada penggantinya yang dilakukan melalui proses rekrutmen. Kebetulan di Lebak banyak perangkat desa yang masa baktinya sudah lama dan berusia lanjut karena ingin mengabdi.20 Antusiasme kepala desa (kades) sebelum dan sesudah lahirya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sangat jauh berubah. Pada masa lalu, kades dan perangkat desa dapat dikatakan jarang masuk kantor, karena memang tidak memiliki kantor maupun karena ‘malas’ ke kantor karena tidak ada ‘daya tarik’ yang membuat mereka bersedia datang ke kantor desa. Pernyataan narasumber di BPMPD Kabupaten Lebak di bawah ini menyajikan fakta terkait hal tersebut. Sebelum ada UU Desa, kepala desa memang tidak fokus di desa, kantor kadang tutup. Kalau sekarang perangkat desa mendapat siltap yang setara upah (mini mum) regional, bahkan kalau ditambah dengan honor-honor kegiatan lain bisa lebih UMR. Jadi sekarang banyak terjadi perubahan. Jika ingin memberhentikan perangkat ada aturannya, dan kalau mau merekrut perangkat baru hanya diboleh kan jika ada perangkat yang pensiun atau memberhentikan diri. 21 Pelanggaran terhadap peraturan bupati terkadang terjadi, meskipun demikian tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka (kades) yang melanggar tersebut. Pengangkatan dan/atau pemberhentian perangkat desa seharusnya mengikuti ketentuan yang berlaku, karena keputusan tersebut akan berimplikasi pada penghasilan tetap (Siltap) perangkat desa. Pernyataan pejabat 19. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016. 20. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016. 21. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016.
73
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
BPMPD Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sebagai berikut: Selama ini tidak ada sanksi untuk kepala desa yang melanggar. Tetapi kalau latar belakang pengangkatan/pemberhentian perangkat itu tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, kami tidak memberikan rekomendasi. Tidak diakui. Ini kan berdampak dengan penghasilan atau terkait juga dengan politik. Oleh karena itu, sebelumnya kami melakukan analisa dulu terhadap setiap usulan (penggantian perangkat) yang masuk.22 Kualitas perangkat desa sangat berperan dalam pengelolaan Dana Desa yang diperoleh setiap kabupaten. Jumlah Dana Desa di Kabupaten Bangka, Kabupaten Kubu Raya, dan Kabupaten Lebak adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Jumlah Dana Desa tahun 2016 di 3 Kabupaten yang Menjadi Lokus Kajians No. Lokus Kajian Jumlah 1. Kabupaten Bangka Rp. 40.696.985.000 2. Kabupaten Kubu Raya Rp. 77.211.484.000 3. Kabupaten Lebak Rp. 215.365.005.000 Sumber: Diolah dari penelitian lapangan, 2016.
Dari tabel tersebut dapat diinformasikan jumlah Dana Desa di tiga kabupaten yaitu Bangka sebesar Rp. 40, 7 M, Kubu Raya sebesar Rp. 77,2 M, dan Lebak sebesar Rp. 215,4 M. Perbedaan jumlah tersebut disebabkan oleh dua hal: alokasi dasar dan alokasi formula setiap. Alokasi Dasar adalah alokasi minimal Dana Desa yang akan diterima oleh setiap Desa, yang besarannya dihitung dengan cara 90% (Sembilan puluh persen) dari anggaran Dana Desa dibagi dengan jumlah Desa secara nasional. Alokasi dasar setiap kabupaten/kota dihitung dengan cara mengalikan alokasi dasar dengan jumlah Desa di kabupaten/kota. Alokasi formula adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan tingkat kesulitas geografis setiap kabupaten/kota. Perhitungan Alokasi Formula setiap kabupaten/kota dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: AF Kab/Kota = {(0,25 * Y1) + (0,35 * Y2) + (0,10 * Y3) + (0,30 * Y4) + (0,10 * DD)}, dimana: Y1 = ratio jumlah penduduk Desa setiap kab/kota terhadap total penduduk Desa nasional. 22. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016.
74
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Y2 = ratio jumlah penduduk miskin Desa setiap kab/kota terhadap total penduduk miskin Desa nasional. Y3 = ratio luas wilayah Desa setiap kab/kota terhadap luas wilayah Desa nasional. Y4 = ratio IKK kab/kota terhadap total IKK kab/kota yang memiliki Desa. DD = pagu Dana Desa Nasional. Sementara itu, Alokasi Formula setiap Desa dihitung dengan rumus sebagai berikut. AF setiap Desa = {(0,25 * Z1) + (0,35 * Z2) + (0,10 * Z3) + (0,30 * Z4) + (DD kab/kota – AD kab/kota)}, dimana: Z1 = ratio jumlah penduduk Desa setiap Desa terhadap total penduduk Desa kab/kota yang bersangkutan. Z2 = ratio jumlah penduduk miskin setiap Desa terhadap total penduduk miskin Desa kab/kota yang bersangkutan. Z3 = ratio luas wilayah setiap Desa setiap kab/kota terhadap luas wilayah Desa Desa kab/kota yang bersangkutan. Z4 = ratio IKG setiap Desa terhadap total IKG Desa kab/kota yang bersangkutan. Untuk melaksanakan Dana Desa yang telah diperoleh, berdasarkan perhitungan alokasi dasar dan alokasi formula sebagaimana tersebut di atas, selain memerlukan dukungan kompetensi perangkat desa juga kerjasama dan kolaborasi dengan komponen lainnya di pemerintah desa. Perdebatan di lapangan mengenai boleh-tidaknya Dana Desa digunakan untuk merenovasi sarana prasarana desa masih terjadi di hampir semua lokus kajian. Pernyataan Sekcam Rebo Kabupaten Bangka sebagai berikut menunjukkan kondisi dimaksud. Yang sering ditanyakan (pihak) desa terkait dana desa, (terkait) kondisi sar pras desa yang memprihatinkan, sementara Dana Desa tidak bisa digunakan untuk memperbaiki itu. Kondisi tersebut tidak memotivasi perangkat (desa) untuk memberikan pelayanan. Penggunaan dana 30:70 tidak cukup untuk membiayai pembangunan sarpras.23 Pengaturan prioritas Dana Desa yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur pendukung perekonomian desa di satu sisi sebenarnya sangat strategis mengingat masih tingginya angka kemiskinan di perdesaan. Di sisi lain hal ini menimbulkan perbedaan penafsiran mengenai penggunaan dana tersebut di desa. Pembagian 30 : 70, dimana 30% untuk pemberdayaan dan 70% untuk pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, talud, dll) masih 23. Wawancara dengan Ibu Rismy, Sekcam Sungailiat, Kabupaten Bangka-Provinsi Bangka Belitung, tanggal 2 Juni 2016.
75
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
menimbulkan perbedaan pelaksanaan di lapangan. d. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pelaporan dan pertanggungjawaban disampaikan Kepala Desa kepada bupati/walikota setiap semester (2 kali setahun), yakni pada minggu keempat bulan Juli tahun berjalan (Semester I) dan pada minggu keempat bulan Januari tahun berikutnya. Tidak jarang, pemerintah kabupaten menyediakan sistem informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Dana Desa tersebut. Pernyataan narasumber di Kabupaten Lebak sebagai berikut: Dalam pengelolaan keuangan desa, kami terus melakukan pembinaan atau pen gawasan langsung. Untuk itu, kami membuat sistem informasi publik. Setiap desa diharuskan menyampaikan keterbukaan dalam melaksanakan kegiatannya, teru tama yang terkait dengan pengelolaan keuangan desa. Misalnya, selama setahun ini desa mau belanja apa saja, disampaikan melalui sistem informasi publik.24 Selama ini pelaporan Dana Desa senantiasa disampaikan kepada bupati/walikota, sebagaimana telah tercantum dalam peraturan peundang-undangan yang berlaku. Pelaporan penggunaan Dana Desa tidak boleh terlambat karena akan mempengaruhi ‘pencairan’ Dana Desa tahap berikutnya. Pernyataan pejabat BPMPD Kubu Raya Kalimantan Barat: Sudah kami himbau kepada Kepala Desa dan perangkat, Kubu Raya tidak boleh terlambat dalam menyampaikan penggunaan DD ke pemerintah pusat. Kami tidak ingin mendapat ‘catatan hitam’ dari kementerian desa terti nggal mengenai hal itu. Oleh karena itu pada awal Juli tahun berjalan dan awal Januari tahun berikutnya, kami ingatkan terus. e. Pemantauan dan Evaluasi Tahap terakhir pengelolaan Dana Desa adalah pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa sendiri maupun pemerintah supra desanya. Monitoring pertama dilakukan oleh BPD tetunya, sebagai mitra kepala desa dalam menjalankan program dan kegiatan desa. Dari keseluruhan narasumber lokus kajian menyatakan bahwa pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah di atasnya (supradesa) sudah cukup baik, bahkan sejak perencanaan dilakukan. Hal ini sebagaimana pernyataan Kades Rangkasbitung Timur Kecamatan Rangkasbitung Kabupaten Lebak sebagai berikut: Peran kecamatan sangat penting dalam memantau pelaksanaan penggunaan Dana Desa tersebut. Kita tahu banyak sekali sumber pendanaan desa selain Dana Desa ada lagi alokasi Dana Desa yang sering disingkat oleh kita menjadi ADD. Ada lagi dana bagi hasil dan yang terakhir pendapatan asli desa.25 24. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016 25. Wawanacara dengan Ibu Hj. E Kurniati di kantor Desa Rangkasbitung Timur Lebak Banten,
76
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pemantauan yang dilakukan sangat penting bagi pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian, pemantauan tersebut dapat dilakukan oleh Camat atau pejabat yang ditunjuk, sebagaimana disampaikan oleh BPMPD Lebak sebagai berikut: Pembinaan oleh Bupati harus didelegasikan kepada camat karena luasnya geografis dan tingginya jumlah desa. Akan tetapi, camat tidak diberikan dukungan pen danaan untuk melaksanakan tugas tersebut.UU 23/2014 tentang Pemda sendiri memperkuat peran kecamatan, meskipun dalam UU Desa tidak disebutkan secara spesifik peran kecamatan.26 Berdasarkan amanat undang sudah sangat jelas bahwa kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terdekat dengan pemerintah desa, bertugas membantu bupati/walikota dalam melakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi penggunaan Dana Desa dan dana lainnya demi pembangunan desa. Hal ini menunjukkan adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah kabupaten/kota, sesuai dengan peraturan bupati di daerah masing-masing. Peraturan Bupati Lebak Nomor 9 Tahun 2015 misalnya: (1) Kepala BPMPD bersama dengan Kepala DPPKD dan camat melakukan pe mantauan atas pengalokasian dan penggunaan Dana Desa setiap Desa. (2) Pe mantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. penatapan peraturan Desa mengenai APB Desa; b. penggunaan Dana Desa; dan c. laporan realisasi penggunaan Dana Desa setiap Desa (Pasal 24 ayat 1 dan 2 Perbup Leb ak No. 9/2015).27 Pemantauan dilakukan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah, bersama-sama Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Camat, yang dimaksudkan untuk: 1) Menghindari keterlambatan penetapan peraturan desa tersebut, 2) Memastikan penggunaan Dana Desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan 3) Menghindari penundaan penyaluran Dana Desa. Terhadap hasil monitoring penggunaan Dana Desa, Camat dapat memberikan teguran kepada Kepala Desa, apabila dianggap bahwa penggunaan dananya tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai contoh, penggunaan Dana Desa di Desa Rangkasbitung Timur Kabupaten Lebak Provinsi Banten diberikan pada tabel Tabel 4.5 di halaman berikut ini. tanggal 15 Agustus 2016. 26. Wawancara dengan Bapak Tahlidin, Sekretaris BPMPD Kabupaten Lebak-Provinsi Banten, tanggal 15 Agustus 2016 27. Perbup Lebak No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa di Kabupaten Lebak.
77
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Tabel 4.5 Penggunaan Dana Desa Desa Rangkasbitung Timur-Lebak, Banten Tahun 2016 No. 1. 2.
Kegiatan Pembangunan Turap Penahan Tanah Pembangunan Sarana Air Bersih
Rencana Biaya Rp. 21.000.000,Rp. 85.000.000,-
No. 3.
Kegiatan Rencana Biaya Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif serta Rp. 20.355.692,Pembangunan, Pemanfaatan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Ekonomi Sumber: Infografis Penggunaan APBDesa Desa Rangkasbitung Timur Lebak-Banten, Tahun 2016.
Berdasarkan contoh tersebut di atas, apabila penggunaan Dana Desa tidak sesuai dengan perencanaan desa dan prioritas Dana Desa sebagaimana telah diatur sebelumnya, maka Camat dapat memberikan teguran.
Di level pemerintah pusat, Kemendes PDTT telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa yang dipimpin oleh Katjung Maridjan, seorang akademisi dan pemerhati masalah perdesaan dari Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Lembaga ini bersifat adhoc sehingga tidak duplikasi dengan lembaga lainnya. Tugas Satgas Dana Desa adalah melakukan percepatan dan ketepatan penyaluran, penggunaan, serta pengelolaan Dana Desa.
78
BAB V
MODEL DAN INSTRUMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN DANA DESA
A. ARAH PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN DANA DESA Model hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa dibangun berdasarkan pertimbangan terhadap beberapa aspek, yaitu aspek kebijakan (policy level), organisasi (organizational arrange ment), dan aspek operasional (operational level). Berdasarkan hasil analisis dari ketiga aspek tersebut kemudian disintesakan dalam sebuah model yang kita anggap ideal. Dengan kata lain, konstruksi model ideal tersebut berangkat dari kritik atas model pengelolaan Dana Desa yang ada sekarang. Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, model atau pola pengelolaan Dana Desa yang berlaku saat ini telah mendistorsi mandat UU Desa karena beberapa faktor. Pertama, di level kebijakan, pengaturan pengelolaan Dana Desa telah mendistorsi kewenangan desa melalui penentuan prioritas penggunaan Dana Desa itu sendiri. Kedua, di level kelembagaan, terdapat pengaturan yang berbeda terkait dengan peran perangkat kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa. Sebaliknya, konstruksi model ideal tesebut bertumpu pada semangat untuk memperkuat mandat pengaturan dalam UU Desa terkait pengelolaan Dana Desa. Untuk mengakomodasi keberagaman perkembangan desa-desa di tanah air, model ini juga mempertimbangkan karakteristik dan tipologi desa yang secara gamblang diklasifikasikan ke dalam dua bentuk tipologi, yaitu “desa mandiri” dan “desa pra mandiri”. Secara sederhana, model tersebut dapat digambarkan dalam bagan 5.1 di halaman berikut. Mengacu pada bagan model di atas, UU Desa sesungguhnya mengamanatkan untuk membuat sistem pengelolaan keuangan desa (termasuk di dalamnya Dana Desa) yang sederhana. Namun demikian, sistem tersebut harus menjamin adanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan Dana Desa tersebut. Hal ini didasarkan pada prinsip yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu bahwa desa memiliki hak rekognisi dan subsidiaritas dalam mengelola keuangannya. Selain itu, UU Desa juga telah memastikan skema demokrasi dan akuntabilitas desa dalam pengelolaan Dana Desa. Hal ini dilakukan melalui sejumlah saluran yang ada di desa, yaitu: akuntabilitas lokal melalui Musyawarah Desa, akuntabilitas sosial melalui partisipasi, akuntabilitas horizontal melalui mekanisme check and balances oleh BPD, dan akuntabilitas vertikal melalui mekanisme pembinaan dan pengawasan dari 79
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Bagan 5.1 Konstruksi Model Ideal Pengelolaan Dana Desa
Sumber: Diolah berdasarkan hasil penelitian PKDOD LAN dan Pattiro, 2016
pemerintah supradesa (pusat dan kabupaten/kota). Oleh karena itu, yang paling penting dalam konteks ini adalah bagaimana mendorong akuntabilitas di tingkat lokal tersebut. Tentunya hal ini mengandaikan partisipasi warga desa dan pengoptimalan peran dan fungsi BPD sebagai lembaga “parlemen desa”. Studi Pattiro menunjukkan, BPD yang mampu berperan optimal adalah hasil pemilihan yang dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat yang tinggi. Artinya, sulit untuk mengharapkan peran optimal dari BPD jika anggotanya merupakan orang-orang yang mempunyai “hubungan khusus” dengan kepala desa. Sebaliknya, desa yang partisipasi masyarakatnya cukup tinggi, check and balance-nya terbangun. Bahkan, ada kasus BPD terlalu over dalam menjalankan perannya. Misalnya, BPD berperan tidak sebatas memantau tapi juga memeriksa peruntukan keuangan desa. Dalam aspek kelembagaan, model ini mensyaratkan adanya penguatan peran kecamatan. Pemerintah kabupaten mempunyai mandat untuk mengeluarkan 6 jenis Perbup mengenai desa, termasuk yang mengatur peran kecamatan dalam pelaksanaan UU Desa. Maka, proses penguatan kecamatan dalam menjalankan perannya akan cukup signifikan. Misal, dalam pelaksanaan pemilihana kepala desa (Pilkades), peran kecamatan sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan karena perannya diatur dalam Perda tentang Pilkades. Pengaturan peran kecamatan melalui Perda juga tentunya membawa konsekuensi pada aspek penganggaran yang akan menopang tugas-tugas kecamatan dalam melaksanakan mandatnya yang terkait dengan desa. Menurut data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan/ World Bank Diagnostic Survey (2015), hanya 73% kabupaten/kota yang sudah siap melaksanakan UU Desa. Hal ini dilihat dari adanya kelengkapan regulasi, baik berupa Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Bupati/Walikota) 80
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
tentang pengadaan barang dan jasa, pengelolaan keuangan desa, penyusunan APB Desa, prioritas penggunaan Dana Desa, dan daftar kewenangan desa. Penguatan mandat camat sebagai wakil bupati/walikota juga mencakup tugas melakukan review dan evaluasi terhadap dokumen perencanaan pembangunan desa. Oleh karena itu, perlu didorong adanya regulasi di tingkat lokal (Perda/Perbup) yang menyatakan peran camat sebagai evaluator. Sebagai contoh, peraturan tentang pengelolaan keuangan desa harus memuat peran camat dalam melakukan evaluasi, termasuk di dalamnya pedoman untuk melakukan evaluasi RAPB Desa. Pedoman tersebut dapat berupa instrumen checklist untuk membantu kecamatan—yang kapasitas sumber dayanya terbatas—dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini, panduan dalam memonitor Dana Desa yang dimiliki pemerintah provinsi dapat menjadi rujukan pedoman tersebut. Penguatan peran kecamatan juga harus mencakup penguatan kapasitasnya dalam menjalankan fungsi koordinasi dan fasilitasi pemerintahan desa, antara lain dapat dilakukan melalui: 1) melakukan sinergitas perencanan pembangunan desa dengan kabupaten/kota; 2) menjalankan mekanisme review dan evaluasi RAPB Desa; dan 3) memberikan pendampingan terhadap penggunaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban APB Desa. Untuk desa pra mandiri, kecamatan bahkan harus mampu menjadi “Bappeda” di level bawah. Secara lebih spesifik, model hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa untuk desa mandiri dan desa pra mandiri adalah sebagai berikut. 1. Desa Mandiri Model hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa untuk desa mandiri digambarkan dalam Tabel 5.1 di halaman berikut. Berdasarkan tabel tersebut, tergambarkan peran dari masing-masing aktor pemerintah supradesa dalam setiap tahapan pengelolaan Dana Desa, mulai dari tahapan perencanaan hingga pelaporan dan pertanggungjawaban. a. Perencanaan Dana Desa Pada tahapan ini, desa menyusun perencanaan anggaran sesuai dengan mandat UU No. 6 Tahun 2014 yang diberikan kepada desa, yaitu kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Mandat tersebut kemudian menjadi landasan dan dijabarkan dalam RPJM Desa yang juga harus mengacu pada dokumen perencanaan kabupaten/kota. Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa. 81
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Tabel 5.1 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa (Mandiri)
Sumber: Diolah dari hasil penelitian Kajian PKDOD LAN RI, 2016
Penyusunan dokumen perencanaan tersebut (RPJM Desa/RKP Desa/ RAPB Desa) dilakukan dengan mengutamakan prakarsa lokal yang terjaring dari hasil pemetaan potensi/aset desa, musyawarah desa, dan proses konsultasi dengan BPD, serta dengan mempertimbangkan prioritas pembangunan daerah kabupaten/kota (RPJMD) dan prioritas pembangunan nasional (RPJMN). Peran kabupaten, melalui (pendelegasian) perangkat kecamatan, dalam tahapan ini adalah memfasilitasi melalui bimbingan terhadap pemerintah desa dalam menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa. Perangkat kecamatan juga berperan dalam melakukan evaluasi dan verifikasi dengan memeriksa kesesuaian dokumen perencanaan pembangunan desa dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Selain itu, perangkat kecamatan juga mengkoordinasikan program daerah kabupaten/kota yang berskala desa untuk diintegrasikan dalam dokumen perencanaan desa. Jika terdapat program desa yang tidak terakomodasi dalam dokumen perencanaan kabupaten/kota, maka hal itu dapat menjadi masukan bagi perencanaan pembangunan daerah kab/kota pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, menimbang posisi strategis kecamatan, maka perlu penguatan mandat kecamatan sebagai wakil bupati/walikota dalam melakukan re view dan evaluasi dokumen perencanaan pembangunan desa. Namun, hal ini tentu membutuhkan penguatan kapasitas kecamatan itu sendiri, baik secara kelembagaan, SDM, dan pendanaan. Di tataran regulasi daerah, Peraturan Bupati harus menyatakan secara eksplisit peran camat sebagai evaluator. Singkatnya, pada tahapan perencanaan perlu memperkuat peran kecamatan sebagai pelaksana fungsi koordinasi dan fasilitasi penyusunan perencanaan 82
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
pembangunan desa melalui peningkatan kapasitas kecamatan dalam: 1) melakukan sinergitas perencanan pembangunan desa dengan kabupaten/ kota; 2) mekanisme review dan evaluasi RAPBDes. b. Penganggaran Dana Desa Jika dokumen perencanaan desa sudah selaras dengan perencanaan kabupaten/kota, Bupati/Walikota melalui camat memberikan persetujuan atas dokumen perencanaan tersebut. Lalu kepala desa menetapkan Rancangan APBDes tersebut menjadi APBDes melalui Peraturan Desa. Terkait dengan peran pemerintah supradesa, perlu diperjelas bagaimana mekanisme pembinaan/fasilitasi yang dilakukan oleh perangkat kecamatan. Sebab, dengan adanya kejelasan dalam mekanisme pembinaan maka akan mempermudah camat dalam mengevaluasi perencanaan dan proses pencairan anggaran desa. Oleh karena itu, peraturan tentang pengelolaan keuangan desa harus memuat peran camat dalam melakukan fasilitasi, review dan evaluasi, termasuk di dalamnya pedoman untuk melakukan evaluasi RAPBDes. Pedoman yang dimaksud dapat memuat, misalnya, panduan checklist yang harus dilakukan untuk membantu mengoptimalkan peran kecamatan yang secara kapasitas sumberdaya memang terbatas. Dalam hal ini, dapat mencontoh panduan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi untuk memonitor penyaluran Dana Desa. c. Penggunaan Dana Desa Pada tahapan pelaksanaan penggunaan Dana Desa, desa melalui pemerintah desa dapat mengunakan dana tersebut secara otonom guna menjalankan 4 kewenangan desa yang menjadi mandat UU No. 6/2014. Empat kewenangan tersebut meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan desa. Selain itu, pemerintah desa juga menjalankan pengadministrasian proses penggunaan Dana Desa. Perangkat kecamatan pada tahapan ini memberikan pendampingan, baik berupa fasilitasi dan asistensi penggunaan DD kepada pemerintah desa. Sedangkan pemerintah kabupaten/kota melalui inspektorat daerah menjalankan fungsi pengawasan. Pemerintah Kab/Kota juga, melalui BPMPD atau perangkat lain yang terkait desa, harus fokus pada peningkatan kapasitas perangkat kecamatan dalam pelaksanaan pengelolaan DD. d. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Dana Desa Pada tahap ini, pemerintah desa menyusun laporan realisasi penggunaan Dana Desa. Perangkat kecamatan harus memberikan pendampingan dan fasilitasi dalam proses penyusunan dan menerima laporan realisasi penggunaan DD, sekaligus mengkoordinasikan laporan realisasi dan pertanggungjawaban penggunaan DD untuk disampaikan kepada bupati/walikota. Laporan pertanggung jawaban tersebut kemudian dikonsolidasikan per ka83
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
bupaten/kota untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah/pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan dan menyampaikan tembusannya kepada pemerintah provinsi (Gubernur). e. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dilakukan oleh Pemerintah atas pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa. Mekanisme pemantaun tersebut dilakukan melalui beberapa instrumen, yaitu: • Penerbitan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa; • Penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas Desa; • penyampaian laporan realisasi; • SiLPA Dana Desa. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap dua hal, yaitu: • Penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupa ten/kota; • laporan realisasi Dana Desa. 2. Desa Pra Mandiri Model hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa untuk desa pra-mandiri digambarkan dalam Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Peran Pemerintah Supradesa dalam Pengelolaan Dana Desa (Pra-Mandiri)
Sumber: Hasil analisis kajian PKDOD, 2016.
84
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Berdasarkan tabel di atas, tergambarkan peran dari masing-masing aktor pemerintah supradesa dalam setiap tahapan pengelolaan Dana Desa untuk desa pra mandiri, mulai dari tahapan perencanaan hingga pelaporan dan pertanggungjawaban. Secara umum, peran pemerintah supradesa dalam setiap tahapan pengelolaan Dana Desa untuk desa pra mandiri kurang lebih sama dengan peran pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa untuk desa mandiri. Namun, peran pemerintah kabupaten/kota, terutama melalui perangkat daerahnya yaitu kecamatan, dalam pengelolaan DD untuk desa pra mandiri terdapat perbedaan yang signifikan cukup signifikan. Hal ini terkait dengan tingkat kemampuan perangka, tingkat partisipasi masyarakat, dan kondisi infrastruktur, dari desa pra mandiri dalam pengelolaan keuangan desa yang masih minim. Oleh karena itu, fasilitasi dan bimbingan yang diberikan oleh pemerintah supradesa dalam setiap tahapan pengelolaan Dana Desa dilakukan secara intensif, mulai dari tahapan perencanaan hingga pelaporan pertanggung jawaban realisasi penggunaan Dana Desa. Peran perangkat kecamatan memfasilitasi pemerintah desa secara intensif, baik melalui mekanisme konsultasi yang bersifat dua arah hingga ko-produksi (secara parsial). Artinya, perangkat kecamatan secara pro-aktif memberikan fasilitasi terhadap pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa, mulai dari tahap penyusunan dokumen perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan dan pertanggung jawaban. Bahkan, untuk membantu pengelolaan Dana Desa oleh pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota tidak cukup hanya dengan memperkuat peran perangkat kecamatan saja. Akan tetapi pemerintah kabupaten/kota harus mengoptimalkan segenap sumber daya (kelembagaan, SDM, dan pendanaan) yang terkait dengan desa untuk membantu pengelolaan Dana Desa oleh pemerintah desa, melalui seluruh sarana yang ada. B. INTRUMENTASI KEBIJAKAN Sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya, konstruksi model ideal merupakan alternatif atas model hubungan kewenangan pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa yang ada sekarang. Namun, konstruksi model ideal tersebut mensyaratkan adanya instrumentasi kebijakan terkait pengelolaan Dana Desa. Instrumentasi kebijakan yang dimaksud tidak lain adalah upaya untuk mengidentifikasi kebijakan yang perlu diharmonisasikan dan mengusulkan kebijakan yang perlu dibuat dalam rangka pengelolaan Dana Desa. 1. Harmonisasi kebijakan Berdasarkan analisis atas kebijakan yang telah dijelaskan di Bab IV, terdapat beberapa kebijakan/regulasi yang perlu diharmonisasikan. Pertama, penga85
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
turan pada tahap perencanaan atau peraturan yang menjadi acuan perencanaan pembangunan desa. UU No. 6/2014 Pasal 79 ayat 1 menyebutkan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. PP No. 43/2014 Pasal 117-118 menegaskan kembali hal tersebut dengan menyatakan bahwa perencanaan pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa) selain mengacu pada perencanaan Kabupaten/ Kota, juga harus memuat visi dan misi Kepala Desa, rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, serta arah kebijakan pembangunan desa. Penyusunan perencanaan pembangunan desa juga harus mempertimbangkan kondisi objektif desa. RPJM Desa tersebut kemudian dijabarkan dalam RKP Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Berbeda dengan UU No. 6/2014 dan PP No. 43/2014, PP No. 60/2014 mengatur perencanaan desa secara berbeda. Pada Pasal 21 mengatur tentang penetapan prioritas penggunaan Dana Desa yang ditetapkan oleh Menteri yang menangani desa (Kementerian Desa dan PDTT). Sementara Pasal 22 mengatur tentang kewenangan Pemerintah (melalui K/L Teknis terkait) untuk menyusun pedoman umum kegiatan yang didanai dari Dana Desa dengan mengacu pada prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 21. Lebih lanjut, pasal ini memberi keleluasaan pada kabupaten/kota untuk membuat pedoman teknis kegiatan yang didanai dari Dana Desa sesuai dengan pedoman umum yang dibuat K/L terkait. Dengan membandingkan ketiga peraturan yang menjadi acuan perencanaan desa tersebut, tampak adanya ketidakjelasan rujukan dalam penyusunan perencanaan desa. Kedua, pengaturan masih terkait dengan perencanaan desa. UU No. 6/2014 Pasal 79 ayat 1 menyebutkan bahwa perencanaan desa sebagai input perencanaan kabupaten/kota. Sedangkan, PP No. 43/2014 Pasal 119 menyebutkan bahwa Pemerintah Desa dapat mengusulkan kebutuhan pembangunan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari kedua pengaturan terkait perencanaan desa tersebut, tidak ada kejelasan alur dalam merespon perencanaan desa. Ketiga, pengaturan terkait pengaturan mandat kewenangan desa. UU No. 6/2014 pasal 18 menyatakan bahwa mandat kewenangan desa mencakup 4 (empat) bidang yang merupakan satu kesatuan, yaotu pemerintahan desa, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun, PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 melakukan reduksi atas mandat kewenangan desa tersebut dengan cara membatasi prioritas penggunaan Dana Desa pada pembangunan dan pemberdayaan (Pasal 19, ayat 2). Kemudian Permendesa No. 5/2015 dan Permendesa No. 21/2015 kembali menegaskan pembatasan mandat tersebut dengan membuat penetapan pri86
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
oritas penggunaan Dana Desa di bidang pembangunan dan pemberdayaan, sesuai perintah PP No. 60/2014, dengan daftar prioritas. Tetapi Permendesa ini juga membuka peluang bagi munculnya prioritas lokal sesuai dengan konteks dan prakarsa lokal yang dirumuskan melalui mekanisme musyawarah desa. sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 247/ PMK.07/2015 mengatur bahwa prioritas lokal dalam penggunaan Dana Desa harus memperoleh persetujuan dari Bupati/Walikota. Keempat, pengaturan terkait tugas pembinaan (fasilitasi/pendampingan) dalam tahapan penganggaran dan pelaksanaan pengelolaan Dana Desa. UU No 6/2014 Pasal 112 menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas pembinaan, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah. Menindaklanjuti perintah UU, PP No. 43/2014 Pasal 154 ayat 2 huruf c malah sudah berani mendelegasikan tugas untuk memfasilitasi pengelolaan keuangan desa kepada Camat. Namun ironisnya, kendati peran Camat sudah diatur di dalam PP, Permendagri No. 113/2014 belum berani mengambil langkah progresif. Pasal 44 hanya menyatakan: “Pemerin tah Kabupaten/Kota wajib membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuan gan desa. Oleh karena itu, terkait mekanisme atau peran kelembagaan dalam menjalankan tugas pembinaan tersebut masih memerlukan kejelasan. Apakah kepala daerah (Bupati) yang akan melakukan langsung tugas pembinaan tersebut atau mendelegasikannya kepada Camat? Seandainya Bupati mendelegasikan tugas pembinaan tersebut kepada Camat, maka perlu ada kejelasan peran Camat dalam melakukan review dan evaluasi RAPB Desa. Selain itu, untuk menunjang efektivitas kinerja pengawasan tersebut perlu ketersediaan format evaluasi. Terakhir, pengaturan terkait aspek pelaporan dan pertanggungjawaban. Regulasi terkait tahapan pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa cukup memadai karena relatif lebih jelas dan tidak ada tumpang tindih pengaturan. Dalam UU No. 6/2014 Pasal 27 bahwa dalam melaksanakan tugas, hak dam kewajibannya, kepala desa wajib menyampaikan laporan terkait penyelenggaraan pemerintahan desa (termasuk pengelolaan Dana Desa) setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota. Sedangkan PP No. 43/2014 pada Pasal 104 ayat 2 menyebutkan bahwa Bupati melalui Camat menerima laporan realisasi penggunaan Dana Desa dan pertanggungjawaban Pemerintahan Desa. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Permendagri No. 113/2014, pasal 37 dan 28, bahwa Bupati cq. Camat menerima Laporan realisasi dan pertanggungjawaban penggunaan DD dari Pemerintah Desa. Secara sederhana, harmonisasi aturan terkait instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan konstruksi model ideal pengelolaan Dana Desa, dapat digambarkan dalam matriks berikut. 87
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Tabel 5.3 Matriks Harmonisasi Kebijakan tentang Pengelolaan Dana Desa Pengaturan Regulasi Keterangan Perencanaan (Acuan Perencanaan Desa) Perencanaan Desa
UU UU No. 6/2014, pasal 79 (1) (PP No. 43/2014, pasal 117118) UU No. 6/2014, pasal 79 (1) (Perencanaan Desa sebagai input kab/ kota)
PP
PP No. 43/2014, pasal 119 (Pemdes dapat mengusulkan kebutuhan pembangunan ke kab/ kota) Mandat Ke- UU No. PP No. w e n a n g a n 6/2014, pasal 60/2014 jo PP Desa 18 No. 22/2015 Pemerintamelakukan han desa, reduksi dengan pembangucara membatasi nan, pembi- prioritas pada naan kemas- pembangunan yarakatan, dan pemberdan pember- dayaan. (pasal dayaan. 19, ayat 2
88
Permen • PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015, pasal 21 dan 22 • Prioritas penggunaan DD
Kejelasan rujukan dalam penyusunan perencanaan desa.
Kejelasan alur dalam merespon perencanaan desa.
Permendesa No. 5/2015 dan Permendesa No. 21/2015 membuat prioritas di bidang pembangunan dan pemberdayaan sesuai perintah PP, dengan daftar prioritas, tetapi juga membuka peluang bagi munculnya prioritas lokal sesuai dengan konteks dan prakarsa lokal, yang penting diputuskan melalui musyawarah desa. Tetapi PMK No. 247/PMK.07/2015 mengatur prioritas lokal harus memperoleh persetujuan bupati/walikota.
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Pengaturan Pengang garan dan Pelaksanaan Tugas pembinaan
Pelaporan dan Pertanggung Jawaban
Regulasi UU UU No 6/2014 pasal 112 Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah UU No. 6/2014 pasal 27 Penyampaian laporan desa ke bupati
PP PP No. 43/2014, pasal 154 ayat 2 huruf c Camat memfasilitasi pengelolaan keuangan desa
Keterangan
Permen Permendagri • Perlu diperjelas No. 113/2014, mekanisme pasal 44 Pemer pembinaan/ intah Kabupaten/ fasilitasi yang Kota wajib mem dilakukan oleh bina dan menga (Kep.daerah/ wasi pelaksanaan Camat) pengelolaan • Kejelasan peran keuangan desa. Camat dalam melakukan review dan evaluasi RAPB Desa serta ketersediaan format evaluasi
PP No. 43/2014, pasal 104 ayat 2
Permendagri Sudah cukup No. 113/2014, pasal 37 dan 28 Bupati cq Bupati cq CaCamat menermat menerima ima Laporan Lap realisasi realisasi dan dan pertanggu- pertanggungngjawaban Pem jawaban pengDesa gunaan DD dari Pemerintah Desa Sumber: Diolah dari hasil penelitian PKDOD LAN RI dan Pattiro, 2016
2. Usulan Kebijakan Berpijak pada hasil identifikasi sejumlah aturan terkait pengelolaan Dana Desa yang perlu diharmonisasikan, maka terdapat beberapa usulan kebijakan untuk mengatasi karut-marut (disharmoni) kebijakan tersebut. Kebijakan yang diusulkan masih terkait dengan hubungan kewenangan pemerintah desa dan pemerintah supradesa. Usulan kebijakan berikut dimaksudkan menggenapi instrumentasi kebijakan untuk mewujudkan konstruksi model ideal dalam pengelolaan Dana Desa, antara lain: 89
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
a. Kebijakan yang memberi ruang pada pemerintah desa untuk memprioritaskan penggunaan DD berdasarkan prakarsa dan kondisi empiris di desa sesuai dengan mandat kewenangan desa. b. Kebijakan yang mengatur hubungan desa dan supradesa dalam pengelolaan Dana Desa berbasis tipologi desa c. Kebijakan yang mengatur pemberian kewenangan kepada camat dalam menjalankan tugas pembinaan pengelolaan Dana Desa secara lebih menyeluruh; tidak hanya pada tahap perencanaan (melalui pendampingan dan evaluasi) dan pertanggungjawaban (evaluasi), tetapi juga proses dalam tahap pelaksanaan, penatausahaan, dan penyusunan laporan, yang disertai dengan kejelasan peran dalam melakukan review dan evaluasi RAPB Desa dengan menjamin ketersediaan format evaluasi.
90
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian lapangan mengenai Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Pemerintah Supradesa (Pusat, Provinsi, dan Kabupa ten/Kota) dan Pemerintah Desa dalam Pengelolaan Dana Desa, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat fragmentasi hubungan kewenangan antara Pemerintah Supra Desa dengan Pemerintah Desa dalam pengelolaan Dana Desa. Fragmentasi tersebut teridentifikasi sebagai berikut: a. Terdapat dualisme pengaturan tentang penggunaan Dana Desa. Perencanaan penggunaan Dana Desa, selain mengacu pada RPJM Desa dan APB Desa, juga harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT tentang yang mengatur prioritas penggunaan Dana Desa. Akibatnya, perencanaan anggaran yang telah disusun oleh pemerintah desa tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena harus mengacu pada ketetapan Menteri Desa PDTT. b. Dualisme pengaturan juga terjadi pada pengaturan kewenangan desa, yaitu antara peraturan Kementerian Dalam Negeri dan peraturan Kementerian Desa dan PDTT. Hal ini menyulitkan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun peraturan tentang daftar kewenangan desa, sehingga pemerintah desa sendiri tidak bisa menyusun peraturan desa terkait kewenangan desa dan tidak bisa menjalankan kewenangannya secara optimal. c. Dalam konteks hubungan pemerintah supra desa dengan pemerintah desa, pemerintah desa memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam pengelolaan Dana Desa. d. Terdapat pengaturan yang berbeda terkait peran perangkat daerah/kecamatan, yaitu antara UU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hal ini berdampak pada ketidakjelasan terkait mekanisme tugas pembinaan yang dilakukan oleh Bupati atau perangkat daerah/kecamatan, termasuk dalam melakukan peninjauan (review) dan evaluasi perencanaan desa serta tidak adanya ketersediaan format evaluasi. e. Dalam konteks empiris, temuan lapangan menunjukkan bahwa hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa setidaknya memunculkan dua pola karakteristik yang berbeda. 91
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1) Untuk kasus desa pra mandiri, keterlibatan pemerintah supradesa dalam pengelolaan Dana Desa cenderung dominan. Dominasi pemerintah supradesa tersebut bahkan berpotensi melampaui kewenangan desa itu sendiri di satu sisi. Di sisi lain, hal ini terjadi karena minimnya kapasitas perangkat desa itu sendiri dan rendahnya partisipasi masyarakat. Mekanisme akuntabilitas lokal melalui kontrol BPD juga belum berjalan efektif. Namun di sisi lain, hal ini tentunya juga menunjukkan bahwa upaya tuntutan untuk peningkatan kapasitas perangkat desa dan membuka berbagai saluran bagi aspirasi masyarakat dalam pengelolaan Dana Desa menjadi sesuatu yang sangat mendesak dilakukan. 2) Untuk kasus desa mandiri, pemerintah desa relatif lebih dapat menjalankan pengelolaan Dana Desa secara lebih independen. Mekanisme pengelolaan Dana Desa dijalankan sesuai kewenangan yang mereka miliki. Sementara keterlibatan pemerintah supradesa cenderung minim. Peran yang dilakukan sebatas supervisi yang dijalankan secara wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, di lokus desa tertentu, pemerintah desa telah berani untuk lepas dari ketentuan yang mengatur prioritas penggunaan Dana Desa. Namun, hal tersebut dilakukan dengan tetap bertumpu pada mekanisme deliberatif (musyawarah desa), dan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi sesuai kebutuhan dan tantanggan kondisi empiris yang ada di desa. 2. Model ideal hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Peran Pemerintah Pusat (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa PDTT) dalam pengelolaan Dana Desa sebatas sebagai regulator dan penyedia anggaran (Dana Desa). b. Garis kewenangan antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa dan PDTT harus jelas dan tegas dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam pengelolaan Dana Desa. Fakta di lapangan menunjukkan, desa menghadapi kebingungan terkait dengan tumpang tindih kebijakan di level pusat. Tidak ada kesepakatan di level pusat, kementerian apa yang menjadi penjuru bagi desa. Kondisi ini ikut mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam konteks pengelolaan Dana Desa. c. Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan Dana Desa hanya terbatas pada tugas pengawasan penyaluran Dana Desa, penguatan kapasitas perangkat Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana Desa, menerima tembusan laporan tentang besaran jumlah Dana Desa dan laporan realisasi dan pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa dari Kabupaten/Kota. d. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah untuk memfasilitasi pemer92
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
intah desa dalam pengelolaan Dana Desa. Titik temu antara pemerintah desa dengan pemerintah kabupaten/kota sangat krusial pada saat pembahasan RPJM Desa, APB Desa, dan aspek pengelolaan Dana Desa lainnya. Perangkat daerah kabupaten/kota yang berkaitan langsung dengan pemerintahan desa, yaitu BPMPD dan Kecamatan, memiliki peran strategis dalam pelaksanaan kewenangan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten harus memperkuat kapasitas perangkat kecamatan dalam rangka melaksanakan tugas pembinaan kepada pemerintah desa dalam mengelola Dana Desa. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota lainnya adalah menerima laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa. e. Peran perangkat kecamatan adalah menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait tugas pembinaan terhadap pemerintah desa dalam mengelola Dana Desa, mulai dari tahapan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertaggungjawaban realisasi penggunaan Dana Desa. Proses dan mekanisme fasilitasi dari perangkat kecamatan tersebut dilakukan dengan berbasis pada tipologi desa (mandiri dan pra-mandiri) f. Pemerintah desa dalam rangka pengelolaan Dana Desa memiliki kewenangan luas sesuai dengan prakarsa masyarakat (melalui mekanisme musyawarah desa) dan potensi lokal, serta kondisi empiris desa. Mandat kewenangan pemerintahan desa dalam mengelola Dana Desa adalah untuk menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, dengan mengacu pada asas rekognisi dan subsidiritas yang dimiliki desa. Pengelolaan Dana Desa oleh pemerintah desa berdasarkan pada tata tertib administrasi yang menjamin prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Pembinaan (fasilitasi, asistensi, pendampingan) dari pemerintah supradesa diberikan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan, tantangan, dan tipologi desa. g. Berdasarkan analisis terhadap tata kelola prinsip rumah tangga otonomi (RTO) bagi desa dalam konteks pengelolaan Dana Desa, kesimpulan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1) UU Desa sebagai dasar konstitusional pengelolaan Dana Desa telah memenuhi kriteria sistem RTO riil. Namun, beberapa peraturan pelaksanaan UU tersebut justru bersifat materiil. Selain itu, terdapat dualisme pengaturan tentang penggunaan Dana Desa dan kewenangan desa dan kewenangan perangkat kecamatan hanya terbatas pada aspek perencanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. 2) Temuan di beberapa lokus penelitian menunjukkan hubungan kewenangan dalam pengelolaan Dana Desa sebagian besar masih bersifat materiil. h. Model ideal hubungan kewenangan antara pemerintah supradesa dengan pemerintah desa dalam pengelolaan Dana Desa dibangun berdasarkan tipologi desa (mandiri dan pra mandiri), dengan memperhatikan beberapa hal: 93
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1) Pemerintah desa mempunyai keleluasaan dalam pengelolaan Dana Desa sesuai dgn prakarsa lokal dan kondisi empiris; 2) Untuk desa mandiri, pembinaan dari supradesa diberikan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dan tantangan desa; untuk desa pra-mandiri, pembinaan dari pemerintah supradesa (terutama perangkat daerah kabupaten) harus dilakukan secara intensif. 3) Penguatan peran dan kapasitas perangkat kabupaten/kota yang mengurus desa, termasuk perangkat kecamatan, dalam impementasi UU Desa, khususnya terkait pengelolaan Dana Desa. 3. Terdapat sejumlah instrumen kebijakan yang perlu diharmonisasikan khususnya kebijakan dari pusat sehubungan dengan pengelolaan Dana Desa, yaitu meliputi: a. Pengaturan tentang perencanaan pembangunan desa: UU No. 6/2014 tentang Desa, yaitu Pasal 79 (1), dan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, Pasal pasal 117-118, dengan PP No. 60/2014 jo. PP No. 22/2015 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, Pasal 21-22, terkait rujukan dalam penyusunan dokumen perencanaan (RPJM Desa, RKP Desa, dan RAPB Desa). b. Pengaturan tentang alur dalam merespon perencanaan desa: UU No. 6/2014 tentang Desa, Pasal 79 (1), dengan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa, Pasal 119. c. Pengaturan tentang mandat kewenangan desa: UU No. 6/2014 tentang Desa, Pasal 18, dengan PP No. 60/2014 jo PP No. 22/2015 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, Pasal 19 (2), Permendesa No. 5/2015 tentang Pedoman Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 dan Permendesa No. 21/2015 tentang Pedoman Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 247/PMK. 07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Monitoring, dan Evaluasi Dana Desa. d. Pengaturan tentang tugas pembinaan oleh perangkat daerah kabupaten/kota atau perangkat kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa (penganggaran dan pelaksanaan): UU No. 6/2014 tentang Desa, Pasal 112, dengan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa, Pasal 154, dan Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Pasal 44. e. Permendesa No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dengan Permendagri No. 44/2016 tentang Kewenangan Desa. Harmonisasi perlu dilakukan mengingat, implikasi yang ditimbulkan oleh kebijakan yang tumpang tindih dan saling berkelindan membuat desa tidak dapat mengambil keputusan secara cepat. 4. Kecamatan sebagai perangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan pa 94
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
ling dekat dengan institusi desa tidak memiliki kewenangan yang kuat terhadap desa. Kuat dalam hal ini tidak dalam konteks kewenangan untuk mengintervensi desa. Pengaturan kewenangan kecamatan saat ini hanya pada aspek perencanaan dan pertanggungjawaban, sedangkan, pada aspek penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban tidak diatur. Akibatnya, potensi terjadinya penyimpangan pada perencanaan dan tahap pengelolaan Dana Desa selanjutnya yaitu pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan sangat besar. B. REKOMENDASI Berpijak dari kesimpulan di atas, berkaitan dengan hubungan kewenangan pemerintah desa dengan pemerintah supra desa dalam pengelolaan Dana Desa, kajian ini mengajukan rekomendasi sebagai berikut: 1. Fragmentasi pengaturan tentang kewenangan desa oleh pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa dan PDTT perlu dihapuskan, sebab kondisi ini dapat menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Selanjutnya, upaya untuk mengatasi fragmentasi regulasi tersebut dapat mempertimbangkan beberapa alternatif yang dapat ditempuh, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk alternatif jangka pendek, strategi yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk “Desk Bersama” sebagai ruang untuk mempertemukan dialog antara beberapa instansi kementerian/lembaga negara yang terkait dengan pengaturan pengelolaan Dana Desa tersebut. Desk ini diharapkan tidak hanya melakukan kajian dan harmonisasi regulasi yang ada, tetapi juga menjadi tempat pengaduan bagi desa atau kabupaten untuk mencari solusi masalah yang dihadapi mereka. Lingkup masalah yang dimaksudkan di sini baik masalah yang bersifat internal maupun persoalan terkait regulasi, misalnya, manakala terdapat tumpang tindih regulasi. Sedangkan untuk alternatif jangka panjang, strategi yang dapat ditempuh adalah mempertimbangkan kembali pembentukan kementerian penjuru yang akan menjadi koordinator terhadap segala urusan tentang desa. Keterlibatan sejumlah kementerian khususnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa dan PDTT serta Bappenas terhadap implementasi UU Desa dapat diterima dengan tetap menempatkan salah satu kementerian sebagai kementerian penjuru bagi desa. Hal ini dapat dilakukan melalui: a. Pemetaan dan perumusan kembali kewenangan tiap-tiap kementerian dan lembaga non kementerian tersebut di atas terhadap desa sesuai tugas dan fungsi masing-masing, selaras dengan semangat desa membangun berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas yang dimiliki desa. b. Meninjau kembali kebijakan penetapan prioritas penggunaan Dana Desa yang dikeluarkan secara sepihak oleh Pusat. Desa seharusnya memiliki kewenan95
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
gan untuk ikut menentukan penggunaan Dana Desa. Jika pemerintah pusat mengatur prioritas penggunaan Dana Desa, maka kebijakan tersebut perlu dikaitkan dengan tipologi desa, misalnya: 1) Desa mandiri, penggunaan Dana Desa sebagian besar untuk pengembangan pemberdayaan masyarakat desa; 2) Desa pra mandiri, penggunaan Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; Dengan demikian akan terjadi kesinambungan pemanfaatan Dana Desa berdasarkan tipologi desa dan dievaluasi pelaksanaanya secara periodik. Apabila tiap tahun prioritas penggunanaan Dana Desa selalu berubah, dikhawatirkan nilai tambah Dana Desa bagi desa tidak dapat dirasakan secara signifikan. 2. Pemerintah perlu segera memperjelas kewenangan antar instansi pemerintah pusat yang menangani desa agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan/regulasi yang mengatur desa. Konstruksi ideal hubungan antara desa dengan supra desa perlu mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut: a. Mengintegrasikan peraturan tentang pengelolaan Dana Desa. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa dan PDTT, serta Bappenas menyusun peraturan perundang-undangan yang integratif mengenai pengelolaan Dana Desa. Peraturan ini sangat strategis mengingat implementasi Undang-Undang Desa telah menjadi agenda penting nasional. b. Pemerintah pusat berwenang melakukan pemantauan atas pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa, penerbitan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa, penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas Desa, penyampaian laporan realisasi, dan SiLPA Dana Desa. Pemerintah pusat juga berwenang melakukan evaluasi penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/ kota, dan laporan realisasi Dana Desa c. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa secara intensif dengan mengoptimalkan perangkat kabupaten/kota dan perangkat pusat yang berada di kabupaten/kota. Karena rentang kendali terhadap desa lebih dekat dengan kabupaten/kota, maka titik berat kewenangan tersebut berada pada pemerintah kabupaten/kota. d. Kecamatan perlu memperoleh kewenangan yang memadai dalam rangka implementasi UU Desa. Pemerintah kabupaten/kota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kecamatan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa. e. Dalam pengelolaan Dana Desa (Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan, Pertanggungjawaban), Pemerintah Desa memiliki keleluasaan dalam melaksanakan kewenangannya sesuai dengan prakarsa lokal dan kondisi 96
Penyusunan Model dan Instrumentasi Kebijakan Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
empiris. Pembinaan pemerintah supradesa diberikan secara proporsional. f. Untuk menunjang efektivitas kewenangan pemerintah supra desa dan pemerintah desa, pemerintah perlu mengembangkan model pengelolaan Dana Desa yang lebih komprehensif dengan mekanisme pengelolaaan yang lebih sederhana, serta menjamin efektivitas dan akuntabilitas, terwujudnya transparansi, bersifat partisipatif, dan inklusif dalam proses pengelolaannya. 3. Pemerintah pusat perlu melaksanakan harmonisasi kebijakan khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan Dana Desa. Harmonisasi tersebut dilakukan melalui: a. Penyelarasan kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian yang berwenang (khususnya terkait pengelolaan Dana Desa), seperti: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa & PDTT, dan Kementerian Keuangan. b. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan turunan terkait dengan pengelolaan Dana Desa baik pada level pusat maupun kebijakan di provinsi, kabupaten/kota untuk mengurangi tumpang tindih kebijakan dan ego sektoral, dan mengoptimalkan peran kecamatan dalam pengelolaan Dana Desa. c. Menyelaraskan pengaturan tentang penggunaan Dana Desa dan mengintegrasikan pengaturan tentang kewenangan desa sesuai semangat UU Desa. d. Menentukan kementerian penjuru untuk mengatasi tumpang tindih pekerjaan/kewenangan terkait desa. e. Mempertimbangkan kembali konsep tentang urgensi undang-undang pokok untuk mengatasi disharmoni kebijakan/regulasi. f. Menyusun kebijakan yang mengatur pemberian kewenangan kepada kecamatan dalam pembinaan dan pengawasan pengelolaan Dana Desa, tidak hanya pada tahap perencanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban, tetapi juga tahap pelaksanaan, dan penatausahaan. 4. Kecamatan sebagai perangkat kabupaten/kota yang berkedudukan paling dekat dengan desa sudah saatnya diberikan kewenangan yang lebih jelas dan tegas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Terlebih berkaitan dengan pengelolaan Dana Desa, kecamatan memiliki peran dan fungsi strategis dan krusial. Penguatan kapasitas kecamatan perlu memperoleh perhatian serius baik oleh pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pemerintah pusat. Untuk meningkatkan efektivitas kedudukan kecamatan dalam pembinaan dan pengawasan pengelolaan Dana Desa, maka saran kebijakan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: a. Memperkuat kewenangan kecamatan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terkait pengelolaan keuangan desa melalui: 1) Pendelegasian sebagian kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota kepada kecamatan terkait dengan pengelolaan Dana Desa. 2) Memperjelas kewenangan, peran, dan fungsi kecamatan di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas pembinaan pemerin97
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
tahan desa. b. Memperkuat kapasitas kecamatan, melalui: 1) Meningkatkan alokasi anggaran untuk perangkat kecamatan dalam melaksanakan kewenangan, peran dan fungsinya. 2) Pengembangan kepasitas perangkat kecamatan melalui pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa; 3) Memberikan pelatihan teknis mekanisme pelaksanaan UU Desa kepada aparat kecamatan secara memadai, misalnya, bagaimana cara memverifikasi kelengkapan dokumen prasyarat pencairan Dana Desa atau bagaimana melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan Dana Desa. c. Membangun relasi strategis antara kecamatan dan desa sebagai langkah untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan desa, melalui: 1) Optimalisasi fungsi pembinaan (fasilitasi dan asistensi) dari kecamatan dalam penguatan perangkat desa, terutama terkait dengan pengelolaan keuangan desa; 2) Peningkatan kapasitas perangkat kecamatan dan desa dalam mengelola Dana Desa. Sinergi antara pemerintah desa dengan supra desa sangat dibutuhkan agar terwujud kesepahaman informasi dan komunikasi yang konstruktif antara pemerintah desa dengan pemerintah supra desa.
98
Daftar Pustaka
A. Referensi Anderson, James E. 1984. Public Policy Making (3rd ed). New York: Holt, Rinehart, and Winston. Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interests and Institutions: The conceptual foundations of public policy. New York: Basil Blackwell. Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Strong, C.F. 1960. Modern Political Constituion. London: Sidgwick & Jackson Ltd. Fredriech, Carl. 1967 An Introductional to Political Theory: Twelve Lectures at Harvard. Boston: Harvard University Press. Agustino, Leo. 2016. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta. Davis, Lance E. dan Douglas C. North. 1970. Institutional Change and American Economic Growth. Cambridge: Cambridge University Press. Suharto, Didik G. 2016. Membangun Kemandirian Desa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa. 2014. Kewenangan Penugasan Kepada Desa, Policy Brief. Ganjong. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia Hill, M. dan Hupe, P. 2002. Implementing Public Policy: Governance in Theory and in Practice. London: SAGE Publications Ltd. Kertapraja, Koswara. 2012. Pemerintahan Daerah. Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Dulu, Kini dan Tantangan Globalisasi. Penerbit Inner bekerjasama dengan Universitas Satyagama, Jakarta. Majchrzak, Ann. 1990. Methods for Policy Research (Applied social research methods series Vol. 3). California: Sage Publications, Inc. Manan, Bagir. 2001 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Mongilala, Chrisye. 2016. Kajian Yuridis Mengenai Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Desa di Kabupaten Minahasa Selatan. Lex et Societatis Vol. IV/No.6/Juni/2016, pp. 78-85. M. Hadjon, Philipus. 1997. “Tentang Wewenang”, dalam Jurnal YURIDIKA, No. 5 & 6 Tahun XII, September – Desember. Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara. 2015. “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014”. Jakarta Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers Shohibuddin, Moh. 2016. “UU Desa: Akses atau Ekslusi?”. Majalah Berita Mingguan Gatra, 15 Juni 2016. 99
Eko, Sutoro. 2014a. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Eko, Sutoro. 2014b. Kedudukan dan Kewenangan Desa, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Yogyakarta. Eko, Sutoro. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa. Jakarta: Kementerian Desa PDTT. Sudjatmiko, Budiman dan Yando Zakaria. 2014. Desa Kuat, Indonesia Hebat. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Tim Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi. 2015. “Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa”. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim Peneliti Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro). 2016. Praktik Baik Desa Dalam Implementasi Undang-Undang Desa. Jakarta: Pattiro. Zakaria, Yando. 2016. Kronik Kebijakan Desa. Draf awal. B. Peraturan Perundang-undangan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Desa Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN juncto PP No. 22 Tahun 2015 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 juncto PP No. 47 Tahun 2015 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Peraturan Menteri Desa dan PDTT (Permendesa PDTT) No. 5 Tahun tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2015 Peraturan Menteri Desa dan PDTT (Permendesa PDTT) No. 21 Tahun tentang Penetapan Prioritas Dana Desa Tahun 2016 Peraturan Menteri Keuangan No. 247 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa juncto PMK No. 49 Tahun 2016 C. Artikel Website “Dana Desa 2017: Rata-rata Belum Sampai 1 Miliar”, http://finansial.bisnis.com/ read/20160829/9/579118/dana-desa-2017-rata-rata-belum-sampai-rp1miliar, diakses 30 Oktober 2016. “Catatan Kebijakan: Policy Note on Village Development Participatory Model” http:// www.ksi-indonesia.org/id/index.php/publications/2016/06/28/89/policy-note-on-village-development-participatory-budgeting-model.html, diakses 11 November 2016. 100