HUBUNGAN KERJASAMA PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBUATAN PERATURAN DESA (Suatu Studi di Desa Maliambao Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara) Oleh: Marciano Recky Karundeng Absrak Semenjak kehadirannya, Badan Permusyawaratan Desa sedikit banyak telah berperan dalam menunjang pelaksanaan pemerintahan desa, tidak jarang pula sering ditemui hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa, hal ini dipicu oleh pemahaman dan persepsi yang berbeda diantara kedua lebaga desa tersebut. Penelitian ini dilakukan di Desa Maliambao Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara, dimana informan penelitian ini ditentukan adalah kepala desa dan perangkatnya, serta ketua dan anggota badan permusyawaratan desa, dengan menggunakan teknik pengumpulan data secara purposive sampling, dan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa Maliambao terjalin kurang harmonis, terutama hubungan kerja sama dalam pembuatan peraturan desa, hal ini disebabkan oleh adanya beda pendapat diantara kedua lembaga tersebut, sehingga terjadi tarik menarik dalam proses penyusunan, penentuan dan penetapan peraturan desa, namun hubungan kerja sama yang kurang harmonis ini tidak sampai ditunjukkan kepada masyarakat desa, sehingga masyarakat desa tidak terlalu mengatahui bahwa terjadi beda pendapat antara pemerintah desa dengan badan permusyawaratan desa, karena dalam kenyataannya kedua lembaga ini menunjukkan kesan yang harmonis di hadapan masyarakat desa. Kata Kunci: Hubungan Kerjasama, Pemerintah Desa, Badan Permuyawaratan Desa.
Pendahuluan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari system penyelenggaraan pemerintahan nasional, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Sama halnya dengan tingkat Daerah maupun Pusat di dalam menjalankan pemerintahan dibantu dan bekerja sama dengan badan Eksekutif maupun Legislatif dengan adanya pembagian kekuasaan. Begitu pula di tingkat Desa dalam menjalankan roda pemerintahannya, kepala Desa tidaklah bekerja sendiri, namun dibantu juga oleh perangkat desa yang lain seperti Sekretaris Desa dan yang lainnya. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan perwujudan dari sistem Demokrasi, di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatakan bahwa BPD merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. BPD dilihat dari wewenangnya dapat dikatakan sebagai lembaga Legislatif di tingkat Desa, sedangkan Pemerintah Desa dan perangkat Desa yang lainnya adalah lembaga Eksekutif. Desa Maliambao merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Likupang Barat, di desa ini mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, sebagian besar dana desa yang telah diperoleh pada tahun 2015 yang lalu digunakan untuk membangun akses jalan desa, hal ini dimaksudkan untuk membuka akses jalan tani bagi masyarakat yang akan membawa hasil bumi untuk dipasarkan diluar desa. Kebijakan pemerintah desa yang dituangkan dalam peraturan desa dinilai belum dapat memberikan suatu progres yang berarti dalam meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Bila ditarik mundur kebelakang dalam proses pembuatan peraturan desa lebih didominasi oleh pihak pemerintah desa, walaupun terlihat adanya dinamika dalam penyusunannya. Dinamika yang terjadi adalah adanya ketidakpercayaan Badan Permusyawaratan Desa kepada Pemerintah Desa dalam pelaksanaan program yang telah ditetapkan pada peraturan desa. Berdasarkan pengamatan awal yang peneliti lakukan, terindikasi pula bahwa hubungan kerjasama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa tidak berjalan harmonis sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak diakomodirnya kepentingan-kepentingan masyarakat yang disampaikan oleh Badan Permusyawaratan Desa kepada Pemerintah Desa, dalam proses penyusunan peraturan desa, Badan Permusyawaratan Desa mengusulkan atas aspirasi dari masyarakat untuk membangun jaringan air bersih, namun hal ini tidak diterima oleh Pemerintah Desa, Pemerintah Desa lebih memprioritaskan untuk melanjutkan pembangunan jalan desa, begitu pula untuk usulan lainnya dari Badan Permusyawaratan Desa untuk pengalokasian dana bagi tiap jaga (dusun) agar diberikan penguatan modal bagi petani rica (cabe rawit merah), namun hal ini pula ditolak oleh Pemerintah Desa. Jika dinilai dari segi kerja sama dan saling menghargai hubungan kerja sama yang terjalin masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan fenomena-fenomena inilah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan hubungan kerja sama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembuatan peraturan desa yang menjadi dasar kebijakan Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, hubungan kerjasama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam penelitian ini lebih difokuskan pada hubungan kemitraan (Soemartono, 2006:23) artinya pihak pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa merupakan dua lembaga yang selevel/setara dimana kedua lembaga ini merupakan kedua lembaga yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang desa, yang dalam tugas pelaksanannya bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini yang menimbulkan pertanyaan besar adalah: bagaimana hubungan kerjasama pemerintah desa dengan badan permusyawaratan desa dalam pembuatan peraturan desa Maliambao Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara? Tujuan dari penelitian ini yaitu: untuk mengetahui hubungan kerjasama Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembuatan peraturan desa. Konsep Pemerintah Desa Pemerintahan adalah suatu cara bagaimana dinas umum dipimpin dengan sebaik-baiknya (M. Ngalim Purwanto, 2002:27). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan adalah badan yang melakukan kekuasaan untuk memerintah, sehingga dia mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan, membina, dan membimbing warganya kearah pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Selain itu, desa adalah kesatuan organisasi pemerintahan yang terendah, mempunyai batas wilayah tertentu, langsung dibawah kecamatan, dan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya (Taliziduhu Ndraha, 1991:3). Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bambang Trisantono Soemantri, 2011:46). Dari dua kata di atas yaitu pemerintahan dan desa diperoleh pengertian baru yaitu pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, desa jika dijabarkan dalam pengertian yang lebih luas lagi tidak hanya mencakup ruang lingkup demografis atau sebatas pembahasan luas wilayah secara fisik saja, tetapi desa juga mempunyai karakter sosial yang berbeda satu sama lainnya. Sehingga kebanyakan dari faktor sosial itulah sering mempengaruhi kemajuan desa, salah satu factor social tersebut adalah pendidikan, terutama kualitas pendidikan agama Islam masyarakat. Di dalam Sumber lain juga di katakan bahwa Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Selain itu, pemerintahan desa adalah badan yang melakukan kekuasaan memerintah dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat yang berada dibawah camat atau desa (Taliziduhu Ndraha, 1991:5). Dari beberapa pengertian di atas peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa pemerintah desa adalah badan atau lembaga yang melakukan kekuasaan memerintah dalam rangka kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk mengatur, mengayomi, dan mensejahterakan masyarakat yang pelaksanaanya oleh organisasi yang terendah langsung di bawah camat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa desa adalah bagian terkecil dalam susunan pemerintahan yang dikepalai oleh seorang kepala desa, dalam pelaksanaan kerjanya pemerintah desa mempunyai kewenangan yang dapat diatur sendiri oleh masing-masing individu sebagai peranangkat desa. Namun, kewenangan tersebut tidak serta merta bebas tanpa ada batas, kewenangan yang dimiliki pemerintah desa dalam mengelola jalannya roda pemerintahan harus sesuai dan memperhatikan adat istiadat masyarakat yang ada selain itu juga karakter local masyarakat juga harus tetap dijaga sebagai suatu ciri dan keistimewaan yang dimiliki oleh masing-masing desa. Pemerintah desa telah diketahui mempunyai hak dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahan rumah tangganya sendiri, di antara beberapa kewenangan desa (Bambang Trisantono Soemantri, 2011:51) antara lain: a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat. c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota d. Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa. Sangat jelas, bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warganya dalam segala aspek, baik dalam pelayanan (public good), pengaturan (public regulation), dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Peranan pemerintah desa memang dirasa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, inovasiinovasi baru serta perhatian pemerintah desa pada sarana prasarana desa juga sangat diperlukan demi terwujudnya pembangunan yang seutuhnya. Pembangunan yang seutuhnya sejalan dengan pembangunan Nasional bangsa Indonesia. Dalam menghadapi pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu dan kualitas masyarakat agar dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan peninjauan kembali terhadap system administrasi Negara Indonesia. Konsep Badan Permusyawaratan Desa Badan Permusyawaratan Desa merupakan perwujudan demokrasi di desa. Demokrasi yang dimaksud adalah bahwa agar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus memperhatikan aspirasi dari masyarakat yang diartikulasikan dan diagresiasikan oleh BPD dan lembaga masyarakat lainnya. Badan Permusyawaratan Desa merupakan perubahan nama dari Badan Perwakilan Desa yang ada selama ini. Perubahan ini didasarkan pada kondisi faktual bahwa budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi “musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang hasil. Hasil yang diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak sampai menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat (UU No. 6 Tahun 2014 pasal 55). Oleh karenanya BPD sebagai badan permusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping mejalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga dapat menjadi lembaga yang berperan sebagai lembaga representasi dari masyarakat.
Sehubungan dengan fungsinya menetapkan peraturan desa maka BPD bersama-sama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan desa sesuai dengan aspirasi yang datang dari masyarakat, namun tidak semua aspirasi dari masyarakat dapat ditetapkan dalam bentuk peraturan desa tapi harus melalui berbagai proses sebagai berikut: Artikulasi adalah penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD. Agresi adalah proses megumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi Peraturan Desa. Formulasi adalah proses perumusan Rancangan Peraturan Desa yang dilakukan oleh BPD dan/atau oleh Pemerintah Desa. Konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat. Dari berbagai proses tersebut kemudian barulah suatu peraturan desa dapat ditetapkan, hal ini dilakukan agar peraturan yang ditetapkan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Adapun materi yang diatur dalam peraturan desa harus memperhatikan dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang ada seperti: Landasan hukum materi yang diatur, agar Peraturan Desa yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa mempunyai landasan hukum; Landasan filosofis materi yang diatur, agar Peraturan Desa yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yang dianut ditengah-tengah masyarakat. Landasan kultural materi yang diatur, agar Peraturan Desa yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa tidak bertentang dan nilainilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat; Landasan politis materi yang diatur, agar Peraturan Desa yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mengandung azas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD. Masa jabatan anggota BPD adalah 6(enam) tahun dan dapat dipilh lagi untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan BPD diatur dalam Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Adapun jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jumlah penduduk desa sampai dengan 1.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang. b. Jumlah penduduk desa antara 1.501 sampai dengan 2.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 7 (tujuh) orang. c. Jumlah penduduk desa antara 2.001 sampai dengan 2.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 9 (Sembilan) orang. d. Jumlah penduduk desa antara 2.501 sampai dengan 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 11 (sebelas) orang. e. Jumlah penduduk lebih dari 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 13 (tiga belas) orang. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Utara Nomor 13 Tahun 2007 tentang pemerintahan desa, persyaratan menjadi anggota BPD adalah penduduk desa warga Negara Republik Indonesia dengan beberapa persyaratan mengikat. Pencalonan anggota BPD diatur dalam pasal 34 Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Utara No. 13 Tahun 2007, yang terdiri dari Ketua Rukun Warga, Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemuka Agama, Tokoh Pemuda dan Tokoh Wanita dan/atau Pemuka masyarakat lainnya, dan merupakan wakil dari penduduk
desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah, serta beberapa persyaratan lain yang mengikat. Konsep Kerjasama Kerja sama adalah suatu bentuk interaksi sosial antara orang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan dengan kelompoknya (in group) dan kelompok lainnya (out group). Menurut Charles H. Cooley kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingankepentingannya. Bentuk-bentuk kerjasama Kerja sama dapat dibagi menjadi tiga bentuk berikut ini: 1) Bargaining (tawar-menawar) Bergaining yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih. 2) Cooptation Cooptation yaitu suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan dalam organisasi yang bersangkutan. 3) Coalition (koalisi) Koalisi merupakan kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuantujuan yang sama. Untuk sementara waktu akan terjadi instabilitas karena dua atau lebih organisasi tersebut memiliki perbedaan struktur, tetapi karena mereka ingin mencapai tujuan bersama, maka dapat terjadi kerja sama. 4) Joint venture atau usaha patungan Joint venture yaitu kerja sama dalam proyek tertentu, misalnya industri mobil, pengeboran minyak, pertambangan batu bara, perhotelan, dan pembiayaan.
Metode Penelitian Peneliti menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yaitu obyek penelitian langsung pada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Maliambao Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Semua data yang telah berhasil digali dan dikumpulkan bersumber dari lapangan yaitu dari pihak-pihak terkait dengan Pemerintahan Desa dan BPD. Selain menggunakan jenis penelitian lapangan, penulis juga menggunakan jenis penelitian pustaka (library research). Penelitian pustaka ini dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan, dan mempelajari peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lain yang terkait dengan objek penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu memaparkan secara rinci, jelas, dan sistematis tentang fungsi dan kinerja dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pembuatan peraturan desa, serta bentuk kerja sama dari Pemerintah Desa dan BPD. Untuk fakta empiris yang berusaha diteliti adalah kerja sama Pemerintah Desa dan BPD dalam pembuatan peraturan desa. Penelitian ini difokuskan pada hubungan kerjasama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembuatan peraturan desa Maliambao, melalui indikator hubungan yang diungkapkan oleh Soemartono (2006:23) dimana hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dinilai dari: Hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan
kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, hubungan kerjasama dan saling menghargai. Informan yang ditetapkan untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah: Kepala Desa, Ketua BPD, Perangkat Desa dan Anggota BPD, dan Tokoh masyarakat. Untuk memperoleh data dari lapangan, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut (Sugiyono, 2007:21): a. Observasi Langkah pertama yang dilakukan penulis dalam penelitian ini yaitu melakukan observasi terlebih dahulu kelokasi, yaitu di Desa Maliambao Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara mengenai keberadaan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kerja samanya dengan pemerintahan desa. b. Wawancara (Interview) Langkah selanjutnya ialah melakukan wawancara, yaitu berkomunikasi langsung pada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Pihak yang terkait tersebut adalah Ketua BPD, Anggota BPD, Pemerintah Desa, serta Masyarakat yang merasakan langsung dampak dari kinerja Pemerintahan Desa. c. Dokumentasi Langkah terakhir yang dilakukan ialah dokumentasi, yaitu mencari data atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, dan sebagainya. Metode ini digunakan pada saat pencarian informasi yang bersumber dari dokumentasi atau arsip-arsip anggota yang relevan dengan tujuan penelitian. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif tanpa menggunakan alat bantu rumus statistic. Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kejadian yang sedang dialami oleh Desa Maliambao. Yang kemudian akan mengolah data yang didapat dari lokasi penelitian yang akan dianalisis, kemudian akan di eksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini terdapat informan utama yang mengetahui banyak hal mengenai permasalahan yang ingin di ungkapkan dalam penelitian ini. Para informan ini terlibat langsung dalam pemerintahan desa dan pelaksanaan pembuatan peraturan desa serta pengawasan terhadap proses pembangunan di Desa Maliambao, namun tidak semua informan bersedia identitasnya dicantumkan dalam tulisan ini, sebagian informan meminta agar identitasnya tidak dicantumkan dengan alasan tertentu. Hubungan kerjasama pemerintah desa dan BPD merupakan suatu hubungan antar manusia maupun antar lembaga, dan kelompok sosial yang selalu tersimpul pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang kehidupan, kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah agar yang diperintah patuh dan juga untuk memberi keputusan– keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengharuhi tindakan–tindakan pihak yang diperintah. Hubungan kerjasama antar lembaga dalam hal ini lembaga pemerintah desa dan BPD adalah bentuk hubungan kekuasaan dimana hubungan sosial yang menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini disebabkan dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (direction) atau apa yang oleh Weber disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). (Poelinggomang, 2004:138 ). Juga dijumpai oleh peneliti dilokasi penelitian, bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi di antara sumber-
sumber kekuasaan, sehingga melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana yang terjadi di desa Kedai Damar. Permasalahan didesa semakin menumpuk, para perangkat desa yang lain dan ketua BPD tidak melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap Hukum Tua. Hubungan pemerintahan desa dan BPD seperti apa yang diungkapkan oleh Soemartono (2006:23) terdapat indikator hubungan dimana hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dinilai dari: Hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan. Sesuai dengan informasi-informasi yang yang diperoleh dari para informan melalui wawancara di temukan bahwa kepercayaan masing-masing pihak belum sepenuhnya dapat diwujudkan, hal ini terindikasi dengan ketidakpercayaan pihak BPD kepada pemerintah desa untuk melaksanakan program pembangunan yang telah di tetapkan melalui peraturan desa. sampai terjadi demikian apabila dilihat dari proses pembuatan peraturan desa itu sendiri yang sering terjadi hambatan-hambatan, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan masing-masing, dipihak BPD dengan argumentasi bahwa mereka memperjuangkan kepentingankepentingan masyarakat karena apa yang diperjuangkan BPD merupakan aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat sehingga patut diperjuangkan, disisi lain pihak pemerintah desa mengatakan bahwa dengan adanya perubahan arah program pembangunan akan menimbulkan masalah akuntabilitas dikemudian hari dimana perubahan arah pembangunan tersebut akan keluar dari perencanaan yang telah ditentukan. Sesuai dengan kedudukan tugas, dan fungsi dari kedua lembaga ini yaitu pemerintah desa dan BPD, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 disebutkan bahwa mempunyai kedudukan yang sama sebagai pelaksana fungsi pemerintahan desa (pasal 1 ayat 4 UU Nomor 6 Tahun 2014), oleh karena itu sudah seharusnya dalam posisi dan kedudukan yang sama untuk meyelenggarakan fungsi pemerintahan desa, sudah seharusnya salang membangun kerja sama yang baik, dengan bertumpu pada kepercayaan masing-masing pihak, artinya pihak BPD dapat memberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk melajutkan program pembangunan dalam hal ini pembangunan jalan tani sesuai dengan yang telah direncanakan pada tahun sebelumnya, dan peran BPD untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan tersebut, karena pada fungsinya BPD adalah mengawasi pelaksanaan anggaran dan peraturan desa yang ada di desa. dipihak lain, pemerintah desa juga dapat memberikan argumentasi dan pemahaman dengan memberikan kepercayaan kepada pihak BPD untuk memasukkan program yang diusulkan oleh BPD yaitu pembangunan infrastruktur air bersih dan pemberdayaan masyarakat petani rica di setiap jaga pada tahun berikutnya, artinya kedua belah pihak dapat saling memberikan kepercayaan bahwa apa yang diusulkan dapat dilaksanakan berdasarkan waktu, situasi dan kondisi yang memungkinkan, hal ini tentunya akan dapat menhidarkan dari perdebatan panjang yang pada imbasnya merugikan bagi penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, karena peraturan desa tentang penetapan anggaraan pendapatan dan belanja desa belum dapat mencapai kata sepakat, secara otomatis akan menunda implementasi dari pembangunan desa tersebut. Dalam hal hubungan kerjasama antara pemerintah desa dan BPD dalam pembuatan peraturan desa pada prinsipnya telah terjalin dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan keinginan masing-masing pihak melakukan rapat pembahasan bersama dan mencapai kuorum, indikasi ini membuktikan bahwa adanya kemauan dari pihak pemerintah desa dan BPD untuk melakukan hubungan kerja sama, secara kasat mata apabila dianalisis mengenai hubungan kerjasama antar kedua lembaga ini tidak menemui kendala yang berarti. Namun dilain pihak
hubungan kerja sama untuk, saling menghargai sesuai dengan hasil penelitian masih ditemukan adanya kendala-kendala, hal ini ini terbukti dengan tarik menarik kepentingan untuk memaksakan kehendak masing-masing pihak, yang mengakibatkan tertundanya penetapan peraturan desa dan anggaran pendapatan dan belanja desa, yang tentunya merugikan bagi masyarakat desa, tarik menarik kepentingan ini terjadi dalam pembahasan penetapan peraturan desa dan APB Desa, karena masing-masing pihak menganggap apa yang diperjuangkannya adalah untuk kepentingan masyarakat. Apabila terdapat rasa untuk saling menghargai tentunya hal ini tidak akan terjadi, karena dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan baik dalam skala besar maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan terkecil yaitu di desa semuanya didasarkan pada aturan main (rule of the game) yang telah ditentukan melalui aturan-aturan yang ada, apabila melanggar dari ketentuan tersebut maka akan diperhadapkan pada penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada ranah hukum, oleh karena itu apa yang diperjuangkan oleh BPD adalah mempunyai tujuan mulia untuk mensejahterakan masyarakat, namun pihak BPD juga seharusnya mengerti dan memahami bahwa perubahan terhadap rencana yang sudah ditetapkan dan telah berjalan pada tahun sebelumnya mendatangkan konsekuensi pertanggungjawaban bagi pemerintah desa, sehingga dalam keadaan ini sebaiknya antara pemerintah desa dan BPD dapat menanamkan nilai untuk saling menghargai dan saling memberikan kesempatan, agar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk menjelaskan ”hubunganan–hubungan ketergantungan–kekuasaan (power– depedence), sebagai dasar untuk menganalisis ketimpangan kekuasaan yang terdapat di dalam dan di antara kelompok–kelompok”. Individu yang membutuhkan pelayanan orang lain harus memberikan alternatif berikut ini : 1. Mereka dapat memberikan pelayanan yang sangat ia butuhkan hingga cukup untuk membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan, apabila mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk itu; hal ini akan menjurus pertukaran timbal balik. 2. Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan itu di mana – mana (dengan asumsi bahwa ada penyedia alternatif), yang menjurus pada pertukaran timbal balik, sekalipun dalam hubungan yang berbeda. 3. Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan (dengan asumsi orang tersebut mampu melakukannya). Bilamana pemaksaan yang demikian terjadi, maka mereka yang mampu memperoleh pelayanan tersebut menciptakan dominasi terhadap penyedia (supplier). 4. Mereka dapat belajar menarik diri tanpa mengharap pelayanan atau menemukan beberapa pengganti pelayanan yang serupa itu. Keempat alternatif itu menunjukan kondisi–kondisi ketergantungan sosial dari mereka yang membutuhkan pelayanan tertentu. Bilamana orang–orang yang menginginkan pelayanan itu tidak mampu memenuhi salah satu dari alternatif tersebut, maka mereka tidak mempunyai pilihan kecuali hanya menuruti kehendak penyedia ”sebab kelangsungan persediaan pelayanan yang dibutuhkan tersebut hanya dapat diperoleh sesuai dengan kepatuhan mereka”. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: hubungan kerjasama antara pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembuatan Peraturan Desa belum berjalan dengan baik, karena masih terjadi tarik menarik kepentingan antar kedua lembaga tersebut, sehingga mengakibatkan terlambatnya penetapan peraturan desa yang berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Hubungan kerjasama antara pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembuatan Peraturan Desa yang belum berjalan dengan baik ini disebabkan oleh kurangnya tingkat kepercayaan masing-masing pihak, pemahaman dan rasa saling menghargai untuk secara bersama-sama mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan masing-masing lembaga pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Saran Berdasarkan kesimpulan pada penelitian ini, maka dapat diberikan saran-saran penelitian sebagai berikut: perlunya perhatian dari Pemerintah Kecamatan Likupang barat, maupun Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat), maupun bimbingan teknis (bimtek) bagi pemerintah desa dan Badan Permuyawaratan Desa dalam pembuatan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, serta penyelenggaraan pemerintahan desa.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, H. Rahardjo, 2013 Pembangunan Perdesaan Pendekatan Partisipatif, Tipologi, Strategi, Konsep Desa Pusat Pertumbuhan, Cet. Ke-1 Graha Ilmu: Yogyakarta. Bambang Trisantono Soemantri, 2011, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Fokus Media, Bandung. Charles H. Cooley, Social Organization (1909). M. Ngalim Purwanto, 2002, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta Soemartono, 2006, Sistem Pemerintahan Desa di Indonesia, Graha Ilmu: Yogyakarta. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung. Taliziduhu Ndraha, 1983, Metodologi Pemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Taliziduhu Ndraha, 1991, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, PT Bumi Aksara, Jakarta. Widjaja, HAW, 2004, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.Cet. Ke-2 Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumber Lainnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.