Edisi Februari 2003
Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 134 Kabupaten/Kota 2002 Aburizal Bakrie : “Kalangan Usaha Bersedia Ikut Aktif Menyusun Kebijakan Daerah” Bupati Magelang, Drs.H.Hasyim Afandi: “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Merangsang Persaingan Daerah” Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Jakti: “Mari Melihat Peringkat Ini Secara Positif”
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.
Retribusi atas Hasil Produksi Usaha Perkebunan Aburizal Bakrie : “Kalangan Usaha Bersedia Ikut Aktif Menyusun Kebijakan Daerah” Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 134 Kabupaten/ Kota 2002 Konstruksi Indeks Usaha Daerah Tinjauan atas Peraturan Pemerintah No.148 Tahun 2000 Bupati Magelang, Drs.H.Hasyim Afandi: “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Merangsang Persaingan Daerah” Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Jakti: “Mari Melihat Peringkat Ini Secara Positif”
Gambar Sampul : Holistic Printing Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas http://www.google.com/ dan F. Sundoko
MANFAAT SUATU PEMERINGKATAN Sejak sekolah dasar kita sudah diperkenalkan dengan apa yang disebut sebagai rapor – ukuran tingkat kemampuan anak sekolah – ada yang dinilai dengan numerik, ada pula yang menggunakan nilai alfabetik. Nilai bagus, apalagi bila mendapat ranking (juara kelas I-III), akan membuat wajah anak cerah, membayangkan pujian/hadiah yang akan diterima dari orang tuanya atas prestasi yang dicapai, atau setidaknya tidak akan dipersalahkan. Sebaliknya nilai rapor yang dihiasi warna merah, lebih lebih bila sampai tidak naik kelas/ lulus, akan membuat kalut si anak, kecewa – sedih – malu – dan mungkin marah. Ada yang lantas introspeksi terhadap upayanya yang dirasa kurang, ada yang mempersalahkan warisan genetis ketidakkecerdasan yang didapatkannya dari orang tua, ada pula yang masa bodoh, dan berbagai reaksi lainnya yang muncul. Layaknya anak yang menerima rapornya, reaksi para pimpinan daerah terhadap rapor – hasil pemeringkatan ‘daya tarik investasi 134 kabupaten/kota’ yang disosialisasikan KPPOD sangat beragam. Pimpinan daerah yang mendapat ranking bagus umumnya menanggapi positif dengan mengatakan bahwa kegiatan pemeringkatan tersebut akan memacu kompetisi antar daerah otonom dalam meningkatkan kinerjanya memfasilitasi kegiatan perekonomian di daerahnya. Namun ada juga yang mempertanyakan hasil pemeringkatan itu, dari yang sifatnya ingin mengetahui lebih mendalam kriteria penilaian, sampai yang meragukan kredibilitas pemeringkat karena dianggap tidak netral dan dipengaruhi kepentingan kepentingan usaha tertentu. Menyikapi suatu pemeringkatan haruslah hati hati, secara teknis harus dilihat betul indikator indikator dan metode pemeringkatan yang digunakan; paling tidak agar kita tidak mengartikan hasilnya diluar batasan pemeringkatan, dan kita bisa menilai juga kredibilitas pendekatan metodologis yang digunakan. Dalam suatu penilaian yang transparan, secara obyektif diharapkan menghasilkan sikap positif untuk melihat kekurangan dan kelebihan bagi daerah yang diperingkat. Menjadi penting juga untuk membandingkannya dengan sumber pemeringkat lainnya (bila ada); kalaupun tidak ada pembanding langsung, berbagai sumber studi yang mempunyai kemiripan kriteria yang dievaluasi, bisa dijadikan referensi sandingan yang relevan. Selain hal teknis tersebut di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan dan atau persepsi yang terbentuk dari dipublikasikannya hasil pemeringkatan ke masyarakat umum melalui media cetak dan elektronik. Begitu kuatnya realitas media dalam mengarahkan persepsi masyarakat harus menjadi peringatan bagi lembaga pemeringkat untuk tidak bermain main dengan obyektivitas pemeringkatan, karena kesalahan atau ketidakobyektifan akan mengakibatkan efek yang bisa merugikan daerah yang tidak seharusnya terjadi, demikian juga efek yang menguntungkan bisa didapat daerah yang sebenarnya tidak layak untuk menerimanya. Selain menyangkut institusi, hasil pemeringkatan bisa juga menyangkut kapasitas personal pemimpin daerah yang ujungnya bisa bermuatan politis bila berkembang ke arah yang tidak proporsional. Profesionalisme media masa dalam menyajikan suatu hasil studi juga sangat menentukan persepsi dan pengetahuan masyarakat yang dapat dibentuknya. Keberimbangan opini, kebenaran fakta yang diangkat, yang didapat melalui mekanisme check & balance tentu sangat dimengerti oleh insan pers dalam menyajikan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat. Alangkah indahnya membayangkan bahwa informasi yang tersaji ke masyarakat dapat menuntun pendewasaan daerah daerah otonom untuk menyikapi secara proporsional hasil pemeringkatan yang diangkat, tanpa harus khawatir bahwa para investor/calon investor akan menggunakan hasil pemeringkatan itu secara membuta, karena investor umumnya cukup cerdas memanfaatkan sumber sumber informasi dengan teliti karena menyangkut finansialnya. Demikian pula pimpinan daerah tidak perlu khawatir terhadap judgment konstituennya terhadap kepemimpinannya, karena kita harapkan setahap demi setahap para pemilik suara tersebut menjadi konstituen yang semakin rasional. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Retribusi atas Hasil Produksi Usaha Perkebunan (Review Perda Kab. Kota Baru No.10/02 dan SK Bupati No.482/02)
Pendahuluan Kabupaten Kotabaru, sebagai salah satu daerah yang terbilang makmur di Kalimantan Selatan, sesungguhnya bukanlah daerah yang menjadikan sektor perkebunan sebagai andalannya. Dari struktur perekonomian terlihat, prosentase nilai tambah sektoral utama berasal dari pertanian pangan dan non-pangan (utamanya kehutanan dan kelautan), pertambangan dan penggalian, jasa dan perdagangan, dan industri pengolahan. Di sekitar berbagai sektor besar inilah kegiatan ekonomi berlangsung dinamis, dan darinya pemerintah daerah (pemda) mendapatkan kontribusi pendapatan yang relatif besar. Meski demikian faktanya, bukanlah sesuatu alasan bagi Pemda Kabupaten Kotabaru untuk tidak menerapkan kebijakan pungutan bagi kegiatan di sektor perkebunan ini. Setidaknya, hal itu terbukti dari diundangkannya sebuah perda dan pengaturan lanjutnya dalam SK Bupati menyangkut pungutan retribusi atas hasil produksi usaha perkebunan. Per defenisi, retribusi itu dipungut sebagai pembayaran atas komoditi yang dihasilkan dari usaha pada kekayaan alam yang ada di wilayah Kab. Kotabaru (pasal 1 huruf h tentang Ketentuan Umum). Kajian Perda No.10/02 dan SK No.482/02 Secara umum yang termasuk dalam obyek retribusi dalam perda ini adalah setiap hasil produksi di bidang perkebunan (pasal 3 ayat [1]), terkecuali benih/bibit yang masuk ke Kab. Kotabaru dan benih/bibit yang dijual dalam satu group perusahaan dalam Kab. Kotabaru (pasal 3 ayat [2]). Sedangkan subyek retribusi, sekaligus akan menjadi wajib bayar, adalah orang pribadi atau badan yang menikmati 2
hasil produksi usaha perkebunan (pasal 4). Materi penting lainnya menyangkut golongan retribusi dan prinsip pungutan. Dalam perda ini, retribusi hasil produksi usaha perkebunan digolongkan sebagai retribusi jasa umum. Hal yang langsung berkaitan dengan klasifikasi golongan itu adalah pilihan prinsip pungutan, yang dalam perda ini didasarkan atas tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Terakhir, menyangkut perhitungan besaran retribusi dengan melihat (1) cara mengukur tingkat penggunaan jasa terpakai, yang dalam perda ini disesuaikan dengan volume produksi yang dihasilkan yang akan dijual; (2) struktur tarif retribusi, yang dalam perda ini berdasarkan jenis ukuran produksi yang dihasilkan/diangkut dengan dengan angka tarif sesuai harga pasar yang berlaku/harga patokan. Dengan ini ditetapkan:
1. Benih/bibit yang dijual keluar daerah, yakni di luar group perusahaan dan ke luar Prop. Kalsel (meski satu group), sebesar 0,25 x harga jual 2. Benih/bibit yang dijual dalam satu group dalam Prop. Kalsel, sebesar 0,125 x harga jual 3. Untuk tanaman kelapa sawit (CPO), sebesar Rp 2,00/kg 4. Lada, latex, kelapa, kakao, vanili, kopi, rosella dan cengkeh, sebesar Rp 2% x harga jual 5. Kemiri, aren, sagu dan tanaman obatobatan, 0,25% x harga jual Me n c e r m a t i m a t e r i - m a t e r i pengaturan di atas, ada sejumlah poin sebagai catatan kritis atasnya. Pertama, yang sangat mendasar adalah tidak jelasnya fasilitas/jasa terpakai milik pemda, yang atas bukti pemanfaatannya oleh seseorang atau suatu badan usaha dikenakan retribusi sebagai kontraprestasi. Filosofi retribusi sebagai pembayaran oleh consumer-charges atas pemakaian fasilitas/jasa pemerintah secara jelas dilanggar dalam perda. Paling kurang, hal ini terbukti dalam
pasal pengaturan prinsip pungutan dan besaran tarif (berdasarkan suatu cara pengukuran tingkat penggunaan jasa), yang sama sekali tidak mengandung implikasi beban tanggungan pada pihak pemda. Kedua, Perda ini mengklasifikasi retribusi produksi usaha perkebunan ke dalam golongan retribusi jasa umum, sesuatu yang sebenarnya salah karena setepatnya adalah sebagai jenis retribusi jasa usaha (UU No. 34/00 dan PP No. 66/01). Namun kritikan yang jauh lebih penting lagi adalah, prinsip pungutan perda ini yang selain aneh (karena tidak terdapat dalam prinsip pungutan golongan retribusi apa pun), juga berlebihan dengan adanya kehendak untuk memperoleh keuntungan-banyak (seandainya pun dilihat sebagai prinsip pungutan dalam golongan retribusi jasa usaha yang “hanya” menghendaki suatu keuntungan-layak). Ketiga, retribusi atas hasil produksi usaha perkebunan ini adalah sebuah bentuk pungutan ganda, karena atas obyek yang sama (terutama CPO)
dikenakan pungutan PPN oleh pemerintah pusat. Hasil produksi usaha perkebunan adalah hal yang di luar daftar pengecualian (negative-list) dari yang ditetapkan pasal 4A UU No.18/00 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa. Pungutan ganda ini di satu sisi membebani secara ganda pula para wajib bayar, pada sisi lain tidak mendapatkan hak jasa/fasilitas atas pungutan retribusi yang dipakainya. Keempat, regulasi dan pengenaan biaya atas lalu lintas komoditas antar daerah (keluar kabupaten dan keluar propinsi) adalah kebijakan yang potensial menghambat kelancaran dan kemurahan mobilitas barang. Dalam bingkai yang lebih besar dan mendasar, restriksi ini bertentangan dengan prinsip free internal trade dalam rezim perdagangan nasional (sebagai konsekuensi ratifikasi kesepakatan WTO) dan melanggar asas kesatuan ekonomi nasional kita. Soal lain, perda ini menyiratkan pelampaun porsi kewenangan pemerintahan yang sebatas daerah yurisdiksinya (Kabupaten
M P K P
Kotabaru), karena juga mengatur mobilitas barang keluar propinsi yang merupakan daerah yurisdiksi di atasnya. Penutup Sampai di sini, konsekuensi rekomendasinya cukup jelas. Bahwa secara prinsip, yuridis dan pertimbangan cost-and-benefit, patut kiranya untuk mempertimbangkan kembali keberadaan Perda dan SK Bupati. Biarkanlah kemudian, pemerintah daerah berupaya menarik minat para investor lainnya untuk berusaha dalam pengembangan sektor perkebunan, dan bukan malah memungut retribusi atas yang sudah ada yang sebetulnya tidak seberapa benefit-nya bagai pemda (karena belum tergarap secara ekstensifnya sektor perkebunan tersebut). Efek ganda yang positif dari kebijakan insentif ini lebih berdampak signifkan, bagi pemda maupun masyarakat luas, ketimbang mengejar pungutan kecil berupa retribusi.* (ndi)
- F E U I
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA MPKP FEUI membantu meningkatkan mutu SDM bangsa dalam mengisi era globalisasi dan otonomi daerah.
tersedia BEASISWA (KELAS PAGI) :
1. OTO Bappenas (jumlah orang bervariasi@ 2 tahun tergantung seleksi Bappenas/ perkuliahan) 2. Bank Mandiri ( sebanyak 10 orang @ 1 tahun untuk perkuliahan September 2003) 3. BRI (sebanyak 4 orang dari Kawasan Indonesia Timur @ 1 tahun untuk perkuliahan September 2003)
MEMBUKA KELAS SETIAP TAHUN (SEPTEMBER DAN FEBRUARI ) Reguler (Pagi) UI Depok (4 semester, bisa selesai 3 semester).Eksekutif (Sore) UI Salemba (3 semester) Persyaratan:
Lulus S1 dari berbagai disiplin ilmu, lulus TPA, TOEFL/EPT dan test wawancara
Tempat Pendaftaran : Program Pascasarjana UI Salemba, Telp.(021) 3100059, 3146737. Fax. (021)322269 Tahun 2003 Gelombang I: 6 Jan–7 Maret (Ujian 10–11 Maret); Gelombang II: 21 April–13 Juni(Ujian 14–15 Juni) Konsentrasi (a) Perencanaan, (b) Organisasi Industri, (c) Keuangan Publik, (d) Manajemen Keuangan Publik (bekerjasama dengan MAKSI-UI) Informasi: Sdr.Nurul/Sdr.Aminah MPKP-FEUI, Kampus UI Depok Telp.(021)78880745/46.Fax.78880747. Sdr Ira/ Sdr Dedi, Kampus UI Salemba: telp dan fax (021) 3912007, telp. LPEM 021-3143177 ext 632. Homepage : www.mpkp.org
3
Aburizal Bakrie :
“Kalangan Usaha Bersedia Ikut Aktif Menyusun Kebijakan Daerah” - UNTUK HINDARI DISTORSI KEBIJAKAN EKONOMI
Berdasar hasil pemeringkatan tim peneliti KPPOD mengenai Daya Tarik Investasi 134 Kabupaten/Kota di Indonesia, KPPOD menyampaikan apresiasi kepada Kabupaten & Kota yang berhasil menempati peringkat teratas dalam daya tariknya terhadap investasi dalam bentuk KPPOD Award. Penyerahan Award tersebut dilakukan di Hotel Sahid Jakarta, pada tanggal 18 Februari 2003. Ada tiga kategori award yang diberikan yakni : selain award berdasarkan kategori Umum (Nilai Total), juga untuk kategori Faktor Kelembagaan, dan award untuk kategori Faktor Sosial Politik. Dalam sambutannya, Aburizal Bakrie, ketua umum Kadin Indonesia yang juga merupakan salah satu dewan pengurus bahwa Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyampaikan bahwa salah satu tujuan dari pemeringkatan dan pemberian award tersebut adalah untuk mendorong daerah agar dapat meningkatkan daya tariknya terhadap investasi dengan membuat berbagai kebijakan yang bersahabat dengan kegiatan usaha dan investasi. Berikut adalah cuplikan beberapa hal yang disampaikan oleh Aburizal Bakrie dalam pidatonyanya tersebut.
Di awal pidatonya Aburizal Bakrie yang biasa dipanggil Ical menjelaskan, bahwa KPPOD sebagai lembaga independen yang didirikan oleh unsur dunia usaha, lembaga pendidikan dan lembaga pers bagi suksesnya pelaksanaan otonomi daerah, pada prinsipnya berupaya mendorong suatu aktivitas perekonomian yang baik, guna memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk itu, salah satu kegiatan yang dilakukan KPPOD dalam mendorong tumbuhnya iklim investasi yang baik adalah dengan mengadakan penelitian tentang Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota. Pada penelitian yang ke dua ini mencakup 134 daerah pemeringkatan, setelah sebelumnya pada tahun 2001 melakukan aktivitas yang sama di 90 daerah. Hasil pemeringkatan ini, selain menjadi salah satu referensi dunia usaha untuk kegiatan investasinya, juga diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk bersaing dalam menciptakan iklim investasi yang sehat di daerahnya masing-masing. Se l a n j u t n y a Ic a l m e m b e r i k a n pandangannya bahwa, dalam era globalisasi ini Indonesia tidak bisa mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling “cantik”, ada negara-negara lain yang lebih “cantik”, Indonesia bukan merupakan “gadis yang paling cantik”, ada “gadis-gadis cantik” dari daerah lain di sekitar kita. Di alam globalisasi ini kita melihat bahwa capital carried no flag, sehingga dengan demikian siapa yang paling menarik maka orang akan
4
melakukan investasi juga. Untuk itu Ical mengharapkan agar kabupaten-kabupaten / kota makin bersaing untuk saling menarik investasi. Tidak hanya bersaing dengan kabupaten-kabupaten di Indonesia saja, tetapi juga mampu bersaing dengan kabupaten/kota lain di luar Indonesia. Menurut Ical, penelitian KPPOD kali ini baru mencakup 134 daerah, tentunya masih jauh dari keseluruhan daerah kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Namun demikian ternyata hasil penelitian KPPOD tersebut, menemukan beberapa hal yang sejalan dengan persoalanpersoalan yang seringkali diangkat kalangan dunia usaha untuk mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah permasalahan keamanan, khususnya gangguan keamanan terhadap dunia usaha, kecepatan aparatur dalam menangani gangguan keamanan, konflik di masyarakat, dan stabilitas politik di daerah-daerah otonom masih belum memenuhi harapan dunia usaha. Permasalahan lain yang muncul sejalan dengan kewenangan yang lebih luas dari pemerintah daerah di era otonom, adalah masalah kebijakan daerah yang tercermin dalam Perda (Peraturan Daerah) terkait dengan aktivitas usaha, dimana dunia usaha melihat masih terdapat distorsidistorsi yang berpotensi menyebabkan mundulnya daya saing ekonomi kita. “Memang sudah ada perbaikan dibandingkan dengan hasil pemeringkatan yang pertama yakni tahun 2001. Tetapi
masih terdapat distorsi-distorsi yang dapat mengakibatkan mandulnya daya tarik investasi Indonesia”. Menurut Ical, sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia, setahun yang lalu pernah mengingatkan mengenai hal ini. Walaupun sudah ada beberapa indikasi perbaikan di beberapa daerah, namun sampai saat ini terlihat masih jauh dari memuaskan bagi dunia usaha. Dalam konteks ini, kalangan dunia usaha menyediakan diri untuk ikut terlibat aktif dalam penyusunan kebijakan-kebijakan daerah untuk menghindari distorsi kebijakan ekonomi. Prinsip good governance yang sudah sering dikumandangkan daerahdaerah diharapkan benar-benar terwujud dalam praktiknya, salah satu diantaranya dalam hal par tisipasi stakeholder dalam penyusunan kebijakan publik. Selain itu, Ical juga memaparkan bahwa, menurut temuan KPPOD di masingmasing sektor usaha, terindikasi beberapa permasalahan khas sektoral sebagaimana yang memang sering dialami oleh dunia usaha di berbagai daerah di Indonesia. Pertama, sektor usaha manufaktur umumnya merupakan lahan subur bagi pungutan liar; kedua, sebagian besar pelaku usaha sektor perdagangan dan jasa mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam hal perijinan usaha terutama terkena pada kelompok usaha yang kurang mampu; ketiga, munculnya benturan sosial budaya pada sektor usaha berbasis lahan luas, umumnya sektor perkebunan, (Bersambung ke hal 18)
5
6
7
8
Konstruksi Indeks Usaha Daerah
P
enerapan UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 mengenai otda di satu sisi memiliki nilai positif meningkatkan pelayanan pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota, memperluas kewenangan Pemda dalam pembangunan daerah serta meningkatkan persaingan usaha antar daerah. Akan tetapi di sisi lain, jika tidak dilaksanakan dengan benar maka penerapan otda akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam bidang usaha. Ketidakpastian dari sisi penerimaan daerah, manajemen keuangan daerah, masalah good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan hal-hal yang dapat meningkatkan ketidakpastian usaha seiring dengan penerapan otda. Secara khusus konstruksi indeks usaha daerah ditujukan untuk melihat dan menganalisa faktor-faktor yang diduga menciptakan ketidakpastian usaha di daerah, baik infrastruktur, perilaku birokrat daerah, kondisi sosialpolitik-keamanan dan penerapan otda. Ketidakpastian usaha yang merupakan persepsi responden studi di daerah diterjemahkan ke dalam suatu indeks yaitu index cost of doing business, yang terdiri dari 4 macam indeks yaitu indeks infrastruktur, indeks sosial-politik-keamanan, indeks perilaku pemerintah daerah dan indeks otonomi daerah. Daerah-daerah yang memiliki ketidakpastian usaha tinggi akan mendapatkan angka indeks yang relatif rendah. Dalam studi yang dilakukan oleh LPEM FEUI, telah disusun index of cost doing business untuk 60 daerah kabupaten/ kota. Selain itu juga diperkirakan besarnya biaya tambahan sebagai persentase biaya total, biaya tambahan tersebut dipertimbangkan sebagai salah satu komponen penyebab ketidakpastian usaha. Biaya tambahan ini disebut juga sebagai transaction cost atau lebih dikenal sebagai bribery cost.
Pengaruh kebijakan desentrali-sasi/ otonoomi daerah pada ketidakpastian usaha Secara umum, penerapan otda menimbulkan ketidakpastian dari sisi penerimaan daerah antara lain: 1. Kurang transparannya alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat, terutama dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa Pemda menyatakan besarnya DAU yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan dan tidak transparannya proses perhitungan DAU. Selain itu ada ketidakjelasan proses perolehan dana dari Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kabupaten/kota yang membutuhkan. 2. Lambatnya proses pencairan dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. 3. B e b a n a n g g a r a n Pe m d a y a n g meningkat dengan penerapan otda antara lain karena pengalihan personil (dari instansi pusat, guru dan tenaga fungsional lainnya). 4. Untuk meningkatkan PAD sebagai sumber utama penerimaan daerah, Pemda menetapkan berbagai jenis p a j a k / re t r i b u s i d a n p u n g u t a n lokal baru. Dalam hal iini, Pemda selayaknya tidak menetapkan berbagai pungutan lokal baru, akan tetapi lebih meningkatkan tarif retribusi atau pungutan lokal yang sudah berlaku saat ini, terutama untuk retribusi dan jasa pungutan dengan tarif yang sangat rendah (misal: untuk jasa pembuatan KTP, dll yang dikenakan tarif berkisar antara Rp 1.000 – 2.000). Distrorsi ekonomi dalam penerapan otoonomi daerah sebenarnya juga disebabkan oleh perilaku Pemda itu
*)
sendiri. Beberapa Pemda menilai PAD secara sempit sebagai suatu indikator keberhasilan penerimaan daerah, semakin mandiri daerah tersebut dari pemerintah p u s at. Se b agai aki b atn y a Pe mda berusaha meningkatkan penerimaan daerah dari pajak/retribusi daerah tanpa memperhitungkan efisiensi ekonomi baik bagi daerah yang bersangkutan maupun secara nasional. Biaya tambahan Biaya tambahan oleh mayoritas responden memang diakui keberadaannya. Jawaban para responden memberikan kesan bahwa korupsi birokrat daerah sudah biasa dan dapat dianggap sebagai biaya transaksi. Rata-rata pengusaha daerah harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar 10% dari total biaya produksi setahun. Dengan demikian angka 10% tersebut sebenarnya sudah di atas kesediaan membayar dari perusahaan atau mulai mengganggu efisiensi produksi. Hal ini mengindikasikan terjadinya korupsi yang menurunkan efisiensi ekonomi, didukung pula oleh hasil regresi model korupsi yang menunjukkan korelasi positif antara waktu yang dibutuhkan untuk berurusan dengan birokrat dengan jumlah suap yang harus dibayarkan. Dengan demikian birokrat daerah menyadari betul posisinya sebagai pemegang monopoli perizinan di daerah. Secara umum ketidakpastian karena biaya tambahan lebih terasa di luar Jawa dibandingkan dengan Jawa. Hal ini tercermin dari biaya tambahan yang harus dikeluarkan pengusaha, untuk Jawa biaya tambahan rata-rata adalah 9,67% dari total biaya produksi. Persentase biaya tambahan lebih tinggi pada daerah yang relatif maju (lihat Tabel cluster 1). Tampaknya birokrat di daerah maju sadar akan kelebihan daerahnya misalnya dari segi ketersediaan infrastruktur sehingga
9
mereka berniat mengenakan tarif suap yang lebih tinggi. Hal sebaliknya terjadi untuk daerah-daerah yang kurang maju (cluster 3), tampaknya birokrat-birokrat di daerah tersebut masih belum cukup rasional untuk menentukan tarif suap sesuai daya saing daerahnya sehingga secara rata-rata tingkat biaya tambahannya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sedang (cluster 2). Secara rata-rata Jawa memiliki biaya tambahan lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa (9,67) % versus 11,19). Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan maka tidak mengherankan jika di masa depan Indonesia akan memiliki kesenjangan regional yang semakin besar. (lih. Tabel Hasil Cluster Kabupaten/Kota dengan Data Podes 1996, hal. 11) Beban biaya tambahan secara relatif juga tidak sama antara perusahaan besar, menengah, dan kecil. Semakin besar omset perusahaan, semakin besar persentase responden yang merasakan perlunya memberi biaya tambahan untuk memperlancar hubungan dengan birokrasi pemerintah. Dengan demikian perusahaan besar melihat biaya tambahan lebih menciptakan ketidakpastian dibandingkan dengan perusahaan kecil. Namun demikian, beban terberat dari membayar biaya tambahan sebenarnya dirasakan oleh perusahaan berskala menengah. Sangat mungkin bahwa birokrat daerah tidak terlalu tertarik untuk meminta uang semir dari perusahaan kecil, sementara mereka juga tidak terlalu berani menghadapi perusahaan-perusahaan besar karena mungkin memiliki koneksi politik yang cukup kuat dan juga kemungkinan ancaman perusahaan meninggalkan daerahnya. Faktor internal suatu daerah seperti kesuksesan pelaksanaan otda, kinerja pemerintahan dan situasi keamanan ternyata berkaitan dengan tinggi rendahnya biaya tambahan. Hasil studi menunjukkan bahwa biaya tambahan cenderung lebih rendah di daerah yang mendapatkan persepsi baik dalam hal penerapan otda, kinerja pemerintah dan keamanan. Ada kecenderungan kabupaten/kota yang lebih mampu menghimpun PAD
10
dan relatif mandiri dari sisi keuangan daerah semakin rentan dengan kebocoran penerimaan pajak/retribusi daerah dan semakin besar biaya tambahan yang harus dikeluarkan pengusaha di daerah tersebut. Umumnya, kabupaten/ kota dengan porsi PAD tinggi adalah daerah yang sudah maju dan bercirikan perkotaan. Hal ini menunjukkan perilaku pemangsa dari birokrasi daerah yang sudah memperhitungkan faktor daya dukung daerah. Perilaku seperti ini tidak saja dalam bentuk permintaan uang semir secara langsung, tetapi juga dalam bentuk kebocoran. Terdapat indikasi bahwa pengeluaran pembangunan seringkali diselewengkan. Temuan di lapangan menujukkan bahwa kabupaten/kota yang mempunyai porsi pengeluaran pembangunan semakin besar cenderung memiliki indeks biaya tambahan yang semakin jelek dan rata-rata biaya tambahan yang semakin tinggi. Dengan demikian perilaku memangsa tersebut memang cenderung berlaku umum untuk suatu kabupaten/kota yang memiliki indeks biaya tambahan rendah. Tidak hanya sekedar meminta uang semir tetapi juga memangsa anggaran pembangunan. Biaya tambahan dalam izin pendirian usaha baru Salah satu tujuan dari studi ialah mendapatkan pengeluaran biaya tambahan untuk perizinan usaha baru. Angka yang diperoleh adalah 8,38% dari modal awal. Dari hasil survey tidak dapat ditangkap biaya perizinan yang harus dikeluarkan oleh investor bila ingin membuka usaha baru di daerah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya variasi ketentuan perizinan serta biayanya. Dari sisi waktu pengurusan izin pendirian usaha, pengusaha umumnya menyatakan waktu yang diperlukan berkisar antara 1-3 bulan dan 3-6 bulan. Bila dilihat dampak pelaksanaan otda terhadap administrasi perizinan usaha baru, sebagian besar Pemda menyatakan akan menyederhanakan perizinan investasi. Dalam hal ini, pengusaha tidak melihat penerapan otda akan mempersulit perizinan usaha. Pengusaha lebih mengkhawatirkan peraturan yang
berhubungan dengan pajak dan retribusi. Perbandingan antara angka-angka biaya tambahan untuk perizinan menunjukkan bahwa birokrat di daerah kurang menuju cluster di luar Jawa, cluster masih belum mempunyai rasionalitas yang tinggi. Biaya tambahan untuk perizinan yang diminta oleh daerah itu, besarnya 10,91% dari biaya investasi total yang merupakan angka tertinggi di antara cluster-cluster yang ada baik di Jawa maupun luar Jawa. Dengan tingkah laku seperti ini sulit membayangkan investor akan tertarik untuk menanam modal di daerah. Secara keseluruhan biaya tambahan perizinan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa (7,88% versus 9,58%). Cost of doing business Cost of doing business digunakan sebagai istilah untuk biaya yang ditimbulkan karena adanya ketidakpastian dalam melakukan usaha. Hasil studi menunjukkan bahwa ketidakpastian usaha di Indonesia semakin meningkat. Tiga faktor yaitu perubahan politik dan keamanan otda perilaku pemerintah membuat iklim usaha di Indonesia menjadi semakin tidak pasti. Di masa lalu kedekatan dengan pusat sudah cukup menjadi modal untuk menjalin hubungan dengan perangkat pemerintah daerah, namun sekarang pusat tidak berarti sama dengan lokal atau daerah. Ketidakpuasan tehadap pemerintah daerah sehubungan dengan otda secara umum sedikit lebih terasa di daearah di luar Jawa dibandingkan dengan di Jawa. Pemda daerah yang kurang maju (cluster 2 dan 3) dianggap relatif tidak mendengarkan masukan dunia usaha dibandingkan dengan daerah maju. Pungutan lokal di daerah yang kurang maju dinilai lebih menciptakan hambatan besar bagi dunia usaha dibandingkan dengan daerah yang lebih maju. Yang tidak kalah pentingnya adalah birokrasi yang lebih menghambat di daerah yang kurang maju yang ditunjukkan dengan dibuthkannya waktu yang lebih lama untuk berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Sementara itu di daerah yang lebih maju, pengusaha lebih mengkhawatirkan hal-hal seperti policy surprises, perubahan peraturan yang
bersifat retroaktif dan kesulitan dalam pemerintah di Indonesia antara lain disebabkan mekanisme check and balance mengurus izin usaha. di dalam birokrasi pemerintah tidak berjalan, selain juga belum adanya standar Aspek kinerja pemerintahan Hambatan birokrasi tercermin dari pelayanan. Perubahan iklim politik nasional waktu seorang manajer senior yang harus diluangkan untuk berurusan dengan sangat mempengaruhi peran legislatif birokrasi pemerintah walaupun masih di di daerah. Di satu sisi, hal ini dinilai memperketat pengawasan kegiatan Pemda bawah 15 % dari waktu produktif. Kesulitan berhubungan dengan birokrasi sebagai badan eksekutif daerah. Di sisi
lain, banyak daerah yang merasakan DPRD dinilai terlalu mengatur kegiatan operasional harian eksekutif Pemda, selain itu penetapan anggaran DPRD oleh sejumlah Pemda juga dianggap kurang realistis dan semakin membebani keuangan daerah. *) Laporan akhir penelitian “Construction of Regional Index of Doing Businiess” LPEM-FEUI 2001.
Tabel Hasil Cluster Kabupaten/Kota dengan Data Podes 1996 Nomor Cluster
Nama Propinsi
1
Kodya Medan, Kodya Padang, Kodya Pekanbaru, Kodya Palembang, Jaksel, Jaktim, Jakpus, Jakbar, Jakut, Bogor, Bandung, Bekasi, Tangeranag, Kodya Bandung, Kodya Tangerang, Kodya Surakarta, Kodya Semarang, Yogyakarta, Badung, Gianyar, Kodya Denpasar, Pontianak, Ujung Pandang.
2
Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Besar, Kodya Banda Aceh, Kodya Sabang, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Asahan, Simalungun, Karo, Deli Serdang, Langkat, Kodya Sibolga, Kodya Tanjung Balai, Kodya Pematang Siantar, Kodya Tebing Tinggi, Kodya Binjai, Pesisir Selatan, Tanah Datar, Padang Pariaman, Agam, Kodya Solok, Sawah Lunto, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Kepulauan Riau, Batam, Kerinci, Kodya Jambi, Muara Enim, Lahat, Bangka, Belitung, Kodya Pangkal Pinang, Rejang Lebong, Kodya Bengkulu, Bandar Lampung, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Serang, Kodya Bogor, Kodya sukabumi, Kodya Cirebon, Cilacap, Banyumas, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Semarang, Kendal, Pemalang, Tegal, Kodya Magelang, Kodya Salatiga, Kodya Pekalongan, Kodya Tegal, Kulon Progo, Bantul, Ssleman, Tulung Agung, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Situbondo, Jember, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Gresik, Jembrana, Tabanan, Klungkung, Bangli, Karang Asem, Buleleng,
3
Aceh Timur, Aceh Barat, Pidie, Aceh Utara, Nias, Tapsel, Labuhan Batu, Dairi, Solok, Sawahlunto, Limapuluh Koto, Pasaman, Inhil, Inhul, Kampar, Bengkalis, Bungo Tebo, Sarko, Batanghari, Tj Jabung, OKU, OKI, Musi Rawas, Musi Banyu Asin, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Barat, Tanggamus, Pandeglang, Sukabumi, Lebak, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Wonogiri, Grobogan, Blora, Demak, Temanggung, Batang.
11
Tinjauan atas Peraturan Pemerintah No.148 Tahun 2000
J
alannya laju kegiatan usaha di kabupaten/kota tidak pernah lepas dari unsur kebijakan serta peraturan yang berlaku. Agar kegiatan usaha di daerah tidak terganggu atau bahkan berhenti, peraturan maupun kebijakan yang ditetapkan sedapat mungkin harus bersifat kondusif dan apresiatif atas inspirasi masyarakat daerah. Mengupas mengenai kebijakan
tentunya pemberian fasilitas pajak penghasilan ini diharapkan akan menjadi pendorong bergeraknya sektor usaha kegiatan ekonomi daerah. Kegiatan ekonomi daerah yang sehat pada gilirannya akan berimbas pada meningkatnya persaingan usaha yang sehat, daya tarik investasi serta meningkatnya pemdapatan asli daerah baik pajak maupun retribusi.
Masa Manfaat Menjadi
Kelompok Harta
Keputusan Presiden. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas pajak penghasilan adalah seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2a) yaitu pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan. Untuk itu, besarnya penyusutan serta amortisasi dari kepemilikan aset investor menjadi
Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan bangunan atau harta tak berwujud:
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
2 tahun 4 tahun 8 tahun 10 tahun
50% 25% 12,50% 10%
10 tahun 5 tahun
10% 20%
100% 50% 25% 20%
II. Bangunan:
Permanen Tidak Permanen
-
Sumber: PP No. 148/2000.
dan peraturan yang disahkan oleh pemerintah untuk mendukung lancarnya kegiatan usaha daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, kali ini kita akan melihat secara detil isi dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 148 Tahun 2000, mengenai Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu. Menurut yang tertuang dalam Pasal 1 bagian (a), bahwa bidangbidang usaha yang dimaksud bagi penanaman modal adalah bidang-bidang usaha di sektorsektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional khususnya dalam rangka peningkatan ekspor. Bidangbidang usaha ini tentunya sangat luas cakupannya, dengan demikian
12
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah apa yang dituangkan dalam pasal 1 bagian (b), yaitu bahwa fasilitas pajak penghasilan hanya diberikan kepada daerah-daerah terpencil, yaitu daerah-daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, termasuk di dalamnya daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 meter di dasar laut yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral termasuk gas alam. Kriteria lanjutan mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang berhak mendapatkan fasilitas pajak penghasilan ini dijelaskan secara lebih rinci dan ditetapkan oleh
basis dikenakannya fasilitas pajak penghasilan ini, Pasal 3 ayat (2b) menyatakan dalam tabel berikut: Pengenaan fasilitas perpajakan ini tentunya dapat dilihat pula sebagai upaya pemerintah untuk mendapatkan share dari investasi di daerah-daerah yang prospektif berkembang potensial menarik investor namun masih kurang promosi. Tentunya hal ini sudah jelas merupakan sumber pendapatan negara dan juga daerah. Masuknya investor ke daerah yang mungkin belum mendapat banyak sorotan sebagai daerah potensial, menjadi langkah awal pertumbuhan wilayah suatu daerah, khususnya di era otonomi ini, hal ini akan menjadi keuntungan tersendiri bagi derah yang bersangkutan, bila dikaitkan dengan potensi penerimaan pajak penghasilan.
13
14
15
16
Bupati Magelang Drs.H.Hasyim Afandi:
“Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Merangsang Persaingan Daerah” Kabupaten Magelang beruntung karena letak geografisnya. Menjadi daerah persimpangan ke arah sejumlah kota/daerah di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kabupaten ini dengan mudah mendistribusi hasil-hasil produksinya. Selain itu, letak strategis tersebut menjadi salah satu alasan yang mendorong sekaligus memudahkan Pemda untuk membangun jejaring hubungan dengan berbagai daerah yang berkaitan kepentingan dengannya. Ihwal pilihan hubungan dengan daerahdaerah sekitar ini secara jelas diakui oleh Bupati Magelang, Drs. H. Hasyim Afandi, dalam wawancara tertulisnya dengan KPPOD News. “Dalam rangka menjalin relasi sinergis dengan daerah-daerah lain, kami selama ini menjalin kerja sama dengan Pemkab Sleman, Pemkab Kulon Progo, Pemkot Magelang, dan Pemkab Purworejo, terutama menyangkut sektor perekonomian,” demikian Hasyim. Seiring berjalannya otonomi saat ini, daerah memang perlu mengenal potensi dan mengembangkan kiat-kiat kreatifnya, terutama dalam konteks persaingan dengan berbagai daerah lainnya. Di Kabupaten Magelang, pengembangan kreativitas di era otonomi ini tampak berjalan dalam arah yang semestinya, seperti terlihat dalam kebijakan pemerintah daerah pada sejumlah bidang utama yang ada. Di bidang ekonomi, misalnya, kreativitas itu berkaitan dengan upaya untuk menarik minat kaum investor untuk menanam modalnya di Kabupaten Magelang. Hal ini erat hubungannya dengan sejumlah problem serius Magelang, yakni soal pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat. Menurut Hasyim, ada tiga bentuk upaya yang coba dikembangkan untuk meningkatkan investasi tersebut, yakni “penciptaan iklim usaha yang kondusif (berupa kebijakan daerah yang suportif,
penciptaan keamanan, dll); promosi potensi daerah (melalui pameran, brosur, dll); dan pembentukan lembaga pelayanan penanaman investasi (Kantor Penanam Modal)”. Pada sisi lain, kekhawatiran sebagian pihak (terutama investor) bahwa selama keberlakukan otonomi ini daerah-daerah cenderung menerapkan pungutan yang berlebihan untuk menambah kapasitas PA D - n y a , c o b a d i t e p i s Ha s y i m . “Kekhawatiran tersebut tak perlu ada. Pemda Kab. Magelang mengutamakan penarikan pajak dan retribusi atas potensipotensi riil. Itu pun, dalam pelaksanannya dengan cara bertahap sesuai kemampuan masyarakat,” demikian ia coba meyakinkan. Namun untuk memberikan opini bandingan atas pendapat Hasyim ini, kajian tekstual KPPOD atas sejumlah Perda Kab. Magelang kiranya perlu dipertimbangkan. Ada sejumlah Perda penting dan langsung berkaitan dengan kehidupan bisnis yang dinilai distortif, seperti Perda No.13/2000 tentang Kartu ternak dan Perda No. 14/01 tentang Retribusi izin tebang kayu, penerbitan SKSHH dan SAKM Kecuali bidang ekonomi, dalam bidang politik juga terlihat kemajuan yang mencerminkan kreatifitas tersebut. Pada tataran hubungan legislatif-eksekutif, misalnya, kedua pihak sepakat untuk lebih mendahulukan cara-cara dialogis (musyawarah) ketimbang perpolitikan yang saling menyudutkan. Kuncinya adalah bahwa setiap pihak memahami posisi dan kewenangannya masing-masing. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, pelibatan/partisipasi publik dalam proses pembahasan kebijakan/ perda menjadi contoh yang nyata. Namun, tidak semua penyusunan perda melibatkan masyarakat. “Masyarakat hanya dilibatkan dalam pembahasan perda yang berdampak/ berkait langsung terhadapnya, sedangkan yang di luar kategori itu cukup dibahas oleh Pemda bersama DPRD saja,” demikian Hasyim menerangkan.
Rating Daya Tarik Investasi Banyak cara “melecut” daerah untuk bercermin diri dan agar kreatif membangun daya saing relatifnya terhadap daerah-daerah lainnya. Dalam bidang ekonomi, KPPOD membuat suatu pemeringkatan daya tarik investasi, yang oleh Bupati Hasyim disambut secara hangat. “Kontribusi positif dari pemeringkatan KPPOD ini adalah merangsang persaingan antar daerah, karena setiap daerah ingin dinilai kondusif sebagai tempat investasi,” tandas Hasyim. Marangsang persaingan antar daerah ? Memang itulah salah satu poin yang mau diambil sewaktu KPPOD merancang penelitian tersebut. Sedangkan terkait posisi Kab. Magelang sendiri dalam pemeringkatan itu (posisi secara total adalah ke-27), Bupati Hasyim tampaknya bersikap realistis. Bahkan dengan posisi itu saja ia yakin bahwa para investor akan melihat Magelang sebagai tempat yang layak dan kondusif untuk berinvestasi. Selebihnya, untuk perbaikan peringkat di masa mendatang, Kab. Magelang berusaha mencipta kondisi yang lebih ideal lagi. “Kami akan meningkatkan stabilitas dan kondisi inevestasi yang ideal sehingga semakin banyak lagi investor yang akan ke sini,” demikian Hasyim setengah berpromosi Soal Revisi UU Otda dan Penjatahan DAU Dalam kesempatan wawancara ini, Bupati Hasyim tidak hanya berbicara tentang potensi daerah dan rencana kebijakan pemerintahannya, tapi juga memberi komentar kritis atas isu-isu otonomi yang sedang beredar. Menyangkut hasil rapat konsultasi DPR dan pemerintah tanggal 29/01/03 ihwal perlunya peninjauan kembali UU yang mengatur pelaksanaan otda (UU No.22 dan 25 Thn 1999), Hasyim meminta agar para penentu kebijakan di pusat tidak buru-buru dalam mengubah kedua UU dimaksud. Kita tahu, bahwa ini adalah cerminan dari sikap arus utama para kepala daerah kabupaten/kota
17
yang tergabung dalam asosiasi Apkasi/ Apeksi. Namun apakah kedua UU tersebut memang tidak perlu ditinjau lagi, meski oleh banyak pihak ditengarai bermasalah ? Tidak juga. Namun, minimal perlu waktu yang cukup untuk mengujinya di tingkat implementasi dan kemungkinan pengevaluasiannya. Seperti pinta Hasyim, “sebaiknya daerah diberi waktu yang cukup (sekitar 5 tahun) untuk melaksanakannya, bar u kemudian dievaluasi secara menyeluruh. Perubahan kebijakan yang terlalu cepat/sering hanya mengakibatkan daerah kesulitan dalam menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan tersebut”. Artinya, ada ruang untuk berkompromi di sini. Pusat tidak perlu ngotot untuk merevisi saat ini juga, namun daerah tidak
perlu mensakralkan UU tersebut seperti kitab suci yang tabu untuk diubah-ubah. Isu sexy lain yang juga hangat diperbincangkan di level nasional adalah soal penjatahan dana alokasi umum (DAU) kepada daerah-daerah. Mendengar berbagai komentar di media massa, rasarasanya tidak ada daerah yang merasa puas dengan formulasi dan porsi DAU untuk dirinya. Semua daerah mengaku kurang tercukupi bagi keperluan belanja daerahnya. Demikian halnya pendapat Hasyim, “DAU tersebut batu mencukupi sebagian kebutuhan, karena sebagian terbesarnya habis untuk belanja pegawai.” Meski demikian ia juga mengakui, “dari segi asas pemerataan sudah cukup propor-sional dibandingkan daerah-daerah yang memiliki atau tidak memiliki SDA”.
Entah bagaimana akhir dari debat seputar dana alokasi umum ini. Sejumlah formulasi telah diperkenalkan, dengan bantuan tim konsultasi dari beberapa perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Bahkan PP No. 104/2000 sebagai acuan formulasi DAU tahun 2001 dan banyak dikritik telah pula dirubah dengan PP No. 84/2001 untuk keperluan penyusunan DAU tahun 2002, tahun 2003 dan kemungkinan pada masa-masa berikutnya. Tampaknya kesamaan persepsi tentang maksud DAU sebagai instrumen bagi pemerataan kapasitas fiskal setiap daerah perlu diusahakan, sehingga daerah-daerah kaya (DBH besar) yang sangat lantang meneriakan kecilnya porsi DAU mereka mampu bersikap solider terhadap daerahdaerah miskin (kekurangan DBH). * (ndi)
“Kalangan Dunia Usaha Bersedia.. (sambungan dari hal 4)
kehutanan dan pertambangan yang perlunya berkompetisi. Dan terakhir daerah untuk memfasilitasi kegiatan terkait dengan hak atas tanah adat/ulayat; ditegaskan pula bahwa sebagai bagian usaha. Untuk itulah KPPOD Award ini keempat, adanya kendala etos kerja dan integral dari masyarakat Indonesia, dunia diberikan kepada daerah-daerah yang budaya masyarakat dalam peningkatan usaha bersama dunia pendidikan, dan berdasarkan penelitian yang dilakukan produktivitas sektor usaha peternakan; pers, berharap bisa ikut ambil bagian oleh KPPOD berhasil menempati kelima, ketidakjelasan kebijakan sesudah untuk menjadikan pelaksanaan otonomi peringkat pertama sampai ketiga dalam otonomi daerah di sektor pertambangan; daerah sebagai bagian dari penyelesaian daya tariknya terhadap investasi, yakni dll. berbagai macam persoalan bangsa kita peringkat untuk Kategori Umum atau Selain berbagai permasalahan seperti yang multidimensional, utamanya dari peringkat berdasarkan nilai total, Kategori di atas, ternyata ditemukan juga bahwa sisi perekonomian. Peringkat Faktor Kelembagaan, dan mulai muncul upaya-upaya positif Me n u t u p p i d a t o n y a A b u r i z a l Ketegori Peringkat Faktor Sosial Politik. beberapa pemerintah daerah untuk Bakrie atas nama selur uh dewan Pemberian award hanya untuk kategori memfasilitasi kegiatan berdasarkan peringkat perekonomian secara Faktor Kelembagaan lebih baik; misalnya, d a n Fa k t o r S o s i a l adanya pelayanan satu Politik didasarkan pada atap untuk perijinan pertimbangan bahwa usaha, yang mempunyai dua faktor tersebut kewenangan dari proses mencakup variableawal sampai proses akhir variabel yang tergabung keputusan perijinan dalam policy variable, usaha dan bukan sekedar yakni variable-variabel kolektor berkas perijinan yang dipengaruhi atau yang masih harus perubahannya dapat mendapatkan beberapa dilakukan dengan cepat ijin dari masing-masing melalui kebijakaninstansi teknis. Selain kebijakan yang dibuat itu beberapa pemerintah oleh pemerintah daerah mulai berupaya KPPOD Award - Menteri BPKM Theo F. Thoemion, Sofjan Wanandi mewakili Dewan daerah. Prestasi yang m e n g e m a s p o t e n s i Pendiri dan para bupati penerima KPPOD Award Kategori Kelembagaan. ditunjukkan dengan ekonomi daerahnya dengan pemanfaatan pengurus KPPOD dan dunia usaha, peringkat teratas dari kedua faktor tersebut kemajuan teknologi informasi melalui menyampaikan bahwa meskipun masih menunjukkan keberhasilan pemerintah pembuatan situs daerah. Hal-hal tersebut banyak permasalahan terkait dengan daerah dalam menangani persoalancukup memberikan indikasi kesadaran kegiatan perekonomian yang harus segera persoalan dalam kedua faktor tersebut. daerah akan pentingnya investasi dan suatu dibenahi, namun juga sangat menghargai (git) kesadaran bahwa dalam era globalisasi upaya yang telah dilakukan pemerintah
18
Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Jakti:
“Mari Melihat Peringkat Ini Secara Positif” Mewakili pemerintah pusat untuk menyambut acara KPPOD Award bagi daerah-daerah yang memiliki daya tarik investasi terbaik,Menteri Koordinator Perekonomian Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti memberikan sebuah pemaparan singkat berikut. Namun, untuk kenyamanan membaca, Redaksi KPPOD News mengedit hasil transkrip pemaparan tersebut seperlunya. Ucapan Selamat bagi KPPOD. Kesempatan serupa ini sulit diperoleh, oleh karena itu sebenarnya saya ingin berlama-lama di sini; namun karena kesibukan yang ada, mohon maaf kalau saya mempersingkat sambutan ini. Pertama, saya ingin menyampaikan selamat kepada KPPOD dan kepada semua pihak yang membantu terselesainya pembuatan peringkat daya tarik investasi kabupaten/kota ini. Tentu kita inginkan, nanti pada masanya seluruh pemda kabupaten/kota akan dapat turut serta secara terbuka mengikuti kegiatan dari pemeringkat ini. Idealnya, kegiatan ini perlu dilakukan setiap enam bulan sekali. Kalau satu tahun, bagi para investor yang kadang bekerja dalam situasi perbankan yang mengharuskan penyelesaian tugas dalam beberapa bulan agak sulit kalau kita mempergunakan hasil peringkat yang katakanlah tidak mutakhir lagi. Mari kita coba untuk menyajikan apa yang telah diperoleh hari ini, pada kesempatan pertemuan bankir dan bisnis di Bukit Tinggi pada tgl 21-23 Februari 2003 yang direncanakan oleh Bank Indonesia sebagai kawasan barat Indonesia I (KBI I). KTI telah dilaksanakan dengan sukses di Makasar. Ada sekitar 400 lebih yang hadir dari unsur perbankan dan bisnis. Pada waktu itu belum ada peringkat ini. Jadi menarik sekali apabila ditayangkan di Bukit Tinggi, apa hasil dari pekerjaan yang bagus ini, dan dimintai apa pendapat mereka. Saya hampir yakin bahwa perbankan pasti meminta regularitas yang agak tinggi. Bagi pemeringkatan negara-negara (secara nasional), terdapat lembaga peringkat internasional seperti Moody, dll. Saya tidak mempergunakan hanya salah satu. Tapi mereka selalu dapat di-apeal. Jadi kalau penilaian kurang baik, saya berusah untuk meng-apeal. Jadi ketika di Amerika Serikat sebagai duta besar, hampir setiap tiga bulan saya datang ke New York dan meyakinkan lembaga-lembaga peringkat itu tentang apa sebetulnya yang terjadi di Indonesia.
Indonesia dan Keniscayaan Globalisasi Karena tadi juga disinggung berkali-kali oleh Aburizal (Aburizal Bakrie, Dewan Pendiri KPPOD—Red) saya ingin membicarakan mengenai globalisasi—bahwa ini adalah satu fakta yang tidak bisa dihentikan ! Globalisasi itu dipacu oleh teknologi, entah teknologi komunikasi, transportasi, sistem perjalanan, dsb. Dunia semakin terbuka, saya kira terlalu banyak judul literatur yang bisa kita ambil yang membahas bahwa upaya untuk menutup diri dari globalisasi adalah suatu percobaan yang sia-sia. Bahkan mungkin merugikan sendiri. Indonesia adalah sebuah negera yang menganut perkonomian terbuka; bangsa kita adalah bangsa pedagang dari semenjak dulu tapi kita dihalaui oleh sistem kolonialis, dari laut kita dihalui dalam sistem perdagangan, sehingga selama tiga stengah abad akhirnya kita hanya menjadi bangsa yang terdiri dari kelompok ningrat dan pedagang saja, tapi tidak dalam perlayaran dan sebagainya. Ini adalah saat bagi kita. Di tengah globalisasi untuk kembali lagi. Karena itu, selogannya adalah think globally, act locally, berpikir secara global, tapi bertindaklah pada tingkat mikro. Ini berarti, pada tingkat perusahaan, pada tingkat perguruan tinggi, pada tingkat kantor akuntan, dll. Sekarang ini karena begitu terbuka, apalagi AFTA sudah ada di tengah kita, mau tidak mau kita harus melihat masing-masing diri kita, apakah UI, ITB, Unhas, Bank Permata, BCA, Kabupaten Dairi, Kab. Simalungun, bisa bersiang di tengah keadaan yang semakin terbuka ini. Bahkan bagi Jakarta bisa sampai kepada kecamatan. Jadi kalau kita tidak menerima ini, maka saya khawatir anda akan diberikan alternatif lain. Sebegitu sebuah kabupaten lengah, maka akan ada alternatif yang muncul di kabupaten di Indonesia. Kalau semua kabupaten di Indonesia lengah, maka kabupaten-kabupaten di Filipina atau di Thailand akan meyakinkan anda bahwa
anda salah. Jadi karena itu, di era keterbukaan, harus ada kerja sama, di antara dunia usaha dan pemerintah, dan yang lebih penting juga jangan marah kalau anda diperingkat dan dapat angka C atau SD (selective default) seperti yang juga pernah kita (Indonesia secara nasional—Red) dapatkan, meski belum sampai peringkat D (default) seperti Argentina. Pesan: Hasil Kerja Ini Mesti Direspon Serius. Jadi kita jangan bercanda dengan penilaian yang diberikan oleh wasit luar, sebab mereka inilah partai yang terbesar di Jakarta (bursa efek) dan kalau mereka tidak suka meraka bisa saja hengkang dari negeri ini. Jadi karena itu saudara-saudara jangan dimarahin peringkat ini, pakailah mereka sebagai pedomaan bahwa banyak yang harus kita perbaiki pada hari-hari ini d Indonesia secara konkrit. Saya berterima kasih sekali bahwa kriteria telah ditemukan, penilaian telah dilakukan, mari kita pergunakan peringkat ini secara positif, dengan sikap terbuka agar kita bisa lebih maju lagi. Semoga apa yang telah diamanatkan oleh MPR untuk percepatan pemulihan ekonomi (saya pun tidak suka melihat yang lambat, tapi itulah yang saya warisi) bisa terwujud. Kalau mau cepat, maka tidak hanya pemerintah, tapi semua harus cepat. Bagi daerah yang dapat peringkat A barangkali harus cepat, jangan cukup dengan prosentase PDB 3%, jangan puas dengan 4%, mengapa tidak bisa ke 7 %. Jadi pakai peringakt ini. Saya sungguh-sungguh senang sekali bahwa pada akhirnya keterbukaan di antara kita telah sampai kepada rapor tadi, seperti dulu juga kita dapatkan waktu sekolah. Demikian, selamat bekerja, sampai berjumpa di Bukti Tinggi, di KBI I dan KBI II. Insya Allah, hasil peringkat ini akan saya pakai sebagai pedomaan dari KPPOD. Kalau boleh saya usul kepada BI, mari kita lakukan di Semarang. Demikian dan terima kasih.
19
Pro dan Kontra Inpres No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemekaran Papua
Sikap pro dan kontra atas terbitnya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 terus berlanjut. Keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2003 tentang percepatan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat tidak menyalahi aturan mengenai Otonomi Khusus Papua. Pemekaran itu merupakan implementasi otonomi yang semangatnya memperpendek rentang pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dirjen Otonomi Daerah, Oentarto di Jakarta hari Jumat (7/2) menegaskan bahwa pemekaran itu sudah dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Sebaliknya, anggota Komisi II DPR, Ruben Gobay beralasan pemekaran tersebut hendaknya tetap berlandaskan pada Undang-Undang No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa pemekaran propinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, setelah sungguhsungguh memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi, serta perkembangan di masa mendatang. Sebagian masyarakat menolak pemekaran propinsi, namun warga yang berada di wilayah pemekaran mendukung langkah pemerintah tersebut. Tuntutan dua kubu masyarakat sangat berpotensi untuk menyulut konflik baru di masyarakat papua. Hal itu disampaikan oleh Direktur Umum Solidaritas Perempuan Papua Ny. Beatrix Koibur di Jayapura, kemarin (8/2). “Kondisi yang terjadi setelah keluarnya Inpres tersebut mendorong terjadinya konflik horisontal di masyarakat Papua, karena itu di masa depan, pemerintah diharapkan agar tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang dapat memecah rakyat Papua yang mudah diombang-ambingkan janji-janji,” jelas Ny. Beatrikx. Sementara itu, Ketua Aliansi Demokrasi untuk Papua Anum Siregar meminta agar pemerintah pusat menciptakan situasi yang kondusif di Papua dengan berbagai kebijakan yang demokratis tanpa mengesampingkan kearifan lokal. Di tempat terpisah, Ketua Dewan Papua Thaha Mohammad Alhamid mengatakan pemekaran itu membingungkan masyarakat. Karena itu, Thaha mendesak agar segera digelar referendum agar rakyat Papua bebas memilih untuk merdeka, otonomi khusus, atau pemekaran propinsi. (Kompas)
Fitra : APBD Prioritaskan Birokrat
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai APBD masih memprioritaskan kepentingan birokrat dan wakil rakyat hingga peluang korupsi tetap terbuka lebar meski sistem akuntansi keuangan yang baru telah diperkenalkan. Wakil Penanggungjawab Fitra, Haryono mengatakan bahwa sistem akuntansi yang baru relatif lebih ketat tapi peluang kebocoran dana anggaran tetap besar akibat tingginya kepentingan seputar anggaran. Secara konsep, anggaran meski memperlihatkan dua proyeksi target yaitu peningkatan pelayanan umum melalui belanja rutin dan peningkatan kesejahteraan melalui belanja pembangunan. Namun keduanya besar masih dikuasai oleh kepentingan birokrasi dan kesepakatan dengan DPRD. (Bisnis Indonesia)
Semarang Tempat Terbaik untuk Menanam Modal
Kota Semarang menempati urutan pertama yang memiliki daya tarik investasi terbaik dibandingkan daerah lain di seluruh Indonesia. Dari pemeringkatan KPPOD terhadap 134 daerah di Indonesia. Tempat yang paling tidak menarik adalah Kab. Bima, Lampung Timur, dan Lampung Barat. Koordinator tim pemeringkatan Agung Pambudhi, mengatakan pihaknya menemukan fakta bahwa daerah yang relatif makmur dan daerah yang relatif miskin cenderung membuat peraturan yang bersahabat dengan dunia usaha. Kondisi sebaliknya dilakukan oleh daerah yang berpenghasilan sedang (sun)
‘Daerah bisa utang mulai 2004’
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Machfud Sidik mengungkapkan peluang bagi daerah untuk mendapatkan pinjaman langsung dari luar negeri cukup kecil karena terhambat kebijakan pemerintah dan kesiapan pemda itu sendiri. Menurut Machfud, pihaknya memperkirakan paling cepat daerah bisa mengajukan pinjaman luar negeri tersebut melalui pemerintah pusat pada tahun 2004. Machfud mengingatkan pemda untuk menyiapkan infrastrukturnya dengan baik Ditambahkan Machfud, kapasitas pemda untuk menggali sumber pembiayaan dari pinjaman luar negeri dan domestik cukup besar, karena saat ini proporsi utang daerah baru 6% - 7% APBD.(Bisnis Indonesia)
Pusat dan Daerah Berebut Pelabuhan
Pemerintah pusat dan daerah saat ini berebut pengelolaan pelabuhan internasional Kali Lamong di Gresik, Jawa Timur. Investor yang berasal dari Singapura, Australia, dan Eropa mulai ragu untuk mengucurkan dana ke proyek itu. Perebutan pelabuhan antara Pelindo III dan pemda setempat itu terjadi akibat tidak koopertifnya pemda setempat dengan rencana pembangunan pelabuhan tersebut. Pemerintah pusat sendiri menurut Deputi Meneg BUMN Bidang Logistik dan Pariwisata, Ferdinand Nainggolan telah melibatkan pemerintah daerah dengan membentuk perusahaan baru dalam kerja sama operasi bukan kepemilikan. Proyek itu sendiri memakan lahan seluas 500 hektare dan nantinya akan menampung 3-4 juta TEUs per tahun dengan 20 unit crane. (Koran Tempo)
20
S! S E R P STOP TERSEDIA LAPORAN LENGKAP PENELITIAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA DI INDONESIA (Peringkat Daya Tarik 134 Kabupaten / Kota di Indonesia), hasil penelitian KPPOD dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Bagi Anda yang berminat bisa memesan atau datang langsung ke : Sekretariat KPPOD Plaza Great River Lt.12 Jl. H.R. Rasuna Said Kav.X-2 No.1, Jakarta 12950 Tlp.:+62 (021) 5226018, Fax.: +62 (021) 5226027. Untuk setiap eksemplar dikenakan biaya cetak sebesar Rp.100.000,- dan untuk pengiriman dikenakan biaya tambahan sebesar Rp.20.000,- dengan terlebih dahulu transfer ke : No. ACC. 607-010198-8, BCA KCP Bina Mulia Jakarta atas nama Yayasan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bila anda berminat silahkan mengisi formulir di bawah ini :
Nama
: ____________________________________
Instansi
: ____________________________________
Alamat
:
____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ Telepon
: ____________________ Fax : ___________________
e-mail
: ___________________
Jumlah Pesanan : ___________________ eksemplar