TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BADAN HUKUM/KORPORASI & PERTANGGUNGAN JAWABNYA Oleh: Hengki M. Sibuea*
A. PENDAHULUAN Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran badan hukum/korporasi saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering, meskipun tidak selalu, terjadinya tindakan pelanggaran hukum, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari jerat hukum sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol. Tindak pidana, dalam hal ini kejahatan, yang dilakukan oleh korporasi merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan hukum yang belum banyak mendapat perhatian masyarakat luas dibandingkan dengan persoalan hukum lainnya. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya. Korporasi yang bergerak di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti perbankan, perdagangan, teknologi, industri dan sebagainya, melibatkan sirkulasi uang yang sangat besar. Pada mulanya, tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi dibedakan dengan kejahatan jalanan (street crimes) dan white collar crimes. Tindak pidana oleh korporasi, sering juga disebut dengan corporate crime atau crime in the suite, menunjuk pada kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, sedangkan street crime, seperti perampokan, kejahatan narkotika, copet, perkosaan dan lain-lain, dilakukan terhadap orang lain. White collar crime yang sering disebut dengan occupational crime menunjuk kepada kejahatan yang dilakukan orang-orang karena jabatan atau jabatan profesional, pada umumnya tanpa menggunakan kekerasan dan seringkali justru dilakukan terhadap perusahaannya sendiri seperti penggelapan, pencantuman nama fiktif pada pembayaran gaji, penjualan rahasia perusahaan dan informasi konfidensial kepada perusahaan saingan oleh pejabat perusahaan. Hans Nicholas Jong dalam surat kabar harian The Jakarta Post pada tanggal 27 Desember 2013 yang berjudul “KPK to take on roque corporations in 2014” yang menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berkeinginan untuk memberikan hukuman kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam korupsi. Hal ini dikarenakan selama ini yang dihukum dalam perkara-perkara korupsi, hanya individu-individu saja. KPK akan mencoba menjerat perusahaan tersebut dengan menggunakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun KPK dalam menegakan ketentuan tersebut terdapat beberapa kendala dalam hukum acara, hal tersebut mengingat ketentuan hukum acara yang berlaku selama ini terdapat celah hukum dalam hal * Hengki M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA & PARTNERS.
pertanggungjawaban tindak pidana korupsi oleh korporasi. untuk itu saat ini KPK sedang meminta pendapat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam tulisan tersebut mencantumkan pula beberapa contoh kasus korupsi yang melibatkan perusahaan yaitu Kernel Oil Pte Ltd, Alstom, dan PT Indoguna Utama (“PT IGU”). Dimana dalam kasus korupsi tersebut telah menyeret direktur-direktur perusahan tersebut dalam proses hukum. Kajian ini akan dikhususkan pada PT IGU, dimana pada saat ini, 2 (dua) orang Direksi PT IGU, yaitu Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (“Pengadilan TIPIKOR”) Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”) telah diputus terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sementara itu, Maria Elizabeth Liman, Direktur Utama dari PT IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR telah divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta didenda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kajian ini akan membahas aspek-aspek yang terkait sekitar tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi. B. PEMBAHASAN: a.
Pengertian Korporasi sebagai Badan Hukum Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain (khususnya dalam bidang hukum perdata) disebut badan hukum (recht persoon) atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan legal entities atau corpotation. Pengeritan korporasi menurut Black’s Law Dictionary, yaitu: “An entity (usually a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution give it ”. (Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, St Paul Minim West Publishing, Co, 2009, hal 391) Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corpotation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu corporatio. “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum) berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam. (Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta, PT Pembangunan, 1995, hal 83). Menurut Sutan Remy Sjahdeini, korporasi dapat dilihat dari artinya yang sempit maupun artinya yang luas. Korporasi menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya “hidup” untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum. (Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hal 43). Adapun Satjipto Rahardjo memberikan definisi bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya tersebut terdiri dari “corpus” yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkannya unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum. Apa yang dinamakan badan hukum itu sesungguhnya sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan ini. Harta itu harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya, termasuk badan itu sebagai subjek hukum yang dianggap mampu bertanggung jawab. (Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal. 110). Menurut Chaidir Ali, bahwa manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri, Mereka menciptakan suatu organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukkan dan mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku untuk mereka dalam hubungan satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya secara pribadi. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari
kewajiban-kewajiban para anggotanya secara pribadi. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum. (Eman Rajagukguk, Badan Hukum sebagai Subjek Hukum, Jakarta, Mitra Management Centre, hal. 2). Secara umum, oleh David J.R. korporasi memiliki 5 (lima) ciri-ciri yang sangat penting, yaitu: 1. Merupakan subjek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan hukum khusus; 2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas; 3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu; 4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/aset; 5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimiliki. Selanjutnya berbagai pengertian korporasi menurut beberapa ahli hukum yang dikutip dari buku Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang ditulis oleh Prof. Dr. Muladi, S.H, Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, penerbit Kencana, halaman 25-26 sebagai berikut: •
Utrecht/Moh Soleh Djindang menyebutkan: ”Ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing”.
•
A.Z. Abidin menyebutkan: “bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu”.
•
Subekti dan Tjitrosudibio menyebutkan:“coporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum”.
•
Yan Pramadya Puspa menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan”.
•
Wurjono Prodjodikoro, menyatakan “korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota mana pun mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi”.
Dalam hukum perdata dagang menyebutkan bahwa korporasi adalah badan hukum. Rudi Prasetyo, sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan korporasi, menyatakan bahwa kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corpotation. (Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpanganpenyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang: 23-24 November 1989) hal. 2). Menurut Utrecht, badan hukum (rechtpersoon), adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, jelasnya adalah bahwa badan hukum setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah sesuatu yang riil, merupakan fakta yang sebenarnya dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya, yang menjadi penting bagi pergaulan hukum adalah badan hukum ini mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya. Adapun menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Berdasarkan pada pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa korporasi adalah merupakan badan hukum. Badan hukum dianggap subjek hukum hal tersebut dikarenakan dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul. Sehingga badan hukum tersebut dapat menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya di muka pengadilan. Badan hukum dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu Perseroan Terbatas, Yayasan, dalam bentuk perkumpulan tertentu, ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan lain sebagainya. Dalam kajian ini, korporasi sebagai badan hukum yang akan dibahas adalah korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Normor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata (“UU PT”) menyebutkan bahwa: “Perseroan (Perseroan Terbata) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peratruan pelaksanaannya”.
b.
Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial”. Semakin modern maysarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di situ, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Tanda-tanda adanya modernisasi tersebut antara lain perlunya terutama yang menyangkut kehidupan ekonomi menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya korporasi. Pada era 1990-an muncul bentuk usaha yang dikenal dengan nama “konglomerasi”, merupakan perusahaan besar yang beranggotakan berbagai macam perusahaan dan bergerak di bidang usaha yang bermacam-macam. Sarbini Sumawinata menyatakan bahwa konglomerasi adalah kumpulan dari berbagai jenis perusahaan, yang masing-masing memiliki fungsi dan bidang usaha yang berbeda, tetapi dikendalikan di bawah naungan satu pimpinan pusat. Adapun konglomerasi itu sebagai hasil perkembangan dunia usaha dari segelintir orang yang ingin meraih tingkat keberhasilan sebesar-besarnya dan sekaligus juga sebagai akibatnya menguasai bidang ekonomi yang sebesar-besarnya pula. Keadaan ini dampak negatifnya sangat besar bagi kepentingan rakyat banyak dan bagi perekonomian negara. A.Z. Abidin juga mendukung ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana, dengan mengemukakan pendapat yang mengatakan “Pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Roling dimasukkan “functioneel daderschaap”, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa dan lain-lain”. Dalam hukum positif di berbagai negara, korporasi sudah dicantumnkan sebagai subjek dalam hukum pidana, diantaranya: di Belanda tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Wet Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dalam UndangUndang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976 mengubah isi Pasal 51 W.v.S., sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek hukum pidana umum, antara lain menghapus Pasal 15 ayat (1) Wet Economic Delicten 1950. Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi ialah “to deter the corporation from permiting wrongful acts”. Baru pada tahun 1909 di Amerika menempatkan korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, yaitu putusan Supreme Courts dalam kasus New York Central and Hudson Riwer R.R.v. United States. (Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, 2012, hal. 46).
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (“UU TPE”), juga kita temukan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi (“UU Subversi”), Pasal 49 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yaitu: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”. Perumusan tersebut menyatakan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan/korporasi itu sendiri. Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam undang-undang khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana umum ataupun KUHP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara umum, yaitu manusia (Pasal 59 KUHP). Ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana, di Indonesia, sampai sekarang masih menimbulkan sikap yang setuju dan tidak setuju. Pihak yang tidak setuju/kontra terhadap penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana mendasarkan pendapatnya pada hal-hal dibawah ini: 1. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada para persona alamiah; 2. Tingkah laku materil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang dan sebagainhya); 3. Pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat dikenakan terhadap korporasi; 4. Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa orang yang tidak bersalah;
5.
Dalam praktiknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau keduaduanya harus dituntut dan dipidana.
Pihak yang setuju/pro ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: 1.
2. 3.
4.
Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan sautu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurusnya saja; Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula; Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi; Dapat dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri. Sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhkan pidana, kedudukan badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana telah terdapat suatu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor: 136/Kr/1966 dalam perakara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa: “suatu badan hukum tidak dapat disita”. Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H., pandangan Mahkamah Agung tersebut sudah tepat, sebab yang dapat disita adalah barangbarang atau benda, sedangkan PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda atau barang akan tetapi merupakan “subjek hukum”. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Agung RI tersebut menegaskan bahwa Badan Hukum/Korporasi merupakan subjek hukum dalam hukum pidana.
c.
Korporasi/Badan Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana/Kejahatan Setelah kita mengetahui korporasi/badan hukum sebagai subjek dari hukum pidana, maka pertanyaan selanjutnya adalah kapan suatu korporasi/badan hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana? Untuk menjawab mengenai hal ini, maka terlebih dahulu kita harus membahas mengenai tindak pidana yang korporasi yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) TPE, yang menyebutkan:
“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atas nama suatu badan hukum, suatu perseraon, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasam, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu
masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut”. Terhadap rumusan tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan: Di dalam Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut, memang ada perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana dengan perumusan yang menyebutkan “suatu tindak pidana .... dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum .... dan seterusnya”. Dengan adanya kata-kata “dilakukan juga”, jelas bahwa rumusan di atas hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum. Jadi perumusan di atas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu dikatakan melakukan (sebagai pembuat) tindak pidana. Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, 2012, hal. 93, juga mengatakan bahwa rumusan Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut kurang jelas dikarenakan tidak ditentukan secara tegas kapan suatu korporasi/badan hukum itu telah melakukan suatu tindak pidana. Ketidakjelasan mengenai perumusan kapan suatu korporasi/badan hukum itu telah melakukan suatu tindak pidana juga terlihat dalam penjelasan Pasal 15 (2) UU TPE yang menyebutkan: “ayat (2) menentukan dalam hal-hal mana suatu tindak pidana ekonomi dianggap telah dilakukan oleh badan hukum .... dan seterusnya”. Terlihat jelas bahwa setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) UU TPE dan penjelasannya tersebut, ternyata belum juga memberikan ketegasan mengenai batasan atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu tindak pidana ekonomi itu telah dilakukan oleh suatu badan hukum atau korporasi. Hanya saja dalam Pasal 15 ayat (2) UU TPE tersebut dikatakan, batasan atau ukurannya disebutkan: (1) Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; atau (2) Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum. Dalam hubungannya dengan batasan adanya “hubungan kerja”, Suprapto dalam desertasinya yang berjudul “Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka Pembangunan Nasional”, manyebutkan:
“Ini adalah suatu fiksi, yaitu dalam hal ini suatu badan dianggap melakukan hal yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan kerja pada badan itu”. A.Z. Abidin, sehubungan dengan hal tersebut, mayatakan: apakah yang dimaksudkan dengan “orang bertindak dalam hubungan lain?” Kalau diartikan luas, maka orang yang tidak bertindk dalam hubungan kerja dengan badan hukum pun dapat menyeret badan hukum/korporasi masuk dalam jaringan hukum pidana. Sehingga menurutnya orang yang bersangkutan harus bertindak dalam hubungan kerja atau dalam susunan badan hukum itu, sehingga dapat menyeret badan hukum/korporasi tersebut dalam jaringan hukum pidana. Selanjutnya mengenai “orang yang bertindak dalam hubungan lain-lain”, A.Z. Abidin memberikan jalan keluarnya untuk menghindari pengertian yang luas, yaitu terhadap
“orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain” dengan korporasi berlu dibatasi, sehingga hanya orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam hubungan fungsional dengan korporasi/badan hukum saja yang dapat melibatkan korporasi/badan hukum dalam kejahatan yang dibuat oleh orang itu (in the course of carrying on the affairs of the corporation). Kemudian Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi juga mengatakan:
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”. Terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, R. Wiyono, S.H., dalam buku “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua”, Sinar Grafika, Jakarta, Maret 2009, hal. 154, menjelaskan: “Dari Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh: a. Orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja, bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama; b. Orang-orang yang berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama. Dengan demikian, korporasi baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, jika baik orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun yang berdasarkan hubungan lain, bertindaknya masih dalam batas-batas lingkungan tugas atau usaha korporasi. Jadi, jika sampai orang-orang tersebut bertindaknya sudah di luar atau tidak lagi dalam batas-batas lingkungan tugas atau usaha korporasi, maka tidak dapat dikatakan bahwa korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi, tetapi yang melakukan tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang bersangkutan. Apakah perbedaan antara “orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan korporasi” dengan “orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan korporasi?” Yang dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan korporasi, menurut beliau, adalah orang-orang yang tercantum di dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus dari korporasi, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan korporasi, misalnya adalah orang-orang yang tidak tercantum dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus tetapi bertindak untuk dan atas nama korporasi dengan surat kuasa. Oleh penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijaksanaan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Yang menjadi kriteria atau ukuran apakah seseorang itu merupakan pengurus dari sautu korporasi di samping ditentukan dari dicantumkan atau tidak dicantumkan namanya sebagai pengurus dalam Anggaran Dasar dari suatu korporasi, dapat juga ditentukan melalui kewenangan seseorang yang dimaksud ikut dalam memutuskan kebijaksanaan korporasi. Maka seseorang itu merupakan pengurus dari korporasi. Dengan demikian, seorang yang tidak tercantum dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus dari suatu korporasi, tetapi ternyata orang tersebut yang mengendalikan korporasi tersebut, maka orang yang dimaksud sebenarnya merupakan pengurus dari korporasi sebagaimana yang dijelsakan oleh penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi”. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka suatu korporasi/badan hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana yaitu apabila orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan korporasi dan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan korporasi melakukan suatu tindak pidana. d.
Tentang Tindak Pidana Korporasi Perbuatan melawan hukum (pidana) yang disebut dengan tindak pidana oleh korporasi/badan hukum dalam menjalankan kegiatn usahanya adalah merupakan kejahatan korporasi yang menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap sebagian besar rakyat. Tindak Pidana (kejahatan) korporasi/badan hukum mempunyai jangkauan yang begitu luas dengan berbagai bentuk perbuatan dalam rangka mencapai tujuantujuan korporasi, seperti masalah suap atau pemberian “uang pelicin” merupakan salah satu perlilaku yang sangat menonjol dalam tindak pidana korporasi. Tindak pidana korporasi terutama harus dipahami sebagai kejahatan yang bersifat organisasi, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan di antara kantor pusa, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain. Bertalian dengan tindak pidana korporasi (corporate crime) yang acap kali digunakan dalam berbagai konteks dan nama maupun makna, antara lain Edwin Harden Sutherland (1883 - 1950) menggunakan istilah kejahatan korporasi dengan “white collar crime”. Tindak pidana korporasi menurut Mardjono Reksodiputro adalah merupakan sebagian dari “white collar criminality”. Istilah “white collar criminality” dilontarkan di Amerika Serikat dalam Tahun 1939 dengan batasan “suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”. “white collar criminality” tersebut dianggap sebagai akar dari tindak pidana (kejahatan) korporasi. Marshall B. Clinard mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan kerah putih, naumun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik, terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam satu tangan, atau merupakan perusahaan kerluarga. Marshall B. Clinard juga mengatakan “a corporate crime is any act commited by corporations that is punished by the state regardless of whether it is punished under administrative, civil or criminal law”, (kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh dan
untuk kepentingan korporasi yang sanksi atau hukumannya ditentukan oleh Negara baik melalui hukum administrasi, perdata ataupun pidana). Kejahatan (tindak pidana) korporasi merupakan perilaku korporasi yang tidak sah dalam bentuk pelanggaran hukum kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi, yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. b.
c. d. e. f. g.
Kejahatan (tindak pidana) tersebut sulit dilihat (low visibility) karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks; Kejahatan (tindak pidana) tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologi, finansial, legal, terorganisasi, melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun; Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas akibat kompleks organisasi; Penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization), seperti polusi, penipuan konsumen dan sebagainya; Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dan pelaku tindak pidana; Peraturan yang tidak jelas (ambiquous laws), yang sering menimbulkan keraguan dalam penegakkan hukum. Dalam bidang hukum ekonomi, hal semacam ini sangat dirasakan, misalnya sebagai akibat deregulasi; Ambiquitas (sikap mendua) terhadap status pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana korporasi, secara jujur harus diakui bahwa pelaku tindak pidana bukanlah orang yang secara moral salah (mala per se), tetapi karena melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum (mala prohibita).
Korporasi (badan hukum) yang melakukan kegiatan usahanya secara melawan hukum secara pidana dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana di bidang perekonomian, yang berkaitan erat dengan masalah keuangan/perbankan dan kolusi serta korupsi. Bahkan apabila tindakan korporasi melakukan kejahatan yang telah melewati batas teritorial, akan terkait dengan masalah-masalah tindak pidana penyelundupan, yang termasuk masalah/kasus kepabeanan karena menyangkut lalu lintas perdagangan ekspor-impor. Kegiatan usaha dari korporasi yang diwakili oleh organnya adalah berupa transaksi jual beli, pemberian jasa angkutan barang, pengadaan/pemesanan barang, peminjaman dana/modal, dan lain-lain yang semuanya bersangkutan dengan kegiatan perekonomian. Permasalahan-permasalahan korporasi dalam menjalankan kegiatan usahanya dapat dikategorikan menjadi kejahatan (tindak pidana) korporasi karena dalam tindakannya telah dianggap melakukan perbuatan/melanggar hukum oleh pihak lain yang dirugikan dan menjadi korban. e.
Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi/Badan Hukum Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Masalah ini
menyangkut madalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Setelah pembuat ditentukan, maka selanjutnya ditentukan mengenai bagaimana pertanggungjawabannya. Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang melakukan tindak pidana), artinya, pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. Pertanggungjawaban pidana kepada badan hukum/korporasi akan menjadi masalah dalam menentukan “mens rea” yang merupakan syarat dipidananya yang melakukan tindak pidana, karena persyaratan pemidanaan harus memenuhi ketentuan “actus reus” dan “mens rea”. Permasalahan pertanggungjawaban korporasi/badan hukum sebagai subjek hukum pidana dikarenakan dalam perundang-undangan ada “kemungkinan yang berbeda” tentang yang melakukan tindak pidana dan yang dapat memepertanggungjawabkannya. Berhubungan dengan hal itu, Sudarto mengatakan, dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objektive breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Di sini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau mulla poena sine culpa). Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat. Hal tersebut sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), yang menyebutkan:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.
Sekarang yang menjadi permasalahan ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan dalam mempertanggungjawabkan suatu badan hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga badan hukum/korporasi tidak terdapat jiwa sebagaimana manusia memiliki jiwa (menselijke psyche) dan unsur-unsur psikis (de psychische bestanddelen) dapat dikatakan memiliki kesalahan. Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukakannya, yaitu, badan-badan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain daripada itu, cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui kemampuannya. Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. Suprapto, Van Bemmelen, maupun Remmelink mengakui bahwa korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut diambil dari para pengurusnya atau anggota direksi. Dengan konstruksi yang demikian, maka dalam hal ini asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tetap berlaku, sepanjang dilakukan oleh pengurus, sehingga kalau suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh korporasi (pembuat fiktif), maka asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak berlaku. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa badan hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila badan hukum/korporasi tersebut mempunyai kesalahan, dimana kesalahan badan hukum/korporasi tersebut diambil dari kesalahan yang dilakukan oleh para pengurus atau anggota direksi badan hukum/korporasi tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh doktrin pertanggungjawaban pidana “strict liability” dan “vicarious liability” yang pada merupakan penyimpangan dari asas kesalahan. Doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat) menyebutkan bahwa seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Doktrin ini secara singkat diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Sementara doktrin vicarious liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Sehingga dalam pengertian vicarious liability ini dikatakan
walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan. f.
Badan Hukum/Korporasi dari Perspektif Tindak Pidana Korupsi Berbicara mengenai tindak pidana badan hukum/korporasi, maka tidak dapat dilepas dari organized crime karena para pelakunya dalam aktivitasnya terdapat korelasi yang erat yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi, yang mempunyai tata kerja yang dominan dalam mencapai tujuan korporasi. Organized crime melibatkan beberapa orang yang terkoordinasi secara sturuktural dan memiliki keahlian tertentu untuk memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain). Oleh karenanya corporate crime ini dengan sendirinya tergolong juga economic crime. Badan usaha sebagai korporasi merupakan wadah kegiatan organisasi bisnis yang dapat dijadikan wahana untuk melakukan kejahatan oleh para eksekutif korporasi tersebut. Dalam proses penegakkan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh badan-badan usaha sebagai badan hukum/korporasi, maka kita dihadapapkan pada 2 (dua) masalah pokok, yaitu: a. Masalah pertanggung jawaban pidana dari lembaga sebagai badan hukum/korporasi; dan b. Sistem pemidanaan terhadap lembaga sebagai badan hukum/korporasi. Kedua masalah ini belum diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan, namun karena secara fisik kegiatan badan hukum/korporasi diwakili oleh satu atau beberapa eksekutif, maka, secara teoretis, bila badan hukum/korporasi melakukan kegiatan tindak pidana (kejahatan) adalah merupakan manifestasi dari para eksekutif badan hukum/korporasi tersebut. Dalam hal badan hukum/korporasi melakukan tindak pidana (kejahatan) yang hakikatnya adalah korupsi, dalam praktiknya dikenal 2 (dua) bentuk korupsi, yaitu: 1.
Administrative Corruption, Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum/peraturan yang berlaku, akan tetapi ada individu-individu tertentu yang berupaya memanfaatkan untuk memperkaya diri atau mencari keuntungan dari situasi yang ada. Sebagai contoh dalam pelaksanaan pelelangan, seakan-akan sudah sesuai dengan aturan, padahal pemenang lelang sudah ada dan sudah ditentukan terlebih dahulu, meski kemudian tetap diumumkan.
2.
Against The Rule of Corruption Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum, seperti penerima suap, pemerasan, memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum/korporasi lain secara melawan hukum atau dengan perbuatan penyalahgunaan jabatan.
(World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington DC, World Bank, 1997)
Demikian pula dengan sistem pemidanaannya, sulit untuk menentukan sanksi pidana yang tepat untuk badan hukum/korporasi, karena tentunya pidana penjara atau pidana mati tidak mungkin dikenakan pada badan hukum/korporasi. Pasal 20 UU ayat (7) Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya menentukan bahwa dalam tindak pidana korupsi selain terhadap pengurus maka terhadap badan hukum/korporasi tersebut dapat dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana sepanjang tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum/korporasi hanya dengan pidana pokok berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga), sedangkan untuk pengembalian kerugian negara menggunakan instrumen hukum tambahan. Namun selain hal-hal yang telah ditentukan dalam Pasal 20 ayat (7) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, selama ini belum ditemukan ketentuan hukum acara yang mengatur mengenai kedudukan badan hukum/korporasi sebagai tersangka atau terdakwa baik dalam tahap penyidikan menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) tersangka maupun dalam tahap penuntutan menyangkut identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam tindak pidana. Berkenaan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap badan hukum/korporasi yang diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana korupsi tetap mengacu kepada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dengan beberapa kekhususan seperti: 1.
Kriteria badan hukum/korporasi yang dapat dijadikan tersangka dalam tindak pidana korupsi adalah badan hukum/korporasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan badan hukum/korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama.
2.
Mendudukkan badan hukum/korporasi sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, bukan berarti meniadakan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pengurusnya, akan tetapi pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum/korporasi tersebut harus dipandang sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi (bandingkan dengan Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi). Oleh karenanya dalam pemberkasan dengan tersangka badan hukum/korporasi, tidak dapat digabung dengan tersangka orang sebagai subjek hukum terkait dengan ajaran pernyertaan, maliankan harus dipisah (split) dan tidak dalam kerangka ajaran penyertaan.
3.
Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi menentukan:
“dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi tersebut diwakili oleh pengurus”. “Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain”. Dari ketentuan tersebut, sedapat mungkin dalam proses penyidikan, BAP Tersangka dapat diterangkan oleh pengurus yang memperoleh kuasa sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dari korporasi yang bersangkutan. Namun
demikian keberadaan BAP Tersangka dengan tersangka badan hukum/korporasi tidak mutlak, mengingat: 3.1.
3.2.
3.3. 3.4.
4.
Pasal 20 ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pengurus yang memperoleh kuasa dapat diwakili oleh orang lain sehingga orang lain yang mewakili pengurus tersebut belum tentu dapat mengetahui materi perkara yang disangkakan terhadap korporasi tersebut. Ada kemungkinan baik pengurus maupun orang lain yang mewakili korporasi menolak memberikan keterangan dalam BAP, karena pengurus tersebut atau orang lain yang mewakili pengurus/ korporasi tersebut bukan merupakan tersangka sesungguhnya dalam hal korporasi berkedudukan sebagai tersangka. Kemungkinan terjadi pergantian pengurus atau orang lain yang memperoleh kuasa untuk mewakili korporasi selama dalam proses perkara berlangsung. Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP hanya mengenal alat bukti keterangan terdakwa (tersangka dalam tahap penyidikan) dan tidak mengenal alat bukti keterangan korporasi atau keterangan pengurus.
Dalam proses penyidikan mutlak dan harus dilakukan penyitaan terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum/korporasi yang menjadi tersangka guna memperoleh identitas badan hukum/korporasi yang bersangkutan untuk dicantumkan secara lengkap baik di dalam resume maupun sampul berkas perkara, dimana identitas tersebut yang akan diadopsi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan Surat Dakwaan yang sekurang-kurangnya memuat identitas: 4.1. Nama badan hukum/korporasi yang diwakili oleh pengurusnya; 4.2. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi: a. Nomor dan tanggal akta pendirian badan hukum/korporasi; b. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi pada saat peristiwa pidana; c. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi perubahan terakhir. 4.3. Kedudukan/Status pendirian; 4.4. Bidang usaha badan hukum/korporasi. Sedangkan hal-hal lain yang dianggap relevan dapat dicantumkan sesuai kebutuhan untuk pembuktian perkara sebagai pengganti identitas terdakwa yang disyaratkan secara formil oleh Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
5.
Tuntutan hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti tidak dapat diterapkan terhadap badan hukum/korporasi sebagai terdakwa, jika hukuman tambahan berupa kewajiban pembayaran uang pengganti dapat (subsidair) diganti dengan pidana penjara berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Tindak Pidana Korupsi, sedangkan pidana korupsi hanya pidana denda tanpa dapat diganti (subsidair) dengan hukuman badan. Dengan demikian hukuman tambahan yang dapat diterapkan terhadap terpidana badan hukum/korporasi selain yang telah diatur dalam KUHP adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf c dan huruf dUU Tindak Pidana Korupsi, yaitu: 5.1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut (huruf a); 5.2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
5.3.
tahun (huruf c); Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana (huruf d).
D. Putusan Pengadilan Hukum/Korporasi
atas
Tindak
Pidana
Korupsi
oleh
Badan
Selama ini sejak badan hukum/korporasi diposisikan sebagai subjek hukum oleh UU Tindak Pidana Korupsi, baru 1 (satu) perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka, terdakwa dan terpidana badan hukum/korporasi, PT Giri Jaladhi Wana (“PT GJW”) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011 (“Putusan No. 812”). Adapun dakwaan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka, terdakwa dan terpidana badan hukum/korporasi PT GJW di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin tersebut, yaitu: Primair: Bahwa Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP karena telah merugikan keuangan negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp. 1.332.361.516,- (satu milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas Rupiah) berdasarkan perhitungan BPKB Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No.: S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank Mandiri, Tbk sebesar Rp. 199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan milyar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima koma enam puluh lima Rupiah). Subsidair: Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Tuntutan pidana (requisitor) Jaksa Penuntut Umum tanggal 7 Maret 2011 sama dengan Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011, yang menyatakan: 1. Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi telah terbukti bersalah melakukan beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah); 3. Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan; 4. Menyatakan barang bukti .... dirampas untuk negara guna diperhitungkan untuk pembayaran uang pengganti dalam perkara pengadilan ST. Widagdo. Kemudian Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam putusannya No.: 04/PID.SUS/2011/PT.Bjm tanggal 10 Agustus 2011 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011 yang dimintakan banding tersebut, dengan perbaikan sekedar mengenai besarnya denda, sehigga berbunyi sebagai berikut: Menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda sebesar Rp. 1.317.782.129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan Rupiah). Dalam perkara ini oleh pengadilan justru pengurus korporasi, yaitu terpidana ST. Widagdo, yang dihukum membayar uang pengganti bukan korporasinya dan dalam pertimbangannya, meminjam pendapat ahli yaitu Sutan Remy Sjahdeini, pengadilan memandang bahwa kegiatan PT Giri Jaladhi Wana merupakan kegiatan intra vires yaitu perbuatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasarnya, maka perbuatan pengurus tersebut dapat dibebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi, karena: •
1. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi yang memiliki posisi sebagai direkting mind dari korporasi; 2. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka, maksud dan tujuan korporasi; 3. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi; 4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; 5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungan jawab pidana; Proses hukum atas perkara tersebut hanya sampai pada tingkat Judex Facti (Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi) saja, tidak berlanjut sampai kepada tingkat Judex Juris (MA). Walaupun demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat diikutin oleh pengadilan dan menjadi acuan atau rujukan bagi penegakkan hukum lainnya.
E.
Apakah PT Indoguna Utama (“PT IGU”) Sebagai Badan Hukum/Korporasi Dapat Dipertanggungjawabkan Secara Pidana Terhadap Tindak Pidana Sebagaimana Yang Tercantum Dalam UU Tindak Pidana Korupsi?
Sebelum membahas mengenai pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu dipaparkan mengenai fakta-fakta yang mendukung untuk menjawab pertanyaan di atas dihubungkan dengan pembahasan-pembahasan sebagaimana yang terurai dalam uraian di atas. Adapun fakta-fakta sebagaimana disebutkan di atas adalah: •
•
•
•
•
•
•
•
PT IGU adalah badan hukum yang usahanya, salah satunya, bergerak dalam bidang perdagangan daging sapi di Indonesia. Daging sapi yang diperdagangkan tersebut di import oleh PT IGU dari Luar Negeri, seperti Australia, Amerika dll; Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU), telah didakwa, oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi uang sejumlah Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah) dari seluruh uang yang dijanjikan sejumlah Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar Rupiah), kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; Penyelenggara yang dimaksud adalah Luthfi Hasan Ishaaq (“LHI”), selaku anggota Komisi I DPR RI untuk periode 2009 – 2014 dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) dan juga sebagai Presiden Partai Keadilan Sosial untuk periode 2010 - 2013; Pemberian uang tersebut dilakukan melalui Ahmad Fathanah, dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, agar LHI menggunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam rangka proses pemberian persetujuan (rekomendasi) terkait permohonan kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013; Permohonan Kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013 tersebut diajukan oleh PT IGU, PT Sinar Terang Utama, PT Nuansa Guna Utama, CV Cahaya Karya Indah dan CV Surya Cemerlang Abadi; Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”) telah menyatakan Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana berupa pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun 3 (tiga) tiga bulan; Terhadap Putusan tersebut, ternyata, Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi tidak melakukan upaya hukum banding, sehingga Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde); Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Direktur Utama dari PT IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR telah divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta didenda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan;
Dari fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatkah PT IGU sebagai badan hukum/korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap tindak pidana korupsi sebagai mana tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi? Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disebutkan halhal sebagai berikut:
• PT IGU adalah merupakan badan hukum dan dapat dianggap sebagai subjek hukum, dikarenakan PT IGU dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul. Sehingga PT IGU tersebut dapat menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya di muka pengadilan; • Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor: 136/Kr/1966 dalam perakara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa badan hukum/korporasi merupakan subjek hukum dalam hukum pidana, sehingga PT IGU merupakan badan hukum yang termasuk pula sebagai subjek hukum dalam hukum pidana; • Korporasi/badan hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana yaitu apabila orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan badan usaha/korporasi dan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan korporasi melakukan suatu tindak pidana. PT IGU dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi, dikarenakan, Arya Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU) serta Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. • Badan hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila badan hukum/korporasi tersebut mempunyai kesalahan, dimana kesalahan badan hukum/korporasi tersebut diambil dari kesalahan yang dilakukan oleh para pengurus atau anggota direksi badan hukum/korporasi tersebut. PT IGU dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi dikarenakan PT IGU telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini diambil dari kesalahan Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU) yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan. Putusan terhadap Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU) telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dikarenakan, terhadap Putusan tersebut, Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, tidak melakukan upaya hukum banding. Pertanyaan selanjutnya adalah: “seandainya PT IGU ditetapkan sebagai tersangka atas dugaaan tindak pidana korupsi, kapan pemeriksaan terhadap PT IGU dapat dilakukan?” Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri Terhadap pertanyaan tersebut dikaitkan dengan pendapat Van Bemmelen dan Remmelink di atas, maka ada 2 (dua) kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1. Pemeriksaan terhadap PT IGU sebagai tersangka sudah dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU), dalam Putusan, dinyatakan telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dikarenakan Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, tidak melakukan upaya hukum banding. 2. Pemeriksaan terhadap PT IGU sebagai tersangka dilakukan setelah Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU) dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Bahan-bahan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah: • • •
• • • • •
•
• •
• • • •
Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun (“UU Tindak Pidana Korupsi”); 1 Undang-Undang Normor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata (“UU PT”); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”); Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (“UU TPE”) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H., Kencana, 2012; HUKUM KORPORASI, Penegakkan Hukum Terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Dr. Etty Utju R. Koesoemahatmadja, S.H., M.H., Ghalia Indonesia, 2011; Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), Prof. Dr. Muladi, S.H., Dr. Diah Sulistyani RS, S.H., C.N., M.Hum., Alumni, Bandung, 2013; Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, R. Wiyono, S.H., Sinar Grafika, 2009; Makalah Penegakkan Hukum Kejahatan Korporasi Di Indonesia oleh Prof. Dr. Marwan Effendy, S.H., Jaksa Agung Muda Pengawasan. Disampaikan pada Seminar Hukum Tentang Multidisipliner Kriminalisasi Tindakan & Kebijakan Korporasi, diselenggarakan oleh Iluni FH UI, Hotel Le Meridien, Mei 2013; Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum., Erlangga, 2010; ECONOMIC APPROACH to LAW, Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H., Kencana, 2013; KORUPSI dan PENEGAKAN HUKUM, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., Diadit Media, 2009; KORUPSI dan PERMASALAHANNYA, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., Diadit Media, 2012;
•
• • •
Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, Dr. Mia Amiati Iskandar, S.H., M.H., Referensi (GP Press Group), 2013; Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, D. Andhi Nirwanto, Aneka Ilmu, 2013; Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011; Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013.